bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengertian jembataneprints.umm.ac.id/71622/3/bab ii.pdfdaerah dengan...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jembatan
Struyk dan Veen (1995) dalam bukunya, suatu konstruksi yang digunakan
untuk meneruskan jalan yang tidak terhubung oleh adanya suatu rintangan disebut
dengan jembatan. Maksud dari rintangan adalah sungai, jurang, rel kereta api dan
sebagainya. Oleh sebab itu, jembatan dianggap sebagai prasarana untuk
pengembangan ekonomi suatu wilayah, bahkan dianggap sebagai simbol khusus
suatu daerah apabila jembatan tersebut memiliki nilai arsitektur yang tinggi.
Supriyadi dan Muntohar dalam bukunya pada tahun 2007, jembatan
merupakan salah satu prasarana yang sangat berpengaruh dalam kehidupan, apabila
terdapat suatu konstruksi jembatan yang roboh maka sistem transportasi akan tidak
lancar atau bahkan lumpuh, selain itu konstruksi jembatan juga dijadikan
pengontrol kapasitas dari sistem transportasi. Maka dari itu, perencanaan jembatan
diperlukan pertimbangan lokasi yang strategis agar dapat meningkatkan
produktivitas masyarakat dalam hal sistem transportasi dan juga memiliki nilai
estetika yang baik.
2.2 Jenis – Jenis Jembatan
Kemajuan peradaban manusia sejalan dengan kemajuan teknologi dan
pengetahuan dalam bidang jembatan. Menurut Agus pada bukunya pada tahun
1995, jembatan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut:
2.2.1 Berdasarkan Komponen
Klasifikasi berdasarkan jenis komponen dikelompokkan sebagai berikut:
2.2.1.1 Jembatan Kayu (Log Bridge)
Jembatan kayu, yaitu jembatan yang bahan utamanya berupa kayu.
Jembatan jenis ini biasanya digunakan dalam bentang yang relatif pendek.
Jembatan ini juga biasanya digunakan dalam keadaan kondisi darurat atau kondisi
sementara yang dapat dikerjakan dengan peralatan yang sederhana. Perencanaan
5
jembatan ini telah ada di masa lampau karena bahan dan proses pembangunannya
yang sederhana dan mudah didapatkan.
2.2.1.2 Jembatan Baja (Steel Bridge)
Jembatan baja yaitu jembatan yang memiliki banyak unsur dan sistem
struktur seperti girder, rangka batang, pelengkung, penahan dan penggantung kabel
yang tentunya material utamanya menggunakan baja. Jembatan jenis ini biasanya
dijadikan simbol khusus suatu daerah karena dinilai memiliki nilai estetika yang
tinggi.
2.2.1.3 Jembatan Beton (Concrete Bridge)
Jembatan beton yaitu jembatan yang digunakan pada lengkung dan
konstruksi bagian bawah konstruksi. Dalam perencanaanya, sering digunakan besi
tulangan sebagai penahan gaya tekan material karena beton hanya dapat menahan
gaya tarik saja sehingga desain ini biasanya disebut dengan beton bertulang.
2.2.1.4 Jembatan Beton Prategang (Prestressed Concrete Bridge)
Jembatan beton prategang yaitu jembatan yang biasanya digunakan pada
bentang yang panjang, jembatan jenis ini menggunakan sistem pracetak (precast)
atau cetak ditempat dengan menggunakan metode konstruksi kantilever. Dalam
perencanaannya, dikatakan beton prategang karena kawat- kawat berkualitas tinggi
diaplikasikan ke dalam balok pracetak dengan sistem pra-penegangan (pre
tensioning).
2.2.1.5 Jembatan Komposit (Compossite Bridge)
Jembatan komposit yaitu jembatan yang dapat menyatukan dua material
atau lebih sehingga membentuk satu kesatuan agar dapat menghasilkan
perencanaan desain lebih kuat. Jembatan komposit yang sering digunakan adalah
kombinasi antara konstruksi baja dan beton bertulang dengan menyatukan baja
sebagai gelagar (deck) dan beton bertulang sebagai pelat jembatan.
2.2.1.6 Jembatan Bambu
Jembatan kayu merupakan jembatan sederhana yang biasanya digunakan
pada bentang pendek. Sama seperti jembatan kayu, jembatan bambu merupakan
konstruksi yang mudah dari segi pembangunan yang tidak memerlukan peralatan
modern dan materialnya juga mudah didapatkan.
6
2.2.1.7 Jembatan Pemasangan Batu Kali/Bata
Jembatan batu kali atau bata yaitu jembatan yang dibuat dari batu kali atau
bata merah, baik dari struktur atas maupun struktur bawah. Jembatan jenis ini
merupakan jenis struktur yang mengandalkan berat dari struktur itu sendiri
sehingga sistem gravitasi sangat diperhitungkan dan bentuk dari jembatan ini
biasanya lengkungan di bagian bentang yang harus menahan beban utama.
2.2.2 Bentuk Struktur
Klasifikasi berdasarkan bentuk strukturnya dikelompokkan sebagai berikut:
2.2.2.1 Jembatan Pelat (Slab Bridge)
Struktur jembatan pelat merupakan sebuah elemen struktur horizontal yang
berfungsi menyalurkan beban mati maupun beban hidup menuju rangka pendukung
vertikal dari suatu sistem struktur. Jembatan ini biasanya digunakan untuk bentang
pendek saja. Konstruksi jembatan ini merupakan struktur sederhana sehingga biaya
yang tidak mahal dan waktu pengerjaan yang singkat. Jembatan ini umumnya
digunakan untuk bentang sampai 12 meter.
Gambar 2.1 – Jembatan pelat
(https://simantu.pu.go.id/Bahan_LBA_Bahan_Pondasi_Untuk_Pekerjaan_Jembatan.pdf)
2.2.2.2 Jembatan Pelat Berongga (Voided Slab Bridge)
Jembatan pelat berongga merupakan jembatan konstruksi sederhana. Sama
seperti jembatan pelat (slab bridge) yang berfungsi menyalurkan beban mati
maupun beban hidup menuju tumpuan vertikal. Pada umumnya jembatan ini
memiliki bentang 6 – 16 meter.
7
Gambar 2.2 – Jembatan pelat berongga
(https://simantu.pu.go.id/ Bahan_LBA___Bahan_Pondasi_Untuk_Pekerjaan_Jembatan.pdf)
2.2.2.3 Jembatan Gelagar (Girder Bridge)
Jembatan gelagar yaitu jembatan bentuk gelagar yang terdiri lebih dari satu
gelagar tunggal yang terbuat dari beton, baja atau beton prategang. Ciri khas dari
jembatan jenis ini yaitu dirangkai dengan menggunakan diafragma dan pada
umumnya menyatu secara kaku dengan pelat lantai lalu lintas. Jembatan ini
menggunakan variasi bentang kurang lebih 25 – 75 meter.
Gambar 2.3 – Jembatan gelagar
(http://eprints.undip.ac.id/34073/8/1921_CHAPTER_V.pdf)
2.2.2.4 Jembatan Rangka (Truss Bridge),
Jembatan rangka yaitu pada umumnya terbuat dari baja dengan bentuk dasar
berupa segitiga, jembatan ini mempunyai sistem rangka utama yang dapat
terhubung pada balok melintang dengan pengaku lateral. Jembatan rangka
merupakan salah satu desain jembatan tertua dan dapat dibuat dengan berbagai
variasi bentuk, seperti gelagar sederhana, lengkung atau kantilever. Jembatan ini
memiliki variasi bentang sekitar 50 – 100 meter.
8
Gambar 2.4 – Jembatan rangka baja
(http://fianciviliian.blogspot.com/2012/07/jembatan-rangka-truss.html)
2.2.2.5 Jembatan Pelengkung (Arc Bridge)
Jembatan pelengkung yaitu jembatan yang strukturnya membentuk
setengah lingkaran dan kedua ujungnya ditumpu oleh abutment, fungsi dari
setengah lingkaran sebagai penyalur beban pada pelat lantai kendaraan ke abutment
yang dapat melindungi masing - masing sisi jembatan agar tidak terjadi pergeseran.
Awalnya jembatan pelengkung ini dibangun menggunakan material batu atau batu
bata tetapi dengan perkembangannya, jembatan pelengkung dapat menggunakan
material beton bertulang dan rangka baja sebagai konstruksi utamanya. Berikut ini
bagian-bagian jembatan pelengkung:
Gambar 2.5 - Bagian-bagian jembatan pelengkung
(Sumber: https://docplayer.info/98291858-Bab-1-perkembangan-tipe-jembatan.html)
Adapun jembatan pelengkung memiliki beberapa jenis berdasarkan posisi
lantai kendaraan, yaitu:
9
- Deck Arc
Jembatan yang letak lantai kendaraannya berada di atas rangka
jembatan dan dapat menyokong secara langsung beban lalu lintasnya. Fitur
yang dimiliki jembatan tipe ini yaitu kolom terletak pada gerbang busur,
deformasi vertikal besar, sehingga dibutuhkan ukuran abutment atau
tumpuan struktur tiga sendi.
Gambar 2.6 – Jembatan deck arc
(Wikibuku, 2012)
- A Half Through Arc
Jembatan yang lantai kendaraannya terletak di tengah rangka atau
diantara rangka pelengkungnya yang secara langsung menopang lantai
kendaraannya, penggunaan jembatan tipe ini berfungsi untuk meninggikan
lantai kendaraan agar tidak terkena arus sungai. Rangka jembatan memiliki
peran sebagai pendukung terhadap beban yang terjadi pada struktur, rangka
pelengkung yang dianggap ideal adalah rangka yang memikul beban aksial
saja dan dapat bekerja tepat pada titik berat tiap penampang elemen
pelengkung tersebut. Oleh sebab itu, jembatan pelengkung harus didesain
sedemikian rupa agar dapat meminimalkan potensi momen yang akan
terjadi pada strukturnya.
Gambar 2.7 – Jembatan a half through arc
(Wikibuku, 2012)
10
Berikut ini beberapa keuntungan menggunakan desain jembatan
pelengkung tipe a half through arc:
a. Penggantian lantai kendaraan lebih mudah.
b. Pengerjaan konstruksi dapat dilakukan di luar lokasi proyek.
c. Bagian ujung dari penumpu pelengkung dapat menahan profil jalan
di lantai kendaraan.
d. Pengerjaan konstruksi yang minim akan gangguan sekitar.
Adapun kekurangan menggunakan desain jembatan pelengkung tipe
a half through arc:
a. Pengerjaan tumpuan jembatan lebih rumit daripada tipe jembatan
pelengkung yang lainnya.
b. Penempatan struktur pelengkung dan pondasi yang lebih rumit.
Persamaan perencanaan bentuk jembatan pelengkung yaitu sebagai
berikut:
Gambar 2.8 – Desain pemodelan jembatan pelengkung
(Data Perencana)
a. Menentukan tinggi busur (f)
1
5 𝐿 −
1
8 𝐿 atau
1
8≤
𝑓
𝐿 ≤
1
5 2.1
b. Menentukan tinggi busur (H)
1
12 𝐿 2.2
Perencanaan penampang pelengkung memiliki sistem elemen gaya
tarik dan elemen gaya tekan yang direncanakan berbeda dengan elemen
pada umumnya. Penampang tersebut merupakan penampang kompak dan
jarak dari tepi badan penampang menuju ujung sayap harus dapat memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
11
𝑏
𝑡 ≤
𝑅
6𝑏 2.3
Keterangan: b = Lebar pada bagian luar yaitu diukur dari ujung baris
pengencang terdekat kemudian dihubungkan pada bagian
pendukung (mm).
t = Tebal rata-rata pada bagian luar yaitu tebal total antara dua
atau lebih pada bagian yang dihubungkan (mm).
r = Jari-jari pada lengkungan (mm).
- Through Arc
Jembatan yang letak lantai kendaraannya berada di bawah rangka
jembatan. Tipe jembatan ini memiliki deck yang menggantung pada
pelengkung yang meneruskan bebannya pada kabel penggantung (hanger).
Elemen struktur transversal dapat menstabilkan pelengkung terhadap gaya
lateral. Tumpuan yang biasanya digunakan yaitu sendi-roll.
Gambar 2.9 – Jembatan through arc
(Wikibuku, 2012)
2.2.2.6 Jembatan Gantung (Suspension Bridge)
Jembatan gantung yaitu sistem konstruksi yang menggunakan penggantung
dengan material kabel baja atau strand yang dapat dimanfaatkan sebagai tumpuan
pada bagian sisi jembatan. Pelat lantai biasanya tidak terhubung langsung dengan
pilar, karena prinsip pemikulan gelagar terletak pada kabel. Jembatan ini pada
umumnya digunakan untuk bentang mencapai 1400 meter.
12
Gambar 2.10 – Jembatan gantung
(http://sma-muhammadiyah.blogspot.com/2012/09/jembatan-gantung.html)
2.2.2.7 Jembatan Kabel (Cable Stayed Bridge)
Jembatan kabel yaitu sistem struktur yang menggunakan kabel sebagai
elemen pemikul pelat lantai lalu lintas dan langsung ditumpu oleh tower. Jembatan
ini merupakan jembatan gelagar menerus dengan satu tower atau lebih yang
terpasang di atas pilar-pilar jembatan di tengah bentang dan memiliki titik pusat
massa yang posisinya relatif rendah sehingga jembatan tipe ini baik digunakan pada
daerah dengan risiko gempa. Jembatan jenis ini digunakan untuk variasi bentang
100 – 600 meter.
Gambar 2.11 – Jembatan kabel
(Supriyadi dan Muntohar, 2007)
2.3 Komponen Struktur Jembatan
Jembatan merupakan satu kesatuan dari beberapa komponen jembatan yang
membentuk sebuah struktur yang tidak dapat dipisahkan karena memiliki peran dan
fungsinya masing-masing. Dalam perencanaannya, struktur jembatan dibagi
menjadi dua komponen utama, yaitu struktur atas dan struktur bawah. Berikut ini
komponen struktur atas:
13
- Trotoar yaitu bagian struktur yang terletak di sisi jembatan yang difungsikan
untuk pejalan kaki.
- Pelat lantai kendaraan yaitu penyangga beban lalu lintas yang melintasi
jembatan.
- Gelagar yaitu bagian struktur balok secara memanjang dan melintang yang
berfungsi untuk menyalurkan beban dari struktur atas ke struktur bawah.
- Rangka yaitu struktur yang membentang dari satu titik tumpu ke titik tumpu
yang lain. Struktur rangka terdiri dari batang diagonal, batang horizontal,
batang vertikal, dan ikatan angin.
Berikut ini komponen struktur bawah:
- Kepala jembatan atau abutment yaitu tempat peletakan struktur yang
terletak pada masing-masing sisi jembatan dan berfungsi sebagai penahan
tanah.
- Pilar atau Pier yaitu struktur pembagi bentang jembatan dan berfungsi
sebagai penyalur beban ke pondasi
- Pile cap yaitu struktur yang berfungsi sebagai pengikat pondasi sebelum
didirikan bangunan di atasnya.
- Pondasi yaitu struktur paling bawah jembatan sebagai penyalur beban
jembatan ke tanah keras.
2.4 Pembebanan Jembatan
Pada analisa jembatan pelengkung, peraturan perencanaan pembebanan
menggunakan “SNI 1725:2016 tentang Pembebanan Untuk Jembatan”.
2.4.1 Beban Mati
Beban mati yaitu beban permanen atau beban tetap yang terjadi pada
struktur jembatan. Beban mati tersebut termasuk seluruh beban yang dianggap
relatif konstan termasuk jembatan itu sendiri.
2.4.1.1 Berat Sendiri
Komponen-komponen struktural yang ditahan sendiri oleh komponen
tersebut termasuk berat komponen sendiri maupun berat komponen jembatan
14
lainnya yang dianggap konstan disebut berat sendiri. Berikut ini Tabel 2.1
menyajikan mengenai faktor beban yang digunakan pada perencanaan jembatan:
Tabel 2.1 – Faktor beban sendiri
(SNI 1725:2016)
2.4.1.2 Beban Mati Tambahan/Utilitas
Beban mati tambahan merupakan berat yang dihasilkan dari seluruh bahan
komponen non struktural sehingga menghasilkan suatu beban yang nilainya dapat
berubah sesuai usia jembatan jembatan yang direncanakan. Berikut ini Tabel 2.2
menyajikan mengenai faktor beban mati tambahan yang akan digunakan dalam
perencanaan jembatan:
Tabel 2.2 – Faktor beban mati tambahan
(SNI 1725:2016)
2.4.2 Beban Lalu Lintas
Dalam perencanaan jembatan beban lalu lintas terbagi menjadi beban lajur
“D” dan beban truk “T”. Beban yang letaknya berada pada lebar jalur kendaraan
yang ada kemudian menyebabkan pengaruh yang setimbang disebut dengan beban
lajur “D”. Dalam menentukan total jumlah beban lajur “D” yang bekerja tergantung
pada lebar jalur pada kendaraan.
Pada umumnya truk memiliki 3 buah roda pada masing – masing sisi
sehingga diasumsikan peletakan beban truk “T” memiliki 3 gandar dalam satu lajur
15
lalu lintas. Setiap gandar terdapat dua bidang kontak pembebanan dan
didistribusikan oleh satu truk per lajur lalu lintas kendaraan.
Dalam proses perhitungan pembebanan beban lajur dipilih beban “D”
sedangkan beban “T” digunakan untuk pendistribusian beban truk. Secara umum,
perhitungan beban “D” digunakan untuk perhitungan jembatan pada bentang
sedang sampai panjang dan beban “T” digunakan dalam perhitungan jembatan
bentang pendek.
2.4.2.1 Beban Lajur “D”
Perencanaan beban lajur pada umumnya terdiri dari beban merata arah
memanjang jembatan dan juga diaplikasikan sebagai efek gaya. Beban lajur tidak
dapat direncanakan pada ujung bentang dikarenakan akan mengurangi momen
positif pada tengah bentang. Beban lajur dibagi menjadi dua yaitu beban terbagi
rata (BTR) dan beban garis terpusat (BGT). Berikut faktor beban yang dapat
digunakan untuk beban lajur:
Tabel 2.3 – Faktor beban lajur “D”
(SNI 1725:2016)
Berdasarkan SNI 1725 tahun 2016, beban terbagi rata (BTR) memiliki
intensitas sebesar q kPa dengan besaran q tergantung panjang total yang dibebani
L adalah sebagai berikut:
Jika L ≤ 30m : q = 9,0 kPa 2.4
Jika L > 30m : q = 9,0 (0,5 + 15
𝐿) kPa 2.5
Keterangan: q = intensitas beban terbagi rata (BTR) pada arah memanjang (kPa).
L = panjang total jembatan yang dibebani (meter).
16
Gambar 2.12 – Beban lajur “D”
(SNI 1725:2016)
Beban garis terpusat (BGT) dengan intensitas p diletakkan tegak lurus
terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49 kN/m.
2.4.2.2 Beban Truk “T”
Beban truk dapat diaplikasikan pada perencanaan struktur lantai. Berikut
faktor beban yang digunakan untuk beban truk.
Tabel 2.4 – Faktor beban truk “T”
(SNI 1725:2016)
Gambar 2.13 – Beban truk “T”
(SNI 1725:2016)
17
2.4.2.3 Beban Pejalan Kaki
Perencanaan trotoar sebagai pijakan beban pejalan kaki direncanakan
sebesar 5 kPa. Apabila ada kemungkinan trotoar berubah fungsi di masa depan
untuk menjadi jalur kendaraan, maka beban hidup kendaraan harus ditetapkan pada
jarak 250 mm dari tepi ujung jembatan.
2.4.3 Aksi Lingkungan
Dalam perencanaan pembebanan, ada beberapa hal khusus yang harus
diperhitungkan yaitu beban akibat suhu, gempa, banjir, angin, dan penyebab
lainnya.
Beban angin dapat diasumsikan sebagai beban horizontal yang disebabkan
oleh angin rencana dengan kecepatan dasar (Vb) sebesar 90 – 126 km/jam. Untuk
jembatan dengan elevasi lebih dari 10 meter di atas permukaan tanah atau
permukaan air, kecepatan angin rencana harus dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
𝑉𝐷𝑍 = 2,5 𝑉𝑜 (𝑉10
𝑉𝐵) 𝐼𝑛
𝑍
𝑍𝑂 2.6
Keterangan:
VDZ = kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam).
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10 meter di atas permukaan tanah atau di atas
permukaan air rencana (km/jam).
VB = kecepatan angin rencana 90 – 126 km/jam pada elevasi 10 meter di atas
permukaan tanah.
Z = elevasi struktur dapat diukur dari permukaan tanah atau permukaan air
sehingga beban angin dapat diasumsikan (Z > 10 meter).
V0 = kecepatan gesekan angin merupakan sifat meteorologi, sebagaimana telah
ditentukan dalam Tabel 2.5, macam-macam tipe permukaan di hulu
jembatan (km/jam).
Z0 = panjang gesekan di hulu jembatan yang merupakan karakteristik
meteorologi, ditentukan oleh Tabel 2.5 (mm).
18
V10 dapat diperoleh dari:
- grafik kecepatan angin dasar berdasarkan pada periode ulang;
- survei angin pada lokasi jembatan;
- apabila tidak memperoleh data lebih baik maka perencanaan dapat
diasumsikan bahwa V10 = VB = 90 – 126 km/jam.
Tabel 2.5 – Nilai V0 dan Z0 untuk berbagai variasi kondisi permukaan hulu
(SNI 1725:2016)
Apabila tidak ditemukan data yang tepat, tekanan angin rencana dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
𝑃𝐷 = 𝑃𝐵 (𝑉𝐷𝑍
𝑉𝐵)
2
2.7
Keterangan: PD = tekanan angin rencana (MPa)
PB = tekanan angin dasar (MPa)
VDZ = kecepatan rencana di elevasi rencana (km/jam)
VB = kecepatan angin dasar (km/jam)
Tabel 2.6 – Tekanan angin dasar
(SNI 1725:2016)
Gaya total beban angin tidak boleh kurang dari 4,4 kN/mm pada bidang
tekan dan 2,2 kN pada bidang hisap pada struktur pelengkung dan tidak kurang dari
4,4 kN/mm.
Apabila beban angin tidak tegak lurus terhadap struktur, maka akan timbul
berbagai sudut serang. Besaran tekanan angin dasar untuk sudut serang dapat dilihat
pada Tabel 2.7 serta tekanan angin harus ditempatkan pada titik berat dari bidang
yang diterjang oleh beban angin. Arah sudut serang ditempatkan tegak lurus
19
terhadap arah longitudinal. Digunakan nilai pengaruh yang paling buruk akibat arah
angin serta tekanan angin harus diaplikasikan secara bersamaan baik arah
memanjang maupun arah melintang.
Tabel 2.7 – Tekanan angin dasar (Pb) untuk sudut serang
(SNI 1725:2016)
Gaya angin pada kendaraan (EW1) yang disebabkan oleh adanya tekanan
angin yang terjadi pada kendaraan harus dapat ditahan oleh jembatan yang
direncanakan, di mana tekanan angin ini dapat menjadi bean menerus sebesar 1,46
N/mm dan bekerja secara tegak lurus terhadap permukaan jalan dengan jarak 1800
mm. Apabila tekanan angin tidak tegak lurus terhadap permukaan, maka elemen
yang bereaksi secara tegak lurus ataupun paralel untuk beragam sudut serang dapat
menggunakan ketentuan yang terdapat pada Tabel 2.8 di mana arah permukaan
kendaraan berada tegak lurus terhadap arah sudut serang yang diposisikan.
Tabel 2.8 – Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan
(SNI 1725:2016)
2.5 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi pada komponen jembatan memiliki beban ekstrem yang telah
ditetapkan dari setiap keadaan batas yang dapat dilihat sebagai berikut:
20
Tabel 2.9 – Beban kombinasi dan faktor beban
(SNI 1725:2016)
2.6 Perencanaan Struktur Atas Jembatan
Beban – beban kendaraan lalu lintas, beban dari pejalan kaki dan beban-
beban lainnya yang terjadi akan menjadi suatu acuan perencanaan struktur atas
jembatan yaitu sebagai penahan beban-beban tersebut, kemudian beban tersebut
disalurkan menuju struktur yang ada di bawahnya. Sehingga dalam perencanaan
struktur jembatan, harus memperhatikan banyak hal untuk menahan beban-beban
di atasnya untuk disalurkan ke pondasi sampai ke tanah keras.
2.6.1 Perencanaan Trotoar
Trotoar berfungsi untuk memberikan pelayanan bagi pejalan kaki pada sisi
jembatan jalan lalu lintas dan memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.
Perencanaan trotoar menggunakan pelat beton yang tertumpu oleh pelat lantai
kendaraan.
21
Gambar 2.14 – Potongan trotoar
(Data Perencana)
2.6.1.1 Menentukan Tebal Pelat
Menentukan arah penulangan pelat pada balok memanjang untuk
mengetahui yang mana balok tertumpu menerus.
Jika 𝐿𝑥 ≥ 0,4 𝐿𝑥 2.8
Jika 𝐿𝑥 < 0,4 𝐿𝑥 2.9
Pelat beton bertulang pada lantai kendaraan diasumsikan terjepit elastis
bebas pada tumpuan dan terletak pada tumpuan, maka faktor momen akan yang
terjadi adalah sebagai berikut:
Kombinasi momen:
1,4 𝑀𝐷 2.10
1,2 𝑀𝐷 + 1,6 𝑀𝐿 = 𝑀𝑢 2.11
Momen beban mati (MD) dan beban hidup (ML)
𝑀𝐷 = 𝛴𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑥 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 (𝑘𝑁𝑚)
𝑀𝐿 = 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑟𝑖𝑧𝑜𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑥 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 (𝑘𝑁𝑚)
2.7.1.2 Penulangan Pelat Trotoar
Perencanaan pelat trotoar diasumsikan sebagai tulangan pelat satu arah
dengan tumpuan jepit bebas.
𝑑′ = ℎ − 𝑝 − 0,5 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 2.12
keterangan: d’ = Jarak tulangan tekan (mm)
h = Tebal pelat (mm)
p = Selimut beton (mm)
22
ρ2max = 0,75 0,75 𝑓𝑐
𝑓𝑦 𝛽
600
600+𝑓𝑦 2.13
ρmin = 1,4
𝑓𝑦 2.14
Tulangan pembagi:
ρ = 1
𝑚(1 − √1 −
2𝑚𝑅𝑛
𝑓𝑦) 2.15
Rn = 𝑀𝑛
𝑏𝑑2 2.16
m = 𝑓𝑦
0,85 𝑓𝑐 2.17
As = ρpakai x b x d 2.18
keterangan: ρ = rasio tulangan
β = rasio bentang bersih
Rn = resistensi koefisien (MPa)
Mn = kuat nominal penampang akibat lentur (kNm)
As = luas tulangan (mm2)
fy = mutu tulangan baja (MPa)
fc = mutu beton (MPa)
2.6.2 Perencanaan Pelat Lantai Kendaraan
Pelat lantai kendaraan memiliki fungsi untuk menahan material aspal di
atasnya dan diasumsikan tertumpu oleh sisi balok melintang dan balok memanjang.
Berikut ini beberapa langkah dalam perencanaan pelat lantai:
a. Perencanaan jenis pelat, yaitu menentukan perbandingan antara panjang dan
lebar. Pelat terdiri 2 jenis yaitu:
Pelat satu arah : 𝛽 = 𝑙𝑦
𝑙𝑥> 2 2.19
Pelat dua arah : 𝛽 = 𝑙𝑦
𝑙𝑥≤ 2 2.20
b. Perhitungan pembebanan pada pelat.
c. Perhitungan momen rencana (Mu).
d. Perhitungan tinggi efektif pelat:
𝑑𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = ℎ − 50 𝑚𝑚 (asumsi) 2.21
di mana, : ℎ = 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑡 (𝑚)
23
e. Menghitung kperlu
𝑘𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢 =𝑀𝑢
Ø 𝑥 𝑏 𝑥 𝑑2 2.22
di mana, Mu : Momen rencana (kNm)
Ø : Faktor reduksi kekuatan (0,80)
b : Lebar (m)
𝑑𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎: tinggi rencana (m)
f. Penentuan rasio tulangan:
ω = 0,85 − √0,72 − 1,7 𝐾
𝑓𝑐′ 2.23
ρ = ω x 𝑓𝑐′
𝑓𝑦 2.24
ρb = 𝛽 𝑥 0,85 𝑓𝑐′
𝑓𝑦 𝑥
600
600+𝑓𝑦 2.25
ρmax = 0,75 x ρb 2.26
ρmin = 1,4
𝑓𝑦 2.27
kontrol terhadap rasio tulangan:
ρmin < ρ < ρmax 2.28
di mana, fc’ : mutu beton (MPa)
fy : mutu baja (MPa)
β : 0,85 (𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑓𝑐′ > 35 𝑀𝑃𝑎)
g. Penentuan luas tulangan (As):
As = ρ x b x drencana 2.29
h. Penentuan diameter dan jarak pada tulangan untuk penyesuaian berdasarkan
luas tulangan (As).
i. Kontrol tinggi efektif yang digunakan:
𝑑𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 > 𝑑𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 2.30
𝑑𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 = ℎ − 𝑠𝑒𝑙𝑖𝑚𝑢𝑡 𝑏𝑒𝑡𝑜𝑛 − ∅𝑠𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔 −1
2∅𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 2.31
j. Penentuan luas tulangan susut:
𝐴𝑠 = 0,0014 𝑥 𝑏 𝑥 ℎ (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑢𝑡𝑢 𝑏𝑎𝑗𝑎 < 30 𝑀𝑃𝑎) 2.32
𝐴𝑠 = 0,0020 𝑥 𝑏 𝑥 ℎ (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑢𝑡𝑢 𝑏𝑎𝑗𝑎 30 𝑀𝑃𝑎) 2.33
𝐴𝑠 = 0,0018 𝑥 𝑏 𝑥 ℎ (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑢𝑡𝑢 𝑏𝑎𝑗𝑎 40 𝑀𝑃𝑎) 2.34
24
𝐴𝑠 = 0,0018 𝑥 𝑏 𝑥 ℎ 𝑥 400
𝑓𝑦 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑢𝑡𝑢 𝑏𝑎𝑗𝑎 > 40 𝑀𝑃𝑎) 2.35
k. Perencanaan luas tulangan utama tidak boleh kurang dari luas tulangan
susut.
l. Pembuatan gambar rancangan.
2.6.3 Perencanaan Gelagar Lantai
Struktur rangka baja, penampang komposit, dan balok penumpu pelat lantai
akan menjadi satu kesatuan. Hal yang harus diperhatikan yaitu peletakan pada pelat
beton dan semua letak balok harus tetap ada dalam perencanaannya digunakan
penghubung geser (shear connector) untuk menjaga peletakan antara pelat beton
dengan balok memanjang dan balok melintang yang berfungsi sebagai penghubung
geser yaitu untuk menahan gaya geser yang terjadi di peletakan.
Gambar 2.15 – Gelagar Jembatan
(Chen & Duan, 2000)
2.6.3.1 Analisa Pembebanan Struktur Penampang
Analisa pada struktur jembatan direncanakan oleh sistem penopang
(propped system) maupun sistem tanpa penopang (unpropped system). Berikut
beban-beban yang terjadi pada balok:
a. Pembebanan post – komposit
Akibat beban mati
- Momen
MD = 1
8 𝑞𝐷𝑙2 2.36
25
- Gaya lintang
DD = 1
2 𝑞𝐷𝑙2 2.37
b. Pembebanan pasca – komposit
Akibat beban mati
- Momen
MD = 1
8 𝑞𝐷𝑙2 2.38
- Gaya lintang
DD = 1
2 𝑞𝐷𝑙2 2.39
Akibat beban hidup
- Beban hidup merata
qL =(𝑏𝑐
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟) x (qL x 70%) 2.40
- Momen
ML = 1
8 𝑞𝐿𝑙2 2.41
- Gaya lintang
DL = 1
2 𝑞𝐿𝑙2 2.42
- Beban hidup garis/titik
PL =(𝑏𝑐
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟) x (PL x 70%) 2.43
- Pengaruh kejut terhadap garis/titik
KP = {1 + (20
50+15,4)} + PL 2.44
Gambar 2.16 – Diagram momen gelagar
(https://untad.academia.edu/hendraPratama)
26
Gambar 2.17 – Diagram gaya lintang gelagar
(https://untad.academia.edu/hendraPratama)
2.6.3.2 Perencanaan Berdasarkan Prinsip Elastisitas
a. Sistem penopang (propped system)
- Tegangan tekan beton maksimum
𝑓′𝑐.𝑦𝑡 𝑗 = 𝑀𝐷+ 𝑀𝐿
𝑍𝐶 𝑥
1
𝑛 2.45
b. Tanpa sistem penopang (unpropped system)
- Tegangan tekan beton maksimum
𝑓′𝑐.𝑦𝑡 𝑗 = 𝑀𝐿
𝑍𝐶 𝑥
1
𝑛 2.46
2.7.3.3 Perencanaan Berdasarkan Prinsip Plastisitas
Prinsip plastisitas diasumsikan berdasarkan kemampuan maksimum
(momen nominal) pada penampang balok atas berlawanan beban batas (momen
terfaktor).
a. Kondisi I
Gambar 2.18 – Diagram tegangan plastisitas kondisi I
(https://untad.academia.edu/hendraPratama)
27
Beton akan menerima tegangan tekan pada saat kondisi sebagian atau
seluruh penampang beton dan seluruh penampang baja akan menerima tegangan
tarik. Garis netral berada pada penampang beton atau berada tepat di atas
penampang baja.
- Gaya tekan batas oleh penampang
𝐶𝑐 = 0,85 𝑓′𝑐 𝑥 𝑏𝑐 𝑥 ℎ𝑐 2.47
𝐶 = 𝐴 𝑥 0,85 𝑓′𝑐 2.48
- Gaya tarik batas oleh penampang
𝑇𝑆1 = 𝑓𝑦 𝑥 𝑡𝑠𝑢 𝑥 𝑏𝑠 2.49
𝑇𝑆2 = 𝑓𝑦 𝑥 ℎ𝑠𝑏 𝑥 𝑡𝑠𝑏 2.50
𝑇𝑆3 = 𝑓𝑦 𝑥 𝑡𝑠𝑡 𝑥 𝑏𝑠 2.51
𝑇𝑆 = 𝐴 𝑥 𝑓𝑦 2.52
- Tinggi balok tekan
𝑎 = 𝑐
0,85 𝑓′𝐶𝑥 𝑏𝐶 𝑥 ℎ𝐶 2.53
- Lengan momen
𝑧 = (ℎ𝐶 − 1
2 𝑎 ) +
1
2 ℎ𝑆 2.54
- Momen nominal
𝑀𝑛 = 𝐶 𝑥 𝑧 = 𝑇 𝑥 𝑧 2.55
b. Kondisi II
Gambar 2.19 – Diagram tegangan plastisitas kondisi II
(https://untad.academia.edu/hendraPratama)
28
Penampang baja bagian atas akan menerima tegangan tekan dan penampang
baja bagian bawah akan menerima tegangan tarik. Garis netral berada pada bagian
penampang baja.
- Gaya tekan batas oleh penampang
𝐶𝑐 = 0,85 𝑓′𝑐 𝑥 𝑏𝑐 𝑥 ℎ𝑐 2.47
𝐶 = 𝐴 𝑥 0,85 𝑓′𝑐 2.48
𝐶𝑠1 = 𝑓𝑦 𝑥 𝑏𝑠 𝑥 𝑡𝑠𝑢 2.56
𝐶𝑠1 = 𝑓𝑦 𝑥 𝑏𝑠 𝑥 𝑦 2.57
- Gaya tarik batas oleh penampang
𝑇𝑠1 = [ℎ𝑠 − (𝑡𝑠𝑡 + 𝑦)] 𝑥 𝑓𝑦 𝑥 𝑏𝑠 2.58
𝑇𝑆2 = 𝑓𝑦 𝑥 𝑡𝑠𝑡 𝑥 𝑏𝑠 2.51
𝑇𝑆 = 𝐴 𝑥 𝑓𝑦 2.52
- Lengan Momen
𝑧 = (ℎ𝑐 − 𝑎) + 1
4 ℎ𝑠 2.59
- Momen nominal
𝑀𝑛 = 𝐶 𝑥 𝑧 = 𝑇 𝑥 𝑧 2.55
- Kontrol lendutan
Lendutan maksimum yang diizinkan, yaitu:
𝛿𝑚𝑎𝑘𝑠 = 1
360 2.60
2.6.4 Perencanaan Pelengkung Jembatan
Komponen yang menjadi daya tarik dari struktur ini yaitu pelengkung yang
berbentuk setengah lingkaran dengan lantai kendaraan berada diantara setengah
lingkarannya. Struktur jembatan ini akan menahan gaya horizontal yang tertumpu
oleh sisi jembatan. Beban-beban tersebut harus seimbang antara beban yang
dipikul, lendutan, dan gaya aksial yang bekerja pada pelengkung jembatan.
29
Gambar 2.20 – Jembatan pelengkung tipe a half through arc
(Data Perencana)
2.6.4.1 Komponen Struktur Tekan
Struktur rangka baja yang telah menerima beban aksial biasanya disebut
sebagai komponen struktur tekan. Struktur jembatan pelengkung biasanya
ditemukan pada batang tepi atas, sedikit pada batang diagonal dan batang vertikal.
a. Beban tekuk kritis euler
𝑃𝑒 = 𝜋2𝐸𝐼
(𝐿𝑒𝑓𝑓)2 2.61
Dengan
𝑟 = √𝐼
𝐴 , 𝐼 = 𝐴𝑟2, maka: 2.62
𝑃𝑒
𝐴= 𝐹𝑒 =
𝜋2𝐸
(𝐿𝑒𝑓𝑓
𝑟)
2 2.63
Keterangan: A = Luas penampang (mm2)
Fe = Tegangan tekuk (MPa)
E = Modulus (MPa)
Leff = Panjang efektif (mm)
I = Momen inersia penampang (mm4)
r = Radius grasi (mm)
b. Panjang efektif
Panjang efektif pada persamaan euler merupakan panjang arah titik
perubahan arah tekuk. Perubahan arah tekuk adalah titik di mana momen
sama dengan 0.
30
𝐿𝑒𝑓𝑓 = 𝐾𝐿 2.64
Keterangan: K = Faktor panjang
L = Panjang tak terkekang dari komponen (mm)
c. Kelangsingan struktur tekan
Kelangsingan struktur tekan dapat ditentukan sebagai berikut:
𝐾𝐿
𝑟 ≤ 200 2.65
Keterangan: K = Faktor panjang efektif
L = Panjang tak terkekang (unbraced) dari komponen (mm)
r = Radius grasi (mm)
d. Kuat tekan beton
Kuat tekan rencana terjadi pada saat keadaan batas dari tekuk lentur.
𝑃𝑛 = 𝐹𝑐𝑟𝐴𝑔 2.66
Keterangan: Pn = Kuat tekan nominal (kN)
Fcr = Tegangan kritis (MPa)
Ag = Luas penampang (mm2)
Tegangan kritis ditentukan apabila:
- 𝐾𝐿
𝑟≤ 4,71 √
𝐸
𝑓𝑦 , 𝑎𝑡𝑎𝑢 (
𝑓𝑦
𝑓𝑒≤ 2,25) 2.67
Maka, 𝐹𝑐𝑟 = [0,658𝑓𝑦
𝑓𝑒 ] 2.68
- 𝐾𝐿
𝑟> 4,71 √
𝐸
𝑓𝑦 , 𝑎𝑡𝑎𝑢 (
𝑓𝑦
𝑓𝑒 ≤ 2,25) 2.69
Maka, 𝐹𝑐𝑟 = 0,877 𝑓𝑒 2.70
Tegangan tekuk euler
𝑓𝑒 = 𝜋2𝐸
(𝐾𝐿
𝑟)
2 2.71
2.6.4.2 Komponen Struktur Tarik
Komponen struktur tarik akan menerima gaya tarik apabila gaya lentur tidak
diperhitungkan atau beban pada kondisi aksial akan menimbulkan gaya aksial.
a. Kelangsingan batang tarik
Komponen struktur tarik tidak memiliki batas kelangsingan maksimum.
31
𝐿
𝑟 ≤ 300 2.72
Keterangan: L = Panjang komponen struktur (mm)
r = Jari-jari grasi penampang (mm)
b. Kekuatan batang tarik
Kekuatan tarik didesain berdasarkan komponen struktur yang memiliki nilai
paling rendah yang diperoleh setelah keadaan batas dari leleh tarik pada
penampang neto.
- Mekanisme leleh tarik pada penampang bruto
𝑃𝑛 = 𝑓𝑦𝐴𝑔 2.73
Keterangan: Ø = 0,90
Ag = Luas bruto (mm2)
fy = Tegangan leleh minimum (MPa)
- Mekanisme keruntuhan tarik pada penampang efektif
𝑃𝑛 = 𝑓𝑢𝐴𝑔 2.74
Keterangan: Ø = 0,75
Ag = Luas bruto (mm2)
fu = Tegangan tarik minimum (MPa)
c. Luas efektif
Luas efektif komponen tarik akan memikul gaya tarik sehingga ditentukan
luas efektif pada penampang yaitu sebagai berikut:
𝐴𝑒 = 𝐴𝑛𝑈 2.75
Keterangan: Ae = Luas netto (mm2)
An = Luas efektif (mm2)
U = Faktor shear lag
d. Geser blok
Keruntuhan blok yaitu keruntuhan kombinasi antara gaya geser dan gaya
tarik yang terjadi melewati lubang-lubang baut pada komponen tarik.
32
Gambar 2.21 – Geser Blok
(AISC, 2005)
Keruntuhan geser blok merupakan hasil penjumlahan antara tarik leleh,
geser fraktur, dan tahanan nominal kemudian ditentukan oleh persamaan
berikut:
- Geser leleh dengan tarik fraktur
𝑓𝑢. 𝐴𝑛𝑡 ≥ 𝑓𝑢. 𝐴𝑛𝑣 2.76
Maka,
𝑁𝑛 = 0,6𝑓𝑦. 𝐴𝑔𝑣 + 𝑓𝑢. 𝐴𝑛𝑡 2.77
- Geser fraktur dengan tarik leleh
𝑓𝑢. 𝐴𝑛𝑡 < 0,6𝑓𝑢 2.78
Maka,
𝑁𝑛 = 0,6𝑓𝑦. 𝐴𝑛𝑣 + 𝑓𝑢. 𝐴𝑔𝑡 2.79
Keterangan : Agv = Luas kotor/bruto akibat geser (mm2)
Anv = Luas netto akibat geser (mm2)
Agt = Luas kotor/bruto akibat tarik (mm2)
Ant = Luas netto akibat tarik (mm2)
fy = Tegangan leleh (MPa)
fu = Tegangan fraktur/putus (MPa)
2.7 Perencanaan Sambungan
Secara umum, sambungan terdiri dari sambungan baut dan sambungan las
pada konstruksi jembatan rangka baja. Sambungan diperlukan untuk menyatukan
bagian-bagian dari struktur. Sambungan berfungsi untuk menerima kondisi batas-
batas tertentu. Efek gaya yang terjadi akan terfaktor pada sambungan dan efek
33
kekuatan struktur pada waktu yang sama dan juga efek gaya yang bekerja sekitar
75% pada struktur.
2.7.1 Sambungan Las
Pada umumnya sambungan las yang sering digunakan yaitu las sudut (fillet
welds). Berikut ini ukuran minimum yang digunakan dalam sambungan las:
Tabel 2.10 – Ukuran minimum las sudut
(SNI T-03:2005)
Kuat rencana satuan panjang sudut dapat diasumsikan sebagai berikut:
- Berdasarkan bahan las
∅𝑓 𝑅𝑛𝑤 = 0,75𝑡𝑡(0,6 𝑓𝑢𝑤) 2.80
- Berdasarkan bahan dasar
∅𝑓 𝑅𝑛𝑤 = 0,75𝑡𝑡(0,6 𝑓𝑢) 2.81
Las sudut akan memikul gaya terfaktor per satuan panjang las, sehingga
memiliki syarat sebagai berikut:
𝑅𝑢 = ∅𝑅𝑛𝑤 2.82
Keterangan : ∅𝑓 = faktor reduksi kekuatan saat fraktur senilai 0,75
fuw = tegangan tarik putus logam las (MPa)
fu = tegangan tarik putus bahan dasar (MPa)
tt = tebal las rencana (mm)
2.7.2 Sambungan Baut
Berdasarkan SNI 1729 tahun 2015, kapasitas baut dapat ditinjau dari:
a. Kekuatan geser
𝑅𝑛 = 𝐹𝑛𝐴𝑏 2.83
Suatu baut yang memikul gaya terfaktor, Ru harus memenuhi:
𝑅𝑢 ≤ ∅𝑅𝑛 2.84
34
Keterangan: Ø = faktor reduksi kekuatan yaitu 0,75
Rn = kuat nominal baut (berdasarkan pada kekuatan geser,
tarik, tumpuan diambil nilai yang terkecil)
b. Tinjauan pelat
Gambar 2.22 – Robekan baut terhadap pelat sambung
(AISC, 2005)
Potongan 1-3 : 𝐴𝑛𝑡 = 𝐴𝑔 − 𝑛𝑑𝑡 2.85
Potongan 1-2-3 : 𝐴𝑛𝑡 = 𝐴𝑔 − 𝑛𝑑𝑡 + Σ𝑆2𝑡
4𝑢 2.86
Keterangan: Ag = luas penampang bruto (mm2)
n = banyak lubang dalam garis potongan
d = diameter lubang (mm)
t = tebal penampang (mm)
s = jarak antar sumbu lubang arah sejajar dengan sumbu
komponen struktur (mm)
u = jarak antar sumbu lubang arah tegak lurus dengan
sumbu komponen struktur (mm)
2.8 Perencanaan Perletakan Jembatan
Pada perencanaan perletakan jembatan, digunakan elastomer (elastomer
bearings) sebagai pijakan perletakan dari kedua ujung jembatan. Berikut ini
beberapa hal yang perlu diketahui tentang perletakan elastomer:
a. Perletakan terdiri dari satu lapis atau lebih yang melekat pada pelat yang
terjadi secara komposit;
35
b. Terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
- Karet bantalan polos (plain elastomeric bearing pad). Jenis ini hanya cocok
pada konstruksi jembatan yang bebannya kecil dan memiliki nilai tegangan
geser yang kecil. Jenis elastomer ini tidak mempunyai pelat baja di
dalamnya.
- Karet bantalan berlapis pelat baja (steel reinforce elastomeric bearing pad).
Mempunyai beberapa lapisan karet yang terpisah oleh pelat baja, biasanya
berbentuk bantalan agar dapat menampung pergerakan yang disebabkan
oleh deformasi geser dan rotasi. Elastomer ini sangat cocok untuk
konstruksi jembatan yang bebannya tinggi dan dilalui kendaraan besar;
Gambar 2.23 – Jenis – Jenis perletakkan elastomer
(https://bantalanjembatanabadi.wordpress.com/)
c. Perlu melakukan modifikasi yang sesuai agar mampu menahan beban;
d. Memiliki beban maksimum arah vertikal sebesar 5000 kN;
e. Peletakan ini memiliki kelemahan, yaitu berpotensi terjadinya rotasi dan
tipikal perpindahan maksimum sebesar 50mm;
f. Baik digunakan untuk menahan gempa sebagai peredam (buffer);
g. Tidak membutuhkan perawatan minimum.
Berdasarkan pedoman perencanaan elastomer tahun 2015, perencanaan
perletakan elastomer dirumuskan sebagai berikut:
- 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 = 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 + 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑖
- Menghitung tegangan rata-rata:
𝜎𝑠 = 𝑃𝐷𝐿+𝑃𝐿𝐿
𝐴 2.87
𝜎𝐿 = 𝑃𝐿𝐿
𝐴 2.88
Keterangan: σS = Tegangan rata-rata akibat beban total (MPa)
36
σL = Tegangan rata-rata akibat beban hidup (MPa)
PDL = Beban mati rencana (N)
PLL = Beban hidup rencana (N)
A = Luas keseluruhan (mm2)
- Menghitung faktor bentuk (S) untuk elastomer tanpa lubang. Berikut
batasan yang ditetapkan dalam menghitung faktor bentuk (S):
Untuk bantalan polos : 1 < 𝑆 ≤ 4
Untuk bantalan berlapis : 4 < 𝑆 ≤ 12
𝑆 = 𝐴
𝐼𝑝 𝑥 ℎ𝑟𝑖 2.89
𝐼𝑝 = 2𝐿 + 𝑊 2.90
𝐴 = 𝐿 𝑥 𝑊 2.91
Keterangan: S = Faktor bentuk
A = Luas keseluruhan (mm2)
Ip = Keliling elastomer, termasuk lubang (mm)
hri = Ketebalan efektif karet pada lapisan antara (mm)
- Menghitung deformasi bantalan
𝜎𝑠 ≤ 7,0 𝑀𝑃𝑎 2.92
𝜎𝑠 ≤ 1,0 𝐺𝑆 2.93
Keterangan: G = Modulus geser elastomer (MPa)
S = Faktor bentuk
σS = Tegangan rata-rata akibat beban total (MPa)
- Menghitung tebal pelat
ℎ𝑠 ≥3ℎ𝑟𝑚𝑎𝑥𝜎𝑠
𝑓𝑦 2.94
Keterangan: hs = Tebal lapisan pelat pada elastomer berlapis (mm)
hrmax= Tebal maksimum lapisan pada bantalan (mm)
σS = Tegangan rata-rata akibat beban total (MPa)
fy = Batas leleh pelat baja (MPa)
37
- Menghitung rotasi pada bantalan
𝜎𝑠 = 0,5 𝐺 . 𝑆 (𝐿
ℎ𝑟𝑖)
2 𝜃𝑠,𝑥
𝑛 2.95
Keterangan: G = Modulus geser elastomer (MPa)
S = Faktor bentuk
L = Panjang bantalan elastomer (mm)
hri = Tebal lapisan internal (mm)
Ɵs,x = Perputaran maksimum tiap sumbu (rad)
n = Jumlah lapisan karet