bab ii kajian teori 2.1 konsep kinerja 2.1.1 pengertian...
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Kinerja
2.1.1 Pengertian Kinerja
Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja
pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja
perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan kinerja organisasi adalah totalitas
hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi
memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang
dimiliki oleh organisasi yang digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif
sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut. Tercapainya kinerja
yang maksimal tidak akan terlepas dari dari peran pemimpin birokrasi dalam
memotivasi bawahannya dalam melaksanakan pekerjaan secara efisien dan efektif.
Ada berbagai pendapat tentang kinerja, seperti dikemukakan oleh Rue dan
Byars (dalam Pasolong 2008:197), mengatakan bahwa kinerja adalah sebagai tingkat
pencapaian hasil. Kinerja menurut Interplan (dalam Pasolong 2008:197), adalah
berkaitan dengan operasi, ativitas, program,dan misi organisasi. Murphy dan
Cleveland (dalam Pasolong 2008:197), mengatakan bahwa kinerja adalah kualitas
prilaku yang berorientasi pada tugas dan pekerjaan.
6
Sedangkan menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia atau
disingkat LAN-RI (1999:3), merumuskan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijaksanaan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Konsep kinerja yang
dikemukakan oleh LAN-RI lebih mengarah kepada acuan kinerja suatu organisasi
publik yang cukup relevan sesuai dengan srategi suatu organisasi yakni dengan misi
dan visi yang lain yang ingin dicapai.
Selanjutnya Gibson (dalam Pasolong 2008:197), mengatakan bahwa kinerja
seseorang ditentukan oleh kemampuan dan motivasinya untuk melaksanakan
pekerjaan. Dikatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan ditentukan oleh interaksi antara
kemampuan dan motivasi. Keban (1995:1), kinerja adalah tingkat pencapaian tujuan.
Sedangkan Timpe (dalam Pasolong 2008:197), kinerja adalah prestasi kerja,
yang ditentukan oleh faktor lingkungan dan perilaku manajemen. Hasil penelitian
Timpe menunjukan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan begitu penting
untuk mendorong tingkat kinerja pegawai yang paling efektif dan produktif dalam
interaksi sosial organisasi akan senantiasa terjadi adanya harapan bawahan terhadap
atasan dan sebaliknya.
Sedangkan Mangkunegara (dalam Pasolong 2008:197), menyatakan bahwa
kinerja adalah merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang di capai oleh
7
seseorang dalam melaksanakan melaksanakan fungsinya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya menurut Prawirosentono (1999:2), mengatakan kinerja adalah
hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam
upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
ddan sesuai dengan moral dan etika.
Sinambela dkk. (2006:136), mendefisinikan kinerja pegawai dalam
melakukan sesuatu dengan keahlian tertentu. Hal senada dikemukakan oleh Robbins
(1989:439), bahwa kinerja adalah hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai dibandingkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dari paparan di atas maka yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian
ini adalah kinerja merupakan suatu motivasi atau kemampuan seseorang untuk
melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh pimpinan.
2.1.2 Pengertian Kinerja Pegawai
Kinerja pegawai adalah sebagai evektivitas kerja secara individu atau
kelompok untuk kebutuhan yang diterapkan dari setiap usaha-usaha yang sistemik
dan meningkatkan kemampuan seseorang secara terus menerus untuk mencapai
kebutuhan secara efektif.
8
Wibawa (dalam Pasolong 2007:176) Kinerja mempunyai beberapa elemen
yaitu:
a. Hasil kerja dicapai secara individual atau secara institusi, yang berarti kinerja
tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh secara sendiri-sendiri atau
kelompok.
b. Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga yang diberikan wewenang
dan tanggung jawab, yang berarti orang atau lembaga diberikan hak dan
kekuasaan untuk ditindaklanjuti, sehingga pekerjaannya dapat dilakukan
dengan baik.
Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam melaksanakan
tugas individu atau lembaga tentu saja harus mengikuti aturan yang telah diterapkan.
Mangkunegara, (dalam Pasolong 2006:67)”Hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.”
Deskripsi dari kinerja menyangkut tiga komponen penting, yaitu: tujuan,
ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi
untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberi arah dan memengaruhi
bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap
personel. Walaupun demikian, penentuan tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu
dibutuhkan ukuran, apakah seseorang telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk
9
kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan memegang
peranan penting.
2.1.3 Pengukuran dan Penilaian Kinerja
Pengukuran kinerja pada dasarnya digunakan untuk penilaian atas
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program, dan kebijakan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan
visi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator kinerja
dan penetapan capaian indikator kinerja.
Dwiyanto (dalam Pasolong 2007:182), mengatakan bahwa penilaian kinerja
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai misinya.
Selanjutnya menurut Donovan dan Jakson (dalam Pasolong 2007:182),
mengatakan bahwa secara teoritik penilaian kinerja sangat erat kaitanya dengan
analisis pekerjaan. Artinya, suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih terdapat
ketidakjelasan tentang pekrjaan itu sendiri, yang merupakan sumber daya manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa efektivitas penilaian kinerja sangat tergantung
kepada baik buruknya manajemen sumber daya manusia yang dimiliki.
Penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistimatis dari pekerjaan pegawai
dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian adalah proses penaksiran atau
penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberapa objek, orang ataupun sesuatu.
Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui
apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya dalam suatu organisasi
10
melalui instrumen penilaian kinerja. Pada hakikatnya, penilaian kinerja merupakan
suatu evaluasi terhadap penampilan kerja individu (personel) dengan
membandingkan dengan standard baku penampilan.
Berdasarkan pendapat dua ahli diatas, maka dapat dikatakan bahwa penilaian
kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja pegawai yang dilakukan pimpinan
perusahaan secara sistimatis berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Pemimpin perusahaan yang menilai kinerja pegawai, yaitu atasan pegawai langsung,
dan atasan tak langsung. Disamping itu pula, kepala bagian personalia berhak pula
memberikan penilaian prestasi terhadap semua pegawainya sesuai dengan data yang
ada dibagian personalia.
Menurut Handoko (2008:69), mengatakan bahwa penilaian kinerja dapat
digunakan untuk :
a. Perbaikan kinerja, umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan,
manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan
mereka untuk meningkatkan prestasi.
b. Penyesuaian-penyesuaian gaji, evaluasi kinerja membantu para pengambil
keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk
gaji lainnya.
c. Keputusan-keputusan penempatan, promosi dan mutasi biasanya didasarkan
atas kinerja masa lalu. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan
terhadap kinerja masa lalu.
11
d. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan, kinerja yang jelek
mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian juga sebaliknya, kinerja
yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.
e. Perencanaan dan pengembangan karier, umpan balik prestasi mengarahkan
keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus
diteliti.
f. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing, kinerja yang baik atau buruk
adalah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen
personalia.
g. Melihat ketidak akuratan informasional, kinerja yang jelek mungkin
menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana
sumber daya manusia atau komponen-komponen lain, seperti sistim informasi
manajemen. Menggantungkan pada informasi yang tidak akurat dapat
menyebabkan keputusan-keputusan personalia yang tidak tepat.
h. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan, kinerja yang jelek
mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian
prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
i. Menjamin kesempatan yang adil, penilaian kinerja yang akurat akan
menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa
deskriminasi.
j. Melihat tantangan-tantangan eksternal, kadang-kadang prestasi seseorang
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti keluarga,
12
kesehatan dan masalah-masalah pribadi lainnya. Berdasarkan penilaian
kinerja, departemen personalia mungkin dapat menawarkan bantuan.
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kinerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu organisasi dapat dijelaskan
sebagai berikut (Pasolong, 2007:186-189).
a. Kemampuan
Pada dasarnya kemampuan menurut robbins adalah suatu kapasitas individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
b. Kemauan
Kemauan atau motivasi menurut robbins adalah kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi.
c. Energi
Energi menurut Jordan E. Ayan adalah Pemercik api yang menyalakan jiwa.
Tampa adanya energi psikis dan fisik yang mencukupi, perbuatan kreatif
pegawai terhambat.
d. Teknologi
Teknologi menurut Gibson, mengatakan bahwa teknologi adalah penerapan
pengetahuan untuk melakukan pekerjaan.
e. Kompensasi
13
Kompensasi adalah sesuatu yang diterima oleh pegawai sebagai balas jasa
atas kinerja dan bermamfaat baginya.
f. Kejelasan tujuan
Kejelasan tujuan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian
kinerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Widodo, mengatakan bahwa seorang
pemimpin birokrasi harus menetukan apa yang menjadi tujuan dari organisasi
pemerintah dan menetukan pula kriteria kinerjanya.
g. Keamanan
Keamanan pekerjaan menurut Geeorge Strauss dan Leonard Sayles adalah
sebuah kebutuhan manusia yang fundamental, karena pada umumnya orang
menyatakan lebih penting keamanan pekerjaan daripada gaji atau kenaikan
pangkat.
Untuk mengetahui optimal atau tidaknya dapat dilihat dari indikator-indikator
yang timbul dan yang digunakan untuk mengukur kinerja tersebut, hal ini
diungkapkan oleh Dwiyanto (dalam Pasolong, 2006:50-51) mengenai indikator yang
digunakan untuk mengukur kinerja yaitu sebagai berikut:
a. Produktivitas, bahwa produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi,
tetapi juga mengukur efektivitas pelayanan. Dan pada umumnya dipahami
sebagai ratio antara input dan output.
b. Kualitas pelayanan, maksudnya bahwa kualitas dari pelayanan yang diberikan
sangat penting untuk dipertahankan.
14
c. Reponsivitas, maksudnya bahwa birokrasi harus memiliki kemampuan untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan
serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas, maksudnya bahwa pelaksanaan kegiatan harus dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dan kebijakan birokrasi
baik yang eksplisit maupun yang implisit.
e. Akuntabilitas, maksudnya bahwa seberapa besar kebijakan dan kegiatan
birokrasi tunduk kepada para pejabat yang dipilih oleh rakyat, dimana para
pejabat politik tersebut dengan sendirinya akan selalu memprioritaskan
kepentingan rakyat.
2.2 Konsep Pelayanan
2.2.1 Pengerian Pelayanan
Pelayanan pada dasarnya sebagai aktivitas seseorang, sekelompok dan atau
organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk untuk memenuhi kebutuhan.
Monir (dalam Pasolong 2008:198), mengatakan bahwa pelayanan adalah proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain cara langsung. Warella (dalam
Pasolong 2008:198), pelayanan (service) adalah sebagai suatu perbuatan (deed), suatu
kinerja ( ferfomance) atau suatu usaha (effort).
Menurut pendapat Ivancecevich, Lorenzi, Skiner G Crosby (dalam Pasolong
2008:198), menyatakan bahwa pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat
15
mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan
peralatan. Gronroos (dalam Pasolong 2008:199), menyatakan bahwa pelayanan
adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak
dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan
pegawai atau hal-hal yang disediakan oleh organisasi pemberi pelayanan yang
dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.
Sedangkan menurut pendapat penulis pelayanan merupakan segala bentuk
aktifitas yang dilakukan oleh instansi atau perusahaan guna untuk memenuhi harapan
masyarakat atau konsumen.
2.2.2 Pengertian Pelayanan Publik
Pelyanan publik menurut Sinambela (dalam Pasolong 2008:199) adalah
sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia
yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik.
Kurniawan (2005:6) menyatakan bahwa pelayanan public adalah pemberian
pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan.
2.2.3 Jenis-Jenis Pelayanan Publik
16
Keputusan menpan nomor 63 tahun 2004 mengelompoan tiga jenis pelayanan
dari instansi pemerintah serta bumn/bumd. Pengelompokan jenis pelayanan tersebut
didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang dihasilkan,
yaitu:
a. Pelayanan administratif.
b. Pelayanan barang.
c. Pelayanan jasa.
2.2.4 Indikator Kinerja Pelayanan
Indikator kinerja yang dimaksud oleh LAN-RI (1999:7), adalah ukuran
kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan
yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan indikator masukan ( inputs)
keluaran (outpus), (outcomes), manafaat (benefits) dan dampak (Impacts).
Lebih lanjut LAN-RI mendefinisikan indikator masukan (inputs) adalah
segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator ini berupa dana, sumber daya manusia, informasi,
kebijakan atau peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator keluaran
(outputs) adalah sesuatu yang dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau
non fisik. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan
fungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator
manfaat (benefits) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
17
kegiatan. Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif
maupun negative pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja,
yaitu: (1) spesifik dan jelas, (2) dapat terukur secara objektif baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif, (3) dapat menunjukan pencapaian keluaran, hasil,
manfaat, dan dampak, (4) harus cukup fleksibel dan sensitive, terhadap perubahan,
dan (5) efektif yaitu dapat dikumpulkan diolah dan dianalisis secara efisien dan
efektif.
Dwiyanto (dalam Pasolong 2008:203), menjelaskan beberapa indikator yang
digunakan utuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu sebagai berikut.
1. Produktivitas, yaitu tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
mengukur efektivitas pelayanan.
2. Kualitas layanan, yaitu: cenderung menjadi penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi pelayanan publik
3. Responsivitas, yaitu: kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
18
4. Responsibilitas, yaitu: menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar
dengan kebijakan birokrasi.
5. Akuntabilitas, yaitu: menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
birokrasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.
2.2.5 Pengukuran Kinerja Pelayanan
Pengukuran kinerja pada dasarnya digunakan untuk penilaian atas
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program, atau kebijakan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan
visi instansi pemerintah. Pengukur kinerja mencakup penetapan indikator kinerja dan
penepatan capaian indikator kinerja.
Penilaian kinerja merupakan evaluasi keberhasilan atau kegagalan seseorang
dalam menjalankan tugasnya. Jika penilaian kinerja terhadap birokrasi, berarti
evaluasi keberhasilan atau kegagalan birokrasi dalam menjalankan tugasnya sebagai
pelayanan masyarakat. Gary Dessler (dalam Pasolong 2008:206), menyatakan bahwa
penilaian kinerja adalah merupakan upaya sistematis untuk membandingkan apa yang
dicapai seseorang dibandingkan dengan standar yang ada. Tujuanya, yaitu untuk
mendorong kinerja sesorang agar bisa berada diatas rata-rata.
Schuler dkk dalam Keban (2004:197), mengatakan bahwa system penilaian
kinerja diartikan sebagai suatu proses penilaian kinerja. Dalam pandangan beliau
bahwa proses penilaian kerja dapat digunakan : (1) pendekatan komparatif, (2)
19
standar-standar absolute, (3) pendekatan tujuan, (4) indeks yang bersifat langsung
atau objektif.
Dwiyanto (dalam Pasolong 2008:207), mengatakan bahwa penilaian kinerja
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai misalnya. Untuk birokrasi publik, informasi mengenal
kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan
oleh birokrasi itu memenuhi harapan dan memuaskan masyarakat.
Donovan G Jakson (dalam Pasolong 2008:207), mengatakan bahwa secara
teoritik penilaian kinerja sangat erat kaitanya dengan analisis pekerjaan. Artinya,
suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih terdapat ketidakjelasan tentang
pekerjaan itu . karena itu, efektivitas penilaian sangat tergantung pada penjelasan
batasan atau definisi dari suatu pekerjaan itu sendiri, yang merupakan sumber daya
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa efektivitas penilaian kinerja sangat
tergantung kepada baik buruknya manajemen sumber daya manusia yang dimiliki.
2.3 Konsep Kualitas Pelayanan
2.3.1 Pengertian Kualitas
Kulitas pada dasarnya merupakan kata yang menyandang arti relatif karena
bersifat abstrak , kualitas dapat digunakan untuk menialai atau menentukan tingkat
penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau
atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat
20
dikatakan baik, sebaliknya jika persyaratan tidak terpenuhi maka dapat dikatakan
tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan kualitas diperlukan indicator,
Karena spesifikasi yang merupakan indikator harus dirancang berarti kualitas secara
tidak lansung merupakan hasil rancangan yang tidak tertutup kemungkinan untuk
diperbaiki atau ditingkatakan.
Mutu sebenarnya tidak dapat diukur karena merupakan hal yang maya
(maginer) jadi bukan suatu besaran yang terukur. Oleh sebab itu, perlu dibuat
indikator yang merupakan besaran yang terukur demi untuk menentukan kualitas baik
produk maupun jasa. Berbagai upaya harus dilakukan untuk membuat indikator yang
terukur dan cocok bagi masalah penentuan kualitas sedemikian rupa sehingga
pembuatan produk atau pelayanan jasa dan pengontrolan kualitas dapat terjamin
keterlaksanaanya.
Kualitas menurut Tjiptono (2004:2), adalah (1) kesesuaian dengan
persyaratan/tuntutan, (2) kecocokan untuk pemakaian, (3) perbaiakan atau
penyempurnaan keberlanjutan, (4) bebas dari kerusakan, (5) pemenuhan kebutuhan
pelanggan semenjak awal dan setiap saat, (6) melakukan segala sesuatu secara benar
semenjak awal, (7) sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.
2.3.2 Definisi Pelayanan Yang Berkualitas
Selanjutnya pelayanan yang berkualtas menurut Osborne dan Gebler (dalam
Pasolong 2008:211), serta Bloom (dalam pasolong 2008:211), antara lain memiliki
21
cirri-ciri seperti: tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta
berorientasi kepada pelanggan.
Sinambela dkk. (2006:6), mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima
tercermin dari: (1) transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, muda dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai
serta mudah dimengerti, (2) akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (3)
kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan peimberi
dan menerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektivitas, (4) partisifatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat, (5)
kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek
apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan (6) keseimbangan
hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara
pemberi dan penerima pelayanan publik.
Pendapat lain dari Kasmir (dalam Pasolong 2008:211), mengatakan bahwa
pelayanan yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan
yang dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggan dengan standar yang telah
ditentukan.
22
Menurut Zethami G Haywood Farmer dalam Warela (dalam Pasolong
2008:211), mengatakan ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu : (1)
Intangibility, (2) Heterogeinity, berarti pemakaian jasa atau klien atau pelanggan
memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama
mungkin mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula perpomence sering bervariasi
dari suatu prosedur keprosedur lainnya bahkan dari waktu-kewaktu.
Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak
terpisahkan. Konsekkwensinya dalam industry pelayanan kualitas tidak direkayasa
kedalam produksi di sektor pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan.
Mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi penting
karena dapat memberikan mamfaat bagi organisasian yang bersangkutan. Pelayanan
berkualitas atau pelayanan prima yang berorentasi pada pelanggan sangat tergantung
pada kepuasan pelanggan.
2.3.3 Kriteria Kualitas Pelayanan
Kriteria yang digunakan untuk melakukan penilaian kualitas pelayanan
publik dengan mengacu kepada KEPMEN PAN No.81 Tahun 1993 adalah sebagai
berikut :
23
a. Kriteria Kuantitatif
1) Kesederhanan, yaitu bahwa prosedur/tatacara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang menerima pelayanan.
2) Kejelasan dan kepastian, yaitu mencakup :
a) Prosedur/tatacara pelayanan,
b) Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administrativ.
c) Unit kerja atau pejabat yang berwewenang dan bertanggun jawab
dalam memberikan pelayanan.
d) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tatacara pembayarannya
e) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
3) Keamanan, yaitu bahwa proses hasil pelayanan dapat memberikan
keamanan, kenyamanan dan kepastian hokum bagi masyarakat.
4) Keterbukaan, yaitu prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggun jawab pemberi pelayanan waktu penyelesaian rincian biaya/tariff
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib
ditraspormasikan secara terbuka agar mudah diketahui oleh masyarakat, baik
diminta maupun tidak diminta.
5) Efisiensi, yaitu bahwa :
a) Persyaratan pelayanan hanya dibatasi hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
24
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang
diberikan.
b) Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses
pelayanan masyarakat bersangkutan mempersyaratkan adanya
kelengkapan persyaratan satuan kerja/instansi pemerintah lain yang
terkait.
6) Ekonomis, yaitu bahwa pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara
wajar dengan memeperhatiakan :
a) Nilai barang atau jasa pelayanan masyarakat tidak menuntut biaya
yang terlalu tinggi diluar kewajaran.
b) Kondisi atau kemampuan masyarakat untuk membayar.
c) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Keadilan, yaitu bahwa pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan
dalam kurung waktu yang telah ditentukan.
b. Kriteria Kualitatif
1) Jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (perhari, perbulan
atau pertahun) serta perkembangan pelayanan dari waktu-kewaktu,
apakah menunjukan peningkatan atau tidak.
2) Lamanya waktu pemberian pelayanan.
25
3) Ratio/perbandingan antara jumlah pegawai/tenaga yang ada dengan
jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan untuk menunjukan
tingkat produktifitas kerja.
4) Penggunaan perangkat-perangkat moderen untuk mempercepat dan
mempermudah pelaksanaan.
5) Frekwensi keluhan dan ujian dari masyarakat mengenai kinerja pelayanan
yang diberikan, baik melalui media masa maupun melalui kotak saran
yang disediakan.
6) Penilaian fisik lainnya, misalnya kebersihan dan kesejukan lingkungan,
motifasi kerja pegawai dan lain-lain aspek yang mempunyai pengaruh
langsung terhadap kinerja pelayanan publik.
Dewasa ini kualitas telah menjadi faktor yang sangat dominan terhadap
keberhasilan suatu organisasi. Kualitas menjadi pedoman utama dalam
pengembangan dan keberhasilan implementasi program-program manajerial dan
kerekayaasaan untuk untuk mewujudkan tujuan-tujuan bisnis utama.
Secara etimologi tidak mudah mendefinisikan atau memberikan pengetian
mengenai kualitas. Namun demikian ada beberapa definisi umum yang dibrikan oleh
beberapa pakar kualitas. Dikemukakan oleh Josep M Juran (Tjiptono, 2004:11)
bahwa kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian (fitness for use). Definisi ini
menekankan orientasi pada pemenuhan harapan pelanggan.
26
Dikemukakan pula oleh Taguchi (Tjiptono, 2004:12) bahwa kualitas adalah
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu produk bagi masyarakat setelah produk
tersebut dikirim, selain kerugian-kerugian yang disebabkan fungsi intrinsik produk.
Secara sederhana pengertian kualitas pelayanan dapat dinyatakan sebagai
perbandingan antara pelayanan yang diharapkan konsumen dengan pelayanan yang
diterimanya (Parasuraman, Zeithami, dan Berry, 1995:240) menurut Zeithami, Berry,
dan Parasuraman (dalam Tjiptono, 2004:12) kualitas yang dirasakan didefinisikan
sebagai penilaian konsumen terhadap keseluruhan keunggulan produk, sedangkan
kualitas pelayanan yang dirasakan merupakan pertimbangan global yang brhubungan
dengan suoerioritas dari pelayanan.
Menurut The European Organization For Quality Controland The American
Society (Y, Warella, 1997:16) “kualitas adalah bentuk-bentuk istimewa dari suatu
produk atau pelayanan yang memuaskan kebutuhan”.
Dikemukakan oleh Logothetis (Y, Warella, 1997:17) “kualitas adalah
pemenuhan terhadap kebutuhan dan harapan pelanggan atau klien serta kemudahan
memperbaikinya secara berkesinanbungan”. William E Doming (Tjiptono, 1995:48)
menjelaskan “kualitas merupakan suatu tingkat yang dapat diprediksi dari
keseragaman dan ketergantungan pada biaya yang rendah dan sesuai dengan pasar”.
27
Dalam perspektif TQM (Total Quality Management), kualitas di pandang
secara lebih luas, tidak hanya aspek hasil saja yang di tekankan tetapi juga proses,
lingkungan dan manusia. Hal tersebut tampak dalam definisi yang dirumuskan oleh
Goetsh dan Davis (Tjiptono, 2004:51), yaitu bahwa kualitas merupakan suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan.
Kualitas adalah penilaian subyektif pelanggan. Penilaian ini ditentukan oleh
persepsi pelanggan terhadap jasa, persepsi tersebut dapat berubah, karena pengaruh.
Misalnya iklan yang efektif, reputasi suatu jasa tertentu, pengalaman, teman dan
sebagainya, jadi yang penting kita adalah bagaimana jasa kita dipersepsikan oleh
pelanggan dan kapan persepsi pelanggan berubah.
Untuk menentukan kualitas pelayanan, menurut Garvin (dalam Tjiptono,
2004:51), ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam
perspektif inilah yang bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda
dalam situasi yang berlainan. Kelima macam perspektif kualitas tersebut meliputi
(Tjiptono, 2004:52).
1. Transcendental Approach.
Dalam pendekatan ini kualitas dipandang sebagai Inuate Exllence,
dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit untuk
didefinisikan dan operasionalisasikan.
28
2. Product Based Approach
Pendekatan ini mengangap bahwa kualitas merupakan karakteristik
atau atribut yang dikuantitatifkan dan dapat di ukur. Perbedaan dalam
kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah bebebrapa unsur atau akibat
yang dimiliki produk.
3. User-based Approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung
pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan
preferensi seseorang (misalnya Perceived Quality) merupakan produk yang
berkualitas paling tinggi.
4. Manufacturing-based Approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan
praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan
kualitas sebgai kesesuaian/sama dengan persyaratan (Konformance To
Requirements).
5. Value-based Approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan
mempertimbangkan Trade Off antara kinerja dan harga, kualitas
didefinisikan sebagai “Affordable Excellence”.
29
Berkaitan dengan masalah kualitas pelayanan, pada dasarnya kualitas
pelayanan merupakan suatu konsep yang abstrak dan sukar dipahami (Tjiptono
2004:51). Dalam hal ini dikarenakan adanya empat karakteristik jasa/layanan yang
unik yang membedakannya dari barang, yaitu tidak berwujud, tidak terpisah antara
produksi dan konsumsi, outputnya tidak terstandar dan tidak dapat disimpan (Kotler,
1997:115). Ada 2 (dua) factor utama yang mempengaruhi kualitas layanan yaitu
layanan yang diharapkan (Expected Service) dan layanan yang diterima (Perceived
Service). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang
diharapkan konsumen, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal,
tetapi sebaliknya jika layanan di terima atau dirasakan lebih rendah dari pada yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas layanan bukanlah berdasarkan sudut
pandang dan persepsi penyedia jasa/layanan melainkan berdasarkan pada persepsi
konsumen seperti yang dikemukakan Kotler (1997:116) bahwa kualitas harus dimulai
dengan kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi konsumen. Persepsi
konnsumen terhadap kualitas layanan itu sendiri merupakan penilaian menyeluruh
konsumen atas keunggulan suatu layanan. Terdapat 5 (lima) determinan kualitas jasa
yang dapat dirincikan sebagai berikut:
a. Keandalan (Realibility), adalah kemampuan untuk melaksanakan jasa
yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.
30
b. Ketanggapan (Responsiveness), adalah kemampuan untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat.
c. Keyakinan (Confidence), adalah kemampuan dan kesopanan pegawai
serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan
keyakinan atau “assurance”.
d. Empati (Emphaty), adalah syarat untuk peduli, memberi perhatian
pribadi bagi pelanggan.
e. Berwujud (Tangible), adalah penampilan fasilitas-fasilitas fisik,
peralatan, personil, dan media komunikasi.
Parasuraman, Zeithami dan Berry (Tjiptono, 2004:99) menggunakan skala
multi item yang diberi nama serudual (Service Quality) alat ini dimaksudkan untuk
mengukur harapan dan persepsi pelanggan dan kesenjangan (gap) yang ada dimodel
kualitas jasa. Dikemukakan oleh Lehtinen dan Lehtinen (dalam Tjiptono, 2004:97)
bahwa ada dua dimensi kualitas jasa, yaitu process quality (yang dievaluasi
pelanggan selam jasa yang diberikan) dan output quality yang dievaluasi setelah jasa
yang diberikan.
Menurut Gummeson (dalam Tjiptono, 2004:98) yang memfokuskan pada
sumber-sumber kulitas saja, ada empat sumber kualitas yang menentukan kualitas
jasa yang menentukan yaitu:
1. Design Quality
31
Menjelaskan bahwa kualitas jasa didesain untuk memenuhi kebutuhan
pelangggan.
2. Product Quality
Menjelaskan bahwa kualitas jasa dapat ditentukan oleh kerja sama
departemen manufaktur dan departemen pemasaran.
3. Delivery Quality
Menjelaskan bahwa kualitas jasa dapat ditentukan oleh janji perusahaan
kepada pelanggan.
4. Relationship Quality
Menjelaskan bahwa kualitas jasa ditentukan oleh hubungan professional
dan sosial antara perusahaan dengan stakeholder (pelanggan, pemasok,
agen dan pemerintah, serta karyawan perusahaan).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, Zeithami dan
Berry diidentifikasikan 10 (sepuluh) faktor utama yang menentukan kualitas jasa,
yaitu (Tjiptono, 2004:69):
1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja
(Performance) dan kemampuan untuk dipercaya (Dependability).
2. Responsiveness yaitu kemauan antara kesiapan para karyawan untuk
memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
32
3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahan memiliki
ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan
jasa tertentu.
4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui.
5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan
keramahan yang dimiliki Contact Person.
6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan
dalam bahasa yang mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran
dan keluhan pelanggan.
7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya.
8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, keragu-raguan.
9. Understanding/knowing The Customer, yaitu usaha untuk memahami
kebutuhan pelanggan.
10. Tangibles, yaitu bukti dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan
yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa.
Untuk menciptakan suatu gaya manajemen dan lingkungan yang kondusif
bagi perusahaan jasa dalam memperbaiki kualitas, ada enam prinsip yang harus
dipenuhi oleh perusahaan, yaitu meliputi (Tjiptono, 2004:75-76):
1. Kepemimpinan
33
Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari
manajemen puncak. Manajemen puncak harus memimpin perusahaaan untuk
meningkatkan kinerja kualitasnya. Tampa adanya kemimpinan dari manajemen
puncak, maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap
perusahaan.
2. Pendidikan
Semua personil perusahaan dari menejer puncak hingga karyawan
operasional harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas aspek-aspek yang perlu
mendapatkan penekanan dalam pendidikan tersebut meliputi konsep kualitas sebagai
strategi bisnis, alat dan teknik implementasi stategi kualitas dan peranan eksekutif
dalam implementasi strategi kualitas.
3. Perencanaan
Proses perencanaan strategi harus mencakup pengukuran dan tujuan kualitas
yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visinya.
4. Review
Proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi
manajemen untuk mengubah perilaku organisasional. Proses ini merupakan suatu
34
mekanisme yang menjamin adanya perhatian konstan dan terus-menerus untuk
mencapai tujuan kualitas.
5. Komunikasi
Implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh proses
komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi harus dilakukan dengan karyawan,
pelanggan dan stakeholder perusahaan-perusahaan lainya seperti pemasok, pemegang
saham, pemerintah, masyarakat umum dan lain-lain.
6. Penghargaan dan pengakuan (Total Human Reward)
Penghargaan dan pengakuan merupakan aspek yang penting dalam
implementasi strategi kualitas. Setiap karyawan yang berprestasi baik perlu diberi
penghargaan dan prestasinya tersebut diakui. Dengan demikian dapat meningkatkan
motifasi, moral kerja rasa bangga dan kepemilikan setiap orang dalam organisasi
yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi besar perusahaan dan bagi
pelanggan yang dilayani.
2.4 Kerangka Teori
Demi terapainya evektivitas kinerja diperlukan adanya pelayanan yang baik
kepada masyarakat. Kinerja pegawai walaupun dikatakan baik, namun tidak mungkin
dapat menjamin bahwa kesalahan dalam memberikan informasi dan melaksanakan
tugas yang diberikan oleh pimpinan bukanlah merupakan kinerja dan pelayanan yang
35
berkualitas. Oleh karena itu, kinerja pegawai perlu ditingkatkan untuk kualitas
pelayanan yang baik.
Menurut Prawirosentono (dalam Pasolong 1999:2) mengatakan kinerja adalah
hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan
sesuai dengan moral atau etika.
Menurut Mangkunegara (dalam Pasolong 2006:67) mengemukakan kinerja
sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Deskripsi dari kinerja menyangkut tiga komponen yaitu: tujuan, ukuran,
dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi untuk
meningkatkan kinerja.
Selanjutnya menurut Donovan dan Jakson (dalam Pasolong, 2007:182)
mengatakan bahwa secara teoritik penilaian kinerja sangat erat kaitannya dengan
analisis pekerjaan artinya suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih terdapat
ketidakjelasan tentang pekerjaan itu sendiri yang merupakan sumber daya manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa efektivitas penilaian kinerja sangat tergantung
kepada baik buruknya manajemen sumber daya manusia yang dimiliki.
36
Menurut Monir (dalam Pasolong 2008:198) mengemukakan bahwa pelayanan
adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung.
Sendangkan menurut Werella (dalam Pasolong 2008:198) pelayanan (service) adalah
sebagai suatu perbuatan (deed) suatu kinerja (ferfomance) atau suatu usaha (effort).
Pelayanan publik menurut Sinambela (dalam Pasolong 2008:199) adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu perkumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meski hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Menurut Kurniawan (dalam Pasolong 2005:6) mengatakan bahwa pelayanan
publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang orang lain atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dan tatacara yang telah ditetapkan.
Menurut MENPAN 63 Tahun 2004 mengelompokan tiga jenis pelayanan dari
insatansi pemerintah secara BUMN atau BUMD, pengelompokan jenis pelayanan
tersebut didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang
dihasilkan, yaitu pelayanan administrative, pelayanan barang dan pelayanan jasa.
Berdasarkan uraian dan hasil penelitian yang pernah dilakukan maka dapat
digambarkan kerangka pikir pada gambar berikut:
37
Kerangka Pikir
Ket:
Kerangka pemikiran di atas menggambarkan bahwa terdapat variabel
independen (X) dan variabel dependen (Y), dimana variabel independen menunjukan
kinerja pegawai sedangkan variabel dependen menunjukan kualitas pelayanan. Kedua
variabel tersebut mempunyai hubungan kausal atau sebab akibat. Variabel
independen mempengaruhi variabel dependen.
2.5 Hipotesis Penellitian
Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan diatas, penulis perlu
mengajukan hipotesis terhadap permasalahan yang telah diteliti dalam penelitian ini.
Hipotesis tersebut adalah kinerja pegawai dan kualitas pelayanan yang dibagi dalam
beberapa masalah yaitu tidak semua pegawai mampu memberikan pelayanan yang
baik dan masih ada juga pegawai yang belum melaksanakan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya serta banyak pekerjaan yang belum terselesaikan tepat waktu.
Kinerja Pegawai
- Produktifitas
- Kualitas pelayanan
- Responsivitas
- Responsibilitas
- Akuntabilitas
Kualitas Pelayanan
- Reability
- Responsiveness
- Confidence
- Emphaty
- Tangible