bab 2 tinjauan pustaka 2.1 tidur 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1 Definisi tidur
Tidur adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh aktivitas bagian-bagian
tertentu di otak. Ditinjau dari derajat kesadaran, tidur adalah suatu derajat kesadaran
dibawah keadaan awas waspada.
Tidur tidak sama dengan keadaan koma. Pada keadaan koma, stimulasi
dengan rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi.
Pada keadaan tidur, seseorang yang sedang tidur masih dapat dibangunkan
ketika diberikan stimulasi tertentu (Mardjono dan Sidharta, 2009)
Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga.
Tingkat aktivitas otak keseleruhan tidak berkurang selama tidur.
Selama tahap-tahap tertentu tidur, penyerapan oksigen oleh otak meningkat
melebihi tingkat normal sewaktu terjaga (Sherwood, 2007).
2.1.2 Fungsi tidur
Fungsi tidur belum jelas dan alasan alasan mengapa tidur sangat dibutuhkan
masih merupakan sebuah misteri. Hipotesis “restorasi dan pemulihan”
menyatakan bahwa tidur gelombang lambat memberi otak waktu
untuk memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas toksik yang dihasilkan
sebagai produk sampingan metabolisme selama keadaan terjaga.
Teori lain yang menonjol adalah bahwa tidur, terutama tidur paradoksal,
diperlukan bagi otak untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi
dan struktural jangka panjang yang diperlukan untuk belajar dan mengingat,
terutama konsolidasi ingatan prosedural (Sherwood, 2007).
Fungsi tidur adalah restorative (memperbaiki) kembali organ – organ tubuh.
Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat tidur Rapid Eye Movement
Universitas Sumatera Utara
7
(REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Tidur Non-rapid Eye Movement
akan memengaruhi proses anabolik di dalam sel dan sintesis makromolekul
ribonucleic acid (RNA) (Arifin et al, 2010)
2.1.3 Fisiologi tidur
Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya, yaitu :
Fase rapid eye movement (REM) dan fase non-rapid eye movement (NREM)
atau tidur gelombang lambat. Tidur NREM dibagi menjadi 4 stadium.
Seorang yang baru tertidur memasuki stadium 1 dicirikan oleh aktivitas gelombang
EEG frekuensi tinggi dengan amplitudo gelombang yang rendah.
Stadium 2 ditandai dengan munculnya kumparan tidur (sleep spindle).
Pada stadium ini terjadi letupan gelombang mirip alfa, yaitu gelombang 10-14
Hz,50 µV. Pada Stadium 3, pola yang timbul adalah gelombang EEG
dengan frekuensi yang lebih rendah dan amplitudo meningkat.
Perlambatan maksimum dengan gelombang besar dijumpai pada stadium 4.
Dengan demikian karakteristik tidur yang dalam adalah pola gelombang lambat
yang ritmis, yang menunjukkan sinkronisasi yang jelas. Perpindahan tahapan tidur
dari stadium 1 hinga stadium 4 terjadi dalam waktu 30 sampai 45 menit.
Pada tidur REM, gelombang lambat dengan amplitudo tinggi,
kemudian diganti oleh aktivitas EEG cepat dan bervoltase rendah. Gelombang ini
mirip dengan tidur stadium 1. Namun, tidur tidak terganggu; bahkan ambang untuk
terjaga oleh rangsangan sensorik meningkat. Pola EEG selama periode ini
mendadak berubah seperti dalam keadaan terjaga, meskipun kelihatannya masih
tertidur lelap. Keadaan ini kadang kadang disebut tidur paradoksal.
Selama tidur paradoksal terjadi gerakan mata yang cepat dan acak,
dan karena hal inilah tidur tersebut dinamakan tidur REM.
Tidur REM ditandai dengan adanya potensial fasik besar
yang terdiri dari 3-5 gelombang. Potensial ini disebut ponto-geniculo-occipital
spike.
Universitas Sumatera Utara
8
Fase Tidur Tanda Klinis Karakteristik EEG
Fase REM Pergerakan cepat bola
mata
Tonus otot rendah
Pola pernafasan tidak
teratur
Ada gelombang cepat
pada lead EEG pada
mata
Voltase rendah pada
EEG
Fase Non-REM
Tahap 1 Merasa mengantuk
Pergerakan bola mata
melambat
Pola pernafasan teratur
ambang kesadaran rendah
Aktivitas gelombang
teta dan beta
meningkat
Tampak gelombang
Vertex tajam
Tahap 2 Sudah tertidur
Tidak ada pergerakan
bola mata
Pola pernafasan teratur
Ambang kesadaran
meningkat
Gambaran kumparan
tidur (Sleep Spindle)
Gambaran K-
complexes
Tahap 3-4 Berada pada tidur yang
dalam
Pola pernafasan teratur
Ambang kesadaran
sangat tinggi
Ada gelombang delta
Kecepatan gelombang
lambat
Aktivitas sedang
gelombang teta pada
tahap 3 NREM
Aktivitas tinggi
gelombang teta pada
tahap NREM
Tabel 2.1 Karakteristik Tahapan tidur berdasarkan gambaran EEG.
(D’ Cruz, 2006. Sleep Problem in Children.In: Clinician’s Guide to Sleep
Disorders
Universitas Sumatera Utara
9
Pencitraan otak yang dilakukan pada manusia saat tidur REM
menunjukkan adanya peningkatan aktivitas yang tinggi di sistem limbik (emosi)
disertai oleh penurunan aktivitas di korteks prafrontal (akal).
Pola aktivitas ini merupakan dasar bagi karakteristik mimpi yang terjadi
pada fase tidur REM. Akibatnya, mimpi sering kali memiliki muatan emosi
yang besar, sensasi waktu yang kacau, dan isi yang aneh yang diterima begitu saja
sebagai kenyataan, dengan hanya sedikit refleksi mengenai semua kejadian yang
aneh (Ganong, 2008).
2.1.4 Siklus bangun-tidur
Siklus bangun-tidur adalah variasi siklik normal dalam
kesadaran akan lingkungan. Siklus bangun-tidur serta berbagai tahapan tidur
disebabkan oleh hubungan timbal balik antara tiga sistem saraf:
(1) sistem keterjagaan, yaitu bagian dari reticular activating system yang ada di
batang otak; (2) pusat tidur gelombang lambat (NREM) di hipotalamus;
dan (3) pusat tidur paradoksal (REM) di batang otak. Pola interaksi
diantara ketiga regio ini menghasilkan rangkaian siklis yang dapat diperkirakan
antara keadaan terjaga dan kedua jenis tidur. Pola interaksi tergolong rumit
dan masih menjadi bahan penelitian intensif (Ganong, 2008).
Siklus normal dapat mudah diinterupsi, dengan sistem yang
membuat kita terjaga lebih mudah mengalahkan sistem tidur daripada
kebalikannya; yaitu, lebih mudah terjaga penuh. Sistem keterjagaan
dapat diaktifkan oleh masukan sensorik aferen atau oleh masukan yang turun
ke batang otak dari daerah daerah otak yang lebih tinggi. Konsentrasi penuh
atau keadaan emosi yang kuat dapat mencegah seseorang tidur, demikian juga
aktivitas motorik, misalnya bangkit dan berjalan jalan, dapat membangunkan orang
yang mengantuk (Ganong, 2008).
2.1.5 Irama sirkadian dan tidur
Irama sirkadian tidur merupakan salah satu dari irama intrinsik tubuh yang
diatur oleh hipotalamus. Jalur rethinohypothalamic memberikan rangsang secara
langsung terhadap nucleus suprachiasma (NSC) yang berkerja
seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur (Arifin et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
10
Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga
orang mengantuk dan tidur (Rahayu, 2006).
Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal
(bagian dari otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin akan disekresikan
ke dalam darah yang kemudian akan menyebabkan relaksasi otot
serta penurunan temperatur badan dan hormon kortisol.
Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam,
dan akan terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi
(Rahayu, 2006). Penurunan irama sirkadian sebelum pagi hari diperkirakan
berguna untuk membantu otak agar tetap tidur selama semalam
sehingga terjadi restorasi penuh dan mencegah kebangkitan prematur.
Siklus suhu tubuh juga terjadi dibawah kendali hipothalamus.
Peningkatan suhu tubuh terjadi sepanjang siang hari dan penurunan terjadi
sepanjang malam. Suhu puncak dan penurunannya diperkirakan dapat menjadi
cerminan irama tidur seseorang. Orang yang aktif di malam hari memiliki
puncak suhu tubuh di malam hari sementara mereka yang menempatkan diri
untuk aktif pada pagi hari memiliki puncak suhu tubuh pada awal malam
(Arifin et al, 2010).
2.1.6 Kualitas tidur
Kualitas tidur , menurut Buysse tahun 2014, didefinisikan sebagai suatu
fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.
Gambar 2.1 Dimensi dalam Tidur (Buysse, 2014. Sleep Health: Can we
define it? Does it Matter?)
Dimensi Tidur:
Durasi
Efisiensi
Waktu/
Timing
Terjaga/
Mengantuk
Kepuasan/ Kualitas
Respon pada
Sistem tubuh:
Inflamasi
Aktivitas
Simpatis
Respon
Hormonal
Respon
Saraf
Kesehatan
Penyakit
Fungsi
Kognitif
Universitas Sumatera Utara
11
Berdasarkan berbagai penelitian, maka dimensi dimensi tersebut dapat
dibagi menjadi 5 bagian :
a) Durasi tidur : Total jumlah dari tidur yang diperoleh dalam 24 jam.
b) Efisiensi tidur : Mudah atau sulitnya memulai tidur dan kembali tidur
setelah dibangunkan
c) Waktu / (Timing) : waktu yang menunjukkan tidur dilakukan setiap
24 jam.
d) Terjaga/mengantuk : Kemampuan untuk mencapai kondisi terjaga dan
penuh perhatian.
e) Kualitas / kepuasan : penilaian yang bersifat subjektif terhadap baik
atau buruknya tidur.
Dimensi ini dijadikan sebagai indikator tidur yang baik karena setiap dimensi
tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan kesehatan.
Pada manusia, durasi tidur yang diperlukan seseorang untuk tidur berbeda
beda, tergantung pada faktor faktor tertentu dan usia mereka.
Neonatus tidur sekitar 16 hingga 18 jam per hari. Pola dan tahapan tidur pada bayi
baru lahir terdiri dari 3 tahap yaitu NREM, REM, dan indeterminate sleep.
Perbedaan tahapan tidur ini dengan tahapan tidur dewasa diakibatkan
olehtidak adanya irama sirkadian pada neonatus. Mulai usia 3 bulan,
irama sirkadian mulai terbentuk dan mulai matang menjelang usia 1 tahun.
Setelah berusia satu tahun, durasi tidur balita berkurang
menjadi 14 hingga 15 jam dalam 1 hari. Pada usia 2 hingga 5 tahun
maka durasi tidur berkurang 2 jam (11- 13 jam per hari).
Remaja membutuhkan durasi tidur selama 9 hingga 10 jam per hari.
Akibat perubahan hormonal pada usia remaja, maka tahap 2 NREM pada remaja
menjadi lebih panjang. Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung
memerlukan waktu 7-8 jam per hari untuk tidur (D’Cruz, 2006).
Universitas Sumatera Utara
12
Sedangkan orang dengan usia lanjut cenderung mengalami penurunan durasi tidur
dan mereka memerlukan waktu 6-7 jam per hari (Colten dan Altevogt, 2006).
Memiliki durasi tidur yang cukup akan menghasilkan kualitas tidur yang
baik yang kemudian dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari,
perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur.
Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur yang baik sangat penting dan vital
untuk hidup sehat semua orang (Colten dan Altevogt, 2006).
Dimensi
Tidur
Pengaruhnya
terhadap
Kesehatan
Bukti (Evidence)
Kualitas
Tidur
Kematian Kojima et al., 2000; Elder et al., 2008;
Rod et al., 2011; Hublin et al., 2011
Sindroma
Metabolik
Jennings et al., 2009; Troxel et al., 2010
Diabetes Tipe-2 Vontzas et al., 2009; Haseli-Mashhadi et
al., 2009; Knutson et al., 2011;
Pyykkonen et al., 2012
Hipertensi Vgontzas et al., 2009; Fiorentini et al.,
2007; Rod et al., 2011
Penyakit Jantung
Koroner
Laugsand et al., 2011; Hoevenaar-Blom,
2011; Appelhans, 2013
Depresi Baglioni, 201180
Terjaga/
Mengantuk
Mortalitas Hays, 1996; Newman et al, 2000
Penyakit Jantung
Koroner
Newman et al, 2000; Sabanayagam et al,
2011
Gangguan
performa
kognitif
Dinges et al, 1997.
Tabel 2.2 Kesehatan tidur dan dampak-dampaknya
Universitas Sumatera Utara
13
Tidak memeroleh kualitas tidur yang baik dapat berpengaruh
kepada kesehatan. Kualitas tidur yang tidak baik dikaitkan dengan
beberapa penyakit seperti penyakit jantung, peradangan, diabetes
dan penyakit kardiovaskular (Wavy, 2008). Secara psikologis, kualitas tidur
Waktu
Tidur
Sindroma
Metabolik
Karlsson et al, 2011; Lin et al, 2009;
Pietrositi et al, 2010
Mortalitas Akerstedt et al, 2004
Diabetes Pan et al, 2011; Buxton et al, 2012;
Reutrakul et al, 2013
Efisiensi
Tidur
Mortalitas Newman et al, 2000; Nilsson et al, 2001;
Mallon et al, 2002; Dew et al, 2003
Sindroma
Metabolik
Troxel et al, 2010
Penyakit Jantung
Koroner
Laugsand et al, 2011; Grandner, 2012
Depresi Baglioni et al, 2011
Durasi
Tidur
Obesitas Buxton et al, 2010; Gangwisch et al,
2005; Cappucio et al, 2008; Hasler et al,
2004
Sindroma
Metabolik
Hall et al, 2008
Diabetes Ayas et al, 2003; Golttieb et al, 2006,
Yaggi et al, 2006
Hipertensi Gottleib et al, 2006; Cappucio et al, 2007
Penyakit Jantung
Koroner
Mallon et al, 2002; Ayas et al, 2003
(Buysse, 2014. Sleep Health: Can we define it? Does it Matter?)
Universitas Sumatera Utara
14
yang buruk berdampak pada penurunan fungsi kognitif.
Selanjutnya, hal itu terkait dengan tingkat yang lebih tinggi terhadap kecemasan,
meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingungan, suasana hati yang
buruk, depresi, penurunan kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup yang lebih
rendah. Secara bersamaan, hal tersebut berhubungan positif dengan melambatnya
kemampuan psikomotor dan terganggunya konsentrasi (Wavy, 2008).
Melalui berbagai penelitian, sudah ditemukan bahwa berbagai dimensi dari kualitas
tidur dapat memengaruhi berbagai aspek kesehatan (Buysse, 2014).
2.1.7 Pittsburgh sleep quality index
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan salah satu alat
yang cukup efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur pada orang
dewasa. Melalui Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas tidur dibagi
menjadi baik dan buruk melalui pengukuran terhadap 7 domain : kualitas tidur
secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat-obat yang berhubungan dengan tidur, dan disfungsi yang dialami
pada siang hari selama satu bulan terakhir. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
memiliki koefisien konsistensi dan reliabilitas (Cronbach’s alpha)
sebesar 0.83 terhadap setiap domain yang diukur (Smyth, 2012).
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) telah divalidasi pada kedua populasi klinis
dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana
(Brick et al, 2010).
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) terdiri dari sembilan belas item
pertanyaan yang meliputi tujuh komponen, yakni kualitas tidur secara subjektif,
latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,
dan disfungsi pada siang hari (Smyth, 2012). Salah satu item pertanyaan
pada PSQI hanya ditujukan untuk kepentingan klinis pasien sehingga
tidak ditabulasikan dan dicantumkan pada kuesioner PSQI yang ditujukan
untuk menilai kualitas tidur. Jumlah pertanyaan pada kuesioner PSQI
yang hanya ditujukan untuk menilai kualitas tidur secara subyektif berjumlah
delapan belas pertanyaan (Buysse et al, 1989). Setiap dari nilai komponen tujuh
tersebut diberi bobot yang sama dengan skala 0-3, 0 menunjukkan tidak ada
Universitas Sumatera Utara
15
kesulitan dan 3 menunjukkan kesulitan yang parah. Jumlah skor untuk
nilai tujuh komponen ini akan menghasilkan satu skor secara keseluruhan,
mulai dari 0 hingga 21. Skor yang lebih tinggi menunjukkan
kualitas tidur buruk, dan bila skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
secara keseluruhan > 5 maka seseorang tersebut memiliki kualitas tidur yang buruk
(Smyth, 2012).
2.2. Obesitas
2.2.1 Definisi obesitas
Obesitas adalah keadaan dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh.
Obesitas sering dianggap sama dengan kenaikan berat badan yang berlebih, namun
pada kenyataaanya orang dengan masa otot yang besar dengan berat badan yang
berlebih tidak memiliki kondisi dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh.
Metode yang paling sering digunakan untuk menentukan kondisi obesitas adalah
dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Pengukuran indeks masa tubuh ini
tidak menunjukkan distribusi jaringan adiposa di dalam tubuh
secara langsung (Flier dan Maratos, 2008).
Indeks massa tubuh dihitung dengan cara membagikan berat badan dalam
satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.
Batasan IMT yang digunakan oleh WHO pada tahun 2011 adalah :
- Kategori kurus IMT < 18,5 kg/m2
- Kategori normal IMT ≥18,5 - 22,9 kg/m2
- Kategori BB lebih IMT ≥23,0 – 24,9 kg/m2
- Kategori obesitas I IMT ≥25,0 – 29,9 kg/m2
- Kategori obesitas II IMT ≥30 kg/m2
2.2.2 Etiologi obesitas
Penyebab obesitas masih sulit dipahami (Flier dan Maratos, 2008).
Penyebab obesitas banyak, dan sebagian masih belum jelas. Beberapa faktor yang
mungkin terlibat adalah sebagai berikut :
2.2.2.1 Gangguan jalur sinyal leptin. Sebagian kasus obesitas dilaporkan
berkaitan dengan resistensi leptin. Leptin adalah salah satu
Universitas Sumatera Utara
16
dari adipokin utama jaringan adiposa yang berfungsi untuk
menekan nafsu makan dan berperan dalam regulasi
keseimbangan energi jangka panjang. Kemungkinan terjadi
defek reseptor leptin di otak yang tidak berespon terhadap
tingginya kadar leptin di dalam darah yang berasal dari jaringan
lemak. Sehingga otak tidak mendeteksi kadar leptin sebagai sinyal
untuk menurunkan nafsu makan sampai titik patokan yang lebih
tinggi tercapai. Selain gangguan respetor, gangguan lain dalam jalur
lain dapat menjadi penyebab, misalnya gangguan transpor leptin
menembus sawar darah otak atau defisiensi salah satu pembawa
pesan kiniawi di jalur leptin (Sherwood, 2007).
2.2.2.2 Kurang olahraga. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa
orang gemuk tidak makan lebih banyak dibandingkan dengan orang
kurus. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa orang
dengan kelebihan berat tidak makan berlebihan tetapi
“kurang bergerak” - sindroma “couch potato” (menonton televisi
sambil makan camilan). Tingkat aktivitas fisik yang rendah biasanya
tidak disertai penurunan setara asupan makan (Sherwood, 2007).
2.2.2.3 Perbedaan Termogenensis non-olahraga (nonexercise activity
thermogenesis, NEAT) atau fidget factor. NEAT dapat menjelaskan
beberapa variasi dalam penyimpanan lemak dalam tubuh.
NEAT merujuk kepada energi yang dikeluarkan oleh aktivitas fisik
di luar olahraga yang direncanakan (Sherwood,2007)
2.2.2.4 Perbedaan dalam mengekstraksi energi dari makanan. Orang yang
tubuhnya langsing dengan orang obesitas dapat memiliki
perbedaan berat yang mencolok meskipun mereka mengonsumsi
jumlah kalori yang sama. Studi-studi memperlihatkan bahwa orang
yang bertubuh langsing cenderung kurang memeroleh energi dari
makanan yang mereka santap, karena mereka mengubah lebih
banyak energi makanan menjadi panas daripada menjadi energi
untuk digunakan atau disimpan. Hal ini dapat terjadi akibat orang
Universitas Sumatera Utara
17
yang bertubuh langsing memiliki lebih banyak uncoupling protein
yang memungkinkan sel sel mereka mengubah lebih banyak kalori
menjadi panas dan bukan menjadi lemak. Mereka adalah orang yang
dapat mampu makan dengan jumlah yang banyak tanpa mengalami
penambahan berat badan. Hal yang sebaliknya terjadi pada obesitas,
sistem metabolik orang dengan obesitas lebih efisien
dalam mengekstraksi energi dari makanan (Sherwood,2007)
2.2.2.5 Kecenderungan herediter dan genetik. Perbedaan dalam jalur-jalur
regulatorik untuk keseimbangan energi sering berasal dari varasi
genetik (Sherwood, 2007). Penelitian pada hewan pengerat,
mutasi gen ob dapat mengakibatkan hyperphagia
dan pengurangan pengeluaran energi. Produk dari gen ob ini
adalah leptin. Leptin disekresi dari jaringan adiposa dan bekerja
pada hipotalamus. Kadar leptin yang tinggi akan mengurangi asupan
makan dan meningkatkan pengeluaran energi. Gen ob ini ternyata
dijumpai pada manusia dan diekspresikan di jaringan adiposa.
Mutasi pada gen proopiomelanocortin (POMC) menyebabkan
obesitas akibat gagalnya pembentukan α-MSH yang berfungsi untuk
menekan nafsu makan di hipotalamus. Mutasi pada gen proenzyme
convertase 1 (PC-1) akan mencegah sintesis α-MSH
melalui prekursornya yaitu proopiomelanocortin (POMC) yang
pada akhirnya akan mengakibatkan obesitas
(Flier dan Maratos, 2008).
2.2.2.6 Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan
berlebihan. Sekali sel lemak terbentuk, pembatasan makan
dan penurunan berat badan tidak akan melenyapkan sel lemak
tersebut. Bahkan ketika seseorang yang berdiet telah kehilangan
banyak lemak yang tersimpan dari sel lemak, sel sel tersebut tetap
ada dan siap diisi kembali.
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.2.7 Keberadaan penyakit endokrin tertentu misalnya hipotirodisme.
Hipotiroidisme meningkatkan laju metabolik dasar sehingga tubuh
membakar lebih banyak kalori dalam keadaan istirahat.
2.2.2.8 Ketersediaan makanan yang melimpah, lezat, padat energi, dan
relatif murah.
2.2.2.9 Gangguan emosi dimana makan berlebihan menggantikan kepuasan
yang lain (Sherwood, 2007). Faktor budaya memiliki perananan,
dimana budaya dapat memengaruhi ketersediaan makanan,
kandungan nutrisi pada makanan, dan tingkat aktifitas fisik suatu
individu (Flier dan Maratos, 2008).
2.2.2.10 Keterkaitan dengan virus. Salah satu hipotesis mengaitkan
virus flu biasa dengan kecenderungan mengalami kelebihan berat
badan dan mungkin berperan pada sebagian kasus obesitas saat ini
(Sherwood, 2007).
2.2.3 Mekanisme terjadinya obesitas
Obesitas terjadi akibat bertambahnya asupan energi, berkurangnya
pengeluaran energi, atau kombinasi keduanya (Flier dan Maratos, 2008).
Jika kondisi ini berlanjut, kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk trigliserida
di jaringan adiposa (Sherwood, 2007). Hal ini akan mengakibatkan
status keseimbangan energi positif. Secara teoritis, keseimbangan energi
dalam tubuh dipertahankan dengan cara mengatur jumlah makanan yang masuk,
aktivitas fisik, atau kerja internal dan produksi panas. Tingkat aktivitas fisik
secara prinsip berada dibawah kontrol kesadaran, dan mekanisme yang mengubah
tingkat kerja internal dan produksi panas terutama ditujukan untuk mengatur suhu
tubuh dan bukan mengatur keseimbangan energi total. Kontrol asupan makanan
agar menyamai pengeluaran energi adalah cara utama untuk mempertahankan
keseimbangan energi netral. Regulasi asupan makanan adalah fakor terpenting
dalam memelihara keseimbangan energi dan berat tubuh jangka panjang
(Sherwood, 2007).
Asupan makanan dipengaruhi berbagai faktor yang terintegrasi di otak
terutama pada bagian hipotalamus. Sinyal yang masuk ke hipotalamus
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut berasal dari saraf aferen, hormon, dan metabolit tertentu.
Informasi berupa distensi saluran cerna yang terjadi saat makanan ada di
saluran cerna akan diteruskan melalui saraf aferen (saraf vagus) menuju
hipotalamus. Hormon-hormon yang terlibat adala leptin, insulin, kortisol,
dan peptida pencernaan. Peptida pencernaan dihasilkan oleh saluran cerna meliputi
ghrelin, peptida YY, dan kolesistokinin. Ghrelin dihasilkan oleh lambung
dan berfungsi untuk meningkatkan asupan makan. Peptida YY dan kolesistokinin
dihasilkan oleh usus halus yang akan menurunkan asupan makan dan menimbulkan
sensasi kenyang setelah makan. Berbagai hormon yang bekerja di hipotalamus
dalam mengatur asupan makan :
Menurunkan Nafsu Makan
(Anoreksigenik)
Meningkatkan Nafsu Makan
(Oreksigenik)
α-melanocyte-stimulating hormone (α-
MSH)
Neuropeptida Y
Leptin Agouti related protein (AGRP)
Norepinefrin Asam Amino Glutamat dan γ-
Aminobutirat
Kolesistokinin Kortisol
Peptida YY Ghrelin
Leptin adalah sinyal penanda kenyang yang pertama kali diketahui. Leptin
adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh adiposit yang secara kolektif disebut
adipokin. Peningkatan leptin dari simpanan lemak yang berkembang pesat akan
menekan nafsu makan sehingga menurunkan konsumsi makananan dan mendorong
penurunan berat badan. Leptin bekerja sebagai penekan nafsu makan dengan cara
menghambat neuropeptida Y(NPY) dan melanokortin di hipotalamus.
Tabel 2.3 Hormon yang meregulasi asupan makan
(Guyton, 2008. Textbook of Medical Physiology)
Universitas Sumatera Utara
20
Leptin dianggap sebagai faktor dominan yang bertanggung jawab
dalam penyesuaian jangka panjang asupan makanan dengan pengeluaran energi
sehingga kandungan energi total tubuh tetap seimbang dan berat tubuh konstan.
Hormon lain selain leptin yang berperan dalam menekan asupan makanan
adalah insulin. Insulin disekresikan oleh pankreas sebagai respon terhadap
peningkatan glukosa darah. Insulin akan menghambat sel penghasil neuropeptida
Y(NPY) sehingga akan menekan asupan makan.
Metabolit seperti glukosa dapat memengaruhi asupan makanan.
Kondisi hipoglikemia dapat menginduksi pusat lapar di hipotalamus
dan meningkatkan asupan makanan (Flier dan Maratos, 2008).
Kerja berbagai hormon, peran metabolit, dan kerja sistem saraf
akan memengaruhi pelepasan berbagai peptida di hipotalamus seperti neuropeptida
Y(NPY), Agouti-related peptide (AgRP), α-melanocyte-stimulating hormone
(α-MSH), dan melanin-concentrating hormone (MCH) yang kemudian
Pusat asupan makan
Peptida Saluran Cerna
CCK
Ghrelin
PYY
Faktor Psikologis
aktifitas saraf
aferen
faktor budaya
leptin
insulin
kortisol
Metabolit, Glukosa,
Keton
Gambar 2.2 Regulasi Sistem Oreksin (Flier dan Maratos, 2008. Biology Of
Obesity). In: Harrison Internal Med.
Universitas Sumatera Utara
21
akan memengaruhi asupan makan. Faktor psikologis dan budaya juga berperan
dalam asupan makanan.
Jika regulasi asupan makanan terjaga dengan baik dan dibarengi aktivitas
fisik yang sesuai maka keseimbangan energi netral akan tercapai.
Kenaikan berat badan terjadi apabila asupan makanan lebih besar dari
pengeluarannya yang mengakibatkan keseimbangan energi positif. Pada kondisi
obesitas, terjadi gangguan pada kerja leptin akibat ada defek pada reseptor insulin
di otak sehingga otak tidak merespon terhadap peningkatan kadar leptin dalam
darah yang berasal dari jaringan adiposa yang banyak. Akibatnya, asupan makan
tidak ditekan dan adiposit akan terus memperbanyak jumlahnya agar dihasilkan
lebih banyak leptin untuk menekan asupan makan. Namun akibat defek
pada reseptor leptin di otak, maka sekresi leptin ini menjadi sia-sia dan malah
menimbulkan simpanan jaringan lemak yang terus bertambah
(Flier dan Maratos, 2008).
2.3 Obesitas dan Kualitas Tidur
Penelitian epidemiologi dan laboratorium menunjukkan bahwa durasi tidur
yang terlalu singkat adalah faktor resiko dari obesitas dan komplikasinya
(Knutson, 2010). Tidur adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam
mengatur fungsi neuro-endokrin dan metabolisme glukosa dan kurang tidur telah
dibuktikan mengakibatkan perubahan metabolik dan endokrin, seperti
berkurangnya toleransi glukosa dan berubahnya regulasi hormon yang berperan
dalam pengaturan asupan makan (Beccuti dan Pannain, 2011). Ghrelin, hormon
yang akan meningkatkan asupan makanan, meningkat kadarnya akibat kurang tidur,
kemudian leptin, hormon yang akan menurunkan asupan makanan, kadarnya
menurun (Morselli et al, 2012).
Pada gambar 2.3, hubungan antara tidur dan asupan makan (orexin system)
dan akibatnya terhadap kualitas tidur dan keseimbangan energi ditampilkan dalam
bentuk skema. Sistem oreksin yang merangsang nafsu makan dihambat oleh neuron
penginduksi tidur yang ada di ventrolateral preoptic area (VLPO) yang
mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA).
Universitas Sumatera Utara
22
Sistem oreksin diatur oleh neuron neuron oreksigenik yang terletak di lateral
hipotalamus (lateral hypothalamic area) dan bagian belakang hipotalamus
(posterior hypothalamus). Neuron neuron oreksigenik ini juga memiliki peran
dalam siklus bangun-tidur dengan cara mengaktifkan ascending arousal system,
seluruh bagian dari korteks serebri, dan struktur lainnya.
Aktifitias neuron oreksigenik ini juga berpengaruh pada regulasi asupan makan
dengan cara: (a) meningkatkan aktivitas neuron NPY; (b) menstimulasi
Sistem Oreksin
LHA/PH
PVN NTS
Korteks
Arousal
System
Aktivitas
Simpatis
Aktivitas
Simpatis
Ghrelin
Leptin Tidur
(VLPO/GABA)
NPY;
Nukleus
arkuatus
Reward
System
Perilaku Hedonis
>>>> dalam asupan
makan
Integrasi sinyal perifer
untuk keseimbangan energi
Siklus
Bangun-Tidur
Gambar 2.3 Kualitas tidur dengan Obesitas (Beccuti dan Pannain, 2011.
Sleep and Obesity).
Universitas Sumatera Utara
23
nucleus tractus solitarius (NTS) dan paraventricular nucleus (PVN),
yang kemudian akan mengintegrasikan sinyal perifer tentang keseimbangan energi,
asupan makan, dan rasa kenyang; (c) menstimulasi reward system , yang berikutnya
akan meregulasi asupan makanan yang tidak normal; (d) meningkatkan
aktivitas simpatis, yang kemudian akan menurunkan sekresi leptin dan
menstimulasi sekresi ghrelin (Pannain et al, 2008).
Berkurangnya energy expenditure dan bertambahanya asupan makanan dalam
jangka waktu panjang dapat mengakibatkan berat badan berlebih dan obesitas
(Almatsier, 2009).
Kerja dan sekresi hormon seperti insulin, growth hormone (GH), kortisol,
leptin, dan ghrelin dipengaruhi oleh durasi tidur, waktu tidur, dan kualitas tidur
(Steiger, 2003). Pada orang dengan waktu tidur yang sangat pendek, maka kadar
leptin akan menurun dan kadar ghrelin ditemukan meningkat (Morselli et al, 2012).
Kadar ghrelin dari perifer yang meningkat akan meningkatkan asupan makan
melalui stimulasi neuron oreksigenik (Beccuti dan Pannain, 2011).
Durasi tidur yang pendek ini akan menyebabkan gangguan keseimbangan energi
dimana energy expenditure akan berkurang karena leptin berperan dalam
meningkatkan energy expenditure (Schmid et al, 2009).
Hubungan antara kualitas tidur yang tidak baik dengan berat badan yang
meningkat akan membentuk lingkaran setan yang selanjutnya akan memperburuk
kualitas tidur. Lingkaran setan ini terjadi akibat berbagai hal yang dapat terjadi
akibat terganggunya regulasi berat badan. Obesitas menjadi faktor resiko
dari kondisi kondisi yang dapat menyebabkan kualitas tidur seperti Obstructive
sleep apnea (Morselli et al, 2012). Obstructive sleep apnea terjadi pada obesitas
akibat penimbunan lemak pada jalan nafas yang mengakibatkan penyempitan jalan
nafas yang kemudian mengganggu upaya ventilasi saat tidur. Gangguan pernafasan
tersebut menyebabkan terhentinya pernafasan saat sehingga seorang penderita
OSA akan terbangun dan durasi tidur dan kualitas tidurnya akan terganggu
(Rahman et al, 2012). Kualitas tidur yang buruk kembali menjadi faktor resiko
bagi peningkatan berat badan dan obesitas. Jika akibat kualitas tidur yang buruk
Universitas Sumatera Utara
24
ini menyebabkan obesitas, maka obesitas akan memperburuk kondisi OSA
dan kualitas tidur itu sendiri. Berdasarkan paradigma baru ini, OSA dapat
menyebabkan interaksi kompleks dengan perubahan perilaku, resistensi leptin,
peningkatan kadar ghrelin, dan terjadinya perilaku makan yang tidak sehat (Beccuti
dan Pannain, 2011).
2.4 Obstructive sleep apnea (OSA)
2.4.1 Definisi
Obstructive sleep apnea merupakan bentuk gangguan napas dalam tidur
yang paling sering dijumpai. Sindrom henti napas saat tidur diartikan sebagai
terhentinya aliran udara pada jalan nafas atas pada saat tidur lebih dari 10 detik
disertai penurunan oksigen lebih dari 4% yang terjadi berulang kali hingga 20-60
kali per jam (Barton, 2010).
2.4.2 Mekanisme terjadinya OSA
Obstructive Sleep Apnea terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas atas
selama penderitanya tidur. Obstruksi jalan nafas ini dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu kelainan anatomi pada saluran nafas atas dan gangguan fungsi saraf dan
otot yang bekerja dalam mengatur otot pernafasan di saluran nafas atas (Schwartz
et al, 2007).
Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang
hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring
dan orofaring. Tidur berbaring (Supinasi) dapat menyebabkan kolapsnya saluran
nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah ke arah belakang.
Faktor Struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis
kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia, retrognatia,
hipertrofi tonsil, makroglosia, dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya OSA (Febriani et al, 2011).
Obesitas adalah faktor risiko utama OSA. Obesitas dapat menyebabkan
peningkatan resiko OSA akibat efek mekanis dan kimiawi yang ditimbulkannya
terhadap struktur dan fungsi jalan nafas (Schwartz et al, 2007). Penimbunan lemak
yang berlebihan di jalan nafas atas dapat mengakibatkan penyempitan jalan nafas
Universitas Sumatera Utara
25
yang kemudian dapat mengakibatkan penutupan prematur jalan nafas pada saat
jaringan otot di sepanjang jalan nafas sedang relaksasi sewaktu tidur. Penimbunan
lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada akan
menekan paru paru sehingga mengganggu upaya ventilasi pada saat tidur
(Febriani et al, 2011).
Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan kadar leptin di dalam darah yang
diakibatkan oleh berlebihnya jaringan adiposa yang menghasilkan leptin.
Leptin tidak hanya berperan pada sistem oreksin namun juga berperan dalam
kontrol ventilasi. Kadar dan fungsi leptin yang tidak adekuat pada kondisi obesitas
diduga berdampak pada gangguan pada kontrol ventilasi. Leptin bersama adipokin
lainnya, seperti TNF-α dan interleukin-6 dapat mengakibatkan depresi aktivitas
susunan saraf pusat yang mengatur saraf-otot pada saluran nafas
(Romero-Corral et al, 2009).
Gangguan Metabolik:
Resistensi Insulin >>
Leptin>>
Kolestrol>>
Lemak Visceral>>
Trigliserida>>
C-reactive protein>>
HDL <<
OSA
Obesitas Kualitas
Tidur <<
Nafsu makan >>
Aktifitas fisik <<
Genetik dll Gangguan tidur dan Psikologis
Gambar 2.4 Hubungan obesitas dengan OSA (Romero-Corral et al, 2009.
Interactions Between Obesity and OSA.
Universitas Sumatera Utara
26
2.4.3 Diagnosis
Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian. Keluhan tersering
adalah rasa kantuk harian dan terganggunya tidur malam. Gejala klasik pada pasien
dengan OSA selain mendengkur saat tidur adalah excessive daytime sleepiness
yaitu sering tertidur saat melakukan kegiatan sehari-hari terutama siang hari.
Laporan teman tidur pasien yang menyaksikan langsung apnea nokturnal
merupakan gejala terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat
keluhan sakit kepala, lelah saat bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan,
refluks asam lambung, episode seperti tercekik atau terengah-engah di malam hari,
nokturia hingga gejala berat seperti gangguan kognitif.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan
leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan
pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher (Febriani et al, 2011).
Pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis OSA adalah dengan
polisomnografi. Variabelnya adalah Electroencephalogram (EEG),
Electromyogram (EMG), Electrooculogram (EOG), Electrocardiogram (ECG),
saturasi oksigen perifer, intensitas mendengkur, aliran udara naso-oral, pergerakan
dinding dada dan dinding perut, maka akan didapatkan informasi mengenai
efisiensi tidur, posisi tidur, frekuensi dan penyebab pasien terbangun, timbulnya
gangguan pernapasan saat tidur, fluktuasi saturasi oksigen dan aritmia jantung
spesifik, dari seluruh rekaman tersebut dihitung jumlah apnea dan hipopnea untuk
menentukan Apnea-Hypopnea Index (AHI) (Febriani et al, 2011).
2.4.5 Kuesioner Berlin
Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui
apakah seseorang berisiko menderita OSA. Netzer et al pada tahun 1999 membuat
kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam
menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner
Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki respiratory
disturbance index (RDI) >5 (Netzer et al, 1999).
Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan
empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan
Universitas Sumatera Utara
27
utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan
satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu
kategori 1 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur);
kategori 2 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS);
kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi atau IMT)
(Netzer et al., 1999).
Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi
atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi
jika terdapat gejala yang bersifat persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu)
yang ditemukan pada ≥ 2 pertanyaan mengenai gejala mendengkur.
Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat
mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten (lebih dari 3 atau 4 kali
per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat
tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30k g/m Jika seseorang berisiko tinggi ≥2
kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi
menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori
pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA
(Netzer et al., 1999).
2.5 Aktivitas Olahraga
2.5.1 Definisi olahraga
Menurut Gale Encyclopedia of Medicine (2008), olahraga adalah aktivitas
fisik yang direncanakan, terstruktur, dan dikerjakan secara berulang dan bertujuan
memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani.
2.5.2 Jenis-jenis olahraga
Ada dua jenis olahraga berdasarkan penggunaan oksigen oleh sel, yaitu
olahraga aerobik dan anaerobik. Olahraga aerobik adalah suatu bentuk aktivitas
fisik yang melibatkan otot-otot besar dan dilakukan dalam intensitas yang cukup
rendah serta dalam waktu yang cukup lama. Latihan aerobik dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskular dan untuk menurunkan berat
badan. Olahraga jenis ini sangat dianjurkan pada orang yang mengalami obesitas
Universitas Sumatera Utara
28
atau overweight. Aktivitas fisik yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan cepat,
jogging atau lari-lari kecil, renang, dansa, atau bersepeda (Sherwood, 2007).
Frekuensi atau jumlah hari untuk olahraga dalam seminggu yang dianjurkan adalah
3-7 hari perminggu selama 20-30 menit (AHA, 2001).
Olahraga anaerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang tidak
memerlukan oksigen dalam pelaksanaannya. Olahraga ini dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (CDC, 2011). Latihan-latihan yang
dimaksud di sini adalah angkat beban. Dianjurkan untuk melakukan olahraga
angkat beban dengan satu set mengandung 12-20 kali repetisi dengan angkat beban
ringan dan 8-12 repetisi angkat beban berat untuk membentuk massa otot.
Disarankan terdapat masa recovery yaitu 0-180 detik di antara dua set. Hal ini untuk
mencegah kelelahan otot yang lebih cepat (AHA, 2001).
2.5.3 Olahraga dan kualitas tidur
Kebiasaan olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang dapat
berperan serta mengatur siklus tidur seseorang. Mereka yang kurang dalam
beraktivitas olahraga akan memicu seseorang menjadi sulit untuk masuk pada fase
kedalaman tidur atau tidur yang dalam. Selain itu, seseorang yang biasa berolahraga
maka akan lebih mudah untuk jatuh tidur. Dimana, hal ini juga disebabkan oleh
keletihan yang biasanya mereka rasakan setelah selesai berolahraga (Sulistiyani,
2012). Olahraga juga memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kualitas
tidur, menurunkan latensi tidur, dan mengurangi penggunaan obat tidur (Yang et
al, 2012).
Olahraga yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dapat memberi
dampak yang tidak menguntungkan terhadap kualitas tidur. Olahraga
mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan suhu tubuh secara fisiologis
akan terjadi dalam waktu enam jam. Suhu tubuh yang rendah adalah salah satu
faktor penting agar seseorang dapat memulai tidurnya dengan baik.
Oleh karena itu, berolahraga saat sore hari lebih dianjurkan daripada berolahraga
pada malam hari menjelang tidur (Davilla, 2009).
Universitas Sumatera Utara
29
2.6 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga
Kualitas tidur
yang buruk
Kadar
ghrelin naik
kadar leptin
turun
Pengeluran
energi
olahraga
turun
Deposisi lemak
di jalan nafas
dan diafragma
Kebiasaan
berolahraga<<
obesitas
Perilaku
sedentari
Perilaku
makan
hedonis
Nafsu
makan
naik
Depresi sistem
saraf pengatur
otot ventilasi
Faktor risiko
OSA dan OSA
Gambar 2.5 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan
berolahraga (Beccuti dan Pannain, 2011. Sleep and Obesity).
Universitas Sumatera Utara