sanksi pelanggaran pasal 72 -...

Download Sanksi Pelanggaran Pasal 72 - piaturpangaribuan.compiaturpangaribuan.com/download/finish/5-buku/22-buku-jilid-2/0.html · BAB I PENDAHULUAN ~ 1 ... masukan dengan kualitas dan kuantitas

If you can't read please download the document

Upload: tranthu

Post on 02-Mar-2018

230 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Sanksi Pelanggaran Pasal 72:Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000 (satujuta rupiah), atau pidana penjara paling lama (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah.

iv

Kewenangan Audit Investigatif Mengidentifikasi, Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBD Copyright Piatur PangaribuanHak Cipta Dilindungi Undang-undangAll Rights Reserved

Cetakan Pertama, Mei 2011

Penulis : Piatur Pangaribuan Editor : Taufiqiyyah Nur AiniRancang Sampul : Muhammad KavitTata Letak : Deni SetiawanPracetak : Wahyu Saputra Penerbit:MEDIA PERKASAPerum. Gunung SempuJl. Menur 187 YogyakartaTelp. (0274) 6845341, E-mail: [email protected]: 08122599653

Piatur Pangaribuan Kewenangan Audit Investigatif Mengidentifikasi, Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBDxii + 252 hal, 14 cm x 21 cmISBN:

Percetakan dan Pemasaran:YUMA PRESSINDOE-mail: [email protected]. 0271-9226606/085647031229

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atauseluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Isi diluar tanggungjawab percetakan.

v

Pengantar Penerbit

Keuangan merupakan sesuatu yang krusial dalam menyelenggarakan hal-hal tertentu, termasuk penyelenggaraan negara. Keuangan suatu negara bersumber dari berbagai sumber dana. Di Indonesia keuangan negara bersumber dari berbagai sektor kemudian diwujudkan dalam sebuah anggaran pendapatan dan belanja, yaitu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Realisasi penggunaan APBN dan APBD diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berwenang untuk memeriksa pemakaian APBN dan APBD, tetapi tidak berwenang mengubah peraturan yang berkaitan dengan pemakaian APBN dan APBD. Dalam buku ini diuraikan

vi

contoh kasus pemeriksaan APBD dengan BPK melampaui batas kewenangannya. Dalam buku ini diuraikan hal-hal yang seharusnya dilakukan BPK ketika memeriksa pelaksanaan APBD di suatu daerah.

Buku ini cocok digunakan sebagai referensi dalam menyikapi kasus hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan APBD. Kasus hukum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Buku ini dapat digunakan sebagai referensi untuk menentukan keputusan yang seharusnya diambil oleh pihak yang terkait.

Penerbit menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah mempercayakan penerbitan buku ini kepada penerbit. Penerbit menyadari bahwa dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penerbit mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan penerbitan buku selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Salam sukses dan luar biasa.

Surakarta, Mei 2014Penerbit

vii

Kata Pengantar

viii

ix

Daftar Isi

PENGANTAR PENERBIT ~ vKATA PENGANTAR ~ viiDAFTAR ISI ~ ixBAB I PENDAHULUAN ~ 1BAB II METODE KAJIAN

A. Jenis Kajian ~ 43B. Pendekatan Masalah ~ 44C. Sumber Bahan Hukum ~ 62D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum ~ 66E. Analisis Bahan Hukum ~ 67

BAB III LANDASAN TEORIA. Teori Hukum Pidana ~ 72B. Teori Pemidanaan ~ 72C. Teori Pertanggungjawaban Pidana ~ 74

x

D. Teori Tujuan Pemidanaan (Kepidanaan) ~ 76E. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ~ 78F. Teori Ekologi Sistem Administrasi ~ 80G. Teori Pembuktian Pidana Korupsi ~ 83H. Teori Kebenaran ~ 85I. Teori Kehendak (Wilstheorie) ~ 87J. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara ~ 89K. Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik ~ 101L. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara ~ 102M. Definisi dan Asal Kata Korupsi ~ 113N. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif Indonesia ~ 114O. Faktor dan Penyebab Korupsi di Indonesia ~ 115P. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 Juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ~ 117Q. Institusi yang Berwenang Memberantas

Korupsi ~ 117

xi

BAB IV PEMBAHASANA. Kedudukan Prinsip Akuntansi dan Standar Akuntansi Pemerintah dalam Lapangan Hukum ~ 123B. Kedudukan Hukum Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi ~ 149C. Perbuatan Melawan Hukum pada Temuan Audit Investigatif BPK atas Pelaksanaan APBD ~ 156D. Dasar Hukum Audit Investigatif BPK dalam Menentukan Perbuatan Tindak Pidana Korupsi dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan Perda tentang APBD ~ 162E. Peraturan Daerah tentang ABPD yang Dianggap Koruptif ~ 177F. Kedudukan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Mengidentifikasi Bukti Melalui Audit Investigatif ~ 194G. Kedudukan Hukum Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK dalam Lapangan Hukum ~ 196

BAB V PENUTUP ~ 235DAFTAR PUSTAKA ~ 237

1

Pada era reformasi, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disingkat BPK) diatur dalam Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang menentukan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu badan pemeriksaan negara yang bebas dan mandiri. Ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 juga mengamanatkan lahirnya Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.Menurut Indra, BPK memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan (audit) terhadap lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran keuangan

Bab IPendahuluan

2

negara.1

Fungsi pengawasan BPK dalam sejarah konstitusi Indonesia dapat dilihat pada masa UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (disingkat KRIS) 1949, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penyelenggaran pemerintah menurut Pasal 4 aturan peralihan UUD 1945 terdiri atas MPR, DPR, dan DPA. Pada masa Konstitusi RIS, sesuai dengan Pasal 2 KRIS, alat-alat kelengkapan federal RIS terdiri atas presiden, menteri, senat, DPR, MA, dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK). Pada masa UUDS RI, sesuai Pasal 2 UUDS RI, alat-alat kelengkapan negara terdiri atas presiden dan wakil presiden, menteri-menteri, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan (DPA). Pada tanggal 5 Juli konstitusi Indonesia kembali pada UUD 1945.2 Dengan kembali pada UUD 1945 Dewan Pengawas Keuangan eksistensinya kembali hilang dalam konstitusi Indonesia, kemudian kembali diteguhkan setelah era reformasi.

BPK memiliki kewenangan yang sangat besar, serta memiliki kebebasan dan kemandirian. Hal ini juga semakin diperkuat dalam ketentuan Pasal 2 butir (d) Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan

1 Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesatu (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hlm. 79.

2 Kansil, C. S. T., dkk., Hukum Administrasi Daerah, Cetakan Pertama (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009) hlm. 5 - 29.

3

Tata Usaha Negara dalam Pasal 2 butir (a) menentukan hasil laporan audit investigatif BPK tidak termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum untuk pembatalan melalui pengadilan tata usaha negara meskipun pelaksanaan audit investigatif tidak memenuhi standar yang diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.3 Jika hal ini dijadikan rujukan dalam penegakan hukum, akan sulit ditemukan kebenaran yang sesungguhnya bagi warga negara untuk mencari keadilan.

Jenis pemeriksaan keuangan negara diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan tersebut terdiri atas tiga jenis pemeriksaan, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan (financial audit) adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 4

3 Untuk lebih jelasnya, Pasal 2 (d) Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Peraturan Perundang-undangan yang lain yang bersifat hukum pidana. Pasal ini juga dirujuk dan diteguhkan melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dalam perkara nomor: 21/G/2010/PTUN. SMD, tanggal 22 Desember 2010, hlm. 62.

4

ayat (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.

Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia seperti standar akuntansi pemerintah.Pengertian audit kinerja, berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, adalah audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit aspek efektivitas.4 Terakhir, audit dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).

Penetapan ketentuan perundang-undangan, baik secara formal maupun material, pelaksanaan audit (audit 4 Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat beberapa istilah yang mempunyai pengertian berikut. 1) Efisien merupakan pencapaian output (keluaran) yang maksimal dengan input (masukan) tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 2) Ekonomis merupakan perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang rendah. 3) Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

5

keuangan, audit kinerja, dan audit tujuan tertentu (audit investigatif) diharapkan dapat memberikan laporan hasil pemeriksaan keuangan dengan kesimpulan yang konsisten menurut ketentuan hukum. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Dalam praktik sekarang ini, audit sering tidak konsiten, baik sesama BPK maupun BPKP (sebelum dicabut kewenangannya melakukan audit keuangan). Ini disebabkan hasil audit dapat dibatalkan oleh audit berikutnya atau audit yang lain dengan hasil yang berbeda, sesungguhnya apa gunanya auditing5. Dengan kata lain, mengapa hasil audit investigatif BPK tidak konsisten. Audit yang konsisten diperlukan demi kepastian hukum. Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.6

Pelaksanaan pengamatan pendahuluan dalam suatu penugasan audit bertujuan untuk mendapatkan gambaran (informasi) umum mengenai audit sehingga memperoleh pemahaman tentang dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, tujuan organisasi, kegiatan operasional, metode dan prosedur, kebijakan yang berlaku, masalah keuangan, dan informasi di lapangan.Selain itu 5 Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta:

Salemba Empat, 2009) hlm. 7.6 Primaconsultinggroup, Memahami Perbedaan dan Dasar Hukum

(online), http://primaconsultinggroup.blogspot.com/2008/05/memahami-perbedaan-dan-dasar-hukum. html.

6

juga untuk menetapkan tujuan-tujuan audit sementara untuk menentukan tahap audit selanjutnya yang berupa pelaksanaan evaluasi sistem menejemen, serta menaksir resiko inheren audit. Taksiran dapat dilaksanakan dengan menetapkan resiko dalam ukuran kuantitatif, yaitu menetapkan resiko dalam persentase (75%, 50%, dan 10%) atau ukuran kualitatif, seperti tinggi, moderat, dan rendah.7

Di lain pihak, tujuan audit investigatif adalah untuk menentukan cukup bukti dan memenuhi syarat untuk diidentifikasi sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.8 Ketentuan yang berlaku dalam hal 7 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pemeriksa

Keuangan dan Pembangunan, Auditing II, Kode MA. 1.220 (online), hlm. 38, diambil dari http://www.scribd.com/doc//51192195/8/C-Tujuan-Audit.

8 BPK Perwakilan VII Makasar, Laporan Audit Investigatif BPK Perwakilan VII Makasar, Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Mantan Bupati Minahasa Selatan di Amurang, Bab II Uraian Audit Investigatif (online), hlm. 16, diambil dari http://www.bpk.go.id/doc/hapsem/2005ii/apbd/220.pdf. Syarat untuk diidentifikasi sebagai tindak pidana korupsi dapat juga dilihat pada Mahfud MD, Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Kedua (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 81 yang menjelaskan bahwa korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur kumulatif, yakni (a) melawan hukum; (b) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan (c) merugikan keuangan negara. Secara umum, korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan nonkonvensional. Delik korupsi dapat dilihat pada Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 52 menjelaskan delik korupsi tercantum dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang PTPK.

7

ini diatur dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Bayangkara, tujuan audit harus mengacu pada tujuan dan ruang lingkup audit yang telah ditentukan. Tujuan audit bersifat analitis untuk menguji kebenaran antara apa yang telah ditetapkan dan apa yang telah dilaksanakan.

Ada tiga elemen penting dalam tujuan audit. Pertama, kriteria merupakan norma, standar, atau sekumpulan standar yang menjadi panduan setiap individu (kelompok) dalam melakukan aktivitasnya sebagai pelaksanaan atas wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Standar atau norma ini dipergunakan untuk menilai aktivitas atau hasil aktivitas dari setiap individu atau kelompok pada objek audit. Kedua, penyebab merupakan tindakan atau aktivitas aktual yang dilakukan oleh setiap individu (kelompok) yang terdapat pada objek audit. Ketiga, akibat merupakan hasil pengukuran dan pembandingan antara aktivitas individu (kelompok) dan kriteria yang telah ditetapkan terhadap aktivitas tersebut.9

Objek yang diaudit BPK dalam buku ini berkaitan dengan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (selanjutnya disingkat pelaksanaan APBD), termasuk penjabaran pelaksanaan APBD (selanjutnya

9 Bayangkara, IBK., Management Audit, Audit Management, Prosedur dan Implementasinya (Jakarta: Salemba Empat, 2008) hlm. 24 - 25.

8

disingkat penjabaran APBD). Perda APBD masuk dalam hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 sebagaimana diganti terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sejalan dengan hakikat audit tersebut, pelaksanaan audit (investigatif) sering terjadi perbedaan pandangan dalam memberikan kesimpulan. Perbedaan yang paling menonjol khususnya pada audit tujuan tertentu atau disebut juga audit investigatif, yaitu kesimpulan BPK dalam kalimat pelaksanaan anggaran APBD telah terjadi pertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengakibatkan kerugian negara. Dengan kesimpulan akhir dari BPK tersebut dalam perspektif hukum pidana diasumsikan telah terjadi perbuatan tindak pidana korupsi tanpa ada ketegasan secara ketat kriteria (unsur) yang telah dilanggar serta tanpa melakukan kajian interdisiplin ilmu yang relevan dan kecenderungan dijadikan dasar bagi penyidik, baik kejaksaan maupun kepolisian, untuk melakukan penyelidikan.

Di sisi lain, ada perdebatan dari perspektif hukum administrasi negara. Ada pula putusan Pengadilan Negeri Tenggarong dan pengadilan tindak pidana korupsi di Samarinda yang memutuskan perbuatan para terdakwa bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan hanya

9

pelanggaran administrasi negara.10

Sehubungan dengan kenyataan di atas, kita dapat merujuk pada pendapat Mautz dan Sharaf yang melakukan penelitian yang bersifat rintisan (pioneering) dan monumental. Penelitian mereka kemudian dipulikasikan oleh The American Accounting Association (Ikatan Dosen Akuntansi di Amerika Serikat) dalam bentuk monograf dengan judul The Philosophy of Auditing.11 Gagasan utama mereka sangat relevan hingga saat ini, yakni pandangan mereka tentang rational probability atau probabilitas menemukan penyimpangan (irragularitis), atau mengenai independensi (programming idenpendence, investigative independence, dan reporting independence). Auditing bukan merupakan subjek yang teoritis. Akan tetapi, kebanyakan orang berpendapat bahwa landasan teoritikal bagi auditing adalah sesuatu yang tidak mungkin.Kalaupun dicoba, upaya itu merupakan kesia-siaan.

Pandangan umum ketika itu, auditing adalah serangkaian praktik dan prosedur metode dan teknik. Auditing sekadar cara untuk melakukan sesuatu. Belum ada atau masih sedikit kebutuhan untuk suatu penjelasan, deskripsi, argumentasi, dan semacamnya seperti yang dikenal

10 Pengadilan Negeri Tenggarong, Putusan Perkara Pidana No. 260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan Tanggal 6 Desember 2011, 2010, hlm. 91.

11 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing (Jakarta: Salemba Empat, 2011) hlm. 47.

10

dalam teori ilmu pengetahuan. Namun, Mautz dan Sharaf berpendapat lain. Mereka berpandangan sesungguhnya ada atau perlu ada suatu teori tentang auditing, harus ada sejumlah asumsi dasar dari himpunan gagasan terpadu (a body of integrated ideas). Apabila memahami itu semua, ini akan membantu mengembangkan dan mempraktikkan the art of auditing.

Pandangan Mautz dan Sharaf sangat revolusioner pada zaman itu. Keingintahuan mereka yang sangat kuat menjadikan alasan bagi penelitian tersebut, sekaligus alasan untuk memilih judul The Philosophy of Auditing. Meskipun para mahasiswa dan praktisi auditing dewasa ini sudah dibekali dengan landasan teori, penerapannya di lapangan masih sering dianggap sesuatu yang praktis. Dalam praktik auditing di masa sekarang masih terlihat cara berpikir sebelum dan ketika mereka menulis The Philosophy of Auditing. Filsafat auditing merupakan titik tolak berpikir tentang audit.12

Pemeriksaan keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan audit tindakan ekonomi atau kejadian untuk entitas individual atau entitas hukum pada umumnya diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu auditor internal, auditor pemerintah, dan auditor independen.13 Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan 12 Ibid.13 Halim, Abdul, Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta:

Sekolah Tinggi Ilmu Manajement YKPN, 2008) hlm. 11.

11

tempat mereka melakukan audit. Tujuan audit internal adalah untuk membantu manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Meskipun demikian, pekerjaan auditor internal dapat mendukung audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independen.

Para auditor internal kebanyakan pemegang sertifikat yang disebut dengan Certified Internal Auditors (CIA). Beberapa di antaranya juga memegang sertifikat Certified Public Auditors (CPA). Asosiasi internasional untuk para auditor internasional adalah Institute of Internal Auditors (IIA) yang menetapkan kriteria sertifikat serta mengelola ujian CIA. Selain itu, IIA juga telah menetapkan standar praktis untuk audit internal dan kode etik.14

Auditor independen adalah akuntan publik yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Auditor independen merupakan para praktisi individual atau anggota kantor akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Klien dapat berupa perusahaan bisnis yang berorentasi laba, organisasi nirlaba, badan-badan pemerintah, maupun individu perseorangan. Auditor independen sesuai sebutannya harus independen terhadap klien saat melaksanakan maupun saat pelaporan hasil audit.

14 Ibid.

12

Auditor independen dapat melakukan audit keuangan negara jika diminta auditor pemerintah dan bekerja untuk dan atas nama BPK. Selain itu, auditor independen dalam melakukan audit menggunakan standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Auditor independen juga dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK jika ditunjuk DPR atas usulan BPK dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja pada instansi pemerintah yang tugas utamanya melaksanakan audit atas pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sumber keuangannya dari APBN dan APBD. Audit ini dilaksanakan oleh auditor pemerintah yang bekerja pada instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disingkat BPK) sebagai auditor eksternal pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (selanjutnya disingkat BPKP) sebagai auditor internal pemerintah.15

Dasar hukum pemeriksaan ini diatur dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

15 Ibid.

13

Sementara itu, Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidaknya terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Ketentuan petunjuk pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintah pusat berbeda dengan pengelolaan keuangan pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan keuangan daerah kemudian diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 2011 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, baik APBD untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Sementara itu, petunjuk pelaksanaan laporan keuangan pemerintah pusat diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah, sedangkan perbendaharaan negara diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor internal kewenangannya diatur dalam Pasal 40 huruf (a) Bab III Keppres nomor 31 tahun 1983 tentang BPKP.

14

Pasal tersebut menentukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 mencakup pemeriksaan keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam penggunaan sarana yang tersedia, dan penilaian hasil guna dan manfaat yang direncanakan dari suatu program. Pada tahun 2001, peraturan tersebut diubah dengan Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Depertemen sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 tentang BPKP.

Dalam ketentuan Pasal 52 peraturan tersebut dinyatakan bahwa BPKP mempunyai tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 BPKP tidak lagi diberi kewenangan mengaudit keuangan daerah. BPKP dapat melakukan audit APBD bila kepolisian maupun kejaksaan meminta auditor BPKP mengaudit dugaan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 52 Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005. Dalam praktik, penyidik sering meminta BPKP maupun BPK untuk menghitung kerugian negara.

Dalam pelaksanaan audit yang perlu dipahami adalah apa yang terlebih dahulu dilakukan seorang auditor dalam

15

melakukan audit, khususnya audit investigatif. Apakah terlebih dulu menemukan payung hukum serta bukti, selanjutnya menghitung kerugian negara, atau terlebih dulu menghitung kerugian negara selanjutnya mencari payung hukum dan bukti. Dalam kenyataannya, peristiwa hukum dalam latar belakang menghitung kerugian negara terlebih dulu tanpa melakukan kajian untuk menemukan dasar hukum menghitung kerugian keuangan negara.

Hal ini dapat diketahui karena tidak dilakukan audit secara sempurna sesuai Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan sesuai keterangan ketua audit investigatif yang kedua terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara yang dilaksanakan pada tahun 2010 yang disampaikan pada pengadilan tata usaha Samarinda. Ketua audit investigatif menyatakan tidak melakukan konfirmasi terhadap anggota 11 DPRD yang dianggap tidak menjalankan pelatihan pilkada di Jakarta dan kenyataannya melakukan pelatihan pilkada. Kedua tata cara audit investigatif BPK akan dibahas berkaitan dengan konsekuensi hukum dari masing-masing metode sehingga ada kepastian hukum.

Acuan BPK dalam melaksanakan audit investigatif selain undang-undang juga mengacu pada pernyataan akuntansi berlaku umum (selanjutnya disingkat PABU). Bagian PABU di dalamnya termasuk prinsip akuntansi,

16

sedangkan standar akuntansi pemerintah yang merupakan panduan telah ditetapkan indikatornya dalam menentukan terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara. PABU merupakan salah satu panduan penentu kerugian negara sehingga memiliki hubungan hukum dengan rumpun hukum lainnya, yakni hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana yang lebih khusus lagi hukum tindak pidana korupsi.

Menurut Rachmat, akuntansi erat kaitannya dengan hukum administrasi negara. Keduanya diperlukan dalam pemerintahan.16 Hukum administrasi yang dimaksudkan Rachmat dalam hal ini akutansi, lebih khusus akutansi keuangan. Steven Barkan juga menegaskan bahwa the process of legal research often involves investigation into other relevant disciplines (proses penelitian hukum sering melibatkan pengamatan terhadap disiplin ilmu lain yang relevan).17

Siswo Sujanto sebagai seorang pakar dalam bidang keuangan negara mengawali makalahnya untuk suatu workshop KPK sebagai berikut.

Bila diamati dari perkembangan usaha para pakar dalam menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di Republik

16 Rachmat, Akuntansi Pemerintah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 99.

17 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat (Malang: Bayumedia Publishing, 2011) hlm. 300.

17

Indonesia, perdebatan tentang cakupan/lingkup keuangan negara di Indonesia telah berlangsung sangat lama, yaitu beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas untuk menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI). Bahkan ada suatu masa, diskusi para pakar hukum dan administrasi keuangan pada saat itu justru menghasilkan suatu kesepakatan untuk tidak saling bersepakat terhadap lingkup keuangan negara.

Saling ketidaksepakatan para pakar dalam masalah lingkup keuangan negara dimaksud, di samping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan.

Hal tersebut di atas sebenarnya sudah sangat lama disadari oleh para ahli di negara Eropa tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu. Para ahli keuangan negara Perancis bahkan mengatakan bahwa Finance Publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.18

18 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 104 - 105.

18

Lahirnya Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang diikuti lahirnya Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara dan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah telah memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 184 ayat (3) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu ditetapkan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan.

Pemecahan permasalahan dewasa ini sangat kompleks dan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada tidak dapat lagi menjawab permasalahan yang terjadi sebagai akibat perubahan yang berlangsung secara dahsyat di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Penentuan kerugian negara melalui audit investigatif saling bertautan dengan beberapa disiplin ilmu, seperti hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana, lebih khusus lagi hukum tindak pidana korupsi.

19

Lebih lanjut, untuk memahami prinsip akuntansi dapat dilihat dalam bahasa Inggris kata asas diformatkan sebagai principle, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada tiga pengertian kata asas, yakni 1) hukum dasar, 2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar cita-cita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.19 Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dan asas hukum, putusan hakim, pelaksanaan hukum, serta sistem hukum, perlu ada ketentuan secara tegas dan ketat sebagai acuan dalam penegakan hukum, khususnya pemahaman dalam perspektif auditing, accounting, hukum, serta persinggungan antara ketiga ilmu tersebut.

Kedudukan prinsip akuntansi (accounting principles) dalam lapangan hukum merupakan bagian hukum administrasi negara.20 Prinsip akuntansi pemerintah terdiri atas 12 prinsip yang dapat dikelompokkan dalam tujuh bagian, yaitu GAAP (General Accepted Accounting Principle) and legal compliance (kemampuan akuntansi dan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau pelaporan), fund accounting (akuntansi dana), basis of accounting (dasar-dasar akuntansi), classification and terminology (penggolongan dan

19 Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Revisi) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 109.

20 Rachmat, Op.cit., hlm. 99.

20

istilah), fixed asset and long term liabilities (aktiva tetap dan utang jangka panjang), the budget and budgetary accounting (anggaran dan penganggaran akuntansi), dan financial reporting (laporan keuangan).21

Saat melakukan audit, dalam hal ini audit investigatif (audit tujuan tertentu), apabila terjadi perbedaan prinsip akuntansi yang digunakan, prinsip yang dipakai adalah aturan pemerintah. Ini sebagaimana diatur dalam dua prinsip pertama The National Committee on Governmental Accounting (selanjutnya disingkat NCGA). Dalam konteks BPK melaksanakan audit investigatif terhadap Perda APBD, aturan pemerintah termasuk Perda APBD itu sendiri merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 juncto Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurut Kustandi Arinta (dalam Rachmat), hal tersebut diatur oleh dua prinsip pertama National Committee on Government Accounting. Pertama, ketentuan hukum dan pelaporan. Artinya, sistem akuntansi suatu lembaga pemerintah harus menunjukkan semua ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta menentukan secara wajar dan mengungkapkan dengan selengkapnya posisi keuangan dan hasil operasi dana. Kedua, apabila

21 Ibid., 99.

21

terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan hukum, pedoman yang dipakai adalah ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.22

Dalam audit investigatif hal yang perlu diperhatikan dari segi hukum antara lain penyusunan tujuan audit investigatif harus dilakukan berdasarkan unsur-unsur kecurangan yang akan dibuktikan sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.Pembuatan hipotesis harus menggambarkan modus kecurangan yang terjadi. Penggunaan teknik audit investigatif dalam mengumpulkan bukti harus memperhatikan dan mempertimbangkan aturan hukum. Penelaahan dokumen yang diperoleh selama melaksanakan audit investigatif harus memperhatikan validitas dan otensitas. Langkah ini harus dilakukan dengan benar menurut hukum selanjutnya akan dikaji sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.

Konversi dari bukti-bukti audit investigatif menjadi bukti-bukti hukum serta perlu pemahaman tentang ketentuan alat bukti yang sah dalam hukum pembuktian. Konversi bukti diperoleh setelah terlebih dahulu dilakukan tahap pertama, yakni memastikan ada pelanggaran hukum, baik hukum tata negara, hukum administrasi negara, maupun ilmu perundang-undangan. Tahap kedua masuk pada tahap perhitungan kerugian negara. Tahap ketiga

22 Ibid., hlm. 102.

22

adalah tahap penetapan kerugian negara dan hasil terakhir menjadi alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

Korupsi merupakan kejahatan extraordinary sehingga proses mengidentifikasi kerugian negara juga harus dilakukan secara extraordinary. Jangan sampai atas nama kejahatan extraordinary BPK melakukan audit investigatif dengan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.23 Sementara itu, Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dipergunakan sebagai dasar hukum pemeriksaan. Tuanakotta mengemukakan bahwa audit investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik. Hasil audit investigatif dapat, tetapi tidak harus, digunakan dalam proses pengadilan atau bentuk penyelesaian hukum lainnya. Kalau sudah bersinggungan dengan bidang hukum (litigasi atau nirlitigasi), istilah akuntansi forensik lebih tepat daripada audit investigatif.24

Dengan demikian, tidak akan terjadi musibah karena penegakan hukum dilakukan secara ugal-ugalan

23 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dasar hukum akuntansi perusahaan tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3).

24 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007) hlm. iii.

23

sebagaimana dialami Romli Atmasasmita, seorang aktivis sekaligus ketua tim penyusunan undang-undang anti korupsi sejak tahun 1999 dan pembentuk KPK, yang telah ditusuk dengan keris yang dibuat sendiri layaknya Ken Arok yang secara licik telah membunuh Empu Gandring dengan keris yang dibuat sang Empu.25 Romli Atmasasmita divonis bersalah pada tingkat judex factie dan akhirnya diputus bebas pada tingkat judex juris karena memang dalam menentukan kerugian negara tidak dilakukan kajian interdisiplin ilmu. Romli Atmasasmita akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung meski sudah menginap di penjara selama 5 bulan 5 hari.26

Peristiwa pemidanaan atas sekwan dan 40 anggota DPRD periode tahun 2004 - 2009 Kabupaten Kutai Kartanegara akan terjawab pada pembahasan apakah penegakan hukum yang dilakukan BPK, Polda Kalimantan Timur, dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur sudah sesuai ketentuan atau dilakukan secara ugal-ugalan. Kasus ini membuat heboh para pegiat hukum di tingkat lokal maupun nasional. Ketua Mahkamah Konstitusi sampai menyerukan pengadilan tindak pidana korupsi di Samarinda agar dibubarkan27 karena hakim tindak pidana korupsi di Samarinda membebaskan sekwan dan 40 anggota dan

25 Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012) hlm. x.

26 Ibid.27 Tribun Kaltim, 2011, 5 November, hlm. 1.

24

pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah didakwa jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana korupsi atas perjalanan dinas dan dianggap tidak melakukan kegiatan. Putusan ini dipandang tidak mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurut Tuanakotta, audit investigatif merupakan audit khusus untuk menghitung kerugian negara. Namun, ada yang lebih khusus lagi dalam menghitung kerugian negara agar lebih tajam kajian hukum maupun keakuratan perhitungannya yang diterapkan akuntan forensik yang akan melakukan audit forensik. Jika seorang auditor dapat disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam auditing, akuntan forensik menjadi spesialisasi yang lebih khusus lagi (superspecialist) dalam bidang fraud.28

Menurut Tuanakotta, hingga buku Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi kedua terbit, IAPI belum menerbitkan standar audit investigatif.29 Bahkan, ada akuntan yang tidak menyadari bahwa apa yang

28 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi Kedua (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010) hlm. 44. Tunggal, Amin Widjaja dalam buku Forensic and Investigative Accounting Pendekatan Kasus (Jakarta: Harvarindo, 2012) hlm. iii memberikan pengertian kecurangan (fraud) adalah pencurian dengan cara menipu (theft by deception). Sebagai konsep legal yang luas, kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja yang dimaksudkan untuk mengambil aset atau hak orang atau pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan keuangan, kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan yang disengaja.

29 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi Kedua,.., Ibid., hlm. 99.

25

dikerjakannya termasuk dalam lingkup akuntansi forensik30 karena kenyataannya memang belum ada standar audit investigatif, apalagi audit forensik. Sementara itu, kejahatan extraordinary harus ditangani dalam mengidentifikasi kerugian negara juga secara extraordinary. Contoh, saat ini akuntansi forensik juga dipergunakan dalam kasus yang sangat kompleks, yakni Bank Century. Diagram akuntansi forensik dapat dilihat dalam gambar berikut.31

AKUNTANSIAUDIT

HUKUM

Gambar 1. Diagram Akuntansi Forensik

Gambar di atas menjelaskan dalam akuntansi forensik terkait beberapa disiplin ilmu, yakni akuntansi dalam arti sempit Standar Akuntansi Pemerintah dan hukum dalam arti luas karena hukum memiliki rumpun. Oleh karena itu, audit investigatif hanyalah titik awal dari akuntansi forensik karena harus dikaji lebih lanjut syarat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud Pasal 184 KUHAP, termasuk kajian dari ilmu hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, terakhir baru dari sisi hukum pidana. Persinggungan antara 30 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..,

Op.cit. hlm. 5. 31 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..,

Op.cit. hlm. 18.

26

akuntansi, auditing, dan hukum ini memberikannya nama akuntansi forensik.32

Hal senada juga disampaikan mantan pimpinan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Erry Ryana Hardjapamekas, bahwa laporan hasil pemeriksaan keuangan BPK tidak dapat langsung dijadikan bukti.33 Kenyataannya, dalam praktik penegakan hukum, dasar penetapan tersangka oleh penyidik berkecenderungan (mayoritas) langsung merujuk hasil audit investigatif BPK yang dianggap sebagai bukti awal yang cukup kuat. Hal ini disebabkan memang penyidik juga tidak memahami pertautan antara akuntansi, hukum, dan auditing karena penyidik memang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang kuat tentang akuntansi yang merupakan rumpun hukum administrasi negara dan menjadi landasan hukum dalam penghitungan kerugian keuangan negara, hanya berdasarkan perspektif hukum pidana.

Dalam beberapa perkara korupsi di Indonesia, terdakwa ada yang bebas setelah mendengar keterangan para saksi ahli yang mempunyai pemahaman hukum

32 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,.., Op.cit. hlm. 1.

33 Antaranews, Deklarasi GERAM Balikpapan (online), http://kaltim.antaranews.com/photo/1031/deklarasi-geram-balikpapan. Pernyataan disampaikan pada Deklarasi GERAM (Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum) Balikpapan yang dideklarasikan sejumlah akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh adat, tokoh etnis, profesional, wartawan, dan mahasiswa di kampus Universitas Balikpapan.

27

secara interdisipliner (integrated knowledge). Menurut Adji, pemahaman yang berkembang dalam praktik peradilan tidaklah semudah kajian akademik memberikan solusinya. Permasalahannya adalah ketika aparatur negara dianggap melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum. Artinya, mana yang dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang sangat terbatas dalam kehidupan praktik yudisial.34

Dalam menentukan kerugian negara, langkah pertama yang dilakukan adalah terlebih dahulu memetakan yuridiksi suatu perkara setelah auditor BPK melakukan analisis antara apa yang ditetapkan dan apa yang dilaksanakan atas APBD. Dalam menentukan kerugian keuangan negara atau daerah, ada beberapa tahap yang harus dilakukan.Tuanakotta menegaskan secara konseptual tahap tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap berikut.35

1. Tahap pertama, menentukan ada atau tidaknya kerugian negara.

2. Tahap kedua, menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut jika memang ada.

34 Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama (Jakarta: Diata Media, 2009) hlm. 2 - 3.

35 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi, Op.cit., hlm. 131.

28

3. Tahap ketiga, menetapkan kerugian negara.

Dalam menentukan kerugian keuangan negara atau daerah ada satu tahap yang harus ditambahkan dalam tahap menghitung kerugian negara yang sebenarnya sudah dilakukan dan merupakan fungsi utama auditor BPK, yakni melakukan analisis perbandingan antara apa yang ditetapkan dalam APBD maupun APBN dan apa yang dilaksanakan. Dengan demikian, secara konseptual proses penghitungan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dapat dibagi dalam empat tahap berikut.1. Tahap pertama, menemukan perbedaan antara apa yang

ditetapkan dalam APBD maupun APBN dan apa yang dilaksanakan.

2. Tahap kedua, menentukan ada atau tidaknya kerugian negara.

3. Tahap ketiga, menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut jika memang ada.

4. Tahap keempat, menetapkan kerugian negara.

Lebih lanjut, Tuanakotta menegaskan bahwa tahap pertama merupakan wilayah ahli hukum, sedangkan tahap kedua merupakan ranah ahli menurut KUHAP, ahli menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, atau ahli menurut Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, tahap ketiga

29

merupakan ranah majelis hakim melalui suatu putusan.36 Jika dirujuk pada bagan akuntansi forensik, saat dilakukan audit forensik terlebih dahulu diteliti payung hukum objek yang harus diaudit, baik dari hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, maupun hukum pidana. Jika ada yang dilanggar, auditor BPK kemudian membuat kesimpulan yang dapat berupa perbuatan administratif maupun perbuatan tindak pidana korupsi.

Kelemahan auditor, menurut Tuanakotta, terlihat dari kebiasaan auditor melaporkan temuan mereka. Contoh yang sering terjadi, kami menemukan adanya pembayaran sebesar Rp 139 miliar yang tidak didukung bukti-bukti yang cukup.37 Hal ini juga terjadi terhadap temuan audit investigatif auditor BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara periode tahun 2005 yang menyatakan hasil audit pertama berpotensi merugikan negara karena tidak dilengkapi bukti kuitansi Rp 2.676.000.000,00, kemudian diaudit kembali dan menyimpulkan telah terjadi kerugian negara Rp 2.988.800.000,00. Argumentasi yang 36 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak

Pidana Korupsi,..., Ibid., hlm. 133. Pasal 1 KUHAP berisi penjelasan umum keterangan ahli pada angka 28 menyatakan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. hlm. 192, keterangan akuntan forensik di persidangan adalah keterangan ahli sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP.

37 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..Op.cit, hlm. 45 - 46.

30

sering dipergunakan adalah audit pertama sifatnya reguler atau audit laporan keuangan, sedangkan audit kedua adalah audit dengan tujuan tertentu atau audit investigatif. Wilayah inilah yang sering menimbulkan ketidakpastian dan perlu ada penjelasan yang lebih ketat menurut hukum yang benar.

Dalam menghitung kerugian negara tidak ada metode yang baku. Namun, dalam praktiknya, akuntan forensik dalam melakukan audit forensik memilih metode dari berbagai metode yang dikenal dalam ilmu akuntansi yang tersedia sesuai bentuk tindak pidana korupsinya. Metode-metode berikut dapat dipergunakan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam menghitung kerugian negara.1. Kerugian total (total loss). Dalam metode ini seluruh

jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian negara. Misalnya, pejabat tinggi departemen membeli alat berat dari negara lain, sedangkan suku cadangnya tidak diproduksi lagi di manapun. Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum meyakinkan hakim bahwa keseluruhan kegiatan pembelian merupakan perbuatan melawan hukum. Metode ini juga dapat diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun keseluruhan.

2. Kerugian total dengan penyesuaian. Metode ini diperlukan dalam hal barang yang dibeli harus dimusnahkan dan

31

pemusnahan memerlukan biaya. Dengan demikian, kerugian negara bukan hanya pembelian, melainkan juga biaya untuk memusnahkan.

3. Kerugian bersih (net loss). Metode ini dilakukan dalam hal barang rongsokan yang tadi dibeli masih ada nilainya sehingga kerugian negara adalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi nilai bersih barang yang rongsok.

4. Harga wajar. Metode ini seringkali merugikan negara karena transaksi yang dibeli dibuat dengan harga yang tidak wajar, baik dalam transaksi pembelian maupun pelepasan dan pemanfaatan barang. Kunci metode ini adalah penentuan harga wajar. Harga wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian negara terjadi akibat ada transaksi yang tidak wajar kemudian dihitung dari selisih harga yang tidak wajar dengan harga realisasi.

5. Harga pokok (HP). Metode ini sering dikritik karena harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga jual dipengaruhi permintaan pasar dan margin keuntungan atau kerugian setiap perusahaan.

6. Harga perkiraan sendiri (HPS). Dalam metode ini harga disusun oleh lembaga yang melaksanakan tender. Harga perkiraan sendiri dihitung dengan pengetahuan dan keahlian mengenai harga barang atau jasa yang ditenderkan dan berdasarkan data yang dapat

32

dipertanggungjawabkan.7. Penggunaan appraiser. Metode ini dipergunakan dalam

pelepasan aset melalui pertukaran. Hal yang harus diperhatikan adalah faktor harga atau nilai pertukaran. Nilai pertukaran inilah harga yang diterima, tetapi karena tidak dalam bentuk uang harus dinilai kembali.Dalam hal ini, penilaian barang seperti gedung, mobil, tanah, dan sebagainya ahli yang paling tepat adalah appraiser, yaitu orang yang memiliki keahlian dalam menilai aset tertentu.

8. Metode terakhir adalah opportunitiy cost. Metode ini untuk menilai apakah pengambilan keputusan yang terbaik dan apakah pengambil keputusan sudah mempertimbangkan alternatif-alternatif lain, apakah alternatif yang terbaik. Metode ini sulit diterapkan dalam konsep menghitung kerugian negara yang nyata dan pasti.38

Dewasa ini pelaksanaan audit investigatif oleh BPK sering terjadi kontroversi dan tidak konsisten antara BPK dan BPKP saat kewenangan BPKP dicabut untuk melakukan audit terhadap keuangan negara. Bahkan, terjadi juga perbedaan dalam memberikan rekomendasi pada sesama auditor BPK untuk objek yang diaudit, termasuk dalam pemeriksaan pelaksanaan APBD Kabupaten Kutai

38 Kholis, Efi Laila, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama (Jakarta: Solusi Publishing, 2010) hlm. 72 - 74.

33

Kartanegara, terlebih lagi dengan lahirnya Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pinana Korupsi.Dalam penegakan hukum pidana, seolah-olah undang-undang yang lain tidak berlaku lagi, khususnya hukum administrasi negara. Padahal, justru sebaliknya, instrumen hukum yang utama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih adalah hukum administrasi negara.39 Peranan hukum administrasi tidak dapat diabaikan dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi.40

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus dugaan korupsi yang sedang terjadi dan menjadi perhatian nasional, antara lain Mantan Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dengan Mantan Menkum HAM RI, Yusril Ihza Mahendra, dalam kasus pengadaan Sisminbakum.41 Ada perdebatan yang menyatakan kasus dugaan korupsi ini masuk dalam ketagori hukum administrasi negara dan sebagian pihak menyatakan masuk dalam ranah hukum tindak pidana korupsi, khususnya oleh penyidik maupun BPK.

Selanjutnya, dugaan korupsi di daerah Provinsi Kalimantan Timur terjadinya penetapan menjadi 39 Hadjon, Philipus M., dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana

Korupsi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) hlm. vi.

40 Ibid.41 Waspadamedan, Positif bila Kasus Yusril vs Hendarman ke Pengadilan

(online), http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3226:positif-bila-kasus-yusril-vs-hendarman-ke-pengadilan&catid=62:tajuk&Itemid=233.

34

tersangka mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai Kartanegara periode tahun 2005 yang saat ini menjabat Asisten IV Gubernur Kalimantan Timur beserta seluruh anggota DPRD Kutai Kartanegara periode 2004 - 2009. Hal tersebut terkait dengan perkara dugaan korupsi penggunaan dana operasional pimpinan dan anggota DPRD Kutai Kartanegara untuk tahun anggaran 2005 yang menurut BPK terjadi penganggaran secara ganda dan juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Sementara itu, operasional anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara telah diatur melalui Keputusan Bupati Kutai Kartanegara No. 180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 dan diterapkan secara berlaku surut.

Dalam kasus ini Gubernur Kalimantan Timur42 telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka dengan dasar telah terjadi kerugian negara berdasarkan audit invesfigatif BPK atas penjualan saham 5% PT Kutai Timur Energi, saham milik Pemkab Kutai Timur pada PT Kaltim Prima Coal yang saat ini berubah nama menjadi

42 Tribun Kaltim, Kamis, 15 Juli 2010, hlm.1.

35

PT Bumi Resourches. Lebih lanjut, audit tandingan yang dilakukan oleh kantor akuntan publik Young and Erns (dahulu akuntan publik Arthur Andereson) memberikan kesimpulan tidak terjadi kerugian. Sebaliknya, hasil audit BPK menyatakan terjadi keuntungan.

Catatan akhir tahun pada tanggal 31 Desember 2011 Jaksa Agung menyampaikan tolong jangan tergesa-gesa tetapkan orang jadi tersangka. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menyebutkan kasus Awang Farok terhambat karena belum adanya perhitungan kerugian negara.43 Sementara itu, Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur juga dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dan dinyatakan telah menghitung dan terjadi kerugian keuangan negara.44 Masyarakat Kaltim mempersoalkan karena kejaksaan tidak memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara.

Kejaksaan Kalimantan Timur meminta audit kepada BPK Perwakilan Kalimantan Timur terhadap pengucuran dana koperasi kepada PT Hidup Baru. Akhirnya, Kejaksaan Tinggi Samarinda menghentikan penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan argumentasi penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan Irianto Lambire sebagai tersangka.45 Penetapan menjadi tersangka terhadap pejabat 43 Kaltim Post, 2011, 31 Desember, hlm. 1. 44 Tribun Kaltim, 2010, 16 September, hlm. 13.45 http://m.tribunnews.com., diunduh terakhir pada tanggal 31 Agustus

2011.

36

tersebut tentu berdampak pada pemerintahan di Kalimantan Timur tidak berjalan secara maksimal. Kasus tersebut sama-sama menjadi perhatian publik secara nasional.

Kajian ini akan membahas dugaan korupsi penggunaan dana operasional pimpinan dan anggota DPRD Kutai Kartanegara untuk tahun anggaran 2005. H. M. Aswin (mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai Kartanegara yang saat ini menjabat Asisten IV Gubernur Kalimantan Timur periode tahun 2005 - 2009) ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalimantan Timur. Anggota DPRD Kutai Kartanegara juga ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.46

Semuanya menjadi tersangka berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK yang memberikan kesimpulan atas laporan hasil audit investigatif yang menentukan penganggaran dan pembayaran tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK Perwakilan Kalimantan Timur nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010 yang sebelumnya telah pernah dilakukan audit melalui audit reguler dan memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK dengan nomor II/C/S/XIV.15/2006 memberikan rekomendasi pengembalian karena dianggap pengeluaran tidak didukung dengan bukti-bukti dan tidak 46 Mahakammedia, Mantan Sekretaris DPRD Kukar Ditahan Polda

Kaltim (online), http://mahakammedia.wordpress.com/2010/04/25/mantan-sekretaris-dprd-kukar-ditahan-polda-kaltim/.

37

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Laporan hasil pemeriksaan reguler terhadap keuangan tahun anggaran 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan dengan interview terhadap orang-orang yang melaksanakaan kegiatan. Laporan hasil pemeriksaan keuangan tersebut diserahkan kepada eksekutif maupun legislatif. Pertimbangan audit pertama karena tidak didukung bukti-bukti berupa kuitansi dan dianggap berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 2.676.000.000,00 atas APBD tahun 2005. Jenis audit yang dilakukan bersifat reguler dan telah dikembalikan sebesar sekitar Rp 1.920.000.000,00 hingga tanggal 4 Desember 2008.

Audit kedua BPK melakukan perhitungan kerugian keuangan negara melalui Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010 tanggal 14 Januari 2010. Jenis audit yang dipergunakan adalah audit investigatif atau audit tujuan tertentu sebagaimana terdapat dalam Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Audit kedua ini memberikan rekomendasi telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 2.988.800.000,00 untuk objek yang sama atas pelaksanaan APBD tahun 2005.

Audit keuangan (reguler) secara umum hanya memberikan pendapat (opini) atas laporan keuangan

38

pemerintah, tetapi kenyataannya auditor BPK pada pemeriksaan keuangan pertama telah merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk mengembalikanya. Dengan demikian, auditor untuk laporan keuangan (reguler) juga dapat melakukan audit yang bersifat investigatif tanpa harus menunggu audit investigatif yang kedua. Oleh karena itu, penegasan payung hukum diperlukan untuk menghindari kontraproduktif atas objek audit yang diaudit dua kali sebagaimana yang terjadi atas pelaksanaan APBD tahun anggaran 2005 pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Audit investigatif kedua dilakukan pada tahun 2010. Audit ini dilakukan dengan cara Polda Kalimantan Timur memanggil auditor BPK untuk menghitung kerugian negara tanpa melakukan audit lapangan pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut BPK, selain terjadinya penganggaran secara ganda, BPK juga menemukan 11 anggota DPRD tidak melakukan kegiatan Pilkada ke Jakarta, sedangkan kenyataannya berangkat. Hal ini terjadi karena pejabat pelaksana teknis kegiatan (selanjutnya disingkat PPTK) melakukan kesalahan pencatatan, pencatatannya tergabung dengan anggota DPRD Kutai Kartanegara yang melaksanakan kegiatan ke Yogyakarta.

Atas dasar hal ini, auditor BPK tidak melakukan audit ke lapangan untuk memperoleh bukti audit yang kompeten.

39

Sementara itu, Pernyataan Standar Auditing No. 07 (PSA No. 7) menyatakan bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.47

Menurut Adami Chazawi, auditor yang dilibatkan dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat bukti. Pertama, bahan tulisan yang berupa laporan audit investigasi sehingga merupakan alat bukti surat, seperti laporan visum et repertum oleh dokter forensik atau rumah sakit. Kedua, alat bukti keterangan ahli apabila auditor memberikan keterangan ahli, baik dalam penyidikan di hadapan penyididik maupun dalam sidang pengadilan, terutama di depan hakim, karena hasil atau isi alat bukti akan bernilai dalam pembuktian jika didapat atau diberikan di hadapan hakim di sidang pengadilan.48

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) tidak menjelaskan arti dari istilah bukti dalam ketentuan umum yang menjelaskan pengertian-pengertian. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia memberikan dua arti dari bukti, yakni (1) sesuatu yang 47 Institut Akuntan Publik Indonesia, Standar Profesional Akuntan

Publik, Terbitan 31 Desember 2001 (Jakarta: Salemba Empat, 2011) hlm. 326.1.

48 Kajian terhadap Putusan MA No. 995/PID/2005. Kompasiana, Peran Laporan Audit Investigasi dalam Hal Menentukan Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi (online), http://politik.kompasiana.com/2010/01/29/peran-laporan-audit-investigasi-dalam-hal-menentukankerugian-negara-dalam-perkara-korupsi/.

40

dijadikan sebagai keterangan nyata, sesuatu yang dipakai sebagai landasan keyakinan kebenaran terhadap kenyataan, sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa; dan (2) hal yang menjadi tanda perbuatan jahat (diperlukan untuk penyidikan perkara pidana).49

Tuanakotta menjelaskan para auditor yang berlatar belakang pendidikan akuntansi mengenal bukti audit dan menganggap sama dengan pengertian yang dipergunakan di pengadilan atau dalam bidang hukum.50 Bukti audit menjadi tidak sama dengan bukti hukum sesuai dengan Pasal 184 KUHAP jika auditor dalam mengimpun bukti audit tidak mempertautkannya dengan hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Selain itu, apabila bukti dihimpun tidak berdasarkan standar akuntansi pemeriksaan keuangan yang diatur dalam ketentuan Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, persoalannya bagaimana jika bukti dihimpun melanggar ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Tuanakotta menambahkan konsep hukum ini berbeda dengan konsep bukti dalam pengertian auditing.51 Dalam konteks pengumpulan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (tidak sesuai dengan standar pemeriksaan 49 Fajri, Em Zul & Senja, Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indoneia

(Tanpa kota: Difa Publisher, Tt.) hlm. 185.50 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,

...Op.cit., hlm. 225.51 Ibid., hlm. 53.

41

keuangan) sudah sepatutnya tidak dapat dijadikan sebagai bukti menurut ketentuan hukum. Dalam mengidentifikasi bukti, audit independen lebih mengandalkan bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada bukti yang bersifat meyakinkan (convincing evidence).52 Sangat berdasar jika bukti audit (audit evidence) berbeda dengan bukti hukum (legal evidence) yang diatur secara tegas oleh peraturan yang ketat.53

Hal ini juga sebagaimana perintah dan laporan hasil pemeriksaan keuangan tidak diserahkan kepada eksekutif maupun legislatif. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menjelaskan bahwa laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.

Ketentuan Pasal 8 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara juga menjelasakan bahwa pimpinan instansi segera menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) untuk menindaklanjuti setiap kasus kerugian negara selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima laporan. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan TPKN mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen-

52 Op.cit., hlm. 326.6.53 Op.cit., hlm. 326.1.

42

dokumen, baik kerugian yang diketahui dari pemeriksaan BPK, pengawas aparat pengawasan fungsional, pengawasan, dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor atau satuan kerja sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 3 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007.

Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan salah satu landasan dan referensi yang digunakan dalam penyusunan standar pemeriksaan keuangan. Hal ini diatur dalam Lampiran I paragraf 4 Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang Pendahuluan Standar Pemeriksaan (selanjutnya disingkat Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang SPKN). Dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Kerugian Keuangan dan Barang Daerah juga ditegaskan hasil LHP BPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) yang keanggotaannya termasuk inspektorat untuk melakukan verifikasi untuk memastikan apakah benar-benar telah terjadi penyimpangan secara pidana maupun secara administrasi negara. Secara umum, penyampaian hasil audit yang telah diatur dalam ketentuan harus dipatuhi.

43

A. Jenis Kajian

Jenis kajian ini merupakan kajian yuridis normatif, yaitu kajian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Titik berat kajian yuridis normatif, sesuai dengan karakter keilmuan hukum yang khas, terletak pada telaah hukum atau kajian hukum terhadap hukum positif yang meliputi tiga lapisan keilmuan hukum yang terdiri atas telaah dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.

Tataran dogmatika hukum pengkajiannya dilakukan terhadap identifikasi dalam hukum positif, khususnya undang-undang. Pada tataran teori hukum dilakukan telaah terhadap teori-teori yang dapat digunakan. Jenis

Bab IIMetode Kajian

44

kajian ini merupakan kajian yuridis normatif yang mengkaji secara kritis dan komprehensif audit investigatif BPK atas pelaksanaan APBD dalam perspektif tindak pidana korupsi.

B. Pendekatan Masalah

Beberapa pendekatan masalah dapat dipergunakan dalam suatu kajian. Menurut Ibrahim, cara pendekatan tersebut dapat digabungkan sehingga dalam suatu kajian normatif dapat saja digunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.1 Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang diteliti dan selanjutnya akan medapatkan jawabanya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum antara lain pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),2 pendekatan analitis (analitical approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach).3

1 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Op.cit., hlm. 300 - 301.

2 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm. 93.

3 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Op.cit., hlm. 300.

45

Pendekatan perundang-undangan (statute approach)dilakukan terhadap Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Pendekatan perundang-undangan akan dipergunakan untuk menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang dibahas. Pendekatan perundang-undang akan membuka kesempatan dalam pembahasan masalah in casu untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dan undang-undang lainnya, atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar, atau antara regulasi dan undang-undang.

Suatu kajian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi

46

fokus sekaligus tema sentral kajian. Menurut Ibrahim, kajian harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat berikut.1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada

di dalamnya terkait antara satu dan yang lain.2. All-inclusive, artinya kumpulan norma hukum tersebut

cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.

3. Systematic, artinya di samping bertautan antara satu dan yang lain, norma hukum juga tersusun secara sistematis.4

Pernyataan Ibrahim ini juga dikuatkan dan sejalan dengan teori sistem ekologi administratif bahwa dalam memahami hukum dan memecahkan persoalan hukum harus comprehensive, all-inclusive, dan systematic. Menurut Burkhardt Krems (dalam Indrati S.), ilmu pengetahuan perundang-undangan (gesetz-gebungs-wissenschaft) merupakan ilmu interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar berikut.

1. Teori perundang-undangan (gesetzgebungstheorie) yang berorentasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.

2. Ilmu perundang-undangan (gesetzgebungslehre) yang berorentasi pada melakukan perbuatan

4 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Ibid., hlm. 302 - 303.

47

dalam hal pembentukan perundang-undangan dan bersifat normatif.5

Ilmu perundang-undangan juga masuk dalam pengertian dalam ilmu interdisipliner untuk mencari kejelasan atau mencari kebenaran yang objektif. Menurut Rasjidi & Putra, suatu cabang ilmu sering dibahas secara otonom dan terisolasi dalam batasan ruang lingkupnya. Pembahasan itu menimbulkan dua akibat, yakni mengesankan terpisahnya suatu cabang ilmu dengan ilmu pengetahuan sebagai induknya; dan keterpisahan itu menjadi sumber kesulitan dalam memahami aspek keseluruhan (the wholeness) dari cabang ilmu itu.

Keterpisahan itu merupakan sebab utama kesulitan pembangunan kebenaran (the objectivity) cabang ilmu itu.6 Hukum adalah sebuah sistem yang memiliki keterkaitan dengan ilmu lain (interdisipliner ilmu).7 Visser T. Hoof memberi definisi sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. Sementara itu, R. Subekti memberi definisi sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama

5 Astawa, I Gde Pantja & Naa, Suprin, Dinamika dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Edisi Pertama (Bandung: PT Alumni, 2008) hlm. 6.

6 Rasjidi, Lili & Putra, Ida Bagus Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, Edisi Kedua (Bandung: PT Fikahati Aneska, 2003) hlm. iii.

7 Ibid.

48

lain menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.8

Visser T. Hoof dan R. Subekti memberi definisi sistem dari perspektif hukum, akuntansi, dan auditing secara umum. Islahuzzaman memberi definisi sistem adalah suatu sarana resmi (formal) untuk mengumpulkan data untuk membantu dan mengoordinasikan proses pengambilan keputusan.9 Sementara itu, dari perspektif lebih spesifik sistem akuntansi pemerintah, Bastian memberikan definisi sistem pada akuntansi pemerintah adalah sistem akuntansi pemerintah daerah yang meliputi serangkaian proses atau prosedur, baik manual maupun terkomputerisasi, yang dimulai dari pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi dan/atau kejadian keuangan serta pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah daerah.10

Sistem akuntansi menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam buku A Manual for Goverment Accounting, sebagai berikut.118 Astawa, I Gde Pantja & Naa, Suprin, Dinamika dan Ilmu Perundang-

undangan di Indonesia,.., Op.Cit., hlm. 40.9 Islahuzzaman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing,Cetakan Pertama

(Jakarta: PT Bumi Askara, 2012) hlm. 425.10 Bastian, Indra, Sistem Akuntansi Sektor Publik, Cetakan Kedua

(Jakarta: Salemba Empat, 2007) hlm. 98.11 Djumhana, Muhamad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan

Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Keuangan Daerah, Cetakan Pertama (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007) hlm. 61, Menurut Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah nomor

49

1. Sistem akuntansi dirancang untuk memenuhi persyaratan undang-undang dasar, undang-undang, dan peraturan lainnya.

2. Sistem akuntansi selaras dengan klasifikasi anggaran. Fungsi penganggaran dan akuntansi saling melengkapi dan terintegrasi.

3. Rekening dikaitkan dengan jelas pada objek dan tujuan penerimaan-pengeluaran, serta pejabat penanggung jawab penyimpanan yang terjadi.

4. Sistem akuntansi membantu proses pemeriksaan dan menyajikan informasi yang akan diperiksa.

5. Sistem akuntansi selaras dengan pengawasan administratif dana, kegiatan, manajemen program, pemeriksaan internal, dan penilaian kinerja.

6. Rekening melambangkan kegiatan ekonomi, termasuk pengukuran pendapatan, identifikasi belanja, serta penetapan hasil operasi (surplus atau defisit) pemerintah dan program-programnya atau inti organisasinya.

7. Sistem akuntansi menghasilkan informasi keuangan untuk pengembangan perencanaan program dan penilaian kinerja.

8. Rekening digunakan sebagai dasar analisis ekonomi dan reklasifikasi transaksi pemerintah.

Persinggungan definisi sistem dalam perspektif akuntansi, auditing, dan hukum bertemu pada titik singgung

24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, sistem akuntansi pemerintahan adalah rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggaraan, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi pemerintah.

50

prosedur. Setelah memiliki prosedur yang jelas dalam pelaksanaan APBD, sistematika atau siklus selanjutnya adalah pencatatan atas pelaksanaan APBD. Bastian memberikan definisi siklus akuntansi adalah sistematika pencatatan transaksi keuangan, peringkasannya, dan pelaporan keuangan sebagaimana digambarkan pada gambar berikut.12

Gambar 2. Siklus Akuntansi

Standar akuntansi pemerintah atas pelaksanaan APBD memberikan definisi atas sistem akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas (activity-based responsibility accounting system) adalah suatu akuntansi yang disusun sedemikian rupa sehingga pengumpulan pelaporan biaya dilakukan menurut aktivitas penambahan dan bukan penambahan nilai untuk memungkinkan manajemen merencanakan pengelolaan aktivitas dan memantau hasil perbaikan bersinambung atas aktivitas untuk pembuatan produk atau penyerahan jasa. Dalam konteks pelaksanaan APBD, hal ini adalah perubahan anggaran melalui APBD

12 Bastian, Indra Sistem Akuntansi Sektor Publik, ..., Op.cit., hlm. 76 - 77.

51

perubahan (APBD-P) untuk meningkatkan layanan publik.13

Dalam hal audit investigatif BPK masih mungkin terjadi pemahaman secara otonom dalam menghitung kerugian negara yang mengakibatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan menjadi tidak objektif dan berakibat tidak konsisten, padahal laporan terssebut dijadikan penyidik sebagai bukti awal untuk melakukan penyidikan. Dalam konteks penentuan kerugian negara, pemahaman hukum secara otonom akan memberikan kesimpulan tidak objektif. Hukum dalam hal ini antara hukum pidana, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan auditing. Ketidakobjektifan auditor BPK dalam menghitung kerugian negara akan merugikan nama baik pejabat pemerintah atau mengganggu roda pemerintahan secara umum atas laporan hasil pemeriksaan auditor BPK, khususnya terhadap perkara yang diduga korupsi ternyata bukan korupsi atau bukan perkara pidana.

Pendekatan kasus (case approach) dalam kajian normatif bertujuan untuk memahami penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang diterapkan dalam praktik hukum. Ini terutama terhadap kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus kajian. Kasus-

13 Islahuzzaman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing,.., Ibid., hlm. 426.

52

kasus yang telah terjadi bermakna empiris. Namun, dalam suatu kajian normatif kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak penormaan dalam suatu aturan hukum, serta menggunakan analisisnya sebagai bahan masukan dalam penjelasan hukum. Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah kasus yang telah diputus yang berkaitan dengan permasalahan, baik yang telah diputus pada tingkat judex factie maupun putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Studi kasus merupakan studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum.

Pendekatan historis (historical approach) dilakukan untuk mengetahui latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan. Dengan mengetahui latar belakang sejarah pembuatan peraturan perundang-undangan para penegak hukum akan memiliki interprestasi yang sama terhadap permasalahan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan yang berhubungan erat, sambung-menyambung, dan tidak terputus.

Pendekatan perbandingan hukum (comparative approach) penting dilakukan dalam ilmu hukum karena dalam bidang ilmu hukum tidak mungkin dilakukan suatu eksperimen, sebagaimana dilakukan dalam ilmu empiris. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang dipergunakan dalam kajian normatif untuk membandingkan

53

salah satu lembaga hukum (legal institution) dari sistem hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain yang akan dipergunakan untuk membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari negara lain, yakni Amerika dan negara lain yang relevan mengenai isu hukum yang sama, karena standar akuntansi yang banyak diadopsi dalam standar akuntansi pemerintah maupun akuntansi swasta adalah dari Amerika.

Pendekatan konseptual (conceptual approach), konsep (Inggris: concept, Latin: conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal yang universal yang diabstraksikan dari hal-hal partikular. Dalam ilmu hukum konsep dalam hukum perdata akan berbeda dengan konsep-konsep hukum pidana. Demikian pula konsep-konsep hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan ilmu perundang-undangan yang memiliki perbedaan dalam konsep-konsep hukum pidana dan hukum perdata.

Dalam konsep penyalahgunaan kewenangan dihubungkan dengan hukum administrasi negara, Tatiek Sri Djatmiati (dalam Minarno) menyatakan hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau

54

bestuursrecht) berisi norma-norma pemerintah. Parameter yang dipergunakan dalam penggunaan wewenang adalah kepatuhan hukum ataupun tidak kepatuhan hukum (improper legal atau improper illegal).14 Dengan demikian, apabila terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara improper illegal, badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan. Hukum administrasi pada hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya. Hukum juga mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.15

Menurut Bagir Manan, ketidakmungkinan meniadakan kewenangan eksekutif (pemerintah) sebagai penyelenggara administrasi negera untuk ikut membentuk peraturan perundang-undangan semakin didorong oleh berbagai perkembangan teoritik maupun praktik, antara lain pemberian kewenangan bagi pemerintah berkenaan sifat norma hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract). Oleh karena itu, dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat istilah langkah mundur pembuat undang-undang (terugtred van de wetgever). Sikap mundur ini diambil dalam mengaplikasikan norma hukum administrasi negara yang bersifat umum-abstrak terhadap peristiwa konkret

14 Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009) hlm. 69.

15 Ibid.

55

individual.16 Dalam kaitan ini A. D. Belinfante (dalam Ridwan) memberikan pernyataan berikut.17

De wet geeft daan aan een bestuurlijk orgaan de bevougdheid door administratiefrechtelijke rechtshandeligen rechtsbetrekkingen tussen dat orgaan en burgers te scheppen. De terugtred is onvermijdelijk. Zij biedt het voordeel van neel verder gaande differentiatie naar bijzonderheden van de concrete toestand dan de wetgever ooit zou kunnen bereiken.

(Undang-undang memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk membuat peraturan hukum yang bersifat administrasi dalam rangka hubungan hukum dengan warga negara. Langkah mundur ini tidak dapat dihindarkan, dan akan memberikan keuntungan yang lebih besar untuk waktu yang tidak terbatas yang dapat dijangkau oleh pembuat undang-undang).

Menurut Indroharto, manfaat dari sikap mundur pembuat undang-undang seperti ini adalah penentuan dan penetapan norma-norma hukum oleh badan atau jabatan tata usaha negara akan dapat didiferensiasi menurut keadaan khusus dan konkret dalam masyarakat. Langkah mundur ini mempunyai tiga sebab, sebagai berikut.

1. Karena keseluruhan hukum tata usaha negara (TUN) itu demikian luasnya sehingga tidak mungkin bagi pembuat undang-undang untuk mengatur seluruhnya dalam undang-undang formal.

16 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama (Yogyakarta: TiM UII Press, 2002) hlm. 104 - 105.

17 Ibid.

56

2. Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan tiap perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat undang-undang dalam suatu UU formal.

3. Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail sehingga tidak sewajarnya harus dimintai pembuat undang-undang yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan melakukan peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.18

Hal di atas menjelaskan pendekatan konsep hukum administrasi negara berbeda dengan konsep hukum pidana. Dalam hukum pidana langkah mundur tidak diperkenankan karena bertentangan dengan asas legalitas, sedangkan dalam hukum administrasi negara berlaku surut diperkenankan dan hal ini bukan berarti bertentangan kepastian hukum. Pendekatan konsep hukum lainnya dapat dirujuk tentang kematian seseorang apabila orang tidak bernapas. Tegasnya, apabila orang telah berhenti bernapas, dipastikan dengan berhentinya nadi dan jantung berdenyut. Konsep hukum tentang kematian seseorang berbeda dengan konsep kematian dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada fakultas kedokteran. Dalam ilmu 18 Ibid. hlm. 105 - 106.

57

kedokteran seseorang dikatakan mati apabila batang otak (neocortex) telah berhenti berfungsi.19

Dalam konteks hukum tindak pidana korupsi, pelaksanaan audit investigatif atas dugaan perbuatan tindak pidana korupsi harus mengacu beberapa pendekatan konsep, baik hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana, untuk menentukan ranah hukum apa yang paling relevan sehingga menghasilkan bukti yang sah dan akurat dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan. Penerapan peraturan perundang-undangan secara berlaku surut bukan berarti dalam penegakan hukum tidak ada kepastian hukum, tetapi untuk memenuhi kepentingan hukum itu sendiri maupun kepentingan kepastian hukum untuk masyarakat.

Pendekatan analitis (analytical approach) bertujuan menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus memahami penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Dengan demikian, tugas analisis hukum adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep hukum. Pentingnya pendekatan analisis menurut George Whitecross Paton sebagai beikut.

19 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Ibid., hlm. 307.

58

Austin beliaved that chief of tool of jurisprudence was analysis......... An analysis of judicial method shows that law is not a static body of rules, is rather an organic body of principles with inherent power of growth.20

Sesungguhnya Paton ingin menunjukkan bahwa Austin melihat kepentingan analisis hukum sebagai metode ilmu hukum (method of jurisprudence) dari berbagai perspektif aturan hukum yang statis. Paton berpendapat bahwa analisis hukum seperti itu tidak lagi memadai untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang bergerak secara dinamis. Apa yang dikemukakan Paton lebih dapat diterima jika melihat perkembangan hukum yang sangat dinamis dewasa ini, khususnya dalam pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan oleh BPK.

Pendekatan filsafat (philosophical approach) yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam kajian normatif secara radikal dan mendalam. Socrates pernah mengatakan tugas filsafat sebenarnya bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.21 Filsafat adalah kecintaan akan kebijakan atau upaya pencarian kebijakan. Pendekatan filosofis ditandai dengan empat hal, yaitu comprehension, perspective, insight, dan 20 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Ibid., hlm. 31.21 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Ibid., hlm. 320.

59

vision.22

Comprehension adalah pemahaman yang menyeluruh secara utuh, bukan bagian-bagianya saja. Jika hal ini dikaitkan dengan auditing, auditing bukan sekadar kumpulan aturan untuk menyelesaikan suatu audit dengan cara terbaik, sebagaimana dipahami pada era R. K. Mautz dan Husein A. Sharaf, melainkan suatu himpunan pengetahuan (body of knowledge) yang komprehensif dan bagian-bagiannya secara teratur dan logis dapat dijelaskan secara konsisten. Audit yang dilakukan BPK terhadap keuangan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun anggaran 2005 dilakukan dua kali, yakni melalui audit reguler pada tahun 2006 yang memberikan kesimpulan mengembalikan keuangan karena tidak dilengkapi bukti-bukti kuitansi kemudian audit yang kedua adalah audit investigatif pada tahun 2010 dan menyimpulkan terjadi kerugian negara. Di sini terdapat dua hasil audit yang tidak konsisten.

Auditing yang tidak konsisten dalam memberikan kesimpulan akhir meskipun telah ada standar pemeriksaan keuangan negara maupun standar auditing. Body of knowledge yang ingin dicapai oleh R. K. Mautz dan Husein A. Sharaf adalah bagian-bagian seperti evidence, due care, disclosure,dan independence yang secara teratur dan logis dapat dijelaskan dengan konsisten.

22 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing, Ibid., hlm. 49.

60

Perspective sebagai salah satu unsur pendekatan filsafat mensyaratkan pandangan yang luas untuk menangkap kebenaran dan makna sepenuhnya dari sesuatu, bukan pandangan dari sudut seseorang saja. Jika perspektif itu ditetapkan dalam dalam filsafat auditing, kita wajib mengenyampingkan pandangan dan kepentingan pribadi.Setiap masalah harus dilihat dari kepentingan dan dampak menyeluruh, bukan dari sudut pandang yang terbatas. Hal ini juga sejalan dengan teori ekologi sistem dari Pfiffner dan Presthus maupun pendapat dari Steven Barkan yang menegaskan bahwa the process of legal research often involves investigation into other relevant disciplines.23

Insight merupakan pendekatan dalam auditing yang menekankan kedalaman dari apa yang ingin dikaji. Pencarian philosophical insight merupakan cara lain menyatakan bahwa filsuf ingin menemukan asumsi dasar yang melandasi pandangan hidup (views of life) atau pandangan mengenai dunia (world views). Asumsi dasar merupakan pijakan yang digunakan untuk berpikir dan menarik kesimpulan. Asumsi dasar sering tersembunyi dan harus dicari dan diungkapkan. Tanpa menemukan dan mengungkap asumsi dasar (untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, dan implikasinya), ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang secara nyata. Dalam auditing juga ada asumsi-asumsi dasar yang harus diperiksa dan diuji.23 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,...

Loc.cit., hlm. 300.

61

Vision dalam konteks filsafat tidaklah berbau mistik, bukan ramalan mengenai peristiwa di kemudian hari. Secara filsafat, vision mendorong filusuf keluar dari hal-hal yang murni berkaitan dengan masa kini dan hal-hal yang umum, menuju kemungkinan yang lebih luas untuk dunia yang ideal yang dapat dibayangkan untuk masa mendatang.

Bila dikaitkan dengan laporan hasil pemeriksaan audit investigatif BPK (selanjutnya disingkat LHP audit investigatif BPK), BPK akan dapat menjawab pertanyaan setiap orang yang mempermasalahkan LHP audit investigatif BPK. Penelaahan filsafat dimulai dengan sikap ilmuwan yang rendah hati, berani mengoreksi diri, berterus terang dalam memberikan dasar pembenaran terhadap jawaban atas pertanyaan apakah ilmu yang dikuasai saat ini telah mencakup segenap pengetahuan yang ada, pada batas manakah ilmu itu dimulai dan pada batas mana dia berhenti, dan apakah kekurangan dan kelebihan ilmu itu.

Dalam melaksanakan audit investigatif BPK harus berpedoman pada aturan yang memberikan kewenangan yang telah ditetapkan dalam melaksanakan audit serta harus mempertautkan deng