tinjauan hukum islam terhadap tata cara...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA
PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
FUAD HASAN (2105055/052211055)
JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
MOTTO
الأرض فسادا أن يقتلوا أو فيإنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون
:﴿ املائدة يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خالف أو ينفوا من الأرض
٣٣﴾
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri .
...قإلا بالح الله مرالتي ح فسلوا النقتال ت١٥١: االنعام ﴿ ...و﴾
“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharankan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
PERSEMBAHAN
• Bapak dan Ibunda tercinta, atas air mata, untaian do’a, peluh darah, tetesan
keringat, bimbingan serta arahan dan pemberi semangat tanpa henti yang
senantiasa engkau curahkan untuk anakmu yang nakal ini, semoga menjadi
anak yang sholih, bermanfaat dan bisa berbakti.
• Nenek dan kakek yang senantiasa mendo’akanku agar bisa menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
• Adik-adikku yang ikut serta mendo’akanku, menjadi pendorong, pelipur lara,
dan selalu menjadi teman dikala kesepianku.
• Seluruh keluarga besar Bani H. Muhammad Ishaq Brumbung.
• Seluruh keluarga besar Bani H. Yahya bin Harun Tambakan.
• Seluruh keluarga besar Bani Abdul Jalal Brumbung.
• Teman-temanku seperjuangan, sepermainan, yang turut memberikan dorongan
semangat dalam menyelesaikan skripsi dan semua yang ku kenal yang selalu
memberi masukan serta tambahan pengalaman hidup.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah penguasa semesta atas segala limpahan
rahmad dan anugerah kepada kita semua, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini, shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada beliau Nabi Agung
junjungan kami, Muhammad SAW, beserta segenap keluarga dan para sahabatnya hingga
akhir nanti.
Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”
tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh kerena itu penulis sampaikan terima
kasih yang tak terhingga :
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin., M.Ag. selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Ahmad Arif Junaidi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan yang
telah mengarahkan serta meng-Acc judulku.
3. Bapak Rupi’i, M.Ag. yang meng-Acc proposalku.
4. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Ibu Brillian Ernawati, S.H., M.H. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk membantu, mengarahkan secara menyeluruh sampai selesainya penulisan
skripsi ini.
6. Ibu Nur Rosyida, Dra., Hj. selaku wali studi yang selalu mengarahkan dan memberi
masukan selama menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo Semarang.
7. Bapak, Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah atas jasa-jasanya serta ilmu yang
disampaikan dalam perkuliahan sehari-hari, semoga berkah dan bermanfaat.
8. Seluruh staf Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin layanan kepustakaan
yang sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Ibu dan Bapakku tersayang yang telah membiayaiku sampai saat ini, terima kasih atas
do’a, peluh keringat, tetes air mata dan darah yang selalu tercurah demi anakmu yang
nakal ini.
10. Semua Ustadz-Ustadzah yang telah bayak memberikan arahan agar menjadi orang
yang benar, bermanfaat bagi semua.
11. Adik-adikku (nurul, laela, umar) tercinta yang selalu ikut mendo’akanku untuk
mewujudkan impian menjadi sarjana, semoga bisa menjadi kakak yang bisa
membimbing kalian.
12. Mas Lutfi Ansory yang telah banyak membantu dalam proses akhir penulisan untuk
dapat segera diajukan.
13. Teman-teman yang selalu ku ajak tukar pikiran dan bersendau gurau untuk
menghilangka rasa jenuh, zainal bimbim, gus kholil, ron, fadholin, dan semuanya
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
14. My spirit, yang selalu memberikan semangat dan inspirasi disetiap pagi ku membuka
mata, semoga Allah memberikan jalan buat mempertemukan kita.
15. Semua saudara-saudaraku, teman-temanku, yang telah banyak memberikan semangat
dan do’a dalam hidupku.
Akhirnya, penulis sampaikan, semoga tulisan sederhana ini dapat berguna bagi
kita semua, Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalam.
Semarang, 1 Juni 2010
Penulis
Fuad Hasan
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak beisi materi yang
telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun
pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Semarang, 01 Juni 2010
Deklarator,
Fuad Hasan
ABSTRAK
Maksud dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa yang menjadi dasar hukumnya; (2) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif hukum Islam.
Adapun metode penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini meliputi penelitian
kepustakaan (library research), metode pokok yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah dokumentasi. Sedangkan data primernya yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang berupa KUHP dan khususnya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam berupa al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun data sekunder adalah bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang relevan dengan permasalahan ini.
Setelah data terkumpul maka analisa data menggunakan metode deskriptif yaitu
untuk menjelaskan persamaan atau hubungan antara hukum positif yang ada di Indonesia khususnya tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Metode komparatif yaitu untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan agar dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia dengan hukum Islam.
Tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia ada dua versi yaitu yang pertama
dengan digantung sesuai dengan pasal 11 KUHP, tata cara ini merupakan peninggalan Belanda dengan berlakunya WvSI di tahun 1815. Sedangkan yang kedua pada masa pendudukan jepang diberlakukan pula peraturan hukum pidana dalam pasal 6 Osamu Gunrei No. 01 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan ditembak yang dikeluarkan pada tanggal 1 juni 1944, hingga kemudian dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 02 tahun 1964, menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan dengan di tembak sampai mati, cara inilah yang berlaku sampai sekarang. Pergantian ini juga dikarenakan untuk menghindarkan proses kematian yang terlalu lama sehingga tidak menimbulkan derita atau siksaan bagi terpidana dan dianggap lebih manusiawi. Menurut hukum Islam, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu madharat berupa derita atau siksaan dan menurut ketentuan hukum Islam pelaksanaan pidana mati juga harus dilakukan di depan umum (on public) demi memberikan efek jera (zawair/detterent effect) yang sejak tahun1872 hingga sekarang tidak pernah dilakukan lagi di Indonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi
DEKLARASI ....................................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Balakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 11
D. Telaah Pustaka ................................................................................... 11
E. Metode Penelitian .............................................................................. 15
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM ......... 21
A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman ........ 21
1. Pengertian Hukuman .................................................................... 21
2. Dasar Hukum Pidana Islam ......................................................... 25
3. Tujuan Hukuman ......................................................................... 26
B. Jarimah yang Dikenai Hukuman Mati ............................................... 30
1. Murtad (Al-Riddah) ..................................................................... 31
2. Zina .............................................................................................. 33
3. Pembunuhan disengaja ................................................................. 34
4. Hukum Gangguan Keamanan (Hirobah) ..................................... 38
C. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Islam ...................................... 38
1. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Islam .......................... 39
BAB III TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA ... 46
A. Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia .................. 46
1. Pengertian Pidana Mati ................................................................ 46
2. Dasar Pidana Mati ........................................................................ 48
3. Tujuan Pemidanaan ...................................................................... 48
B. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia ...................... 56
1. Pidana Mati di dalam KUHP ....................................................... 57
2. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di luar KUHP ............. 58
C. Sekilas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 61
1. Macam-macam Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ................... 61
2. Pembentukan Undang-undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati di Indonesia .........................................................................
67
D. Unsur-unsur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia .......................... 75
1. Pilihan Ditembak Sampai Mati di antara Cara Pelaksanaan
Pidana Mati Lainnya ....................................................................
75
2. Pencapaian Tujuan Pemidanaan .................................................. 79
3. Prosedur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ......................... 82
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN
PIDANA MATI DI INDONESIA ........................................................ 86
A. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ................................. 86
B. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif
Hukum Islam ......................................................................................
94
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 102
A. Kesimpulan ........................................................................................ 102
B. Saran-saran ......................................................................................... 103
C. Penutup .............................................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna diciptakan Tuhan, dengan
diberikan akal, dibandingkan dengan mahluk lain yang tidak diberi, dan dengan
akal inilah manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya untuk
bermasyarakat (muamalat) dan di dalam masyarakat itu manusia saling tolong
menolong, saling butuh membutuhkan dan saling berbuat baik. Manusia
mempunyai naluri untuk hidup secara damai, saling membantu dan saling
melindungi. Untuk itu semua diperlukan suatu peraturan, penanaman suatu
petunjuk hidup bermasyarakat yang dinamakan hukum.1
Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi
sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat,
sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas
hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan
hukum (rechtszekerheid).2
Peraturan-peraturan itu dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan berlaku bagi
mereka sendiri. Kadang-kadang secara sadar dan sengaja bahwa suatu aturan
1 R. Soeroso, Pengantar Hukum Islam, cet. Ke-9 Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 297. 2 Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Asas, Pengertian, dan Sistematika),
Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 57.
1
2
memang diciptakan dan dikehendaki oleh para anggota masyarakat, namun ada
kalanya bahwa terjadinya peraturan tingkah laku tersebut disebabkan oleh
kebiasaan beberapa orang yang bertingkah laku demikian secara berulang-ulang
dan anggota masyarakat lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa
memang seharusnya demikian. Kelompok lain belum tentu mempunyai perilaku
atau pedoman tingkah laku yang sama, sehingga timbul perbedaan aturan di
antara sesama masyarakat.3 Jadi, setiap orang yang melakukan kesalahan atau
melanggar peraturan, sanksinya dapat saja bervariasi antara satu dengan yang
lainnya.
Selanjutnya, jika hukum dipandang secara fungsional, ia terpanggil untuk
melayani kebutuhan elementer bagi kelangsungan hidup sosial, misalnya
mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan
penyimpangan. Singkatnya hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan
kontrol, menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.4
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana
pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban
dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat
diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk
menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh
3 R. Soeroso. op. cit. hlm. 298 4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, tt), hlm. 65.
3
perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya
dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.5
Di dalam pembentukan suatu hidup bersama yang baik, dituntut
pertimbangan asas atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan
cita-cita dan kebutuhan hidup bersama. Dengan demikian, asas hukum adalah
prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat
juga disebut titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interprestasi
undang-undang tersebut. Dapat dikatakan bahwa asas hukum ini merupakan
jantungnya peraturan hukum. Menyebutnya demikian karena, pertama, ia
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.6
Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pelaku jarimah
bertujuan agar orang lain tidak meniru untuk berbuat jarimah, sebab larangan atau
perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan
satu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat itu sendiri, namun
hukuman itu diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi
masyarakat.7 Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum,
maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.
5 Soerjono Sekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, 1982, hlm.
9. 6 Stjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 85. 7 Ahmad Hahafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 3.
4
Dalam hukum Islam sanksi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya
pelaku jarimah dapat derita karena balasan, akan tetapi bersifat prefentif terhadap
pelaku jarimah dan pengajaran serta pendidikan.8
Seorang ahli hukum memandang sumber hukum ada dua macam, yaitu (1)
sumber hukum formal dan (2) sumber hukum materiil. Sumber hukum formal
adalah sumber hukum yang dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk. Karena
bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, mengikat, dan ditaati. Sumber
hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu.9
Perundang-undangan merupakan salah satu sumber hukum formal.
Indonesia merupakan salah satu Negara dari sekian banyak negara yang
masih konsisten memberlakukan pidana mati dalam hukum nasionalnya. Dalam
hukum positif Indonesia, kita mengenal adanya hukuman mati atau pidana mati.
KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 dinyatakan mengenai macam-macam
pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati
termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.10
Baik berdasarkan pada KUHP pasal 69 tentang perbarengan mengenai
perbandingan beratnya pidana pokok maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi
manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini berupa
8 Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, Kairo: Dar al Urubah, 1963,
hlm. 442. 9 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 92. 10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 25
5
pidana yang berat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup
bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka
tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, tergantung
dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.11
Pro dan kontra ini berlanjut mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi
terpidana mati. Tembak mati menjadi salah satu upaya yang dipilih untuk
mengeksekusi terpidana berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
telah ditetapkan menjadi Undang-undang oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun
1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendapat lain mengatakan tata cara pelaksanaan pidana mati dengan cara
ditembak sampai mati sangat melanggar hak asasi manusia seperti diatur dalam
UUD 1945. Selain itu produk hukum UU No. 2/Pnps/1964 dianggap sangat tidak
konstitusional mengingat proses pembentukannya yang tidak berdasarkan UUD
1945. 12
Undang-Undang Nomor 02/PNPS/Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati merupakan salah satu tata cara pelaksanaan eksekusi
11 Ibid, hlm. 29 12 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi Terpidana Mati dalam Hukum
Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta. 2009. hlm. 26.
6
terpidana mati dengan cara ditembak sampai mati. Di sisi lain menunjukkan
Negara Indonesia masih tetap memandang pentingnya adanya sanksi pidana mati
bagi terpidana kasus kejahatan berat (terorisme, narkotika, dll.).
Tata cara ditembak mati ini dipandang sangat bertentangan dengan KUHP
yang tidak pernah mengatur tata cara palaksanaan pidana mati dengan cara
ditembak sampai mati. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yang masih berlaku hingga sekarang telah mengatur tata cara hukum mati,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 KUHP, yaitu “Pidana Mati dijalankan
oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri”. 13
Pidana mati juga dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai
macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan
pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan,
dijemur dibawah matahari hingga mati, di tumbuk kepalanya dengan alu dan lain-
lain.14
Memang di dalam Hukum Pidana Islam yang dianut oleh mayoritas ulama'
akan kita temui beberapa delik pidana yang diancam dengan hukuman mati
13 Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 6 14 Andi Hamzah, Pidana mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 47
7
(i’dam), yaitu zina, pembunuhan disengaja, hirabah (pembegalan/perampokan,
gangguan keamanan), murtad dan pemberontakkan (al-baghyu).15
Terlepas dari konsep tersebut, bahwa setiap ketentuan agama Islam,
termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia serta kepentingan manusia. Tujuan utama penjatuhan
pidana dalam syari’at Islam adalah untuk pencegahan dan pengajaran serta
pendidikan.16
Selain itu syari’at Islam tidak lupa memberikan perhatian kepada diri
pelaku, bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri
pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jinayat
bukan karena takut akan pidana, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian
terhadap jinayat, agar mendapat ridho Allah.
Diajarkan oleh Islam setiap orang disuruh untuk melakukan perbuatan,
bahwa bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat apapun juga
termasuk membunuh kalau itu disyariatkan untuk membunuh maka harus
dilakukan dengan jalan yang baik.17
Hukum Islam ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal di
lempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara membunuhnya
15 Ahmad Hanafi, op. cit. hlm. 7 16 Soerjono Soekanto, Identifikasi Hukum Positif tidak Tertulis melalui penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, Jakarta: IND HILL CO, 1988, hlm. 87 17 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang
Pengujian UU Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, hlm.46
8
atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul menggunakan batu dibalas
dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga tata cara yang dilarang
(misalnya, dengan dibakar hidup-hidup, di salib hidup-hidup), ada juga yang tidak
ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang
menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan
hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk
pilihan tata cara yang dilarang (menurut agama islam) dan tetap dilakukan di
depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera (zawajir/detterent
effect).18
Kiranya perlu penulis mengambil jalan tengah antara lain dalam penerapan
tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman
Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer, yang menyatakan “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum
acara pidana yang ada tentang perjalanan putusan pengadilan, maka
pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati,
menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut”.
18 Ibid, hlm. 59
9
Ketentuan di atas, dianggap duplikasi dengan ketentuan Pasal 11 KUHP
dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) tantang Hak Asasi
Manusia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hukuman Mati, tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan
Pasal 11 KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga
seolah-olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara
digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai mati
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hukuman Mati.19
Permasalahan yang timbul ketika penolakan permintaan Amrozi cs untuk
dieksekusi dengan cara dipenggal. Jika kelak hukuman mati benar-benar akan
mengakhiri kehidupan Imam Samudra, ia menginginkan dihukum mati sesuai
dengan hukum Islam. Yang ia maksud adalah mati dengan cara lehernya dipotong
atau dipancung. "Mati dengan cara apapun kami siap asal diridhoi Allah. Kami
ingin mati dengan cara (Imam mengilustrasikan tangan kanannya bak sebuah
pisau tajam, lalu diangkat dan ditebaskan ke leher), dipenggal," kata Imam.
Namun, Mabes Polri menegaskan tiga terpidana mati kasus Bom Bali I akan
dieksekusi mati di hadapan regu tembak. Permintaan Amrozi, Imam Samudra,
dan Ali Ghufron alias Mukhlas dihukum pancung sesuai syariat Islam tidak akan
19 Ibid. hlm. 51
10
dikabulkan. Kepastian itu disampaikan Kapolri Jenderal Sutanto. "Kita akan
lakukan eksekusi sesuai ketentuan yang ada dengan cara ditembak".20 Bahwa tata
cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya selain dengan
dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping ada unsur menyiksa
dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu menurut ahli, berdasarkan
pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli tidak
melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati kecuali dengan
dipancung.21
Menilik hal tersebut diatas, permasalahan diformulasikan ke dalam skripsi
yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA
PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis munculkan dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa
dasar hukumnya?
2. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif
hukum Islam?
20http://www.indogamers.com/f144/imam_samudra_ingin_mati_dipenggal-38144/.20 agustus 2009.
21 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit. hlm. 47.
11
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia,
dan apa saja dasar hukumnya.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam
perspektif hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai pidana mati sudah pernah dibahas oleh beberapa
mahasiswa Fakultas Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian hukum
pidana Islam. Akan tetapi belum ada yang pernah membahas tinjauan hukum
Islam terhadap tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
Disamping menelaah pendapat para ahli hukum dan Undang-Undang
dalam penulisan ini. Penulis juga menelaah beberapa buku, artikel, maupun
penelitian yang berkaitan dan memberikan kontribusi yang besar dan sebagai
rujukan dalam menjawab permasalahan tentang pidana mati, diantaranya:
1. J.E. Sahetapy, dalam bukunya yang berjudul Suatu Studi Khusus
Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana.
Bukunya yang dicetak tahun 1982. Buku ini membahas alasan
dimasukkannya pidana mati di Indonesia disebabkan dengan beberapa
aspek, mulai dari pandangan yuridis, kriminologi terhadap pidana mati.
12
Buku ini mengfokuskan pada bagaimana sejarah awal pemberlakuan
ancaman pidana mati di Belanda dan pandangan dunia tentang hukuman
pidana mati ada pelaku pembunuhan.
2. Rachmat Kurniawan, dalam skripsinya yang berjudul Problematika
Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Tinjauan Yuridis –
Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang lulus
tahun 2002. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa : Pertama, di dalam
pandangan hukum pidana yang bertujuan melindungi masyarakat terhadap
kejahatan dan penjahat, haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan
yang tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan, melainkan disamping
mempertahankan ketertiban masyarakat juga mempunyai tujuan
kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu
harus dibinasakan. Kedua, secara kriminologis pada umumnya
mengklarifikasikan kejahatan dengan menggolongkan jenis penjahat yang
tidak dapat diperbaiki dalam artian tidak dimungkinkan dengan upaya
“treatment”. Sedangkan untuk golongan kejahatan lain masih dapat
dikenakan upaya treatment. Ketiga, pidana mati dapat diancamkan pada
perbuatan-perbuatan pidana yang menyangkut golongan kejahatan yang
berat di dalam KUHP, dan di dalam hukuman khusus (diluar KUHP).
13
3. Ach Agus Imam Hariri, dalam skripsinya yang berjudul Hukuman Mati
dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Analisis Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) No. 10 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Tertentu).
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
lulusan tahun 2003 mengemukakan bahwa hukuman mati menurut Fatwa
MUI hanya dikenakan pada tindak pidana tertentu saja. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara
Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. MUI
mendukung hukuman mati untuk kejahatan tertentu. Fatwa hukuman mati
merupakan satu dari sebelas fatwa MUI lainnya seperti mengharamkan
perkawinan beda agama, mengharamkan pluralisme, menyatakan
Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, dan sebagainya.
4. Syarifudin, dalam skripsinya yang berjudul Studi Hukum Islam tentang
Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena Mempertahankan Diri dari
Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i). Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun
2003 menjelaskan menurut Madzhab Syafi’i bahwa seorang wanita yang
kehormatan wanitanya sedang terancam pada saat itu, apabila tidak ada
cara lain untuk menyelamatkan kehormatannya kecuali dengan membunuh
orang yang berusaha merusak kehormatan itu, maka wanita itu boleh
membunuhnya dan wanita tersebut dibebaskan dari segala hukuman baik
14
qishas, diyat, dan kafarat karena orang yang berusaha memperkosa adalah
perbuatan maksiat dan aniaya dan orang yang menganiaya boleh diperangi
dan orang yang diperangi tidak wajib memberikan ganti rugi kepadanya.
5. Imron, dalam skripsinya yang berjudul Qishash Upaya Pencapaian
Maslahah dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 178. Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun 2005
dalam skripsinya menjelaskan bahwa : Pertama, Hukum qishash
sebenarnya sudah berlaku pada masyarakat Arab dari agama Yahudi dan
Nasrani, yang membedakan antara Islam dengan keduanya adalah adanya
prinsip musawah (persamaan), karena hukum qishash yang berlaku
sebelum Islam adalah pembalasan yang tidak seimbang, misalnya budak
dibalas dengan orang merdeka, perempuan dibalas laki-laki. Kedua,
Dilihat dari awal sejarah peradaban Islam maupun dua sumber Islam
tersebut (al-Qur’an dan al-Hadis) benar bahwa Islam telah mensyari’atkan
hukum qishash-diyat terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dengan
melakukan sanksi sepadan dengan perbuatan pelaku atau diserahkan
kepada ahli waris untuk memilih diantara dua alteernatif sanksi tersebut.
Dan sebenarnya sebab formulasi hukum qishash-diyat dalam fiqih jinayah
(hukum pidana Islam) difusi agama Yahudi Nasrani terhadap kontruksi
hukum pidana Islam saat itu.
15
6. Syahruddin Husein, dalam penelitiannya yang berjudul Pidana Mati
Menurut Pidana Indonesia. Penelitian yang dimuat Jurnal Majemuk edisi
17 tahun 2003. Ini membahas metode penerapan hukuman mati yang
dilandaskan dengan hukum adat, perundang-undangan di Indonesia dan
hukum Islam. Seperti seseorang yang melakukan pembunuhan, maka
dalam hukum Islam dikenakan hukum qisas dengan dibunuh. Penelitian
ini mengfokuskan pada metode hukum yang dipakai dalam menetapkan
hukum menurut pidana Indonesia.
Dari buku-buku, artikel, penelitian maupun skripsi tersebut diatas
meskipun banyak yang mengkaji tentang hukuman mati, namun belum ada yang
secara spesifik dan utuh mengkaji tentang taraf singkronisasi atau persamaan
perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia. Untuk itu, skripsi ini berusaha
menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia, khususnya
adakah taraf singkronisasi atau persamaan antar perundang-undangan tata cara
pidana mati di Indonesia, kemudian ditinjau dari hukum Islam secara lebih serius
dan komprehensif.
E. Metode Penelitian
Penulisan ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi
kepustakaan yang relevan dengan pokok pembahasan dalam proposal ini
16
memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan
validitasnya, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dan dari bahan pustaka.22 Dalam penelitian yang
dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir
atau library research (studi pustaka), metode pokok yang penulis gunakan
dalam mengumpulkan data adalah metode dokumentasi, yaitu
mengumpulkan dan menelusuri buku-buku dan tulisan yang relefan
dengan tema kajian ini. 23
Data primer yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang
berupa KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
di Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP
yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam yang berupa
al-Qur'an dan al-Hadits.
Data-data sekunder berupa bahan yang diperoleh dari artikel,
jurnal, dan internet yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang
menjadi obyek kajian penelitian seperti Ahmad Hanafi dalam karyanya
22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2007, hal 11 23 Suharsimi Ariskunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT.Rineka
Cipta, Cet. ke-12, 2002, hal. 206
17
Asas-asas Hukum Pidana Islam, Andi Hamzah dalam karyanya Pidana
Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Moh Khoesnoe,
dalam karyanya Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, dan masih
banyak lagi karya-karya yang lain yang tidak penulis sebutkan. Bahan-
bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun
ketajaman analisis.
2. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul maka analisa dilakukan dengan
menggunakan metode sebagai berikut :
a. Deskriptif, ini digunakan untuk menggambarkan sifat atau keadaan
yang dijadikan obyek dalam penelitian. yaitu menggambarkan
perundang-undangan di Indonesia, khususnya tentang undang-undang
tata cara pelaksanaan pidana mati yang ada di Indonesia. Metode ini
sangat berguna untuk menjelaskan tentang persamaan atau hubungan
antara hukum positif yang ada di Indonesia, khususnya tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia adakah singkronisasi atau
persamaan antara tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia yang
diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.
b. Komparatif yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan
membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk
18
mencapai kemungkinan mengkompromikan. Sehingga akan ditemukan
persamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Dengan analisis
semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari
berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan obyek kajian yang
dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan
sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati di Indonesia kemudian ditinjau dari
perspektif hukum Islam.
Oleh karena itu, dalam penulisan ini selain mengerjakan
inventarisasi terhadap data primer dalam wujud sumber Hukum Pidana
Indonesia yang berupa perundang-undangan khususnya Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di
Indonesia, Hukum Pidana di Indonesia yang berupa Hukum Pidana itu
sendiri dan Hukum Pidana Adat dan disertai dengan sumber Hukum
Pidana Islam yang berupa al-Qur'an dan al-Hadits. Kemudian
mengorganisasikannya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan
penelusurannya kembali dalam mencari hal-hal yang dapat
menyingkronkan atau menghubungkan antara tata cara pidana mati yang
ada di Indonesia dan hukum Islam.
19
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan
karya tulis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan.
Pada bab ini menguraikan tentang pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah mengenai pidana mati di Indonesia
merupakan pengantar menuju pembahasan pada bab
berikutnya, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Tinjauan Umum Tentang Hukuman dalam Islam
Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan umum tentang
hukuman dalam Islam yang terdiri dari pengertian, dasar
hukum, tujuan hukuman, serta pelaksanaan hukuman mati
menurut Islam..
Bab III : Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.
Dalam bab ini berisi mengenai pengertian, dasar dan tujuan
pidana mati di Indonesia, pidana mati dalam perundang-
undangan di Indonesia, serta sekilas tentang tata cara pidana
mati di Indonesia, macam-macam tata cara pelaksanaan
pidana mati, pembentukan undang-undang tata cara
20
pelaksanaan pidana mati di Indonesia, serta unsur-unsur
pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
Bab IV : Tinjauan Hukum Islam terhadap Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati Di Indonesia.
Bab ini merupakan inti dari pembahasan yang merupakan
analisis pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu berupa
historis dan filosofi pembentukan undang-undang tata cara
pelaksanan pidana mati di Indonesia, dan analisis
pelaksanaan pidana mati di Indonesia dalam perspektif
hukum Islam yang merupakan perbandingan dari
pelaksanaan pidana mati di Indonesia terhadap hukum Islam.
Bab V : Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan
yang ada dalam skripsi, saran-saran dan penutup.
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM
A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman
1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.lafadz “uqubah menurut
bahasa berasal dari kata : ( بقع ) yang sinonimnya: ( هفلخ ءاجو هبقعب ),
artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya.1 Dalam pengertian yang
agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa
diambil dari lafaz; … ( بقاع ) yang sinonimnya: ( هازج ءاوس امب لعف ),
artinya : membalas sesuai dengan apa yang dilakukannya.2
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilakukan setelah perbuatan itu
dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa
sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan
yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan
sebagai larangan–larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya
membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan
perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak
1 Ibrahim Anis, et. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jua II, Dar Ihya’ At-turats Al-Araby, tt., hlm 612 2 Ibid, hlm 613.
22
diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang
hanya dilarang oleh syariat.3
Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jinayat untuk
kejahatan. 4 Jinayat adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap
kelakuan yang buruk yang dilakukan oleh seseorang. Tetapi dalam istilah
hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.
Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan
yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan,
melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja.5
Banyak yang berpendapat mangenai hukuman, menurut Sudarto
seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian
pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan
menurut Rahman Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa Abdullah, Pidana
adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpahkan Negara pada pembuat delik itu.6 Dapat diartikan hukuman atau
pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat yang tidak
menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang
3 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm. 20 4 Di beberapa Negara Arab kata jinayat ini sering juga menjadi sebutan bagi kejahatan
terhadap nyawa. 5 Topo Santoso, op.cit, hlm. 21. 6 Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet
I, 1983, hlm. 48
23
kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan
perbuatan atau peristiwa pidana.
Sedangkan peristiwa pidana atau yang dimaksud dengan jarimah itu
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman
had atau ta’zir.7
Hukuman had dalam arti umum adalah meliputi semua hukuman yang
telah ditentukan oleh syara’, baik hal itu merupakan hak Allah maupun hak
individu. Sedangkan dalam arti khusus itu adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman potong
tangan untuk jarimah pencurian, dera seratus kali untuk jarimah zina, dan dera
delapan puluh kali untuk jarimah qodzaf. Sedangkan pengertian ta’zir adalah
hukuman yang belum ditentukan oleh syara’ atau dapat dikatakan tidak
tercantum nash atau ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan
ketentuan yang pasti dan terperinci, untuk penetapan serta pelaksanaannya
diserahkan kepada ulil amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya.8
Pembagian atau klasifikasi yang paling penting dan paling banyak
dibahas yaitu hudud, qishash, dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan
yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam yang merupakan
kejahatan terhadap publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud
7 Abi Ya’la Muhammad ibn Al Husain, As Ahkam Al Sulthaniyah, Maktabah Ahmad ibn
Sa’ad, Surabaya, 1974, cet. III, hlm. 257. 8 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Isalam, Sinar Grafika, Jakarta,
cet. II, 2006, hlm. 10.
24
tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun, terutama sekali,
berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.9
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat di definisikan
sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang
ditentukan sebagai hak Allah. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair,
yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-
baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah
(pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al-khamr (meminum khamar).
Kategori berikutnya adalah qishash. Sasaran dari kejahatan ini adalah
integrasi tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Terdiri dari apa yang di
kenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau
crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan,
menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak
pidana qishash ini.
Kategori yang terahir adalah kejahatan ta’zir. Landasan dan penentuan
hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) berkaitan dengan hak negara
muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan
yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian atau kerusakan fisik, sosial,
9 Topo Santoso, op.cit, hlm.22
25
politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara
keseluruhan.10
2. Dasar Hukum Pidana Islam
Hukum dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau
undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)
seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri
maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
syara’. Apabila bertentangan maka hukuman tersebut menjadi batal.11
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia
berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama dari pada
hukuman yang telah ditetapkan.12
Dasar pelarangan sesuatu perbuatan ialah pemeliharaan kepentingan
masyarakat itu sendiri. Tuhan yang mengadakan larangan-larangan (hukum-
hukum) tidak akan mendapatkan keuntungan karena ketaatan manusia,
sebagaimana juga tidak akan menderita kerugian karena pendurhakaan
mereka.
10 Ibid, hlm. 23 11 Ahmad Wardi Muslich, opcit, hlm 141. 12 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy,Juz I, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, Beirut,
tt, hlm. 629
26
Syari’at menganggap akhlak yang tinggi sebagai sendi masyarakat.
Oleh karena itu Syari’at sangat memperhatikan masalah akhlak, dimana tiap-
tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam
hukuman.13
3. Tujuan Hukuman
Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat,
baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui
taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang
utama, al-Qur’an dan al-Hadist. Serta dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan di dunia dan akhirat.14
Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at
Islam adalah:
a. Pencegahan.
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah
agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-
menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku,
pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia
tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa
hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang
13 Ibid, hlm. 4 14 Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.
125
27
lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.15 Dengan demikian,
kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk
tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup juga merupakan
tujuan dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting,
sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak
terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban di mana-mana.16
b. Pendidikan dan Perbaikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat
bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya
hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku kesadaran bahwa ia
menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan kerena
kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat
ridho dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja merupakan alat
yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah.17
Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at Islam dalam menjatuhkan
hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa
saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan
15 Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 138 16 Topo Santoso, op.cit, hlm. 19. 17 Ahmad Wardi Muslih, op.cit, hlm 139.
28
mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu
jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan
serta membangkitkan kemarahan masyarakat tehadap perebuatannya, selain
menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.18
Perbaikan juga menjadikan hal-hal yang menghiasi kehidupan sosial
dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih
baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak
membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup
juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai
kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal yang
apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para
intelektual. Dalam hal ini, perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-
cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan
cara hidup.19
Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara menyatakan
reaksi dan balasan dari masyarakat tehadap perbuatan pelaku yang telah
melanggar kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati
korban. Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa
derita yang harus dialami oleh pelaku sebagai imbangan atas perbuatan dan
18 Ibid, hlm. 140. 19 Topo Santoso, op.cit, hlm. 20.
29
sebagai sarana untuk menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah
rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.20
Tujuan hukuman telah mengalami beberapa perkembangan, dan dibagi
menjadi berbagai fase sebagai berikut : 21
1) Fase balasan perseorangan
Pada fase ini hukuman yang diberikan atau diserahkan oleh korban
atau walinya tak memiliki batasan sehingga dikhawatirkan terjadinya
pembalasan yang berlebihan yang menimbulkan perang antar suku
atau golongan.
2) Fase balasan Tuhan atau balasan umum
Balasan dari Tuhan dimaksudkan agar pembuat menyadari bahwa
akan adanya balasan sesudah mati sehingga pelaku kejahatan
menyadari dan jera dengan perbuatannya itu. Sedangkan balasan
umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun
tidak berani meniru perbuatannya.
3) Fase kemanusiaan
Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang
dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang telah melakukan
kejahatan. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan
terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut
20 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IV, 1990, hlm.
257. 21 Ahmad Wardi Muslich, op.cit,. hlm. 139-140.
30
muncul teori Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus
dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial dan
bukan penyiksaan atau penebusan dosa akan tetapi menahan pelaku
kejahatan mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk
tidak meniru perbuatannya..
4) Fase keilmuan
Didasarkan pada tiga pemikiran yaitu:
Pertama, pencegahan khusus dan pencegahan umum. Yang tujuannya
untuk mencegah masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dan
pengulangan-pengulangan tindak kejahatan.
Kedua, yaitu dengan mngedepankan pengamatan ilmiah dan
pengalaman-pengalaman praktis serta kenyataan yang terjadi.
Ketiga, selain untuk memerangi jarimah yang ditujukan pada para
pembuatnya juga harus ditujukkan untuk mencegah dan mengatasi
sebab-sebab yang menimbulkan jarimah tersebut.
B. Jarimah yang dikenai hukuman mati
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian
pelakunya terjadi pada tiga kasus.
احصان بعد وزنا ايمان بعد كفر : ثثال باحدى�اال مسلم امرئ دم لايحل
نفس بغير نفس وقتل
31
“Tidak halal darah (jiwa) seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal yaitu kufur sesudah iman, zina sesudah ihsan (kawin) dan pembunuhan bukan karena pembunuhan orang (bukan pembunuhan qisas).22
Umumnya Fuqaha menyebut 6 macam: Sariqah, zina, qadzaf, hirabah,
khamar, riddah. Ada yang menambah dengan bughah (berontak). Abdullah
An-Na’im dan beberapa pemikir modern menyebut empat yang pertama saja.
Menurut An-Na’im, Hudud hanya 4 macam saja: Zina, Qadzaf, Sariqah dan
Hirabah.
1. Murtad ( Al-Riddah)
من : وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول قال , قال عنه اهللا رضى عباس ابن عن
﴾البخارى رواه﴿ قتلوه فا دينه لبد
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa yang menukar agamanya (dari Islam kepada agama yang lain) maka bunuhlah dia.
Makna Riddah menurut bahasa ialah kembali dari meninggalkan
sesuatu menuju ke sesuatu yang lainnya. Sedangkan menurut syara’ ialah
putusnya Islam dengan niat kufur, berucap kufur atau berbuat kufur, seperti
sujud kepada berhala, baik sujudnya atas dasar mentertawakan atau karena
nekat atau juga karena kepercayaan seperti mempercayai adanya dzat baru
22 A. Hanafi, Op.Cit. , hlm. 267
32
yang membuat alam.23 Serta berpaling dari Islam kemudian menjadi mata-
mata atau musuh untuk menghancurkan Islam.
Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati
sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman
tambahan.24
…نمو ددتري كممن ندينه ع تمفي وهو كافر فأولئك بطتح مالهمفي أع
﴾٢١٧ : البقرة ﴿ خالدون فيها هم النار صحابأ وأولئك والآخرة الدنيا
Artinya: ...Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 217)25
Mawlana Muhammad Ali dan Muhammad Hasyim Kamali juga
menyatakan bahwa murtad yang diancam dengan hukuman mati adalah yang
setara dengan desersi.26
Hukuman mati dalam kasus murtad telah disepakati tanpa keraguan
lagi oleh keempat Mazhab Hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa
23 Imron Abu Bakar, , Fathul Qorib (terjemah), Kudus: Menara Kudus, 1983, hlm. 161 24 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 277 25 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT
Tanjung Mas Inti, 1992, hlm. 53 26 Rusdji Ali Muhammad, Diyat dalam perspektif Islam, disampaikan pada acara seminar
yang yang diselenggarakan oleh Imparsial dan Aceh Judicial Monitoring Independent (AJMI) pada 8-9 Mei 2007 dan 7-8 Agustus 2007, di Banda Aceh, dan seminar yang diselenggarakan oleh ICTJ Indonesia bekerja sama dengan Koalisi Pengungkap Kebenaran dan Universitas Malikussaleh dan Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala selama dua kali di Lhokseumawe dan Banda Aceh.
33
mengucap sesuatu yang berarti murtad sedangkan hatinya tetap beriman,
maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan dihukum murtad.27
نم بالله كفر د منعانه بإلا إمي نم أكره وهقلب ئنطمان مبالأمي لكنو نم حرش
﴾١٠٦ : النحل ﴿عظيم عذاب ولهم الله من غضب فعليهم صدرا بالكفر
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman , kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman , akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. An-Nahl: 106)28
2. Zina
Zina ialah dosa besar yang paling besar setelah pembunuhan. Juga ada
pendapat bahwa zina itu lebih besar dosanya dari pada pembunuhan.
نم بالله كفر د منعانه بإلا إمي نم أكره هقلبو ئنطمان مبالأمي لكنو نم رشح
﴾١٠٦ : النحل ﴿عظيم عذاب ولهم الله من غضب فعليهم صدرا بالكفر
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(Q.S. Al-Isra: 32)29
27 Abdur Rahman Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm.
73 28 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 418 29 Ibid, hlm. 429
34
Untuk jarimah zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu : dera (jilid),
pengasingan (taghrib), dan rajam. Pelaku zina yang sudah kawin (muhson)30,
sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati.
Adapun hukuman zina mukhson yaitu dirajam (dilempari) dengan batu
yang normal, tidak cukup dengan kerikil kecil dan pula dengan batu besar.31
Karena biasanya keihsanan orang yang sudah kawin dapat menjauhkan
pemikiran untuk menghindari dari kenikmatan zina. Akan tetapi jika dia
masih memikirkan hal itu, maka ia patut mendapatkan hukuman yang berat.
Ketentuan tersebut telah menunjukkan atas keadilan dan
kebijaksanaan. Menurut Syari’at Islam contoh yang buruk tidak berhak hidup,
karena Syari’at Islam ditegakkan atas keutamaan akhlak dan pembersihan
keluarga dari segala macam noda.
Para fuqoha selain golongan Khawarij sudah bulat pendapatnya atas
adanya hukuman rajam, karena hukuman tersebut pernah dijatuhkan oleh
Rasulullah saw, dan oleh sahabat-sahabat sepeninggalnya.
Hukuman mati bagi pelaku muhsan (terikat kawin) hanya dapat
dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang ketat, sehingga dimasa
nabi dan sahabat penjatuhan hukuman ini dapat dihitung dengan jari.
3. Pembunuhan disengaja
30 Zina muhson ialah zina seorang laki-laki atau perempuan yang memenuhi syarat-syarat :
Sudah dewasa, berakal sehat, merdeka, wujudnya jimakdari orang Islam atau Kafir Dzimmi dalam ikatan pernikahan yang sah. Bagi Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menambahkan syarat lagi, yaitu masing-masing harus Islam agamanya.
31 Imron Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 136
35
Pembunuhan ada tiga macam :
a. Benar-benar disengaja. Kata عمد adalah masdar dari عمد sewazan
dengan ضرب .Adapun artinya ialah sengaja. b. Benar-benar tidak sengaja.
c. Disengaja, tapi salah.32
ما نعتطب ممؤقب انف لتهق ونا الا هب دو ضري قملا يلوتلو
Artinya: Barangsiapa menyerang seorang mukmin dengan pembunuhan, maka ia harus dijatuhi qisas karena pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban merelakannya.
نقتل م ل لهقتي لهفاه نين بيتربو ان : خياح�ا دفالقو اى اصالقص
ية�الد اى فالعقل ا�بواح وان
Artunya: Barangsiapa mempunyai keluarga terbunuh, maka keluarganya ada diantara dua pilihan. Kalau suka, maka mereka mengambil qishash dan kalau suka maka mereka menerima diyat.
Di dunia ini seluruh agama memandang hidup manusia adalah sangat
berharga sehingga jika membunuh satu orang saja dianggap telah membunuh
semua orang dan sama halnya jika yang telah menyelamatkan hidup
seseorang dianggap seolah-olah telah menyelamatkan hidup seluruh manusia
yang ada di dunia.
32 ibid, hlm. 110
36
فساد أو نفس بغير نفسا قتل من أنه إسرائيل بني على كتبنا ذلك أجل نم
...جميعا الناس أحيا فكأنما أحياها ومن جميعا الناس قتل فكأنما الأرض في
﴾ ٣٢ :ئدة املا﴿
Artinya: "Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya". (al-Maidah: 32)33
Dalam Q.S Al An’am dijelaskan bahwa yang berhak menentukan
apakah seseorang berhak untuk dihilangkan nyawanya atau tidak, untuk terus
hidup dan dengan mengabaikan hak orang lain untuk hidup damai adalah
sepenuhnya tergantung pada wewenang Qadhi. Dan dalam ayat ini
diperintahkan agar melindungi kehidupan manusia.
﴾١٥١ : االنعام ﴿ ...بالحق إلا الله حرم التي النفس لواتقت وال...
Artimya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’aam: 151)34
Orang boleh mencabut hak hidup sesorang dengan lima hal berikut:
a. Hukum balas (Qishash) yang dikenakan bagi seseorang penjahat yang
membunuh seseorang dengan sengaja.
33 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 164 34 Ibid. hlm. 214
37
b. Dalam perang, mempertahankan diri (jihad) melawan musuh Islam.
Merupakan hal yang wajar bahwa ada beberapa pejuang yang
terbunuh.
c. Hukuman mati bagi para pengkhianat yang berusaha menggulingkan
pemerintah Islam ( fasal fil bidh).
d. Lelaki atau perempuan telah menikah yang dijatuhi hukuman Hadd
karena berzina.
e. Orang merampok/ membegal (Hirobah).35
Perintah tentang Qishash dalam Al-Qur’an didasarkan pada prinsip-
prinsip keadilan yang ketat dan kesamaan nilai kehidupan manusia, seperti
tersirat dalam Q.S Al-Baqoroh 178 :
بالعبد والعبد بالحر الحر القتلى في القصاص عليكم تبك آمنوا الذين أيها يا
بإحسان إليه وأداء بالمعروف فاتباع شيء أخيه من له عفي فمن بالأنثى والأنثى
ذلك فيفخت من كمبة رمحرو ى نفمدتاع دعب ذلك فله ذابع البقرة ﴿أليم :
١٧٨﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah membayar kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik . Yang demikian itu adalah suatu
35 Abdur Rahman Doi, Ibid, hlm. 25
38
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (Q.S. Al-Baqarah: 178)36
Dalam ayat ini, Islam telah mengurangi kengerian. Pembalasan
dendam yang berkesumat dan dipraktekkan pada masa Jahiliyah atau bahkan
yang dilakukan dengan sedikit perubahan bentuk pada masa kita kini yang
disebut masyarakat modern yang beradab. Kesamaan dalam pembalasan
ditetapkan dengan rasa keadilan yang ketat, tetapi ia memberikan kesempatan
jelas bagi perdamaian dan kemampuan. Saudara lelaki yang terbunuh dapat
memberikan keringanan berdasarkan pada pertimbangannya yang wajar,
permintaan dan ganti rugi sebagai terima kasih (dari pihak terhukum).37
4. Hukum Gangguan Kemanan ( Hirobah )
Terhadap gangguan keamanan (Hirobah) dikenakan empat hukuman,
yaitu : hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, potong tangan serta
kaki dan pengasingan . ketentuan tersebut sesuai dengan firman Allah :
أو يقتلوا أن فسادا الأرض في ويسعون ورسوله الله يحاربون الذين جزاء إنما
:املائدة ﴿الأرض من ينفوا أو خالف من وأرجلهم أيديهم تقطع أو يصلبوا
٣٣ ﴾
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
36 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 43 37 Abdur Rahman Doi, op.cit, hlm. 25
39
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri. (Q.S. Al-Maidah: 33)38
C. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Islam
Pada dasarnya menurut Syari’at Islam hukuman ta’zir adalah untuk
memberi pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu
dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau
penghilangan nyawa.
Akan tetapi para fuqoha membuat suatu pengecualian dari aturan umum
tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian atau kalau pemberantasan pembuat tidak bisa terlaksana
kecuali dengan jalan membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah dan
residivis yang berbahaya.
Oleh karena hukuman mati merupakan suatu pengecualian hukuman ta’zir,
maka hukuman tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan seluruhnya kepada
hakim seperti halnya dengan hukuman-hukuman ta’zir yang lain dan penguasa
harus menentukan macamnya jarimah yang dijatuhi hukuman.39
Abu Hurairah r.a menerangkan :
38 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 164 39 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 300
40
به فعل �حد : قال مسلم واله وسلم عليه اهللا صلى النىب عن هريرة اىب عن
ماجه ابن رواه (صباحا اربعين يمطروا ان من االرض هلأل خير االرض فى
فيهما بالشك امحد و ثني ثال وقال والنسائ
Artinya: “Nabi saw bersabda : Satu hukuman had yang dilaksanakan dimuka bumi, lebih baik bagi penduduk bumi daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari”.40
1. Tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam
Cara melaksanakan pidana mati dalam Islam ada dua pendapat yaitu,
pertama menurut pendapat Imam Abu Hanifah bahwa pidana mati
dilaksanakan dengan cara memenggal leher dengan pedang, atau dengan
senjata yang semacam itu. Sedangkan yang kedua menurut pendapat Imam
Syafi’I dan Imam Malik bahwa pidana mati dilaksanakan dengan berbagai
cara, tapi harus mempunyai batasan-batasan.41
Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan
misal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara
membunuhnya atau di qishash, yaitu membunuh dengan memukul
menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga
tata cara yang dilarang misalnya dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-
hidup, ada juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah
pemegang otoritas yang menentukan.
40 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Koleksi Hadis-hadis hukum 9, Semarang : Petrajaya Mitrajaya, 2001, hlm. 132
41 Andi Hamzah, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 63
41
Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan hal
yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk
pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang menurut agama Islam dan tetap
dilakukan didepan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera
(zawajir/detterent effect).
a. Dirajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan
batu dan yang dikenakan ialah pembuat zina muhsan, baik laki-laki atau
perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam al-Qur’an dan oleh
karena itu fuqoha-fuqoha Khawarij tidak memakai hukum rajam. Menurut
mereka terhadap jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik
pelakunya sudah muhsan atau belum dan dipersamakan antara keduanya.42
Amir Asy Sya’by ra menerangkan :
Syurahah seorang perempuan yang bersuami, namun suaminya tidak berada ditempat karena pergi merantau ke Syam. Ternyata Syurahah hamil. Majikannya membawanya kepada Ali bin Abi Thalib dan melaporkan bahwa Syurahah telah berzina. Syurahah mengakui perbuatnnya. Ali mencambuknya 100 kali pada hari Kamis, dan merajamnya pada hari Jum’at. Ali menggali lubang untuk Syurahah setinggi pusar. Amir berkata : saya ikut menyaksikan. Ali berkata : Sesungguhnya rajam itu adalah suatu sunnah yang ditetapkan Rasulullah saw. Sekiranya pelaksanaan hukuman ini oleh seorang saksi, orang yang memulai pelaksanaan hukuman ini adalah orang yang menyaksikan perzinaan itu., diikuti dengan pelemparan batu. Namun karena tuduhan perzinahan terhadap Syurahah adalah karena pengakuannya sendiri, maka akulah (Ali) yang mulai melemparinya. Ali melemparinya dengan sebuah batu, barulah
42 A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 267
42
diikuti yang lain. Aku berada diantara mereka. Kata Amir, demi Allah aku termasuk orang yang menewaskannya. (H.R Ahmad)
Abu Hanifah dan golongan Hadawiah lah yang menetapkan bahwa
saksi pelapor yang memulai pelaksanaan hukuman rajam (pelemparan
batu). Penguasa harus memaksa si saksi memulainya. Namun jika
perzinaan itu diakui sendiri oleh si pelaku, maka penguasa atau wakilnya
yang memulai pelemparan batu, atau setidak-tidaknya sang penguasa
(hakim) hadir dalam pelaksanaan eksekusinya.
Asy-Syafi’i tidak mengharuskan hakim yang memulai melempari
batu, bahkan tidak mengaharuskan hakim turut hadir dalam pelaksanaan
rajam. 43
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, menerangkan :
Ma’iz ibn Malik Al Islamy datang menemui Nabi saw dan berkata : Ya Rasulullah, saya telah berzina dan saya ingin anda mensucikan saya. Nabi menyuruhnya pulang. Keesokan harinya dia kembali datang dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah berzina. Nabi kembali menyuruhnya pulang. Kemudian Rasulullah mengutus orang kepada kaum Ma’iz dan utusan itu berkata: Apakah kalian mengetahui ada gangguan akal pada diri Ma’iz? Apakah kalian mengetahuinya selain dia seorang yang waras, menurut pendapat kami dia seorang yang saleh. Kemudian Ma’iz kembali menemui Nabi untuk yang ketiga. Nabi kembali mengutus orang untuk menemui kaum Ma’iz dan menanyakan tentang pribadi Ma’iz. Mereka mengatakan tak ada sesuatu yang menimpai Ma’iz dan tidak pula akalnya. Maka ketika dia datang pada kali yang keempat, Nabi memerintahkan agar Ma’iz dirajam, dan rajam itu dilaksanakan. (H.R Muslim dan Ahmad)
43 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Op.Cit, hlm. 135
43
Abu Sa’id Al-Khudry menerangkan :
Dikala Rasulullah saw memerintahkan kami merajam Mai’iz ibn Malik, kami membawanya ke Al Baqi’. Demi Allah, kami tidak menggali lubang dan Kami tidak mengikatnya. Dia berdiri tegak. Kami melemparnya dengan tulang dan tembikar. Dia mengeluh menahan sakit, dan dia berusaha melarikan diri dengan sangat cepat, sehingga dia berhenti di Al Harrah. Kamipun melemparnya dengan batu yang diangkut ketempat itu, sampai dia tewas. (H.R Ahmad Muslim dan Abu Daud).44
Berbagai pendapat dikalangan para fuqoha sehingga dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1) Rajam dilaksanakan dengan cara dilempari batu yang
diserahkan pada pertimbangan hakim.
2) Sebagian tubuh dibenamkan kedalam lubang.
3) Pelaksanaan hukuman rajam pada perempuan yang dihukum
rajam tidak boleh terbuka auratnya.
b. Qishash
Hukuman qishash ialah hukum balas bunuh terhadap pembunuhan.
Hukum ini dapat gugur manakala terdapat perdamaian antara kedua belah
pihak; pihak yang dibunuh dan pihak yang membunuh, dengan ganti rugi
oleh pihak yang membunuh kepada pihak yang dibunuh. Ganti rugi ini
dinamakan “diyat”. Pembayaran dan penerimaan diyat hendaklah
dilakukan dengan cara sebaik-baiknya. Pengguguran hukum qishash
44 Ibid, hlm. 136
44
dengan pembayaran diyat ini, ada satu keringanan yang telah digariskan
Allah. Diyat juga menjadi rahmat dari Allah, dan rahmad Allah itu
bukankah lebih tinggi nilainya dari ampun dan maaf, dan dapat mencegah
pertumpahan darah selanjutnya.45
Ayat-ayat Al-Qur’an juga menerangkan:
Artinya: dan tidaklah layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hedaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan jika ia (si terbunuh) dari kaum-kaum kafir yang ada perjanjian (damai) diantara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisaa: 92-93). 46
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajib atas kamu qishash berkenaaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita ddengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang bauk dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepadayang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu
45 Andi Hamzah, op.cit, hal.101. 46 Departemen Agama Republik Indonesia, opcit, hlm. 135-136
45
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamudan suatu rahmat. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah: 178) 47
Artinya: Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa. (al-Baqarah: 179) 48
Hukum qishash berarti jaminan ketentraman hidup, maksudnya
peraturan qishash itu dapat mencegah pembunuhan yang mungkin akan
berlarut-larut antara kedua belah pihak. Misalnya jika pihak si korban
melakukan balas bunuh itu tanpa melalui hukum qishash. Tetapi, jika
kedua belah pihak telah sama-sama mentaati qishash, maka akan
terjaminlah hati antara kedua belah pihak dan sekaligus tercipta pulalah
ketentraman hidup dalam pergaulan bersama.
47 Ibid. hlm. 43 48 Ibid, hlm. 44
46
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA
A. Pengertian, Dasar dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia
1. Pengertian Pidana Mati
Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang
tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana terberat. Karena pidana ini
berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan
terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya berada ditangan Tuhan.1
Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering.
Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak
hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti
telah menghilangkan nyawa seseorang. Padahal setiap manusia memiliki hak
untuk hidup.2
Berbicara mengenai pidana mati, pastilah tidak jauh dengan makna
mati dan kematian. Mulai dari situlah dapat membuka peluang perbedaan
pendapat yang sangat kontras. Bagi kaum jahiliyah katakanlah kaum sekuler,
mereka menganggap mati itu akhir dari segalanya. Bagi mereka, awal itu
1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
29. 2 Fatahilla, Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia, fatahilla.blogspot.com diakses tanggal
17 September 2009.
47
yakni kelahiran dan akhir itu kematian.Filsafat mereka mengutamakan “tujuan
menghalalkan segala cara”.3
Definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah dideklarasikan oleh
Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh Negara
lain, walaupun ada sedikit perbedaan.
Ada beberapa definisi mati yang Pertama, definisi klinis atau Somatis
atau Sistematis yaitu munculnya tanda kematian pada pemeriksaan fisik atau
keadaan dimana tidak berfungsinya 3 bagian tubuh terpenting yaitu otak,
jantung dan peru-paru.4
Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak, maka dinyatakan
mati walaupun jantungnya masih hidup, ginjalnya masih berdenyut, termasuk
hati dan paru-parunya. Walaupun kematian otak masih diuji dan dapat
mempuyai tujuan, keabsahannya sebagai ukuran tidak jelas karena sangat
memungkinkan terutama dengan kemajuan teknologi, pasien memperoleh
teknik “plugged-in” untuk melanjutkan pernafasan dan mendapatkan denyut
jantung yang bias didengar setelah kematian otak yang nyata. 5
Ketiga, kematian seluler atau molekuler. Yaitu kematian pada
tingkatan sel dan ini terjadi beberapa saat kemudian setelah kematian klinis.
Kematian sel inilah yang menyebabkan suhu tubuh menurun dan akhirnya
3 Bismar Siregar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992, hlm. 26. 4 P. Vijay Chada, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta : Widya Medika,
1995, hlm. 46. 5 George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan (terjemah),
Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 353.
48
suhu tubuh sama dengan suhu lingkungannya. Keadaan demikian tercapai
sekitar 3-4 jam setelah organ vital tubuh tidak berfungsi.6
2. Dasar Pidana Mati
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP jo pasal 11
KUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang masih
dipertahankan oleh Hukum Pidana di Indonesia. Pasal 10 yang memuat dua
macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman
pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan
hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman keputusan
hakim.
Pasal 11 KUHP bunyinya :
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.7
Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No.
2/Pnps/1964 yang masih berlaku sampai saat ini.
3. Tujuan Pemidanaan
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan
dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan
sebagai berikut :
6 P.Vijay Chanda, Op.Cit, hlm. 46. 7 Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 6
49
“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapaun juga, sdangkan pada pihak lain pemerintahnegara menyerang pribadi menusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.”8
Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat 3 (tiga)
unsur berikut9 :
1) Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau
kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai
sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini diderita oleh subyek
yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain.
2) Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara
hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah
suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal
suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan
tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang
mengakibatkan penderitaan.
8 Djoko Prakoso, Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 19. 9 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 71.
50
3) Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya
kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau
peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat
diuraikan sebagai berikut :10
1) Teori absolut atau Teori pembalasan
Bahwa pada dasarnya manusia mempunyai perasaan ingin
membalas atau ada kecenderungan untuk membalas yang merupakan efek
dari suatu gejala sosial yang normal.11
Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat
anasir-anasir yang menuntut pidana dan membenarkan pidana dijatuhkan.
Kant mengatakan bahwa konsekuesi tersebut adalah suatu akibat logis
yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan
harus disusul oleh suatu pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu
sesuatu yang menurut rasio praktis dengan sendirinya menyusul suatu
kejahatan yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana
tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis.12
Nigel Walker memberi tiga pengertian mengenai pembalasan
(retribution):13
10 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 19. 11 Ibid, hlm. 54. 12 Ibid, hlm. 19. 13 J.E Sahetapy, Op. Cit., hlm. 199.
51
a) Retaliatory retribution, berarti dengan sengaja membebankan suatu
penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu
menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang
dilakukannya.
b) Distributive retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah
melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-
persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka
mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana.
c) Quantitative retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-
bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tindak kejahatan yang
dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.
Kant pada pokoknya berpendapat bahwa barangsiapa yang
melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan asas
pembalasan karena disyaratkan oleh perintah yang tidak bersyarat dari
akal yang praktis.14
Kaum retensionis merumuskan pidana mati lazimnya itu bersifat
transcendental, dibangun dari conceptual abstraction, yang mencoba
melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek
pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori
14 Ibid, hlm. 201.
52
absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan
manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka
nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga
keseimbangan dalam tertib hukum. Bahkan secara ekstrim dan kejam teori
pembalasan tetap mempertahankan sloganisme Kant, “andaikata besok
dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada
hari ini.”15
2) Teori relatif atau Teori tujuan
Menurut teori relatif, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata
tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah
menghindarkan (preverensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat
preverensi dari pemidanaan ialah preverensi umum dan preverensi
khusus.16
Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang
hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai,
kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap
ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang
menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi
kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang
telah direncanakannya.
15 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 16 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 20.
53
Teori relatif dengan aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan
melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat
yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek
menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis,
dengan maksud agar si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi
mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat.17
Ancaman pidana bukan suatu yang konkrit, yang menjadi sesuatu
yang konkrit ialah pidana yang diputuskan sebagai sanksi atas suatu
pelanggaran, misalnya dalam undang-undang pidana ditentukan suatu
pidana mati, sedangkan perbuatan yang sungguh-sungguh (in concreto)
dilakukan hanyalah suatu kejahatan ringan saja. Oleh karena suatu
ancaman pidana hanyalah sesuatu yang abstrak, maka dengan sendirinya
sangatlah sukar untuk terlebih dahulu menentukan batas beratnya pidana
yang diancamkan itu.18
3) Teori Menggabungkan
Teori menggabungkan berasal dari keberatan-keberatan terhadap
teori-teori pembalasan dan teori tujuan yang pada dasarnya memiliki
tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang
17 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 18 Djoko Prakoso, Nurwachid, Op.Cit, hlm. 21.
54
diserang secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu
unsurnya tanpa menghilangka unsur yang ada.19
Sementara kaum abolisionis melihat teori absolut dan teori relatif
tidak mempunyai daya pengaruh kuat dan efektif untuk menekan statistik
kriminalitas. Pendekatan aliran kriminologi cukup efektif, mencoba
melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana
mati harus disesuaikan dengan pola perubahan zaman dan kondisi
strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Kajian ini berusaha meneropong
kejahatan dari pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis,
sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam
masyarakat.20
Namun pada hakekatnya tujuan pemidanaan adalah:21
a) Pembalasan (revenge)
Dalam masyarakat primitif unsur pembalasan sering kali terjadi,
akibat dari perbuatan salah seorang dari sebuah suku maka suku yang
menjadi korban menginginkan adanya pembalasan seperti yang pernah
terjadi perang suku antara Sampit dengan Madura.
Pembalasan dipandang sebagai suatu harmonisasi kepentingan
yang trans-egoistis atau diatas kepentingan sendiri.22 Sebab teori
19 Ibid, hlm. 24. 20 Emilinianus Afendi Laggut, Ibid. 21 Andi Hamzah, A. Sumangelipu,Op.Cit, hlm. 16.
55
pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa
lampau, tidak dalam pertaliannya dengan masa depan si terpidana.
b) Penghapusan dosa (expiation)
Menurut tradisi Kristen-Judea, tujuan ini merupakan akar dari
pemikiran religius yang menginginkan adanya keseimbangan antara
pidana sebagai penderitaan si pelaku dengan penghapusan kesalahan.
c) Menjerakan ( detterent)
Alasan ini dibuat Negara untuk mencegah atau membatasi
terjadinya kejahatan. Ini dapat menyebabkan manusia yang berpikir
secara rasional untuk berpikir kembali mengenai untung dan ruginya
suatu perbuatan. Jeremy Bentham dari Inggris dan ahli kriminoogi
Cesare Becharia adalah tokoh yang mempelopori dasar pertimbangan
tentang untung ruginya suatu perbuatan dengan mengenakan pidana
terhadap pelaku secara cepat, tepat dan sepadan.
d) Perlindungan terhadap umum ( protection of public)
Yaitu dengan cara mengisolasi penjahat dari masyarakat yang
taat kepada hukum. Dengan demikian kejahatan dalam masyarakat
berkurang.
e) Memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal)
22 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap pembunuhan
berencana, Jakarta : Rajawali, 1982, hlm. 207
56
Yakni memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
B. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia
No. UU Pasal 1. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat(3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis,127, 129, 368 ayat (2)
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke -1,Ke-2, Ke-3 dan Ke4, Pasal 74 Ke-1 dan Ke2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 109 Ke-1dan Ke-2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan(2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 ayat (2)
3. UU No 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api
Pasal 1 ayat (1)
4. Penetapan Presiden No 5 Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan
Pasal 2
5. Perpu No 21 Tahun 1959 Tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi
Pasal 1 ayat (1) dan (2)
6. UU No 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 1 ayat(1)
7. UU No 31/PNPS/1964 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom
Pasal 23
8. UU No 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang undangan Pidana Kejahatan
Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)
57
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan
9. UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Pasal 59 ayat (2)
10. UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3)
11. UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi
Pasal 2 ayat (2)
12. UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)
13. UU No 15 Tahun 2003 Tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme
Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.
1. Pidana Mati di dalam KUHP
KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati
atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan
kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :
a. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
b. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
c. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
d. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat
yang direncanakan dan berakibat maut)
e. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
f. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka
berat atau mati)
58
g. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka
berat atau mati)
h. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan
kematian).23
2. Pidana Mati dalam perundang-undangan di luar KUHP
Selain terhadap kejahatan yang diatur dalam KUHP, undang-undang
hukum pidana diluar KUHP juga ada yang mengatur tentang pidana mati.
Peraturan tersebut antara lain :
a. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan.
“Barang siapa melakukan tindak pidana sebagaimana termaksud dalam Undang-undang Darurat No.7 tahun 1955(Lembaran Negara tahun 1955 No.27), tindak pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberatasan Korupsi (Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Perpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat dalam itel I dan II KUHP, dengan mengetahui atau patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yaitu:
a) Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya
b) Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara c) Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan
politik (Irian Barat) Dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
23 Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan di masa
depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 18
59
b. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat
ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
“Jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat , maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau hukuman enjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun hukuman denda yang besarnya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam undang-undang darurat tersebut dalam ayat (1)”
Ini artinya delik ekonomi yang dapat memperberat pidana sehingga
menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian diancam dengan pidana
mati.
c. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang
senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
“tanpa hak memasukkan, mencoba, memperoleh, menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak diancam pidana mati”
d. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang
pemberantasan kegiatan subversi.
(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) 1,2,3,4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh juta rupiah).
e. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 tahun 1964 tentang ketentuan pokok
tenaga atom.
60
“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara sementaa selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat, atau dipecat dari hak jabatan tersebut dalam pasal 35 KUHP”
f. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang
Narkotika. Pasal 36 ayat (4) sub b mengancam pidana mati dalam pasal
23 ayat (4) sebagai berikut :
“ Secara melawan hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika”
Sedangkan pasal 36 ayat 5 sub b mengancam dengan pidana mati
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 23 ayat (5) sebagai berikut :
“Secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menerima, menawarkan untuk dijual, membeli, menyerahkan, menjadi perantara dalam jaul beli atau menukar narkotika.”
g. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Mengenai ancaman
pidana mati atas kejahatan penerbangan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan dalam KUHP diatur pada pasal 479, yang
berbunyi sebagai berikut :
“(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun apabila perbuatan dimaksud pasal 479 huruf l, pasal 479 m dan pasal 479 huruf n itu : a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama, b. sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu, d. mengakibakan luka berat bagi seseorang. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau
hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun ( Undang-Undang No. 4 tahun 1976).
61
C. Sekilas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.
1. Macam-macam Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Pidana mati merupakan suatu macam pidana yang tua dalam usia, tapi
muda dalam berita. Dalam arti pidana mati sejak dulu sampai sekarang selalu
menjadi perdebatan di kalangan orang-orang yang pro dan kontra dengan
adanya pidana mati tersebut.24
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan eksekusi
pidana mati pada terpidana. Mulai dari digantung sampai mati, dipenggal pada
leher, ditembak sampai mati, distrum listrik, dimasukkan dalam ruang gas
sampai mati hingga suntik mati semuanya menuju pada satu hasil akhir yang
sama yaitu matinya terpidana
Terdapat dua macam definisi kapan seseorang itu dinyatakan mati
secara medis, pertama berhentinya fungsi pernafasan dan kedua matinya
batang otak pada korban. Di luar dari pro dan kontra adanya pidana mati,
terdapat satu kesepakatan Internasional dalam International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) untuk menghapuskan tindakan yang menindas
bahkan menghilangkan hak asasi manusia. Melihat Indonesia masih teguh
berpegang pada pandangan perlunya pidana mati maka Indonesia pun juga
harus mempertimbangkan bagaimana caranya melakukan pelaksanaan pidana
24 Djoko Prakoso, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di
Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 129
62
mati dengan menghindarkan penyiksaan atau penderitaan yang
berkepanjangan dari terpidana.25
Jika dari cara pelaksanaan pidana mati ternyata terpidana masih
tersiksa, meregang dan bahkan mengeram karena kesakitan sebelum menemui
ajalnya maka sudah barang tentu tata cara itu melanggar hak asasi manusia
untuk tidak disiksa.
a. Ditembak sampai Mati
Pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung
terpidana mati. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa jantung sebagai tanda
hidup yang utama dalam kehidupan manusia, maka tembakkan tepat pada
jantung manusia adalah sasaran yang sangat mematikan dan dapat
mempercepat proses kematian.
Akan tetapi jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana
masih memperlihatkan tenda-tanda belum mati, baru kemudian ditembak
pada bagian kepalanya. Tembakkan pada bagian kepala ini sebagai
tembakkan pengakhir (pamungkas) karena itu, Pemerintah memaknai
tembakan di kepala terpidana mati dengan :
1) Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah dipastikan
mematikan.
25 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Terpidana Mati dalam Hukum
Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta, 2009. hlm. 35
63
2) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan, apabila
tembakkan jantung langsung mematikan terpidana mati.
3) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai
tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakkan pada
jantung tidak langsug mematikan (atau masih ada tanda-tanda belum
mati).
4) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakkan
pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak mengalami
proses sakit yang terlalu lama.26
b. Suntik Mati27
Suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini dan
menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika Serikat yang
melakukan bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena dokter dan
perawat terikat oleh etika, sehingga yang melakukan adalah orang-orang
yang terlatih.
Hal demikian merupakan kelemahan tetapi andaikata hal tersebut
benar, prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua infus melalui vena,
satu bagian sebagai cadangan (back up) kemungkinan satu sebelah kiri
dan satu sebelah kanan. Setelah dipasang infus dengan Na Sl fisiologis
26 Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 53
27 Sun Sunatrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 57
64
kemudian dimasukkan obat bius yang namanya Topental sebanyak 5
gram. Perlu diketahui, kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat
tidur maka hanya membutuhkna dosis kira-kira ¼ (seperempat) gram
sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 (lima) gram hampir dipastikan
akan terbius , apalagi dosisnya toxic artinya orang yang diberikan dosis 5
(lima) gram tersebut langsung pingsan dan langsung nafasnya berhenti.
Setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua
yaitu obat yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon, diberikan
sebanyak 8 (delapan) miligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4
milligram untuk orang dewasa. Dengan 8 (delapan) milligram sudah pasti
semua otot rangkanya berhenti. Otot rangka adalah otot lurik yaitu otot
yang diperintah tetapi otot polos dan otot jantung tidak berhenti.
Andaikata terjadi kesalahan oleh karena yang menyuntik bukan
ahlinya maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan menembus
otot bisa sakit sekali tetapi dalam waktu beberapa menit terpidana akan
lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin dia masih sadar karena
dosisnya kurang. Sebab orang yang menjelang kematian sangat tegang
sekali dan dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi sekali, sehingga
susah ditidurkan dibandingkan orang biasa.
Jadi, ada kemungkinan orang tersebut masih sadar dan menurut
penelitian di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar.
Kalau orang tersebut belum terbius maka akan merasakan pada waktu otot
65
menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik sehingga
mengakibatkan tersiksanya terpidana mati.
Obat ketiga yang disuntikkan adalah potassium chloride (potasium
klorida) dengan dosis 50 (lima puluh) cc, maksudnya supaya jantung
berhenti. Jika pada waktu disuntikkan potasium klorida terpidana belum
tertidur maka akan dirasakan sakit sekali seperti serangan jantung karena
mekanismenya sama yaitu tidak adanya oksigen dalam jantung. Mengenai
adanya orang yang masih sadar ketika disuntik potasium klorida juga
diyakini oleh majalah Land Health di Amerika Serikat bahwa setelah
memeriksa kadar benetol dalam darah diyakini ada beberapa yang
mungkin sekali sadar.
Dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang lainnya,
disuntik mati kelihatannya lebih elegan. Asal benar caranya. Akan tetapi
agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh terlibat dalam proses
tersebut, kecuali jika nanti ada perubahan.
c. Pancung atau dipenggal leher
Dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar yaitu dalam
hitungan detik antara 7 (tujuh) sanpai 12 (dua belas) detik. Kalau
ditembak mati memiliki waktu bervariasi. Jika tidak terkena jantung bias
setengah jam tetapi kalau tepat terkena jantungnya dalam waktu 7 (tujuh)
66
sampai 11 (sebelas) detik. Dengan demikian ditembak mati yang terkena
jantung dan dipenggal leher memiliki waktu yang sama.28
d. Gantung (Hanging)
Merupakan keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat
ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.29
Cara digantung kalau dilakukan secara benar yaitu posisi tinggi
rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya sehingga
mengakibatkan patah leher. Maka waktu yang dibutuhkan sama dengan
dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena mungkin
ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti
orang dicekik.
Kalau orang dicekik, maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5
(lima) menit kemudian pingsan sehingga bisa merasakan dan meronta-
ronta serta mungkin membuang air besar, mata melotot, lidah terjulur dan
sebagainya.30
Pada pelaksanaan hukuman gantung, kematian terjadi dengan
seketika. Pada korban yang dihukum gantung, keadaanya tali yang
menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba
dijatuhkan dari ketinggian 1, 5 – 2 m. Maka akan mengakibatkan fraktur
28 Ibid 29 P. Vijay Chada, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta: Widya Medika,
1995, hlm. 103 30 Sun Sunatrio, Op.Cit, hlm. 57
67
atau diskolasi vertebrata servikalis yang akan menekan medull oblongata
dan mengakibatkan terhentinya pernafasan. Biasanya yang terkena adalah
vertebrata servikalis ke-2 dan ke-3.31
e. Strum Listrik (Electrocution atau The Electric Chair)
Metode seperti ini dilakukan dengan cara terpidana didudukan
pada alat pengalir listrik, diikat dan kemudian di aliri listrik. Metode
seperti ini berlaku sebagai opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk
beberapa Negara bagian saja, yaitu Albama, Florida, South Carolina,
Kentucky, Tennessee dan Virginia.
f. Ruang Gas (Gas Chamber)
Tata caranya dilaksanakan dengan cara terpidana di masukkan
dalam Ruang Gas beracun hingga mati. Lama proses kematiannya
tergantung ketahanan tubuh terpidana. Metode seperti ini berlaku di
Negara Mexico, Negara bagian Colorado, North Carolina.32
2. Pembentukan Undang-Undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di
Indonesia.
Peraturan perundang-undang di Indonesia banyak yang mencantumkan
ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No.
7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun
1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No.
31 P. Vijay Chadha, Op.Cit, hlm. 106 32 Hwian Cristianto, Op.Cit, hlm. 36
68
31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang
Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.33
Praktek hukuman mati nampaknya masih akan diterapkan dalam
sistem hukum Indonesia ke depan dengan dimasukannya ketentuan ini ke
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
-Pasal 87: “Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. -Pasal 89: (1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan
selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a.Reaksi masyarakarat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b.Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
diperbaiki; c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak
terlalu penting; dan d. Jika ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum. (3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
-Pasal 90: “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana
33 www.kontras.org/hmati/data/working%Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf-20
agustus 2009.
69
melarikan diri, maka pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.34 Ada beberapa kemajuan dalam RUU ini. Seperti adanya pertimbangan
akhir lewat evaluasi yang cukup lama untuk mempersulit eksekusi mati bagi
seorang terpidana.
Berbicara sanksi pidana mati, adalah salah satu hukuman pokok yang
terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian bagaimana hukuman mati tersebut
dilaksanakan terdapat dalam Pasal 11 KUHP, pertama dilaksanakan dengan
penggantungan. Dalam sejarahnya yang ada dalam text book, sanksi pidana
tidak ada dalam Wetboek van straaftrecht di negeri Belanda, tetapi bukan
karena Belanda anti pidana mati, melainkan ada pidana mati tetapi tidak
pernah dilaksanakan karena kebanyakan terpidana mati akan mendapatkan
pengampunan dari raja. Kemudian pidana mati tersebut terdapat di dalam
hukum pidana yang berlaku untuk kawasan Nederlands indische atau
kemudian berlaku di dalam Indonesia dan sudah ada sejak 1 Januari 1918.35
Memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari pasal
11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi
kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun1964
yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut dikarenakan
seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati
34Ibid 35 Rudi Satrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah
Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 47
70
dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati
digantung diubah dengan cara ditembak. Dengan demikian perubahan
pelaksanaan pidana mati terkait dengan kecepatan dalam proses untuk
mencapai kematian.
Indonesia pada kurun waktu tahun 1950-1955 masih memberlakukan
sistem Demokrasi Parlementer yang didasarkan pada UUDS 1950. Ciri utama
dari sistem ketatanegaraan Parlementer adalah peran parlemen yang sangat
aktif dalam menentukan kebijakan Negara.36
Sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu paska Dekrit Presiden 5
juli 1959 sampai dengan 1966, terjadi ketidak tertiban dalam pembentukan
tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan yang menyebabkan
adanya produk hukum yang tidak tertib dan tumpang tindih. Hal ini terjadi
sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem
parlementer yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 ke sistem presidensial berdasarkan UUD 1945.
Sistem pemerintahan ini sangat berbeda jauh dengan sistem
Pemerintahan Presidensiil sebagai mana dianut dalam UUD 1945. Sistem
Parlementer menghendaki parlemenlah yang memegang kekuasaan tertinggi
36 Sri Sumantri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung: Transito, 1976, hlm.
32.
71
kepada semua organ Negara. Kepala Negara hanya berfungsi sebagai lambang
kepemimpinan belaka (symbolic head of the state).37
Setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban produk
hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
yang memuat hierarki peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam
perjalanannya, ketetapan MPRS tersebut dijadikan dasar hukum untuk
melakukan legislative review tehadap produk hukum di bawah undang-
undang, khususnya yang diterbitkan oleh Presiden. Hasil legislative review
tersebut dimuat dalam UU 5/1969 yang memuat daftar produk hukum
Penetapan Presiden (PNPS) yang ditetapkan untuk dipertahankan dan
dinaikkan statusnya sebagai undang-undang, dijadikan bahan pembuatan
undang-undang di masa yang akan datang, dan sebagian diantaranya
dinyatakan dicabut.38
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori penetapan
presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya
menjadi undang-undang, kemudian cara penyebutannya menjadi UU
2/Pnps/1964 (konsonan “Pnps” menunjukkan bahwa undang-undang tersebut
berasal dari Penetapan Presiden).
37 Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (suatu pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1993, hlm. 210. 38 Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, op.cit, hlm. 52
72
Kedudukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tersebut secara
konstitusional menjadi sah sebagai undang-undang berdasarkan pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945 (pasca amandemen) yang berbuyi, “Segala peraturan
perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.39
Dalam Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964 memuat norma hukum
tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama dengan norma
hukum yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan UU 2/Pnps/1964 tersebut
tidak secara eksplisit mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut pemerintah,
kedudukan norma hukum yang dimuat dalam UU 2/Pnps/1964 harus
dipandang sebagai norma hukum yang terbit kemudian (hukum baru),
sedangkan Pasal 11 KUHP sebagai hukum lama.
Sesuai dengan asas hukum (lex posteriori derogat legi priori), maka
jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum baru yang
kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau
menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan,
maka berlakulah norma hukum yang baru (dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati).40
Dengan demikian UU 2/Pnps/1964 yang telah ditetapkan menjadi
undang-undang dengan UU 5/1969 telah sesuai dengan semangat
39 Ibid 40 Ibid
73
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 (vide
dasar “menimbang” UU 5/1969).
Dari bentuk hukumnya, memang benar UU 2/Pnps/1969 semula
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD
1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan
nama Penetapan Presiden, namun hal tersebut telah dikoreksi dengan UU
5/1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan Majlis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut berisi perintah untuk
melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan
Presiden dan Peaturan Presiden.41
Konsiderans UU 5/1969 berbunyi, “bahwa dalam rangka pemurnian
produk-produk legislatif yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan
Peraturan-peraturan Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli
1969”dan “bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan
Presiden yang meterinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu
dinyatakan sebagai undang-undang.”
Oleh karena itu, dengan UU 5/1969, Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai
undang-undang, yaitu menjadi UU 2/Pnps/1964, sehingga bentuk hukumnya
41 Pendapat Mahkamah, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm. 60
74
sudah sesuai dengan UUD 1945. kata “Pnps” sekedar sebagai tanda bahwa
undang-undang yang dimaksud berasal dari Penetapan Presiden.
Dinyatakannya beberapa Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden,
termasuk Penetapan Presiden Nomor Tahun 1964 menjadi undang-undang,
menunjukkan bahwa isinya masih sesuai dengan aspirasi rakyat kerena
merupakan pembaruan terhadap ketentuan Pasal 11 Kitab Undang-Undang
Pidana (KUHP).
Dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1964 tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak
mengenal produk hukum yang bernama “Penetapan Presiden”. Akan tetapi,
setelah UU 5/1969 menyatakan UU 2/Pnps/1964 berlaku, maka prosedur
pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR,
dalam hal ini DPR GR sebagai DPR yang sah pada awal Orde Baru sebelum
DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR yang
membentuk UU 5/1969 yang menyatakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1964 sebagai UU 2/Pnps/1964 adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa
transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan
diakui oleh rakyat Indonesia.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang
berbunyi, “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
75
ini” dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang
berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”, yang menjadi dasar keberlakuan UU 2/Pnps/1964 sampai sekarang.42
D. Unsur-Unsur Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.
1. Pilihan ‘Ditembak Sampai Mati’ di antara Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Lainnya
Metode dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman
mati seperti pancung kepala di Saudi Arabia dan Iran; sengatan listrik di
Amerika Serikat digantung di Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan,
Singapura; suntik mati di Tiongkok, Guatemala, Thailand, Amerika Serikat;
tembak mati di Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain; rajam di
Afganistan, Iran.
Tata cara yang masih dipraktekkan didunia untuk menghukum mati
terpidana adalah : digantung ( hanging), dipenggal pada leher ( decapitation),
ditembak mati (shotting), diestrum listrik (electrocution atau the electric
chair), dimasukkan dalam ruang gas (gas chamber) dan disuntik mati (lethal
injection).43
Pidana mati juga dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia.
Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara
42 Ibid, hlm 61 43 Muhammad Luthfie Hakim, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm.. 49
76
melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris,
ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya
dengan alu dan lain-lain.44
Hukum Adat sering dinamakan sebagai Hukum yang mendasarkan diri
pada prinsip kekeluargaan. Prinsip itu berpokok pada asas kebersamaan,
dimana segala kehendak para warga diusahakan untuk dapat dirangkum
menjadi satu kesatuan dengan cita-rasa yang hidup di dalam masyarakat.45
Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap menganggu keseimbangan
kosmis manusia, oleh sebab itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat,
koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui Pengurus Adatnya. 46
Sebagai studi perbandingan berikut ini tabel perbandingan pelbagai
cara pelaksanaan pidana mati oleh beberapa Negara dan kemungkinan
pelanggaran hak asasinya.47
Jenis Hukuman Cara Pelaksanaan Proses Kematian Indikasi Pelanggaran HAM
Negara yang Memberlakukan
Hukuman Gantung
pada leher terpidana diikatkan
5 menit terpidana tersiksa selama 5 menit
Irak, Iran, Jepang,
44 Andi Hamzah, Pidana mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 47 45 Moh Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002,
hlm. 9 46 I Made Widnyana, Kapita Selekta Pidana, tak ada tempat: Eresco, 1993, hlm. 3 47 Diambil dari Keterangan Ahli Pemohon dr. Sun Sunatrio (ahli anestesi) pada
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/putusan_sidang_PUTUSAN%20perkara%2021.puu.VI.2008_Amrozy_telah%20baca.pdf diakses tanggal 27 Oktober 2009
77
seutas tali setelah itu papan injakan kaki terdakwa ditarik atau dilepas
Malaysia, Singapura
Hukuman Penggal di leher
1. algojo mengayunkan pedang ke leher korban; 2. algojo meletakkan kepala korban ke alat penggal lalu menjatuhkannya
langsung mati terpidana langsung mati namun tindakan tergolong sadis
Arab Saudi, Qatar, Yaman
Ditembak pada sasaran mematikan
petugas/regu tembak mengarahkan tembakan pada jantung, pelipis atau kepala bagian belakang terpidana
Jantung: 7-11 detik pembuluh darah besar: 7-15 menit kepala/otak: langsung mati
sasaran bisa tidak tepat tetapi dalam proses mati bukan penyiksaan
Libya, Palestina, Yaman, China, Indonesia
di strum listrik terpidana didudukkan pada alat pengalir listrik, diikat dan di aliri listrik
tergantung ketahanan tubuh
penyiksaan Amerika
dimasukkan dalam ruang gas
terpidana di masukkan dalam Ruang Gas beracun hingga mati
tergantung ketahanan tubuh
penyiksaan Mexico, Negara Bagian Colorado, North Carolina
di suntik mati terpidana di suntik zat tertentu yang menyebabkan berhentinya sistem kehidupan tubuh
30 detik terpidana tidak merasa sakit
Guatemala, Philipina, Thailand
Dari tabel di atas jelas sekali terlihat, pelaksanaan pidana mati dengan
cara tembak memang menghasilkan rasa sakit namun seketika juga
mengakibatkan matinya terpidana. Sangat jauh berbeda dengan pelaksanaan
78
pidana mati lainnya yang bisa beresiko lebih besar terpidana tersiksa bahkan
mengalami penderitaan dahulu sebelum mati.
Dengan cara digantung misalnya, belum tentu terpidana langsung mati
apalagi jika terpidana adalah seorang yang berotot leher kuat. Pelaksanaan
pidana mati sudah dilakukan dengan menggantung terpidana namun jika
setelah terpidana digantung ternyata tidak mati berarti terpidana dapat
dianggap sudah menyelesaikan pidananya dan dapat bebas.48
Memang pelaksanaan pidana mati dengan cara disuntik mati sangat
efisien jika dibandingkan dengan cara pelaksanaan lainnya. Dalam
pelaksanaannya, suntik mati juga tidak mudah dilaksanakan karena eksekutor
adalah dokter dan perawat sangat terikat dengan sumpah kedokteran untuk
menyelamatkan jiwa seseorang dalam segala kondisi.49
Namun perlu dipahami, pada setiap cara pelaksanaan pidana mati pasti
menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Dalam ratio decidendi-nya Mahamah
Konstitusi memberikan penjelasan
1) Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam pelaksanaan
pidana mati, karena seseorang dari keadaan hidup dan sehat, kemudian
tidak bernyawa/mati yang dilakukan secara sengaja dengan cara
ditembak mati, maka sudah pasti ada proses sakit;
48 Hwian Cristianto, op.cit, hlm. 37 49 Ibid
79
2) Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan, meskipun
keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit. Sakit adalah suatu
keadaan yang tidak mengenakkan (dalam hal kesehatan) yang dialami
oleh seseorang. Penyiksaan adalah keadaan sakit pada diri seseorang
yang dilakukan secara sengaja. Sakit atau perasaan sakit dengan
penyiksaan menurut hukum pidana berbeda. Sakit atau perasaan sakit
adalah proses alamiah dan jika ada tindakan manusia secara sengaja,
tujuannya bukan untuk menyakitkan, melainkan sakit tersebut merupakan
konsekuensi logis atau sebagai proses untuk tujuan yang dibenarkan oleh
hukum;50
Membedakan apa yang disebut dengan sebagai ‘sakit’ dan
‘penyiksaan’ sebagai dua kondisi yang tidak dapat dipersamakan. Sakit yang
dialami terpidana akibat pelaksanaan eksekusi merupakan proses alamiah
yang sudah pasti ada sebagai tanda matinya seseorang dan oleh hukum sangat
dibenarkan. Sedangkan ‘penyiksaan’ merupakan keadaan sakit pada diri
seseorang akibat perbuatan orang lain yang secara hukum sangat dilarang.
Pada setiap eksekusi pidana mati rasa sakit yang dirasakan oleh terpidana
tidak bisa dihindarkan.
2. Pencapaian Tujuan Pemidanaan
Sebenarnya tujuan dari pidana itu untuk mencegah timbulnya
kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati
50 Muhammad Luthfie Hakim, op.cit, hlm 60
80
dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan yang
berkaitan erat. Hal ini tampak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat itu dengan pidana
mati.51
Sejarah hukum pidana pada masa lampau, mengungkapkan adanya
sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling
mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-
kejahatan yang lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang
pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab
untuk kejahatan. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, sikap penguasa
di negara ini mencerminkan hal demikian.52
Pandangan tersebut diatas ternyata merupakan suatu kekeliruan dan
kini tidak perlu dipersoalkan lagi, demikian pula dengan perspektif ancaman
pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan berat. Orang mengira bahwa dengan
adanya ancaman pidana mati dalam undang-undang dan dilaksanakannya
ancaman itu, maka calon-calon pelaku kejahatan-kejahatan berat akan
mengurungkan niat atau rencana mereka. Pandangan demikian perlu
disayangkan, mengapa mereka terlalu menyederhanakan permasalahan
kejahatan. Orang tidak menduga bahwa semakin masyarakat itu harus diatur
51 Djoko Prakoso, op.cit, hlm 124 52 Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Angkasa Baru, 1978, hlm 12-13
81
oleh hukum semakin luas pula jangkauan yang akan dijelajahi oleh hukum
itu.53
Perkembangan tehnik dan ilmu pengetahuan pada satu pihak dan
pengaruh serta usaha manusia sendiri pada lain pihak merupakan pengaruh
balik yang bukan saja mendorong, akan tetapi juga saling tarik menarik.
Pendeknya dalam permasalahan kejahatan, banyak hal yang dilupakan. Orang
lupa bahwa di samping faktor manusiawi dan faktor lingkungan inklusif
akibat faktor perkembangan teknis, masih ada pula faktor hukum yang dapat
merangsang, mendorong bahkan dapat pula merupakan sebab-musabab
kejahatan.54
Pokok yang penting adalah sampai di mana keberhasilan pidana mati
dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan sebagaimana yang dikonsepkan
oleh BPHN tahun 1972 antara lain, mencegah dilakukannya perbuatan pidana,
dalam hal ini sebagian dari perumusan BPHN mengenai tujuan pidana
memang tepat, yaitu untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi
anggota masyarakat yang berbudi baik dan beguna untuk menghilangkan
noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Jadi jelas, pemidanaan
bukanlah dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat
manusia.55
53 Djoko Prakoso, op.cit, hlm 125 54 Ibid, hlm 126 55 Ibid
82
Apabila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap
tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada
kemungkinan besar akan berkurang pulalah hormat itu kepada manusia. Di
samping itu, masih ada lagi suatu bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh
oleh negara itu akan memancing-mancing suatu penusulan pula terhadapnya.56
Pidana mati hanyalah merendahkan kewibawaan dari negara.
Alasannya ialah bahwa bukanlah negara itu adalah pelindung yang paling
utama terhadap semua kepentingan dari manusia, pertama-tama hidupnya,
tetapi selanjutnya kemerdekaannya, harta bendanya keamanannya dan
kehormatannya.
Memang demikianlah hal-hal yang harus dilindungi oleh negara. Oleh
karena selain pidana mati masih ada juga jenis-jenis pidana yang lain, seperti
pidana penjara dan lain-lain. Itu pun masih merampas kemerdekaan
seseorang. Kalau orang sudah dipidana mati itu, maka ia tidak dapat kembali
ke tengah-tengah masyarakat. Dia idak dapat memperbaiki kelakuannya lagi,
semata-mata karena ia sudah mati. Dengan adanya pidana mati itu, negara
hanya memperlihatkan ketidakmampuan serta kelemahan dalam usahanya
untuk menanggulangi kejahatan.
3. Prosedur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.
a. Persiapan Pelaksanaan Pidana Mati.
56 Roeslan Saleh, op.cit, hlm13-14
83
Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan
yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri),
dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media)
dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan
perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama,
kecuali ditentukan lain. Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana
Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan
pidana mati. Untuk pelaksanaan pidana mati, Kapolda membentuk sebuah
regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama,
di bawah pimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile
(Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau
tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum saat
pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang
akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana hendak
mengemukakan sesuatu (keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan
kepada Jaksa tersebut. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana
mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.57
b. Pelaksanaan Pidana Mati.
57 Persiapan Pidana Mati, www.darmawanku.wordpress.com diakses tanggal 25 Mei 2010
84
Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan
polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat
rokhani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian
yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (Di
Jantung). Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal
menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak
menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk
atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta
kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Misalnya diikat pada tiang atau kursi. Setelah terpidana sudah berada dalam
posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke
tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara
5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa
memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan
menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak
memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan
pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung
terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia
memberikan perintah untuk menembak. Apabila masih terlihat tanda-tanda
kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara
Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas
telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan
85
kematiannya.58 Dalam eksekusi tersebut mengenai jarak tiap anggota
eksekutor menyesuaikan. Regu penembak tidak menggunakan senjata
organiknya, peluru yang digunakan adalah 2 peluru tajam 1 diacak untuk 12
orang Tamtama, 1 untuk Bintara, sedangkan yang lain menggunakan peluru
hampa, ukuran peluru kaliber 5,56mm dan senjata yang digunakan adalah AK
47/SS 1.
Dibawah tabel daftar catatan pelaksanaan pidana mati di Indonesia
sejak tahun 2001 hingga 2007.59
Mereka yang Sudah Dieksekusi Tahun Nama Kasus Vonis Mati (PN)
2007 Ayub Bulubili Pembunuhan Berencana (Kalteng)
Fabianus Tibo Pembunuhan Berencana (Sulteng)
Marinus Riwu Pembunuhan Berencana (Sulteng)
2006 Dominggus Dasilva Pembunuhan Berencana (Sulteng)
Astini Pembunuhan Berencana (Jatim)
2005 Turmudi Pembunuhan Berencana (Jambi)
Ayodya Prasad Chaubey (India) Narkoba (Sumatra Utara) Saelow Prasad (India) Narkoba (Sumatra Utara)
2004 Namsong Sirilak (Thailand) Narkoba (Sumatra Utara)
2002 Gerson Pande Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)
Fredrik Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)
2001 Dance Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara Timur)
58 ibid 59 www.kontras.com diakses tanggal 02 Maret 2010
86
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN
PIDANA MATI DI INDONESIA
A. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Di Indonesia, pada jaman dahulu eksekusi untuk hukuman mati bisa
dikatak an dilakukan sebagai sebuah seni tersendiri. Kadangkala bersifat
kebiasaan yang diturunkan atau ditiru dari berbagai wilayah lainnya.
Misalnya, dengan dibunuh dengan lembing, menumbuk kepala terhukum
dalam lesung (sroh). di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang rotan yang
diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut. Dan masih banyak
metode eksekusi lainnya.
Pada masa kolonial Belandalah model eksekusi tersebut semakin lama
dikonsolidasikan menjadi beberapa model yang lebih sedikit ragamnya.
Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan
menjatuhkan hukuman: a. Dibakar hidup-hidup dengan terikat pada sebuah
tiang (paal), b. Dimatikan dengan mengunakan keris (kerissen). Kemudian
Pada tahun 1848 dibuatlah peraturan hukum pidana yang terkenal dengan
nama Interimaire Strafbepalingen yang menyatakan bahwa eksekusi hukuman
mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg). Dan sejak
itulah eksekusi mati secara di gantung menjadi cara yang paling umum di
gunakan di Hindia Belanda, sampai dengan berlakunya WvSI di tahun 1815.
87
Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa hukuman mati dijalankan oleh algojo di
tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum
dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan
tempat orang itu berdiri. Namun sebelum tahun 1872 masih digunakan
berbagai cara lain dan lazimnya eksekusi tersebut di lakukan didepan umum.
Pada masa pendudukan Jepang, selain diberlakukannya WvSi juga
diberlakukan pula peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh balatentara
Jepang. Dalam Pasal 6 Osamu Gunrei No 1 ditetapkan bahwa hukuman mati
harus dilaksanakan dengan bedil. Sehingga pada waktu yang bersamaan ada
dua cara pelaksanaan hukuman mati yaitu digantung atau ditembak. Jika yang
dilanggar adalah WvSI maka yang digunakan adalah ekskesi gantung,
sedangkan jika yang dilanggar adalah peraturan Dai Nippon maka yang
digunakan eksekusi dilakukan dengan cara ditembak mati.1
Kemudian Gunsei Keizirei yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1944
juga mengatur tata cara pelaksanaan hukuman mati dalam pasal 5 yang
dilakukan dengan cara ditembak, kecuali jika hal itu sukar dilakukan maka
diperbolehkan menggunakan cara lain.
Pada Tahun 1946 Pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 tahun 1946.
kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya dualiesme eksekusi mati. Dalam
1 Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia,
www.docutrack.com diakses tanggal 16 Maret 2010
88
wilayah RI yang saat itu dikuasi RI yang berlaku ialah pasal 11 KUHP yang
mengharuskan hukuman mati dilakukan dengan cara di gantung.
Bagi daerah yang dikuasai oleh Belanda berlakulah Stb 1945 No 123
yang mengharuskan hukuman mati dengan cara ditembak. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan tahun 1958. Dengan dikeluarkannya UU No 73
tahun 1958 maka cara pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara
digantung sesuai dengan pasal 11 KUHP. Pelaksanaan hukuman mati dengan
cara digantung ini berlangsung sampai dkeluarkannya Penetapan Presiden No
2 tahun 1964. Menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan
dengan di tembak sampai mati. Cara inilah yang berlaku sampai dengan
sekarang.
Menurut Penetapan Presiden No 2 tahun 1964, sebelum hukuman mati
tersebut dilaksanakan maka dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam si
terhukum harus diberitahukan tentang akan dilaksanakannya hukuman mati
terhadap dirinya. Tenggang waktu ini berguna agar bisa dimanfaatkan si
terhukum untuk minta bertemu dengan keluarganya. Untuk pelaksanaan
hukuman mati kepala polisi daerah dimana hukuman mati dijatuhkan akan
membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua
belas Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya berasal
dari Brigade Mobil. Regu penembak ini berada di bawah pimpinan Jaksa
Tinggi.
89
Ketika si terhukum di bawa ke tempat eksekusi, si terhukum boleh di
temani seorang rohaniawan. Setiba di di tempat pelasanaan hukuman, wajah
siterhukum akan di tutup dengan sehelai kain, namun penutupan ini bisa tidak
dilakukan sesuai dengan permintaan si terhukum. Kemudian jika dipandang
perlu oleh Jaksa, maka tangan dan kaki siterhukum dapat diikatkan pada
sandaran khusus yang di buat untuk itu. Penembakan tersebut dapat dilakukan
dalam posisi terhukum berdiri, duduk atau berlutut. Setelah siterhukum siap di
tembak maka regu penembak dengan senjata yang sudah terisi peluru menuju
ke tempat yang sudah di tentukan oleh Jaksa yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan hukuman tersebut.
Jarak penembakan dari si terhukum dengan regu tembak minimal 5
meter dan maksimal 10 meter. Jaksa kemudia memerintahkan pelaksanaan
hukuman mati. Komandan regu penembak memberi perintah regu tembak
agar bersiap dengan menggunakan sebelah pedang sebagai isyarat, kemudian
dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk
untuk membidikan senapan pada bagian jantung si terhukum dan dengan
menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat maka sebagai tanda
peringatan maka penembakan di lakukan. Jika setelah penembakan dilakukan,
ternyata terhukum masih belum meninggal dunia maka komandan regu
memerintahkan kepada Bintara untuk melepaskan tembakan terakhir dengan
90
menekankan ujung laras senjatanya pada bagian kepala si terhukum tepat
diatas telinganya hingga si terhukum meninggal dunia.2
Tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia yang sebelumnya
terdapat pada Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan
digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilakasanakan dengan cara ditembak.
Hal tersebut juga dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dan
dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang
lama, maka hukuman mati dangan digantung diubah dengan cara ditembak.
Dengan demikian perubahan pelaksanaan pidana mati juga terkait
dengan kecepatan dalam proses untuk mencapai kematian dan kemudian hal
yang berhubungan dengan masalah yang lebih sedikit serta berbicara soal
derita atau siksaan yang ada. Bisa jadi tembak pada masanya lebih cepat dari
digantung dan mungkin lainnya pada masanya sekarang lebih cepat dari pada
dengan ditembak.
Memperhatikan landasan yang mendasari Undang-Undang Nomor
2/Pnps/1964, pada bagian menimbangnya menyatakan, “bahwa ketentuan-
ketentuan yang berlaku dewasa ini mengenai tata cara pelaksanaan pidana
mati bagi orang-orang yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum dan orang-orang baik militer maupun bukan
militer yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan lingkungan peradilan
2 Ibid
91
lingkungan militer tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan
keadaan serta jiwa Revolusi Indonesia”.3
Sedangkan makna serta jiwa revolusi Indonesia, karena undang-
undang tersebut dibuat sejak tahun 1964-1966 maka kemudian masih
memunculkan istilah-istilah jiwa revolusi Indonesia dan seterusnya. Sekarang
filosofi dasar berpijaknya bisa menjadi melanggar hak asasi manusia, ini suatu
hal perubahan terkait masalah kondisi politik suatu keadaan Negara.
Dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada pasal
28G amandemen yang kedua tahun 2000 maka muncul, “setap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia yang berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain”,
kata-kata bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
manusia kemungkinan sangat relevan dengan persoalan dengan menjalankan
hukuman pidana mati dalam suatu posisi yang kemudian menjadi tersiksa.
Standar pelaksanaan pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan
UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak
manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia”, yang mengandung
3 Rudi Satrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah
Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm 47
92
kriteria bahwa pidana mati dapat dilaksanakan jika tidak kejam atau
merendahkan martabat manusia itu sendiri.
Pelaksanaan pidana mati harus dilakukan dengan cara yang terbaik
untuk terpidana, dalam arti tidak menyiksa dengan mempercepat proses
kematian. Berdasarkan perkembangan pengetahuan dan teknologi, perlu
dipertimbangkan jalan terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan
lebih cepat dilaksanakan.
Sedangkan permasalah pro dan kontra undang-undang pelaksanaan
hukuman mati dalam unsur formil saat Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yaitu dengan ditembak mati
yang dianggap tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan Pasal 11
KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga seolah-
olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara
digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai
mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hukuman Mati.
Menurut hukum pidana, KUHP yang menjadi buku induk dari semua
ketentuan-ketentuan hukum pidana di luar KUHP (Moeljatno), sebenarnya
telah memberikan satu cara pelaksanaan pidana mati secara spesifik. Pasal 11
KUHP menyatakan “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat
gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat pada tiang gantungan pada
leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
93
KUHP memberikan tata cara pelaksanaan pidana mati melalui
hukuman gantung sampai mati, karena jenis hukuman ini sesuai dengan
kondisi di Eropa pada abad 16 yang menerapkan hukuman gantung di depan
publik (umum) dengan tujuan agar masyarakat dapat menjadi saksi dan
peringatan serta pelajaran bagi para calon pelaku yang akan melanggar
hukum.
Meskipun melalui asas konkordansi Indonesia memberlakukan hukum
kolonial ternyata tidak semua peraturan tersebut diterima secara mentah-
mentah menjadi produk hukum yang berlaku secara nasional (Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945). Terbukti dari inisiatif pemerintah Indonesia telah
membuat suatu mekanisme pelaksanaan pidana mati menurut KUHP (Pasal
11 KUHP). 4
Melalui UU No. 2/Pnps/1964, pelaksanaan pidana mati tidak lagi
dengan hukuman gantung tetapi dengan ditembak sampai mati. Pertimbangan
dipilihnya tata cara ditembak sampai mati ini antara lain lebih manusiawi dan
cara yang paling efektif untuk dilaksanakan.
Adanya UU No.2/Pnps/1964 yang mengatur tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Maka secara yuridis Pasal 11 KUHP yang mengatur
tentang hukuman gantung sudah tidak berlaku lagi. Sesuai dengan asas hukum
4 Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi Terpidana Mati dalam Hukum
Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta. 2009. hlm. 30
94
lex posteriori derogate legi lex priori (ketentuan perundang-undangan yang
baru menggantikan ketentuan perundang-undangan yang lama).
Jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum
baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau
menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan,
maka berlakulah norma hukum baru. Dalam hal ini UU No.2/Pnps/1964
merupakan produk hukum baru berupa undang-undang yang setara dengan
KUHP yang sudah lama berlaku sejak 8 Maret 1942.
B. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum
Islam
Indonesia merupakan negara terbesar yang mayoritas penduduknya
menganut agama Islam, jadi sebenarnya tidak ada salahnya apabila Indonesia
juga memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang mengatur negara ini.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara
menyeluruh. Islam bukanlah hanya sekedar doktrin keagamaan saja, bukan
pula hanya sekedar bangunan jiwa dan kebajikan budi pekerti, seperti latihan
untuk kebaikan manusia, tetapi suatu keseluruhan yang harmonis yang juga
meliputi sistim ekonomi, hukum perdata, hukum pidana seperti pula hukum
internasional, kesemuanya itu berdasarkan atas satu dasar yang sama yaitu
“doktrin Islam” dengan temperamennya baik moral maupun spiritual
temperamen.
95
Islam selalu mengajarkan setiap orang disuruh untuk melakukan
perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat
apapun juga termasuk dalam membunuh kalau memang itu disyariatkan untuk
membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik.
لازيررضلا
“Mudharat harus dihilangkan”.5
Apabila dalam tata cara pelaksanaan pidana mati masih menimbulkan
rasa sakit maka harus dicari cara yang tidak menimbulkan rasa sakit yang
tidak akan menjadi siksaan atau mudharat yang buruk bagi terpidana.
رارضالوررضال
“Tidak boleh berbuat mudharat dan tidak boleh membalas dengan
mudharat”.6
Ketika dalam peperangan juga orang Islam tetap dilarang untuk
melakukan mematsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum
membunuh. Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan
dengan jelek, artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia
mengalami kematian itu juga tidak diperbolehkan.7
5 Abdul Karim Zaidan, PengantarStudi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008, hlm 122 6 Ibid, hlm 121 7 Mudzakir, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah
Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), hlm 46
96
Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam
mengajarkan agar kita melakukan dengan baik, sebagaimana salah satu contoh
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;
انثدح وبأ ركب نب ىبأ ةبيش انثدح ليعامسا نب ةيلع نع دلاخ ءاذحلا نع ىبأ هبالق
نع ىبأ ثعشآلا نع دادش نب سوأ لاق ناتنث امهتظفح نع لوسر هللا لاق .م.ص نا
هللا بتآ ناسحالا ىلع لآ ئيش اذاف متلتق اونسحأف هلتقلا اذاو متخبذ اونسحأف حبذلا دحيلو 8 مآدحأ هترفش حريلف هتحيبذ
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhannya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan binatang sembelihannya.”
Hadits tersebut menyuruh untuk membaguskan cara menyembelih dan
membunuh dan menajamkan pisau, sehingga kalau syariat menetapkan bahwa
boleh dilakukan pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan
dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk
berupa siksaan, oleh karena untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi
kalau dilakukan terhadap manusia, perumpamaan tersebut dalam ilmu ushul
fiqh disebut ( يولواسايق )
Soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau ditembak mati ternyata
dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami penderitaan sekaligus juga dia
mengalami kematian maka itu dibenarkan dalam Islam. Demikian juga cara
8 Imam Muslim, Shahih Muslim, penerbit Al Qona’ah, hlm.177 tt
97
lain, misalnya disentil kupingnya orang itu paling cepat matinya dan itulah
yang mesti dilakukan, tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah terjadi
setidaknya begitu, kita tidak mendapatkan bahwa cara-cara hukuman mati
dengan ditembak itu cara yang tepat.
Arab Saudi melaksanakan hukuman mati dengan cara dipenggal, dan
menurut meraka yang menyaksikan sendiri, orangnya disuruh jongkok
semacam berlutut, kemudian ditebaskan lehernya sesudah itu langsung
kepalanya dimasukkan ke dalam kantong mayat dengan badannya. Pada
prinsipnya dalam Islam hukuman tersebut dilakukan ditempat umum agar ada
yang menyaksikan, baik hukuman mati maupun hukuman jilid. Dan
pelaksanaan hukuman pancung di Arab Saudi dilakukan pada siang hari.9
Demikian juga di kitab-kitab fiqih, mengapa yang digunakan hukum
penggal, karena dianggap dengan cara itulah yang paling tepat untuk
mempercepat kematian.
Kekeliruan dalam melakukan eksekusi hingga mungkin keadaannya
luka sehingga tidak segera mati bila dikaitkan dengan ketentuan adanya ajal,
manusia diperintahkan oleh Allah diberi kewajiban untuk melakuakan ikhtiar,
sepanjang ikhtiar sudah dilakukan dengan maksimal, maka bebas dari
tuntutan. Artinya kalau jarak lima meter sampai sepuluh meter ternyata salah
dan tidak ada ketentuan bahwa hal tersebut harus diubah, maka ketantuan
tersebut harus dibuang jauh-jauh diganti dengan yang baru.
9 Mudzakir, Op.cit, hlm 46
98
Kalau ternyata dapat dibuktikan cara dipancung lebih baik seperti yang
diputuskan oleh banyak ulama dari kalangan muslim maka harus dilakukan
dan cara yang lain tidak dilakukan.
Ketetapan ajal manusia tidak mungkin mempercepat atau
memperlambat, bahkan tatkala seseorang diputuskan untuk dihukum mati
mungkin masanya masih berlanjut sampai dua, tiga, empat tahun sampai
sepuluh tahun, bahkan puluhan tahun, hal tersebut merupakan bukti bahwa
ketetapan Allah tentang ajal tidak dapat diajukan dan tidak dapat diundurkan.
Sebaliknya juga demikian kalau seseorang sudah waktunya datang
kematian di mana seharusnya dia dieksekusi, tetapi lima menit sebelum
dieksekusi dia sudah mati, oleh karena itu yang dibebankan kepada manusia
adalah usaha untuk melakukan kewajiban tersebut sehingga dapat melakukan
pidana mati dengan cara yang membuat kesakitan wajib dilakukan dan
sebaliknya kalau diketahui ada kemungkinan kekeliruan lebih besar tetap
ditempuh maka hal tersebut merupakan suatu kesalahan.
Kalangan hukum khususnya ulama Islam sejak dulu kala memilih
dengan dipenggal. Kemudian mengenai kecepatan, kalau dipenggal tidak ada
resiko meleset sedangkan ditembak sebagaimana yang selama ini telah
dilakukan masih ada resiko meleset, sehingga permasalahannya adalah ada
yang berisiko dan tidak. Kalau memang dapat dibuktikan cara ditembak mati
tidak meleset dan benar dan kecepatannya sama dengan dengan dipancung
maka cara ditembak mati tidak masalah digunakan, tetapi selagi tidak atau
99
selagi cara ditembak mati masih berisiko dan cara dipancung tidak berisiko,
maka semua ulama akan memilih yang tidak berisiko dari pada yang
berisiko.10
Syariat Islam membuat ketentuan-ketentuan khusus. Ada orang yang
dihukum mati dengan dirajam, dijemur di padang pasir kemudian dicukil
matanya dan dibiarkan mereka mati kehausan dan kelaparan, akan tetapi hal
tersebut merupakan kasus tertentu yang diatur dengan hukum yang tertentu
pula, yang kesemuanya diatur secara syariat dan mengikat. Hukum rajam
merupakan ketentuan yang khusus, tidak boleh diberlakukan terhadap perkara
yang lainnya. Misalnya ada tawanan, karena dia sangat kejam banyak
membunuh tentara Islam lalu dia dirajam, hal tersebut tidak boleh dikenakan
terhadap musuh yang membunuh, tetapi harus dihukum dengan dibunuh pula
walaupun dia pernah menyiksa kaum muslimin sekian banyak. Oleh karena
itu, tatkala dihukum tebas atau dihukum tembak ternyata dilapangan diketahui
bahwa dihukum tembak lebih banyak tidak akurat maka grade-nya ditaruh di
bawah hukum tebas.
Syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal tersebut boleh
dilakukan maka boleh dilakukan. Dengan demikian tidak sama hukum
Indonesia dengan hukum Islam, misalnya ada seorang melakukan perzinahan
sementara dia sudah menikah maka dalam hukum Islam harus dihukum,
10 Ibid, hlm 47
100
sedangkan di luar hukum Islam harus ada yang menuntut terlebih dahulu baru
dapat dituntut.
Sehingga kalau ada seseorang yang melakukan perzinahan lalu
dihukum dengan hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat
Islam, oleh karena itu seseorang yang melakukan kejahatan di negeri
Indonesia dan dihukum dengan undang-undang berdasarkan KUHP atau
undang-undang lainnya yang berlaku, maka tidak membebaskan dia dari
tanggung jawab di hadapan Allah SWT karena syariat Islam belum
ditegakkan atas dirinya.
Tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya
selain dengan dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping
ada unsur menyiksa dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu,
berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung
maka tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati
kecuali dengan dipancung.
Hukum Islam ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal
dilempar batu sampai mati atau rajam, dibalas sesuai dengan cara
membunuhnya atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul
menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga
tata cara yang dilarang (misalnya, dengan dibakar hidup-hidup), ada juga yang
tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang
menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati
101
merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak
berupa bentuk pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang (menurut ajaran
Islam) dan tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi
memberikan efek jera (zawair/detterent effect).
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, setelah penulis mempelajari, membahas, dan menganalisa
permasalahan yang penulis angkat, maka sebagai hasil akhir dari penulisan skripsi
ini, akan penulis kemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebenarnya pada zaman dahulu eksekusi pidana mati di Indonesia sudah ada
dan memiliki begitu banyak ragam pelaksanaan pidana mati bahkan bisa
dikatakan dilakukan sebagai sebuah seni tersendiri namun semua itu
mengalami perubahan pada masa kolonial Belanda yang mencantumkan tata
cara pelaksanaan pidana mati dalam pasal 11 KUHP yaitu dengan digantung
dan kemudian pada masa pendudukan Jepang juga diterapkan peraturan
pidana mati dengan cara ditembak yang kemudian ditetapkan oleh presiden
Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 yang mengatur
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan ditembak sampi mati yang
kemudian masih diberlakukan hingga saat ini. Pergantian ini juga dikarenakan
pelaksanaan pidana mati dengan digantung memakan waktu yang lama dalam
proses untuk mencapai kematiaanya sehingga pelaksanaan pidana mati
dengan ditembak dipandang lebih sedikit menimbulkan derita atau siksaan
yang ada, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak juga dianggap lebih
terhormat dan pertimbangan dipilihnya tata cara ditembak mati ini antara
lebih manusiawi dan cara yang paling efektif untuk dilaksanakan.
103
2. Menurut hukum Islam, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara yang
paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk yaitu berupa siksaan.
Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan salah satu
tata cara pelaksanaan pidana mati yang diajarkan oleh hukum Islam dan juga
merupakan pilihan baik untuk diterapkan juga di Indonesia, karena selain
hukuman mati dengan memenggal leher ini dikenal yang paling sedikit
menimbulkan rasa sakit bagi terpidana, Indonesia juga mayoritas
penduduknya menganut agama Islam, bahkan penganut ajaran Islam
terbanyak di dunia. Dan sesuai ketentuan hukum Islam pelaksanaan hukuman
mati juga harus dilakukan di depan masyarakat luas demi memberikan efek
jera dan rasa takut untuk melakukan perbuatan yang sama bagi orang lain
yang melihatnya.
B. Saran-saran
Saran-saran penulis ketika mengkaji tema skrpsi ini adalah sebagai berikut :
1. Akademisi kita terkadang terlalu jauh melakukan pengembaraan intelektual
kedunia bagian yang lain, padahal khazanah intelektual begitu kaya, hanya
saja kita perlu melihatnya dari sisi yang berbeda.
2. Dalam melakukan suatu penetian atau mencari produk hukum tidaklah harus
selalu mencari produk dari luar yang mana kita belum tahu benar asal-muasal
kenapa produk hukum itu diberlakukan di Negara itu, karena di Negara kita
sendiri sebenarnya juga kaya akan produk hukum dari hukum-hukum adat
104
yang ada dan dapat kita pertimbangkan untuk bisa dipakai atau diberlakukan
di Negara kita sendiri.
3. Bahwa ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana
mati merupakan suatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat
dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: jika cara yang dilakukan menimbulkan
penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian;
kemudian bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam
masyarakat; dan tidak menjaga dan mempertahankan harkat martabat
terpidana sebagai manusia.
4. Penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini masih bias kelas, hukum hanya
berlaku bagi orang-orang yang tidak mampu, sedangkan hukum sendiri tidak
pernah menyentuh orang yang kelas atas, atau dapat dikatakan orang yang
berduit, atau juga para pejabat.
5. Mengenai pelaksanaan pidana mati itu sendiri, bahwa setiap pelaksanaan
eksekusi pidana mati rasa sakit yang dirasakan oleh terpidana tidak bisa
dihindarkan, dan apa saja yang menjadi cara eksekusi pidana mati pasti ada
unsur rasa sakitnya.
6. Pelaksanaan pidana mati haruslah memperhatikan tujuan dari dilakukannya
eksekusi (untuk matinya terpidana) bukan untuk menyiksanya. Dan untuk
memberikan pelajaran bagi yang lain.
105
C. Penutup
Puji syukur senantiasa kita sanjungkan kepada Allah SWT Rab al-Alamin
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta inayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Kepada semua pihak secara langsung maupun tidak langsung yang turut
membantu penulisan skripsi ini, dengan segala kerendahan hati penulis haturkan
terima kasih seiring do’a Jazakumullah ahsan al Jaza.
Demikian skripsi yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI
INDONESIA” ini semoga memperkaya khazanah wacana keilmuan. Kritik yang
bersifat konstruktif tantu penulis harapkan guna perbaikan dan kesempurnaan
skripsi ini. Atas kekurangan dan kesalahan, penulis berharap semoga Allah
mengampuni dan penulis mohon maaf. Semoga skripsi ini bermanfaat. Wallahul
Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IV, 1990
Abdullah, Mustafa dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet I, 1983
Abu Bakar, Imron, Fathul Qorib (terjemah), Kudus: Menara Kudus, 1983 Anis, Ibrahim, et. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jua II, Dar Ihya’ At-turats Al-Araby, tt. Audah, Abdul Al-Qadir, Al Tasri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, Kairo: Dar al Urubah,
1963
……………………….., At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy,Juz I, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, Beirut, tt
Berita Mahkamah Konstitusi, Majalah Konstitusi, XXV, Oktober-November, 2008 Bismar Siregar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992 Chada, P. Vijay, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta : Widya
Medika, 1995 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara (suatu pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT Tanjung Mas Inti, 1992
Djamil, Fathhurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Doi, Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992
Emilinianus Afendi Laggut, Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan Sistem
Pembenarannya), www.pbhi.or.id diakses tanggal 17 September 2009. Foster, George M. dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan
(terjemah), Jakarta: UI Press, 1986
Fatahilla, Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia, fatahilla.blogspot.com diakses tanggal 17 September 2009.
Hahafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Hamzah, Andi, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di masa lalu, kini dan di
masa depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Koesnoe, Moh, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju,
2002
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. VI. No. I. Jakarta, 2009. Muhammad, Abi Ya’la ibn Al Husain, As Ahkam Al Sulthaniyah, Maktabah Ahmad
ibn Sa’ad, Surabaya, 1974, cet. III. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Isalam, Sinar Grafika,
Jakarta, cet. II, 2006 Muhammad Hasbi Ash Shidiqieqy, Teungku, Koleksi Hadis-hadis hukum 9,
Semarang : Petrajaya Mitrajaya, 2001
Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Panjaitan, Saut P., Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Asas, Pengertian, dan Sistematika,
Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998) Prakoso, Djoko, Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Prakoso, Djoko, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Raharjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, tt
………, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986 Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
pembunuhan berencana, Jakarta : Rajawali, 1982 Saleh, Roeslan, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Angkasa Baru, 1978
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2004
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, 1982
………..., Soerjono, Identifikasi Hukum Positif tidak Tertulis melalui penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: IND HILL CO, 1988
………..., Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2007
Soeroso, R, Pengantar Hukum Islam, cet. Ke-9 Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Suharsimi, Ariskunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :
PT.Rineka Cipta, Cet. ke-12, 2002 Sumantri, Sri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung: Transito,
1976
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, www.docutrack.com diakses tanggal 16 Maret 2010
Zaidan, Abdul Karim, PengantarStudi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008 Widnyana, I Made, Kapita Selekta Pidana, tak ada tempat: Eresco, 1993 http://www.indogamers.com/f144/imam_samudra_ingin_mati_dipenggal-38144/.20
agustus 2009.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/putusan_sidang_PUTUSAN%20perkara%2021.puu.VI.2008_Amrozy_telah%20baca.pdf
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Fuad Hasan
TTL : Demak, 01 Juni 1986
Alamat : Jl. Jagalan Brumbung Rt. 05/02, Kec. Mranggen, Kab. Demak 59567
Pendidikan Formal :
1. TK Budi Daya Brumbung Lulus Th. 1992
2. SDN Brumbung -1 Lulus Th. 1998
3. MTs Asy-Syarifah Brumbung Lulus Th. 2001
4. MA Futuhiyyah -1 Mranggen Lulus Th. 2004
5. IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005
Pendidikan Non Formal :
• Madrasah Diniyyah Asy-Syarifah
• PP Asy-Syarifah Brumbung
Pengalaman Organisasi
• Pramuka
• Pengurus Ikatan Remaja
• UED SP desa Brumbung
Semarang, 01 Juni 2010
Fuad Hasan 2105055/052211055