strategic outlook

76

Upload: hariyandi-rizal

Post on 26-Jul-2016

249 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional diterbitkan oleh DIP Center

TRANSCRIPT

Page 1: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 1

Page 2: Strategic Outlook

2 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 3: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 1

Susunan Redaksi

Dewan Redaksi : Dr. Hotmangaradja Pandjaitan, M.H, Rudi Siahaan, Ir., MM., M.Sc Pemimpin Redaksi : Dr. Tri Yogabudi Prasetyo, M.Si | Redaktur Eksekutif : Stepi Anriani S.IP., M.Si | Anggota Redaksi : Victor Tobing | Kosim, S.IP, Yusup Rahman Hakim, S.Pd | Koordinator Usaha: Dyon Lopes, S.IP, Arjuna Sirait, SH

Alamat Redaksi : Grand Wijaya Blok C No. 31-32 Lantai 2, Jalan Wijaya II Kebayoran BaruJakarta Selatan | Telp/Fax. +6221-7207848Email : [email protected] | Website : www.dipcentre.org

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional

Edisi 1 - February 2014

Page 4: Strategic Outlook

2 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Jurnal Strategic Outlook merupakan jurnal di bidang politik dan keamanan nasional yang menyajikan berbagai permasalahan strategis dengan tujuan memberikan pencerahan dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Jurnal Strategic Outlook yang merupakan terbitan pertama ini adalah salah satu produk dari lembaga DIP Centre. Democracy, Integrity and Peace Centre (DIP Centre) sebagai sebuah lembaga kajian dan penelitian yang fokus pada bidang keamanan nasional bertujuan menghimpun potensi dan gagasan konstruktif masyarakat khususnya akademisi, peneliti dan aktor yang terkait dalam bidang keamanan nasional untuk ikut memberikan pencerahan dan solusi terhadap permasalahan yang ada.

Pada terbitan perdana ini Jurnal Strategic Outlook menampilkan tulisan yang berjudul “Reaktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ yang ditulis dan disampaikan oleh B.j Habibie, Presiden ke 3 Indonesia. Tulisan ini membahas pentingnya reaktualisasi pancasila dan nilai-nilainya yang sudah ditinggalkan. Bagaimana membumikan pancasila menjadi sebuah pegangan dasar bagi kehidupan sehari-hari termasuk mengarahkan demokrasi yang saat ini sedang berjalan. Tulisan ini baik dipahami dalam rangka memperkuat pondasi Keamanan Nasional.

Tulisan kedua yang berjudul Demokratisasi dan Keamanan Nasional ditulis oleh pengamat militer dan dosen Universitas Indonesia, Andi Widjajanto. Tulisan ini memaparkan korelasi antara proses demokratisasi dan sistem keamanan nasional Indonesia. Dengan mengasumsikan bahwa perdamaian demokratik di Indonesia dapat tercipta di periode 2025-2030, tulisan ini menawarkan rekomendasi tentang perlunya pembentukan suatu Sistem Keamanan Nasional untuk memperkuat proses kematangan demokrasi di Indonesia.

“Hubungan Australia – Indonesia di Abad Asia” merupakan tulisan ketiga yang dibuat Nadjib Riphat Kesoema, Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia dan Vanuatu. Dalam tulisannya penulis memaparkan tentang Abad 21 yang merupakan Abad Asia dimana Australia telah mengambil kebijakan dan strategy untuk merapatkan diri kepada Asia, untuk meraih benefits dari pertumbuhan ekonomi Asia. Dalam tulisan ini juga dipaparkan mengenai peluang dan tantangan hubungan bagi kedua negara. Tulisan ini menjadi salah satu bagian dari korelasi Keamanan Nasional dan Hubungan Internasional.

Tulisan keempat yang berjudul Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Pengusaha: Tinjauan Dunia Usaha Pasca Reformasi. Ditulis oleh Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia 2003 sampai saat ini berisi gambaran umum dunia usaha pasca reformasi dan kendala yang dihadapi para pengusaha. Tulisan ini merupakan masukan bagi konsep ketahanan ekonomi yang akan memperkuat keamanan nasional.

Page 5: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 3

Tulisan selanjutnya berjudul Pokok-pokok pikiran menjadikan Indonesia Berdaulat pangan sebagai Lumbung Pangan Dunia. Ditulis oleh Tualar Simarmata Guru Besar pada Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Tulisan ini membahas secara rinci mengenai import pangan dan masalah dalam pertanian yang menjadi ancaman serius bagi Ketahanan Pangan. Tulisan ini merupakan bagian dari pencerahan bagi permasalahan pangan dan upaya menjadikan Indonesia berdaulat pangan yang merupakan bagian dari Keamanan Nasional.

“What is the grand strategy of Indonesia today? What it should be?” adalah tulisan keenam yang merupakan tulisan dalam bahasa inggris dalam jurnal kali ini. Ditulis oleh Wibawanto Nugroho, Mahasiswa berprestasi Indonesia (Kandidat PhD) dari National Defense University, Washington Amerika Serikat. Dalam tulisannya dibahas mengenai Strategi Indonesia yang sudah dijalankan maupun yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi ancaman dan tantangan yang ada hari ini, termasuk di kawasan regional dan global.

Tulisan selanjutnya berjudul Critical Review RUU Kamnas. Ditulis oleh Poengky Indarti sebagai Direktur Eksekutif Imparsial, Pemerhati isu Papua, Reformasi sektor Keamanan, Serta Beberapa isu Hak Asasi Manusia. Dalam tulisan ini dibahas mengenai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang masih kontroversial.

Terakhir merupakan resensi buku yang berjudul “Problem Filosofis Tentang Konsep ‘Perdamaian Abadi” karya Immanuel Kant yang ditulis resensinya oleh Wagiman Martedjo, peneliti hukum. Buku ini membahas pendekatan interdisipliner mengenai teori dan konsep perdamaian dari para ahli serta hubungan perdamaian dengan demokrasi.

Pada tataran konseptual, tulisan dalam jurnal ini diharapkan dapat menjembatani pemikiran serta interaksi di berbagai konsep dan teori yang terkait politik dan keamanan nasional. Sedangkan pada tataran praktis, berbagai permasalahan yang disajikan baik data, konsep dan teori semoga bisa menjadi referensi pelengkap bagi para pembaca, akademisi dan pemerhati masalah kebangsaan. Redaksi dan Lembaga DIP Centre mengucapkan terima kasih kepada para penulis. Semoga Jurnal ini dapat memberikan pencerahan bagi para pembacanya.

Jakarta, Februari 2014

Dr.Hotmangaradja Pandjaitan.,M.HDirektur DIP Centre

Page 6: Strategic Outlook

4 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional

Volume 1, Edisi 1, Februari 2014

Reaktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Demokratisasi dan Sistem Keamanan Nasional

Hubungan Australia - Indonesia di Abad Asia

Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Pengusaha : Tinjauan Dunia Usaha Pasca Reformasi

Oleh : Bacharuddin Jusuf HabibiePresiden Republik Indonesia ke-3

Oleh : Andi WidjajantoDosen Universitas Indonesia dan Pengamat Militer

Oleh : Nadjib Riphat KesoemaDuta Besar Indonesia untuk Australia

Oleh : Sofjan WanandiKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia 2003-saat ini

6

12

20

26

Hal

Page 7: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 5

Pokok-Pokok Pikiran Menjadikan Indonesia Berdaulat Pangan dan Sebagai Lumbung Pangan Dunia

What is the grand strategy of Indonesia Today? What it should be?

Critical Review RUU Kamnas

Problem Filosofis Tentang Konsep “Perdamaian Abadi”

Oleh : Tualar SimarmataGuru Besar pada Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

By : Wibawanto Nugroho Former International Fellow from Indonesia at US National Defense University, Washington DC. Currently a PhD Presi-dential Fulbright Scholar at the GMU School of Public Policy, Arlington – VA.

Oleh : Poengky Indarti dan Team ImparsialDirektur Eksekutif Imparsial, Pemerhati isu Papua, Reformasi sektor Keamanan, Serta Beberapa isu Hak Asasi Manusia

Oleh : Wagiman MartedjoPeneliti hukum. Mendalami studi tentang perdamaian pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Studi formal S1 dan S2 bi-dang hukum internasional di Unpad Bandung, saat ini tengah menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum di UI Jakarta

32

46

58

66

Hal

Page 8: Strategic Outlook

6 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Pekembangan Pancasila Melewati Dialektika Peradaban

Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang pondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak zaman demokrasi parlementer, era demokrasi terpimpin, era demokrasi Pancasila, hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap zaman, Pancasila harus melewati

alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama:

Di manakah Pancasila kini berada?Pertanyaan ini penting dikemukakan

karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan

Oleh : Bacharuddin Jusuf HabibiePresiden Republik Indonesia ke-3

Makalah ini disampaikan oleh B.J Habibie dalam rangka peringatan Hari Kelahiran Pancasila di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI).

Page 9: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 7

dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi?Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Pentingnya Reaktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Berikut penjelasan mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita, di antaranya :

Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 sampai saat ini telah mengalami perubahan yang amat nyata, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) Terjadinya proses globalisasi dalam segala

aspeknya; (2) Perkembangan gagasan hak asasi manusia

(HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);

(3) Lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang

Page 10: Strategic Outlook

8 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya. Ketiga perubahan tersebut telah mendorong

terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Dapat digambarkan kondisi sebelum keberhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut, seakan menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai

akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya.

8 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 11: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 9

bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila”1. Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tidak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Dalam merefleksi Pancasila, penting digarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, 1 Sebagaimana disinyalir oleh Gumilar R Somantri dalam “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern”, Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Universitas Indonesia, Jakarta 31 Mei 2006

regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tidak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi

Page 12: Strategic Outlook

10 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi’ sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke manca negara, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”.

Implementasi sila kelima untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau “VOC-baju baru” itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam Kerja” tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas, daya saing dan lapangan kerja untuk SDM di Indonesia dengan mengembangkan serta menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didorong oleh kebutuhan pasar global dan domestik. Pasar domestik nasional harus menjadi pendorong utama.

saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita.

KesimpulanReaktualisasi Pancasila merupakan upaya

serius yang harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila

Page 13: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 11

sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena zaman terus berubah yang kadang

berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi pondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Page 14: Strategic Outlook

12 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Instalasi DemokratisasiEvolusi pemikiran tentang demokratisasi

didominasi oleh literatur tentang tahapan transisi rezim yang harus dilalui suatu negara untuk membangun suatu rezim demokratis. Definisi tentang demokratisasi cenderung telah disepakati dan mengacu kepada karya seminal Samuel Huntington yang memberikan kerangka substantif demokratisasi sebagai: (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) adanya proses transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokratis; serta (3) konsolidasi rezim demokrasi.1

Proses menuju pembentukan rezim demokratis ini mencakup beberapa tahapan yang 1 Samuel P. Huntington, The Third Wave of Democratization in the Late Twentieh Century (Norman: University of Oklahoma Press, 1991), hal.58.

dikenal sebagai transisi demokrasi. Kajian transisi demokrasi merupakan salah satu konsentrasi akademik yang berkembang pesat ditandai dengan maraknya kajian-kajian tentang gelombang demokratisasi yang tejadi di Eropa Selatan dan Amerika Latin di akhir dekade 1970-an hingga dekade 1990-an. Studi-studi demokratisasi seperti yang terlihat pada karya Di Palma, Diamond, Huntington, Linz, Lipset , Lowenthal, O’Donnel, Przeworksi, Remmer, Schmitter, Share, dan Stepan sangat diilhami oleh gelombang demokrasitisasi ketiga.

Pada dasarnya, para akademisi sepakat bahwa transisi demokrasi adalah tahap awal proses demokratisasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi publik, liberalisasi politik, peningkatan

Oleh : Andi WidjajantoDosen Universitas Indonesia dan Pengamat Militer

Tulisan ini memaparkan korelasi antara proses demokratisasi dan sistem keamanan nasional Indonesia. Dengan mengasumsikan bahwa perdamaian demokratik di Indonesia dapat tercipta di periode 2025-2030, tulisan ini menawarkan rekomendasi tentang perlunya pembentukan suatu Sistem Keamanan Nasional untuk memperkuat proses kematangan demokrasi di Indonesia.

Page 15: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 13

hak sipil, serta implementasi prosedur-prosedur demokrasi dalam ruang-ruang publik. Tahap transisi ini di setiap negara terjadi melalui beberapa jalur yang berbeda tergantung dari prakondisi demokrasi yang ada di masing-masing negara.

Share, misalnya, mengungkapkan empat jalur dominan proses transisi yang divergensinya tergantung pada akselerasi demokratisasi serta komitmen politik pemimpin rezim.2 Berdasarkan dua variabel tersebut, Share membuat empat kategori jalur transisi yaitu (1) demokratisasi bertahap; (2) transaksi konsesual; (3) transisi revolusioner; serta (4) transisi disintegratif. Upaya pemetaan jalur transisi juga dilakukan oleh Rustow 2 Donald Share, “Transition to Democracy and Transition to Througg Transaction”, Comparative Politics Vol. 19, No.4, 1987.

yang menginisiasi tiga jalur (top-down, bottom-up, dan negosiasi3, atau Linz yang menawarkan dua jalur transisi, yakni reforma dan ruptura4; atau Lynn Karl yang menemukan jalur akar rumput dan jalur elit5; serta Stepan yang juga melihat adanya tiga variasi transisi: demokratisasi oleh rezim, demokratisasi oleh oposisi, serta perang6.

Kajian tentang tahapan demokratisasi ini mencapai kulminasinya dengan diterbitkannya karya Huntington (1991) yang berjudul “The Third Wave of Democratization in the Late Twentieh

3 Dankwart A. Rustow, “The Surging Tide of Democracy”, Journal of Democracy, No.1, 1992, hal.119-122.4 Juan Linz, “Crisis, Breakdown, and Reequilibrium, dalam Juan Linz dan Alfred Stepan, The Breakdown of Democratic Rezimes (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1978), hal.345 T. Lynn Karl, “Dilemmas of Democratization in Latin America,“ Comparative Politics, No. 5, Oktober 1990.6 Alfred Stepan,”Paths Toward Democratization: Theoritical and Comparative Considerations,” dalam Guillermo O’Donnel, et.al., (eds.), Transitions from Authoritarian Rule: Comparative Perspectives (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1986), hal.103-107.

Page 16: Strategic Outlook

14 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Century”. Di karya klasik tersebut, Huntington mengungkapkan adanya empat model transisi menuju demokrasi.7 Jalur pertama adalah transformation yang prosesnya diinisiasi oleh elit politik yang sedang berkuasa. Jalur kedua adalah transplacement yang dilakukan melalui negosiasi politik antara rezim politik dengan kekuatan oposisi. Jalur ketiga adalah replacement yang terjadi karena adanya gerakan politik massa yang menuntut perubahan rezim. Jalur terakhir adalah intervention yang dilakukan oleh negara lain secara politik, ekonomi, atau operasi militer.

Model transisi dan waktu pelaksanaan transisi akan berbeda antar satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan ini muncul disebabkan oleh ragam prakondisi demokrasi yang ada di masing-masing negara.

Ada tiga prakondisi demokrasi yang akan menimbulkan deviasi transisi demokrasi. Prakondisi pertama adalah modernisasi dan kesejahteraan. Prakondisi ini diungkapkan oleh Seymour M. Lipset yang secara tegas menyatakan bahwa “Semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi.”8 Pendapat Lipset ini didukung oleh Dahl yang mengatakan bahwa korelasi positif antara tingkat modernisasi dan kesejahteraan suatu negara dengan keberhasilan demokratisasi sebagai tesis yang sulit untuk diperdebatkan.9 Huntington juga melakukan afirmasi bagi tesis Lipset dengan mengelaborasi sejumlah faktor kondusif yang ditimbulkan dari modernisasi dan kesejahteraan bagi demokratisasi seperti tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi, serta media massa. 10 Prakondisi kedua adalah budaya politik. Konsep yang diperkenalkan oleh Almond dan Verba ini menekankan aspek fenomenologis sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi.11 Prakondisi 7 Huntington, Op.Cit., h.145. Lihat juga versi awalnya pada Huntington, “Will More Countries Become Democratic?,” Political Science Quaterly, No.99, 1984.8 Seymor MartinLipset, “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy,” American Political Science Review, No.53, 1959, hal.75.9 Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), hal.65.10 Huntington, Log.Cit., h. 199.11 Gabriel Almond dan Sydney Verba, Civiv Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Boston: Little & Brown, 1963).

ketiga adalah struktur sosial yang ditandai dengan keberadaan kelompok tertentu dalam masyarakat seperti akademisi, pekerja media massa, kelompok menengah, aktivis masyarakat sipil yang secara konsisten mendukung demokrasi. Kajian-kajian tentang asosiasi antara struktur sosial dan demokratisasi dilakukan misalnya oleh Moore yang melihat peran kelompok Borjuis di Inggris dalam transisi demokrasi12; dan Therborn yang melihat peran kelompok pemilik modal dalam transisi demokrasi13.

Proses transisi ini hanya akan menghasilkan instalasi sistim demokrasi jika diikuti dengan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi, menurut Whitehead, mencakup peningkatan secara fundamental komitmen publik untuk menggunakan prosedur-prosedur demokratis untuk menata ruang publik yang muncul dalam proses bernegara.14 Tanpa adanya konsolidasi demokrasi, prosedur-prosedur demokrasi yang diterapkan cenderung hanya akan menjadi estalase demokrasi yang tidak memiliki penetrasi ke dalam sistem politik negara. Prosedur-prosedur demokratis untuk melakukan instalasi demokrasi terdiri dari dan tidak terbatas pada pelaksanaan pemilihan umum, amandemen konstitusi negara, devolusi politik, desentralisasi dan dekonsentrasi, serta revisi sistem hukum nasional. Pada dasarnya, komitmen publik terhadap prosedur demokratis ini merupakan langkah awal untuk membangun budaya politik demokratik yang diharapkan muncul setelah proses institusionalisasi demokrasi terjadi.15

Namun, analisa sistemik kontemporer diberikan oleh Kaplan yang melihat bahwa proses pembentukan negara-bangsa di dunia III cenderung diwarnai oleh instabilitas demokratisasi, kemunculan gejala tribalism, perang saudara, dan ethnic cleansing. Gejala chaos di daerah pinggiran 12 Barrington Moore, Jr., Social Origins of Dictartorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World (Boston: Beacon Press, 1966).13 Goran Therborn, “The Rule of Capital and the Rise of Democracy, “ dalam David Held, et.al., (eds.), States and Societies (Oxford: Martin Robertson, 1983).14 Laurence Whitehead, “The Consolidation of Fragile Democracies”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas (New York: Holmes, 1989), hal.30.15 Robert Putnam, Making Democracy Work (Princeton: Princeton University Press, 1993).

Page 17: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 15

ini dikaji oleh Kaplan secara resiprokal dengan berusaha mencari garis penghubung antara dinamika sistemik dengan proses demokratisasi. 16

Secara teoritis, proses demokratisasi memang lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Mansfield dan Snyder, misalnya, memperingatkan bahwa proses demokratisasi di suatu negara yang memiliki legitimasi vertikal17 yang cenderung rendah seperti Indonesia akan diikuti dengan (1) pelebaran spektrum politik; (2) kemunculan kepentingan sesaat yang dapat di negosiasikan di kalangan elit; (3) kompetisi untuk mendapat dukungan massa seluas-luasnya; dan (4) melemahnya otoritas politik pusat.18 Keempat dampak proses demokratisasi ini cenderung akan membawa masyarakat ke arah konflik horizontal terutama karena institusi politik yang ada tidak dapat mengantisipasi ledakan partisipasi politik yang begitu besar.

Dengan demikian, proses demokratisasi akan cenderung diiringi dengan proses konsolidasi kekuatan yang dapat secara efektif mengelola potensi penggunaan kekerasan. Kompetisi untuk mengelola kekerasan ini akan menghantui proses demokratisasi dan kegagalan institusi politik untuk mengelola kekerasan memicu terjadinya perang internal.19

Trajektori Demokratisasi 2045

Kajian tentang proses demokratisasi tersebut merupakan dasar bagi pembentukan trajektori politik keamanan nasional 2045. Trakjektori ini dilakukan dengan menggabungkan variabel demokratisasi dan proses perdamaian untuk membentuk suatu kuadran perdamaian demokratik (lihat bagan 1). Kuadran I terbentuk saat pertemuan sumbu otoritarian dan perang membentuk tipe negara predator (predatory

16 Robert. D Kaplan, The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of the Post Cold War (New York: Vintage Books, 2000).17 . Pembahasan tentang konsep legitimasi baik vertikal dan horizontal lihat K.J. Holsti, The State, War, and the State of War (Cambridge: CUP, 1996), Bab.5. Lihat juga Barry Buzan, People States & Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, 2nd ed. (London: Harvester Wheatsheaf, 1991), Bab. 318 Edward D. Mansfield dan Jack Snyder, “Democratization and the Danger of War” International Security, Vol.20, No.1 (Summer 1995).19 Ibid..hal. 255-293.

state). Kuadran II tercipta saat pertemuan sumbu otoritarian dan perdamaian membentuk tipe negara pseudo democratic. Kuadran III tercipta saat pertemuan sumbu demokrasi dan perang membentuk tipe negara transisi demokrasi. Kuadran IV adalah tipe negara ideal yang terbentuk saat pertemuan sumbu demokrasi dan perdamaian membentuk tipe negara demokrasi.

Bagan 1. Kuadran Perdamaian DemokratikUntuk konteks Indonesia, proses reformasi

politik yang diinisiasi tahun 1998 mengarahkan

Indonesia untuk berevolusi dari tipe negara predator menuju tipe negara demokrasi melalui tahapan negara demokrasi transisional. Evolusi ini cenderung disertai oleh eksperimentasi politik untuk mendapatkan proses demokratisasi yang sesuai dengan budaya politik Indonesia serta konflik internal baik vertikal maupun horizontal sebagai konsekuensi terjadinya perluasan partisipasi politik secara drastis.

Proses transisi tersebut disertai dengan terjadinya gelombang kekerasan baik horizontal maupun vertikal. Cukup banyak akademisi yang berupaya untuk menjelaskan fenomena kekerasan yang terjadi di konteks ruang dan waktu yang spesifik. Pola induksi ini digunakan oleh Schulze20,

20 Kirsten E.Schulze, “Laskar Jihad and the Conflict in Ambon,” The Brown Journal of World Affairs Vol.IX, Issue 1, Spring 2002.

Page 18: Strategic Outlook

16 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Untuk mencegah jatuhnya Indonesia dalam kategori failed state, suatu proses rekayasa perdamaian demokratik harus dilakukan. Arah dari proses demokratisasi di Indonesia, akan ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu kapasitas sipil untuk mengelola negara dan profesionalitas aktor militer dan keamanan.

16 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 19: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 17

Bertrand21, Van Klinken22 dan Aditjondro23 untuk menganalisa “perang saudara” yang terjadi di Maluku. Kajian induktif juga dilakukan oleh Rohde untuk mendeskripsikan konflik agama dan etnik yang terjadi di Poso.24 Ravich25 dan Sukma26 menggunakan pendekatan yang sama untuk menjabarkan konflik yang terjadi di Aceh. Kontribusi yang sama juga diberikan oleh Djuli dan Jereski yang berupaya untuk melakukan komparasi tentang konflik sumberdaya yang terjadi di Aceh dan Papua.27

Gelombang kekerasan diatas terjadi antara lain karena Indonesia memiliki struktur negara yang lemah (weak state). Dalam suatu negara lemah, kebijakan politik yang diambil terkondisikan oleh instabilitas politik, krisis legitimasi, lemahnya identitas nasional, tidak berfungsinya institusi sosial politik, kemiskinan ekonomi dan sangat rentan terhadap tekanan-tekanan eksternal.28 Hal ini membuat elit politik terus-menerus berada dalam process of crisis management atau yang lebih dikenal dengan the politics of survival. 29

Kajian tentang adanya kaitan antara gelombang kekerasan dan struktur negara bangsa dan gelombang kekerasan di Indonesia menimbulkan pertanyaan tentang adanya kemungkinan bagi Indonesia untuk mengalami kondisi yang jauh lebih buruk dan menjelma menjadi failed state seperti yang dialami oleh Afghanistan, Angola, Congo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan atau bahkan menjelma menjadi collapsed state seperti Somalia. Kemungkinan ini

21 Jacques Bertrand, “Legacies of the Authoritarian Past: Religious Violence in Indonesia’s Mollucan Islands,” Pacific Affairs, Vol.71, No.1, Spring 2002.22 Gerry van Klinken, “The Maluku wars; Bringing society back in,” Indonesia, No. 71, 2001, h.1-26. 23 George Junus Aditjondro, “Guns, pamphlets and handie-talkies: How the military exploited local ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and economic priveleges,” dalam Ingrid Wessel dan Gerogria Wimhofer (eds.), Violence in Indonesia (Hamburg: Abera, 2001).24 David Rohde, “Indonesia Unravelling?,” Foreign Affairs Vol.80, No.4, July/August, 2001.25 Samantha F. Ravich,”Eyeing Indonesia through the lens of Aceh,” Washington Quaterly Vol.23, No.3, Summer, 2000.26 Rizal Sukma, “The Acehnese Rebellion:Secessionist Movement In Post-Suharto Indonesia,” dalam Andrew T.H. Tan and J.D. Kenneth Boutin (ed.), Non Traditional Security Issues in Southeast Asia (New York: Select Publishing, 2001). 27 M.N. Djuli dan Robert Jereski, “Prospects for Peace and Indonesia’s Survival,” The Brown Journal of World Affairs Vol.IX, Issue 1, Spring, 2002. 28 Richard Jackson, “The State and Internal Conflict” Australian Journal of Internal Affairs, Vol.55, No.1, April, 2001, h.65-82.29 J. Migdal, Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capability in the Third World, (Princeton, NJ:Princeton University Press, 1988).

dipertanyakan antara lain oleh Emmerson30, Dibb dan Prince31, Rotberg32, dan Wanandi33.

Untuk mencegah jatuhnya Indonesia dalam kategori failed state, suatu proses rekayasa perdamaian demokratik harus dilakukan. Arah dari proses demokratisasi di Indonesia, akan ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu kapasitas sipil untuk mengelola negara dan profesionalitas aktor militer dan keamanan.

Dengan mengasumsikan bahwa hubungan sipil-militer di Indonesia akan memperkuat proses demokratisasi, maka kematangan demokrasi di Indonesia diperkirakan akan tercapai setelah Indonesia berhasil melakukan tujuh kali proses pemilihan umum demokratis secara berturut turut. Jika pemilihan umum demokratis pertama kali dianggap telah terjadi tahun 1999, maka kematangan demokrasi di Indonesia cenderung dicapai di pemilihan umum 2029 dan akan segera diikuti dengan muncul perdamaian struktural di dekade 2030 (lihat Bagan 2).

Skenario optimis tersebut memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan Strategi Keamanan Nasional 2045 berdasarkan pondasi hubungan sipil-militer yang demokratis. Strategi Keamanan Nasional 2045 dibangun berdasarkan asumsi adanya kapasitas sipil untuk membentuk suatu Sistem Keamanan Nasional dan sudah 30 Donald K.Emmerson, “Will Indonesia Survive?” Foreign Affairs, May/June 2000, p.95.31 Paul Dibb dan Peter Prince, “Indonesia’s Grim Outlook,” Orbis, Fall 2001, h. 625-626.32 Robert I. Rotbert, “The New Nature of Nation-State Failure,” The Washington Quaterly, , Vol.25, , No. 3, Summer 2002, h. 85-96. 33 Jusuf Wanandi, “Indonesia: A Failed State?” The Washington Quaterly, , Vol.25, , No. 3, Summer 2002, h. 135-147.

Page 20: Strategic Outlook

18 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

terbentuknya profesionalitas aktor keamanan untuk menjalankan tugas dan fungsinya di era demokrasi.

Penutup: Simpul Strategis Keamanan NasionalPembentukan suatu Sistem Keamanan

Nasional hanya mungkin terjadi jika Indonesia memiliki suatu UU Keamanan Nasional. UU ini dibutuhkan untuk memberikan legitimasi politik bagi kehadiran negara sebagai penjamin kedaulatan politik, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa. Pemerintah –sebagai instrumen negara, membutuhkan sebuah UU Keamanan Nasional sebagai simpul strategis untuk mengatur berbagai institusi yang terlibat, batas-batas kewenangan dan hubungan antarinstitusi yang terlibat dan sumber daya yang digunakan. Dalam konteks Indonesia, ada tiga pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkannya UU Keamanan Nasional yaitu pertimbangan strategis, politik, dan legal.

Pertimbangan pertama berkaitan dengan perkembangan pemahaman dan praktek yang menempatkan keamanan nasional sebagai suatu konsep yang merangkum berbagai subyek, dimensi ancaman, serta sumber daya; dan tidak semata-mata berdimensi tunggal yang berpusat pada negara. Konsekuensinya, pemahaman atas konsep pertahanan dan keamanan negara perlu diperluas untuk menjangkau bukan hanya keamanan sebuah negara sebagai entitas politik yang sah berdaulat tetapi juga keamanan manusia (human security).

Keamanan manusia meliputi enam kelompok hak sebagai berikut: (1) hak-hak dasar individu, mencakup: hak hidup, kedudukan sama di mata hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) hak-hak legal, mencakup: akses mendapatkan perlindungan hukum serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) kebebasasan sipil, meliputi: kebebasan berpikir berpendapat dan menjalankan ibadah agama/

18 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 21: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 19

kepercayaan; (4) hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses ke bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpenuhinya kebutuhan hidup minimum; (5) hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak rekreasi serta hak jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaran negara.

Sumber daya untuk melindungi keamanan nasional dalam pengertian seperti itu perlu disusun dengan memperhatikan kapasitas politik nasional, dinamika hubungan antarnegara di kawasan tertentu maupun global, demokrasi, hak-hak asasi manusia serta norma, kaidah, dan hukum-hukum internasional. Konsep maupun modalitas tersebut perlu ditempatkan dalam konteks dan perspektif yang tepat sehingga memberi peluang bagi pendayagunaan instrumen negara dan sekaligus menjamin perlindungan kepada kepentingan masyarakat baik sebagai kelompok maupun perorangan.

Pertimbangan kedua, dari sudut politik perumusan UU Keamanan Nasional merupakan kebutuhan mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mewujudkan sistem

keamanan nasional. Dalam sistem politik demokrasi, keamanan nasional tidak lagi semata-mata menjadi wilayah kekuasaan negara secara eksklusif tetapi menjadi wilayah bersama dari aktor-aktor yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan tentang keamanan nasional yang mencerminkan kepentingan aktor-aktor (stakeholders) yang lebih luas.

Pertimbangan ketiga berkaitan dengan kerangka legal. UU Keamanan Nasional diperlukan untuk: (1) mengoperasionalkan ketentuan UUD 1945 Pasal 30; (2) menutup ketidakkonsistenan dan sekaligus menyelaraskan regulasi-regulasi yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara seperti tertera di UU No. 2/2002 dan UU No. 3/2002 dan UU No. 34/2004; dan (3) mengisi sebagian kekosongan hukum di bidang keamanan nasional.

Berdasarkan tiga pertimbangan strategis tersebut, UU Keamanan Nasional merupakan simpul strategis yang dbutuhkan negara untuk membentuk sistem keamanan nasional yang integratif dalam suatu sistim politik yang demokratis. UU Keamanan Nasional dibutuhkan untuk memberikan pedoman yang jelas terhadap arah gerak instansi-instansi keamanan nasional.

Page 22: Strategic Outlook

20 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Sejak Oktober 2012 Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia merangkap Vanuatu; Pada tahun 2011-2012 menjabat sebagai Deputi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan bidang Koordinasi Politik Luar Negeri; 2006-2010 bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Uni Eropa, Belgia dan Luksemburg.

Asia di abad 21Abad 21 dinyatakan oleh banyak analis

sebagai masa terjadinya pergeseran center of gravity dinamika global dari Barat ke Timur. Fenomena pertumbuhan ekonomi Asia yang dahsyat, dengan rata-rata 4,5%, (RRC sekitar 9% dan Indonesia yang berturut-turut selama 5 tahun diatas 6%) telah mencengangkan dunia. Dari kacamata politik-strategis, dengan ASEAN berada ditengahnya, kawasan ini terus berupaya mengajak dunia untuk bermain cantik, meredam berbagai ketegangan melalui jalan dialog. Inilah abad dimana Asia menjadi primadona dan mempunyai daya tarik kuat bagi negara dikawasan lain, juga bagi negara-negara barat. Namun di pihak lain, sebagai kawasan yang sangat dinamis secara

ekonomi dan politik, Asia juga menyimpan aneka potensi konflik yang menyebabkan kawasan ini mendapat perhatian khusus .

Dalam berbagai literatur dan pendapat para pakar strategi, politik, pertahanan dan ekonomi, negara Asia yang saat ini dianggap memegang peran besar dalam percaturan internasional secara politik maupun ekonomi dan sangat layak diperhitungkan adalah China, Jepang, Korea Selatan, India dan Indonesia. Kelima negara ini memiliki karakteristik yang berbeda dari sisi jumlah penduduk, keragaman budaya, pertumbuhan dan kinerja ekonomi, stabilitas politik dan kekuatan militer sehingga dipandang akan menjadi significant players di abad 21 ini.

Indonesia sebagai Negara yang memegang

Oleh : Nadjib Riphat KesoemaDuta Besar Indonesia untuk Australia

Page 23: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 21

peran besar di ASEAN, anggota dari G20, APEC, Negara demokrasi ketiga terbesar, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, mau tak mau menjadi perhatian Negara-negara di kawasan dan di luar kawasan.

Bagaimana hubungannya dengan Australia? Secara geografis jarak terdekat antara titik terluar Indonesia dengan Australia tidak lebih dari 250 Kilometer. Indonesia adalah tetangga terdekat di Utara Australia yang memiliki perbatasan dengan Negara-negara ASEAN lainnya dan dengan perairan yang paling strategis yaitu Laut China Selatan. Walaupun Australia memiliki kedekatan secara geografis dengan Asia, namun dari latar belakang sejarah kebangsaan dan budaya Australia sangat berbeda dengan negara-negara Asia,

termasuk Indonesia. Australia saat ini masuk dalam kelompok Negara maju dan mempunyai hubungan tradisional yang kuat dengan AS, Inggris Raya (sekutu) dan Negara-negara barat lainnya. Australia secara aktif berperan sebagai anggota PBB yang ikut menciptakan perdamaian dunia. Di tingkat kawasan, Australia adalah salah satu partisipan dari East Asia Summit, bersama Indonesia sebagai penggagas Bali Process dan pendukung kuat dari Bali Democracy Forum serta anggota aktif Pacific Islands Forum (PIF) sehingga mempunyai hubungan erat dengan berbagai negara kawasan pasifik selatan. Australia pun merupakan sumber pemenuhan komoditas penting untuk Indonesia seperti gandum, kapas, produk pertanian dan peternakan serta peralatan

Page 24: Strategic Outlook

22 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

teknologi maju. Fakta ini menunjukan bahwa Australia adalah negara yang sangat strategis dan penting bagi Indonesia di kawasan Asia Pasifik.

Kebijakan Australia terhadap AsiaSecara mendalam Australia menganalisis dan

mengalkulasi berbagai tantangan dan peluang yang akan dihadapinya 20-30 tahun mendatang . Hasil kajiannya yang menyebut abad 21 sebagai abad Asia, mengarahkan Australia untuk mengambil kesempatan besar dari raihan yang dicapai Asia terutama di bidang ekonomi. Berbagai pandangan strategis dan rencana tertuang dalam peta jalan menuju masa depan sampai dengan 2025 yaitu White paper: Australia in Asian Century yang dicanangkan pada bulan Nopember 2012. Pada Buku Putih itu Australia melihat potensi kekuatan Asia di abad 21 dan tidak ada pilihan lain bagi negara tersebut selain melakukan penyesuaian kebijakan dan merapatkan diri kepada Asia, untuk meraih benefits dari pertumbuhan ekonomi Asia. Australia telah mengindikasikan bahwa China, India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia akan menjadi orientasi utama dan negara-negara target penting dalam membangun pondasi hubungan yang lebih erat dengan Asia.

Hubungan people to people menjadi kunci dari buku putih ini yang harus dibangun dan dikembangkan terhadap negara-negara kunci di Asia, termasuk Indonesia. Pemahaman budaya dan bahasa dari negara-negara tersebut akan terus diprioritaskan oleh Pemerintah Australia sebagai gerbang untuk mendekatkan diri kepada Asia. Pemahaman dari dua aspek yaitu budaya dan bahasa diharapkan akan memperkokoh jembatan yang menghubungkan Australia dengan Asia di berbagai bidang kehidupan berbangsa.

Tidak cukup dengan buku putih, pada bulan Januari 2013, menjelang pengumuman pelaksanaan Pemilu Nasional, Perdana Menteri Julia Gillard meluncurkan sebuah naskah penting dalam kehidupan berbangsa bagi Australia yaitu

National Security Strategy. Naskah yang berisikan berbagai tantangan, peluang dan harapan di bidang strategi pertahanan, dengan mitranya di tingkat global dan regional, secara spesifik juga memuat harapan yang besar dalam berhubungan dengan Indonesia baik dalam bidang kerjasama strategis, ekonomi dan budaya serta antar masyarakat. Di dalam National Security Strategy Australia 2013 menempatkan Indonesia sebagai Negara yang mempunyai pengaruh besar terhadap kestabilan keamanan di kawasan dan Australia. Australia melihat bahwa Indonesia mempunyai potensi besar untuk memainkan perannya dalam menjaga kestabilan di kawasan, dan atas dasar itu hubungan yang erat, khususnya kerjasama pertahanan dengan Indonesia menjadi salah satu prioritas bagi Australia

Peluang dan tantanganBagaimana Indonesia menyikapi

perkembangan ini? Saat ini hubungan bilateral Australia dan Indonesia berada pada tahap yang paling baik dan stabil, terutama pada tingkatan antar pemerintah (G to G). Mekanisme terpenting hubungan antar kedua negara telah disepakati untuk dilakukan setiap tahun, yaitu Pertemuan antara Kepala Negara (Annual Leaders’ Meeting), Pertemuan antara Menlu dan Menhan kedua Negara (2+2 Ministerial Meeting), Pertemuan Australia-Indonesia Dialogue yang melibatkan para tokoh masyarakat (second track) dari kedua Negara. Diluar mekanisme tersebut terdapat tingginya intensitas saling kunjung dari para pejabat kedua negara baik eksekutif maupun legislatif. Meskipun demikian, masih amat banyak peluang yang dapat diraih oleh Indonesia dalam hubungan Bilateral dengan Australia terutama dari sisi people to people link dan ekonomi.

Nilai Investasi Australia ke Indonesia sebesar US$ 89 juta (urutan 14 negara investor terbesar di Indonesia). Nilai perdagangan bilateral Indonesia-Australia 2011 berada di pusaran US$

Page 25: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 23

14 Milyar, namun angka ini masih relatif kecil dibanding volume perdagangan Australia dengan beberapa Negara ASEAN lain. Banyak komoditas dan produk manufaktur kebutuhan Australia yang saat ini dipenuhi oleh Negara Asia lain, sebenarnya dengan mudah dapat diisi oleh Indonesia, namun nyatanya belum terwujud, karena masih sangat asingnya kedua belah pihak terhadap satu sama lain. Demikian juga aneka kebutuhan pasar Indonesia yang saat ini diimpor dari Negara-negara Eropa bisa dipenuhi Australia. Saling mengenal antara para pebisnis kedua negara, karakter dan aturan main sangat perlu untuk ditingkatkan. Penyelesaian perjanjian IA-CEPA (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang diharapkan dapat menjadi push factor bagi peningkatan perdagangan kedua Negara perlu dipercepat.

Disadari oleh Australia, bahwa sebagaimana layaknya tetangga yang mempunyai latar belakang budaya yang sangat berbeda tentunya kebijakan pendekatan tehadap Asia harus didukung oleh pemahaman terhadap budaya dan bahasa Asia

Disadari oleh Australia, bahwa sebagaimana

layaknya tetangga yang mempunyai latar belakang

budaya yang sangat berbeda tentunya kebijakan

pendekatan tehadap Asia harus didukung oleh

pemahaman terhadap budaya dan bahasa Asia bagi

masyarakat Australia.

bagi masyarakat Australia. Sampai saat ini, Indonesia dan Australia telah berhasil membangun kerjasama pendidikan dalam berbagai skema dan program dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dengan menikmati standard pendidikan kelas dunia di Australia, dan juga membangun jaringan yang kuat generasi muda kedua Negara.

Dengan adanya kebijakan baru terhadap Asia ini, tentunya perlu dibangun suatu pola yang tidak hanya memberi kesempatan besar bagi masyarakat/generasi muda Australia untuk mempelajari budaya dan bahasa Indonesia, tetapi juga perlu dibangun mekanisme yang mendorong agar generasi muda Australia bergairah untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perlu kiranya ada intervensi dari pihak-pihak terkait di Indonesia untuk membantu upaya Pemerintah Austrilia mengajak warganya mempelajari budaya Asia. Hal ini merupakan Momentum yang tepat untuk menciptakan pondasi jembatan yang menghubungkan masyarakat kedua Negara, yang akhirnya

Page 26: Strategic Outlook

24 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

dapat menciptakan berbagai peluang kerjasama yang menguntungkan.

Berbagai tantangan yang harus dijawab atas kondisi ini adalah bagaimana inisiatif Australia terhadap terjalinnya hubungan yang solid kedua Negara dapat memberi manfaat bagi kemakmuran masyarakat Indonesia? Bagaimana kita bisa memanfaatkan kebijakan luar negeri Australia terhadap Asia untuk mendukung peran Indonesia memainkan perannya secara aktif dalam percaturan politk di kawasan dan global?

Sebagai gambaran dari pertanyaan pertama di atas adalah upaya percepatan pembangunan Indonesia bagian timur dapat menjadi bagian

dari roadmap kerjasama bilateral RI-Australia maupun kerjasama Trilateral RI-Australia-Timor Leste. Dengan kata lain, kita perlu segera mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang sekiranya dapat diperoleh melalui kerjasama dengan Australia, mengingat jalan yang tersedia akan semakin terbuka lebar.

Sedangkan terkait dengan peningkatan peran Indonesia di kawasan dapat digambarkan dengan adanya perkembangan dimana Australia mulai melihat Cina sebagai mitra yang perlu didekati secara komprehensif, mengingat naik turunnya hubungan Cina-AS akan memberi pengaruh kepada kestabilan di kawasan. Selain

Indonesia dan negara-negara kunci Asia lainnya, telah diposisikan sebagai mitra sekaligus jembatan utama bagi Australia untuk meningkatkan interaksi dengan Asia di abad 21.

Page 27: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 25

itu, kedekatan Australia dengan AS sebagai sekutu terkuat dan terdekat di kawasan Asia tidak selalu berefek positif bagi Australia di kawasan. Untuk itu, Indonesia sebagai Negara yang mempunyai hubungan dekat dengan Cina dan AS terdekat dan paling diperhitungkan oleh Australia perlu mengambil peluang ini sebagai momentum menjadi pihak yang dapat menjembatani kekuatan besar di Asia, sesuai dengan kepentingan nasional kita.

KesimpulanDari beberapa catatan di atas, maka terlihat

jelas gambaran umum hubungan bilateral RI-Australia di abad 21 ini dengan fakta fakta yatitu: pertumbuhan ekonomi Asia yang diatas rata-rata, ambisi Australia menjadi salah satu 10 negara dengan GDP terbesar di dunia, kebijakan Australia yang berorientasi terhadap Asia, kedekatan geografis RI-Australia, Indonesia sebagai partner terpenting Australia di kawasan, saling ketergantungan di berbagai bidang, kebutuhan atas stabilitas keamanan di kawasan membuat hubungan bilateral RI-Australia menjadi bernilai sangat strategis dan harus juga dikelola secara strategis dan terukur.

Langkah nyata berbentuk reaksi positif, terarah dan terintegrasi perlu dimunculkan terhadap berbagai gagasan Australia untuk mendekat dan kerjasama dengan Asia, khususnya Indonesia. Penyesuaian kebijakan yang signifikan dari Australia dalam menjalin engagement dengan Asia utamanya Indonesia telah dilakukan secara meluas. Indonesia tidak lagi dianggap sekedar halaman yang tak perlu diperhatikan atau bumper bagi Australia dalam menghadapi ancaman dari utara.

Indonesia dan negara-negara kunci Asia lainnya, telah diposisikan sebagai mitra sekaligus jembatan utama bagi Australia untuk meningkatkan interaksi dengan Asia di abad 21. Sebagai tetangga, mitra strategis serta jembatan

terdekat tentunya terdapat banyak peluang untuk direbut dan diisi, karena Indonesia akan mempunyai akses yang lebih besar tidak hanya untuk target Australia tetapi juga target ke Negara Asia lainnya.

Sebagai dua negara bertetangga dekat yang sangat berbeda satu dengan lain, tentunya sangat wajar jika terjadi pergesekan yang berasal dari salah pengertian, namun dampak buruk yang berasal dari hal ini dapat ditekan apabila terus dilakukan komunikasi positif dan kerjasama yang baik antar semua lapisan masyarakat. Adanya saling pengertian atas berbagai hambatan dan tantangan masing-masing Negara diharapkan akan mendorong dan menciptakan berbagai peluang kerjasama yang kuat dan solid demi masa depan bersama.

Canberra, 10 Februari 2013

Page 28: Strategic Outlook

26 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Dunia usaha Indonesia saat ini cukup kondusif walaupun masih banyak aspek yang perlu diperbaiki. Secara umum para pengusaha yang ada saat ini belajar banyak dari kejadian tahun 1997 dan 1998. Para pengusaha yang sering disebut pemain lokal dan dekat dengan kekuasaan di zaman Orde Baru selama 32 tahun berada dalam zona nyaman sehingga tidak waspada terhadap segala kemungkinan bisnis karena stabilnya iklim usaha saat itu. Paska 1998 terjadi titik balik dalam dunia usaha, pengusaha yang telah jatuh dalam krisis moneter justru semakin maju sekarang. Saat ini para pengusaha Indonesia banyak yang telah menjadi pemain internasional karena belajar dari kesalahan masa lalu.

Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan

ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan. Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, tata pemerintahan sangat stabil, stabilitas politik terbangun sehingga menunjang stabilitas ekonomi.

Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar

Oleh : Sofjan WanandiKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia 2003-saat ini

Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Pengusaha :Tinjauan Dunia Usaha Pasca Reformasi

Page 29: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 27

yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Hal itu berakibat kepada berkembangnya para pengusaha di zaman Orde Baru, hal ini tidak terjadi di Orde Lama saat Bung Karno memimpin karena masih kekurangan modal dan kesulitan di berbagai lini. Fokus Bung karno pada saat itu adalah peningkatan nasionalisme sehingga aspek ekonomi belum terlalu di prioritaskan .

Kebaikan yang ada pada saat Orde Baru yang paling menonjol adalah repelita (rencana pembangunan lima tahun) sehingga target mendirikan industri, perbaikan buruh dan pengelolaan sumber daya alam jelas. Pada masa

itu para pengusaha mulai menjalani usaha kecil-kecilan dan bermunculan banyak agen-agen di lapangan, para pengusaha mulai belajar memakai kekuatan buruh untuk membangun industri terutama yang terkait bahan yang dapat disubstitusi.

Pada Tahun 1998 usaha yang sudah berkembang selama 30 tahunan hancur karena ternyata usaha yang dibangun hanya dipermukaan tidak sampai ke dasar atau keropos. Para pengusah berlomba-lomba investasi dengan kelompok tertentu, sebagian kelompok menggurita dan hanya sebagian saja yang mendominasi. Selam orde baru berbagai usaha berkembangdengan salah satunya menguasai eksport dari tekstile, sepatu, barang tradisional, komoditi seperti kopi, karet, lada sampai kita masuk kelapa sawit, padahal dulu

Page 30: Strategic Outlook

28 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Kualitas sumber daya manusia yang rendah namun sumber daya alam yang too rich sehingga tidak seimbang dan memaksa pengusaha membangun infrastruktur dan menanggung cost nya lebih besar.

28 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 31: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 29

usaha utama hanyalah seputar minyak dan gas. Hal ini hancur pada saat krisis moneter dengan nilai tukar rupiah anjlok lebih 17.000/dollar.

Pasca 1998 betul-betul telah terjadi konsolidasi antar pengusaha, konsolidasi di bidang-bidang khusus, para pengusaha mulai belajar banyak termasuk bagaimana masuk ke industri yang lebih luas termasuk tekstil, sepatu sampai membangun kelapa sawit. Anak-anak pengusaha yang orang tua nya gulung tikar terkena krisis moneter banyak yang sekolah ke luar negeri dan kembali ke Indonesia untuk membangun perusahaan orang tuanya dari nol, ternyata anak-anak ini mempunyai pandangan yang lebih baik dan member efek positif dalam dunia usaha. Tidak sampai lima tahun setelah reformasi terjadi perbaikan yang signifikan dan tentunya dengan bantuan pemerintah serta berbagai upaya untuk terus berkembang sampai saat ini. Bahkan jika dibandingkan sebelum 1998 justru semakin maju dan kuat saat ini.

Kendala Dalam Dunia Usaha Pasca ReformasiSatu hal yang belum diperbaiki setelah krisis,

adalah efisiensi birokrasi di pemerintahan. Hal ini menjadi kendala tersendiri, justru pemerintah tidak mengefisienkan diri dan berubah dengan cepat. Para pengusaha berani mengefisienkan organisasi dengan PHK walaupun ini adalah jalan yang sulit, namun disisi lain birokrasi tetap gemuk. Pemerintah harus bertanggung jawab dalam pembenahan birokrasi di lingkungannya. Secara umum hal ini sangat dibutuhkan karena dinamika globalisasi hari ini membuat dunia usaha kita lebih kompetitif , jadi efisiensi dan efektivitas merupakan hal yang mutlak diberikan pemerintah dalam porsi apapun termasuk saat bekerjasama dengan pengusaha

Adanya kegemukan di birokrasi dengan tatanan yang tidak efektif menjadi salah satu kendala besar bagi dunia usaha paska reformasi. Seharusnya Ekonomi Indonesia dapat tumbuh

lebih dari 8% bahkan 9% namun sekarang hanya 6,2%. Sisa 2% nya terbayarkan untuk biaya demokrasi, otonomi daerah dan korupsi, bahkan otonomi daerah membuat birokrasi semakin gemuk. Para pengusaha dituntut berubah dan sudah banyak berubah terhadap lingkungan usaha dan manajemen organisasinya namun mengapa pemerintah tidak bisa seperti kami. Dengan adanya otonomi daerah dan demokratisasi cost birokrasi akan lebih mahal terbukti di APBD beberapa daerah jumlah belanja pegawai melebihi belanja modal.

Selain itu kendala lainnya adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah namun sumber daya alam yang too rich sehingga tidak seimbang dan memaksa pengusaha membangun infrastruktur dan menanggung cost nya lebih besar. Kondisi market juga tidak terpengaruh status Indonesia yang banyak disebut pihak asing sebagai negara demokrasi. Gelar negara demokrasi tidak lantas membuat negara maju mau menginvestasikan uangnya di Indonesia. Justeru sebaliknya negara maju lebih senang berinvestasi di China yang merupakan negara otoriter karena keamanannya lebih terjamin, sehingga janganlah terlena dengan gelar atau sebutan yang diberikan pihak asing. Para pengusaha harus tetap fokus terhadap pekerjaan rumah nya masing-masing.

Kendala selanjutnya menjadi pengusaha di Indonesia adalah karena tenaga kerjanya yang mayoritas unskilled sehingga membutuhkan cost tambahan untuk melatihnya. Dilema bagi pengusaha karena 50% buruh adalah unskilled hanya lulusan SD dan 6 % lulusan SMP dan SMA oleh karena itu Indonesia hanya bisa mengirim TKI jutaan orang setiap tahunnya.

Di sisi lain masalah upah minimum regional (UMR) yang harus dipenuhi pemilik usaha juga seringkali menimbulkan persoalan dan membenturkan selalu pengusaha versus buruh. Salah satu kesalahannya ada pada undang-undang, UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Page 32: Strategic Outlook

30 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

yang salah karena seharusnya upah minimum seharusnya ditentukan perusahaan tergantung jenis perusahaan dan besar kecilnya perusahaan. Pemerintah seharusnya menentukan safety nett nya saja agar perusahaan lebih fleksibel dan tidak ada yang dirugikan. Seharusnya UMR ada perbedaan bagi yang sudah menikah atau belum, bagi yang sudah berpengalaman atau belum. Keberatan akan UMR ini akhirnya membuat pengusaha memilih menggunakan mesin dan akhirnya mengimport teknologi serta barang dari luar yang akhirnya merugikan buruh sendiri.

Masalah dan kendala tersebut bermuara dari aturan, adapun aturan atau undang-undang yang menciptakannya Pemerintah sehingga di kawasan manapun para invrestor dan pengusaha berharap pemerintah bisa netral. Buruh boleh bicara apa saja dan akan didengar serta dihargai namun para pengusaha juga mempunyai hak yang sama, didengar dan dihargai. Sudah bukan zamannya buruh dibenturkan dengan pengusaha seperti ajaran komunis dan Karl Marx , saat ini Pengusaha dan buruh adalah partner, saling membutuhkan dan mengisi, tidak boleh ada yang dirugikan.

Peran ApindoApindo berperan dan berkontribusi dari ide

dan konsep pengembangan ekonomi nasional sampai berbagai program sosial. Pengusaha yang tergabung dalam Apindo ikut membuat Infrastruktur nasional, investasi anggota Apindo sampai 70% dari kekuatan ekonomi nasional termasuk PT Freeport di dalamnya. Pemerintah bisa mencapai kemajuan ekonomi sampai 6,2% itu karena salah satunya peran Apindo. Apindo membantu pemerintah mengambil resiko memajukan perekonomian nasional dari membuka lapangan pekerjaan, memberikan upah sampai kesejahteraannya.

Saran dan HarapanUntuk memperbaiki dunia usaha kedepan

khususnya dengan melihat persaingan global dan meninjau pengalaman yang ada maka Hal Pertama, Rubah Undang-undang No.13 Tahun 2003 mengenai….lalu Kedua, Perkuat Social Security dan Ketiga, Sama-sama bertanggung jawab terhadap buruh dan lingkungan kerja.

Harapan bagi Pemerintah kedepan, yang Pertama tegakkan kepastian hukum. Jangan ada overlapping aturan, jangan ada aparat yang memeras pengusaha, berikan keamanan untuk berusaha yang adil. Banyaknya pungutan liar akan membuat high cost economy dan Kedua, bangunlah infrastruktur di berbagai bidang karena akan mempercepat perekonomian dan membantu kami mengurangi cost usaha di Indonesia. Ketiga, Pemerintah dan pengusaha harus bertanggung jawab dan bersatu bersama, melakukan apa yang bisa dilakukan dan masing-masing pihak menjalankan peranannya. Selama ini pemerintah selalu kalah jika ada permasalahan karena Pemerintah tidak menggunakan SDM terbaik yang dimiliki republik, faktor subjektivitas masih sangat tinggi dilingkungan pemerintahan. Hal ini juga yang membuat Indonesia tidak siap bersaing dalam Asean Connectivity 2015 karena banyak tertinggal dari pendidikan sampai kesehatan apalagi infrastruktur. Tenaga SDM yang diperlukan Indonesia saat ini adalah tenaga ahli menengah, lulusan STM seperti technical school.

Para pengusaha Indonesia terutama yang tergabung dalam Apindo berkepentingan agar pemerintahan yang akan dipilih 2014 kedepan akan menjadi pemerintahan yang kuat. Jangan lagi ada pemerintahan lemah dan jatuh karena kesalahan yang sama.

.

Page 33: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 31

Page 34: Strategic Outlook

32 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

ABSTRAKIndonesia sebagai negara agraris yang

memiliki sinar matahari, sumber daya lahan dan air yang melimpah ternyata sangat tergantung pada pangan impor. Indonesia pada tahun 2012 mengimpor 1,8 juta ton beras (5 - 8 % dari kebutuhan), 1,7 ton jagung (8 -10 %), 1,9 juta ton kacang kedelai (70%), 6,3 juta ton gandum (100 %), 91,1 ribu ton gula pasir (50%), 40 ribu ton daging sapi (20%) dan 2,2 juta ton garam (50 - 60 % ). Ancaman terhadap ketahanan dan kemandirian pangan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkurangnya lahan pertanian akibat terjadinya konversi lahan ke non pertanian (sekitar 150.000 ha/tahun). Diproyeksikan dengan perhitungan konservatif (laju pertambahan penduduk terus

berkurang hingga 0,8%) pada tahun 2050 jumlah penduduk dapat mencapai sekitar 480 juta memerlukan sekitar 48 – 50 juta ton beras, 24,65 juta ton jagung, 3,04 juta ton kedelai dan 3,96 juta ton gula. Pemenuhan pangan pokok yang bergantung pada impor merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa. Peluang Indonesia untuk berswasembada pangan, bahkan berdaulat pangan dan menjadi lumbung pangan dunia (Indonesia feed the world) sangatlah besar. Lahan yang sesuai perluasan areal tanam pangan (ektensifikasi) masih tersedia sekitar 16,77 juta ha yang terdiri dari sekitar 3,51 juta ekosistem lahan basah (rawa) dan 13,26 juta ha ekosistem lahan kering. Di lain pihak, intensifikasi berbasis teknologi peningkatan produksi ramah lingkungan terpadu masih mampu meningkatkan

Oleh : Tualar SimarmataGuru Besar pada Program Studi Agroteknologi, Fakultas Perta-nian Universitas Padjadjaran

Page 35: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 33

produktivitas pangan sekitar 25 – 50% (padi menjadi 6 – 8, jagung 6 – 8 dan kedelai 2 -3 ton/ha). Perluasan aeral sekitar 5 – 10 juta ha dan dipadukan dengan program intensifikasi dan pemulihan kesehatan lahan (soil quality and soil helath) tidak saja menjadikan Indonesia berdaulat pangan tetapi mampu menjadi lumbung pangan dunia secara berlanjut. Kunci suksesnya antara lain adalah; (1) kebijakan anggaran yang berpihak pada sektor pertanian (setidak-tidaknya 10 – 15 % dari APBN)(saat ini masih < 3%), (2), pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang mendukung pertanian (waduk, jaringan irigasi, jalan, dll), (3) pengembangan agrobisnis pangan berbasis industri pedesaan, (4) peningkatan daya saing pertanian dan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan agrobisnis pangan berbasis pedesaan dengan

sepenuhnya memberdayakan petani sebagai mitra (plasma) dalam suatu managemen atau usaha. Misalnya perkebunan pangan (food estate) atau bentuk lainnya. BUMD, Koperasi dan badan usaha lainnya berperan sebagai inti dengan fokus kegiatannhya adalah industri pangan (pangan, tepung, pakan ternak, dan lain-lainnya) dan memberikan bimbingan teknis pada mitranya. Alokasi luas lahan untuk setiap petani di desain untuk mampu menjadikan petani menjadi makmur (memaksa petani menjadi kaya).

Kata Kunci: Ketahanan Pangan, Kemandirian pangan, Lumbung Pangan, intensifikasi, ekstensifikasi, impor pangan, petani kaya

I. PENDAHULUAN (NEGARA AGRARISSulit untuk dipahami bahwa ketahanan

Page 36: Strategic Outlook

34 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

pangan Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki sumber daya alam melimpah ternyata masih mengkhawatirkan (rawan) dan sangat tergantung pada impor. Indonesia pada tahun 2012 mengimpor 1,8 juta ton beras (sekitar 5-8%), 1,7 juta ton jagung (sekitar 8-10%), 6,3 juta ton gandum (100 %), 479,7 ribu ton terigu (100 %), 91,1 ribu ton gula pasir (50%), 40.338 ton daging sapi (20 %), 6.797 kg daging ayam, 2,2 juta ton garam (50 - 60%), 13,3 ribu ton singkong, 54,1 ribu ton kentang, 1,9 juta ton kedelai (60– 70 %) (BPS, 2012, BIN, 2012, PDSIP, 2012). Ketergantungan akan impor untuk bahan pangan strategis tersebut sekitar 5-8% beras, trigu 100%, kedelai 70%, gula 50% daging 20 % (Bin, 2012). Diperkirakan total nilai impor pangan tersebut pada tahun 2012 sekitar 80 triliun dan tahun 2013 naik menjadi 90 trilyun (Warta Eknomi, 2013, MITI, 2012). Ancaman terhadap ketahanan pangan maupun kemandirian pangan semakin serius (Setkab, 2013; MITI; 2013). Tampaknya, ketergantungan akan pangan impor akan terus meningkat. Bila tidak dilakukan penanganan dan antisipasi dengan baik dapat menyebabkan gejolak dan bencana pangan nasional. Krisis pangan telah terbukti dapat menyebabkan kekacauan dan runtuhnya kedaulatan di berbagai negara.

Jumlah penduduk di Indonesia pada tahun

2012 telah mencapai 241 juta jiwa dengan laju pertambahan sekitar 1,4% per tahun, konsumsi beras sebagai pangan utama sekitar 135 - 139 kg/kapita/tahun. Diperkirakan dalam waktu sekitar 40 tahun (doubling time) atau pada tahun 2050 jumlah penduduk di Indonesia akan mencapai sekitar 480 juta jiwa (Simarmata, 2008; Simarmata, 2009; Simarmata et al., 2011). Proyeksi kebutuhan pangan pokok dengan perhitungan yang konservatif, maka tahun 2050 Indonesia memerlukan 48 – 50 juta ton beras atau 80 – 90 juta ton GKG (asumsi konsumsi beras menurun dari 139 kg menjadi 100 kg/kapita/tahun), 24,65 juta ton jagung, 3,04 juta ton kedelai, 12,73 juta ton ubi kayu, 3,96 juta ton gula dan 0,36 juta ton daging (Tabel 1) (BPS, 2012; Pambudi, 2013). Hal ini berarti untuk dapat berswasembada untuk 3 komoditas pangan utama setidak-tidaknya diperlukan sekitar 17 – 18 juta ha areal panen padi (produktivitas 4,5 – 5 ton/ha), 5 juta ha areal jagung (produktivitas 4 - 5 ton/ha), dan 2,6 juta ha luas areal kedelai (produktivitas 1,5 – 2,0 ton/ha). Hasil kajian mengindikasikan bahwa untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan pangan dan berkurangnya lahan sawah akibat konversi lahan ke non pertanian sekitar 150.000 ha per tahun, khususnya beras setidak-tidaknya diperlukan pertambahan produksi sekitar 5% per

Tabel 1. Proyeksi kebutuhan bahan pangan pokok 2010-2050 (Sudaryanto et al. 2010)

TahunKebutuhan pangan pokok (000 ton)

Beras Jagung Kedelai Ubi Kayu Gula Daging2010 33.065 16.859 2.057 9.727 2.175 2442015 35.123 17.420 2.222 10.337 2.346 2632020 37.021 18.940 2.381 10.901 2.530 2812025 38.720 19.407 2.531 11.408 2.727 2982030 40.183 20.812 2.668 11.845 2.940 3142035 42.317 21.145 2.791 12.203 3.169 3282040 44.500 22.400 2.896 12.475 3.416 3402045 46.787 23.569 2.980 12.653 3.681 3492050 48.182 24.650 3.043 12.735 3.966 356Tren + 0,92 0,68 0,98 0,67 1,50 0,94

Page 37: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 35

tahun. Konsekuensinya diperlukan upaya dan terobosan teknologi untuk meningkatkan produksi tanaman dengan signifikan secara berlanjut, melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi (Apriyantono, 2009; Simarmata, 2008; Simarmata et al. 2012)

Pada dasarnya, modal utama untuk mengembangkan pertanian di Indonesia sudah tersedia dengan melimpah (keunggulan komparatif). Sumber energi untuk tanaman sebagai pabrik atau mesin biologis (fotosintesis) yaitu sinar matahari melimpah (sekitar 12 jam per hari), luas daratan sekitar 188,8 juta hektar dan luas perairan laut 450 juta ha, sumber daya air sangat melimpah, sumber daya manusia sekitar 241 juta jiwa, dan didukung oleh berbagai teknologi tepat guna maupun teknologi modern. Semestinya peluang untuk menjadikan Indonesia berdaulat pangan, bahkan menjadi lumbung pangan dunia (Indonesia feed the world) sangatlah besar. Sangatlah ironis, ternyata untuk berswasembada pangan saja, tidak mampu?. Permasalahan utamanya antara lain adalah (1) kebijakan yang belum berpihak pada sektor pertanian dan pengembangan infrastruktur pertanian. Dari sekitar 1600 triliun ABPN tahun 2012, alokasi untuk sektor pertanian hanya sekitar 40 triliun (sekitar < 3%) padahal jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian sekitar 70%, (2). Infrastruktur pertanian tidak memadai dan sangat mengkhawatirkan, (a) aksesibilitas`ke sentra pertanian tidak memadai, (b) jaringan irigasi sudah banyak yang rusak , (c) hampir tidak ada penambahan waduk/bendungan selama kurun 20 tahun terakhir untuk menjamin ketersediaan irigasi, (2). Sistem produksi yang tidak efisien akibat kurangnya dukungan infrastruktur dan luas lahan usaha tani yang relatif kecil mengakibatkan produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk pangan impor (globalisasi perdagangan) (3) perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan resiko dan kegagalan panen semakin

meningkat., (4). Luas lahan potensial (arable land) masih banyak yang belum dimanfaatkan.

Upaya untuk mengantisipasi masalah ancaman terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan maupun kemandirian pangan atau menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dapat dilakukan sebagai berikut:

Perluasan Areal Panen. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan menggenjot peningkatan luas area panen dari yang sekarang 12 juta ha menjadi 20 – 30 juta ha atau naik 10 – 20 juta ha secara bertahap dan terencana dalam waktu 10 tahun. Perluasan areal tanaman mutlak diperlukan untuk meningkatkan produksi pangan dan mengimbangi terjadinya konversi lahan penggunaan non pertanian. Tanpa perluasan areal akan terjadi persaingan atau kompetisi antar komoditas pertanian. Misalnya, bila luas areal tanaman jagung meningkat maka akan terjadi penurunan luas areal panen tanaman kedelai atau tanaman pangan lainnya. Potensi perluasan areal untuk pengembangan tanaman pangan di Indonesia masih tebuka luas, bahkan dapat dimanfaatkan untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan

Intensifikasi. Program intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas padi sekitar 25 – 50% yaitu dari 5 ton/ha menjadi 6 – 8 ton/ha. Meningkatkan produktivitas rata-rata menjadi 6 – 8 ton dengan pola sawah konvensional relatif sulit. Upaya peningkatan produktivitasnya tampaknya semakin sulit karena sebagian besar lahan pertanian di Indonesia (lahan sawah maupun lahan kering) sudah termasuk lahan kelelahan dan sakit (fatigue and sick soils). Sekitar 70 % lahan sawah memiliki kandungan bahan organik sekitar 1,5% dan 90 % lahan kering memiliki kandungan C-organik sekitar 1–1,5% sudah terdegradasi berat atau sakit berat (Simarmata dan Yuwariah, 2009; Simarmata et al., 2011; Simarmata et al., 2012.). Implementasi teknologi hemat air (IPAT-BO = intensifikasi padi aerob terkendali berbasis

Page 38: Strategic Outlook

36 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

organik) berbasis kompos jerami (pupuk organik) dan pupuk hayati dengan konsep menagamen pemupukan ramah lingklungan terpadu (integrated eco-friendly fertilizers management) dapat diadopsi memulihkan kesehatan maupun kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman secara berlanjut (sustainable agricultural practises).

Mengendalikan Pertambahan Jumlah Penduduk. Pengendalian pertambahan jumlah penduduk berkaitan dengan ketahanan pangan. Pertumbuhan penduduk diharapkan dalam waktu yang relatif singkat dapat diturunkan, bahkan diupayakan menjadi zero growth melalui program keluarga berencana.

Diversifikasi Pangan. Pola konsumsi pangan yang terfokus pada beras sangatlah rawan. Untuk itu perlu dilakukan diversifikasi pangan sehingga tingkat konsumsi beras 139 kg/kap/tahun harus diturunkan menjadi 70 – 90 kg/kapita/tahun. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras berkaitan dengan tingkat penghasilan. Masyarakat miskin (penghasilan rendah) mengkonsumsi beras jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi.

Upaya Terpadu. Permasalahan ketersediaan dan ketahanan pangan sangat kompleks.

Konsekuensinya, diperlukan upaya peningkatan produksi dan program ketahanan pangan melalui perluasan, intensifikasi, diversifikasi pangan dan pengendalian pertambahan jumlah penduduk secara terpadu (Simarmata, 2008).

Bagaimanakah peluang Indonesia meningkatkan produksi pangan secara berlanjut, bagaimanakah potensi dan daya dukung sumber daya lahan untuk meningkatkan produksi pangan?, upaya dan strategi apakah yang dilakukan untuk menjadikan Indonesia mampu berdaulat pangan, bahkan mampu menjadi lumbung pangan dunia (indonesia feed the world) khususnya beras, menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.

II. KETERSEDIAAN LAHAN DAN KERAGAAN PRODUKSI PANGAN2.1. Ketersediaan Lahan

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki total luas daratan sekitar 188,2 juta ha yang terdiri dari 144 juta ha lahan kering dan 44,20 juta ha lahan basah (Hidayat dan Mulyani 2002; Ritung et al, 2011). Sekitar 94,07 juta ha dari total luas daratan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pertanian (arable land) atau yang sesuai untuk pertanian (BBSDLP 2008; Las dan Mulyani,

Tabel 2. Keragaan luas ekosistem lahan basah (rawa) dan lahan kering (nonrawa) yang sesuai untuk perta-nian (Mulyani et al, 2011)

Pulau

Lahan Rawa (juta ha) Lahan non Rawa (juta ha)

JumlahLBS (Sawah) TS TT LBS

(Sawah) TS TT

Sumatera 1,49 0,16 1,67 3,70 7,59 11,51 26,18

Jawa 0,057 0 0,018 0,31 1,96 2,77 9,11Bali dan Nusa Tenggara - 0 0 0,48 1,23 1,63 3,34

Kalimantan 1,91 0 1,41 3,51 8,95 12,26 28,04

Sulawesi 0,23 0,10 0,018 1,69 0,69 0,77 6,51

Maluku dan Papua 0,11 0 0,71 7,92 4,40 7,80 20,96

Indonesia 3,80 0,26 3,82 21,62 24,83 39,74 94,.07

LBS = Lahan basah semusim, TS = Tanaman Semusim, TT = Tanaman Tahunan.Sumber: BBSDLP (2008)

Page 39: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 37

2009; Mulyani et al, 2011). Lahan yang telah dimanfaatkan untuk pertanian sekitar 70,17 juta ha sehingga masih terdapat sekitar 23,90 juta ha yang dapat dikategorikan sebagai lahan potensial untuk perluasan pertanian (Tabel 2). Lebih lanjut pada Tabel 2 terlihat bahwa`lahan yang sesuai sekitar 24,5 juta ha yang terdiri dari 4,41 juta ha lahan rawa dan 20,15 juta ha lahan kering. Lahan yang telah dimanfaatkan sebagai lahan sawah adalah sekitar 0,927 juta ha lahan rawa dan 6.860 juta ha lahan sawah (Mulyani dan Agus, 2006; Mulyani et al, 2011). Hal ini berarti lahan potensial untuk ekstensifikasi (perluasan areal) produksi pangan (padi, jagung, kedelai atau komoditas pangan lainnya) masih tersedia dengan luasan yang cukup besar yakni sekitar 16,77 juta ha yang terdiri dari sekitar 3,51 juta ha ekosistem lahan rawa dan 13,26 juta ha ekosistem lahan kering. Lahan-lahan potensial yang cukup luas untuk tanaman pangan, umumnya tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.

2.2.. Keragaan Produksi dan ProduktivitasData BPS (2012) memperlihatkan bahwa

luas`areal panen tanaman padi dalam 3 tahun terakhir sekitar 12 - 13 juta ha dengan tingkat produktivitas tanaman padi sekitar 4,9 – 5,1 ton/ha, jagung sekitar 3,9 – 4,0 juta hektar dengan tingkat produktivitas 4,4 – 4,8 ton/ha, dan kacang

kedelai sekitar 0,56 – 0,66 juta ha dengan tingkat produktivitas sekitar 1,4–1,5 ton/ha (Tabel 4).

Secara garis besar tampak pada Tabel 4, bahwa produktivitas dari 3 komoditas utama relatif jauh lebih rendah dari potensi hasil atau produktivitas dari hasil kajian dengan memanfaatkan teknologi dan managemen input baik. Adopsi teknologi hemat air (IPAT-BO), pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan teknologi lainnya baik dengan pengelolaan air irigasi yang tepat mampu menghasilkan sekitar 8 – 10 ton padi per hektar atau mendekati, bahkan melebihi potensi hasil. Hal ini berarti untuk menaikkan produktivitas`padi menjadi 6 - 8 ton/ha dapat dicapai dengan mudah. Adopsi teknologi pemupukan pada tanaman jagung, mampu menghasilkan jagung sekitar 8 – 12 ton/ha atau mendekati potensi hasil tanaman jagung hibrida yaitu sekitar 10 – 14 ton/ha. Hal yang relatif sama juga terjadi pada tanaman kedelai, produktivitas rata-rata saat ini masih jauh lebih rendah dari potensi hasil sekitar 3 – 4 ton/ha atau hasil kajian sekitar 3 ton/ha. Hal ini berarti bahwa, peluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya) sebesar 25 – 50 % masih sangat besar (Simarmata et al. 2011; Simarmata and Yuwariah, 2009).

III. MENJADI LUMBUNG PANGAN ??

Table 3. Keragaan ketersediaan lahan yang telah digunakan dan yang potensial untuk perluasan aeral perta-nian pada ekosistem lahan basah (rawa) dan lahan kering (LK) (Mulyani dan Agus, 2006)

Pulau

Lahan Sesuai (juta ha)

Eksisting Lahan Sawah (juta ha)

Lahan Potensial untuk Ekstensfikasi (juta ha)

Rawa LK Rawa Irigasi Rawa LK Total

Sumatera 2.432 3.617 0.509 1.604 1.924 2.013 3.937

Jawa 0.124 4.463 0.002 3.341 0.122 1.121 1.242

Bali + NTT 0 0.482 0.0096 - - 0.085 0.085

Kalimantan 1.425 1.587 0.412 0.556 1.014 1.038 2.044

Sulawesi 0.310 2.075 0.0030 0.961 0.307 1.113 1.421

Papua + Maluku 0.148 7.891 0 0 0.148 7.891 8.040

Total 4.441 20.115 0.927 6.860 3.514 13.255 16.770

Page 40: Strategic Outlook

38 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Berdasarkan analisis ketersediaan lahan dan tingkat produktivitas tanaman pangan utama (padi, jagung, kedelai), seharusnya Indonesia tidak hanya mampu untuk mencapai kemandirian maupun kedaulatan pangan, tetapi mampu menjadi lumbung pangan dan menjadi eksportir pangan (Indonesia feed the world). Upaya peningkatan produksi pangan dilakukan melalui (1) Intensifikasi dan ekstensifikasi (perluasan areal). Peluang meningkatan produksi melalui program intensifikasi masih sangat besar. Implementasi teknologi intensifikasi dengan dukungan infrastrukur pengairan (perbaikan dan penambahan jaringan irigasi) dan teknologi pemupukan terpadu (pupuk organik, pupuk hayati dan anorganik) dapat meningkatkan produktivitas padi dari sekitar 5 ton menjadi 6 -8 ton/ha. Bila luas areal panen saat ini sekitar

12 juta hektar, maka total produksi yang dicapai menjadi sekitar 72 – 86 juta ton GKG per tahun. Hasil berbagai kajian intensifikasi saat ini dengan memanfaatkan benih unggul, pengairan, pemupukan dan pengendalian OPT dan penanganan panen dan pasca panen, untuk mencapai tingkat produktivitas padi menjadi 8 ton masih relatif mudah (Simartmata, 2008; Simarmata et al., 2012). Keberhasilan program intensifikasi sangat tergantung pada upaya pemulihan sawah yang telah tergradasi akibat rendahnya kandungan bahan organik tanah. Sekitar 73 % lahan sawah sudah terdegrasi dan 90 % lahan kering sudah terdegrasi berat sehingga termasuk kategori lahan sakit (sick soils). Pemulihan kesehatan dan kesuburan lahan sawah maupun lahan kering dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah pertanian maupun limbah perkotaan sebagai bahan kompos

Tabel 4. Keragaan perkembangan luas panen (LP), produksi dan produktivitas tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) di Indobesia (BPS, 2012)

Tahun Padi Jagung Kedelai

LP(Juta ha)

Produksi(juta ton)

Prodkt(ku/ha)

LP(juta ha)

Produksi(Juta ton)

Prodkt(ku/ha)

LP(juta ha)

Produksi(juta ton)

Prodkt(ku/ha)

2000 11,8 51,9 44.0 3,5 9,7 27.7 0,82 1,01 12.3

2001 11,5 50,5 43.9 3,3 9,3 28.5 0,67 0,83 12.2

2002 11,5 51,5 44.7 3,1 9,6 30.9 0,54 0,67 12.4

2003 11,5 52,1 45.4 3,3 10,9 32.4 0,53 0,67 12.8

2004 11,9 54,1 45.4 3,3 11,2 33.4 0,56 0,72 12.8

2005 11,8 54,1 45.7 3,6 12,5 34.5 0,62 0,88 13.0

2006 11,8 54,4 46.2 3,3 11,6 34.7 0,58 0,75 12.9

2007 12,1 57,2 47.1 3,6 13,3 36.6 0,50 0,59 12.9

2008 12,3 60,3 48.9 4,0 16,3 40.8 0,59 0,77 13.1

2009 12,9 64,4 50.0 4,2 17,6 42.4 0,77 0.97 13.5

2010 13,2 66,5 50.2 4,1 18,3 44.4 0,66 0,91 13.7

2011 13,2 65,7 49.8 3,9 17,6 45.7 0,62 0,85 13.7

2012 13,4 69,0 51.4 3,9 19,4 48.9 0,56 0,85 15.0

Page 41: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 39

Keberhasilan program intensifikasi sangat tergantung pada upaya pemulihan sawah yang telah tergradasi akibat rendahnya kandungan bahan organik tanah.

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 39

Page 42: Strategic Outlook

40 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

atau pupuk organic. Pemulihan kesuburan lahan sawah dengan memanfaatkan kompos jerami dan pupuk hayati memerlukan waktu sekitar 3 tahun atau 6 musim tanam (Simarmata et al, 2012). Oleh Karena itu, pengelolaan bahan organik tanah secara terpadu merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi secara berlanjut.

Upaya peningkatan produksi melalui perakitan benih berumur genjah atau super genjah memegang peranan penting untuk menggenjot produksi tanaman pangan di masa mendatang. Tanaman padi varietas unggul baru (VUB) saat ini rata-rata berumur sekitar 110 – 120 hari sehingga penanaman maksimal 2 - 3 kali dalam setahun. Bila umur padi dapat dipersingkat menjadi sekitar 70 hari (super genjah) maka penanaman dapat dilakukan hingga 4 kali dalam setahun (IP 400).

Sebagaimana diuraikan di atas potensi ekstensifikasi atau perluasan tanaman pangan masih terbuka lebar (Tabel 3). Dengan memperluas`areal tanam sekitar 5 juta ha, maka luas areal sawah akan menjadi sekitar 13 juta hektar. Bila setahun 2 kali tanam dengan tingkat produktivitas sekitar 5 ton/ha, maka produksi padi dapat mencapai 130 juta ton/tahun atau setara dengan 78 juta ton beras (rendemen 60 %). Bila dilakukan penambahan areal 10 juta ha, maka luas areal tanam sekitar 18 juta ha akan mampu menghasilkan sekitar 190 juta ton gabah/tahun atau sekitar 114 juta ton beras. Pergiliran atau rotasi penanaman, secara langsung akan meningkatkan luas tanam dan panen komoditas pangan lainnya. Adopsi pola tanam padi-padi-jagung atau kedelai secara langsung akan meningkatkan produksi jagung atau kedelai dengan sangat signifikan dan mampu menjadi eksportir jagung dan kedelai..

Kunci sukses pengembangan pertanian tanaman pangan sangat tergantung pada infrastruktur irigasi dan jalan. Pada dasarnya pembangunan insfrastrukur ini sekaligus sebagai motor penggerak roda ekonomi berbasis pedesaan.

Pembangunan berbasis pedesaan akan membuka kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan dan mengurangi urbanisasi. Tanpa dukungan infrastruktur dan managemen pengelolaan air, maka Indonesian akan selalu berlinang air mata. Menangis pada musim hujan karena banjir dan menangis pada musim kemarau karena kekeringan. Sejak 3 dekade terahkir pembangunan waduk dan jaringan irigasi praktis tidak berarti, bahkan jaringan irigasi yang sudah ada setidak-tidaknya sekitar 25% sudah tidak berfungsi atau rusak. Salah satu kendala utama dalam memanfaatkan lahan basah ekosistem rawa adalah sangat tergantung pada managemen tata air dan dukungan aksesibilitas (jalan). Walaupun biaya untuk membangun sistem pengairan dan tata air (jaringan irigasi) maupun jalan relatif besar, tetapi dalam jangka pendek pembangunan fisik menjadi penggerak ekonomi, dalam jangka panjang berperan dalam menjamin ketahanan dan kemandirian pangan atau kedaulatan pangan serta pengembangan sentra ekonomi berbasis pedesaan. Di berbagai tempat di Indonesia setiap tahun dilanda banjir karena buruknya managemen pengelolaan air. Pengelolaan air secara langsung akan meningkatkan ketersediaan air pada musim kemarau dan mengurangi bencana banjir.

Modal utama dalam pertanian yaitu sinar matahari yang tersedia gratis sepanjang tahun, tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan pada musim kemarau sinar matahari dibiarkan berlalu atau disia-siakan. Bila keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia tersebut, dipadukan dengan kebijakan yang berpihak pada pembangunan sektor pertanian akan mampu menjadikan Indonesia berdaulat pangan dan menjadi lumbung pangan dunia. Adapun upaya dan strategi untuk menjadikan Indonesia berdaulat pangan antara lain adalah:

Program perluasan areal pertanian pada lahan basah (rawa) dan ekosistem lahan kering. Penambahan areal sekitar 1 juta ha per tahun,

Page 43: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 41

maka dalam 10 tahun Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia

Program Intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan melalui:1. Pengembangan benih unggul berumur genjah

dan super genjah sehingga dapat melakukan tanam dan panen 4 kali dalam setahun (IP 400). Saat ini sudah mulai dikembangkan padi berumur super genjah (70 hari), hanya produktivitasnya masih rendah.

2. Managemen bahan organik tanah dan teknologi pemupukan ramah lingkungan terpadu (eco-friendly fertilizer management) untuk memulihkan kesehatan & kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman secara berlanjut. Penggunaan pupuk organik (kompos jerami) dan pupuk hayati (biofetilizers) dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 50% dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.

3. Pengembangan teknologi hemat air (water saving technologi). Salah satunya adalah IPAT-BO (intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik). Hasil lapang dari tahun 2007 – 2012 di berbagai tempat di Indonesia, IPAT-BO selain mampu meningkatkan produksi setidak-tidaknya 25%-50%, juga mengurangi penggunaan air sekitar 30-40%, mengembalikan kesuburan lahan dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25% (Simarmata et al., 2011)

4. Peningkatan efisiensi usaha tani dengan memanfaatkan alat dan mesin pertanian (Alsintan) dan pengelolaan panen dan pasca panen. Di berbagai daerah telah terjadi kelangkaan tenaga kerja dan berkurangnya minat orang bekerja dalam pertanian konvesional semakin sedikit. Oleh Karena itu penggunaan mesin tanam, pengolah tanah, panen dan pasca panen merupakan

keharusan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lahan pertanian

5. Intensifikasi padi lahan kering (padi gogo). Kontribusi padi gogo saat ini sekitar 5% dari total produksi padi dengan tingkat produktivitas yang masih rendah sekitar 2 ton. Adopsi teknologi intensifikasi dengan benih unggul dapat meningkatkan produktivitas padi gogo hingga 3 – 4 ton/ha.

6. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) terpadu. Salah satu kendala yang menyebabkan kegagalan atau berkurangnya hasil tanaman adalah gangguan OPT. Implementasi pengendalian OPT terpadu diharapkan mampu mengendalikan OPT dan meningkatkan hasil serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan

7. Adopsi dan implementasi berbagai teknologi untuk mengantisipasi perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global.

8. Pembangunan Infrastruktur Pengairan dan Jalan. Faktor pembatas utama pertanian adalah (1) sinar matahari sebagai sumber energi bagi tanaman sebagai mesin biologis, (2) ketersediaan air (mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis dan penyerapan hara), (3) sumber daya lahan sebagai media tanam, (4) sumber daya manusia dan (5) teknologi yang efisien. Pertumbuhan tanaman sepenuhnya tergantung faktor sinar matahari, ketersediaan air dan nutrisi. Akibatnya, pertanian merupakan pabrik biologis yang sangat bergantung pada kondisi alam dan faktor eksternal yang sulit atau tidak dapat dikendalikan. Pertanian konvensional sepenuhnya bergantung pada kondisi agroekologis. Akibatnya, dinamika pertumbuhan dan perkembangan tanaman bervariasi sesuai dengan kondisi agroekologis. Pembangunan infrastruktur irigasi dapat mengurangi ketergantungan pada alam secara signifikan dan mengurangi tingkat kegagalan

Page 44: Strategic Outlook

42 EDISI 1 | FEBRUARI 201442 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 45: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 43

setidak-tidaknya hingga 90%. Ketersediaan air sawah irigasi menyebabkan produksi lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan padi lahan kering (padi gogo). Konsekuensinya, pencapaian ketahanan atau kemandirian pangan di Insdonesia sangat tergantung pada pembangunan sarana dan prasarana pengairan. Infrakstruktur jalan merupakan faktor pembatas utama di sentra pertanian. Buruknya aksesibilitas menyebabkan biaya tinggi dan produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk impor dari manca negara. Sebagian besar infrastruktur pengairan (waduk, bendungan dan jaringan irigasi) sudah tidak berfungsi dengan baik akibat terjadinya pendangkalan dan kerusakan jarangan irigasi.

9. Pemulihan Kesehatan dan kesuburan lahan sawah yang terdegradasi. Kesehatan dan kesuburan lahan sawah di Indonesia saat ini sudah sangat kritis dan sebagian besar sudah tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Akibatnya, respon terhadap pemupukan semakin melandai (leveling off) dan produktivitas padi rata-rata nasional dari tahun 1990-an sampai tahun 2006 hanya sekitar 4,6 ton per hektar dan kualitas tanah terus menurun (BPS, 2012). Tanah yang telah mengalami degradasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai lahan sawah sakit dan kelelahan (sick soils and fatigue). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian mengungkapkan bahwa saat ini, sekitar 73 % lahan sawah (sekitar 5 juta ha) memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah sampai rendah (C-organik <2%), 22 % memiliki kandungan C-organik sedang (2 – 3 % C-org) dan 4 % memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3% C-org). Upaya pemulihan kesehatan dan kesuburan tanah relatif mudah, yaitu dengan meningkatkan

kandungan bahan organik tanah hingga > 2%. Sumber utama kebutuhan bahan organik yaitu jerami tersedia dalam jumlah yang besar di lahan atau limbah pertanian lainnya. Potensi produksi jerami sekitar 10 ton/ha (sekitar 1,5 x hasil gabah) atau setara dengan 4 – 6 ton kompos jerami/ha/musim (Simarmata et al., 2011). Potensi jerami sebagai pupuk untuk mensubstitusi pupuk anorganik sangat besar yaitu setiap 5 ton jerami setara dengan 75 kg urea, 25 kg SP-36 dan 125 kg KCl. Kompos jerami selain kaya akan C-organik (sekitar 30 -40%), juga mengandung hara yang lengkap baik makro (1,5 % N, 0,3 – 0,5 % P2O5, 2 – 4% K2O, 3 – 5 % SiO2) maupun mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo) dan mengandung organisme menguntungkan. Pengembalian jerami atau aplikasi 2 – 5 ton kompos jerami per hektar dan pupuk hayati mampu mengurangi pupuk anorganik sekitar 25 – 50 % meningkatkan produksi dan memulihkan kesehatan tanah dalam waktu sekitar 3 tahun (Simarmata et al, 2012; Simarmata, 2012).

10. Peningkatan Daya saing dan kualitas SDM. Daya saing merupakan faktor yang sangat menentukan keberlanjutan pertanian Indonesia. Kondisi eksis saat ini menunjukkan bahwa berbagai produk pertanian Indonesia khususnya tanaman pangan dan hortikultura tidak mampu bersaing dengan produk impor. Upaya meningkatkan daya saing dapat dilakukan dengan pembangunan, maupun perbaikan infrastruktur dan pengembangan teknologi yang efisien (on farm and off farm)) untuk mendukung pertanian dan meningkatkan efisiensi usaha tani. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya petani dan pengembangan industri berbasis pedesaan merupakan faktor penting untuk menaikkan daya saing. Selain itu, daya saing berkaitan erat dengan luasan usaha tani. Usaha tani yang relatif kecil di Indonesia mengakibatkan usaha

Page 46: Strategic Outlook

44 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

tani kurang efisien dan berbiaya tinggi.11. Pengembangan Agrobisnis Pangan

berbasis Pedesaan untuk mendesain petani menjadi kaya dan usaha tani yang berdaya saing. Pengembangan pertanian pangan melalui ekstensifikasi pada basah atau lahan kering merupakan momentum untuk memberdayakan masyarakat dan menciptakan usaha tani yang kompetitif atau berdaya saing. Oleh karena itu, dukungan kebijakan yang konsisten untuk membangun sarana dan prasarana sangat diperlukan dalam pengembangan pertanian yang efisien. Pola pengembangan agribisnis berbasis pedesaan dan perberdayaan masyarakat dalam suatu managemen pertanian moderen dalam suatu kawasan (1000 – 10.000 ha) sebagai perkebunan pangan (food estate) atau bentuk lainnya dapat digunakan menjadikan petani makmur (memaksa petani menjadi kaya). Misalnya, pengembangan agrobisnis pangan berbasis tanaman pangan (padi, jagung atau tanaman lainnya), setiap petani mengelola lahan yang memenuhi skala usaha yang efisien (untuk padi dan jagung sekitar 5 ha) dalam suatu mangemen (BUMD atau Swasta dengan dukungan kebijakan dari pemerintah membentuk sutau pola inti dan plasma. Petani berperan sebagai plasma dan Inti berperan dalam memberi bimbingan teknis dan mengembangkan industri hilir (Industri penggilingan beras, pakan ternak, dst). Bila seorang petani mengelola lahan sekitar 5 ha dan menanam padi dan menghasilkan 6 ton gabah/ha per musim tanam, maka dalam setahun menghasilkan 5 x 6 x 2. = 60 ton GKG x Rp 4000/kg = Rp. 240.000.000 per tahun. Ditambah penghasilan dari tanaman sela kedelai atau jagung satu kali dalam setahun. Bila kedelai dengan hasil 2 ton/ha, maka menghasilkanl 5 x 2 ton = 10.000 kg x Rp 5000 = Rp. 50.000.000 per tahun

atau tanaman jagung dengan produktivitas 6 ton/ha menghasilkan 5 x 6 x Rp 3000 = Rp 90.000.000,-. Dengan penghasilan di atas Rp 20 juta per bulan pastilah petani menjadi makmur. Hal ini berarti bahwa impian menjadikan petani menjadi kaya dapat terwujud

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan paparan dan uraian di atas dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:1. Sebagian besar pangan pokok (beras, jagung,

kacang kedelai, terigu, gula, daging dan pangan lainnya) masih bergantung pada impor sehingga ancaman terhadap ketahanan dan kemandirian pangan semakin serius

2. Adopsi dan implementasi intensifikasi berbasis teknologi ramah lingkungan terpadu masih mampu meningkatkan produktivitas tanaman pangan sekitar 25 – 50%, yaitu padi dari 5 ton menjadi 6 – 8 ton/ha, jagung dari sekitar 4 ton menjadi 6 – 8 ton dan kedelai dari sekitar 1,5 ton menjadi sekitar 2 – 3 ton/ha.

3. Indonesia memiliki lahan potennsial yang sesuai untuk perluasan tanaman pangan, yakni sekitar 16,77 juta hektar yang teridiri dari 3,51 juta ha ekosistem lahan basah (rawa) dan 13,26 juta ha ekosistem lahan kering.

4. Peningkatan produksi melalui Intensifikasi dan dipadukan dengan perluasan areal sekitar 5 – 10 juta ha akan menjadikan Indonesia mampu berdaulat pangan dan menjadi lumbung pangan dunia (Indonesia feed the world) secara berkelanjutan

5. Pembangunan dan perbaikan infrastruktrur pertanian (waduk, jaringan irigasi dan jalan) merupakan kunci sukses pengembangan tanaman pangan dan mengurangi ketergantungan pada alam, meningkatkan efisiensi usaha tani dan daya saing serta meningkatkan kesejahteraan petani

6. Program ekstensifikasi dapat dipadukan dengan

Page 47: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 45

pengembangan agrobisnis berbasis pedesaan berpola kemitraan dalam suatu unit usaha atau perkebunan pangan (food estate) dengan memberdayakan petani/masyarakat sebagai mitra. BUMD, Koperasi atau swasta sebagai inti (mitra strategis) dalam mengolah hasil pertanian tanaman pangan (industri hilir) dan petani sebagai plasmanya mengelola lahan dengan luasan optimal sekitar 5 ha.

7. Kunci sukses keberhasilan Indonesia menjadikan berdaulat pangan dan lumbung pangan adalah keberpihakan kebijakan alokasi anggaran setidak-tidaknya sekitar 10 -15% dari total APBN (saat ini < 3 % ) untuk membangun sektor pertanian yang efisien, berdaya saing tinggi dan memakmurkan petani.

PUSTAKAApriyantono, A. 2009. Kebijakan dan strategi pengembangan lahan

pertanian untuk keberlanjutan ketahanan pangan dan pengembangan bioenergi. hlm. 9−12 Dalam Prosiding Semiloka Nasional Strategi Penanganan Krisis Sumber Daya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi.Fakultas Pertanian, IPB, Bogor

BBSDLP. 2008. Potensi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal Pertanian. BBSDLP, Bogor.

BIN. 2012. Hari Pangan Sedunia: Ancaman Krisis Dalam Kemandirian Pangan Indonesia. http://www.bin.go.id/wawasan/detil/141/3/25/09/2012/hari-pangan-sedunia-ancaman-krisis-dalam-kemandirian-pangan-indonesia

BPS. 2012. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id/aboutus.php?pub=1&pubs=47

BPS. 2012. Luas Panen dan Produktivitas Tanaman Pangan di Seluruh Indonesia. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 246

Las, I. dan A. Mulyani. 2009. Sumber daya lahan potensial tersedia untuk mendukung ketahanan pangan dan energi. hlm. 64−74 Dalam Prosiding Semiloka Nasional Strategi Penanganan Krisis Sumber Daya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi.Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

MITI. 2012. 10 Bahan Pangan Indonesia Masih Impor. http://beranda.miti.or.id/?p=664

MITI, 2013. Menyongsong Kedaulatan Pangan Indonesia. http://beranda.miti.or.id/?p=688

Mulyani, A. and F. Agus. 2006. Potensi Lahan Mendukung Revitalisasi Pertanian. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding/mflp2006/ani.pdf

Mulyani, A., S. Ritung, dan I. Las. 2011. Potensi dan Ketersediaan Sumber DayaLahan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011. pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3302115.pdf

Pambudi R. 2013. Proyeksi Ketahanan Pangan Indonesia. http://rachmadpambudi.wordpress.com/2013/01/04/proyeksi-ketahanan-pangan-indonesia/

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (PDSIP) . 2012. Buku Saku Statistik Makro Pertanian.Vol. 4 No. 2. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/e_makro/tw2-2012/buku-saku-tw2-2012.pdf.

Ritung, S., Z. Abidin, Sunaryo dan Nurmegawati.2010. Identifikasi Potensi Lahan Terlantar dan Bekas Tambang di Kalimantan Timur Seluas 3 Juta ha, Skala 1:250.000 untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Biofuel. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Setkab. 2013. Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian. http://www.setkab.go.id/artikel-6833-.html

Simarmata, T. 2008. Teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) untuk melipatgandakan produksi padi dan mempercepat pencapaian kedaulatan pangan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada tanggal 2 Mei. 2008 di Universitas Padjadjaran.

Simarmata, T. 2009. Less water for better soil biological activity and growth of paddy rice in system of organic based aerobic rice intensification. Presented Paper on Internasional Seminar of Sustainable Resources Development: Management of Water and Land Resources from October 6th – 8th 2009 in Central Kalimantan. Prosiding of Internasional Seminar of Sustainable Resources Development: Management of Water and Land Resources from October 6th – 8th 2009 in Central Kalimantan

Simarmata, T. 2012. Teknologi Pemulihan Kesehatan Dan Peningkatan Produktivitas Lahan Suboptimal Untuk Mempercepat Pencapaian Kedaulatan Pangan Di Indonesia. Makalah pada Workshop Konsorsium Lahan Suboptimal tanggal 23 – 24 Februari 2012 di Palembang

Simarmata, T. and Y. Yuwariah. 2009. Water Saving And Reducing Inorganic Fertilizers Technology For Increasing The Soil Biological Activity and Rice Productivity In System Of Organic Based Aerobic Rice Intensification (SOBARI). Prosiding of Internasional Conference & Seminar: Agriculture on Crossroad, November 25 – 26th, 2009 in Padjadjaran University, Bandung Indonesia

Simarmata, T., Benny Joy and Mahfud Arifin. 2012. Agricultural Soils And Practices for Enhancing The Food Security In Indonesia. Paper on Conference of Agriculture Development and Studies 27-30 March 17-30th 2012, at Campus of Agriculture Faculty, University of Ain Syams, Syubra Khaima, Cairo

Simarmata, T., B. Joy and T. Turmuktini, 2011. Management of Water Saving and Organic Based Fertilizers Technology for Remediation and Maintaining The Health of Paddy Soils And To Increase The Sustainability of Rice Productvity In Indonesia. Call Paper on Conference of Sustainable Agriculture and Food security: Challenge and Opportunities, 27 – 28 September 2011, University of Padjadjaran Bandung - Indonesia

Simarmata, T., B. Joy and T. Turmuktini, 2011. Water Saving and Organic Fertilizers Based Technology to Remediate the Health of Paddy Soils and to Increase Rice Productivity in Indonesia. Tropentag 2011. University of Bonn, October 5 - 7, 2011.

Simarmata, T., Tien Turmuktini, Anya Citraresmi and Benny Joy. 2012 Application of Straw Compost and Biofertilizers to Remediate The Soils Health and To Increase The Productivity of Paddy Rice In Indonesia. Paper presented on Tropentag, September 19 - 21, 2012 in Göttingen, Germany.

Sudaryanto, T., R. Kustiari, dan H.P. Saliem. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan tahun 2010−2050. hlm. 1−23 Dalam Buku Analisis Sumber Daya Lahan Menuju Ketahanan Pangan Bekelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, hlm. 163

Warta Ekonomi. 2013. Kala Impor Pangan Kian Merisaukan. http://wartaekonomi.co.id/berita7682/kala-impor-pangan-kian-merisaukan-bag-i.html

Page 48: Strategic Outlook

46 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Revisiting Indonesia’s Grand Strategy and Looking Ahead“Near-term policies have long-term consequences, and a central responsibility of grand strategy is a concern with the long term rather than merely the immediate.”

Steven D. Biddle1

IntroductionBy one definition, grand strategy is an

overarching concept guiding how a nation employs all instruments of national power to shape the strategic environment for achieving its specific, well defined national security objectives. For lack of guidance a nation falls, but many advisers make victory sure (Proverbs 11:14).2 As Liddle Hart said, while the horizon of strategy is bounded by the war, grand strategy looks beyond the war to the

subsequent peace.3 This essay explores Indonesia’s grand strategy

that emerged in the wake of democratic era, particularly during President Yudhoyono era (2004 – current).

With the respect toward the tremendous efforts of grand strategy development during the reformation era, transcending from President B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, through the incumbent President SB Yudhoyono; the Indonesia’s grand strategy has inherent weaknesses in its premises, focus, and implementation. What Indonesia’s current grand strategy looks like, what went wrong with that, and what it should be become the central thesis question of this essay. I argue that Indonesia needs to revisit its grand strategy and shift toward the big-push strategy.

By : Wibawanto Nugroho Former International Fellow from Indonesia at US National Defense University, Washington DC. Currently a PhD Presi-dential Fulbright Scholar at the GMU School of Public Policy, Arlington – VA.

Page 49: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 47

National Interests, End-State, and Indonesia’s Grand Strategy

Indonesia, a non-nuclear power4 and the world’s largest archipelagic country, is located between two oceans (Indian and Pacific) and two continents (Australia and Asia), has three of the world’s most strategic sea lanes (Malacca, Lombok, and Sunda Strait), 17500 islands, and 240 million people (the fourth largest populous country in the world). Amid this, the country has socio-demographic complexities it faces in its progress toward democratic cohesion and economic development. To be precise, Indonesia is now the world’s 16th-largest economy, rapidly growing due to a combination of domestic consumption and productivity growth. McKinsey & Company predicts that by 2030 Indonesia could be the world’s 7th largest economy.

Based on these national interests, the strategic objectives of Indonesia’s grand strategy fall into four broad categories: territorial integrity and maintaining national unity; internal stability; national political, economic, and social development; and regional-international stability.

To achieve these strategic objectives, Indonesia’s current grand strategy is based on three underlying premises: inward looking, in-depth total defense, a non-alliance policy sustained by the slogan of “a thousand friends and zero enemies” and the bebas aktif policy (traditional free and active foreign policy).5 Indonesia is also bound to the title VII of UN Charter where according to Indonesia’s interpretation, it will only use its military forces overseas for the peacekeeping purpose, not for the peace enforcement and preemptive or preventive strikes.

Page 50: Strategic Outlook

48 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Correspondingly, Indonesia’s grand strategy is a multilayered,6 inextricable strategy combining military and non-military elements (diplomacy, information, economy, intelligence, law enforcement, psychology-strategic culture, and technology) all the way through multifaceted web of connections to Southeast Asia (ASEAN)7 and international world in deterring threats, securing and advancing national interests, and dealing with other multidimensional challenges.8 Strategic deterrence encompassing military and non-military layers as the integral part of Indonesian Defense Posture (2009 – 2029) has become a new feature of Indonesia’s current grand strategy.9

International Logic of Current Indonesia’s Grand Strategy

The propensity of global environment is much different than that of the Cold War era; the world has now become a partially multi-polar world. As such, five trends shape the logic of Indonesia’s current grand strategy.

First, the rise of Asia in terms of its vibrancy, dynamism, economic growth, and also its risks influence the current Indonesia’s grand strategy. Specifically, the emergence of India and China as an economic, political, and military powers are also an important factor in shaping the strategic environment in the region that in turn impacts Indonesia’s national interests.10

Second, the U.S. preeminence still influences the balance of power and power politics in the Asia-Pacific region, and President Obama’s pivot

strategy in Asia-Pacific has a significant and influential impact for the region and Indonesia. Through Indonesia – U.S. comprehensive partnership, Indonesia’s grand strategy is to some extent aligned with President Obama’s Asia Pacific policy.11

Third, Indonesia sees that the distribution of benefits in globalization as the key economic challenge for Asian states where the weaker states have relatively benefited less than the stronger states. The economies of major Asian states are generally sound, but frictions among states over effects of the foreign direct and portfolio investment diversion, oil prices, trade, energy supply, and currency valuations will potentially generate friction among regional actors in Asia. For example, since the ASEAN – China Free Trade Agreement came into effect on January, 1 2010 Indonesia has been importing more from China than China has from Indonesia.12

Fourth, the military power in the region and Indonesia’s non-alliance foreign policy significantly shape Indonesia’s grand strategy. Besides the five permanent members of UN Security Council, other countries such as Japan, India, Malaysia, Singapore and Australia have grown their military power in the region giving strategic implications for Indonesia. A regional defense pact, Five Power Defense Agreement (FPDA) consisting of UK, Australia, New Zealand, Singapore, and Malaysia has become an Indonesia’s concern. Correspondingly, as a non-allied country,

Figure 1. Indonesia’s General Figure on Economy2012 2030

Economic Size 16th-largest 7th largest

Consuming Class 45 million 135 million

Productivity 53% of the population in cities producing 74% of GDP

71% of the population in cities producing 86% of GDP

Skilled workers in the economy 55 million skilled workers in the Indonesia’s economy

113 million skilled workers needed

Market opportunity in consumer services, agriculture and fisheries, resources, and education

$0.5 Trillion $1.8 Trillion

Source: The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential (McKinsey Global Institute, September 2012)

Page 51: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 49

Indonesia has a strong interest in making ASEAN strong and solid, and this interest impacts Indonesia’s grand strategy that places ASEAN as a priority.13

Fifth, other security challenges, including those in different regions, are also shaping Indonesia’s grand strategy. These challenges include the issues in the Middle East, Islamic radical terrorism, WMD and nuclear proliferation,14 cyber security, the advanced use of space for military purposes, borderless world, environmental security, energy security, food security, clean water sufficiency, and growing significance of non-state actors.

Figure 2. Multifaceted Web of Connections through ASEAN15

██ ASEAN full members; ██ ASEAN observers; ██ ASEAN candidate members; ██ ASEAN + 3; ███ East Asia Summit; ██████ ASEAN Regional Forum.Source: www.asean.org

Figure 3. Indonesia, ASEAN, and Other Multilateral Bodies

(Note: in 2011U.S. and Russia were added into East Asia Summit).16

Source: CSIS

Domestic Logic of Current Indonesia’s Grand Strategy

Indonesia’s inward looking national security mainly deals with domestic issues: territorial integrity; internal stability and security; democratic development; accelerated economic growth and equitability, and social development.

First, territorial integrity is a sensitive issue for Indonesia, particularly after Indonesia lost two of its islands to Malaysia, the separation of East Timor, recent separatist movements in Aceh and the ongoing separatist movements in Papua. In addition, China’s encroachment in the region (e.g. the South China sea) and infiltration of religious radicalism from the Middle East have added other complexities into Indonesia’s national security. Such challenges have pushed national security planners to shift from President Soeharto’s concentric policy focusing on Java Island into a policy that focuses more on development and security building outside Java and on Indonesia’s remote islands.17

Second, Indonesia’s post-independence history has been highlighted with examples that indicate how internal fractures such as Islamic radicalism, separatism, and communal conflicts have permitted global rivalries to pervade the country and exacerbate domestic conflicts. As a result, throughout history Indonesia’s national security has been multifaceted and intermingled with the domestic, regional, and international environments, where domestic aspects dominate grand strategy and national security formulation.18

Third, Indonesia is committed to build its democratic society and strengthen participative democratization by reforming various institutions and processes. Indonesia is being observed by the global community as an example of secular credentials which adopt a positive stance against Islamic radical terrorism. In the context of domestic and international challenges, Indonesia is

Page 52: Strategic Outlook

50 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

a nation that is reawakening. Fourth, even though Indonesia is now the

world’s 16th-largest economy, its economic disparity becomes a serious challenge for the nation’s democracy. With Gini Coefficient - inequality index - of 37% and around 100 millions of its population (40%) still live on less than $ 2 dollar per day, Indonesia is still far from providing a quality democracy for its people.19

Fifth, other social issues such as education, justice, corruption, pluralism, religious intolerance, energy scarcity, infrastructure development, electricity, water, and public health are also haunting Indonesian government and significantly impacting Indonesia’s grand strategy.20

What Went WrongAccording to the 2012 Foreign Policy Failed

States Index, Indonesia is in the danger category, ranked 63rd (1st is the worst) and scored 80.6 (114.9 is the worst). In terms of Human Development Index (HDI) Indonesia also ranks lower than five of its ASEAN counterparts, with Singapore leading (26th place), followed by Brunei (33rd), Malaysia (61st), Thailand (103rd) and the Philippines (112nd). Indonesia’s 2011 HDI placing, which scores 0.617 (124 out of 185), however, is still higher than that of Vietnam (128th), Laos (138th), Cambodia (139th) and Myanmar (149th).21

There are a number of reasons contributing to this condition. These reasons fall into two broad categories: the vagueness of Indonesia’s grand strategy and weak presidential leadership that reflects a failure to secure Indonesia’s center of gravity. According to Clausewitz, “one must keep the dominant characteristics of both belligerents in mind. Out of these characteristics a certain center of gravity develops, the hub of all power and movement, on which everything depends. That is the point against which all our energies should be directed.”

Ambiguous PremisesI was involved to drafting Indonesian

Defense Posture 2009 – 2029, and in my view this

argument is not entirely true. But, this argument has its partial truth given the fact that Indonesia keeps increasing the variety of its weapon system portfolio, ranging from China, Russia, Israel, U.S., and other Western countries. Such procurement policy hinders the interoperability and increases maintenance costs. In other words, Indonesia’s defense posture and procurement reflects its ambiguous grand strategy and foreign policy.

A number of Indonesian and foreign analysts also argue that in dealing with China’s rising, Indonesia is also ambiguous. Indonesian foreign policy is marked by the paradigm of win-win solutions, through which it reduces the risk of diplomatic backlash by making everybody happy. Instead, this policy is often frustrating for Indonesia’s ASEAN neighbors such as Vietnam and Philippines, which have border disputes with China over the South China Sea. This ambiguous policy has the impact of showing that Indonesia lacks the commitment to stand together with other ASEAN countries against such territorial threats.

Many argue that although in the short-run Indonesia’s win-win approach works to serve its interests in maintaining the regional status quo and its peaceful relationship with U.S. and China; in the long-run this unclear and ambiguous policy can undermine Indonesia’s ASEAN (ambitious) vision and its own credibility in international affairs. By sticking to this behavior, Indonesia keeps its position as a country that is more reactive, rather than being a country that acts strategically by shaping the environment.

Ignorance of Strategic CultureThis is ironic since national ideology is

the center of gravity for a nation. The lack of invigoration leads to the fragmentation of society, infiltration by Islamic radical ideology, rampant corruption, economic disparity, and ambiguous attitude toward war and strategic environment. Not only that, based on a number of surveys, Indonesians generally feel that they have been outperformed by Malaysians in terms of GDP per capita, national security, and Human Development

Page 53: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 51 Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 51

Page 54: Strategic Outlook

52 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Index.22 Therefore, the invigoration of national ideology as the strategic culture for 240 million Indonesians is very important, since strategic culture influences morale that impacts strategic outcomes. This importance is captured by many military strategists.

These ideas are well captured by Almond and Verba (1965), who argue that the nation’s strategic culture includes a commitment to certain values like democratic principles, ideas about morality and the use of force, the rights of individuals and collectivities, and predispositions toward the role of a country in the world. Traditional analyses of peace and conflict have also pointed to the influence of strategic culture throughout history. From Sun Tzu’s Art of War into Western understanding of peace and conflict as a result of Thucydides’ commentary on the Peloponnesian War and Clausewitz’s writings on the nature of war, it is clear that there are competitions between various strategic cultures that impact the overall society.

Ineffectiveness in Addressing Domestic Issues and Ambitious Foreign Policy

The international community will respect Indonesia if it can solve its domestic problems and become a strong nation, rather than just by making a series of rhetoric statements in its foreign policy. Ineffectiveness at solving its domestic problems and grandiose political rhetoric in the international community will only widen the gap between the reality of domestic politics and foreign policy. This is what I call as the ideals exceeding the means.

First, Indonesia should tame its population explosion by managing its 1.6% of annual birth rate.

Second, Indonesia needs to maximize its vast natural resources not only for the macro economic growth, but also for the economic equitability and accelerated development across the archipelago.23 In other words, Indonesia should look at the long term sustainability and shift the significant amount of investment into the people.

Third, Indonesia needs a strong and effective

government, as opposed to the current weak government that is characterized by inefficiency and corruption. According to many sources, Indonesia at least lost $20 billion dollar per year of its resources (e.g. forestry and fishery) since 1998.

Fourth, Indonesia needs to specifically address its economic disparity (37% of Gini Coefficient).24 Disparity will create instability, where instability cannot create prosperity.

Fifth, Indonesia needs to bolster its infrastructure development and electrical capacity across the archipelago.

Sixth, Indonesia needs to assure that its strategic culture and government can ensure pluralism and religious tolerance as well as thwarting the growth and underlying causes of Islamic radicalism.

Less Focus on Quality Human DevelopmentIndonesia’s current grand strategy does

not integrate the importance of quality human development, but rather focus on the acceleration of basic education sufficiency. As of today, Indonesian government only allocates a tiny percentage of its budget for advance education, intellectual property as well as research and development.25

Indonesia is endowed with vast natural sources of power (e.g. energy, mining, agriculture, and fishery). However, natural resources of power are not sufficient to determine the strength of archipelago. In fact, the incapability or failure of managing these resources will lead Indonesia into a despair where wide geography becomes porous and susceptible to threats; unmanaged over-population becomes the precursor for various social problems (e.g. unemployment and crime); and mismanagement of rich natural resources will lead a nation into a vicious relationship of the resources-curse (a country with rich potential resources, but poor in socio-economic conditions).

Therefore, it is important for Indonesia’s grand strategy to emphasize the production of superb human assets equipped with strategic skill and mindset. It will definitely take time, and

Page 55: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 53

education is a key to that. Like Benjamin Franklin once said, “an investment in knowledge will pay the best interest.” World history has proven that the quality of human resources is the most significant determining variable for the competitive advantage of a nation. The key is not natural instruments of power, but rather the quality of mind that knows how to manage such given natural resources.

Lack of Strategic LeadershipStrategic leadership plays critical roles in the

weakness of Indonesia’s current grand strategy and its ineffective implementation. A number of analysts argue that the President’s decisions and policies during the last eight years have widened the gap between what he has achieved at the domestic level and what he has projected in the international community with his political rhetoric and jargons.

According to most of his critics, the President’s leadership style at the domestic level appears as indecisive, image-building oriented and superficial, all of which are reflected in Indonesia’s foreign policy since 2004. His critics argue that his presidential leadership is ineffective if we measure it from Machiavelli’s principle of leadership. He fails to exploit his virtu, fails to grab the fortuna, and fails to become a respected and effective leader.

However, for the purpose of building a learning and educated democratic society, we need to build a leadership framework to measure the effectiveness of Indonesian presidential leadership from president Soekarno to President Yudhoyono since it is important for Indonesians to take more objective lesson learnt from their Presidents.

Looking Ahead: Toward a Big-Push StrategyLooking forward, Indonesia needs to revisit its

grand strategy, massively reinvigorate Indonesian national secular ideology (Pancasila), and execute strong, effective presidential leadership. The revisit of a grand strategy along with massive reinvigoration of Pancasila and strong, effective presidential leadership is required if Indonesia wants to achieve its target in the future. In order to achieve the target of becoming the world’s 7th

largest economy in 2030 with a stable democracy, Indonesia has to deal with several challenges that can be categorized into two broad categories: national security and economy.

National Security

Overarching national security is the prerequisite to achieve Indonesia’s 2030 target. Indonesia needs to ensure that its national security system addresses all four interrelated layers: human security; public security; internal security; and external security. Having said that, future leadership needs to pass national security bill into an act. The national security bill that has been drafted since 2006 and passed to the Congress in 2011 divides Indonesia’s national security into these four interrelated layers. However, until today this bill has not been passed into an act. This act should become the foundation of Indonesia’s national security: grand strategy; national security architecture; system; and policy.

First, human security which focuses on human rights and human development - education, health, welfare - must become the central of Indonesia’s national security to address current challenge in low Human Development Index (rank 124 of 185 in the world).

Second, public security which focuses on law enforcement and public order since is important to ensure the supremacy of the law. Currently, two main challenges of law enforcement and public order is corruption and weak protection of minority rights. To be precise, until today there are no less than 281 executive leaders at the local level (e.g. governors and mayors) are involved in the legal issues either as the witness, suspect, defendant, and prisoner.26 Indonesia needs to tackle the root causes of corruption not only within the government but also outside the government, and consistently enforce the law if Indonesia wants to secure its long-term goals. Along with that, since Indonesia is a secular country with a positive law (not Shari’a law), central government and national leadership need to be adamant in enforcing the domestic law, including by giving sanctions against

Page 56: Strategic Outlook

54 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

local government leaders who act in opposition with Indonesia’s secular ideology and positive law.

Third, internal security which focuses on internal stability is to ensure that Indonesia is politically and socially stable. To achieve this stability, the Indonesian government should properly address two main challenges for its internal security, which are separatism and Islamic radical terrorism.

Fourth, external security which focuses on territorial integrity is critical to Indonesian sovereignty. In the last ten years, Indonesia has lost two islands to Malaysia and has lost about $20 billion per year from illegal fishing and illegal logging due to poor management of its external security.27 Indonesian government should ensure that its military has the required resources to uphold its territorial integrity, including border controls to deal with human trafficking, smuggling, and other unconventional, transnational threats.

EconomyIndonesia’s economy has enormous promise.

During period of 2010 – 2012 Indonesia has 5% of average economic growth, decreasing share of government debt as a share of GDP that is lower than in the vast majority of advanced economies, and decreasing inflation from double into single figures. However, Indonesia is at a critical juncture since its archipelago economy is confronting four major challenges if it aims to secure its target in 2030.

First, from 2012 to 2030 Indonesia needs to boost its labor productivity growth by 70% from the rate achieved from 2010 to 2012.28 Labor productivity is an important variable for Indonesia’s economic growth since labor productivity has accounted for more than 65% of economic growth over the past two decades.

Second, Indonesia needs to address the issue of inequality. With current Gini Coefficient - the

54 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Page 57: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 55

inequality index - of 37% and around 40% out of its 240 million of population still live on less than $2 dollar per day, Indonesia is still far from providing a quality democracy for its people.

Third, Indonesia needs to ensure that infrastructure development and energy security will be able to correspond with projected growing of economic consumption in the long-run. While infrastructure development must be accelerated and distributed evenly across the archipelago, Indonesia also needs to utilize its conventional sources of energy such as coal, natural gas, and oil as well as unconventional sources of energy such as coal-bed methane, next-generation bio-fuels, geothermal power, and biomass. Some experts and think-tanks predict that for the next two decades Indonesia could meet up to 20% of its energy needs by turning to unconventional sources.

Fourth, Indonesia needs to tackle problems relating to the high cost economy deriving from politics and excessive bureaucracy. In regard to politics, Indonesia needs to lower its high political cost. Since Indonesia embraced democracy in 1998, many experts assess that Indonesian politics has spent no less than $1.5 Billion per year for local, provincial, and general elections combined.29 In regard to excessive bureaucracy, Indonesia needs to ensure that its bureaucracy meets the good governance standard of United Nations which is consensus oriented, participatory, following the rule of law, effective and efficient, accountable, transparent, responsive, equitable, and inclusive.

The big-push strategy is required to bolster and accelerate Indonesia’s domestic development through strong leadership, effective governance, and reinvigoration of Indonesia’s strategic culture.30 Domestic development should involve several key aspects: internal security; law enforcement; accelerated economic development and equitability across the archipelago (the opening of new quality living spaces throughout the archipelago); education; employment; environmental security;31 food security; the sufficiency of clean water; energy security (conventional and unconventional sources)32 for domestic industry; accelerated

development of electrical, transportation, and other infrastructure; research and technology; and the strengthening of Indonesia’s agricultural sector (60% Indonesians work as farmers who only receive 3% of current annual government spending).

By having its own economic strength, many experts have been optimistic that Indonesia will benefit from the global shifting of economic and political power to Asia.33 If Indonesia becomes strong economically and politically, it can absorb economic sources (e.g. portfolio and foreign direct investment) and political power coming to the region. Indonesia’s economic, cultural, and democratic success can also create its unique soft power, and make Indonesia a good alternative to China for economic, business, and political affairs, where it can attract investors, speculators, businesses, organizations, and countries. Not only that, successful democratic Indonesia can also become an inspiration or beacon for the Islamic world.

The current build-up is aimed to keep up with the recent military technology available in the global market and to accelerate the modernization process of Indonesian weapons system. However, the real next challenge is how to ensure that this blueprint can be progressively well implemented for the next two decades (until 2029), along with the capability development in cyber and space that have not been seriously touched by Indonesian defense planners. As a result Indonesia often avoids conflict by prioritizing negotiation over violence and supporting multilateral solutions. This attitude might be true, but not always right in terms of policy choice.

I personally argue that Indonesia needs to revisit two of its grand strategy’s underlying premises: non-alliance policy and inward looking approach. Many problems such as terrorism and separatism are partially triggered by Indonesia’s incapability in dealing proactively beyond its borders. The big-push strategy also needs to seriously consider these two aspects should Indonesia want to evolve as a nation that can shape

Page 58: Strategic Outlook

56 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

strategic environment more effectively. Sun Tzu stated two-and-a-half-thousand years

ago that the aim of warfare is not to destroy the enemy but to bend his will, and that the primary target in any war is not the enemy’s organization but his strategy. Having said that, future studies will be needed to develop the ideas elaborated in this short essay, which is the elaboration of Indonesia’s future grand strategy - the big-push strategy - in much greater detail.

End-Notes

(Endnotes)1 Steven D. Biddle, “American Grand Strategy After 9/11: An

Assessment,” Strategic Studies Institute (April 2005): 18. http://www.carlisle.army.mil/ssi.2 Where there is no counsel, the people fall; But in the

multitude of counselors there is safety (The NKJV Maxwell Leadership Bible).

3 According to Clausewitz, the original means of strategy is victory – that is……; its ends, in the final analysis, are those objects which will lead directly to peace (Howard and Paret, 1976: 143)

4 Sriyana (Indonesian National Nuclear Energy Agency); Current Status of Indonesia’s Nuclear Power Programme Presented in IAEA Technical Meeting/Workshop on Topical Issues on Infrastructure Development: Managing the Development of National Infrastructure for NPP; Vienna, 24 – 27 January 2012).

5 This policy was initiated by the Indonesian first President, Soekarno. The Soekarno leadership was a populist rezime, which was keen on seeking international support from anywhere including India, China, U.S., and Soviet Union. At the same time the rezime also supported Afro-Asian nations and the Non Aligned Movement (NAM) under the principle of ‘free and active’ (bebas dan aktif) policy. The orientation of policy encompasses national, regional, as well as international. As a new modern nation state, it learn to be assertive, meaning critical, in international forum against the domination of US, British and Western nation in the United Nations. It cut connections with the former colonial master in terms of language, bilateral relations and other post-colonial structure. The policy was actually idealistic as well as pragmatic. Later his policy has been nurtured (with some adjustments) by his successors until today.

6 Multilayer strategy is influenced by Confucian doctrines like Guanxi, which is reciprocal relationships and Yizhan, which is principle of just or righteous warfare emerging in the Ancient China. According to contemporary international political sociology, Guanxi could mean a network of balanced interactions among states, each with many layers below the surface. Guanxi is different from the balance of power ensuing from formation of alliances and confrontation among them.

7 ASEAN: Association of South East Asian Nations consists of Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, Laos, Burma, Cambodia, and Brunei Darussalam. ASEAN covers a land area of 4.46 million km², which is 3% of the total land area of Earth, and has a population of approximately 600 million people, which is 8.8% of the world’s population. The sea area of ASEAN is about three times larger than its land counterpart. In 2010, its combined nominal GDP had grown to U.S.$1.8 trillion. If ASEAN were

a single entity, it would rank as the ninth largest economy in the world, behind the United States, China, Japan, Germany, France, Brazil, the United Kingdom, and Italy.

8 These multidimensional threats include ideological, political, economic, socio-cultural, technological, informational, and threats to public safety such as man-made and natural disasters (Indonesian Defense White Paper, 2008).

9 Broadly defined, deterrence is the threat of force intended to con vince a potential aggressor not to undertake a particular action because the costs will be unacceptable or the probability of success extremely low. This threat has always been one of the central strategic principles by which nations attempted to prevent conflict. See, for example, George Quester, Deterrence before Hiroshima: The Airpower Background of Modern Strategy (New Brunswick, N.J.: Transaction Books, 1986); and Richard Ned Lebow, “Thucydides and Deter rence,” Security Studies, 16 (April-June 2007), 163-88

10 PRC likes to revitalize links with Indonesian Chinese Diaspora as well as its maritime territorial claim in Natuna islands and surrounding territorial sea.

With regard to relations with India, many experts and policy-makers argue that there is inherent inertia despite ambitious bilateral engagement from both Indonesian and Indian leaderships. India has been prioritizing its ties with Singapore, Malaysia, Thailand and Vietnam and subtly ignoring Indonesia. In terms of connectivity, Singapore and Malaysia are members of the Commonwealth along with India. Vietnam gains importance because of India’s strategic rivalry with China. There is hope for enhancing Indonesia- India bilateral relations in the present and future as the trade and investment relation is growing in strategic industry.

11 In 2011, President Obama and President Yudhoyono signed the U.S. – Indonesia Comprehensive Partnership Agreement. For the latest update see http://csis.org/publication/comprehensive-partnership-nudges-us-indonesia-relations-new-levels-cooperation. Extracted on October 1, 2012.

Also see Remarks at the Third Annual U.S.-Indonesian Joint Commission Meeting by Hillary Rodham Clinton (Secretary of State) and Marty Natalegawa (Indonesian Foreign Minister) in Washington, DC; September 20, 2012. http://www.state.gov/secretary/rm/2012/09/197977.htm

Extracted on October 2, 2012.12 I argue that Obama’s security policies and focus on the Asia-

Pacific region are entirely strategic. According to Thomas Donilon (the U.S. National Security Adviser), during his second term President Obama will keep focusing on Asia – Pacific and any possible defense budget reduction will not made at the cost of Asia – Pacific engagement. There are several lines of engagement that will be used by President Obama. These lines of engagement clearly reflect Obama’s constructive national security approaches.

First, President Obama will tap his personal relationship with leaders and counterparts of Asia’s emerging powers including China, India, and ASEAN countries. Second, President Obama will deepen U.S. relationship with Asia’s emerging power. Third, given the importance of ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) in terms of regional stability, political, and economic aspects (e.g. market size, trade, investment, and natural resources including energy) President Obama will emphasize his focus on ASEAN (e.g. he already proved it by appointing the first U.S. ambassador for ASEAN). Fourth, President Obama will constructively manage the U.S. – China “cooperation-competition” relationship without necessarily creating suspicious perspectives among Asian countries. Fifth, President Obama commit to advance global economic architecture through his pivot to Asia strategy.

Having said that, his policies have definitely also influenced Indonesia, the world’s biggest archipelagic state; that in turn is developing the shared interests between these two states.

Page 59: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 57

For more, see the speech of The Hon Thomas Donilon, the National Security Adviser on November 15, 2012 pertaining the importance of Asia and ASEAN for President Obama’s foreign policy.

http://csis.org/event/statesmens-forum-honorable-thomas-e-donilon-us-national-security-advisor/?zbrandid=4263&zidType=CH&zid=14244373&zsubscriberId=1043178039&zbdom=http://csis.informz.net

Private interview with the Vice President of Indonesian – Chinese Committee at Indonesian Chamber of Commerce, Mr Wicahyo Ratomo in October 5, 2012.

13 Since his appointment as the Indonesian foreign minister in 2009, Marty Natalegawa has been ordered to prioritizing the ASEAN region in the new foreign policy orientation. ASEAN also considers accepting Japan, China, and Korea into existing ASEAN framework. However, before doing so, the unity of the existing member should be fostered first.

14 Until today Indonesia supports a world free of nuclear weapons, and complete disarmament with regard to North Korean and Iran issues.

15 http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=File:ASEAN_member_states.svg&page=1 Extracted on October 1, 2012.

16 http://cogitasia.com/a-new-paradigm-for-apec/ Extracted on October 1, 2012.

17 In terms of national unity, Indonesia is facing again a grave challenge similar to the problem in 1960s. Recently, there has been worsening communal conflicts in Ambon, Maluku, and Poso and rehabilitation in Aceh (conflict though resolved after Helsinki accord in 2005) and intensification of unrest in Papua.

18 See Leonard C. Sebastian, Realpolitik Ideology – Indonesia’s Use of Military Force (Singapore: ISEAS, 2006), 373.

19 Comparatively, as of August 2011, thirty million Indonesians still live below the poverty line (earning less than $1 per day). Despite Indonesia’s efforts to eliminate statistical poverty, the facts are clear — one hundred million out of two-hundred-and-forty-five million Indonesians still live on less than $2 per day. Considering the World Bank’s set of the poverty line at $1.25 a day, the Indonesian government’s insistence that only thirty million are living in the poverty becomes clouded.

See: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/01/15055920/Jumlah.Penduduk.Miskin.Turun.1.Juta

http://www.globalenvision.org/2011/08/23/redefining-poverty-line-indonesia

http://www.globalenvision.org/2011/08/23/redefining-poverty-line-indonesia

20 Corruption is still a major challenge despite many attempts to enhance operational accountability.

See http://www.economist.com/node/21548266. The clean water is also a major problem in today’s Indonesia.

Currently the sufficiency of clean water is 52 liter / capita / year. Ideally, it should be at least 1000 liter/ capita / year.

21 UNDP HDI Report 2011. Sustainability and Equity: A Better Future for All.

22 Not to mention how many Indonesian migrant workers working in Malaysia suffer from abuse, without government effective capability to deal with this issue.

23 Until 2012, resources particularly palm oil, coal, and oil and gas, remain critical to Indonesia’s trade balance as they represent 68% of exports. However, the economic disparity and imbalance economic growth across the archipelago are still prevalent. While most of Indonesian tycoons have generated their money from recent coal’s booming, around 100 million of Indonesian population still lives on less than $2 dollar per day. One of Indonesian tycoons whose money mostly comes from coal industry just bought 55% shares of DC United and 15% shares of Philadelphia 76ers in 2012. Some Indonesian philanthropists also begin to contribute for

donation and scholarship advancement in the U.S. Based on the current rate of coal production and identified reserves, Indonesia’s reserve of coal is predicted to survive for the next 17 – 34 years (compared to U.S. that will last for next 239 years).

See SBY Touts Indonesian Natural Resources on Wall Street http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/26/sby-touts-ri-natural-resources-wall-street.html

The President explained that “You can find almost everything in Indonesia: oil and gas, coal, geothermal, tin, copper, nickel, aluminum, bauxite, iron, cacao, coffee,” The President also assured that Indonesia would treat its wealth of resources in a sustainable manner, ensuring that the country would not fall into the so-called resource trap. The government recently issued a set of ministerial regulations imposing a 20% export tax on 65 types of minerals — excluding coal, and encouraging investment in smelters ahead of the full ban on mineral exports in 2014. However, the reason not to currently taxing the coal export because coal is the main source of political parties especially they will compete for Indonesian general and presidential election in 2014. The election will need a huge amount of money, and coal is the source for them and also for boosting the macro economic growth. I do not think exploiting coal export for short-term political interests as a strategic decision.

24 Based on the World Bank Gini Coefficient Index 2011 -the measurement of economic inequality-, the gap between rich and poor in Indonesia is 37%.

25 Indonesia to Increase R&D Budget. http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/22/indonesia-increase-rampd-budget.html Extracted on October 5, 2012.

26 Official Statement of Indonesian Internal Affairs Minister before the Congress / Parliament on November 8, 2012 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/08/21542374/Mendagri.281.Kepala.Daerah.Terjerat.Masalah.Hukum?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp

27 Courtesy of Indonesian source.28 As advised by McKinsey & Company in its report

(September 2012). See 29 the Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential

(McKinsey Global Institute, September 2012). Courtesy of Indonesian source.30 Another explanation about the Big-Push Strategy

can be referred to http://www.youtube.com/watch?v=LKgr0WxAOnA

31 See Defending Our Regional Environmental Security (Former Indonesian Minister of Defense, Prof Juwono Sudarsono). http://www.thejakartapost.com/news/2012/04/10/defending-our-regional-environmental-security.html

32 Conventional sources are coal, natural gas, and oil; and unconventional sources are coal-bed methane, next-generation biofuels, geothermal power, and biomass. McKinsey Global Institute’s report in September 2012 predicts that Indonesia could meet up to 20% of its energy needs by turning to unconventional sources.

33 See also http://centerforworldconflictandpeace.blogspot.com/2012/07/searching-for-indonesias-lost-grand.html. Extracted on October 7, 2012.

Page 60: Strategic Outlook

58 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Derasnya arus gelombang demokratisasi, bergesernya kecenderungan konflik dari inter-state menjadi intra-state, laju arus globalisasi yang tak terelakan, kemajuan teknologi dan arus informasi yang begitu cepat, pengakuan universalitas HAM serta kompleksitas ancaman yang berkembang pasca perang dingin tentulah menjadi faktor-faktor yang secara langung maupun tidak langsung memaksa banyak negara untuk kembali menata ulang strategi dan sistem keamanannya.

Di masa kini, keamanan tidak lagi sebatas menjadikan “negara” sebagai obyek yang harus di jaga tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian keamanan harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap warga baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan

menempatkan kewajiban negara untuk mengatur dan mengelolanya.

Di Indonesia, melalui proses reformasi sektor keamanan berbagai tetapan-tetapan dan capaian-capaian positif di bidang keamanan telah dihasilkan di masa reformasi guna memperbaiki dan memperkuat strategi dan sistem keamanan. Perubahan-perubahan itu meliputi perubahan di level regulasi, instutsi maupun perubahan peran dan fungsi aktor-aktor keamanan. Namun demikian, perubahan-perubahan itu dinilai belum cukup apalagi memadai sehingga Pemerintah menginisiasi RUU Keamanan Nasional melalui Surat Presiden Nomor: R-28/Pres/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 yang ditujukan kepada DPR RI.

Akan tetapi, RUU Kamnas versi Pemerintah mendapatkan kritik dari banyak kalangan, baik itu dari anggota DPR, akademisi maupun masyarakat

Oleh : Poengky Indarti dan Team ImparsialDirektur Eksekutif Imparsial, Pemerhati isu Papua, Reformasi sektor Keamanan, Serta Beberapa isu Hak Asasi Manusia

Page 61: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 59

sipil. RUU Kamnas dinilai tidak menghormati tata nilai HAM dan demokrasi serta dimensi ancaman serta ruang lingkup yang diatur terlalu luas sehingga bernuansa sekuritisasi. RUU Kamnas juga dipandang mempunyai kelemahan secara substansial, seperti tidak menghormati hak asasi manusia yang seharusnya menjadi tata nilai dan paradigma dalam pembahasan RUU tersebut. RUU Kamnas dianggap memiliki kerancuan tanggung jawab dan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antar aktor keamanan karena ruang lingkup keamanan nasional dan jenis ancaman yang terlalu luas.

Rancangan Undang-undang tentang Keamanan Nasional (Kamnas) sebetulnya telah muncul semenjak tahun 2005.1 Pada saat itu RUU Kamnas, yang semula bernama RUU Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg)2,

diajukan atas usulan/inisiatif Pemerintah melalui Departemen Pertahanan bersama dengan tiga RUU lainnya yakni RUU Peradilan Militer, RUU Rahasia Negara, dan RUU Komponen Cadangan.3 Perdebatan tentang RUU Kamnas pada saat itu diantaranya adalah tentang masalah pelibatan TNI dalam masalah keamanan dalam negeri.

Menteri Pertahanan (Menhan) pada saat itu, Juwono Sudarsono, mengatakan bahwa koordinasi antara TNI dan Polri akan dimantapkan dan disinkronkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg).4 Juwono juga menegaskan bahwa secara struktural, tugas dan fungsi TNI-Polri tetap ada pemisahan, namun dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di lapangan, perlu ada koordinasi yang lebih jelas. Koordinasi tersebut diperlukan guna memberikan landasan yang jelas tentang tugas

Page 62: Strategic Outlook

60 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

dan fungsi TNI-Polri yang masih tumpang tindih dalam pelaksanaan keamanan dan pertahanan.5

Pada tahun 2007 RUU Hankamneg berubah nama menjadi RUU kamnas.6 Draft yang disusun oleh Menko Polhukam tersebut kemudian mengusulkan untuk menempatkan Kepolisian sebagai penanggungjawab keamanan dalam negeri (internal security) untuk berada dibawah Departemen, baik itu dibawah Departemen Hukum dan HAM maupun Departemen Dalam Negeri.

Kontroversi RUU Kamnas sendiri kemudian muncul ketika Polri enggan untuk berada di bawah departemen. Kapolri Jend. Pol Sutanto pada saat itu menilai keberadaan Polri di bawah departemen akan mengurangi kemandirian institusi penegak hukum itu dalam menjalankan peran dan fungsinya seperti yang diamanatkan dalam undang-undang.7 Sutanto juga menegaskan bahwa penempatan Polri dibawah Departemen berarti mengembalikan paradigma lama dengan menyatukan pertahanan dan keamanan, dan itu berarti kembali ke masa lalu.8 Menanggapi hal itu, Panglima TNI yang pada saat itu dijabat oleh Marsekal Djoko Suyanto menilai harusnya Polisi tidak perlu resisten untuk diletakkan dibawah departemen karena TNI sendiri akan berada di bawah departemen pertahanan.

Sementara itu, peneliti senior LIPI, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan perlu dipikirkan apakah Polri tetap di bawah Presiden secara langsung atau di bawah departemen tertentu di dalam RUU Kamnas. Jika Polri tidak mau berada di bawah sejumlah instansi yang ada sekarang seperti Depdagri, Depkum HAM, atau Kejakgung, bisa saja nanti dibentuk departemen khusus.9

Kritikan terhadap RUU Kamnas juga diberikan oleh Yuddy Chrisnandi, anggota komisi III DPR-RI pada saat itu. Menurut Yuddy, isu terpenting yang harus dibahas dalam RUU Kamnas adalah sistem koordinasi antar instansi terkait masalah pertahanan, keamanan, dan

intelijen dalam merespon dinamika lingkungan strategis. Selain itu juga harus dibahas soal kedudukan Polri yang seharusnya tidak lagi langsung di bawah Presiden melainkan harus di bawah otoritas sipil yang tunduk kepada Presiden, seperti juga diterapkan pada TNI. Menurut Yuddy, Presiden SBY seharusnya bisa legowo untuk melepaskan institusi itu dari kendali langsungnya seperti terjadi selama ini.

RUU Keamanan Nasional kemudian sempat diserahkan kepada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).10 Lemhanas diminta untuk mengkaji guna menyusun naskah akademik dan meminta masukan dari berbagai pihak untuk kemudian diserahkan kepada Presiden. Selanjutnya Presidenlah yang menentukan draft RUU seperti apa yang akan diserahkan ke DPR untuk dibahas sebagai usulan pemerintah.11

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi juga menegaskan naskah akademik RUU Kamnas nantinya dapat menjadi kerangka konseptual untuk merumuskan kebijakan keamanan secara nasional. Muladi juga meminta agar jangan ada egoisme sektoral dalam pembahasan RUU Kamnas ini, karena semua ini untuk kepentingan nasional.12 Selain itu beliau juga menegaskan tidak perlu ada perdebatan lagi nantinya soal apakah institusi tertentu, seperti TNI atau Polri, punya kewenangan atau ditugaskan menangani satu permasalahan terkait keamanan nasional.

Guna menghindari terjadinya benturan kepentingan antar dua institusi, yakni Kepolisian dan Departemen Pertahanan, Menkopolhukam menunda pembahasan tentang RUU Kamnas. Pembahasan kembali RUU Kamnas baru kemudian muncul pada pertengahan tahun 2008.13 Namun, kritikan yang muncul dari kalangan masyarakat sipil pada saat itu adalah bahwa presiden SBY diduga enggan melepas Kepolisian untuk lepas dari pengendaliannya.14

Diawal tahun 2009, pembahasan RUU

Page 63: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 61

Keamanan Nasional semakin memanas. Perdebatan di DPR-pun semakin kencang mengingat Kepolisian tetap bersikukuh menolak ditempatkan dibawah departemen. Akhirnya, RUU Keamanan Nasional gagal disepakati dan disahkan oleh DPR periode 2004-2009 bersama dengan beberapa RUU lainnya seperti RUU Peradilan Militer dan RUU Rahasia Negara.

Kritik terhadap RUU Kamnas15

Ancaman: Multitafsir, represif dan subversif.Penjelasan tentang bentuk ancaman tidak

bersenjata yang mengategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, ideologi, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi, kebodohan, ketidakadilan, sebagai bentuk ancaman keamanan nasional jelas-jelas bersifat karet, tidak pada tempatnya dan multitafsir sehingga mengancam kebebasan dan demokrasi.

Penjelasan tentang ancaman aktual dan potensial bersifat multitafsir dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan secara sepihak oleh Presiden melalui keputusan Presiden. Dengan demikian Presiden dapat menentukan secara sepihak semua hal yang menurutnya mengancam kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. Itu artinya bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, aksi mahasiswa, aksi buruh, aksi petani, pers yang kritis, dll dapat dianggap sebagai ancaman aktual dan potensial oleh presiden karena dianggap menganggu keselamatan bangsa dan negara sehingga harus ditangani dan dihadapi secara represif.

Ancaman haruslah bersifat nyata (existential threats) berbentuk : agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata (terorisme internasional), ancaman keamanan laut dan udara, konflik komunal dan kerusuhan massa yang anarkis.

Penangkapan Pemberian kewenanangan khusus bagi TNI

dan BIN untuk melakukan pemeriksaan dan penangkapan mengancam penegakkan hukum, HAM dan demokrasi itu sendiri.

Pemberian kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri. Sebagai lembaga yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum, pemberian kewenangan menangkap BIN dan TNI sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam RUU Keamanan nasional mengingat proses yang dilakukan tanpa di damping pengacara, tidak diketahui keluarga ataupun pihak lain yang terkait sebagaimana di atur dalam KUHAP.

Penting untuk diingat bahawa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya. Dalam konteks itu, BIN maupun TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap.

Lebih dari itu, pemberian kewenangan penangkapan kepada lembaga intelejen dan TNI akan menimbulkan tumpang tindih kerja antar aktor keamanan khususnya antara BIN, TNI dengan institusi kepolisian. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam tata kelola sistem keamanan nasional dan menimbulkan persoalan dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pelaksanaaanya. Pemberian kewenangan menangkap dan memeriksa itu langkah mundur bagi reformasi sektor keamanan.Penyadapan

Pemberian kewenanangan khusus bagi aktor-aktor keamanan untuk melakukan penyadapan mengancam hak-hak privasi warga negara dan kebebasan pers. Di dalam RUU Kamnas ini tidak

Page 64: Strategic Outlook

62 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

diatur mengenai mekanisme penyadapan apakah perlu melalui ijin pengadilan atau tidak. Itu artinya RUU Kamnas memberikan cek kosong bagi aktor-aktor keamanan untuk melakukan penyadapan.

Adalah suatu hal yang sangat berbahaya apabila mekanisme penyadapan tidak diatur secara rinci dalam perundang-undangan. Pengaturan yang tidak rinci akan sangat mudah disalahgunakan oleh kekuasaan (abuse of power). Mengacu kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi no 006/PPU-1/2003; no 012-016-019/PUU-IV/2006; no 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan tersendiri tentang penyadapan setingkat undang-undang untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman.

Paradigma/Dasar MengingatParadigma/dasar mengingat RUU Kamnas

belum menjadikan tata nilai HAM sebagai salah satu dasar paradigma di dalam RUU. Hal itu dapat dilihat dari tidak dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM dalam Kostitusi (pasal 28 A sampai Pasal 28 I) dalam dasar mengingat RUU. Padahal perlindungan terhadap HAM adalah inti dari keamanan. Hal ini dapat menimbulkan persoalan pada penegakkan HAM.

Status Keadaan Keamanan NasionalIndonesia sebenarnya telah memiliki UU

Darurat No. 23/1959 dan seharusnya UU itu yang direvisi. Sementara itu di RUU Kamnas tidak disebutkan apakah dengan adanya RUU Kamnas itu artinya UU 23/1959 tidak diberlakukan kembali. Dengan demikian Indonesia memiliki dua peraturan tentang kondisi darurat yang berbeda dengan substansi yang berbeda semisal di dalam undang-undang no 23/1959 tidak dikenal istilah tertib sipil tetapi di RUU Kamnas dikenal istilah tertib sipil sebagai bagian dari status keamanan nasional .

Sudah semestinya status tertib sipil tidak

termasuk dalam status keamanan nasional karena kondisi tertib sipil juga tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan lain berkait dengan hukum tata negara terkait dengan status darurat dan juga tidak dikenal istilah tertib sipil dalam UU 23/1959.

Militer dan Tertib SipilPengaturan tentang pengerahan TNI pada

status tertib sipil bias sekuritisasi dan bias dominasi militer.

Legalisasi Kelompok Sipil Bersenjata atau MilisiRUU Kamnas berupaya untuk melegalisasi

satuan-satuan sipil bersenjata atau milisi dalam darurat militer. Hak dan kewajiban warga negara dalam upaya pembelaan negara haruslah diatur secara jelas baik bentuk dan sarananya namun penjelasan pasal tersebut sangat luas dan multitafsir sehingga dapat menjadi dasar hukum bagi militer untuk menggunakan pasal ini membentuk satuan-satuan sipil bersenjata atau milisi selama darurat militer.

Pembentukan KCPN (militerisasi sipil) dengan Keputusan Presiden

Pembahasan RUU KCPN yang mendapatkan tantangan luas dari masyarakat ternyata masih dilanjutkan dalam RUU Kamnas, yang menyatakan bahwa penentuan unsur utama dan unsur pendukung ditetapkan oleh presiden. Pengaturan komponen cadangan melalui penetapan Presiden adalah tidak tepat dan tidak pada tempatnya.

Pengaturan KCPN melalui penetapan presiden akan membuka ruang masalah baru dalam beberapa aspek yakni bertentangan dengan HAM terkait dengan tidak diaturnya hak penolakan warga atas keyakinan (conscientious objection) ; menimbulkan konflik horizontal mengingat dalam RUU Kamnas melihat pelibatan masyarakat sebagai komponen cadangan tidak hanya untuk menghadapi ancaman dari luar

Page 65: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 63

namun termasuk menghadapi ancaman dari dalam bahkan ancaman yang tidak bersenjata; pelegalan milisi dan paramiliter; dll.

Dewan Keamanan NasionalKewenangan dewan keamanan nasional

terlalu luas yakni sampai memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman. Sudah seharusnya penetapan itu menjadi kewenangan Presiden sedangkan dewan keamanan nasional hanya memberikan pandangan dan masukan meski Presiden juga sebagai ketua DKN akan tetapi keputusan terakhir penetapan itu tetap ada di Presiden. Selain itu dewan keamanan nasional juga tidak perlu memiliki kewenangan untuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional.Struktur, Kedudukan dan Kewenangan Polisi

dan IntelijenKepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

(Kapolri) dan intelijen memiliki kewenangan yang luas yakni sebagai institusi yang membuat kebijakan dan juga pelaksana kebijakan. Hal ini berbeda dengan pengaturan antara Kementrian Pertahanan dan TNI yang diatur dalam RUU Kamnas, yang setidaknya telah mengatur antara institusi pembuat kebijakan (kementrian pertahanan) dengan institusi pelaksana kebijakan (TNI).

Sudah seharusnya polisi dan intelijen hanya sebagai pelaksana kebijakan dan bukan pembuat kebijakan.Karenanya penting untuk memisahkan antara institusi pembuat kebijakan dengan institusi pelaksana kebijakan dalam RUU kamnas terkait dengan polisi dan intelijen. Hal ini untuk memisahkan akuntabilitas antara aktor penanggungjawab atas kebijakan dan aktor yang

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 63

Page 66: Strategic Outlook

64 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

bertanggungjawab secara operasional. Dengan demikian pertanggungjawabannya menjadi jelas. Hal ini merupakan prasyarat demokrasi yang mensyaratkan perlunya diferensiasi fungsi dan kerja antar actor pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.

Pemerintah DaerahTidak diperlukan pengaturan tentang

pemerintah daerah, mengingat fungsi pertahanan dan keamanan adalah bersifat terpusat dan tidak didesentralisasikan karenanya Pasal-pasal yang mengatur tentang pemerintah daerah sebaiknya dihapus.

Tugas PerbantuanKarena tujuan utama RUU ini adalah untuk

sinkronisasi kerja antar aktor keamanan maka seharusnya pengaturan tentang tugas perbantuan tidak hanya terkait dengan tugas perbantuan internasional. Seharusnya tugas perbantuan yang perlu diatur dalam RUU ini adalah pengaturan tentang tugas perbantuan TNI kepada Polisi yakni mengatur tentang batas-batas dan prinsip-prinsip tentang tugas perbantuan itu.

Secara empiris, sebenarnya selama ini TNI sudah dilibatkan untuk membantu kepolisian di dalam menghadapi ancaman dalam negeri semisal dalam penanganan konflik Ambon dan Konflik Poso. Mekanisme pelibatan itu berpijak pada Protap (Prosedur tetap) yang dimiliki oleh polisi maupun oleh TNI itu sendiri. Masalahnya adalah Protap bukanlah bagian dari tata peraturan perundang-undangan sehingga status hukumnya lemah dan tidak memiliki kekuatan mengikat (legaly binding). Dalam praktiknya, kadangkala justru terjadi rivalitas dan kurangnya koordinasi akibat kelemahan pengaturan tentang tugas perbantuan itu.

Rencana pengaturan tugas perbantuan TNI ke polisi dalam kerangka operasi militer selain perang sudah sepantasnya memperhatikan beberapa

prasayarat berikut ini yakni tugas perbantuan baru bisa dilakukan apabila: 1. Adanya ancaman nyata dan tingkat eskalasinya

telah meningkat tajam2. Adanya kondisi dimana aparat kepolisian

sudah tidak bisa lagi menanggulanginya secara sendiri

3. Adanya permintaan aparat kepolisian ke otoritas sipil untuk meminta perbantuan dari TNI

4. Adanya penilaian dari otoritas sipil atas permintaan itu

5. Adanya keputusan dari otoritas sipil untuk melibatkan TNI membantu kepolisian maupun dalam menghentikan tugas perbantuan itu sendiri;

6. Kendali pasukan TNI yang diperbantukan dilapangan harus tetap berada di bawah kendali pimpinan kepolisian kecuali dalam situasi darurat militer

7. Memperhatikan prinsip proporsionalitas dalam pengerahan kekuatan TNI

8. Perbantuan itu sifatnya sementara dan tidak permanen

9. Pelibatan TNI merupakan alternatif terakhir; 10. Adanya pembagian tugas yang jelas diantara

keduanya guna menghindari tumpang tindih kerja

11. Memperhatikan tata nilai HAM dalam tugas perbantuan

12. Adanya pengawasan dan evaluasi dari otoritas sipil dari pelaksanaan tugas perbantuan itu.

Pembiayaan (Anggaran)RUU Kamnas membuka ruang adanya

pembiayaan kepada aktor keamanan selain dari APBN. Karena fungsi pertahanan dan keamanan adalah terpusat dan tidak didesentralisasikan maka pembiayaan untuk aktor keamanan hanya diperbolehkan melalui APBN. Karena itu perlu ada penegasan pasal baru dalam RUU Kamnas yang menyebutkan bahwa pembiayaan untuk aktor

Page 67: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 65

keamanan dibiayai melalui APBN.

Aspek LegalitasPembentukan RUU Keamanan nasional

belum secara utuh memenuhi asas-asas dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Hal itu salah satunya terlihat dari belum jelasnya rumusan pengaturan RUU Kamnas terutama terkait dengan masalah sistematika dan pilihan kata atau terminology dan bahasa hukumnya yang belum jelas dan belum mudah dimengerti, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasias.

KesimpulanRUU Kamnas ini multitafsir, represif, dan

bersifat subversive sehingga mengancam HAM, penegakkan hukum, mengancam kebebasan sipil, kebebasan pers dan mengancam demokrasi itu sendiri

Mengingat ketentuan yang tercantum dalam RUU Kamnas ini masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan baik itu secara substansial maupun redaksional maka adalah tepat bagi pemerintah untuk memperbaiki kembali RUU yang ada.

RUU Keamanan Nasional seharusnya lebih dominan membahas tentang hubungan koordinasi dan kerjasama antar aktor keamanan (interagency cooperation)/tugas perbantuan dalam menanggulangi ancaman terhadap keamanan nasional.

RUU Keamanan Nasional semestinya konsisten dengan konsideran menimbang (RUU ini dimaksudkan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada) sehingga tidak mengatur kewenangan baru kepada aktor-aktor keamanan dan harus merujuk pada UU Organiknya yakni UU TNI, UU Polisi, dan UU Intelijen yang sedang dibentuk.

(Endnotes)1 “Menhan; RUU kamnas jangan setali tiga uang”: http://

www.detiknews.com/read/2005/12/23/194725/505196/10/menhan-ruu-keamanan-nasional-jangan-setali-tiga-uang?nd992203605.

2 “TNI –Polri tetap dipisah”; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117984

3 :Menhan ajukan empat RUU ke DPR”: http://www.mimbarpini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=743

4 “TNI –Polri tetap dipisah”; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117984

5 “TNI –Polri tetap dipisah”; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117984

6 “RUU Kamnas; Dephan Tetap Pegang Kendali”: http://www.arsip.net/id/link.php?lh=VQECAlFVCAFX

7 “Sutanto Tolak Polri di Bawah Depdagri”: http://www.berpolitik.com/static/internal/2007/02/news_1349.html

8 “Sutanto Tolak Polri di Bawah Depdagri”: http://www.berpolitik.com/static/internal/2007/02/news_1349.html

9 “RUU Kamnas Kembali”: http://nasional.kompas.com/read/2008/07/07/21322725/RUU.Kamnas.Kembali.

10 Soal kamnas; jangan ada ego sektoral”: http://nasional.kompas.com/read/2008/03/26/2040527/Soal.Kamnas.Jangan.ada.Ego-Sektoral.

11 Soal kamnas; jangan ada ego sektoral”: http://nasional.kompas.com/read/2008/03/26/2040527/Soal.Kamnas.Jangan.ada.Ego-Sektoral.

12 Soal kamnas; jangan ada ego sektoral”: http://nasional.kompas.com/read/2008/03/26/2040527/Soal.Kamnas.Jangan.ada.Ego-Sektoral.

13 “RUU Kamnas Kembali”: http://nasional.kompas.com/read/2008/07/07/21322725/RUU.Kamnas.Kembali.

14 “RUU Kamnas Kembali”: http://nasional.kompas.com/read/2008/07/07/21322725/RUU.Kamnas.Kembali.

15 RUU Kamnas versi Maret / Oktober 2011

Page 68: Strategic Outlook

66 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

Berbagai jenis penelitian interdisipliner dan kontribusinya guna menciptakan perdamaian dan keamanan dirasakan semakin mendapat tempat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Adapun terdapat hambatan dalam kelembagaan dan profesional untuk penelitian interdisipliner yang perlu dipahami sejak awal. Hal itu dikarenakan agenda substantif untuk penelitian masa depan sangat mendesak bagi para peneliti untuk mencurahkan perhatian pada analisis penyebab konflik-konflik internasional.1 Lebow menggambarkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir minat dalam penelitian interdisipliner pada kajian perdamaian dan keamanan tumbuh dan berkembang. Yayasan-yayasan besar seperti Yayasan MacArthur, Ford Foundation, dan Carnegie Corporation mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian-penelitian di bidang

1 Richard Ned Lebow, Interdisciplinary Research and the Future of Peace and Security Studies, artikel dimuat dalam Political Psychology, Vol. 9, No. 3, 1988, hlm.507.

perdamaian.2

Pada perkembangannya pula, cara pandang terhadap tatanan dunia internasional saat ini sangat berbeda dengan dunia internasional pada saat perang dunia II. Fokus negara-negara pada waktu lalu adalah bagaimana memiliki wilayah luas. Caranya dengan melakukan penguasaan terhadap wilayah milik negara lain. Pada konteks setting demikian, arah pemikiran Immanuel Kant tentang perdamaian akan memiliki relevansi yang penting.3 Konsep ‘perdamaian abadi’ yang dinarasikan Kant harus dimengerti dalam konteks ‘tidak terdapat pertengkaran atau konflik fisik antara satu negara dengan lain negara’.

Peran besar manusia dalam mewujudkan perdamaian dipahami dalam lingkup negara. Negara merupakan pengejawantahan dari peran-

2 Ibid.3 Immanuel Kant mengajar di sebuah Universitas Konigsberg, Prusia. Kant merupakan peserta aktif dalam perdebatan-perdebatan filosofis di zamannya. Gagasannya terus membentuk dan mempengaruhi bidang penyelidikan filosofis dan mustahil untuk meremehkan pentingnya karya-karya Kant di kemudian hari. Filsafat kritis yang di terbitkan khususnya esai On Perpetual Peace: A PhilosophicalSketch yang ditulis tahun 1795 sangat di signifikan hingga dewasa ini.

Oleh : Wagiman MartedjoPeneliti hukum. Mendalami studi tentang perdamaian pada Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Studi formal S1 dan S2 bi-dang hukum internasional di Unpad Bandung, saat ini tengah menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum di UI Jakarta

Page 69: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 67

peran individu. Bagi Kant individu merupakan bentukan dari alam. Konsekuensinya, alam melalui peran individu-individu itu mengatur dunia. Perilaku individu akan berkorelasi dalam peran-peran moral. Kant memandang peran moralitas dalam negara sangat dominan. Penciptaan perdamaian abadi memerlukan integritas moral. Moral merupakan elemen wajib yang ada di dalam individu setiap orang. Pada tataran makro, moral diejawantahkan dalam politik. Kumpulan orang-orang dalam suatu negara diwajibkan untuk memiliki pemahaman bahwa negara dibangun untuk mencapai keperluan bersama. Untuk mewujudkan keperluan bersama itu diperlukan suatu kondisi yang damai.

Manusia yang berada pada suatu keadaan bernegara tidak tunduk pada negara. Mereka tunduk pada manusia-manusia yang berada didalamnya. Negara dapat mengembangkan kondisi bernegara tanpa perlu adanya intervensi

dari pihak asing. Inilah inti dari pemikiran Immanuel Kant yang menetang apa yang disebut intervensi. Negara merupakan representasi dari setiap individu-individu yang berada di dalamnya. Pada saat individu di dalam suatu negara saling berelasi, tentunya akan hadir atau terjadi kemungkinan adanya konflik-konflik didalmnya.

Cara pandang Immanuel Kant ini dalam konteks di atas, selaras dengan pemikiran Thomas Hobbes. Perbedaannya, Kant berpendapat peran manusia dalam bernegara sangat dominan. Guna menanggulangi konflik antar warga negara, diperlukan perdamaian. Organisasi internasional menurut Kant juga diperlukan untuk menjada keamanan.

Mengapa Manusia Beperang? Maksud dari suatu usaha untuk terbebas

dari peperangan secara filosofis sukar untuk dipahami. Pertanyaan yang problematik, apakan

Judul: “Toward Perpetual Peace: A Philosophical Project.”

Translated by Ted Humphrey in Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays (Indianapolis: Hackett, 1983), pp. 107-39. Translated by H. B. Nisbet in Immanuel Kant, Political Writings, edited by Hans Reiss, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), pp. 93-130. Translated by Mary J. Gregor in Immanuel Kant, Practical Philosophy, edited by Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), pp. 317-51.

Kontroversi seputar perdamaian yang demokratis tidak lagi tentang sejarah, tetapi tentang teori.1

1 Jarrod Hayed, Review Article: The Democratic Peace and the New Evolution of an Old Idea.

Page 70: Strategic Outlook

68 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

suatu peperangan berasal dari faktor-faktor situasional? Ataukan perang sejatinya merupakan pembawaan lahir umat manusia? Apabila dilihat dalam perspektif filosofis, terdapat dua aliran besar terhadap cara pandang tentang perang, yaitu aliran realis dan aliran idealis.

Aliran realis memandang bahwa perang (karena terus menerus terjadi, dan tidak dapat dihindari) menujukkan bahwa perang sejatinya melekat dalam kehidupan umat manusia namun pandangan dari aliran idealis berbeda. Aliran ini memandang perang dengan cara sebaliknya, yaitu peperangan sesungguhnya bisa dihindari. Cara menghindarinya adalah dengan menciptakan suatu situasi lingkungan sosio-politik yang sehat pada setiap negara-negara. Jika kita melihat fakta hingga saat ini, perang masih dijadikan suatu instrumen kenegaraan untuk menyelesaikan suatu masalah. Celakanya, perang masih diterima oleh mayoritas negara-negara di dunia.4

Secara historis, perang dilakukan untuk memperoleh suatu tujuan tertentu.5 Perang primitif dilakukan untuk mengejar untuk apa yang disebut ‘kepentingan umum’. Perang pada zaman abad pertengahan dilakukan dengan mengatasnamakan dinasti-dinasti penguasa. Menilik pada sejarah di Italia pada abad 15 selalu memelihara perimbangan kekuatan. Hal ini terjadi karena peperangan yang terus menerus berulang-ulang yang dilakukan Condottieri.6 Abad 15, demikian Couloumbis, merupakan awal berakhirnya perang di bidang politik antara negara-negara kota dan kerajaan-kerajaan di Eropa. Implikasi atas peperangan tersebut menghasilkan dua perkembangan yaitu, lahirnya angkatan bersenjata tetap dan realisasi potensi militer, sebagaimana hadir saat ini. 4 Theodore Couloumbis, 1986, Introduction to International Relations: Power and Justice, Prentice Hall, Englewood Cliffs, hlm.193-194.5 Couloumbis menjelaskan, tujuan yang ingin dicapai dalam tradisi perang klasik untuk memperoleh bahan makanan bagi sukunya. Hal itu ditujukkan pada fosil tengkorak manusia di Tanzania sebagai bukti pra sejarah bahwa telah terjadi konflik-konflik kekerasan. Lihat, Theodore Couloumbis, 1986, Introduction to International Relations: Power and Justice, Prentice Hall, Englewood Cliffs, hlm.193-194.6 Condottieri merupakan resimen pasukan profesional yang menjual tenaganya kepada penawar tertinggi. Investasi untuk korps ini sangat besar dan mahal. Operasi-operasi militer yang dilakukannya sangat singkat dan fokus pada pencapaian keuntungan praktis. Machiavelli menjelaskan bahwa peperangannya bersifat khas. Pertempuran memutuskan nasib suatu kerajaan, tetapi hanya ada satu nyawa yang hilang, itupun karena bernasib sial terjatuh dari kudannya. Lihat, Theodore Couloumbis, Ibid.

Catatan historis yang juga menarik untuk diungkap terkait dengan pengepungan Konstantinopel di tahun 1453. Taktik peperangan yang dilakukan para komandan militer dengan penggunaan formasi infanteri. Turki juga mengeksplorasi peperangan dalam mengepung Konstantinopel melalui apa yang kemudian dikenal dengan pola menyebar empat belas baris pasukan primitif namun dipandandang berhasil dalam menguasai Kota Konstantinopel. Pola dan formasi pengembangan militer dikemudian hari terus diperbaharui dan dikembangkan. “Negara modern basisnya adalah kekuatan militer yang superior”, demikian disebutkan Couloumbis.7 Revolusi Perancis juga membawa pembelajaran secara teoretikal. Henri Baron de Jomini menulis suatu studi klasik tentang strategi peperangan. Ia menginventarisasi tiga model perang besar, yaitu perang suatu bangsa melawan penjajahan asing; perang saudara; serta perang opini. Catatan penting, perang opini tidak terjadi pada saat perang Napoleon. Dengan demikian tradisi perang sebagaimana aliran realis tetap ada hingga kini dengan format yang menonjol berupa perang opini.

Masih tersisa pertanyaan penting, mengapa manusia berperang? Secara teoretik perlu dibedakan penyebab perang yang fundamental dengan penyebab perang sebagai konsekuensi dari alasan-alasan yang dibuat oleh pemerintahan yang menghendakinya. Pada kasus penyebab yang fundamental, dapat merujuk pada pemberontakan yang terjadi di Kota Coryra yang kemudian menimbulkan konflik yang meluas. Dari studi ditemukan bahwa hal fundamental menjadi penyebabnya karena munculnya kekuatan Athena dan ambisi imperialis. Kekuatan dan ambisi tersebut dipersepsi secara luas oleh para elit penguasa. Menurut Thucydides sebagai penyebab fundamental terjadinya perang.8 Penyebab

7 Ibid.8 Thucydides merupakan komandan lapangan tentara Athena ketika berhadapan dengan Sparta. Ia berusahan mengintepretasikan pengalaman berperangnya tersebut guna menjelaskan penyebab terjadi perang. Theodore Couloumbis, Ibid.

Page 71: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 69

perang dari perspektif kepentingan pemerintah, bisa beragam bentuknya. Secara umum terdapat beberapa bentuk penyebab perang dalam konteks kepentingan pemerintah yaitu, konspirasi kelompok kecil; imperialisme ekonomi; atau ekspansi.9 Analisis terhadap sebab-sebab terjadinya peperangan dikemudian hari akan membuka jalan bagi studi-studi tentang teori konflik.

Immanuel Kant dalam tulisan Eternal Peace berpandangan “No conclusion of peace shall be held to be such, which is made with the secret reservation of the material for a future war”.10 Ia (Kant) sangat khawatir dalam mengatasi perang. Ia menyebutkan dengan penuh penekanan, “If justice meet utter wreck, then there is no worth whatever in the continued existence of human life in this world”.11 Konsep keadilan akhirnya menjadi tumpuan. Keadilan dibahas panjang lebar melalui dialog Socrates di dalam buku Plato ‘Republik’. Santo Agustinus, dengan mengutip ajaran Man Galilea, yang pernah bertanya pada para pengikutnya, “Without justice, what are kingdom highway robberies on a grand scale?”12 Daniel Webster berpendapat, keadilan adalah “is the greatest interest of man on earth. It is the ligament which holds civilized nations together”.13 Alexander Hamilton menulis juga “Justice is the end of government. It is the end of civil society. It ever has been, and ever will be pursued, until it is obtained, or until liberty be lost in the pursuit.”14

Perdamaian dan DemokrasiAristoteles berpendapat bahwa perdamaian

dapat hadir pada negara-negara setelah melalui tiga tahapan yaitu demokrasi perwakilan; kepatuhan terhadap hukum dan organisasi internasional; serta integrasi perekonomian.15 Di dalam negara terdapat struktur kekuasaan dalam 9 Ibid.10 Immanuel Kant artikel dimuat dalam The Advocate of Peace (1894-1920), Vol. 59, No. 5 (May 1897), hlm.111.11 What Price Peace? Artikel dimuat dalam “Advocate of Peace through Justice”, Vol. 92, No. 4 (November, 1930), hlm.220. 12 Ibid.13 Ibid.14 Ibid.15 Bruce M. Russett, 2001, Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations, W.W. Norton, Review oleh G. John Ikenberry.

relasi ‘yang memerintah dan yang diperintah’. Pola relasi ini menurut Aristoteles setidaknya terdapat dua model, model primitif (hubungan tuan dan budak) dan model keluarga.

Pada model primitif status politik ditujukan sepenuhnya pada kepentingan penguasa. Tuan dan budak secara natural memiliki kepentingan yang sama namun dalam prakteknya selalu memihak pada kepentingan sang tuan. Sang tuan harus tetap memenuhi keperluan budak. Alasannya, jika budak terabaikan akan memiliki konsekuensi keperluan sang tuan tidak terpenuhi. Konsep Aristoteles terformulasi, tanpa budak, tidak akan ada tuan. Inti ajaran dari model primitif ini mengajarkan bahwa hakekat kekuasaan itu bersifat timbal balik atau resipokal.

Model kedua, seperti rumah tangga (hubungan orang tua dan anaknya). Model ini mengasumsikan kekuasaan digunakan untuk memenuhi semua kepentingan. Seorang ayah memimpin rumah tangga bukan untuk kebaikan orang tuanya saja tetapi juga anaknya. Apabila model ini diterapkan pada negara modern maka akan menghasilkan tata politik demokratis. Di dalam politik demokratis, menurut Aristoteles, negara bergerak di dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia.16

Studi literatur mengenai hubungan internasional kontemporer, senantiasa menjumbuhkan hipotesis perdamaian demokratis pada rencana perdamaian yang dipelopori atau digagas oleh Immanuel Kant.17 Namun dalam banyak studi kuantitatif saat ini telah kehilangan dimensi penting dari visi Kant tersebut.18 Erik Cederman mencoba untuk menafsirkan kembali konsep perdamaian demokratis tersebut.

Konsep perdamaian demokratis diposisikan Cederman sebagai konsep yang dinamis dan dialektis.19 Merujuk pada perspektif Kant, kecenderungan konflik antar negara-negara 16 Christopher Shields, Aristotle, Routledge, London, 2007, hlm. 5-14.17 Lars-Erik Cederman, Back to Kant: Reinterpreting the Democratic Peace as a Macrohistorical Learning Process. Artikel dimuat dalam The American Political Science Review, Vol. 95, No. 1 (Mar., 2001), hlm.15.18 Ibid.19 Ibid.

Page 72: Strategic Outlook

70 EDISI 1 | FEBRUARI 2014

demokrasi menunjukkan kecenderungan terus menurun sejak abad kesembilan belas. Dalam ‘Perpetual Peace’ Kant menetapkan argumen utama dalam apa yang disebutnya tiga artikel definitif untuk perdamaian benar-benar abadi. Pertama, secara kondisional mengharuskan suatu negara menjadi republik. Dalam terminologi saat ini dapat diterjemahkan sebagai menganut sistem demokrasi liberal. Kedua, untuk suatu konfederasi negara bebas untuk membentuk untuk pra pelayanan terhadap perdamaian. Ketiga, rasa keterbatasan kewarganegaraan dunia diperlukan untuk mengamankan dua kondisi pertama di atas.20 Kant beranggapan bahwa transendensi kekuasaan politik dapat memberikan kedamaian yang lebih stabil. Pikiran Kant ini sejalan dengan generasi pemikir realis yang telah menempatkan keseimbangan kekuasaan sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang.

Pada ‘Pasal Pendahuluan (The Preliminary Articles for Perpetual Peace Among States)’ yang ditulis Immanuel Kant, terangkum enam tesis utama pikiran darinya.21 Pertama, ‘No treaty of peace shall be held valid in which there is tacitly reserved matter for a future war’. Kant menegaskan bahwa perjanjian perdamaian yang didalamnya terkandung maksud tersembunyi (yaitu adanya usaha untuk mempersiapkan perang di waktu mendatang) adalah dilarang atau dianggap tidak sah. Sejatinya, suatu perjanjian dibuat bukan untuk menghentikan perang sementara. Perjanjian diupayakan guna mengakhiri perang hingga tercipta kedamaian. Kedua, ‘No independent states, large or small, shall come under the dominion of another state by inheritance, exchange, purchase, or donation’. Kant menegaskan bahwa negara yang berdaulat tidak dapat dikuasai atau dialihtangankan kepada negara lain, baik melalui pewarisan, pembelian, pemberian, atau pertukaran. Negara yang telah memiliki kekuasaan

20 Ibid.21 Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Sketsa Filosofi. Artikel diunduh dari http://pembawaperdamaian.blogspot.com/2011/05/perpetual-peace-by-immanuel-kant.html

secara mutlak tidak boleh dikuasai oleh negara lain. Ketiga, ‘standing armies shall in time be totally abolished’. Kant menegaskan perlombaan senjata harus ditiadakan sebagai syarat perdamaian. Bagi Kant, tentara yang bersiap perang justru akan menimbulkan perang. Immanuel Kant mengasumsikan terdapat tiga kekuatan dapat memicu perang yaitu, kekuatan militer, kekuatan aliansi, bahkan kekuatan uang.

Keempat, ‘National debts shall not be contracted with a view to the external friction of states’ . Menurut Kant suatu negara tidak diperkenankan berhutang untuk biaya perang. Apabila hal ini terjadi akan berakibat krisis ekonomi suatu negara. Kelima, ‘No state shall by force interfere with the constitution or government of another state’. Kant berpandangan suatu negara tidak diperkenankan mencampuri urusan negara lain menyangkut konstitusi atau pemerintahan. Apabila hal ini terjadi akan membuat otonomi negara menjadi rusak. Keenam, ‘No state shall, during war, permit such acts of hostility which would make mutual confidence in the subsequent peace impossible: such are the employment of assassins, poisoners, breach of capitulation, and incitement to treason in the opposing state”. Kant berpendapat bahwa dua negara yang sedang berperang tidak dibenarkan melakukan tindakan yang mengakibatkan hilangnya perdamaian. Contohnya menggunakan pembunuh bayaran atau penggunaan racun untuk membunuh.

Pada bagian II buku Kant membehas tentang ‘Artikel Definitif untuk Perdamaian Abadi Antar Negara (Containing the definitive articles for perpetual peace among states)’. Isinya antara lain menyebutkan ‘Keadaan perdamaian di antara manusia hidup berdampingan sejatinya bukanlah keadaan alami. Secara alami kehidupan berdampingan tersebut merupakan masa jeda dalam perang. Dengan demikian perang tidak selalu berarti permusuhan yang terbuka sifatnya, tetap terjadi ancaman perang secara terus-

Page 73: Strategic Outlook

Jurnal Politik dan Keamanan Nasional 71

menerus. Oleh karena itu menurut Kant, keadaan damai harus tetap diciptakan.

Keadaan perdamaian di antara manusia hidup berdampingan bukanlah keadaan alami (status Naturalis), keadaan alam merupakan salah satu perang. Ini tidak selalu berarti permusuhan terbuka, tapi setidaknya ancaman terus-menerus perang. Sebuah keadaan damai, oleh karena itu, harus ditetapkan, dalam rangka untuk diamankan terhadap permusuhan itu tidak cukup bahwa permusuhan hanya akan tidak melakukan, dan, kecuali keamanan ini berjanji untuk masing-masing oleh tetangganya (hal yang dapat terjadi hanya dalam sebuah negara sipil), masing-masing dapat mengobati tetangganya, dari siapa ia menuntut keamanan ini, sebagai musuh

Kritik Hegel Terhadap Konsep Perdamaian KantHegel merupakan filsuf beraliran idealisme di

Jerman. Ajaran terkenal Hegel tentang dialektika. Dielektika mengajarkan dua hal berbeda (bahkan kontras) akan bertemu dan membentuk hal baru. Hegel membedakan antara rasio murni (dari pandangan Kant) sebagai kesadaran manusia, namun ada yang lebih dari itu yaitu intelek.

Intelek bagi Hegel senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi. Roh Absolut (intelek) bekerja dan menyatakan dirinya dalam proses sejarah manusia. Pekerjaan Roh itu dapat mencapai tujuannya dalam alam semesta ketika terjadi dialektika antara subjek dan objek.

Pada beberapa hal, terdapat kritik Hegel terhadap Konsep perdamaian yang diajukan Immanuel Kant. Terdapat perbedaan dalam dua sudut pandang filosofis.22 Mertens memandang fokus kritik Hegel atas pandangan Kant tentang dua hal yaitu, perdamaian dan hukum internasional. Untuk dua alasan yang berbeda tersebut, Hegel memulainya dengan

22 Thomas Mertens, Hegel’s Homage to Kant’s Perpetual Peace: An Analysis of Hegel’s “Philosophy of Right”. Artikel dimuat dalam The Review of Politics, Vol. 57, No. 4 (Autumn, 1995), hlm.665-667.

menggambarkan penolakan Hegel terhadap Kant terkait dengan konsep moral. Pertama, kritik ini adalah merupakan awal dari penolakan Hegel terhadap Kant tentang konsep politik. Kedua, menurut Hegel, perang meskipun harus dikutuk , harus dibatasi secara quantatif.

Ulasan buku ini akan ditutup dengan ungkapan menarik dari penulis John Basset Moore dalam bukunya International Law and Some Current Illusions yang terbit tahun 1924 dan mengatakan, “If we would keep men and nations at peace, we must remove the causes of their discontent, elevate their moral sentiments, inculcate a spirit of justice and toleration, and compose and settle their differences”.23

23 What Price Peace? Artikel dimuat dalam “Advocate of Peace through Justice”, Vol. 92, No. 4 (November, 1930), hlm.222.

Page 74: Strategic Outlook
Page 75: Strategic Outlook
Page 76: Strategic Outlook

74 EDISI 1 | FEBRUARI 2014