the role of harbour master and authority office …
TRANSCRIPT
Vol. 3(1) Februari 2019, pp. 107-119
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)
107
PERANAN KANTOR KESYAHBANDARAN DAN OTORITAS PELABUHAN
TERHADAP KESELAMATAN KAPAL PENUMPANG
(Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh)
THE ROLE OF HARBOUR MASTER AND AUTHORITY OFFICE TOWARDS
PASSENGER SHIP SAFETY (A Research In Banda Aceh)
Riko Sukrevi Ibrahim
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Chadijah Rizki Lestari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Didalam Pasal 208 huruf (a) Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan
tugas Syahbandar adalah mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan ketertiban di pelabuhan.
Pada kenyataannya terdapat kapal yang tidak laik laut membawa penumpang dari dermaga Lampulo dan Ulhe
Lheu menuju Pulau Aceh. Akibatnya tidak terjaminnya keselamatan dan keamanan para penumpang yang akan
melakukan penyeberangan ke Pulau Aceh. Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan apakah KSOP Malahayati
telah melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang- undangan, hambatan-hambatan
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, serta upaya yang dilakukan oleh KSOP Malahayati terhadap
permasalahan dalam keselamatan pelayaran. Penelitian dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian
yuridis empiris. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Kantor KSOP Malahayati telah melakukan tugas dan
fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, adapun hambatan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya diantaranya: Pola Pikir dan Karakter Masyarakat setempat, tidak adanya fasilitas pelayaran yang
layak dari pemerintah ke Pulau Aceh, Kesadaran hukum dan juga kesadaran akan keselamatan berlayar
masyarakat masih sangat minim. Upaya yang dilakukan oleh KSOP Malahayati adalah Meningkatkan sosialisasi
keselamatan pelayaran kepada para pawang kapal dan masyarakat serta melakukan pengadaan alat alat
keselamatan kepada para pawang kapal seperti: pelampung, life Jacket dan radio.Disarankan perlu adanya
peningkatan koordiansi dan kepedulian antara pihak-pihak terkait terhadap permasalahan transportasi dari dan
ke Pulau Aceh, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Menindak secara tegas nahkoda
kapal yang mengangkut penumpang secara ilegal.
Kata Kunci: Peranan, KSOP, Keselamatan Pelayaran Kapal Penumpang
Abstract - In article 28 point (a) of the sail act states that the duties of Harbour Master are monitoring
worthiness of ship, safety and order at the port. However all agreements are made legally apply as laws for
those who make them. However, in practice there are some ships that unworthiness make cross over from
Lampulo and Ulhe Lheu Dock to Aceh Island. As a result the safety and security of passangers are not
guaranteed. This reasech aims to explain whether Harbour Master Has done the duties as appropriate with
legislation act, the restrictions during doing duties and the effort of harbour master to fix the problems in
passanger ship safety.. The research method of this study is a empirical legal research method. The result of this
resaerch are the Master Harbour Office has done their duties which stated in legislatife act, but there ara some
obstruction, first the mindset of local people and the caracter of island society, second lack of awareness of
sailing safty, the awareness of law. The effort that has been made by the harbour master office are improving
the sosialization of sailing safty for the ship’s hendler and made procurement some safety tools like buoys, life
jacket and radio. And the adviced for these problem are improving the coordination betwen related institution to
fix the transportation problem from and to Banda Aceh and Pulau Aceh. So that it can improve the welfare of
local communities. And to take firm action for ship’s hendler that carrying passangers illegally.
Keywords: Role, Harbour Master, The Safety Of Sailing Passanger Ship
PENDAHULUAN
Menyadari pentingnya keselamatan di perairan indonesia, maka di buatlah Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran (Undang-undang Pelayaran) yang mengatur
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 108
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
tentang peranan Syahbandar dan Otoritas pelabuhan dalam mengawasi keselamatan dan
keamanan pelayaran.
Kantor kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan diklasifikasikan ke dalam lima kelas,
terdiri atas kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan kelas I, kantor kesyahbandaran dan
otorita pelabuhan kelas II, kantor kesyahbandaran dan otorita pelabuhan kelas III, kantor
kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan kelas IV dan kantor kesyahbandaran dan otoritas
pelabuhan kelas V. Kelima kelas Kantor Kesyhabandaran tersebut memiliki peran dan tugas
yang hampir sama namun ada perbedaan dalam struktur organisasinya.1
Di dalam Pasal 208 huruf (a) Undang-undang nomor 17 Tahun 2008 tentang
pelayaran menjelaskan fungsi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, yang salah
satunya :
“melaksanakan pengawasan terhadap kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan
ketertiban pelabuhan”
Namun dari data penelitian terdapat kapal yang seharusnya diperuntukkan untuk
menangkap ikan atau mengangkut barang, digunakan untuk mengangkut penumpang. Kapal-
kapal tersebut secara fisik terlihat seperti kapal penangkap ikan, kapal-kapal tersebut
berlabuh di dua dermaga yaitu Dermaga Pelabuhan ikan Lampulo dan Dermaga Ulhe Lheu
Banda Aceh. Kapal-kapal tersebut mengangkut penumpang dari Banda Aceh Menuju Pulau
Aceh dan sebaliknya, dalam beroperasi, kapal-kapal tersebut tidak hanya mengangkut
penumpang tetapi juga menyatukan penumpang dengan mengangkut hewan-hewan ternak,
tabung gas dan bensin, kendaraan bermotor dan barang barang lain.
Dari data penelitian, kapal tersebut ternyata hanya memilik izin mengangkut barang
dan tidak memiliki izin untuk mengangkut penumpang. Tentu saja kapal yang tidak memiliki
izin mengangkut penumpang tidak memenuhi standar laik laut untuk mengangkut
penumpang, yang mana tempat kapal-kapal yang tidak laiklaut tersebut beroperasi
merupakan daerah cakupan kerja dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas
IV Malahayati. Berdasarkan uraian latar belakang di atas rumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Malahayati Banda Aceh
telah melakukan peranannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
1 Viana IR br Barus, et-al , Tugas dan tanggung Jawab Syahbandar Dalam Kegiatan Pengangkutan Laut
Indonesia. Dipenegoro Law Jurnal. Volume 6 Nomor 1 Tahun 2017. hal 3-4.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 109
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
2. Apakah hambatan yang dihadapi oleh kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
dalam melaksanakan peranan tersebut?
3. Apakah upaya yang dilakukan oleh Kantor Kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan
Malahayati dalam penyelesaian permasalah dalam Keselamatan Pelayaran?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Empiris, yang meneliti bagaimana
berlakunya hukum dan untuk mengetahui apakah hukum akan bekerja efektif atau telah
bekerja efektif, data hukum yang berhasil di temukan akan dianalisis menggunakan empat
tolak ukur yaitu, peraturan perundnag- undangan yang dimaksud, aparatur hukum terkait,
sarana dan prasarana pendukung yang tersedia, sosial budaya masyarakat dimana hukum
yang di maksud berlaku.2
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Peranan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Malahayati terhadap
Pelayaran Kapal Penumpang Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan di
Kota Banda Aceh.
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas IV Malahayati merupakan unit
pelaksana di lingkungan Direktorat Perhubungan Laut di departeman Perhubungan. Ruang
lingkup wilayah kerja dari KSOP Malahayati adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan
Pidie Jaya. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan dalam melaksanakan tugasnya
berdasarkan pada peraturan Menteri Perhubungan PM Nomor 36 Tahun 2012 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran Dan Otoritas Pelabuhan.
Saat ini Struktur Organisasi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan kelas IV
Malahyati mengacu Pasal 29 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2012 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran Dan Otoritas Pelabuhan sebagai berikut:
Kantor Kesyahbandar dan otoritas pelabuhan kelas IV malahayati dipimpin seorang
kepala dan membawahi 4 bagian subseksi yaitu: kepala urusan tata usaha, subseksi
keselamatan berlayar penjagaan dan patroli, subseksi status hukum dan sertifikasi dan
subseksi lalu lintas, angkutan laut dan usaha kepelabuhan.
2 Ade Saptomo, Penelitian Hukum Empiris Murni,Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, hal. 42
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 110
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
Sebelum kapal dapat beroperasi, maka kapal harus terlebih dahulu memenuhi
persyaratan- persyaratan yang di keluarkan oleh Kantor Syahbandar dan otoritas Pelabuhan
melalui bukti sertfifikat, berawal dari pembuatan kapal di galangan, kapal haruslah melapor
kepada Badan Klasifikasi Indonesia prihal rancangan konstruksi kapal dan permesinan kapal
untuk di awasi proses pembuatannya. Bagi kapal yang di buat di galangan tradisional, maka
pembuat kapal haruslah mengajukan rancangan kapal kepada Kantor Kesyahbandaran dan
Otoritas pelabuhan terkait, pelaporan tersebut dilakukan agar BKI dan juga KSOP dapat
memantau dan juga mengawasi proses pembuatan kapal tersebut. Jika sebuah kapal
mengajukan izin untuk berlayar maka hal utama yang perlu di ajukan ialah surat:
1. Surat Ukur Kapal
2. Surat Permesinan Kapal
3. Sertifikat Konstruksi Kapal
4. Surat Kebangsaan Kapal
5. Sertifikat Garis Muat Kapal
6. Surat Pas Tahunan
7. Sertifikat Trayek Kapal
8. Sertifikat Keselamatan Kapal
9. Sertifikat Awak Kapal
10. Sertifikat Nahkoda Kapal
11. Sertifikat Radio Kapal
12. Sertifkat Klasifikasi Kapal.3
Menurut Muslim Kasubsi Bidang Keselamatan berlayar dan patroli KSOP
Malahayati, semua kapal-kapal yang berada di pelabuhan Ulhe Lheu baik kapal ferri maupun
kapal cepat, semuanya berada di bawah pengelolaan PT.Indonesian Ferri. PT tersebut
merupakan BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengelola kapal-kapal tersebut.
Jadi prihal jadwal keberangkatan dan tarif, PT. Indonesia Ferri lah yang menentukannya.
Sama seperti di pelabuhan manapun di seluruh Indonesia sebelum kapal berangkat, PT
Indonesian Ferri wajib memberikan surat Permohonan Persetujuan Berlayar Kepada KSOP
Malahayati agar dapat berlayar. Syarat-Syarat yang harus di penuhi agar mendapat surat
3 Wawancara dengan Bapak Ahmad Kasubsi Lalu lintas dan Angkutan Laut, KSOP Malahayati, tanggal
30 Juli 2018 Pukul 11.30
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 111
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
persetujuan berlayar adalah surat pernyataan kesiapan kapal (Master Sailing Declaration),
dokumen muatan serta bukti-bukti pemenuhan kewajiban kapal lainnya.4
Dari hasil wawancara dengan Kepala Tata Usaha Pelabuhan Ulhe Lheu Banda Aceh,
Dahri menyebutkan pemerintah telah menyediakan satu Kapal Ferri ukuran 200 GT yang
disediakan untuk penyeberangan dari Banda Aceh menuju Pulau Aceh yaitu kapal KMP
Papuyu yang berkapasitas kurang lebih 100 Penumpang dan dapat mengangkut sekitar 3 atau
4 mobil dan 10 Sepeda Motor. Jadwal keberangkatannya seminggu lima Kali yaitu pada hari
Senin, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu pada pukul 08.00 WIB, dari pelabuhan Ulee Lheu
menuju Dermaga Lamteng Pulau Nasi Kecamatan Pulau Aceh dan kembali dari Pulau Aceh
ke Pelabuhan Ulee Lheu Pada Pukul 11.00 WIB. Harga tiket untuk penumpang Rp.18.000
per orang dan untuk sepeda motor Rp.22.000 Rupiah per unit dan per hari jumlah penumpang
hanya Tiga sampai dengan tujuh orang sekali jalan.5
Fakta ini sangat disayangkan karena di kecematan Pulau Aceh tersebut tidak hanya
terdapat satu pulau melainkan ada beberapa pulau besar lain yang memilik penduduk, namun
trayek keberangkatan kapal KMP Papuyu hanya menjangkau Pulau Nasi.
2. Hambatan yang dihadapi oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
dalam melaksanakan peranan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa fakta yang ditemukan terkait
permasalahan kapal pengangkut barang yang menjadi kapal penumpang dengan trayek dari
dermaga Ulhe Lheu dan Dermaga Lampulo menuju Pulau Aceh, dari keadaan kapal dan juga
keadaan perjalanan para penumpang saat kapal berlayar.
Dari hasil wawancara dengan pihak Polisi Air Polda Aceh Saiful Hadi menyebutkan
terdapat dua dermaga yang menyeberangkan penumpang dengan kapal yang seharusnya tidak
diperuntukkan untuk mengangkut penumpang yaitu pada dermaga ikan Lampulo dan
dermaga Ulee Lheu dekat dengan Mesjid Baiturrahim Ulee Lheu. Terdapat 4 Kapal yang di
gunakan untuk mengangkut penumpang yang beroperasi di dermaga Lampulo yaitu: KMP
Jasa Bunda, KMP Satria Baro, dan KMP Sulthan Bahari dan KMP Rahmat Rizki. Sebenarnya
kapal-kapal tersebut tidak pernah didaftarkan maupun digunakan oleh pemiliknya untuk
menjadi kapal penangkap ikan, namun kapal kapal tersebut tidak layak berlayar untuk
4 Wawancara dengan Bapak Muslim Kasubsi Keselamatan Berlayar dan Ptroli KSOP Malahayati
Tanggal 30 Juli 2018 pukul 12.00 WIB. 5 Wawancara dengan Bapak Dahri KTU Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh Tanggal 18 April 2018
pukul 14.00 WIB. di Kantor Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 112
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
mengangkut penumpang berdasarkan Undang-undang Pelayaran, dan kapal tersebut tidak
mempunyai izin untuk mengangkut penumpang.6
Saiful Hadi Menyebutkan bahwa kapal tersebut tidak melengkapai syarat kelaiklautan
kapal untuk menjadi kapal penumpang, seperti menyediakan alat keselamatan untuk
penumpang Life Jacket, kotak P3K, Kursi dan juga standar keselamatan pelayaran lainnya,
kapal tersebut juga membawa tabung gas, bensin dan solar dari Banda Aceh menuju Pulau
Aceh, seharusnya ada prosedur tertentu jika sebuah kapal akan mengangkut barang-barang
tersebut dikarenakan barang-barang tersebut merupakan barang yang berbahaya.7
Dari hasil wawancara dengan nahkoda KM Jasa Bunda, Alex, beliau mengatakan
dalam adat Aceh, menyebutkan nahkoda dengan sebutan Pawang. Pawang mendapatkan ilmu
laut, cuaca dan juga cara-cara mengemudikan kapal yang telah turun temurun dari orang
dahulu, terakait dengan sejak kapan mulai adanya trasnportasi ke Pulau Aceh dia mengatakan
sudah sangat lama, sejak adanya penduduk di Pulau Aceh tersebut dan memang transportasi
sejak dahulu dilakukan secara tradisonal.
Terkait dengan izin berlayar, Alex mengatakan beliau dan kapalnya telah mendapat
izin dari syahbandar, ketika ditanyakan lebih spesifik tentang izin apa yang didapatkan, Alex
tidak tahu izin seperti apa, yang penting dia sudah mengurus izin ke kantor Syahbandar.
Sebagai pawang KM Jasa Bunda, Alex membawa penumpang dan barang dari Pulau
Breuh dan sebaliknya itu padahari Senin, Rabu dan Sabtu, beliau mengatakan bahwa memang
kami para Pawang yang menyediakan jasa angkutan harus berbagi hari dengan pawang yang
lain.Di Pulau Breuh sendiri terdapat dua dermaga, yaitu: Gugob dan juga Lampuyang. Alex
juga mengatakan pihak kesyahbandaran dan pol airut juga sering melakukan sosialisasi dan
juga pemantaun terhadap keselamatan penumpang, dia mengatakan baru- baru ini ada rapat
yang di buat oleh pihak Pol Airut yang mengundang pihak- Pihak dari pawang kapal, kantor
kesyahbandaran dan juga Dinas Perhubungan Kota untuk berembuk mengenai peningkatan
keselamatan pelayaran.
Alex mengatakan Pihak Pol Airut dan Syahbandar meminta untuk pawang kapal agar
memisahkan barang dan penumpang dalam perjalanannya. Jadi setipa jalan harus
memutuskan untuk bawa barang atau penumpang, namun semua pawang merasa keberatan
terhadap permintaan tersebut, karena itu akan mengurangi Omset pendapatan mereka. Namun
6 Wawancara dengan AKP Saiful Hadi.,S,H.,M.H KASI INTEL Ditpol Airud Polda Aceh Tanggal 18
April 2018 Pukul 10.00 WIB. di Kantor Pol Airud Polda Aceh, Lampulo Banda Aceh. 7 Wawancara dengan AKP Saiful Hadi.,S,H.,M.H KASI INTEL Ditpol Airud Polda Aceh Tanggal 18
April 2018 Pukul 10.00 WIB. di Kantor Pol Airud Polda Aceh, Lampulo Banda Aceh
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 113
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
ada sebuh permintaan dari Pol Airut dan Kantor kesyahbandaran yang di sepakati oleh para
penumpang yaitu semua pawang haruslah meminta penumpang untuk memakai life jaket
sebelum berlayar, dan melepasnya setelah tiba di dermaga.8
Menuru Saiful Hadi, tidak ada satu lembaga terkait yang dapat di salahkan dalam
kasus ini, karena ini merupakan sebuah dilema, terutama bagi pihak kesyahbandaran, pihak
syahbandar tidak mungkin mengeluarkan izin mengangkut penumpang, karena kapal tidak
laik laut, dan jika izin tidak dikeluarkan maka pol airut dapat mengambil tindakan terhadap
kapal yang berlayar tanpa izin. Namun jika di ambil tindakan maka akan melumpuhkan
kegiatan ekonomi masyarakat Pulau Aceh. Dalam hal ini pol airut mempertimbangkan aspek
sosial terhadap permasalahan ini.9
Menurut Azwar, KTU Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan. Beliau
mengatakan pihak Polisi Air, Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3). Dan
Kesyahbandaran telah meminta kepada pawang kapal untuk memabagikan Life Jaket kepada
Penumpang dan memastikan penumpang untuk memakainya sebelum kapal berlayar.
Untuk saat ini belum ada petugas dari Kesyahbandaran mengawasi langsung hasil
kesepakatan tersebut di dermaga lampulo, namun kedepannya pihak Kesyahbandaran akan
mengirimkan petugas di lapangan untuk mengawasi pemakaian Life Jaket tersebut. Jika
penumpang tidak memakai life jaket maka tidak di izinkan berlayar. Ini merupakan tindakan
preventif untuk meningkatkan keselamatan.
Azwar menambahkan, sebenarnya kapal yang berlayar dari dermaga Lampulo ke
Pulau Aceh itu tidak mempunyai Izin mengangkut penumpang, mereka hanya mempunyai
Izin untuk mengangkut barang saja, dan kantor Syahabandar tidak akan Pernah memberikan
izin untuk mengangkut penumpang kalau kapal tersebut tidak laik laut untuk mengangkut
penumpang.
Dalam hal ini jika kapal yang tidak memiliki izin mengangkut penumpang maka kapal
tersebut tidak bisa di berikan Surat Persetujuan untuk Berlayar (SPB). Kalau sebuah kapal
sudah di berikan SPB maka kapal tersebut di pastikan laik laut dari segi kondisi kapal, dan
jumlah angkutan maksimum kapal, dan syahbandar mengawasi dengan penuh perlayaran
kapal tersebut. Namun kenyataan nya kapal yang berlayar ke Pulau Aceh tidak pernah
8 Wawancara dengan Alex, Pawang Kapal Jasa Bunda, wawancara Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 10.30
WIB 9 Wawancara dengan Pawang Pon, Pawang Kapal Satria Baro, wawancara Tanggal 10 Juli 2018 Pukul
14.00 WIB
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 114
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
diberikan SPB dan implikasinya, Kesyahabandaran tidak mengetahui informasi muatan kapal
dan juga jadwal keberangkatan kapal. 10
Jadi, dalam posisi ini sebenarnya syahbandar telah melaksanakan peranannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, karena secara hukum kapal tersebut tidak memiliki
izin mengangkut penumpang dan tidak pernah di keluarkan surat persetujuan berlayar
dikarenakan tidak laik laut, dalam kata lain syahbandar tidak pernah tahu tentang muatan
kapal dan juga jadwal keberangkatan kapal. Dikarenakan kapal tersebut tidak memiliki SPB
dalam berlayar, maka secara hukum kapal tersebut telah melanggar aturan dalam berlayar.
Aturan yang telah dilanggar oleh Nahkoda Kapal yang mengoperasikan kapal dengan
Trayek Dermaga Lampulo dan Ulhe Lheu menuju Pulau Aceh ialah:
Pasal 302 Undang- undang pelayaran yang bunyi nya;
(1) “Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui
kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).”
Pasal 303 Undang-undang Pelayaran:
(1) “Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan
maritim sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 122 dipidana dengan pidan
penjara paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak
Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).”
Pasal 323 Undang-undang pelayaran
(1) “Nahkoda yang berlayar tanpa memiliki surat persetujuan berlaray yang
dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana di maksud dalam pasal 219 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp.600.000.000 (enam ratus juta rupiah).”
Namun dalam kasus ini Syahbandar tidak melakukan tindakan terhadap kapal-kapal
tersebut, karena Pihak kesyahbandaran mempertimbangkan dampak yang terjadi jika kapal
kapal tersebut tidak berlayar, Yaitu: putusnya jalur transportasi dan kegiatan ekonomi
10 Wawancara dengan Bapak Azwar, Kepala Tata Usaha Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
Malahayati, wawancara Tanggal 11 Juli 2018 Pukul 10.30 WIB
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 115
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
masyarakat Pulau Aceh. dan yang hanya bisa di lakukan oleh pihak Kantor Kesyahbandaran
ialah mempertinggi tingkat keselamatan penumpang dalam berlayar.
Didalam melaksanakan tugas dan Fungsi Kantor Kesyahbandaran dan Otortitas
Pelabuhan Malahayati menjumpai beberapa hambatan didalam melaksanakan tugas tugasnya.
1. Faktor Pola Pikir dan Karakter Masyarakat.
Dari wawancara dengan Pihak Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan
Malahayati, didapati informasi bahwa para pawang kapal yang mengemudikan kapal dari
Banda Aceh menuju Pulau Aceh masih sangat memegang teguh kebiasaan adat istiadat yang
mereka dapatkan secara turun temurun, mereka masih mempercayai dan menggunakan
metode tradisonal dalam berlayar, dan mereka masih menganggap bahwa laut itu merupakan
karunia tuhan yang tidak ada satu orangpun yang berhak mebatasinya. Terkait Surat
Kecakapan Pelaut, sebagian besar pawang tidak memilikinya, mereka mengatakan keahlian
melaut sudah turun temurun di turunkan oleh keluarga mereka sehingga tidak perlu lagi
pelatihan dari pihak pemerintahan. Para pawang menggunakan ilmu yang di dapatkan dari
adat istiadat dan kebiasaan yang diturunkan kepada mereka untuk melihat cuaca dan hal-hal
lain sebelum melakukan pelayaran.
Terkait dengan karakter, azwar mengatakan bahwa karakter orang laut atau nelayan
itu sedikit keras, memang di pengaruhi oleh faktor pekerjaan mereka yang memang
mempertaruhkan nyawa untuk menajdi pelaut.11
2. Tidak adanya fasilitas Pelayaran dari pemerintah menuju Pulau Aceh.
Dari hasil pengamatan dan wawancara. Kecamatan Pulau Aceh secara Topografi
memiliki banyak gugusan pulau, dan beberapanya merupakan pulau besar. Namun sangat di
sayangkan hanya terdapat satu trayek menuju Pulau Aceh, yaitu hanya melalui KMP Papuyu
yang berlayar hanya menuju ke pulau nasi, dan itu pun dengan waktu keberangkatan tertentu
dan tidak setiap hari. Namun di lain pihak kegiatan ekonomi, pemerintahan, pendidikan serta
kesehatan masyarakat Pulau Aceh yang padat membuat perlunya trasnportasi laut yang cepat
dan mudah untuk memunjang kegiatan ekonomi, pendidikan kesehatan dan pemerintahan.
Hal ini membuat munculnya kapal-kapal yang tidak laik laut untuk membawa penumpang
menuju ke Pulau Aceh
3. Kesadaran hukum dan juga kesadaran akan keselamatan berlayar masyarakat masih
sangat minim
11 Wawancara dengan Bapak Azwar, Kepala Tata Usaha Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
Malahayati, , wawancara Tanggal 11 Juli 2018 Pukul 10.30 WIB
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 116
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
Dari beberapa hasil wawancara dengan para penumpang kapal dan hasil pengamatan
di lapangan, kapal-kapal yang berlayar ke Pulau Aceh dari Dermaga Lampulo dan Dermaga
Ulhe Lheu tidak laik laut untuk mengangkut penumpang, baik dari segi kontruksi kapal, cara
embarkasi dan debarkasi penumpang, serta alat- alat penunjang keselamatan seperti kotak
P3k, jaket pelampung dan lain lain, dan juga terhadap resiko kecelakaan di laut. Para
penumpang kebanyakan tidak terlalu merisaukan kelaiklauan kapal,
Bagi pawang kapal, mereka tidak memiliki patokan resmi tentang berapa bobot
bawaan yang dapat di tampung oleh kapal mereka, sehingga jika terjadi kelebihan muatan apa
lagi angkutan yang di campur antara manusia dan barang maka akan menimbulkan resiko
didalam perjalanan, serta juga adat istiadat yang kental tentang laut masih depegang teguh
oleh para pawang sehingga Mereka kurang memperhatikan standar untuk memperoleh izin
untuk berlayar dari pemerintah.
4. Tidak adanya petugas Kesyahbandaran yang hadir di lapangan untuk mengawasi
Sebenarnya jumlah dari personil lapangan Kantor Kesyahbandaran dan otoritas
Pelabuhan malahayati sudah memadai, dan juga status dermaga yang digunakan untuk
bersendar kapal di Lampulo dan Pulau Breuh merupakan Dermaga Swadaya Masyarakat,
dimana masyarakat membuat sendiri dermaga tersebut, oleh karena itu kantor Syahbandar
dan Otoritas Pelabuhan tidak bisa mengintervensi terkait aktifitas di dermaga tersebut.
Karena berkaitan dengan adat dan istiadat masyarakat setempat.
Serta dikarenakan kapal-kapal yang berlayar dari dermaga lampulo dan Ulhe Lheu Itu
tidak memiliki surat izin untuk mengangkut penumpang dan tidak juga pernah di berikan
Surat Persetujuan Berlayar, maka pihak kesyahbandaran tidak bisa melakukan pengawasan,
jika syahbandar meberikan izin mengangut penumpang dan barang maka Pihak
kesyahbandaran Telah melakukan Pelanggaran karena nyatanya kapal tersbut tidak laik laut
untuk mengangkut penumpang.
3. Upaya yang dilakukan oleh Kantor Kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan
Malahayati dalam penyelesaian permasalah dalam Keselamatan Pelayaran
Demi mengedepankan kepentingan serta dampak sosial, pihak Kesyahbandaran tidak
menindak dan memberikan sanksi administratif maupun pidana terhadap para pawang kapal,
dikarenakan apabila kapal tidak beroperasi hanya dalam waktu dua hari maka kegiatan
ekonomi masyarakat Pulau Aceh akan lumpuh. Oleh karena itu pihak kesyhabandaran telah
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 117
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
melakukan beberapa Upaya Untuk menyelesaikan permasalahan dalam keselamatan
perlayaran.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pihak Kesyahbandaran ialah melakukan
sosialisasi dan musyawarah dengan para pawang kapal sebagaimana yang telah di sebutkan
oleh Azwar selaku kepala Tata Usaha KSOP malahayati. Pihak Kesyahbandaran Telah
melakukan tindakan preventif terhadap keselamatan pelayaran dengan memberikan sosilisasi
kepada Para pawang, berupa peringatan laiklaut kapal, izin kapal dan pemahaman
keselamatan pelayaran kepada pawang kapal melalui musyawarah yang diikut oleh para
pawang kapal dan beberapa instansi terkait seperti Pol Airut dan Dinas Perhubungan.
Selanjutnya pihak kesyahbandaran akan mengirimkan tim Pengawas lapangan setiap
harinya, untuk memantau langsung pemakaian jaket kepada para penumpang Kapal sebelum
kapal berlayar berlayar menuju Pulau Aceh.
Pihak Kesyahbandaran Juga telah melakukan pengadaan alat-alat keselamatan
pelayaran dan memberikannya kepada para pawang kapal berupa Radio, pelampung dan juga
Life jaket sebagaimana yang telah dikatakan oleh pawang kapal dalam wawancara penelitian.
Pihak Kesyahbandaran juga sudah melakukan pelaporan terhadap kondisi yang terjadi
kepada Pemerintah terkait.
Pihak Kesyahbandaran juga Telah mengajak para pawang untuk mengubah surat izin
kapal dari izin mengangkut barang menjadi izin untuk mengangkut penumpang, dengan
ketentutan para pawang harus memenuhi kalaiklautan kapal untuk mengangkut penumpang.
Sehingga kapal tidak lagi berlayar membawa barang dan penumpang secara sekaligus.
KESIMPULAN
Pihak kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan Malahayati telah melakukan
Perenananya di bidang keselamatan pelayaran Kapal penumpang sesuai dengan peraturan
Perundang- undangan. kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan Malahayati telah
melakukan prosedur-prosedur yang benar terhadap kapal-kapal yang berada di pelabuhan
Ulhe Lheu memeriksa kelengkapan sertifikat kapal dan pengawaan keselamatan kapal serta
penerbitan Surat persetujuan berlayar, dan telah menyikapi kasus kapal yang mengangkut
penumpang dari dermaga Lampulo dan Ulee Lheu ke Pulau Aceh dengan dengan baik dan
mengedepankan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat banyak.
Tidak adanya fasilitas pelayaran dan pelabuhan yang memadai agar kegiatan
transportasi dari dan menuju Pulau Aceh berjalan dengan baik, padahal sangat banyak
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 118
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
permintaan untuk penyeberangan baik itu untuk kegiata ekonomi, pemerintahan, kesehatan
dan juga wisata.
Kurangnya akan pengetahuan dan kesadaran Masyarakat terhadap keselamatan
pelayaran mengakibatkan resiko yang besar saat kapal kapal melakukan pelayaran.
Lembaga-Lembaga yang terkait seperti Pol Airut Polda Aceh dan Juga Kantor
kesyahbandaran dan otoritas Pelabuhan malahayati telah melakukan koordinasi dengan baik
dan saling membantu untuk melakukukan sosialisasi keselamatan pelayaran , memberikan
bantuan alat-alat keselamatan dan juga terus melakukan usaha agar meningkatkan
keselamatan dan penecegaha terjadinya kecelakaan laut terhadap pelayaran kapal
penumpang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Abbas Salim, Manajemen Transportasi, PT. Raja grafindo Persada, Jakarta 2006
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Penerbit Citra Aditya
Bhakti, 2013
Ade Saptomo, Penelitian Hukum Empiris Murni, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009,
Albert Albert R et.al, 2013, Pembangunan Trasnportasi Kepulaun di Indonesia, Brillian
Internasional, Surabaya Ali Zainuddin, Metodelogi Peneltian Hukum, Cetakan Ke-2,
Sinar Grafika, Jakarta. 2010
Ali Zainuddin, Metodelogi Peneltian Hukum, Cetakan Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Mataram, Rajawali
Pers. 2003
Burhan Ashshofa. Metedologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta. 2010. Metedologi
Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta. 2010.
HR.Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.2011
Jum Anggraini. Hukum Administarsi Negara.Jakarta: Graha Ilmu.2012
Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004
Syarifuddin Hasyim, Hukum Administrasi Negara. Banda Aceh, Syiah Kuala University Pers.
2008.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 119
Riko Sukrevi Ibrahim, Chadijah Rizki Lestari
M. Kamaluddin Laode, Pembangunan Ekonomi Maritim Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, Pembangunan Ekonomi Maritim Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme penelitian Hukum Normatif & Empiris
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.2017
Sarwoto, Dasar dasar Organisasi dan Manajemen, Jakarta: Ghalia Indoensia, 2007.
Sadjijon. Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta, Laksbang Presindo 2011
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1990.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 37 tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan
Penumpang Angkutan Laut
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelabuhan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2012 tentang standar kerja dan organisasi
Kantor Kesyhabandaran dan otoritas pelabuhan
Peraturan Menteri perhubungan Nomor 82 tahun 2014 tentang Tata cara penerbitan Surat
persetujuan berlayar
3. Jurnal dan Makalah
Aguw, Randy. "Tanggung Jawab Syahbandar Dalam Keselamatan Pelayaran Ditinjau Dari
UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran." Lex Administratum 1.1 (2013).
Amrizal, Husni A. Jalil, and Eddy Purnama. "FUNGSI PENGAWASAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN TERHADAP PERIZINAN DAN
PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DI KABUPATEN ACEH
BESAR." Jurnal Ilmu Hukum 1.4 (2013).
Djuned, Teuku. "Kedudukan Panglima Laot dalam Hukum Positif di Indonesia." Makalah
Duek Pakat Panglima Laot se-Aceh di Sabang (2001): 19-20.
Mansur, Teuku Muttaqin. "Tantangan Peradilan Adat Laot di Aceh." Kanun: Jurnal Ilmu
Hukum 14.2 (2012): 279-290.
Syaifuddin, Muhamad. PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERPARKIRAN DI
KOTA SURABAYA. Diss. UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015.
Vi br Barus, Viana IR, Paramita Prananingtyas, and Siti Malikhatun. "Tugas dan Tanggung
Jawab Syahbandar dalam Kegiatan Pengangkutan Laut di Indonesia." Diponegoro Law
Journal 6.1 (2017): 1-13.