t13_sgd klp.6 (pembiayaan kes & sumber dana dan alokasi)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peringkat Indeks pembangunan manusia (human development index)
Indonesia turun dari nomor 94 pada tahun 1995 menjadi 109 pada tahun 2000
di antara 174 negara di dunia (UNDP, 2000). Salah satu komponen penting
dalam penilaian indeks tersebut adalah komponen tingkat kesehatan
masyarakat. Perbaikan dengan perubahan yang mendasar, sistematis sekaligus
strategis harus segera dilakukan untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Tuntutan perubahan ini semakin mendesak oleh
karena permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia semakin kompleks,
jauh lebih kompleks dibanding negara maju. Tidak saja terjadi transisi
epidemiologis dari pola penyakit infeksi dan kekurangan gizi bergeser ke pola
penyakit degeneratif seperti jantung koroner yang telah menempati ranking
pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia.
Lebih dari itu masyarakat Indonesia mengalami double burden of
diseases. Sementara sebagian masyarakat masih berpenyakit terkait
kekurangan gizi di sisi lain sebagian berpenyakit kelebihan gizi. Pemerintah
dan masyarakat masih berjuang meningkatkan survival rate dengan
mengatasi berbagai penyakit berbahaya pada bayi dan anak seperti infeksi
saluran pernafasan akut terutama pneumonia, diare, tuberkulosis dan demam
berdarah sementara itu pula petugas kesehatan sudah disibukkan dengan
masalah penyakit pada usia lanjut seperti Alzheimer, kardiovaskuler,
osteoporosis, pembesaran prostat dan lain lain. Hal ini sebagai konsekuensi
logis jumlah lansia yang meningkat secara tajam mencapai tiga kali lebih
dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (Biro Pusat Statistik, 1998).
Di sisi lain dalam era globalisasi Indonesia juga dituntut harus mengikuti
percepatan perkembangan teknologi kedokteran dengan konsekuensi biaya
yang mahal. Pemanfaatan hasil perkembangan teknologi biomolekuler,
rekayasa genetika, elektro-magnetik dan teknologi kedokteran aplikatif lain
1
seperti CT scan, MRI, katerisasi jantung sudah menjadi kebutuhan dalam era
kompetisi global. Sayangnya, medical technogy influx di Indonesia tidak
dibarengi kemampuan penapisan teknologi (technology assessment) untuk
menilai cost-effectiveness-nya. Bahkan jarang dilakukan penilaian kebutuhan
teknologi kedokteran berdasarkan kondisi objektif pola data epidemiologis di
lapangan. Akibatnya pembelanjaan biaya kesehatan masyarakat semakin
tinggi dengan tingkat efisiensi dan efektifitas yang dipertanyakan. Oleh
karena itu, masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun terakhir telah
banyak menarik perhatian, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar
negeri.
1.2 Rumusan Masalah :
1. Apa definisi dari pembiayaan kesehatan ?
2. Bagaimana teori dan sejarah tentang perkembangan pembiayaan kesehatan
masyarakat Indonesia ?
3. Bagaimana sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia ?
4. Dari mana saja sumber pembiayaan kesehatan di Indonesia ?
5. Apa saja-saja unsur-unsur dari pembiayaan kesehatan ?
6. Bagaimana penyelenggaraan pembiayaan kesehatan ?
7. Bagaimana strategi pembiayaan pelayanan kesehatan ?
8. Apa definisi dari ilmu ekonomi kesehatan ?
9. Apa definisi dari Dana Alokasi Khusus Pelayanan Kesehatan ?
10. Apa saja faktor yang menyebabkan rendahnya alokasi dana bidang
kesehatan ?
1.3 Tujuan :
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan pembiayaan kesehatan di Indonesia dan sumber
dana alokasi di bidang kesehatan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari pembiayaan kesehatan]
2
2. Mengetahui teori dan sejarah perkembangan pembiayaan kesehatan
masyarakat di Indonesia
3. Mengetahui sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
4. Mengetahui sumber-sumber pembiayaan kesehatan di Indonesia
5. Mengetahui unsure-unsur dari pembiayaan kesehatan
6. Mengetahui cara penyelenggaraan pembiayaan kesehatan
7. Mengetahui strategi pembiayaan kesehatan
8. Mengetahui definisi dari ilmu ekonomi kesehatan
9. Mengetahui definisi dari Dana Alokasi Khusus Pelayanan Kesehatan
10. Mengetahui factor-faktor yang menyebabkan rendahnya alokasi dana
bidang kesehatan
1.4 Manfaat :
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi pembiayaan
kesehatan dan penyelenggaraannya di Indonesia serta mampu
menjelaskan dan memahami tentang sumber dana dan alokasi di bidang
kesehatan.
2. Dosen
Makalah ini dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana mahasiswa mampu
mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan
pertimbangan dosen dalam menilai mahasiswa.
3
BAB II
PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA
2.1 Definisi Pembiayaan Kesehatan
Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang
mengatur tentang besarnya dan alokasi dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu :
1. Penyedia pelayanan kesehatan: Merupakan besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Pemakai jasa pelayanan: yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari
sudut pemakai jasa pelayanan (health consumer) adalah besarnya dana
yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan.
Jumlah dana pembiayaan harus cukup untuk membiayai upaya kesehatan yang
telah direncanankan. Bila biaya tidak mencukupi maka jenis dan bentuk pelayanan
kesehatannya harus diubah sehingga sesuai dengan biaya yang disediakan.
Distribusi atau penyebaran dana perlu disesuaikan dengan prioritas. Suatu
perusahaan yang unit kerjanya banyak dan tersebar perlu ada perencanaan alokasi
dana yang akurat.
2.2 Teori dan Sejarah
Masa Penjajahan ( Colonial Period )
Sejarah kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada tahun 1807 dimasa pemerintahan
Gubernur Jenderal Deandles pembiayaan kesehatan dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu pernah dilakukan pelatihan
dukun bayi dalam praktik persalinan dengan tujuan penurunan angka
kematian bayi yang sangat tinggi pada masa tersebut. Upaya tersebut tidak
berlangsung lama karena terbatasnya dana dalam penyediaan tenaga pelatih
kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali dengan mendata
semua dukun bayi yang ada di Indonesia untuk diberikan pelatihan
4
pertolongan persalinan. Pada masa penjajahan juga yiatu tahun 1851
didirikan Sekolah Dokter Java (sekarang menjadi Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia) di Jakarta yang dikepalai oleh orang Belanda yang
kemudian terkenal dengan nama STOVIA (School Tot Opleding Van
Indische Arsten) untuk pendidikan dokter pribumi. Pada tahun 1913 juga
didirikan sekolah dokter di Surabaya dengan nama NIAS (Nederland
Indische Arsten School). Kedua sekolah doker tersebut mempunyai peranan
besar dalam pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia
(Notoatmodjo: 2005).
Pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan
berbagai fasilitas kesehatan diberbagai daerah di Indonesia sseperti
Laboratorium Eykman di Bandung tahun 1888 yang juga berdiri di Medan,
Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Saat wabah penyakit Pes masuk ke
Indonesia pada tahun 1922 dan menjadi epidemik tahun 1933-1935 terutama
di pulau Jawa, pemerintah Hindia Belanda melakukan penanggulangan
dengan melakukan penyemprotan dengan DDT terhadap semua rumah
penduduk dan vaksinasi masal. Begitupun saat terjadi wabah penyakit
Kolera pada tahun 1927 dan 1937 (Notoatmodjo : 2005).
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
penjajahan, pembiayaan kesehatan pemerintah Hindia Belanda pada waktu
itu bersumber dari pajak dan hasil bumi yang dihasilkan dari bumi
Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada
dalam kendali penuh pemerintah Hindia Belanda, warga Indonesia yang
sedang terjajah tidak bisa ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan,
akses masyarakat pribumi terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang
dimiliki pemerintah Hindia Belanda juga dibatasi. Warga pribumi hanya
berperan sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda tidak
dapat menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa
memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan
yang baik. Pemerintah Hindia Belanda hanya mementingkan pelayanan
5
kesehatan bagi para pegawai pemerintah Hindia Belanda, Militer belanda
dan pegawai perusahaan milik pemerintah pada masa itu.
Pembiayaan Kesehatan Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Sejarah yang mencatat kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun
1945 menaruh harapan besar bagi segenap warga negara Indonesia dalam
semua aspek kehidupan untuk menjadi lebih baik. Salah satu aspek yang
menjadi harapan adalah bidang kesehatan. Perbaikan di sektor kesehatan
terutama dititik beratkan pada upaya pemerataan pelayanan kesehatan yang
bisa menjangkau seluruh masyarakat diwilayah negara kesatuan Republik
Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan yang sangat luas
wilayahnya. Pembiayaan kesehatan negara Indonesia pada masa tersebut
sepenuhnya berada dalam domain pemerintah Republik Indonesia yang
dialokasikan melalui anggaran negara. Keterbatasan anggaran belanja negara
yang juga masih membutuhkan dana terutama dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan membuat aspek kesehatan belum menjadi
priorotas utama pemerintahan pada masa itu dalam pembangunan.
Salah satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa
kemerdekaan adalah konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh
dr. J. Leimena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa
dipisahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam
upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagai
pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini
memadukan antara pelayanan medis dengan pelayanan kesehatan
masyarakat pedesaan. Proyek ini dilaksanakan di beberapa seperti Sumatera
Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali
dan Kalimantan Selatan (Notoatmodjo: 2005). Kedelapan wilayah tersebut
merupakan daerah percontohan sebuah proyek besar yang sekarang dikenal
dengan nama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Kondisi ekonomi dan keuangan pada periode awal kemerdekaan amat
buruk. Kondisi ini membuat pemerintahan pada masa tersebut mengambil
6
kebijakan yang kurang menitikberatkan pada sektor kesehatan.
Pemerintahan pada masa awal kemerdekaan dan orde lama
pembangunannya lebih dititik beratkan pada peningkatan ekonomi,
pemerintah belum memiliki kebijakan kesehatan nasional yang jelas. Pada
masa itu pemerintah sempat menjalankan program pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin tetapi belum berhasil dengan baik karena pelayanan yang
kurang merata dan belum mampu menjangkau seluruh masyarakat
Indonesia, selain itu juga dikembangkan model sistem asuransi kesehatan
tetapi masih terbatas pada kalangan pejabat pemerintahan saja
(Notoatmodjo: 2005)
Saat masa kemerdekaan, juga dikenal masa demokrasi liberal (periode
tahun 1950-1957) dimana pengaruh politik pada masa ini sistem ekonomi
Indonesia menggunakan prinsip-prinsip liberal dimana perekonomian
sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Hal ini membuat pengusaha pribumi
yang masih lemah menjadi kalah bersaing dengan pengusaha non pribumi
terutama pengusaha Tionghoa. Sistem perekonomial liberal ini akhirnya
memperburuk kondisi perekonomian di Indonesia. Pemerintah pada masa itu
mengambil bebagai macam kebijakan untuk mengatasi masalah
perekonomian negara yaitu:
1. Pemotongan nilai mata uang pada tahun 1950 yang dikenal dengan
istilah gunting Syarifuddin.
2. program Benteng pada masa kabinet Natsir dengan upaya menumbuhkan
jumlah wiraswasta pribumi dan mendorong importer nasional agar
mampu bersaing dengan importir asing.
3. nasionalisasi De Javache Bank menjadi Bank Indonesia pada 15
Desember 1951 melalui UU Nomor 24 tahun 1951.
4. penerepan sistem ekonomi Ali Baba pada masa kabinet Ali
Sostroamijoyo yang menggalakan program kerjasama antara pengusaha
pribumi dan pengusaha Tionghoa.
5. pembatalan sepihak hasil Konfrensi Meja Bundar yang isinya cenderung
tidak menguntungkan Indonesia sehingga banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya.
7
Pada periode ini juga dikenal masa demokrasi terpimpin (periode tahun
1959-1967), masa ini diawali dengan keluarnya Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 sehingga Indonesia menjalankan sistem Demokrasi
Terpimpin dan sistem perekonomian Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (semua kebijakan diatur oleh pemerintah) dengan harapan akan
membawa kemakmuran dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, akan
tetapi kebijakan yang diambil tersebut belum mampu memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
kemerdekaan dan orde lama, pembiayaan kesehatan pemerintah pada waktu
itu bersumber hampir seluruhnya dari anggaran pemerintah. Kebijakan
pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh
pemerintahan Presiden Soekarno. Warga Indonesia sudah mulai dilibatkan
dan ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai
dibuka. Pada masa ini Pemerintah orde lama belum mampu menjamin
pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan
jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, kebijakan pemerintah lebih
menitikberatkan pada stabilitas nasional yang sangat besar sekali pengaruh
politiknya. Soeharto beranggapan bahwa suatu negara harus mencapai
stabilitas nasional terlebih dahulu sebelum mencapai stabilitas dibidang
lainnya. Pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa kedaulatan dalam
politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang
sosial budaya merupakan elemen penting untuk mencapai kemakmuran
suatu bangsa.
Pembangunan nasional terus dilakukan untuk terus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan berbagi kebijakan seperti penciptaan
lapangan keja baru. Pendapatan perkapita penduduk juga meningkat jika
dibandingkan dengan periode pemerintahan orde lama.
8
Berdasarkan catatan sejarah, sesungguhnya perkonomian Indonesia
dimasa orde baru sangat spektakuler, salah satu indikatornya adalah tercapai
angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% sepanjang 32 tahun masa
pemerintahan Soeharto. Indonesia pernah mencapai swasembada pangan
pada masa ini, tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Soeharto
berhasil memberlakukan dasar-dasar pembangunan berkelanjutan melalui
program yang dikenal dengan Pelita. Presiden Soeharto juga berhasil
mengeluarkan Indonesia dari ancaman krisis ekonomi pada tahun 1985.
Menurut para ahli ekonomi keberhasilan Soeharto bersumber dari kombinasi
yang baik antara kepemimpinan Soeharto dan kaum teknokrat yang memicu
gerak cepat reformasi ekonomi kisaran tahun 1966 hingga 1996
( www.mudrajad.com ; 2011 ). Pada masa tersebut, berdasarkan data dari
BPS, nilai pertumbuhan domestik bruto (PDB) per kapita meningkat empat
kali lipat dalam rentang waktu tersebut, angka melek huruf juga meningkat
60% pada tahun 1970 menjadi 85% pada tahun 1996. Kepemimpinan
Soeharto yang bermula pada kondisi negara yang sedang tidak stabil paska
tragedi berdarah 1 Oktober 1965 dengan laju inflasi 600% dan jumlah
penduduk miskin lebih dari 70 juta penduduk. Kepemimpinan Soeharto
mulai mengalami masa suram saat Indonesia mengalami krisis ekonomi
hebat di tahun awal periode keenam masa kepemimpinan Soeharto, kondisi
perekonomian Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan
negara-negara Asia. Perilaku KKN aparat pemerintah terus merajalela,
jumlah masyarakat miskin terus meningkat dengan tajam, terjadinya
ketimpangan sosial yang sangat signifikan antara kaum kaya dan kaum
miskin menyulut terjadinya kerusuhan sosial dan bernuasa sara pada tahun
1998. Krisis ekonomi besar yang melanda Indonesia juga berimbas terhadap
sektor kesehatan. Kondisi keuangan negara yang tidak stabil membuat
perhatian pemerintah terhadap sektor kesehatan menurun karena terfokus
pada upaya perbaikan ekonomi bangsa.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masa orde baru selalu
disusun berdasarkan asumsi perhitungan dasar yaitu laju pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah dan nilai tukar rupiah
9
terhada dollar Amerika. Pemerintah juga mendapatkan pinjaman luar negeri
yang dimasukkan dalam komponen penerimaan negara yang jumlahnya
terus meningkat setiap tahunnya untuk menutupi defisit anggaran yang terus
bertambah. Penerimaan pajak dari dalam negeri pada masa itu sangatlah
minim sehingga pemerintah harus mencari alternatif lain sebagai sumber
pembiayaan negara yaitu melalui hutang luar negeri. Prinsip fungsional
diterapkan pemerintah dengan artian pinjaman luar negeri hanya boleh
digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Berbagai kebijakan tersebut
membuat stabilitas ekonomi Indonesia terjaga dengan baik ditunjang lagi
oleh stabilitas politik yang juga baik. Kebijakan pemerintah pada masa itu
pada dasarnya sangat bagus akan tetapi jumlah pinjaman luar negeri yang
tercantum dalam APBN terus bertambah setiap tahunnya.
Akibatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri menjadi berkurang dan
dampak lainnya adalah pemerataan ekonomi sulit terwujud. Kebocoran
dalam anggaran juga kerap terjadi yang membuat terjadinya tindak pidana
korupsi pada masa ini. Hal lain yang lebih parah atas terus meningkatnya
pinjaman luar negeri adalah ketergantungan terus menerus akan
menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Prinsip lain yang diterapkan pemerintah adalah
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk pembiayaan
pembangunan melalui deregulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Jelas
sekali gambaran bahwa pemerintahan orde baru sangat bergantung pada
pinjaman luar negeri.
Saat kekuasaan pemerintahan beralih pada tahun 1967 dari
Pemerintahan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, kebijakan dan arah
pembangunan Indonesia juga turut mengalami perubahan yang signifikan.
Pada bulan Nopember 1967, dilakukan seminar yang membahas dan
merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi
dan kemampuan rakyat Indonesia. dr. Achmad Dipodilogo yang mengacu
pada konsep Bandung (Bandung Plan) mengajukan konsep pusat kesehatan
masyarakat. Hasil seminar pada waktu itu menyepakati konsep puskesmas
tipe A, B dan C. Departemen Kesehatan pada waktu itu menyiapkan
10
rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Pada tahun 1968
dilaksanakan Rapat Kerja Kesehatan Nasional yang menghasilkan keputusan
bahwa puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang
kemudian dikembangkan menjadi pusat pelayanan kesehatan masyarakat.
Puskesmas disepakati sebagai unit pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dn mudah
dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di
kotamadya atau kabupaten.
Pada tahun 1984 tanggung jawab puskesmas sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan masyarakat di daerah mulai ditingkatkan lagi dengan
dikembangnya konsep Posyandu (Pos Pelayanan Tepadu) yang memberikan
pelayanan kesehatan ditingkat desa dengan menitikberatkan pada pelayanan
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, penanggulangan diare dan
imunisasi. Pelayanan di posyandu juga merupakan momentum baru dalam
melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan dengan adanya
kader kesehatan yang berasal dari masyarakat dalam pelayanan posyandu di
tiap desa.
Pembiayaan kesehatan pada masa orde baru juga mengalami perubahan
dimana kondisi perekonomian negara yang mulai meningkat, sektor privat
atau swasta juga mengalami perkembangan pesat termasuk didalamnya
pengelolaan rumah sakit. Pemerintah pada masa itu juga belum mampu
menetapkan regulasi yang mengatur tentang pasar dibidang kesehatan.
Pembiayaan kesehatan negara hampir sepenuhnya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), perencanaan pembangunan
dibidang kesehatan ditetapkan melalui rencana pembangunan lima tahunan
atau yang lebih dikenal dengan sebutan REPELITA mulai dali REPELITA I
sampai REPELITA VI yang juga berakhir seiring dengan berakhirnya
kekuasaan pemerintahan orde baru ke orde reformasi pada tahun 1998.
Pada zaman orde baru juga dikenal 3 macam asuransi kesehatan yaitu:
1. Perum Husada Bakti (sekarang PT.Askes, yang menangggung
pembiayaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil, pensiunan , veteran dan
anggota keluarganya.
11
2. PT. ASTEK, yang didirikan pada tahun 1977 berdasarkan PP Nomor 33
Tahun 1977 (yang kemudian berubah menjadi PT. Jamsostek pada
tahun 1995 berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 1995) yang menanggung
pembiayaan kesehatan bagi tenaga kerja sektor swasta dan BUMN.
3. PT. Asabri, yang menanggung pembiayaan kesehatan bagi anggota TNI,
Kepolisian RI, PNS Departemen Pertahanan beserta anggota
keluarganya (dibentuk berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 1971 yang
disempurnakan lagi dengan PP Nomr 67 Tahun 1991).
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada
masa orde baru Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam
bidang ekonomi yang juga memberikan dampak positif terhadap
pembiayaan sektor kesehatan. Lahirnya konsep puskesmas dan posyandu
yang bertujuan untuk meberikan pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat juga terjadi pada masa ini.
Pembiayaan kesehatan pada masa ini tidak lagi sepenuhnya bersumber
dari anggaran pemerintah tetapi juga mulai dilakukan oleh sektor swasta
yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang
didirikan di berbagai wilayah di Indonesia.
Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada
dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soeharto. Warga
masyarakat sudah mulai dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam
pelayanan kesehatan seperti sebagai kader kesehatan dalam program
posyandu, akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang
dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini pemerintah orde baru
sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis
kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk
memiliki status kesehatan yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Masa Reformasi
Tumbangnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998 disaat kondisi
perekonomian Indonesia sedang dalam masa krisis turut memberikan
dampak dalam proses pembangunan. Beralihnya kekuasaan dari Presiden
12
Soeharto ke Presiden Habibie menandainya dimulainya era reformasi.
Banyak perubahan besar terjadi pada masa ini seperti dalam hal
ketatanegaraan dan juga kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Habibie
cenderung lebih berhati-hati dalam setiap pengambilan kebijakan dibidang
ekonomi, kebijakan yang dibuat diutamakan untuk pengendalian stabilitas
politik negara. Saat kekuasaan kembali beralih kepada pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), belum terjadi perubahan yang
signifikan karena masa pemerintahan yang singkat yaitu 2 tahun. Persolan
ekonomi bangsa yang diwariskan orde baru seperti maraknya perilaku KKN
( korupsi, kolusi dan nepotisme ), pemulihan ekonomi dari keterpurukan
akibat krisis, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah dan
menurunnya kinerja BUMN. Pemerintahan Presiden Gus Dur yang belum
banyak melakukan perubahan malah terlibat dalam kasus Bruneigate yang
menyebabkan dicabutnya mandate sebagai presiden oleh MPR sehingga
kekuasaan pemerintahan kembali beralih ke Presiden Megawati.
Pada masa kepemimpinan Megawati, banyak kebijakan yang diambil
untuk terus memulihkan keterpurukan perekonomian nasional. Namun
kebijakan privatisasi BUMN mengundang kecaman dan kontroversi dari
banyak ahli ekonomi karena BUMN dijual ke perusahaan asing. Pada masa
ini juga dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bertujuan
memberantas praktek korupsi disemua sektor, tetapi hasilnya belum ada
gebrakan nyata pada masa-masa awal kerjanya. Maraknya perilaku KKN
yang terjadi hampir disemua lini pemerintahan menyebabkan para investor
berpikir ulang untuk menanamkan investasinya di Indonesia dan hal ini juga
berdampak terhadap proses pembangunan nasional.
Pada masa reformasi dimana kondisi negara yang mengalami krisis
ekonomi besar dimana terjadi kenaikan harga berbagai komponen barang
termasuk bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat membuat pemerintah
mengambil kebijakan untuk mengurangi dampak tersebut terhadap
kehidupan warga negara. Dalam bidang pembiayaan kesehatan, kebijakan
yang diambil adalah program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar
minyak - jaring pengaman sosial bidang kesehatan (PKPS BBM – JPS BK)
13
yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tujuan memberikan pelayanan
kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu disemua fasilitas pelayanan
kesehatan milik pemerintah. Program ini dilakukan untuk meminimalisir
dampak yang dirasakan oleh masyarakat kecil dan tidak mampu terutama
dalam bidang kesehatan terhadap dampak krisis ekonomi.
Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai
salah satu kompensasi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan aspirasi warga negara diberbagai wilayah di Indonesia.
Pengaruh politik terlihat kentara sekali dalam lahirnya UU Otonomi daerah,
kebijakan pembangunan yang semula tersentralisasi di pemerintahan pusat,
sejak diberlakukannya UU tentang otonomi daerah menjadi di
desentralisasikan ke pemerintah daerah untuk mengambil alih kebijakan
pembangunan didaerahnya masing-masing. Bidang kesehatan termasuk
urusan yang penyelenggaraannya diserahkan pada pemerintah daerah, hal ini
setidaknya menimbulkan berbagi masalah seperti ketimpangan
pembangunan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Daerah
yang kaya dengan sumber daya alam tentu saja dapat mengalokasikan lebih
banyak anggaran belanja daerahnya dalam bidang kesehatan, hal itu
tentunya tidak bisa dilakukan oleh daerah yang memiliki sumber daya alam
yang terbatas.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
reformasi Indonesia mengalami krisis ekonomi besar pada kisaran tahun
1998-1999. Pemerintahan pada masa ini pernah mengalami masa-masa sulit
dalam pembiayaan keuangan negara. Beban hutang luar negeri yang
melonjak tajam sebagai akibat dari terpuruknya kondisi perekonomian
negara membuat pemerintah mengambil berbagai maca kebijakan untuk
mebiayai defist keuangan negara. Pembiayaan kesehatan pada masa ini juga
mengalami masalah sebagai imbas terjadinya krisis ekonomi. Anggaran
pemerintah disektor kesehatan pada periode awal reformasi juga menurun.
Peran sektor swasta juiga meningkat pada masa ini yang ditandai dengan
terus bertambahnya jumlah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah
di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah lebih dititik
14
beratkan pada program untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang
langsung dirasakan oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah program
JPS-BK. Partisipasi masyarakat pada masa ini cenderung stagnan karena
imbas krisis ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah juga memberikan
pengaruh yang signifikan dalam kebijakan pembiayaan kesehatan. Bidang
kesehatan sejak masa ini tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali
pemerintah pusat tetapi diserahkan pada pemerintah daerah, pemerintah
pusat lebih banyak mengambil peran sebagi regulator dalam bidang
kesehatan . Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang
dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini pemerintah sudah mulai
mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa
memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan
yang baik.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia Masa Sekarang dan Pengaruh Dunia
Internasional
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dimulai sejak
tahun 2004 mengambil kebijakan yang cenderung controversial dan
imbasnya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kebijakan Pengurangan
subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM melonjak drastis
menyebabkan masyarakat mengalami dampak yang cukup signifikan.
Kenaikan harga BBM cenderung selalu diikuti dengan kenaikan harga
berbagai komponen bahan pokok dan kenaikan jasa termasuk didalamnya
jasa pelayanan kesehatan terutama sektor swasta. Pemerintahan pada masa
itu mengalihkan anggaran subsidi BBM ke sektor yang lebih penting yaitu
sektor pendidikan, kesehatan dan bidang lainnya yang ikut mendukung
tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kebijakan lainnya yang diambil
pemerintah pada masa ini adalah pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT)
bagi masyarakat miskin. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena
tujuan pengurangan dampak kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin
tidak tercapai karena banyak BLT yang diterima oleh warga yang tidak
berhak.
15
Tahun 2006, Pemerintah berhasil melakukan pelunasan hutang luar
negeri pada Dana Moneter Internasional sebesar US$ 3,2 miliar, harapan
Indonesia untuk bisa lepas dari pengaruh IMF yang cenderung mendikte
berbagai kebijakan yang diambil pemerintah mulai muncul. Pada masa ini
kebijakan pemerintah yang sangat memberikan kemudahan bagi investor
asing pada hampir semua bidang pembangunan termasuk bidang kesehatan.
Diberlakukannya UU tentang penanaman modal asing semakin membuka
keran yang sangat lebar bagi masuknya asing untuk berinvestasi di
Indonesia. Investasi asing dengan membangun rumah sakit berskala
internasional mulai terjadi pada masa ini, hal ini tentunya berdampak
terhadap meningkatnya biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan
oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama yang
disediakan oleh sektor swasta. Meningkatnya jumlah penduduk miskin dari
35,10 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada tahun 2006
membuat pemerintah mengeluarkan wacana untuk kembali berhutang ke
luar negeri. Birokrasi pemerintahan pada masa ini cenderung kental yang
menyebabkan realisasi belanja negara seringkali tidak tercapai karena daya
serap anggaran yang rendah.
Departemen Kesehatan pada masa ini yaitu tahun 2006 mengeluarkan
konsep pembangunan kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal
sebagai Visi Indonesia Sehat 2010. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah
untuk mencapai visi tersebut dengan mensosialisasikan hingga ketingkat
daerah. Kebijakan desentaralisasi yang direvisi kembali melalui UU Nomr
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sedikit menghambat
berjalannya kebijakan Indonesia Sehat 2010. Konsepsi visi Indonesia Sehat
2010 pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigm yang secara
nyata cukup bertentangan dengan prinsip desentarlisasi yang di atur dalam
UU pemerintahan daerah dimana kewenangan daerah otonom dalam
penentuan arah dan model pembangunan di wilayahnya masing-masing
tanpa hatus terikat dengan kebijakan pemerintah pusat.
16
Kebijakan desentralisasi pada beberapa hal ikut menggerus pola lama
pembangunan termasuk didalamnya pembangunan bidan kesehatan.
Kekuasaan otonom pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan
pembangunannya membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010 menjadi
tidak terlalu bermakna.
Pada kenyataannya masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang
pembangunan di bidang kesehatannya sangat jauh dari kualitas baik, pada
sat yang sama kecenderungan epidemiologi penyakit tidak banyak
mengalami perubahan dan diperparah lemahnya infrastruktur promoif dan
perventif bidang kesehatan. Pemerintah pusat akhirnya membuat kebijakan
berupa penerbitan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang
kemudian dikenal sebagai sistem kesehatan nasional yang terdiri dari upaya
kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sumber
daya obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan
manajemen kesehatan. Komponen pembiayaan kesehatan merupakan salah
satu komponen terpenting dalam sistem kesehatan nasional.
Beberapa kebijakan dalam pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah antara lain pada tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan UU
Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN)
dengan tujuan memberikan jaminan nasional yang komprehensif bagi
seluruh warga negara Indonesia. Tahun 2005 pemerintah melalui
Departemen Kesehatan meluncurkan program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) yang disempurnakan bentuk dan
operasionalnya pada tahun 2008 menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas).
Tahun 2010 pemerintah kembali memperkenalkan program baru yaitu
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dananya disalurkan ke seluruh
puskesmas yang ada di Indonesia. Pengaruh lembaga Internasional seperti
PBB yang Indonesia menjadi anggotanya dengan konsep Millenium
Development Goals (MDGs) menekankan beberapa target pembangunan
berkelanjutan yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang di dunia
termasuk Indonesia. Salah satu komponen dalam MDGs adalah bidang
17
kesehatan yaitu target penurunan Angka Kematian Ibu melahirkan atau AKI
pada tahun 2015 yang harus menurun hingga 102 / 100.000 kelahiran hidup
dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 / 1000 kelahiran hidup. Untuk
mempercepat pencapaian target tersebut pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan meluncurkan program baru yang dilaksanakan sejak bulan
Januari 2011 yaitu program Jaminan Persalinan ( Jampersal ) dengan tujuan
menjamin seluruh pembiayaan persalinan seluruh warga negara.
Pembiayaan kesehatan pada masa ini terus mengalami peningkatan
dimana pada tahun 2010 anggaran Kementerian Kesehatan mencapai 27,7
Triliun rupiah dan meningkat manjadi 27,8 Triliun Rupiah ( naik 172,7
milyard ) pada tahun 2011. Kementerian Kesehatan menganggarkan dana
sebesar 6,3 Triliun Rupiah untuk pembiayaan program jampersal dan
Jamkesmas, anggaran BOK untuk seluruh puskesmas di Indonesia mencapai
904,5 milyard Rupiah. Anggaran Jamkesmas diperuntukkan bagi
pembiayaan kesehatan 76,5 juta jiwa warga miskin di seluruh Indonesia.
Tahun 2011, pemerintah juga memperluas cakupan pelayanan program
Jamkesmas selain bagi masyarakt miskin juga diberikan kepada
gelandangan, pengemis, anak terlantar serta masyarakat miskin yang tidak
punya identitas, masyarakat miskin penghuni panti-panti sosial, korban
bencana paska tanggap darurat dan masyarakat miskin penghuni lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan. Keterlibatan pemerintah daerah pada
masa ini juga ditunjukkan dengan adanya program Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) yang diperuntukkan bagi warga suaru daerah yang
belum tercakup dalam program Jamkesmas.
Dari berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
sekarang pembiayaan sektor kesehatan mulai menjadi prioritas
pembangunan. Pembiayaan kesehatan pada masa ini tidak lagi sepenuhnya
bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga dilakukan oleh sektor
swasta yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang
didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan
masyarakat tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan
pusat, seiringnya berjalannya sistem otonomi daerah, setiap daerah otonom
18
berhak menentukan perencanaan sendiri pembangunan kesehatan di
daerahnya. Partisipasi masyarakat terus meningkat dalam upaya kesehata
yang bersumber masyarakat (UKBM) seperti posyandu dan kader kesehatan.
Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki
pemerintah mulai merata seiring dengan bertambahnya jumlah fasilitas
pelayanan kesehatan yang mulai menjangkau daerah pedesaan di Indonesia.
Pada masa ini pemerintah sudah mulai mampu menjamin pelayanan
kesehatan berbasis kemasyarakatan dengan program Jamkesmas dan
Jampersal.
Pembiayaan Kesehatan Indonesia di Masa Mendatang
Lahirnya UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional merupakan harapan baru bagi sistem pembiayaan kesehatan
Indonesia dimasa yang akan datang. Dalam UU tersebut terdapat empat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu PT. Askes, (yang diperuntukan
bagi semua PNS, penerima pension, perintis kemerdekaan, veteran dan
anggota keluarganya dengan jumlah peserta tahun 2010 mencapai 3,7 juta
PNS belum termasuk anggota keluarga yang ikut ditanggung biaya
kesehatannya yaitu 1 orang isteri/suami dan 2 orang anak ), PT. Jamsostek
(yang diperuntukkan bagi semua pekerja sektor BUMN dan swasta yang
telah bekerjasama dengan Jamsostek), PT. Asabri (yang diperuntukkan bagi
anggota TNI dan POLRI), PT. Taspen (dana tabungan pegawai negeri sipil).
UU SJSN No. 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap warga negara
berhak atas jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup yg
layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Ini merupakan cikal bakal
terbentuknya Sistem Jaminan Sosial Nasional Bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 2011, DPR dan pemerintah mengesahkan
Undang-undang tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial ( BPJS ) yang di
bagi menjadi:
19
1. UU BPJS 1 yang diasumsikan akan mulai beroperasi pada tanggal
1 Januari 2014 dengan tujuan penyelenggaraan program jaminan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk menampung pengalihan program
Jamkesmas, Askes, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PT. Jamsostek dan
PT. Asabri.
2. UU BPJS 2 yang diasumsikan mulai beroperasi pada tanggal 1
Januari 2014 atau selambat-lambatnya 1 Juli 2015 dengan tujuan
pengelolaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua
dan jaminan pension yang merupakan transformasi dari PT. Jamsostek.
Dari berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah diatas, kebijakan
pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang bertujuan untuk
menjamin kesehatan semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Hal itu
diaspirasi melalui disahkannya UU tentang sistem jaminan sosial nasional
yang pada hakekatnya bertujuan agar semua warga negara dijamin oleh
suatu sistem nasional yang dikelola oleh negara, jaminan yang diberikan
tidak hanya sebatas jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Pemerintah
bersama DPR baru saja mengesahkan UU tentang Badan Pelaksana Jaminan
Sosial (BPJS) yag mengatur tentang Badan Publik yang akan melaksanakan
sistem jaminan sosial nasional sperti yang telah dimanatkan dalam UU No.
40 Tahun 2004. Dengan disahkannya UU BPJS, jalan panjang rakyat
Indonesia untuk bisa menikmati jaminan kesehatan dan jaminan sosial
lainnya dari negara masih sangat panjang karena penerapan UU BPJS baru
akan diberlakukan pada awal tahun 2014.
20
Tabel 1: Perubahan Pola Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia
Komponen
yang dikaji
Masa
Penjajajahan
Masa
Kemerdekaan
dan Orde
Lama
Masa Orde
Baru
Masa Orde
Reformasi
Masa
Sekarang
Jumlah
Anggaran
Tidak
diketahui
Tidak
diketahui
678 Milyard 5,6 Triliun 27,8 Triliun
Sistem
Perencanaan
Anggaran
Diatur
Pemerintah
Hindia
Belanda
Berubah
seiring
perubahan
peta politik
GBHN,
terarah
dalam
PELITA
Berubah
karena
peralihan
kekuasaan
Setiap
Tahun
dalam
APBN
Persentase
terhadap PDB
Tidak
diketahui
Tidak
diketahui
0,8-1 % 1,2% 2,4 %
Pengambil
Keputusan
Pemerintah
Hindia
Belanda
Pemerintah
OrdeLama
Presiden
Soeharto
berkuasa
penuh dan
cenderung
otoriter
Presiden
Bersama
DPR
Kesepakatan
Bersama
Pemerintah
dan DPR
Pengaruh
Politik
Kerajaan
Belanda
Berkuasa
penuh
Sering
berubah
Pemerintah
cenderung
otoriter
Sangat Kuat
Lebih
Demokratis,
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Kebijakan
Pembiayaan
Kesehatan
Pelatihan
Dukun Bayi,
pendirian
STOVIA
dan sekolah
dokter
lainnya
Konsep
Bandung Plan
( cikal bakal
puskesmas ),
laboratorium
kesehatan
Mulai
merata,
konsep
Puskesmas
Indonesia
Sehat 2010
Jamkesmas,
BOK,
Jampersal
Sasaran Warga
Belanda,
Miliiter
Belanda
Pejabat
pemerintah,
sebagian rayat
Mulai
merata,
Belum
Menjangkau
seluruh
Belum
Menjangkau
seluruh
rakyat
Akses
belum
merata,
terutama
warga
21
rakyat daerah
terpencil,
kepulauan
dan
perbatasan
Kondisi
Keuangan
Negara
Sangat
miskin
Miskin Stabil Defisit Meningkat
2.3 Sistem Pembiayaan Kesehatan Nasional
Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem
yaitu:
1. Fee for Service (Out of Pocket)
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran
berdasarkan layanan, dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu
membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau
rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang
diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan
yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada
sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World
Health Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat
Indonesia masih bergantung pada sistem, Fee for Service dan hanya 8,4%
yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan
sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi
pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency
Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk
pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan
dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin
besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke
pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk
22
meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan
imbalan jasa yang lebih banyak.
2. Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh
pihak ketiga atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat.
Sistem health insurance ini dapat berupa sistem kapitasi dan sistem
Diagnose Related Group (DRG system).
a. Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan
kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per
peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu.
Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang
dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan
kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian
anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di
Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah menajdi peserta akan
membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan kesehatan
paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai
ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan mutu
terjaga dan biaya terjangkau.
b. Sistem DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan
sistem kapitasi di atas. Pada sistem ini, pembayaran dilakukan dengan
melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat
dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah
dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang
diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan
pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.
Kelemahan dari sistem Health Insurance adalah dapat terjadinya
underutilization dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang
diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam sistem ini, maka
resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan,
23
terdapat kelebihan sistem ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien
(captive market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu
tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan
multidiagnose. Dan sistem ini akan membuat PPK lebih ke rah preventif
dan promotif kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan
sistem kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan
dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service)
yang selama ini berlaku. Namun, masih ada hambatan dan tantangan, salah
satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi
kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan
dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta
asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan
bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai
terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang bersifat
wajib dimana penduduk yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan
membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai
kemampuan membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam
pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sistem
kesehatan Indonesia.
2.4 Sumber Pembiayaan Kesehatan
Sumber-sumber pembiayaan kesehatan dapat diperoleh dari pemerintah,
swasta, masyarakat dalam bentuk pembiayaan langsung (sistem Fee for service)
dan asuransi, serta sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman luar
negeri. Pembiayaan kesehatan di masa depan akan semakin mahal karena:
Pertumbuhan ekonomi nasional yang juga mengakibatkan meningkatnya
tuntutan (demand) masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih
bermutu.
Perkembangan teknologi kedokteran dan pertumbuhan industry
kedokteran. Hampir semua teknologi kedokteran masih diimpor sehingga
24
harganya relative mahal karena nilai rupiah yang jatuh dibandingkan
dengan dolar Amerika.
Subsidi pemerintah semakin menurun akibat krisis ekonomi tahun 1998.
Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia sebelum krisis adalah US $18 per
kapita per tahun, tetapi kondisi ini menurun lagi setelah krisis menjadi US
$ 12 per kapita per tahun pada tahun 2000. Seiiring dengan turunnya
kemampuan pemerintah, daya beli masyarakat juga menurun untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan
Adapun sumber-sumber pembiayaan kegiatan sektor kesehatan antara lain:
Pemerintah
Melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke
daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, porsi dana sector kesehatan
yang bersumber dari APBN menurun. Pemerintah pusat masih tetap
membantu pelaksanaan program kesehatan di daerah melalui bantuan dana
dekonsentrasi khususnya untuk pemberantasan penyakit menular.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBD ini bersumber dari Pendapatan Asli Daerah baik yang bersumber
dari pajak atau penghasilan badan usaha milik pemda. Mobilisasi dana
kesehatan juga dapat bersumber dari masyarakat dalam bentuk asuransi
kesehatan, investasi pembangunan sarana pelayanan kesehatan oleh pihak
swasta, dan biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk
perawatan kesehatan. Dana pembangunan kesehatan yang diserap oleh
berbagai sector harus dibedakan dengan dana sector kesehatan yang
diserap oleh dinas kesehatan.
Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri dapat dalam bentuk hibah atau pinjaman untuk
investasi atau pengembangan pelayanan kesehatan
25
2.5 Unsur-unsur Pembiayaan Kesehatan
Unsur-unsur pembiayaan kesehatan, antara lain :
1. Dana
Dana digali dari sumber pemerintah baik dari sektor kesehatan dan
sektor lain terkait, dari masyarakat, maupun swasta serta sumber lainnya
yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Dana yang tersedia harus mencukupi dan dapat dipertanggung-jawabkan.
2. Sumber daya
Sumber daya pembiayaan kesehatan terdiri dari: SDM pengelola,
standar, regulasidan kelembagaan yang digunakan secara berhasil guna
dan berdaya guna dalam upaya penggalian, pengalokasian dan
pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung terselenggaranya
pembangunan kesehatan.
2. Pengelolaan Dana Kesehatan
Prosedur/Mekanisme Pengelolaan Dana Kesehatan adalah seperangkat
aturan yang disepakati dan secara konsisten dijalankan oleh para pelaku
subsistem pembiayaan kesehatan, baik oleh Pemerintah secara lintas
sektor, swasta, maupun masyarakat yang mencakup mekanisme
penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan.
2.6 Penyelenggaraan Pembiayaan Kesehatan
Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan suatu proses yang terus-menerus
dan terkendali, agar tersedia dana kesehatan yang mencukupi dan
berkesinambungan, bersumber dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan sumber
lainnya. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan dilakukan melalui
penggalian dan pengumpulan berbagai sumber dana yang dapat menjamin
kesinambungan pembiayaan pembangunan kesehatan, mengalokasikannya secara
rasional, menggunakannya secara efisien dan efektif. Dalam hal pengaturan
penggalian dan pengumpulan serta pemanfaatan dana yang bersumber dari iuran
wajib, pemerintah harus melakukan sinkronisasi dan sinergisme antara sumber
dana dari iuran wajib, dana APBN/APBD, dana dari masyarakat, dan sumber
lainnya.
26
a. Penggalian dana
Penggalian dana untuk upaya pembangunan kesehatan yang bersumber
dari pemerintah dilakukan melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan
atau pinjaman yang tidak mengikat, serta berbagai sumber lainnya; dana
yang bersumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-
private partnership yang didukung dengan pemberian insentif; penggalian
dana yang bersumber dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh
masyarakat sendiri atau dilakukan secara pasif dengan memanfaatkan
berbagai dana yang sudah terkumpul di masyarakat. Penggalian dana
untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan dengan cara penggalian
dan pengumpulan dana masyarakat dan didorong pada bentuk jaminan
kesehatan.
b. Pengalokasian Dana
Pengalokasi dana pemerintah dilakukan melalui perencanaan anggaran
dengan mengutamakan upaya kesehatan prioritas, secara bertahap, dan
terus ditingkatkan jumlah pengalokasiannya sehingga sesuai dengan
kebutuhan. Pengalokasian dana yang dihimpun dari masyarakat didasarkan
pada asas gotong-royong sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Sedangkan pengalokasian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan
dilakukan melalui kepesertaan dalam jaminan kesehatan.
c. Pembelanjaan
Pemakaian dana kesehatan dilakukan dengan memperhatikan aspek
teknis maupun alokatif sesuai peruntukannya secara efisien dan efektif
untuk terwujudnya pengelolaan pembiayaan kesehatan yang transparan,
akuntabel serta penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
Governance).
Pembelanjaan dana kesehatan diarahkan terutama melalui jaminan
kesehatan, baik yang bersifat wajib maupun sukarela. Hal ini termasuk
program bantuan sosial dari pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu, yaitu Jamkesmas.
27
2.7 Strategi Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam
rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu
negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan dan akses (equitable
access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh
karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan
fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin
terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi
(efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care
financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi
sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta
menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan
yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin
(equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang
universal.
Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai
kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu
sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun
pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan
dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain
adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme
pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam
penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of
resources and services)
Meskipun tiap-tiap negara mempunyai perbedaan dalam reformasi
pembiayaan kesehatannya bergantung dari isu-isu dan tantangannya sendiri, akan
tetapi pada dasarnya dalam banyak hal karakteristiknya sama karena kesemua hal
itu diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
nasional, regional dan internasional. Organisasi kesehatan se-dunia (WHO)
sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok,
28
tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah
dalam area sebagai berikut:
1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan,
2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan
permeliharaan kesehatan masyarakat miskin,
3. Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya
asuransi kesehatan sosial (SHI)
4. Penggalian dukungan nasional dan internasional,
5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional,
6. Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada
data dan fakta ilmiah
7. Pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada
beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan
prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket
funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan
efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai
dan dapat diterima pengguna jasa.
Sejalan dengan itu, dalam rencana strategik Depkes 2005-2009 secara jelas
disebutkan bahwa meningkatkan pembiayaan kesehatan merupakan salah satu dari
empat strategi utama departemen kesehatan disamping menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas serta meningkatkan sistem
surveilans, moitoring dan informasi kesehatan. Strategi utama itu dijabarkan
dalam 17 sasaran pembangunan.
Selanjutnya sasaran dari strategi utama meningkatkan pembiayaan kesehatan
itu adalah;
1. Pembangunan kesehatan mendapatkan penganggaran yang memadai oleh
pemerintah pusat dan daerah
2. Anggaran kesehatan pemerintah lebih diutamakan untuk pencegahan dan
promosi kesehatan
29
3. Terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi
masyarakat miskin
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara
berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
30
BAB III
SUMBER DANA DAN ALOKASI BIDANG KESEHATAN
3.1 Ilmu Ekonomi Kesehatan
Menurut KLARMAN (1964) Penerapan ilmu ekonomi dalam bidang
kesehatan (Konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan) PPEKI
merupakan penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Sesuai dengan batasan tersebut, Ilmu Ekonomi Kesehatan membahas tentang:
1. Alokasi sumber daya dari berbagai program kesehatan.
2. Besar sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan.
3. Pengorganisasian dan pembiayan institusi kesehatan terkait pelayanan
langsung dan institusi penunjang.
4. Efisiensi dan efektifivitas sumberdaya kesehatan.
5. Efek pelayanan preventif, kuratif dan rehabilitatif terhadap kesehatan
penduduk.
Sedangkan ruang lingkup ilmu ekonomi kesehatan dibagi menjadi dua yaitu:
a. Kajian Ekonomi Makro (macro economic): menelaah sektor ekonomi
secara makro/menyeluruh (global) serta hubungannya secara timbal balik
dengan sektor lain, menganalisa pengaruh kebijakan dan implementasi
pembangunan sektor lain terhadap kesehatan. Contoh:
Hubungan adanya bendungan Aswan di Mesir dengan kejadian
penyakit schistosomiasis
Pengaruh pembukaan hutan dengan kejadian Malaria di Brazil
Dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan dan gizi, Kecendrungan
pembiayaan kesehatan dengan perkembangan ekonomi suatu negara
Pengaruh kebijakan moneter dan fiskal terhadap kecukupan biaya
kesehatan.
Peningkatan sektor transportasi dengan kematian akibat kecelakaan.
b. Kajian Ekonomi Mikro (Micro Economic): menelaah aspek produksi
(suply), konsumsi (demand/utilisasi) pelayanan kesehatan.
31
3.2 Dana Alokasi Khusus Pelayanan Kesehatan
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana perimbangan
dan bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
de ngan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Anggaran tersebut digunakan rata-rata digunakan untuk pengadaan
infrastruktur kesehatan, danobat dan perbekalan kesehatan dalam rangka
memenuhi kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan pada pelayanan kesehatan
primer. Pengadaan infrastruktur kesehatan, meliputi:
1. Pembangunan Puskesmas
2. Pembangunan Puskesmas Perawatan
3. Pembangunan Pos Kesehatan Desa
4. Pengadaan Puskesmas Keliling Perairan
5. Pengadaan Kendaraan roda dua untuk Bidan Desa.
Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan, dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan fasilitas ruma sakit provinsi, kabupaten/kota, antara lain:
a. peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS.
b. pemenuhan peralatan unit transfusi darah RS dan bank darah RS.
c. peningkatan fasilitas instalasi gawat darurat RS.
d. peningkatan sarana prasarana dan pengadaan peralatan kesehatan untuk
program pelayanan obstetric neonatal emergency komprehensif (PONEK)
di RS.
e. pengadaan peralatan pemerksaan kultur M.tuberculosis di BLK provinsi.
Untuk kabupaten/kota, alokasi DAK 2010 ditujukan 2 (dua) kegiatan, yaitu:
pemenuhan pelayanan dasar dan pelayanan rujukan. Pelayanan dasar berupa
pemenuhan kesehatan dasar dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. Untuk
pemenuhan kesehatan dasar, DAK diberikan kepada 405 kabupaten/kota dengan
total anggaran sebesar Rp1,22 triliun, sementara untuk obat dan perbekalan
kesehatan diberikan kepada 378 kabupaten/kota dengan total anggaran sebesar Rp
1 triliun.
32
3.3 Faktor Rendahnya Alokasi Dana Bidang Kesehatan
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya alokasi dana bidang kesehatan,
antara lain:
1. Pemerintah tidak punya dana
2. Sektor kesehatan dianggap sektor konsumtif
3. Penentu kebijakan melihat sektor kesehatan merupakan sektor dependen
4. Penentu kebijakan dan politisi tidak yakin dana yg
dialokasikan ke bidang kesehatan digunakan secara optimal
5. Profesional tenaga kesehatan belum mampu melakukan advokasi dengan
baik kepada politisi dan penentu kebijakan agar mendapatkan anggaran
kesehatan yang memadai.
Untuk mendapatkan anggaran yang memadai Dinkes Kab/Kota harus mampu
melakukan mobilisasi dana dan memahami konsep P2KT.
33
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang
mengatur tentang besarnya dan alokasi dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Pola pembiayaan kesehatan di Indonesia dari masa penjajahan kolonial, masa
kemerdekaan, orde lama, orde baru, masa reformasi sampai masa sekarang
mengalami jumlah peningkatan yang signifikan dan juga peningkatan peran pihak
swasta yang semakin besar.
Sumber dana dan alokasi bidang kesehatan termuat dalam Ilmu ekonomi
Kesehatan. Dana yang digunakan daerah untuk bidang kesehatan disebut Dana
Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari APBN. Beberapa Faktor yang
menyebabkan rendahnya alokasi dana kesehatan diantaranya pemerintah tidak
punya dana cukup, bidang kesehatan dianggap konsumtif, sektor kesehatan
merupakan sektor dependen, profesional tenaga kesehatan belum mampu
melakukan advokasi yang baik dengan politisi.
4.2 Saran
Kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan dengan baik
fasilitas kesehatan yang telah diusahakan oleh Pemerintah.
Pemerintah agar meningkatkan fasilitas kesehatan guna memperbaiki
kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari penerus bangsa.
Perawat memberikan edukasi kepada masyrakat mengenai fasiklitas kesehatan
yang telah di usahakan oleh Pemerintah.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Kebijakan Pembiayaan Kesehatan.
http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/337-
kebijakan-pembiayaan-kesehatan.html. Diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Arianto, Kurniawan. 2011. Perubahan Pola Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Sejalan dengan Perubahan Pola Politik yang Terjadi. 1: 1-18.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pelaksanaan
jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Jakarta: Depkes RI.
Hsiao, W.C. 2000. Toward a Theoritical Model of Health System, work in
Progress. Massachusetts : Harvard School of Public Health.
Lubis, Ade Fatma. 2009. Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press.
Makhfudly, Ferry Efendi. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. 2013. Tentang Pembiayaan
Kesehatan. http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=84&Itemid=119. Diakses pada tanggal
20 Mei 2013
Salim Ahmad, Imania. 2010. Pembiayaan Rumah Sakit.
http://www.scribd.com/doc/33121043/Makalah-Pembiayaan-RS. Diakses
pada tanggal 20 Mei 2013.
Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
35