bab ii analisis struktural model farhud pada tiga … · selain itu, dalam pemaknaan syair dapat...
TRANSCRIPT
28
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL MODEL FARHUD PADA TIGA
SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI
RA‘SYATUN FIL-UFUQ
Strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan
dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur sebuah karya sastra. Dalam
kajian strukturalisme karya sastra merupakan dunia yang diciptakan oleh
pengarang dan lebih kepada susunan hubungan daripada susunan benda-benda
(Pradopo, 2014: 121).
Struktur berarti sebuah bentuk keseluruhan yang kompleks (complex
whole). Setiap objek atau peristiwa adalah sebuah struktur, yang terdiri dari
berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Struktur
memiliki ide keseluruhan, struktur memilki ide transformasi, dan struktur
memiliki ide mengatur diri sendiri (Siswantoro, 2010: 13). Adapun sajak dalam
karya sastra merupakan sebuah struktur yang memiliki arti bahwa karya sastra
merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya
memiliki hubungan timbal balik, saling terikat, saling berkaitan, dan saling
bergantung (Pradopo, 2014: 120).
Dalam analisis Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Ra‘syatun fil-
Ufuq ini digunakan analisis struktural model Farhud yang memiliki unsur-unsur di
antaranya: (1) al-Ma‘na (ide); (2) ‘a>thifah (Perasaan atau Emosi); (3) khaya<l
(Imajinasi); dan (4) lugatusy-syi‘ir (Bahasa Syair, Gaya bahasa atau Ushlu<b).
Dalam analisis struktural ini, langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan
menjelaskan permasalahan-permasalahan yang di muat di dalam teks syair
29
tersebut secara berurutan tanpa menambah-nambahi ataupun mengurangi isi dari
teks tersebut (Sangidu, 2008: 300).
Struktur memiliki peran sangat penting dalam penciptaan sebuah karya
sastra. Pada syair struktur sangat diperlukan untuk menguraikan unsur-unsur
intrinsik syair yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Selain itu, dalam
pemaknaan syair dapat mempermudah menentukan inti dari makna yang
dimaksudkan oleh penyair.
2.1 Syair Pertama
Syair pertama berjudul “Lahfah” memiliki makna “sesal” (Munawwir,
1997:1292). Penyair dalam mengungkapkan ide atau gagasannya menggunakan
simbol-simbol dengan makna yang tidak sebenarnya atau kiasan. Syair “Lahfah”
merupakan bentuk ungkapan penyesalan yang dituliskan oleh penyair terhadap
suatu kesalahan yang pernah terjadi hingga membuatnya kecewa. Hal itu
membuat dirinya tidak memiliki waktu untuk mengulang kembali masa-masa
menyenangkan yang telah dialaminya. Oleh karena itu, penyair mengungkapkan
bentuk permohonan agar dirinya dapat mengulang kembali peristiwa tersebut
hingga tidak menimbulkan kekecewaan yang mendalam dalam dirinya. Namun,
tetap saja semua yang telah berlalu tidak mungkin bisa terulang lagi. Penyair saat
ini hanya dapat merenungi nasibnya sendiri. Penyesalan yang dialami penyair
merupakan bentuk ketidakmampuan penyair dalam menyikapi kehidupan. Selaras
dengan pendapat dari Friedman, bahwa dalam menyikapi kehidupan seharusnya
dengan bahagia dan penuh energi untuk berpegang pada sasaran hidup yang akan
memberikan perubahan pada dirinya (Friedman dalam Widyasinta, 2006: 66).
30
a. Al-Ma‘na (Ide)
Pada awalnya syair diciptakan melalui pemikiran atau gagasan penyair
yang mempunyai relasi kuat dengan situasi (keadaan) dan dipengaruhi oleh faktor
psikologi penyair (Muzakki, 2011:84). Adapun bahasa yang digunakan
merupakan sarana utama yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan
imajinasinya kepada pembaca (Muzakki, 2011:86).
Gagasan dalam syair tersebut memiliki makna yang saling berhubungan
dan berkaitan sesuai dengan alur cerita dari pengalaman penyair. Syair berjudul
“Lahfah” ini mengusung dua gagasan yaitu (1) penyesalan dan kekecewaan
penyair terhadap sesuatu yang pernah dialaminya (2) ratapan nasib yang dirasakan
oleh penyair.
Bait ke-7
Wa am‘anat... „Dan menjauh...‟
Bait ke-8
Wa syawat fi> jamriha> ‘u>diy „Lalu membakar kepulanganku dalam kobarannya‟
Bait ke-9
Wa kha>shamatniy sini>nan-khutwatiy „Bertahun-tahun langkahku memusuhiku‟
Bait ke-10
'alaman... „Sungguh pedih...‟
Bait ke-11
Wa asqhathat ghurbatu ad-adunya> ‘ana>qi>diy „Keasingan dunia telah melepas ikatan-ikatanku‟
31
Bait ke-12
Ma> kuntu ´a‘rifu „Aku tak pernah tahu‟
Bait ke-13
Inna al-‘isyqu lu'lu'ah „Bahwa cinta adalah mutiara‟
Bait ke-14 !
Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! „Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku
menjadi tak berharga‟
(Sweilem, 2002: 19)
b. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)
Emosi merupakan faktor yang amat penting dalam syair. Emosi memberi
pengaruh terhadap cara berbuat dan berpikir seseorang. Selain itu, emosi dapat
membentuk suasana yang menyenangkan dan dapat membuat sebuah syair
menjadi puitis dan memukau (Semi, 1993: 111). Adapun perasaan yang
dimaksudkan adalah perasaan atau emosi yang muncul disepanjang teks syair.
Perasaan tersebut tidak monoton perasaan sedih, marah, gembira, dan perasaan
yang beraneka ragam yang ditunjukkan oleh penyair di dalam teks tersebut (Badr
dalam Sangidu, 2008: 301). Dengan demikian, perasaan atau emosi yang terdapat
pada teks syair berjudul “Lahfah” adalah rasa sesal yang mendalam bagi penyair,
hingga membuatnya berharap untuk mengulang kembali masa lalu. Emosi yang
dimiliki oleh penyair terhadap suatu harapan sangat memengaruhi tingkah laku
(Wilcox dalam Kumalahadi, 2013: 163). Oleh karena itu, ketika penyair berharap
dapat kembali pada masa yang lalu, hal itu tidak akan pernah terjadi.
32
Pada syair tersebut terdapat emosi yang mendalam yaitu rasa sakit hati
yang dirasakan penyair karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Emosi tersebut
menunjukkan bahwa terdapat tiga pasang perasaan yaitu rasa senang dan sakit,
tegang dan santai, kegembiraan dan kesedihan, bentuk perasaan ini jarang terjadi
secara sendiri-sendiri, tetapi merupakan kombinasi yang disebut sebagai
“kumpulan perasaan” (Wilhelm Wundt dalam Kumalahadi, 2013: 158).
Kombinasi perasaan yang dimiliki oleh penyair dalam syair tersebut adalah rasa
senang dan sakit, kegembiraan dan kesedihan yang membuat penyair hanya dapat
meratapi nasibnya.
c. Khaya<l (Imajinasi)
Imajinasi merupakan bentuk citraan dari penyair yang membuat syair
menjadi lebih hidup. Gambaran pikiran (citraan) ini merupakan sebuah efek
pikiran yang dihasilkan oleh penangkapan pada suatu objek (Altenbern dalam
Pradopo, 2008:81). Imajinasi merupakan upaya memperkuat kesan suatu
pengalaman jiwa yang akan disampaikan oleh penyair (Semi, 1993:97).
Dalam syair “Lahfah” penyair telah menggambarkan ungkapan
penyesalannya dengan menggunakan bentuk permohonan pada bagian yang ada
pada manusia yaitu jiwa. Jiwa dalam (KBBI, 2008:580) adalah seluruh kehidupan
batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya.
Penyair memohon pada dirinya sendiri untuk menghentikan amarahnya yaitu
bentuk perasaan yang dimiliki penyair terhadap suatu peristiwa yang membuatnya
kecewa, seperti pada kutipan data berikut ini.
Bait ke-1
Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟
33
Bait ke-2
Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟
Bait ke-3
Wa jammiliy zamaniy
„Perindahlah waktuku...‟
Bait ke-4
Wasyfiy mawa>ji>diy „Lalu sembuhkanlah amarahku...‟
(Sweilem, 2002: 18).
Salah satu penggambaran yang dideskripsikan oleh penyair adalah
menyesuaikan keadaan yang sedang dirasakannya dengan lingkungan sekitar.
Bukan hanya bentuk perasaan saja, namun imajinasinya terhadap seseorang yang
dicintainya (kekasihnya) dengan menggunakan kata ganti bergaya metafora, yaitu
“ufuk”. Ufuk merupakan pancaran cahaya merah yang mulai terbentang di barat
(KBBI, 2008:1579). Adapun makna lain dari ufuk hampir sama dengan senja
yang memiliki keindahan memukau di antara waktu sore menjelang petang.
Kekasih yang dicintai oleh penyair merupakan objek yang disesali oleh penyair
dalam syairnya.
Dalam syair “Lahfah” penyair menggunakan bahasa kiasan dalam
mengungkapan perasaannya untuk memberikan kesan yang indah dan pemilihan
imajinasinya dapat memberikan pengaruh bagi pembaca. Tujuannya untuk
memudahkan pembaca dalam memahami maksud perasaan yang dirasakan oleh
penyair. Selain itu, citraan yang digunakan oleh penyair dapat memperjelas
peristiwa yang pernah dialaminya.
34
d. Lughatusy-syi‘ir (Bahasa Syair)
Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) merupakan bahasa yang digunakan oleh
penyair untuk mengungkapkan apa saja yang dirasakan oleh penyair dan peristiwa
yang telah dialami oleh penyair (Badr, 1991:142). Adapun bahasa yang digunakan
disebut dengan kata berjiwa yang memiliki makna yang telah mengandung rasa
dan cita penciptanya (Slamet muljana dalam Pradopo, 2008: 49). Lughatusy-syi„ir
(bahasa syair) yang terkandung di dalam teks syair berjudul “Lahfah” yaitu:
(1) Kosa kata:
Dalam teks syair “Lahfah”, penyair menggunakan beberapa kata-kata
yang sederhana, mudah dipahami dan lazim digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun kosa kata yang digunakan dalam bahasa Arab tidak
semua pernah didengar oleh penulis. Akan tetapi, kosa kata dalam syair
tersebut lazim digunakan dalam kesusastraan Arab. Perbedaan yang terdapat
di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran adalah dalam penerjemahannya.
Bahasa Arab cenderung memiliki beberapa arti dalam setiap kosa katanya.
Maka dari itu, terdapat kosa kata yang berbeda dengan arti yang sama, seperti
pada kata al-isyqu „cinta‟ yang secara umum arti kata cinta digunakan kata al-
chubbu „cinta‟.
Pada dasarnya dalam bahasa syair harus menggunakan kata-kata yang
mudah jelas dan tegas sehingga mudah dipahami untuk memaknai syair yang
dituliskan oleh penyair. Ke-fasachah-an pada syair memiliki pengaruh yang
besar sebagai penentuan bali>gh atau tidaknya syair tersebut. Fasachah
bermakna jelas, terang dan fashi>h adalah kalimat yang jelas, mudah
bahasanya, dan baik susunannya. Selain itu, syair yang dikatakan baik uslu>b
35
(gaya bahasa) harus indah, menarik inspirasinya, tegas, dan tidak banyak
menggunakan majaz maupun tasybih dalam syairnya (Ja>rim, 2007:7, 18).
Syair “Lahfah” memiliki beberapa kata-kata yang tidak jelas, kurang
tegas, dan banyak perumpamaan, sehingga hal tersebut menjadi suatu
kekurangan yang dimiliki syair tersebut. namun, dengan menggunakan
bahasa kiasan atau gaya bahasa, penyair mampu menggambarkan dan
melukiskan dengan baik suatu peristiwa yang terjadi. Dengan demikian,
penelitian ini mampu memahami maksud dari ungkapan yang dituliskan oleh
penyair. Sebagaimana kutipan berikut ini.
Bait ke-15
Inna al-‘isyqu lu'lu'ah „Bahwa cinta adalah mutiara‟
Bait ke-22
Wa fi> kabadi>... „Di hatiku...‟
(Sweilem, 2002: 19).
(2) Struktur:
Penyair mengungkapkan syair ini dengan menggunakan struktur-
struktur yang bersih dari cacat bahasa dan kesalahan sintaksis. Kalimat yang
digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu
nahwu. Selain itu, terdapat pengulangan kata maupun kalimat (repetisi).
Repetisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang suatu kata,
frasa, atau kalimat, bait atau bait (Damayanti dalam Melia, 2014: 49).
Repetisi merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh penyair untuk
36
menghasilkan pengimajian, untuk menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi
konkrit, sesuatu yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993:129).
Sebagaimana pada kutipan berikut.
Bait ke-2
Ju>diy as-sinni>... ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟
(Sweilem, 2002: 18).
Adapun struktur kalimat yang digunakan oleh penyair dalam
menciptakan syair tersebut telah memiliki tarkib (susunan kalimat) yang baik.
Struktur kalimat tersebut memberikan kemudahan bagi pembaca dalam
menentukan makna yang dimaksudkan oleh penyair. Sebagaimana salah satu
kutipan berikut ini.
Bait ke-1
Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟
Bait ke-2
Bait ke-3
Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟
Wa jammiliy zamaniy
„Perindahlah waktuku...‟
Bait ke-4
Wasyfiy mawa>ji>diy
„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟
Bait ke-5
Asy-syi‘ru ausimatiy
37
„Syair ini medaliku‟
Bait ke-6
Wa al-bu>chu ajnichatiy „Dan jiwa ini sayapku‟
(Sweilem, 2002: 18-19).
(3) Kemahiran bersastra:
Dalam menuliskan syair “Lahfah” kepiawaian penyair terlihat ketika
dia menggunakan kata-kata kiasan dan majas dalam mengungkapkan pikiran-
pikirannya. Pengungkapan tersebut sesuai dengan keadaan penyair dan
perasaan yang dia rasakan saat peristiwa itu terjadi. Penyair juga mahir dalam
menggunakan kalimat dengan tulisan yang bagus dan alur yang baik,
sehingga mudah dipahami oleh pembaca dan dicerna maksud ungkapan syair
tersebut. Penyair juga memiliki cara berpikir runtut dalam penyusunan cerita.
Adapun alur penceritaan yang tepat, syair ini mudah disampaikan dengan
cara yang menarik, logis, wajar, dan sistematis (Semi, 1993:110).
Alur pengungkapan syair tersebut merupakan masa lalu dari penyair.
Syair yang mengungkapkan isi penyesalan yang sedang dialami oleh penyair
merupakan sebuah keinginan untuk mengembalikan kehormatan dirinya.
Sebagaimana ungkapan tersebut seperti pada kutipan berikut ini.
Bait ke-16
Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! „Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku
menjadi tak berharga‟
Bait ke-17
Ha>dza> damiy... „Ini darahku‟
38
Bait ke-18
Muzijat fi>hi> tara>ti>liy „Yang berbaur lantunan kepedihanku‟
Bait ke-19
Wa dza>ka umriy „Itu hidupku‟
Bait ke-20
Ichtama> fi> chilmi maulu>diy „Yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟
Bait ke-21
Li´abda´a az-zamana al-'a>tiy „Untuk memulai masa depan‟
(Sweilem, 2002: 19).
e. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)
Teks syair “Lahfah” merupakan jenis teks yang memiliki irama. Irama
terdapat dua macam yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap
dengan arti pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama
yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,
tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi
gema dendang penyairnya (Pradopo, 2014:41). Teks syair “Lahfah” sesuai
dengan adanya metrum dan ritme, teks tersebut tidak memiliki metrum (bachr),
sebab syair tersebut adalah jenis syair yang memiliki bentuk penulisan di setiap
baitnya hanya terdapat satu bait. Adapun taf‘ila>t yang dimiliki setiap bait
berbeda-beda. Selain itu, teks syair tersebut memiliki ritme (irama) yang tidak
teratur. Maka, syair “Lahfah” merupakan jenis syair bebas (syi‘rul churr). Syi‘rul
churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t
akan tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik
39
karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan
imajinasinya sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki,
2006:53). Sebagaimana kutipan dalam syair tersebut adalah sebagai berikut.
Bait ke-1
Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟
Bait ke-2
Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟
Bait ke-3
Wa jammiliy zamaniy „Perindahlah waktuku...‟
Bait ke-4
Wasyfiy mawa>ji>diy
„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟
Bait ke-5
Asy-syi‘ru ausimatiy „Syair ini medaliku‟
Bait ke-6
Wa al-bu>chu ajnichatiy „Dan jiwa ini sayapku‟
Bait ke-7
Lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha>ri>diy „Akan tetapi kau adalah ufuk yang
melantunkan kicauanku‟
(Sweilem, 2002: 19).
40
2.2 Syair Kedua
Syair ke-2 bejudul “ Ar-riha>n” yang memiliki makna “Taruhan”
(Munawwir, 1997:542). Bahasa kiasan dan makna konotatif banyak digunakan
untuk mengungkapkan pengalaman yang dialami oleh penyair. Kata “Taruhan”
yang digunakan dalam judul utama syair ke-2 ini merupakan sebuah pengorbanan
waktu yang telah disia-siakan oleh penyair di masa lalunya.
Judul “Ar-riha>n” dipakai oleh penyair sebagai inti dari syair tersebut.
syair tersebut diungkapkan oleh penyair dengan menggunakan beberapa
pengandaian yang bertujuan untuk drinya yang sedang dilanda kesepian. Bait ke-1
pada kalimat lau an-nahu ash-shada „andai gema itu‟, menunjukkan salah satu
pengandaian terhadap “gema” yang bermakna kekuatan dan semangat yang
membangkitkan dirinya. Semangat tersebut memunculkan harapan-harapan yang
akan membawa dirinya pada masa depan yang cerah.
Beberapa pengandaian lain dalam syair “Ar-riha>n” juga digunakan oleh
penyair yang memiliki makna yang berbeda. Pengandaian yang diulang dalam
syair tersebut menunjukkan bentuk penegasan terhadap sesuatu yang diharapkan
oleh penyair. Sebagaimana pada data berikut ini: (1) lau annahu ash-shada>
„Seandainya gema itu‟; (2) lau annahu az-zama>nu „Seandainya waktu itu‟; dan
(3) lau annahu asy-syagaf ‘‟Seandainya cinta itu‟ (Sweilem, 2002).
Kesimpulan yang dapat diambil dari syair berjudul “Ar-riha>n” adalah
bentuk pengorbanan dan pertaruhan waktu yang dimiliki oleh penyair. Penyair
yang tidak mampu mempertaruhkan jiwa dan raga untuk menggapai harapannya,
sehingga harapan tersebut tidak tercapai (Sweilem, 2002: 60-62).
41
a. Al-Ma„na (ide)
Syair yang dituliskan merupakan ide dan gagasan penyair berdasakan
pengalamannya. Pada satu syair terkadang terdapat satu gagasan yang dipayungi
dengan beberapa gagasan yang lebih besar. Gagasan-gagasan yang tersebut
merupakan jabaran dari gagasan pokok keseluruhan syair tersebut (Sangidu,
2008:301).
Gagasan yang digunakan oleh penyair dalam syair tersebut memiliki
kalimat dengan makna yang tidak berurutan. Syair tersebut terdapat bermacam-
macam pengandaian dengan makna yang bermacam-macam. Setiap pengandaian
memiliki makna sesuai dengan kata pengandaian yang digunakan, seperti ash-
shada> „ dahaga‟, az-zama>n „waktu, dan asy-syaghaf „cinta‟. Oleh karena itu, tema
syair yang terkandung dalam syair ini adalah: (1) pengorbanan atau taruhan
terhadap waktu dan kesempatan yang dimiliki penyair; dan (2) pengorbanan tidak
selalu mewujudkan suatu harapan.
b. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)
Perasaan atau emosi adalah sehimpun perasaan yang muncul dari dalam
teks syair yang dituliskan oleh penyair untuk mempengaruhi pembaca. Emosi
merupakan bentuk sensitivitas perasaan penyair dalam penciptaan syair.
Penggunaan emosi syair syair tergantung pada bentuk asosiasi mental, yang pada
dasarnya merupakan suatu kesadaran diri yang menghubung-hubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain (Sangidu, 2008:301; Semi, 1993: 111).
Dengan demikian, perasaan atau emosi yang terdapat dalam syair “ar-
riha>n” adalah ungkapan arti atau makna “taruhan” yaitu mengorbankan waktu dan
kesempatan yang dimiliki penyair dalam menggapai harapan dan keinginannya.
42
Makna kata “taruhan” menurut penyair bukanlah suatu pernyataan saja. Akan
tetapi, penyair mengungkapkan beberapa kata pengandaian terhadap sesuatu
sebagai bentuk perbandingan dari wujud pengorbanannya. Kata “taruhan” sendiri
merupakan isi yang menungkapkan perasaan yang sedang dirasakan oleh penyair
pada saat itu. Beberapa bentuk perasaan yang diungkapkan di antaranya sedih,
kecewa, menyesal, dan bahagia. Jadi, dalam syair tersebut perasaan yang
diungkapkan tidak hanya satu perasaan saja, akan tetapi juga perasaan penyair
yang lainnya.
c. Khaya<l (Imajinasi)
Imajinasi diharuskan terdapat ingatan sebuah pengalaman indraan objek-
objek yang disebutkan dan diterangkan dalam syair. Adapun citraan (gambaran
angan-angan) lebih mengingatkan kembali daripada membuat baru kesan pikiran,
sehingga pembaca terlibat dalam kreasi syair tersebut (Altenbern dalam Pradopo,
2014:82). Selain itu, imajinasi digunakan supaya pembaca dapat merasakan
pengalaman penyair terhadap objek dan situasi yang dialaminya. Cara yang
digunakan adalah dengan memberikan gambaran yang tepat dan akurat, segera
dapat dirasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri (Coombes dalam Pradopo,
2014: 81).
Dengan demikian, imajinasi yang digunakan oleh penyair dalam penulisan
syair “ar-riha>n” adalah terdapat beberapa pengandaian atau penggambaran dirinya
sendiri dalam mengorbankan waktu dan kesempatan yang dimilikinya (menyia-
nyiakan waktu). Pengorbanan penyair dimetaforakan dengan segala hal yang
terdapat pada lingkungan penyair. Pengungkapan kata tersebut digunakan sesuai
dengan perasaan yang dirasakan oleh penyair. Pengungkapan tersebut dengan
43
memanfaatkan penglihatannya pada alam sekitar dan pengalaman indraan atas
objek-objek yang disebutkan pada syair “ar-riha>n” (Altenbernd dalam Pradopo,
2014:81).
d. Lughatusy-syi„ir (Bahasa Syair)
Teks syair “ar-riha>n” memiliki bentuk ungkapan kata-kata yang
mendalam dari penyair. Perwujudan dan pengandaian terhadap sesuatu yang
digunakan penyair merupakan bentuk penjelasan dari taruhannya. Selain itu,
penjelasan yang diungkapkan oleh penyair menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Adapun kalimat dalam syair
tersebut mudah untuk dipahami makna yang disampaikan oleh penyair. Lugatusy-
syi„ir (bahasa syair) yang terkandung di dalam teks syair berjudul “ar-riha>n”
yaitu:
(1) Kosa kata:
Teks syair “ar-riha>n” menggunakan kosakata yang sederhana, lazim,
mudah dipahami, namun tidak sering didengar oleh peneliti. Kosakata yang
terdapat dalam syair tersebut memiliki perbedaan penerjemahan antara bahasa
Indonesia dan bahasa Arab. Teks tersebut dalam bahasa Indonesia memiliki
arti yang lazim dipakai dalam percakapan. Namun, tidak demikian dalam
bahasa Arab yang memiliki banyak kosa kata dengan arti yang beragam. Oleh
karena itu, tidak semua kosakata Arab yang terdapat dalam syair “ar-riha>n”
sering didengar oleh peneliti, akan tetapi lazim digunakan dalam khazanah
kesusastraan Arab. Sebenarnya, penggunaan kata-kata harus tepat dan tidak
membingungkan dalam memahaminya. Adapun kata sendiri merupakan
satuan perbendaharaan kata yang mengandung aspek bentuk dan aspek isi
44
makna (Keraf, 2004: 25). Seperti salah satu kutipan yang berkaitan dengan
hal tersebut adalah sebagai berikut.
Bait ke-10
daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na „Melangkah di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟
Bait ke-11
wa khayyama ash-shafsha>fa wal-laimu>na wa an-nakhi>la „Dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem‟
(Sweilem, 2002: 61).
Kosakata lazim yang digunakan dapat memberikan pengaruh kepada
pembaca. Berdasarkan ungkapan dalam syair tersebut, makna dan maksud dari
penyair mudah dipahami dan dimengerti. Akan tetapi, terdapat juga kata-kata
yang sukar untuk dipahami, karena menggunakan kata kiasan dan majas (gaya
bahasa). Hal tersebut menyebabkan syair menjadi tidak jelas (absurd) dan kurang
tegas. Kejelasan dan ketegasan dari ungkapan penyair memiliki pengaruh dalam
penentuan kedudukan syair itu baligh atau tidak. Selain itu, kefasahan syair sangat
penting. Semakin syair banyak menggunakan kata-kata lazim dan mudah
dipahami oleh pembaca, maka semakin bagus pula syair tersebut. Teks syair “ar-
riha>n” terdapat banyak dhami>r yang menyebabkan kebingungan dalam
menentukan rujukannya. Kesukaran kalimat tersebut menjadi aib (kekurangan
atau cacat) yang dimiliki oleh syair dalam hal ke-fashachah-annya. Meskipun
syair tersebut memiliki cacat dalam pengungkapannya, penyair mampu
menggambarkan segala bentuk makna dan arti kata “taruhan” yang
dimaksudkannya. Hal tersebut berdasarkan asumsi dan gagasannya dalam
menggunakan pengandaian yang bagus. Sebagaimana kutipan berikut ini.
45
Bait ke-1
lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟
Bait ke-2
syaqqa 'ila> nisfaini shadrahu „Membelah dadanya menjadi dua‟
Bait ke-3
wa 'asy‘alal bicha>ra fi> ‘uyu>nihi „Dan menyalakan mata air lautan'
Bait ke-4
bilmauji muzabbadan „dengan ombak yang membuih‟
Bait ke-5
lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟
Bait ke-6
'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi ibtada „Mengembalikannya pada permulaan
masa‟
Bait ke-7
lau annahu istitha>‘a an yazra‘a „Andai dia bisa menanam‟
Bait ke-8
fis-sahu>li...wal-wiha>di...mau‘idan „Di ladang... dan tanah lapang... akan
sebuah janji!‟
(Sweilem, 2002: 60-61).
46
(2) Struktur:
Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan
gaya bahasa (Keraf, 2004: 124). Kalimat seperti itulah yang dibutuhkan
dalam menuliskan sebuat bentuk karya sastra salah satunya adalah syair.
Struktur kalimat yang digunakan oleh penyair dalam syair “ar-riha>n” bebas
dari cacat bahasa dan susunan kalimatnya tidak melenceng dari kaidah
nahwu. Hal tersebut dapat memudahkan peneliti dalam menerjemahkan
kalimat tersebut dan memahami makna yang dimaksudkan oleh penyair. Pada
syair tersebut terdapat pengulangan (repetisi) pada kata maupun kalimat yang
bertujuan sebagai penegasan penyair terhadap makna. Repetisi merupakan
salah satu usaha yang dilakukan oleh penyair untuk menghasilkan
pengimajian, menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit, dan sesuatu
yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129). Adapun repetisi
terdapat pada kutipan berikut ini.
lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟
(Sweilem, 2002:60)
(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-1 dan ke- 5)
lau annahu az-zama>nu „Seandainya waktu‟
(Sweilem, 2002: 61)
(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-9 dan ke-13)
47
lau annahu asy-syagaf „Seandainya cinta itu‟
(Sweilem, 2002: 61-62).
(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-15, ke-17, dan ke-22)
(3) Kemahiran bersastra:
Kepiawaian penyair dalam menuliskan syair “ar-riha>n” yaitu terletak pada
kemahirannya. Kemahiran ketika memberikan ide dan gagasannya dalam
menggambarkan pengandaian tersebut dan mengungkapkan perasaan yang
sedang dirasakannya. Adapun keadaan lingkungan dan alam di sekitar penyair,
digunakan dalam ungkapan syairnya yang dapat mempengaruhi pembaca.
Pengaruh tersebut dapat diketahui bahwa peristiwa yang dialami penyair dapat
dialami pula oleh orang lain.
Selain itu, penyair juga menjelaskan bahwa makna “taruhan” dalam
syairnya yaitu pengorbanan waktu dan kesempatan yang tidak mewujudkan
keinginan yang diharapkannya. Adapun waktu selalu berjalan ke depan, dan
tidak akan pernah bisa kembali lagi pada waktu sebelumnya, apalagi waktu
yang terbuang sia-sia. Ungkapan pengandaian yang digunakan diciptakan
sesuai dengan pengalaman penyair. Adapun penegasan tersebut merupakan
perasaan mendalam terhadap peristiwa yang sedang dialaminya. Selain itu,
sesuatu yang pernah diiharapkan oleh penyair tidak terwujud dan hanya
menjadi sebuah khayalan saja. Sama halnya kutipan yang menunjukkan
khayalan penyair adalah sebagai berikut.
48
Bait ke-34
lau annahu! „Seandainya!’
Bait ke-35
lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin
„Akan tetapi mimpi semua hanya
mimpi‟
Bait ke-36
ta‘jizu an tudhi>'a shadrahu „Tidak mampu menerangi hatinya‟
Bait ke-37
wa ma> huwa al-'a>na- ka'ayyi marratin- „Dan inilah dia sekarang- selalu
begitu‟
Bait ke-38
yuthi>lu min waqfatihi ‘ala ath-thalal „Terus diam di atas puing-puing‟
(Sweilem, 2002: 62).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa semua ungkapan penyair dalam syair
tersebut adalah khayalan yang diinginkan oleh penyair di masa lalu terhadap
waktu yang telah disia-siakan olehnya.
e. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)
Pada teks syair ‚ar-riha>n‛ terdapat rima. Rima adalah persamaan bunyi
yang terdapat pada dua kata atau lebih. Adapun pemakaian rima dalam syair
tersebut menggunakan jenis masculine rhyme yaitu rima yang terbentuk oleh
kesamaan bunyi kata yang terdiri atas satu suku dengan kata lain juga terdiri atas
49
satu suku (Mugijatno, 2012:69, 71). Salah satu contoh dalam syair tersebut
terdapat pada bait ke-4 hingga bait ke-8 yaitu:
a
b
a
b
a
Selain itu, irama dalam syair merupakan pergantian turun naik, panjang,
pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama dibagi menjadi dua
macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama
yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,
tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap (Pradopo, 2013: 41). Irama
yang dimiliki syair tidak selalu sama dengan bait-bait yang lain. Ritme dalam
syair ‚ar-riha>n‛ tidak teratur dan metrum (bachr) sama sekali tidak terdapat dalam
syair tersebut. Syair ‚ar-riha>n‛ merupakan jenis syair bebas (syi‘rul churr). Syi‘rul
churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t,
hanya saja terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya
sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya
sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006: 53).
50
2.3 Syair Ketiga
Syair ke-3 memiliki judul “Ra‘syatun fil-Ufuq” yang bermakna “Penakut
di Cakrawala”. Judul tersebut merupakan salah satu judul utama dari antologi
syair milik Achmad Sweilem. Syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” terdapat banyak
ungkapan yang tidak sebenarnya. Selain itu, ungkapan yang digunakan oleh
penyair merupakan aplikasi dari imajinasinya terhadap segala sesuatu yang ada di
lingkungan alam sekitarnya.
Pada syair ini, penyair menggambarkan dirinya dengan “anak burung”
yang menunjukkan bahwa dia hanya bisa berlindung pada tempatnya berteduh
(rumah). Penyair merasa tidak percaya diri dan takut terhadap tantangan yang
akan dihadapinya. Ketakutan yang dialaminya pada saat itu menjadikan penyair
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang telah menjadi
tujuannya.
Syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” menceritakan bentuk kesulitan yang selalu
datang menimpa penyair, karena dia tidak memiliki kepercayaan diri. Oleh karena
itu, ketika masalah datang kepada penyair, dia tidak memiliki keberanian untuk
menghadapinya. Tidak adanya keberanian tersebut, menyebabkan hilangnya
harapan dan impiannya. Selain itu, ketakutan yang sedang dialaminya terjadi
karena tidak adanya cinta di dalam hati penyair. Adapun kebutuhan akan cinta
sangat diperlukan dalam kehidupan, karena cinta dapat membuat manusia
bersemangat hidup dan mewujudkan cita-cita (Akrom, 2008: 24).
Pada syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” merupakan bentuk penggambaran
harapan tidak terwujud yang dialami oleh penyair dan kekasihnya. Harapan dan
51
keinginan hanya menjadi sebuah harapan tanpa kenyataan (kenangan masa lalu),
karena kegagalan yang dirasakannya saat itu.
a. Al-Ma„na (ide)
Gagasan dalam syair merupakan jalan pikiran penyair dalam menciptakan
emosi yang akan ditimbulkannya melalui syair yang diciptakannya dan hasil dari
kekayaan pengalaman batin pengarang yang disampaikannya (Semi, 1993: 108).
Gagasan dan ide tersebut dapat memberikan suasana kehidupan yang dapat
mempengaruhi pembaca agar berada pada peristiwa yang dialami oleh penyair.
Bentuk penggambaran yang terdapat dalam syair tersebut adalah tidak
terwujudnya harapan penyair. Hal tersebut kemungkinan akan terjadi karena
sesuatu halangan atau barrier meskipun jalan ke arah tujuannya itu cukup jelas
(Suryabrata, 2007: 310).
Tema yang terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” mengandung tiga
tema yaitu: (1) tidak adanya kepercayaan diri dan keyakinan penyair terhadap
sesuatu yang ingin dicapainya; (2) halangan dan rintangan yang dihadapi oleh
penyair; dan (3) harapan dan impian penyair yang tidak terwujud. Ketiga tema
tersebut terdapat keterkaitan dengan jalan cerita atau peristiwa yang terjadi. Selain
itu, penyair juga membiarkan semua peristiwa yang terjadi tanpa mengambil
hikmahnya. Maka semua peristiwa tersebut hanya tinggal sebagai kenangan masa
lalu.
a. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)
Emosi merupakan salah satu unsur yang penting dalam penciptaan syair.
Emosi atau perasaan memiliki efek yang dapat mempengaruhi pembaca untuk
berada dalam suasana maupun keadaan yang memukau. Adapun emosi dalam
52
syair terdapat beberapa jenis perasaan yang diungkapkan, di antaranya rasa takut,
sedih, senang, marah, kecewa, dan putus asa.
Dengan demikian, emosi atau perasaan yang terdapat dalam syair
“Ra‘syatun fil-Ufuq” adalah bentuk dari rasa takut terhadap sesuatu yang akan
dihadapi oleh penyair. Rasa takut tersebuat menyebabkan penyair menjadi
seorang yang pengecut. Sebenarnya pencapaian terhadap sesuatu harus dengan
keberanian dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagaimana dikemukakan
bahwa “semestinya jangan sampai melemahkan kita kesulitan-kesulitan yang
mengahambat jalan kita” (Levein dalam Sa‘id, 2002: 100). Jika penyair hanya
diam dan tidak melakukan apapun hanya akan memberikan penyesalan dan
kekecewaan di kemudian hari. Penyair juga tidak mengambil pelajaran terhadap
peristiwa yang pernah dialaminya. Penyair hanya berserah diri pada takdir yang
telah ditetapkan untuk dirinya.
b. Khaya<l (Imajinasi)
Imajinasi merupakan salah satu unsur penting dalam penciptaan syair
karena berkaitan dengan masalah keindahan syair. Imajinasi adalah penataan kata
yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkrit dan cermat (Semi,
1993:124). Adanya imajinasi pengarang dapat menjadikan sebuah kata atau
bahasa yang diungkapkan dalam syair menjadi suatu khayalan, menjadi bentuk
gambaran yang nyata. Pengimajian dapat berasal dari penglihatan penyair melalui
keadaan alam ataupun keadaan lingkungan sosial penyair itu sendiri.
Imajinasi yang terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” yaitu orang
dicintai oleh penyair menggunakan dengan kata farkhan „anak burung‟. Keadaan
seekor anak burung yang dapat terbang bebas ke manapun yang diinginkannya.
53
Kebebasan seekor burung menggambarkan adanya kebebasan bermimpi bagi
penyair. Adanya mimpi dan harapan yang ditanamkan penyair di dalam hati dan
pikirannya, seharusnya dapat mendorong semangat dalam dirinya untuk bekerja
keras. Selain itu, dengan dorongan tersebut juga akan menjadikannya seseorang
yang memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan dan kesulitan yang
menimpanya.
c. Lughatusy-syi„ir (Bahasa Syair)
Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) merupakan bentuk kata-kata yang
digunakan oleh penyair dalam membuat syair yang disebut juga dengan kata
berjiwa. Kata berjiwa memiliki makna yang sudah mengandung perwujudan rasa
dan cita penciptanya (Slametmuljana dalam Pradopo, 2008: 49). Bahasa syair
merupakan bentuk suatu tuturan atau pengungkapan yang tidak jelas dan kabur
maknanya yang biasanya dapat mengaburkan makna utuh sebuah syair, dapat pula
menghilangkan kefektivan nada dan suasana. Kejelasan makna diperlukan dengan
adanya pemilihan kata yang tepat dalam menggunakan perumpamaan serta
imajinasi penyair (Semi, 1993: 109).
Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) yang terkandung dalam syair “Ra‘syatun
fil-Ufuq” yaitu:
(1) Kosakata:
Teks syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” diungkapkan penyair dengan
menggunakan kosakata sederhana, lazim, mudah dipahami, dan sebagian
besar kosakatanya tidak asing didengar oleh peneliti. Penerjemahan dalam
bahasa Indonesia memiliki perbedaan saat diterjemahkan dalam bahasa
Arab. Hal tersebut sangat berkaitan sekali dengan kosakata yang beda
54
pada syair tersebut. Kosakata yang digunakan mudah untuk dipahami
setelah syair tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia menggunakan bahasa yang
lazim digunakan dan sering didengar oleh peneliti. Akan tetapi, dalam
bahasa Arab yang berkedudukan sebagai bahasa sumber dari syair
tersebut, kosakatanya tidak seluruhnya sering didengar oleh peneliti.
Kosakata dalam syair tersebut telah lazim digunakan dalam khazanah
kesusastraan Arab. Meskipun hal mengenai kosakata memiliki perbedaan
di antara bahasa sumber dan bahasa sasarannya, penyair mampu
menggambarkan imajinasinya dengan baik. Sebagaimana kutipan teks
yang terdapat dalam syair tersebut adalah berikut ini.
Bait ke-1
Mundzu an ka>na farkhan „Sejak menjadi anak burung’
Bait ke-2
Yudats-tsiruhu al-‘usy-syu... „Dia terlindung di dalam sangkar..‟.
Bait ke-3
Qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni „Membangun tempat berlindung dari jerami dan
menutupinya dengan tanah‟
Bait ke-4
Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟
55
Bait ke-5
Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „Yang menjadikan mendung bernyalakan api‟
Bait ke-6
Fa'asqathat asy-syuhuba tuchriqu ‘usyba al-jada>wili „Menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan
tepian anak sungai‟
(Sweilem, 2002: 81).
(2) Struktur:
Struktur yang digunakan penyair dalam penciptaan syair
“Ra‘syatun fil-Ufuq” yaitu bebas dari cacat bahasa dan susunan penulisan
kalimatnya tidak melenceng dari kaidah nahwu. Hal tersebut dapat
memudahkan pembaca dalam memahami makna kalimat yang
dikehendaki oleh penyair. Kalimat-kalimat yang diungkapkan dalam syair
“Ra‘syatun fil-Ufuq” ditulis dengan urut dan tidak ada kalimat-kalimat
yang diulang-ulang. Akan tetapi, dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”
terdapat pula repetisi yang berupa kalimat. Repetisi merupakan salah satu
usaha penyair untuk menghasilkan pengimajian, untuk menciptakan
sesuatu yang abstrak menjadi konkret (nyata), serta sesuatu yang lemah
menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129).
Selain itu, enjambemen juga terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-
Ufuq”. Enjambemen merupakan pemotongan kalimat atau frase di akhir-
akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya
(Semi, 1993: 142). Adanya enjambemen tersebut bertujuan untuk
memberikan tekanan dan penegasan pada bagian kalimat-kalimat tersebut.
56
Adapun salah satu kutipan adanya enjambemen dalam syair tersebut
adalah sebagai berikut.
Bait ke-16
Ka>na qad gharasa al-amsi fi> qadamaihi „Kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya‟
Bait ke-17
Intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah „Rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang
subur‟
(Sweilem, 2002: 82).
(3) Kemahiran bersastra:
Kepiawaian penyair dalam menyajikan syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”
kepada pembaca yaitu dengan memberikan ide atau gagasannya berdasarkan
imajinasi dan perasaannya. Penggambaran pengalaman hidup yang dialami
penyair, membuat penyair untuk menuangkan segala perasaan yang sedang
dirasakannya. Pengungkapan perasaan penyair ke dalam syair tersebut
dengan menggunakan keadaan lingkungan alam yang terdapat di sekitarnya.
Selain dari perasaan penyair, syair tersebut diungkapkan berdasarkan keadaan
dari penyair sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ketidakpercayaan
penyair terhadap kemampuan yang dimilikinya dan tidak memiliki
keberanian untuk menghadapi tantangan yang datang kepadanya. Maka dari
itu, kegagalan yang dialaminya merupakan akibat dari ketakutan yang ada di
dalam dirinya.
Adanya situasi dan kondisi tersebut, penyair mengkiaskannya
dengan “Ra‘syatun fil-Ufuq” yang bermakna „Penakut di Cakrawala‟.
57
Ungkapan tersebut merupakan penggambaran diri penyair yang tidak mampu
mencapai harapan yang telah ditanamkannya di dalam hati dan pikirannya.
Gambaran tersebut merupakan bentuk penyesalan penyair yang begitu
mendalam. Penyesalan terjadi karena penyair merasa bahwa dirinya adalah
seorang yang lemah dan pengecut sebagai seorang laki-laki, karena tidak
mampu mengalahkan ketakutan yang ada dalam dirinya. Sebagaimana
dengan kutipan berikut ini.
Bait ke-39
Yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. „Saat dia membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam
lumpur...‟
Bait ke-40
Wa al-jada>wilu tunkiruhu... „Dan anak sungai pun mengingkarinya...‟
Bait ke-41
Lam ya‘ud ma>´uha> al-ma>'a „Airnya tidak lagi air yang dulu‟
Bait ke-42
wa al-usybu... ma> ‘a>da ‘usyban... „dan rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu...‟
Bait ke-43
Fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na „Lalu bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟
Bait ke-44
Farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu „Seperti anak burung yang terlindungi oleh sangkarnya‟
58
Bait ke-45
yaghrisu fi> qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i „yang membenamkan rusuknya yang kekar di bawah kakinya‟
Bait ke-46
Ila> ardhihi al-mukhshibati! „Ke dalam tanah yang subur!‟
(Sweilem, 2002: 83-84).
Kutipan yang menunjukkan keadaan penyair yang tidak dapat meraih
harapan dan impiannya terletak pada delapan bait terakhir bahwa dia telah
menjadi seseorang yang tidak berguna di masa lalu. Ketakutan yang dialaminya
menyebabkan kesalahan dalam hidupnya yang tidak mampu bekerja keras dan
berusaha mencapai harapannya sendiri. Oleh karena itu, dalam syair ini
berjudulkan ra‘syatun fil-ufuq „penakut di cakrawala‟.
d. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)
Pada teks syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” memiliki rima berupa kesamaan
bunyi akhir. Terdapat ketidaksamaan bunyi di setiap dua bait atau lebih. Terdapat
beberapa persamaan bunyi di akhir bait yaitu sebagai berikut.
Bait ke-3
Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟
Bait ke-4
Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „Yang menjadikan mendung bernyalakan
api‟
(Sweilem, 2002: 81)
59
Irama juga terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”,yaitu merupakan
penyesuaian bentuk pembacaan syair dengan panjang pendeknya suara. Hal
tersebut disebabkan adanya penekanan ataupun nada tegas dari pembaca terhadap
suatu kalimat. Irama oleh penulis disepadankan dengan metrum yang merupakan
bagian dari irama itu sendiri. Adapun kutipan menurut penelitian ini terdapat
irama dalam syair tersebut adalah sebagai berikut.
Bait ke-9
Lakinna ‘ashfa ar-riyachi istaba>cha khutha>hu „Namun badai membinasakan langkahnya‟
Bait ke-10
Fasyaqqaqa chilma ath-thufu>lathi „Hancurlah impian kanak-kanak‟
Bait ke-11
Lam yabqa minhu siwa> ra‘syatin fil-ufuqi „Tak ada yang tersisa selain getaran di ufuk‟
Bait ke-12
‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu „Dia berdiri telanjang kini... tanpa matahari yang
menghangatkannya‟
Bait ke-13
Bait ke-14
La> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu „Tanpa hati yang menyalakan api‟
Ghaimatu an-na>ri kha>midah „Cahaya telah padam‟
Bait ke-15
Wa huwa ya'ba> ar-rachi>la... „Dan dia tidak peduli dengan apa yang telah berlalu...‟
(Sweilem, 2002: 82).
60
Selain itu, penjelasan tentang pola tertentu yang ada dalam syair tidak
terlihat dengan jelas, karena dalam arudl jenis syi‘rul chu>r tidak terkait dengan
adanya wazan maupun qafiyah. Oleh karena itu, setiap bait pada syair tidak
memiliki bachr. Syair jenis seperti itu merupakan salah satu jenis syi‘rul chu>r,
yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t akan
tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya
sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya
sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006: 53).