tinjauan hukum islam terhadap tata cara...

123
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah Oleh : FUAD HASAN (2105055/052211055) JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010

Upload: voque

Post on 25-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA

PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

FUAD HASAN (2105055/052211055)

JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2010

MOTTO

الأرض فسادا أن يقتلوا أو فيإنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون

:﴿ املائدة يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خالف أو ينفوا من الأرض

٣٣﴾

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri .

...قإلا بالح الله مرالتي ح فسلوا النقتال ت١٥١: االنعام ﴿ ...و﴾

“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharankan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”

PERSEMBAHAN

• Bapak dan Ibunda tercinta, atas air mata, untaian do’a, peluh darah, tetesan

keringat, bimbingan serta arahan dan pemberi semangat tanpa henti yang

senantiasa engkau curahkan untuk anakmu yang nakal ini, semoga menjadi

anak yang sholih, bermanfaat dan bisa berbakti.

• Nenek dan kakek yang senantiasa mendo’akanku agar bisa menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

• Adik-adikku yang ikut serta mendo’akanku, menjadi pendorong, pelipur lara,

dan selalu menjadi teman dikala kesepianku.

• Seluruh keluarga besar Bani H. Muhammad Ishaq Brumbung.

• Seluruh keluarga besar Bani H. Yahya bin Harun Tambakan.

• Seluruh keluarga besar Bani Abdul Jalal Brumbung.

• Teman-temanku seperjuangan, sepermainan, yang turut memberikan dorongan

semangat dalam menyelesaikan skripsi dan semua yang ku kenal yang selalu

memberi masukan serta tambahan pengalaman hidup.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah penguasa semesta atas segala limpahan

rahmad dan anugerah kepada kita semua, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi

ini, shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada beliau Nabi Agung

junjungan kami, Muhammad SAW, beserta segenap keluarga dan para sahabatnya hingga

akhir nanti.

Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”

tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh kerena itu penulis sampaikan terima

kasih yang tak terhingga :

1. Bapak Drs. H. Muhyiddin., M.Ag. selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang.

2. Bapak Ahmad Arif Junaidi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan yang

telah mengarahkan serta meng-Acc judulku.

3. Bapak Rupi’i, M.Ag. yang meng-Acc proposalku.

4. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu

untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Ibu Brillian Ernawati, S.H., M.H. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu

untuk membantu, mengarahkan secara menyeluruh sampai selesainya penulisan

skripsi ini.

6. Ibu Nur Rosyida, Dra., Hj. selaku wali studi yang selalu mengarahkan dan memberi

masukan selama menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo Semarang.

7. Bapak, Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah atas jasa-jasanya serta ilmu yang

disampaikan dalam perkuliahan sehari-hari, semoga berkah dan bermanfaat.

8. Seluruh staf Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin layanan kepustakaan

yang sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Ibu dan Bapakku tersayang yang telah membiayaiku sampai saat ini, terima kasih atas

do’a, peluh keringat, tetes air mata dan darah yang selalu tercurah demi anakmu yang

nakal ini.

10. Semua Ustadz-Ustadzah yang telah bayak memberikan arahan agar menjadi orang

yang benar, bermanfaat bagi semua.

11. Adik-adikku (nurul, laela, umar) tercinta yang selalu ikut mendo’akanku untuk

mewujudkan impian menjadi sarjana, semoga bisa menjadi kakak yang bisa

membimbing kalian.

12. Mas Lutfi Ansory yang telah banyak membantu dalam proses akhir penulisan untuk

dapat segera diajukan.

13. Teman-teman yang selalu ku ajak tukar pikiran dan bersendau gurau untuk

menghilangka rasa jenuh, zainal bimbim, gus kholil, ron, fadholin, dan semuanya

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. My spirit, yang selalu memberikan semangat dan inspirasi disetiap pagi ku membuka

mata, semoga Allah memberikan jalan buat mempertemukan kita.

15. Semua saudara-saudaraku, teman-temanku, yang telah banyak memberikan semangat

dan do’a dalam hidupku.

Akhirnya, penulis sampaikan, semoga tulisan sederhana ini dapat berguna bagi

kita semua, Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalam.

Semarang, 1 Juni 2010

Penulis

Fuad Hasan

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis

menyatakan bahwa skripsi ini tidak beisi materi yang

telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.

Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun

pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Semarang, 01 Juni 2010

Deklarator,

Fuad Hasan

ABSTRAK

Maksud dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa yang menjadi dasar hukumnya; (2) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif hukum Islam.

Adapun metode penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini meliputi penelitian

kepustakaan (library research), metode pokok yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah dokumentasi. Sedangkan data primernya yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang berupa KUHP dan khususnya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam berupa al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun data sekunder adalah bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang relevan dengan permasalahan ini.

Setelah data terkumpul maka analisa data menggunakan metode deskriptif yaitu

untuk menjelaskan persamaan atau hubungan antara hukum positif yang ada di Indonesia khususnya tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Metode komparatif yaitu untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan agar dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia dengan hukum Islam.

Tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia ada dua versi yaitu yang pertama

dengan digantung sesuai dengan pasal 11 KUHP, tata cara ini merupakan peninggalan Belanda dengan berlakunya WvSI di tahun 1815. Sedangkan yang kedua pada masa pendudukan jepang diberlakukan pula peraturan hukum pidana dalam pasal 6 Osamu Gunrei No. 01 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan ditembak yang dikeluarkan pada tanggal 1 juni 1944, hingga kemudian dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 02 tahun 1964, menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan dengan di tembak sampai mati, cara inilah yang berlaku sampai sekarang. Pergantian ini juga dikarenakan untuk menghindarkan proses kematian yang terlalu lama sehingga tidak menimbulkan derita atau siksaan bagi terpidana dan dianggap lebih manusiawi. Menurut hukum Islam, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu madharat berupa derita atau siksaan dan menurut ketentuan hukum Islam pelaksanaan pidana mati juga harus dilakukan di depan umum (on public) demi memberikan efek jera (zawair/detterent effect) yang sejak tahun1872 hingga sekarang tidak pernah dilakukan lagi di Indonesia.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi

DEKLARASI ....................................................................................................... vii

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Balakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 11

D. Telaah Pustaka ................................................................................... 11

E. Metode Penelitian .............................................................................. 15

F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM ......... 21

A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman ........ 21

1. Pengertian Hukuman .................................................................... 21

2. Dasar Hukum Pidana Islam ......................................................... 25

3. Tujuan Hukuman ......................................................................... 26

B. Jarimah yang Dikenai Hukuman Mati ............................................... 30

1. Murtad (Al-Riddah) ..................................................................... 31

2. Zina .............................................................................................. 33

3. Pembunuhan disengaja ................................................................. 34

4. Hukum Gangguan Keamanan (Hirobah) ..................................... 38

C. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Islam ...................................... 38

1. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Islam .......................... 39

BAB III TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA ... 46

A. Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia .................. 46

1. Pengertian Pidana Mati ................................................................ 46

2. Dasar Pidana Mati ........................................................................ 48

3. Tujuan Pemidanaan ...................................................................... 48

B. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia ...................... 56

1. Pidana Mati di dalam KUHP ....................................................... 57

2. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di luar KUHP ............. 58

C. Sekilas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 61

1. Macam-macam Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ................... 61

2. Pembentukan Undang-undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana

Mati di Indonesia .........................................................................

67

D. Unsur-unsur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia .......................... 75

1. Pilihan Ditembak Sampai Mati di antara Cara Pelaksanaan

Pidana Mati Lainnya ....................................................................

75

2. Pencapaian Tujuan Pemidanaan .................................................. 79

3. Prosedur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ......................... 82

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN

PIDANA MATI DI INDONESIA ........................................................ 86

A. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ................................. 86

B. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif

Hukum Islam ......................................................................................

94

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 102

A. Kesimpulan ........................................................................................ 102

B. Saran-saran ......................................................................................... 103

C. Penutup .............................................................................................. 105

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna diciptakan Tuhan, dengan

diberikan akal, dibandingkan dengan mahluk lain yang tidak diberi, dan dengan

akal inilah manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya untuk

bermasyarakat (muamalat) dan di dalam masyarakat itu manusia saling tolong

menolong, saling butuh membutuhkan dan saling berbuat baik. Manusia

mempunyai naluri untuk hidup secara damai, saling membantu dan saling

melindungi. Untuk itu semua diperlukan suatu peraturan, penanaman suatu

petunjuk hidup bermasyarakat yang dinamakan hukum.1

Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi

sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat,

sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas

hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan

hukum (rechtszekerheid).2

Peraturan-peraturan itu dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan berlaku bagi

mereka sendiri. Kadang-kadang secara sadar dan sengaja bahwa suatu aturan

1 R. Soeroso, Pengantar Hukum Islam, cet. Ke-9 Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 297. 2 Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Asas, Pengertian, dan Sistematika),

Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 57.

1

2

memang diciptakan dan dikehendaki oleh para anggota masyarakat, namun ada

kalanya bahwa terjadinya peraturan tingkah laku tersebut disebabkan oleh

kebiasaan beberapa orang yang bertingkah laku demikian secara berulang-ulang

dan anggota masyarakat lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa

memang seharusnya demikian. Kelompok lain belum tentu mempunyai perilaku

atau pedoman tingkah laku yang sama, sehingga timbul perbedaan aturan di

antara sesama masyarakat.3 Jadi, setiap orang yang melakukan kesalahan atau

melanggar peraturan, sanksinya dapat saja bervariasi antara satu dengan yang

lainnya.

Selanjutnya, jika hukum dipandang secara fungsional, ia terpanggil untuk

melayani kebutuhan elementer bagi kelangsungan hidup sosial, misalnya

mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan

penyimpangan. Singkatnya hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan

kontrol, menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.4

Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana

pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban

dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat

diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk

menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh

3 R. Soeroso. op. cit. hlm. 298 4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, tt), hlm. 65.

3

perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya

dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.5

Di dalam pembentukan suatu hidup bersama yang baik, dituntut

pertimbangan asas atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan

cita-cita dan kebutuhan hidup bersama. Dengan demikian, asas hukum adalah

prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat

juga disebut titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interprestasi

undang-undang tersebut. Dapat dikatakan bahwa asas hukum ini merupakan

jantungnya peraturan hukum. Menyebutnya demikian karena, pertama, ia

merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.6

Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pelaku jarimah

bertujuan agar orang lain tidak meniru untuk berbuat jarimah, sebab larangan atau

perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan

satu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat itu sendiri, namun

hukuman itu diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi

masyarakat.7 Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum,

maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.

5 Soerjono Sekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, 1982, hlm.

9. 6 Stjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 85. 7 Ahmad Hahafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 3.

4

Dalam hukum Islam sanksi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya

pelaku jarimah dapat derita karena balasan, akan tetapi bersifat prefentif terhadap

pelaku jarimah dan pengajaran serta pendidikan.8

Seorang ahli hukum memandang sumber hukum ada dua macam, yaitu (1)

sumber hukum formal dan (2) sumber hukum materiil. Sumber hukum formal

adalah sumber hukum yang dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk. Karena

bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, mengikat, dan ditaati. Sumber

hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu.9

Perundang-undangan merupakan salah satu sumber hukum formal.

Indonesia merupakan salah satu Negara dari sekian banyak negara yang

masih konsisten memberlakukan pidana mati dalam hukum nasionalnya. Dalam

hukum positif Indonesia, kita mengenal adanya hukuman mati atau pidana mati.

KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 dinyatakan mengenai macam-macam

pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati

termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.10

Baik berdasarkan pada KUHP pasal 69 tentang perbarengan mengenai

perbandingan beratnya pidana pokok maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi

manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini berupa

8 Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, Kairo: Dar al Urubah, 1963,

hlm. 442. 9 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 92. 10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 25

5

pidana yang berat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup

bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka

tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, tergantung

dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.11

Pro dan kontra ini berlanjut mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi

terpidana mati. Tembak mati menjadi salah satu upaya yang dipilih untuk

mengeksekusi terpidana berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata cara

Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan

Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang

telah ditetapkan menjadi Undang-undang oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun

1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendapat lain mengatakan tata cara pelaksanaan pidana mati dengan cara

ditembak sampai mati sangat melanggar hak asasi manusia seperti diatur dalam

UUD 1945. Selain itu produk hukum UU No. 2/Pnps/1964 dianggap sangat tidak

konstitusional mengingat proses pembentukannya yang tidak berdasarkan UUD

1945. 12

Undang-Undang Nomor 02/PNPS/Tahun 1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati merupakan salah satu tata cara pelaksanaan eksekusi

11 Ibid, hlm. 29 12 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi Terpidana Mati dalam Hukum

Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta. 2009. hlm. 26.

6

terpidana mati dengan cara ditembak sampai mati. Di sisi lain menunjukkan

Negara Indonesia masih tetap memandang pentingnya adanya sanksi pidana mati

bagi terpidana kasus kejahatan berat (terorisme, narkotika, dll.).

Tata cara ditembak mati ini dipandang sangat bertentangan dengan KUHP

yang tidak pernah mengatur tata cara palaksanaan pidana mati dengan cara

ditembak sampai mati. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

yang masih berlaku hingga sekarang telah mengatur tata cara hukum mati,

sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 KUHP, yaitu “Pidana Mati dijalankan

oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang

gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana

berdiri”. 13

Pidana mati juga dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai

macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan

pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan,

dijemur dibawah matahari hingga mati, di tumbuk kepalanya dengan alu dan lain-

lain.14

Memang di dalam Hukum Pidana Islam yang dianut oleh mayoritas ulama'

akan kita temui beberapa delik pidana yang diancam dengan hukuman mati

13 Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 6 14 Andi Hamzah, Pidana mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 47

7

(i’dam), yaitu zina, pembunuhan disengaja, hirabah (pembegalan/perampokan,

gangguan keamanan), murtad dan pemberontakkan (al-baghyu).15

Terlepas dari konsep tersebut, bahwa setiap ketentuan agama Islam,

termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia serta kepentingan manusia. Tujuan utama penjatuhan

pidana dalam syari’at Islam adalah untuk pencegahan dan pengajaran serta

pendidikan.16

Selain itu syari’at Islam tidak lupa memberikan perhatian kepada diri

pelaku, bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri

pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jinayat

bukan karena takut akan pidana, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian

terhadap jinayat, agar mendapat ridho Allah.

Diajarkan oleh Islam setiap orang disuruh untuk melakukan perbuatan,

bahwa bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat apapun juga

termasuk membunuh kalau itu disyariatkan untuk membunuh maka harus

dilakukan dengan jalan yang baik.17

Hukum Islam ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal di

lempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara membunuhnya

15 Ahmad Hanafi, op. cit. hlm. 7 16 Soerjono Soekanto, Identifikasi Hukum Positif tidak Tertulis melalui penelitian Hukum

Normatif dan Empiris, Jakarta: IND HILL CO, 1988, hlm. 87 17 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang

Pengujian UU Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, hlm.46

8

atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul menggunakan batu dibalas

dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga tata cara yang dilarang

(misalnya, dengan dibakar hidup-hidup, di salib hidup-hidup), ada juga yang tidak

ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang

menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan

hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk

pilihan tata cara yang dilarang (menurut agama islam) dan tetap dilakukan di

depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera (zawajir/detterent

effect).18

Kiranya perlu penulis mengambil jalan tengah antara lain dalam penerapan

tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1

Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman

Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan

Militer, yang menyatakan “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum

acara pidana yang ada tentang perjalanan putusan pengadilan, maka

pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum dan peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati,

menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut”.

18 Ibid, hlm. 59

9

Ketentuan di atas, dianggap duplikasi dengan ketentuan Pasal 11 KUHP

dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) tantang Hak Asasi

Manusia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hukuman Mati, tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan

Pasal 11 KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga

seolah-olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara

digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai mati

berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Hukuman Mati.19

Permasalahan yang timbul ketika penolakan permintaan Amrozi cs untuk

dieksekusi dengan cara dipenggal. Jika kelak hukuman mati benar-benar akan

mengakhiri kehidupan Imam Samudra, ia menginginkan dihukum mati sesuai

dengan hukum Islam. Yang ia maksud adalah mati dengan cara lehernya dipotong

atau dipancung. "Mati dengan cara apapun kami siap asal diridhoi Allah. Kami

ingin mati dengan cara (Imam mengilustrasikan tangan kanannya bak sebuah

pisau tajam, lalu diangkat dan ditebaskan ke leher), dipenggal," kata Imam.

Namun, Mabes Polri menegaskan tiga terpidana mati kasus Bom Bali I akan

dieksekusi mati di hadapan regu tembak. Permintaan Amrozi, Imam Samudra,

dan Ali Ghufron alias Mukhlas dihukum pancung sesuai syariat Islam tidak akan

19 Ibid. hlm. 51

10

dikabulkan. Kepastian itu disampaikan Kapolri Jenderal Sutanto. "Kita akan

lakukan eksekusi sesuai ketentuan yang ada dengan cara ditembak".20 Bahwa tata

cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya selain dengan

dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping ada unsur menyiksa

dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu menurut ahli, berdasarkan

pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli tidak

melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati kecuali dengan

dipancung.21

Menilik hal tersebut diatas, permasalahan diformulasikan ke dalam skripsi

yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA

PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis munculkan dalam skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa

dasar hukumnya?

2. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif

hukum Islam?

20http://www.indogamers.com/f144/imam_samudra_ingin_mati_dipenggal-38144/.20 agustus 2009.

21 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit. hlm. 47.

11

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia,

dan apa saja dasar hukumnya.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam

perspektif hukum Islam.

D. Telaah Pustaka

Pembahasan mengenai pidana mati sudah pernah dibahas oleh beberapa

mahasiswa Fakultas Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian hukum

pidana Islam. Akan tetapi belum ada yang pernah membahas tinjauan hukum

Islam terhadap tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia.

Disamping menelaah pendapat para ahli hukum dan Undang-Undang

dalam penulisan ini. Penulis juga menelaah beberapa buku, artikel, maupun

penelitian yang berkaitan dan memberikan kontribusi yang besar dan sebagai

rujukan dalam menjawab permasalahan tentang pidana mati, diantaranya:

1. J.E. Sahetapy, dalam bukunya yang berjudul Suatu Studi Khusus

Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana.

Bukunya yang dicetak tahun 1982. Buku ini membahas alasan

dimasukkannya pidana mati di Indonesia disebabkan dengan beberapa

aspek, mulai dari pandangan yuridis, kriminologi terhadap pidana mati.

12

Buku ini mengfokuskan pada bagaimana sejarah awal pemberlakuan

ancaman pidana mati di Belanda dan pandangan dunia tentang hukuman

pidana mati ada pelaku pembunuhan.

2. Rachmat Kurniawan, dalam skripsinya yang berjudul Problematika

Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Tinjauan Yuridis –

Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang lulus

tahun 2002. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa : Pertama, di dalam

pandangan hukum pidana yang bertujuan melindungi masyarakat terhadap

kejahatan dan penjahat, haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan

yang tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan, melainkan disamping

mempertahankan ketertiban masyarakat juga mempunyai tujuan

kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu

harus dibinasakan. Kedua, secara kriminologis pada umumnya

mengklarifikasikan kejahatan dengan menggolongkan jenis penjahat yang

tidak dapat diperbaiki dalam artian tidak dimungkinkan dengan upaya

“treatment”. Sedangkan untuk golongan kejahatan lain masih dapat

dikenakan upaya treatment. Ketiga, pidana mati dapat diancamkan pada

perbuatan-perbuatan pidana yang menyangkut golongan kejahatan yang

berat di dalam KUHP, dan di dalam hukuman khusus (diluar KUHP).

13

3. Ach Agus Imam Hariri, dalam skripsinya yang berjudul Hukuman Mati

dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Analisis Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) No. 10 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Tertentu).

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang

lulusan tahun 2003 mengemukakan bahwa hukuman mati menurut Fatwa

MUI hanya dikenakan pada tindak pidana tertentu saja. Majelis Ulama

Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara

Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. MUI

mendukung hukuman mati untuk kejahatan tertentu. Fatwa hukuman mati

merupakan satu dari sebelas fatwa MUI lainnya seperti mengharamkan

perkawinan beda agama, mengharamkan pluralisme, menyatakan

Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, dan sebagainya.

4. Syarifudin, dalam skripsinya yang berjudul Studi Hukum Islam tentang

Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena Mempertahankan Diri dari

Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i). Fakultas

Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun

2003 menjelaskan menurut Madzhab Syafi’i bahwa seorang wanita yang

kehormatan wanitanya sedang terancam pada saat itu, apabila tidak ada

cara lain untuk menyelamatkan kehormatannya kecuali dengan membunuh

orang yang berusaha merusak kehormatan itu, maka wanita itu boleh

membunuhnya dan wanita tersebut dibebaskan dari segala hukuman baik

14

qishas, diyat, dan kafarat karena orang yang berusaha memperkosa adalah

perbuatan maksiat dan aniaya dan orang yang menganiaya boleh diperangi

dan orang yang diperangi tidak wajib memberikan ganti rugi kepadanya.

5. Imron, dalam skripsinya yang berjudul Qishash Upaya Pencapaian

Maslahah dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 178. Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun 2005

dalam skripsinya menjelaskan bahwa : Pertama, Hukum qishash

sebenarnya sudah berlaku pada masyarakat Arab dari agama Yahudi dan

Nasrani, yang membedakan antara Islam dengan keduanya adalah adanya

prinsip musawah (persamaan), karena hukum qishash yang berlaku

sebelum Islam adalah pembalasan yang tidak seimbang, misalnya budak

dibalas dengan orang merdeka, perempuan dibalas laki-laki. Kedua,

Dilihat dari awal sejarah peradaban Islam maupun dua sumber Islam

tersebut (al-Qur’an dan al-Hadis) benar bahwa Islam telah mensyari’atkan

hukum qishash-diyat terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dengan

melakukan sanksi sepadan dengan perbuatan pelaku atau diserahkan

kepada ahli waris untuk memilih diantara dua alteernatif sanksi tersebut.

Dan sebenarnya sebab formulasi hukum qishash-diyat dalam fiqih jinayah

(hukum pidana Islam) difusi agama Yahudi Nasrani terhadap kontruksi

hukum pidana Islam saat itu.

15

6. Syahruddin Husein, dalam penelitiannya yang berjudul Pidana Mati

Menurut Pidana Indonesia. Penelitian yang dimuat Jurnal Majemuk edisi

17 tahun 2003. Ini membahas metode penerapan hukuman mati yang

dilandaskan dengan hukum adat, perundang-undangan di Indonesia dan

hukum Islam. Seperti seseorang yang melakukan pembunuhan, maka

dalam hukum Islam dikenakan hukum qisas dengan dibunuh. Penelitian

ini mengfokuskan pada metode hukum yang dipakai dalam menetapkan

hukum menurut pidana Indonesia.

Dari buku-buku, artikel, penelitian maupun skripsi tersebut diatas

meskipun banyak yang mengkaji tentang hukuman mati, namun belum ada yang

secara spesifik dan utuh mengkaji tentang taraf singkronisasi atau persamaan

perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia. Untuk itu, skripsi ini berusaha

menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia, khususnya

adakah taraf singkronisasi atau persamaan antar perundang-undangan tata cara

pidana mati di Indonesia, kemudian ditinjau dari hukum Islam secara lebih serius

dan komprehensif.

E. Metode Penelitian

Penulisan ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi

kepustakaan yang relevan dengan pokok pembahasan dalam proposal ini

16

memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan

validitasnya, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dan dari bahan pustaka.22 Dalam penelitian yang

dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir

atau library research (studi pustaka), metode pokok yang penulis gunakan

dalam mengumpulkan data adalah metode dokumentasi, yaitu

mengumpulkan dan menelusuri buku-buku dan tulisan yang relefan

dengan tema kajian ini. 23

Data primer yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang

berupa KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan Undang-

Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

di Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP

yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam yang berupa

al-Qur'an dan al-Hadits.

Data-data sekunder berupa bahan yang diperoleh dari artikel,

jurnal, dan internet yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang

menjadi obyek kajian penelitian seperti Ahmad Hanafi dalam karyanya

22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2007, hal 11 23 Suharsimi Ariskunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT.Rineka

Cipta, Cet. ke-12, 2002, hal. 206

17

Asas-asas Hukum Pidana Islam, Andi Hamzah dalam karyanya Pidana

Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Moh Khoesnoe,

dalam karyanya Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, dan masih

banyak lagi karya-karya yang lain yang tidak penulis sebutkan. Bahan-

bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun

ketajaman analisis.

2. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul maka analisa dilakukan dengan

menggunakan metode sebagai berikut :

a. Deskriptif, ini digunakan untuk menggambarkan sifat atau keadaan

yang dijadikan obyek dalam penelitian. yaitu menggambarkan

perundang-undangan di Indonesia, khususnya tentang undang-undang

tata cara pelaksanaan pidana mati yang ada di Indonesia. Metode ini

sangat berguna untuk menjelaskan tentang persamaan atau hubungan

antara hukum positif yang ada di Indonesia, khususnya tentang tata

cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia adakah singkronisasi atau

persamaan antara tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia yang

diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

b. Komparatif yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan

membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk

18

mencapai kemungkinan mengkompromikan. Sehingga akan ditemukan

persamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Dengan analisis

semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari

berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan obyek kajian yang

dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan

sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara

pelaksanaan pidana mati di Indonesia kemudian ditinjau dari

perspektif hukum Islam.

Oleh karena itu, dalam penulisan ini selain mengerjakan

inventarisasi terhadap data primer dalam wujud sumber Hukum Pidana

Indonesia yang berupa perundang-undangan khususnya Undang-Undang

Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di

Indonesia, Hukum Pidana di Indonesia yang berupa Hukum Pidana itu

sendiri dan Hukum Pidana Adat dan disertai dengan sumber Hukum

Pidana Islam yang berupa al-Qur'an dan al-Hadits. Kemudian

mengorganisasikannya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan

penelusurannya kembali dalam mencari hal-hal yang dapat

menyingkronkan atau menghubungkan antara tata cara pidana mati yang

ada di Indonesia dan hukum Islam.

19

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan

karya tulis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan.

Pada bab ini menguraikan tentang pendahuluan yang berisi

latar belakang masalah mengenai pidana mati di Indonesia

merupakan pengantar menuju pembahasan pada bab

berikutnya, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Hukuman dalam Islam

Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan umum tentang

hukuman dalam Islam yang terdiri dari pengertian, dasar

hukum, tujuan hukuman, serta pelaksanaan hukuman mati

menurut Islam..

Bab III : Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

Dalam bab ini berisi mengenai pengertian, dasar dan tujuan

pidana mati di Indonesia, pidana mati dalam perundang-

undangan di Indonesia, serta sekilas tentang tata cara pidana

mati di Indonesia, macam-macam tata cara pelaksanaan

pidana mati, pembentukan undang-undang tata cara

20

pelaksanaan pidana mati di Indonesia, serta unsur-unsur

pelaksanaan pidana mati di Indonesia.

Bab IV : Tinjauan Hukum Islam terhadap Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati Di Indonesia.

Bab ini merupakan inti dari pembahasan yang merupakan

analisis pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu berupa

historis dan filosofi pembentukan undang-undang tata cara

pelaksanan pidana mati di Indonesia, dan analisis

pelaksanaan pidana mati di Indonesia dalam perspektif

hukum Islam yang merupakan perbandingan dari

pelaksanaan pidana mati di Indonesia terhadap hukum Islam.

Bab V : Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan

yang ada dalam skripsi, saran-saran dan penutup.

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM

A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman

1. Pengertian Hukuman

Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.lafadz “uqubah menurut

bahasa berasal dari kata : ( بقع ) yang sinonimnya: ( هفلخ ءاجو هبقعب ),

artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya.1 Dalam pengertian yang

agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa

diambil dari lafaz; … ( بقاع ) yang sinonimnya: ( هازج ءاوس امب لعف ),

artinya : membalas sesuai dengan apa yang dilakukannya.2

Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut

hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilakukan setelah perbuatan itu

dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa

sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan

yang menyimpang yang telah dilakukannya.

Menurut hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan

sebagai larangan–larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya

membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan

perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak

1 Ibrahim Anis, et. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jua II, Dar Ihya’ At-turats Al-Araby, tt., hlm 612 2 Ibid, hlm 613.

22

diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang

hanya dilarang oleh syariat.3

Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jinayat untuk

kejahatan. 4 Jinayat adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap

kelakuan yang buruk yang dilakukan oleh seseorang. Tetapi dalam istilah

hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.

Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan

yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan,

melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja.5

Banyak yang berpendapat mangenai hukuman, menurut Sudarto

seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian

pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan

menurut Rahman Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa Abdullah, Pidana

adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpahkan Negara pada pembuat delik itu.6 Dapat diartikan hukuman atau

pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat yang tidak

menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang

3 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm. 20 4 Di beberapa Negara Arab kata jinayat ini sering juga menjadi sebutan bagi kejahatan

terhadap nyawa. 5 Topo Santoso, op.cit, hlm. 21. 6 Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet

I, 1983, hlm. 48

23

kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan

perbuatan atau peristiwa pidana.

Sedangkan peristiwa pidana atau yang dimaksud dengan jarimah itu

adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman

had atau ta’zir.7

Hukuman had dalam arti umum adalah meliputi semua hukuman yang

telah ditentukan oleh syara’, baik hal itu merupakan hak Allah maupun hak

individu. Sedangkan dalam arti khusus itu adalah hukuman yang telah

ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman potong

tangan untuk jarimah pencurian, dera seratus kali untuk jarimah zina, dan dera

delapan puluh kali untuk jarimah qodzaf. Sedangkan pengertian ta’zir adalah

hukuman yang belum ditentukan oleh syara’ atau dapat dikatakan tidak

tercantum nash atau ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan

ketentuan yang pasti dan terperinci, untuk penetapan serta pelaksanaannya

diserahkan kepada ulil amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya.8

Pembagian atau klasifikasi yang paling penting dan paling banyak

dibahas yaitu hudud, qishash, dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan

yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam yang merupakan

kejahatan terhadap publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud

7 Abi Ya’la Muhammad ibn Al Husain, As Ahkam Al Sulthaniyah, Maktabah Ahmad ibn

Sa’ad, Surabaya, 1974, cet. III, hlm. 257. 8 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Isalam, Sinar Grafika, Jakarta,

cet. II, 2006, hlm. 10.

24

tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun, terutama sekali,

berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.9

Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat di definisikan

sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang

ditentukan sebagai hak Allah. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair,

yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-

baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah

(pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al-khamr (meminum khamar).

Kategori berikutnya adalah qishash. Sasaran dari kejahatan ini adalah

integrasi tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Terdiri dari apa yang di

kenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau

crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan

menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan,

menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak

pidana qishash ini.

Kategori yang terahir adalah kejahatan ta’zir. Landasan dan penentuan

hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) berkaitan dengan hak negara

muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan

yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian atau kerusakan fisik, sosial,

9 Topo Santoso, op.cit, hlm.22

25

politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara

keseluruhan.10

2. Dasar Hukum Pidana Islam

Hukum dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan

kepada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau

undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)

seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri

maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

syara’. Apabila bertentangan maka hukuman tersebut menjadi batal.11

Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh

menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia

berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama dari pada

hukuman yang telah ditetapkan.12

Dasar pelarangan sesuatu perbuatan ialah pemeliharaan kepentingan

masyarakat itu sendiri. Tuhan yang mengadakan larangan-larangan (hukum-

hukum) tidak akan mendapatkan keuntungan karena ketaatan manusia,

sebagaimana juga tidak akan menderita kerugian karena pendurhakaan

mereka.

10 Ibid, hlm. 23 11 Ahmad Wardi Muslich, opcit, hlm 141. 12 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy,Juz I, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, Beirut,

tt, hlm. 629

26

Syari’at menganggap akhlak yang tinggi sebagai sendi masyarakat.

Oleh karena itu Syari’at sangat memperhatikan masalah akhlak, dimana tiap-

tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam

hukuman.13

3. Tujuan Hukuman

Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk

memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat,

baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui

taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang

utama, al-Qur’an dan al-Hadist. Serta dalam rangka mewujudkan

kemaslahatan di dunia dan akhirat.14

Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at

Islam adalah:

a. Pencegahan.

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah

agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-

menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku,

pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia

tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa

hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang

13 Ibid, hlm. 4 14 Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.

125

27

lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.15 Dengan demikian,

kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu

sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk

tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.

Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup juga merupakan

tujuan dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting,

sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak

terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban di mana-mana.16

b. Pendidikan dan Perbaikan

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku

agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat

bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya

hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku kesadaran bahwa ia

menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan kerena

kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat

ridho dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja merupakan alat

yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah.17

Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at Islam dalam menjatuhkan

hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa

saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan

15 Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 138 16 Topo Santoso, op.cit, hlm. 19. 17 Ahmad Wardi Muslih, op.cit, hlm 139.

28

mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu

jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan

serta membangkitkan kemarahan masyarakat tehadap perebuatannya, selain

menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.18

Perbaikan juga menjadikan hal-hal yang menghiasi kehidupan sosial

dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih

baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak

membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup

juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai

kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal yang

apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para

intelektual. Dalam hal ini, perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-

cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan

cara hidup.19

Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara menyatakan

reaksi dan balasan dari masyarakat tehadap perbuatan pelaku yang telah

melanggar kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati

korban. Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa

derita yang harus dialami oleh pelaku sebagai imbangan atas perbuatan dan

18 Ibid, hlm. 140. 19 Topo Santoso, op.cit, hlm. 20.

29

sebagai sarana untuk menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah

rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.20

Tujuan hukuman telah mengalami beberapa perkembangan, dan dibagi

menjadi berbagai fase sebagai berikut : 21

1) Fase balasan perseorangan

Pada fase ini hukuman yang diberikan atau diserahkan oleh korban

atau walinya tak memiliki batasan sehingga dikhawatirkan terjadinya

pembalasan yang berlebihan yang menimbulkan perang antar suku

atau golongan.

2) Fase balasan Tuhan atau balasan umum

Balasan dari Tuhan dimaksudkan agar pembuat menyadari bahwa

akan adanya balasan sesudah mati sehingga pelaku kejahatan

menyadari dan jera dengan perbuatannya itu. Sedangkan balasan

umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun

tidak berani meniru perbuatannya.

3) Fase kemanusiaan

Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang

dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang telah melakukan

kejahatan. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan

terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut

20 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IV, 1990, hlm.

257. 21 Ahmad Wardi Muslich, op.cit,. hlm. 139-140.

30

muncul teori Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus

dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial dan

bukan penyiksaan atau penebusan dosa akan tetapi menahan pelaku

kejahatan mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk

tidak meniru perbuatannya..

4) Fase keilmuan

Didasarkan pada tiga pemikiran yaitu:

Pertama, pencegahan khusus dan pencegahan umum. Yang tujuannya

untuk mencegah masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dan

pengulangan-pengulangan tindak kejahatan.

Kedua, yaitu dengan mngedepankan pengamatan ilmiah dan

pengalaman-pengalaman praktis serta kenyataan yang terjadi.

Ketiga, selain untuk memerangi jarimah yang ditujukan pada para

pembuatnya juga harus ditujukkan untuk mencegah dan mengatasi

sebab-sebab yang menimbulkan jarimah tersebut.

B. Jarimah yang dikenai hukuman mati

Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian

pelakunya terjadi pada tiga kasus.

احصان بعد وزنا ايمان بعد كفر : ثثال باحدى�اال مسلم امرئ دم لايحل

نفس بغير نفس وقتل

31

“Tidak halal darah (jiwa) seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal yaitu kufur sesudah iman, zina sesudah ihsan (kawin) dan pembunuhan bukan karena pembunuhan orang (bukan pembunuhan qisas).22

Umumnya Fuqaha menyebut 6 macam: Sariqah, zina, qadzaf, hirabah,

khamar, riddah. Ada yang menambah dengan bughah (berontak). Abdullah

An-Na’im dan beberapa pemikir modern menyebut empat yang pertama saja.

Menurut An-Na’im, Hudud hanya 4 macam saja: Zina, Qadzaf, Sariqah dan

Hirabah.

1. Murtad ( Al-Riddah)

من : وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول قال , قال عنه اهللا رضى عباس ابن عن

﴾البخارى رواه﴿ قتلوه فا دينه لبد

Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa yang menukar agamanya (dari Islam kepada agama yang lain) maka bunuhlah dia.

Makna Riddah menurut bahasa ialah kembali dari meninggalkan

sesuatu menuju ke sesuatu yang lainnya. Sedangkan menurut syara’ ialah

putusnya Islam dengan niat kufur, berucap kufur atau berbuat kufur, seperti

sujud kepada berhala, baik sujudnya atas dasar mentertawakan atau karena

nekat atau juga karena kepercayaan seperti mempercayai adanya dzat baru

22 A. Hanafi, Op.Cit. , hlm. 267

32

yang membuat alam.23 Serta berpaling dari Islam kemudian menjadi mata-

mata atau musuh untuk menghancurkan Islam.

Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati

sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman

tambahan.24

…نمو ددتري كممن ندينه ع تمفي وهو كافر فأولئك بطتح مالهمفي أع

﴾٢١٧ : البقرة ﴿ خالدون فيها هم النار صحابأ وأولئك والآخرة الدنيا

Artinya: ...Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 217)25

Mawlana Muhammad Ali dan Muhammad Hasyim Kamali juga

menyatakan bahwa murtad yang diancam dengan hukuman mati adalah yang

setara dengan desersi.26

Hukuman mati dalam kasus murtad telah disepakati tanpa keraguan

lagi oleh keempat Mazhab Hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa

23 Imron Abu Bakar, , Fathul Qorib (terjemah), Kudus: Menara Kudus, 1983, hlm. 161 24 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 277 25 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT

Tanjung Mas Inti, 1992, hlm. 53 26 Rusdji Ali Muhammad, Diyat dalam perspektif Islam, disampaikan pada acara seminar

yang yang diselenggarakan oleh Imparsial dan Aceh Judicial Monitoring Independent (AJMI) pada 8-9 Mei 2007 dan 7-8 Agustus 2007, di Banda Aceh, dan seminar yang diselenggarakan oleh ICTJ Indonesia bekerja sama dengan Koalisi Pengungkap Kebenaran dan Universitas Malikussaleh dan Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala selama dua kali di Lhokseumawe dan Banda Aceh.

33

mengucap sesuatu yang berarti murtad sedangkan hatinya tetap beriman,

maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan dihukum murtad.27

نم بالله كفر د منعانه بإلا إمي نم أكره وهقلب ئنطمان مبالأمي لكنو نم حرش

﴾١٠٦ : النحل ﴿عظيم عذاب ولهم الله من غضب فعليهم صدرا بالكفر

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman , kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman , akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. An-Nahl: 106)28

2. Zina

Zina ialah dosa besar yang paling besar setelah pembunuhan. Juga ada

pendapat bahwa zina itu lebih besar dosanya dari pada pembunuhan.

نم بالله كفر د منعانه بإلا إمي نم أكره هقلبو ئنطمان مبالأمي لكنو نم رشح

﴾١٠٦ : النحل ﴿عظيم عذاب ولهم الله من غضب فعليهم صدرا بالكفر

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(Q.S. Al-Isra: 32)29

27 Abdur Rahman Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm.

73 28 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 418 29 Ibid, hlm. 429

34

Untuk jarimah zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu : dera (jilid),

pengasingan (taghrib), dan rajam. Pelaku zina yang sudah kawin (muhson)30,

sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati.

Adapun hukuman zina mukhson yaitu dirajam (dilempari) dengan batu

yang normal, tidak cukup dengan kerikil kecil dan pula dengan batu besar.31

Karena biasanya keihsanan orang yang sudah kawin dapat menjauhkan

pemikiran untuk menghindari dari kenikmatan zina. Akan tetapi jika dia

masih memikirkan hal itu, maka ia patut mendapatkan hukuman yang berat.

Ketentuan tersebut telah menunjukkan atas keadilan dan

kebijaksanaan. Menurut Syari’at Islam contoh yang buruk tidak berhak hidup,

karena Syari’at Islam ditegakkan atas keutamaan akhlak dan pembersihan

keluarga dari segala macam noda.

Para fuqoha selain golongan Khawarij sudah bulat pendapatnya atas

adanya hukuman rajam, karena hukuman tersebut pernah dijatuhkan oleh

Rasulullah saw, dan oleh sahabat-sahabat sepeninggalnya.

Hukuman mati bagi pelaku muhsan (terikat kawin) hanya dapat

dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang ketat, sehingga dimasa

nabi dan sahabat penjatuhan hukuman ini dapat dihitung dengan jari.

3. Pembunuhan disengaja

30 Zina muhson ialah zina seorang laki-laki atau perempuan yang memenuhi syarat-syarat :

Sudah dewasa, berakal sehat, merdeka, wujudnya jimakdari orang Islam atau Kafir Dzimmi dalam ikatan pernikahan yang sah. Bagi Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menambahkan syarat lagi, yaitu masing-masing harus Islam agamanya.

31 Imron Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 136

35

Pembunuhan ada tiga macam :

a. Benar-benar disengaja. Kata عمد adalah masdar dari عمد sewazan

dengan ضرب .Adapun artinya ialah sengaja. b. Benar-benar tidak sengaja.

c. Disengaja, tapi salah.32

ما نعتطب ممؤقب انف لتهق ونا الا هب دو ضري قملا يلوتلو

Artinya: Barangsiapa menyerang seorang mukmin dengan pembunuhan, maka ia harus dijatuhi qisas karena pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban merelakannya.

نقتل م ل لهقتي لهفاه نين بيتربو ان : خياح�ا دفالقو اى اصالقص

ية�الد اى فالعقل ا�بواح وان

Artunya: Barangsiapa mempunyai keluarga terbunuh, maka keluarganya ada diantara dua pilihan. Kalau suka, maka mereka mengambil qishash dan kalau suka maka mereka menerima diyat.

Di dunia ini seluruh agama memandang hidup manusia adalah sangat

berharga sehingga jika membunuh satu orang saja dianggap telah membunuh

semua orang dan sama halnya jika yang telah menyelamatkan hidup

seseorang dianggap seolah-olah telah menyelamatkan hidup seluruh manusia

yang ada di dunia.

32 ibid, hlm. 110

36

فساد أو نفس بغير نفسا قتل من أنه إسرائيل بني على كتبنا ذلك أجل نم

...جميعا الناس أحيا فكأنما أحياها ومن جميعا الناس قتل فكأنما الأرض في

﴾ ٣٢ :ئدة املا﴿

Artinya: "Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya". (al-Maidah: 32)33

Dalam Q.S Al An’am dijelaskan bahwa yang berhak menentukan

apakah seseorang berhak untuk dihilangkan nyawanya atau tidak, untuk terus

hidup dan dengan mengabaikan hak orang lain untuk hidup damai adalah

sepenuhnya tergantung pada wewenang Qadhi. Dan dalam ayat ini

diperintahkan agar melindungi kehidupan manusia.

﴾١٥١ : االنعام ﴿ ...بالحق إلا الله حرم التي النفس لواتقت وال...

Artimya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’aam: 151)34

Orang boleh mencabut hak hidup sesorang dengan lima hal berikut:

a. Hukum balas (Qishash) yang dikenakan bagi seseorang penjahat yang

membunuh seseorang dengan sengaja.

33 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 164 34 Ibid. hlm. 214

37

b. Dalam perang, mempertahankan diri (jihad) melawan musuh Islam.

Merupakan hal yang wajar bahwa ada beberapa pejuang yang

terbunuh.

c. Hukuman mati bagi para pengkhianat yang berusaha menggulingkan

pemerintah Islam ( fasal fil bidh).

d. Lelaki atau perempuan telah menikah yang dijatuhi hukuman Hadd

karena berzina.

e. Orang merampok/ membegal (Hirobah).35

Perintah tentang Qishash dalam Al-Qur’an didasarkan pada prinsip-

prinsip keadilan yang ketat dan kesamaan nilai kehidupan manusia, seperti

tersirat dalam Q.S Al-Baqoroh 178 :

بالعبد والعبد بالحر الحر القتلى في القصاص عليكم تبك آمنوا الذين أيها يا

بإحسان إليه وأداء بالمعروف فاتباع شيء أخيه من له عفي فمن بالأنثى والأنثى

ذلك فيفخت من كمبة رمحرو ى نفمدتاع دعب ذلك فله ذابع البقرة ﴿أليم :

١٧٨﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah membayar kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik . Yang demikian itu adalah suatu

35 Abdur Rahman Doi, Ibid, hlm. 25

38

keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (Q.S. Al-Baqarah: 178)36

Dalam ayat ini, Islam telah mengurangi kengerian. Pembalasan

dendam yang berkesumat dan dipraktekkan pada masa Jahiliyah atau bahkan

yang dilakukan dengan sedikit perubahan bentuk pada masa kita kini yang

disebut masyarakat modern yang beradab. Kesamaan dalam pembalasan

ditetapkan dengan rasa keadilan yang ketat, tetapi ia memberikan kesempatan

jelas bagi perdamaian dan kemampuan. Saudara lelaki yang terbunuh dapat

memberikan keringanan berdasarkan pada pertimbangannya yang wajar,

permintaan dan ganti rugi sebagai terima kasih (dari pihak terhukum).37

4. Hukum Gangguan Kemanan ( Hirobah )

Terhadap gangguan keamanan (Hirobah) dikenakan empat hukuman,

yaitu : hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, potong tangan serta

kaki dan pengasingan . ketentuan tersebut sesuai dengan firman Allah :

أو يقتلوا أن فسادا الأرض في ويسعون ورسوله الله يحاربون الذين جزاء إنما

:املائدة ﴿الأرض من ينفوا أو خالف من وأرجلهم أيديهم تقطع أو يصلبوا

٣٣ ﴾

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau

36 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 43 37 Abdur Rahman Doi, op.cit, hlm. 25

39

dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri. (Q.S. Al-Maidah: 33)38

C. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Islam

Pada dasarnya menurut Syari’at Islam hukuman ta’zir adalah untuk

memberi pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu

dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau

penghilangan nyawa.

Akan tetapi para fuqoha membuat suatu pengecualian dari aturan umum

tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman mati jika kepentingan umum

menghendaki demikian atau kalau pemberantasan pembuat tidak bisa terlaksana

kecuali dengan jalan membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah dan

residivis yang berbahaya.

Oleh karena hukuman mati merupakan suatu pengecualian hukuman ta’zir,

maka hukuman tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan seluruhnya kepada

hakim seperti halnya dengan hukuman-hukuman ta’zir yang lain dan penguasa

harus menentukan macamnya jarimah yang dijatuhi hukuman.39

Abu Hurairah r.a menerangkan :

38 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 164 39 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 300

40

به فعل �حد : قال مسلم واله وسلم عليه اهللا صلى النىب عن هريرة اىب عن

ماجه ابن رواه (صباحا اربعين يمطروا ان من االرض هلأل خير االرض فى

فيهما بالشك امحد و ثني ثال وقال والنسائ

Artinya: “Nabi saw bersabda : Satu hukuman had yang dilaksanakan dimuka bumi, lebih baik bagi penduduk bumi daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari”.40

1. Tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam

Cara melaksanakan pidana mati dalam Islam ada dua pendapat yaitu,

pertama menurut pendapat Imam Abu Hanifah bahwa pidana mati

dilaksanakan dengan cara memenggal leher dengan pedang, atau dengan

senjata yang semacam itu. Sedangkan yang kedua menurut pendapat Imam

Syafi’I dan Imam Malik bahwa pidana mati dilaksanakan dengan berbagai

cara, tapi harus mempunyai batasan-batasan.41

Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan

misal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara

membunuhnya atau di qishash, yaitu membunuh dengan memukul

menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga

tata cara yang dilarang misalnya dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-

hidup, ada juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah

pemegang otoritas yang menentukan.

40 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Koleksi Hadis-hadis hukum 9, Semarang : Petrajaya Mitrajaya, 2001, hlm. 132

41 Andi Hamzah, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 63

41

Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan hal

yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk

pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang menurut agama Islam dan tetap

dilakukan didepan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera

(zawajir/detterent effect).

a. Dirajam

Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan

batu dan yang dikenakan ialah pembuat zina muhsan, baik laki-laki atau

perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam al-Qur’an dan oleh

karena itu fuqoha-fuqoha Khawarij tidak memakai hukum rajam. Menurut

mereka terhadap jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik

pelakunya sudah muhsan atau belum dan dipersamakan antara keduanya.42

Amir Asy Sya’by ra menerangkan :

Syurahah seorang perempuan yang bersuami, namun suaminya tidak berada ditempat karena pergi merantau ke Syam. Ternyata Syurahah hamil. Majikannya membawanya kepada Ali bin Abi Thalib dan melaporkan bahwa Syurahah telah berzina. Syurahah mengakui perbuatnnya. Ali mencambuknya 100 kali pada hari Kamis, dan merajamnya pada hari Jum’at. Ali menggali lubang untuk Syurahah setinggi pusar. Amir berkata : saya ikut menyaksikan. Ali berkata : Sesungguhnya rajam itu adalah suatu sunnah yang ditetapkan Rasulullah saw. Sekiranya pelaksanaan hukuman ini oleh seorang saksi, orang yang memulai pelaksanaan hukuman ini adalah orang yang menyaksikan perzinaan itu., diikuti dengan pelemparan batu. Namun karena tuduhan perzinahan terhadap Syurahah adalah karena pengakuannya sendiri, maka akulah (Ali) yang mulai melemparinya. Ali melemparinya dengan sebuah batu, barulah

42 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 267

42

diikuti yang lain. Aku berada diantara mereka. Kata Amir, demi Allah aku termasuk orang yang menewaskannya. (H.R Ahmad)

Abu Hanifah dan golongan Hadawiah lah yang menetapkan bahwa

saksi pelapor yang memulai pelaksanaan hukuman rajam (pelemparan

batu). Penguasa harus memaksa si saksi memulainya. Namun jika

perzinaan itu diakui sendiri oleh si pelaku, maka penguasa atau wakilnya

yang memulai pelemparan batu, atau setidak-tidaknya sang penguasa

(hakim) hadir dalam pelaksanaan eksekusinya.

Asy-Syafi’i tidak mengharuskan hakim yang memulai melempari

batu, bahkan tidak mengaharuskan hakim turut hadir dalam pelaksanaan

rajam. 43

Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, menerangkan :

Ma’iz ibn Malik Al Islamy datang menemui Nabi saw dan berkata : Ya Rasulullah, saya telah berzina dan saya ingin anda mensucikan saya. Nabi menyuruhnya pulang. Keesokan harinya dia kembali datang dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah berzina. Nabi kembali menyuruhnya pulang. Kemudian Rasulullah mengutus orang kepada kaum Ma’iz dan utusan itu berkata: Apakah kalian mengetahui ada gangguan akal pada diri Ma’iz? Apakah kalian mengetahuinya selain dia seorang yang waras, menurut pendapat kami dia seorang yang saleh. Kemudian Ma’iz kembali menemui Nabi untuk yang ketiga. Nabi kembali mengutus orang untuk menemui kaum Ma’iz dan menanyakan tentang pribadi Ma’iz. Mereka mengatakan tak ada sesuatu yang menimpai Ma’iz dan tidak pula akalnya. Maka ketika dia datang pada kali yang keempat, Nabi memerintahkan agar Ma’iz dirajam, dan rajam itu dilaksanakan. (H.R Muslim dan Ahmad)

43 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Op.Cit, hlm. 135

43

Abu Sa’id Al-Khudry menerangkan :

Dikala Rasulullah saw memerintahkan kami merajam Mai’iz ibn Malik, kami membawanya ke Al Baqi’. Demi Allah, kami tidak menggali lubang dan Kami tidak mengikatnya. Dia berdiri tegak. Kami melemparnya dengan tulang dan tembikar. Dia mengeluh menahan sakit, dan dia berusaha melarikan diri dengan sangat cepat, sehingga dia berhenti di Al Harrah. Kamipun melemparnya dengan batu yang diangkut ketempat itu, sampai dia tewas. (H.R Ahmad Muslim dan Abu Daud).44

Berbagai pendapat dikalangan para fuqoha sehingga dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1) Rajam dilaksanakan dengan cara dilempari batu yang

diserahkan pada pertimbangan hakim.

2) Sebagian tubuh dibenamkan kedalam lubang.

3) Pelaksanaan hukuman rajam pada perempuan yang dihukum

rajam tidak boleh terbuka auratnya.

b. Qishash

Hukuman qishash ialah hukum balas bunuh terhadap pembunuhan.

Hukum ini dapat gugur manakala terdapat perdamaian antara kedua belah

pihak; pihak yang dibunuh dan pihak yang membunuh, dengan ganti rugi

oleh pihak yang membunuh kepada pihak yang dibunuh. Ganti rugi ini

dinamakan “diyat”. Pembayaran dan penerimaan diyat hendaklah

dilakukan dengan cara sebaik-baiknya. Pengguguran hukum qishash

44 Ibid, hlm. 136

44

dengan pembayaran diyat ini, ada satu keringanan yang telah digariskan

Allah. Diyat juga menjadi rahmat dari Allah, dan rahmad Allah itu

bukankah lebih tinggi nilainya dari ampun dan maaf, dan dapat mencegah

pertumpahan darah selanjutnya.45

Ayat-ayat Al-Qur’an juga menerangkan:

Artinya: dan tidaklah layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hedaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan jika ia (si terbunuh) dari kaum-kaum kafir yang ada perjanjian (damai) diantara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisaa: 92-93). 46

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajib atas kamu qishash berkenaaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita ddengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang bauk dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepadayang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu

45 Andi Hamzah, op.cit, hal.101. 46 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 135-136

45

adalah suatu keringanan dari Tuhan kamudan suatu rahmat. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah: 178) 47

Artinya: Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa. (al-Baqarah: 179) 48

Hukum qishash berarti jaminan ketentraman hidup, maksudnya

peraturan qishash itu dapat mencegah pembunuhan yang mungkin akan

berlarut-larut antara kedua belah pihak. Misalnya jika pihak si korban

melakukan balas bunuh itu tanpa melalui hukum qishash. Tetapi, jika

kedua belah pihak telah sama-sama mentaati qishash, maka akan

terjaminlah hati antara kedua belah pihak dan sekaligus tercipta pulalah

ketentraman hidup dalam pergaulan bersama.

47 Ibid. hlm. 43 48 Ibid, hlm. 44

46

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

A. Pengertian, Dasar dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia

1. Pengertian Pidana Mati

Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang

tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana terberat. Karena pidana ini

berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan

terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya berada ditangan Tuhan.1

Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering.

Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak

hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam

undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti

telah menghilangkan nyawa seseorang. Padahal setiap manusia memiliki hak

untuk hidup.2

Berbicara mengenai pidana mati, pastilah tidak jauh dengan makna

mati dan kematian. Mulai dari situlah dapat membuka peluang perbedaan

pendapat yang sangat kontras. Bagi kaum jahiliyah katakanlah kaum sekuler,

mereka menganggap mati itu akhir dari segalanya. Bagi mereka, awal itu

1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.

29. 2 Fatahilla, Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia, fatahilla.blogspot.com diakses tanggal

17 September 2009.

47

yakni kelahiran dan akhir itu kematian.Filsafat mereka mengutamakan “tujuan

menghalalkan segala cara”.3

Definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah dideklarasikan oleh

Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh Negara

lain, walaupun ada sedikit perbedaan.

Ada beberapa definisi mati yang Pertama, definisi klinis atau Somatis

atau Sistematis yaitu munculnya tanda kematian pada pemeriksaan fisik atau

keadaan dimana tidak berfungsinya 3 bagian tubuh terpenting yaitu otak,

jantung dan peru-paru.4

Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak, maka dinyatakan

mati walaupun jantungnya masih hidup, ginjalnya masih berdenyut, termasuk

hati dan paru-parunya. Walaupun kematian otak masih diuji dan dapat

mempuyai tujuan, keabsahannya sebagai ukuran tidak jelas karena sangat

memungkinkan terutama dengan kemajuan teknologi, pasien memperoleh

teknik “plugged-in” untuk melanjutkan pernafasan dan mendapatkan denyut

jantung yang bias didengar setelah kematian otak yang nyata. 5

Ketiga, kematian seluler atau molekuler. Yaitu kematian pada

tingkatan sel dan ini terjadi beberapa saat kemudian setelah kematian klinis.

Kematian sel inilah yang menyebabkan suhu tubuh menurun dan akhirnya

3 Bismar Siregar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992, hlm. 26. 4 P. Vijay Chada, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta : Widya Medika,

1995, hlm. 46. 5 George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan (terjemah),

Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 353.

48

suhu tubuh sama dengan suhu lingkungannya. Keadaan demikian tercapai

sekitar 3-4 jam setelah organ vital tubuh tidak berfungsi.6

2. Dasar Pidana Mati

Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP jo pasal 11

KUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang masih

dipertahankan oleh Hukum Pidana di Indonesia. Pasal 10 yang memuat dua

macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman

pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan

hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak-hak

tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman keputusan

hakim.

Pasal 11 KUHP bunyinya :

Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.7

Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No.

2/Pnps/1964 yang masih berlaku sampai saat ini.

3. Tujuan Pemidanaan

Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan

dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan

sebagai berikut :

6 P.Vijay Chanda, Op.Cit, hlm. 46. 7 Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 6

49

“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapaun juga, sdangkan pada pihak lain pemerintahnegara menyerang pribadi menusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.”8

Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat 3 (tiga)

unsur berikut9 :

1) Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau

kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai

sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini diderita oleh subyek

yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain.

2) Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara

hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah

suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal

suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan

tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang

mengakibatkan penderitaan.

8 Djoko Prakoso, Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana

Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 19. 9 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004,

hlm. 71.

50

3) Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya

kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau

peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat

diuraikan sebagai berikut :10

1) Teori absolut atau Teori pembalasan

Bahwa pada dasarnya manusia mempunyai perasaan ingin

membalas atau ada kecenderungan untuk membalas yang merupakan efek

dari suatu gejala sosial yang normal.11

Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat

anasir-anasir yang menuntut pidana dan membenarkan pidana dijatuhkan.

Kant mengatakan bahwa konsekuesi tersebut adalah suatu akibat logis

yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan

harus disusul oleh suatu pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu

sesuatu yang menurut rasio praktis dengan sendirinya menyusul suatu

kejahatan yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana

tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis.12

Nigel Walker memberi tiga pengertian mengenai pembalasan

(retribution):13

10 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 19. 11 Ibid, hlm. 54. 12 Ibid, hlm. 19. 13 J.E Sahetapy, Op. Cit., hlm. 199.

51

a) Retaliatory retribution, berarti dengan sengaja membebankan suatu

penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu

menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang

dilakukannya.

b) Distributive retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah

melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-

persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka

mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana.

c) Quantitative retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-

bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tindak kejahatan yang

dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.

Kant pada pokoknya berpendapat bahwa barangsiapa yang

melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan asas

pembalasan karena disyaratkan oleh perintah yang tidak bersyarat dari

akal yang praktis.14

Kaum retensionis merumuskan pidana mati lazimnya itu bersifat

transcendental, dibangun dari conceptual abstraction, yang mencoba

melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek

pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori

14 Ibid, hlm. 201.

52

absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan

manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka

nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga

keseimbangan dalam tertib hukum. Bahkan secara ekstrim dan kejam teori

pembalasan tetap mempertahankan sloganisme Kant, “andaikata besok

dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada

hari ini.”15

2) Teori relatif atau Teori tujuan

Menurut teori relatif, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata

tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah

menghindarkan (preverensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat

preverensi dari pemidanaan ialah preverensi umum dan preverensi

khusus.16

Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang

hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai,

kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap

ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang

menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi

kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang

telah direncanakannya.

15 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 16 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 20.

53

Teori relatif dengan aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan

melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat

yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek

menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis,

dengan maksud agar si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi

mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat.17

Ancaman pidana bukan suatu yang konkrit, yang menjadi sesuatu

yang konkrit ialah pidana yang diputuskan sebagai sanksi atas suatu

pelanggaran, misalnya dalam undang-undang pidana ditentukan suatu

pidana mati, sedangkan perbuatan yang sungguh-sungguh (in concreto)

dilakukan hanyalah suatu kejahatan ringan saja. Oleh karena suatu

ancaman pidana hanyalah sesuatu yang abstrak, maka dengan sendirinya

sangatlah sukar untuk terlebih dahulu menentukan batas beratnya pidana

yang diancamkan itu.18

3) Teori Menggabungkan

Teori menggabungkan berasal dari keberatan-keberatan terhadap

teori-teori pembalasan dan teori tujuan yang pada dasarnya memiliki

tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang

17 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 18 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 21.

54

diserang secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu

unsurnya tanpa menghilangka unsur yang ada.19

Sementara kaum abolisionis melihat teori absolut dan teori relatif

tidak mempunyai daya pengaruh kuat dan efektif untuk menekan statistik

kriminalitas. Pendekatan aliran kriminologi cukup efektif, mencoba

melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana

mati harus disesuaikan dengan pola perubahan zaman dan kondisi

strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Kajian ini berusaha meneropong

kejahatan dari pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis,

sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam

masyarakat.20

Namun pada hakekatnya tujuan pemidanaan adalah:21

a) Pembalasan (revenge)

Dalam masyarakat primitif unsur pembalasan sering kali terjadi,

akibat dari perbuatan salah seorang dari sebuah suku maka suku yang

menjadi korban menginginkan adanya pembalasan seperti yang pernah

terjadi perang suku antara Sampit dengan Madura.

Pembalasan dipandang sebagai suatu harmonisasi kepentingan

yang trans-egoistis atau diatas kepentingan sendiri.22 Sebab teori

19 Ibid, hlm. 24. 20 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 21 Andi Hamzah, A. Sumangelipu,Op.Cit, hlm. 16.

55

pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa

lampau, tidak dalam pertaliannya dengan masa depan si terpidana.

b) Penghapusan dosa (expiation)

Menurut tradisi Kristen-Judea, tujuan ini merupakan akar dari

pemikiran religius yang menginginkan adanya keseimbangan antara

pidana sebagai penderitaan si pelaku dengan penghapusan kesalahan.

c) Menjerakan ( detterent)

Alasan ini dibuat Negara untuk mencegah atau membatasi

terjadinya kejahatan. Ini dapat menyebabkan manusia yang berpikir

secara rasional untuk berpikir kembali mengenai untung dan ruginya

suatu perbuatan. Jeremy Bentham dari Inggris dan ahli kriminoogi

Cesare Becharia adalah tokoh yang mempelopori dasar pertimbangan

tentang untung ruginya suatu perbuatan dengan mengenakan pidana

terhadap pelaku secara cepat, tepat dan sepadan.

d) Perlindungan terhadap umum ( protection of public)

Yaitu dengan cara mengisolasi penjahat dari masyarakat yang

taat kepada hukum. Dengan demikian kejahatan dalam masyarakat

berkurang.

e) Memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal)

22 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap pembunuhan

berencana, Jakarta : Rajawali, 1982, hlm. 207

56

Yakni memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna dan

membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

B. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia

No. UU Pasal 1. Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) Pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat(3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis,127, 129, 368 ayat (2)

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)

Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke -1,Ke-2, Ke-3 dan Ke4, Pasal 74 Ke-1 dan Ke2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 109 Ke-1dan Ke-2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan(2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 ayat (2)

3. UU No 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api

Pasal 1 ayat (1)

4. Penetapan Presiden No 5 Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan

Pasal 2

5. Perpu No 21 Tahun 1959 Tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi

Pasal 1 ayat (1) dan (2)

6. UU No 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi

Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 1 ayat(1)

7. UU No 31/PNPS/1964 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom

Pasal 23

8. UU No 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang undangan Pidana Kejahatan

Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)

57

Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan

9. UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Pasal 59 ayat (2)

10. UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3)

11. UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi

Pasal 2 ayat (2)

12. UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)

13. UU No 15 Tahun 2003 Tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme

Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.

1. Pidana Mati di dalam KUHP

KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati

atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan

kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :

a. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)

b. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau

berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)

c. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)

d. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat

yang direncanakan dan berakibat maut)

e. Pasal 340 (pembunuhan berencana)

f. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka

berat atau mati)

58

g. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka

berat atau mati)

h. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan

kematian).23

2. Pidana Mati dalam perundang-undangan di luar KUHP

Selain terhadap kejahatan yang diatur dalam KUHP, undang-undang

hukum pidana diluar KUHP juga ada yang mengatur tentang pidana mati.

Peraturan tersebut antara lain :

a. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang

Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman

hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan

perlengkapan sandang pangan.

“Barang siapa melakukan tindak pidana sebagaimana termaksud dalam Undang-undang Darurat No.7 tahun 1955(Lembaran Negara tahun 1955 No.27), tindak pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberatasan Korupsi (Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Perpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat dalam itel I dan II KUHP, dengan mengetahui atau patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yaitu:

a) Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya

b) Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara c) Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan

politik (Irian Barat) Dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

23 Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan di masa

depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 18

59

b. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat

ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.

“Jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat , maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau hukuman enjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun hukuman denda yang besarnya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam undang-undang darurat tersebut dalam ayat (1)”

Ini artinya delik ekonomi yang dapat memperberat pidana sehingga

menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian diancam dengan pidana

mati.

c. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang

senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.

“tanpa hak memasukkan, mencoba, memperoleh, menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak diancam pidana mati”

d. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang

pemberantasan kegiatan subversi.

(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) 1,2,3,4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.

(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh juta rupiah).

e. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 tahun 1964 tentang ketentuan pokok

tenaga atom.

60

“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara sementaa selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat, atau dipecat dari hak jabatan tersebut dalam pasal 35 KUHP”

f. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang

Narkotika. Pasal 36 ayat (4) sub b mengancam pidana mati dalam pasal

23 ayat (4) sebagai berikut :

“ Secara melawan hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika”

Sedangkan pasal 36 ayat 5 sub b mengancam dengan pidana mati

perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 23 ayat (5) sebagai berikut :

“Secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menerima, menawarkan untuk dijual, membeli, menyerahkan, menjadi perantara dalam jaul beli atau menukar narkotika.”

g. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Mengenai ancaman

pidana mati atas kejahatan penerbangan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan dalam KUHP diatur pada pasal 479, yang

berbunyi sebagai berikut :

“(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun apabila perbuatan dimaksud pasal 479 huruf l, pasal 479 m dan pasal 479 huruf n itu : a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama, b. sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu, d. mengakibakan luka berat bagi seseorang. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau

hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun ( Undang-Undang No. 4 tahun 1976).

61

C. Sekilas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

1. Macam-macam Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Pidana mati merupakan suatu macam pidana yang tua dalam usia, tapi

muda dalam berita. Dalam arti pidana mati sejak dulu sampai sekarang selalu

menjadi perdebatan di kalangan orang-orang yang pro dan kontra dengan

adanya pidana mati tersebut.24

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan eksekusi

pidana mati pada terpidana. Mulai dari digantung sampai mati, dipenggal pada

leher, ditembak sampai mati, distrum listrik, dimasukkan dalam ruang gas

sampai mati hingga suntik mati semuanya menuju pada satu hasil akhir yang

sama yaitu matinya terpidana

Terdapat dua macam definisi kapan seseorang itu dinyatakan mati

secara medis, pertama berhentinya fungsi pernafasan dan kedua matinya

batang otak pada korban. Di luar dari pro dan kontra adanya pidana mati,

terdapat satu kesepakatan Internasional dalam International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) untuk menghapuskan tindakan yang menindas

bahkan menghilangkan hak asasi manusia. Melihat Indonesia masih teguh

berpegang pada pandangan perlunya pidana mati maka Indonesia pun juga

harus mempertimbangkan bagaimana caranya melakukan pelaksanaan pidana

24 Djoko Prakoso, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di

Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 129

62

mati dengan menghindarkan penyiksaan atau penderitaan yang

berkepanjangan dari terpidana.25

Jika dari cara pelaksanaan pidana mati ternyata terpidana masih

tersiksa, meregang dan bahkan mengeram karena kesakitan sebelum menemui

ajalnya maka sudah barang tentu tata cara itu melanggar hak asasi manusia

untuk tidak disiksa.

a. Ditembak sampai Mati

Pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung

terpidana mati. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa jantung sebagai tanda

hidup yang utama dalam kehidupan manusia, maka tembakkan tepat pada

jantung manusia adalah sasaran yang sangat mematikan dan dapat

mempercepat proses kematian.

Akan tetapi jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana

masih memperlihatkan tenda-tanda belum mati, baru kemudian ditembak

pada bagian kepalanya. Tembakkan pada bagian kepala ini sebagai

tembakkan pengakhir (pamungkas) karena itu, Pemerintah memaknai

tembakan di kepala terpidana mati dengan :

1) Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah dipastikan

mematikan.

25 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Terpidana Mati dalam Hukum

Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta, 2009. hlm. 35

63

2) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan, apabila

tembakkan jantung langsung mematikan terpidana mati.

3) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai

tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakkan pada

jantung tidak langsug mematikan (atau masih ada tanda-tanda belum

mati).

4) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakkan

pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak mengalami

proses sakit yang terlalu lama.26

b. Suntik Mati27

Suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini dan

menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika Serikat yang

melakukan bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena dokter dan

perawat terikat oleh etika, sehingga yang melakukan adalah orang-orang

yang terlatih.

Hal demikian merupakan kelemahan tetapi andaikata hal tersebut

benar, prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua infus melalui vena,

satu bagian sebagai cadangan (back up) kemungkinan satu sebelah kiri

dan satu sebelah kanan. Setelah dipasang infus dengan Na Sl fisiologis

26 Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 53

27 Sun Sunatrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 57

64

kemudian dimasukkan obat bius yang namanya Topental sebanyak 5

gram. Perlu diketahui, kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat

tidur maka hanya membutuhkna dosis kira-kira ¼ (seperempat) gram

sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 (lima) gram hampir dipastikan

akan terbius , apalagi dosisnya toxic artinya orang yang diberikan dosis 5

(lima) gram tersebut langsung pingsan dan langsung nafasnya berhenti.

Setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua

yaitu obat yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon, diberikan

sebanyak 8 (delapan) miligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4

milligram untuk orang dewasa. Dengan 8 (delapan) milligram sudah pasti

semua otot rangkanya berhenti. Otot rangka adalah otot lurik yaitu otot

yang diperintah tetapi otot polos dan otot jantung tidak berhenti.

Andaikata terjadi kesalahan oleh karena yang menyuntik bukan

ahlinya maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan menembus

otot bisa sakit sekali tetapi dalam waktu beberapa menit terpidana akan

lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin dia masih sadar karena

dosisnya kurang. Sebab orang yang menjelang kematian sangat tegang

sekali dan dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi sekali, sehingga

susah ditidurkan dibandingkan orang biasa.

Jadi, ada kemungkinan orang tersebut masih sadar dan menurut

penelitian di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar.

Kalau orang tersebut belum terbius maka akan merasakan pada waktu otot

65

menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik sehingga

mengakibatkan tersiksanya terpidana mati.

Obat ketiga yang disuntikkan adalah potassium chloride (potasium

klorida) dengan dosis 50 (lima puluh) cc, maksudnya supaya jantung

berhenti. Jika pada waktu disuntikkan potasium klorida terpidana belum

tertidur maka akan dirasakan sakit sekali seperti serangan jantung karena

mekanismenya sama yaitu tidak adanya oksigen dalam jantung. Mengenai

adanya orang yang masih sadar ketika disuntik potasium klorida juga

diyakini oleh majalah Land Health di Amerika Serikat bahwa setelah

memeriksa kadar benetol dalam darah diyakini ada beberapa yang

mungkin sekali sadar.

Dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang lainnya,

disuntik mati kelihatannya lebih elegan. Asal benar caranya. Akan tetapi

agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh terlibat dalam proses

tersebut, kecuali jika nanti ada perubahan.

c. Pancung atau dipenggal leher

Dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar yaitu dalam

hitungan detik antara 7 (tujuh) sanpai 12 (dua belas) detik. Kalau

ditembak mati memiliki waktu bervariasi. Jika tidak terkena jantung bias

setengah jam tetapi kalau tepat terkena jantungnya dalam waktu 7 (tujuh)

66

sampai 11 (sebelas) detik. Dengan demikian ditembak mati yang terkena

jantung dan dipenggal leher memiliki waktu yang sama.28

d. Gantung (Hanging)

Merupakan keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat

ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.29

Cara digantung kalau dilakukan secara benar yaitu posisi tinggi

rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya sehingga

mengakibatkan patah leher. Maka waktu yang dibutuhkan sama dengan

dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena mungkin

ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti

orang dicekik.

Kalau orang dicekik, maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5

(lima) menit kemudian pingsan sehingga bisa merasakan dan meronta-

ronta serta mungkin membuang air besar, mata melotot, lidah terjulur dan

sebagainya.30

Pada pelaksanaan hukuman gantung, kematian terjadi dengan

seketika. Pada korban yang dihukum gantung, keadaanya tali yang

menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba

dijatuhkan dari ketinggian 1, 5 – 2 m. Maka akan mengakibatkan fraktur

28 Ibid 29 P. Vijay Chada, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta: Widya Medika,

1995, hlm. 103 30 Sun Sunatrio, Op.Cit, hlm. 57

67

atau diskolasi vertebrata servikalis yang akan menekan medull oblongata

dan mengakibatkan terhentinya pernafasan. Biasanya yang terkena adalah

vertebrata servikalis ke-2 dan ke-3.31

e. Strum Listrik (Electrocution atau The Electric Chair)

Metode seperti ini dilakukan dengan cara terpidana didudukan

pada alat pengalir listrik, diikat dan kemudian di aliri listrik. Metode

seperti ini berlaku sebagai opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk

beberapa Negara bagian saja, yaitu Albama, Florida, South Carolina,

Kentucky, Tennessee dan Virginia.

f. Ruang Gas (Gas Chamber)

Tata caranya dilaksanakan dengan cara terpidana di masukkan

dalam Ruang Gas beracun hingga mati. Lama proses kematiannya

tergantung ketahanan tubuh terpidana. Metode seperti ini berlaku di

Negara Mexico, Negara bagian Colorado, North Carolina.32

2. Pembentukan Undang-Undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di

Indonesia.

Peraturan perundang-undang di Indonesia banyak yang mencantumkan

ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No.

7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun

1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No.

31 P. Vijay Chadha, Op.Cit, hlm. 106 32 Hwian Cristianto, Op.Cit, hlm. 36

68

31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001

tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang

Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.33

Praktek hukuman mati nampaknya masih akan diterapkan dalam

sistem hukum Indonesia ke depan dengan dimasukannya ketentuan ini ke

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

-Pasal 87: “Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. -Pasal 89: (1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan

selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a.Reaksi masyarakarat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b.Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk

diperbaiki; c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak

terlalu penting; dan d. Jika ada alasan yang meringankan.

(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum. (3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

-Pasal 90: “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana

33 www.kontras.org/hmati/data/working%Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf-20

agustus 2009.

69

melarikan diri, maka pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.34 Ada beberapa kemajuan dalam RUU ini. Seperti adanya pertimbangan

akhir lewat evaluasi yang cukup lama untuk mempersulit eksekusi mati bagi

seorang terpidana.

Berbicara sanksi pidana mati, adalah salah satu hukuman pokok yang

terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian bagaimana hukuman mati tersebut

dilaksanakan terdapat dalam Pasal 11 KUHP, pertama dilaksanakan dengan

penggantungan. Dalam sejarahnya yang ada dalam text book, sanksi pidana

tidak ada dalam Wetboek van straaftrecht di negeri Belanda, tetapi bukan

karena Belanda anti pidana mati, melainkan ada pidana mati tetapi tidak

pernah dilaksanakan karena kebanyakan terpidana mati akan mendapatkan

pengampunan dari raja. Kemudian pidana mati tersebut terdapat di dalam

hukum pidana yang berlaku untuk kawasan Nederlands indische atau

kemudian berlaku di dalam Indonesia dan sudah ada sejak 1 Januari 1918.35

Memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari pasal

11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi

kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun1964

yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut dikarenakan

seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati

34Ibid 35 Rudi Satrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah

Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 47

70

dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati

digantung diubah dengan cara ditembak. Dengan demikian perubahan

pelaksanaan pidana mati terkait dengan kecepatan dalam proses untuk

mencapai kematian.

Indonesia pada kurun waktu tahun 1950-1955 masih memberlakukan

sistem Demokrasi Parlementer yang didasarkan pada UUDS 1950. Ciri utama

dari sistem ketatanegaraan Parlementer adalah peran parlemen yang sangat

aktif dalam menentukan kebijakan Negara.36

Sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu paska Dekrit Presiden 5

juli 1959 sampai dengan 1966, terjadi ketidak tertiban dalam pembentukan

tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan yang menyebabkan

adanya produk hukum yang tidak tertib dan tumpang tindih. Hal ini terjadi

sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem

parlementer yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun

1950 ke sistem presidensial berdasarkan UUD 1945.

Sistem pemerintahan ini sangat berbeda jauh dengan sistem

Pemerintahan Presidensiil sebagai mana dianut dalam UUD 1945. Sistem

Parlementer menghendaki parlemenlah yang memegang kekuasaan tertinggi

36 Sri Sumantri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung: Transito, 1976, hlm.

32.

71

kepada semua organ Negara. Kepala Negara hanya berfungsi sebagai lambang

kepemimpinan belaka (symbolic head of the state).37

Setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban produk

hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966

yang memuat hierarki peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam

perjalanannya, ketetapan MPRS tersebut dijadikan dasar hukum untuk

melakukan legislative review tehadap produk hukum di bawah undang-

undang, khususnya yang diterbitkan oleh Presiden. Hasil legislative review

tersebut dimuat dalam UU 5/1969 yang memuat daftar produk hukum

Penetapan Presiden (PNPS) yang ditetapkan untuk dipertahankan dan

dinaikkan statusnya sebagai undang-undang, dijadikan bahan pembuatan

undang-undang di masa yang akan datang, dan sebagian diantaranya

dinyatakan dicabut.38

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori penetapan

presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya

menjadi undang-undang, kemudian cara penyebutannya menjadi UU

2/Pnps/1964 (konsonan “Pnps” menunjukkan bahwa undang-undang tersebut

berasal dari Penetapan Presiden).

37 Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (suatu pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1993, hlm. 210. 38 Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, op.cit, hlm. 52

72

Kedudukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tersebut secara

konstitusional menjadi sah sebagai undang-undang berdasarkan pasal I Aturan

Peralihan UUD 1945 (pasca amandemen) yang berbuyi, “Segala peraturan

perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.39

Dalam Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964 memuat norma hukum

tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama dengan norma

hukum yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan UU 2/Pnps/1964 tersebut

tidak secara eksplisit mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut pemerintah,

kedudukan norma hukum yang dimuat dalam UU 2/Pnps/1964 harus

dipandang sebagai norma hukum yang terbit kemudian (hukum baru),

sedangkan Pasal 11 KUHP sebagai hukum lama.

Sesuai dengan asas hukum (lex posteriori derogat legi priori), maka

jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum baru yang

kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau

menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan,

maka berlakulah norma hukum yang baru (dalam hal ini Undang-Undang

Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati).40

Dengan demikian UU 2/Pnps/1964 yang telah ditetapkan menjadi

undang-undang dengan UU 5/1969 telah sesuai dengan semangat

39 Ibid 40 Ibid

73

pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 (vide

dasar “menimbang” UU 5/1969).

Dari bentuk hukumnya, memang benar UU 2/Pnps/1969 semula

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD

1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan

nama Penetapan Presiden, namun hal tersebut telah dikoreksi dengan UU

5/1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan

Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan Majlis

Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut berisi perintah untuk

melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan

Presiden dan Peaturan Presiden.41

Konsiderans UU 5/1969 berbunyi, “bahwa dalam rangka pemurnian

produk-produk legislatif yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan

Peraturan-peraturan Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli

1969”dan “bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan

Presiden yang meterinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu

dinyatakan sebagai undang-undang.”

Oleh karena itu, dengan UU 5/1969, Penetapan Presiden Nomor 2

Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai

undang-undang, yaitu menjadi UU 2/Pnps/1964, sehingga bentuk hukumnya

41 Pendapat Mahkamah, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,

Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 60

74

sudah sesuai dengan UUD 1945. kata “Pnps” sekedar sebagai tanda bahwa

undang-undang yang dimaksud berasal dari Penetapan Presiden.

Dinyatakannya beberapa Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden,

termasuk Penetapan Presiden Nomor Tahun 1964 menjadi undang-undang,

menunjukkan bahwa isinya masih sesuai dengan aspirasi rakyat kerena

merupakan pembaruan terhadap ketentuan Pasal 11 Kitab Undang-Undang

Pidana (KUHP).

Dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun

1964 tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak

mengenal produk hukum yang bernama “Penetapan Presiden”. Akan tetapi,

setelah UU 5/1969 menyatakan UU 2/Pnps/1964 berlaku, maka prosedur

pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20

ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR,

dalam hal ini DPR GR sebagai DPR yang sah pada awal Orde Baru sebelum

DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR yang

membentuk UU 5/1969 yang menyatakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun

1964 sebagai UU 2/Pnps/1964 adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa

transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan

diakui oleh rakyat Indonesia.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang

berbunyi, “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung

berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar

75

ini” dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang

berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap

berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar

ini”, yang menjadi dasar keberlakuan UU 2/Pnps/1964 sampai sekarang.42

D. Unsur-Unsur Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

1. Pilihan ‘Ditembak Sampai Mati’ di antara Cara Pelaksanaan Pidana

Mati Lainnya

Metode dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman

mati seperti pancung kepala di Saudi Arabia dan Iran; sengatan listrik di

Amerika Serikat digantung di Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan,

Singapura; suntik mati di Tiongkok, Guatemala, Thailand, Amerika Serikat;

tembak mati di Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain; rajam di

Afganistan, Iran.

Tata cara yang masih dipraktekkan didunia untuk menghukum mati

terpidana adalah : digantung ( hanging), dipenggal pada leher ( decapitation),

ditembak mati (shotting), diestrum listrik (electrocution atau the electric

chair), dimasukkan dalam ruang gas (gas chamber) dan disuntik mati (lethal

injection).43

Pidana mati juga dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia.

Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara

42 Ibid, hlm 61 43 Muhammad Luthfie Hakim, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,

Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm.. 49

76

melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris,

ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya

dengan alu dan lain-lain.44

Hukum Adat sering dinamakan sebagai Hukum yang mendasarkan diri

pada prinsip kekeluargaan. Prinsip itu berpokok pada asas kebersamaan,

dimana segala kehendak para warga diusahakan untuk dapat dirangkum

menjadi satu kesatuan dengan cita-rasa yang hidup di dalam masyarakat.45

Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan

kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap menganggu keseimbangan

kosmis manusia, oleh sebab itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat,

koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui Pengurus Adatnya. 46

Sebagai studi perbandingan berikut ini tabel perbandingan pelbagai

cara pelaksanaan pidana mati oleh beberapa Negara dan kemungkinan

pelanggaran hak asasinya.47

Jenis Hukuman Cara Pelaksanaan Proses Kematian Indikasi Pelanggaran HAM

Negara yang Memberlakukan

Hukuman Gantung

pada leher terpidana diikatkan

5 menit terpidana tersiksa selama 5 menit

Irak, Iran, Jepang,

44 Andi Hamzah, Pidana mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 47 45 Moh Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002,

hlm. 9 46 I Made Widnyana, Kapita Selekta Pidana, tak ada tempat: Eresco, 1993, hlm. 3 47 Diambil dari Keterangan Ahli Pemohon dr. Sun Sunatrio (ahli anestesi) pada

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/putusan_sidang_PUTUSAN%20perkara%2021.puu.VI.2008_Amrozy_telah%20baca.pdf diakses tanggal 27 Oktober 2009

77

seutas tali setelah itu papan injakan kaki terdakwa ditarik atau dilepas

Malaysia, Singapura

Hukuman Penggal di leher

1. algojo mengayunkan pedang ke leher korban; 2. algojo meletakkan kepala korban ke alat penggal lalu menjatuhkannya

langsung mati terpidana langsung mati namun tindakan tergolong sadis

Arab Saudi, Qatar, Yaman

Ditembak pada sasaran mematikan

petugas/regu tembak mengarahkan tembakan pada jantung, pelipis atau kepala bagian belakang terpidana

Jantung: 7-11 detik pembuluh darah besar: 7-15 menit kepala/otak: langsung mati

sasaran bisa tidak tepat tetapi dalam proses mati bukan penyiksaan

Libya, Palestina, Yaman, China, Indonesia

di strum listrik terpidana didudukkan pada alat pengalir listrik, diikat dan di aliri listrik

tergantung ketahanan tubuh

penyiksaan Amerika

dimasukkan dalam ruang gas

terpidana di masukkan dalam Ruang Gas beracun hingga mati

tergantung ketahanan tubuh

penyiksaan Mexico, Negara Bagian Colorado, North Carolina

di suntik mati terpidana di suntik zat tertentu yang menyebabkan berhentinya sistem kehidupan tubuh

30 detik terpidana tidak merasa sakit

Guatemala, Philipina, Thailand

Dari tabel di atas jelas sekali terlihat, pelaksanaan pidana mati dengan

cara tembak memang menghasilkan rasa sakit namun seketika juga

mengakibatkan matinya terpidana. Sangat jauh berbeda dengan pelaksanaan

78

pidana mati lainnya yang bisa beresiko lebih besar terpidana tersiksa bahkan

mengalami penderitaan dahulu sebelum mati.

Dengan cara digantung misalnya, belum tentu terpidana langsung mati

apalagi jika terpidana adalah seorang yang berotot leher kuat. Pelaksanaan

pidana mati sudah dilakukan dengan menggantung terpidana namun jika

setelah terpidana digantung ternyata tidak mati berarti terpidana dapat

dianggap sudah menyelesaikan pidananya dan dapat bebas.48

Memang pelaksanaan pidana mati dengan cara disuntik mati sangat

efisien jika dibandingkan dengan cara pelaksanaan lainnya. Dalam

pelaksanaannya, suntik mati juga tidak mudah dilaksanakan karena eksekutor

adalah dokter dan perawat sangat terikat dengan sumpah kedokteran untuk

menyelamatkan jiwa seseorang dalam segala kondisi.49

Namun perlu dipahami, pada setiap cara pelaksanaan pidana mati pasti

menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Dalam ratio decidendi-nya Mahamah

Konstitusi memberikan penjelasan

1) Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam pelaksanaan

pidana mati, karena seseorang dari keadaan hidup dan sehat, kemudian

tidak bernyawa/mati yang dilakukan secara sengaja dengan cara

ditembak mati, maka sudah pasti ada proses sakit;

48 Hwian Cristianto, op.cit, hlm. 37 49 Ibid

79

2) Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan, meskipun

keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit. Sakit adalah suatu

keadaan yang tidak mengenakkan (dalam hal kesehatan) yang dialami

oleh seseorang. Penyiksaan adalah keadaan sakit pada diri seseorang

yang dilakukan secara sengaja. Sakit atau perasaan sakit dengan

penyiksaan menurut hukum pidana berbeda. Sakit atau perasaan sakit

adalah proses alamiah dan jika ada tindakan manusia secara sengaja,

tujuannya bukan untuk menyakitkan, melainkan sakit tersebut merupakan

konsekuensi logis atau sebagai proses untuk tujuan yang dibenarkan oleh

hukum;50

Membedakan apa yang disebut dengan sebagai ‘sakit’ dan

‘penyiksaan’ sebagai dua kondisi yang tidak dapat dipersamakan. Sakit yang

dialami terpidana akibat pelaksanaan eksekusi merupakan proses alamiah

yang sudah pasti ada sebagai tanda matinya seseorang dan oleh hukum sangat

dibenarkan. Sedangkan ‘penyiksaan’ merupakan keadaan sakit pada diri

seseorang akibat perbuatan orang lain yang secara hukum sangat dilarang.

Pada setiap eksekusi pidana mati rasa sakit yang dirasakan oleh terpidana

tidak bisa dihindarkan.

2. Pencapaian Tujuan Pemidanaan

Sebenarnya tujuan dari pidana itu untuk mencegah timbulnya

kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati

50 Muhammad Luthfie Hakim, op.cit, hlm 60

80

dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan yang

berkaitan erat. Hal ini tampak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat itu dengan pidana

mati.51

Sejarah hukum pidana pada masa lampau, mengungkapkan adanya

sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling

mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-

kejahatan yang lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang

pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab

untuk kejahatan. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, sikap penguasa

di negara ini mencerminkan hal demikian.52

Pandangan tersebut diatas ternyata merupakan suatu kekeliruan dan

kini tidak perlu dipersoalkan lagi, demikian pula dengan perspektif ancaman

pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan berat. Orang mengira bahwa dengan

adanya ancaman pidana mati dalam undang-undang dan dilaksanakannya

ancaman itu, maka calon-calon pelaku kejahatan-kejahatan berat akan

mengurungkan niat atau rencana mereka. Pandangan demikian perlu

disayangkan, mengapa mereka terlalu menyederhanakan permasalahan

kejahatan. Orang tidak menduga bahwa semakin masyarakat itu harus diatur

51 Djoko Prakoso, op.cit, hlm 124 52 Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Angkasa Baru, 1978, hlm 12-13

81

oleh hukum semakin luas pula jangkauan yang akan dijelajahi oleh hukum

itu.53

Perkembangan tehnik dan ilmu pengetahuan pada satu pihak dan

pengaruh serta usaha manusia sendiri pada lain pihak merupakan pengaruh

balik yang bukan saja mendorong, akan tetapi juga saling tarik menarik.

Pendeknya dalam permasalahan kejahatan, banyak hal yang dilupakan. Orang

lupa bahwa di samping faktor manusiawi dan faktor lingkungan inklusif

akibat faktor perkembangan teknis, masih ada pula faktor hukum yang dapat

merangsang, mendorong bahkan dapat pula merupakan sebab-musabab

kejahatan.54

Pokok yang penting adalah sampai di mana keberhasilan pidana mati

dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan sebagaimana yang dikonsepkan

oleh BPHN tahun 1972 antara lain, mencegah dilakukannya perbuatan pidana,

dalam hal ini sebagian dari perumusan BPHN mengenai tujuan pidana

memang tepat, yaitu untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi

anggota masyarakat yang berbudi baik dan beguna untuk menghilangkan

noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Jadi jelas, pemidanaan

bukanlah dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat

manusia.55

53 Djoko Prakoso, op.cit, hlm 125 54 Ibid, hlm 126 55 Ibid

82

Apabila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap

tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada

kemungkinan besar akan berkurang pulalah hormat itu kepada manusia. Di

samping itu, masih ada lagi suatu bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh

oleh negara itu akan memancing-mancing suatu penusulan pula terhadapnya.56

Pidana mati hanyalah merendahkan kewibawaan dari negara.

Alasannya ialah bahwa bukanlah negara itu adalah pelindung yang paling

utama terhadap semua kepentingan dari manusia, pertama-tama hidupnya,

tetapi selanjutnya kemerdekaannya, harta bendanya keamanannya dan

kehormatannya.

Memang demikianlah hal-hal yang harus dilindungi oleh negara. Oleh

karena selain pidana mati masih ada juga jenis-jenis pidana yang lain, seperti

pidana penjara dan lain-lain. Itu pun masih merampas kemerdekaan

seseorang. Kalau orang sudah dipidana mati itu, maka ia tidak dapat kembali

ke tengah-tengah masyarakat. Dia idak dapat memperbaiki kelakuannya lagi,

semata-mata karena ia sudah mati. Dengan adanya pidana mati itu, negara

hanya memperlihatkan ketidakmampuan serta kelemahan dalam usahanya

untuk menanggulangi kejahatan.

3. Prosedur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

a. Persiapan Pelaksanaan Pidana Mati.

56 Roeslan Saleh, op.cit, hlm13-14

83

Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan

yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri),

dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media)

dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan

perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama,

kecuali ditentukan lain. Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana

Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan

pidana mati. Untuk pelaksanaan pidana mati, Kapolda membentuk sebuah

regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama,

di bawah pimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile

(Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.

Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau

tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum saat

pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang

akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana hendak

mengemukakan sesuatu (keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan

kepada Jaksa tersebut. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana

mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.57

b. Pelaksanaan Pidana Mati.

57 Persiapan Pidana Mati, www.darmawanku.wordpress.com diakses tanggal 25 Mei 2010

84

Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan

polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat

rokhani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian

yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (Di

Jantung). Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal

menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak

menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk

atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta

kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Misalnya diikat pada tiang atau kursi. Setelah terpidana sudah berada dalam

posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke

tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara

5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa

memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan

menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak

memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan

pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung

terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia

memberikan perintah untuk menembak. Apabila masih terlihat tanda-tanda

kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara

Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas

telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan

85

kematiannya.58 Dalam eksekusi tersebut mengenai jarak tiap anggota

eksekutor menyesuaikan. Regu penembak tidak menggunakan senjata

organiknya, peluru yang digunakan adalah 2 peluru tajam 1 diacak untuk 12

orang Tamtama, 1 untuk Bintara, sedangkan yang lain menggunakan peluru

hampa, ukuran peluru kaliber 5,56mm dan senjata yang digunakan adalah AK

47/SS 1.

Dibawah tabel daftar catatan pelaksanaan pidana mati di Indonesia

sejak tahun 2001 hingga 2007.59

Mereka yang Sudah Dieksekusi Tahun Nama Kasus Vonis Mati (PN)

2007 Ayub Bulubili Pembunuhan Berencana (Kalteng)

Fabianus Tibo Pembunuhan Berencana (Sulteng)

Marinus Riwu Pembunuhan Berencana (Sulteng)

2006 Dominggus Dasilva Pembunuhan Berencana (Sulteng)

Astini Pembunuhan Berencana (Jatim)

2005 Turmudi Pembunuhan Berencana (Jambi)

Ayodya Prasad Chaubey (India) Narkoba (Sumatra Utara) Saelow Prasad (India) Narkoba (Sumatra Utara)

2004 Namsong Sirilak (Thailand) Narkoba (Sumatra Utara)

2002 Gerson Pande Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)

Fredrik Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)

2001 Dance Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)

58 ibid 59 www.kontras.com diakses tanggal 02 Maret 2010

86

86

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN

PIDANA MATI DI INDONESIA

A. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Di Indonesia, pada jaman dahulu eksekusi untuk hukuman mati bisa

dikatak an dilakukan sebagai sebuah seni tersendiri. Kadangkala bersifat

kebiasaan yang diturunkan atau ditiru dari berbagai wilayah lainnya.

Misalnya, dengan dibunuh dengan lembing, menumbuk kepala terhukum

dalam lesung (sroh). di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang rotan yang

diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut. Dan masih banyak

metode eksekusi lainnya.

Pada masa kolonial Belandalah model eksekusi tersebut semakin lama

dikonsolidasikan menjadi beberapa model yang lebih sedikit ragamnya.

Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan

menjatuhkan hukuman: a. Dibakar hidup-hidup dengan terikat pada sebuah

tiang (paal), b. Dimatikan dengan mengunakan keris (kerissen). Kemudian

Pada tahun 1848 dibuatlah peraturan hukum pidana yang terkenal dengan

nama Interimaire Strafbepalingen yang menyatakan bahwa eksekusi hukuman

mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg). Dan sejak

itulah eksekusi mati secara di gantung menjadi cara yang paling umum di

gunakan di Hindia Belanda, sampai dengan berlakunya WvSI di tahun 1815.

87

Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa hukuman mati dijalankan oleh algojo di

tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum

dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan

tempat orang itu berdiri. Namun sebelum tahun 1872 masih digunakan

berbagai cara lain dan lazimnya eksekusi tersebut di lakukan didepan umum.

Pada masa pendudukan Jepang, selain diberlakukannya WvSi juga

diberlakukan pula peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh balatentara

Jepang. Dalam Pasal 6 Osamu Gunrei No 1 ditetapkan bahwa hukuman mati

harus dilaksanakan dengan bedil. Sehingga pada waktu yang bersamaan ada

dua cara pelaksanaan hukuman mati yaitu digantung atau ditembak. Jika yang

dilanggar adalah WvSI maka yang digunakan adalah ekskesi gantung,

sedangkan jika yang dilanggar adalah peraturan Dai Nippon maka yang

digunakan eksekusi dilakukan dengan cara ditembak mati.1

Kemudian Gunsei Keizirei yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1944

juga mengatur tata cara pelaksanaan hukuman mati dalam pasal 5 yang

dilakukan dengan cara ditembak, kecuali jika hal itu sukar dilakukan maka

diperbolehkan menggunakan cara lain.

Pada Tahun 1946 Pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 tahun 1946.

kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya dualiesme eksekusi mati. Dalam

1 Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia,

www.docutrack.com diakses tanggal 16 Maret 2010

88

wilayah RI yang saat itu dikuasi RI yang berlaku ialah pasal 11 KUHP yang

mengharuskan hukuman mati dilakukan dengan cara di gantung.

Bagi daerah yang dikuasai oleh Belanda berlakulah Stb 1945 No 123

yang mengharuskan hukuman mati dengan cara ditembak. Keadaan ini

berlangsung sampai dengan tahun 1958. Dengan dikeluarkannya UU No 73

tahun 1958 maka cara pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara

digantung sesuai dengan pasal 11 KUHP. Pelaksanaan hukuman mati dengan

cara digantung ini berlangsung sampai dkeluarkannya Penetapan Presiden No

2 tahun 1964. Menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan

dengan di tembak sampai mati. Cara inilah yang berlaku sampai dengan

sekarang.

Menurut Penetapan Presiden No 2 tahun 1964, sebelum hukuman mati

tersebut dilaksanakan maka dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam si

terhukum harus diberitahukan tentang akan dilaksanakannya hukuman mati

terhadap dirinya. Tenggang waktu ini berguna agar bisa dimanfaatkan si

terhukum untuk minta bertemu dengan keluarganya. Untuk pelaksanaan

hukuman mati kepala polisi daerah dimana hukuman mati dijatuhkan akan

membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua

belas Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya berasal

dari Brigade Mobil. Regu penembak ini berada di bawah pimpinan Jaksa

Tinggi.

89

Ketika si terhukum di bawa ke tempat eksekusi, si terhukum boleh di

temani seorang rohaniawan. Setiba di di tempat pelasanaan hukuman, wajah

siterhukum akan di tutup dengan sehelai kain, namun penutupan ini bisa tidak

dilakukan sesuai dengan permintaan si terhukum. Kemudian jika dipandang

perlu oleh Jaksa, maka tangan dan kaki siterhukum dapat diikatkan pada

sandaran khusus yang di buat untuk itu. Penembakan tersebut dapat dilakukan

dalam posisi terhukum berdiri, duduk atau berlutut. Setelah siterhukum siap di

tembak maka regu penembak dengan senjata yang sudah terisi peluru menuju

ke tempat yang sudah di tentukan oleh Jaksa yang bertanggung jawab atas

pelaksanaan hukuman tersebut.

Jarak penembakan dari si terhukum dengan regu tembak minimal 5

meter dan maksimal 10 meter. Jaksa kemudia memerintahkan pelaksanaan

hukuman mati. Komandan regu penembak memberi perintah regu tembak

agar bersiap dengan menggunakan sebelah pedang sebagai isyarat, kemudian

dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk

untuk membidikan senapan pada bagian jantung si terhukum dan dengan

menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat maka sebagai tanda

peringatan maka penembakan di lakukan. Jika setelah penembakan dilakukan,

ternyata terhukum masih belum meninggal dunia maka komandan regu

memerintahkan kepada Bintara untuk melepaskan tembakan terakhir dengan

90

menekankan ujung laras senjatanya pada bagian kepala si terhukum tepat

diatas telinganya hingga si terhukum meninggal dunia.2

Tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia yang sebelumnya

terdapat pada Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan

digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden

Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilakasanakan dengan cara ditembak.

Hal tersebut juga dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dan

dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang

lama, maka hukuman mati dangan digantung diubah dengan cara ditembak.

Dengan demikian perubahan pelaksanaan pidana mati juga terkait

dengan kecepatan dalam proses untuk mencapai kematian dan kemudian hal

yang berhubungan dengan masalah yang lebih sedikit serta berbicara soal

derita atau siksaan yang ada. Bisa jadi tembak pada masanya lebih cepat dari

digantung dan mungkin lainnya pada masanya sekarang lebih cepat dari pada

dengan ditembak.

Memperhatikan landasan yang mendasari Undang-Undang Nomor

2/Pnps/1964, pada bagian menimbangnya menyatakan, “bahwa ketentuan-

ketentuan yang berlaku dewasa ini mengenai tata cara pelaksanaan pidana

mati bagi orang-orang yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan di

lingkungan peradilan umum dan orang-orang baik militer maupun bukan

militer yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan lingkungan peradilan

2 Ibid

91

lingkungan militer tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan

keadaan serta jiwa Revolusi Indonesia”.3

Sedangkan makna serta jiwa revolusi Indonesia, karena undang-

undang tersebut dibuat sejak tahun 1964-1966 maka kemudian masih

memunculkan istilah-istilah jiwa revolusi Indonesia dan seterusnya. Sekarang

filosofi dasar berpijaknya bisa menjadi melanggar hak asasi manusia, ini suatu

hal perubahan terkait masalah kondisi politik suatu keadaan Negara.

Dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada pasal

28G amandemen yang kedua tahun 2000 maka muncul, “setap orang berhak

untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat

martabat manusia yang berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain”,

kata-kata bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat

manusia kemungkinan sangat relevan dengan persoalan dengan menjalankan

hukuman pidana mati dalam suatu posisi yang kemudian menjadi tersiksa.

Standar pelaksanaan pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan

UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk

bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak

manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia”, yang mengandung

3 Rudi Satrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah

Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm 47

92

kriteria bahwa pidana mati dapat dilaksanakan jika tidak kejam atau

merendahkan martabat manusia itu sendiri.

Pelaksanaan pidana mati harus dilakukan dengan cara yang terbaik

untuk terpidana, dalam arti tidak menyiksa dengan mempercepat proses

kematian. Berdasarkan perkembangan pengetahuan dan teknologi, perlu

dipertimbangkan jalan terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan

lebih cepat dilaksanakan.

Sedangkan permasalah pro dan kontra undang-undang pelaksanaan

hukuman mati dalam unsur formil saat Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yaitu dengan ditembak mati

yang dianggap tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan Pasal 11

KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga seolah-

olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara

digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai

mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hukuman Mati.

Menurut hukum pidana, KUHP yang menjadi buku induk dari semua

ketentuan-ketentuan hukum pidana di luar KUHP (Moeljatno), sebenarnya

telah memberikan satu cara pelaksanaan pidana mati secara spesifik. Pasal 11

KUHP menyatakan “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat

gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat pada tiang gantungan pada

leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.

93

KUHP memberikan tata cara pelaksanaan pidana mati melalui

hukuman gantung sampai mati, karena jenis hukuman ini sesuai dengan

kondisi di Eropa pada abad 16 yang menerapkan hukuman gantung di depan

publik (umum) dengan tujuan agar masyarakat dapat menjadi saksi dan

peringatan serta pelajaran bagi para calon pelaku yang akan melanggar

hukum.

Meskipun melalui asas konkordansi Indonesia memberlakukan hukum

kolonial ternyata tidak semua peraturan tersebut diterima secara mentah-

mentah menjadi produk hukum yang berlaku secara nasional (Pasal IV Aturan

Peralihan UUD 1945). Terbukti dari inisiatif pemerintah Indonesia telah

membuat suatu mekanisme pelaksanaan pidana mati menurut KUHP (Pasal

11 KUHP). 4

Melalui UU No. 2/Pnps/1964, pelaksanaan pidana mati tidak lagi

dengan hukuman gantung tetapi dengan ditembak sampai mati. Pertimbangan

dipilihnya tata cara ditembak sampai mati ini antara lain lebih manusiawi dan

cara yang paling efektif untuk dilaksanakan.

Adanya UU No.2/Pnps/1964 yang mengatur tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Maka secara yuridis Pasal 11 KUHP yang mengatur

tentang hukuman gantung sudah tidak berlaku lagi. Sesuai dengan asas hukum

4 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi Terpidana Mati dalam Hukum

Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta. 2009. hlm. 30

94

lex posteriori derogate legi lex priori (ketentuan perundang-undangan yang

baru menggantikan ketentuan perundang-undangan yang lama).

Jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum

baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau

menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan,

maka berlakulah norma hukum baru. Dalam hal ini UU No.2/Pnps/1964

merupakan produk hukum baru berupa undang-undang yang setara dengan

KUHP yang sudah lama berlaku sejak 8 Maret 1942.

B. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum

Islam

Indonesia merupakan negara terbesar yang mayoritas penduduknya

menganut agama Islam, jadi sebenarnya tidak ada salahnya apabila Indonesia

juga memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang mengatur negara ini.

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara

menyeluruh. Islam bukanlah hanya sekedar doktrin keagamaan saja, bukan

pula hanya sekedar bangunan jiwa dan kebajikan budi pekerti, seperti latihan

untuk kebaikan manusia, tetapi suatu keseluruhan yang harmonis yang juga

meliputi sistim ekonomi, hukum perdata, hukum pidana seperti pula hukum

internasional, kesemuanya itu berdasarkan atas satu dasar yang sama yaitu

“doktrin Islam” dengan temperamennya baik moral maupun spiritual

temperamen.

95

Islam selalu mengajarkan setiap orang disuruh untuk melakukan

perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat

apapun juga termasuk dalam membunuh kalau memang itu disyariatkan untuk

membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik.

لازيررضلا

“Mudharat harus dihilangkan”.5

Apabila dalam tata cara pelaksanaan pidana mati masih menimbulkan

rasa sakit maka harus dicari cara yang tidak menimbulkan rasa sakit yang

tidak akan menjadi siksaan atau mudharat yang buruk bagi terpidana.

رارضالوررضال

“Tidak boleh berbuat mudharat dan tidak boleh membalas dengan

mudharat”.6

Ketika dalam peperangan juga orang Islam tetap dilarang untuk

melakukan mematsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum

membunuh. Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan

dengan jelek, artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia

mengalami kematian itu juga tidak diperbolehkan.7

5 Abdul Karim Zaidan, PengantarStudi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008, hlm 122 6 Ibid, hlm 121 7 Mudzakir, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah

Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm 46

96

Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam

mengajarkan agar kita melakukan dengan baik, sebagaimana salah satu contoh

hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

انثدح وبأ ركب نب ىبأ ةبيش انثدح ليعامسا نب ةيلع نع دلاخ ءاذحلا نع ىبأ هبالق

نع ىبأ ثعشآلا نع دادش نب سوأ لاق ناتنث امهتظفح نع لوسر هللا لاق .م.ص نا

هللا بتآ ناسحالا ىلع لآ ئيش اذاف متلتق اونسحأف هلتقلا اذاو متخبذ اونسحأف حبذلا دحيلو 8 مآدحأ هترفش حريلف هتحيبذ

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhannya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan binatang sembelihannya.”

Hadits tersebut menyuruh untuk membaguskan cara menyembelih dan

membunuh dan menajamkan pisau, sehingga kalau syariat menetapkan bahwa

boleh dilakukan pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan

dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk

berupa siksaan, oleh karena untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi

kalau dilakukan terhadap manusia, perumpamaan tersebut dalam ilmu ushul

fiqh disebut ( يولواسايق )

Soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau ditembak mati ternyata

dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami penderitaan sekaligus juga dia

mengalami kematian maka itu dibenarkan dalam Islam. Demikian juga cara

8 Imam Muslim, Shahih Muslim, penerbit Al Qona’ah, hlm.177 tt

97

lain, misalnya disentil kupingnya orang itu paling cepat matinya dan itulah

yang mesti dilakukan, tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah terjadi

setidaknya begitu, kita tidak mendapatkan bahwa cara-cara hukuman mati

dengan ditembak itu cara yang tepat.

Arab Saudi melaksanakan hukuman mati dengan cara dipenggal, dan

menurut meraka yang menyaksikan sendiri, orangnya disuruh jongkok

semacam berlutut, kemudian ditebaskan lehernya sesudah itu langsung

kepalanya dimasukkan ke dalam kantong mayat dengan badannya. Pada

prinsipnya dalam Islam hukuman tersebut dilakukan ditempat umum agar ada

yang menyaksikan, baik hukuman mati maupun hukuman jilid. Dan

pelaksanaan hukuman pancung di Arab Saudi dilakukan pada siang hari.9

Demikian juga di kitab-kitab fiqih, mengapa yang digunakan hukum

penggal, karena dianggap dengan cara itulah yang paling tepat untuk

mempercepat kematian.

Kekeliruan dalam melakukan eksekusi hingga mungkin keadaannya

luka sehingga tidak segera mati bila dikaitkan dengan ketentuan adanya ajal,

manusia diperintahkan oleh Allah diberi kewajiban untuk melakuakan ikhtiar,

sepanjang ikhtiar sudah dilakukan dengan maksimal, maka bebas dari

tuntutan. Artinya kalau jarak lima meter sampai sepuluh meter ternyata salah

dan tidak ada ketentuan bahwa hal tersebut harus diubah, maka ketantuan

tersebut harus dibuang jauh-jauh diganti dengan yang baru.

9 Mudzakir, Op.cit, hlm 46

98

Kalau ternyata dapat dibuktikan cara dipancung lebih baik seperti yang

diputuskan oleh banyak ulama dari kalangan muslim maka harus dilakukan

dan cara yang lain tidak dilakukan.

Ketetapan ajal manusia tidak mungkin mempercepat atau

memperlambat, bahkan tatkala seseorang diputuskan untuk dihukum mati

mungkin masanya masih berlanjut sampai dua, tiga, empat tahun sampai

sepuluh tahun, bahkan puluhan tahun, hal tersebut merupakan bukti bahwa

ketetapan Allah tentang ajal tidak dapat diajukan dan tidak dapat diundurkan.

Sebaliknya juga demikian kalau seseorang sudah waktunya datang

kematian di mana seharusnya dia dieksekusi, tetapi lima menit sebelum

dieksekusi dia sudah mati, oleh karena itu yang dibebankan kepada manusia

adalah usaha untuk melakukan kewajiban tersebut sehingga dapat melakukan

pidana mati dengan cara yang membuat kesakitan wajib dilakukan dan

sebaliknya kalau diketahui ada kemungkinan kekeliruan lebih besar tetap

ditempuh maka hal tersebut merupakan suatu kesalahan.

Kalangan hukum khususnya ulama Islam sejak dulu kala memilih

dengan dipenggal. Kemudian mengenai kecepatan, kalau dipenggal tidak ada

resiko meleset sedangkan ditembak sebagaimana yang selama ini telah

dilakukan masih ada resiko meleset, sehingga permasalahannya adalah ada

yang berisiko dan tidak. Kalau memang dapat dibuktikan cara ditembak mati

tidak meleset dan benar dan kecepatannya sama dengan dengan dipancung

maka cara ditembak mati tidak masalah digunakan, tetapi selagi tidak atau

99

selagi cara ditembak mati masih berisiko dan cara dipancung tidak berisiko,

maka semua ulama akan memilih yang tidak berisiko dari pada yang

berisiko.10

Syariat Islam membuat ketentuan-ketentuan khusus. Ada orang yang

dihukum mati dengan dirajam, dijemur di padang pasir kemudian dicukil

matanya dan dibiarkan mereka mati kehausan dan kelaparan, akan tetapi hal

tersebut merupakan kasus tertentu yang diatur dengan hukum yang tertentu

pula, yang kesemuanya diatur secara syariat dan mengikat. Hukum rajam

merupakan ketentuan yang khusus, tidak boleh diberlakukan terhadap perkara

yang lainnya. Misalnya ada tawanan, karena dia sangat kejam banyak

membunuh tentara Islam lalu dia dirajam, hal tersebut tidak boleh dikenakan

terhadap musuh yang membunuh, tetapi harus dihukum dengan dibunuh pula

walaupun dia pernah menyiksa kaum muslimin sekian banyak. Oleh karena

itu, tatkala dihukum tebas atau dihukum tembak ternyata dilapangan diketahui

bahwa dihukum tembak lebih banyak tidak akurat maka grade-nya ditaruh di

bawah hukum tebas.

Syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal tersebut boleh

dilakukan maka boleh dilakukan. Dengan demikian tidak sama hukum

Indonesia dengan hukum Islam, misalnya ada seorang melakukan perzinahan

sementara dia sudah menikah maka dalam hukum Islam harus dihukum,

10 Ibid, hlm 47

100

sedangkan di luar hukum Islam harus ada yang menuntut terlebih dahulu baru

dapat dituntut.

Sehingga kalau ada seseorang yang melakukan perzinahan lalu

dihukum dengan hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat

Islam, oleh karena itu seseorang yang melakukan kejahatan di negeri

Indonesia dan dihukum dengan undang-undang berdasarkan KUHP atau

undang-undang lainnya yang berlaku, maka tidak membebaskan dia dari

tanggung jawab di hadapan Allah SWT karena syariat Islam belum

ditegakkan atas dirinya.

Tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya

selain dengan dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping

ada unsur menyiksa dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu,

berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung

maka tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati

kecuali dengan dipancung.

Hukum Islam ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal

dilempar batu sampai mati atau rajam, dibalas sesuai dengan cara

membunuhnya atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul

menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga

tata cara yang dilarang (misalnya, dengan dibakar hidup-hidup), ada juga yang

tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang

menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati

101

merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak

berupa bentuk pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang (menurut ajaran

Islam) dan tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi

memberikan efek jera (zawair/detterent effect).

102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas, setelah penulis mempelajari, membahas, dan menganalisa

permasalahan yang penulis angkat, maka sebagai hasil akhir dari penulisan skripsi

ini, akan penulis kemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebenarnya pada zaman dahulu eksekusi pidana mati di Indonesia sudah ada

dan memiliki begitu banyak ragam pelaksanaan pidana mati bahkan bisa

dikatakan dilakukan sebagai sebuah seni tersendiri namun semua itu

mengalami perubahan pada masa kolonial Belanda yang mencantumkan tata

cara pelaksanaan pidana mati dalam pasal 11 KUHP yaitu dengan digantung

dan kemudian pada masa pendudukan Jepang juga diterapkan peraturan

pidana mati dengan cara ditembak yang kemudian ditetapkan oleh presiden

Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 yang mengatur

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan ditembak sampi mati yang

kemudian masih diberlakukan hingga saat ini. Pergantian ini juga dikarenakan

pelaksanaan pidana mati dengan digantung memakan waktu yang lama dalam

proses untuk mencapai kematiaanya sehingga pelaksanaan pidana mati

dengan ditembak dipandang lebih sedikit menimbulkan derita atau siksaan

yang ada, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak juga dianggap lebih

terhormat dan pertimbangan dipilihnya tata cara ditembak mati ini antara

lebih manusiawi dan cara yang paling efektif untuk dilaksanakan.

103

2. Menurut hukum Islam, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara yang

paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk yaitu berupa siksaan.

Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan salah satu

tata cara pelaksanaan pidana mati yang diajarkan oleh hukum Islam dan juga

merupakan pilihan baik untuk diterapkan juga di Indonesia, karena selain

hukuman mati dengan memenggal leher ini dikenal yang paling sedikit

menimbulkan rasa sakit bagi terpidana, Indonesia juga mayoritas

penduduknya menganut agama Islam, bahkan penganut ajaran Islam

terbanyak di dunia. Dan sesuai ketentuan hukum Islam pelaksanaan hukuman

mati juga harus dilakukan di depan masyarakat luas demi memberikan efek

jera dan rasa takut untuk melakukan perbuatan yang sama bagi orang lain

yang melihatnya.

B. Saran-saran

Saran-saran penulis ketika mengkaji tema skrpsi ini adalah sebagai berikut :

1. Akademisi kita terkadang terlalu jauh melakukan pengembaraan intelektual

kedunia bagian yang lain, padahal khazanah intelektual begitu kaya, hanya

saja kita perlu melihatnya dari sisi yang berbeda.

2. Dalam melakukan suatu penetian atau mencari produk hukum tidaklah harus

selalu mencari produk dari luar yang mana kita belum tahu benar asal-muasal

kenapa produk hukum itu diberlakukan di Negara itu, karena di Negara kita

sendiri sebenarnya juga kaya akan produk hukum dari hukum-hukum adat

104

yang ada dan dapat kita pertimbangkan untuk bisa dipakai atau diberlakukan

di Negara kita sendiri.

3. Bahwa ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana

mati merupakan suatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat

dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: jika cara yang dilakukan menimbulkan

penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian;

kemudian bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam

masyarakat; dan tidak menjaga dan mempertahankan harkat martabat

terpidana sebagai manusia.

4. Penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini masih bias kelas, hukum hanya

berlaku bagi orang-orang yang tidak mampu, sedangkan hukum sendiri tidak

pernah menyentuh orang yang kelas atas, atau dapat dikatakan orang yang

berduit, atau juga para pejabat.

5. Mengenai pelaksanaan pidana mati itu sendiri, bahwa setiap pelaksanaan

eksekusi pidana mati rasa sakit yang dirasakan oleh terpidana tidak bisa

dihindarkan, dan apa saja yang menjadi cara eksekusi pidana mati pasti ada

unsur rasa sakitnya.

6. Pelaksanaan pidana mati haruslah memperhatikan tujuan dari dilakukannya

eksekusi (untuk matinya terpidana) bukan untuk menyiksanya. Dan untuk

memberikan pelajaran bagi yang lain.

105

C. Penutup

Puji syukur senantiasa kita sanjungkan kepada Allah SWT Rab al-Alamin

yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta inayahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kepada semua pihak secara langsung maupun tidak langsung yang turut

membantu penulisan skripsi ini, dengan segala kerendahan hati penulis haturkan

terima kasih seiring do’a Jazakumullah ahsan al Jaza.

Demikian skripsi yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI

INDONESIA” ini semoga memperkaya khazanah wacana keilmuan. Kritik yang

bersifat konstruktif tantu penulis harapkan guna perbaikan dan kesempurnaan

skripsi ini. Atas kekurangan dan kesalahan, penulis berharap semoga Allah

mengampuni dan penulis mohon maaf. Semoga skripsi ini bermanfaat. Wallahul

Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IV, 1990

Abdullah, Mustafa dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet I, 1983

Abu Bakar, Imron, Fathul Qorib (terjemah), Kudus: Menara Kudus, 1983 Anis, Ibrahim, et. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jua II, Dar Ihya’ At-turats Al-Araby, tt. Audah, Abdul Al-Qadir, Al Tasri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, Kairo: Dar al Urubah,

1963

……………………….., At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy,Juz I, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, Beirut, tt

Berita Mahkamah Konstitusi, Majalah Konstitusi, XXV, Oktober-November, 2008 Bismar Siregar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992 Chada, P. Vijay, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta : Widya

Medika, 1995 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002

Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara (suatu pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT Tanjung Mas Inti, 1992

Djamil, Fathhurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Doi, Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992

Emilinianus Afendi Laggut, Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan Sistem

Pembenarannya), www.pbhi.or.id diakses tanggal 17 September 2009. Foster, George M. dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan

(terjemah), Jakarta: UI Press, 1986

Fatahilla, Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia, fatahilla.blogspot.com diakses tanggal 17 September 2009.

Hahafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Hamzah, Andi, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan di

masa depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Koesnoe, Moh, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju,

2002

Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. VI. No. I. Jakarta, 2009. Muhammad, Abi Ya’la ibn Al Husain, As Ahkam Al Sulthaniyah, Maktabah Ahmad

ibn Sa’ad, Surabaya, 1974, cet. III. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Isalam, Sinar Grafika,

Jakarta, cet. II, 2006 Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Teungku, Koleksi Hadis-hadis hukum 9,

Semarang : Petrajaya Mitrajaya, 2001

Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Panjaitan, Saut P., Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Asas, Pengertian, dan Sistematika,

Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998) Prakoso, Djoko, Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas

Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Prakoso, Djoko, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Raharjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, tt

………, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986 Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap

pembunuhan berencana, Jakarta : Rajawali, 1982 Saleh, Roeslan, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Angkasa Baru, 1978

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada,

2004

Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, 1982

………..., Soerjono, Identifikasi Hukum Positif tidak Tertulis melalui penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: IND HILL CO, 1988

………..., Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2007

Soeroso, R, Pengantar Hukum Islam, cet. Ke-9 Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Suharsimi, Ariskunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :

PT.Rineka Cipta, Cet. ke-12, 2002 Sumantri, Sri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung: Transito,

1976

Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, www.docutrack.com diakses tanggal 16 Maret 2010

Zaidan, Abdul Karim, PengantarStudi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008 Widnyana, I Made, Kapita Selekta Pidana, tak ada tempat: Eresco, 1993 http://www.indogamers.com/f144/imam_samudra_ingin_mati_dipenggal-38144/.20

agustus 2009.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/putusan_sidang_PUTUSAN%20perkara%2021.puu.VI.2008_Amrozy_telah%20baca.pdf

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fuad Hasan

TTL : Demak, 01 Juni 1986

Alamat : Jl. Jagalan Brumbung Rt. 05/02, Kec. Mranggen, Kab. Demak 59567

Pendidikan Formal :

1. TK Budi Daya Brumbung Lulus Th. 1992

2. SDN Brumbung -1 Lulus Th. 1998

3. MTs Asy-Syarifah Brumbung Lulus Th. 2001

4. MA Futuhiyyah -1 Mranggen Lulus Th. 2004

5. IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005

Pendidikan Non Formal :

• Madrasah Diniyyah Asy-Syarifah

• PP Asy-Syarifah Brumbung

Pengalaman Organisasi

• Pramuka

• Pengurus Ikatan Remaja

• UED SP desa Brumbung

Semarang, 01 Juni 2010

Fuad Hasan 2105055/052211055