makalah farmakologi molekuler antagonis reseptor asetilkon nikotinik

16
MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER ANTAGONIS RESEPTOR ASETILKON NIKOTINIK Disusun oleh : Suci Baitul Sodiqomah G1F013010 Ismi Fadhila G1F013022 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN 1

Upload: suci-baitul-s

Post on 01-Oct-2015

171 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

makalah farmakologi molekuler

TRANSCRIPT

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULERANTAGONIS RESEPTOR ASETILKON NIKOTINIK

Disusun oleh :

Suci Baitul Sodiqomah G1F013010Ismi Fadhila G1F013022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN FARMASIPURWOKERTO

2014

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangPada abad ke 16, pengembara Eropa menemukan bahwa penduduk asli lembah Amazon di Amerika Selatan menggunakan kurare, suatu racun anak panah, untuk menimbulkan kematian akibat paralisis otot rangka. Senyawa aktif kurare, yakni d-tubokurarin, dan turunan sintetiknya yang modern sangat berpengaruh dalam praktik anestesi dan bedah serta berguna dalam pembuktian berbagai mekanisme fisiologik neuromuskular yang normal (Katzung, 2010). Namun, obat ini kurang selektif karena juga dapat mengikat reseptor asetilkolin nikotinik di ganglion, yang menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti tidak terkontrolnya tekanan darah. Sehingga kemudian dikembangkan obat-obat pelemas otot baru yang lebih selektif (Ikawati, 2008).

2. Tujuan2.1 Untuk mengetahui mekanisme kerja obat antagonis reseptor asetilkolin nikotinik.2.2 Untuk mengetahui golongan obat antagonis reseptor asetilkolin nikotinik.2.3 Untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing golongan obat antagonis reseptor asetilkolin nikotinik

2

2.4 1

BAB IIPEMBAHASAN

Reseptor asetilkolin nikotinik adalah suatu protein pentamer yang terdiri dari 5 subunit yaitu : 2 , , , dan , yang masing-masing berkontribusi membentuk kanal ion, dengan 2 tempat ikatan untuk molekul asetilkolin. Kanal ini memungkinkan ion Na+ keluar dan masuk melintasi membran. Reseptor ini berlokasi di neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan susunan saraf pusat. Meskipun banyak dijumpai di sel saraf, informasi mengenai reseptor ini paling banyak diperoleh dari reseptor yang ada di neuromuscular junction. Neuromuscular junction adalah sinaps yang terjadi antara saraf motorik dengan serabut otot. Reseptor ini memperantarai terjadinya kontraksi otot polos (Ikawati, 2008). Bagaimana otot polos dapat berkontraksi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Rangkaian aktivasi reseptor asetilkolin nikotinik pada neuromuscular junction (Lodish etal, 2000).Datang impuls saraf akan membuka kanal Ca memicu pelepasan Ach ACh mengikat nAChR yang terhubung dengan kanal Na Kanal Na membuka Na masuk depolarisasi parsial mengaktivasi kanal Na lain (voltage-gated) depolarisasi lebih besar membuka kanal Ca (voltage-gated) di SR Ca intrasel naik kontraksi otot (Lodish etal, 2000).Banyak obat yang bekerja sebagai antagonis pada reseptor nikotinik di neuromuscular junction, yang disebut juga neuromuskular bloker atau pelemas otot. Obat golongan ini banyak digunakan secara klinis pada pelaksanaan operasi/pembedahan, atau pada kondisi di mana kontraksi otot harus dihindari. Ada dua golongan pemblok neuromuskular, yaitu non-depolarizing blocking agent dan depolarizing blocking agent (Ikawati, 2008).

1. Mekanisme Kerja Golongan Obat Non-Depolarizing Blocking AgentGolongan non-depolarizing blocking agent adalah suatu antagonis yang bekerja dengan cara berkompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptornya yang berada di sel otot. Dengan terikatnya obat pada reseptor asetilkolin, maka aksi asetilkolin menjadi terhambat, akibatnya terjadi relaksasi otot. Contoh obat yang beraksi dengan mekanisme ini adalah tubokurarin, namun obat ini kurang selektif karena juga dapat mengikat reseptor asetilkolin nikotinik di ganglion sehingga menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti tidak terkontrolnya tekanan darah. Sehingga kemudian dikembangkan obat-obat baru yang lebih selektif dengan mekanisme serupa, seperti pankuronium, vekuronium, rokuronium, atrakurium, dan mivakurium yang saat ini banyak digunakan secara klinis sebagai pelemas otot sebelum tindakan operasi/pembedahan (Ikawati, 2008). Mekanisme kerja obat golongan non-depolarizing blocking agent dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.Potensial aksi dihantarkan sepanjang saraf motorik sampai ke terminal saraf (gambar di bawah, dimana depolarisasi menginisiasi influks ion Ca2+ dan melepaskan asetilkolin (ACh) melalui proses eksositosis. Asetilkolin berdifusi melewati celah sambungan saraf otot dan terikat pada reseptor yang terletak pada permukaan membran serabut otot pada endplate motorik (motor endplate). Kombinasi yang reversibel dari asetilkolin dan reseptor memicu terbukanya kanal yang selektif kation pada membran endplate, memungkinkan infuks ion Na+ dan lebih sedikit efluks ion K+ . Depolarisasi yang dihasilkan, disebut potensial endplate, mendepolarisasi membran serabut saraf yang berdekatan. Bila cukup besar, depolarisasi ini menyebabkan potensial aksi dan kontraksi otot. Asetilkolin yang dilepaskan ke dalam celah sinaps dihidrolisis dengan cepat oleh enzim asetilkolinesterase, yang terdapat pada membran endplate yang dekat dengan reseptor (Neal, 2006).Obat yang memblok neuromuscular (kanan) digunakan oleh ahli anestesi untuk merelaksasi otot skelet selama pembedahan dan mencegah kontraksi otot selama terapi kejut listrik. Sebagian besar otot pemblok neuromuscular yang berguna secara klinis berkompetisi dengan asetilkolin yang menduduki reseptor, namun tidak menginisiasi pembukaan kanal ion. Antagonis kompetitif ini mengurangi depolarisasi endplate yang dihasilkan oleh asetilkolin sampai dibawah ambang batas pembentukan potensial aksi otot sehingga menyebabkan paralisis flaksid (Neal, 2006).

Gambar 2.2 Mekanisme kerja obat golongan non-depolarizing blocking agent (Neal, 2006).

2. Mekanisme Kerja Golongan Obat Depolarizing Blocking AgentGolongan depolarizing blocking agent merupakan suatu agonis parsial reseptor asetilkolin nikotinik. Satu-satunya obat golongan ini adalah suksametonium atau suksinilkolin. Jika obat berikatan pada reseptor nikotinik, kanal ion Na+ akan terbuka sehingga menyebabkan depolarisasi. Perlu diketahui bahwa untuk menghasilkan potensial aksi, kanal ion Na+ harus diaktivasi dan kemudian mengalami inaktivasi. Kanal yang terinaktivasi ini harus mengalami repolarisasi untuk kembali pada kondisi istirahatnya untuk kemudian dapat diaktivasi lagi. Suksinilkolin beraksi menyerupai asetilkolin yaitu menyebabkan depolarisasi. Namun karena suksinilkolin relatif resisten terhadap degradasi oleh enzim asetilkolinesterase, ikatan suksinilkolin dengan reseptornya menjadi lebih lama, sehingga terjadi perpanjangan lama depolarisasi. Hal ini menyebabkan kanal ion Na+ tidak segera kembali ke kondisi istirahatnya, sehingga stimulus lebih lanjut justru akan terhambat dan terjadi penghambatan penghantaran potensial aksi lebih lanjut, yang pada gilirannya akan menyebabkan relaksasi sel otot (Ikawati, 2008). Mekanisme kerja obat golongan depolarizing blocking agent dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Mekanisme kerja obat golongan depolarizing blocking agent (Anonim, 2008).

3. Sifat-Sifat Umum Golongan Obat Non-Depolarizing Blocking Agent dan Depolarizing Blocking AgentSifat-sifat umum yang dimiliki oleh golongan obat non-depolarizing blokcing agent yaitu bekerja secara antagonis pada reseptor asetilkolin nikotinik, sedangkan pada golongan obat depolarizing blocking agent yaitu bekerja secara agonis parsial reseptor asetilkolin nikotinik. Obat golongan ini digunakan untuk merelaksasi otot skelet, sebagai obat tambahan pada anestesi, pembedahan dan pada pasien dengan kelemahan respirasi berat pada ventilator mekanik (Anonim, 2008).

4. Golongan Obat Non-Depolarizing Blocking Agent dan Depolarizing Blocking Agent Merupakan Obat Pilihan Untuk Beberapa Gangguan4.1 Atrakurium merupakan obat pilihan pada pasien dengan penyakit hati dan ginjal yang berat (Neal, 2006).

5. Nama-nama Obat Golongan Non-Depolarizing Blocking Agent dan Depolarizing Blocking Agent

Nama ObatMerkProdusenDosis

VekuroniumEcronPharos/Korea United Pharm4 mg

RocuroniumNoveronNovell Pharma50 mg/5 mL

RocuroniumRoculaxKalbe Farma50 mg/5 mL

AtracuriumFarelaxFahrenheit10 mg/mL

AtracuriumNotrixumNovell Pharma10 mg/mL

AtracuriumTracriumGlaxoSmithKline Indonesia25 mg/2,5 mL

AtracuriumTramusDexa Medica10 mg/mL

(MIMS, 2012).

6. Efek Samping yang Jarang Pada Golongan Non-Depolarizing Blocking AgentEfek samping yang mungkin fatal pada obat pankuronium adalah takikardi sekunder terhadap rangsang simpatis. Hal ini dapat menyulitkan pasein penyakit jantung iskemik karena disertai peningkatan kebutuhan oksigen myocardium (David, 1995).

7. Interaksi Obat Golongan Non-Depolarizing Blocking Agent dan Depolarizing Blocking Agent7.1 Pancuronium + Vecuronium baik penurunan kolinergik efek/transmisi. 7.2 Pancuronium + Rocuronium baik penurunan kolinergik efek / transmisi.7.3 Rocuronium + Vecuronium baik penurunan kolinergik efek / transmisi.7.4 Atracurium + Pancuronium baik menurunkan kolinergik efek / transmisi.7.5 Atracurium + Rocuronium menurunkan kolinergik efek / transmisi. 7.6 Atracurium + Vecuronium baik menurunkan kolinergik efek / transmisi.7.7 Suksinilkolin + Atracurium meningkat succinylcholine dan atracurium, menurunkan efek kolinergik / transmisi. Pengaruh interaksi tidak jelas, gunakan hati-hati. 7.8 Suksinilkolin + Pancuronium meningkat succinylcholine dan pancuronium menurunkan efek kolinergik / transmisi. Pengaruh interaksi tidak jelas, gunakan hati-hati. 7.9 Suksinilkolin + Rocuronium meningkat succinylcholine dan rocuronium menurunkan efek kolinergik / transmisi. Pengaruh interaksi tidak jelas, gunakan hati-hati.7.10 Suksinilkolin + Vecuronium meningkat succinylcholine dan vecuronium menurunkan efek kolinergik / transmisi. Pengaruh interaksi tidak jelas, gunakan hati-hati(Drug Interaction Checker).7.11 Benzodiazepin dapat mempotensiasi, melawan, atau tidak berpengaruh pada tindakan relaksan otot nondepolarisasi7.12 Kortikosteroid dapat menurunkan tindakan relaksan otot nondepolarisasi(Tatro, 2011).

8. Kerja atau Efek Samping Langka Golongan Non-Depolarizing Blocking Agent dan Depolarizing Blocking AgentPankuronium adalah obat pemblok neuromuskular aminosteroid yang durasi kerjanya relatif panjang. Pankuronium tidak memblok ganglion atau menyebabkan pelepasan histamin. Akan tetapi, pankuronium mempunyai efek pada jantung seperti atropin yang tergantung dosis, yaitu takikardia. Rokuronium mempunyai durasi kerja intermediet sekitar 30 menit, namun awitannya cepat (1-2 menit) dibandingkan dengan suksametonium (1-1,5 menit). Rokuronium dilaporkan mempunyai efek kardiovaskuler minimal (Neal, 2006).Vekuronium dan atrakurium, obat-obat ini sering digunakan. Vekuronium tidak mempunyai efek kardiovaskuler. Vekuronium tergantung pada inaktivasi oleh hati dan pemulihan dapat terjadi dalam 20-30 menit. Hal tersebut menyebabkan vekuronium menjadi pilihan untuk tindakan yang singkat. Atrakurium mempunyai durasi kerja 15-30 menit. Atrakurium stabil hanya bila disimpan dalam suhu dingin dan pH rendah. Pada pH dan suhu tubuh, atrakurium mengalami dekomposisi spontan dalam plasma sehingga eliminasinya tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Atrakurium merupakan obat pilihan pada pasein dengan penyakit hati dan ginjal yang berat. Atrakurium bisa menyebabkan pelepasan histamin, kemerahan pada wajah dan hipotensi. Cisatrakurium merupakan isomer dari atrakurium. Keuntungan utamanya adalah tidak menyebabkan pelepasan histamin dan efek kardiovaskuler yang berhubungan (Neal, 2006).Suksametonium (suksinilkolin) digunakan karena awitannya yang cepat dan durasi kerjanya yang sangat singkat (3-7 menit). Pada keadaan normal, suksametonium cepat dihidrolisis oleh pseudokolinesterase plasma, namun sebagian kecil orang mewarisi bentuk atipikal dari enzim itu, dan pada individu tersebut blok neuromuskular bisa berlangsung beberapa jam. Suksametonium mendepolarisasi endplate dan karena obat tidak cepat terdisosiasi dari reseptor, maka dihasilkan aktivitas reseptor yang lebih lama. Depolarisasi endplate yang dihasilkan pada awalnya menyebabkan potensial aksi otot berjalan cepat dan terjadi sentakan serabut otot. Selanjutnya terjadi blok neuromuskular akibat beberapa faktor, termasuk inaktivasi kanal Na+ yang sensitif voltase di sekitar membran serabut otot, sehingga potensial aksi tidak dibentuk lagi, dan transformasi reseptor teraktivasi ke keadaan desensitisasi menjadi tidak responsif terhadap asetilkolin. Kekurangan utama suksametonium adalah bahwa sentakan serabut otot asinkron yang terjadi di awal menyebabkan kerusakan, yang sering menyebabkan nyeri otot dikemudian hari. Kerusakan tersebut juga menyebabkan pelepasan kalium. Pemberian berulang dosis suksametonium bisa menyebabkan bradikardia dalam keadaan tidak ada atropin (efek muskarinik) (Neal, 2006).

9. Persentase Obat yang dimetabolisme Vs Ekskresi Melalui Ginjal dam Waktu Paruh Nama ObatPersentase Obat yang dimetabolismeEkskresi Melalui GinjalWaktu Paruh

Tubokurarin20-40%60-80%

Pancuronium10%40%

Rocuronium75-90%73 menit

Vecuronium25%

Atracurium10%

(Anonim, 2008).

10. TeratogenitasDistribusi venkuronium pada air susu tidak diketahui, digunakan dengan perhatian. Ibu hamil tidak menggunakan informasi yang cukup untuk menunjukkan potensi bahaya bagi janin, tetapi harus dipertimbangkan terhadap keputusan apakah akan menggunakan. Penelitian telah menunjukkan bahwa dalam penggunaan klinis operasi caesar dosis produk ini, janin tidak menunjukkan merugikan reaksi. Penggunaan magnesium sulfat karena pasien toksemia kehamilan dapat meningkatkan vencuronium memblokir efek neuromuskuler vecuronium harus mengurani dosis, dan respon kedutan harus hati-hati dicatat dalam infuse database. Dimensi bromida bisa masuk susu tidak jelas, wanita menyusui dengan hati-hati (Sweetman, 2005).

11. Metabolisme obat jika suatu prodrugBukan merupakan suatu prodrug.

BAB IIIPENUTUP1. KESIMPULANAntagonis reseptor asetilkolin nikotinik digunakan secara klinis pada pelaksaan operasi/pembedahan, atau pada kondisi dimana kontraksi otot harus dihindari. Terdapat dua golongan pemblok neuromuskular, yaitu non-depolarizing blocking agent dan depolarizing blocking agent. Sifat-sifat umum yang dimiliki oleh golongan obat non-depolarizing blokcing agent yaitu bekerja secara antagonis pada reseptor asetilkolin nikotinik, sedangkan pada golongan obat depolarizing blocking agent yaitu bekerja secara agonis parsial reseptor asetilkolin nikotinik.

Daftar PustakaAnonim, 2012, MIMS, BIP, Jakarta.Bertram G, Katzung, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik, EGC, JakartaIkawati, Zullies, 2008, Pengantar Farmakologi Molekuler, UGM Press, Yogyakarta.Lodish, H., Berk, A., Zipursky, A., Matsudaira, P., Baltimore, D., Darnel, J., 2000, Mocelular Cell Biology, 4th ed, Freeman and Company, New York.Neal, Michael J, 2006, At A Glance Farmacology Medis, Erlangga Medikal Medik, Jakarta.

Staff Pengajar Deapartemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, EGC, Sriwijaya.Tatro, David S, 2011, Drug Interaction Facts, Drug Information Analyst, California.