shock - paskal
TRANSCRIPT
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
SYNCOPE
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI Istilah “syncope” berasal dari bahasa Yunani yang berarti "untuk memotong
pendek"atau"mengganggu "; dalam dunia medis kini, "sinkop" menunjukkan jenis tertentu
dari "gangguan" dengan ciri:
1. Kehilangan kesadaran bersifat sementara
2. Pemulihan terjadi secara spontan, cepat, dan lengkap
3. Penyebabnya adalah kurangnya pasokan darah ke otak1.
Penyebab tersering adalah terjadinya penurunan tekanan arteri sistemik di luar
kemampuan autoregulasi serebrovaskular. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa
pernah mengalami paling sedikit sekali episode sinkop selama hidupnya. Kejadian sinkop
pada populasi umum, digambarkan pada studi Framingham dalam survailans selama 26
tahun, adalah 3 % pada laki-laki dan 3,5% pada perempuan.
ETIOPATOFISIOLOGI DAN KLASIFIKASI Dalam praktek klinis, pasien yang datang dengan mengeluhkan kejadian kehilangan
kesadaran sementara (Transient Loss of Consciousness / TLOC) menggambarkan gejala
mereka dengan kata-kata seperti "jatuh," atau "pingsan". Dalam hal ini diagnosa"sinkop"
hanyalah satu kemungkinan saja; berbagai penyebab potensial lain untuk TLOC harus
dipertimbangkan(non-sinkop). Dengan demikian, epilepsi, gegar otak, gangguan
metabolisme, intoksikasi, dan "pseudo-sinkop" (misalnya, psikogenik pseudo-sinkop,
cataplexy) semuanya mesti dipertimbangkan; masing- masing penyakit tersebut berbeda
dari syncope dalam hal patofisiologi maupun pengobatan.
KLASIFIKASI SYNCOPE Klasifikasi syncope terkait dengan etiologi dan patofisiologinya, dan secara garis besar
terbagi menjadi:
1. NEURALLY-MEDIATED (REFLEX) SYNCOPE / NMS Berhubungan dengan reflex alami tubuh manusia, yang bila dipicu, menimbulkan
vasodilatasi dan bradikardi, yang kemudian menyebabkan hipotensi sistemik dan
hipoperfusi serebral. Peristiwa yang memicu sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan
antar individu. Berdasarkan pemicu dan patofisiologinya, NMS dapat dibagi lagi menjadi :
a. Classic vasovagal syncope; yang dimediasi oleh emosi dan stress ortostatik dan biasanya
dapat didiagnosis dengan anamnesis yang baik.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
b. Carotid sinus syncope; biasanya terjadi akibat manipulasi dari sinus karotis secara tidak
sengaja, dan yang dapat direproduksi dengan pemijatan sinus karotis kembali.
c. Situtional syncope; merupakan NMS yang terjadi pada keadaan tertentu (misalnya,
berkemih, batuk, buang air, dll).
Namun seringkali, NMS memiliki presentasi klinis yang 'non-klasik', dan biasanya
didiagnosis setelah mengeksklusi tipe sinkop lain dan berespon positif terhadap tilt-testing
dan pemijatan sinus karotis.
2. ORTHOSTATIC HIPOTENSION (OH) Mengacu pada sinkop yang terjadi saat posisi tegak lurus (paling sering terjadi setelah
gerakan dari duduk atau berbaring ke posisi tegak) yang menyebabkan hipotensi arteri. Ini
terjadi karena dua hal. Pertama karena sistem saraf otonom gagal untuk merespon
perubahan yang terjadi saat posisi tegak. Kedua adalah deplesi volume, di mana sistem
otonom sendiri berfungsi baik, namun tetap tidak dapat menjaga tekanan darah akibat
penurunan volume sirkulasi. Penting untuk diingat bahwa vasovagal sinkop juga dapat
terjadi akibat perubahan posisi dari duduk ke berdiri, namun peristiwa ini tetap
dikelompokkan ke NMS
3. ARITMIA JANTUNG Menyebabkan penurunan curah jantung, biasanya terjadi terlepas dari kebutuhan darah
tubuh.
4. PENYAKIT STRUKTURAL JANTUNG
Menyebabkan sinkop ketika kebutuhan darah tubuh melebihi kemampuan jantung untuk
mengkompensasi akibat kelainan jantungnya.
5. STEAL SYNDROME Dapat menyebabkan sinkop ketika pembuluh darah yang sama mesti memasok kebutuhan
darah untuk otak dan lengan sekaligus.
KEADAAN NON-SYNCOPE Beberapa gangguan lain menyerupai sinkop dalam dua segi. Pada kelompok gangguan
tertentu, kesadaran benar-benar hilang, tapi mekanisme yang mendasarinya adalah
sesuatu yang lain di luar hipoperfusi otak. Contohnya adalah epilepsi, gangguan
metabolisme (Hipoksia dan hipoglikemia) dan intoksikasi. Pada kelompok lain, kesadaran
hanya tampaknya hilang, ini terjadi pada pseudo sinkop psikogenik, cataplexy dan drop
attacks. Penggolongan seperti ini penting karena klinisi biasanya dihadapkan dengan
pasien yang tiba-tiba kehilangan kesadaran, yang mungkin dikarenakan penyebab lain
yang tidak terkait dengan penurunan aliran darah otak, seperti kejang.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
ALUR DIAGNOSIS Pasien yang datang dengan keluhan TLOC perlu dilakukan evaluasi awal untuk
menentukan diagnosis, tatalaksana dan prognosis. Evaluasi awal menyangkut : anamnesis,
pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah ortostatik dan EKG standar 2-9.
Tantangan pertama bagi klinisi adalah membedakan apakah TLOC pasien disebabkan oleh
sinkop atau non-sinkop. Pembedaan ini penting karena akan menentukan langkah
tatalaksana selanjutnya.
Setelah yakin kalau serangan tersebut merupakan syncope, langkah selanjutnya adalah
menentukan penyebabnya. Evaluasi awal dapat membawa klinisi pada kesimpulan diagnosis tipe
sinkop tertentu, atau berupa kecurigaan diagnosis atau bahkan tidak diketahui penyebabnya.
PENEMUAN CIRI-CIRI KLINIS BERIKUT DAPAT MEMBANTU MENENTUKAN DIAGNOSIS BERBAGAI
TIPE SINKOP: a. Vasovagal syncope : Bila sinkop terkait rasa takut, nyeri hebat, berdiri terlalu lama.
b. Situasional syncope : jikasinkop terjadi selama atau segera setelah buang air kecil,
batuk, defekasi, atau menelan.
c. Orthostatic syncope: bila ada dokumentasi hipotensi ortostatik yang berhubungan
dengan sinkop atau presyncope.
d. Sinkop terkait Iskemia jantung : bila ada bukti tanda iskemia akut dengan atau tanpa
infark miokard
e. Sinkop terkait aritmia: didiagnosis bila pada EKG terdapat:
i. Sinus bradikardi <40 denyut / menit atau blok sinoatrial berulang-ulang atau jeda
sinus> 3 detik tanpa pemberian obat kronotropik negatif
ii. Mobitz tipe II derajat 2 atau 3
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
iii. Blok cabang berkas kiri dan kanan (RBBB dan LBBB)
iv. Supraventricular paroksismal takikardia tipe cepat atau ventrikel takikardia
v. Kegagalan fungsi alat pacu jantung
Umumnya evaluasi awal hanya akan mengarahkan ke dugaan diagnosis, bukan diagnosis
pasti. Bila demikian diagnosis harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan penunjang yang
terarah. Jika diagnosis berhasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan tersebut, pengobatan
dapat segera dimulai. Namun, jika diagnosis tidak berhasil dikonfirmasi, strategi evaluasi
selanjutnya bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan dan frekuensi episode sinkop. Pada
pasien dengan sinkop yang tidak dapat dijelaskan kemungkinan terbesar sinkopnya
termasuk tipe NMS. Pemeriksaan untuk NMS terdiri dari tilt-testing dan pijat karotid.
Sebagian besar pasien dengan episode tunggal atau sangat jarang biasanya termasuk dalam
NMS dan tes untuk konfirmasi biasanya tidak diperlukan. Jika tidak jelas bahwa suatu
kejadian adalah sinkop, diagnosis TLOC diperkenankan dan penilaian kembali dibenarkan.
PENENTUAN TINGKAT RESIKO
Langkah selanjutnya dalam evaluasi awal setelah penentuan diagnosis adalah menilai
apakah pasien membutuhkan perawatan rumah sakit atau rawat jalan saja. Penilaian ini
penting, karena tatalaksana sinkop seringkali berlebihan dan menghabiskan biaya yang
tidak semestinya. Resiko digolongkan menjadi resiko rendah, menengah, dan tinggi;
pembagian dan cara penilaiannya dapat dilihat pada tabel dibawah.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang berbeda-beda untuk masing-masing kecurigaan diagnosis sinkop
dan sangat banyak pemeriksaannya, yang akan dipaparkan berikut adalah pemeriksaan
yang terbukti paling baik nilai diagnostiknya:
1. Neurally mediated syncope / NMS : tilt test, carotid sinus massage dan implantable loop
recorder(ILR)
2. Cardiac related syncope : echocardiography, monitor EKG berlanjutan, stress test,
electrophysiological study dan implantable loop recorder(ILR).
Ketika pemeriksaan ke arah kelainan jantung sudah dilakukan dan tak ditemukan kelainan,
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan untuk NMS. Jika dua tipe pemeriksaan tersebut
sudah dijalankan dan penyebab sinkop belum bias ditegakkan, evaluasi kembali terhadap alur
diagnosis dari awal perlu dijalankan kembali.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
SECARA RINGKAS, ALUR TATALAKSANA PASIEN YANG DATANG DENGAN TLOC ADALAH
SEBAGAI BERIKUT
TATALAKSANA Tatalaksana terhadap kejadian sinkop sangat tergantung pada pengalaman klinis dan
kemampuan mengobservasi dan evaluasi hasil pengobatan.
1. NEURALLY MEDIATED SYNCOPE Pada NMS, edukasi merupakan dasar dari pengobatan. Pasien harus diinformasikan, meskipun kejadian sinkop akibat reflex hampir tidak pernah mengancam nyawa1,10, kejadiannya cenderung berulang, kadang dalam bentuk kelompok-kelompok serangan dan bisa mengakibatkan luka bila tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan. Edukasi
11
bersama dengan physical counter-pressure maneuvers (PCM) seperti menegangkan tangan (arm-
tensing) atau leg-crossing terbukti bermanfaat dalam menghindari reaksi reflex vasovagal12
.
Strategi untuk mengurangi kejadian sinkop dalam jangka panjang meliputi:
a. Teknik fisik untuk meningkatkan toleransi ortostatik (tilt testing)
b. Intervensi farmakologis untuk mencegah deplesi cairan intravascular dan meningkatkan
tonus pembuluh darah arteri dan vena
c. Pacu jantung untuk mencegah / mengobati bradikardi
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Berikut akan diuraikan masing-masing strategi tersebut.
TEKNIK FISIK Teknik fisik yang paling umum digunakan dan terbukti keefektifitasnya adalah tilt training /
standing training. Tujuan dari latihan ini adalah meningkatkan respon neurovaskular terhadap
terhadap stress ortostatik. Metodenya adalah sebagai berikut. Pada awalnya, latihan berdiri
dilakukan dua kali sehari selama 3-5 menit, kemudian ditambah durasinya tiap 3-4 hari menjadi
dua kali sehari selama 30-40 menit. Suatu studi non randomisasi mendapatkan penurunan
kejadian NMS bila latihan ini dilakukan secara teratur13
. Namun, masalah utama adalah
kepatuhan, dan suatu studi randomisasi observasi selanjutnya tidak memberikan hasil yang
terlalu menjanjikan.14
Penelitian lanjutan mengenai hal ini masih perlu dilakukan.
FARMAKOTERAPI
Terdapat beberapa studi RCT, dan sampai saat ini tidak ada satu obatpun, selain mungkin
midodrine, yang terbukti efektif untuk mengatasi kejadian sinkop karena NMS. Ekspansi volume
intravaskular telah menjadi dasar terapi baik untuk sinkop vasovagal dan sinkop ortostatik.
Pendekatan yang biasanya digunakan dalam ekspansi volume intravaskular adalah meningkatkan
asupan garam dan minuman kaya elektrolit. Berikut beberapa terapi farmakologik yang bisa
digunakan :
1. Fludrocortisone (suatu mineralokortikoid sintetik) merupakan obat untuk ekspansi volume
yang paling sering digunakan, terutama pada pasien usia muda. Efek sampingnya adalah
hipertensi dan hipokalemi. Namun bukti efikasi klinisnya sangat lemah. Beberapa studi
mendapatkan hasil yang tidak berbeda bila dibandingkan dengan penggunaan atenolol15
dan
plasebo16
.
2. Betablockers merupakan pilihan obat untuk mencegah sinkop vasovagal diantara berbagai
obat lain yang tersedia. Beta blockers diduga berperan menurunkan eskalasi adrenalin yang
biasanya terjadi sebelum kejadian sinkop dan yang diduga menjadi bagian factor pemicu.
Namun bukti efektifitasnya baru didukung oleh satu studi observasional dan suatu studi RCT
skala kecil17
. Studi RCT skala besar terbaru (POST [Prevention of Syncope Trial])
menunjukkan tidak ada manfaat nyata dari beta blocker dalam hal pencegahan pencegahan
rekurensi sinkop.18
3. Golongan vasokonstriktor dan venokonstriktor. Dalam golongan ini, midodrine merupakan
vasokonstriktor yang tersering digunakan. Midodrine dimetabolisme di hati menjadi zat
aktifnya, desglymidodrine, yang bekerja mengkonstriksi pembuluhg darah vena dan arteri,
sehingga meningkatkan tekanan perifer, meningkatkan darah balik vena, dan menurunakn
stasis vena. Midodrine telah banyak diteliti dan terbukti efektifitasnya terhadap hipotensi
ortostatik19
namun belakangan ini juga terbukti efektif untuk sinkop vasovagal20
.
CARDIAC PACING
Pacu jantung telah lama dipertimbangkan sebagai bagian penting dalam tatalaksana carotid
sinus syndrome. Namun, perannya dalam sinkop vasovagal yang refrakter masih tidak jelas. Dari
studi-studi yang ada, terdapat beberapa kontradiksi temuan. Tiga studi RCT yang non blinded
menunjukkan efikasi pacu jantung, namun dua studi berturutan setelah itu, VPS II [Second
Vasovagal Pacemaker Study]21
dan SYNPACE [Vasovagal Syncope and Pacing Trial]22
tidak
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
menunjukkan manfaatnya. Maka itu, pacu jantung hanya direkomendasikan untuk pasien usia
lanjut yang mengalami sinkop vasovagal dengan asystolic pauses selama kejadian sinkop (e.g.,
terekam dengan ILR).
2. ORTHOSTATIC SYNCOPE DAN GANGGUAN OTONOM LAINNYA. Pencegahan terhadap hal ini cukup sulit. Bila disebabkan oleh suatu proses otonom primer,
progresifitas kadang dapat dicegah dengan terapi yang persisten, namun konsep kembali ke
keadaan “normal” seringkali tidak dapat dicapai dan masih belum merupakan target terapi.
Terapi sebaiknya berfokus pada edukasi terhadap faktor-faktor yang mencetus hipotensi
postural. Pasien harus diedukasi tentang pentingnya mempertahankan keseimbangan cairan yang
baik dan melakukan PCM. Pasien dengan kegagalan otonom sebaiknya tidur dengan kepala yang
agak dielevasi (kira-kira 20-25 cm). Bila perlu, dapat pula digunakan midodrine dengan
mempertimbangkan efek samping berupa tekanan darah yang akan berfluktuasi dan supine
hypertension.
Keadaan khusus adalah pada pasien yang memiliki gangguan otonom murni. Dalam keadaan ini,
konsumsi air, terutama sebelum bangun dari tempat tidur pada pagi hari dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah yang cukup bermakna. Cara ini juga dapat dicoba pada pasien dengan
hipotensi postural dimana gejalanya paling dirasa mengganggu pada pagi hari.
Beberapa agen medikamentosa lain yang dapat digunakan pada keadaan tertentu adalah
erythropoietin, clonidine, octreotide, dan desmopressin. Namun, studi mengenai keefektifitas
obat-obatan tersebut masih sangat sedikit.
3. ARITMIA JANTUNG SEBAGAI PENYEBAB UTAMA SINKOP Dalam kasus dimana aritmia jantung sebagai penyebab utama , pengobatan ditujukan terhadap
tipe aritmia yang berhasil diidentifikasi.1 Pacu jantung merupakan terapi yang sanagt efektif
untuk bradikardi. Untuk takiaritmia, kadang diperlukan EPS mapping dan ablasi. Pada keadaan
dimana tidak dapat dilakukan prosedur ablasi, kadang diperlukan kombinasi obat antiaritmia
dengan alat yang ditanamkan (implanted devices) seperti pacemakers atau implantable
cardioverter-defibrillators (ICDs). Pada pasien tertentu dengan kondisi yang mengancam nyawa
(e.g., long QT syndrome,Brugada syndrome, short QT syndrome), disarankan untuk segera
menggunakan terapi dengan ICD, dan tidak dimulai dengan obat-obatan.
4. GANGGUAN STRUKTURAL JANTUNG PEMBULUH DARAH DAN PENYAKIT PARU
Seringkali sinkop terkait SHD (Structural Heart Disease) adalah sekunder terhadap NMS
atau kelainan aritmia. Bila ternyata dibuktikan tidak, maka tatalaksana berupa
menghilangkan atau memperbaiki kelainan struktur utamanya. Sebagai contoh, valvulopati
yang berat memerlukan operasi. Namun tak dapat dipungkiri, sampai saat ini intervensi
yang tersedia belum mampu menyediakan perlindungan memadai; sebagai contoh
terpenting adalah pada kasus hipertensi pulmonal.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
5. SINKOP SEREBROVASKULAR. Pada sinkop serebrovaskular manajemen medis dapat dengan penggunaan betablockers
dan sumatriptan 23. Subclavia steal syndrome tergolong pada klasifikasi sinkop
serebrovaskular, tetapi sangat langka; pengobatannya berupa pembedahan atau dengan
intervensi langsung menggunakan kateter24.
Evaluasi dan pengobatan sinkop sangat menantang. Pertama, "sinkop" hanyalah satu dari
sekian banyak penyebab TLOC. Kedua, gejala sinkop sangat singkat, dan pasien biasanya
asimtomatik ketika dijunpai. Ketiga, peristiwa sering terjadi tanpa diamati pihak lain, dan
meskipun ada yang menyaksikan, rasa panik yang timbul mungkin akan mengaburkan
ingatan spesifik akan kejadiannya. Terakhir, sinkop membawa suatu aura yang gawat
darurat, sehingga sering klinisi menjadi terburu-buru dan panik dalam mengahdapi sinkop,
dan pada akhirnya terburu-buru melakukan beberapa prosedur diagnostik yang tidak tepat
atau berlebihan secara tidak sengaja. Pendekatan berdasarkan stratifikasi risiko akan
cenderung membantu mencapai diagnosis yang tepat dan menghindari pengeluaran biaya
tinggi yang tidak perlu.
Meskipun sulit, evaluasi menyeluruh dari penyebab syncope diperlukan pada semua pasien,
dan bukan hanya pada mereka yang dianggap memiliki risiko kematian tinggi. Sebaliknya,
penemuan hasil abnormal dari pemeriksaan semata tidak merupakan "diagnosis." Dokter
harus hati-hati mempertimbangkan apakah kelainan yang terdeteksi sesuai dengan
penampilan klinisnya. Dalam setiap kasus sinkop, dokter dituntut untuk mampu menentukan
penyebab dengan keyakinan dan dasar yang cukup sehingga mampu memberikan penilaian
prognosis dan memilih pengobatan yang tepat.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
SYOK
DEFINISI Terdapat beragam definis syok. Di tahun 1870, Samuel D. Gross menggambarkan syok
sebagai "pemutusan rantai kehidupan secara kasar dari mesin kehidupan”. Seratus tahun
kemudian, pada tahun 1970-an, G. T. Shires mengatakan bahwa syok terjadi ketika sirkulasi
darah gagal untuk memberikan oksigen yang cukup untuk mempertahankan metabolisme
aerobik mitokondria dalam sel. Menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS), syok
merupakan konsekuensi dari ketidakcukupan perfusi jaringan, sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan oksigen sel dan mengakibatkan akumulasi limbah metabolisme.
Syok adalah suatu rangkaian gangguan metabolik yang pada akhirnya mengakibatkan
hipotermia, asidosis, dan koagulopati. Jika tidak cepat ditangani, syok akan berkembang
menjadi keadaan yang ireversibel, dan bisa mengakibatkan kegagalan banyak organ dan
kematian.
ETIOPATOFISIOLOGI DAN KLASIFIKASI SYOK Meskipun ada banyak metode klasifikasi dan definisi dari syok25, dalam pembahasan ini,
syok dibagi menjadi empat, berdasar pada patofisiologi yang mendasarinya, yaitu :
1. Hipovolemik
2. Anafilaktik
3. Kardiogenik
4. Sepsis.
1. SYOK HIPOVOLEMIK
Syok hipovolemik terjadi akibat dari penurunan volume sirkulasi darah. Etiologi yang paling
sering adalah perdarahan akut. Berat ringannya syok tergantung dari :
a. Jumlah defisit cairan
b. Jangka waktu hilangnya cairan
c. Usia
d. Status kesehatan individu (komorbid)
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Dalam kepentingan klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, atau berat,
tergantung dari banyaknya darah / cairan yang hilang. 26
a. Syok hipovolemik ringan; kurang dari 20% dari volume darah hilang. Pada tahap ini
tubuh mulai mengkompensasi dengan vasokonstriksi dan terjadi redistribusi aliran darah
di tubuh ke organ-organ kritis seperti otak dan janutng.
b. Syok hipovolemik sedang; kehiulangan 20% sampai 40% dari volume darah. Pada tahap
ini sudah terdapat penurunan perfusi yang nyata pada organ seperti ginjal, limpa, dan
pankreas.
c. Syok hipovolemik berat; kehilangan lebih dari 40% volume darah. Pada tahap ini terjadi
okpenurunan perfusi dari otak dan jantung.
PATOFISIOLOGI SYOK HIPOVOLEMIK Pada pasien trauma, syok hipovolemik dapat disebut juga sebagai syok hemorhagik. Pasien
mungkin mengalami suatu perdarahan internal atau eksternal, dengan konsekuensi
penurunan volume sirkulasi darah. Hal ini mengakibatkan penurunan preload dan
afterload dan akhirnya penurunan curah jantung. Patofisiologi dari syok hipovolemik
menyangkut perubahan-perubahan dari kondisi berikut :
Vasokonstriksi
Vasokonstriksi adalah awal mekanisme kompensasi tubuh terhadap syok. Penurunan
tekanan darah akan menghambat rangasangan baroreseptor di lengkung aorta dan sinus
karotid. Penurunan volume darah juga akan merangsang reseptor regang di atrium kanan.
Kedua hal ini akan merangsang pelepasan katekolamin, epinefrin, dan norepinephrine,
meningkatkan tonus vena, meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan pada
akhirnya meningkatkan curah jantung.25 Hal yang penting untuk dipahami adalah tidak
semua pasien yang berada dalam syok hipovolemik akan menunjukkan takikardia (Pasien
dalam pengobatan β-blocker, dan cedera sumsum tulang belakang27)
Penglepasan katekolamin yang menyebabkan penyempitan arteriol, tidak mempengaruhi
semua bagian tubuh dalam taraf yang sama. Tubuh akan memprioritaskan jantung dan
otak dengan “mengorbankan” saluran pencernaan (GI), kulit, dan rangka otot. Jika syok
berkepanjangan dan tak segera diatasi, dapat mengakibatkan iskemia usus, nekrosis
tubular, rasa dingin dari kulit yang semuanya diakibatkan hipovolemi.25
Volume Plasma
Vasokonstriksi akan menyebabkan pergeseran cairan antara kompartemen vaskular dan
ruang interstisial. Pada keadaan awal syok , terjadi pengurangan tekanan hidrostatik
kapiler, yang memungkinkan pergerakan bebas cairan dari interstitium ke pembuluh darah
darah. Mobilisasi cairan ini biasanya terjadi dalam periode 6-12 jam. Mekanisme ini
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
bukanlah mekanisme yang mendasari perubahan volume besar dalam fase awal syok
hemorhagik.25 Penurunan aliran darah ginjal akan mengaktifkan aksis renin-angiotensin-
aldosteron dan akan meningkatkan retensi natrium dan air, serta ekskresi kalium.
Bersamaan dengan itu, akan dilepaskan hormon antidiuretik dari hipofisis, yang selain
menghambat ekskresi air, juga akan merangsang vasokonstriksi perifer.25
Katabolisme
Selama keadaan syok, penglepasan katekolamin dan glukokortikoid menciptakan keadaan
katabolik. Bersama-sama, katekolamin dan glukagon meningkatkan glikogenolisis dan lipolisis.
Akibatnya, hiperglikemia, serta peningkatan kadar asam laktat dan lemak, dapat diamati dalam
perkembangan syok.25
Gangguan Asam Basa
Gangguan asam basa adalah salah satu kelainan yang timbul saat syok. Kelainan awal yang
paling sering terjadi adalah alkalosis respiratorik. Dalam perkembangan syok, metabolisme
anaerobik menjadi dominan, dan akan merangsang produksi laktat yang berlebihan, yang pada
akhirnya menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik akan memperburuk keadaan
syok, akan menurunkan kepekaan terhadap hormon stres dan katekolamin, penurunan
kontraktilitas miokard dan meningkatkan kecenderungan terjadinya disritmia jantung.25
Jumlah
laktat berkorelasi positif dengan defisiensi oksigen, keparahan hipoperfusi, dan kecukupan
resusitasi yang telah dilakukan. Serum laktat merupakan indikator yang sensitif dan mungkin
berguna pada pasien yang meskipun tanda-tanda vitalnya masih normal sudah memiliki cedera
seluler. Satu lagi indikator yang dapat digunakan adalah defisit basa (Base excess). Defisit basa
dapat digunakan sebagai indeks keparahan syok dan mencerminkan tingkat asidosis seluler
secara global.
TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala pada syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi gejala awal dan lanjut. Tanda
dan gejala awal syok hipovolemik termasuk tingkat kesadaran yang berubah kadang-kadang
berupa agitasi dan kegelisahan, atau depresi sistem saraf pusat. Pemeriksaan fisik akan
mendapatkan tanda-tanda yang nonspesifik seperti kulit dingin, lembab, hipotensi ortostatik,
takikardia ringan, dan vasokonstriksi.27
Tanda syok fase lanjutan adalah perburukan status mental sampai pada koma, hipotensi, dan
tachycardia yang berat. Penting untuk diketahui, pada orang dewasa normal, bila terdapat
hipotensi dengan hipovolemik hemorhagik, mengartikan sudah terjadi kehilangan volume darah
sebanyak 30%.27
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
TATALAKSANA Tatalaksana pada pasien syok pertama kali adalah melakukan penilaian status dan
menstabilkan ABC (Airway, Breathing, Circulation) pada pasien. Pada syok hipovolemik
maka kondisi kekurangan volume cairan tubuh harus segera dikembalikan dengan
pemberian cairan melalui jalur intravena.
a. Pemberian cairan
Tipe cairan
Kristaloid
Kristaloid tersedia dalam berbagai bentuk seperti cairan isotonis (normal saline)NaCl 0,9%,
NaCl hipertonis 7,5%, balanced salt solutions seperti Ringer Laktat.
Koloid
Koloid merupakan cairan denganberat molekul besar, sehingga akan meningkatkan
tekanan onkotik intravaskular dan menarik cairan dari interstisium. Namun, dari Current
Emergency dikatakan penggunaan koloid pada keadaan syok tidak terbukti lebih baik
dibandingkan penggunaan kristaloid. 28
Darah
Pemilihan darah sebagai terapi pada syok tergantung pada tingkat keparahan syok, pada
syok ringan tidak memerlukan darah sebagai pengganti cairan sementara pada syok
moderat hingga berat pemberian darah memberikan keluaran yang baik. Darah yang
diberikan sedapat mungkin sesuai dengan golongan darah pasien yang sebelumnya juga
telah dilakukan pemeriksaan silang, jika tidak didapatkan maka dapat menggunakan
golongan darah donor universal yakni golongan darah O rhesus negatif. 28
Pemilihan cairan
Pemilihan cairan yang diberikan tergantung pada tingkat keparahan syok dan jenis
syoknya (hemoragik atau nonhemoragik).2 Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk
resusitasi awal, jenis cairan ini dapat segera mengisi ruang intravaskular dan juga
menstabilkan volume intravaskular. Larutan ringer laktat adalah pilihan pertama dan NaCl
adalah pilihan kedua, hal ini disebabkan NaCl dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik.
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi
awal penderita. Pada kondisi awal dikenal hukum 3 to1 dimana setiap mililiter darah
digantikan oleh 3 mililiter kristaloid. Untuk mengetahui keadekuatan pemberian cairan,
maka dapat dilihat dari keluaran urin pasien, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Pemberian cairan isotonis sebanyak 2- 4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat
mengembalikan keadaan hemodinamik. 28
Pada keadaan yang berat dapat diberikan dopamin, vasopressin atau dobutamin.
Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada syok hipovolemik.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
b. Evaluasi resusitasi
Keberhasilan resusitasi dapat dilihat dari perbaikan takanan darah, keluaran urin,
hilangnya takikardia, perbaikan kesadaran, menurunnya kadar laktat, dan tingkat
keasaman darah yang normal. Pasien di ruang rawat intensif akan dinilai pengisian tekanan
dari atrium dengan menggunakan CVP, keadaan yang normal berkisar 3-8 mmHg H2O,
pada keadaan syok CVP dipertahankan sekita 8-`12 mmHg H2O. Keluaran urin merupakan
salah satu indikator yang menandakan perbaikan sirkulasi dengan volume intravaskular
yang memadai, jumlah yang dikeluarkan harus dipertahankan sekitar 0,5 ml/kgBB/jam
pada dewasa dan 1ml/kgBB/jam pada anak dan lebih dari 2 ml/kgBB/jam pada balita,
namunperhitungan ini tidak berlaku pada pasien dengan kerusakan ginjal.28
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
2. SYOK ANAFILAKTIK Anafilaksis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa
imunologis yang cepat, umum dan sering tak terduga, yang terjadi setelah terpapar zat
asing tertentu pada orang yang peka. Sedangkan reaksi anafilaktoid merupakan peristiwa
dengan sindroma klinis yang sama namun tidak dipicu oleh antibodi IgE dan tidak selalu
membutuhkan paparan sebelumnya. Kedua peristiwa ini dapat mengancam nyawa melalui
mekanisme kolaps kardiovaskular atau syok. Efek lain yang mengancam nyawa termasuk
bronkospasme, angio-edema dan edema paru.29
MEKANISME SYOK ANAFILAKTIK
Mekanisme syok anafilaksis dapat dibagi menjadi empat kategori utama:
a. Triggering events, faktor pencetus reaksi
b. Celuler events, mekanisme seluler sampai pada pelepasan mediator yang
menimbulkan reaksi
c. Farmakologi klinis mediator
d. Respon kardiovaskular / pasien terhadap mediator.
Triggering Events
Merupakan peristiwa yang memicu terjadinya anafilaksis, baik yang dimediasi oleh IgE
atau berupa reaksi anafilaktoid. Walaupun demikian dalam reaksinya banyak terdapat
bukti keterlibatan kedua jalur ini secara bersamaan. Berikut adalah pemicu-pemicu reaksi
anafilaksis :
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Sedangkan reaksi anafilaktoid dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut :
Celluler events
Terlepas dari mekanisme mana yang memicu anafilaksis, respon seluler yang terjadi
kurang lebih sama. Semua tanda dan gejala dari reaksi anafilaksis dapat dihasilkan oleh
histamin. Reaksi yang lebih berat biasanya berkorelasi dengan tingkat histamin lebih
tinggi. Namun, reaksi fatal juga dapat terjadi tanpa elevasi histamin, menunjukkan bahwa
selain histamin ada mediator –mediator penting lainnya yang terlibat. Sel yang paling
berperan adalah sel mast dan basofil, yang setelah dipicu akan dua kelompok utama
mediator berikut29:
i. Primary, preformed, granule-associated mediator
Setelah dipicu oleh antigen, siklik AMPakan mengaktifkan protein kinase yang akan
mengkatalisis fosforilasi protein sel tertentu. Setelah melewati rangkaian reaksi yang
kompleks, akan terbentuk mikrotubulus yang memungkinkan pergerakan preformed
granule ke membran sel, dan melepaskan mediator ke dalam ruang interseluler.29
Mediator-mediator yang dilepas pada tahap ini dapat dilihat dibawah ini.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
ii. Rapidly formed, newly synthesized mediators
Setelah penglepasan mediator-mediator tersebut, masuknya ion kalsium ke dalam sel mast
akan menyebabkan aktivasi fosfolipase A2, 10, 11. Enzim ini akan memecah membran
fosfolipid menjadi asam arakidonat dan lysofosfolipid. Asam arakidonat, melalui jalur
cyclo-oxygenase, kemudian diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan, serta melalui
jalur lipoxygenase menjadi leukotrien. Mediator-mediator yang dilepas pada tahap ini
adalah :
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Penting untuk diingat, zat yang meningkatkan siklik AMP seperti adrenalin, akan
menghambat penglepasan mediator, sedangkan zat yang mengurangi siklik AMP atau
meningkatkan siklik GMP, seperti agen kolinergik, akan meningkatkan penglepasan
mediator.29
Farmakologi klinis mediator
Untuk mempermudah pemahaman, kerja dari mediator-mediator dalam reaksi anafilaksis
dapat dibagi menjadi tiga kategori, sebagai agen inflamasi, spasmogen dan agen
kemotaktik. Perlu ditekankan, pembagian ini tidak mutlak dan satu agen bisa memiliki
berbagai mekanisme kerja, namun penggolongan ini berdasar pada kerja utamanya.
Pembagiannya dapat dilihat sebagai berikut :
Respon Kardiovaskular
Pembahasan terakhir dalam mekanisme syok anafilaktik adalah bagaimana respon
kardiovaskular terhadap mediator primer dan sekunder tersebut. Kolaps kardiovaskular
Merupakan hal yang umum terjadi dalam reaksi anafilaksis. Aritmia, hipovolemia,
penurunan kontraktilitas miokard dan hipertensi pulmonal merupakan respon umum dari
kardiovaskular yang bila tak diidentifikasi dan ditangani bisa menyebabkan syok dan
kolaps kardiovaskular. Penjabarannya dapat dilihat di bawah ini:
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
TATALAKSANA SYOK ANAFILAKTIK Sifatnya yang cenderung eksplosif, onset tak terduga dan respon yang cepat terhadap
pengobatan merupakan ciri dari syok anafilaksis. Melihat dari cirinya, dapat dimengerti
bahwa hanya sedikit sekali studi terapeutik terkontrol yang telah dilakukan terhadap
manusia. Oleh sebab itu, pengobatan terutama didasarkan pada pemahaman patofisiologi
anafilaksis dan syok pada umumnya dan, sampai pada batasan tertentu, uji coba pada
hewan.29
Administrasi obat secara parenteral merupakan rute yang paling disukai dalam reaksi
anafilaksis, dimana reaksi terhadap obat terjadi di bawah 3 menit. Lebih dari 50% orang
yang meninggal dari anafilaksis terjadi dalam satu jam pertama, sehingga terapi harus
diusahakan secepat dan setepat mungkin. Dalam 75% kasus, penyebab utama kematian
adalah akibat asfiksia akibat edema saluran napas bagian atas dan hipoksia akibat
bronkospasme berat. Dalam 25% kematian terdapat bukti adanya gagal sirkulasi dengan
hipotensi. Tatalaksana syok anafilaktik dapat dilihat pada tabel berikut.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Diagnosis anafilaksis tidak sulit ketika pasien datang dengan urtikaria, bersin dan
mengeluhkan sengatan lebah. Sampai saat ini belum tersedia uji laboratorium untuk
mengkonfirmasi diagnosis anafilaksis. Kadar triptase serum merupakan penanda akurat
degranulation sel mast yang dapat ditemukan sampai dengan 6 jam setelah kejadian , tetapi
penggunaannya terbatas karena hanya dapat dikerjakan laboratorium imunologi khusus.
Kemampuan untuk diagnosis dengan tepat dan melakukan tatalaksana pengobatan yang
sesuai untuk syok anafilaksis sampai sekarang masih menjadi tantangan.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
3. SYOK KARDIOGENIK Syok kardiogenik didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai sekunder akibat gangguan pompa. Bila dikaitkan dengan
trauma, syok kardiogenik dapat merupakan akibat infark miokard akut baik karena cedera
di masa lampau atau cedera miokard langsung.
PATOFISIOLOGI Teori mengenai paotfisiologi syok kardiogenik klasik menggambarkan skenario di mana infark
miokard yang luas menimbulkan penurunan kontraktilitas miokard yang akan mengurangi curah
jantung, menyebabkan hipotensi sistemik dan memperburuk perfusi koroner. Peristiwa ini
kemudian memicu kompensasi tubuh berupa vasokonstriksi sistemik yang kemudian
menyebabkan penurunan kontraktilitas dan curah jantung lebih jauh lagi, sehingga berujung pada
kegagalan multi-organ dan kematian. Namun, baru-baru ini hasil SHOCK trial menunjukkan
bahwa sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) merupakan komponen penting dari
ketidakstabilan hemodinamik yang mendasari tampilan klinis syok kardiogenik 30
. Studi lain
menunjukkan asosiasi agen proinflamasi terhadap IMA yang berakhir pada syok kardiogenik. 30
Selectin E, yang fungsinya memfasilitasi adhesi dari komponen proinflamasi ke endotelium,
didapatkan merupakan faktor resiko independen yang mampu memprediksi tingkat keparahan
dari syok kardiogenik. Selain itu, Brain Natriuretic Peptide(BNP) dan N-terminal pro BNP telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko syok kardiogenik sesudah IMA pada pasien diabetes. Semua
temuan ini menunjukkan adanya peran agen proinflamasi dan inflamasi dalam patofisiologi syok
kardiogenik, dan dapat menjadi target terapi untuk syok kardiogenik di kemudian hari.
TATALAKSANA
Medikamentosa
Tatalaksana awal untuk pasien syok kardiogenik diarahkan untuk menstabilkan kondisi
hemodinamik yang mengancam nyawa, bersama dengan pengelolaan cairan, memperbaiki
status oksigenasi dan mengontrol aritmia. Untuk mengontrol ini semua, terapi awal
umumnya terdiri dari kombinasi agen inotropik, vasopressors, dan IABP counterpulsation.
Contoh obat inotropik dan vasopresor yang umum digunakan adalah dobutamine,
dopamin, milrinone, epinefrin, norepinefrin, dan fenilefrin. Pemilihan obat inotropik dan
vasopresors bervariasi antar negara, tapi umumnya vasopresor yang paling sering
digunakan adalah norepinefrin (80.2% dari pasien), baik sendiri ataupun kombinasi.
Vasopressin kini lebih sering digunakan bersama dengan norepinefrin sejak tahun 2002.
Dalam beberapa negara, statin digunakan juga sebagai terapi adjuvan, namun apakah statin
bersifat kardioprotektif belum ditemukan dalam suatu studi RCT prospektif.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Dukungan alat mekanik
Dukungan alat mekanik dengan counterpulsation IABP, khususnya dalam kombinasi
dengan terapi reperfusi arteri koroner saat ini dikategorikan dalam rekomendasi terapi
kelas I American College of Cardiology / American Heart Association untuk pengelolaan
pasien dengan syok kardiogenik dengan ACS.30
Percutaneous Coronary Intervention dan Coronary Artery Bypass Graft
Rrevaskularisasi awal baik dengan PCI atau operasi CABG sudah merupakan rekomendasi
kelas I oleh American College of Cardiology /American Heart Association untuk pasien
yang lebih muda dari 75 tahun dengan syok kardiogenik.
Trombolisis
Penggunaannya masih kontroversial, namun beberapa studi menunjukkan efek yang baik.
Suatu studi kohort di Swedia menunjukkan tingkat kematian yang lebih rendah (7.2%
dibandingkan dengan 11,8%) pada pasien yang diterapi dengan trombolitik sebelum
masuk rumah sakit. Namun, pada pasien yang memiliki syok kardiogenik, penggunaan
trombolitik tanpa penambahan IABP masih dipertanyakan.30
Syok kardiogenik terus mengakibatkan kematian tinggi meskipun telah banyak disusun
pedoman tatalaksana berbasis bukti saat ini. Intervensi farmakologis di masa depan yang
dirancang untuk menghadapi patofisiologi proinflamasi yang mendasarinya, bersama
kombinasi dengan revaskularisasi awal, diharapkan mampu menghasilkan luaran yang baik,
tetapi sampai saat ini belum ada peluru ajaib untuk mengatasi syok kardiogenik.
Mengusahakan waktu yang singkat untuk transportasi dan pengobatan pasien dengan fokus
pada revaskularisasi sampai saat ini masih merupakan pilihan untuk syok
kardiogenik.Berikut disajikan algoritma tatalaksana syok kardiogenik dari ACCA / AHA 2006.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
4. SYOK SEPTIK Sepsis adalah puncak dari interaksi kompleks antara mikroorganisme yang menginfeksi
dan respon imun pejamu, inflamasi, dan koagulasi. Sepsis dengan disfungsi organ terjadi
saat respon imun pejamu terhadap infeksi tidak memadai. Berdasarkan konsensus dari
American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
sepsis didefinisikan sebagai keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi
SIRS (Systemic Inflammatory Respons Syndrome).31
PATOFISIOLOGI Bakteri penyebab sepsis akan melepaskan endotoksin (lipopolisakarida) yang akan
menyebabkan proses inflamasi, yand diperantai oleh sitokin, neutrofil, komplemen, NO dan
berbagai mediator lain. Jika tubuh tidak dapat beradaptasi dengan inflamasi yang terjadi
maka dapat menyebabkan hom eostasis yang maladaptif, yang akan menghasilkan proses
inflamasi yang destruktif. Gangguan pada tingkat sel akan menyebabkan disfungsi endotel,
vasodilatasi akibatpengaruh NO yang menyababkan maldistribusi volume darah sehingga
terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Proses inflamasi yang belanjut akan menyebabkan
gagal organ multipel. Gagal organ merupakan hasil dari kerusakan seluler, gangguan
perfusi organ, iskemia reperfusi dan mikrotrombus. 31
TATALAKSANA
Konsensus pedoman penatalaksanaan syok sepsis baru-baru ini disosialisasi.32 Dalam
pedoman tersebut, penatalaksanaan syok sepsis yang disarankan adalah tatalaksana
intensif dini (0 sampai 6 jam) beru kemudian dilanjutkan pemeliharaan dan perbaikan
fungsi organ.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Early Goal Directed Therapy / EGDT
Landasan pengelolaan sepsis adalah terapi dini, goal-directed, ditambah dengan
melindungi fungsi paru, pemberian antibiotik spektrum luas, dan pemberian protein C5
aktif. River menemukan bahwa, strategi EGDT yang diterapkan berhasil menurunkan
angka kematian pada perawatan hari ke 28 dan 60 serta menurunkan durasi rawat inap.
Mekanisme mengapa EGDT ini memberi hasil yang lebih baik dibanding terapi
konvensional masih belum jelas, tapi mungkin karena terjadi pemulihan cepat hipoksia
jaringan serta penurunan reaksi peradangan dan defek koagulasi.32
Ventilasi
Setelah EGDT dijalankan, langkah selanjutnya adalah melakukan ventilasi paru. Cedera
akut paru sering mempersulit sepsis. Ventilasi paru yang baik terbukti menurunkan
mortalitas dan bermanfaat mencegah dan memperbaiki cedera paru septik akut. Namun,
tidak ada perbedaan yang bermakna dalam mortalitas antara pasien yang diobati dengan
rejimen PEEP biasa dan regimen PEEP yang lebih tinggi. 32
Pemberian antibiotik spektrum luas
Kultur harus segera dilakukan dan segera diberikan antibiotik spektrum luas intravena
sementara menilai status imun pejamu. Meningkatnya prevalensi jamur dan pola
resistensi antibiotik setempat perlu dipertimbangkan dalam memilih antibiotik.
Pemberian protein C aktif
Setelah EGDT, pemberian ventilasi dan antibiotik, penggunaan protein C aktif harus
dipertimbangkan. Terapi dengan protein C teraktivasi (24 mg per kilogram per jam selama
96 jam) dilaporkan mampu menurunkan angka kematian dan memperbaiki disfungsi organ
pada pasien sepsis berat. Pemberiannya telah terbukti bermanfaat pada pasien sepsis
resiko tinggi, tapi tidak pada yang berisiko rendah. Mekanisme kerjanya dalam
memperbaiki kondisi klinis masih tidak diketahui.
Pengobatan anemia pada sepsis
Anemia umum ditemukan pada sepsis karena mediator-mediator yang berperan pada
sepsis (TNF-α dan interleukin-1β) menurunkan ekspresi dari gen eritropoetin dan protein
penting lainnya . Transfusi dapat bermanfaat pada kondisi emergensi pada sepsis. Rivers et
al. mendapatkan penurunan mortalitas bila transfusi diberikan lebih awal. Hebert et al.
menyarankan untuk mempertahankan tingkat hemoglobin antara 70-90 gram per liter
setelah 6 jam yang pertama untuk mengurangi kebutuhan transfusi.
Pemberian Kortikosteroid untuk pasien kritis
Meskipun kortikosteroid kadang telah digunakan untuk pengelolaan sepsis selama
beberapa dekade, suatu RCT terbaru menunjukkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi
jangka pendek (48 jam) tidak meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien sepsis berat. 32 Kortikosteroid juga telah dipertimbangkan dalam pengobatan ARDS (Acute respiratory
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
distress syndrome), namun sampai saat ini hubungan yang jelas antara keduanya belum
didapatkan. Kortikosteroid memiliki beberapa efek merugikan pada pasien sepsis,
termasuk diantaranya menyebabkan neuromiopati dan hiperglikemia, serta penurunan
jumlah limfosit, imunosupresi, dan hilangnya sel-sel epitel usus melalui mekanisme
apoptosis. Imunosupresi yang menyertai penggunaan kortikosteroid pada sepsis dapat
menyebabkan infeksi nosokomial dan mengganggu penyembuhan luka. Dengan demikian,
penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan sepsis masih kontroversial.
EVALUASI DAN MENGONTROL SUMBER SEPSIS
Setelah berhasil menatalksana pasien sepsis yang berada pada stadium kritis dengan
EGDT, langkah selanjutnya adalah mengembalkikan fungsi organ-organ serta mencari
sumber sepsis. Bila kuman penyebabnya berhasil diidentifikasi (20% dari pasien sepsis
memiliki kultur negatif) maka segera diberikan antibiotik yang spesifik untuk mengurangi
resiko munculnya kuman yang resisten. Pencarian sumber dari sepsis kadang
membutuhkan penggunaan pencitraan (e.g., USG atau CT scan) dan pengambilan sampel
langsung dari kecurigaan sumber infeksinya drainage (e.g.,thoracentesis).
Bagan tatalaksana syok sepsis dapat dilihat pada halaman berikutnya.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
DAFTAR PUSTAKA
1. Brignole M, Alboni P, Benditt D et al. Guidelines on management (diagnosis and
treatment) of syncope. Eur Heart J 2001;22:1256–306.
2. Hoefnagels WAJ, Padberg GW, Overweg J et al. Transient loss of consciousness: the
value of the history for distinguishing seizure from syncope. J Neurol 1991;238:39–43.
3. Martin GJ, Adams SL, Martin HG et al. Prospective evaluation of syncope. Ann Emerg
Med 1984;13:499–504.
4. Kapoor W, Karpf M, Wieand S et al. A prospective evaluation and follow-up of patients
with syncope. New Engl J Med 1983;309:197–204.
5. Kapoor W. Evaluation and outcome of patients with syncope. Medicine 1990;69:169–75.
6. Kapoor WN, Fortunato M, Hanusa SH et al. Psychiatric illnesses in patients with
syncope. Am J Med 1995;99:505–12.
7. Alboni P, Brignole M, Menozzi C et al. The diagnostic value of history in patients with
syncope with or without heart disease. J Am Coll Cardiol 2001;37:1921–8.
8. Calkins H, Shyr Y, Frumin H et al. The value of clinical history in the differentiation of
syncope due to ventricular tachycardia, atrioventricular block and neurocardiogenic
syncope. Am J Med 1995;98:365–73.
9. Sheldon R, Rose S, Ritchie D et al. Historical criteria that distinguish syncope from
seizures. J Am Coll Cardiol 2002;40:142–8.
10. Soteriades ES, Evans JC, Larson MG, et al. Incidence and prognosis of syncope. N Engl J
Med 2002;347:878–85.
11. Almquist A, Gornick C, Benson DW Jr., Dunnigan A, Benditt DG. Carotid sinus
hypersensitivity: evaluation of the vasodepressor component. Circulation 1985;71:927–36.
12. Krediet CT, van Dijk N, Linzer M, van Lieshout JJ, Wieling W. Management of vasovagal
syncope: controlling or aborting faints by leg crossing and muscle tensing. Circulation
2002;106:1684 –9.
13. Di Girolamo E, Di Iorio C, Leonzio L, Sabatini P, Barsotti A. Usefulness of a tilt training
program for the prevention of refractory neurocardiogenic syncope in adolescents: a
controlled study. Circulation 1999;100:1798–801.
14. Gurevitz O, Barsheshet A, Bar-Lev D, et al. Tilt training: Does it have a role in preventing
vasovagal syncope? Pacing Clin Electrophysiol 2007;30:1499 –505.
15. Scott WA, Pongiglione G, Bromberg BI, et al. Randomized comparison of atenolol and
fludrocortisone acetate in the treatment of pediatric neurally mediated syncope. Am J Cardiol
1995;76:400 –2.
16. Salim MA, Di Sessa TG. Effectiveness of fludrocortisone and salt in preventing syncope
recurrence in children: a double-blind, placebocontrolled, randomized trial. J Am Coll
Cardiol 2005;45:484–8.
Diskusi Topik : Sinkop dan syok Disusun oleh : dr. Paskalis Gunawan
Pembimbing : dr. Ceva W Pitoyo, SpPD, K-P
17. Mahanonda N, Bhuripanyo K, Kangkagate C, et al. Randomized double-blind, placebo-
controlled trial of oral atenolol in patients with unexplained syncope and positive upright tilt
table test results. Am Heart J 1995;130:1250 –3.
18. Sheldon R, Connolly S, Rose S, et al. Prevention of Syncope Trial (POST): a randomized,
placebo-controlled study of metoprolol in the prevention of vasovagal syncope. Circulation
2006;113:1164 –70.
19. Jankovic J, Gilden JL, Hiner BC, et al. Neurogenic orthostatic hypotension: a double-blind,
placebo-controlled study with midodrine. Am J Med 1993;95:38–48.
20. Ward CR, Gray JC, Gilroy JJ, Kenny RA. Midodrine: a role in the management of
neurocardiogenic syncope. Heart 1998;79:45–9.
21. Connolly SJ, Sheldon R, Thorpe KE, et al. Pacemaker therapy for prevention of syncope in
patients with recurrent severe vasovagal syncope: Second Vasovagal Pacemaker Study (VPS
II): a randomized trial. JAMA 2003;289:2224 –9.
22. Raviele A, Giada F, Menozzi C, et al. A randomized, double-blind, placebo-controlled study
of permanent cardiac pacing for the treatment of recurrent tilt-induced vasovagal syncope.
The Vasovagal Syncope and Pacing Trial (SYNPACE). Eur Heart J 2004;25:1741– 8.
23. Silberstein SD. Practice parameter: evidence-based guidelines for migraine headache: report
of the quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology
2000;55:754–62.
24. Hadjipetrou P, Cox S, Piemonte T, Eisenhauer A. Percutaneous revascularization of
atherosclerotic obstruction of aortic arch vessels. J Am Coll Cardiol 1999; 33:1238–45.
25. Stern SA, Bobek EM. Resuscitation: management of shock. In: Ferrera PC, Colucciello SA,
Marx JA, et al., eds. Trauma Management: An Emergency Medicine Approach. St Louis:
Mosby; 2001:75–102.
26. Bongard FS. Shock and resuscitation. In: Bongard FS, Sue DS, eds. Current Critical Care
Diagnosis and Treatment. 2nd ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 242–
267; 2002.
27. Cohen S. Shock. In: Cohen S, ed. Trauma Nursing Secrets. Philadelphia: Hanley and
Belfus; 2003:109– 114.
28. Greenwald PW. Shock. In: Stone CK, Humphries R, editors. Current Emergency
Diagnosis & Treatment. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.191-207
29. Brown AFT. Anaphylactic shock: mechanisms and treatment. Journal of Accident and
Emergency Medicine 1995; 12: 89-100
30. Mann HJ, Nolan PE. Update on the management of cardiogenic shock. Current Opinion
in Critical Care 2006,;12: 431–436
31. Chen K, Pohan H. Penatalaksanaan Syok Septik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Book I. 4th Edition. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.190-92.
32. Russell, JA. Review article: Drug Therapy, Management of Sepsis. N Engl J Med
2006;355:1699-713