bab 1-bab 5
TRANSCRIPT
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keperawatan sebagai profesi memiliki body of knowledge yang kuat, jelas
dan berbeda dengan profesi lain. dimana dalam melakukan tindakannya
didasari pada ilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan yang jelas
dalam keahliannya. Selain itu sebagai profesi, keperawatan mempunyai
otonomi dalam kewenangan dan tanggung jawab dalam tindakan, adanya
kode etik dalam pekerjaan dan berorientasi pada pelayanan melalui
pemberian asuhan keperawatan kepada individu, kelompok atau masyarakat
secara komprehensif. Salah satu bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh
seorang perawat adalah pemberian informasi terhadap segala tindakan yang
dilakukan kepada klien.
Perawat perlu memahami bahwa informasi merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam tatanan pelayanan kesehatan. Salah satu bentuk contoh
pemberian informasi di tatanan pelayanan kesehatan yang dapat
dipertanggung jawabkan dan sah secara hukum adalah “Informed Consent“.
Informed consent merupakan suatu ijin atau pernyataan setuju dari pasien
yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi
dari dokter dan yang sudah dimengertinya (Guwandi, 1994). Kevin Teasdale
(1998), menyatakan bahwa “informed consent” tidak hanya sekedar
menyatakan “ya” atau “tidak” namun mencakup pemahaman tentang
keseluruhan informasi yang diberikan. Salah satu kasus yang terjadi pada
pasien yang akan dilakukan tindakan Cystoscopy sudah menandatangani
lembar informed consent tanpa diberikan informasi sehingga pada saat akan
dilakukan tindakan pasien menolak karena pasien tidak tahu tindakan apa
yang akan dilakukan.
Penjelasan atau informasi terkait tindakan yang diberikan kepada pasien
adalah tanggung jawab dari penanggung jawab perawatan terhadap pasien
1
2
tersebut, misalnya seorang dokter atau perawat primer. Menurut Soekanto
(1989) perawat secara yuridis tidak berwenang melaksanakan proses
“informed consent”, namun menjadi tanggungjawab dokter. Pendapat lain
menyatakan bahwa salah satu kewajiban perawat adalah memberikan
informasi yang adekuat tentang tindakan keperawatan kepada klien/
pasien/keluarga sesuai batas kewenangan (Praptianingsih, 2006).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka kelompok tertarik untuk membahas
tentang peranan perawat dalam pemberian informasi kepada
pasien/customer tentang tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan
lingkup profesinya dikaitkan dengan aspek etik dan legal keperawatan.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menganalisa keperawatan sebagai profesi dalam
penerapannya dalam bidang Keperawatan Medikal Bedah.
1.2.2. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu:
1.2.2.1. Memahami Definsi keperawatan sebagai profesi
1.2.2.2. Memahami Karakteristik keperawatan sebagai profesi
1.2.2.3. Memahami Hakekat praktek profesi
1.2.2.4. Memahami Batasan hak dan kewajiban perawat
1.2.2.5. Memahami Kemitraan dalam praktik profesi kesehatan
terkait dengan etika dan hukum
1.2.2.6. Memahami Jaminan kualitas pelayanan keperawatan
1.2.2.7. Memahami Dimensi kekeliruan : etik, hukum, disiplin,
upaya pencegahan
1.2.2.8. Menganalisa keterkaitan aspek etik dan hukum
keperawatan dengan aplikasi tindakan keperawatan
3
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, dan
persiapan khusus (Kozier et al., 1991).
Profesi adalah pekerjaan bermartabat dengan identifikasi yang tinggi di
antara para anggota profesi, yang membutuhkan pendidikan yang panjang
dan ketat dalam tuntutan kemampuan intelektual dan teori berdasarkan
penelitian-penelitian, memiliki kemampuan regulasi dan kontrol terhadap
diri sendiri, memegang wewenang atas klien, dan mengedepankan
pelayanan kepada masyarakat di atas kepentingan pribadi (Shwirian, 1998).
Menurut Hasil Lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ditujukan
kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun yang
sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia (Praptianingsih, 2006).
2.2. Karakteristik
Karakteristik profesi keperawatan menurut Hood & Leddy (2006) yaitu :
a. Memiliki otoritas untuk mengontrol pekerjaan
Perawat melakukan intervensi mandiri keperawatan serta intervensi
kolaborasi saat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
b. Memiliki batang ilmu spesifik
Keperawatan mengambil dari beberapa disiplin ilmu untuk membentuk
pelayanan keperawatan yang holistik.Dalam ilmu keperawatan
pengetahuan ini berfokus pada empat konsep utama, yaitu keperawatan,
manusia, lingkungan, dan kesehatan. Penelitian keperawatan akan
4
menghasilkan ilmu pengetahuan baru untuk menunjang praktek
keperawatan.
c. Memiliki pendidikan formal dan pelatihan
Saat ini ada beberapa level pendidikan formal untuk menjadi perawat di
Indonesia, yaitu tingkat Diploma, Sarjana, Magister, dan Doktoral.
d. Memiliki kompetensi yang spesifik
Perawat mendemonstrasikan kemampuan pengkajian, pemahaman
tentang famakologi, ilmu fisika, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik,
prosedur pembedahan, dan memiliki kemampuan untuk menggunakan
alat-alat dengan tepat pada saat memberikan pelayanan asuhan
keperawatan pada klien.
e. Memiliki hak untuk mengontrol tindakannya
Perawat dengan bekal pengetahuan dan kompetensi dapat melakukan
praktek keperawatan secara independen yang didasarkan pada kondisi
klien.
f. Memberikan pelayanan kepada orang lain
Pelayanan keperawatan adalah pekerjaan yang berfokus kepada klien
untuk memenuhi kebutuhan dasar individu, baik yang sakit maupun
sehat secara holistik dalam area fisik, psikologis dan emosional.
g. Memiliki peraturan perundang-undangan
Perawat memiliki badan hukum yang mengatur praktek keperawatan di
wilayahnya masing-masing.
h. Memiliki sertifikasi kompetensi
Perawat mengikuti ujian kompetensi nasional dengan memiliki nilai
kompetensi minimal yang disahkan oleh badan hukum sebagai syarat
untuk melakukan praktek keperawatan.
i. Memiliki standar dan hukum
Perawat melakukan tindakan keperawatan secara rasional dan
bertanggungjawab untuk tindakannya tersebut, yang dalam hal ini
diatur oleh badan hukum keperawatan.
5
j. Memiliki kode etik
Kode etik menjadi pedoman bagi kelompok profesional sebagai dasar
untuk mengambil keputusan berdasarkan standar dan nilai.
k. Menciptakan hubungan antar profesi keperawatan
Perawat memiliki organisasi profesi yang membuat standar,
melindungi, dan menyediakan jaringan untuk anggota-anggotanya.
l. Memiliki penghargaan diri
Perawat merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan kepada klien
dan keluarganya.Beberapa dari mereka memandang profesi
keperawatan sebagai sarana untuk ibadah.
m. Penerimaan publik
Menurut Gallup Organization (2003), keperawatan mendapat peringkat
tertinggi sebagai profesi yang jujur dan bertindak secara etis dibanding
profesi yang lain (Hood & Leddy, 2006).
2.3. Hakekat praktik profesi
Hakekat praktik profesi keperawatan adalah kepedulian (caring). Menurut
Verena Tschudin (2003) kepedulian adalah tentang manusia. Dilakukan oleh
manusia, bagi manusia, untuk manusia dan sebagai manusia. Setiap orang
berhubungan dengan orang yang lain. Bentuk kepedulian ini didasarkan
pada prinsip humanitas, yaitu memperlakukan/berhubungan dengan orang
lain/pasien sebagai manusia, bukan sekedar sebagai pasien saja. Peduli
adalah elemen dasar menjadi seorang manusia. Disaat kita tidak peduli, kita
kehilangan kemanusiaan kita, dan kepedulian adalah cara untuk
berperikemanusiaan.
Roach (1992) mencatat bahwa karakteristik dan kualitas kepedulian (caring)
dimulaidengan huruf “C” yang bisa berfungsi hanya jika kita memiliki
hubungan dengan orang lain, yaitu:
a. Compassion (belas kasihan)
b. Competence (kompeten)
c. Confidence (kepercayaandiri)
6
d. Conscience (kesadaran)
e. Commitment (komitmen)
2.4. Batasan Hak dan Kewajiban Perawat
Verena Tschudin (2003) mengatakan bahwa hak perawat adalah tugas
employer, sedangkan hak pasien adalah tugas perawat. Kontrak kerja
perawat memberikan mereka hak untuk memperoleh gaji, mendapatkan hari
libur kerja, dan hak untuk tidak bekerja saat sakit.Perawat berhak untuk
bekerja di lingkungan yang sehat, bebas dari bahaya kecelakaan kepada diri
mereka sendiri atau other health hazards, serta berhak diberikan otonomi
dalam melakukan perawatan.
Sedangkan menurut Potter dan Perry, 2001 fungsi dan perawat
dijabarkan sebagai berikut ini:
Fungsi perawat:
a. Pemberi layanan perawatan (caregiver)
b. Pengambil keputusan (clinical decision maker)
c. Pelindung dan advokat klien (protector and client advocate)
d. Manajer kasus (case manager)
e. Rehabilitator
f. Comforter
g. Communicator
h. Teacher/educator
Peran Perawat (Potter & Perry, 2001):
a. Peran utama sebagai praktisi dengan melakukan asuhan keperawatan
secara langsung kepada klien yang bertujuan untuk menyelesaikan
masalah klien melalui keterampilan berpikir kritisnya. Selain itu
perawat juga melakukan edukasi kepada klien dan keluarganya yang
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan perawatan diri.
Perawat sebagai praktisi tidak hanya bertugas di area rumah sakit
namun juga meluas ke area lain seperti perawatan lansia dan perawatan
jiwa.
b. Perawat spesialis dan konsultan
7
Perawat tidak hanya sebagai pekerja klinis namun memiliki kesempatan
untuk meningkatkan keterampilan dan pengalamannya sebagai role
model. Posisi yang dimaksud yaitu Clinical Nurse Specialist (CNS) dan
Clinical Nurse Consultant (CNC) yang memiliki kemampuan yang
lebih ahli dan biasanya bertugas di area yang lebih spesifik seperti
diabetes mellitus, kanker atau kardiovaskuler.
c. Akademisi atau edukator
Perawat dalam perannya sebagai akademisi secara umum memiliki
kualifikasi dan kompetensi pada area spesialisasinya.Ini merupakan
ekspektasi yg umum pada sektor pendidikan tingkat tinggi, yaitu bahwa
para murid memiliki hak untuk diajarkan oleh staff ahli. Melalui proses
ini, para murid tidak hanya mengharapkan teori pembelajaran yang
berkualitas tinggi yang akan diperoleh tetapi juga mendapatkan
keuntungan dari pengalaman klinik pengajarnya.
Perawat yang berperan sebagai edukator adalah mereka yang masih
tetap bekerja di beberapa layanan kesehatan; mereka lebih banyak
behubungan dengan staff pengembangan dan klien pendidikan. Para
edukator umumnya memiliki latar belakang dalam keperawatan klinik,
yang menunjang mereka dengan kemampuan praktikal dan pengetahuan
teoritis. Perawat sebagai edukator di bidang pengembangan staf di
layanan kesehatan menyediakan program pendidikan bagi perawat-
perawat di insititusi mereka. Program-program ini termasuk orientasi
karyawan baru, pendidikan lanjutan dan pelatihan keamanan dan
instruksi tentang alat atau prosedur baru.Para perawat edukator ini
biasanya berpartisipasi dalam pengembangan prosedur dan kebijakan
keperawatan. Fokus utama para perawat edukator di departemen
pendidikan adalah untuk mengajarkan klien dan keluarga yang sakit
atau tidak mampu (disable) tentang bagaimana cara terbaik untuk
berespon terhadap penyakit atau ketidakmampuan mereka untuk
menyediakan pelayanan di rumah. Para perawat edukator ini biasanya
memiliki spesialisasi dan sertifikat; misalnya pendidik diabetes atau
perawat luka ostomy.
8
d. Perawat Manejer
Peran seorang perawat administrator adalah untuk mengatur pelayanan
kepada klien dan pemberian layanan keperawatan spesifik dalam sarana
pelayanan kesehatan. Administrasi keperawatan dimulai dengan posisi
seperti manejer unit atau wakil manejer unit. Pada level yang lebih
tinggi manajemen keperawatan memperluas posisinya seperti direktur
keperawatan atau wakil direktur keperawatan. Tidak ada kualifikasi
khusus bagi manajemen keperawatan, bagaimanapun juga perawat-
perawat tidak mungkin dipromosikan ke promosi manajer unit tanpa
kualifikasi pascasarjana.
Douglas (1996), perawat administrator memerlukan kemampuan dalam
bisnis dan manajemen, sebagaimana juga pengertian tentang seluruh
aspek keperawatan dan asuhan keperawatan kepada pasien. Fungsi
administrator termasuk pembiayaan, pengaturan tenaga/staf, rencana
strategik untuk kegiatan dan pelayanan, evaluasi karyawan dan
pengembangan karyawan (Potter & Perry, 2001).
e. Perawat Peneliti
Saat ini terjadi peningkatan dalam penelitian di bidang keperawatan
melalui pengumpulan dan analisa data yang bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan keperawatan dan memperluas area praktek
keperawatan. Perawat peneliti bisa memiliki latar belakang sebagai
akademisi maupun klinis.
Serta disebutkan, berdasarkan Kepmenkes 1239/2001 dan
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik no. Y.M. 00.03.2.6.956
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1998, perawat
mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. Hak Perawat
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya;
9
Mengembangkan diri melalui kemampuan spesialisasi sesuai latar
belakang pendidikannya;
Menolak keinginan klien/pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundangan, standar profesi, dan kode etik profesi;
Diperlakukan adil dan jujur oleh rumah sakit, klien/pasien, dan atau
keluarganya;
Meningkatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bidang keperawatan;
Mendapatkan informasi yang lengkap dari klien/pasien yang tidak puas
terhadap pelayanannya;
Mendapatkan jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang
berkaitan dengan tugasnya;
Diikutsertakan dalam penyususan/penetapan kebijakan pelayanan
kesehatan di rumah sakit;
Diperhatikan privasinya dan berhak menuntut apabila nama baiknya
dicemarkan oleh klien/pasien atau keluarganya serta tenaga kesehatan
lain;
Menolak pihak lain yang memberikan anjuran/permintaan untuk
melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangan,
standar profesi, dan kode etik;
Mendapatkan penghargaan/imbalan yang layak dari jasa profesinya
sesuai dengan peraturan/ketentuan yang berlaku di rumah sakit;
Memperoleh kesempatan mengembangkan karier sesuai bidang
profesinya.
b. Kewajiban Perawat
Mematuhi semua peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan
antara pegawai dengan rumah sakit;
Mengadakan perjanjian tertulis dengan rumah sakit;
Memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah
dibuatnya;
10
Memberikan pelayanan/asuhan keperawatan sesuai dengan standar
profesi dan batas kewenangannya;
Menghormati hak pasien/klien;
Merujuk klien/pasien kepada perawat/tenaga kesehatan lain yang
mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik;
Memberikan kesempatan kepada klien/pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarganya, menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan pelayanan
kesehatan;
Memberikan informasi yang adekuat tentang tindakan keparawatan
kepada klien/pasien atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya;
Membuat dokumentasi asuhan keperawatan secara akurat dan
berkesinambungan;
Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan sesuai standar prodesi
keperawatan;
Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan secara terus menerus;
Melakukan pertolongan darurat sesuai dengan batas kewenangannya;
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang klien/pasien,
bahkan juga setelah klien/pasien meninggal, kecuali jika diminta oleh
pihak yang berwenang.
2.5. Kemitraan dalam Praktik Profesi Keperawatan Terkait dengan
Etika dan Hukum
Kemitraan menurut Henderson (1991) yaitu hubungan kesejawatan antara
dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain dengan pasien dan keluarganya
(Praptianingsih, 2006). Sedangkan menurut ANA (1992) kemitraan
didefinisikan sebagai hubungan kerja timbal balik antar tenaga kesehatan di
dalam memberikan pelayanan untuk mendukung perawatan pasien
(Praptianingsih, 2006).
11
The Ontario College of Family Physicians (1999) merumuskan definisi
praktik kolaborasi sebagai suatu proses antar profesional dalam
berkomunikasi dan membuat keputusan dimana terdapat kesempatan yang
sama bagi tiap-tiap tenaga kesehatan untuk berbagi pengetahuan dan
ketrampilan atau keahliannya guna menghasilkan pengaruh yang sinergis
bagi pemberian perawatan pasien. Definisi tersebut dapat dikaitkan dengan
dasar hukum pada pasal 50 UU 23/1992 menentukan “Tugas tenaga
kesehatan adalah menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan
sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya masing-masing”.
Hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam
upaya kesembuhan dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Sumber: Cipto susilo, tren perawat professional di era pasca modernisasi,
artikel, iqra’, vol X, No. 1, Jan. 1995, hlm. 6 (Praptianingsih, 2006)
Menurut bagan tersebut, pandangan bahwa fokus dalam upaya kesehatan
adalah pasien dan keluarga. Setiap tenaga kesehatan mengambil peran yang
setara terhadap pasien sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
masing-masing. Perawat disetarakan dengan dokter sebagai tenaga
profesional sebagaimana dokter.
2.6. Jaminan Kualitas Pelayanan Keperawatan
2.6.1. Pengertian
Menurut Purwanto (2012), pelayanan kesehatan biasanya mengacu
Perawat Dokter
Petugas sosial
Radiologi
Pasien dan keluarga
Ahli Gizi
Terapi Kerja
Terapi Fisik
Laborratorium
12
pada kemampuan rumah sakit, memberi pelayanan yang sesuai
dengan standar profesi kesehatan dan dapat diterima oleh pasiennya.
Beberapa pendapat mengenai kualitas pelayanan keperawatan
diantaranya (Purwanto, 2012):
a. Kualitas pelayanan kesehatan adalah yang menunjukkan tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas
pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan tersebut, makin
baik pula kualitas pelayanan kesehatan. Dalam menyelenggarakan
upaya menjaga kualitas pelayanan kesehatan dirumah sakit tidak
terlepas dari profesi keperawatan yang berperan penting.
Berdasarkan standar tentang evaluasi dan pengendalian kualitas
dijelaskan bahwa pelayanan keperawatan menjamin adanya asuhan
keperawatan yang berkualitas tinggi dengan terus menerus
melibatkan diri dalam program pengendalian kualitas di Rumah
Sakit.
b. Perawat adalah seseorang yang mempunyai profesi berdasarkan
pengetahuan ilmiah, ketrampilan serta sikap kerja yang dilandasi
oleh rasa tanggung jawab dan pengabdian. Perawat adalah salah
satu unsur vital dalam rumah sakit, perawat, dokter, dan pasien
merupakan satu kesatuan yang paling membutuhkan dan tidak
dapat dipisahkan. Tanpa perawat, tugas dokter akan semakin berat
dalam menangani pasien. Tanpa perawat, kesejahteraan pasien juga
terabaikan karena perawat adalah penjalin kontak pertama dan
terlama dengan pasien mengingat pelayanan keperawatan
berlangsung terus menerus. Departemen Kesehatan RI
mendefinisikan perawat adalah seseorang yang memberikan
pelayanan kesehatan secara profesional dimana pelayanan tersebut
berbentuk pelayanan biologis, psikologis sosial, spiritual yang
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat. Pelayanan
keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental,
keterbatasan pengetahuan serta kurangnya pengertian pasien akan
kemampuan melaksanakan kegiatan secara mandiri. Kegiatan itu
13
dilakukan dalam usaha mencapai peningkatan kesehatan dengan
penekanan pada upaya pelayanan kesehatan yang memungkinkan
setiap individu mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kualitas pelayanan keperawatan adalah sikap profesional perawat yang
memberikan perasaan nyaman, terlindungi pada diri setiap pasien yang
sedang menjalani proses penyembuhan dimana sikap ini merupakan
kompensasi sebagai pemberi layanan dan diharapkan menimbulkan
perasaan puas pada diri pasien.
2.6.2. Aspek-aspek kualitas pelayanan keperawatan
Aspek-aspek mutu atau kualitas pelayanan adalah :
a. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan, jujur,
aman, tepat waktu, ketersediaan. Keseluruhan ini berhubungan
dengan kepercayaan terhadap pelayanan dalam kaitannya dengan
waktu.
b. Ketanggapan (responsiveness), yaitu keinginan para pegawai atau
karyawan membantu konsumen dan memberikan pelayanan itu
dengan tanggap terhadap kebutuhan konsumen, cepat
memperhatikan dan mengatasi kebutuhan-kebutuhan.
c. Jaminan (assurance) mencakup kemampuan, pengetahuan,
kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki pada karyawan,
bebas dari bahaya, resiko, keragu-raguan, memiliki kompetensi,
percaya diri dan menimbulkan keyakinan kebenaran (obyektif).
d. Empati atau kepedulian (emphaty). Hal-hal ini meliputi kemudahan
dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan konsumen yang terwujud dalam penuh perhatian
terhadap setiap konsumen, melayani konsumen dengan ramah dan
menarik, memahami aspirasi konsumen, berkomunikasi yang baik
dan benar serta bersikap dengan penuh simpati.
14
e. Bukti langsung atau berujud (tangibles). Hal-hal ini meliputi
fasilitas fisik, peralatan pegawai, kebersihan (kesehatan), ruangan
baik teratur rapi, berpakaian rapi dan harmonis, penampilan
karyawan atau peralatannya dan alat komunikasi.
Depkes RI telah menetapkan bahwa pelayanan perawatan dikatakan
berkualitas baik apabila perawat dalam memberikan pelayanan kepada
pasien sesuai dengan aspek-aspek dasar perawatan. Aspek dasar
tersebut meliputi aspek penerimaan, perhatian, tanggung jawab,
komuniksi dan kerjasama. Penjelasan untuk masing-masing aspek
dapat dilihat sebagai berikut:
a. Aspek penerimaan
Aspek ini meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang,
selalu tersenyum, menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki
minat terhadap orang lain, menerima pasien tanpa membedakan
golongan, pangkat, latar belakang sosial ekonomi dan budaya,
sehingga pribadi utuh. Agar dapat melakukan pelayanan sesuai
aspek penerimaan, perawat harus memiliki minat terhadap orang
lain dan memiliki wawasan luas.
b. Aspek perhatian
Aspek ini meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Dalam hal ini perawata perlu bersikap sabar dan
murah hati dalam arti bersedia memberikan bantuan dan
pertolongan kepada pasien dengan sukarela tanpa mengharapkan
imbalan, memiliki sensitivitas dan peka terhadap setiap perubahan
pasien, mau mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan pasien.
c. Aspek komunikasi
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan
komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Adanya
komunikasi yang baik antara pasien dengan perawat dan adanya
hubungan yang baik dengan keluarga pasien akan meningkatkan
interaksi yang baik antar perawat dengan keluarga dan pasien.
15
d. Aspek kerjasama
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan
kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarga pasien terutama
dalam penerapan proses keperawatan.
e. Aspek tanggung jawab
Aspek ini meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas,
mampu mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas,
konsisten serta tepat dalam bertindak.
2.6.3. Perlindungan Hukum (Legislasi)
Tenaga keperawatan sebagai salah satu komponen utama pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran penting
karena terkait langsung dengan mutu pelayanan kesehatan sesuai
dengan kompetensi yang dimilikinya. Keperawatan sebagai profesi
mempersyaratkan pelayanan keperawatan diberikan secara
professional oleh perawat/Ners dengan kompetensi yang memenuhi
standar, memperhatikan kaidah etik dan moral, sebagai bentuk
perlindungan terhadap masyarakat.
Perkembangan bidang keperawatan menuju keperawatan sebagai
profesi dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat. Perubahan
ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh
perkembangan keperawatan profesional, antara lain adanya tekanan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang
pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan
keperawatan profesional Indonesia.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat
menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab
terhadap pelayanan yang keperawatan yang dilakukan. Tumpang
tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan
beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena
16
tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal
ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan
keterampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang
mereka miliki.
Berdasarkan PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa tujuan pengelolaan
pendidikan adalah untuk menjamin (1) akses masyarakat atas
pelayanan pendidikan yang mencukupi, merata, dan terjangkau; (2)
mutu dan daya saing pendidikan serta elevansinya dengan kebutuhan
dan atau kondisi masyarakat; dan (3) efektivitas, efisiensi, dan
akuntabilitas pengelolaan pendidikan. Oleh karenanya, Pendidikan
Keperawatan sudah seharusnya dibawah kebijakan Dikti
(Kemendikbud) sebagai lembaga yang memang mengurusi masalah
pendidikan di Indonesia. Karena apabila keragaman ini terus dibiarkan
maka dampaknya akan ke arah tidak terstandarnya kualitas lulusan
perawat.
Indonesia dan Laos adalah dua negara ASEAN yang belum memiliki
Undang-Undang Keperawatan. Padahal sebagaimana kita ketahui
bahwa di negara Indonesia telah memproduksi tenaga perawat dalam
jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara
Asia, selain itu yang paling utama adalah lemahnya regulasi praktik
keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi.
Perlindungan hukum yang seharusnya pertama kali ditawarkan oleh
pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan bagi perawat
Indonesia untuk memulai proses tersebut, salah satunya adalah dengan
mengeluarkan UU. Kenyataan yang saat ini terjadi, RUU
Keperawatan untuk dijadikan jaminan hukum belum disyahkan.
Dengan adanya UU Keperawatan tentu akan berdampak pada
peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, perlindungan
17
terhadap rakyat maupun masyarakat, peningkatan daya saing perawat
Indonesia di mata dunia, serta mempercepat keberhasilan upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.
Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan
derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan
kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan
hingga desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada
kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan
hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum.
2.6.4. Bentuk Perlindungan bagi Perawat
a. UUD 1945 dalam Pasal 5, menyebutkan bahwa “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 dalam Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan
bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan
ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Sedangkan Pasal 53, menyebutkan bahwa
tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
c. Pelaksanaan tugas sesuai dengan standar profesi pada dasarnya
memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan maupun
pasien, sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
jo. Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996,
perlindungan hukum bagi pasien diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 jo. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009, yaitu : “Setiap orang berhak atas ganti rugi
akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
18
kesehatan, sedangkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan
diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 yang menentukan pemberian perlindungan hukum bagi
tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesinya.
2.7. Dimensi Kekeliruan : Etik, Hukum, Disiplin dan Upaya Pencegahan
2.7.1. Dimensi Etik
1. Definisi
Etik adalah suatu ilmu yang mengatur bagaimana sepatutnya
manusia harus hidup dalam masyarakat yang melibatkan prinsip
atau aturan yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu baik
dan buruk atau kewajiban dan tanggung jawab (Potter & Perry,
2007). Etika adalah tentang kebenaran dan ketidakbenaran yang
didasarkan atas kodrat manusia, tentang norma yang mengarahkan
perilaku manusia. Sebagai praktisi dalam dunia kesehatan, perawat
diharapkan dapat melaksanakan praktik perawat sesuai dengan
hukum dan kode etik keperawatan yang berlaku (Praptianingsih,
2006).
Prinsip Etika yang berlaku bagi tenaga kesehatan (Potter & Perry,
2007) :
a. Otonomi
Otonomi merujuk kepada kebebasan seseorang. Dalam prinsip
bioetik, otonomi lebih kepada menghargai hak orang lain
(pasien) untuk menentukan serangkaian tindakan yang akan
dilakukan. Sebagai contoh, maksud dari persetujuan (informed
consent) pada pasien preoperative adalah tim tenaga kesehatan
benar-benar menghargai kebebasan pasien dengan mendapatkan
ijin secara tertulis untuk memulai prosedur tindakan.
b. Keadilan
Keadilan merujuk kepada prinsip kewajaran dan kejujuran.
Sebagai contoh di Amerika, kira-kira lebih dari 3 calon
19
penerima transplantasi hati masuk dalam daftar tunggu. Sangat
sulit untuk menentukan pendistribusian organ yang tersedia.
Komite kesehatan Amerika mengatur urutan calon penerima
transplantasi organ berdasarkan tingkat kebutuhan, daripada
berusaha menjual organ untuk mendapatkan keuntungan atau
mendistribusikannya dengan lotere.
c. Fidelity (kesetiaan)
Fidelity merujuk kepada kesetiaan atau berusaha keras untuk
tetap memegang janji. Prinsip fidelity juga menaikkan kewajiban
perawat dalam melaksanakan rencana perawatan kepada pasien.
Sebagai contoh, jika kita mengkaji pasien dengan nyeri
kemudian menawarkan rencana untuk mengendalikan nyeri
pada pasien, prinsip fidelity mendorong kita untuk melakukan
yang terbaik dalam memperbaiki dan meningkatkan
kenyamanan pasien.
d. Beneficence (kebaikan)
Prinsip beneficence adalah selalu berusaha untuk melakukan
kebaikan dengan menolong orang lain. Prinsip ini mendorong
kita untuk melakukan yang terbaik kepada pasien. Kita selalu
mengupayakan keputusan yang dibuat berdasarkan keinginan
untuk melakukan yang terbaik bukan merugikan pasien.
e. Non-maleficence (tidak merugikan)
Prinsip Non-maleficence berarti bahwa perawat dalam
memberikan upaya pelayanan kesehatan harus senantiasa
dengan niat untuk membantu pasien mengatasi masalah
kesehatannya.
20
2.7.2. Dimensi Kekeliruan
Dimensi kekeliruan dalam aspek etik keperawatan adalah pelanggaran
yang dilakukan perawat terhadap kode etik profesi keperawatan. Kode
etik adalah pedoman perilaku bagi pengemban profesi. Fungsi kode
etik adalah sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi,
sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan pihak lain dan
pencegah kesalahpahaman dan konflik (Praptianingsih, 2006).
Berkaitan dengan profesi, etika erat hubungannya dengan perilaku
yang berisikan hak dan kewajiban yang berdasarkan pada perasaan
moral dan perilaku yang sesuai dan mendukung standar profesi.
Sebagai suatu profesi, keperawatan memiliki kode etik yang
mengarahkan atau memberi pentunjuk kepada anggotanya bagaimana
seharusnya berbuat dalam menjalankan profesinya dan sekaligus
menjamin mutu moral profesi tersebut di mata masyarakat. Dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab, perawat harus merujuk
kepada kode etik keparawatan.
Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan tingkat laku
seseorang (baik atau buruknya), atau ketidakmampuan melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawab dengan benar sebagaimana diatur
dalam kode etik profesi. Di Indonesia, penyelidikan dan penyelesaian
masalah berkaitan dengan pelanggaran kode etik keperawatan
merupakan wewenang dari Majelis Kehormatan Etik Keperawatan
yang dibentuk oleh organisasi profesi keperawatan, dalam hal ini
PPNI (AD/ART PPNI, BAB IX Pasal 31). Hukuman atau sangsi yang
diberikan berhubungan dengan keanggotaan dalam organisasi profesi.
Pemberhentian sebagai anggota dapat dilakukan oleh Pengurus Pusat
PPNI dan atau Majelis Kehormatan Etik Keperawatan jika terbukti
melakukan pelanggaran kode etik yang berat dan merugikan
organisasi profesi (AD/ART PPNI, BAB II, Pasal 6c).
21
2.7.3. Dimensi Hukum
Dimensi kekeliruan dalam aspek hukum adalah perawat melakukan
pelanggaran berat yang berkaitan dengan masalah hukum, contohnya
karena kelalaian perawat, pasien meninggal. Perawat professional
seperti tenaga professional yang lain mempunyai tanggung jawab
terhadap tiap bahaya yang ditimbulkan akibat kesalahan
tindakannya.Tanggungan yang dibebankan perawat dapat berasal dari
berbagai kesalahan yang dilakukan oleh perawat yang dapat berupa
tindakan kriminal berat misalnya perawat salah memberikan obat
sehingga menyebabkan kematian pasien dapat diberi sangsi berupa
membayar denda dan kurungan. Sedangkan bagi perawat yang
melakukan tindakan criminal ringan misalnya menampar wajah pasien
dapat dikenai denda dan kurungan jangka pendek (Priharjo, 1995).
Proses penyelesaian untuk pelanggaran hukum dilakukan oleh
perangkat hukum yang ada. Pemberian sangsi atau hukuman sesuai
dengan peraturan undang-undang hukum yang berlaku.
Kecerobohan (tort) merupakan kesalahan sipil yang melanggar
seseorang atau kepunyaan/harta benda seseorang. Kecerobohan dapat
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Kecerobohan tidak
sengaja meliputi :
a. Kelalaian (negligence)
Kelalaian adalah kegagalan seseorang untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan standar yang ada (Potter &Perry, 2007). Kelalaian
merupakan kegagalan melakukan sesuatu yang oleh orang dengan
klasifikasi yang sama seharusnya dapat dilakukan dalam situasi
yang sama. Kelalaian sering terjadi akibat kegagalan menerapkan
pengetahuan dalam praktik yang antara lain disebabkan kurang
pengetahuan. Kelalaian dapat menyebabkan kerugian bagi pasien
(Priharjo, 1995). Berikut ini beberapa tindakan kelalaian yang
umumnya terjadi pada perawat dan rumah sakit yang masuk dalam
perkara hukum (Potter & Perry, 2007) :
22
a. Kesalahan pengobatan yang mengakibatkan pasien mengalami
cedera
b. Kesalahan dalam penatalaksanaan terapi intravena yang
mengakibatkan infiltrasi dan flebitis
c. Luka bakar pada pasien yang disebabkan oleh alat-alat medis,
air panas, terkena cairan panas atau makanan
d. Pasien terjatuh dan mengakibatkan terjadinya cedera
e. Kegagalan dalam mengaplikasikan teknik aseptic sesuai
prosedur
f. Gagal dalam memberikan laporan, atau memberikan laporan
lengkap kepada shift berikutnya (kegagalan dalam timbang
terima)
g. Kegagalan dalam mengawasi kondisi pasien
h. Kegagalan dalam mengkomunikasikan adanya perubahan yang
nyata pada status pasien kepada dokter atau tenaga kesehatan
lain
Cara yang terbaik agar tidak melakukan kelalaian adalah dengan
mengikuti standar perawatan yang ada pada setiap instistusi
pelayanan kesehatan, menyediakan tenaga kesehatan yang
kompeten dalam bidangnya, dan komunikasi yang baik antara
tenaga kesehatan juga sangat diperlukan untuk
mendokumentasikan hasil pengkajian pasien, intervensi yang
diberikan, dan hasil evaluasi yang lengkap dalam catatan
perawatan pasien (Potter & Perry, 2007).
b. Malpraktik
Malpraktik (professional negligence) adalah kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga professional yang menyebabkan kerusakan,
cedera atau kematian seseorang. Kegagalan dalam melaksanakan
suatu fungsi tertentu berkaitan dengan peran dalam memberikan
asuhan keperawatan yang aman juga dianggap sebagai malpraktik.
23
Terjadinya malpraktik dapat didukung oleh beberapa hal antara
lain perilaku masyarakat terhadap tenaga kesehatan serta
peningkatan kesadaran terhadap hukum dimana hal ini mendorong
masyarakat mengajukan tuntutan bila merasa dirugikan oleh
penyedia layanan kesehatan baik rumah sakit maupun tenaga
kesehatan.
2.7.4. Dimensi Disiplin
Dimensi disiplin berhubungan dengan kedisiplinan perawat dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai perawat dan
sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di institusi pelayanan
kesehatan. Kekeliruan dalam dimensi disiplin berhubungan dengan
ketidakmampuan perawat dalam melaksanakan tugas dan
tanggunjawabnya sesuai dengan standar profesi dan aturan yang ada
pada tempat/institusi dimana dia bekerja. Contohnya sering datang
terlambat, tidak menggunakan atribut sesuai aturan, tidak
melaksanakan tindakan sesuai SOP yang berlaku, melakukan tindakan
tidak sesuai dengan standar profesi. Penilaian terhadap benar dan
salah dilakukan oleh komite disiplin yang ada pada institusi tersebut
dan komite disiplin organisasi profesi. Pemberian sangsi (punishment)
diatur oleh kebijakan dan aturan institusi tempat bekerja dan aturan
atau sangsi yang ditetapkan oleh komite disilpin profesi. Hukuman
bisa berupa pencabutan kewenangan atau jabatan sampai pada
pencabutan izin praktek.
2.7.5. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan agar terhindar dari kekeliruan dalam melaksanakan
praktik keperawatan profesional dapat dilakukan melalui 3 aspek :
a. Pendidikan Keperawatan
Kurikulum dalam pendidikan keperawatan wajib mencantumkan
materi etika dan hukum keperawatan.
24
Mendidik mahasiswa keperawatan bagaimana harus bersikap
sesuai dengan etika mulai dari bangku pendidikan.
Mempersiapkan para calon perawat professional dalam hal ini
mahasiswa keperawatan yang memiliki pemahaman yang tepat
tentang standar praktik dan kode etik profesi.
b. Organisasi Profesi Keperawatan
Menyusun standar praktik keperawatan yang jelas dan kokoh
sebagai landasan pelaksanaan praktik keperawatan professional.
Menyusun aturan dan kebijakan yang berhubungan dengan kode
etik profesi keperawatan dan pedoman penerapan kode etik
keperawatan.
Menjamin tersedianya standar praktik keperawatan dan
penjabaran kode etik profesi di seluruh area pelayanan
keperawatan.
Pengaplikasian kode etik keperawatan.
c. Perawat
Pahami dan aplikasikan penerapan standar praktik keperawatan
professional sesuai dengan kode etik dalam menjalankan profesi
sebagai perawat.
Pahami dengan baik kebijakan hukum dan undang-undang yang
mengatur praktik keperawatan. Cari informasi bila ada
kebijakan-kebijakan yang baru.
Ikuti dan taati setiap aturan dan kebijakan yang ada di institusi
tempat bekerja.
Pahami dan sadari kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Pertahankan kompetensi dengan mengikuti pelatihan atau
pendidikan keperawatan berjenjang
2.8. Aspek Etik Informed Consent
Definisi dari informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien
untuk mengizinkan sesuatu dilakukan, seperti tindakan pembedahan,
25
berdasarkan penjelasan yang jelas tentang resiko, manfaat, alternatif, dan
konsekuensi apabila menolak tindakan tersebut (Black, 1999).
Dasar etik dalam informed consent adalah menghormati seseorang, dengan
hak kehidupan dan kebebasan/otonomi yang dimilikinya (Tschudin, 2003).
Otonomi dalam arti bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk berpikir dan
berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri, terutama mengenai hal yang sangat
vital bagi manusia, yaitu kesehatan. Poernomo (1992) mencatat bahwa
berdasarkan Deklarasi Helsinski, oleh The 18th World Medical Assembly,
Finland 1964, pasien memiliki hak untuk memperoleh informasi (the right to
information) (Priharjo, 1995). Pasien berhak mendapatkan penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan pengobatan dan
perawatan. Penjelasan yang diberikan tentang apa yang sedang dilakukan,
mengapa, bagaimana, di mana dan kapan, adalah hal paling mendasar dan
harus diberikan, tidak hanya jika pasien atau klien bertanya (Tschudin, 2003).
Konsep dasar informed consent terdiri dari 5 (lima) komponen analisa, yaitu:
penjelasan yang lengkap, pemahaman, sukarela, kompeten, dan persetujuan
itu sendiri (Faden and Beauchamp, 1986). Beauchamp dan Childress (2009)
membuktikan bahwa untuk mendapatkan persetujuan tentang informasi yang
diberikan, harus ada penjelasan terlebih dahulu tentang semua informasi yang
saling berkaitan, termasuk manfaat dan risiko; pasien harus benar-benar
memahami informasi (komprehensif) baik yang telah diberikan maupun
maksud dari pemberian persetujuan; persetujuan harus diberikan dengan
sukarela (pasien harus bebas dari paksaan dan manipulasi); individu yang
memberikan persetujuan harus kompeten.
Doktrin dari informed consent juga dipengaruhi oleh dimensi etik, yang
dituntun oleh 4 prinsip etik sebagai pondasi, yaitu:
1. Otonomi/Kebebasan (Autonomy)
2. Keadilan dan kejujuran (Justice)
3. Kebaikan (Beneficence)
26
4. Tidak merugikan (Non-Maleficence)
Tanggungjawab perawat berkenaan dengan mendampingi pasien dalam
membuat keputusan adalah dengan melihat kembali 5 komponen analisa dan
prinsip etis (autonomy, justice, beneficence, non-maleficence) sebagai fondasi
yang kokoh untuk menuntun pasien dalam memberikan informed consent
(Johnstone, 2011).
27
BAB 3ANALISA DAN APLIKASI KONSEP PADA POPULASI PEMINATAN
c.1. Analisa
Pandangan bahwa fokus dalam upaya pelayanan kesehatan adalah pasien
dan keluarganya masih harus terus disosialisasikan. Menurut Praptianingsih
(2006) dalam pandangan ini setiap tenaga kesehatan mengambil peran yang
setara terhadap pasien sesuai dengan bidang keahliannya dan
kewenangannya masing-masing. Perawat disetarakan dengan dokter, dengan
menempatkan perawat sebagai tenaga professional sebagaimana dokter.
Sampai saat ini perawat belum mempunyai standar profesi yang dapat
berfungsi sebagai sarana perlindungan hukum. Dengan memenuhi standar
profesi dalam melakukan tugasnya, perawat terbebas dari pelanggaran kode
etik. Standar profesi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik yang meliputi standar
pelayanan, standar praktek, standar pendididkan dan standar kompetensi.
Berdasarkan hasil Musyawarah Nasional IV PPNI, Kode Etik Keperawatan
Indonesia, dan Standar Asuhan Keperawatan, pelayanan keperawatan
dipandang sebagai pelayanan professional. Dimana sesuai dengan definisi
keperawatan, yaitu suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik
yang sakit mapun yang sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Dengan demikian perawat dipandang sebagai sebuah profesi. Demi
perlindungan hukum terhadap perawat,dalam menjalankan pekerjaannya
perawat harus berpedoman dan berdasarkan pada kedudukan hukum
perawat dalam upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan hak dan
kewajiban sebagai perawat.
28
Berkait dengan profesi, etika erat hubungannya dengan perilaku yang
berisikan hak dan kewajiban yang berdasarkan pada perasaan moral dan
perilaku yang sesuai dan atau mendukung standar profesi. Hak dan
kewajiban perawat ditentukan dalam Keputusan Menkes 1239/2001 dan
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik nomor Y.M.00.03.2.6.956
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1998. Berdasarkan
Keputusan Dirjen Yenmed, salah satunya adalah perawat mempunyai
kewajiban memberikan informasi yang adekuat tentang tindakan
keperawatan kepada klien/pasien atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya. Kewajiban perawat untuk menghormati hak pasien berarti
perawat mengupayakan terpenuhinya hak-hak pasien, antara lain hak untuk
mendapatkan informasi berkait dengan upaya pelayanan kesehatan yang
dilakukannya dirumah sakit. Informasi yang diberikan dalam batas
wewenang bidang keperawatan.
Setiap pasien yang dirawat dirumah sakit mempunyai hak utama untuk
menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya, berdasarkan hak
itu, maka setiap pasien mempunyai hak untuk mengetahui prosedur
perawatan bagaimana yang akan dialaminya, termasuk resiko yang harus
ditanggungnya sebagai akibat metode perawatan tertentu. Akan tetapi
kekhawatiran pada pihak perawat pasti akan ada, apabila yang bersangkutan
diperintahkan untuk menyodorkan formulir persetujuan kepada pasien.
Kenyataannya masih banyak pasien yang hanya melakukan tanda tangan,
tetapi mereka tidak mengerti apa yang akan dilakukan. Hingga kini pun
diketahui adanya kasus bahwa pasien menganggap tanda tangannya
dipalsukan. Oleh karena itu menurut pandangan hukum suatu “informed
consent” harus dibedakan secara tegas dari formulir persetujuan.Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa apabila pasien belum memahami
penjelasan dokter dan menanyakan kepada perawat yang menyodorkan
formulir persetujuan, maka berdasarkan Kode Etik Keperawatan dari
International Council of Nurses (ICN), perawat memastikan pasien
29
mendapatkan informasi yang cukup untuk memberikan persetujuan tentang
tindakan yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan (Johnstone,
2011).
Salah satu hak pasien adalah memperoleh informasi sehingga pasien bisa
memutuskan atau bertindak atas pilihannya sendiri (otonomi). Hak atas
informasi yang berupa penjelasan terkait dengan penyakitnya, tindakan
medis, dan keperawatan beserta pengobatannya yang dapat dilakukan serta
akibat atas tindakan dan pengobatan yang dapat dilakukan. Informasi
diberikan oleh tenaga medis atauperawat sehubungan dengan
pelayanan/asuhan keperawatan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri
Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 september 1989 tentang
persetujuan tindakan medis. Di Indonesia, masalah ini belum mendapatkan
perhatian secara seksama, hendaknya aturan tersebut disusun oleh kalangan
hukum dan kalangan kesehatan bersama-sama secara interdisipliner.
Perawat sebagai salah satu tim kesehatan, dalam menjalankan praktek
keperawatan memiliki berbagai peran dan fungsi. Salah satu peran perawat
yang berhubungan dengan pemberian informed consent adalah sebagai
advokat (pembela pasien). Misalnya dalam kasus pasien yang akan
menjalani operasi. Sering terjadi bahwa pasien yang akan menjalani operasi
atau dalam fase pre-operasi mengalami kecemasan sebagai akibat dari
berbagai permasalahan seperti kurangnya informasi yang berhubungan
dengan tindakan operasi. Penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
pada fase pre operasi bagi pasien seharusnya diberikan oleh dokter sebagai
penangungjawab tindakan medis. Namun, kondisi ini jarang ditemukan atau
masih kurang dilakukan oleh para dokter di Indonesia. Hal ini bisa
disebabkan oleh berbagai alasan diantaranya terlalu banyak pasien yang
dilayani sehingga waktu untuk berkonsultasi dengan pasien menjadi terbatas
(S. Jacobalis, 2003).
30
Berawal dari situasi atau kondisi seperti ini yang menjadikan posisi perawat
hendaknya berada di tengah-tengah. Peran perawat sebagai advokat atau
pembela pasien diharapkan mampu untuk bertanggungjawab dalam
membantu pasien dan keluarga dalam mendapatkan informasi yang jelas.
Sehingga dengan demikian pasien dan keluarga mampu untuk mengambil
persetujuan (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan. Perawat
dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk melindungi hak-hak pasien,
karena pasien yang sakit dan dirawat di Rumah sakit akan berinteraksi
dengan banyak petugas kesehatan. Perawat merupakan salah satu tim
kesehatan yang paling lama melakukan kontak dengan pasien sehingga
diharapkan mampu membela hak-hak pasien (Mubarak & Chayatin, 2009).
3.2. Aplikasi
Penerapan informed consent dalam pemberian pelayanan kesehatan
khususnya tindakan pra bedah (pre-operasi) khususnya akan dibahas sebagai
berikut.
3.2.1. Penerapan berkaitan dengan peran perawat
a. Peran perawat sebagai advocate
Peran advokasi dilakukan perawat dalam membantu pasien dan
keluarga dalam menginterpretasi berbagai informasi dari pemberi
layanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan terhadap
pasien. Selain itu, perawat juga dapat berperan mempertahankan
dan melindungi hak- hak pasien yang meliputi hak oleh pelayanan
yang sebaik- baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak
untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak menerima ganti rugi
akibat kelalaian (M.Dwidiyanti, 2007). Dengan adanya peran
perawat sebgai advokat ini, pasien akan merasa hak-hak bagi
dirinya dilindungi dan pasien akan merasakan kenyamanan. Di sini
membuktikan juga bahwa perawat dapat juga berperan sebagai
comforter atau pemberi rasa nyaman bagi pasien.
31
b. Peran perawat sebagai Counsellor
Konseling adalah proses membantu pasien untuk menyadari dan
mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial, untuk
membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk
meningkatkan perkembangan seseorang termasuk dukungan
emosional dan intelektual (Mubarak & Chayatin, 2009). Dengan
adanya dukungan emosional dan intelektual dari perawat bagi
pasien yang akan menjalani tindakan operasi, maka dengan
sendirinya tingkat kecemasan pasien berkurang.
c. Peran perawat sebagai konsultan
Perawat dalam menjalankan peran sebagai konsultan, membawa
dampak yang positif bagi pasien. Perawat berperan sebagai tempat
konsultasi bagi pasien terhadap masalah yang dialami atau
mendiskusikan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan
(Mubarak & Chayatin, 2009). Dengan diterapkannya peran perawat
sebagai konsultan, maka pasien merasa lebih mudah untuk
mendapatkan informasi yang jelas tentang tindakan keperawatan
yang dilakukan. Dengan demikian, segala hal yang belum
dimengerti oleh pasien menjadi lebih jelas sehingga dapat juga
mengurangi kecemasan dari pasien dan keluarga.
3.2.2. Penerapan berkaitan dengan peran dokter
a. Peran dokter sebagai pemberi informed consent
Secara yuridis, diisyaratkan bahwa informed consent dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan obyektif baik
terhdap dokter maupun terhadap masyarakat. Dalam hal ini, dokter
memiliki keahlian dan ketrampilan tertentu ynag digunakan untuk
menolong pasien, maka diperlukan informed consent yang
berorientasi pada kepentingan pasien, sehingga selain dapat
memotivasi pasien untuk bekerjasama lebih intensif, juga dapat
melindungi pasien agar tidak dimanipulasi demi kepentingan
32
dokter. Dengan demikian, informed consent bukan hanya
merupakan kewajiban moral tetapi juga merupakan kewajiban
hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan
tanggungjawab individu atas kesehatannya. Selain itu dapat
berfungsi untuk melindungi manusia agar tidak dimanipulasi
sebagai objek untuk kepentingan pribadi.
Pada kondisi dimana pasien telah memberikan persetujuan
(consent) tetapi sebelumnya dokter tidak memberikan informasi
tentang tujuan dilakukan tindakan operasi, cara dan manfaat serta
risiko yang ditimbulkan dari tindakan operasi yang dilakukan,
maka pasien kemungkinan tidak akan bekerjasama sebaik-baiknya
dalam pentaatan aturan medis atau dalam pencapaian tujuan
tindakan medis. Oleh karena itu dokter perlu memberikan
informasi sehingga pasien mampu memberikan persetujuan
terhadap tindakan yang akan dilakukan. Dokter juga akan
bertanggungjawab terhadap resiko yang ditimbulkan dari tindakan
operasi yang akan dilakukan.
Adanya informed consent secara tertulis tidak berarti bahwa dokter
terbebas dari kewajiban atau tanggungjawabnya atas tindakan atau
akibat tindakan medis yang dilakukan. Informed consent dikaitkan
dengan tindakan medis tertentu, salah satunya adalah pre operasi
dengan menandatangani formulir persetujuan yang menyatakan
bahwa pasien/keluarga sebelumnya telah menerima informasi atau
penjelasan dan menyetujuinya. Dengan demikian, peranan
informed consent dalam penerapan tindakan teraupetik adalah
sebagai sarana dalam upaya meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan setiap orang untuk berperan serta dalam upaya medis
yang dilakukan sehingga resiko yang ditimbulkan menjadi lebih
minimal. Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan bahwa
33
penjelasan dalam pemberian informasi oleh dokter lebih penting
daripada penandatanganan persetujuan secara tertulis.
b. Peran dokter sebagai penangungjawab tindakan medis
Didasarkan pada pasal 53 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun
1992, menyatakan bahwa seorang Dokter berkewajiban untuk
menghormati hak pasien antara lain hak mendapat informasi dan
hak untuk memberikan persetujuan. Hal ini dapat diartikan bahwa
dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien dalam
menggunakan haknya untuk memberikan persetujuan. Namun,
sebelum memberikan persetujuan, pasien memerlukan penjelasan
atas informasi mengenai keadaan kesehatannya dan upaya yang
dilakukan oleh dokter dalam menolong pasien.
Dokter mempunyai kewajiban untuk memberikan penjelasan atas
informasi bagi pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, jika
penjelasan telah diberikan oleh dokter, namun pasien tetap tidak
memberikan persetujuan terhdap tindakan yang akan dilakukan dan
bersamaan dengan itu kondisi pasien kritis, maka didasarkan pada
tanggungjawab profesional, dokter tetap berkewajiban melakukan
tindakan medis sesuai standar profesinya dan didasarkan pada
prinsip pemberian pertolongan yang berlaku dalam pelayanan
medis. Dalam hal ini, ada tidaknya informed consent secara tertulis
tidak mengubah besarnya tanggungjawab dokter atas tindakan atau
akibat tindakan medik yang dilakukannya.
34
BAB 4PEMBAHASAN
4.1. Analisa Kegunaan Positif dan Negatif dari Konsep Keperawatan sebagai
Profesi
Salah satu karakteristik keperawatan sebagai profesi adalah memiliki kode
etik. Berdasarkan Kode Etik Keperawatan dari International Council of
Nurses (ICN), perawat memastikan pasien mendapatkan informasi yang
cukup untuk memberikan persetujuan tentang tindakan yang berhubungan
dengan perawatan dan pengobatan (Johnstone, 2011). Dengan memberikan
informasi yang adekuat kepada pasien, maka perawat telah menjalankan
tugasnya sebagai advokat, konselor, edukator dan konsultan sesuai dengan
prinsip etik beneficence, justice, non-maleficence.
Fungsi sebagai edukator dilakukan perawat dalam membantu pasien dan
keluarga dalam menginterpretasi berbagai informasi dari pemberi layanan
atau informasi lain khusunya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
perawatan dan pengobatan yang diberikan terhadap pasien. Selain itu, sebagai
advokat perawat memiliki peran dalam mempertahankan dan melindungi hak-
hak pasien yang meliputi hak pelayananan sebaik-baiknya, hak atas informasi
tentang penyakitnya, hak untuk menentukan nasibnya sendiri, hak untuk
menerima ganti rugi akibat kelalaian (Dwidiyanti, 2007). Sedangkan, perawat
sebagai konselor membantu pasien untuk mengatasi tekanan psikologis
dengan mencari penyebab kecemasannya, memberikan keyakinan dalam
mengurangi kecemasan pasien, dan memberikan dukungan emosional
(Benner, 1984).
Melihat peran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh perawat memberikan dampak positif bagi pasien dan
keluarganya yaitu mereka dapat memilih dan memutuskan tindakan
perawatan serta pengobatan yang terbaik untuk dirinya atau keluarganya
(otonomi).
35
Berbagai dilema dapat muncul dalam mendapatkan informed consent,
sedangkan kenyataan di klinik menurut Tschudin (2003), menunjukkan
bahwa banyak informasi yang diberikan kepada pasien tidak diserap dengan
baik pada saat dokter menjelaskan. Masalah kemudian datang beberapa jam
atau hari setelah informasi diberikan, yaitu ketika pasien dan keluarga
mengartikan informasi tersebut atau bertanya-tanya tentang prognosis
penyakitnya dan meminta perawat untuk menjelaskan hal diluar kewenangan
perawat. Hal ini menunjukkan bahwa sangat diperlukannya pemberian
informasi yang jelas bagi pasien atau keluarga dengan dokumentasi atau
catatan tertulis yang jelas sehingga ada bukti fisik secara legal.
4.2. Implikasi Aplikasi Konsep Keperawatan sebagai Profesi pada
Pengembangan Kebijakan Keperawatan Medikal Bedah
Dalam kasus di atas, dampak dari aplikasi tindakan keperawatan menuai
beberapa dilema legal dan hukum, yakni kejelasan ruang lingkup tindakan
keperawatan yang diantaranya dalam memberikan informed consent dengan
tenaga kesehatan yang lainnya. Dimana, tidak adanya batasan yang jelas
antara pemberian informed concent yang harus dilakukan oleh perawat dan
tenaga kesehatan lainnya utamanya dokter. Hal ini akan menimbulkan
masalah tersendiri bagi tenaga keperawatan, utama berhubungan dengan
ranah hukum. Dimana perawat bisa dituntut oleh pasien dan keluarga karena
mengambil alih kewajiban memberikan informasi dalam lingkup kedokteran
atau tenaga kesehatan lainnya yang memungkinkan perawat memberikan
informasi yang kurang valid karena bukan lingkup keilmuannya.
Oleh sebab itu, untuk memudahkan segala tindakan keperawatan dan
melindungi hak serta kewajiban perawat, maka perlu adanya payung hukum
atau aturan hukum yang jelas. Hal itu guna mengatur ruang lingkup dari
tindakan-tindakan keperawatan dengan tenaga kesehatan yang lainnya.
Sehingga tidak adanya overlaping atau kebingungan peran antara tindakan
perawat dengan tenaga kesehatan yang lainnya. Disamping itu, perlu
membentuk nursing council sebagai suatu badan regulasi perawat yang
36
bersifat otonom, mandiri dan non struktural. Fungsi dari nursing council
diantaranya mengatur, mengesahkan, menetapkan, mengawasi dan membina
perawat yang menjalankan praktek keperawatan dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan (RUU Keperawatan, 2011). Dengan hadirnya
lembaga tersebut, diharapkan segala masalah yang berkaitan dengan peran
dan fungsi perawat semakin jelas dan terarah.
Profesionalisme keperawatan dapat berkembang dengan baik jika didukung
oleh organisasi profesi yang menjadi wadah bagi anggota profesi keperawatan
itu senidiri. PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) merupakan
organisasi profesi perawat yang bertugas menghimpun aspirasi perawat
termasuk di dalamnya permasalahan etik yang berkaitan dengan peran dan
fungsi perawat. Oleh karena itu, diharpkan bagi organisasi profesi (PPNI)
agar mengusahakan penerbitan Undang-Undang Keperawatan yang menjadi
landasan bagi perawat dalam menjalankan praktek keperawatan.
37
BAB 5KESIMPULAN
e.1. Kesimpulan
Keperawatan sebagai profesi memiliki body of knowledge yang kuat, jelas
dan berbeda dengan profesi lain. Ciri dari profesi adalah altruistik, memiliki
standar dan etika profesi (kode etik), akuntabilitas, otonomi dan memiliki
organisasi profesi. Dengan demikian diharapkan perawat Indonesia dalam
mengbdikan diri pada masyarakat, bangsa dan negara dituntut untuk bekerja
sesuai standar profesinya. Berkait dengan profesi, etika erat hubungannya
dengan 1) perilaku yang berisikan hak dan kewajiban yang berdasarkan pada
perasaan moral dan 2) perilaku yang sesuai dan atau mendukung standar
profesi.
Menurut Potter & Perry (2001), perawat mempunyai peranan sebagai pemberi
layanan perawatan (caregiver), pengambil Keputusan (clinical decision
maker), pelindung dan Advokat Klien (protector and client advocate),
manajer kasus (case manager), rehabilitator, comforter, communicator,
teacher/educator.
Berdasarkan Keputusan Menkes 1239/2001 dan Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik nomor Y.M.00.03.2.6.956 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 19 Oktober 1998 mengatur tentang Hak dan kewajiban perawat.
Berdasarkan Keputusan Dirjen Yenmed, salah satu kewajiban perawat adalah
memberikan informasi yang adekuat tentang tindakan keperawatan kepada
klien/pasien atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya. Hal
tersebut juga sesuai dengan peran perawat communicator (Potter & Perry,
2001). Kewajiban perawat untuk menghormati hak pasien berarti perawat
mengupayakan terpenuhinya hak-hak pasien, antara lain hak untuk
mendapatkan informasi berkait dengan upaya pelayanan kesehatan yang
diberikan.
38
Dalam tatanan pelayanan kesehatan dikenal dengan istilah “informed
consent” atau persetujuan yang diberikan pasien untuk mengizinkan sesuatu
dilakukan, seperti tindakan pembedahan, berdasarkan penjelasan yang jelas
tentang resiko, manfaat, alternatif, dan konsekuensi apabila menolak tindakan
tersebut (Black, 1999).
Dasar etik dalam informed consent adalah menghormati seseorang, dengan
hak kehidupan dan kebebasan/otonomi yang dimilikinya (Tschudin, 2003).
Otonomi dalam arti bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk berpikir dan
berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri, terutama mengenai hal yang sangat
vital bagi manusia, yaitu kesehatan. Sesuai dengan Deklarasi Helsinski, oleh
The 18th World Medical Assembly, Finland 1964, pasien memiliki hak untuk
memperoleh informasi (Poernomo, 1992 dalam Priharjo, 1995). Pasien
berhak mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan tindakan pengobatan dan perawatan. Penjelasan yang diberikan
tentang apa yang sedang dilakukan, mengapa, bagaimana, dimana dan kapan,
adalah hal paling mendasar dan harus diberikan, tidak hanya jika pasien atau
klien bertanya (Tschudin, 2003).
Tanggung jawab perawat berkenaan dengan mendampingi pasien dalam
membuat keputusan adalah dengan melihat kembali 5 komponen analisa dan
prinsip etis (autonomy, justice, beneficence, non-maleficence) sebagai
pondasi yang kokoh untuk menuntun pasien memberikan informed consent
(Johnstone, 2011).
Dalam memberikan asuhan pelayanan kesehatan sebaiknya ada batasan yang
jelas antara tugas perawat dan tugas tim kesehatan lainnya sehingga tidak
terjadi overlapping diantara tenaga kesehatan yang memberikan asuhan baik
dokter maupun perawat (Guwandi, 2004). Dengan jelasnya batasan tugas
maka akan memudahkan perawat dalam melakukan tugasnya dan mampu
berfokus pada asuhan keperawatan yang diberikannya. Selain itu perawat
juga harus tetap memperhatikan aspek-aspek dasar seperti: aspek penerimaan,
39
perhatian, tanggung jawab, komunikasi dan kerjasama. Dengan adanya
batasan tugas yang jelas dan tetap memperhatikan aspek dasar tersebut dalam
menjalankan tugasnya maka mutu/kualitas pelayanan keperawatan dapat
dipertanggungjawabkan.
e.2. Saran
e.2.1. Perawat sebagai tenaga professional sebaiknya memahami tentang:
a. Tugas dan fungsinya sebagai perawat 1) Pemberi layanan
perawatan (caregiver), 2) Pengambil Keputusan (clinical decision
maker), 3) Pelindung dan Advokat Klien (protector and client
advocate), 4) Manajer kasus (case manager), 5) Rehabilitator, 6)
Comforter, 7) Communicator dan 8)Teacher/educator
b. Hak pasien didasarkan pada pasal 53 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1992, hak pasien untuk mendapat informasi dan
hak untuk memberikan persetujuan.
c. Informed consent, yaitu persetujuan yang diberikan pasien untuk
mengizinkan sesuatu dilakukan, seperti tindakan pembedahan,
berdasarkan penjelasan yang jelas tentang resiko, manfaat,
alternatif, dan konsekuensi apabila menolak tindakan tersebut
(Black, 1999).
e.2.2. Perlu adanya payung hukum yang menaungi dan melindungi perawat
dalam melakukan tugasnya baik pada area pelayanan maupun
pendidikan.
e.2.3. Organisasi PPNI atau Nursing Council atau Nursing Board diperlukan
sebagai organisasi yang dapat mengatur, memonitor kompetensi
perawat yang layak untuk melakukan tugasnya sehingga pelayanan
yang aman dan berkualitas dapat diberikan.