tugas farmakologi molekuler dr.anton
DESCRIPTION
farmolTRANSCRIPT
TUGAS FARMAKOLOGI MOLEKULER
OSTEOPOROSIS
Nama : Rianti Maharani
NIK :
Dosen : Dr. Anton
PROGRAM MAGISTER PRODI HERBAL MEDIK
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA
2015
OSTEOPOROSIS
A. Definisi
Osteoporosis ditandai oleh rendahnya massa tulang dan rendahnya kualitas jaringan
tulang menyebabkan fragilitas tulang dan peningkatan resiko patah. WHO
mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan skor T. Skor T adalah jumlah standar deviasi
dari rerata kerapatan massa tulang (bone mass density, BMD) untuk populasi normal muda.
Massa tulang normal adalah mereka dengan skor T lebih besar dari –1, osteopenia –1 sampai
–2,5 dan osteoporosis kurang dari –2,5 (DiPiro, et al., 2006).
Terdapat beberapa jenis osteoporosis, yaitu:
1. Osteoporosis postmenopause (tipe I): Bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita
kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resorpsi tulang yang
berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi estrogen di masa menopause (Dambro, 2006).
2. Osteoporosis involutional (tipe II) / senilis: Terjadi pada kedua jenis kelamin yang berusia
di atas 75 tahun. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara
kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang (Dambro, 2006).
3. Osteoporosis idiopatik: Tipe osteoporosis primer jarang yang terjadi pada
wanita premenopausedan pada laki-laki yang berusia di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak
berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang mempermudah timbulnya
penurunan densitas tulang. Penyebabnya tidak diketahui (Dambro, 2006).
4. Osteoporosis juvenil: Bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas yang
memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Bentuk ini jarang dijumpai (Dambro,
2006).
5. Osteoporosis sekunder: Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan
fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan obat-obatan (kortikosteroid,
barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan), artritis reumatoid, kelainan
hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme,
hipertiroidisme, varian status hipogonadisme, dan lain-lain (Dambro, 2006).
B. Fisiologi-Patofisiologi
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk bulat dan
batang padat serta terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum tulang. Tulang ini
merupakan jaringan yang terus berubah secara konstan, dan terus diperbaharui. Jaringan yang
tua akan digantikan dengan jaringan tulang yang baru. Proses ini terjadi pada permukaan
tulang dan disebut sebagairemodelling. Dalam remodeling ini melibatkan osteoclast sebagai
perusak jaringan tulang danosteoblast sebagai pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah. Aktivitas osteoclast menjadi lebih
dominan dibandingkan dengan aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis.
Separuh perjalanan hidup manusia, tulang yang tua akan diresorpsi dan terbentuk serta
bertambahnya pembentukan tulang baru (formasi). Pada saat kanak-kanak dan menjelang
dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan dibandingkan dengan proses resorpsi tulang,
yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat dan padat. Proses pembentukan tulang
ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan dengan resorpsi tulang sampai mencapai titik
puncak massa tulang (peak bone mass), yaitu keadaan tulang sudah mencapai densitas dan
kekuatan yang maksimum. Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang
30 tahun. Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai meningkat dan
melebihi proses formasi tulang. Kehilangan massa tulang terjadi sangat cepat pada tahun-
tahun pertama masa menopause, osteoporosis-pun berkembang akibat proses resorpsi yang
sangat cepat atau proses penggantian terjadi sangat lambat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan selama
kehidupan melalui tiga fase yaitu fase pertumbuhan, fase konsolidasi dan fase involusi. Pada
fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan berakhir pada saat epifise
tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa
tulang bertambah dan mencapai puncak pada umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan
bahwa pada fase involusi massa tulang berkurang ( bone loss ) sebanyak 35-50 tahun.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor
sistemik adalah hormonal yang berkainan dengan metabolisme Kalsium, seperti hormon
paratiroid, Vitamin D, kalsitonin, estrogen, androgen, hormon pertumbuhan, dan hormon
tiroid. Sedangkan faktor lokal adalah Sitokin dan faktor pertumbuhan lain (IGF). (Permana,
2008)
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh pemberian
steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone formation) dan
peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid menghambat sintesis kolagen tulang
oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah transformasi sel-sel prekursor
menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu, steroid juga sangat
mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat
aposisi mineral, dan penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang
semakin pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons
osteoblast terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-
dihidroksi vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin juga
terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam osteoporosis akibat steroid
lebih luas, karena permukaan-permukaan yang mengalami resorpsi dan hambatan formasi
tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai gangguan
resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung
melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah
pengangkatan kelenjar paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang,
sehingga disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid.
Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon
paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan peningkatan fragmen-
fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap segmen-
segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi absorpsi di kolon
meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium, steroid dapat meningkatkan ekskresi
kalsium dalam urin. Pada pasien dengan pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria
kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi
kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun
dugaan ini belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihidroksi vitamin D dalam serum menurun
akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hidroksi vitamin D menjadi 1,25
dihidroksi vitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis, sehingga
fungsi gonadterganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron menurun. Steroid
menghambat sekresi LH dan menurunkan produksi estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek
steroid yang lain adalah menurunkan sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan
pemakaian steroid saling memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone
thinning terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal.
Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan setelah
pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat hingga 2 sampai 3
kali dibandingkan keadaan normal. Resiko osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika
dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis
steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/dl atau yang setara dan dosis yang dihirup lebih
besar dari 800-1200 μg beclomethasone, 800-1000 μg budesonide, 750 μg fluticasone, dan
1000 μg flunisolide) dalam jangka waktu pendek (≤ 6 bulan), atau dosis yang rendah
(prednison ≤ 7,5 mg/dl) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko
osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi dengan ditandai
kehilangan massa tulang yang signifikan. Secara umum, dosis yang rendah lebih aman
dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang benar-benar aman. Laju
penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian 5-10 mg prednison setiap hari dan
juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai
dengan penilaian risiko osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah
fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat
digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan pembentukan
tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik menurunkan umur
osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga meningkatkan maturasi dan
kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik secara langsung. Dengan menurunkan
absorpsi kalsium dari usus dan meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan
resoprsi tulang dan hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon
steroid seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan resorpsi
tulang (Wachjudi, 2008).
C. Presentasi Klinis
Beberapa Pasien tidak menyadari bahwa mereka terkena osteoporosis,dan timbul
setelah terjadi fraktur. Fraktur dapat terjadi ketika membungkuk, mengangkat, atau
terjatuh, dan aktivitas lainnya.
Penyebab biasa osporosis terkait fraktur melibatkan vertebara, femur proximal, radius
distal (wirst or colles' fraktur). 2-3 pasien dnegan fraktur vertebra biasanya tidak
merasakan gejala, tiba-tiba merasakan sakit punggung yang parah meluas ke bawah
kaki setelah 2 sampai 4 minggu, biasanya sakit punggung bertahan lama. Multiple
fraktur vertebra mengurangi tinggi badan dan kadnag-kadang kurva tulang belakang
menjadi kiposis atau lordosis dengan atau tanpa nyeri punggung yang signifikan.
Pasien yang tidal mengalami patah pada tulang vertebra,biasanya timbul nyeri yang
parah, membengkak, dan mengurangi fungsi dan pergerakan pada tempat yang terkena
fraktur.
Gambar 2.1 Patofisiologi Osteoporosis Akibat Steroid (Wachjudi, 2008)
D. Gejala
Osteoporosis merupakan silent disease. Penderita osteoporosis umumnya tidak
mempunyai keluhan sama sekali sampai orang tersebut mengalami fraktur.
Komplikasi osteoporosis antara lain patah tulang terutama tulang belakang, pangkal
paha dan pergelangan tangan. Patah tulang belakang akan mengakibatkan sakit punggung,
dan penurunan tinggi badan (bongkok) dan yang paling berat adalah terjadinya saraf terjepit
sehingga me-nimbulkan keluhan neurologis. Patah tulang pangkal paha sering kali membawa
permasalahan yang besar dan meng-akibatkan terjadinya disabilitas sehingga dalam
kehidupannya memerlukan perto-longan orang lain, sedang patah tulang pergelangan tangan
sering mengakibatkan deformitas pada tulang tersebut (Wachjudi, 2008).
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis
senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita
tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi
kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Kolaps tulang
belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa
mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara
tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi
biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan
yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot
dan sakit.Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan
atau karena jatuh.Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Hal
yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya
dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita
osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
E. Diagnosis
Riwayat pasien harus didapatkan untuk mencari riwayat patah tulang sewaktu dewasa,
kondisi medis, operasi, dan kehadiran faktor resiko untuk osteoporosis. Faktor resiko genetik
termasuk etnis Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga untuk osteoporosis atau patah tulang,
dan kerangka tubuh yang kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh kecil). Gaya hidup dan
faktor diet termasuk gaya hidup sedentary (banyak duduk) dengan latihan minimal, merokok,
penggunaan alkohol berlebih, jarang terkena matahari, asupan kalsium rendah sepanjang
hidupnya, intolerasnsi laktosa, asupan kafeine tinggi, asupan protein hewani tinggi, turunnya
berat >10% setelah usia 50 tahun, dan anorexia nervosa. Faktor ginekologi
termasuk menarche (dimulainya menstruasi) yang terlambat, operasi atau menopause yang
lebih cepat, oophorecthomy (pengangkatan ovarium) tanpa terapi penggantian estrogen
(estrogen replacement theraphy, ERT), nulliparity, dan amenorrhea. Penyakit kronik yang
bisa meningkatkan resiko termasuk hipertiroidisme, sindroma Cushing, kanker tulang dan
diabetes melitus. Pengobatan yang meningkatkan resiko termasuk glukokortikoid,
penggantian tiroid yang berlebihan, penggunaan heparin dosis tinggi dalam waktu yang lama,
dan anti konvulsan.
Pemeriksaan fisik menyeluruh dan analisis laboratorium diperlukan untuk mengetahui
penyebab sekunder dan untuk menaksir kifosis dan sakit punggung. Evaluasi biokimia harus
memasukkan complete blood count, panel kimia (termasuk koreksi kalsium untuk tingkat
serum albumin, fosfor, dan alkalin fosfatase), dan konsentrasi 25-hidroksi vitamin D.
Radiograf sumsum lateral bisa dilakukan pada sakit punggung yang baru atau yang
parah untuk mendeteksi patah tulang belakang.
Pengukuran BMD pusat (pinggul dan sumsum) dengan dual-energy x-ray
absorptiometry(DXA) adalah standar tertinggi untuk diagnosa osteoporosis. Untuk setiap
1 SD dibawah rerata BMDdewasa muda, resiko patah meningkat dua kali. Pengukuran pada
bagian tepi (lengan bawah, tumit, dan phalanges) dengan single-energy x-ray
absorptiometry (SXA), ultrasonik, atau DSA hanya digunakan untuk skrining.; prediksi
akurat untuk fraktur sudah disediakan oleh BMD pinggul.
Biopsi tulang jarang berguna untuk osteoporosis tapi bisa digunakan untuk mencari
sebab sekunder, seperti osteomalasia.
Penanda biokimia untuk turnover tulang digunakan pada uji klinik. Penanda untuk
resorpsi tulang termasuk C-terminal atau N-terminal telopeptide dan deoxypyridinolline.
Penanda pembentukan tulang termasuk alkaline fosfat spesifik tulang, osteokalsin, dan C-
terminal dan N-terminal peptide dengan prokolagen (DiPiro, et al., 2006)
F. Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi
Terapi Non Farmakologi
Diet
- Semua individu dietnya harus seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yang
cukup (tabel 2.1). Tabel 2.2 mencantumkan makanan dengan konsentrasi kalsium tinggi. Jika
asupan diet yang cukup tidak bisa dicapai, suplemen kalsium bisa diberikan (DiPiro, et al.,
2006).
- Diet penurun berat badan jika penderita mempunyai berat badan yang berlebihan
(Dambro, 2006).
- Masukan kalsium 1.500 mg/hari dan semua sumber, jika penderita tidak menderita
hiperkalsiuria atau tanpa riwayat baru kalsium. Hasil penelitian menunjukkan penurunan
kehilangan massa tulang pada kelompok yang diberi kalsium (Dambro, 2006).
- Hindari masukan fosfat atau protein yang berlebihan, yaitu hindari minuman yang
mengandung asam fosfor dan masukan daging yang berlebihan (Dambro, 2006).
Aktivitas
- Aktivitas jalan-jalan tetap dipertahankan. Penderita dapat melakukan jalan-jalan
sepanjang 1 mil dua kali sehari, dan jika mungkin berenang (Dambro, 2006).
- Penderita harus menghindari latihan fisik dan manuver yang meningkatkan gaya
kompresif dan stres mekanis pada vertebra dan tempat tulang perifer (Dambro, 2006).
- Prosedur rehabilitasi untuk spasme otot punggung dan dorongan berjalan-ja1an (Dambro,
2006).
Tabel 2.1 Asupan Kalsium dan Vitamin D yang dianjurkan (Phillips, 2008)
Kalsium (mg) Vitamin D (IU)
Remaja/ anak muda
Umur 11-24
Pria
Umur 25-65
Umur ≥ 65
Wanita
Umur 25-50
Umur 51-65
(postmenopause)
Dengan Estrogen
Tanpa Estrogen
Umur ≥ 65
Hamil dan perawatan
1200-1500
1000
1500
1000
1000
1500
1500
1200-1500
Umur ≤ 50
Umur 51-70
Umur ≥ 70
Orang dengan
resiko tinggi
(orang tua,sakit
kronis, dipasung)
200
400
600
800
Tabel 2.2 Makanan Kaya Kalsium (Phillips, 2008)
No
.
Nama Makanan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
1 cangkir susu skim
1 cangkir susu kedelai (+ Kalsium)
1 cangkir yoghurt
1,5 ons keju cheddar
1,5 ons keju jack
1,5 ons keju Swiss
1,5 ons skim mozzarella
4 sdm keju Parmesan parut
8 ons tofu
1 cangkir greens (collards, kale)
2 cangkir brokoli
4 ons almond
2 cangkir keju cottage rendah lemak
3 ons ikan sarden dengan tulang
5 ons ikan salmon kalengan
1 cangkir jus jeruk (+Kalsium)
*)Makanan di atas mengandung ± 300 mg kalsium dasar
Terapi Farmakologi
Pengobatan Antiresoptif
1. Kalsium
Kalsium harus diberikan dalam jumlah yang cukup untuk mencegah hipertiroidisme sekunder
dan perusakan tulang. Asupan kalsium lebih tinggi telah menunjukkan mencegah atau
mengurangi hilangnya massa tulang pada dewasa. Efeknya diperkuat ketika dikombinasikan
dengan terapi antiresoptif lain atau latihan fisik. Kombinasi kalsium dan vitamin D
menurunkan fraktur vertebral, non-vertebral dan pinggul.
Kalsium karbonat adalah garam pilihan karena mengandung konsentrasi tertinggi kalsium
(40%) dan paling murah. Kalsium karbonat sebaiknya diberikan dengan makanan untuk
meningkatkan absorpsi dengan peningkatan sekresi asam. Absorpsi kalsium sitrat tergantung
asam dan tidak diberikan bersama makanan. Karena fraksi kalsium terabsorbsi menurun
dengan peningkatan dosis, dosis terbagi (500-600 mg atau kurang) disarankan.
Efek samping paling umum adalah konstipasi dan flatulen; batu ginjal jarang terjadi (DiPiro,
et al., 2006).
2. Diuretik
Thiazide meningkatkan reabsorpsi kalsium urin, tapi meresepkannya tunggal hanya untuk
osteoporosis tidak dianjurkan (DiPiro, et al., 2006).
3. Vitamin D dan Metabolit
Defisiensi vitamin D muncul karena asupan yang kurang, kurang terkena sinar matahari, atau
penurunan produksi di kulit. Lebih jarang, penurunan sintesis calcitriol di ginjal terjadi
karena usia atau disfungsi liver atau ginjal.
Suplemen vitamin D telah menunjukkan meningkatkan BMD, dan bisa mengurangi fraktur.
Kebanyakan tablet multivitamin mengandung 400 IU vitamin D, dan produk kombinasi
kalsium-vitamin D mengandung 100-200 IU per dosis. Untuk manula, satu tablet
multivitamin sehari (dua tablet sehari untuk yang berusia di atas 70 tahun) cukup untuk
asupan vitamin D harian.
Vitamin D dosis tinggi bisa menyebabkan hiperkalsimea dan hiperkalsiuria (DiPiro, et al.,
2006).
4. Bifosfonat
Bifosfonat terserap ke apatite (grup kalsium fosfat pada tulang) tulang dan menyatu
permanen dengan tulang. Osteoklast tidak mampu menempel pada permukaan tulang yang
mengandung bifosfonat. Perkiraan waktu paruh terminal bifosfonat serupa
dengan turnover tulang (1-10 tahun).
Alendronate (Fosamax) diindikasikan untuk pencegahan (5 mg/hari) dan perawatan (10
mg.hari) osteoporosis pada wanita postmenopause. Pemberian sekali seminggu (70 mg)
memberikan hasil BMD yang serupa, juga mengurangi paparan obat kepada pasien.
Risedronate (Actonel: 5 mg/hari) diindikasikan untuk perawatan dan pencegahan
osteoporosis pada wanita postmenopause serta pria dan wanita yang menerima
glukokortikoid sistemik (prednisone setara 7,5 mg/hari atau lebih besar) untuk penyakit
kronik. Pemberian risendronate sekali seminggu (30-35 mg) masih dalam penyelidikan.
Bifosfonat memberikan peningkatan BMD tertinggi untuk agen antiresorptif. Alendronate, 10
mg.hari, meningkatkan BMD sumsum lumbar 5,4-6%, tulang femoral leher 2,9% dan
trochanter (bagian atas tulang femur) 4,4-4,9%. Risedronate, 5 mg/hari, memberikan hasil
yang serupa. Peningkatan BMD paling tinggi pada tahun pertama perawatan dan berlanjut
selama 7 tahun. Setelah dihentikan, BMD dipertahankan atau menurun perlahan tapi tetap
lebih tinggi dari bukan pengguna. Terapi kombinasi dengan estrogen atau terapi penggantian
hormon (hormon/estrogen replacement theraphy HRT/ERT) menghasilkan
peningkatan BMD yang lebih tinggi daripada pengobatan tunggal. Pengurangan fraktur pada
vertebral, non-vertebral dan pinggul telah dibuktikan.
Bifosfonat harus diberikan dengan hati-hati untuk menghindari efek samping saluran cerna
yang serius. Semua bifosfonat sulit diabsorbsi (1-5%), dan makanan, minuman, dan kalsium
menurunkan absorbsi signifikan. Bifosfonat sebaiknya diberikan pada pagi hari 30-120 menit
sebelum pemberian makanan, minuman atau obat pertama dengan segelas penuh air (bukan
kopi, jus, air mineral, atau susu). Pasien harus tetap dalam posisi tegak selama 30 menit untuk
mencegah iritasi esophageal dan ulserasi. Kalsium dan, jika dibutuhkan, vitamin D sebaiknya
juga diberikan tapi pada waktu yang berbeda.
Efek samping paling umum untuk bifosfonat adalah nausea; rasa sakit pada abdominal;
dispepsia; diare; dan iritasi, perforasi, ulserasi atau perdarahan esophageal, lambung atau
duodenal (DiPiro, et al., 2006).
5. Estrogen dan Terapi Hormon
Estrogen menurunkan aktivitas dan recruitment osteoklast menginhibisi parathyroid
hormone(PTH), meningkatkan konsentrasi calcitriol dan absorbsi kalsium intestinal, dan
menurunkan ekskresi kalsium ginjal.
ERT dan kombinasi terapi penggantian estrogen-progestin meningkatkan BMD, tapi datanya
kurang untuk pencegahan fraktur. Peningkatan BMD kebanyakan terlihat pada tahun pertama
perawatan, dengan sedikit peningkatan atau plato setelahnya. Progestin yang ditambahkan
keERT tidak memberikan perubahan atau sedikit meningkatkan BMD. Estrogen oral dan
transdermal pada dosis yang sama dan berlanjut atau siklus ERT/HRT mempunyai
efek BMDyang serupa. Efek pada BMD adalah meningkat ketika ERT/HRT dikombinasikan
dengan alendronate. Percepatan hilangnya massa tulang terjadi dengan
penghentian ERT/HRT. Agen ini telah disetujui oleh FDA untuk pencegahan osteoporosis
tapi bukan untuk perawatan.
Karena bukti yang bertentangan mengenai penggunaan ERT/HRT untuk pencegahan
penyakit kardiovaskular dan potensi terjadinya kaker payudara tergantung-estrogen,
penggunaan ERT/HRTuntuk pencegahan dan perawatan osteoporosis berlanjut dalam
kontroversi.
ERT/HRT menurunkan fraktur vertebral dan non-vertebral secara signifikan pada beberapa
ujicoba pada tidak di uji coba lain. Efek bervariasi oleh tipe tulang, usia pasien, onset terapi,
dan durasiERT. Proteksi dikurangi setelah HRT telah dihentikan selama paling tidak 5 tahun.
Dosis harian ERT yang disarankan untuk pencegahan osteoporosis adalah conjugated equine
estrogen 0,625 mg, ethinyl estradiol 0,02 mg, estropipate 0,625 mg, esterified estrogen 0,625
mg, micronized estradiol 1 mg, 17-β-estradiol 2 mg, estrone sulfat 1,5 mg, dan estradiol
transdermal 0,05 mg/hari.
ERT biasanya diberikan berkelanjutan dengan pemberian berkelanjutan atau siklus
progestin.HRT berkelanjutan paling umum digunakan karena 60-80% wanita akan
mengalami amenorrheicdalam 6-12 bulan setelah memulai terapi dan lebih sedikit wanita
yang mengalami endometrial hiperplasia. Sampai waktu itu, perdarahan bisa terjadi tanpa
terdeteksi. Jika amenorrhea tidak terjadi setelah 10-12 bulan, pola perdarahan yang bisa
diprediksi dengan terapi siklus lebih disukai.
Pemberian ERT tunggal berkelanjutan untuk wanita yang sudah
mendapat hysterectomy(pengangkatan uterus). ERT meningkatkan resiko endometrial
karsinoma pada wanita dengan uterus yang intact (belum rusak). Terapi progestin untuk palin
tidak 12-14 hari sebulan biasanya menghilangkan resiko ini dan bahkan bisa
protektif. Conterone medroxyprogesterone acetate 2,5-5 mg, micronized progesterone 100
mg per hari, norethindrone acetate 5-10 mg selama 12-14 hari setiap bulan bisa
digunakan. Pemberian harian meningkatkan adherence dan merangsangamenorrhea.
Nilai resiko relatif untuk kanker payudara pada wanita yang menjalani ERT/HRT antara 1,1-
1,5, dengan resiko sedikit meningkat dengan terapi lebih lama ( paling tidak 5-20 tahun) dan
penambahan progestin.
Efek samping dari HRT termasuk perdarahan vagina, melunaknya payudara, migrain,
perubahan mood, cholelithiasis (membentuk batu kandung empedu), dan tromboemboli vena.
Kontraindikasi untuk ERT/HRT termasuk kanker aktif atau dicurigai tergantung estrogen,
perdarahan vagina abnormal, penyakit liver yang parah, dan trombosis vaskular aktif.
Kontraindikasi relatif termasuk migrain, riwayat pemyakit tromboemboli (terutama dengan
kehamilan atau setelah penggunaan kontrasepsi oral), hipergliceridemia, fibroid uterine,
endometriosis, penyakit kandung empedu, riwayat keluarga untuk kanker payudara, dan
disfungsi hepatik kronik (DiPiro, et al., 2006).
6. Selective Estrogen Modulator (SERM)
Ralofexine (Evista) 60 mg sehari diterima untuk pencegahan dan perawatan
osteoporosispostmenopause. BMD pinggul dan spinal meningkat dari 2-3 % dan menurunkan
fraktur vertebral tapi belum dibuktikan menurunkan fraktur pinggul. Ini pilihan yang baik
untuk wanita yang tidak bisa atau tidak boleh menerima estrogen. Bifosfonat mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik pada osteoprosis parah ketika reduksi resiko fraktur
diinginkan.
Ralofexine merupakan antagonis estrogen di jaringan uterine dan payudara sehingga tidak
meningkatkan resiko endometrial carcinoma, seperti pada estrogen dan tamoxifen.
Ralofexine dihubungkan dengan peningkatan resiko tiga kali lipat trombemboli vena, serupa
dengan resiko pada estrogen. Ralofexine dikontraindikasikan pada wanita dengan penyakit
tromboemboli aktif. Efek samping lain termasuk kaki kaku (DiPiro, et al., 2006).
7. Testosteron dan Anabolik Steroid
Metil testosteron (1,25 atau 2,5 mg) dan testosteron yang ditanam (50 mg tiap 3 bulan)
danpatch transdermal terkadang diberikan bersama dengan ERT/HRT pada wanita dengan
depresi atau libido yang menurun, fungsi seksual, atau tingkat energi
setelah oophorectomy(pengangkatan ovarium). Terapi bersama umumnya memberikan
efek BMD yang lebih bak daripada ERT tunggal.
Meski anabolik steroid merangsang aktivitas osteoblast, efek predominannya adalah
mengurangi resorpsi tulang, yang mungkin sekunder setelah peningkatan massa otot dan
kekuatan. Perubahan BMD relatif kecil, dan kebanyakan wanita mendapat efek samping
(efek virilizingseperti hirsutisme, jerawat, dan suara yang berat). (DiPiro, et al., 2006)
8. Calcitonin
Semprotan nasal Calcitonin (Mialcacin) diindikasikan untuk perawatan osteoporosis untuk
wanta paling tidak 5 tahun setelah menopause. Karena kurang efektif jika dibandingkan
dengan pengobatan osteporosis lainnya, calcitonin lebih sering digunakan untuk pasien
dengan rasa sakit akibat fraktur atau untuk mereka yang tidak sesuai dengan terapi lainnya.
Regimen 200 IU calcitonin nasal meningkatkan BMD spinal dan mengurangi fraktur
vertebral baru sebesar 36%. BMD pinggul tidak selalu dipengaruhi dan tidak menurunkan
fraktur pinggul.
Calcitonin salmon digunakan secara klinik karena lebih poten dan efeknya lebih lama
daripada calcitonin mamalia. Dosis intranasalnya 200 IU sehari, bergantian di tiap nares
(lubang hidung). Pemberian subkutan (injeksi Miacalcin) 100 IU/hari tersedia tapi jarang
digunakan.
Calcitonin nasal bisa menyebabkan rhinitis, epistaksis, dan iritasi nasal. Pemberian subkutan
bisa menyebabkan simtom saluran cerna, rasa sakit di tempat injeksi, dan wajah
memerah(DiPiro, et al., 2006).
Terapi Pembentukan Tulang Investagisional
1. Hormon paratiroid
Meski PTH bisa meningkatkan resportion tulang, PTH (1-84) dan fragmen N-terminalnya (1-
34) (teriparatide, masih dalam penyelidikan ketika tulisan ini dibuat) adalah anabolik jika
digunakan sekali sehari. Aktivitas anabolik bisa timbul dari menurunnya apoptosis osteoblas
dan peningkatan pembentukan tulang dari osteoblas yang hidup lebih lama.
Pada uji klinik fase III kontrol-plasebo pada 1637 wanita postmenopause yang sudah
mengalami fraktur vertebral, 14% yang menerima plasebo mendapatkan fraktur vertebral
baru jika dibandingkan 5% dan 4% yang menerima teriparatide subkutan 20 dan 40 μg sehari.
BMD juga naik pada spinal lumbar dan femur lebih tinggi pada pasien yang menerima dua
dosis teriparatide. Efek samping minor (nausea dan sakit kepala) tapi terjadi lebh sering
dengan naiknya dosis (DiPiro, et al., 2006).
2. Fluorida
Fluorida meningkatkan aktivitas osteblas dan pembentukan tulang. Tetapi, meski dengan
studi bertahun-tahun, efek anti fraktur dari fluoridse masih diragukan, dan fluoride bisa
meningkatkan kerapuhan tulang.
Pada satu studi, pria dan wanita yang diberikan fluoride monofosfat dan wanita yang
menerima dosis kecil lepas lambat natrium fluoride mengalami fraktur vertebral yang lebih
sedikit. Tetapi, hasil ini belum divalidasi pada studi lain. Fluoride saat ini tidak
direkomendasikan untuk terapi, tapi produk lepas lambat sedang diuji oleh FDA (DiPiro, et
al., 2006).
Hasil yang diinginkan
Tujuan utama pada manajemen osteoporosis adalah pencegahan. Mengoptimalkan
perkembangan tulang rangka dan puncak masa pembentukan masa tulang akrual pada
anak-anak, remaja, dan awal dewasa akan mengurangi kejadian osteoporosis dimasa
mendatang.
Jika terjadi osteopenia dan osteoporosis, tujuannya adalah menstabilkan dan menambah
masa tulang dan memperkuat dan waspada terhadap fraktur.
Tujuan pada pasien yang sudah mengalami fraktur karena osteoporosis meliputi
mengurangi kejadian jatuh dan fraktur dimasa mendatang, menambah kapasitas
fungsional, mengurangi nyeri dan deformitas, dan menambah kulitas hidup.
Evaluasi Hasil Terapi
Pasien menrima pharmakoterapi untuk massa tulang renda harus diperiksa secara rutin.
Pasien harus ditanya mengenai kemungkinan gejala fraktur.(contohnya nyeri tulang,
disabilitas) setiap kunjungan.
Ketaatan Pengobatan dan toleransi harus dievaluasi setiap kunjungan.
Pengukuran Sentral DXA BMD dapat diperoleh setiap 1 sampai 2 tahun untuk
memantau kehilangan masa tulang dan respon perawatan.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada algoritma pecegahan osteoporosis di bawah ini :
Gambar 2.4 Algoritma Pencegahan Osteoporosis (Phillips, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Cipolle, R. J., L.M. Strand, and P. C. Morley, 2007. Pharmaceutical Care Practice, The
Clinician’s Guide. 2nd edition. New York. Mc Graw Hill Medical
Dambro, M. R., 2006. Osteoporosis, in : Griffith’s 5- Minutes Clinical Consult. M. R. Dambro
(Eds). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael Posey.
2006.Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New York. Mc
Graw Hill Medical
ISFI (ikatan Sajana Farmasi Indonesia), 2005. ISO: Informasi Spesialite Obat volume 40- 2005.
Jakarta. PT. Anem Kosong Anem (AKA)
Permana, H., 2008. Patomekanisme Osteoporosis Sekunder Akibat Steroid dan Kondisi
Lainnya. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
Phillips, B. B., 2008. Osteoporosis, in : Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,
7thedition. J. T. DiPiro, et. al.(Eds). New York. Mc Graw Hill Medical. pp. 853-866
Wachjudi, R. G., 2008. Osteoporosis Akibat Pemakaian Steroid. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung