pemaknaan simbol dalam komunitas brotherhood …
TRANSCRIPT
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
1
PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS ‘BROTHERHOOD’
(Konstruksi Makna Simbol Sebagai Identitas Diri dalam
Komunitas ‘Brotherhood’ di Bandung)
Ditha Prasanti & Sri Seti Indriani
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran
ABSTRACT
Culture is reflected in a community, the community itself is created from a group of
individuals which have similarities. These similarities can come from the same race,
same level of economic, same religion, same political view or the same lifestyle. As
social beings, every individual has the urge to have a sense of belonging, a need of
self existence, humans also need to be accepted by a group of people or community.
This 'sense of belonging' is one of the human trait. It gives the satisfaction of self-
identification which they can feel as a part of a community, and so they can feel their
existency. The Brotherhood community has its own characteristic identity which have
been constructed before in Bandung, so it is recognized easily by the people of
Bandung. They have the particular identities that range from simbols through
attributes in clothing and also motorcycles. Those identities become major simbols as
individuals who are members of the Brotherhood community. In this study,
researchers used a qualitative approach with descriptive methods. Data collection
techniques used were interviews, observation and documentation. The results of this
study indicate that in this case the simbols used by the Brotherhood simbolizes
'macho', 'manly' and ‘loyality’.They are identified from the skull emblem, black
colour clothing, boots, leather jackets and big classic motorcycles. As a Brotherhood
member, he should continue to hold this commitment in accordance with the identity
simbol attached to him, he has to look macho, manly and loyal.
Keywords: Meanings, Simbol, Community Brotherhood
PENDAHULUAN
Budaya memiliki arti yang sangat
umum, tidak hanya dicirikan melalui
sesuatu yang terlihat atau ‘visible’
namun juga hal- hal yang bernuansa
‘invisible’.
Budaya dikonstruksi oleh masyarakat
itu sendiri, dari cara mereka
menjalankan kehidupannya, dari apa
yang merupakan kebutuhan dan dari
informasi apa yang mereka dapatkan.
Hubungan atara budaya dan
komunikasi memiliki hubungan yang
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
2
saling berkaitan satu dengan lainnya,
tidak dapat dipisahkan karena
keduanya saling mempengaruhi.
Apa yang kita bicarakan, bagaimana
kita bicarakan, apa yang kita lihat, apa
yang tidak terlihat, apa yang dipikirkan
maupun yang tidak dipikirkan
dipengaruhi oleh budaya. Dan
begitupun sebaliknya, semua yang kita
perhatikan, bicarakan, pikirkan
maupun tidak turut membentuk suatu
budaya itu sendiri. Budaya bisa
dimulai dari yang terkecil seperti
budaya yang ada di dalam sebuah
keluarga. Budaya di satu keluarga
sangat mungkin untuk memiliki
perbedaan dengan budaya di keluarga
lainnya.
Budaya tercermin dalam sebuah
komunitas masyarakat. Sebuah
komunitas tercermin karena adanya
persamaan yang teridentifikasikan oleh
masing-masing individu dalam
komunitas tersebut. Mulai dari ras,
ekonomi, agama, politik maupun
lifestyle atau gaya hidup. Sebagai
makhluk sosial, tentu setiap individu
membutuhkan individu lainnya, dan
perasaan eksistensi, manusia pun perlu
memenuhi kebutuhannya akan
diterima oleh sebuah kelompok
masyarakat atau komunitas. Adanya
‘sense of belonging’ yang merupakan
salah satu ciri manusia. Hal tersebut
memberikan kepuasan atas identifikasi
diri, bahwa mereka merupakan bagian
dari sebuah kelompok atau komunitas.
Bandung sebagai sebuah kota yang
nyaman terkenal dengan dengan
berbagai macam komunitas yang ada
di dalamnya, mulai dari komunitas
yang sifatnya bernuansa tradisional,
pendidikan, maupun gaya hidup.
Namun, yang paling dikenal adalah
komunitas motornya. Ada banyak
komunitas motor di Bandung mulai
dari komunitas motor vespa, jepang,
hingga motor tua.
Brotherhood merupakan salah satu
klub motor asal Bandung yang
memiliki sejarah yang panjang.
Brotherhood berdiri pada tanggal 13
Juli 1988. Komunitas ini asalnya
merupakan kumpulan para penggemar
motor tua, De Motor’87. Penggemar
motor ini kerap berkumpul di Panti
Karya, Jalan Merdeka. Setelah
melewati lebih dari dua dekade, klub
motor ini akhirnya menyebarkan
eksistensinya ke seluruh Indonesia,
bahkan hingga negara tetangga.
Komunitas Brotherhood ini memiliki
ciri identitas tersendiri di lingkungan
Bandung, sehingga sangat dikenali
dengan mudah oleh masyarakat
Bandung. Mereka memiliki kekhasan
yang mencirikan identitasnya mulai
dari simbol-simbol melalui artibut
pakaian dan juga motor yang menjadi
simbol utama sebagai individu yang
merupakan anggota dari komunitas
Brotherhood.
Berdasarkan latar belakang di atas,
peneliti tertarik untuk mengangkat
penelitian tentang “Pemaknaan Simbol
dalam Komunitas Brotherhood”.
Dalam penelitian ini, masalah
penelitian ini difokuskan kepada
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konstruksi makna
simbol sebagai identitas diri dalam
komunitas Brotherhood di
Bandung?
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
3
2. Bagaimana Identitas tersebut
mempengaruhi gaya hidup dalam
komunitas Brotherhood di
Bandung?
Penelitian ini menggunakan teori
interaksi simbolik dalam mengkaji
makna simbol dalam mengidentifikasi
dirinya. Pengalaman individu dalam
memahami simbol-simbol dari
Brotherhood serta sejauh mana simbol
tersebut tertanam dalam identitas diri
anggota Brotherhood. Sesuai dengan
premis-premis dari interaksionisme
simbolik: 1). individu merespon suatu
situasi simbolik 2). makna adalah
produk interaksi sosial 3). makna yang
diintepretasikan individu dapat
berubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan situasi yang
ditemukan dalam interaksi sosial.
(Sukidin, 2002: 59)
Penelitian ini dilakukan berdasarkan
ketertarikan peneliti dalam penelitian
terdahulu, yang ada dalam fokus kajian
budaya, yakni Konstruksi Makna
Simbol bagi Komunitas Tanah Aksara
(Ditha Prasanti: 2016). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa
konstruksi makna simbol bagi
Komunitas Tanah Aksara telah
melekat dalam diri para anggota Tanah
Aksara. Makna simbol tersebut terdiri
dari simbol verbal maupun non verbal,
konstruksi makna simbol verbal
terlihat dalam aktivitas dan bahasa
tertentu yang digunakan oleh para
anggota Tanah Aksara sedangkan
simbol non verbalnya terlihat dalam
ikon, pakaian, dan gesture tubuh yang
digunakan dalam Tanah Aksara.
Teori lain yang sesuai dengan
penelitian ini adalah teori konstruksi
sosial atas realitas (Peter L Berger &
Thomas Luckman). Sebagaimana
dibahas oleh Basrowi dan Sukidin
(2002: 59), teori tersebut menekankan
bahwa realitas merupakan sesuatu
yang dikonstruksikan oleh manusia itu
sendiri. Simbol-simbol yang berupa
artibut-artibut di dalam lingkungan
komunitas Brotherhood ini menjadi
realitas sosial mereka, di mana simbol-
simbol tersebut dikonstruksi sesuai
dengan makna mereka sendiri.
TINJAUAN TEORI & KONSEP
Budaya merupakan kekhasan yang
dimiliki sekelompok manusia, setiap
manusia memiliki budaya yang sama
dan memiliki budaya yang tidak sama,
semakin banyaknya kesamaan dalam
beberapa aspek tertentu, maka
mencerminkan mereka berada pada
budaya yang sama, sehingga budaya
memiliki sifat pemersatu dan juga
pemisah apabila terlalu banyak budaya
yang berbeda. Budaya ini diciptakan
oleh manusia itu sendiri melalui
kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik
dan tradisi-tradisi yang terus
dilanjutkan secara turun temurun ke
generasi generasi selanjutnya. Budaya
juga merupakan cara berpikir kita, apa
yang menjadi pola piker kita ternyata
secara tidak disadari merupakan hal
yang terkonstruksi oleh budaya yang
kita anut.
Deddy Mulyana (2010: 112) dalam
bukunya berjudul Komunikasi Lintas
Budaya mengatakan bahwa budaya
memberikan manusia suatu identitas,
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
4
identitas yang kemudian digolongkan
pada kelompok-kelompok, kita dapat
mengetahui perbedaan identitas dari
satu budaya dengan budaya lainnya
dengan melihat aspek-aspek budaya:
1. Komunikasi dan bahasa, sistem
komunikasi verbal dan nonverbal
dapat membedakan suatu
kelompok dengan kelompok
lainnya, misalnya bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia.
2. Pakaian dan Penampilan, tiap
budaya memiliki suatu pakaian
khas dan unik yang menjadi
kebanggaan atas identitas mereka,
seperti batik yang dipakai orang
Indonesia, atau seragam sekolah
yang menandakan sebuah bahwa
kelompok tersebut adalah pelajar.
Penampilan lainnya berupa
perhiasan atau ‘make up’ yang
mereka pakai. Sepertti kita lihat
suku Indian kerap ditandai dengan
lukisan atau coretan di wajahnya.
3. Makanan dan Kebiasaan
makanan, mulai dari cara makan,
menyiapkan, mengolah makanan
serta makanan itu sendiri bisa
membedakan satu budaya dengan
budaya lainnya. Orang Asia
terkenal dengan makanan yang
mengunakan berbagai racikan
bumbu, sedangkan orang barat
tidak, banyak orang Asia yang
merasa bahwa makanan orang
Barat itu hambar dan
membosankan.
4. Waktu dan Kesadaran akan
waktu, Kita mengetahui bahwa
banyaknya orang dari negara-
negara Eropa selalu tepat waktu,
dan Indonesia terkenal dengan
budaya jam karetnya.
5. Penghargaan dan Pengakuan,
yakni cara dan metode dalam
memberikan suatu pujian bagi
perbuatan-perbuatan baik dan
berani, seperti apabila mereka
anak-anak, kemungkinan mereka
diberi penghargaan dengan cokelt
atau permen, atau pada tentara
sebuah medali.
6. Hubungan-hubungan, yang
didasarkan oleh pada usia, jenis
kelamin, status, kekeluargaan,
kekayaan, kekuasaan dan
kebijaksanaan. Contoh keluarga
adalah unit kelompok terkecil.
7. Nilai dan Norma, setiap budaya
akan memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang mungkin
berbeda dengan budaya lainnya,
seperti misalnya bangsa Indonesia
menjunjung tinggi nilai-nilai
pancasila. Isteri yang harus
mematuhi suami digolongkan
sebagai sebuah norma agama
islam dan lain sebagainya.
8. Rasa diri dan Ruang, kenyamanan
yang orang miliki dengan dirinya
dapat diekspresikan secara
berbeda ole budaya, misalnya
secara sedehana atau agresif.
Orang kota biasanya memiliki
jarak yang lebih jauh sehingga
terkesan sangal ‘individualistik’
sedangkan orang desa lebih
memiliki jarak yang lebih dekat.
9. Proses Mental dan Belajar, orang
Jerrman menekankan logika,
Jepang menolak sistem barat.
Dalam sistem Barat, murid
dibiasakan untuk berekspresi
sejak mereka kecil, baik dalam
memberikan pendapat atau
pandangan sehingga terkadang
terlihat ‘tidak sopan’ pada guru,
apabila dilihat dari prepektik
budaya Asia, yang tidak
dibiasakan seperti itu, dan lebih
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
5
dibiasakan cara belajarnya seperti
‘robot’
10. Kepercayaan dan Sikap, tiap
budaya memiliki kepercayaan-
kepercayaan tertentu. Seperti
dalam beberapa budaya yang
mempercayai hal-hal yang
supranatural. Di Barat mereka
banyak didominasi oleh banyak
kepercayaan dan tradisi orang
Kristen atau yahudi, sedangkan
budaya Timur lebih didominasi
oleh pengaruh Hinduisme,
Budhisme dan yang lainnya.
Termaksud dalam hal ini adalah
agama yang mereka anut dan
sikap mereka dalam menteledani
agama tersebut memberikan
perbedaan akan budaya yang
mereka anut. (Deddy Mulyana,
2010: 113)
Komunikasi bukan hanya sebagai
proses, melainkan komunikasi sebagai
pembangkitan makna (the generation
of meaning). Makna secara umum
adalah bentuk pengertian yang
diberikan oleh simbol atau tanda
tersebut. Brodbek (1963) juga
menggambarkan makna kedalam tiga
corak:
Makna inferensial, makna satu objek
(lambing) adalah objek, pikiran,
gagasan, konsep yang dirujuk oleh
kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan
Richards (1946: 11), proses pemberian
makna terjadi ketika kita
menghubungkan lambang Dengan
yang ditujukan lambing (disebut
rujukan atau referent).
a. Makna significance, suatu istilah
sejauh dihubungkan dengan konsep-
konsep lain. Contoh kata “Touring”
sebagai suatu proses perjalanan
orang-orang berkendaraan motor ke
daerah-daerah yang telah disepakati
bersama.
b. Makna intensional, makna yang
dimaksud oleh seorang pemakai
lambing. Makna yang dimiliki oleh
orang dalam pemikirannya saja.
Simbol adalah sebuah tanda dimana
petanda dan penanda (signifier dan
signified) semata-mata adalah masalah
konvensi, kesepatkatan bersama atau
peraturan. Simbol memiliki hubungan
asosiatif dengan gagasan atau
referensi. Simbol merupakan tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah
antara penanda dan petandanya.
Hubungan diantaranya bersifat
arbitrer, hubungan berdasarkan
konvensi masyarakat. Simbol tidak ada
artinya sama sekali kecuali manusia
memaknainya, dan tiap makna yang
terdapat dari dalam diri manusia
kurang lebih tidak sama cara
memaknainya, tergantung pada
pengalaman dan budaya yang ia alami.
Teori Konstruksi Sosial Realitas
Konstruksi Sosial atas Realitas (Social
Construction of Reality) didefinisikan
sebagai proses sosial melalui tindakan
dan interaksi dimana individu atau
sekelompok individu, menciptakan
secara terus-menerus suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif. Teori ini berakar pada
paradigma konstruktivis yang melihat
realitas sosial sebagai konstruksi sosial
yang diciptakan oleh individu, yang
merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial
yang dikonstruksi berdasarkan
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
6
kehendaknya, yang dalam banyak hal
memiliki kebebasan untuk bertindak di
luar batas kontrol struktur dan pranata
sosialnya. Dalam proses sosial,
manusia dipandang sebagai pencipta
realitas sosial yang relatif bebas di
dalam dunia sosialnya.
Konstruksi sosial merupakan teori
sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh
Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Teori ini merupakan suatu
kajian teoritis dan sistematis mengenai
sosiologi pengetahuan (penalaran
teoritis yang sistematis), bukan
merupakan suatu tinjauan historis
mengenai perkembangan disiplin ilmu.
Pemikiran Berger dan Luckmann
dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi
lain, seperti Schutzian tentang
fenomenologi, Weberian tentang
makna-makna subjektif, Durkhemian –
Parsonian tentang struktur, pemikiran
Marxian tentang dialektika, serta
pemikiran Herbert Mead tentang
interaksi simbolik.
Asal usul kontruksi sosial dari filsafat
Kontruktivisme, yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif.
Dalam aliran filsasat, gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak
Socrates menemukan jiwa dalam tubuh
manusia, dan Plato menemukan akal
budi. Gagasan tersebut semakin
konkret setelah Aristoteles akhirnya
mengenalkan istilah, informasi, relasi,
individu, subtansi, materi, esensi, dan
sebagainya. Ia mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial, setiap
pernyataan harus dapat dibuktikan
kebenarannya, serta kunci pengetahuan
adalah fakta. Ungkapan Aristoteles
Cogito ergo sum, yang artinya saya
berfikir karena itu saya ada, menjadi
dasar yang kuat bagi perkembangan
gagasan-gagasan dari konstruktivisme
sampai saat ini.
Menurutnya, hanya Tuhan sajalah
yang dapat mengerti alam raya ini
karena hanya Ia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa Ia
membuatnya, sementara itu orang
hanya dapat mengetahui sesuatu yang
telah dikonstruksikannya.
Terdapat pula 3 (tiga) macam
Konstruktivisme, antara lain:
1. Konstruktivisme radikal
Hanya dapat mengakui apa yang
dibentuk oleh pikiran kita, dan
bentuknya tidak selalu representasi
dunia nyata. Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan
antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran.
Pengetahuan bagi mereka tidak
merefleksi suatu realitas ontologism
obyektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individu yang
mengetahui dan tidak dapat ditransfer
kepada individu lain yang pasif.
2. Realisme hipotesis
Pengetahuan adalah sebuah hipotesis
dari struktur realitas yang mendekati
realitas dan dapat menuju kepada
pengetahuan yang hakiki.
3. Konstruktivisme biasa
Konstruktivisme biasa ini mengambil
semua konsekuensi konstruktivisme,
serta memahami pengetahuan sebagai
gambaran dari realitas itu.
Pengetahuan individu dipandang
sebagai gambaran yang dibentuk dari
realitas objektif dalam dirinya sendiri.
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
7
Dari ketiga macam konstruktivisme
terdapat kesamaan, dimana
konstruktivisme dilihat sebagai proses
kerja kognitif individu untuk
menafsirkan dunia realitas yang ada,
karena terjadi relasi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang
di sekitarnya. Kemudian Individu
membangun sendiri pengetahuan atas
realitas yang dilihatnya berdasarkan
pada struktur pengetahuan yang telah
ada sebelumnya, inilah yang disebut
dengan konstruksi sosial menurut
Berger dan Luckmann.
Berger dan Luckman berpendapat
bahwa institusi masyarakat tercipta
dan dipertahankan atau diubah melalui
tindakan dan interaksi manusia,
walaupun masyarakat dan institusi
sosial terlihat nyata secara obyektif,
namun pada kenyataannya semua
dibentuk dalam definisi subjektif
melalui proses interaksi. Objektivitas
dapat terjadi melalui penegasan
berulang-ulang yang diberikan oleh
orang lain, yang memiliki definisi
subjektif yang sama. Pada tingkat
generalitas yang paling tinggi, manusia
menciptakan dunia dalam makna
simbolis yang universal, yaitu
pandangan hidup menyeluruh yang
memberi legitimasi dan mengatur
bentuk-bentuk sosial, serta memberi
makna pada berbagai bidang
kehidupannya.
Menurut Berger & Luckman, dalam
(Luzar, Laura Christina: 2015)
terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial,
antara lain:
1. Realitas Sosial Objektif
Merupakan suatu kompleksitas definisi
realitas (termasuk ideologi dan
keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti
tindakan dan tingkah laku yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dan
sering dihadapi oleh individu sebagai
fakta.
2. Realitas Sosial Simbolik
Merupakan ekspresi bentuk-bentuk
simbolik dari realitas objektif, yang
umumnya diketahui oleh khalayak
dalam bentuk karya seni, fiksi serta
berita-berita di media.
3. Realitas Sosial Subjektif
Realitas sosial pada individu, yang
berasal dari realitas sosial objektif dan
realitas sosial simbolik, merupakan
konstruksi definisi realitas yang
dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi. Realitas
subjektif yang dimiliki masing-masing
individu merupakan basis untuk
melibatkan diri dalam proses
eksternalisasi atau proses interaksi
sosial dengan individu lain dalam
sebuah struktur sosial.
Setiap peristiwa merupakan realitas
sosial objektif dan merupakan fakta
yang benar-benar terjadi. Realitas
sosial objektif ini diterima dan
diinterpretasikan sebagai realitas sosial
subjektif dalam diri pekerja media dan
individu yang menyaksikan peristiwa
tersebut. Pekerja dari media juga
mengkonstruksi realitas subjektif yang
sesuai dengan seleksi dan preferensi
individu menjadi realitas objektif yang
ditampilkan melalui media dengan
menggunakan berbagai simbol-simbol.
Tampilan realitas di media inilah yang
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
8
disebut realitas sosial simbolik dan
diterima pemirsa sebagai realitas sosial
objektif karena media dianggap
merefleksikan realitas sebagaimana
adanya.
Berger & Luckmann berpandangan
bahwa kenyataan itu dibangun secara
sosial, dalam pengertian individu-
individu dalam masyarakat yang telah
membangun masyarakat, maka
pengalaman individu tidak dapat
terpisahkan dengan masyarakat.
Manusia sebagai pencipta kenyataan
sosial yang objektif melalui 3 (tiga)
momen dialektis yang simultan, yaitu:
1. Eksternalisasi
Merupakan usaha pencurahan atau
ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun
fisik. Proses ini merupakan bentuk
ekspresi diri untuk menguatkan
eksistensi individu dalam masyarakat.
Pada tahap ini masyarakat dilihat
sebagai produk manusia (Society is a
human product).
2. Objektivasi
Merupakan hasil yang telah dicapai
(baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia),
berupa realitas objektif yang mungkin
akan menghadapi si penghasil itu
sendiri sebagai suatu faktisitas yang
berada diluar dan berlainan dari
manusia yang menghasilkannya (hadir
dalam wujud yang nyata). Pada tahap
ini masyarakat dilihat sebagai realitas
yang objektif (Society is an objective
reality) atau proses interaksi sosial
dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi.
3. Internalisasi
Merupakan penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa, sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur
dunia sosial. Berbagai macam unsur
dari dunia yang telah terobjektifikasi
akan ditangkap sebagai gejala realitas
diluar kesadarannya, sekaligus sebagai
gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi manusia menjadi hasil
dari masyarakat (Man is a social
product).
Eksternalisasi, objektifikasi dan juga
internalisasi adalah dialektika yang
berjalan simultan, artinya ada proses
menarik keluar (eksternalisasi)
sehingga seakan-akan hal itu berada di
luar (objektif) dan kemudian terdapat
proses penarikan kembali ke dalam
(internalisasi) sehingga sesuatu yang
berada di luar tersebut seakan-akan
berada dalam diri atau kenyataan
subyektif. Pemahaman akan realitas
yang dianggap objektif pun terbentuk,
melalui proses eksternalisasi dan
objektifasi, individu dibentuk sebagai
produk sosial. Sehingga dapat
dikatakan, setiap individu memiliki
pengetahuan dan identitas sosial sesuai
dengan peran institusional yang
terbentuk atau yang diperankannya.
Gagasan Berger dan Luckman tentang
konstruksi sosial, berlawanan dengan
gagasan Derrida ataupun Habermas
dan Gramsci. Kajian-kajian mengenai
realitas sosial dapat dilihat dengan cara
pandang Derrida dan Habermas, yaitu
dekonstruksi sosial atau Berger dan
Luckmann, yaitu menekankan pada
konstruksi sosial. (Luzar, Laura
Christina: 2015)
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
9
Dalam penelitian ini, teori konstruksi
sosial digunakan untuk menganalisis
pemaknaan simbol yang terjadi dalam
komunitas Brotherhood.
Teori Interaksi Simbolik
Esensi dari interaksi simbolik
menekankan pada suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yakni
komunikasi atau pertukaran simbol
yang diberi makna (Mulyana, 2010:
68). Banyak ahli di belakang
perspektif ini yang mengatakan bahwa
individu sebagai manusia merupakan
hal yang paling penting. Mereka
mengatakan bahwa individu adalah
objek yang bisa secara langsung
ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang
lain. Menurut Ralph Larossa dan
Donald C. Reitzes (1993) interaksi
simbolik pada intinya menjelaskan
tentang kerangka referensi untuk
memahami bagaimana manusia,
bersama dengan orang lain,
menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk
perilaku manusia. Interaksi simbolik
ada karena ide-ide dasar dalam
membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri
(Self), dan hubungannya di tengah
interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk
memediasi, serta menginterpretasi
makna di tengah masyarakat (Society)
dimana individu tersebut menetap.
Mind, Self and Society merupakan
judul buku yang menjadi rujukan
utama teori interaksi simbolik,
merefleksikan tiga konsep utama dari
teori. Definisi singkat dari ke tiga ide
dasar dari interaksi simbolik, yaitu:
1. Pikiran (Mind)
Pikiran adalah suatu kemampuan
untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama,
dimana setiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka
melalui interaksi dengan individu lain
(West dan Turner, 2007: 102). Simbol
yang bermakna adalah tindakan verbal
berupa bahasa yang merupakan
mekanisme utama interaksi manusia.
Penggunaan bahasa atau isyarat
simbolik oleh manusia dalam interaksi
sosial mereka pada gilirannya
memunculkan pikiran (mind) yang
memungkinkannya menginternalisasi
masyarakat. Jadi menurut Mead,
pikiran mensyaratkan adanya
masyarakat; dengan kata lain
masyarakat harus lebih dulu ada
sebelum adanya pikiran (Mulyana, 84:
2010). Dengan demikian pikiran
adalah bagian integral dari dari proses
sosial, bukan sebaliknya proses sosial
adalah produk pikiran. Menurut
Mead, lewat berfikir yang terutama
ditandai degan kesadaran,manusia
mampu mencegah tindakannya sendiri
untuk sementara, menunda reaksinya
terhadap suatu stimulus (Mulyana :
86). Manusia juga mampu mengambil
suatu stimulus diantara sekian banyak
stimulus alih-alih bereaksi terhadap
stimulus yang pertama dan yang paling
kuat. Manusia pun mampu pula
memilih suatu tindakan di antara
berbagai tindakan yang direncanakan
atau dibayangkan.
2. Diri (Self)
Diri adalah kemampuan untuk
merefleksikan diri sendiri dari sudut
pandang atau pendapat orang lain.
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
10
Disini diri tidak dapat dilihat dari
dalam diri seseorang melalui
introspeksi diri. Bagi Mead, diri hanya
bisa berkembang melalui kemampuan
pengambilan peran, yaitu
membayangkan diri dari pandangan
orang lain (West dan Turner, 2007 :
103). Konsep melihat diri dari
pandangan orang lain sebenarnya
sebuah konsep yang pernah
disampaikan oleh Charles Cooley pada
1912. Konsepnya adalah the looking
glass self yaitu kemampuan melihat
diri melalui pantulan dari pandangan
orang lain. Cooley meyakini bahwa
ada tida prinsip perkembangan
sehubungan dengan the looking glass
self, yaitu (1) membayangkan
penampilan kita di hadapan orang lain,
(2) membayangkan penilaian mereka
terhadap penampilan kita, dan (3)
merasa sakit hati atau bangga karena
perasaan diri.
3. Masyarakat (Society) adalah
jejaring hubungan sosial yang
diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu
ditengah masyarakat, dan tiap
individu tersebut terlibat dalam
perilaku yang mereka pilih secara
aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah
masyarakatnya. Oleh karena itu
masyarakat terdiri dari individu-
individu yang terbagi kedalam dua
bagian yaitu masyarakat yang
mempengaruhi pikiran dan diri.
Masyarakat yang pertama disebut
Mead sebagai particular others yang
berisikan individu yang bermakna
bagi individu yang bersangkutan
seperti anggota keluarga, teman dan
rekan kerja, sedangkan masyarakat
yang kedua adalah generalized others
yang merujuk pada kelompok sosial
dan budayanya secara keseluruhan.
Generalized others menyediakan
informasi tentang peranan, peraturan
dan sikap yang digunakan bersama
oleh komunitas, sedangkan particular
others memberikan perasaan diterima
dalam masyarakat dan penerimaan
diri. Generalized others seringkali
membantu mengatasi konflik yang
terjadi dalam particular others.
Dari pemaparan tentang latar belakang
pemikiran besar tentang manusia yang
mempengaruhi pemikiran George
Herbert Mead dan konsep dasar dari
interaksi simbolik, maka dapat
disimpukan bahwa terdapat tiga tema
konsep interaksi simbolik, yaitu :
1. Pentingnya makna bagi perilaku
manusia
2. Pentingnya konsep mengenai diri
3. Hubungan antara individu dengan
masyarakat.
Aktivitas dari seorang individu dalam
menggunakan simbol atau bahasa
dilakukannya melalui interaksi dengan
masyarakat. Hasil aktivitas individu ini
akan berpengaruh pada masyarakat
tempat individu tersebut berinteraksi.
Hubungan antara masyarakat dan
individu yang akan berinterkasi
menggunakan simbol-simbol yang
sama, akan mereka maknai sesuai
dengan interaksi mereka tersebut.
Interaksi menggunakan simbol yang
sama dalam suatu masyarakat ini dapat
membentuk konstruksi realitas sosial
bagi individu yang terlibat di
dalamnya.
Simbolisme suatu makna bukan hanya
bahasa, simbolisme adalah semua
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
11
aspek tindakan manusia. Hal ini
bukanlah ide baru, tetapi bahasa telah
sangat diistimewakan dalam karya-
karya para ahli interaksi simbolik.
Interaksi simbolik memungkinkan
manusia untuk memahami realitas dan
berinteraksi dengan manusia lain
dalam suatu proses komunikasi, dalam
arti dari pesan yang dimaknai dan
ditransformasikan pada pihak lain pada
akhirnya dapat mempengaruhi pihak
kedua dalam suatu proses komunikasi
yang timbal balik. Hal ini relevan
dengan penelitian peneliti, pemaknaan
simbol bagi komunitas Brotherhood
ini mengalami transformasi pesan, di
mana pesan yang dimaknai dan
ditransformasikan kepada para
anggotanya dapat mempengaruhi
proses komunikasi yang terjadi di
antara mereka.
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis dengan menggunakan
metode deskriptif. Metode deskriptif
adalah suatu metode dalam meneliti
setatus sekelompok manusia, suatu
obyek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini
adalah untuk membuat deskipsi,
gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang
diselidiki.
“Metodologi adalah proses, prinsip,
dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati problem dan mencari
jawaban” (Mulyana, 2008: 145).
Menurut Sugiyono (2007: 1), metode
penelitian kualitatif merupakan suatu
penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada objek yang alamiah
dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara gabungan,
analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi.
Penelitian kualitatif bertujuan
mempertahankan bentuk dan isi
perilaku manusia dan menganalisis
kualitas-kualitasnya, alih-alih
mengubahnya menjadi entitas-entitas
kuantitatif (Mulyana, 2008: 150).
Metode yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan analisis data
kualitatif. Disebut sebagai metode
deskriptif karena penelitian ini tidak
menggunakan hipotesis dan variabel
melainkan hanya menggambarkan dan
menganalisis kejadian yang ada tanpa
perlakuan khusus atas objek-objek
yang diteliti.
Mengenai tipe deskriptif, Jalaludin
Rakhmat dalam buku Metode
Penelitian Komunikasi menjelaskan
bahwa “Penelitian deskriptif hanyalah
memaparkan situasi atau peristiwa.
Penelitian ini tidak mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi”.
(Rakhmat, 2002: 24)
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
12
Lebih lanjut Jalaludin Rakhmat
menjelaskan “Ciri lain metode
deskriptif ialah titik berat pada
observasi dan suasana alamiah
(naturalisasi setting). Peneliti
bertindak sebagai pengamat. Ia hanya
membuat kategori pelaku, mengamati
gejala, dan mencatatnya dalam buku
observasi”. (Rakhmat, 2002: 25)
Observasi yang peneliti lakukan yaitu
penelitian berdasarkan kondisi di
lapangan, peneliti tidak terlibat dalam
kegiatan tersebut hanya mengamati
gejala-gejala yang ada di lapangan
yang kemudian dilakukan analisis
untuk mendapatkan kesimpulan dari
penelitian yang dilakukan.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan
melakukan observasi, wawancara
mendalam, dan studi dokumentasi.
1) Observasi
Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah pengamatan.
Pengamatan dilakukan dengan cara
nonparticipant observation, terhadap
objek yang diteliti yaitu yang berkaitan
dengan konstruksi makna simbol
sebagai identitas diri dalam komunitas
Brotherhood di Bandung.
2) Wawancara
Wawancara yang dilakukan penulis
dalam penelitian dimaksudkan untuk
mengetahui pandangan, kejadian,
kegiatan, pendapat, perasaan dari
narasumber (subject matter expert).
Wawancara yang dilakukan yaitu
untuk mengetahui mengenai
konstruksi makna simbol sebagai
identitas diri dalam komunitas
Brotherhood. Penggunaan teknik ini
sangat penting bagi penelitian
kualitatif, terutama untuk melengkapi
data dan upaya memperoleh data yang
akurat dan sumber data yang tepat.
3) Studi Dokumentasi
Menurut Burhan Bungin (2007: 121),
metode dokumenter adalah metode
yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Dokumentasi dalam penelitian
ini diperlukan terutama untuk
memperkaya dari landasan-landasan
teoritis dan mempertajam analisis
penelitian yang berkaitan dengan
konstruksi makna simbol sebagai
identitas diri dalam komunitas
Brotherhood.
Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik sampling
purposive, yakni memilih informan
sesuai dengan kebutuhan peneliti. Jadi,
peneliti mengambil tiga orang anggota
terlama dalam komunitas Brotherhood,
yaitu:
1. Dian Rahadian, 35 tahun,
Wiraswasta
2. Erwin, 40 tahun, Wiraswasta
3. Alam, 30 tahun, Wiraswasta
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Komunitas Brotherhood melegenda di
dunia bikers Indonesia. Motor besar
nan antik serta penampilan yang
macho dari para bikers adalah ciri khas
utama dari komunitas bikers yang satu
ini. Mereka adalah bikers Brotherhood
yang merupakan komunitas motor
terbesar dan tertua yang ada di
Bandung. Bahkan nama bikers
Brotherhood juga sudah melegenda.
Ratusan anggota pencinta motor klasik
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
13
itu juga punya kegiatan rutin di setiap
pekan.
Beberapa titik home base mereka di
kota Bandung menjadi tempat
nongkrong bareng sambil bertukar
pengalaman dan memamerkan koleski
motornya. Motor klasik milik anggota
komunitas ini sangatlah beragam,
mulai dari motor bmw, England,
Norton, triumph, jawa, zundaap,
punch, hingga harley Davidson.
Namun tidak hanya berjenis klasik
motor sebagian motor dari para bikers
ini lain ada yang berjenis klasik
costum yaitu motor klasik yang sudah
dimodifikasi dengan gaya yang
modern. Jika dilihat dari kisaran harga
motor klasik tersebut terbilang sangat
tinggi dan bervariatif mulai dari
puluhan juta rupiah hingga ratusan juta
rupiah.
Kepemilikan motor klasik merupakan
simbol tersendiri bahwa mereka adalah
anggota Brotherhood dan memberikan
identifikasi pada individunya bahwa ia
adalah individu penyuka motor-motor
klasik yang hobinya ‘touring’.
Memiliki identifikasi tersebut, dengan
tanpa disadaripun individu harus terus
berkomitment akan identifikasi
tersebut, sehingga ia akan memakai
artibut berupa simbol-simbol lain yang
mendukung identitasnya tersebut.
Gambar 1
Gambar 2
Simbol-simbol yang digunakan
komunitas Brotherhood
Namun, untuk menjadi seorang
anggota bikers Brotherhood tidaklah
mudah. Selain tentunya harus memiliki
motor tua, mereka juga diharuskan
terlebih dahulu mengikuti tahapan -
tahapan awal yang ada dalam sistem
perekrutannya. Meskipun demikian di
dalam komunitas ini tidak pernah
mengenal adanya perbedaan dalam
bentuk apapun juga. Hal ini sesuai
dengan filosofi gambar kepala
tengkorak yang merupakan lambang
utama dari Brotherhood.
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
14
Gambar Tengkorak Lambang
Brotherhood
Gambar 3
Selain digunakan oleh grup-grup
musik, lambang tengkorak pun
menjadi pilihan kreasi di kalangan
bikers, baik sebagai logo/lambang klub
ataupun kreasi disain lain. Sebagai
informasi, bukan cuma bikers dalam
negeri saja yang memakai
logo/lambang tengkorak, bikers di luar
negeri juga banyak memakai gambar
tengkorak sebagai logo klub.
Dipilihnya lambang tengkorak tersebut
umumnya dimaksudkan sebagai
lambang kebebasan, persaudaraan
yang kental, kejantanan klub yang
memangkeanggotaanya banyak
didominasi oleh kaum laki-laki.
Pengunaan lambang tengkorak
diidentikkan dengan gaya beraliran
keras (macho).
Ironisnya, dibalik penggunaan gambar
tengkorak di dunia bikers tersebut
masyarakat umum cenderung terpaku
dengan stereotype (mindset) “bikers
tukang bikin onar” atau dianggap
sebagai genk motor yang tindakannya
lebih banyak melakukan tindakan
kriminal atau anarkis. Memang ada
sebagaian klub/komunitas motor yang
memakai gambar dari tengkorak
melakukan tindakan-tindakan kriminal
terhadap masyarakat. Penggunaan
gambar tengkorak, apapun bentuk dan
disainnya,tidak harus diartikan dengan
negatif. Makna lain dari gambar
tengkorak masih banyak.
Stereotype negative mengenai geng
motor dalam masyarakat memang ada
penyebabnya. Ini karena budaya geng
motor di Amerika sebenarnya
merupakan komunitas yang memang
suka melanggar peraturan-peraturan
sistem dan melakukan banyak
kriminalitas. Di Amerika simbol-
simbol ‘geng motor’ memiliki makna
yang sangat berbeda dengan Indonesia.
Mereka memang secara terang-
terangan mengakui diri mereka sebagai
orang-orang yang ‘out law’, alias
mereka yang berada di luar hukum,
dan tidak mau mengikuti peraturan
yang ada di dalam sistem. Mereka juga
memiliki symbol-simbol tertentu yang
hanya dimengerti oleh sesama anggota
motor di Amerika, seperti mereka
menempelkan sebuah tanda huruf ‘M’
pada jaket kulitnya, yang memiliki arti
bahwa individu tersebut adalah
pengguna narkoba. ‘M’ itu sendiri
berasal dari kata mariyuana. Pada
dasarnya prinsip anak komunitas
motor Brotherhood di Indonesia
hampir sama, mereka ingin ‘bebas’,
khususnya dari sebuah ‘sistem’,
namun, mereka yang di Indonesia
tidak juga ingin berbuat keonaran, dan
tetap mematuhi peraturan yang ada
dalam masyarakat. Bahkan, mereka
ingin dikenal sebagai komunitas motor
yang ‘tertib hukum’ apalagi dalam lalu
lintas.
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
15
Artibut dan simbol lain yang
mendukung identitas kelompok
Brotherhood Indonesia ini juga dengan
pakaian mereka yang serba hitam,
jaket kulit, sepatu boots, dan tidak
jarang anggta Brotherhood memakai
aksessories tambahan seperti bando,
kalung metal, ataupun gelang-gelang
kulit.
Gambar 4 Anggota Brotherhood sedang melakukan
konvoi di jalanan
Komunitas motor tertua dan terbesar di
Bandung, juga memiliki agenda untuk
kegiatan sosial. Jadi, mereka tak hanya
bangga dengan motor koleksiannya,
namun ada nilai kekeluargaan yang
selalu merekatkan hubungan di antara
para anggotanya. Mereka senang
berkumpul bersama, tempat ‘hang out’
mereka memang banyak dan ada di
seputar daerah Bandung, tiap
‘tongkrongan’ ini disebut sebagai
‘check point’. Di setiap ‘check point’
ini mereka berkumpul, dan
membicarakan kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan atau hanya
membicarakan motor-motor atau hidup
mereka. Seperti yang ada pada gambar
berikut ini, seorang anggota
Brotherhood bernama Azwar sedang
berdiri di dekat gambar besar
yangmana bertuliskan “check point
Timur”, yang berarti adanya tempat
‘tongkrongan’ anggota Brotherhood di
daerah Bandung Timur.
Gambar 5
Check point Timur
Gambar 5 memperlihatkan suasan
acara ‘nongkrong’ bersama beberapa
anggota Brotherhood di daerah timur
Bandung. Seperti yang tampak pada
gambar tersebut terlihat bahwa satu
dengan yang lainnya memiliki
kesamaan dalam berpakaian, pakaian
mereka selain mengenakan kaos yang
ada simbol tengkorak yang
meenggunakan helmet dan bertuliskan
‘Brotherhood Indonesia’, pakaian
mereka didominasi oleh warna hitam.
Artibut lainnya yang memberi
identifikasi bahwa mereka dari
kalangan motor adalah jaket kulit
hitam dan rantai.
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
16
Brotherhood sendiri memiliki arti
‘Persaudaraan’, alias ‘kakak/adik”,
sehingga hubungan antar sesama
anggota komunitas Brotherhood
selayak hubungan kakak adik. Apabila
dikaitkan dengan kelompok bikers,
maka Brotherhood memiliki arti
mereka yang memiliki visi misi tujian
dan hobby yang sama terkait akan
motor-motor klasik. Jumlah anggota
Brotherhood di Indonesia cukup besar
jumlahnya, tentu tidak semua saling
mengenal satu dengan yang lainnya,
tapi mereka akan mengenal seseorang
sebagai anggota Brotherhood melalui
simbol-simbol berupa artibut-artibut
yang mereka kenakan. Mereka
memiliki ‘kode etik’ tertentu apabila
mereka berpas-pas-an dijalan, mereka
harus saling melambaikan tangan atau
setidaknya membunyikan klakson. Itu
merupakan tradisi mereka, apabila
seseorang yang tidak melakukan hal
tersebut, maka akan dibilang sebagai
sosok yang ‘belagu’ dan kemungkinan
akan di ‘cari’.Karena ‘kode etik’
tersebut sudah disepakati di seluruh
komunitas Brotherhood se-Indonesia.
Peneliti melakukan berbagai
wawancara mendalam pada tiga
anggota ‘Brotherhood’ untuk
menyingkap pertanyaan penelitian
mengapa mereka ingin menjadi
anggota ‘Brotherhood’ dan bagaimana
mereka memaknai dan mengkonstruksi
simbol-simbol Brotherhood yang
kurang lebih menjadi identitas diri
mereka dan mempengaruhi gaya hidup
mereka. Wawancara pertama
dilakukan pada salah satu tempat
‘hang out’ anak Brotherhood yang
terletak di jalan Braga. Ia bernama
Dian berumur 35 tahun, Dian
menyatakan bahwa ia sudah tertarik
dengan motor tua sejak dia masih
duduk di bangku SMA, awalnya
diperkenalkan kakaknya Luki, yang
sudah terlebih dahulu menjadi anak
Brotherhood. Dian akhirnya mencoba
menjadi anak ‘Brotherhood’ sejak
tahun 1996, sehingga sudah 20 tahun
lamanya.Ketika diwawancara Dian
sedang memakai sepatu boots, dan
memakai kaos yang memiliki gambar
sebuah motor tua merek ‘Triumph’, di
luar kaos tersebut, Dian juga
mengenakan semacam kemeja flannel
(kemeja dengan bahan ‘wool’ dan
berkotak-kotak”, ketika ditanya
mengapa ia mengenakan simbol-
simbol berupa pakaian tersebut, Dian
menjawab bahwa pertama kalinya ia
mendatangi ‘base camp’ Brotherhood
ketika masih muda, ia melihat semua
anggota Brotherhood mengenakan hal
yang sama dan sangat identik dengan
kemeja flannel, celana jeans, dan
sepatu boots, wawancara kemudian
dilanjutkan sesuai dengan tujuan
penelitian. Dari wawancara yang
dilakukan, peneliti menguraikan
gambaran dibawah ini;
Dian mengawali ceritanya
mengenai keanggotaanya dengan
Brotherhood dengan mengisahkan
sedikit latar belakang komunitas
Brotherhood. Pada awal mulanya,
basis ‘kelompok Brotherhood’ erdiri
dari empat rayon, barat timur selatan
dan utara. Namun istilah rayon
kemudian dihilangkan karenadan
tergantikan dengan istilah ‘check
pointt’. Luna merupakan salah satu
‘check point’ yang terletak di daerah
Pagarsih Bandung. Luna menjadi
‘check point’ karena merupakan
sebuah bengkel motor tua yang
dimiliki oleh seorang ‘Brotherhood’
senior bernama Adang. Adang yang
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
17
ahli dalam mekanis motor tua ini
merupakan salah satu tokoh
‘Brotherhood’ yang disegani karena
keahliannya dalam membetulkan dan
menyediakan spare part motor-motor
klasik. Luna juga dilengkapi dengan
warung kopi, yang sekaligus membuat
para anggota Brotherhood nyaman dan
senang untuk ‘hang out’ disana.
Dian masuk menjadi seorang anak
‘brotherhood’ awalnya selain karena
terinspirasi oleh kakaknya, Dian juga
menyukai motor-motor tua yang
menurutnya sangat unik, beda dan anti
main stream. Dian mengakui bahwa
alasan utama Dian masuk menjadi
anggota Brotherhood adalah agar
supaya mendapatkan kemudahan
dalam mencari onderdil-onderdil
motor tua yang merupakan barang
langka pada masa itu (1996). Untuk
mendapatkan banyaknya informasi-
informasi mengenai spare part yang
berhubungan dengan motor tua, harus
bergaul dengan anggota Brotherhood.
Kegiatan yang biasa dilakukan
bersama adalah ‘touring’ yakni sebuah
kegiatan perjalanan dengan motor ke
daerah-daerah. Menurut pengakuan
Dian anggota botherhood sekarang
sudah lebih dari 600 orang, sehingga
bentuk ‘Brotherhood’ sendiri bukan
lagi sebagai suatu kelompok biasa
namun fungsinya berubah sebagai
sebuah organisasi. Pada masa sekarang
untuk menjadi salah satu anggota
‘Brotherhood’ harus melalui sebuah
prosedur tersendiri, hal ini berfungsi
agar yang masuk menjadi anggota
‘Brotherhood’ memang betul-betul
berdedikasi tinggi terhadap organisasi
tersebut dan juga terhadap motor-
motor tua. Pada tahap awal, mereka
yang ingin masuk menjadi anak
‘Brotherhood’ disebut sebut sebagai
‘prospek’. Prospek dicirikan oleh
pakaian mereka yang berbeda dengan
mereka yang sudah menjadi anggota
sesungguhnya. Sebagai calon anggota
atau prospect, tidak ada kewajiban
untuk harus mempunyai motor atau
tidak dalam tahap ini. Mereka
diharuskan loyal kepada organisasi
dengan segala aturannya. Salah satu
atribut yang disandang saat tahap ini
adalah jaket jins dengan tulisan
prospect di bagian pundak. Masa
tahapan ini bisa bervariasi tergantung
sikap calon anggota ini. Saat sudah
lulus, maka mereka akan menjadi
virgin member. Mereka dihimbau
sudah memiliki motor. Biasanya
mereka berada di tahap ini selama
sembilan bulan, ini disesuaikan dengan
masa kandungan. Mereka wajib
mengikuti setiap event yang akan/telah
diselenggarakan oleh Brotherhood.
Setelah lulus dari tahap ini, mereka
akan menjadi Life Member. Saat ini
mereka sudah benar-benar menjadi
anggota Brotherhood. Mereka harus
tetap menjaga loyalitas dan mematuhi
aturan yang ditentukan. Mereka yang
yang sudah melewati masa ini lebih
dari lima tahun mendapat atribut
simbolwing angel, 10 tahundengan
wing heaven dan 15 tahun
mendapatkan wing hell. Semua atribut
ini memang penting, namun ikatan
persaudaraan tetap yang paling utama
dalam klub motor ini.
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
18
Keuntungan yang didapat ketika
menjadi anggota ‘Brotherhood’, Dian
mengakui selain pergaulan,
perlindungan dari ‘geng’ motor
lainnya, informasi onderdil motor dan
yang terpenting adalah identitas diri.
Dian mengakui bahwa simbol-simbol
yang mengkonstruksi identitas dirinya
dalam komunitas Brotherhood.
Pemakaian simbol-simbol berupa
artibut maupun lambang merupakan
sebuah fungsi dalam mengidentifikasi
dirinya. Dalam salah satu bagian
wawancara Dian mengatakan:
“Kalau anggota komunitas
Brotherhood sih pasti udah paham
sama simbol-simbol itu. Setiap
simbol yang ada punya maknanya,
dan itu tuh udah kayak identitas
diri kami sebagai anggota
komunitas Brotherhood. Trus, gue
khususnya ya, jadi punya rasa PD
yang lebih tinggi aja karena udah
jadi bagian dari Brotherhood.”
(Wawancara dengan Dian, 1/1/2016)
Sehingga, dari pernyataan Dian
tersebut, simbol-simbol tersebut yang
berupa artibut maupun cara berpakaian
mengkonstruksi identitas dirinya,
sehingga dia merasa menjadi sosok
yang percaya diri, macho, setia, dan
bebas. ‘macho’ dalam perpektif Dian
ini lebih pada karakter, karena dia
merasa bahwa dirinya memiliki
semacam ‘power’ kadang juga ia
menyalahgunakan. Menurut dari
pengakuannya, pada masa-masa ia
berumur 20 tahunan dan masih
menjadi anggota Brotherhood yang
aktif, ia beberapa kali masuk gratis
melalui ‘back stage’ sebuah konser
hanya dengan mengeluarkan simbol
tertentu yang mengidentifikasikan
bahwa dirinya adalah anak
Brotherhood. Suatu saat ada sebuah
konser dimana Dian berusaha kembali
masuk tanpa menggunakan tiket,
ketika ada penjaga yang
menghalanginya, ia langsung
berteriak, “Masa anak Brotherhood
gak boleh masuk?” dengan suara yang
tinggi, tanpa pikir panjang, penjaga
konser tersebut kemudian membiarkan
Dian masuk. Pengalaman tersebut
membuktikan bahwa makna simbol
dan identitas diri sebagai anggota
komunitas Brotherhood dibawa ke
dalam kehidupan bermasyarakat.
Wawancara berikutnya dilakukan pada
informan kedua bernama Erwin
berumur 40 tahun, Erwin yang telah
lebih lama menjadi anggota komunitas
Brotherhood sedikit berbeda dengan
Dian. Asal mula Erwin terjun ke
omunitas Brotherhood adalah pada
tahun 1994, ia sebelumnya tertarik
akan motor-motor tua, dan akhirnya
memiliki salah satu motor klasik
tersebut sehingga asal mula tujuannya
bergabung dengan komunitas
Brotherhood ini agar ia memiliki
teman-teman yang meiliki ketertarikan
yang sama. Berbeda dengan Dian,
Erwin yang menjadi anggota
komunitas Brotherhood pada tahun
1994 menuturkan bahwa pada tahun
itu identitas komunitas Brotherhood
diperlihatkan melalui sebuah rompi
jeans yang ada gambar simbol bikers.
Erwin mengakui pada saat itu senang
mengenakan simbol-simbol tersebut
agar diakui berasal dari kalangan
motor. Berbeda dengan Dian pada saat
ini 2016, Erwin sudah banyak
mengurangi kegiatannya dalam
komunitas Brotherhood dan sehari-
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
19
hari tidak pakai simbol-simbol tersebut
karena dianggap tidak praktis, namun
ia akan menggunakannya kalau ada
acara atau touring bersama.
Wawancara selanjutanya dilakukan
pada informan ketiga bernama Alam
yang berumur 30 tahun, ia mulai
masuk menjadi anggota komunitas
Brotherhood pada tahun 2006,
alasannya dia ikut bergabung adalah
untuk sekedar bersosialisasi dan
menambah informasi di dunia motor
tua. Alam tergolong baru menjadi
anggota komunitas Brotherhood
dibandingkan dengan kedua informan
sebelumnya. Ia menuturkan bahwa
awalnya ia diajak dan ditawarin
sebuah motor klasik, kemudian dia
menjadi tertarik untuk mencobanya.
Setelah kemudian ia membelinya, ia
merasa cocok dengan pergaulan dan
suasananya.
Menurut pengakuan Alam, sejak ia
membeli motor tua itu, ia pun
mengikuti cara berpakaian anak motor,
yang selalu identik dengan boots dan
jaket kulit. Ia mengakui dengan ini, ia
merasa seperti seorang pria sejati alias
‘macho’, dan merasa memiliki
kekuatan.
DISKUSI/ PEMBAHASAN
Identitas seseorang yang terkonstruksi
akan mempengaruhi gaya hidup mulai
dari cara berpakaian, pola pikir, dan
juga tujuan hidup. Seperti yang telah
dibahas diatas, berdasarkan hasil
wawancara dengan informan pertama,
Dian mengakui keanggotaannya dalam
komunitas Brotherhood selain
pergaulan, perlindungan dari ‘geng’
motor lainnya, informasi onderdil
motor juga yang terpenting adalah
sebagai identitas diri. Dian mengakui
bahwa identitas yang terbentuk dari
makna simbol berupa artibut-artibut
yang ada juga mempengaruhi gaya
hidup para anggota komunitasnya.
“Contohnya ya kayak gini nih,
dengan memakai simbol kayak
atributnya aja ya, gue jadi ngerasa
udah teridentitaskan sebagai
anggota Brotherhood. Jadi,
otomatis karena identitas itu, gue
juga jadi memiliki gaya hidup ya
ngikutin kayak temen-temen
Brotherhood lainnya.”
(Wawancara dengan Dian,
11/01/2016)
Berikut adalah pengakuan dari Dian
informan pertama mengenai tradisi
‘loyalitas’ dalam komunitas
Brotherhood: Dian yang berprofesi
sebagai kontraktor ketika mendapatkan
sebuah proyek senantiasa mengajak
teman-teman lainnya yang berasal dari
komunitas Brotherhood. Setiap kali
Dian memutuskan untuk berhenti dari
sebuah proyek, tentu teman-teman
sesama Brotherhood ikut hengkang
dari proyek tersebut, karena itu adalah
sikap loyalitas antar anggota
Brotherhood. Pada suatu saat Dian
memiliki sebuah masalah dengan salah
satu proyeknya sehingga memaksanya
untuk keluar dari proyek tersebut,
namun ketika dia keluar ada salah satu
temannya yang memutuskan untuk
tidak ikut keluar dan bertahan pada
proyek tersebut.Tindakan yang diluar
tradisi ‘loyalitas’ ini menjadi sebuah
pertanyaan besar dalam komunitas
Brotherhood sehingga orang tersebut
dipanggil dan ditanya. Menurut
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
20
pengakuan Dian, terjadi perdebatan
keras yang berakhir pada sebuah
perkelahian antara mereka. Dian
sendiri tidak ikut campur dalam
perkelahian tersebut, namun
pengakuan lain dari Dian tersebut
membenarkan konsep proses
pelembagaan tersebut.
Pemakaian simbol-simbol berupa
artibut maupun lambang merupakan
sebuah fungsi dalam mengidentifikasi
dirinya, simbol-simbol tersebut
memaknai dirinya sebagai seorang
bikers sejati yang secara tidak
langsung menumbuhkan rasa percaya
dirinya. Selain itu, apabila
menggunakan pakaian tersebut bisa
juga berfungsi sebagai sesuatu untuk
melindungi diri, seperti jaket kulit
akan menghindarkan diri dari
penyakit-penyakit ketika sedang naik
motor. Gambar tengkorak memberikan
identitas pada dirinya bahwa ia adalah
anggota bikers Brotherhood bukan
anggota bikers lainnya. Lambang
tengkorak telah menjadi ‘true color’
anggota Brotherhood sejak lama.
Intinya, simbol-simbol tersebut
memberikan identitas pada dirinya.
Menurut pengakuan informan pertama
gaya hidup anak Brotherhood biasnya
tidak ingin masuk ke dalam sebuah
sistem. Karena menurut Dian sistem
itu membelenggu mereka akan aturan-
aturan, sedangkan mereka tidak ingin
terjebak dalam peraturan-peraturan
yang tidak membebaskan mereka.
Sebagian besar anggota Brotherhood
memiliki profesi pekerjaan yang
bersifat wiraswasta, memiliki usaha
sendiri, tidak memiliki ‘bos’ dan tidak
ada jabatan yang mengikat. Meskipun
mereka tidak masuk ke dalam sebuah
sistem yang ada, mereka tetap
memiliki tanggung jawab dalam
kehidupannya. Mereka membuat
sistem mereka sendiri yang terkesan
lebih ‘santai’ tanpa banyak aturan
yang mengikat. Selera musik anak
Brotherhood pada dasarnya memiliki
kesamaan, genre music mereka seputar
‘alternatif rock’ ‘punk rock’ dan
lainnya yang memiliki alunan rock.
Minum alkohol juga menjadi bagian
lifestyle dari anak motor, namun,
dalam pengakuan Dian informan
pertama, karena dia beraga islam dia
tidak ikut serta dalam gaya hidup
seperti itu. Dian dalam pekerjaannya,
dia berprofesi sebagai kontraktor
karena dia adalah lulusan arsitektur,
dan seperti gaya hidup anak
Brotherhood yang tidak ingin masuk
ke dalam sebuah sistem, Dian
memiliki usaha kontraktornya sendiri
yang mana ia bisa membuat sistemnya
sendiri. Meskipun Dian sudah
memiliki keluarga dan pekerjaan yang
cukup menyita waktu ia selalu
menyempatkan diri untuk pergi ke
Luna (salah satu check point
komunitas Brotherhood untuk bertemu
dengan teman-teman sesame
Brotherhood sambil membicarakan
motor-motor klasik, namun ia juga
mengakui sekarang ini ia sudah tidak
terlalu aktif dalam berbagai kegiatan
Brotherhood seperti ‘touring’ karena
tanggung jawabnya sebagai seorang
kepala keluarga yang sudah memiliki
anak dan istri.
Dari hasil pengamatan penulis, gaya
hidup informan pertama Dian, tidak
jauh seperti yang telah diakui oleh
Dian. Ia masih memakai boots, flannel,
dan kaos-kaos yang memiliki gambar
motor tua. Terkadang Dian masih
memakai jaket kulit atau rompi kulit
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
21
yang memiliki lambang tengkorak dan
tulisan Brotherhood. Kesehariannya
dia berada di rumah, bekerja sesuai
dengan kebutuhannya. Tidak mengenal
waktu dalam bekerja karena kembali
lagi dia bekerja tanpa sebuah sistem
yang mengikat. Musik yang
didengarkan berhubungan dengan
alternative rock dan punk rock. Dian
juga terlihat sangat macho dan percaya
diri jika masuk ke dalam lingkungan
masyarakat.
Dari hasil pengamatan penulis, gaya
hidup Erwin informan kedua tidak
jauh dari gaya hidup informan
pertama. Erwin juga merupakan
pekerja lepas yang tidak kerja pada
sebuah kantor. Ia juga bekerja dengan
Dian yang sama-sama menekuni
bidang kontraktor, ia masih sering
mengenakan kaos hitam yang memiliki
gambar-gambar motor dan kemeja
flannel dalam kesehariannya. Ia
terlihat sangat ‘manly’ dan apa adanya.
Ia pun mengakui bahwa terkadang dia
menyempatkan diri untuk pergi ke
Luna salah satu tempat ‘check point’
anggota Brotherhood.
Alam, informan ketiga mengakui
bahwa simbol-simbol Brotherhood
secara tidak langsung mengkonstruksi
identitas dan cara pola berpikirnya,
seperti dengan informan lainnya, ia
pun menyenangi sesuatu yang bersifat
‘bebas’ tidak terikat oleh sebuah
sistem. Dia juga tidak kerja di sebuah
kantor tapi membuka usaha sendiri
atau dengan kata lain berwiraswasta
menyewakan vila-vila, suatu pekerjaan
yang tidak terbelenggu oleh sistem.
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teori interaksi simbolik.
Teori interaksi simbolik ini relevan
dengan penelitian ini karena dapat
menyingkapi makna peran seseorang
dalam kehidupannya. George Herbert
Mead dipandang sebagai pembangun
paham interaksi simbolis ini. Ia
menekankan bahwa makna itu muncul
sebagai hasil interaksi di antara
manusia baik secara verbal maupun
nonverbal, Mead yang
mengembangkan teori ini tahun 1930-
an. Adapun premis-premis yang
menjadi dasar interaksionisme
simbolik:
1. Individu merespon lingkungan,
termasuk objek fisik (benda) dan
objek sosial (perilaku manusia)
berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen lingkungan
tersebut bagi mereka. Hal ini
terbukti dengan adanya pernyataan
dari informan yang mengatakan
bahwa setiap anggota komunitas
Brotherhood merespon simbol-
simbol yang digunakan dalam
perilaku komunikasinya, yang
menandakan makna dari simbol
tersebut.
2. Makna adalah produk interaksi
sosial, karena itu makna tidak
melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Dalam hal ini, peneliti juga
melihat adanya makna yang tidak
melekat pada objek. Misalnya,
penggunaan simbol tengkorak yang
telah disepakati, maknanya tidak
melekat pada objek, tetapi
dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Simbol-simbol yang
digunakan oleh kelompok
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
22
Brotherhood, semuanya bernuansa
‘macho’ dan ‘gagah’ mulai dari
lambang tengkorak, warna pakaian
hitam, sepatu boots, dan juga jaket
kulit.
3. Makna yang diintepretasikan
individu dapat berubah dari waktu
ke waktu sejalan dengan perubahan
situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial. Peneliti juga
memandang asumsi ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan,
bahwa pemaknaan dari setiap
simbol yang ada dalam komunitas
Brotherhood pun diintepretasikan
anggotanya bisa berubah sesuai
perubahan situasi dalam interaksi
sosial yang mereka lakukan dalam
proses komunikasinya.
Adapun prinsip-prinsip yang diringkas
oleh George Ritzer mengenai teori
interaksi simbolik:
1. Manusia, tidak seperti hewan lebih
rendah, diberkahi kemampuan
berpikir.
2. Kemampuan berpikir itu dibentuk
oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial orang belajar
makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menerapkan
kemampuan khas mereka sebagai
manusia, yakni berpikir.
4. Makna dan simbol memungkinkan
orang melanjutkan tindakan (action)
dan interaksi yang khas manusia.
5. Orang mampu memodifikasi atau
mengubah makna dan simbol yang
mereka gunakan dalam tindakan
dan interaksi berdasarkan
interpretasi mereka atas situasi.
6. Orang mampu melakukan
modifikasi dan perubahan ini
karena, antara lain, kemampuan
mereka berinteraksi dengan diri
sendiri, yang memungkinkan
mereka memeriksa tahapan-tahapan
tindakan menilai keuntungan dan
kerugian relative, dan kemudian
memilih salah satunya.
7. Pola-pola tindakan dan interaksi
yang jalin menjalin ini membentuk
kelompok dan masyarakat.
Teori interaksi simbolik ini relevan
dengan penelitian peneliti, di mana
dalam interaksi sosial orang belajar
makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menerapkan
kemampuan khas mereka sebagai
makna, yakni berpikir.
Dalam penelitian ini, hal ini terlihat
dalam interaksi sosial anggota
Brotherhood dalam menjalin
kemampuan khasnya, peneliti melihat
dalam kekuatan integritas yang
dirasakan oleh anggota komunitas
Brotherhood.
Realitas sosial merupakan konstruksi
sosial yang diciptakan oleh individu
(Sukidin, 2002: 67), sehingga individu
sendirilah yang menentukan dunia
sosianya yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya. Berger
sebagaimana dibahas oleh Sukidin
(2002), mengatakan bahwa manusia
sebagai pencipta kenyataan sosial yang
objektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana kenyataan objektif
mempengaruhi kembali manusia
melalui proses internalisasi. Melalui
proses konsep berpikir dialektis ,
Berger memandang masyarakat
sebagai produk manusia dan manusia
sebagai produk masyarakat., sehingga
menjelajahi dimensi kenyataan dari
objektivasi, internalisasi, dan
eksternalisasi.
[PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KOMUNITAS
“BROTHERHOOD”] Ditha Prasanti
Sri Seti Indriani
23
Konsep tersebut diatas relevan dengan
peneitian ini dimana simbol-simbol
berupa artibut maupun pakaian yang
digunakan oleh anggota komunitas
Brotherhood ini, pada awalnya
dikonstruksi atau diciptakan oleh
mereka, lalu kemudian melalui proses
eksternalisai, anggota komunitas
menyesuaikan dirinya dengan simbol
tersebut sebagai produk dari mereka
sendiri, kemudian melalui proses
objektivasi mereka mengalami proses
interaksi sosial dalam dunia
intersubjektif dan mengalami proses
institusionalisasi (dilembagakan)
dimana simbol tersebut menjadi
semacam aturan bagi mereka.
Kemudian, melalui proses internalisasi
mereka mengidentifikasikan diri
mereka dengan simbol-simbol
tersebut.
Proses pelembagaan atau proses
institusionalaisasi dibangun di atas
pembiasaan, dimana adanya suatu
tindakan yang diulang-ulang sehingga
menjadi sebuah pola dan menjadi
sebuah tindakan yang dipahaminya.
Ketika pola pembiasaan tersebut terus
terjadi, maka terjadilah pengendapan
dan tradisi.Apabila, seorang individu
yang sudah masuk dalam suatu sistem
kelembagaan dan melaukuan sesuatu
yang tidak biasa dilakukan dianggap
telah melakukan kesalahan sehingga
patut untuk dihukum. Anggota
Brotherhood melakukan pembiasaan
pembiasaan, mulai dai cara mereka
berpakaian, dan gaya hidup. Loyalitas
antar sesama anggota Brotherhood
juga merupakan sesuatu yang bersifat
tradisi.
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan penelitian
diatas, dapat disimpulkan bahwa
simbol-simbol urut memberikan
makna identitas terhadap siapapun
yang menggunakannya. Dalam hal ini
simbol-simbol yang digunakan oleh
kelompok Brotherhood, semuanya
bernuansa ‘macho’ dan ‘gagah’ mulai
dari lambang tengkorak, warna
pakaian hitam, sepatu boots, dan juga
jaket kulit. Dengan simbol yang
dimaknainya sebagai sebuah identitas
diri, seorang anggota Brotherhood
harus terus memegang komitmen ini
sesuai dengan identitas simbol yang
melekat pada dirinya, ia harus terlihat
macho, berperilaku macho dan
memiliki tenaga yang kuat. Selain itu,
karena kata Brotherhood itu artinya
‘persaudaraan’, maka loyalitas menjadi
suatu elemen dan prinsip penting
dalam komunitas Brotherhood.
Mereka harus saling membantu satu
dengan lainnya dan mengikuti tradisi-
tradisi yang telah dikembangkan oleh
komunitas tersebut.
Adapun saran yang ingin peneliti
berikan dalam penelitian ini adalah:
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, peneliti berpendapat
sebaiknya setiap anggota yang berada
dalam sebuah komunitas, tentunya
dapat menyaring makna simbol yang
ada, karena simbol itu akan menjadi
identitas dirinya, di mana individu
tersebut tinggal dalam kehidupan
bermasyarakat. Sterotype geng motor
yang bernuansa negative dimata
masyarakat sebaiknya ditanggulangi
oleh komunitas anak motor, karena
tidak benar. Komunitas motor
Semiotika, Volume 10, Nomor 1, JUNI 2016
24
hendaknya melakukan kegiatan-
kegiatan yang lebih banyak yang
berkaitan dengan kemanusiaan karena
komunitas Brotherhood khususnya
bukan hanya sebuah komunitas namun
sudah menjadi sebuah organisasi
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Hamad. 2005. Perkembangan Analisis
Wacana Dalam Ilmu Komunikasi,
Sebuah Telaah Ringkas. Jakarta:
Universitas Indonesia. Online.
(diakses dari
cm.um.edu.my/umweb, pada 14
Mei pukul 10:02 WIB
Kusuma, Bayu Adi. 2007. Informasi,
Pesan, dan Makna. Online.
(diakses dari pkp.brawijaya.ac.id,
pada 13 Mei pukul 13:10 WIB
Luzar, Laura Christina. 2015. Teori
Konstruksi Realitas Sosial. Online
(diakses dari dkv.binus.ac.id,
pada 18 Mei pukul 12:15 WIB
Ogden, C.K. dan I.A. Richards. 1946.
The meaning of meaning. New York:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Prasanti, Ditha. 2016. Konstruksi
Makna Simbol dalam Komunitas
Tanah Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. 2009. Metode
Penelitian Komunikasi. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Sukidin, B. (2002). Metode penelitian
Kualitatif Perspektif Mikro.
Surabaya: Insan Cendekia
Surabaya.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kuantitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
West, Richard. Lynn H.Turner. 2007.
“Pengantar Teori Komunikasi”.
Jakarta: Salemba Humanika.
Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi
Penelitian Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosda Karya.