steven johnson syndromhsfphpisf

19

Click here to load reader

Upload: ayu119dw

Post on 06-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

JJSDHJSChsfuhsiod

TRANSCRIPT

Page 1: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

Steven Johnson Syndrom

DefinisiSindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang

ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindroma muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis.

SSJ merupakan kelainan sistemik serius dengan potensi morbiditas berat bahkan kematian, Oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan cepat. 1 Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan bentuk yang lebih parah dari SSJ. 2 Gejala kulit yang paling penting adalah epidermolisis generalisata yang lebih jarang melibatkan mukosa.

Klasifikasi Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

Etiologi

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 1

Page 2: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

PatofisiologiStevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh

kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

1. Reaksi Hipersensitif tipe III. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah

mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IVPada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau

sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Manifestasi KlinisGejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri

menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di:

Kulit; berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson S yndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat.

Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah,

Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 2

Page 3: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

DiagnosisDiagnosis Sindroma Steven Johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh

obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.

Diagnosis Banding

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 3

Page 4: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

PenatalaksanaanPenatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ,

sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumoniae harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.

1. Antihistamin dianjurkan untuk m engatasi gejala pruritus / gatal bisa dipakai feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (Benadril) 1m g/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >6 tahun: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

2. Blister kulit bisa dikompres basah dengan larutan larutan burowi. 3. Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid topikal, kecuali kulit yang

terbuka. 4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi

adalah B-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.

5. Kotikosteroid: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 m g/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistem ik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.

Perawatan konservatif ditujukan untuk: 1. Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan

unit luka bakar sangat diperlukan. 2. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran

cairan disertai elektrolit.

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 4

Page 5: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

3. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman.

4. Pengendalian nyeri. Penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digu-nakan untuk mengatasi nyeri.

KonsultasiKonsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata

memberikan airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder. Secara rutin pasien juga kita konsulkan ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.

KomplikasiKomplikasi Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai

berikut: Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi - Esophageal strictures Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina Pulmonari - pneumonia Kutaneus - timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock

PrognosisSJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat

menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

sourcedr. Ariyanto Harsono. 2006. Steven Johnson: Diagnosis dan penatalaksanaan

LARINGITIS AKUT

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 5

Page 6: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

DefinisiLaringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang

berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

KlasifikasiSumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson.

Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis.

Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah.

Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas.

Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.

Etiologi1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti

influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B) parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca3. Pemakaian suara yang berlebihan4. Trauma5. Bahan kimia6. Merokok dan minum-minum alkohol7. Alergi

PatofisiologiHampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.

Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 6

Page 7: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

Gejala Klinis1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar

atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).

2. Sesak nafas dan stridor3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.4. Gejala radang umum seperti demam, malaise5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,

sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.

7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.

8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru

9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Pemeriksaan Penunjang1. Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis

(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 7

Page 8: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

2. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.

3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yangsangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.

Diagnosis Banding1. Benda asing pada laring2. Faringitis3. Bronkiolitis4. Bronkitis5. Pnemonia

PenatalaksanaanUmumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi masuk rumah sakit apabila :

· Usia penderita dibawah 3 tahun· Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted· Diagnosis penderita masih belum jelas· Perawatan dirumah kurang memadai

Terapi :1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit3. Istirahat4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada muncul

sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray.

5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray. Pemberian antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.

6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.

7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 8

Page 9: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

Perawatan khusus, yaitu: Terapi merikamentosa

Antibiotika golongan penisilin Anak 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis. Dewasa 3x500mg/hari Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin atau bactrim

Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi edem laring Terapi bedah

Tergantung pada stadium sumbatan laring. Pada anak bila terjadi gejala sumbatan jalan nafas menurut klasifikasi Jackson, dilakukan terapi sebagai berikut:

Stadium I : Rawat, observasi, pemberian oksigen dan terapi adekuat Stadium II-III : Trakheostomi Stadium IV : Intubasi dan oksigenasi, kemudian dilanjutkan dengantrakeostomi.

Pada laringitis kronis penatalaksanaan yaitu menghindari dan mengobati faktor-faktor penyebab dengan:

Istirahat bersuara (vocal rest), tidak banyak bicara atau bersuara keras Antibiotika, bila terdapat tanda infeksi

PrognosisPrognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama

satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik

SourceHermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190-200Bambang Supriyatno, Lia Amalia. 2004. Papiloma Laring pada Anak

Konjungtivitis Alergika

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 9

Page 10: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

DefinisiKonjungtivitis alergi adalah radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi.

Klasifikasi1. Konjungtivitis vermal2. Konjungtivitis flikten3. Konjungtivitis iatrogenic4. Sindrom Steven Johnson5. Konjungtivitis atopic

EtiologiReaksi hipersensitivitas tipe cepat atau lambat, atau reaksi antibodi humoral terhadap alergen. Pada keadaan yang berat mempakan bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme berat akibat reaksi alergi pada orang dengan predisposisi alergi obat-obatan. Pada pemakaian mata palsu atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi alergi.

Manifestasi KlinisMata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal, dan silau. Sering berulang dan menahun, bersamaan dengan rinitis alergi. Biasanya terdapat riwayat atopi sendiri atau dalam keluarga. Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palpebra dan bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi pada konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis berat.

Pemeriksaan PenunjangPada pemeriksaan sekret ditemukan sel-sel eosinofil. Pada pemeriksaan darah ditemukan

eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.

PenatalaksanaanBiasanya penyakit akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk menghindarkan

penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan misalnya vasokonstriktor lokal pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen, steroid topikal dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Untuk pencegahan diberikan natrium kromoglikat 2% topikal 4 kali sehari untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik. Penggunaan steroid berkepanjangan harus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya sedikit bermanfaat.

Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat simtomatik dengan pengobatan umum berupa kortikosteroid sistemik dan infuse cairan antibiotic. Pada mata dilakukan pembersihan sekret, midriatik, steroid topikal, dan pencegahan simblefaron. Pemberian kortikosteroid harus hati-hati terhadap adanya infeksi herpes simpleks.

Terapinya termasuk pemberian cairan lubrikan dengan airmata buatan dengan pengawasan berfrekuensi. Transplantasi kornea, transplantasi sel stem limbal atau prosedur kornea buatan bi9sa juga dilakukan hika dianjurkan oleh ophthalmologist.

Pencegahan

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 10

Page 11: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

Mencuci mata dengan cairan pencuci mata yang lunak bisa membantu mengurangi iritasi.Penderita sebaiknya menghindari bahan yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Selama terjadi konjungtivitis, sebaiknya lensa kontak tidak dipasang.

SourceIlyas S., 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hlm :

133-134. Konjungtivitis alergi. Available on: http://dinkes.banyuasinkab.go.id/index.php/artikel-kesehatan/174-konjungtivitis-alergi.html (Diakses September 2011)Steven Johnson Syndrom. Available on : http://www.hopkinsmedicine.org/wilmer/conditions/stevens-johnson.html (diakses September 2001)

Mekanisme Kelainan Kuliat Pada Sindrom Steven Johnson

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 11

Page 12: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

Klasifikasi- Eritema multiforme minor

Terjadi pada kira-kira 80% kasus. Secara klinis lesi berbentuk makular, papular, atau urtikarial, serta ‘iris’ klasik atau lesi target, yang tersebar di distal ekstremitas.1,4

- Eritema multiforme major (SSJ) Merupakan bentuk penyakit yang lebih parah dengan lesi target yang lebih besar dengan keterlibatan membran mukosa. Onset biasanya tiba-tiba, meskipun kemungkinan karena adanya masa prodromal selama 1-13 hari sebelum erupsi muncul.

PatogenesisKerusakan jaringan pada eritema multiforme merupakan akibat dari reaksi kompleks

imun (reaksi alergi tipe III). Pada reaksi ini, antigen yang berikatan dengan antibodi yang sudah ada dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi kerusakan jaringan melalui berbagai peranan sel radang akut dan radang kronik serta sel fagosit. Berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan tergantung pada : jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap, lokalisasi kompleks imun di dalam berbagai organ tubuh, bagaimana kompleks imun merangsang reaksi lanjutan bersama dengan berbagai imunokompeten yang lain, dan luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan.

Gambaran HistologiEritema multiforme memberikan gambaran histologi yang bervariasi sesuai dengan

gambaran kliniknya yang bermacam-macam. Pada penyakit ini terdapat reaksi jaringan yang spektrumnya bervariasi mulai dari yang sangat ringan hingga perubahan yang berat. Hasil dari tindakan biopsi multipel dari kasus-kasus eritema multiforme pada beberapa spesimen biopsi menunjukkan bahwa perubahan dermal lebih dominan, sementara pada spesimen lain perubahan epidermal lebih dominan, dan kedua tipe perubahan ini berada pada derajat yang hampir sama.

Tipe DermalTipe dermal terlihat pada lesi makular dan kebanyakan lesi papular. Pada lesi makular

hanya terlihat infiltrat perivaskuler yang lebih ramping. Pada lesi papular ditemukan sebuah infiltrat perivaskuler yang lebih terang, sel mononuklear yang lebih besar dan biasanya berisi eosinofil.

Tipe Dermal-epidermalPada tipe campuran dari eritema multiforme terlihat campuran antara papular, lesi mirip plak dan dan lesi target. Mononuklear infiltrat terdapat pada bagian superfisial pembuluh darah dan disepanjang pinggiran epidermal, dengan sel basal menunjukkan degenerasi hidrofik. Pada epidermis terdapat keratinosit yang rusak dengan gambaran eosinofilik yang lebih jelas, sitoplasma tampak homogenik, piknotik, tidak berinti dan umumnya disebut colloid body. Pada beberapa lesi tertentu infiltrasi mononuklear meluas dari lapisan dermis ke epidermis sehingga timbul edema intraseluler di epidermis.

Tipe epidermal

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 12

Page 13: Steven Johnson SyndromhSFPHPisf

Pada tipe ini terlihat beberapa sel target yang merupakan bentuk berat dari eritema multiforme yang disebut Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis epidermal toksis. Disini terjadi infiltrasi sel-sel mononuklear yang mengelilingi permukaan pembuluh darah, dan lesi di lapisan epidermis mengandung keratinosit yang nekrosis.

SourceDjuanda, adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.Eritema Multiforme. Available on : http://www.fpnotebook.com/ENT/DER/ErythmMltfrm.htm (diakses September 2001)

Dwi Suryaning Ayu A / 1102008086 Page 13