perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penerapan doktrin ... · teman program studi magister ilmu...
Post on 04-Apr-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI OLEH KORPORASI
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam
Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake
pada PT. PUSRI Palembang)
T E S I S
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
Disusun Oleh :
ANANDA MEGHA WIEDHAR SAPUTRI
NIM : S.331302001
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rabb
semesta alam, yang telah melimpahkan begitu banyak nikmat-Nya, sehingga tesis
yang berjudul “PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE
SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI (Analisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid
Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang)”, ini dapat penulis
selesaikan guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Secara garis besar, tesis ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya milik
Persero (PT. Persero) terkait adanya tindak pidana korupsi. Pembahasan lebih
lanjut menyoroti penggunaan doktrin Business Judgement Rule dalam novum
yang diajukan oleh para terpidana.
Dalam kesempatan ini, penulis juga bermaksud menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara
materiil maupun moril, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan
baik dan lancar terutama kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Direktur Program
Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus sebagai Ketua Penguji yang
telah memberikan saran, kritik, serta masukan bagi penyempurnaan tesis dari
penulis.
4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum., selaku Kepala Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
5. Bapak Dr. Soehartono, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan masukan bagi kesempurnaan
tesis ini, sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan
lancar.
6. Ibu Rofikah, S.H., M.H., selaku Co. Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi kesempurnaan penulisan tesis
ini, sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar.
7. Bapak Dr. WT. Novianto, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Penguji yang telah
memberikan saran, kritik, serta masukan bagi penyempurnaan tesis dari penulis.
8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan ilmunya dengan penuh dedikasi dan
keikhlasan sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
9. Bapak dan Ibu Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran
administrasi selama penulis menempuh perkuliahan hingga penyelesaian
penulisan tesis ini.
10. Bapak dan Ibu Staf Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan bahan-bahan hukum bagi kelancaran penyusunan tesis ini.
11. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Wijiatmo, S.H., dan Ibunda Hartati, yang
telah memberikan doa, harapan, kasih sayang, cinta, serta motivasi yang tidak
terhingga sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister
Ilmu Hukum.
12. Motivator penulis, Arseto Endro Supriyanto, S.H., yang telah memberikan
motivasi, serta menjadi teman diskusi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis.
13. Sahabat penulis, Ani Yunita, S.H., dan Rasyid Yuliansyah, S.H., serta teman-
teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta Angkatan Februari Tahun 2013, khususnya kelas
Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Bisnis, serta Hukum Kebijakan Publik, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
MOTTO
“Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
(Q.S. Al Thalaq (65) : 7)
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar”
(Q.S. Al Thalaq (65) : 2)
“Allah berfirman: Aku berada pada sangkaan hamba-Ku, Aku selalu bersamanya
jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku pada dirinya maka Aku mengingatnya
pada diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam suatu kaum, maka Aku mengingatnya
dalam suatu kaum yang lebih baik darinya, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu
jengkal, maka Aku mendekat padanya satu hasta, jika ia mendekat pada-Ku satu
hasta maka Aku mendekat padanya satu depa, jika ia datang kepada-Ku dengan
berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
(HR. Bukhari, Muslim)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ………………………………… iii
PERNYATAAN ……………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………… v
MOTTO ……………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ix
ABSTRAK INDONESIA ……………………………………………... xii
ABSTRAK INGGRIS ………………………………………………… xiii
BAB
I.
PENDAHULUAN……………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B. Perumusan Masalah …………….……………………….. 11
C. Tujuan Penelitian ………………………………………... 11
D. Manfaat Penelitian ………………………………………. 12
BAB
II.
LANDASAN TEORI ………...…………………………
14
A. Kerangka Teori ……….…………………………………. 14
1. Doktrin Business Judgment Rule ………………....... 14
2. Tindak Pidana ……………………………………….. 18
a. Pengertian Tindak Pidana ……………………… 18
b. Unsur-unsur Tindak Pidana ……………………. 24
c.
Pandangan Pakar Hukum terhadap Perbuatan
Pidana (Tindak Pidana)……………………….....
25
d. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ……….. 30
3. Pengertian Korupsi ………………………………….. 48
4. Korporasi ……………………………………………. 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
a. Sejarah Lahirnya Korporasi ……………………. 52
b Pengertian Korporasi …………………………... 52
c. Teori Dasar dalam Menentukan Korporasi
Sebagai Subyek Dalam Hukum Pidana ……...… 57
d. Pemberian Sanksi pada Korporasi ……………... 58
5. Perseroan Terbatas ………………………………….. 59
B. Penelitian yang Relevan ………………………………… 60
C. Kerangka Berpikir ……………………………………… 64
BAB
III.
METODE PENELITIAN …………………..…………...
67
A. Jenis Penelitian …………………………………………. 68
B. Sifat dan Bentuk Penelitian ……………………………... 69
C. Jenis Data ……………………………………………….. 69
D. Sumber Data ……………………………………………. 69
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………… 70
F. Teknik Analisis Data …………………………………….. 71
BAB
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………
72
A. Hasil Penelitian …………………………………………... 72
1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid.
Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve
dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang …...
72
2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012
dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan
Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang ………..
78
B. Pembahasan ……………………………………………… 82
1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid.
Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang …... 82
2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012
dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan
Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang ………..
96
BAB
V.
PENUTUP ………………………………………………..
102
A. Kesimpulan ………………………………………………. 102
B. Implikasi …………………………………………………. 102
C. Saran ……………………………………………………... 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK
Ananda Megha Wiedhar Saputri, S331302001, 2014, Penerapan Doktrin
Business Judgement Rule Sebagai Pertanggungjawaban Pidana Dalam
Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve
dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang).
Tesis : Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penelitian ini mengkaji penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara
Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dan
menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada
konsep hukum kedua dan ketiga. Sifat penelitian eksploratif dengan bentuk
penelitian preskriptif. Jenis data penelitian sekunder dengan sumber data
penelitian sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan studi kepustakaan. Dan teknik analisis data dengan mengunakan
metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor dan kemudian
diajukan ke premis minor, untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan dalam
penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa doktrin Business Judgement Rule tidak
dapat diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/
2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT.
PUSRI Palembang dikarenakan doktrin Business Judgement Rule hanya dapat
diberlakukan bagi direksi dan pertanggunggjawaban pidana dibebankan pada
manager sesuai dengan teori identifikasi.
Kata kunci : Doktrin Business Judgement Rule, Korporasi, Pertanggungjawaban
Pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRACT
Ananda Megha Wiedhar Saputri, S331302001, 2014, Application of Business
Judgment Rule as the Doctrine of Criminal Liability In Corruption By
Corporations (Study of Corruption Decision No. 154 PK / Pid . Sus / 2012 In
Case of Valve Solenoid Procurement And Thrustor Brake at. PUSRI
Palembang). Thesis : Post-Graduate Program, Sebelas Maret University,
Surakarta.
This study examines the application of the doctrine of Business
Judgment Rule in Decision Corruption Number: 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the
case of Procurement Solenoid Valve and Thrustor Brake on PT. PUSRI
Palembang and analyze corporate criminal liability in such cases.
This research is a normative law basing on the concept of the second
and third laws. The nature of exploratory research with a form of prescriptive
research. Type of secondary research data with secondary research data sources
consisting of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal
materials. Data collection techniques using literature study. And data analysis
techniques using the method of deduction stemming from the submission of the
major premise and then submitted to the minor premise, to further drawn to a
conclusion.
Based on the research and discussion of the problems in this study, it
can be concluded that the doctrine of the Business Judgment Rule can not be
applied in the Corruption Decision Number 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the case
of Procurement Solenoid Valve and Thrustor Brake on PT. PUSRI Palembang
due to the doctrine of Business Judgment Rule can only be applied to directors
and criminal liability charged to the manager in accordance with the theory of
identification.
Keywords: Business Judgment Rule Doctrines, Corporate, Criminal Liability
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan arus globalisasi yang sedemikian pesat mengubah dunia
di semua lini kehidupan. Barbara Parker memberikan gambaran globalisasi
ditandai dengan peningkatan makna yang terjadi di seluruh dunia yang
menyebar dengan cepat, sebagaimana yang terungkap sebagai berikut:
“there is growing sense that events occurring throughout the world are
converging rapidly to shape a single, integrated world where
economic, social, cultural, technological, business, other influences
cross traditional borders, and boundaries such as nations, national
cultures, time, space, and business industries with increasing ease.”1
(Terjemahan : adanya peningkatan makna dan peristiwa yang terjadi di
seluruh dunia yang menyebar dengan cepat untuk membentuk suatu
dunia yang tunggal, terintegrasi secara ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, bisnis, dan pengaruh lainnya yang menembus batas dan
sekat tradisional seperti bangsa-bangsa, kebudayaan nasional, waktu,
ruang, dan bisnis industri meningkat dengan mudah).
Globalisasi menjadikan negara seakan-akan tanpa batas. Sama seperti
yang diungkapkan oleh Sera dan Ohmae, as a popular view of globalization is
as the absence of borders and barriers to trade between nations.2 (Terjemahan
: merupakan suatu pandangan populer tentang globalisasi adalah ketidakadaan
batas dan kendala perdagangan antar bangsa). Globalisasi3 adalah karakteristik
hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional,
1 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global (Edisi Revisi), ctk.
Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 15.
2 Ibid., hlm. 16.
3 Dijelaskan pula globalisasi merupakan arus yang cepat berisi muatan sebagai lima
dimensi yang sekaligus menjadi semacam unsur-unsur pembentuk pemandangan/landscape dari
dunia kehidupan manusia yang ada dalam proses globalisasi, yakni: a) arus manusia (ethnoscapes),
b) arus teknologi (technoscapes), c) arus finansial (financescapes), d) arus media (mediascapes),
dan e) arus ideologi (ideoscapes). Faruk HT, “Globalisasi, Krisis Multidimensi, dan Tempat
Humaniora di Dalamnya” dalam Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum
Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama. PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut dunia dimanfaatkan
(compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu
ketentuan utuh.4 Globalisasi menuntut segalanya serba cepat, dimana
seseorang yang tidak dapat mengikuti perkembangan arus globalisasi akan
tergilas. Globalisasi disebut juga suatu juggernaut dan akan membawa
perubahan sosial besar dan ketidakpastian ekonomi dan kultural budaya.5
Juggernaut diartikan sebagai sesuatu kekuatan yang menggilas. Globalisasi
dirasakan sebagai suatu kekuatan yang menggilas segala sesuatu yang ada di
jalannya (juggernaut). Kekuatan ini membawa perubahan sosial besar yang
menimbulkan ketakpastian ekonomi dan kultural dunia (world economic and
cultural insecurity).6
Perubahan mendasar yang mewarnai era global yang perlu
diperhatikan adalah pengaruhnya yang secara langsung atau tidak langsung
dalam pengambilan keputusan langkah strategi pada masa yang akan datang.7
Perkembangan dan perubahan khususnya di bidang ekonomi, teknologi dan
ilmu pengetahuan membawa pengaruh yang amat besar. Pembangunan bidang
ekonomi8 tidak dapat terlepas dari hubungan antar manusia di dunia yang
4 Roland Robertson, “Globalization, Social Theory and Global Culture” dalam Pathorang
Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi, ctk. Pertama,
Total Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 7.
5 Supanto, Perkuliahan Tindak Pidana Komputer/Internet, Program Magister Ilmu
Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 19 Maret 2013.
6 Supanto. Op. Cit., hlm. 43.
7 Pathorang Halim, Op. Cit., hlm. 19.
8 Sri Rejeki Hartono menyatakan bahwa aspek hukum di dalam kehidupan ekonomi dapat
dilihat dari dua sisi dalam dua kepentingan yang tidak setara. Pertama, hukum dilihat dari sisi
pelaku ekonomi. Berangkat dari tujuan ekonomi sesungguhnya, untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya, sehingga hukum semata-mata dipandang sebagai faktor eksternal yang
bermanfaat dan dapat dimanfaatkan dalam rangka mengamankan kegiatan dan tujuan ekonomi
yang akan dicapai. Jadi, hukum benar-benar dimanfaatkan dalam rangka melindungi
kepentingannya (sendiri atau bersama) terhadap kepentingan lain maupun kepentingan yang lebih
luas. Hasilnya kepentingan publik konsumen. Kedua, hukum dipandang dari sisi
negara/pemerintahan. Hukum dapat dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan. Kepentingan di
dalam masyarakat. Hukum dipakai sebagai alat untuk mengawasi seberapa jauh terjadi
penyimpangan terhadap perilaku para pelaku ekonomi terhadap kepentingan lain yang lebih luas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
mengalami percepatan dan perubahan.9 Proses perubahan yang sekarang
berlangsung merupakan suatu proses transformasi masyarakat industri10
menjadi masyarakat informasi, yaitu suatu masyarakat yang kehidupan dan
kemajuannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan informasi.11 Sejalan dengan
globalisasi ekonomi, tidak dapat dihindari terjadi juga globalisasi hukum12
sebagai dampak dari interaksi antar negara. Perkembangan teknologi yang
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, ctk. Pertama. Mandar Maju, Bandung, 2000,
hlm. 6-7. 9 Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas
investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal ini disebabkan oleh
adanya:
a. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih;
b. Lalu lintas devisa yang semakin bebas;
c. Ekonomi negara yang semakin terbuka;
d. Penggunaaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-
tiap negara;
e. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien;
f. Makin berkembangnya perusahaan multinasional dihampir seantero dunia.
Pathorang Halim. Op. Cit., hlm. 18.
10 Manusia terlahir dengan telah dibekali akal dan budi. Akal dan budi tersebut
menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih sejahtera dan berkualitas, sehingga dapat terciptalah
penemuan-penemuan baru yang melahirkan peralatan canggih serta menciptakan sistem yang
mendorong menuju masyarakat industri. Akal dan budi bukan menjadi faktor satu-satunya dalam
perubahan menjadi masyarakat industri. Manusia juga memerlukan kesempatan dan keleluasaan
untuk berpikir dan berkreasi. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, setelah reformasi bergulir dan
kran berkreasi dibuka seluas-luasnya, kehidupan manusia berkembang dengan amat pesatnya.
Kebebasan itu tentunya ada batasannya. Sebaliknya, tanpa aturan yang membatasi manusia akan
saling serang, dan akan terjadi kehancuran yang akan berdampak bagi terhambatnya
perkembangan ilmu pengetahuan, karena mereka sibuk mempertahankan dirinya. Dengan
demikian, peranan hukum di sini dipergunakan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan
kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan
dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam
Pembangunan Ekonomi, ctk. Pertama. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12.
Menurut John Naisbit dan Altrin Tomer sebagaimana dikutip Sarwini dan L. Budi
Kragmanto dalam Pathorang Halim, menyatakan masyarakat industri, artinya masyarakat tidak
dapat lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi dapat menembus batas-batas wilayah
kekuatan negara. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan melahirkan kepedulian yang tinggi dari
masyarakat luas mengenai berbagai informasi dari berbagai belahan dunia. Hubungan saling
ketergantungan dalam sistem perekonomian menyebabkan sistem ekonomi nasional cenderung
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global. Pathorang Halim, Op. Cit.,
hlm. 19.
11 Supanto, Op. Cit., hlm. 1.
12 Erman Rajaguguk mengatakan globalisasi hukum terjadi melalui kontrak-kontrak
bisnis internasional. Erman Rajaguguk, “Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era
Globalisasi” dalam Pathorang Halim. Loc. Cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
semakin canggih belakangan ini sudah tidak dapat dihindari. Setiap negara
berlomba-lomba menciptakan teknologi terdepan agar dapat bertahan dan
bersaing di dunia internasional
Globalisasi yang berkembang sekarang ini tidak hanya berbuah manis,
namun dibalik segudang kemanfaatannya, ternyata terdapat modus kejahatan
tersembunyi. Seiring dengan era global, kejahatanpun bertransformasi ke
dalam bentuk baru, sehingga sulit untuk dideteksi keberadaannya. Sebagai
contoh kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di dalam bidang bisnis atau
biasa disebut dengan kejahatan ekonomi atau economic crime atau kejahatan
di bidang bisnis atau business crimes.
Kejahatan bisnis dan keuangan kerapkali diidentikan sebagai perilaku
menyimpang para pelaku ekonomi, dengan tujuan akhir mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentu saja keuntungan itu diperoleh
pelakunya dengan cara yang tidak wajar, tanpa memperhatikan cara ataupun
proses mendapatkan keuntungan tersebut. Pada sisi inilah sebenarnya titik
singgung antara persoalan hukum dengan prinsip-prinsip ekonomi, yang
keduanya bisa boleh jadi saling bertentangan namun bisa juga saling
melengkapi.13
Salah satu hal terpenting dari suatu tindak pidana atau biasa disebut
delik, terletak pada ada tidaknya unsur kesalahan yang berada pada kehendak,
keinginan atau kemauan dari pelaku kejahatan. Dalam doktrin “geen straf
zonder schuld” memperlihatkan bahwa kesalahan merupakan dasar untuk
menghukum pelaku kejahatan, karena “tidak dipidana tanpa adanya
kesalahan” (an act does not make a person guity unless mind is guilty). Di
samping unsur kesalahan (schuld), doktrin “actus non facitt reum, nisi mens sit
rea” mensyaratkan adanya unsur subyektif yang berada di dalam diri pelaku
kejahatan, yaitu: toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggung- jawabkan).14
13 D. Andhi Nirwanto, Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak
Pidana Korupsi, ctk. Pertama. Aneka Ilmu, Semarang, 2013, hlm. 2.
14 Ibid., hlm. 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Robert E. Lane ketika melihat kejahatan White Collar Crime atau
kejahatan di bidang bisnis, bahwa sulit mencari apa penyebab tindakan-
tindakan demikian itu. Sangat sederhana motif mereka bukan semata-mata
motif ekonomi atau keuntungan, karena sebagian dari mereka tidak melakukan
perbuatan itu,15 bahkan untuk kejahatan korporasi (corporate crime), sulit
untuk mengungkap, melakukan investigasi kejahatan ini karena sangat
kompleks dan begitu rumit penuh intrik (extreme complexity and intricacy).16
Menyinggung mengenai konsep kejahatan, kejahatan tidak muncul
secara tiba-tiba melainkan konsep kejahatan telah lama ada. Sebagaimana
telah tertulis dalam Al Qur’an, kejahatan lahir ketika terjadi pembangkangan
dari iblis terhadap perintah Allah untuk hormat kepada manusia. Semenjak
saat itu, iblis berjanji untuk selalu menggoda manusia sampai akhir zaman.
Konflik interest antara manusia dan iblis dapat dipandang sebagai embrio
kejahatan. Bermula dari perasaan iri, sombong, dan dengki kejahatan itu
dimulai.17 Kejahatan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat,
mereka ibarat “dua sisi mata uang yang saling terkait”. Saling keterkaitannya
itu, dikatakan oleh Lacassagne18 bahwa masyarakat mempunyai penjahat
sesuai dengan jasanya. Kekekalan konsep kejahatan yang tidak akan musnah
hingga akhir zaman disebabkan karena kejahatan ada pada setiap diri manusia
sebagai salah satu sifat fitrah. Pendapat ini disampaikan oleh Freud19 yang
mengatakan bahwa hasrat manusia untuk merusak (jahat) sama kuatnya
dengan hasrat untuk mencintai. Pendapat berbeda datang dari Lorens.
15 Gilbert Geis and Robert F. Meier, “White Collar Crime” dalam Mien Rukmini, Aspek
Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), ctk. Pertama, PT. Alumni, Bandung,
2006, hlm. 8.
16 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, “Corporate Crime” dalam Mien Rukmini.
Ibid., hlm. 8.
17 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Kencana,
Jakarta, 2013, hlm. 43.
18 Agus Raharjo dalam Maskun, Ibid., hlm. 43.
19 Erich Frommm dalam Maskun, Ibid., hlm. 44.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Argumentasinya mengatakan bahwa keagresifan manusia merupakan insting
yang digerakkan oleh sumber energi yang selalu mengalir, dan tidak selalu
akibat rangsangan dari luar. Jadi, dapat dikatakan bahwa destruktivitas
(kejahatan) selalu ada pada diri setiap manusia, hanya bagaimana
meminimalkan potensi yang secara kefitrahan ada pada setiap individu.20
“Menurut Soedjono Dirdjosisworo, kejahatan sekarang menunjukkan
bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru
yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya.
Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang
cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola
kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan
komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang
produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat
advertensi secara besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi
yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.”21
Box mengemukakan, apabila kita mengalihkan perhatian
sesungguhnya kejahatan lebih banyak muncul dari kekuasaan daripada
kelemahan, kekayaan dibanding kemiskinan, dan dari hak-hak istimewa, …22
Perkembangan kejahatan yang demikian, telah memunculkan apa yang disebut
oleh Jean Baudrillard “The Perfect Crime”, kejahatan sempurna, kejahatan
yang bersembunyi dan sulit untuk dibuktikan, bahkan tidak diketahui apakah
itu perbuatan jahat atau bukan.23
Jauh sebelum era global berlangsung, sebenarnya telah dapat diprediksi
pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan
Pelanggar Hukum (The Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun
1975, yang dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985,
menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh
20 Ibid., hlm. 44.
21 Soedjono Dirdjosisworo, “Hukum Pidana Indonesia dan Gelagat Kriminalitas
Masyarakat Pascaindustri” dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi (Edisi Revisi), ctk. Keempat, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 3.
22 Steven Box, Power, “Crime, and Mystification” dalam Mien Rukmini. Op. Cit., hlm.
97.
23 Yasraf Amir Piliang, “The Perfect Crime” dalam Mien Rukmini. Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
korporasi yang digerakkan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak
yang sangat negatif pada perekonomian Negara yang bersangkutan.24
Kejahatan jenis baru yang dimaksud bukan digerakkan oleh manusia pada
umumnya, tetapi kejahatan tersebut digerakkan oleh sebuah badan yang dapat
dipersamakan sebagai manusia pada umumnya. Badan tersebut dinamakan
korporasi. Perorangan manusia baik laki-laki, perempuan maupun dewasa atau
anak-anak adalah subyek hukum yang memiliki personalitas atau kepribadian
(personality or individuality). Manusia sebagai person atau perorangan dan
subyek hukum, mempunyai hak hidup yang dilindungi hukum. Berhak
memiliki kekayaan di depan hukum. Bahkan pada dirinya melekat berbagai
hak asasi yang harus dihormati penguasa dan anggota masyarakat lain. Pada
masa sekarang, secara universal, semua manusia sebagai perorangan tanpa
membedakan jenis kelamin, golongan, kelompok, ras dan agama, dapat
menegakkan hak-haknya di depan pengadilan. Sebaliknya, kepadanya dapat
diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran kewajiban hukum yang melekat
pada hak tersebut di depan pengadilan: Semua manusia sebagai perorangan
adalah badan hukum (legal person) dan hal itu melekat pada dirinya sejak
lahir, serta keadaan itu berlangsung selama hidupnya sejak lahir sampai
meninggal dunia.
Akan tetapi, bukan manusia perorangan saja yang bisa menjadi subyek
hukum dan badan hukum. Perseroan bisa juga menjadi badan hukum, oleh
karena itu bisa subyek hukum. Apabila sesuatu mempunyai “hak” (recht,
right) dan “kewajiban” (duty) seperti layaknya manusia, maka menurut hukum
setiap apa pun yang mempunyai hak dan kewajiban adalah subyek hukum
dalam kategori “badan hukum” (rechtspersoon, legal person, legal entity).
Dengan demikian, tidak selamanya badan hukum harus manusia (natural
person).
Badan hukum yang bukan manusia itulah (the non-human legal
person) yang disebut pada Pasal 1 angka 1 UUPT 2007. Namanya disebut
“Perseroan Terbatas” (Naamlozevetnootschap, corporation limited by shares).
24 Andi Hamzah dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Ibid., hlm. 4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Kata Perseroan atau korporasi yang dipakai sekarang berasal dari bahasa
Latin: corpus yang berarti badan, tubuh atau raga (body)25. Kata itulah yang
berkembang menjadi corporation atau Perseroan yang lahir dan dicipta
melalui proses hukum (processrecht, legal process). Bukan lahir melalui
proses alamiah (natural birth) seperti halnya manusia. Seperti yang telah
pernah disinggung, itu sebabnya disebut “badan hukum buatan” (kunsmatige
rechtspersoon, artificial legal person)26. Meskipun Perseroan badan hukum
antifisial:
Korporasi dalam perkembangan hukum pidana, dapat dimasukkan ke
dalam subyek hukum, seperti halnya manusia, sehingga korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan kesalahan. Akan tetapi,
pertanggungjawaban antara korporasi dan manusia sangat jauh berbeda, dan
kejahatan yang dilakukan juga jauh berbeda. Korporasi tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam menjalankan kegiatan atau usahanya, korporasi dijalankan oleh
seorang direktur, sehingga direktur dapat dimintai pertanggungjawaban atas
tindakan korporasi tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh I.S. Susanto
berikut:
“Kekuasaan korporasi tersebut dalam bahasa ekonomi dijalankan
melalui keputusan-keputusan dalam investasi, penentuan harga, lokasi,
penelitian, dan desain terhadap produk, namun juga mempunyai akibat
di bidang sosial dan politik seperti di bidang ketenagakerjaan,
persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat setempat,
serta kualitas hidup manusia pada umumnya. Oleh karenanya, tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa kekuasaan korporasi yang luar biasa
ini di dalam pelaksanaannya mempunyai pengaruh besar bagi
kehidupan setiap orang sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur.
Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan,
pakaian dan alas kaki yang kita pakai, jalan yang kita lalui, kendaraan
yang kita naiki, berita yang kita dengar, lihat, dan baca, masa depan
yang kita rencanakan, bahkan perilaku di dalam kamar tidur pun
seperti berapa anak yang kita kehendaki, semua berbau korporasi, baik
25 K. Prent Cm, J. Adisubrata, WJS Purwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, Kanisius,
1969, hlm. 109 dalam M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi Pertama, ctk. Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 53.
26 MC. Oliver and EA Marshal, Company Law, Eleventh Edition, The M & E Handbook
Series, 1991 dalam M. Yahya Harahap. Ibid., hlm. 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
melalui produknya maupun karena pencemarannya. Kehidupan,
kesehatan, dan keselamatan dari sebagian besar rakyat secara langsung
dan tidak langsung dikontrol oleh korporasi raksasa, seperti melalui
tingkat harga dan karenanya juga laju inflasi, kualitas barang, dan
angka pengangguran.27
David O. Friedrichs mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi
atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri (offences
committed by corporate officials for their corporation or the offences of the
corporation itself).28
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan melalui
keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh direksi. Keputusan itu dapat
merugikan pihak lain, tetapi tidak semua keputusan yang dikeluarkan oleh
direksi dapat disebut sebagai suatu kejahatan. Doktrin business judgement rule
merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi
mengenai aktifitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun,
meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan
perseroan.29 Menjadi sebuah pertanyaan apabila terkait dengan keuangan
negara yang bermuara pada terjadinya tindak pidana korupsi.
27 I.S. Susanto dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Ibid., hlm. 6-7.
28 David O. Freidrichs.“Trusted Criminals White Collar Crime in Contemporary Society”
dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2013, hlm. 9.
29 Munir Fuady dalam Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, ctk.
Pertama, Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 9.
Aturan ini terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, yang untuk selanjutnya disebut sebagai UUPT, sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Penulis mengambil analisis melalui studi putusan Mahkamah Agung
dengan Nomor Register Perkara : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dengan Terdakwa I
bernama Ir. Faisal Muaz selaku Manager Pengadaan PT. PUSRI dan Terdakwa
II bernama Ir. Hadianto Eko Putro selaku Manager Teknik Keandalan dan
Jaminan Kualitias PT. PUSRI. Perkara ini bermula pada tahun 2008, PT.
PUPUK SRIWIJAYA, yang untuk selanjutnya disebut dengan PT. PUSRI
melaksanakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa berupa 2 (dua) Solenoid Valve
dan Thrustor Brake melalui sumber dana yang berasal dari Alokasi Anggaran
Gudang pada PT. PUSRI Palembang tahun 2008 sebesar 21.100,00 Euro atau
sekitar Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Terdakwa I
dan Terdakwa II memenangkan CV. Kuala Simpang tanpa melakukan
pengecekan harga ke distributor dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II
telah melakukan negoisasi dengan Deddy Zatta selaku Direktur CV. Kuala
Simpang. Ternyata pembelian barang tersebut tidak sesuai dengan permintaan,
tetapi para terdakwa tetap menerima barang yang dikirimkan tanpa
memperhitungkan harga pembelian sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal itu
dikarenakan CV. Kuala Simpang telah menjadi rekanan PT. PUSRI. Atas
perbuatan terdakwa, negara mengalami kerugian sebesar Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang dengan
Nomor 982 / PID.B /2010 / PN. PLG tertanggal 11 Agustus 2011 yang
amarnya menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana
penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2
(dua) bulan. Terdakwa I dan Terdakwa II serta Penuntut Umum mengajukan
banding. Adapun Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Palembang dengan Nomor : 12 / MAHKAMAH AGUNG / 2011 / PT.
PLG tertanggal 22 Desember 2011 dengan amarnya yang menyatakan bahwa
Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan
pidana kepada Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana penjara masing-
masing selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda masing-masing
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) serta apabila denda
tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua)
bulan. Para terdakwa mengajukan peninjauan kembali dengan salah satu
novum menyebutkan doktrin business judgement rule.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan tersebut di atas,
penulis tertarik mengkaji lebih lanjut ke dalam penulisan tesis yang berjudul :
“PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI OLEH KORPORASI (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid
Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang
akan penulis kaji dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah dasar Mahkamah Agung menolak novum Business Judgement
Rule dapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus /
2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada
PT. PUSRI Palembang?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas korporasi yang dapat
diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus /
2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada
PT. PUSRI Palembang?
C. Tujuan Penelitian
Hasil akhir dari sebuah penulisan hukum ialah tujuan yang hendak
dicapai. Tujuan sebuah penelitian hukum diharapkan dapat memecahkan
sebuah masalah hukum dan dapat menjadi sebuah solusi baru dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pengungkapan suatu fakta hukum. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini,
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui penerapan doktrin Business Judgement Rule
terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012
dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT.
PUSRI Palembang.
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam
perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT.
PUSRI Palembang.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum
pidana, khususnya mengenai hukum pidana ekonomi.
b. Untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu yang selama ini telah
penulis dapatkan dalam perkuliahan dan praktek di lapangan dan
menganalisis suatu kasus pidana, serta mendapatkan solusi dari suatu
permasalahan yang terjadi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat menjadi perolehan terpenting dari suatu penelitian hukum,
karena disanalah terdapat hal-hal pokok yang nantinya akan berguna bagi
pihak-pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Manfaat penelitian
tesis ini dapat terbagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun
manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini, adalah:
a) Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan
di bidang hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya.
b. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan
pembendaharaan literatur dan menambah khasanah dunia kepustakaan,
sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan kajian dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
penelitian mengenai hal sejenis, yaitu mengenai konstruksi hukum
pidana ekonomi.
b) Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.
c. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan
penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Doktrin Business Judgement Rule
Doktrin Business Judgement Rule bukan merupakan doktrin
baru dalam hukum bisnis. Doktrin tersebut merupakan salah satu
doktrin yang melindungi direksi, antara lain seperti doktrin Fiduciary
Duty, doktrin Due Care and Loyalty, doktrin Derivative Suit, doktrin
Piercing The Corporate Veil, doktrin Ultra Vires, doktrin Proper
Purpose, dan doktrin Business Judgment Rule. Doktrin ini lahir sebagai
akibat adanya doktrin Fiduciary Duty, yaitu prinsip duty of skill and
care. Standar dari pelaksanaan duty of skill and care adalah bahwa
direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola perseroan
dengan itikad baik dan hati-hati sebagaimana orang biasa (prudent
man) melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya,30 sehingga
dapat pula digambarkan kalau doktrin Business Judgement Rule
merupakan buah dari pohon yang bernama Fiduciary Duty.31
Apabila direksi pada saat mengambil keputusan, telah
melakukannya dengan pertimbangan yang matang, penuh tanggung
jawab, maka mengingat suasana bisnis yang penuh ketidakpastian,
seandainya ternyata keputusan tersebut salah, seharusnya direksi tidak
dituntut secara pribadi, karena perseroan juga harus ikut menanggung
kerugian tersebut, ini adalah konsep dasar business judgment rule.32
Business judgement rule sebenarnya mengenai pembagian tanggung
30 James D. Cox, Thomas Lee Hazen, dan Hodge O’neal dalam Hendra Setiawan Boen,
Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama, Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 187.
31 Ibid., 100-102.
32.Ibid., 100.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
jawab di antara perseroan dan organ yang mengurusnya, terutama
direksi, dan pemegang saham manakala terjadi kerugian yang menimpa
perseroan yang disebabkan oleh human error. Business judgment rule
timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh
seorang direksi, yaitu prinsip duty. Doktrin Business Judgement Rule
bukanlah doktrin baru dalam hukum bisnis. Doktrin ini berasal dari
negara common law.33 Negara tersebut, antara lain Inggris, Amerika
Serikat, Australia, dan sebagainya.34 Sebagaimana ditegaskan oleh
Ralph A. Peeples35:
“Although arguably codified by the Model Business
Corporation Act, the business judgment rule is derived from the
common law…, Justice Brandeis recognized and described the
rule in 1917… In its narrowest form, the business judgment
rule determines judicial conduct… Application of the rule
requires judicial deference to corporate decisions and thus
non-interference by the court..”
(Terjemahan : Meskipun bisa dibilang dikodifikasikan oleh
Undang-Undang Model Business Corporation , aturan
keputusan bisnis berasal dari common law ... , Hakim Brandeis
diakui dan dijelaskan aturan pada tahun 1917 ... Dalam bentuk
yang sempit , aturan keputusan bisnis menentukan perilaku
hakim ... Penerapan aturan membutuhkan menghormati
peradilan untuk keputusan perusahaan dan dengan demikian
non - campur tangan pengadilan .. ")
Ditambahkan Bayless Manning36 ketika mengatakan:
“While not part of the statutory framework, this legal concept
is well established in the care law of most jurisdictions…”
33 Elizabeth S. Miller dan Thomas E. Rutledge. “The Duty of Finest Loyalty and
Reasonable Decisions: The Business Judgment Rule in Unincorporated Business Organizations?”
dalam Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, ctk. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 225.
34 Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban
Pemberitahuan oleh Direksi, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 58.
35 Ralph A. Peeples. “The Use and Misuse of The Business Judgment Rule in the Close
Corporation” dalam Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 46.
36 Bayless Manning dalam Hendra Setiawan Boen, Ibid., hlm. 46.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
David P. Twomey37 berpendapat bahwa:
“Accordingly, courts will not sit in judgment on the wisdom of
decisions made by directors. If the directors have acted in good
faith on the basic of adequate information, court will not enjoin
the course of action taken by the directors. Moreover, even
though such action causes loss to the corporation, the directors
will not be held personally liable for it. This principle is called
the business judgment rule.”
Menurut Roger LeRoy dan Gaylod A.Jentz, mendefinisikan
sebagai
“A rule that immunizes corporate management from liability
for action that result in corporate losses or damages if the
action are undertaken in good faith and are within both the
power of the corporation and the authority of management to
make.”
(Terjemahan : Aturan yang kebal manajemen perusahaan dari
tanggung jawab atas tindakan yang mengakibatkan kerugian
perusahaan atau kerusakan jika aksi yang dilakukan dengan
itikad baik dan dalam kedua kekuatan korporasi dan
kewenangan manajemen untuk membuat).
Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa business
judgement rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang
merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam
batas-batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian
dan itikad baik. Prinsip ini mengatakan adalah bahwa bilamana direksi
telah mengambil keputusan setelah sebelumnya didahului dengan
pertimbangan bisnis yang cermat dan saksama, dia akan mendapatkan
kekebalan dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadinya
meskipun keputusan yang diambilnya ternyata tidak menguntungkan
perseroan. Doktrin ini melindungi direksi dengan memungkinkan
mereka berbuat kesalahan, sepanjang proses pengambilan keputusan
dilakukan secara cermat dan teliti, dengan wajar dan patut, serta dapat
dibuktikan. Pemegang saham tidak mungkin bisa berharap bahwa
37 David P. Twomey dalam Hasbullah F. Sjawie, Loc. Cit.,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
direksi tidak akan pernah mengambil suatu keputusan yang tidak tepat,
tetapi pemegang saham mempunyai hak untuk berharap bahwa semua
keputusan yang diambil dilakukan dengan penuh pertimbangan dan
kehati-hatian.
Dengan demikian, business judgment rule dijadikan kriteria
untuk mengukur tanggung jawab setiap anggota direksi. Artinya,
seorang anggota direksi dianggap tidak bertanggung jawab apabila dia
melaksanakan tugasnya dengan memerhatikan prinsip fiduciary duties
yang ada, sekaligus dengan mempunyai berbagai pertimbangan yang
reasonable terhadap keputusan yang diambilnya. Meski demikian,
direksi tidak bisa berlindung di bawah prinsip business judgment rule
jika keputusan yang diambilnya mengandung unsur-unsur fraud,
conflict of interest, illegality, dan gross negligence.38
Doktrin Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin
yang mengajarkan bahwa putusan direksi mengenai aktivitas perseroan
tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut
kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan
tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:39
a. Putusan sesuai hukum yang berlaku,
b. Dilakukan dengan itikad baik,
c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose),
d. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional
(rasional basis),
e. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan
oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.
f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya
(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi
perseroan.
38 Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 20.
39 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 186
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Kesalahan dari direksi atas suatu perseroan masih dapat ditoleransi
sampai kepada batas-batas tertentu saja. Adapun kesalahan direksi yang
dapat ditoleransi adalah sebagai berikut :40
a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of
judgement).
b. Kesalahan yang jujur (honest mistake, honest error in
judgement).
c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan
(kecuali jika tidak ada sistem pengawasan yang baik).
Pengecualian kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan,
seperti:41
a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty.
Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan
(conflict of interest).
b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due
care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaan atau
kelalaian.
c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang
bijaksana (prudence).
d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik.
e. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip tujuan bisnis yang
benar (proper purpose).
f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten.
g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan
yang berlaku.
h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed).
i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi
terlalu tergesa-gesa (hasty action).
j. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan
pertimbangan yang rasional.
2. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana dalam bahasa Belanda dikenal sebagai strafbaar
feit42, tetapi apabila strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa
40 Ibid., hlm. 188.
41 Ibid., hlm. 188.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Indonesia memiliki istilah yang berbeda dari para ahli. Terjemahan
strafbaar feit dari beberapa ahli hukum pidana, dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai tindak pidana. Ahli hukum
yang sepakat, yaitu
a) Wirjono Prodjodikoro
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia mengartikan tindak pidana sebagai
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman
pidana.43
b) Simon
Simon mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu
tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan
dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung
jawab.44
42 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 67.
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan
pidana dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan kata feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Kata tindak merujuk pada sikap manusia
yang bersifat aktif. Kata feit, lebih pas diterjemahkan dengan perbuatan, kata pelanggaran
digunakan sebagai arti dari overtrading (lawan dari misdrijven/kejahatan) terdapat dalam
penjelasan buku II dan III KUHP. Sementara kata peristiwa, menggambarkan pengertian yang
lebih luas dari perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia,
melainkan mencakup pada seluruh kejadian, termasuk pula kejadian yang diakibatkan oleh alam.
Kata perbuatan merujuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang, baik aktif maupun pasif.
Pendapat lain menyatakan strafbaar feit (dengan penulisan straafbaarfeit) terdapat dua
unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari
kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan
straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. Evi Hartanti. 2012. Tindak
Pidana Korupsi, Edisi Kedua ctk. Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 5.
43 Wirjono Prodjodikoro dalam dalam Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana, Edisi
Pertama, ctk. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 52.
44 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, ctk. Pertama, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 97.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang
dapat dihukum. Alasan dirumuskan seperti di atas, karena:45
(1) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di
situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun
yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran
terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
(2) Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan
tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti
yang dirumuskan di dalam undang-undang; dan
(3) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan
atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada
hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau
merupakan “onrechtmatige handeling”.
c) Moeljatno
Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.46
Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan
dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah
“perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut”.47
45 Mahrus Ali. Op. Cit., hlm. 52-53.
46 Moeljatno dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 51.
47 Moeljatno dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 98.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
d) Roeslan Saleh
Roeslan Saleh pada bukunya yang berjudul Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, mendefinisikan tindak pidana yaitu
“sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang”.48
e) Komariah Emong Supardjadja
Komariah Emong Supardjadja dalam buku yang
berjudul Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum Pidana
Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan
Perkembangannya dalam Yurisprudensi, tindak pidana
diartikan sebagai “suatu perbuatan manusia yang memenuhi
rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah
melakukan perbuatan itu”.49
f) Sutan Remy Sjahdeini
Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya yang berjudul
Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer mendefinisikan tindak
pidana sebagai perilaku (conduct) yang oleh undang-undang
pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah
dikriminalisasi dan oleh karena itu dapat dijatuhi sanksi pidana
bagi pelakunya.50
g) Indrianto Seno Adji
Indrianto Seno Adji dalam bukunya yang berjudul
Korupsi dan Hukum Pidana, tindak pidana dirumuskan sebagai
“perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya
48 Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.
49 Komariah Emong Supardjadja dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.
50 Sutan Remy Sjahdeini dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi
pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.”51
2) Strafbaar feit diterjemahkan bukan sebagai tindak pidana.
Terjemahan tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana.
Terjemahan ini digunakan oleh:
(1) Andi Zainal Abidin, dengan alasan tidak sepakat, sebagai
berikut : 52
(a) Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang
melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana;
(b) Ditinjau dari segi Bahasa Indonesia, tindak adalah kata
benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah
kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan
berat, perempuan cantik, dan lain-lain;
(c) Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang
kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa
yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa
sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van
hetwelk een person starfbaar is yang berarti peristiwa
yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah
criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan
sifat kriminalnya perbuatan.
(2) R. Tresna
(3) H.J. van Schravendijk, serta
(4) dicantumkan pula oleh pembentuk Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 kedalam Pasal 14 ayat 1.
b) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai delik, yang berasal dari
bahasa Latin delictum. Terjemahan ini digunakan oleh:
(1) Utrech
(2) A. Zainal Abidin
51 Indrianto Seno Adji dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.
52 Andi Zainal Abidin, “Tanggapan Terhadap Buku I Bab I sampai dengan Bab II
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana” dalam Erdianto Effendi, Op. Cit., hlm. 96-97.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
(3) Moeljatno
c) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai pelanggaran pidana.
Terjemahan ini digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja.
d) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang boleh
dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh Karni dan
Schravendijk.
e) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh pembentuk Undang-
Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3).
f) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan pidana.
Terjemahan ini digunakan oleh Moeljatno53, Roeslan Saleh54,
Marshall55.
53 Moeljatno memberikan definisi sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dan disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Pada kesempatan yang lain, dia juga
mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno dalam Mahrus
Ali. Op. Cit., hlm. 98.
Alasan perbuatan pidana lebih tepat, ialah:
1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu
kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan
itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan
pada orangnya.
2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang
ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan
(yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar
larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat
pula.
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk
pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan)
dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
Moeljatno dalam Adami Chazawi. Op. Cit., hlm. 71.
Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana
adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:
1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang
kongkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada
kejadian tertentu.
2. Sedangkan istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal
abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga
menyatakan keadaan kongkrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Dari kata strafbaarfeit dapat dikenal menjadi beberapa istilah,
yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana,
perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum,
perbuatan pidana, criminal act, dan jinayah.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Adapun unsur dari suatu tindak pidana, dapat dibagi menjadi 2
(dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang teoritis dan sudut pandang
undang-undang. Sudut pandang teoritis berdasarkan pendapat para ahli
hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya, sedangkan sudut pandang
undang-undang adalah kenyataan tindak pidana yang dirumuskan menjadi
tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan
yang ada. Beberapa ahli yang menganut sudut pandang teoritis, adalah
Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk. Persamaan dari
beberapa ahli tersebut dalam merumuskan tindak pidana, adalah tidak
memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur
yang mengenai diri orangnya.
Sudut pandang undang-undang dalam merumuskan suatu tindak
pidana didasarkan pada rumusan Buku II dan Buku III KUHP. Buku II
KUHP mengatur mengenai tindak pidana tertentu yang masuk dalam
kategori kejahatan, sedangkan Buku III KUHP mengatur mengenai
pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP,
maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:
1) unsur tingkah laku;
hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak. Moeljatno
dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm. 71-72.
54 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang. Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Op. Cit. ,hlm. 98.
55 Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang
dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur
hukum yang berlaku Andi Hamzah, dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2) unsur melawan hukum;
3) unsur kesalahan;
4) unsur akibat konstitutif;
5) unsur keadaan yang menyertai;
6) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
7) unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
c. Pandangan Pakar Hukum terhadap Perbuatan Pidana (Tindak Pidana)
Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang
melakukan ini disebut pandangan dualism, dianut oleh Pompe, Vos,
Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin.56 Konsep tindak pidana yang
dikemukakan oleh ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal,
yaitu yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana, dan yang mencampur antara tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Konsep tindak pidana oleh Moeljatno,
Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini secara
tegas memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana adalah satu hal, sedangkan pertanggungjawaban pidana
merupakan hal lain. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana
tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan,
karena hal itu bergantung kepada apakah orang tersebut memiliki
kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, antara
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep
yang sangat sentral dan saling terkait dalam hukum pidana, tindak pidana
tidak akan memiliki banyak arti tanpa pertanggungjawaban pidana,
demikian juga sebaliknya.
Pada sisi yang lain, konsep tindak pidana yang dirumuskan oleh
Simons, Komariah Emong Supardjadja, dan Indrianto Seno Adji tidak
memisahkan atau bahkan mencampur-aduk antara tindak pidana dan
56 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 72.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
pertanggungjawaban pidana. Hal ini terlihat dari digunakannya kata
“sengaja”, “bersalah”, dan “kesalahan” dalam membangun rumusan
konsep tindak pidana. Padahal, secara teoritis kesalahan tidak terkait
dengan tindak pidana, tapi berhubungan dengan pertanggungjawaban
pidana. Implikasinya, seseorang bisa dijatuhi pidana cukup dengan
terbuktinya tindak pidana yang dilakukan orang itu, tanpa perlu
membuktikan apakah pada diri orang itu terdapat kesalahan atau tidak.
Konsep tindak pidana mengacu kepada konsep yang dirumuskan
oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy
Sjahdeini, karena memang antara tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana merupakan dua konsep yang terpisah, walaupun keduanya memiliki
keterkaitan yang sangat erat, bagaikan dua sisi mata uang. Secara teoritis,
ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh
hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk
menjatuhkan pidana kepada orang itu, harus terdapat kesalahan pada orang
itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan, dan itu di luar
perbincangan tentang tindak pidana.57
Pengertian pakar hukum terhadap tindak pidana tidak memiliki
kesatuan pendapat. Di Indonesia sesudah Perang Dunia II persoalan
ini di”hangatkan” oleh Prof. Muljatno, guru besar hukum pidana
pada Universitas Gajah Mada dalam pidato beliau pada dies natalis
universitas tersebut pada tahun 1955 yang berjudul “Perbuatan
Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana”. Beliau
membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” (de
strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr wan het feit) dan
“dapat dipidananya orangnya” (strafbaarheid van den person), dan
sejalan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan
piadana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana”
(criminal responsibility atau criminal liability). Oleh karena hal
tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak
meliputi pertanggungan jawab pidana. Pandangan beliau dapat
disebut pandangan yang dualistis mengenai perbuatan pidana
(tindak pidana atau strafbaarfeit). Pandangan ini adalah
penyimpangan dari pandangan yang disebut oleh beliau adalah
pandangan yang monistis, yang dianggapnya kuno. Pandangan
monistis ini melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya
57 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 53-54.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan
ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam
pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya
perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana/kesalahan (criminal responsibility).
Pandangan monistis dianut oleh D. Simons, Van Hamel, E.
Mezger, J. Baumann, Karni, dan Wirjono Prodjodikoro, JE Jonkers, H.J.
van Schravendijk58. Berikut ini akan penulis uraikan pendapat dari masing-
masing pakar hukum tersebut.
1) Simons, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai
dapat dihukum”.59 Menurut D. Simon, Strafbaarfeit dijelaskan sebagai
“een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande
handeling van een toerekeningsvatbaar person”. Sehingga, unsur-
unsur strafbaarfeit adalah perbuatan manusia (positief atau negatief;
berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan), diancam dengan pidana
(strafbaar gesteld), melawan hukum (onrechtmatig), dilakukan dengan
kesalahan (met schuld in verband staand), dan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simon menyebut adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari
strafbaarfeit. Unsur obyektif terdiri dari perbuatan orang, akibat yang
kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan ada keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu. Sedangkan unsur subyektif terdiri dari
orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (dolus atau
culpa) perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan yang mana
kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau
kesalahan dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
2) Van Hamel, Strafbaarfeit didefinisikan sebagai “een wettelijk
omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en
aan schuld te wijten”. Sehingga unsur-unsurnya adalah perbuatan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang dan melawan hukum
yang dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana.
3) E. Mezger menyatakan Die Straftat ist der Inbegriff der
Voraussetzungen der Strafe (tindak pidana adalah keseluruhan syarat
untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan Die Straftat ist demnach
tatbestandlich-rechtwidrige, pers onlich-zurechenbare strafbedrohte
Handlung. Sehingga, unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan
dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan), sifat
melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun yang subyektif), dapat
dipertanggung jawabkan kepada seseorang, dan diancam dengan
pidana.
58 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 75.
59 Simons dalam Adami Chazawi, Ibid., hlm. 75.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
4) J. Baumann menyatakan Verbrechen im weiteren, allgemeinen Sinne
adalah “Die tatbestandmaszige rechtwidrige und schuld-hafte
Handlung” (Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan).
5) Menurut Karni, delik itu mengandung perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang
sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggungkan.
6) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi pendek, yaitu tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
7) J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan
kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan”.60
8) H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum
adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan
hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal
dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.61
Dari empat rumusan di atas, dapat dilihat terutama kalimat, yakni:
(1) “dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan” (Jonkers),
(2) “yang pelakunya dapat dikenakan hukuman” (Wirjono Prodjodikoro),
(3) “asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan”
(Schravendijk) dan (4) dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya” (Simons), menunjukkan bahwa
di dalam membicarakan perihal tindak pidana selalu dibayangkan bahwa
didalamnya telah ada orang yang melakukan, dan oleh karenanya ada
orang yang dipidana.62
Penganut monisme tidak secara tegas memisahkan antara unsure
tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsure yang
mengenai diri orangnya bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan
adanya pertanggung jawab pidana sebagai bukan unsure tindak pidana
melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut paham
monisme adalah juga merupakan unsure tindak pidana.63
Bagi paham monism ini tidak membedakan antara unsure tindak
pidana dengan syarat untuk dapat dipidana, syarat dipidananya itu juga
masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.64
60 J.E. Jonkers dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm 75.
61 H.J. Van Schravendijk dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm. 75.
62 Adami Chazawi. Ibid., hlm. 76.
63Adami Chazawi. Ibid., hlm. 76.
64 Adami Chazawi. Ibid., hlm. 76.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pandangan dualistis dianut oleh H.B. Vos, W.P.J. Pompe, dan
Moeljatno. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup
hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya
kesalahan/pertanggungjawaban pidana. H.B. Vos menjelaskan sebagai
berikut Een strafbaar feit is een menselijke gedraging waarop door de wet
(genomen in de ruime zin van “wettelijke bepaling”) straf is gesteld, een
gedraging dus, die in het algemeen (tenzij ere en uitsluitingsgrond bestaat)
op strafe verboden is. Jadi, menurut Vos, Strafbaar feit hanya berunsurkan
kelakuan manusia dan diancam pidana dalam undang-undang.
Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu
sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut
sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.65 W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum
positif strafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana
dalam ketentuan undang-undang”. (Volgens ons positieve recht is het
strafbare feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling
als strafbaar in omschreven). Memang beliau mengatakan, bahwa menurut
teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum,
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif,
demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan
kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana
(strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya
tindak pidana, akan tetapi disamping itu harus ada orang yang dapat
dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau
kesalahan. Pompe berpegang pada pendirian yang positief rechtelijk.
R. Tresna menyatakan bahwa, “peristiwa pidana itu adalah sesuatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.
Tampak dalam rumusan itu tidak memasukkan unsur/anasir yang
berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam
peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu:
1) Harus ada suatu perbuatan manusia.
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum.
3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.
4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya
dalam Undang-undang.
Dengan melihat pada apa yang dikatakan beliau sebagai syarat-
syarat peristiwa pidana itu, dalam syarat-syarat mana ternyata terdapat
65 Lamintang dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm. 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
syarat yang telah mengenai diri si pelaku, seperti pada syarat ke-3, yang
tampak dengan jelas bahwa syarat itu telah dihubungkan dengan adanya
orang yang berbuat melanggar larangan (peristiwa pidana) tersebut, yang
sesungguhnya berupa syarat untuk dipidananya bagi orang yang
melakukan perbuatan itu bukan syarat peristiwa pidana.
Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak
pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak
yang artinya memandang tindak pidana itu tanpa
menghubungkannya dengan (adanya) pembuatnya, atau dapat
dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, maka hal
kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsure tindak
pidana. Kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal yang
lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat
untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah
melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam
hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsure dari
pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang
yang telah terbukti bahwa perbuatannya telah melanggar larangan
berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian dijatuhi
pidana.
Dalam pidato Dies Nataliesnya, Moeljatno memberi arti kepada
“perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut”. Untuk adanya perbuatan pidana
harus ada unsur-unsur perbuatan (manusia), yang memenuhi rumusan
dalam undang-undang (merupakan syarat formil), dan bersifat melawan
hukum (syarat materiil).
Pandangan golongan dualistis ini yang mengadakan pemisahan
antara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana
(criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggung jawabkannya si
pembuat (criminal responsibility atau adanya mens rea) terdapat pula di
negeri Anglo Saxon.66
d. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang
melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah
66 Sudarto, Hukum Pidana I, ctk. Kedua Tahun 1990, Yayasan Sudarto d/a Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 1990, hlm. 40.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.67
Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak
mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih
dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak adil jika
tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia
sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.68
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin
ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea
dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah
kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut
dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind
is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah
yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).69
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan
yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang
ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu. Dasar
adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat
perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.70
67 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008,
hlm. 165. 68 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 20-23.
69 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11
Tahun 1999, hlm. 27.
70 Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 75.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang
dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak”
suatu perbuatan tertentu.71 Sudarto mengatakan bahwa dipidananya
seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk
penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.72
1) Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Selama ini yang sering diperkenalkan mengenai teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, ada 3 (tiga), yaitu:
a) Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Langsung (Direct Liability
Doctrine) atau Direct Corporate Criminal Liability73 atau Teori
71 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 68.
72 Sudarto, Op. Cit., hlm. 85.
73 Penyebutan doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (Direct Liability Doctrine)
atau Teori Identifikasi (Identification Theory ) di negara-negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika, dikenal teori direct corporate criminal liability atau
pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum
Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Identifikasi (Identification Theory)74 atau Alter Ego Theory75 atau
Teori Organ.
Doktrin ini menyatakan suatu korporasi dapat melakukan
sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai
perusahaan itu sendiri.76
Dijelaskan lebih lanjut oleh Barda Nawawi Arief,
kedudukan agen sebagaimana yang disebutkan di atas bersifat tidak
sebagai pengganti, dan oleh karena itu pertanggungjawaban
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.
Sue Titus menambahkan syarat adanya
pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah
tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup
pekerjaan korporasi.
Diartikan sebagai perbuatan/ kesalahan “pejabat senior”
(“senior officer”) diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan
korporasi.77
Mahrus Ali mengutip dari H.A. Palmer dan Henry Palmer
dalam bukunya yang berjudul Harris’s Criminal Law, dan Andrew
Weissmann dengan karya “A New Approach To Corporate
Criminal Liability, serta Eric Colvin dalam karya Corporate
74 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 106
. 75 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 107 76 Dijelaskan Sue Titus Reid dalam bukunya yang berjudul Criminal Law serta Wayne R
LaFave dan Austin W. Scott Jr dalam bukunya Criminal Law yang dikutip lagi dalam Mahrus Ali,
delik ini dilakukan oleh para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi. Mahrus Ali, Ibid., hlm. 105.
Kedudukan agen di sini tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Barda Nawawi Arief dalam Mahrus Ali,
Ibid., hlm. 105.
Sue Titus menambahkan syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara
langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan
korporasi. Mahrus Ali, Ibid., hlm. 105.
77 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 108-109.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Personality, mereka membedakan antara corporate criminal
liability dan doktrin identifikasi. Menurutnya corporate criminal
liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang
menyatakan bahwa tindakan dari agen tertentu suatu korporasi,
selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai
tindakan dari korporasi itu sendiri. Teori ini juga berpandangan
bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai
“directing mind” atau “alter ego”. Perbuatan dan mens rea para
individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu
diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama
menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu
merupakan mens rea korporasi.
Disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ” :
(1) Arti sempit (Inggris)
Hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang
dapat dipertanggung-jawabkan kepada korporasi.
(2) Arti luas (AS)
Tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di
bawahnya.
Dalam teori corporate criminal liability, orang-orang yang
identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur
organisasi suatu korporasi, tapi secara umum meliputi the board of
directors, the chief executice officer, atau para pejabat atau
pengurus korporasi pada level yang sama dengan kedua pejabat
tersebut.78 Sedangkan Yedidia Z. Stern memperluas cakupan
orang-orang yang identik dengan korporasi meliputi the general
meeting, board of directors, managing director, general manager,
chief executive, and possibly individual directors, secretaries, and
78 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
shop managers.79 Alasan mereka dimasukkan sebagai identik
dengan korporasi karena korporasi dalam banyak hal disamakan
dengan tubuh manusia. Korporasi memiliki otak dan pusat syaraf
yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan
yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat
syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah ada
karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan
pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak
perusahaan. Pada pihak lain, direktur atau pejabat setingkatnya
mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak
perusahaan dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin
mereka merupakan sikap batin korporasi.80
Dalam kasus-kasus di mana undang-undang mensyaratkan
kesalahan seseorang dalam pertanggungjawaban di bidang perdata,
kesalahan direktur adalah kesalahan korporasi juga. Begitu juga
dalam bidang hukum pidana. Dalam kasus-kasus di mana undang-
undang mensyaratkan kesalahan (sikap batin jahat) dalam suatu
tindak pidana, kesalahan direktur dipandang sebagai kesalahan dari
korporasi itu sendiri. Dengan demikian, untuk tujuan hukum
pejabat senior adalah orang yang mengendalikan korporasi baik
sendiri maupun bersama-sama pejabat senior lainnya; ia mewakili
sikap batin dan kehendak korporasi, dan ia dibedakan dari mereka
yang semata-mata sebagai pegawai dan agen korporasi yang harus
melaksanakan petunjuk-petunjuk dari pejabat senior.81
Terkait dengan orang-orang yang identik dengan korporasi,
terdapat lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan
79 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 107
80 Mahrus Ali., Ibid., hlm. 107.
81 Ibid. hlm. 108.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi
dikatakan sebagai tindakan korporasi, yaitu:82
a) Deskripsi yang samar;
Teori organ yang dibentuk melalui putusan pengadilan
Inggris memilih bersifat hati-hati dengan tidak mendefinisikan
organ ke dalam istilah hukum. Selama bertahun-tahun,
pengadilan Inggris lebih memilih menggunakan istilah-istilah
yang terdapat ilmu kedokteran dan psikologi untuk
mendeskripsikan hubungan antara korporasi dengan
pengurusnya baik secara fisik maupun non-fisik. Mereka
sebenarnya tidak puas dengan istilah-istilah seperti “very ego
and centre”, “directing mind and will” atau “control centre”.
Analogi terhadap istilah-istilah tersebut adalah istilah
“corporate body”, di mana korporasi tidak dapat dijatuhi pidana
atas tindak pidana serius yang dilakukan pengurusnya bila
tindakan tersebut tidak berasal dari pikiran korporasi. Kondisi
tersebut menyebabkan ahli-ahli hukum belum mendapatkan
perbedaan yang jelas antara organ dan orang-orang yang hanya
sekedar sebagai pegawai korporasi.
b) Kriteria formal;
Terdapat empat kriteria di dalamnya, yaitu primary
organs test, delegation test, authorized acts test, dan corporate
selection test.
Menurut primary organs test, tanggung jawab pidana
korporasi dijatuhkan hanya pada tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh organ-organ utama, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan menjalankan aktivitas dalam suatu korporasi
berdasarkan dokumen-dokumen resmi dan aturan-aturan dalam
korporasi tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan organ-
organ utama adalah pejabat korporasi yang dapat bertindak
berdasarkan kekuasaan langsung dokumen resmi dan aturan-
aturan korporasi tanpa adanya intervensi dari tindakan manusia
yang lain. Sedangkan berdasarkan delegation test, yang
dimaksud dengan organ adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan atas dasar delegasi yang termuat dalam dokumen
resmi perusahaan. Di dalam authorized acts test, penentuan
organ korporasi adalah didasarkan pada tindakan orang-orang
tertentu suatu korporasi yang mendapat mandat organ-organ
utama. Di sini yang dipentingkan bukan pada siapa yang
melakukan tindakan itu, tapi apakah tindakan tersebut sudah
mendapatkan mandat dari organ-organ utama korporasi.
Adapun corporate selection test, penentuan organ korporasi
82 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 108-109.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
berdasarkan penunjukan langsung dari korporasi, yang
dilakukan tiap periode kepengurusan.
c) Pendekatan pragmatik
Menurut pendekatan ini, yang termasuk organ-organ
korporasi sehingga tindakan mereka identik dengan tindakan
korporasi adalah “superior agent”, “responsible agent”,
“important official”, “primary agent”, “top management”, dan
“a directive”.
d) Analisis hierarki
Menurut pendekatan ini, untuk menentukan organ
korporasi adalah didasarkan pada identifikasi orang-orang yang
memiliki posisi penting dalam struktur organisasi di mana
kehendak dan tindakan mereka dianggap sebagai kehendak dan
tindakan korporasi.
e) Analisis fungsi
Bila analisis hierarki memfokuskan diri pada orang-
orang tertentu yang memiliki posisi tinggi dalam struktur
organisasi untuk menentukan organ korporasi, maka analisis
fungsi lebih menekankan pada aspek-aspek fungsional perilaku
pejabat korporasi. Kriteria ini tentu saja tidak secara khusus
menunjukkan fungsi apa yang membuat seseorang yang
bertindak untuk kepentingan korporasi dianggap sebagai organ
korporasi. yang penting, tindakan seseorang, terlepas siapakah
orangnya, selama tindakan itu memenuhi aspek fungsional
tindakan korporasi, maka tindakan orang tersebut dianggap
sebagai tindakan korporasi.
Dalam teori corporate criminal liability, keberadaan
korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal
pertanggungjawaban pidana sehingga tidak bisa disamakan
dengan model pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability). Perbedaan ini dapat dilihat pada pertimbangan
putusan pengadilan dalam memutus kasus Tesco Supermarket
Ltd Vs Nattrass, sebagai berikut:83
83 Richard Card, Introduction to Criminal Law dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 110.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
A living person as a mind which can have knowledge or
intention or be negligent and he has hand to carry out
his intention. A corporation has none of these; it must
act through living persons, through not always one and
the same person then the person who act is not speaking
or acting for the company. There is no question to the
company being vicarious liability. He is not acting as a
servent, representatives, agent or delegate. He is an
ambodiment of the company, or one could say, he hears
and speaks through the person of the company, within
the appropriate sphere, and his mind is the mind of the
company. If it is a guilty mind then that guilt is the guilt
of the company.
(Terjemahan : Seseorang yang hidup sebagai pikiran
yang dapat memiliki pengetahuan atau niat atau lalai
dan dia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya .
Sebuah perusahaan memiliki satu pun dari ini ; harus
bertindak melalui orang yang hidup , melalui tidak
selalu satu dan orang yang sama maka orang yang
bertindak tidak berbicara atau bertindak bagi
perusahaan. Tidak ada pertanyaan kepada perusahaan
yang vicarious liability . Dia tidak bertindak sebagai
servent , perwakilan , agen atau delegasi . Dia adalah
ambodiment perusahaan, atau orang bisa mengatakan ,
ia mendengar dan berbicara melalui orang perusahaan ,
dalam lingkup yang sesuai , dan pikirannya adalah
pikiran perusahaan. Jika pikiran bersalah maka rasa
bersalah itu adalah kesalahan perusahaan.)
Jadi, tindakan yang dilakukan individu pada dasarnya
bukan mewakili korporasi, tapi dianggap sebagai tindakan
korporasi itu sendiri. Ketika individu tersebut melakukan suatu
kesalahan, dengan sendirinya kesalahan itu pada dasarnya
adalah kesalahan korporasi. Singkatnya, kesalahan individu
identik dengan kesalahan korporasi.
Ada beberapa pendapat untuk mengidentifikasikan
“senior officer”:
(1) Pada umumnya pejabat senior adalah orang yang
mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
bersama-sama; pada umumnya pengendali perusahaan
adalah “para direktur dan manajer”.
(2) Hakim Reid dalam perkara Tesco Supermarkets Ltd.
Untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri
atas “dewan direktur” direktur pelaksana, dan pejabat-
pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi
manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan”.
Konsep pejabat senior tidak mencakup “semua pegawai
perusahaan yang bekerja atau melaksanakan petunjuk
pejabat tinggi perusahaan”.
(3) Lord Morris
Pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya
mewakili / melambangkan pelaksana dari “the directing
mind and will of the company”.
(4) Viscount Dilhorne
Pejabat senior adalah seseorang yang dalam kenyataannya
mengendalikan jalannya perusahaan (atau ia merupakan
bagian dari para pengendali), dan ia tidak bertanggung
jawab pada orang lain dalam perusahaan itu.
(5) Lord Diplock
Mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan
ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau
putusan rapat umum perusahaan telah dipercaya
melaksanakan kekuasaan perusahaan.
(6) House of Lord
Manajer dari salah satu toko/supermarket berantai tidak
dipandang sebagai pejabat senior; ia tidak berfungsi sebagai
“the directing mind and will of the company”. Ia merupakan
salah seorang yang diarahkan. Ia merupakan salah seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
yang dipekerjakan, tetapi ia bukan utusan/delegasi
perusahaan yang diserahi tanggung jawab.
(7) Hakim Bowen C.J. dan Franki J. (dalam perkara Universal
Telecasters, 1977, di Australia)
Manajer penjualan (“the sales manager”) dari perusahaan
yang mengoperasikan stasiun televisi, bukanlah “senior
officer”.
(8) Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara Universal
Telecasters)
Manajer penjualan dapat diidentifikasikan sebagai
perusahaan, yaitu sebagai “senior officer”.
Walaupun orang itu (manajer penjualan) tidak memiliki
kekuasaan manajemen yang umum, tetapi ia mempunyai
kebijaksanaan manajerial (managerial discretion) yang
relevan dengan bidang operasi perusahaan yang
menyebabkan timbulnya delik. Dengan kata lain, dalam
pandangannya, pejabat perusahaan dapat menjadi “senior
officer” dalam bidang yang relevan walaupun tidak untuk
semua tujuan.
(9) Supreme Court Queensland
Manajer perusahaan penjual motor (motor dealer) selain
dapat dipandang sebagai “senior officer”, dapat juga
sebagai “the sales manager” yang kepadanya manajer
mendelegasikan pengendalian bisnis selama manajer absen.
(10) Supreme Court di Australia Selatan (merefleksikan
pandangan Nimmo di atas)
Dalam delik lalu lintas, manajer operasi dan juga manajer
yang bertanggung jawab pada pengawasan kendaraan dan
sopir, dapat dipandang sebagai “senior officer”.
Putusan ini merefleksikan pandangan Nimmo J. di atas
bahwa seorang pejabat dapat menjadi “senior officer” untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tujuan-tujuan yang relevan walaupun pejabat senior itu
tidak mempunyai kekuasaan manajemen yang umum (a
general power of management).
Ajaran identifikasi atau identification doctrine
dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi
realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak
perusahaan modern. Oleh karena itu, telah disarankan
beberapa metode alternatif untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana pada suatu korporasi. Salah
satu metode itu adalah memberlakukan aggregation
doctrine atau ajaran agresi. Asas aggregation ini adalah asli
Amerika.
Ajaran ini memungkinkan agregasi atau
kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk
diatributkan kepada korporasi, sehingga korporasi dapat
dibebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua
perbuatan dan semua unsur mental (sikap kalbu) dari
berbagai orang yang terkait secara relevan dalam
lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan
oleh satu orang saja. Walaupun di beberapa negara
termasuk di Inggris untuk beberapa kasus teori ini ditolak.
The Identification Theory atau teori identifikasi.
Korporasi dalam perkembangan hukumnya dapat
melakukan suatu perbuatan dan dapat memiliki sikap batin
untuk melakukan suatu tindak pidana. Hal ini mengingatkan
bahwa secara tradisional pertanggungjawaban pidana tetap
mempersoalkan pembutktian kesalahan (proof of criminal
fault) dalam kaitannya dengan “intended something or knew
something” dari korporasi, maka Viscount Haldane
menemukan “Theory of Primary Corporate Criminal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Liability”, yang kemudian dikenal dengan Identification
Theory atau Alter Ego Theory.
Teori Identifikasi dapat disebut juga teori
pertanggungjawaban pidana langsung (Direct Corporate
Liability), karena pertanggungjawaban pidana ini langsung
oleh korporasi, seniors officers yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi itu langsung, tidak mewakili korporasi.
Teori Identifikasi ini, menurut Muladi diciptakan sebagai “a
pragmatic median rule” antara penganut ekstrem dari “total
vicarious liability” untuk semua tindak pidana dan tidak ada
pertanggungjawaban pidana kecuali “the Board of
Directors” dengan jelas membenarkan (expressly
outhorized) tindak pidana.
b) Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability)
Vicarious liability, lazim disebut dengan
pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan
salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief
berpendapat bahwa vicarious liability adalah suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan
orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada
dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one
person for wrongful acts of another, as for example, when the acts
are done within scope of employment).
Dalam kamus Henry Black, vicarious liability diartikan
sebagai berikut:
The liability of an employer for the acts of an employee, of
a principle for torts and contracts of an agent
(pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen
dalam suatu kontrak).
Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di
mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan
salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi)
memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang
mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut
dengan prinsip delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin
kepada seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin
tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi ia
memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh kepada
seorang manager untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager
itu melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin
(pemberi delegasi) bertanggung jawab atas perbuatan manager itu.
Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian maka pemberi
delegasi tidak bertanggung jawab atas tindak pidana manager
tersebut.
Secara lebih rinci, prinsip delegasi terkait dengan
mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada
bawahannya atas kuasanya bertindak untuk dan atas namanya tetap
harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan pemberi
delegasi apabila ia melakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh bawahannya itu. Scanlan
dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum telah menentukan
bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alas an pemaaf
bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul
pertanggungjawaban pidana semata-mata karena tindak pidana
tersebut telah dilakukan oleh bawahannya yang telah menerima
pelimpahan wewenang darinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dalam praktik, teori vicarious liability hanya dapat
dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat
hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang
yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari
seorang pegawai profesional, perwakilan atau kuasa dari suatu
korporasi, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan
subordinasi tersebut, yaitu apakah hubungan ini merupakan
hubungan yang cukup memadai untuk dapat
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh
bawahannya itu kepada pemberi kerja. Lebih lanjut, harus dapat
dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang
bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam
melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya
apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab
pidana atas perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat
diketahui dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana itu
memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya.
Bertolak dari doktrin “respondeat superior”. Arti dari
“adagium/maxim” ini ialah:84
“A master is liable in certain cases for the wrongful acts of
his servant, and a principal for those of his agent.”
(Terjemahan : "Seorang guru bertanggung jawab dalam
kasus tertentu untuk tindakan keliru dari pelayannya, dan
utama untuk mereka ulasan dari agennya.")
Merupakan pertanggungjawaban seseorang atas tindakan
atau perbuatan orang lain (Vicarious liability is the responsibility of
one for the acts of another). Teori atau doktrin
pertanggungjawaban pengganti ini semula berasal dari konsep
pemikiran yang berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan
84 Barda Nawawi Arief. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk. Ketiga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 100.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
melawan hukum (the law of tort) yang didasarkan pada doktrin the
respondeat superior. Dalam doktrin ini ada hubungan antara the
master dengan the servant atau antara principal dengan agent.
Menurut teori ini, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan dan kesalahan orang lain. Teori ini umumnya berlaku
terhadap mereka yang mempunyai hubungan antara pelaku riil
dengan orang yang harus bertanggungjawab, seperti buruh dan
majikan dalam suatu korporasi. Oleh karena itu teori Vicarious
Liability ini juga sering disebut the respondeat superior theory.
c) Doktrin pertanggungjawaban yang ketat menurut UU (strict
liability)
Strict liability85 diartikan sebagai suatu tindak pidana
dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku
terhadap satu atau lebih dari actus reus. Strict liability ini
merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without
fault). Dengan substansi yang sama, konsep strict liability
dirumuskan sebagai the nature of strict liability offences is that
they are crimes which do not require any mens rea with regard to
at least one element of their “actus reus” (konsep
petanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk
pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan
adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu
perbuatan).
L.B. Curzon86 mengemukakan tiga alasan mengapa di
dalam strict liability aspek kesalahan tidak perlu dibuktikan.
Pertama, adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya
85 Mahrus Ali, Ibid., hlm.112
86 Mahrus Ali. Ibid., hlm. 113-114
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi
sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang
ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.87 Sedangkan Lord
Pearce sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie berpendapat bahwa
banyak factor yang melatarbelakang pembentuk undang-undang
menetapkan penggunaan strict liability dalam hukum pidana, yaitu
karena: (1) karakteristik dari suatu tindak pidana; (2) pemidanaan
yang diancamkan; (3) ketiadaan sanksi sosial (the absence of social
obluqoy); (4) kerusakan tertentu yang ditimbulkan; (5) cakupan
aktivitas yang dilakukan; dan (6) perumusan ayat-ayat tertentu dan
konteksnya dalam suatu perundang-undangan.
Keenam faktor tersebut menunjukkan bahwa betapa
pentingnya perhatian public (public concern) terhadap perilaku-
perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability agar
keamanan masyarakat (public safety), lingkungan hidup
(environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat
(the economic interest of the public), termasuk perlindungan
konsumen terjaga.
Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana yang
tanpa kesalahan, sering dipersoalkan apakah strict liability sama
dengan absolute liability. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua
pendapat yang saling berbeda. Pendapat pertama yang menyatakan
bahwa strict liability merupakan absolute liability, sedangkan
pendapat yang kedua menyatakan bahwa strict liability berbeda
dengan absolute liability. Alasan atau dasar pikiran yang
menyatakan bahwa strict liability sama dengan absolute liability
adalah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana yang
87 Mahrus Ali. Ibid., hlm. 115.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
dirumuskan dalam undang-undang, sudah bisa dipidana tanpa perlu
mempersoalkan apakah pembuat mempunyai kesalahan (mens rea)
atau tidak. Sebaliknya, pendapat yang menyatakan strict liability
bukan absolute liability adalah bahwa meskipun terdapat orang
yang telah perbuatan yang terlarang sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang, orang tersebut belum tentu dipidana.
Kritik terhadap pendapat yang kedua (strict liability bukan
absolute liability) dikemukakan oleh Smith dan Hogan dengan
mengajukan dua alasan sebagai berikut :
1) Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara
strict liability, jika tidak ada mens rea yang perlu
dibuktikan sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus
yang bersangkutan. Unsur utama ini biasanya merupakan
salah satu ciri, tetapi sama sekali tidak berarti mens rea
tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada
untuk tindak pidana. Smith dan Hogan mengajukan
contoh: A dituduh melakukan tindak pidana “menjual
daging yang tidak layak untuk dimakan” karena dapat
membahayakan kesehatan dan/atau jiwa orang lain.
Perbuatan ini, di Inggris, termasuk tindak pidana yang
dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability. Dalam
kasus ini, tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui
daging itu tidak layak dikonsumsi, tetapi tetap harus
dibuktikan bahwa A sekurang-kurangnya memang meng-
hendaki (sengaja) menjual daging itu. Jadi, dalam kasus
ini, strict liability tidak bersifat absolut.
2) Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat
diajukan alasan pembelaan mengenai particular act yang
dinyatakan terlarang menurut undang-undang. Misalnya:
dalam kasus mengendarai kendaraan yang membahayakan,
dapat diajukan alas an pembelaan di mana dalam mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kendaraan itu, ia berada dalam keadaan otomatis. Dalam
kasus ini pun, strict liability bukan absolute liability.
Terlepas dari perbedaan pandangan ahli terkait sama atau
tidaknya strict liability dengan absolute liability, penerapan teori
strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan
terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan
strict liability, dikemukakan beberapa patokan, antara lain:
1) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana,
tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama mengenai
kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial.
2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang
sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan
hukum dan kepatutan.
3) Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang
karena di-kategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang
sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan,
keselamatan, dan moral publik.
4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan
dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang
sangat wajar.
3. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptie”88 atau
“corruptus”89 selanjutnya kata corruptio berasal dari kata corrumpore
(suatu kata Latin yang tua). Dari bahasa Latin inilah yang kemudian
diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt;
Perancis: corruption; Belanda: corruptive (korruptie).90 Dalam
ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari Latin corruptio =
penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat
88 Foklema Andeae dalam IGM Nurdjana. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten
Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, ctk. Pertama. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hlm. 1.
89 Webster Dictionary dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
90 Andi Hamzah dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya.91
Kompleksitas dari korupsi bisa dilihat dari pengertian korupsi itu
sendiri. Bambang Poernomo memberikan gambaran korupsi sebagai :92
1) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung atau diketahui atau
patut disangka dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dengan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau
kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3) Kejahatan tertentu dalam KUHP yang menyangkut kekuasaan
umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau pemerasan
yang berhubungan dengan jabatan.
4) Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat
pada jabatan atau kedudukannya.
5) Tidak melapor setelah menerima pemberian atau janji kepada
yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa
alasan yang wajar sehubungan dengan kejahatan jabatan.
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:93
1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral,
kebejatan dan ketidak jujuran.94
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.95
3) Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan
yang bersifat buruk; -Perilaku yang jahat dan tercela,
atau kebejatan moral; - Penyuapan dan bentuk-bentuk
ketidakjujuran; - Sesuatu yang dikorup, seperti kata
yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu
kalimat; - Pengaruh-pengaruh yang korup.96
91 Ensiklopedia Indonesia dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
92 Edi Setiadi dan Rena Yulia Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010, hlm. 70.
93 Lilik Mulyadi dalam IGM Nurdjana, Op. Cit., hlm. 1.
94 S. Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminta dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
95 W.J.S. Poerwadarminta dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
96 Soedjono Dirjosisworo dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Transparency International memberikan definisi tentang korupsi
sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik
untuk keuntungan pribadi.97
Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian
korupsi, yaitu:98
1) Menyalahgunakan kekuasaan;
2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik
maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau
keuntungan materi;
3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi
orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota
keluarganya dan teman-temannya).
Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan
David J. Olson sebagaimana dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo
antara lain:99
1) Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar
Dikemukakan oleh Jacob Van Klaveren yang
mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri)
yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai
perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya diusahakan
pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
2) Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan
M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat
pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang
dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang
bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal
seharusnya tidak boleh melakukan hal demikian selama
menjalankan tugasnya. Berbeda dari Mullan, J.S. Nye
berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran
instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga,
golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi,
97 J. Pope dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
98 Focus Andrea sebagaimana dikutip Prodjohamidjojo dan dikutip dalam IGM Nurdjana,
Ibid., hlm. 1.
99 IGM Nurdjana dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau
mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.
3) Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum.
Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi
dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang
berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang
pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam
hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang;
membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa
saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-
benar membahayakan kepentingan umum.
4) Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi
Makna korupsi secara sosiologis dapat dilihat dari
makna korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeh
Hussein Alatas yang mengatakan bahwa: “Seperti halnya
dengan semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat
dirumuskan dalam satu kalimat saja. Yang mungkin ialah
membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala
tersebut agar kita dapat memisahkannya dari gejala lain yang
bukan korupsi. Korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan
untuk kepentingan pribadi.”100
Menurut Syed Husein Alatas, guru besar Universitas Singapura,
menyebutkan terdapat 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi,
yaitu:101
1) Korupsi Transaktif (Transactive Corruption), jenis korupsi
yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak
pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepada kedua
belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya
keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis
dengan pemerintah.
2) Korupsi Perkerabatan (Nepotistic Corruption), yang
menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk
berbagai keuntungan bagi teman atau sanak family dan kroni-
kroninya.
3) Korupsi yang Memeras (Extortive Corruption), adalah
korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasanya
disertai ancaman, terror, penekanan (pressure) terhadap
kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya.
100 Syed Hussien Alatas dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 14-15.
101 M. W. Kusumah dalam IGM Nurdjana, Ibid., hlm. 23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
4) Korupsi Investif (Investive Corruption), adalah memberikan
suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi
keuntungan di masa depan.
5) Korupsi Defensif (Defensive Corruption), adalah pihak yang
akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk
ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan
korupsi.
6) Korupsi Otogenik (Outogenik Corruption), yaitu korupsi
yang dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang
lain atau pihak lain yang terlibat.
7) Korupsi Suportif (Supportive Corruption), adalah korupsi
dukungan (support) dan tidak ada orang atau pihak lainyang
terlibat.
4. Korporasi
a. Sejarah Lahirnya Korporasi
Korporasi berdiri dari percampuran konsep tanggung jawab
terbatas dan entitas mandiri dari simbol kejayaan civil law. Konsep
korporasi telah lahir semenjak abad ke-17 diperkenalkan oleh Adam
Smith sebagai badan usaha yang mengkhususkan diri pada bidang
perekonomian di mana kondisi harga ditentukan sendiri berdasarkan
supply and demand rule, serta memisahkan negara dari tugasnya
untuk memfasilitasi sistem ekonomi.102 Secara internasional, bentuk
usaha pertama adalah British East India Company (BEIC), Dutch
East Indies Company (DEIC), Hudson Bay Company (HBC), dan
Veereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Akan tetapi saat ini
tujuan korporasi tidak sejalan dengan konsep korporasi yang
diungkapkan oleh Adam Smith lagi, sekarang tujuan korporasi sudah
beralih menjadi tidak terpisah dari tujuan negara. Hal ini dikarenakan
karena masa lalu merupakan masa kolonialisme di mana
102 Adam Smith, An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nation dalam
Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Op. Cit., hlm. 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
international economic entity yang merepresentasikan kepentingan
negara asalnya. Sebagai contoh VOC representasi negara Belanda,
dan BEIC representasi negara Inggris.103
b. Pengertian Korporasi
Penggunaan istilah “korporasi” merupakan sebutan yang
lazim dipergunakan dalam kalangan pakar hukum pidana untuk
menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain,
khususnya dalam bidang hukum perdata yang disebut dengan “badan
hukum” (rechtspersoon) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
legal entities atau corporation, bahasa Jerman disebut corporation,
dan bahasa Belanda disebut corporatie104 yang berasal dari kata
corporation dalam bahasa Latin. Korporasi berasal dari kata
“corporation”, dari kata kerja corporare. Corporare sendiri berasal
dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang berarti memberikan
badan atau membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti
hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan
yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi
menurut alam. Dalam buku lain, penulis menemukan bahwa apabila
berbicara tentang korporasi, maka tidak bisa melepaskan pengertian
tersebut dari bidang hukum perdata. Korporasi adalah suatu badan
hasil cipta hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus,
yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur
animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh
103 Indra Surya, Transaksi Benturan Kepentingan di Pasar Modal dalam Freddy Harris
dan Teddy Anggoro, Ibid., hlm. 13.
104 Rudhy Prasetya, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah pada
Seminar Nasional: Kejahatan Korporasi, yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 1989, hlm. 2 dalam Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Berikut Studi Kasus), ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 25.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali
penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.
Korporasi sering pula disebut sebagai legal entities atau
rechtsperson dengan maksud untuk menjelaskan bahwa badan
tersebut memiliki identitas hukum yang memiliki kekayaan serta hak
dan kewajiban yang terpisah dari anggota-anggotanya. Secara umum
terminologi korporasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Merupakan subjek hukum yang memiliki kedudukan
hukum khusus.
2. Memiliki jangka waktu hidup tidak terbatas.
3. Memperoleh kekuasaan dari negara untuk melakukan
kegiatan bisnis tertentu.
4. Dimiliki oleh pemegang saham.
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian
korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Alan R. Palmiter memberikan definisi korporasi sebagai
berikut:
What is a “corporation” ? It is a framework by which
people conduct modern business. It is a convenient legal
entity that can enter into contracts, own property, and be a
party in court. It comes in assorted sizes, from a publicly
held multinational conglomerate to a one-person business.
The corporation is a creature of law – a legal construct.
Nobody (not even your law professor) has even seen one.105
(Terjemahan : Apakah korporasi itu ? Korporasi merupakan
kerangka yang memungkinkan orang melakukan bisnis
modern. Korporasi merupakan entitas hukum yang sesuai
dan dapat mengadakan kontrak, memiliki kekayaan, dan
menjadi pihak di pengadilan. Korporasi dapat muncul
dalam berbagai ukuran, dari bersifat publik dalam bentuk
konglomerat multinasional sampai bisnis orang-perorangan.
105 Alan R. Palmiter, Corporations, Sixth Edition, Austin: Wolters Kluwer, 2009: 3 oleh
Tjandra Sridjaja Pradjonggo dalam Jurnal Yustisia Edisi 80 Mei - Agustus 2010, hlm. 71.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Korporasi tersebut merupakan suatu ciptaan hukum-
konstruk hukum. Tidak seorang pun pernah melihatnya.)
Marshall B. Clinard, dkk, mendefinisikan bahwa “ A
corporation is a legal entity that allows a business to use the
capital provided by individuals called shareholders or
stockholders.”106
(Terjemahan : korporasi adalah entitas atau badan hukum yang
memungkinkan suatu bisnis menggunakan modal yang diberikan
oleh individu-individu yang disebut pemegang saham.)
J.C. Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi
sebagai:
A corporation is a legal person but it has no physical
existence and cannot, therefore, act or form an intention of
any kind except through its directors or servants. As each
director or servant is also a legal person quite distinct from
the corporation, it follows that a corporation’s legal
liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thinking
is epitomizes in the catchphrase “Corporations don’t
commit crimes”; people do.107
Korporasi adalah badan hukum tetapi tidak memiliki
keberadaan fisik dan tidak bisa , oleh karena itu , bertindak atau
membentuk niat apapun kecuali melalui direksi atau pegawai .
Karena setiap direktur atau hamba juga suatu badan hukum
sangat berbeda dari korporasi , berarti kewajiban hukum
korporasi semua , dalam arti, perwakilan . Garis pemikiran ini
melambangkan dalam slogannya " Perusahaan tidak melakukan
kejahatan " ; orang melakukan
(Terjemahan : korporasi adalah badan hukum yang tidak
memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau
memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau
karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan
entitas hukum yang berbeda dengan korporasi, karena
106 Marshall B. Clinard sebagaimana dikutip Joseph F. Sheley, 1987, Exploring Crime
Reading in Criminology and Criminal Justice, Belmont California: Wadsworth Publishing oleh
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Ibid., hlm. 71-72.
107 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Ibid., hlm. 73.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah
melalui pertanggungjawaban pengganti. Pemikiran ini
berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan,
tapi orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasilah yang bisa melakukan kejahatan.)
Menurut Meijers, badan hukum meliputi sesuatu yang
menjadi pendukung hak dan kewajiban. Ia menambahkan bahwa
badan hukum itu merupakan suatu realitas konkret, riil, walaupun
tidak dapat diraba, bukan khayal, atau merupakan suatu
juridische realiteit (kenyataan yuridis). Logemann, menyebutkan
badan hukum sebagai suatu personifikasi atau perwujudan
(bestendigheid) hak dan kewajiban. Sementara itu, E. Utrecht,
menyatakan badan hukum adalah badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya, ia
menjelaskan bahwa badan hukum itu adalah setiap pendukung
hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.
Terkait dengan pemikiran bahwa korporasi tidak bisa
melakukan tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu,
Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu
perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang
merupakan pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-
hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggungjawabkan.
Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus
dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak
itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas
pertanggunggugatan korporasi.
M. Arief Amrullah dengan mengutip pendapat Utrech
menyatakan bahwa badan hukum adalah badan yang menurut
hukum berwenang menjadi pendukung hak, atau setiap
pendukung hak yang tidak berjiwa. Sedangkan Soeroso
mendefinisikan badan hukum sebagai suatu perkumpulan orang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
orang yang mengadakan kerja sama dan merupakan satu kesatuan
yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum. Wirjono Prodjodikoro mengartikan badan hukum adalah
suatu badan yang selain manusia perorangan, juga dapat
bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-
kewajiban dan kepentingan-kepentingan terhadap orang lain atau
badan lain. Alasan memasukkan korporasi sebagai badan hukum
karena memiliki unsur-unsur:
a) Mempunyai harta sendiri yang terpisah;
b) Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu
tujuan di mana kekayaan terpisah itu diperuntukkan;
dan
c) Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya.
Namun, bila pembahasan badan hukum dipersempit
menjadi perseroan terbatas, terdapat ciri-ciri penting yang melekat
pada entitas tersebut, yaitu:
a) Personalitas hukum (legal personality).
b) Terbatasnya tanggung jawab (limited liability).
c) Adanya saham yang dapat dialihkan (transferable
shares).
d) Pendelegasian manajemen.
e) Kepemilikan investor.
c. Teori Dasar Dalam Menentukan Korporasi Sebagai Subyek
Hukum Pidana
A.L.J. van Strien mengemukakan tiga teori dasar dalam
menentukan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum
pidana, ialah:
1) Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J.
Remmelink, yang berpendapat bahwa hukum pidana
memandang manusia sebagai makhluk rasional dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
bersusila (redelijk zedelijk wezen). Pernyataan dari
Remmelink harus diperhatikan terbatas pada hukum
pidana komunal, yang memerlukan unsur kesalahan
dalam pemidanaan dalam arti menuntut adanya aspek
kejiwaan asli yang ada pada diri manusia alamiah.
2) Pendekatan yang bertendensi “sosiologis” dari J. Ter
Heide, di mana yang menjadi pokok perhatian bukanlah
manusia tetapi tindakan (berkaitan dengan ini Ter Heide
menyebutnya sebagai hukum pidana yang dilepaskan
dari manusia – ontmenseljik strafrecht). Jika dahulu
karena pengaruh “psikologisme, biologisme,
3) Wawasan dari A.C.’t Hart, di mana pengertian “subyek
hukum” dipandang sebagai pengertian yuridis yang
Contrafaktisch. Contrafaktisch hukum berarti bahwa
konsep-konsep yuridis tidak boleh dimengerti semata-
mata sebagai kenyataan empiris maupun sebagai
gagasan ideal yang secara apriori menetapkan suatu
norma yang berada di atas kenyataan historis sosiologis.
Karena konsep yuridis ini menempati posisi perantara,
maka ia tidak dapat dipandang sebagai bagian kedua
pengertian tersebut, namun condong sebagai lawan dari
keduanya. Bukan saja dalam posisi terisolasi, namun
terlebih dalam saling keterkaitannya menurut struktur
pengertian dan logikanya sendiri-konsep yuridis, dengan
demikian, terhadap berbagai cara interpretasi lain.
Dengan cara ini, konsep yuridis memberikan pada
individu ruang gerak untuk membela diri atau
menentang tidak saja individu lain yang berada dalam
wawasan hidup/kenyataan itu sendiri.
d. Sanksi Pada Korporasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Clinard dan Yeager108 mengemukakan kriteria kapan
seharusnya sanksi pidana diarahkan kepada korporasi:
1) The degree of loss to the public (derajat kerugian
terhadap publik);
2) The level of complicity by high corporate managers
(tingkat keterlibatan oleh jajaran manajer korporasi);
3) The duration of the violation (lamanya tindak pidana);
4) The frequency of the violation by the corporation
(frekuensi tindak pidana oleh korporasi);
5) Evidence of intent to violate (alat bukti yang
dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana);
6) Evidence of extortion, as in bribery cases (alat bukti
pemerasan, semisal dalam kasus-kasus suap);
7) The degree of notoriety engendered by the media
(derajat pengetahuan public tentang hal-hal negatif
yang ditimbulkan pemberitaan media);
8) Precedent in law (yurisprudensi);
9) The history of serious violations by the corporation.
10) Deterrence potential (kemungkinan pencegahan);
11) The degree of corporation evienced by the corporation
(derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh
korporasi).
5. Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas yang dahulu dikenal dengan nama Naamloze
Vennootschap, disingkat NV. Sejarah perubahan dari Naamloze
Vennootschap menjadi Perseroan Terbatas dan disingkat PT, para ahli
tidak dapat menelusuri.109 Istilah Perseroan Terbatas110 terdiri dari dua
108 Muladi dan Dwidja Priyatno. Op. Cit., 109 Rudhi Prasetya dalam Ridwan Khairandy. 2009. Perseroan Terbatas: Doktrin,
Peraturan Perundang Undangan, dan Yurisprudensi (Edisi Revisi), ctk. Kedua. Jogjakarta: Kreasi
Total Media Yogyakarta, hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kata, yaitu Perseroan dan Terbatas. Perseroan berasal dari kata sero yang
diartikan sebagai saham dan Terbatas yang merujuk pada tanggung
jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal
semua saham yang dimilikinya.111
Asal muasal modal PT dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1112
UUPT113.
B. Penelitian Yang Relevan
Tinjauan penelitian yang relevan berisi tinjauan kritis terhadap hasil
penelitian sejenis yang pernah dilakukan, baik penelitian orang lain maupun
penelitian yang pernah dilakukan sendiri. Penelitian yang relevan yang
diketemukan penulis adalah sebagai berikut:
1. Penulisan Skripsi, Brian Purbojati Zakariya. 2015. Harmonisasi Prinsip
Business Judgement Rule Dalam Pengelolaan Persero di Indonesia
110 Perseroan Terbatas yang untuk selanjutnya disebut PT.
111 H.M.N. Purwosutjipto dalam Ridwan Khairandy. Op. Cit., hlm. 1.
112 Pasal 1 angka 1 UUPT, berbunyi :
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Bandingkan dengan definisi Perseroan Terbatas pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 1 angka 1, menyebutkan bahwa :
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya”.
Definisi Perseroan Terbatas dalam kedua peraturan-perundang-undangan di atas memiliki
persamaan, yaitu didirikan berdasarkan perjanjian, kegiatan usaha dilakukan dengan modal dasar
yang terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini
serta peraturan pelaksanaannya. Perbedaan terletak pada unsur persekutuan modal yang disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Undang-Undang lama (Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas)
113 UUPT yang dimaksud ialah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, untuk selanjutnya disebut dengan UUPT. Sebelumnya, Perseroan Terbatas diatur dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
(Studi Kasus Sewa Pesawat Merpati). Fakultas Hukum. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui harmonisasi prinsip Business
Judgment Rule dalam pengelolaan Persero di Indonesia dan bagaimana
penerapan prinsip tersebut dengan studi kasus sewa pesawat Merpati.
Mengambil permasalahan mengenai harmonisasi prinsip Business
Judgement Rule dalam perundang-undangan di Indonesia dan
penerapannya dengan mengambil studi kasus penyewaan Pesawat
Merpati. Kesimpulan yang didapat ialah telah terjadi harmonisasi prinsip
Business Judgment Rule dalam peraturan perundangan-undangan, yang
tertuang dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT. Serta penerapan prinsip
Business Judgment Rule dalam pengelolaan persero di Indonesia belum
berjalan optimal. Menilik dari studi kasus yang penulis pakai yaitu studi
kasus sewa pesawat Merpati, Prinsip Business Judgment Rule tetap
belum bisa melindungi keputusan Direksi yang diambil dengan proses
yang benar.
2. Penulisan Tesis, Rudi Dogar Harahap. 2008. Penerapan Bussiness
Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank yang
Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Sekolah Pasca Sarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Penulisan tesis ini menggambarkan peranan perbankan yang sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian. Namun, apabila dilihat
kecenderungan bank yang sangat ketat dalam menyalurkan kredit pada
akhir-akhir ini sangat tidak kondusif untuk mendorong perekonomian
Indonesia. Salah satu penyebab keadaan ini adalah terjadi ketakutan di
kalangan banker khususnya banker bank-bank milik pemerintah di dalam
menjalankan tugasnya. Padahal bisnis bank sangat rentan terhadap
resiko. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu payung hukum yang
dapat memberikan kelegaan kepada para banker terutama yang
menduduki posisi direksi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas merupakan salah satu jalan keluar yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
memberikan perlindungan hukum kepada para Direksi Perseroan
Terbatas karena telah mengakomodasi prinsip business judgement rule.
Dengan mengambil perumusan masalah mengenai pengelolaan bank
dikaitkan dengan manajemen resiko, batasan penerapan business
judgement rule dalam pengelolaan Perseroan Terbatas oleh Direksi, serta
penerapan prinsip-prinsip business judgement rule dalam
pertanggungjawaban Direktur bank. Kesimpulan yang didapat ialah
Bank memiliki 8 (delapan) resiko yang harus dikelola oleh direksi agar
bank tidak menderita kerugian yang dapat mengerus modal, Prinsip
Business judgement rule hanya dapat digunakan sebagai pembelaan
direksi bila melanggar standar fiduciary duty, judgement rule diterapkan
di industri perbankan dengan mengacu pada peraturan yang terkait
dengan bank, best practice yang berlaku di industri perbankan serta
prinsip kehati-hatian.
3. Penulisan Tesis, Christian Orchard. 2006. Analisis Yuridis Terhadap
Business Judgement Rule Sebagai Wujud Perlindungan Hukum
Terhadap Direksi Suatu Perseroan Terbatas. Sekolah Pasca Sarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Business Judgement Rule adalah salah satu dari beberapa doktrin dalam
hukum perusahaan. Business Judgement Rule dalam pelaksanaannya
adalah untuk melindungi seorang direksi perusahaan dalam mengambil
keputusan. Tetapi dalam mengambil keputusan tersebut tidak ada unsur
kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka
percaya, oleh keadaan yang tepat dan secara rasional serta keputusan
tersebut adalah yang terbaik untuk perusahaan, artinya tidak ada unsur-
unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest),
perbuatan melawan hukum (illegality), ataupun ada konsep kesalahan
yang disengaja (gross negligence).
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas tidak ditemukan pengaturan yang jelas mengenai Business
Judgement Rule namun jika diteliti prinsip “itikad baik” yang dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
dalam Pasal 85 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 adalah
mengandung makna bahwa “jiwa” dari Business Judgement Rule
terdapat dalam undang-undang tersebut.
Perkembangan hukum mengenai Business Judgement Rule ini dalam
sistem hukum Civil Law pada prinsipnya tidak terlalu menonjolkan
standar tertentu, tetapi lebih mendasarinya pada perjanjian-perjanjian
pemberian kuasa di antara para pihak, yang tercermin dalam anggaran
dasar perusahaan. Karena itu seorang direktur haruslah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasarnya. Apabila dia
melakukan tindakan diluar dan atau tidak sesuai dengan batas
kewenangannya yang telah diberikan kepadanya oleh anggaran dasar
maka dia pribadi akan bertanggung jawab secara hukum bukan
perusahaan sebagai pemberi kuasa. Karena sebagai penerima kuasa
direktur tidak boleh bertindak melampaui batas kuasanya.
Business Judgement Rule bagi seorang direksi suatu perseroan terbatas
tidak dapat dilaksanakan jika kebijakan (judgement) dari seorang direksi
tersebut didasarkan pada suatu kecurangan (fraud), menimbulkan
benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum
(illegality), dan ada kelalaian berat (gross negligence) dari anggota
direksi.
Efektivitas dari Business Judgement Rule ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan hukum
perusahaan di Indonesia, karena dengan berlakunya doktrin ini maka
direksi dari suatu perseroan terbatas dapat terlindungi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Korporasi
D
I
R
E
K
S
I
Peninjauan Kembali Kerugian Keuangan Negara
Perusahaan
Terbatas
berbentuk
Persero
(PT PUSRI
PERSERO)
SK Direksi tentang Pengangkatan Ir. Hadianto Eko
Putro (Terdakwa II) selaku Asisten Manager
Pembelian Material Dinas Pembelian Material PT.
PUSRI.
SK Direksi tentang Pengangkatan Ir. Faisal Muaz
(Terdakwa I) selaku Manager Pengadaan PT. PUSRI.
SK Direksi tentang Penyempurnaan Prosedur
Operasional Baku (POB) Pengadaan Barang dan Jasa
pada PT. PUSRI
SK Direksi tentang Penujukan Panitia Lelang
Pengadaan Barang dan Jasa dan Pekerjaan Borongan
PT. PUSRI Sriwijaya
Pengadaan Barang dan Jasa
berupa 2 (dua) buah
Solenoid Valve dan
Thrustor Brake, dengan
sumber dana berasal dari
Alokasi Anggaran Gudang
PT. PUSRI Palembang
tahun 2008 sebesar
21.100,00 Euro atau senilai
dengan Rp. 280.000.000,00
(dua ratus delapan puluh
juta rupiah)
Memenangkan CV. Kuala Simpang dengan harga 14.450
Euro (empat belas ribu empat ratus lima puluh euro) atau
senilai Rp. 210.224.813,50,00 (dua ratus sepuluh juta dua
ratus dua puluh empat ribu delapan ratus tiga belas lima
puluh sen).
Melanggar Pasal 2 dan/atau
Teori
Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi
MANAGER
C. Kerangka Berpikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Keterangan :
Perseroan Terbatas merupakan salah satu bentuk dari korporasi yang
diakui oleh hukum. Penulis mengambil contoh kasus yang terjadi pada PT.
PUSRI Palembang. Perkara ini bermula pada tahun 2008, PT. PUPUK
SRIWIJAYA, yang untuk selanjutnya disebut dengan PT. PUSRI
melaksanakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa berupa 2 (dua) Solenoid Valve
dan Thrustor Brake melalui sumber dana yang berasal dari Alokasi Anggaran
Gudang pada PT. PUSRI Palembang tahun 2008 sebesar 21.100,00 Euro atau
sekitar Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Terdakwa I
dan Terdakwa II memenangkan CV. Kuala Simpang tanpa melakukan
pengecekan harga ke distributor dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II
telah melakukan negoisasi dengan Deddy Zatta selaku Direktur CV. Kuala
Simpang. Ternyata pembelian barang tersebut tidak sesuai dengan permintaan,
tetapi para terdakwa tetap menerima barang yang dikirimkan tanpa
memperhitungkan harga pembelian sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal itu
dikarenakan CV. Kuala Simpang telah menjadi rekanan PT. PUSRI. Atas
perbuatan terdakwa, negara mengalami kerugian sebesar Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang dengan
Nomor 982 / PID.B /2010 / PN. PLG tertanggal 11 Agustus 2011 yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
amarnya menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana
penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2
(dua) bulan. Terdakwa I dan Terdakwa II serta Penuntut Umum mengajukan
banding. Adapun Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Palembang dengan Nomor : 12 / MAHKAMAH AGUNG / 2011 /
2011 / PT. PLG tertanggal 22 Desember 2011 dengan amarnya yang
menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana
penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda
masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) serta
apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan. Para terdakwa mengajukan permohonan kembali dengan
salah satu novum menyebutkan doktrin business judgement rule. Penulis
tertarik meneliti kasus tersebut karena adanya novum doktrin business
judgement rule yang dikaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi, juga dapat ditulis dengan metodologie (Kamus Bahasa
Belanda) artinya ilmu tentang metode-metode. Metodologi (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) berarti ilmu tentang metode. Metodologi dalam arti yang
umum berarti suatu studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip
yang mengarahkan suatu penelitian. Metodologi juga berarti cara ilmiah untuk
mencari kebenaran.114
Metodologi penelitian hukum berarti cara ilmiah untuk mencari dari
kebenaran dari sebuah hukum. Adapun yang dimaksud hukum antara pakar
satu dengan yang lainnya berbeda, sehingga terlebih dahulu perlu meluruskan,
hukum dalam pengertian mana yang akan dipakai.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono, membagi hukum
menjadi 5 (lima) konsep, yaitu:115
114 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm. 3-4.
115 Ibid, hlm. 20.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat
kodrati dan berlaku universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto,
dan tersistematisasi sebagai judge made law;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan,
eksis sebagai variabel sosial yang empirik;
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para
perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
Konsep pertama, kedua, dan ketiga disebut sebagai konsep normatif.
Konsep normatif menggambarkan hukum sebagai norma, baik diidentikkan
sebagai keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma
yang telah diwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah
terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya, dan juga berupa
norma yang merupakan produk dari hakim (judgements) pada waktu hakim itu
memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan kemanfaatan dan
kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara.
Karena setiap norma baik yang berupa asas norma, keadilan, ataupun
yang telah dipositifkan sebagai hukum perundang-undangan maupun
judgemade selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem doktrin atau ajaran,
yaitu ajaran tentang bagaimana hukum harus ditemukan atau dicipta untuk
menyelesaikan suatu perkara, maka setiap penelitian hukum yang
mendasarkan hukum sebagai norma ini disebut sebagai penelitian normatif
yang doktrinal dan metodenya disebut sebagai metode doktrinal.116
Sedangkan konsep keempat dan kelima, hukum digambarkan sebagai
regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam
pengalaman. Hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia
secara aktual dan potensial akan terpola. Setiap perilaku atau aksi itu
merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi
dan empiris, maka penelitian yang mendasarkannya dapat disebut sebagai
116 Ibid., hlm. 21-22.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian yang non
doktrinal dengan metodenya yang disebut dengan metode non doktrinal.117
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan konsep tersebut, pada konsep kesatu, kedua, dan
ketiga merupakan penelitian doktrinal, sedangkan konsep keempat dan
kelima merupakan penelitian non doktrinal.
Soetandyo Wignyosoebroto juga membagi penelitian hukum
menjadi penelitian doktrinal dan non-doktrinal.118
a. Penelitian doktrinal, terdiri dari penelitian yang berupa
usaha inventarisasi hukum positif, dan penelitian yang
berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah
(dogma atau doktrin) hukum positif.
b. Penelitian non-doktrinal, yaitu penelitian berupa studi-studi
empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses
terjadinya dan mengenai proses bekerjanya suatu hukum di
dalam masyarakat.
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam penelitian doktrinal yang
mendasarkan pada konsep hukum kedua dan ketiga.
2. Sifat dan Bentuk Penelitian
Termasuk ke dalam penelitian eksploratif, yang dimaksudkan
apabila pengetahuan tentang suatu gegala yang akan diselidiki masih
kurang sekali atau bahkan tidak ada. Bentuk penelitiannya disebut
penelitian preskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran
117 Ibid., hlm. 22.
118
Anonim. Buku Pedoman Pembimbingan Tesis & Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian & Tesis, Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 2013, hlm. 11.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah
tertentu.
3. Jenis Data
Secara umum, maka di dalam penelitian biasanya dibedakan antara
data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai
perilakunya; data empiris) dan data dari bahan pustaka. Yang diperoleh
langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar dan
yang kedua diberi nama data sekunder.119 Penelitian ini menggunakan
data sekunder.
4. Sumber Data
Di dalam penelitian hukum, dipergunakan pula data sekunder, yang
dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam:120
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat, dan terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
4) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam Perkara Pengadaan
119 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984, hlm. 51.
120 Ibid., hlm. 52.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI
Palembang).
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis
pergunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Buku dan literatur ilmu hukum yang terkait dengan
hukum pidana, lebih khususnya tindak pidana korupsi;
2) Buku dan literatur ilmu hukum yang terkait dengan
hukum perdata, lebih khusus mengenai perseroan
terbatas, BUMN;
3) Artikel-artikel lain yang terkait dengan permasalahan,
baik dari media cetak maupun elektronik.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis pergunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengkaji substansi atau
isi suatu bahan hukum yang berupa buku, peraturan perundang-undangan,
dokumen, dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang penulis teliti.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode deduksi yang berpangkal dari
pengajuan premis mayor (penyataan bersifat umum). Metode deduktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum),
kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu
kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan
Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang
Penelitian hukum ini menggunakan data sekunder yang berupa
Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012
dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT.
PUSRI Palembang.
a. Deskripsi Kasus
Peristiwa ini dimulai pada tanggal 6 Juni 2005 dengan adanya
Surat Keputusan Direksi Nomor : SK/DIR/102/2005 tertanggal 6
Juni 2005 tentang Penyempurnaan Prosedur Operasional Baku
(POB) Pengadaan Barang dan Jasa pada PT. PUSRI dan Surat
Keputusan Direktur Nomor : SK/DIR/20.2008 tentang Penujukan
Panitia Lelang Pengadaan Barang dan Jasa dan Pekerjaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Borongan PT. PUSRI Sriwijaya, yang memutuskan pengadaan jasa
dan pekerjaan pemborongan dilaksanakan melalui tender bersama,
dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa dengan nilai di atas
Rp. 500 juta secara Rush Order, dan pengadaan barang dan jasa
pabrik yang nilainya Rp. 500 juta ke bawah dan untuk non pabrik
yang nilainya di bawah Rp. 1 Milyar, pengadaannya dilakukan
tidak melalui panitia pelelangan tetapi dilakukan oleh unit kerja
pengadaan barang dan jasa yang relevan.
Pada tanggal 30 Maret 2007, dikeluarkan Surat Keputusan
Direksi PT. PUPUK SRIWIJAYA Nomor : SK/DIR/073/2007
tertanggal 30 Maret 2007 yang mengangkat Ir. Hadianto Eko Putro
(Terdakwa II) selaku Asisten Manager Pembelian Material Dinas
Pembelian Material PT. PUSRI.
Pada tanggal 29 November 2007, dikeluarkan Surat Putusan
Direksi PT. PUPUK SRIWIJAYA Nomor : SK/DIR/258/2007
tertanggal 29 November 2007 yang mengangkat Ir. Faisal Muaz
(Terdakwa I) selaku Manager Pengadaan PT. PUSRI.
Pada tahun 2008, PT. PUSRI melaksanakan kegiatan
pengadaan barang/jasa berupa 2 (dua) Solenoid Valve dan Thrustor
Brake, dengan sumber dana berasal dari Alokasi Anggaran Gudang
PT. PUSRI Palembang tahun 2008 sebesar 21.100,00 Euro atau
senilai dengan Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta
rupiah) dengan spesifikasi barang Solenoid Valve Part No. 4
WE6H3XW220.50N Voltage 220-VAC Freq. 50 Hz, 46 VA MFG:
REXROTH HYDRONORMANY GERMANY. Dengan ketentuan
dalam Memo Permintaan Evaluasi (MPE) yang diterbitkan oleh
Asmen Pergudangan, harga pembelian terakhir tahun 2002 sebesar
Rp. 3.992.625,00 (tiga juta sembilan ratus sembilan puluh dua ribu
enam ratus dua puluh lima rupiah). Nilai barang sebesar Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah) berdasarkan Purchase Order (PO)
tidak perlu tender, melainkan Penunjukan Langsung (PL) dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
mengundang rekanan tetap PT. PUSRI, yaitu CV. Vania; CV. Ayu
Fitria Abadi; Halimah; Amanda; A.M.D.; Tanjung Jaya; dan CV.
Kuala Simpang;
Dari tujuh rekanan, terdapat tiga rekanan (CV. Kuala
Simpang, CV. A.M.D., CV. Tanjung Jaya) menjawab klarifikasi
hasil evaluasi teknis yang dilakukan oleh Koordinator Teknik
Keandalan/Tim Evaluasi Teknis yang dinyatakan disarankan dan
layak untuk mengikuti tahapan berikutnya, dengan penawaran CV.
Kuala Simpang dengan nilai penawaran 2 EA EUR 7,225.00
sebesar Rp. 210.224.813,50 (dua ratus sepuluh juta dua ratus dua
puluh empat ribu delapan ratus tiga belas rupiah lima puluh sen),
CV. A.M.D. dengan nilai penawaran 2 EA EUR 7,250.00 sebesar
Rp. 210.952.235,00 (dua ratus sepuluh juta sembilan ratus lima
puluh dua ribu dua ratus tiga puluh lima rupiah), dan CV. Tanjung
Jaya dengan nilai penawaran 2 EA EUR 8,210.00 sebesar Rp.
238.885.220, 60 (dua ratus tiga puluh delapan juta delapan ratus
delapan puluh lima ribu dua ratus dua puluh rupiah enam puluh
sen).
Terdakwa I dan Terdakwa II menentukan pemenang
melakukan tahapan E-Auction/Nego Harga yang sepatutnya harus
diketahuinya bahwa barang yang ditawarkan rekanan (CV. Kuala
Simpang) tidak layak untuk dipakai (karena tidak ada HPS/Pagu
Anggaran), namun tetap dipakai dan CV. Kuala Simpang
dimenangkan dengan harga barang 2 (dua) spare part EA
SOLENOID VALVE PART No. 4 WE6H3XEW220.50N Voltage :
220-VAC, Freq. 50 Hz, 46 VA MFR: Rexroth Hydronorma
Germany seharga 14.450 Euro (empat belas ribu empat ratus lima
puluh euro) atau senilai Rp. 210.224.813,50,00 (dua ratus sepuluh
juta dua ratus dua puluh empat ribu delapan ratus tiga belas lima
puluh sen).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Untuk memenangkan CV. Kuala Simpang, para Terdakwa
tanpa melakukan pengecekan harga distributor untuk menanyakan
kepastian harga satu unit Solenoid Valve dan tidak membuat harga
estimasi dan tidak pula melakukan harga pembanding pembelian
material yang sejenis, melainkan menyetujui saja penawaran yang
diajukan oleh CV. Kuala Simpang karena telah dilakukan negosiasi
harga dengan Deddy Zatta selaku Direktur CV. Kuala Simpang.
Dalam pelaksanaan pengadaan 2 (dua) spare part Solenoid
Valve, CV. Kuala Simpang tidak sesuai dengan permintaan
pembelian speknya, yaitu No. 31289, PR No. 49106, namun oleh
para terdakwa tetap menerima barang yang dikirimkan sebagai
pengganti Solenoid Valve Part No. 4WE6H3W220.50N dengan
Solenoid Valve Part No. 4WE6H6XEW220NK9K4, tanpa
memperhitungkan harga pembelian sesuai dengan diperjanjikan
dan melakukan pembayaran 2 item Solenoid Valve tersebut karena
CV. Kuala Simpang telah menjadi rekanan PT.PUSRI.
Berdasarkan bukti pembelian INVOICE dari PT.
TECHHINDO CONTRAMATRA yang sesuai dengan jenis barang
Solenoid Valve No. 4WE6H6XEW230NK9K4 dengan harga USD
792 atau sekitar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Akibat perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan
negara Cq. PT. PUSRI sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
b. Putusan
1) Putusan Pengadilan Negeri Palembang dengan Nomor perkara :
982/Pid.B/2010/PN.PLG tertanggal 11 Agustus 2011, menyatakan:
a) Menyatakan Terdakwa I Ir. Faisal Muaz dan Terdakwa II Ir.
Hadianto Eko Putro tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
primair;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
b) Membebaskan Terdakwa I dan Terdakwa II dari dakwaan
primair tersebut;
c) Menyatakan Terdakwa I Ir. Faisal Muaz dan Terdakwa II Ir.
Hadianto Eko Putro telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA
BERSAMA-SAMA”;
d) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II,
oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 1
(satu) tahun dan denda masing-masing Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2
(dua) bulan;
e) Menetapkan barang bukti berupa 104 (seratus empat) buah
surat (sebagaimana terlampir) dan uang sebesar Rp.
160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah) dipergunakan
untuk pembayaran:
(1) Uang denda masing-masing terdakwa Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah);
(2) Uang sebesar Rp. 53.350.000,00 (lima puluh tiga juta tiga
ratus lima puluh ribu rupiah) dikembalikan kepada
Jaksa/Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara
Deddy Zatta;
(3) Uang sisanya sebesar Rp. 6.700.000,00 (enam juta tujuh
ratus ribu rupiah) dikembalikan kepada Terdakwa I dan
Terdakwa II;
f) Membebani Terdakwa I dan Terdakwa II untuk membayar
biaya perkara msing-masing sebesar Rp. 3.500,00 (tiga ribu
lima ratus rupiah);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi
Palembang dengan Nomor perkara : 12 / MAHKAMAH AGUNG
/ 2011 / PT.PLG tertanggal 22 Desember 2011, menyatakan:
a) Menerima permintaan banding dari Terdakwa I dan Terdakwa
II serta dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Palembang;
b) Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang tertanggal
11 Agustus 2011 dengan Nomor perkara : 982 / PID.B / 2010 /
PN.PLG yang dimintakan banding tersebut dengan mengubah
dan memperbaiki sekedar mengenai pidana penjara yang
dijatuhkan kepada Terdakwa I dan Terdakwa II serta status
barang bukti, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
(1) Membebaskan Terdakwa I Ir. Faisal Muaz dan Terdakwa II
Ir. Hadianto Eko Putro tersebut di atas tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primair;
(2) Membebaskan Terdakwa I Ir. Faisal Muaz dan Terdakwa II
Ir. Hadianto Eko Putro dari dakwaan primair tersebut;
(3) Menyatakan Terdakwa I Ir. Faisal Muaz dan Terdakwa II Ir.
Hadianto Eko Putro telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI
SECARA BERSAMA-SAMA”;
(4) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I dan Terdakwa II
tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama 1
(satu) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda masing-masing
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
(5) Menyatakan bahwa apabila denda itu tidak dibayar harus
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
(6) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa I
dan Terdakwa II dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan itu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
(a) Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;
(b) Menetapkan barang bukti berupa uang sebesar
Rp.160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah)
sebagiannya yaitu sebesar Rp. 53.325.000,00 (lima
puluh tiga juta tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah)
dikembalikan kepada terdakwa I Ir. Faizal Muaz,
sebagiannya lagi yaitu sebesar Rp. 53.325.000,00
(lima puluh tiga juta tiga ratus dua puluh lima ribu
rupiah) dikembalikan kepada Terdakwa II Ir. Hadianto
Eko Putro dan sebagiannya lagi sebesar Rp.
53.350.000,00 (lima puluh tiga juta tiga ratus lima
puluh ribu rupiah) dikembalikan kepada Penuntut
Umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara
Terdakwa Deddy Zatta dan surat sebanyak 104
(seratus empat) buah dikembalikan kepada Penuntut
Umum untuk dipergunakan sebagai barang bukti
dalam perkara Deddy Zatta;
(c) Membebankan kepada Terdakwa I dan Terdakwa II
untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan
masing-masing Terdakwa sebesar Rp. 5.000,00 (lima
ribu rupiah).
3) Putusan Penunjauan Kembali pada Mahkamah Agung Republik
Indonesian dengan Nomor perkara : 154 PK/PID.SUS/2012
tertanggal 10 Oktober 2012, menyatakan:
a. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan
kembali tersebut tetap berlaku;
b. Membebankan Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para
Terpidana untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Kembali ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah);
2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid
Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan
perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam
melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.121 Dengan
demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau
harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih
dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak adil jika
tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia
sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.122 Sebelum membahas
pertanggungjawaban secara lebih rinci, Widyo Pramono dalam bukunya
yang mengutip Romli Atmasasmita memberikan gambaran concept of
liability sebagai berikut :
Bagan 1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana
121 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta,
2008, hlm. 165. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1983, hlm. 25.
122 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 20-23.
INTENTIONAL ACTION
CONCEPT OF LIABILITY
(philosophical point of view)
AGGRESSION AGREEMENT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
DUTY TO REPAIR INJURY DUTY TO CARRY FORMAL UNDERTAKING
S E B E L U M A B A D 1 9
S E S U D A H A B A D 1 9
Keterangan :
Pertanggungjawaban pidana (toerekenbaarheid-Bld atau criminal
liability-Ing), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-
mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan
umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Perkembangan pesat masyarakat dan teknologi pada abad ke-
21 telah menimbulkan perkembangan terhadap pandangan atau persepsi
masyarakat tentang nilai-nilai kesusilaan umum, walaupun secara prinsipil
nilai-nilai kesusilaan umum tidak mengalami perubahan terutama terhadap
perbuatan-perbuatan seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan atau
kejahatan terhadap jiwa dan badan serta terhadap harta benda.
Perubahan pandangan masyarakat terjadi terhadap perbuatan-
perbuatan yang bersifat pribadi (private conduct) terutama masyarakat
barat mengalami perubahan yang pesat. Berlainan dengan masyarakat
timur khususnya masyarakat di beberapa negara ASEAN yang tidak
1. Changes concept of liability, was put in metaphysical from rather than ethical form.
2. Law was a realization of liberty and existed to bring about the widest possible
individual liberty (the individual liberty = the will in action).
3. The central point in the theory of liability is an abstract individual.
19th CENTURY BASES LIABILITY
LEGAL
TRANSACTION
“implied” (not
assumed a duty)
CULPABLE
CONDUCT
“deemed culpable”
(was not actually
culpable)
The ultimate basis in
WILL
=
THE FUNDAMENTAL CONCEPTION IN
LEGAL LIABILITY
=
THE CONCEPTION OF AN ACT
(ACT = a manifestation of the will in the
external world)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
mengalami banyak perubahan pandangan terhadap nilai-nilai kesusilaan
umum perbuatan-perbuatan yang bersifat pribadi (privat conduct).123
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin
ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea
dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah
kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut
dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind
is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah
yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).124
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan
yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang
ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu. Dasar
adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat
perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban
pidana.125 Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana
yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh
123 Widyo Pramono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, edisi Pertama, ctk.
Pertama, PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm. 78-89. 124 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No.
11 Tahun 1999, hlm. 27.
125 Roeslan Saleh, op. cit., hlm. 75.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan
menolak” suatu perbuatan tertentu.126 Sudarto mengatakan bahwa
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk
penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.127
B. Pembahasan
1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan
Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang
Korupsi menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh semua
kalangan, dari kalangan atas sampai kalangan akar rumput. Korupsi bukan
masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi dalam suatu bangsa
dan negara, karena korupsi telah ada sejak adanya peradaban masyarakat
dari ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia.128 Globalisasi yang berkembang
di semua lini kehidupan juga membawa dampak yang cukup signifikan
bagi adanya perluasan subyek hukum. Apabila dahulu hanya dikenal
manusia (persoon) sebagai subyek dari hukum, maka saat ini korporasi
126 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 68.
127 Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, FH UNDIP,
Semarang, 1988, hlm. 85.
128 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi
Kasus), ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
dapat pula dimasukkan ke dalam subyek hukum. Subyek hukum
merupakan pihak yang memiliki kewenangan terhadap segala hak dan
kewajiban yang diberikan oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum,
baik di dalam pengadilan maupun dalam pergaulan hukum di
masyarakat.129 Subyek hukum merupakan terjemahan dari kata
rechtsubject (Bahasa Belanda), persona moralis (Bahasa Latin) dan dari
kata law of subject atau legal persons (Bahasa Inggris) yang diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum.130
Subyek hukum juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum yang meliputi manusia
(naturlijke person) dan badan hukum (rechtpersoon).131 Pengertian subyek
hukum dari Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa subyek hukum
adalah orang, yaitu pendukung hak dan kewajiban. Orang dalam
pengertian hukum dapat terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum.
Manusia pribadi adalah subyek hukum dalam arti biologis sebagai
makhluk sosial, sedangkan badan hukum adalah subyek hukum dalam arti
yuridis sebagai gejala dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan
badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, memiliki hak dan kewajiban
seperti manusia pribadi.132
Korporasi dikenal dalam hukum perdata maupun hukum pidana.
Korporasi dalam hukum perdata dikenal sebagai badan hukum
(rechtspersoon) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan legal entities
atau corporation, bahasa Jerman disebut corporation, dan bahasa Belanda
129 Dijan Widijowati. Hukum Dagang, Edisi Pertama, Andi, Yogyakarta, 2012, hlm. 13.
130 Titik Triwulan Tutik dalam Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang, Edisi Pertama,
Yogyakarta: Andi, hlm. 13.
131 A. Ridwan Halim dalam Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang, Edisi Pertama,
Yogyakarta: Andi, hlm. 13.
132 Adbdulkadir Muhammad dalam Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang, Edisi
Pertama, Yogyakarta: Andi, hlm. 14.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
disebut corporatie133 yang berasal dari kata corporation dalam bahasa
Latin.
Hukum pidana juga mengakui keberadaan korporasi sebagai
subyek hukum. Secara garis besar apa yang disebut korporasi dalam
hukum perdata sama dengan apa yang disebut korporasi dalam hukum
pidana. Perbedaannya sebagaimana dikemukakan oleh Sutan Remy
Sjahdeini, korporasi dilihat dari bentuk hukumnya dapat diberi arti yang
sempit maupun arti yang luas. Menurut artinya yang sempit, korporasi
adalah badan hukum, sedangkan dalam artinya yang luas, korporasi dapat
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi
merupakan figur hukum yang eksistensinya dan kewenangannya untuk
dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum
perdata, artinya hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi
dan memberikannya “hidup” untuk dapat atau berwenang melakukan
perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya
dengan “matinya” suatu korporasi secara hukum adalah apabila “matinya”
korporasi itu diakui oleh hukum.
Dalam artinya yang luas, pengertian korporasi tersebut dapat dilihat
dari sudut pandang hukum pidana yang lebih luas daripada pengertiannya
menurut hukum perdata. Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik
badan hukum maupun bukan badan hukum. Badan hukum yang
dimaksudkan tersebut bukan saja seperti perseroan terbatas, yayasan,
koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang
digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma,
perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu
133 Rudhy Prasetya, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah pada
Seminar Nasional: Kejahatan Korporasi, yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 1989, hlm. 2 dalam Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Berikut Studi Kasus), ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 25.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan
hukum.
Selanjutnya, sekumpulan orang-orang yang terorganisasi dan
memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan hukum, misalnya melakukan
perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang
dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang
tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi
sesuai dengan hukum perjanjian dalam sistem hukum perdata.
Korporasi berasal dari kata “corporation”, dari kata kerja
corporare. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia =
badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan,
dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang
terjadi menurut alam. Dalam buku lain, penulis menemukan bahwa apabila
berbicara tentang korporasi, maka tidak bisa melepaskan pengertian
tersebut dari bidang hukum perdata. Korporasi adalah suatu badan hasil
cipta hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu
struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang
membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu
merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun
juga ditentukan oleh hukum.
Korporasi sering pula disebut sebagai legal entities atau
rechtsperson dengan maksud untuk menjelaskan bahwa badan tersebut
memiliki identitas hukum yang memiliki kekayaan serta hak dan
kewajiban yang terpisah dari anggota-anggotanya.
Alan R. Palmiter memberikan definisi korporasi sebagai berikut:
What is a “corporation” ? It is a framework by which
people conduct modern business. It is a convenient legal entity
that can enter into contracts, own property, and be a party in
court. It comes in assorted sizes, from a publicly held
multinational conglomerate to a one-person business. The
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
corporation is a creature of law – a legal construct. Nobody (not
even your law professor) has even seen one.134
(Terjemahan : Apakah korporasi itu ? Korporasi merupakan
kerangka yang memungkinkan orang melakukan bisnis modern.
Korporasi merupakan entitas hukum yang sesuai dan dapat
mengadakan kontrak, memiliki kekayaan, dan menjadi pihak di
pengadilan. Korporasi dapat muncul dalam berbagai ukuran, dari
bersifat publik dalam bentuk konglomerat multinasional sampai
bisnis orang-perorangan. Korporasi tersebut merupakan suatu
ciptaan hukum-konstruk hukum. Tidak seorang pun pernah
melihatnya.)
Menurut Meijers, badan hukum meliputi sesuatu yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban. Ia menambahkan bahwa badan hukum itu
merupakan suatu realitas konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan
khayal, atau merupakan suatu juridische realiteit (kenyataan yuridis).
Logemann, menyebutkan badan hukum sebagai suatu personifikasi atau
perwujudan (bestendigheid) hak dan kewajiban. Sementara itu, E. Utrecht,
menyatakan badan hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa
(berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa
badan hukum itu adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau
lebih tepat yang bukan manusia.
Terkait dengan pemikiran bahwa korporasi tidak bisa melakukan
tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu, Chidir Ali
menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap
sebagai orang yang merupakan pembawa hak, dan karenanya dapat
menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat
dipertanggungjawabkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi)
bertindak harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang
bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas
pertanggunggugatan korporasi.
134 Alan R. Palmiter, Corporations, Sixth Edition, Austin: Wolters Kluwer, 2009: 3 oleh
Tjandra Sridjaja Pradjonggo dalam Jurnal Yustisia Edisi 80 Mei - Agustus 2010, hlm. 71.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
M. Arief Amrullah dengan mengutip pendapat Utrech menyatakan
bahwa badan hukum adalah badan yang menurut hukum berwenang
menjadi pendukung hak, atau setiap pendukung hak yang tidak berjiwa.
Sedangkan Soeroso mendefinisikan badan hukum sebagai suatu
perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerja sama dan merupakan
satu kesatuan yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum. Wirjono Prodjodikoro mengartikan badan hukum adalah suatu
badan yang selain manusia perorangan, juga dapat bertindak dalam hukum
dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-
kepentingan terhadap orang lain atau badan lain.
Namun, bila pembahasan badan hukum dipersempit menjadi
perseroan terbatas, terdapat ciri-ciri penting yang melekat pada entitas
tersebut, yaitu:
a. Personalitas hukum (legal personality).
b. Terbatasnya tanggung jawab (limited liability).
c. Adanya saham yang dapat dialihkan (transferable shares).
d. Pendelegasian manajemen.
e. Kepemilikan investor.
Pengakuan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dalam
peraturan perundang-undangan ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dalam Pasal 1 angka 1. Perbedaan definisi tersebut dapat
disajikan sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas, mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai :
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah
badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai :
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seliruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Pengertian badan hukum menurut Meijers adalah sesuatu yang
menjadi pendukung hak dan kewajiban. Menurutnya, badan hukum itu
merupakan suatu realitas atau kenyataan yuridis (yuridische realiteit),
konkret, dan riil, walaupun tidak bisa diraba.
Dari uraian di atas, maka Perseroan Terbatas dapat digolongkan ke
dalam subyek hukum dan merupakan suatu korporasi dalam arti luas.
Perseroan Terbatas sebagai korporasi, dalam menjalankan usahanya tidak
dapat berdiri sendiri, sehingga memerlukan bantuan organ dalam
menjalankan aktivitas perusahaannya.
Pasal 1 butir 2 UUPT secara tegas menyebutkan, bahwa organ
perseroan terdiri atas:
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
Ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh
RUPS dalam suatu perseroan terbatas, sebagai berikut:135
a) RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
b) RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang
bertentangan dengan ketentuan dalam anggaran
dasarnya. Namun demikian, anggaran dasar dapat
diubah oleh RUPS asal memenuhi syarat untuk itu.
c) RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang
bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi
135 Munir Fuady dalam Ridwan Khairandy, Ibid., hlm. 92.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
oleh hukum, yaitu kepentingan stakeholders, seperti
pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor,
masyarakat sekitar, dan sebagainya.
d) RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang
merupakan kewenangan dari direksi dan dewan
komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut
tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini
sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan
residual dari RUPS.
Adapun kewenangan eksklusif RUPS yang diatur UUPT berkaitan
dengan:136
a) Penetapan perubahan anggaran dasar;
b) Pembelian kembali saham oleh perseroan atau
pengalihannya;
c) Penambahan modal perseroan;
d) Pengurangan modal perseroan;
e) Persetujuan rencana kerja tahunan;
f) Pengesahan neraca dan laporan keuangan perseroan;
g) Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan
keuangan serta laporan pengawasan dewan komisaris;
h) Penetapan penggunaan laba;
i) Pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris;
j) Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan; dan
k) Penetapan pembubaran perseroan.
2) Direksi; dan
Kewajiban Direksi yang diatur UUPT, sebagai berikut:137
a) Kewajiban Direksi yang berkaitan dengan Perseroan
136 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
137 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
(1) Mengusahakan pendaftaran akta pendirian atas
akta perubahan anggaran dasar perseroan secara
lengkap;
(2) Mengadakan dan menyimpan daftar pemegang
saham dan daftar khusus yang memuat
keterangan mengenai kepe-milikan saham dari
anggota direksi atau komisaris beserta
keluarganya pada perseroan tersebut atas
perseroan lain;
(3) Mendaftarkan atau mencatat setiap pemindahan
hak atas saham disertai dengan tanggal dan hari
pemindahan hak dalam daftar pemegang saham
atau daftar khusus;
(4) Dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan usaha perseroan;
(5) Menyelenggarakan pembukuan perseroan;
(6) Membuat laporan tahunan dan dokumen
keuangan perseroan;
(7) Memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen
keuangan perseroan;
(8) Direksi atau anggota direksi wajib melaporkan
kepada perseroan mengenai kepemilikan
sahamnya beserta keluarganya pada perseroan
tersebut dan perseroan lain.
b) Kewajiban Direksi yang berkaitan dengan RUPS
(1) Meminta persetujuan RUPS, jika ingin membeli
kembali saham yang telah dikeluarkan;
(2) Meminta persetujuan RUPS, jika perseroan ingin
menambah atau mengurangi besarnya jumlah
modal perseroan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
(3) Menyampaikan laporan tahunan;
(4) Menandatangani laporan tahunan sebelum
disampaikan kepada RUPS;
(5) Menyampaikan laporan secara tertulis tentang
perhitungan tahunan;
(6) Menyelenggarakan panggilan RUPS;
(7) Meminta persetujuan RUPS, jika hendak
melakukan tindakan hukum pengalihan atau
menjadikan jaminan uang atas seluruh atau
sebagian besar asset perseroan;
(8) Menyusun rancangan penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan untuk di-sampaikan kepada
RUPS guna mendapatkan keputusannya; dan
(9) Mengumumkan dalam dua surat kabar harian
tentang rencana penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan perseroan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum panggilan RUPS
dilakukan.
3) Komisaris.
Dalam menjalankan tugasnya, komisaris dalam perseroan
terbatas tunduk pada beberapa prinsip yuridis menurut
ketentuan UUPT. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:138
a) Komisaris merupakan badan pengawas.
Komisaris dimaksudkan sebagai badan pengawas
(badan supervisi). Selain mengawasi tindakan direksi,
komisaris juga mengawasi perseroan secara umum.
b) Komisaris merupakan badan independen.
138 Munir Fuady dalam Ridwan Khairandy, Ibid., hlm. 129.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Seperti halnya dengan direksi dan RUPS, pada
prinsipnya komisaris merupakan badan yang
independen, komisaris tidak tunduk kepada kekuasaan
siapapun dan komisaris melaksanakan tugasnya semata-
mata hanya untuk kepentingan perseroan.
c) Komisaris tidak mempunyai otoritas manajemen (non
executive)
Meskipun komisaris merupakan pengambil
keputusan (decision maker), tetapi pada prinsipnya
komisaris tidak memiliki otoritas manajemen (non
executive). Pihak yang memiliki tugas manajemen atau
eksekutif hanyalah direksi.
d) Komisaris tidak bisa memberikan instruksi yang
mengikat kepada direksi.
Walaupun tugas utama komisaris adalah untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-
tugas direksi, tetapi komisaris tidak berwenang secara
langsung memberikan instruksi-instruksi kepada direksi.
Organ Perseroan Terbatas yang langsung berhubungan dengan
aktivitas perusahaan adalah direksi. Hal ini disebabkan ada dua fungsi dari
direksi.139 Peter Meinhardt dan Nigel Davis menambahkan:
“The business of a company is managed by the board of
directors which has authority to represent the company. The
directors act as agents of the company; their acts bind the
company and, with few exeptions, not the directors personally.
The directors are in fiduciary relationship to the company and
must exercise their powers for benefit of the company. The
directors are not employees of the company as such; a director
may, however, in addition to his directorship, hold a salaried
employment in the company.”
139 Fungsi direksi, yaitu sebagai fungsi manajemen, yang berarti direksi bertugas
memimpin perseroan (Geschaftsfürungsbefugnis) dan fungsi representasi, yang berarti direksi
mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan (Vertretungsmacht). Lihat Munir Fuady dalam
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
ctk. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 163.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
(Terjemahan : “Perusahaan bisnis dikelola oleh dewan direksi
yang memiliki kewenangan untuk mewakili perusahaan. Para
direktur bertindak sebagai agen dari perusahaan; tindakan
mereka mengikat perusahaan dan, dengan beberapa
pengecualian, bukan direksi secara pribadi. Para direktur berada
dalam hubungan fidusia bagi perusahaan dan harus
menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan
perusahaan. Para direktur bukan karyawan dari perusahaan
dengan demikian; Direktur boleh, namun, selain jabatan
direktur, memegang gaji tenaga kerja di perusahaan."
Oleh sebab tugas direksi yang begitu berat, direksi memiliki
perlindungan yang diberikan oleh hukum, antara lain disebut sebagai
doktrin Fiduciary Duty, doktrin Due Care and Loyalty, doktrin Derivative
Suit, doktrin Piercing The Corporate Veil, doktrin Ultra Vires, doktrin
Proper Purpose, dan doktrin Business Judgment Rule.
Tesis ini hanya penulis fokuskan pada doktrin terakhir, yaitu
doktrin Business Judgement Rule. Business judgement rule sebenarnya
mengenai pembagian tanggung jawab di antara perseroan dan organ yang
mengurusnya, terutama direksi, dan pemegang saham manakala terjadi
kerugian yang menimpa perseroan yang disebabkan oleh human error.
Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya
fiduciary duty oleh seorang direksi. Apabila direksi pada saat mengambil
keputusan, telah melakukannya dengan pertimbangan yang matang, penuh
tanggung jawab, maka mengingat suasana bisnis yang penuh
ketidakpastian, seandainya ternyata keputusan tersebut salah, seharusnya
direksi tidak dituntut secara pribadi, karena perseroan juga harus ikut
menanggung kerugian tersebut, ini adalah konsep dasar business judgment
rule.140
Doktrin Putusan Bisnis (Business Judgement Rule) merupakan
suatu doktrin yang mengajarkan bahwa putusan direksi mengenai aktivitas
perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan
140 Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama, Tatanusa,
Jakarta, 2008, hlm. 100.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang
putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Putusan sesuai hukum yang berlaku.
2. Dilakukan dengan itikad baik.
3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose).
4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional
(rasional basis).
5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan
oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.
6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya
(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi
perseroan.141
Doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada direksi, tetapi
masih dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan
dapat melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap putusan dari direksi,
termasuk putusan bisnis yang sudah disetujui oleh rapat umum pemegang
saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai
dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi, tidak untuk menilai
sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.142
Latar belakang diberlakukannya adalah karena di antara semua
pihak dalam perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku direksi, maka
pihak direksilah yang paling berwenang dan paling professional untuk
memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroannya, sementara
jika karena putusan bisnis dari direksi terjadi kerugian bagi perseroan,
sampai batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua
bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan harus
juga menanggung risiko bisnis, termasuk risiko kerugian. Karena itu,
141 Munir Fuady. 2002. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan
Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 197-
198.
142 Munir Fuady. 2002. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan
Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 198.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan
salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena
alasan kerugian perseroan. Direksi tidak dapat dimintakan tanggung
jawabnya hanya karena adanya tindakan yang termasuk ke dalam kategori
miscalculation atau mismanagement.
Menurut ajaran dari doktrin putusan bisnis ini, karena direksi yang
paling berkompeten untuk menjalankan dan memutuskan terhadap bisnis
perusahaan, maka tidak ada 1 (satu) orang lain pun yang berwenang
memberi keputusan tentang bisnis perseroan. Bahkan, pengadilan tidak
boleh melakukan pendapat bandingan (second guess) terhadap putusan
bisnis dari direksi tersebut. Karena itu, gugatan terhadap direksi dalam
hubungannya dengan putusan bisnisnya dengan berdalilkan kelirunya
putusan direksi, sering kali ditolak oleh pengadilan berdasarkan doktrin
putusan bisnis ini, meskipun kepada direksi dibebankan fiduciary duty,
yang membebankan tanggung jawab yang besar kepada pundak direksi.
Dengan demikian, sebenarnya inti dari pemberlakuan doktrin
putusan bisnis adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus
menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang
mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap
masalah-masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut
diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan
mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak direksi.
Paling tidak mereka lebih berpengalaman dari para hakim di pengadilan,
yang sama sekali tidak mengetahui bisnis dan memutuskan hanya
berdasarkan sejumlah petunjuk dan pendapat dari pengacara.
Menurut doktrin putusan bisnis ini, maka jika karena putusan bisnis
dari direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai batas-batas tertentu
masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat
untung. Dengan perkataan lain, perseroan harus juga menanggung risiko
bisnis, termasuk risiko kerugian. Karena itu, direksi tidak dapat dimintakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere
error of judgement).
Toleransi hukum terhadap kesalahan direksi hanya sampai batas-
batas tertentu saja. Artinya, ada kesalahan direksi yang diberikan toleransi,
tetapi ada juga kesalahan direksi yang sama sekali tidak dapat ditoleransi,
dan karenanya kepadanya harus dimintakan pertanggungjawaban hukum.
Dalam literatur hukum perseroan sering disebut-sebut bahwa
kesalahan direksi yang dapat ditoleransi adalah sebagai berikut:
1. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of
judgement).
2. Kesalahan yang jujur (honest mistake, honest error in
judgement).
3. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan
(kecuali jika tidak ada sistem pengawasan yang baik).
Sementara kesalahan-kesalahan direksi yang mesti dimintakan
pertanggungjawabannya adalah:
1. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty.
Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan
(conflict of interest).
2. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due
care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaan atau
kelalaian.
3. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang
bijaksana (prudence).
4. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik.
5. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip tujuan bisnis yang
benar (proper purpose).
6. Kesalahan direksi karena tidak kompeten.
7. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan
yang berlaku.
8. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed).
9. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi
terlalu tergesa-gesa (hasty action).
10. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan
pertimbangan yang rasional.
2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid
Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Kasus pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake dalam
membebankan tanggung jawab kepada manager. Telah disebutkan di atas
bahwa organ perseroan terbatas terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi, dan Komisaris. Direksi bertugas dan bertanggung jawab
sepenuhnya dalam aktivitas perusahaan dalam menjalankan usaha.
Menjadi permasalahan di sini ketika tanggung jawab terhadap pengadaan
Solenoid Valve dan Thrustor Brake malah dibebankan kepada manager.
Pertanggungjawaban Pidana mengenal adanya 3 (tiga) doktrin,
yaitu pertanggungjawaban pidana langsung atau teori identifikasi,
pertanggungjawaban pidana pengganti atau vicarious liability, dan
pertanggunjawaban pidana ketat atau strict liability.
Kasus ini penulis menerapkan doktrin identifikasi. Menurut doktrin
ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan
dipandang sebagai perusahaan itu sendiri.143 Orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan salah satu dapat diidentifikasikan
manager.
Sebagaimana diungkapkan Mahrus Ali mengutip dari H.A. Palmer
dan Henry Palmer dalam bukunya yang berjudul Harris’s Criminal Law,
dan Andrew Weissmann dengan karya “A New Approach To Corporate
Criminal Liability, serta Eric Colvin dalam karya Corporate Personality,
143 Dijelaskan Sue Titus Reid dalam bukunya yang berjudul Criminal Law serta Wayne R
LaFave dan Austin W. Scott Jr dalam bukunya Criminal Law yang dikutip lagi dalam Mahrus Ali,
delik ini dilakukan oleh para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi. Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, ctk. Pertama,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105.
Kedudukan agen di sini tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Lihat : Barda Nawawi Arief dalam Mahrus
Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.
105.
Sue Titus menambahkan syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara
langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan
korporasi. Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2013, hlm. 105.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
mereka membedakan antara corporate criminal liability dan doktrin
identifikasi. Menurutnya corporate criminal liability berhubungan erat
dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan dari agen
tertentu suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi,
dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Teori ini juga
berpandangan bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap
sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Perbuatan dan mens rea para
individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi
kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis
korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.
Dalam teori corporate criminal liability, orang-orang yang identik
dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu
korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief
executice officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level
yang sama dengan kedua pejabat tersebut.144 Sedangkan Yedidia Z. Stern
memperluas cakupan orang-orang yang identik dengan korporasi meliputi
the general meeting, board of directors, managing director, general
manager, chief executive, and possibly individual directors, secretaries,
and shop managers.145 Alasan mereka dimasukkan sebagai identik dengan
korporasi karena korporasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh
manusia. Korporasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan
apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan
bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di
lingkungan korporasi itu hanyalah ada karyawan dan agen yang tidak lebih
dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap
batin atau kehendak perusahaan. Pada pihak lain, direktur atau pejabat
setingkatnya mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak
144 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 106
145 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 107
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
perusahaan dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin mereka
merupakan sikap batin korporasi.146
Terkait dengan orang-orang yang identik dengan korporasi,
terdapat lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kapan
tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dikatakan sebagai
tindakan korporasi, yaitu:147
a) Deskripsi yang samar;
Teori organ yang dibentuk melalui putusan pengadilan
Inggris memilih bersifat hati-hati dengan tidak
mendefinisikan organ ke dalam istilah hukum. Selama
bertahun-tahun, pengadilan Inggris lebih memilih
menggunakan istilah-istilah yang terdapat ilmu kedokteran
dan psikologi untuk mendeskripsikan hubungan antara
korporasi dengan pengurusnya baik secara fisik maupun
non-fisik. Mereka sebenarnya tidak puas dengan istilah-
istilah seperti “very ego and centre”, “directing mind and
will” atau “control centre”. Analogi terhadap istilah-istilah
tersebut adalah istilah “corporate body”, di mana korporasi
tidak dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana serius yang
dilakukan pengurusnya bila tindakan tersebut tidak berasal
dari pikiran korporasi. Kondisi tersebut menyebabkan ahli-
ahli hukum belum mendapatkan perbedaan yang jelas
antara organ dan orang-orang yang hanya sekedar sebagai
pegawai korporasi.
b) Kriteria formal;
146 Ibid., hlm. 107.
147 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 108-109.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Terdapat empat kriteria di dalamnya, yaitu primary
organs test, delegation test, authorized acts test, dan
corporate selection test.
Menurut primary organs test, tanggung jawab pidana
korporasi dijatuhkan hanya pada tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh organ-organ utama, yaitu mereka yang
memiliki kekuasaan menjalankan aktivitas dalam suatu
korporasi berdasarkan dokumen-dokumen resmi dan aturan-
aturan dalam korporasi tersebut. Sedangkan yang dimaksud
dengan organ-organ utama adalah pejabat korporasi yang
dapat bertindak berdasarkan kekuasaan langsung dokumen
resmi dan aturan-aturan korporasi tanpa adanya intervensi
dari tindakan manusia yang lain. Sedangkan berdasarkan
delegation test, yang dimaksud dengan organ adalah orang-
orang yang memiliki kekuasaan atas dasar delegasi yang
termuat dalam dokumen resmi perusahaan. Di dalam
authorized acts test, penentuan organ korporasi adalah
didasarkan pada tindakan orang-orang tertentu suatu
korporasi yang mendapat mandat organ-organ utama. Di
sini yang dipentingkan bukan pada siapa yang melakukan
tindakan itu, tapi apakah tindakan tersebut sudah
mendapatkan mandat dari organ-organ utama korporasi.
Adapun corporate selection test, penentuan organ korporasi
berdasarkan penunjukan langsung dari korporasi, yang
dilakukan tiap periode kepengurusan.
c) Pendekatan pragmatik.
Menurut pendekatan ini, yang termasuk organ-organ
korporasi sehingga tindakan mereka identik dengan
tindakan korporasi adalah “superior agent”, “responsible
agent”, “important official”, “primary agent”, “top
management”, dan “a directive”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
d) Analisis hierarki.
Menurut pendekatan ini, untuk menentukan organ
korporasi adalah didasarkan pada identifikasi orang-orang
yang memiliki posisi penting dalam struktur organisasi di
mana kehendak dan tindakan mereka dianggap sebagai
kehendak dan tindakan korporasi.
e) Analisis fungsi.
Bila analisis hierarki memfokuskan diri pada orang-
orang tertentu yang memiliki posisi tinggi dalam struktur
organisasi untuk menentukan organ korporasi, maka
analisis fungsi lebih menekankan pada aspek-aspek
fungsional perilaku pejabat korporasi. Kriteria ini tentu saja
tidak secara khusus menunjukkan fungsi apa yang membuat
seseorang yang bertindak untuk kepentingan korporasi
dianggap sebagai organ korporasi. yang penting, tindakan
seseorang, terlepas siapakah orangnya, selama tindakan itu
memenuhi aspek fungsional tindakan korporasi, maka
tindakan orang tersebut dianggap sebagai tindakan
korporasi.
Dalam teori corporate criminal liability, keberadaan korporasi
mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban pidana
sehingga tidak bisa disamakan dengan model pertanggungjawaban
pengganti (vicarious liability). Perbedaan ini dapat dilihat pada
pertimbangan putusan pengadilan dalam memutus kasus Tesco
Supermarket Ltd Vs Nattrass, sebagai berikut:148
A living person as a mind which can have knowledge or intention
or be negligent and he has hand to carry out his intention. A
corporation has none of these; it must act through living persons,
through not always one and the same person then the person who
act is not speaking or acting for the company. There is no question
to the company being vicarious liability. He is not acting as a
servent, representatives, agent or delegate. He is an ambodiment of
148 Richard Card, Introduction to Criminal Law dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 110.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
the company, or one could say, he hears and speaks through the
person of the company, within the appropriate sphere, and his
mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that
guilt is the guilt of the company.
(Terjemahan : Seseorang yang hidup sebagai pikiran yang dapat
memiliki pengetahuan atau niat atau lalai dan dia memiliki tangan
untuk melaksanakan niatnya . Sebuah perusahaan memiliki satu
pun dari ini ; harus bertindak melalui orang yang hidup , melalui
tidak selalu satu dan orang yang sama maka orang yang bertindak
tidak berbicara atau bertindak bagi perusahaan . Tidak ada
pertanyaan kepada perusahaan yang vicarious liability . Dia tidak
bertindak sebagai servent , perwakilan , agen atau delegasi . Dia
adalah ambodiment perusahaan, atau orang bisa mengatakan , ia
mendengar dan berbicara melalui orang perusahaan , dalam lingkup
yang sesuai , dan pikirannya adalah pikiran perusahaan. Jika
pikiran bersalah maka rasa bersalah itu adalah kesalahan
perusahaan.)
Jadi, tindakan yang dilakukan individu pada dasrnya bukan
mewakili korporasi, tapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.
Ketika individu tersebut melakukan suatu kesalahan, dengan sendirinya
kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Singkatnya,
kesalahan individu identik dengan kesalahan korporasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan atau pernyataan singkat dan tepat yang
mengarah kepada pembuktian hipotesis yang diajukan. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan penulis, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Doktrin Business Judgement Rule tidak dapat diterapkan dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dalam perkara
Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Palembang dikarenakan doktrin Business Judgement Rule hanya dapat
diberlakukan bagi direksi.
2. Pertanggunggjawaban pidana dalam kasus Pengadaan Solenoid Valve dan
Thrustor Brake dibebankan pada manager sesuai dengan teori identifikasi.
B. Implikasi
Implikasi dapat dijelaskan sebagi konsekuensi logis dari suatu
kesimpulan. Implikasi yang dapat penulis tarik dari kasus tersebut ialah
sebagai berikut :
1. Para terpidana tidak dapat dilindungi dengan doktrin Business Judgement
Rule, sehingga putusan dari majelis hakim peninjauan kembali sudah tepat.
2. Para terpidana selaku yang diberikan kewenangan dari direksi untuk
mengawal proses pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake harus
mempertanggungjawabkan kelalaiannya.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, maka penulis
memberikan saran kepada :
1. Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan), jajaran direksi
BUMN, akademisi, beserta KPK, PPATK dan BPK
a. Diadakannya forum yang mempertemukan aparat penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, advokat, pejabat-pejabat di
instansi pemerintah, jajaran direksi BUMN, KPK, PPATK, BPK,
kepala daerah serta akademisi yang membahas seluk beluk mengenai
proses pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah yang sesuai
dengan kaidah-kaidah yang diatur perundang-undangan yang berlaku.
b. Penandatanganan nota kesepakatan (MoU) antara penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, advokat, pejabat-pejabat di
instansi pemerintah, jajaran direksi BUMN, KPK, PPATK, BPK,
kepala daerah serta akademisi mengenai pedoman-pedoman pengadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
barang dan jasa di lingkungan pemerintah yang bersih, transparan, dan
bebas dari korupsi.
2. Perguruan Tinggi
a. Memperkuat atmosfer pemberantasan tindak pidana korupsi di
lingkungan kampus, yang dapat dilaksanakan dengan cara :
1) Mengadakan seminar-seminar hukum, forum group discussion,
ataupun dapat pula dibentuk kelompok-kelompok kajian anti
korupsi di lingkungan mahasiswa dan dapat dibentuk pula sampai
di tingkat Universitas.
2) Memasukkan pemikiran anti korupsi ke dalam mata kuliah yang
berhubungan erat dengan hal korupsi pengadaan barang dan jasa
pemerintah beserta aplikasinya, seperti mata kuliah hukum pidana,
hukum administrasi negara, dan hukum perdata (bisnis).
3. Advokat
a. Kasus tersebut juga mengidentifikasikan bahwa advokat kurang
memahami doktrin-doktrin dalam hukum bisnis serta penerapannya,
sehingga diperlukan bedah kasus serta kajian-kajian hukum bisnis bagi
advokat dalam yang dapat diselenggarakan oleh ikatan advokat guna
memberikan kesatuan pemikiran dan pemahaman bagi advokat-
advokat, dimana dalam kegiatan itu dapat pula melibatkan para
akademisi di dalamnya, mengingat perkembangan hukum bisnis dan
kejahatan ekonomi yang semakin dinamis dari waktu ke waktu.
4. Presiden, dan DPR
a. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah, karena saat ini
pengadaan barang dan jasa pemerintah hanya diatur melalui Perpres.
b. Merubah Pasal 97 ayat (5) UU PT supaya memperluas ketentuan
penerapan doktrin Business Judgement Rule dengan memasukkan
manager dalam ketentuan tersebut selain direksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung:
Refika Aditama.
Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia, ctk. Keempat,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1 (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan, & Batas Berlakunya Hukum Pidana).
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ade Maman Suherman. 2005. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global (Edisi
Revisi), ctk. Kedua, Bogor: Ghalia Indonesia.
Amiruddin. 2010. Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, ctk. Pertama,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Andi Hamzah. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Anonim. 2013. Buku Pedoman Pembimbingan Tesis & Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian & Tesis, Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum,
Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Barda Nawawi Arief. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk. Ketiga, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
D. Andhi Nirwanto. 2013. Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam
Perspektif Tindak Pidana Korupsi, ctk. Pertama. Semarang: Aneka Ilmu.
Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang, Edisi Pertama, Yogyakarta: Andi.
Edi Setiadi dan Rena Yulia. 2010.Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, ctk.
Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama.
Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua ctk. Keempat, Jakarta:
Sinar Grafika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Freddy Harris dan Teddy Anggoro. 2010. Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban
Pemberitahuan oleh Direksi, Cetakan Pertama, Bogor: Ghalia Indonesia.
Gunarto Suhardi. 2002. Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, ctk.
Pertama. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Hasbullah F. Sjawie. 2013. Direksi Perseroan Terbatas serta
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ctk. Pertama. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Hendra Setiawan Boen. 2008. Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama.
Jakarta: Tatanusa.
I.S. Susanto. 2011. Kriminologi, ctk. Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing.
IGM Nurdjana. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi
Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, ctk. Pertama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2007. Hukum Bisnis Dalam Persepsi
Manusia Modern, ctk. Kedua, Bandung: Refika Aditama.
Johannes Ibrahim. 2013. Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan
Badan Hukum, ctk. Kedua, Bandung: PT. Refika Aditama.
M. Yahya Harahap. 2009. Hukum Perseroan Terbatas, Edisi Pertama, ctk. Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
. 2013. Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Edisi Pertama, ctk.
Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.
Maskun. 2013. Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, ctk. Pertama,
Jakarta: Kencana.
Mien Rukmini. 2006. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga
Rampai), ctk. Pertama, Bandung: PT. Alumni.
Muhammad Junaidi. 2013. Korporasi dan Pembangunan Berkelanjutan, ctk.
Pertama, Bandung: Alfabeta.
Muladi dan Dwija Priyatno. 2013. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi
Revisi), ctk. Keempat. Jakarta: Kencana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Mulhadi. 2010. Hukum Perusahaan, Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia,
ctk. Pertama. Bogor: Ghalia Indonesia.
Munir Fuady. 2002. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan
Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2012. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,
ctk. Pertama, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Pathorang Halim. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang
di Era Globalisasi, ctk. Pertama. Yogyakarta: Total Media.
Ridwan Khairandy. 2009. Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang
Undangan, dan Yurisprudensi (Edisi Revisi), ctk. Kedua. Jogjakarta:
Kreasi Total Media Yogyakarta.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi
Melalui Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, ctk. Pertama,
Jakarta: Sinar Grafika.
Setiono. 2010. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta:
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Setiyono. 2013. Teori-teori dan Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Malang: Bayumedia Publishing.
Soerjono Soekanto 1984. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I, ctk. Kedua Tahun 1990, Semarang: Yayasan
Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP.
Supanto. 2010. Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Edisi
Pertama, ctk. Pertama. PT. Alumni, Bandung.
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti. 2011. Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca
Reformasi, Edisi Pertama, ctk. Pertama, Jakarta: Rajawali Press.
Widyo Pramono. 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, Edisi
Pertama, ctk. Pertama, Bandung: PT. Alumni.
Yusrizal. 2012. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, ctk. Pertama,
Jakarta: PT. Sofmedia.
Skripsi, Tesis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Brian Purbojati Zakariya. 2015. Harmonisasi Prinsip Business Judgement Rule
Dalam Pengelolaan Persero di Indonesia (Studi Kasus Sewa Pesawat
Merpati). Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Christian Orchard. 2006. Analisis Yuridis Terhadap Business Judgement Rule
Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Direksi Suatu Perseroan
Terbatas. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Rudi Dogar Harahap. 2008. Penerapan Bussiness Judgement Rule dalam
Pertanggungjawaban Direksi Bank yang Berbadan Hukum Perseroan
Terbatas. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Jurnal dan Makalah
Amiruddin. “Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa”. Jurnal
Media Hukum Vo. 19 No. 1 Edisi Juni 2012. Laboratorium Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tjandra Sridjaja Pradjonggo. “Alternatif Sanksi Pidana Dalam Kejahatan
Korporasi”. Jurnal Yustisia Edisi 80 Mei – Agustus 2010.
Putusan Peradilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tabel 1. Daftar Barang Bukti pada Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor: 982/PID.B/2010/PN.PLG tanggal 11 Agustus 2011
A. Surat-surat
1.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/258/2007 tentang MUTASI/PENUNJUKAN PEJABAT DI
LINGKUNGAN PT. PUSRI tanggal 29 November 2007 atas nama
FAISAL MUAZ;
2.
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/073/2007 tentang MUTASI/PENUNJUKAN PEJABAT DI
LINGKUNGAN PT. PUSRI tanggal 30 Maret 2007 atas nama IR.
HADIANTO EKO PUTRO;
3. Fotocopy Evaluasi Teknis PP/PO No. 49106 Quotation No. 31289
tanggal 23 Mei 2008;
4.
Surat No. 645/E434.LA/2008 tanggal 21 Mei 2008 dari PT. PUPUK
SRIWIJAYA, Perihal Klarifikasi Evaluasi Teknis PR. 49106 INQ.
31289. (Solenoid Valve dan Thrustor Brake);
5.
Fotocopy Surat No. 2454/M313.LA/2008 tanggal 12 Mei 2008, Perihal
PR-WH-49106; INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor Brake) dari
CV. KUALA SIMPANG;
6.
Surat No. 121-KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal Klarifikasi
Inq. 31289 – PR. 49106 “Solenoid Valve dan Thrustor Brake” No. 121-
KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008 dari CV. Kuala Simpang;
7.
Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 dari PT. PUSRI tanggal 28
April 2008, Perihal PR-49106, INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor
Brake) kepada CV. KUALA SIMPANG;
8. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. TANJUNG JAYA;
9. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. A.M.D.;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
10. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. AYU FITRIA ABADI;
11. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. VANIA;
12. Surat No. 613/Tj/V/2008 tanggal 2 Mei 2008 dari CV. TANJUNG
JAYA;
13. Surat No. 041/V/A.M.D./2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal Klarifikasi
PR No. 49106 Inq. : 31289 dari CV. A.M.D.;
14. Surat No. 045/III/A.M.D./P-08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Inquery
No. 31289, PR No. 49106 dari CV. A.M.D. (berikut lampiran);
15. Spesifikasi Teknis Nomor 373/TJ/III/2008 tanggal 24 Maret 2008 dari
CV. TANJUNG JAYA (berikut lampiran);
16. Surat dari PT. PUSRI No. 0228/M311.2000.LA/2007 tanggal 4 April
2008 perihal Evaluasi Teknis PR No. 49106;
17. Surat No. 431/TJ/IV/2008 tanggal 1 April 2008, Perihal Inq. No. 31289
dan PR No. 49106 “Solenoid Valve” dari CV. TANJUNG JAYA;
18. Surat Garansi No. 319-GR/KSG/XI/2008 tanggal 24 November 2008 dari
CV. KUALA SIMPANG;
19. 1 (satu) berkas Data Perusahaan CV. KUALA SIMPANG;
20. Surat No. 085-TK/KSG/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. KUALA SIMPANG;
21.
Surat BANK GARANSI PENAWARAN No. 365/KAP/III/GT/2008
tanggal 24 Maret 2008 dari BANK SUMSEL atas permintaan dari CV.
KUALA SIMPANG;
22. Surat No. 085-TK/KSG/IV/2008 tanggal 06 Juni 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. KUALA SIMPANG (berikut lampiran);
23. Surat No. 030/A.M.D.-PH/III/08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. AMANDA (berikut lampiran);
24. Surat No. 033/AFA/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Harga dari CV. AYU FITRIA ABADI;
25. Surat No. 070/H5/SPH/III.08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Harga dari CV. Halimah;
26. Tanda Penyetoran dari Bank Sumsel tanggal 19 Maret 2008 atas nama
CV. Halimah;
27. Tanda Penyetoran dari Bank Sumsel tanggal 19 Maret 2008 atas nama
CV. Vania;
28. Surat No. 21/VN-P/III/08/E tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Vania (berikut terlampir);
29. Surat No. 374/TJ/III/2008, Perihal Penawaran Harga dari CV. Tanjung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Jaya;
30. Tanda Penyerahan Partial dari CV. Tanjung Jaya;
31. Fotocopy Surat Bank Garansi Penawaran No. 513/KAP/III/GT/2008
tanggal 19 Maret 2008 atas permintaan dari CV. Tanjung Jaya;
32. Surat No. 030/A.M.D.-PT/III/08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Teknis dari CV. Amanda (berikut lampiran);
33. Surat No. 085A-TK/KSG/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Teknis dari CV. Kuala Simpang (berikut lampiran);
34. Surat No. 070/H5/SPH/III.08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Halimah (berikut lampiran);
35. Surat No. 033/AFA/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Ayu Fitria Abadi (Berikut lampiran);
36. Surat No. 045/III/A.M.D./P-08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Inquery
No. 31289, PR No. 49106 No. 045./III/A.M.D./P-08 dari CV. A.M.D.;
37.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PENAWARAN No.
514/KAP/III/GT/2008 tanggal 19 Maret 2008 atas permintaan dari CV.
A.M.D.;
38. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. TANJUNG JAYA;
39. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada C. A.M.D.;
40. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. VANIA;
41. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. KUALA SIMPANG;
42. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. FITRIA ABADI;
43. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. HALIMAH;
44. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada AV. AMANDA;
45. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. BAROKAH ROMADHONA;
46. Daftar Nama Pengajuan Calon Rekanan Penjual Barang/Jasa 4 LLP 006;
47. Surat PERMINTAAN PEMBELIAN WAREHOUSE STOCK tanggal 27
Februari 2008 dari PT. PUSRI;
48. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. KUALA SIMPANG;
49. Fotocopy TELEFAX dari CV. KUALA SIMPANG;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
50.
Fotocopy PENAWARAN HARGA No. Ref. : 143/TC/Q/III/08 tanggal
24 Maret 2008 dari PT. TECHNINDO CONTROMATRA kepada CV.
KUALA SIMPANG;
51. Fotocopy PURCHASE ORDER No. 209/KSG/VII/2008 tanggal 9 Juli
2008 dari CV. KUALA SIMPANG;
52.
Fotocopy Surat No. 091-BG/KSG/III/2008 tanggal 28 Maret 2008,
Perihal Bank Garansi dari CV. KUALA SIMPANG kepada Bank SUM-
SEL;
53.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PENAWARAN No.
603/KAP/III/GT/2008 tanggal 28 Maret 2008 atas permintaan dari CV.
KUALA SIMPANG;
54.
Fotocopy Surat No. 121-KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal
Klarifikasi Inq. 31289-PR. 49106 “Solenoid Valve dan Thrustor Brake”
dari CV. KUALA SIMPANG kepada PT. PUSRI;
55.
Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
dari PT.kepada CV. KUALA SIMPANG;
56.
Fotocopy No. 313-JP/KSG/XI/2008 tanggal 21 November 2008, Perihal
Jaminan Pelaksanaan (Bank Garansi) dari CV. KUAL SIMPANG kepada
BANK SU-SEL Cabang Palembang;
57.
Fotocopy No. 314-BG/KSG/XI/2008 tanggal 21 November 2008, Perihal
Permohonan Debet Giro dari CV. KUALA SIMPANG kepada BANK
SUM-SELCabang Palembang;
58.
Fotocopy Surat No. 1466/KAP/23/B/SPPBG/2008 tanggal 21 November
2008, Perihal Surat Persetujuan Penerbitan Bank Garansi dari BANK
SUMSEL kepada CV. KUALA SIMPANG (beserta lampiran);
59.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PELAKSANAAN Nomor :
1466/KAP/III/GP/2008 tanggal 21 November 2008 dari BANK
SUMSEL atas permintaan CV. KUALA SIMPANG;
60. Fotocopy Tnda Terima No. 4327 dari PT. PUSRI tanggal 24 November
2008;
61. Fotocopy Order Pembelian dari PT. PUSRI kepad CV. KUALA
SIMPANG;
62. Fotocopy Surat Pengantar Barang dari CV. KUALA SIMPANG berikut
Receiving Report dari PT. PUSRI;
63.
Fotocopy QUALITY CONTROL dari PT. PUSRI Bag.
DEPAERTEMEN PEMELIHARAAN TEKNIK KEANDALAN
PERENCANAAN PEMELIHARAAN;
64. Contoh Copy SURAT GARANSI No. 319-GR/KSG/XI/2008 tanggal 24
November 2008 dari CV. KUALA SIMPANG a.n. DEDDY ZATTA;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
65. Fotocopy SURAT JAMINAN dari CV. KUALA SIMPANG a.n.
DEDDY ZATTA tanggal 24 November 2008;
66. ORDER PEMBELIAN dari PT. PUSRI kepada CV. KUALA
SIMPANG;
67.
Surat No. 700/M311.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal Jaminan
Pelaksanaan (Bank Garansi) dari PT. PUSRI kepada PT. KUALA
SIMPANG;
68.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. TANJUNG JAYA;
69.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. AYU FITRIA ABADI;
70.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. VANIA;
71.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. A.M.D,;
72.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. AMANDA;
73.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. HALIMAH;
74.
Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
dari PT. PUSRI kepada CV. A.M.D.;
75.
Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
dari PT. PUSRI kepada CV. TANJUNG JAYA;
76.
Fotocopy Surat No. 278/6100000.OT/2005 tanggal 24 Oktober 2005,
Perihal Struktur Organisasi Perusahaan dari PT. PUSRI kepada Seluruh
Kakom dan Kadep setingkat (beserta lampiran);
77.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/184/2005 tentang PENYEMPURNAAN STRUKTUR
ORGANISASI PT. PUSRI tanggal 14 Oktober 2005;
78.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI (PERSERO) No.
SK/DIR/102/2005 tentang PENYEMPURNAAN PROSEDUR
OPERASIONAL BAKU (POB) PENGADAAN BARANG DAN JASA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
PT. PUSRI tanggal 6 Juni 2005;
79.
Fotocopy PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) PENGADAAN
BARANG DAN JASA PT. PUSRI TAHUN 2005 (Berikut lampiran
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI No. SK/DIR/102/2005 tanggal 6 Juni
2005;
80. Surat No. 21/VN-P/III/08/E tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Komersil dari CV. VANIA kepada PT. PUSRI;
81.
Surat No. 373/TJ/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Spesifikasi
Teknis dari CV. TANJUNG JAYA kepada PT. PUSRI (beserta
lampiran);
82.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/20/2008 tentang PENUNJUKKAN PANITIA LELANG
PENGADAAN BARANG JASA DAN PEKERJAAN BORONGAN PT.
PUSRI (berikut lampiran);
83. Fotocopy No. 03/A00.OT/2007 tanggal 06 Maret 2007, Petunjuk
Pelaksanaan (JUKLAK);
84. Surat No. 0277/M311.2000.LA/2008 tanggal 02 April 2008, Perihal
Evaluasi Teknis PR No. 49106 dari PT. PUSRI;
85. Surat No. 094-SK/KSG/III/2008 tanggal 31 Maret 2008, Perihal
Penjelasan Solenoid Valve dari CV. Kuala Simpang;
86.
Surat No. 029/III/AMD/2007 tanggal 1 April 2008, Perihal
Pemberitahuan PR No. 49106 Inq No. 31289 dari CV. A.M.D. kepada
PT. PUSRI (beserta lampiran);
87. Berita Acara Pembukaan Penawaran Penunjukan Langsung Pengadaan
pada hari Senin tanggal 24 Maret 2008;
88.
Surat dari PT. PUSRI Bag. DEPARTEMEN LOGISTIK Nomor PP : P
49106 tanggal 5 Maret 2008 kepada Manajer Pengadaan dan Amen
Pembelian Material;
89. Surat No. 2728/M31M.LA/2008 dari PT. PUSRI tanggal 23 Mei 2008,
Perihal Evaluasi Teknis PP/PO No. 49106 Quotation No. 31289;
90.
Surat PERNYATAAN BERSAMA tanggal 06 Juni 2008 yang mewakili
dari PT. PUSRI a.n. Ir. FAISAL MUAZ dengan Rekanan/Supplier CV.
KUALA SIMPANG a.n. DEDDY ZATTA;
91.
Surat KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA REKANAN DENGAN
PT. PUSRI MENGENAI TATA CARA PENAWARAN HARGA
DENGAN MENGGUNAKAN E-AUCTION DARI PR-49106;
92. Surat dari Departemen Pengadaan PT. PUSRI;
93.
Surat No. 512/E434.LA/2008 tanggal 21 April 2008, Perihal Evaluasi
Teknis PR-49106 INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor Brake)
(berikut lampiran);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
94. Surat Pemberitahuan Hasil Konfirmasi Anggaran PT. PUSRI Tahun :
2008 Nomor : 3102/KA/S/2008 tanggal 17 Juni 2008;
95.
Surat dari PT. BOSCH REXROTH Reff No. 17/Pusri-4WE6H/1209
tanggal 17 Desember 2009, Perihal PR No. 58024 (Solenoid Valve
Rexroth 4WE6H3XW220.50N) kepada PT. PUSRI;
96.
Fotocopy Surat No. 329-PP/KSG/XII/2008 tanggal 17 Desember 2008
dari CV. Kuala Simpang, Perihal Permintaan Pembayaran kepada Kadis
Akuntansi Umum Cq. Bagian Verifikasi PT. PUSRI (berikut lampiran);
97.
Fotocopy Pemindahanbukuan ke Rek. CV. Kuala Simpang atas
pembayaran PPN Po No. 35494, Po No. 35494 sesuai surat PT. PUSRI
No. ST-15-808185/197 tanggal 19 Desember 2008 dari Bank Mandiri
kepada PT. PUSRI;
98.
Surat dari Departemen Pengadaan PT. PUSRI tanggal 09 Juni 2008
tentang Surat Permintaan Penawaran Harga yang disiapkan oleh
Perwiranegara, SE.;
99. Kronologis Kasus Solenoid Valve tanggal 12 Mei 2010 tertanda Faisal
Muaz;
100. Uraian Jabatan dari PT. PUSRI;
101. Fotocopy Memo Direksi Nomor : 01/MD/DIRUT/VI/2007 dari DIRUT
PT. PUSRI tanggal 31 Juni 2007;
102.
Fotocopy Surat No. 2111/E430.HK/2008, Perihal Penugasan
Melaksanakan Tugas-2 Koord. Teknik Keandalan dari Manajer
Pemeliharaan PT. PUSRI Agus Andiyani;
103.
Fotocopy Surat No. 1544/M313.LA/2008 tanggal 27 Maret 2008 dari
Dinas Rendal Pengadaan PT. PUSRI, Perihal PR : 49106 ; Inquiry :
31289 kepada Koordinator Teknik Keandalan Pemeliharaan;
104. Lembar Disposisi Surat No. Agenda 124 tanggal 26 Maret 2008 dari PT.
PUSRI, Perihal Solenoid Valve.
B. Uang
Barang bukti berupa uang sebesar Rp. 160.000.000,00 (seratus enam puluh juta
rupiah) dipergunakan untuk pembayaran:
1. Uang denda masing-masing terdakwa sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah);
2. Uang sebesar Rp. 53.350.000,00 (lima puluh tiga juta tiga ratus lima
puluh ribu rupiah) dikembalikan kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk
dipergunakan dalam perkara Deddy Zatta;
3. Uang sisanya sebesar Rp. 6.700.000,00 (enam juta tujuh ratus ribu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
rupiah) dikembalikan kepada Terdakwa I dan Terdakwa II;
Tabel 2. Daftar Barang Bukti pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:
12/TIPIKOR/2011/2011/PT.PLG tanggal 22 Desember 2011
A. Uang
Sebesar Rp. 160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah) sebagiannya
yaitu sebesar Rp. 53.325.000,00 (lima puluh tiga juta tiga ratus dua puluh lima
ribu rupiah) dikembalikan kepada terdakwa I Ir. Faizal Muaz, sebagiannya lagi
yaitu sebesar Rp. 53.325.000,00 (lima puluh tiga juta tiga ratus dua puluh lima
ribu rupiah) dikembalikan kepada Terdakwa II Ir. Hadianto Eko Putro dan
sebagiannya lagi sebesar Rp. 53.350.000,00 (lima puluh tiga juta tiga ratus lima
puluh ribu rupiah) dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan
barang bukti dalam perkara Terdakwa Deddy Zatta;
B. Surat-surat
1.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/258/2007 tentang MUTASI/PENUNJUKAN PEJABAT DI
LINGKUNGAN PT. PUSRI tanggal 29 November 2007 atas nama
FAISAL MUAZ;
2.
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/073/2007 tentang MUTASI/PENUNJUKAN PEJABAT DI
LINGKUNGAN PT. PUSRI tanggal 30 Maret 2007 atas nama IR.
HADIANTO EKO PUTRO;
3. Fotocopy Evaluasi Teknis PP/PO No. 49106 Quotation No. 31289
tanggal 23 Mei 2008;
4.
Surat No. 645/E434.LA/2008 tanggal 21 Mei 2008 dari PT. PUPUK
SRIWIJAYA, Perihal Klarifikasi Evaluasi Teknis PR. 49106 INQ.
31289. (Solenoid Valve dan Thrustor Brake);
5.
Fotocopy Surat No. 2454/M313.LA/2008 tanggal 12 Mei 2008, Perihal
PR-WH-49106; INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor Brake) dari
CV. KUALA SIMPANG;
6. Surat No. 121-KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal Klarifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Inq. 31289 – PR. 49106 “Solenoid Valve dan Thrustor Brake” No. 121-
KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008 dari CV. Kuala Simpang;
7.
Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 dari PT. PUSRI tanggal 28
April 2008, Perihal PR-49106, INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor
Brake) kepada CV. KUALA SIMPANG;
8. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. TANJUNG JAYA;
9. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. A.M.D.;
10. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. AYU FITRIA ABADI;
11. Fotocopy Surat No. 2169M313.LA/2008 tanggal 28 April 2008 kepada
CV. VANIA;
12. Surat No. 613/Tj/V/2008 tanggal 2 Mei 2008 dari CV. TANJUNG
JAYA;
13. Surat No. 041/V/A.M.D./2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal Klarifikasi
PR No. 49106 Inq. : 31289 dari CV. A.M.D.;
14. Surat No. 045/III/A.M.D./P-08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Inquery
No. 31289, PR No. 49106 dari CV. A.M.D. (berikut lampiran);
15. Spesifikasi Teknis Nomor 373/TJ/III/2008 tanggal 24 Maret 2008 dari
CV. TANJUNG JAYA (berikut lampiran);
16. Surat dari PT. PUSRI No. 0228/M311.2000.LA/2007 tanggal 4 April
2008 perihal Evaluasi Teknis PR No. 49106;
17. Surat No. 431/TJ/IV/2008 tanggal 1 April 2008, Perihal Inq. No. 31289
dan PR No. 49106 “Solenoid Valve” dari CV. TANJUNG JAYA;
18. Surat Garansi No. 319-GR/KSG/XI/2008 tanggal 24 November 2008 dari
CV. KUALA SIMPANG;
19. 1 (satu) berkas Data Perusahaan CV. KUALA SIMPANG;
20. Surat No. 085-TK/KSG/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. KUALA SIMPANG;
21.
Surat BANK GARANSI PENAWARAN No. 365/KAP/III/GT/2008
tanggal 24 Maret 2008 dari BANK SUMSEL atas permintaan dari CV.
KUALA SIMPANG;
22. Surat No. 085-TK/KSG/IV/2008 tanggal 06 Juni 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. KUALA SIMPANG (berikut lampiran);
23. Surat No. 030/A.M.D.-PH/III/08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Harga dari CV. AMANDA (berikut lampiran);
24. Surat No. 033/AFA/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Harga dari CV. AYU FITRIA ABADI;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
25. Surat No. 070/H5/SPH/III.08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Harga dari CV. Halimah;
26. Tanda Penyetoran dari Bank Sumsel tanggal 19 Maret 2008 atas nama
CV. Halimah;
27. Tanda Penyetoran dari Bank Sumsel tanggal 19 Maret 2008 atas nama
CV. Vania;
28. Surat No. 21/VN-P/III/08/E tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Vania (berikut terlampir);
29. Surat No. 374/TJ/III/2008, Perihal Penawaran Harga dari CV. Tanjung
Jaya;
30. Tanda Penyerahan Partial dari CV. Tanjung Jaya;
31. Fotocopy Surat Bank Garansi Penawaran No. 513/KAP/III/GT/2008
tanggal 19 Maret 2008 atas permintaan dari CV. Tanjung Jaya;
32. Surat No. 030/A.M.D.-PT/III/08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Teknis dari CV. Amanda (berikut lampiran);
33. Surat No. 085A-TK/KSG/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal
Penawaran Teknis dari CV. Kuala Simpang (berikut lampiran);
34. Surat No. 070/H5/SPH/III.08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Halimah (berikut lampiran);
35. Surat No. 033/AFA/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Teknis dari CV. Ayu Fitria Abadi (Berikut lampiran);
36. Surat No. 045/III/A.M.D./P-08 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Inquery
No. 31289, PR No. 49106 No. 045./III/A.M.D./P-08 dari CV. A.M.D.;
37.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PENAWARAN No.
514/KAP/III/GT/2008 tanggal 19 Maret 2008 atas permintaan dari CV.
A.M.D.;
38. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. TANJUNG JAYA;
39. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada C. A.M.D.;
40. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. VANIA;
41. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. KUALA SIMPANG;
42. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. FITRIA ABADI;
43. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. HALIMAH;
44. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
2008 kepada AV. AMANDA;
45. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. BAROKAH ROMADHONA;
46. Daftar Nama Pengajuan Calon Rekanan Penjual Barang/Jasa 4 LLP 006;
47. Surat PERMINTAAN PEMBELIAN WAREHOUSE STOCK tanggal 27
Februari 2008 dari PT. PUSRI;
48. Surat PERMINTAAN-PENAWARAN dari PT. PUSRI tanggal 10 Maret
2008 kepada CV. KUALA SIMPANG;
49. Fotocopy TELEFAX dari CV. KUALA SIMPANG;
50.
Fotocopy PENAWARAN HARGA No. Ref. : 143/TC/Q/III/08 tanggal
24 Maret 2008 dari PT. TECHNINDO CONTROMATRA kepada CV.
KUALA SIMPANG;
51. Fotocopy PURCHASE ORDER No. 209/KSG/VII/2008 tanggal 9 Juli
2008 dari CV. KUALA SIMPANG;
52.
Fotocopy Surat No. 091-BG/KSG/III/2008 tanggal 28 Maret 2008,
Perihal Bank Garansi dari CV. KUALA SIMPANG kepada Bank SUM-
SEL;
53.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PENAWARAN No.
603/KAP/III/GT/2008 tanggal 28 Maret 2008 atas permintaan dari CV.
KUALA SIMPANG;
54.
Fotocopy Surat No. 121-KL/KSG/V/2008 tanggal 2 Mei 2008, Perihal
Klarifikasi Inq. 31289-PR. 49106 “Solenoid Valve dan Thrustor Brake”
dari CV. KUALA SIMPANG kepada PT. PUSRI;
55.
Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
dari PT.kepada CV. KUALA SIMPANG;
56.
Fotocopy No. 313-JP/KSG/XI/2008 tanggal 21 November 2008, Perihal
Jaminan Pelaksanaan (Bank Garansi) dari CV. KUAL SIMPANG kepada
BANK SU-SEL Cabang Palembang;
57.
Fotocopy No. 314-BG/KSG/XI/2008 tanggal 21 November 2008, Perihal
Permohonan Debet Giro dari CV. KUALA SIMPANG kepada BANK
SUM-SELCabang Palembang;
58.
Fotocopy Surat No. 1466/KAP/23/B/SPPBG/2008 tanggal 21 November
2008, Perihal Surat Persetujuan Penerbitan Bank Garansi dari BANK
SUMSEL kepada CV. KUALA SIMPANG (beserta lampiran);
59.
Fotocopy Surat BANK GARANSI PELAKSANAAN Nomor :
1466/KAP/III/GP/2008 tanggal 21 November 2008 dari BANK
SUMSEL atas permintaan CV. KUALA SIMPANG;
60. Fotocopy Tnda Terima No. 4327 dari PT. PUSRI tanggal 24 November
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
2008;
61. Fotocopy Order Pembelian dari PT. PUSRI kepad CV. KUALA
SIMPANG;
62. Fotocopy Surat Pengantar Barang dari CV. KUALA SIMPANG berikut
Receiving Report dari PT. PUSRI;
63.
Fotocopy QUALITY CONTROL dari PT. PUSRI Bag.
DEPAERTEMEN PEMELIHARAAN TEKNIK KEANDALAN
PERENCANAAN PEMELIHARAAN;
64. Contoh Copy SURAT GARANSI No. 319-GR/KSG/XI/2008 tanggal 24
November 2008 dari CV. KUALA SIMPANG a.n. DEDDY ZATTA;
65. Fotocopy SURAT JAMINAN dari CV. KUALA SIMPANG a.n.
DEDDY ZATTA tanggal 24 November 2008;
66. ORDER PEMBELIAN dari PT. PUSRI kepada CV. KUALA
SIMPANG;
67.
Surat No. 700/M311.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal Jaminan
Pelaksanaan (Bank Garansi) dari PT. PUSRI kepada PT. KUALA
SIMPANG;
68.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. TANJUNG JAYA;
69.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. AYU FITRIA ABADI;
70.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. VANIA;
71.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. A.M.D,;
72.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. AMANDA;
73.
Surat No. 1019/M.310.LA/2008 tanggal 26 Juni 2008, Perihal
PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN TENDER dari PT.
PUSRI kepada CV. HALIMAH;
74.
Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
dari PT. PUSRI kepada CV. A.M.D.;
75. Surat No. 831/M310 0000.LA/2008 tanggal 28 Mei 2008, Perihal
Undangan E-Auction PR No. 49106 Solenoid Valve dan Thrustor Brake
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
dari PT. PUSRI kepada CV. TANJUNG JAYA;
76.
Fotocopy Surat No. 278/6100000.OT/2005 tanggal 24 Oktober 2005,
Perihal Struktur Organisasi Perusahaan dari PT. PUSRI kepada Seluruh
Kakom dan Kadep setingkat (beserta lampiran);
77.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/184/2005 tentang PENYEMPURNAAN STRUKTUR
ORGANISASI PT. PUSRI tanggal 14 Oktober 2005;
78.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI (PERSERO) No.
SK/DIR/102/2005 tentang PENYEMPURNAAN PROSEDUR
OPERASIONAL BAKU (POB) PENGADAAN BARANG DAN JASA
PT. PUSRI tanggal 6 Juni 2005;
79.
Fotocopy PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) PENGADAAN
BARANG DAN JASA PT. PUSRI TAHUN 2005 (Berikut lampiran
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI No. SK/DIR/102/2005 tanggal 6 Juni
2005;
80. Surat No. 21/VN-P/III/08/E tanggal 24 Maret 2008, Perihal Penawaran
Komersil dari CV. VANIA kepada PT. PUSRI;
81.
Surat No. 373/TJ/III/2008 tanggal 24 Maret 2008, Perihal Spesifikasi
Teknis dari CV. TANJUNG JAYA kepada PT. PUSRI (beserta
lampiran);
82.
Fotocopy SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PT. PUSRI Nomor :
SK/DIR/20/2008 tentang PENUNJUKKAN PANITIA LELANG
PENGADAAN BARANG JASA DAN PEKERJAAN BORONGAN PT.
PUSRI (berikut lampiran);
83. Fotocopy No. 03/A00.OT/2007 tanggal 06 Maret 2007, Petunjuk
Pelaksanaan (JUKLAK);
84. Surat No. 0277/M311.2000.LA/2008 tanggal 02 April 2008, Perihal
Evaluasi Teknis PR No. 49106 dari PT. PUSRI;
85. Surat No. 094-SK/KSG/III/2008 tanggal 31 Maret 2008, Perihal
Penjelasan Solenoid Valve dari CV. Kuala Simpang;
86.
Surat No. 029/III/AMD/2007 tanggal 1 April 2008, Perihal
Pemberitahuan PR No. 49106 Inq No. 31289 dari CV. A.M.D. kepada
PT. PUSRI (beserta lampiran);
87. Berita Acara Pembukaan Penawaran Penunjukan Langsung Pengadaan
pada hari Senin tanggal 24 Maret 2008;
88.
Surat dari PT. PUSRI Bag. DEPARTEMEN LOGISTIK Nomor PP : P
49106 tanggal 5 Maret 2008 kepada Manajer Pengadaan dan Amen
Pembelian Material;
89. Surat No. 2728/M31M.LA/2008 dari PT. PUSRI tanggal 23 Mei 2008,
Perihal Evaluasi Teknis PP/PO No. 49106 Quotation No. 31289;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
90.
Surat PERNYATAAN BERSAMA tanggal 06 Juni 2008 yang mewakili
dari PT. PUSRI a.n. Ir. FAISAL MUAZ dengan Rekanan/Supplier CV.
KUALA SIMPANG a.n. DEDDY ZATTA;
91.
Surat KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA REKANAN DENGAN
PT. PUSRI MENGENAI TATA CARA PENAWARAN HARGA
DENGAN MENGGUNAKAN E-AUCTION DARI PR-49106;
92. Surat dari Departemen Pengadaan PT. PUSRI;
93.
Surat No. 512/E434.LA/2008 tanggal 21 April 2008, Perihal Evaluasi
Teknis PR-49106 INQ-31289 (Solenoid Valve dan Thrustor Brake)
(berikut lampiran);
94. Surat Pemberitahuan Hasil Konfirmasi Anggaran PT. PUSRI Tahun :
2008 Nomor : 3102/KA/S/2008 tanggal 17 Juni 2008;
95.
Surat dari PT. BOSCH REXROTH Reff No. 17/Pusri-4WE6H/1209
tanggal 17 Desember 2009, Perihal PR No. 58024 (Solenoid Valve
Rexroth 4WE6H3XW220.50N) kepada PT. PUSRI;
96.
Fotocopy Surat No. 329-PP/KSG/XII/2008 tanggal 17 Desember 2008
dari CV. Kuala Simpang, Perihal Permintaan Pembayaran kepada Kadis
Akuntansi Umum Cq. Bagian Verifikasi PT. PUSRI (berikut lampiran);
97.
Fotocopy Pemindahanbukuan ke Rek. CV. Kuala Simpang atas
pembayaran PPN Po No. 35494, Po No. 35494 sesuai surat PT. PUSRI
No. ST-15-808185/197 tanggal 19 Desember 2008 dari Bank Mandiri
kepada PT. PUSRI;
98.
Surat dari Departemen Pengadaan PT. PUSRI tanggal 09 Juni 2008
tentang Surat Permintaan Penawaran Harga yang disiapkan oleh
Perwiranegara, SE.;
99. Kronologis Kasus Solenoid Valve tanggal 12 Mei 2010 tertanda Faisal
Muaz;
100. Uraian Jabatan dari PT. PUSRI;
101. Fotocopy Memo Direksi Nomor : 01/MD/DIRUT/VI/2007 dari DIRUT
PT. PUSRI tanggal 31 Juni 2007;
102.
Fotocopy Surat No. 2111/E430.HK/2008, Perihal Penugasan
Melaksanakan Tugas-2 Koord. Teknik Keandalan dari Manajer
Pemeliharaan PT. PUSRI Agus Andiyani;
103.
Fotocopy Surat No. 1544/M313.LA/2008 tanggal 27 Maret 2008 dari
Dinas Rendal Pengadaan PT. PUSRI, Perihal PR : 49106 ; Inquiry :
31289 kepada Koordinator Teknik Keandalan Pemeliharaan;
104. Lembar Disposisi Surat No. Agenda 124 tanggal 26 Maret 2008 dari PT.
PUSRI, Perihal Solenoid Valve.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
top related