ruptur lien
Post on 29-May-2017
259 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MINI C-EX
PERITONITIS UMUM e.c RUPTUR LIEN
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
Bianda Adeti Patriajaya
20090310159
Diajukan Kepada :
dr. H. Adi Sihono, Sp.B
BAGIAN ILMU BEDAH
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Sdr. T
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kembaran
Status Perkawinan : Belum Kawin
No. RM : 596755
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Nyeri perut di seluruh lapang abdomen
b. Riwayat penyakit sekarang :
4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri perut kiri
terus menerus dan tumpul. Nyeri muncul setelah pasien terjatuh dari motor,
dan perut membentur trotoar. 1 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri
bertambah dan meluas menjadi seluruh lapang abdomen. Pasien juga menjadi
semakin lemas setiap harinya. Nyeri bertambah ketika pasien sedang makan,
melakukan aktivitas, berjalan dan nyeri berkurang ketika pasien duduk dan
berbaring. Pasien juga merasakan mual terus menerus, tidak muntah, tidak
bisa kentut dan merasa perutnya kembung. BAB sulit, BAK tidak ada
gangguan. Pasien sudah berobat dan disarankan untuk rawat jalan saja. Tidak
ada riwayat demam. Pasien tidak mengalami benturan kepala, tidak pingsan.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Maag / gastritis (-)
d. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa
e. Riwayat Alergi
- Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan dan makanan tertentu.
III. PEMERIKSAAN FISIK:
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign :
- TD : 100/60 mmHg
- Nadi : 77x/menit
- Suhu : 36,5*C
- RR : 20x/menit
a. Kepala dan leher:
- Kepala : normocephali, bentuk simetris
- Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), exoftalmus (-/-), isokor
- Telinga: discharge (-/-)
- Hidung: discharge (-/-)
- Mulut : dalam batas normal
- Leher
JVP : tidak ada peningkatan JVP
Tiroid : tidak ada pembesaran tiroid
b. Thorax:
- Jantung: S1, S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
- Paru : Vesiculer (+/+) ; Ronkhi (-/-) ; wheezing (-/-)
c. Ekstremitas:
Inferior : Edema (-/-), Hangat (+/+)
Superior: Edema (-/-), Hangat (+/+)
d. Status Lokalis Abdomen
- Inspeksi : flat, tampak luka (-), hematom (-), perubahan warna (-),
terdapat pergerakan abdomen saat bernafas (+), sikatrik (-), distended (-), tampak
tinggi abdomen = thorax
- Auskultasi : bising usus menurun, suara abnormal (-)
- Palpasi : nyeri tekan seluruh lapang abdomen, defans muskular (+)
- Perkusi : pekak hepar (+), tympani (+)
IV. ASSESSMENT
Peritonitis umum ec suspek internal bleeding
V. PLANNING
- Cek Darah Rutin
- USG
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
AL : 15,0 ribu/ul (4-10)
Hb : 8,5 g% (12-16)
AE : 3,06 juta/ul (3,8-5,2)
AT : 182 ribu/ul (150-450)
HMT : 27% (35-45)
PPT : 14,9 detik (11-15)
APTT : 21,9 detik (25-35)
USG
Kesan :
- Free fluid di cavum abdomen suspek ec internal bleeding
- Tak tampang kelainan pada organ lain
VI. DIAGNOSIS PRE OP
Peritonitis Umum ec Internal Bleeding
Planning
Dilakukan laparotomy explorasi
a. Non Medikamentosa :Rawat Inap, Bed Rest
b. Medikamentosa :Ketorolac 3x1, Ceftriaxon 2x1, Ranitidine 2x1,
MetilPrednisolon 3x125gr
VII. DIAGNOSIS POST OP
Peritonitis Umum ec Ruptur Lien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERITONITIS
1. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang
melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnya. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui perforasi usus seperti
rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang
steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung
dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada
wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba
falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat
fatal.
2. Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya
terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga
menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang
terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan
abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites
pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan
golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis
(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama
disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan
terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada
pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain
itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-
bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi
transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
3. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-
pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga
tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum.
4. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebab bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, sreptococus atau pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi
dua yaitu:
· Spesifik misalnya Tuberculosis.
· Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.
b. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis
yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
· Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
· Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan
kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
· Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c. Peritonitis tersier
Misalnya :
· Peritonitis yang disebsbkan oleh jamur
· Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan
· Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Ø- Aseptik/steril peritonitis
Ø Granulomatous peritonitis
Ø Hiperlipidemik peritonitis
Ø Talkum peritonitis
5. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai
sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita
secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan
paraplegia dan penderita geriatric.
6. Penatalaksanaan/Pengobatan
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik diberikan
untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara
adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.
Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik
untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah
atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis
atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa
tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan
abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka tindakan
laparotomi diperlukan.
Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah
dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase
peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien
harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar
dilakukan laparotomi
B. RUPTUR LIEN
1. Pengertian
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien
dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu
operasi.
Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya lien
yang merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atau tidak langsung.
2. Anatomi dan Fisiologi
Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat rata-
rata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah berumur
60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi,
panjang ± 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah
diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan
peritoneum yang diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :
a. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).
b. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
c. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
d. Ligamentum splenorenal.
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi
kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi
cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan
cabang terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum
memasuki lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan
inferior sebelum memasuki hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada keadaan
tersebut.Vena lienalis bergabung dengan vena mesenterika superior membentuk vena porta.
Lien asesoria ditemukan pada 30 % kasus. Paling sering terletak di hilus lien, sekitar arteri
lienalis, ligamentum splenokolika, ligamentum gastrosplenika, ligamentum splenorenal, dan
omentum majus. Bahkan mungkin ditemukan pada pelvis wanita, pada regio presakral atau
berdekatan dengan ovarium kiri dan pada scrotum sejajar dengan testis kiri.
Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma
kiri di superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar
adrenal di posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.
Fungsi lien dibagi menjadi 2 kategori :
a. Fungsi Filtrasi
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang rusak misalnya sel darah
merah yang mengalami gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled cells, serta
membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi.
b. Fungsi Imunologi
Lien termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer mengandung limfosit T matur
dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap respon cell mediated immune
(imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral.
Fungsi imunologi singkat:
1. Produksi Opsonin
Untuk menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan fagositosis.
Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk destruksi bakteri dan benda
asing yang terperangkap dalam limpa.
2. Sintesis Antibodi
IgM diproduksi oleh pulpa putih yang berespon terhadap antigen yang terlarut
dalam sirkulasi.
3. Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien yang terpapar infeksi, seperti
fulminan sepsis.
4. Tempat penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30%) dari platelet akan tersimpan dalam
lien.
3. Etiologi
Cedera limpa yang paling sering diamati pada trauma tumpul. Sementara trauma
tembus (misalnya, luka tembakan pistol, pisau luka) mungkin melibatkan limpa, insiden
cedera baik di bawah dari usus kecil dan besar.Mekanisme ketiga yang menggabungkan
aspek trauma tumpul dan penetrasi terjadi dengan cedera jenis peledak, seperti yang terlihat
dalam perang dan pemboman sipil.
Meskipun limpa relatif dilindungi oleh cedera, tulang rusuk karena perlambatan cepat,
seperti terjadi dalam kecelakaan kendaraan bermotor, pukulan langsung ke perut dalam
kekerasan dalam rumah tangga, atau kegiatan rekreasi dan bermain seperti bersepeda, sering
mengakibatkan berbagai cedera limpa.
4. Epidemiologi
Menentukan frekuensi aktual dari cedera limpa di Indonesia atau seluruh dunia tidak
mungkin. Data debit rumah sakit tidak dapat mendokumentasikan cedera jika ada banyak,
cedera yang lebih serius atau penyakit. Sebuah konsensus umum dari penerimaan trauma di
Level 1 pusat trauma di seluruh negeri menunjukkan cedera limpa terjadi pada sebanyak 25%
dari rata-rata penerimaan 800-1200 trauma tumpul per tahun. Ini adalah populasi pilih pasien
dengan beberapa luka-luka dan tidak memperhitungkan akun luka lienalis terisolasi diamati
dan dirawat di pusat-pusat nontrauma.
Selain itu, lebih dari separuh (56,1%) pasien yang terkena menjalani laparotomi dan
splenektomi, dengan menemukan paling umum dari hematoma limpa (47%), laserasi (47%),
dan pecah (33,3%). Ha dan Minchin menyimpulkan bahwa pengakuan cedera limpa
postcolonoscopy sebagai komplikasi yang penting tidak hanya akan naik, tetapi akan
diperlukan mengingat meningkatnya jumlah colonoscopies yang dilakukan untuk penyakit
kolorektal dan kemungkinan diagnosis tertunda mengakibatkan hasil yang merugikan.
5. Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :
a. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya.
Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering dicederai
adalah paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu
protrombin 20 % di atas normal.
b. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau
trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan
pankreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan
lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga kontak seperti judo,
karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena
adanya tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang
membesar secara lambat dan kemudian pecah.
c. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas, umpamanya
karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga
hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi
lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 5 :
1) Cedera kapsul
2) Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
3) Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
4) Avulsi lien dilakukan splenektomi total
5) Hematoma subkapsuler
6. Manifestasi klinik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya organ lain
yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik
hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat
sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen secara
berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati
perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan
peritoneum).
Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda
perdarahan intrabdomen, atau seperti ada tumor intra abdomen pada bagian kiri atas yang
nyeri tekan disertai anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang
terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan atau
tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian
atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri
di daerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada kurang dari separuh kasus.
Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan masa di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya
hematom subkapsular atau omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular
disebut tanda Ballance. Kadang darah bebas di perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak
geser.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat
leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila terjadi
perdarahan akan menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila
terdapat eritrosit dalam urine akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing.
8. Pemeriksaan Radiologi
Lien cedera akan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk
mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru disadari setelah seminggu
atau sepuluh hari setelah trauma pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan,
diantaranya USG, CT scan dan angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan
merupakan pemeriksaan pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai
daerah yang kurang densitasnya dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam
lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien
menunjukkan subkapular hematom.
Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah
kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa dijadikan
tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang meninggi disertai
dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma lien sampai dibuktikan
sebaliknya.
Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu
perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien. Gambaran
ini menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan adanya hematom
subkapsular atau perisplenik.
a. Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi caudal bawah
lien, menjadi gambaran splenomegali.
b. Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan massa yang
ada memiliki batas yang tegas.
c. Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
d. Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
e. Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
f. Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot psoas.
g. Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada kolon desenden
ke medial.
h. Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
i. Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
j. Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam dapat
ditemukan.
k. Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis membentuk
kubah dan seperti ekstraperitonial fat.
Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena
diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom subkapsuler atau
parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.
Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan formasi yang salah dari
kista.
a. Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma. Sekitar 80 % terbentuk
dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista serous dan kemungkinan adanya darah telah diserap
kembali semuanya.
b. Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis pada sekitar 30 %
kista.
c. Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam dan luar batas..
d. Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual traumatik pada
area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.
e. Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
f. Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari Echinococcus
granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.
g. Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan
karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan hematom,
kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas
dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung dari ukuran regresi
hematom.
h. Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama, seperti
pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip
dengan hematom subkapsular.
9. Diagnosis banding
Berdasarkan hasil radiologi:
a. Benda Asing
Terkadang, bahan yang dimasukkan secara iatrogenic dapat menimbulkan gambaran
ruptur lien pada CT scan. Pada kebanyakan pusat trauma, dilakukan pemasangan NGT, dan
bahan kontras dimasukkan secara oral sebelum pemeriksaan CT scan. Artefak dan bahan
yang tak tembus sinar dari NGT dan bahan kontras dapat menutupi lien dan menimbulkan
kebingungan. Bahan yang tidak tembus sinar dari iga dan artefak dari air fluid level dari
lambung dapat juga menimbulkan hasil positif palsu. Gabungan dari efek-efek ini, ditambah
dengan scan yang berkualitas buruk dan besarnya ukuran pasien, sering terjadi pada praktek
sehari-hari.
b. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma lien, kecuali
jika bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak semua cairan intra abdomen
merupakan hematom. Ahli radiologi harus berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa trauma
lien adalah penyebab adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien. Kebanyakan trauma
tumpul lien terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan bermotor, kejadian yang
berhubungan dengan jatuh, atau pengendara kendaraan bermotor yang mengalami
kecelakaan. Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu pada kecelakaan kendaraan
bermotor adalah karena pasien cenderung tua dan telah memiliki penyakit sebelumnya yang
terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami kecelakaan tiba di rumah
sakit setelah penggunaan alcohol dan obat-obatan. Akibatnya pasien dibawa ke bagian
radiologi dalam keadaan disedasi atau diintubasi.
c. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik, infark dapat
dibedakan dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat melebar dari batas luar dengan
apeks menuju ke hilus lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat sepanjang batas
luar. Walau infark tidak meningkat, pada lingkaran luar mungkin dapat terlihat peningkatan
karena terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat disalah artikan
sebagai laserasi tanpa cairan perilien.
d. Keganasan
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien adalah
limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit metastatik pada lien
tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker payudara, paru, ginjal, dan ovarium merupakan
kanker primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada CT scan, dan
dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan intraparenkim. Penyakit metastatik
dapat berhubungan dengan asites yang menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa
pada organ lain dan limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.
e. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus. Tumor ini
dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat menimbulkan gambaran
hematom dan darah yang tidak menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan.
Lesi jinak dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika dekat
perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas dan bentuk
hemangioma dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju atau phlebolits
jarang terjadi, tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis lien difus adalah
keadaan dimana lien membesar dan digantikan hampir seluruhnya oleh hemangioma.
Gambarannya terlihat seperti trauma saat pertama terlihat.
f. Ruptur lien nontraumatik
Ruptur lien nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan beberapa proses
penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama karena kelangkaannya dan kedua
karena dugaan penyebab traumatik. Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju kepada
diagnosis yang benar.
g. Trauma sekunder
Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien, yang
menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa tumor atau anemia dapat
terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat berjalan. Hemangioma atau kista dapat ruptur
dengan trauma ringan akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini dihubungkan
dengan hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan dengan trauma lien.
10. Penatalaksanaan
SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional
dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam.
Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang
terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai,
dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan
omentum.
SPLENEKTOMI
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar.
Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi
lien sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan pada
diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi
dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri
dari eksisi satu segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang
tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah utama dan memiliki
tingkat kesuksesan paling tinggi.
Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :
1). Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena sangat vaskular dan
rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien pasien harus diangkat.
2). Pada penyakit kronis misalnya malaria, lien sangat membesar sehingga menghasilkan
ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus diangkat.
Efek Pengangkatan Lien :
1). Sel darah merah harus benar-benar dihitung (seharusnya mengalami peningkatan sel darah
merah) karena penghancuran sel darah merah oleh lien terhenti, tapi mengejutkan karena
jumlah sel darah merah yang dihitung akan sedikit berkurang yaitu anemia ringan.
2). Sel darah putih dan trombosit akan meningkat.
3). Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan kurang.
4). Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien satu-satunya tempat di mana ada
kekebalan terhadap tetanus.
Seperti yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang dapat hidup normal,
kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap infeksi tetanus.
OVERWHELMING POST SPLENECTOMY INFECTION
Pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang
signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Infeksi postsplenectomy
berat (OPSI) adalah proses fulminan serius yang membawa tingkat kematian yang tinggi.
Patogenesis dan risiko berkembangnya infeksi postsplenectomy berat (OPSI) yang fatal tetap
tidak jelas.
Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)
King dan Shumacker pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri setelah
splenektomi pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian muncul bahwa sindrom ini
setara terjadi pada orang dewasa asplenic. Gejala yang tidak spesifik dan gejala fisik ringan
postsplenectomy muncul pada tahap awal OPSI, yang meliputi kelelahan, kulit menjadi
berwarna, penurunan berat badan, sakit perut, diare, sembelit, mual, dan sakit kepala.
Pneumonia dan meningitis concomitants sering lebih parah. Perjalanan klinis menjadi cepat
dan dapat berkembang menjadi koma dan kematian dapat terjadi dalam waktu 24 sampai 48
jam, karena tingginya insiden shock, hipoglikemia, serta asidosis yang ditandai dengan
gangguan elektrolit, distress pernapasan, dan koagulasi intravaskular diseminata. Angka
kematian adalah 50% -70% meskipun dengan terapi agresif yang mencakup cairan infus,
antibiotik, vasopressor, steroid, heparin, Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates,
dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin dari
sindrom Waterhouse-Friderichsen (WFS), dan perdarahan adrenal bilateral dapat ditemukan
pada otopsi. Mekanisme yang menghubungkan splenektomi untuk WFS tidak diketahui tetapi
kemungkinan penyebab OPSI termasuk hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar
imunoglobulin serum, penekanan kepekaan limfosit, atau perubahan dalam sistem opsonin.
Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan / atau meningitis,
biasanya fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun, baik itu bakteri,
virus, jamur, atau protozoa, namun organisme yang berkapsul sering berhubungan dengan
sepsis pada pasien dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti
Streptococcus pneumoniae sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat diatasi
dengan adanya atau bahkan dengan sejumlah kecil jenis-antibodi spesifik. Tanpa lien,
produksi antibodi segera terhadap antigen yang baru ditemui terganggu dan bakteri dapat
berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit pneumokokus invasif pada pasien
tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada
pasien asplenic karena organisme yang berkapsul seperti Streptcoccus pneumoniae (50% -
90%), Neisseria meningitides, Hemophilus influenzae, dan Streptococcus pyogens (25%)
menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan tanpa hambatan.
11. Prognosis
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien
penyembuhan 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka
kematian yang berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan
biasanya akibat trauma pada organ lain dan kehilangan darah yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw
Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.
3. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
4.Gray,H.(1826-1861). 1918. Anatomy of The Human Body.
5. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
6. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
7. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: EGC.
8. Sylvia A Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 4. Jakarta: EGC.
top related