repositori.unud.ac.id filepenjelasan tentang kehinduan tersebut, tidak harus melulu dengan ritual...
TRANSCRIPT
6
TAFSIR SOSIAL ATAS KEHADIRAN TERNAK HEWAN
DALAM UPACARA TIGA BULANAN
Oleh: GPB Suka Arjawa
(Staf Pengajar Sosiologi, FISIP, Universtas Udayana)
Abstrak
Masyarakat Hindu Bali mengenal aneka ragam ritual dalam menjalani kehidupan sosialnya. Di
dalam upacara tersebut, banyak simbol-simbol yang dipakai, baik melalui jalinan janur maupun
hewan ternak yang dilibatkan. Simbol ini banyak mengandung makna yang berguna bagi
kehidupan sosial. Akan tetapi banyak anggota masyarakat yang tidak mengetahui makna
simbolis tersebut. Bahkan juga ada penceramah yang kurang mengetahui pemaknaan ini.
Akibatnya, antara upacara dengan tujuan pencapaiannya tidak nyambung. Salah satu misalnya
adalah tentang makna simbolis kehadiran tiga hewan dalam upacara tiga bulanan, yaitu ayam,,
bebek dan babi yang dipakai dalam ritual “solsolan”. Metode yang dipakai untuk memahami
simbol ini adalah menafsirkan karena rangkaian upacara tersebut dipandang sebagai teks, atau
kalimat. Dalam metode hermenutik, teks itu dapat ditafsirkan berbagai macam. Tujuan
menafsirkan ini adalah membantu masyarakat dalam memahami simbol tersebut, sehingga dapat
disebarkan dan selanjutnya memberi nasihat baik peada orang lain dan kepada dirinya. Tentu
makna itu akan diharapkan terjadi kepada balita yang diupacarai kelak setelah dewasa. Temuan
yang didapatkan adalah bahwa banyak makna penafsiran yang bisa dilihat dari kehadiran tiga
hewan tersebut. Beberapa diantaranta adalah makna kesetiaan, kerjakeras, perlindungan, bersih,
dan sebagainya, yang sangata berguna bagi perjalanan hidup manusia. Inilah yang harus
disebarkan kepada masyarakat.
Kata Kunci: Tiga Bulanan, “Solsolan”, Teks, Ritual
1.PENDAHULUAN
Perkembangan ritual keagamaan Hindu banyak menarik perhatian masyarakat, tidak saja
dari luar negeri, akan tetapi juga dari dalam negeri sendiri. Bahkan masyarakat Bali sendiri, juga
memperlihatkan adanya ketertarikan tersebut. Bagi masyarakat luar, komunikasi sosial yang
muncul adalah bahwa masyarakat Hindu itu, banyak melakukan ritual. Atau agama
diidentikkan dengan ritual seperti yang sering terlihat. Padahal, sesungguhnya memberikan
penjelasan tentang kehinduan tersebut, tidak harus melulu dengan ritual yang ada tetapi dapat
juga dilakukan dengan makna dari ritual tersebut, sejarah kehinduan di Bali, atau mungkin
makna simbolis yang ada. Bahkan Bandem dan kawan-kawan sempat mengaitkan antara
berbagai ritual itu dengan pertunjukan dalam kegiatan sehari-hari (Pichard, 2006 :207).
7
Pelaksanaan upacara Hindu di Bali, secara nyata berbeda dengan apa yang dilakukan di
tempat lain, misalnya pada masyarakat Tengger di Jawa Timur atau pada komunitas-komunitas
Hindu yang ada di beberapa tempat di Jawa Timur seperti di Kediri, Mojokerto, atau di Gresik.
Meskipun di Tengger ada kepercayaan mistis, seperti bawang yang dipandang dari Brahma
(Wedakarna, 2014: 39), tetapi ritual yang ada dapat dikatakan berbeda dengan di Bali. Termasuk
juga praktik-praktik keagamaan Hindu di kota-kota seperti di Surabaya, Jakarta maupun kota-
kota lain di Indonesia. Intinya, persoalan rumitnya atau banyaknya ragam ritual dalam upacara
Hindu di Bali, tidak terlalu kelihatan di tempat-tempat di luar Bali. Dengan konteks seperti
itulah kemudian dikatakan kalau agama Hindu di bali itu rumit. Padahal sesungguhnya tidak
demikian. Agama Hindu di Bali sendiri sesungguhnya, kalau dilihat dari sejarahnya sudah
sederhana, bisa dilihat dari Khayangan Tiga, Kemulan mapun benang Tridatu. Sedangkan ritual-
ritual yang dilaksanakan itu, masing-masing mempunyai makna tersendiri yang sangat besar
maknanya bagi kehidupan sosial.
Secara sosiologis, perjalanan sejarah Agama Hindu di Bali dan berbagai makna simbolis
yang ada di dalam berbagai ritul Hindu tersebut, sangat bermanfaat dan diperlukan di segala
jaman. Di jaman mutakhir sekarang, masyarakat banyak yang terperangkap antara ketidaktahuan
makna dengan kenyataan praktik upacara yang banyak menghabiskan biaya. Tidak dapat
ditinggalkan bahwa masih terdapat penceramah-penceramah agama Hindu di Bali yang kurang
paham dengan sejarah perjalanan Hindu di Bali dan kurang paham tentang makna ritual
keagamaan tersebut, sehingga dalam pemberian ceramahnya sangat kurang memberikan
penjelasan kepada makna-makna yang dimaksud. Akibatnya, penjelasan yang keluar sangatlah
tidak masuk akal dan seolah membiarkan upacara besar-besaran tersebut berlangsung.
Untuk itulah sosialisasi dari sejarah dan pemaknaan dari upacara agama Hindu di bali
tersebut sangat penting dengan tujuan memberikan pendidikan kognitif kepada masyarakat.
Dengan memberikan pemahaman ini, masyarakat akan tahu makna yang sebenarnya dan
kemudian memilih untuk melaksanakan ibadah agama itu sesuai dengan tradisi ritual atau
memaknainya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat lebih berguna kepada masyarakat.
Dalam tulisan ini dikupas sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, ditafsirkan dan kemudian
dicoba diwacanakan sehingga memungkinkan untuk ditanggapi. Kemudian dalam hal ritual
keagamaan di Bali, akan dikupas tentang makna kehadiran tiga hewan, yaitu ayam, itik dan babi
dalam upacara Tiga Bulanan yang dilakukan oleh masyarakat.
8
2. METODE MENAFSIRKAN
Metode yang dipakai untuk menafsirkan adalah hermeneutik. Sesungguhnya metode ini
dipakai dalam menafsirkan kalimat yang keluar dari manusia, dan perilaku manusia. Akan tetapi,
kalau dikaitkan dengan sejarah budaya yang melekat pada kehadiran hewan dalam upacara tiga
bulanan itu, juga merupakan sikap dari manusia. Karena itulah kemudian, dapat ditarik sebuah
latar belakang dan alasan, mengapa masyarakat Hindu Bali memilih hewan tersebut dalam
keadaan hidup untuk dihadirkan dalam upacara. Ayam, bebek dan babi merupakan hewan
peliharaan umum di Bali sehingga tingkah laku kehidupannya dapat ditafsirkan. Sebab, dapat
dikatakan bahwa pada akhirnya tampilan hewan dan ritual itu dapat dikatakan sebagai kalimat
dalam teks. Bahasa yang digunakan dalam teks tefsirannya tidak dapat dikontrol oleh penulisnya,
dan tafsirannya nyaris tak terbatas (Gibbons, 2002 : xv)
3. TUJUAN DAN MANFAAT DALAM KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL
Tujuan menafsirkan kehadiran hewan perliharaan dalam upacara ini adalah demi
mengetahui makna yang terkandung dalam kehadiran hewan tersebut. Sebab, sebuah kehadiran
dalam ritual pasti mempunyai makna yang akan berguna bagi pesan-pesan kepada masyarakat.
Manfaat mengetahui makna ini adalah akan mampu menjadi bimbingan dan nasihat bagi
masyarakat banyak, sehingga dapat dipakai sebagai pesan abadi dalam kehidupan sosial.
Wirawan, yang mengutip Blumer menyebutkan bahwa makna dimodifikasi dan ditangani
melalui proses penafsiran yang digunakan setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-
tanda yang dihadapi (Wirawan, 2012 :113). Hal ini juga memberikan manfaat pengetahuan bagi
masyarakat agar ritual tersebut tidak dipahami sebagai ritual semata sebagai sebuah pekerjaan
rutin, dalam hal ini upacara tiga bulanan.
Bali sekarang ada dalam konteks perubahan sosial yang cukup deras sehingga upacara-
upacara seperti itu dipandang seolah membuang-buang waktu dan biaya saja. Sebagian
masyarakat mempunyai pandangaan seperti ini sehingga tanpa pemahaman yang komplit tentang
makna simbolis itu, akan dapat melahirkan konflik sosial. Misalnya ada pihak yang merasa
tersinggung karena merasa melecehkan agama ketika menyebutnya sebagai membuang-buang
waktu dan biaya. Pemahaman akan makna terhadap kehadiran hewan itu, akan dapat memperluas
pengetahuan dan karena itu memungkinkan kehadiran terhadap hewan ini menjadi pilihan.
9
Masyarakat yang sudah mengenal maknanya itu dapat saja tidak menghadirkan hewan tersebut,
dan menggenatinya dengan nasihat-nasihat secara oral saat melaksanakan upacara. Perubahan
sosial di Bali ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran kritis seperti ini. Pemikiran
modern akan mampu menerima pengalaman baru dan keterbukaan terhadap inovasi (Sztompka,
2007 : 89) Dengan demikian pencarian makna ini mempunyai manfaat besar, bukan saja
memberikan informasi pengetahuan kepada masyarakat tetapi juga memungkinkan untuk
meringkas kompleksitas upacara dan menyederhanakan ritual serta menekan biaya.
4. TAFSIRAN ATAS RITUAL “SOLSOLAN” DALAM UPACARA TUGABULANAN
Upacara tiga bulanan (telubulanan) merupakan acara yang pasti dilakukan oleh
masyarakat Hindu di Bali terhadap balita yang baru lahir. Upacara seperti ini dilakukan baik
oleh masyarakat Hindu yang ada di Pulau Bali bagian utara, tengah , selatan maupun timur.
Dalam prosesinya tersebut, pihak yang menjalankan bisa pendeta atau pemangku yang
dipercaya dapat melaksanakan upacara tersebut. Salah satu rangkaian acara menarik dalam ritual
itu adalah solsolan. Masyarakat di Kabupaten Tabanan, terutama di wilayah Kecamatan
Kerambitan, menamakan prosesi tersebut dengan solsolan. Arti kata ini adalah menempel secara
ketat, atau mencari-cari tempat yang tepat. Dalam ritual tersebut, dipakai tiga hewan yang sudah
akrab dengan masyarakat dan menjadi binatang peliharaan yang diternakkan, yaitu ayam, bebek
dan babi. Ketiga hewan ini didekatkan kepada bayi yang telah diupacarai, sehingga seolah-olah
menempel. Inilah yang disebut dengan solsolan.
Akan tetapi, ritual seperti ini hanya berupa ritual belaka dan dipandang dipakai sebagai
atraksi belaka, tanpa mengetahui makna yang sesungguhnya sehingga pesan tersebut hilang.
Geertz sempat mengatakan bahwa antara rakyat dan raja mempunyai perbedaan sikap terhadap
ritual. Bagi raja seolah asyik dengan ekspresi ritual, sedangkan pelaksanaan itu dilaksanakan
oleh rakyat (Nordholt, 2009: 9). Atau kalaupun ada kelompok masyarakat yang mencoba
mengungkapkannya, dikatakan dalam konteks yang salah. Misalnya dengan mengatakan agar
sang bayi kelak dapat makmur dalam kehidupannya dengan memiliki peternakan itik, ayam atau
babi seperti halnya ternak yang dimiliki oleh masyarakat Bali tradisionil di masa lalu. Meskipun
hal tersebut tidak terlalu keliru, akan tetapi terjadi keputusan makna dari perilaku yang
diperlihatkan hewan-hewan tersebut yang diupayakan dapat menular kepada perilaku balita
bersangkutan setelah dewasa. Bahkan, sebagian masyarakat yang kritis, mulai menyuarakan
10
sikap bahaya dengan upacara solsolan tersebut, terutama yang berkaitan dengan penyakit flu
burung. Unggas yang disertakan pada ritual tersebut, yaitu ayam dan itik, merupakan hewan
pembawa penyakit membahayakan tersebut, yang kalu tidak hati-hati mememegang dan
mendekatkannya kepada anak, akan dapat menularkan penyakit flu burung yang membahayakan
ini.
4.1 Tafsiran atas perilaku ayam
Pada masyarakat Bali masa lalu, ayam merupakan peliharaan yang sudah pasti ada dalam
kehidupan sosial. Hewan ini tidak saja menjadi penopang perekonomian rumah tangga tetapi
juga menjadi sumber protein bagi masyarakat, dan tentu saja sebagai bahan ritual. Tidak saja di
pegunungan, di pedesaan di Bali, bahkan sebagian juga di wilayah perkotaan, masyarakat Bali
masih memelihara ayam secara tradisionil. Artinya mereka memelihara ayam tersebut secara
bebas berkeliaran. Perubahan pola pemeliharaan itu terlihat pada masyarakat yang melibatkan
peternakan ini sebagai sebuah insutri rumah tangga. Akan tetapi, ayam yang digunakan bukan
merupakan ayam kampong, dalam pengertian ayam bali tradisional.
Perilaku ayam tradisionil, seperti yang terlihat sesungguhnya merupakan perilaku arif,
pekerja keras, memberikan perlindungan dan bimbingan kepada anak-anaknya serta tanggung
jawab keterikatan kepada asal muasal. Ayam juga mudah sekali menyesuaikan diri dengan
lingkungan dimanapun berada. Ada banyak hal yang dapat ditafsirkan dari perilaku ayam ini.
Dalam konteks pemeliharaan anak, ayam akan berjalan paling belakang dan membiarkan anak-
anaknya di depan untuk mencari makan. Ketika sang induk mendapat makanan, maka induk
ayam tidak akan memakan makanan yang didapatkan, tetapi memanggil anak-anaknya yang
masih kecil untuk datang. Sering juga terlihat kalau sang induk tidak akan memberikan
monopoli terhadap makanan yang didapatkan, dan akan memarahi anak yang mencoba
menghegemoni makanan tersebut. Fenomena ini menandakan bahwa ayam benar-benar
memberikan perlindungan kepada anak-anaknya, memberikan rasa keadilan dan mendahulukan
kebutuhan sang anak dari pada induknya. Jelas sang induklah yang mencarikan arah untuk
mendapatkan makanan tersebut.
Dalam konteks kemandirian, dalam hitungan satu bulan, atau setelah mulai membesar,
anak ayam ini akan disampih oleh induknya secara keras dengan cara mengusir dari dekat
(bentingin, dalam bahasa Bali). Tidak akan diberikan kesempatan untuk meminta makanan lagi
11
dari induknya dan diusir menjauh dari induk. Ini menandakan bahwa ayam telah mendorong dan
memaksa kemadirian kepada anak-anaknya yang sudah dipandang besar. Ketika induk ayam ini
telah mempunyai anak lagi, tidak akan diberikan kesempatan sedikitpun untuk mendekati induk
dan mengganggu adik-adiknya lagi. Ini adalah bentuk kemandirian yang tercermin dari
kehidupan ayam.
Pada saat mencari makanan, ayam kampung yang hidupnya bebas itu akan bergerak
bebas. Terutama pada lingkungan yang masih bebas dan luas, terutama terlihat di pedesaan di
pedalaman dan pegunungan, jangkauan pencarian makanan dari ayam ini cukup luas dan jauh.
Pola pencarian makanan ini konnstan, dan berangkat pagi pulang sore, baik secara mandiri
maupun dengan anak-anaknya. Meskipun mencari makanan dalam jarak yang jauh, akan tetapi
ayam selalu kembali ke kandangnya di rumah pemiliknya dan mencari kandang atau sarangnya
secar tepat di sore hari. Dan begitu akan berulang lagi pada keesokan harinya.
Perilaku ini merefleksikan kesetiaan, konsistensi dan kerja keras. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, ayam akan mencari makanan di siang hari, di saat matanya masih mampu
melihat dan badannya dapat digerakkan. Kerja keras itu diwujdukan dengan berjalan jauh dari
sarang dan rumah pemiliknya, meskipun harus mengajak anak-anaknya. Demi mempertahankan
kehidupan tersebut, ayam harus mencari makan secara mandiri, juga demi tugas tanggung jawab
dalam menghidupi anak-anak. Bahkan ayam yang jantan pun kelihatan juga akan mengiringi
ayam betina untuk mencari makanan ini. Demikian terus dilakukan, sepanjang hidup dan
sepanjang badannya masih sehat, ayam akan terus-terusan secara mandiri mencari makan untuk
menghidupi dirinya. Meski ayam melakukan pencarian makanan tersebut jauh dari kandang dan
sarang dari rumah induknya, ayam pasti akan kembali pada sore harinya tepat ke kandang yang
menjadi haknya sendiri. Artinya mereka akan mencari tempat tidur semula, seperti sedia kala
tanpa berusaha merebut milik ayam yang lain. Ayam memperlihatkan bentuk kesetiaan kepada
tempat tinggal, ingat dengan asal muasalnya, dan tidak merebut hak milik pihak lain.
Tentu ayam juga tidak akan memilih-milih tempat untuk mencari makananan demi
mempertahankan hidupnya. Ia akan datang ke tempat yang dipandang besrih maupun kotor,
akan tetapi sebagai bahan manakan, ayam akan selalu mencari makanan yangbermanfaat dan
dapat digunakan oleh tubuhnya. Ini artinya ia mempunyai kemampuan untuk menyaring
makanan-makanan yang baik dan bemanfaat bagi tubuhnya. Tentu saja ini dimaksudkan untuk
makanan yang sifatnya tradisional, bukan modern yang bisa mengandung racun.
12
4. 2. Tafsiran atas Perilaku Bebek
Pada umumnya, bebek merupakan hewan yang dipandang mampu berenang diatas air
yang kondisinya beraneka ragam. Artinya hewan ini dapat berenang di air yang kotor muupun
bersih. Akan tetapi, meskipun berenang di atas air dalam kondisi demikian, bebek tetap dapat
mencari makan, meaning makanannya yang beeguna untuk tubuh (kehidupan). Bebekpun, akan
menenggelamkan paruhnya sampai jauh ke dalam air yang bersih maupun kotor dan juga
memasukkan paruhnya ke dalam tanah yang kotor untuk mencari makanan, dan mempunyai
kemampuan menyaring makanan yang menguntungkan dan berguna bagi tubuhnya. Dalam
keadaan bagaimanapun, paruh bebek akann mencoba mencari makanan tersebut dengan
menenggelamkannya ke dalam tanah.
Dalam hal lain, walaupun bebek mencari makanan di tanah berair, kotor dan sbagainya
itu, ia mampu memelihara tubuhnya secara bersih, tidak dipengaruhi oleh sifat kondisi tanah
dimana ia mencari makanan.
Bebek adalah hewan yang dipelihara secara berkelompok. Pada masyarakat Bali
tradisional, bebekk menjadi salah satu peternakan yang menguntungkan. Yang membuat bebek
menjadi pilihan sebagai hewan yang dipelihara adalah karena mudahnya mengatur
kehidupannya. Hewan ini mudah diarahkan, mengikuti jalur yang telah ditentukan oleh
pengasuhnya dan tidak mudah lepas dari rombongan. Inilah yang membuat pemelihara bebek
mudah mengatur ratusan ekor, kendatipun berjalan di tempat yang ramai. Mereka akan menurut
ketika dibimbing dengan menggunakan kayu atau bambu yang tidak terlalu panjang, juga di
jalan-jalan yang lokasinya sulit. Bagaimanapun lokasi jalan yang dilalui, bebek akan dapat
menempuhnya sesuai dengan bimbingan dan arahan yang dilakukan oleh peternak.
Bebek betina yang sudah dewasa, setiap hari akan menghasilkan telor sehinga tidak saja
dapat membantu meningkatkan gizi masyarakat tetapi menjadi penghasilan bagi pemeliharanya.
Bahkan mampu menjad penghasilan tetap bagi para pemeliharanya.
4.3 Tafsiran atas Perilaku dan Kehidupan Babi
Babi merupakan salah satu binatang ternak yang menjadi peliharaan masyarakat Bali
tradisional (Bali Kuno), disamping bebek, sapi, dan ayam. Dalam gambar-gambar lama yang ada
di berbagai buku yang menggambarkan sejarah Bali, baik di jual di pasar dengan dipangsku oleh
13
penjualnya. Ini menandakan bahwa babi mempunyai kedekatan fungsional khusus dengan
masyarakat Bali. Ia menjadi salah satu topangan kehidupan sosial di Bali, yang tidak saja dapat
dimanfaatkan dagingnya untuk menambah gizi masyarakat tetapi menjadi cadangan tabungan
bagi masyarakat. Babi dapat dijual sewaktu-waktu, baik ketika ia masih dalam keadaan bayi
maupun dan apalagi setelah besar.
Masyarakat Bali di masa lalu, memelihara babi dengan tiga cara. Memelihara dengan
mengikatnya dan ditaruh di bagian belakang rumah, mengandangkannya, dengan berbagai
ukuran kandang. Serta membiarkannya terlepas. Babi yang dipelihara secara terlepas ini sering
berkeliaran, dan mengganggu lingkungan rumah tangga lain. Akan tetapi babi yang dipelihara
secara terlepas ini, kemudian mirip dengan pola kehidupan babi liar di hutan, yaitu pergi jauh
mencari makanan bersama romobongan anaknya, dan kemudian kembali menuju sarang dimana
ia biasa tidur malam. Hampir sama dengan cara hidup ayam, babi akan mencari makanan
dengan mulutnya, membenamkan mulut ke tanah-tanah lembek (ngelumbih: bahasa Bali), dan
kemudian berhasil menemukan makanan. Ia juga mengajakk anak-anaknya ikut mencari
makanan dan memberikan prioritas bagi anak-anaknya untuk makan terlebih dahulu.
5. PEMAKNAAN DAN PESAN KE DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Dengan demikian, tiga hewan yang dipakai sebagai upacara solsolan dalam Tiga Bulanan
bayii tersebut, mempunyai makna dan penting ke dalam kehidupan sosial. Makna inilah yang
harus ditonjolkan, diharapkan akan terjadi kepada balita setelah ia besar, diceritakan secara
terus-menerus, bukan saja kepada anak sepanjang pertumbuhannya tetapi juga kepada siapapun
umat manusia akan mampu menyelami kehidupan hewan tersebut.
5. 1 Makna sebagai Pekerja Keras.
Pencarian makanan ayam sampai jauh dari kandang atau sarangnya, merupakan makna
kerja keras dari hewan tersebut, baik untuk menghidupi dirinya maupun anak-anaknya. Itu
sudah menjadi kebiasaan, setiapp hari. Ayam juga berupaya menyaring makanan, apabila
memang berada di tempat yang kotor, sambil mematuk-matuk tempat lokasi makanan.
Penyaringan makanan dan mematuknya ini tidak lain merupakan upaya kerja kerasnya untuk
mendapatkan makanan sebagai penopang hidup. Meskipun masih kecil, anak ayam akan
mengikuti induknya untuk mencari makan, dan sang induk akan berupaya mencarikan makanan
14
untuk sang anak. Hal yang sama juga dilakukan oleh babi, terutama babi hutan yang jauh dari
sarangnya untuk mencari makanan bersama dengan anak-anaknya yang masih kecil.
Manusia haruslah mampu bekerja keras dalam menjalani hidup, mencari nafkah tanpa
harus memilih-milih dan malu dengan kualitas pekerjaan. Hanya dengan kerjakeraslah manusia
akan mampu melanjutkan kehidupan pribadi, keluarga dan kehidupan sosialnya. Kerja keras itu
akan semakin mendapat tantangan di jaman globaalisasi seperti sekarang. Manusia juga tidak
harus melihat dunia ini sebagai area atau wilayah mencari pekerjaan. Dengan demikian,
merantau merupakan salah satu cara untuk bekerja keras, bukan sekedar mencari penghidupan di
daerah sendiri. Kehidupan perantauan justru akan membuat semakin matang pemikiran dan
pengalaman, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku ayam yang sampai jauh tempatnya mencari
makanan. Semakin hari dapat semakin luas wilayah cakupannya mencari makan.
5.2 Makna Bertanggung Jawab dan Sebagai Pelindung
Ketika ayam, maupun babi mengajak anak-anaknya mencari makanan, tidak lain ini
merupakan tanggung jawab dari induk kepada anak-anak untuk menghidupi keluarga. Induk
ayam akan mencari makanan, ketika mendapat makanan sang induk akan member kepada anak-
anaknya untuk makan, tanpa harus berebutan. Induk ayam akan berjalan di belakang anak-anak
sambil kepalanya mencari-cari lokasi tempat makan. Ini merupakan perlindungan kepada
anaknya apabila ada ancaman. Demikian juga dengan cara babi liar (hutan) dalam membimbing
anak-anaknya. Betapapaun jauh lokasi mencari makan, dan betapapun sulit untuk
menjangkaunya, ayam maupun babi akan berupaya keras untuk mendapatkan. Induk ayam akan
memberikan anak-anaknya untuk memakanan makanan yang tersedia.
Dalam kehidupan sosial, manusiapun harus demikian. Mampu bertanggung jawab dalam
menghidupi anak-anak dan keluarga, membiaya kebutuhan hidupnya sampai dengan
memberikan petunjuk untuk mencari makanan. Sebagai orang tua, manusia harus memberikan
perlindungan kepada anak-anak dan sebagai kepala keluarga, juga harus member perlindungan
kepada keluarga. Bekerja keras untuk mendapat penghasilan merupakan bentuk tanggung jawab
sekaligus perlindungan kepada keluarga. Mendahulukan kepentingan anak bagi orang tua,
merupakan wujud perlindungan dan tanggung jawab orang tua di dalam keluarga.
5. 3. Makna Bersih, tidak Tersulut oleh Perbuatan Kotor
15
Ketika bebek mencari makanan di tempat kotor dan berair, badannya masih bersih, tidak
akan terkena kotoran berlumpur. Ketika menenggelamkan paruhnya yang pipih untuk mencari
makan itu pula, bebek mendapatkan makanan yang bersih dan berguna bagi kelangsungan
hidupnya. Kehidupan bebek adalah di tempat-tempat yang berair dan berlumpur. Tetapi meski
hidup dan mencari makan di lingkungan demikian, badannya tetap bersih dan selalu
mendapatkan makanan yang berguna bagi tubuhnya. Ayam, ketika mematuk-matuk makanan di
tempat yang kotor, dia akan mendapatkan makanan yang bersih, baik diberikan kepada anak-
anaknya maupun kepada dirinya sendiri. Kalaupun ada makanan yang kotor, ayam akan
berupaya membersihkannya dulu sebelum memasukkannya ke mulut atau memberikan kepada
anak-anaknya. Perilaku babi juga demikian. Menggali makanan melalui mulitnya, babi mendapat
makanan yang bersih, tidak memasukkan makanan yang kotor.
Manusia, dalam kerangka bekerja untuk menghidupi keluarga dan kelangsungan hidup,
harus mampu berbuat bersih, tidak terlibat intrik-intrik yang kotor, semisal korupsi.
Bagaimanapun lingkungan tempatnya bekerja untuk mencari makan demi keluarga itu,
terindikasi lahan yang penuh korupsi, manusia tidak boleh terlarut dan hanyut dalam budaya
seperi itu. Seperti halnya makanan yang beracun, tindakan kotor seperti kurusipun
sesungguhnya merupakan racun dalam pengembangan karir manusia. Dalam bekerja,
penghasilan yang didapatkan haruslah yang halal dan benar-benar bersih dari segala macam
intrik. Bekerja keras, bertanggung jawab dan berbuat yang bersih dan jujur akan melahirkan
manusia mulia dan menjadi inspirator bagi anggota masyarakat lainnya. Kebaikan masyarakat
dapat didorong oleh hal-hal seperti ini.
5.4 Makna dapat dan Mudah Dibimbing
Sikap yang diperlihatkan bebek ketika digiring oleh pengmbalanya, tidak lain merupakan
cerminan bagaimana hewan peliharaan itu dapat kompak, berjalan seriring dan mampu
dibimbing oleh pengembala. Dengan bimbingan dan sikap kompak tersebut, bebeka akan lebih
mudah diarahkan untuk mencari makanan, ditunjukkan lokasi makanan dan lokasi kandang di
rumah. Dalam hal tertentu, induk ayampun akan membimbing anak-anaknya dalam mencari
makanan ke semak-semak yang jauh. Tanpa bimbingan itu, sang anak yang masih kecil-kecil
akan tersesat.
16
Makna seperti ini lebih banyak ditujukan kepada anak-anak remaja dan dewasa muda
dalam kehidupan sosial. Sebagai anggota masyarakat yang masih dalam masa pertumbuhan,
mereka harus mampu dibimbing oleh orangtua, diberikan petunjuk dalam menjalankan
kehidupan sosial, terutama dalam memperkenalkan pengalaman yang baik. Bimbingan ini
diperlukan untuk memahai kehidupan sosial yang sesungguhnya untuk mempersiapkan diri
kehidupan sosial yang lebih berat di masa mendatang. Sebagai anggpota komunitas, anak-anak
muda atau remaja harus juga mampu secara kompak mendengarkan arahan maupun bimbingan
baik dari orang tua, guru, maupun dosen demi kebaikan di masa mendatang.
5.5 Simbol Ketegasan dan Kemandirian
Ayam, ketika anak-anaknya sudah besar, sang induk akan secara tegas menyapihnya
memisahkan diri dari kehudupan sang induk. Ia akan mematuk anak-anaknya yang sudah besar
dan tidak membolehkannya untuk ikut lagi dalam kelompok induk, dan membiarkannya untuk
mencari makan sendiri.
Manusia, ketika telah dewasa haruslah mampu berbuat mandiri, tidak ikut lagi menempel
di kehidupan orang tua, baik untuk membiayai diri sendiri maupun dan apalagi membiayai dan
menghidupi keluarga. Orang tua harus tegas memberikan pengarahan seperti itu kepada anak-
anaknya yang sudah dewasa agar mampu mandiri, baik dalam kehidupan sosial maupun
kehidupan keluarga.
5.6 Simbol Ingat dengan Asal dan Posisi Sosial
Ayam, kendati harus melakukan perjalanan jauh mencari makanan baik bersama anak-
anak maupun dirinya sendiri, pada sore hari pasti akan kembali ke kandangnya di rumah pemilik
yang sudah di sediakan. Babi pun, terutama babi hutan yang liar, mempunyai kecenderungan
seperti itu. Mereka akan pulan sore hari, tepat pada waktunya dan menempati sarang yang
memang menjadi miliknya sendiri.
Manusia harus mencontoh ini. Betapapun manausia itu telah jauh di perantauan, mereka
harus ingat dengan asal muasalnya, baik identitas budaya, agama, bangsa maupun negaranya.
Hal inii penting untuk menyadarkan dirinya sebagai manusia dengan akar budaya yang ada.
Disamping itu, ia juga harus ingat dengan pihak-pihak yang telah membantunya dapat merantau,
17
membantunya untuk sukses dalam karir. Dengan ingat akan hal-hal seperti ini, ia akan semakin
berarti secara sosial, dihormati oleh sesame dan bakti serta bertanggung jawab kepada Tuhan.
6. KESIMPULAN
Dengan demikian, kehadiran dan dipakainya hewan ayam, itik, dan babi dalam upacara
tiga bulanan bayi pada masyarakat Hindu Bali mempunyai makna yang besar. Pemaknaan itu
adalah sebagai symbol bekerja keras untuk menghadapi tantangan kehidupan, bertanggung jawab
dalam menghidupi rumah tangga sekaligus menjadi pelindung keluarga. Kehadiran hewan
peliharaan itu juga memberikan pesan bahwa dalam melakukan pekerjaan, manusia harus
mampu melakukannya secara bersih, tidak melakukan penipuan, korupsi yang merugikan orang
lain, apalagi dengan cara-cara yang kotor. Dalam menjalani tumbuh dan berkembangnya
kehidupan, generasi muda harus dapat diberitahu, dibimbing untuk menjalani kehidupan yang
benar sehingga kelak dalam menjalani kehidupan dengan jalan yang baik. Disamping itu,
kehadiran hewan ternak ini juga memberikan pesan tentang sikap ketegasan terutama dalam
membekali sikap kemandirian kepada anak-anak. Orang tua tidak boleh terlalu memanjakan anak
karena akan berakibat tidak baik. Bagaimanapun keberhasilan yang kelak dicapai oleh seseorang,
ia tidak boleh lupa dengan leluhur dan asal budayanya, juga tidak boleh ingkar dan mengormati
orang-orang yang telah membantunya mencapai sukses. Itulah yang menjadi makna kehadiran
hewan itu dalam upacara tiga bulanan, dan itulah pesan yang disampaikan kepada balita yang
diupacarai agar kelak mampu menenmpuh hidup sesuai dengan perilaku arif yangdiperlihatkan
hewan tersebut.
7. SARAN-SARAN
1). Seharusnya para pendeta paham dengan makna ini, tidak hanya sekedar menjalankan ritual
saja. Dan kemudian mampu memberikan penjelasan kepada siapa saja yang belum memahami.
2). Dalam melakukan acara tiga bulanan, pihak pendeta atau para intelektual, memberikan
ceramah tentang makna tersebut kepada khalayak yang hadir dalam upacara. Tujuannya adalah
member pemahaman pengetahuan kepada masyarakat, agar ritual itu tidak sekedar menjadi
acara rutin yang tidak diketahuo pemaknaannya.
18
3). Para petugas yang melakukan upacara solsolan tersebut, sebaiknya bersuara lebih keras
tentang makna upacara ini agar pesan makna tersampaikan kepada khalayak yang hadir.
****
DAFTAR PUSTAKA
Gibbons, Michael T (ed.), Zaman, Noer, Ali (terj.), 2002, Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-
Politik Kontemporer, Yogyakarta, Qalam
Nordholt, Henk Schulte, Putrayadnya (Terj.), 2009, The Spell of Power; Sejarah Politik Bali
1650-1940, Jakarta, KITLV
Pichard, Michael, Couteau, Jean., dkk., Terj., 2006, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya
Pariwisata, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.
Sztompka, Piotr, 2007, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Predana Media Group
Wedakarna, dkk, 2014, Hindu Tengger: sejarah dan Eksistensi Adat Hindu Tengger dan
Kontribusinya pada Kedaulatan Hindu Nusantara, Tampaksiring, The Hindu Centre of
Indonesia
Wirawan, Ida Bagus, 2012, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group
Catatan:
Upacara Tiga Bulanan yang dipakai rujukan dalam tulisan ini adalah upacara yang biasa
dilakukan masyarakat di Banjar Penyalin, Tabanan. Sebagai warga adat, penulis sebagian besar
hadir dalam upacara tersebut. Fragmen ritual “solsolan” itulah yang ditulis dalam tulisan ini.