file · web viewsemiotik pierce. diringkas oleh: joko susilo. semiotika atau ilmu tanda...
TRANSCRIPT
Semiotik PierceDiringkas oleh: Joko Susilo
Semiotika atau ilmu tanda mengandaikan serangkaian asumsi dan konsep yang
memungkinkan kita untuk menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Meski
semiotika mengambil model awal dari bahasa verbal, bahasa verbal hanyalah satu dari sekian
banyak sistem tanda yang ada di muka bumi. Kode morse, etiket, matematika, musik, rambu-
rambu lalu lintas masuk dalam jangkauan ilmu semiotika. Tanda adalah sesuatu yang
merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain (di dalam benak seseorang yang
memikirkan) (Denzin, 2009: 617).
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau
ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan
yang yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna
sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa,
sedangkan bahasa sebeleum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang
mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Lambang-lambang atau
tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi
masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut itu disebut semiotik (Pradopo, 2007: 121).
Pada tulisan saya ini, saya akan berusaha menuliskan dan menafsirkan kembali
tentang cara pandang semiotik sesuai dengan pemikiran Charles Sanders Peirce. Pola
semiotik Pierce ini di rangkum dari buku “Peirce’s Theory of Signs” yang ditulis oleh T. L.
Short dan diterbitkan pada tahun 2007 oleh Cambridge University Press. Di dalam buku
tersebut disebutkan bahwa tujuan dituliskan pemikiran Pierce ini adalah untuk memberikan
pemahaman tentang semitik Pierce, bagi yang tertarik dengan teorinya dan masih mengalami
berbagai kekosongan atau beberapa lobang pengetahuan, karena teori suatu teori adalah
menyimpan dan membedah berbagai permasalahan yang komplek. Dari latar belakang
sampai dengan penafsiran masa depan tentang peran pemikiran ini diharapkan dapat
dikemukakan secara rinci dan mudah dipahami, sehingga pemikiran ini dapat dimanfaatkan
bagi pembedah sastra secara khusus dan seni secara umum. Sebagai penegas atau untuk
membantu menerangkan isi buku Peirce’s Theory of Signs saya mengambil 2 referensi
pendukung yaitu buku Hand Book of Qualitative Research (2009) karya Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, serta buku Pengkajian Puisi (2007) karya Rahmad Djoko Pradopo
1. Kelahiran Peirce
Charles Sanders Peirce lahir tahun 1839 kemudian meninggal
1914, adalah putra Benjamin Peirce, seorang profesor
matematika dan astronomi di Harvard. Benjamin Peirce adalah
matematikawan terkemuka Amerika tokoh utama dalam, atau,
lebih tepatnya salah satu pencipta pemikiran ilmiah di Amerika.
Benjamin Peirce mengakui bahwa Charles Pierce adalah anak
yang jenius dan ia membesarkannya dengan tingkat disiplin
intelektual dan disiplin moral. Meskipun terlatih dalam kimia, Charles Peirce juga mendalami
pentingnya logika matematika (ia membuat kontribusi penting beberapa teori dan praktek
pengukuran). Menurut Pierce dalam tanda-tanda di lingkungan (terutama bahasa tulis)
membutuhkan ketelitian pengamatan yang mendetail bukan sekedar definisi spekulatif;
Peirce did not entertain the very speculative hypothesis, now in vogue, that there is a
language common to all minds – ‘mentalese’ – distinct from the languages people speak
(Short, 2007: 4).
Ketika Pierce memperlakukan tanda-tanda ternyata ia juga terpengaruh oleh Aries
Toteles tentang kata-kata tidak lebih dari ide-ide yang biasanya disebut 'tanda' baik kata lisan
atau tertulis, tanda yang berhubungan dengan tanda atau peristiwa yang lain, suatu tanda
dapat memberi arti pada tanda-tanda yang lain. Sekumpulan tanda menyebabkan orang
memikirkan sesuatu yang lain. Suatu ketika orang mendengar atau membaca kata 'gajah'
maka ia berpikir bahwa bukan tentang itu suara atau tulisan g-a-j-a-h, tetapi langsung
terbayang mamalia besar berwarna abu-abu. Memang dahulu kala pada tradisi filosofis
Aristoteles ketika berbicara tentang kata-kata adalah sebagai tanda-tanda. Selanjutnya jika
pikiran adalah dasarnya lisan dan jika kata-kata adalah tanda-tanda, maka pikiran adalah
tanda-tanda. And there is a philosophical tradition, going back to Aristotle, of talking about
words as being signs. But if thought is essentially verbal and if words are signs, then thoughts
are signs (Short, 2007: 5). Tanda-tanda tersebut terus bergerak mendefinisikan tanda yang
lain.
2. Perkembangan Semeiotic Peirce
Pendefinisian tanda-tanda yang dilakukan Pierce bukan langsung mapan atau matang
namun mengalami perjalanan beberapa waktu, terus menerus mengalami revisi dan yang
akhirnya melahirkan trikotomi-trikotomi. Dalam buku “Peirce’s Theory of Signs” disebutkan
bahwa ketertarikan Pierce tentang tanda dimulai sejak tahun 1865.
1865-1866: Thoughts as Representations (Dari Pikiran Awal Terciptalah
Representasi yang Berkelanjutan)
Pada usia dua puluh lima, ia menyangkal Kant bahwa 'representasi' sebagai
terjemahan dari mentalistik atau roh, representasi adalah bersifat relatif terhadap pikiran
'yang benar-benar bisa mengerti itu. Oleh karena itu ia menyimpulkan: ‘Thus our whole
world – that which we can comprehend – is a world of representations’, that conclusion was
more Kantian than it might have seemed. For it still made the comprehensible world relative
to mind. Buteven without that Kantian or mentalistic gloss, the idea that the world is a world
of representations is idealistic in spirit and in recent years has come to be called ‘semiotic
idealism’ (Short, 2007: 28-29). Seluruh dunia yang kita dapat memahaminya adalah dunia
dari representasi yang tampak, dunia dipahami relatif terhadap pikiran. Semiotik yang
dinyatakan Kant hanya berdasarkan pada mental dan kita akan susah untuk merabanya
dengan panca indera. Pierce berusaha menjadikan tanda-tanda adalah sesuatu yang dapat
didefinisikan secara lahir bukan hanya tersimpan pada mental. Maka dalam pengertian ini
adalah upaya untuk menafsirkan pikiran atau isi mental lainnya sebagai tanda, representasi,
atau presentasi. Pikiran orang yang disampaikan kepada kita akhirnya kita memikirkan lagi,
itulah yang disebut representasi.
Selanjutnya Pierce juga mengatakan Signifikansi bukanlah hubungan langsung tanda
dan objek, melainkan signifikansi tanda dapat ditemukan di penafsir tersebut. Tanda
menandakan objeknya hanya melalui penafsiran tokoh utama, signifikansi bergantung pada
pemikiran yang sudah ada. Tokoh utama (penafsir) menengahi antara tanda dan objek. Peirce
berbicara tentang penafsir menciptakan sebuah ide, dalam memori seseorang, yaitu pada
'alamat' representasi. Dari representasi maka lahirlah signifikansi yang diarahkan di sisi lain
yaitu tokoh kedua (penerimanya). Peristiwa ini akan terus berlangsung tanpa berujung.
1867: The New List (awal ditemukannya konsep tanda triadic)
Pada masa inilah Pierce mulai menemukan konsep tanda ‘triadic’. Pada bulan Mei
1867, Peirce menyampaikan sebuah makalah untuk American Academy of Arts dan Sciences,
tentang 3 kategori tanda yang meliput; 1stness kemudian, 2ndness, dan 3rdness. Ia menulis
bahwa "masing-masing kategori memiliki karakter untuk membenarkan dirinya dengan
pemeriksaan induktif yang akan menghasilkan pemahaman tentang batasan-batasan perkiraan
tanda”.
Dalam makalah tersebut Pierce berusaha menafsirkan ide metafisisnya Kant, namun ia
mewajibkan pengurangan-pengurangan definisi yang bersifat abstrak : ‘metaphysical
deduction’. Maka yang dilakukan adalah kategori metafisis boleh berlaku di dunia sejauh bisa
dialami, diketahui, dan dipahami. ‘New List’ is a, not a keystone’, setelah itu kita masih harus
berfikir dan jangan sampai stepping stone (batu loncatan) ini justru menjadi batu sandungan.
1868-1869Tiga Kesalahan dalam Ajaran Pemikiran-tanda (ada 3 kesalahan yang
dituduhkan pada Pierce)
Pada kalangan ilmuwan (filsafat) ada beberapa kritikan yang ditujukan pada konsep
semiotik Pierce yang utama ada tiga masalah: pertama adalah Pierce dianggap memaksakan
dan memodifikasi kemudian mendoktrin pikiran orang lain yang menafsirkan tanda, dapat
diartikan membatasi pikiran. Setiap insan mempunyai idealis yang mampu berpikirbahkan
sampai kemampuan bawah sadar. Tentang bawah sadar dicontohkan bahwa setiap pikiran-
tanda menafsirkan tanda sebelumnya dan bahwa semua pemikiran tanda tidak bisa dilepaskan
dari konvensi.
Masalah kedua adalah bahwa, jika makna tanda tergantung pada penafsirnya, maka
para interpretants tidak bisa salah. Sebagai tanda menandakan apa yang mereka katakan itu
dimaknakan secara sewenang-wenang. Jika subyektivitas terlalu dominan maka proses
komunikasi akan mati.
Masalah ketiga adalah bahwa jika signifikansi tergantung pada interpretants, aktual
atau potensial semuanya menjadi tanda-tanda. Kita hanyalah bagian dari perputaran
penandaan: circuit of signifikansi. Adapun masalah kesewenang-wenangan adalah pasti bagi
tiap indifidu, namun penafsir yang akan merepresentasikan haruslah berusaha menyadari
lingkungannya, sehingga presentasinya dapat diterima masyarakat.
Peirce menjawab tuduhan itu dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud
melakukan pemaknaan secara sewenang-wenang, Tetapi hasil dari suatu pemikiran
dapat dihubungkan dengan dalam representasi oleh pikiran selanjutnya dan konvensi pastilah
dapat bergerak. Ia juga menyadari bahwa bahwa makna tidak terkandung dalam sesaat tapi
berguna pula bagi masa mendatang seiring lahirnya kebenaran-kebenaran baru.
Dalam buku “Peirce’s Theory of Signs” juga disebutkan bahwa pikiran Pierce sejalan
dengan dekonstruksinya Derida dan pemikiran anarkisme epistemologinya Fayerabend.
Derida menjelaskan “there is a reality beyond play manifests a totalitarian impulse to
impose his arbitrary semiotic constructions, tendentiously named ‘reality’, on others. I would
suggest, to the contrary, that the denial of unambiguous reference is a perfect cover for
someone fearful of facing reality, and that the idea that there is only play invites
totalitarianism. For if there is no reality, then there is no reason why one should not impose
his vision on the rest of us: ‘One view is as good as another, so I’m going to make you accept
mine!’ Truth’s denial leaves a vacuum: the will to power fills it” (Short, 2007: 45). Ada
realitas di luar bermain memanifestasikan dorongan totaliter memaksakan konstruksi
sewenang-wenang terhadap pemahaman semiotik. Derida menguatkan argumenya, bahwa
penolakan referensi yang dianggap sempurna adalah suatu keberanian dalam menghadapi
kenyataan. Karena jika tidak ada realitas, maka tidak ada alasan mengapa seseorang tidak
harus memaksakan visinya pada kita semua: 'Satu pandangan sama baiknya dengan yang lain,
jadi aku akan membuat Anda menerima pandanganku!'. Penolakan Kebenaran tunggal
tersebut dilakukan kemudian mengisinya dengan kreatifitas-kreatifitas yang baru, atau lebih
bervariasi.
Fayerabend adalah tokoh filsafat kontemporer yang menguatkan pola pemikiran
Pierce, dalam anarkime epistemologis, dikatakan bahwa anarkisme politis berarti suatu
perlawanan terhadap segala bentuk kemapanan (kekuasaan, negara, institusi dan ideologi-
ideologi yang menopangnya), dan dengan bijaksana anarkisme epistemologis tidak selalu
punya loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu. Dalam posisi seperti itu
anarkisme epistemologis tidak juga disebut skeptisisme. Tenang ilmu pengetahuan sebaiknya
ilmuan dibiarkan bebas mempelajari sesuatu. Masyarakat juga bebas memilih jenis
pengetahuan yang dianutnya dan tidak dipaksakan kepada mereka. Epistemologis tidak segan
atau malu mempertahankan suatu pandangan yang dianggap sudah basi. Pierce sepaham
dengan filsafat kontemporer dan pemikiran tentang eksistensi setiap keberadaan otak
manusia.
1907: The Last Flaw Corrected
Pada usia 68 tahun Pierce telah memutuskan tentang kesimpulan dari pemikirannya,
akhir dari semiotiknya. Pierce mengatakan bahwa ikon dan indek memang bukan hal mutlak
yang harus ditafsirkan, namun ia tetap menganjurkan totalitas dalam menelaah atau
mengartikan setiap tanda pada suatu obyek.
Consider what effects, which might conceivably have practical bearings, we conceive
the object of our conception to have. Then our conception of these effects is the whole of our
conception of the object (Short, 2007: 58). Pemaknaan menurut Peirce adalah suatu
pertimbangkan tentang apa efek yang dibayangkan dari suatu obyek yang mempunyai simbol.
Setiap simbol memiliki dasaran praktis: kita sebut sebagai konsepsi pada obyek yang ditelaah
segala dampak yang ditimbulkan obyek. Kemudian disusun konsepsi untuk menerangkan
efek; adalah seluruh konsepsi kita tentang objek.
Pierce mengatakan bahwa ikon dan indek memang bukan hal mutlak yang harus
ditafsirkan, namun ia tetap menganjurkan totalitas dalam menelaah atau mengartikan setiap
tanda pada suatu obyek. Untuk memahami makna dalam suatu obyek kita tergantung kepada
konteks, dalam pikiran kita otomatis akan terbayang suatu konteks yang mengelilingi obyek
tersebut. Pemaknaan sangatlah luas dan tidak ada pemaknaan tunggal; maksud Peirce adalah
untuk menunjukkan konsepsi yang merupakan fungsi dari pengetahuan,
bahwa makna tak habis-habisnya, dan bahwa penjelasan yang tidak pernah selesai.
Pemaknaan akan terus berjalan atau berkelanjutan sesuai dengan pengetahuan
masyarakat, Sebagai konsep adalah tanda-tanda, yang konsisten dengan doktrin semeiotic
awal bahwa tanda-tanda yang harus ditafsirkan oleh tanda-tanda, jumlah tanda-tanda bisa
berkembang atau saling berhubungan. Jadi seorang peneliti atau penelaah makna-makna tidak
ada yang bisa dikatakan sebagai penemu makna yang nomor satu.
The real and living logical conclusion is that habit; the verbal formulation merely
expresses it. . . . The concept which is a logical interpretant is only imperfectly so. It partakes
somewhat of the nature of a verbal definition, and is very inferior to the living definition that
grows up in the habit [(5.491) dalam Short, 2007: 57]. Kesimpulan dari suatu penafsiran
terhadap makna sebuah obyek haruslah dicari pemaknaan yang paling logis, peaknaan logis
tersebut yang sementara dianggap paling sempurna. Seiring pendefinisian terhadap segala
aspek kehidupan manusia yang terus berjalan atau berkembang maka akan selalu didapatkan
mekna-makna baru, meskipun secara verbal makna telah ada sebelumnya. Pada tahun 1907
inilah Peirce menyebutkan tentang lingkaran hermeniutik yaitu kata-kata terus meneruskan
menafsirkan kata-kata dan pikiran terus-menerus menafsirkan pikiran. Hal ini terjadi melalui
media yang ada: bahwa kata-kata dan pikiran berhubungan dengan dunia luar diri mereka
sendiri dan mendapatkan benda atau sekitar mana mereka berada.
3. A Taxonomy of Signs
Peirce terkenal dengan penyebutan jenis tanda yang
meliputi: ikon, indeks, simbol. Sejak awal pemikirannya
Pierce selalu konsisten dengan pencarian tentang tanda itu
sendiri dibagi triadically, sebagai monadik, diadik, atau
triadic. Demikian juga tentang tanda dalam kaitannya
dengan objeknya adalah dibagi triadically, dan begitu juga,
apa itu dalam kaitannya dengan penafsir yang demikian
dibagi. Setiap tanda akan menjadi milik masing-masing
dari masing-masing tiga triad. Prinsip-prinsip Pierce
mensyaratkan larangan terhadap kombinasi tanda, karena
pada sampai tahapan berikutnya akan ditemukan karakter dari masing-masih tanda sesuai
dengan posisinya. Seperi pernyataan Peirce sebagai berikut: The principles and analogies of
Phenomenology enable us to describe, in a distant way, what the divisions of triadic relations
must be. But until we have met with their different kinds a posteriori, and have in that way
been led to recognize their importance, the a priori descriptions mean little; – not nothing at
all, but little. Even after we seem to identify the varieties called for a priori with varieties
which the experience of reflection leads us to think important, no slight labor is required to
make sure that the divisions we have found a posteriori are precisely those that have been
predicted a priori. In most cases, we find that they are not precisely identical, owing to the
narrowness of our reflectional experience. It is only after much further arduous analysis that
we are finally able to place in the system the conceptions to which experience has led us
[(EP2:289) dalam Short, 2007: 207-208].
Prinsip-prinsip dan analogi dari Fenomenologi memungkinkan kita untuk
menggambarkan, dengan cara yang luas, tentang tiap hubungan pada konseptriadic. Dalam
kebanyakan kasus, kita menemukan bahwa penafsiran dari suatu simbol atau tanda tidak
selalu sama/tepat atau mempunyai kemiripan pada tiap pengamat, hal itu bisa disebabkan
oleh sempitnya pengalaman atau refleksi tiap pengamat/penelaah, sehingga bisa lahir variasi
yang banyak. Namun setelah dilakukan analisa secara lebih jauh dan sulit kita akhirnya
mampu menempatkan dalam sistem pada konsepsi yang bisa diterima masyarakat, terutama
masyarakat akademik (meskipun seharusnya bisa masyarakat secara umum baik akademis,
seniman, maupun masyarakat dari berbagai bidang profesi).
1. Qualisign, Sinsign, Legisign
A Qualisign is a quality which is a sign. It cannot actually act as a sign until it is
embodied; but the embodiment has nothing to do with its character as a sign.
A Sinsign (where the syllable sin is taken as meaning ‘being only once’, as in single,
simple, Latin semel, etc.) is an actual existent thing or event which is a sign. It can be so only
through its qualities; so that it involves a qualisign, or rather, several qualisigns. But these
qualisigns are of a peculiar kind and only form a sign through being actually embodied.
A Legisign is a law that is a sign. This law is usually established by men. Every
conventional sign is a legisign. It is not a single object, but a general type which, it has been
agreed, shall be significant. Every legisign signifies through an instance of its application,
which may be termed a Replica of it. Thus, the word ‘the’ will usually occur from fifteen to
twenty-five times on a page. It is in all these occurrences one and the same word, the same
legisign. Each single instance is a replica. The replica is a sinsign. Thus, every legisign
requires sinsigns. But these are not ordinary sinsigns, such as are peculiar occurrences that
are regarded as significant. Nor would the replica be significant if it were not for the law
which renders it so [(EP2:291) dalam Short,2007:209 ].
Qualisign adalah kualitas tanda. Hal ini tidak bisa benar-benar bertindak sebagai tanda
sampai diwujudkan, tetapi perwujudan tidak ada hubungannya dengan karakter sebagai tanda.
Qualisign merupakan sesuatu yang mempunyai kulalitas untuk menjadi tanda. Ia belum
berfungsi sebagai tanda sampai ia terbentuk sebagai tanda. Qualisign dapat menjadi tanda
bila Qualisign memperoleh bentuk. Saya contohkan warna pitih dapat menjadi tanda ketika
berfungsi pada bendera putih, atau hati yang putih, seragam putih dan sebagainya. Warna
putih pada awalnya adalah belum berfungsi sebagai tanda.
Sinsign adalah sesuatu yang sudah terbentuk tetapi belum berfungsi sebagai tanda.
Misalnya bendera putih tidak berarti apa-apa ketika masih disimpan oleh tentara yang
berperang, namun berfungsi sebagai tanda ketika dikibarkan di muka musuhnya. Sigsign
dapat terbentuk dari beberapa qualisign.
Legisign adalah hukum yang merupakan tanda. Hukum yang dibentuk oleh para tokoh
penentu kebijagan, atau yang berpengaruh di masyarakat. Tanda dalam bahasa tersusun
berkat adanya tatabahasa. Setiap tanda konvensional adalah sebuah legisign. Ini bukan satu
objek, tetapi tipe yang umum, telah disepakati, akan menjadi signifikan. Sehingga tanda
bahasa yang merupakan legisign adalah bahasa yang merupakan kode yang disepakati oleh
masyarakat (konvensi).
2. Icon, Index, Symbol
‘An Icon is a sign which refers to the Object it denotes merely by virtue of characters
of its own which it possesses, just the same, whether any such Object exists or not’
[ (EP2:291) dalam Short,2007:215]. Icon adalah sebuah tanda yang mengacu pada Obyek itu
menunjukkan hanya berdasarkan karakter sendiri yang dimilikinya, sama saja, apakah ada
seperti obyek ada atau tidak.
Peirce mendefinisikan indeks adalah: A sign . . . which refers to its object not so
much because of any similarity . . . nor [by association] . . . as because it is in dynamical
(including spatial) connection both with the individual object, on the one hand, and with the
senses or the memory of the person for whom it serves as a sign, on the other [(2.305) dalam
Short,2007:219]. Peirce mendefinisikan indeks adalah: Sebuah tanda. . . yang mengacu pada
objeknya tidak begitu banyak karena kesamaan apapun. . . atau [oleh asosiasi]. . . seperti
karena dalam dinamis (termasuk ruang) koneksi baik dengan objek individu, di satu sisi, dan
dengan indra atau memori dari orang untuk siapa itu berfungsi sebagai tanda, di sisi lain.
A Symbol is a Representamen whose Representative character consists precisely in
its being a rule that will determine its Interpretant. A Symbol is a sign which refers to the
Object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which
operates to cause the Symbol to be interpreted as referring to that Object [(EP2:292) dalam
Short,2007:220].
Pradopo (1987) juga menyebutkan bahwa semiotik Pierce terdiri dari 3 karakter
tanda: berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok
yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara petanda dan penanda
bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan
penanda dan petanda adalah hubungan alamiah yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat. Simbol adalah tanda yang hubungan petanda dan petanda tidak bersifat alamiah.
Hubungan yang terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi berdasarkan perjanjian
(konvensi) dalam masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan lambang
adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh perjanjian dalam masyarakat (Pradopo, 2007:121-
122).
Ketika kita menerapkan pemilahan tanda (ikon, indeks, simbol) dalam karya sastra
akan banyak kita jumpai indeks dan simbolnya, karena karya sastra sangat erat dengan
kreatifitas bahasa, yang merupakan dari pengembangan dari simbol-simbol yang telah ada,
atau bahkan memberikan peluang pada setiap ikon-ikon yang telah ada untuk menjadi
bermakna luas.
3. Rheme, Dicisign, Argument
Pada trikotomi ketiga ini Peirce bermaksud memperdalam atau memperbaiki
proposisi analisis atau argumen terdahulu. Trikotomi ketiga ini adalah yang paling benar-
benar dieksplorasi oleh sebelumnya, namun memang banyak yang menganggap terlalu sulit
atau samar ketika membaca penjelasan Pierce. Ketidakjelasan ini memiliki beberapa
penyebab, salah satunya adalah kompleksitas dari topik. Dia berbicara bersamaan dengan
sejumlah isu yang sulit, beberapa di antaranya tidak pernah sebelumnya telah dibahas.
Beberapa di antaranya sekarang akrab bagi kita, seperti yang yang berkaitan dengan
perbedaan antara hukuman dan pernyataan kemudian mana di antara salah satu dari mereka
dan apa yang dinyatakan.
Istilah atau Rheme, apakah itu sebuah ikon, indeks, atau simbol, sederhana dalam fungsi: fungsi seperti ikon, hanya membawa sesuatu untuk perhatian seseorang ('seperti tanda sederhana' (EP2:. 490, penekanan ditambahkan) The dicisign, sebaliknya, menyajikan dirinya sebagai indexically terkait dengan obyek itu menggambarkan (EP2: 276), 10 dan memiliki fungsi yang doubleness (EP2: 275)., merujuk dan menggambarkan, bahkan jika itu cukup sederhana dalam dirinya sendiri demikian, '! Api', diucapkan dengan penekanan yang cukup dalam hak semacam konteksnya adalah untuk ditafsirkan sebagai suatu indeks penyebabnya, meskipun, seperti meniru simbol rhematic, itu juga adalah deskriptif, oleh karena itu diambil atau dapat diambil, . benar atau salah, sebagai deskriptif penyebabnya '[I] n untuk memahami Dicisign harus dianggap sebagai terdiri dari dua bagian tersebut [indeks dan Rheme] apakah itu dalam dirinya sendiri sehingga terdiri atau tidak' (EP2: 276) . Demikian pula, baling-baling cuaca merupakan indeks penyebab nya Istilah atau Rheme, apakah iTU sebuah ikon, indeks, atau simbol, Sederhana dalam, fungsi: fungsi seperti ikon, hanya membawa sesuatu untuk perhatian seseorang ('seperti Tanda Sederhana' (EP2: 490, penekanan ditambahkan) The dicisign, sebaliknya, menyajikan dirinya sebagai indexically terkait Artikel Baru iTU menggambarkan obyek (EP2:. 276), 10 dan memiliki fungsi yang doubleness (EP2:. 275), merujuk Dan menggambarkan, bahkan Acute iTU cukup Sederhana Dalam, dirinya Sendiri demikian, 'Api!', diucapkan Artikel Baru penekanan Yang cukup Illustrasi hak semacam konteksnya adalah untuk ditafsirkan sebagai suatu indeks penyebabnya, meskipun, seperti meniru simbol rhematic, ITU JUGA adalah deskriptif, oleh karena ITU diambil atau dapat diambil,. BENAR atau salat, sebagai deskriptif penyebabnya '[I] n untuk memahami Dicisign harus dianggap sebagai terdiri Bahasa Dari doa bagian nihil [indeks Dan Rheme] apakah ITU Dalam, dirinya Sendiri sehingga terdiri atau tidak' (EP2: 276). Demikian pula, baling-baling cuaca merupakan indeks Bahasa Dari Yang penyebab
Daftar Pustaka:
- Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln.2009.Hand Book of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
- Short ,T. L. 2007.Peirce’s Theory of Signs. New York: Cambridge University
Press.