bab ii pulmo
DESCRIPTION
edukasiTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1 Tuberkulosis Paru (TB) adalah
suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia,
misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang
padat.3
2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di
Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun
2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh
masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena
infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per
tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya
mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di
masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif.2
2.3 Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
ii. Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
3
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi:
a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
di atas
b) memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi
c) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped)
4
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan penyembuhannya
Masalah : Mengapa M. Tuberculosis sering menginfeksi paru orang dewasa pada
bagian apeks?
Jawab : Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, oleh karena itu pada kasus TBC biasanya mereka ditemukan pada daerah yang banyak udaranya, dan bagian apeks paru merupakan tempat yang kaya akan oksigen.2.4 Klasifikasi Tuberkulosis
a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura5
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
5
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis
2. Berdasarkan Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru : adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah minum OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) : Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau
biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan
dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll
TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
6
f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi
Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau
patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan
TB ekstra paru aktif.
7
Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis
2.5 Diagnosis
Manifestasi Klinik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik :
batuk > 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun
8
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.
2.7 Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, feces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
9
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada
gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium,
harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh
dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas
saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
10
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
/BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
Mikroskopik
Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali
positif, 2 kali negatif ® BTA positif
- bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO).
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan
cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
11
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,
baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
12
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kavitas
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal
2.8 Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13) Bentuk lain
teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube
(MGIT).
2. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR
dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan /
spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan
organ yang terlibat.
13
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik
ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Immunochromatographic Tuberculosis
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT) adalah uji serologi untuk
mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik
TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma
M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c.Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para
klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi
yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi
antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG
14
berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan
kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering
digunakan untuk mendiagnosis TB ekstra paru, tetapi tidak cukup baik untuk
diagnosis TB pada anak. Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).·
- Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
15
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat
besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif.
Gambar 4. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
2.9 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan
16
a. Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Streptomisin , Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
Kapreomisin, Sikloserin, PAS (dulu tersedia), Derivat rifampisin dan INH,
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 2.1 Jenis dan dosis OAT
Obat Dosis
(mg/kg
BB/Hari)
Dosis yg dianjurkan Dosis
Maks
(mg)
Dosis (mg) / berat
badan (kg)
Harian
(mg/kgBB
hari)
Intermitten
(mg/Kg/BB/
kali)
< 40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB
750 1000
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioritas utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.
17
Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada
tabel 3 Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE
150/75/400/27
5
RHZ
150/75/40
0
RHZ
150/150/50
0
RH
150/7
5
RH
150/150
30-37
38-54
55-70
>71
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit
/ dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.
b. Panduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi TB paru (kasus baru), BTA positif
atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan :
- 2 RHZE / 4 RH atau
- 2 RHZE/ 6HE atau
18
- 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk
destroyed lung)
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi
- TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
: 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3
- TB paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2
RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan
- TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi
seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin,
ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal
dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.
a. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
b. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
- TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan
dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi
aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.
Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
19
2) BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif
pengobatan diteruskan Jika memungkinkan seharusnya
diperiksa uji resistensi terhadap OAT
- TB Paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih
sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, beta laktam,
makrolid. Pengobatan minimal 18 bulan.
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
20
Tabel 4. Ringkasan panduan obat
Katego
riKasus Paduan obat yang
diajurkanKeterangan
I
TB paru BTA (+),
BTA (-), lesi luas
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
II
- Kambuh
-Gagal pengobatan
-RHZES / 1RHZE /
sesuai hasil uji resistensi
atau 2RHZES / 1RHZE /
5 RHE
-3-6 kanamisin,
ofloksasin, etionamid,
sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
Bila
streptomisin
alergi, dapat
diganti
kanamisin
II
- TB paru putus
berobat
Sesuai lama pengobatan
sebelumnya, lama
berhenti minum obat dan
keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi
saat ini (lihat uraiannya)
atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III
-TB paru BTA neg.
lesi minimal
2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV
- Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
21
IV
- MDR TB
Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H
seumur hidup
Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB5
2.10 Efek Samping Obat
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
22
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat
menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti
dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout,
hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan
reaksi kulit yang lain
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau
30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan
akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur pasien. Resiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli). Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul
23
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.
Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan
Penyebab
Tatalaksana
Minor
OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum
malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin
B6 (piridoksin)
1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri
penjelasan,
tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor
Hentikan obat
Gatal dan kemerahan pada
kulit
Semua jenis OAT Beri
antihistamin
dan dievaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
24
dihentikan
Gangguan keseimbangan
(vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor
Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura Rimpafisin Hentikan
Rimpafisin
Pengobatan suportif dan simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain
OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
- TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
25
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat
Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a.Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
· Bronkoskopi
· Punksi pleura
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
2.11 Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus
1. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoksik dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
26
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
27
2. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. 3. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). 4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip- prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
28
5. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. 6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. 7.Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) dapat diekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
29
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. 9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: • Meningitis TB • TB milier dengan atau tanpa meningitis • TB dengan Pleuritis eksudativa • TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
2.12 KomplikasiPada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,
baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah- Pneumotoraks- Destroyed lung- Gagal napas- Gagal jantung- Efusi pleura
30
2.13 Prognosis Jika berobat teratur sembuh total (95%) Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 %
yang mungkin relaps Terapi yang cepat dan legeartis akan sembuh baik Bila daya tahan baik dapat sembuh sendiri.4
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaannya di Indonesia. 2011
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. 4th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2230-2231.
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB) ; Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2009.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, 2006.
32