bab 1-intg
DESCRIPTION
vgfdfTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Sindrom Steven Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai
berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura
(Djuanda, 2007).
1. 2 Rumusan Masalah
1. 3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1. 4 Manfaat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi
buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk,
yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal
necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM). (Adithan, 2006).
Sindrom Steven Johnson dalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir
di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura
(Muttaqin arif, 2012).
2.2 Etiologi
Penyebab Steven Johnson ini paling banyak dipicu oleh penggunaan obat-
obatan atau dengan kata lain, penyebab Steven Johnson ini adalah karena alergi
obat-obat tertentu, biasanya adalah penggunaan obat antibiotik. Selain alergi obat
penyebab lainnya adalah karena adanya infeksi virus, bakteri, atau jamur tertentu,
karena makanan seperti coklat, ketidak cocokan lingkungan misal udara dingin,
panas matahari dan bahkan bisa juga dipicu oleh penyakit keganasan lainnya
misal kanker. Sejujurnya, penyebab pasti dari Steven Johnson ini idiopatik atau
tidak selalu diketahui secara pasti, tapi yang paling banyak terjadi adalah karena
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh.
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri),
antipiretik (penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20%
dan sisanya adalah jenis jamu-jamuan.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
a. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik).
1) Penisilline dan semisentetiknya.
2) Sthreptomicine
3) Sulfonamida
4) Tetrasiklin
5) Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol)
6) Kloepromazin
7) Karbamazepin
8) Kirin Antipirin
9) Tegretol
b. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit).
c. Neoplasma dan faktor endokrin.
d. Faktor fisik (udara dingin, sinar matahari, radiasi, sinar-X).
e. Makanan.
2.3 Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal,
yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar
berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke
seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah
dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan
halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah
kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-
dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang
melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-
sama berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat
merembes dari daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang
yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
a. Ruam.
b. Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
c. Bengkak pada kelopak mata, atau mata merah.
d. Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan bola mata).
e. Demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya dari penyakit akut
dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa : Kelainan kulit,
Kelainan selaput lendir di orifisium dan Kelainan mata.
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel
dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%),
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan (masing-masing
8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi
erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat
terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di
faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini
dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo
membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus yang tersering
ialah konjungtivitis kataralis, selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya : nefritis dan onikolosis.
2.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe
III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga
terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000).
a. Reaksi Hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ).
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000).
b. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Pada reaksi ini
diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
2.5 Komplikasi
Steven Johnson syndroom sering menimbulkan komplikasi pada mata berupa
simblefaron dan ulkus kornea .komplikasi lain adalah timbulnya sembab, demam
atau hipotermia.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
a. Bronkopneumonia (80%).
b. Sepsis (infeksi sistemik).
c. Kehilangan cairan/darah.
d. Gangguan keseimbangan elektrolit.
e. Syok.
f. Kebutaan gangguan lakrimasi.
g. Kutaneus (timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,
infeksi kulit sekunder).
2.6 Pelaksanaan
a. Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tanda
kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama
dengan pasien luka bakar.
b. Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi
elektrolit.
c. Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
d. Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas
dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol
nyeri.
e. Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada
mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi
rasa nyeri.daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan
kompres salin atau burrow solution
f. Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan
diterapi. Obat penyebab harus dihentikan.
g. Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui
menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan
pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan
cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan
yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu
dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena
infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan
siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang
menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala.
Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan
antiseptik, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan
analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan
secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam
bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya
penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program
fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati
dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk
dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid
merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi
dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat
dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis
teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan
5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti
dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan
lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan
kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila
terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.
h. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
b. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
d. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah
putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam
kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi
bakterial berat.
e. Determine renal function and evaluate urine for blood.
f. Pemeriksaan elektrolit
g. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi.
h. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan.
i. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
i. WOC
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
1. Biodata
Nama : Tn. X
Umur : 30
Pekerjaan : PNS
2. Riwayat kesehatan3.2 a. Keluhan utama3.3 Pasien mengeluh nyeri seperti panas terbakar.3.4 b. Riwayat kesehatan sekarang3.5 Pasien mengalami eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura, berat badan
menurun, sulit menelan, tidak selera makan, nyeri tenggorokan.3.6 c. Riwayat kesehatan dahulu3.7 Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.3.8 d. Riwayat kesehatan keluarga3.9 Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai penyakit menular.3.10 3. Pengkajian pola fungsional3.11 1) Pola nafas3.12 Sebelum sakit : Pasien dapat bernafas dengan normal tanpa alat bantu
3.13 pernafasan.
3.14 Saat dikaji : Pasien dapat bernafas dengan normal tanpa alat bantu
3.15 pernafasan.
3.16 2) Nutrisi3.17 Sebelum sakit : Pasien mengatakan 3x sehari dengan porsi nasi
3.18 dengan lauk pauk seadanya dan minum air putih 6-7
3.19 gelas.
3.20 Saat dikaji : Pasien hanya menghabiskan setengah porsi makan
3.21 yang disediakan dari rumah sakit dan mual muntah3.22 ketika makan . minum air putih 5 gelas perhari dan
minum air teh.3.23 3) Eliminasi3.24 Sebelum sakit : Pasien mengatakan biasa BAB 1 kali sehari dengan
3.25 konsistensi padat,warna kuning,BAK 4-5 x/hari3.26 dengan warna kuning jernih.3.27 Saat dikaji : Pasien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan3.28 konsistensi lembek , warna kuning kecoklatan,berbau3.29 khas fese. BAK 4 – 7 kali sehari dengan warna3.30 kuning keruh seperti teh.3.31 4) Pola istirahat tidur3.32 Sebelum sakit : Pasien bisa tidur 7-8 jam/hari tanpa ada gangguan3.33 jarang tidur siang.3.34 Saat dikaji : Pasien mengatakan tidak bisa tidur semalaman dan3.35 juga siang tidak bisa tidur.3.36 5) Pola gerak dan keseimbangan3.37 Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan kegiatan dan aktifitas tanpa3.38 bantuan orang lain.3.39 Saat dikaji : Pasien tidak dapat bergerak bebas karena badanya3.40 nyeri. Aktivitas sehari – hari seperti mandi, makan,3.41 BAB, BAK dibantu perawat dan3.42 keluarga.3.43 6) Personal higine3.44 Sebelum sakit : Pasien mnegatakn 2x/hari dengan mengguanakan3.45 sabun dan selau gosok gigi keramas 2x seminggu.3.46 Saat dikaji : Pasien hanya diseka oleh keluarganya pagi dan sore3.47 hari.3.48 7) Berpakaian3.49 Sebelum sakit : Pasien memilih dan memakai secara mandiri.3.50 Saat dikaji : Pasien berpakaian dengan dibantu oleh keluarga.3.51 8) Mempertahankan suhu tubuh3.52 Sebelum sakit : Pasien mnegatakan jika dingin memakai jaket dan3.53 slimut jika panas pasien hanya memakai baju yang3.54 tipis dan menyerap kringat.3.55 Saat dikaji : Pasien tidak memakai baju dan hanya memakai sarung3.56 dan slimut , suhu 36,4oC3.57 9) Rasa aman dan nyaman3.58 Sebelum sakit : Pasien merasa aman dan nyaman.3.59 Saat dikaji : Pasien merasa tidaknyaman karena badannya terasa3.60 nyeri seperti terbakar.3.61 10) Komunikasi3.62 Sebelum sakit : Pasien mengatakan dapat berkomunikasi dengan3.63 orang lain dengan lancer baik bis amenggunakan3.64 bahaasa jawa dan Indonesia.3.65 Saat dikaji : Pasien mengatakan kawatir bila penyakitnya tak3.66 sembuh.3.67 11) Bekerja3.68 Sebelum sakit : Pasien bekerja sebagai petani.3.69 Saat dikaji : Pasien tidak bisa melakukan kegiatan seperti biasa
3.70 12) Ibadah3.71 Sebelun sakit : Pasien mnengatatkan beragama islam dan biasa3.72 menjalankan sholat 5 waktu.3.73 Saat dikaji : Pasien dapat menjalankan ibadah sholat 5 waktu.3.74 13) Rekreasi3.75 Sebelum sakit : Pasien mengatakan untuk mengisi waktu luangnya3.76 passion slalu berkumpul dengan kluarga terdekat atau3.77 keluarga.3.78 Saat dikaji : Pasien hanya tiduran ditempat tidur dan berbincang-3.79 bincang dengan kluarga dan pasien sebelahnya.3.80 14) Belajar3.81 Sebelum sakit : Pasien mngatakan tidak mengetahui tantang penyakit3.82 sekarang.3.83 Saat dikaji : Pasien mendapatkan informasi tentang penyakit dari3.84 dokter dan perawat.3.85 4. Pemeriksaan fisik3.86 Tanda-tanda vital3.87 1) Keadaan umum : compos mentis3.88 2) Tekanan darah : 120/70 mmHg3.89 3) Nadi : 70 x/menit3.90 4) Suhu : 370C3.91 5) Respirasi : 25 x/menit3.92 Head to toe3.93 1) Kulit dan rambut3.94 Inspeksi
3.95 Warna kulit : merah muda (normal), tidak ada lesi
3.96 Jumlah rambut : tidak rontok
3.97 Warna rambut : hitam
3.98 Kebersihan rambut : bersih
3.99 Warna kulit sawo matang, terdapat eritema.
3.100 2) Kepala3.101 Inspeksi : Bentuk simetris antara kanan dan kiri
3.102 Bentuk kepala lonjong tidak ada lesi
3.103 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
3.104 3) Mata3.105 Inspeksi : Bentuk bola mata lonjong, sklera ikhterik.
3.106 4) Telinga3.107 Inspeksi : Ukuran sedang, simetris antara kanan dan kiri,
3.108 tidak ada serumen pada lubang telinga, tidak
3.109 ada benjolan.
3.110 5) Hidung3.111 Inspeksi : Simetris, tidak ada sekret, tidak ada lesi
3.112 Palpasi : Tidak ada benjolan.
3.113 6) Mulut3.114 Inspeksi : Bentuk mulut simetris, lidah bersih, gigi bersih,
3.115 mukosa lembab.
3.116 7) Leher3.117 Inspeksi : Bentuk leher simetris, tidak terdapat benjolan
3.118 di leher.
3.119 Palpasi : ada nyeri telan.
3.120 8) Paru3.121 Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri
3.122 Palpasi : getaran lokal femitus sama antara kanan dan
3.123 kiri
3.124 Auskultasi : normal
3.125 Perkusi : resonan
3.126 9) Abdomen3.127 Inspeksi : perut datar simetris antara kanan dan kiri
3.128 Palpasi : tidak ada nyeri
3.129 Perkusi : resonan
3.130 5. Pemeriksaan penunjang3.131 a) Pemeriksaan laboratorium:3.132 Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.3.133 b) Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel
darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3.134 c) Determine renal function and evaluate urine for blood.3.135 d) Pemeriksaan elektrolit3.136 e) Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi.3.137 f) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy
(EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan.3.138 g) Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis3.139 h) Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
3.140 Diagnosa
3.141 Intervensi
3.142 Implementasi
3.143 Evaluasi
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran