torsio testiss
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiratan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat "Torsio Testis" sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti ujian di bidang ilmu bedah dalam
menyelesaikan pendidikan Dokter Muda di Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
Laporan kasus ini dibuat selain sebagai tugas, juga diharapkan dapat
membantu teman sejawat yang ingin mengetahui tentang torsio testis dan juga
membantu saya untuk mempelajari lebih dalam tentang penyakit tersebut.
Selain itu saya mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2. dr. M. Jundi Agustoro Sp.B, selaku Kepala Bagian Ilmu Bedah RSUD
Bangil dan pembimbing saya untuk tugas referat ini.
3. Semua pihak yang telah membantu saya dalam kelancaran tugas ini, serta
seluruh dokter spesialis bedah dan beserta staff yang telah memberikan
peranan dalam menyelesaikan tugas ini.
Referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan
segala masukan demi sempurnanya tugas ini. Akhir kata saya berharap semoga
tugas referat ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait.
Bangil, 24 Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Makalah Ilmiah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
B. Definisi
C. Epidemiologi
D. Etiologi
E. Patofisiologi
F. Klasifikasi
G. Gejala Klinis
H. Pemeriksaan Fisik
I. Pemeriksaan Penunjang
J. Diagnosis Banding
K. Penatalaksanaan
L. Komplikasi
M. Prognosis
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang
terpelintir sehingga mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari
vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididymis1. Torsio testis
merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang murni dan memerlukan
tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu
yang singkat (sekitar 4 sampai 6 jam setelah onset nyeri) dapat
menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi
testis (Siroky, 2004).
Diantara dari 400 pria yang berumur kuran dari 25 tahun hanya 1
yang menderita torsio testis, dan paling banyak diderita oleh anak laki-laki
pada masa pubertas dengan kisaran umur 12 sampai 20 tahun. Insiden
terbesar pada bayi berumur kurang dari 1 tahun dengan jenis torsi
ekstravaginal dan anak laki-laki pada masa pubertas dengan jenis torsi
intravaginal. Torsio testis jarang ditemukan diatas umur 25 tahun, namun
demikian tetap harus dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan nyeri
di daerah skrotum (Purnomo, 2003).
B. Tujuan Makalah Ilmiah
1. Mempelajari dan memahami definisi pada torsio testis
2. Mempelajari dan memahami epidemiologi pada torsio testis
3. Mempelajari dan memahami klasifikasi pada torsio testis
4. Mempelajari dan memahami etiologi pada torsio testis
5. Mempelajari dan memahami patofisiologi pada torsio testis
6. Mempelajari dan memahami pemeriksaan penunjang torsio testis
7. Mempelajari dan memahami penatalaksanaan dan prognosis pada
torsio testis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Testis adalah sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan
panjang 4 cm dari anterior ke posterior 3 cm dan lebar 2,5 cm dan berat
kurang lebih 20g. Testis memiliki bagian-bagian yakni extremtas superior,
extremitas inferior, facies lateralis, facies medialis, margo anterior
(convex), margo posterior (datar). Diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3
anterior kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat epididymis dan pedikel
vaskuler. Sedangkan epididymis merupakan organ yang berbentuk kurva
yang terletak di sekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri
pada testis dan epididymis berasal dari areteri renalis(Kusbiantoro, 2007).
Secara histologis, testis terdiri dari kurang lebih 250 lobuli dan tiap
lobulus terdiri atas tubuli seminiferi. di dalam tubulus seminiferus terdapat
sel-sel spermatogonia dan sel Sertoli, sedang di antara tubuli seminideri
terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel sprematogonium pada proses
spematogenesis menjadi sel-sel spermatozoa. Sel-sel Sertolo berfungsi
memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut
sel-sel interstisial testis berfungsi dalam menghasilkan hormon testosteron
(Wilson & Hillegas, 2006).
Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis
disimpan dan mengalami pematangan atau maturasi di epididimis. Setelah
matur, sel-sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis
dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel itu
setelah bercampur dengan cairan-cairan dari epididimis, vas deferens dan
vesikula seminalis serta cairan prostat akan membentuk cairan semen
(Purnomo, 2003).
Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis
dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan
temperatur testis agar tetap stabil dan ideal, yaitu 2°C dibawah suhu
bagian dalam tubuh. Peningkatan suhu pada testis dapat mencegah
spermatogenesis dengan menyebabkan degenerasi sebagian besar sel-sel
tubulus seminiferus selai spermatogonia. Pada cuaca dingin, reflex
skrotum menarik testis mendekati tubuh untuk mempertahankan
perbedaan 2°C tersebut (Guyton & Hall, 2007).
Testis mendapat vaskularisasi dari beberapa cabang arteri, yaitu
arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, arteri
deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan arteri kremasterika
yang merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang
meninggalkan testis berkumpul meninggalkan testis berkumpul
membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang
mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel (Purnomo, 2003).
B. Definisi
Torsio testis adalah terpeluntirnya funulus spermatikus yang
berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Banyak diderita
oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Disamping itu, tidak jarang
janin yang masih berada dalam uterus atau bayi baru lahir dapat menderita
torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan
testis baik unilateral maupun bilateral(Rupp TJ, 2006).
Torsio testis atau terpeluntirnya funikulus spermatikus yang dapat
menyebabkan terjadinya strangulasi dari pembuluh darah, terjadi pada pria
yang jaringan di sekitar testisnya tidak melekat dengan baik ke scrotum.
Trstis dapat infark dan mengalami atrophy jika tidak mendapatkan aliran
darah lebih dari 6 jam.
C. Epidemiologi
Torsio testis ini sangat rawan terjadi pada usia dewasa muda
dengan kisaran usia 10-30 tahun tetapi jarang terjadi pada neonatus.
Puncaknya adalah pada usia 13-15 tahun karena testis yang membesar
sekitar 5-6 kali selama masa pubertas. Testis kiri lebih sering mengalami
torsi dibandingkan testis kanan, hal ini mungkin disebabkan oleh karena
secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Sedangkan insiden torsio
testis pada neonatus, 70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi
postnatal. Kencenderungan penurunan insiden torsio testis sendiri sesuai
dengan peningkatan usia. Penelitian menemukan bahwa 26% pasien
dengan torsio testis diatas usia 21 tahun.
D. Etiologi
Penyebab dari torsio testis masih belum diketahui dengan pasti.
Trauma terhadap scrotum bisa merupakan factor pencetus, sehingga torsio
harus dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan nyeri setelah trauma
bahkan pada trauma yang tampak kurang signifikan sekalipun. Dikatakan
pula bahwa spasme dan kontraksi dari otot kremaster dan tunica dartos
bisa pula menjadi faktor pencetus.
Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis
dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Dalam salah satu
literatur disebutkan bahwa torsio testis dapat terjadi pada perubahan suhu
yang mendadak, seperti pada saat berenang, ketakutan, olahraga yang
berlebihan, pakaian yang tidak nyaman atau juga trauma. Selain karena
trauma, 50% kasus torsio testis terjadi pada saat tidur karena spasme otot
kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan
arah jarum jam dan testis kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran
darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan iskemia testis. (Wilson & Hillegas, 2006)
Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan
volume testis yang biasanya sering dihubungkan dengan pubertas, tumor
testis, testis yang terletak pada posisi horizontal, riwayat kriptorkismus
dan pada keadaan dimana spermatic cord intracostal yang panjang
(Ringdahl & Teague, 2006).
E. Patofisiologi
Torsio testis terjadi dengan adanya kelainan penyangga testis yang
berupa insersi tunika vaginalis yang tinggi di funikulus spermatikus
sehingga funikulus dan testis dapat terpeluntir di dalam tunika
vaginalisnjika bergerak berlebihan. Akibat tangkai yang terpeluntir, terjadi
gangguan perdarahan testis mulai dari bendungan vena sampai iskemia
yang menyebabkan gangren. Keadaan insersi tinggi tunika vaginalis di
funikulus biasanya digambarkan sebagai lonceng dengan bandul yang
memutar atau 'bell-clapper' dan mengalami nekrosis dan gangren (Rupp
TJ, 2006).
Putaran torsi berkisar antara 180°-720°, namun derajat yang
menimbulkan oklusi pembuluh darah dimulai dari 450°-720° hingga
terjadinya iskemia pada arteri (Swiezwieski, 2007).
F. Klasifikasi
Terdapat dua jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu
intravagina dan ekstravagina torsio. Torsio intravagina terjadi di dalam
tunika vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada
spermatic cord di dalam skrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari
epididimis dan invesmen yang tidak komplet dari epididimis dan testis
posterior oleh tunika vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari
skrotum. Kegagalan fiksasi yang tepat dari tunika ini menimbulkan
gambaran bentuk 'bell-clapper' deformitas, dan keadaan ini menyebabkan
testis mengalami rotasi pada cord sehingga mengakibatkankan adanya
potensi untuk terjadi torsi. Torsio ini sering terjadi pada usia remaja dan
dewasa muda (Rupp TJ, 2006).
Ekstravagina torsio terjadi bila seluruh testis dan tunika terpeluntir
pada axis vertikal sebagai akibat dari fiksasi yang inkomplet atau non-
fiksasi dari gubernakulum terhadap dinding skrotum, sehingga
menyebabkan rotasi yang bebas di dalam skrotum. Kelainan ini sering
terjadi pada neonatus dan pada kondisi undesensus testis.
G. Gejala Klinis
Gejala pertama dari torsio testis adalah hampir selalu nyeri. Gejala
ini bisa timbul mendadak atau berangsur-angsur, tetapi biasanya
meningkat menurut derajat kelainan. Riwayat trauma didapatkan pada
20% pasien, dan lebih dari sepertiga pasien mengalami episode nyeri testis
yang berulang sebelumnya. Derajat nyeri testis umumnya bervariasi dan
tidak berhubungan dengan luasnya serta lamanya kejadian.
Odema dan eritema pada skrotum berangsur-angsur muncul. Dapat
pula timbul nausea dan vomiting, kadang-kadang disertai demam ringan.
Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas dan
terbakar saat berkemih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-
epidymitis.
Sedangkan pada masa prenatal, torsio testis memiliki tanda berupa
massa di skrotum yang berbentuk bulat dan keras dan pada pemeriksaan
traniluminasi bernilai negative (Jack W, 2003).
Selain nyeri pada sisi testis yang mengalami torsio, dapat juga
ditemukan nyeri perut bawah daerah inguinal. Jika testis yang mengalami
torsio merupakan undesendensus testis, maka gejala yang timbul
menyerupai hernia strangulata(Scott dkk, 1975).
H. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan torsio testis
dengan penyebab akut skrotum lainnya. Testis yang mengalami torsio
pada skrotum akan tampak bengkak dan hiperemis, letaknya lebih tinggi
dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral oleh karena adanya
kongesti vena dan karena pemendekan dari spematic cord. Kadang pada
torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba adanya lilitan atau
penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai
dengan demam (Purnomo, 2003).
Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi.
Biasanya nyeri tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis atau biasa
disebut dengan Prehn Sign (Ringdahl & Teague, 2006).
Hilangnya refleks kremaster merupakan pemeriksaan fisik yang
paling sensitif pada torsio testis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas
sebesar 99% pada torsio testis(Ringdahl & Teague, 2006).
I. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya, pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila
diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak
menunjukkan bukti klinis yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna
menentukan diagnosa banding pada keadaan akut skrotum lainnya.
Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi pada
traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkapdapat menunjukan hasil yang
normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien. Adanya peningkatan
protein fase akut atau biasa disebut C-Reactive Protein dapat membedakan
proses inflamasi sebagai penyebab akut skrotum (Rupp T.J, 2006).
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio
testis dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah dengan menggunakan
stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan nuclear scintigraphy.
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk melihat aliran darah arteri
yang menuju testis sehingga dapat diketahui kelainan yang terjadi pada
testis dan pembuluh darahnya. Dan juga pemeriksaan ini menyediakan
informasi mengenai jaringan di sekitar testis seperti abnormalitas yang
terjadi pada skrotum, contohnya hematom, torsio appendiks dan hidrokel.
Pada torsio yang terjadi kurang dari 6 jam, testis yang terkena akan
menunjukan gambaran berupa sedikit pembesaran testis dengan sedikit
penurunan echogenicity. Setelah 24 jam, gambaran echogenicity menjadi
lebih heterogen, dan hilangnya tanda-tanda viabilitas dari testis. Kaput
epididimis menjadi membesar karena terjadi kekusutan pada arteri yang
berbeda serta terdapat gambaran spiral yang berliku-liku pada funikulus
spermatikus. Viabilitas dari testis dapat ditentukan dari echogenicity yang
normal, tidak adanya penebalan dinding skrotum dan ada atau tidaknya
hidrokel.
Sedangkan Nuclear Scintigraphy, pemeriksaan ini dilakukan bila
terdapat keragu-raguan dalam melihat aliran darah testis sehingga tidak
salah dalam membedakan torsio testis dengan kondisi lainnya. Gambaran
scan dapat dikatakan abnormal bila terdapat penurunan penangkapan
proton pada testis yang terkena. Itu menunjukan tidak adanya aliran darah
pada daerah tersebut. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 90-100%
dalam melihat aliran darah dalam testis (Swierzwieski, 2007).
J. Diagnosis Banding
1. Epididimis akut. Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan
torsio testis. Nyeri scrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan
suhu, keluarnya nanah dari uretra, adanya riwayat coitus suspectus
(dugaan melakukan senggama dengan selain isterinya), atau pernah
menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan,
epididimitis dan torsio testis, dapat dibedakan dengan Prehn’s sign,
yaitu jika testis yang terkena dinaikkan, pada epididmis akut
terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign positif), sedangkan
pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative). Pasien
epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada
pemeriksaan sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan
bakteriuria.
2. Hernia scrotalis incarserata. Pada anamnesis didapatkan riwayat
benjolan yang dapat keluar masuk ke dalam scrotum.
3. Hidrokel terinfeksi. Dengan anamnesis sebelumnya, sudah ada
benjolan di dalam skrotum.
4. Tumor testis. Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi
perdarahan di dalam testis.
5. Edema skrotum. Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis,
adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung atau
kelainan yang tidak diketahui sebabnya (idiopatik).
Perbedaan antara epididimitis, torsio dan tumor:
Epididimitis Tumor Torsio
Nyeri + - +++
Onset Cepat Lambat Mendadak
ISK + - -
Testis Normal Tumor Sulit diraba atau
dipisahkanEpididimitis Nyeri Normal
Funikulus Menebal Normal
K. Penatalaksanaan
1. Reduksi Manual
Pada waktu diagnosis torsio testis ditegakkan, makan
diperlukan tindakan pemulihan aliran darah ke testis secepatnya.
Biasanya keadaan ini memerlukan eksplorasi pembedahan. Pada
waktu yang sama ada kemungkinan untuk melakukan reposisi
testis secara manual sehingga dapat dilakukan oleh karena sering
menimbulkan nyeri akut selama manipulasi.
Pada umumnya terapi dari torsio testis tergantung pada
interval dari onset timbulnya nyeri hingga pasien datang. Jika
pasien datang dalam 4 jam timbulnya onset nyeri, maka dapat
diupayakan tindakan detorsi manual dengan anastesi lokal.
Prosedur ini merupakan terapi non-invasif yang dilakukan dengan
sedasi intravena menggunakan anastesi lokal (5ml Lidocain ata
Xylocaine 2%). Sebagian besar torsio testis terjadi ke dalam dan ke
arah midline, sehingga detorsi dilakukan keluar dan ke arah lateral.
Selain itu, biasanya torsio terjadi lebih dari 360°, sehingga
diperlukan lebih dari satu rotasi untuk melakukan detorsi penuh
terhadap testis yang mengalami torsio.
Tindakan non-operatif ini tidak menggantikan explorasi
pembedahan. Jika detorsi manual berhasil, maka selanjutnya tetap
dilakukan orchidopexy elektif dalam waktu 48 jam. Dalam literatur
disebutkan bahwa tindakan detorsi manual hanya memberikan
angka keberhasilan 26,5%. Sedangkan penelitian lain menyebutkan
angka keberhasilan pada 30-70% pasien.
2. Pembedahan
Dalam hal detorsi manual tidak dapat dilakukan atau bila
detorsi manual gagal dilakukan, maka tindakan eksplorasi
pembedahan harus segera dilakukan. Pada pasien dengan riwayat
serangan nyeri testir yang berulang serta dengan pemeriksaan
klinis yang mengarah ke torsio sebaiknya segera dilakukan
tindakan pembedahan. Hasil yang baik diperoleh bila operasi
dilakukan dalam 4 jam setelah timbulnya onset nyeri. Setelah 4
hingga 6 jam biasanya nekrosis menjadi jelas pada testis yang
mengalami torsio.
Eksplorasi pembedahan dilakukan melalui insisi skrotal
midline untuk melihat testis secara langsung dan guna menghindari
trauma yang mungkin ditimbulkan bila dilakukan insisi inguinal.
Tunika vaginalis dibuka hingga tampak testis yang mengalami
torsio. Selanjutnya testis direposisi dan dievaluasiviabilitasnya.
Jika testis masih viabel dilakukan fiksasi orchidopexy, namun
jikatestis tidak viabel maka dilakukan orchidectomy guna
mencegah timbulnyakomplikasi infeksi serta potensial autoimmune
injury pada testis kontralateral.Oleh karena abnormalitas anatomi
biasanya terjadi bilateral, maka orchidopexypada testis
kontralateral sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah
terjadinyatorsio di kemudian hari.
L. Komplikasi
Torsio dari testis dan spermatic cord akanberlanjut sebagai salah
satukegawat daruratan dalam bidang urologi. Keterlambatan lebih dari 6-8
jam antaraonset gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi
manual akanmenurunkan angka pertolongan terhadap testis hingga 55-
85%. Putusnya suplaidarah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan atrofi testis.
Atrofi dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa bulan setelah
torsio dikoreksi.Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila torsio telah
terjadi 8 jam atau lebih.Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio
testis meliputi :
Infark testis
Hilangnya testis
Infeksi
Infertilitas sekunder
Deformitas kosmetik
M. Prognosis
Jika torsio dapat didiagnosa secara dini dan dilakukan koreksi
segeradalam 5-6 jam, maka akan memberikan prognosis yang baik dengan
angka pertolongan terhadap testis hampir 100%. Setelah 6 jam terjadi
torsio dangangguan aliran darah, maka kemungkinan untuk dilakukan
tindakan pembedahanjuga meningkat.Namun, meskipun terjadi kurang
dari 6 jam, torsio sudah dapatmenimbulkan kehilangan fungsi dari testis.
Setelah 18-24 jam biasanya sudahterjadi nekrosis dan indikasi untuk
dilakukan orchidectomy. Orchidopexy tidak memberikan jaminan untuk
tidak timbul torsio di kemudian hari, meskipuntindakan ini dapat
menurunkan kemungkinan timbulnya hal tersebut.
Keberhasilan dalam penanganan torsio ditentukan oleh
penyelamatan testis yang segera serta insiden terjadinya atrofi testis,
dimana hal tersebut berhubungan secara langsung dengan durasi dan
derajat dari torsio testis. Keterlambatan intervensi pembedahan akan
memperburuk prognosis serta meningkatkan angka kejadian atrofi testis.
BAB III
PENUTUP
Dari referat ini bisa disimpulkan bahwa:
1. Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang
berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada testis.
2. Torsio testis ini sangat rawan terjadi pada usia dewasa muda
dengan kisaran usia 10-30 tahun tetapi jarang terjadi pada
neonatus.
3. Terdapat dua jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu
intravagina dan ekstravagina torsio.
4. Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio
testis dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah dengan
menggunakan stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan
nuclear scintigraphy dan juga urinalisis.
5. Epididimis akut, hernia scrotalis incarserata, hidrokel terinfeksi,
tumor testis, edema skrotum adalah diagnosa banding dari torsio
testis.
6. Penatalaksanaan torsio testis pertama bisa dilakukan reduksi
manual setelah itu dilakukan pembedahan.
7. Keberhasilan dalam penanganan torsio ditentukan oleh
penyelamatan testis yang segera serta insiden terjadinya atrofi
testis.
DAFTAR PUSTAKA
Andik, Kusbiantoro. 2007. Torsio Testis.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Jack W. McAnich. 2003. Injuries to the Scrotum in Smith's General Urology.
Edisi 6.
Purnomo, Basuki P. 2003. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. 8, 145-
148
Ringdahl.E. Teague.L. Testicular Torsion. American Family Physician Journal.
2006.
Rupp. T. J. Testicular Torsion. Department of Emergency Medicine. Thomas
Jefferson University. 2006.
Scott, Roy, Deane, R. Fletcher. 1975. Urology Illustrated. London and New
York: Churchill Livingston.
Siroky. M. B. Torsion of The Testis. Siroky. M.B, Oates. R. D, Babayan. R. K
(eds). Handbook of Urology: Diagnosis and Therapy, 3rd ed, Lippincot
William & Willkins; Philadelphia. 2004:369-72
Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Stanley J. Swierzwieski. 2007. Testicular Pain/Scrotal Pain. Alvailable at:
http://www.urologychannel.com
Wilson, Lorraine M. Hillegas, Katheleen B. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.