roudotul jannah nim: 1112053100013 -...
TRANSCRIPT
SISTEM PENGAWASAN PELAYANAN PENYELENGGARA
PERJALANAN IBADAH UMRAH (PPIU) PADA DIREKTORAT
JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMRAH
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
ROUDOTUL JANNAH
NIM: 1112053100013
KONSENTRASI MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
i
v
ABSTRAK
Roudotul Jannah
SISTEM PENGAWASAN PELAYANAN PENYELENGGARA
PERJALANAN IBADAH UMRAH (PPIU) PADA DIREKTORAT
JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMRAH
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Jumlah PPIU semakin banyak di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
melakukan berbagai upaya agar kegiatan pelayanan PPIU tidak merugikan
masyarakat. Pengawasan merupakan usaha memberikan petunjuk pada para
pelaksana agar mereka selalu bertindak sesuai dengan standar atau perencanaan.
Pengawasan sangat penting dalam Ditjen PHU untuk mengendalikan kegiatan
PPIU. Serta untuk mengetahui apakah pelayanan PPIU telah sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan oleh PPIU.
Pada penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem
pengawasan pelayanan PPIU pada Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016 serta
berbagai upaya-upaya pencegahan dan perbaikan yang dilakukan oleh Ditjen PHU
Kemenag RI terhadap pelayanan PPIU. Dengan adanya skripsi ini, diharapkan
dapat memberikan keilmuan dan pengetahuan mengenai manajemen khususnya
dalam bidang pengawasan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan dan evaluasi bagi pelaksanaan pengawasan PPIU oleh Ditjen PHU.
Pembahasan dalam penulisan skripsi ini menggunakan teori pengawasan
Maringin Masry Simbolon tentang macam-macam metode pengawasan serta
langkah-langkah pengawasan oleh George R. Terry. Data yang digunakan
merupakan hasil wawancara yang diperoleh dari Kasubdit Pembinaan Umrah
Kemenag RI dan dokumentasi yang relevan. Pada penyajiannya penulis
menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif. Adapun yang menjadi subyek
penelitian ini adalah Ditjen PHU Kemenag RI. Sedangkan obyek penelitian ini
yaitu pelayanan PPIU.
Dari hasil analisis, pengawasan Ditjen PHU tersebut adalah pengawasan
eksternal. Metode pengawasannya menggunakan metode pengawasan langsung
dan tidak langsung. Langkah-langkah pengawasannya meliputi penetapan standar
pelayanan, penilaian dan tindakan atas penyimpangan. Menurut penulis, sistem
pengawasan pelayanan PPIU Ditjen PHU Kemenag RI sudah sesuai dengan
berbagai teori yang ada. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak yang perlu
diperhatikan, antara lain kurangnya peninjauan langsung Ditjen PHU terhadap
pelayanan PPIU.
Kata Kunci: Sistem Pengawasan, Ditjen PHU, Kemenag RI, Pelayanan PPIU,
Haji, Umrah.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah SWT. agar di limpahkan
kepada Baginda Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya pada
cahaya peradaban.
Skripsi ini berjudul “SISTEM PENGAWASAN PELAYANAN
PENYELENGGARA PERJALANAN IBADAH UMRAH (PPIU) PADA
DIREKTORAT JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMRAH
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA.” Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa begitu banyak pihak yang telah turut membantu dalam
penyelesaian skripsi ini. Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D
selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr. Roudhonah, M.Ag selaku
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Drs. Suhaimi, M.Si selaku
Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Cecep Castrawijaya, MA selaku Ketua Jurusan Manajemen Dakwah
beserta Drs. Sugiharto, MA selaku Sekretaris Jurusan Manajemen
Dakwah.
3. Drs. Hasanudin Ibnu Hibban, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.
vii
4. Yang tercinta, Ayahanda Hamdan dan Ibunda Nuraini selaku orang tua
penulis. Terima kasih yang tak terhingga atas do’a, semangat, kasih
sayang, pengorbanan dan ketulusannya dalam mendampingi penulis.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Drs. M. Sungaidi, MA. selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan motivasi, masukan dan koreksi yang membangun.
6. Drs. H. A. Kartono, selaku dosen Manajemen Haji dan Umrah UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, yang sangat memudahkan penulis dalam
memperoleh data penelitian.
7. Seluruh Dosen dan Staff Karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Staff Karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi serta Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membantu penulis dalam menemukan buku-buku, majalah dan
skripsi untuk menambah referensi dalam penulisan skripsi ini.
9. Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A.selaku Direktur Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kemenag RI, khususnya kepada Bapak H. M. Arfi Hatim,
M. Ag selaku Kasubdit Pembinaan Umrah dan Ibu Wati selaku Staff
ORTALA yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian, serta seluruh staff pegawai Subdirektorat
Pembinaan Umrah terutama Bapak H. Denny, SE, M.Si dan Bapak Agung
yang telah bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian
sehingga penulis mendapat informasi yang berkaitan dengan skripsi ini.
viii
10. Tim Penguji Ujian Skripsi yang telah membantu penulis dalam
mengarahkan penulisan skripsi menjadi lebih baik lagi.
11. Seluruh keluarga besar HABC (Haji Ahmad Boin Community) yang selalu
membantu penulis, khususnya untuk Neneng Hasanah S.Kom, Dhia
Izdihar Anas, Firmansyah. Sahabat-sahabatku Nurul Aini, Siti Khoeriyah,
dan Syufia Hadiyatis Sholehah yang tak pernah hentinya berbagi suka dan
duka bersama penulis. Teman-teman MHU 2012, teman-teman KKN
SERABI 2015, dan rekan-rekan seperjuangan yang selalu memberi
semangat kepada penulis. Serta tak lupa, Kakak seniorku, Kak Ichwan
yang telah memberikan motivasi dan pengalamannya.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang turut memberikan dukungan dan
do’a dalam proses penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulisan dan seluruh pembaca pada
masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah dan
rahmat-Nya kepada kita semua, terima kasih untuk bantuannya, semoga dapat
menjadi amal ibadah dihadapan-Nya. Amiin yaa Rabbal’aalamiin.
Tangerang Selatan, Zulhidjah 1437 H
Penulis
Roudotul Jannah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................. 5
D. Metodelogi Penelitian ................................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................... 13
A. Sistem Pengawasan .................................................................................... 14
1. Pengertian Sistem ................................................................. 14
2. Pengertian Pengawasan ........................................................ 15
3. Tujuan dan Fungsi Pengawasan ........................................... 19
4. Bentuk Pengawasan .............................................................. 19
x
5. Metode Pengawasan ............................................................. 20
6. Langkah-langkah Pengawasan ............................................. 22
7. Pengertian Sistem Pengawasan ............................................ 24
B. Pelayanan PPIU .......................................................................................... 25
1. Pengertian Pelayanan ........................................................... 25
2. Dimensi Mutu Pelayanan ..................................................... 27
3. Ciri-ciri Pelayanan yang Baik .............................................. 28
4. Profil PPIU ........................................................................... 31
5. Tugas Pokok PPIU ............................................................... 33
6. Kewajiban Pelayanan PPIU .................................................. 34
BAB III GAMBARAN UMUM DITJEN PHU KEMENAG RI ................... 37
A. Sejarah dan Perkembangan Ditjen PHU .............................................. 37
B. Visi dan Misi Ditjen PHU ....................................................................... 42
C. Tugas dan Fungsi Ditjen PHU ............................................................... 44
D. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
dan Umrah ................................................................................................... 45
E. Subdirektorat Pembinaan Umrah .......................................................... 49
F. Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Dari Masa ke
Masa ............................................................................................................... 52
BAB IV SISTEM PENGAWASAN PELAYANAN PPIU DITJEN PHU
KEMENAG RI .................................................................................. 54
A. Sistem Pengawasan ................................................................................... 54
xi
1. Objek Pengawasan ............................................................... 54
2. Bentuk Pengawasan .............................................................. 58
3. Metode Pengawasan ............................................................. 61
4. Langkah-langkah Pengawasan ............................................. 64
5. Proses Pengawasan ............................................................... 71
B. Analisis Sistem Pengawasan ................................................................... 83
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 89
A. Kesimpulan ..................................................................................................89
B. Saran.............................................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah umrah merupakan ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT
bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Berdasarkan ayat yang terdapat
dalam al-Quran. Ayat Al-Quran mengenai ibadah umrah ini terdapat dalam
surat Al-Baqarah ayat 158. Adapun ayat Al-Quran tentang umrah tersebut
adalah sebagai berikut :
تمز عٱت أو ثيلٱحج فمن للهٱئز وج من شعامزلٱلصفا وٱإن
لله ٱا فإن زومن تطىع خي ه أن يطىف تهمافلا جناح علي
شاكز عليم ۞
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i
antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Umrah merupakan ibadah yang membutuhkan syarat istitha’ah atau
mampu, sebagaimana dengan haji. Umrah tidak hanya sebuah ritual ibadah,
akan tetapi memerlukan persiapan dan kemampuan fisik dan juga mental.
Umrah dilaksanakan oleh umat Islam di mana kegiatannya hampir
sama dengan ibadah haji, akan tetapi umrah tidak wukuf di Arafah, bermalam
(mabit) di Mina ataupun melempar Jumrah. Umrah bisa dilakukan kapan saja
2
dan berbeda dengan ibadah haji yang hanya bisa dilakukan pada bulan
Dzulhijah.
Kegiatan ibadah umrah diselenggarakan oleh Pemerintah melalui
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Bagi masyarakat Indonesia
yang ingin berumrah harus melalui PPPIU yang berizin di Kemenag RI.
Dewasa ini, jumlah PPIU semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh
adanya animo masyarakat yang meningkat dalam ibadah umrah.
Meningkatnya minat masyarakat melaksanakan umrah mencapai 649 ribu
dengan rata-rata keberangkatan sebesar 81 ribu orang setiap bulannya.
Kondisi ini dipicu lamanya masa tunggu haji rata-rata 17 tahun dengan angka
terkini jemaah waiting list mencapai 2,9 juta orang.1
Pemerintah dalam melayani dan membina PPIU yang
menyelenggarakan umrah tentunya tidak sedikit menemui berbagai kendala.
Sementara itu, sebagian masyarakat yang menunaikan ibadah umrah
menuntut kualitas pelayanan agar semakin meningkat.
Menurut Djoko Asmoro, Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan
Umrah Republik Indonesia (Amphuri) dan Kementerian Agama RI
berkomitmen untuk menetapkan standar minimum untuk penyelenggaraan
umrah senilai 1.700 dolar AS. Biaya 1.700 dolar AS atau jika dirupiahkan
menjadi Rp.22.338.000,00 (kurs Rp.13.140,00) tersebut sudah merupakan
standar minimum untuk perjalanan umrah. Sehingga bila ada angka di bawah
1Affan Rangkuti, “Tujuh Langkah Strategis Kemenag Dalam Penyelenggaraan Umrah,”
artikel diakses pada 5 September 2016 dari http://haji.kemenag.go.id/v2/content/tujuh-langkah-
strategis-kemenag-dalam-penyelenggaraan-umrah.html.
3
itu maka menurutnya sangat riskan untuk bisa memenuhi standar pelayanan
di Tanah Suci.2
Abdul Djamil selaku Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kemenag RI juga berpendapat, bahwa pemerintah harus memiliki satu
visi yang sama, yaitu peningkatan pelayanan. Salah satunya adalah
membangun Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM itu adalah kewajiban
pemerintah kepada masyarakat dan hak masyarakat untuk menerima layanan
dengan jelas.3
Standar pelayanan umrah tersebut mulai dari pelayanan pendaftaran,
bimbingan jemaah haji, transportasi, akomodasi dan konsumsi, kesehatan,
perlindungan jemaah dan petugas haji dan administrasi dan dokumen haji
harus sudah dipenuhi pemerintah maupun biro travel haji dan umrah.
Penyelenggaraan umrah pada tahun 2016 ini diprediksi akan
menembus angka 1 juta jamaah per musim. Setidaknya peningkatan itu
mencapai 100.000 jama’ah yang diberangkatkan per bulannya. Namun,
meningkat pula catatan persoalan terkait penyelenggara umrah tersebut.
Karena itu, Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang berizin
sejumlah 650 dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional.4
2Edy Supriatna Sjafei, “Standar Minimal Biaya Umrah 1.700 Dollar AS”, artikel diakses
pada 10 September 2016 darihttp://haji.kemenag.go.id/v2/content/standar-minimal-biaya-umrah-
1700-dolar.html. 3Affan Rangkuti “SPM: Kewajiban Pemerintah dan Hak Masyarakat Menerima Layanan
Dengan Jelas,” artikel diakses pada 5 September 2016 dari
http://haji.kemenag.go.id/v2/content/spm-kewajiban-pemerintah-dan-hak-masyarakat-menerima-
layanan-dengan-jelas.html. 4 Umrah Murah Bermasalah, Majalah Haji & Umrah,Edisi Januari-Februari 2016, h. 17-18
4
Akan tetapi pada kenyataanya, banyak PPIU yang tidak atau belum
berizin dapat menyelenggarakan umrah. Ditambah dengan Biro Perjalanan
Wisata (BPW) yang tidak diperbolehkan menyelenggarakan perjalanan
umrah, namun tetap menyelenggarakannya, walaupun hal itu bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji. Persoalan dugaan perbuatan melawan hukum pun terjadi, baik
gagal berangkat, penelantaran maupun penipuan.
Kondisi ini membuat Kemenag melakukan serangkaian inovasi untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat. Tujuh inovasi pun dibuat oleh
Kemenag untuk terus diperkuat dan prosesnya bertahap berkelanjutan. Tujuh
inovasi tersebut merupakan, Gerakan Nasional 5 Pasti Umrah, Pedoman
Kerjasama Penegakan Hukum Kemenag Dengan Bareskrim Polri,
Pembentukan Tim Khusus Penegakan Hukum (Timsusgakum),
Penandatanganan Pakta Integritas Bagi Provider Visa, Moratorium Izin
Penyelenggara Umrah, War Room Pelaporan Penyelenggara dan Provider
Visa serta Pembentukan Struktur Baru.5
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis bermaksud menulis
skripsi dengan judul Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggaraan
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji Dan Umrah Kementerian Agama Republik
Indonesia Tahun 2016.
5Affan Rangkuti, “Tujuh Langkah Strategis Kemenag Dalam Penyelenggaraan Umrah,”
artikel diakses pada 5 September 2016 dari http://haji.kemenag.go.id/v2/content/tujuh-langkah-
strategis-kemenag-dalam-penyelenggaraan-umrah.html.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, agar pembahasan skripsi ini lebih
terarah dan tidak melebar maka pembatasan masalah dalam penelitian ini
yaitu:
a. Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji Dan Umrah
Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2016
b. Upaya-upaya pencegahan dan perbaikan yang dilakukan oleh Ditjen
PHU Kemenag RI terhadap pelayanan PPIU.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti
merumuskan masalah yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini
yaitu:
a. Bagaimana sistem pengawasan pelayanan PPIU yang dilakukan oleh
Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016?
b. Bagaimana upaya-upaya pencegahan dan perbaikan yang dilakukan
oleh Ditjen PHU Kemenag RI terhadap pelayanan PPIU?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengawasan pelayanan PPIU pada
Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016.
6
b. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan perbaikan yang
dilakukan oleh Ditjen PHU Kemenag RI terhadap pelayanan PPIU.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Kegiatan penelitian ini dirasakan dapat menstimulasi dan memberi
kesempatan pada penulis untuk dapat mengeksplorasi lebih jauh
materi-materi (khususnya pengawasan) yang pernah dipelajari
selama berada dibangku perkuliahan untuk kemudian
diaktualisasikan oleh penulis melalui sebuah karya ilmiah.
2) Dapat menjadi referensi tambahan pada skripsi selanjutnya yang
membahas tentang sistem pengawasan pelayanan PPIU.
3) Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya teori-
teori pengawasan khususnya bagi para mahasiswa Konsentrasi
Manajemen Haji dan Umrah dan Jurusan lain di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta umumnya bagi mahasiswa
jurusan Manajemen agar mereka mengetahui tentang bagaimana
sistem pengawasan pelayanan PPIU oleh Ditjen PHU Kemenag RI.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif
sekaligus pengetahuan tambahan bagi para pelaku subjek penelitian
mengenai sistem pengawasan pelayanan PPIU Ditjen PHU Kemenag RI
tahun 2016.
7
D. Metodelogi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif, di mana ilmuwan sosial mencurahkan kemampuan
sebagai pewawancara atau pengamat empatis dalam rangka
mengumpulkan data yang unik mengenai permasalahan yang ia
investigasi.6
Menurut Denzin dan Licoln (2009) yang diartikan dalam buku
Metodelogi Penelitian karya Juliansyah Noor, kata kualitatif menyiratkan
penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau
belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan kepada metodelogi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti menekankan sifat
realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dan
subjek yang diteliti.7
Dalam tulisan Royce Singleton, dkk, dalam bukunya yang berjudul
Approaches to Social Research dapat diartikan bahwa metode kualitatif
merupakan bagian dari proses pengetahuan yang dapat dianggap sebagai
produk sosial dan juga proses sosial. Pengetahuan sebagai sebuah proses
6 David Jary and Julia Jary, Dictionary of Sociology, (Glaslow: HarperCollins Publishers,
1991), h. 513. 7 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011)
Edisi ke-1, h. 33-34
8
setidaknya memiliki tiga prinsip dasar yakni, empirisme yang berpangku
pada fakta dan data, objektivitas dan kontrol.8
Adapun untuk lebih memperkuat penelitian ini, maka penulis
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden
yang berupa catatan tertulis dari hasil wawancara dan dokumentasi.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber yang
tertulis yang terdapat dalam buku-buku, majalah-majalah serta
artikel pada berita internet.
2. Teknik Analisis Data
Pada proses analisis data, peneliti menggunakan analisis deskriptif
yaitu menggambarkan obyek penelitian dengan apa adanya dan sesuai
dengan kenyataan yang ada pada Ditjen PHU Kemenag RI.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Peneliti melakukan komunikasi langsung dan mengajukan beberapa
pertanyaan kepada beberapa pihak yang bersangkutan dengan secara
lisan atau mendengarkan langsung informasi-informasi dari pihak yang
bersangkutan.
8 Royce Singleton, dkk, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University
Press, 1988), h. 28-37.
9
b. Observasi
Peneliti melakukan analisa dan mencatat langsung bagaimana
sistem pengawasan pelayanan PPIU pada Ditjen PHU Kemenag RI
tahun 2016.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu peneliti mencari data berupa buku, majalah,
cetakan, yang berkaitan dengan sistem pengawasan pelayanan PPIU.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek penelitian ialah Direkorat Jenderal
Penyelenggara Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama
Republik Indonesia tahun 2016. Sedangkan yang menjadi objek penelitian
dalam skripsi ini adalah Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU).
5. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Direktorat Jenderal Penyelenggara
Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama Republik Indonesia
yang berlokasi di Jalan Lapangan Banteng Barat Nomor 3-4 Jakarta Pusat
10710. Sedangkan waktu penelitian mulai dari bulan Juli sampai dengan
bulan September 2016.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan yang sudah dilakukan beberapa sumber
kepustakaan, penulis menemukan skripsi yang dijadikan tinjauan pustaka
10
sabagai bahan perbandingan dan untuk menghindari adanya penjiplakan
dalam pembuatan skripsi yang akan penulis susun. Adapun tinjauan pustaka
dalam penelitian ini di antaranya adalah:
1. Skripsi karya Ofik Fikrurosyadi/1110053100010, Program Studi
Manajemen Dakwah, mengangkat judul tentang “Pengawasan
Kegiatan Bimbingan Manasik Haji Pada KBIH Nurul Hikmah”.
Perbedaan pada penelitian yang akan penulis susun terletak pada
objek penelitiannya. Penelitian yang dibahas oleh penulis membahas
tentang Pelayanan PPIU sedangkan yang dibahas oleh Ofik
Fikrurosyadi memfokuskan tentang Bimbingan Manasik Haji.
2. Skripsi yang berjudul “Aplikasi Pengawasan Program Dakwah
Yayasan Amal Muslim Muhajirin dan Anshar (AMMA) dalam
Meningkatkan Pemahaman Amalan Muallaf” karya
Isti’anah/10053019951 jurusan Manajemen Dakwah, yang
membedakan dari skripsi ini terletak pada subjek penelitiannya atau
lembaga yang diteliti.
3. Judul Skripsi “Sistem Pengawasan Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Terhadap Pelayanan Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus” oleh Ichwan NIM 109053100011 jurusan
Manajemen Dakwah yang fokus penelitiannya kepada Pelayanan
PIHK sedangkan penulis terfokus kepada Pelayanan PPIU yang
diberikan oleh Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016.
11
Selain itu penulis juga mengambil referensi buku dari majalah-
majalah Haji dan Umrah serta buku yang berkaitan tentang sistem
pengawasan tersebut. Namun penulis belum menemukan adanya judul yang
membahas atau serupa dengan judul yang penulis ajukan yaitu tentang Sistem
Pengawasan Pelayanan PPIU Ditjen PHU Kemenag RI.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan
penelitian penulis, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama: penyusun membahas tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yaitu untuk
mengetahui jawaban dari permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka,
yaitu untuk menelusuri penelitian terdahulu tentang Pengawasan PPIU,
sehingga diketahui memiliki perbedaan dari subjek dan objek penelitian.
Metodelogi penelitian dan Sistematikan Penulisan.
Bab Kedua: menjelaskan secara mendalam terkait teori pendukung
atas permasalahan yang akan diteliti tentang Sistem Pengawasan Pelayanan
PPIU Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016.
Bab Ketiga: membahas mengenai wilayah penelitian. Dalam bab ini
diuraikan dahulu sejarah dan perkembangan Ditjen PHU Kemenag RI yang
berada di Jalan Lapangan Banteng Barat Nomor 3-4 Jakarta Pusat 10710.
12
Membahas tentang visi, misi, struktur organisasinya, tugas dan fungsinya,
kemudian menjelaskan tentang Subdirektorat Pembinaan Umrah.
Bab Keempat: penulis menganalisa sejauh mana sistem pengawasan
Ditjen PHU Kemenag RI dan analisa tahapan pengawasan terhadap pelayanan
PPIU tersebut apakah sudah terlaksana atau belum sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan.
Bab Kelima: dalam bab ini memuat tentang penutup yang terdiri dari
kesimpulan untuk mengetahui jawaban dari rumusan masalah serta saran
yang membangun.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
Ibadah haji dan umrah merupakan muktamar akbar umat Islam seluruh
dunia. Inilah keistimewaan haji dan umrah sebagai ibadah yang tidak dimiliki oleh
agama lain. Haji dan umrah akan mempererat persaudaraan dan kesatuan umat
serta dapat mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang mengikat seluruh umat Islam di
dunia. Hal ini tertuang dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-Hajj ayat 27
yang berbunyi:
تين كل ضامزيأ تىك رجاال وعلىحج يألٲلناس تٱوأذن في
٧٢ من كل فج عميق
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,
dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj:27)
Ibadah haji dan umrah merupakan dua ibadah yang sama-sama memiliki
keutamaan, sehingga banyak umat muslim yang melaksanakan ibadah tersebut.
Salah satu keutamaan ibadah umrah tersurat dalam Hadits Rasulullah SAW
berikut ini:
،لفقزاوكما ينفي الكيز مزجوالع ينفيان فإنهما الذنىب تاتعىا تين الحج
خثث الحديد والذهة والفضح، وليس للحجح ثىاب المثزورج إال الجنح
14
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya
meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api
menghilangkan kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak
ada balasan bagi haji mabrur melainkan Surga.” (H.R. At
Tarmidzi, An Nasa’i, dan selainnya)
Seiring perkembangan zaman, orang yang melakukan ibadah haji dan
umrah semakin meningkat sehingga menuntut berbagai perubahan dan perbaikan
dari berbagai pihak penyelenggara. Pemerintah dalam melayani ibadah haji dan
umrah menemui berbagai kendala dalam melayani jamaah kedua ibadah tersebut
karena begitu besarnya jumlah jamaah haji dan umrah di Indonesia. Sementara itu,
sebagian masyarakat yang menunaikan ibadah haji dan umrah menuntut kualitas
pelayanan agar semakin meningkat. Berkenaan dengan itu, pemerintah melakukan
berbagai pengaturan agar kegiatan ibadah haji dan umrah dapat terkontrol dengan
baik dan tidak merugikan siapapun, baik itu dari pihak penyelenggara d.h.i. PPIU,
Pemerintah maupun masyarakat.
A. Sistem Pengawasan
1. Pengertian Sistem
Secara umum sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hal atau
kegiatan atau elemen atau subsistem yang saling bekerja sama atau yang
dihubungkan dengan cara-cara tertentu sehingga membentuk satu kesatuan
untuk melaksanakan suatu fungsi guna mencapai suatu tujuan.9
Model umum suatu sistem menurut Edhy Sutanta dalam bukunya
Sistem Informasi Manajemen adalah terdiri dari masukan (input), proses
(process) dan keluaran (output).
9 Edhy Sutanta, Sistem Informasi Manajemen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003), h. 4
15
Gambar 2.1. Model Sistem
Sumber: Buku Sistem Informasi manajemen10
2. Pengertian Pengawasan
Ada banyak sebutan bagi fungsi pengawasan (controlling), antara
lain evaluating, appraising, atau correcting. Sebutan controlling lebih
banyak digunakan karena lebih mengandung konotasi yang mencakup
penetapan standar, pengukuran kegiatan, dan pengambilan kegiatan
korektif.
Dalam kaitannya dengan pengertian pengawasan terdapat berbagai
macam pengertian. George R. Terry mendefinisikan pengawasan sebagai
berikut:
Controlling can be defined as the procces of determining what is to
be accomplished that is the standard; what is being accomplished, that
is the performance, evaluating the performance and if necessary applying
corrective measure so that performance take place according to plans,
that is, in conformity with the standard. (Pengawasan dapat didefinisikan
sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standar apa yang
sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila
perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan
rencana yaitu selaras dengan standar).11
Pandangan T. Hani Handoko, pengawasan dapat didefinisikan
sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan
manajemen tercapai.12
Sedangkan menurut Brantas mengemukakan
pengawasan ialah proses pemantauan, penilaian, dan pelaporan rencana
10
Edhy Sutanta, Sistem Informasi Manajemen,h.7. 11
Brantas, Dasar-Dasar Manajemen, (Bandung: Alfabeta, 2009). h. 189. 12
T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2002), h. 359.
INPUT OUTPUT PROCESS
16
atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna
penyempurnaan lebih lanjut.13
Ini berkenaan dengan cara-cara membuat
kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian ini menunjukkan
adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.
Langkah awal proses pengawasan adalah sebenarnya langkah perencanaan,
penetapan tujuan, standar atau sasaran pelaksanaan suatu kegiatan, dan
tindakan korektif untuk penyempurnaan kegiatan.
Pendapat Robert J. Mockler mengemukakan bahwa pengertian
pengawasan adalah sebagai berikut:
Management control can be defined as a systematic effort by
business management to campare performance to predetermined
standards, plans, or objectives in order to determine whether performance
is in line with these standards and presumably in order to take any
remedial action required to see that human and other corporate resources
are being used in the most effective and efficient way possible in achieving
corporate objectives. (Pengawasan adalah suatu usaha sistematik untuk
menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan,
merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan
mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan
koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa sumber daya perusahaan
dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian
tujuan-tujuan perusahaan).14
Kemudian menurut Harold Koontz dan Cyril O’donnel, mereka
berpandangan lebih mengedepankan koreksi yang dilakukan ketika
pelaksanaan kegiatan dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau
13
Brantas, Dasar-dasar Manajemen, h. 188. 14
Robert J. Mockler , The Management Control Process, (New York: Appleton Century
Crofts, 1970), h. 14-17
17
menjamin bahwa tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang
digunakan untuk mencapainya telah terlaksanakan.15
Jika pengawasan menurut para ahli mengandung kata proses,
menjamin, perencanaan, efektif dan efisien, serta diperlukan koreksi maka
penulis menyimpulkan bahwa pengawasan merupakan sebuah proses akhir
dari fungsi-fungsi manajemen yang menjamin perencanaan kegiatan
dengan suatu tahapan-tahapan yaitu, penetapan standar, penilaian kinerja
dengan standar serta perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi untuk
mencapai tujuan-tujuan perusahaan.
Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria
tertentu kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya mengawasi
kegiatan-kegiatan yang benar, tepat waktu, biaya yang efektif, akurat dan
dapat diterima oleh yang bersangkutan. Semakin dipenuhinya kriteria
kriteria tersebut, semakin efektif sistem pengawasan. Karakteristik-
karakteristik pengawasan yang efektif dapat lebih diperinci sebagai
berikut:
1. Akurat; Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data
yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan
organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahkan
menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.
2. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan disampaikan dan
dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.
15
Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985) h. 155-156.
18
3. Objektif dan menyeluruh; Informasi harus mudah dipahami dan
bersifat objektif secara lengkap.
4. Berpusat pada titik titik pengawasan strategik; Perhatian pada bidang-
bidang di mana penyimpangan-penyimpangan dari standar paling
sering terjadi atau yang akan mengakibatkan kerusakan paling fatal.
5. Realistik secara ekonomi; Biaya pelaksanaan sistem pengawasan
harus lebih rendah atau paling tidak sama dengan kegunaan yang
diperoleh dari sistem tersebut.
6. Realistik secara organisasional; Sistem pengawasan harus cocok atau
harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.
7. Terkoordinasi dengan aliran kerja; Organisasi informasi pengawasan
harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi karena setiap tahap
dari proses pekerjaan dapat mempengaruhi sukses atau kegagalan
keseluruhan operasi dan informasi pengawasan harus sampai pada
seluruh personalia yang memerlukannya.
8. Flexible; Pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk
memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun
kesempatan dari lingkungan
9. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional; Sistem pengawasan efektif
harus menunjukkan baik deteksi atau deviasi dari standar tindakan
koreksi apa yang seharusnya diambil.
19
10. Diterima para anggota; Organisasi harus mengarahkan pelaksanaan
kerja para anggota organisasi dengan mendorong perasaan otonomi
tanggung jawab dan berprestasi.
3. Tujuan dan Fungsi Pengawasan
Tujuan pengawasan yakni agar hasil pelaksanaan pekerjaaan diperoleh
secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Fungsi pengawasan meliputi beberapa hal berikut ini:
a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi
tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai
prosedur yang telah ditentukan.
c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian
dan kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan.16
4. Bentuk Pengawasan
Dalam hal pengawasan, H. Hadari Nawawi mengklasifikasikannya
dalam dua bentuk pengawasan, yaitu:
16
Maringin Masry Simbolon, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2004), h. 62.
20
a. Pengawasan Intern
Pengawasan Intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus
dilakukan oleh puncak pimpinan sendiri. Akan tetapi di dalam praktek
hal ini tidak selalu mungkin. Oleh karena itu, setiap pimpinan dalam
organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu puncak pimpinan
untuk mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan
bidang tugasnya masing-masing.
b. Pengawasan Ekstern
Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dari luar organisasi kerja yang diawasi dalam menjalankan tugas
pokoknya.17
5. Metode Pengawasan
Secara garis besar pengawasan dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara
pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti,
memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan
dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana.
Sedangkan pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari
laporan-laporan yang diterima dari pelaksana, baik lisan maupun
17
Hadari Nawawi, Manajemen Strategi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005),
cet. Ke-3, h. 120
21
tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan tanpa
pengawasan.18
b. Pengawasan Kualitatif.
Pengawasan Kualitatif tidak melibatkan angka-angka dan dapat
digunakan untuk mengawasi prestasi organisasi secara keseluruhan.
Pengawasan kualitatif dilakukan oleh manajer untuk menjaga
performance organisasi secara keseluruhan, sikap serta performance
karyawan. Teknik-teknik yang sering digunakan adalah :
1) Pengamatan (pengendalian dengan observasi). Pengamatan
ditujukan untuk mengendalikan kegiatan atau produk yang dapat
diobservasi.
2) Inspeksi teratur dan langsung. Inspeksi teratur dilakukan secara
periodik dengan mengamati kegiatan atau produk yang dapat
diobservasi.
3) Laporan lisan dan tertulis. Laporan lisan dan tertulis dapat
menyajikan informasi yang dibutuhkan dengan cepat disertai
dengan feedback dari bawahan dengan relatif lebih cepat.
4) Evaluasi pelaksanaan.
5) Diskusi antara manajer dengan bawahan tentang pelaksanaan
suatu kegiatan. Cara ini dapat menjadi alat pengendalian karena
masalah yang mungkin ada dapat didiagnosis dan dipecahkan
bersama.
18
BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, (Jakarta: Erlangga,
1993), hlm.77
22
6) Management by Exception (MBE). Dilakukan dengan
memperhatikan perbedaan yang signifikan antara rencana dan
realisasi. Teknik tersebut didasarkan pada prinsip pengecualian.
Prinsip tersebut mengatakan bahwa bawahan mengerjakan semua
kegiatan rutin, sementara manajer hanya mengerjakan kegiatan
tidak rutin.
b. Pengawasan Kuantitatif
Pengawasan kuantitatif melibatkan angka-angka untuk menilai
suatu prestasi. Metode pengawasan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan data, biasanya digunakan untuk mengawasi kuantitas
maupun kualitas produk. Beberapa teknik yang dapat dipakai dalam
pengawasan kuantitatif yaitu, Anggaran, Audit, Analisa Break-Even
dan Analisis Rasio.19
6. Langkah-langkah Pengawasan
Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah
pokok) tertentu yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan
manajerial. Langkah-langkah pokok ini menurut George R Terry yang
dikutip oleh Ibrahim Lubis dalam bukunya, Pengendalian dan
Pengawasan Proyek dalam Manajemen, meliputi:
a. Penetuan ukuran atau pedoman baku (standar)
b. Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang
sudah/senyatanya dikerjakan. Perbandingan antara pelaksanaan
19
T. Hani Handoko, Manajemen, h. 373-375.
23
pekerjaan dengan ukuran atau pedoman baku yang telah ditetapkan
untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan –
penyimpangan yang terjadi, sehingga pekerjaan tersebut sesuai
dengan apa yang telah direncanakan.20
Sedangkan menurut Handoko (1998), proses pengawasan biasanya
terdiri dari paling sedikit lima tahap (langkah). Tahap-tahapnya adalah
sebagai berikut :
a. Penetapan standar pelaksanaan. Standar mengandung arti sebagai
suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan untuk
penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran, kuota, dan target pelaksanaan
dapat digunakan sebagai standar.
b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan. Penetapan standar
adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur
pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh sebab itu, langkah kedua dalam
proses pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan
kegiatan secara tepat. Hal ini untuk mengetahui penyimpangan yang
terjadi.
c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan. Ada berbagai cara untuk
melakukan pengukuran pelaksanaan, yaitu 1) pengamatan (observasi),
2) laporan-laporan, baik lisan dan tertulis, 3) metode-metode otomatis
dan 4) inspeksi, pengujian (test), atau dengan pengambilan sampel.
20
Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 160.
24
d. Pembandingan pelaksanaan dengan standar dan analisa
penyimpangan. Tahap kritis dari proses pengawasan adalah
pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang
direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Penyimpangan-
penyimpangan harus dianalisa untuk menentukan mengapa standar
tidak dapat dicapai.
e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan. Bila hasil analisa
menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil.
Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk, seperti,
standar yang ungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya
dilakukan bersamaan.21
7. Pengertian Sistem Pengawasan
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengawasan
menitikberatkan pada upaya untuk menyesuaikan rencana yang telah
dibuat dengan kegiatan yang dilaksanakan. Hal lain yang menjadi tujuan
dari pengawasan ini adalah membandingkan kondisi yang terjadi atau
kenyataan dengan apa yang seharusnya. Dari kegiatan tersebut dapat
diketahui kelemahan atau penyimpangan apa yang terjadi sehingga dapat
diketahui langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya agar kelemahan
tersebut dapat di atasi dan penyimpangan tersebut tidak terjadi lagi.
Pengawasan dilakukan dengan mengarah kepada tujuan yang hendak
di capai. Menurut konsep sistem, pengawasan membantu mempertahankan
21
T. Hani Handoko, Manajemen, h. 360-363.
25
hasil output yang sesuai dengan syarat-syarat sistem. Maka pengawasan
merupakan pengatur jalannya kinerja komponen-komponen dalam sistem
tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk mencapai tujuan
yang hendak dicapai.
Maka dari itu, penulis menarik kesimpulan bahwa sistem pengawasan
merupakan satu kesatuan kegiatan manajemen yang tidak dapat dipisahkan
yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu (penetapan standar, penilaian
kinerja, dan perbaikan terhadap penyimpangan) sehingga mendapatkan
hasil yang efektif dan efisien.
B. Pelayanan PPIU
1. Pengertian Pelayanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan diartikan sebagai
kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.22
Pelayanan diartikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau
organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan atau nasabah.23
Pengertian pelayanan dikemukakan juga oleh para ahli yang
berpendapat berbeda satu sama lain. Diantaranya para ahli yang
mengemukakan pendapat pelayanan yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Philip Kottler, “Pelayanan dapat diartikan sebagai suatu
aktivitas yang bermanfaat atau yang diberikan oleh satu atau beberapa
pihak kepada pihak lain untuk dapat memuaskan kebutuhan dan
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka,
2001). Edisi ke-3, cet. Ke-2, h. 446. 23
Kasmir, Etika Customer Service, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 15.
26
keinginan yang pada dasarnya bersifat berwujud dan tidak akan
menimbulkan kepemilikian apapun kepada yang menerimanya.”24
b. Pelayanan menurut Atep Adya Brata adalah segala usaha penyediaaan
fasilitas dalam rangka mewujudkan kepuasan para calon pembeli atau
pelanggan sebelum atau sesudah terjadinya transaksi.25
c. Menurut AS. Moenir, “pelayanan sebagai proses pemenuhan
kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung diterima.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pelayanan merupakan
tindakan yang dilakukan orang lain agar masing-masing memperoleh
keuntungan yang diharapkan dan mendapat kepuasan.”26
d. Menurut Grontos, Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian
aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan
karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi
pelayanan yang dimaksudkan ntuk memecahkan permasalahan
konsumen atau pelanggan.27
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa pelayanan adalah sesuatu kegiatan jasa yang dijual oleh karyawan
dengan tujuan untuk memuaskan hati pelanggan tanpa pelanggan harus
membeli kegiatan jasa tersebut.
24
Philip Kottler, Marketing Management: Analysis,Planning, Implementation and Control,
Eight Edition, New Jersey, (prentice Hall, 1994), h. 446. 25
Atep Adya Brata, Bisnis dan Hukum Perdata Dagas SMK, (Bandung: Armico, 1999), h. 93 26
AS. Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),
cet. Ke-4, h. 17. 27
Ratmiko dan Atik Septi Winarsih, Manajemen Pelayanan, (Yogyakarta: Pustaka, 2007),
cet. Ke-4, h.2
27
2. Dimensi Mutu Pelayanan
Menurut Zeithmal dan Philip Kottler terdapat lima kriteria penentu
mutu pelayanan, yaitu:
a. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya
artinya adalah konsisten. Sehingga reliability mempunyai dua aspek
penting yaitu, kemampuan memberikan pelayanan seperti yang
dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang
tepat atau akurat.
b. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan atau kemauan untuk
membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan
kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif terhadap
kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi
pelanggan sehingga faktor komunikasi dan situasi fisik di sekitar
pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
c. Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan
dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan
atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari
dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan.
d. Empathy (kepedulian), yaitu membina hubungan dan memberikan
pelayanan serta perhatian secara individual pada pelanggannya.
e. Tangibles (keberwujudan), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan,
personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh
28
pelanggan. Dan untuk mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan
indera penglihatan.28
Menurut Kotler dan Keller yang dikutip oleh Tjiptono menyatakan
bahwa kualitas pelayanan harus dimulaidari kebutuhan pelanggan dan
berakhir pada persepsi pelanggan, di mana persepsi pelanggan terhadap
kualitas pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu
pelayanan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukan
berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa,yaitu
perusahaan. Akan tetapipada sudut pandang penilaian persepsi pelanggan.
Dalam hal ini, konsumen adalah pihak yang mengkonsumsi dan
menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang seharusnya
menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa
merupakan nilai menyeluruh atas keunggulan atau jasa.29
3. Ciri-ciri Pelayanan yang Baik
Pengertian pelayanan yang baik adalah kemampuan perusahaan
dalam memberikan kepuasan kepada jamaah dengan standar yang sudah
ditetapkan. Kemampuan tersebut ditunjukkan oleh sumber daya manusia
dan sarana serta prasarana yang dimiliki.
Berikut ini beberapa ciri -ciri pelayanan yang baik bagi perusahaan
dan karyawan yang bertugas melayani jamaah:
a. Tersedianya karyawan yang baik
28
Husein Umar, Risset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h. 38-39. 29
Fandy Tjiptono, Prinsip-Prinsip Total Quality Service, (Yogyakarta:Andi,1997),Cet. Ke-2,
h.10
29
Kenyamanan jamaah sangat tergantung pada karyawan yang
melayaninya. Karyawan harus ramah, sopan dan menarik. Disamping
itu karyawan harus tetap tanggap, pandai bicara, menyenangkan,serta
pintar. Karyawan harus mampu memikat dan mengambil hati
jamaah sehingga jamaah semakin tertarik. Demikian juga dengan cara
kinerja karyawan harus rapi, cepat dan cekatan.
b. Tersedianya sarana dan prasarana yang baik
Pada dasarnya jamaah ingin dilayani secara prima. Untuk melayani
jamaah, salah satu hal yang paling penting diperhatikan di samping
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia adalah sarana dan
prasarana yang dimiliki perusahaan. Peralatan dan fasilitas yang
dimiliki seperti ruang tunggu dan ruang untuk menerima tamu harus
dilengkapi berbagai fasilitas sehingga membuat jamaahnya mana tau
betah dalam ruangan tersebut.
c. Dapat bertanggung jawab
Sejak awal hingga selesai dapat di pertanggungjawabkan. Artinya
dalam menjalankan kegiatan pelayanan, karyawan harus bisa melayani
dari awal sampai selesai. Jamaah akan merasapuas jika karyawan
bertanggung jawab terhadap pelayanan yang diinginkannya. Jika
terjadi sesuatu karyawan yang dari awal menangani masalah tersebut,
secara segera mengambil alih tanggung jawabnya.
d. Mampu melayani secara cepat dan tepat
30
Artinya dalam melayani jamaah diharapkan karyawan harus
melakukan melalui prosedur. Layanan yang diberikan sesuai dengan
jadwal untuk pekerjaan tertentu dan jangan membuat kesalahan,
dalam arti pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
perusahaan dan keinginan jamaah.
e. Mampu berkomunikasi
Artinya karyawan harus mampu berbicara kepada jama’ah. Karyawan
juga harus dengan cepat memahami keinginan jama’ah. Selain itu,
karyawan harus dapat berkomunikasi dengan bahasa yang jelas dan
mudah dimengerti.
f. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik
Untuk menjadi karyawan yang khusus melayani jama’ah harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan tertentu. Karena tugas
karyawan selalu berhubungan dengan jamaah, karyawan perlu di didik
khususnya mengenai kemampuan dan pengetahuannya untuk
menghadapi masalah-masalah jama’ah atau kemampuan dalam
bekerja. Kemampuan bekerja akan mampu mempercepat proses
pekerjaan sesuai dengan waktu yang diinginkan.
g. Berusaha memahami kebutuhan jamaah
Artinya karyawan harus cepat tanggap apa yang diinginkan oleh
jamaah. Karyawan yang lamban akan membuat jamaah berpindah ke
tempat lain. Karyawan harus berusaha mengerti dan memahami
keinginan dan kebutuhan jamaah secara cepat.
31
h. Mampu memberikan kepercayaan kepada jamaah
Kepercayaan calon jama’ah kepada perusahaan mutlak diperlukan
sehingga calon jama’ah mau menjadi konsumen perusahaan yang
bersangkutan. Demikian pula untuk menjaga jama’ah yang lama perlu
dijaga kepercayaannya agar tidak berpindah tempat. Semua ini melalui
karyawan dari perusahaan itu sendiri.30
Dalam skripsi ini banyak membahas tentang pelayanan yang
berupa fasilitas yang harus dipenuhi oleh PPIU terhadap jama’ahnya.
Beberapa persyaratan tentang pelayanan yang harus dipenuhi pihak
penyelenggara ibadah umrah nanti akan dibahas dalam pembahasan
Kewajiban Pelayanan PPIU.
4. Profil PPIU
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) adalah biro
perjalanan wisata yang telah mendapat izin dari Menteri Agama untuk
menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah. PPIU didasarkan pada asas
keadilan, profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas. PPIU bertujuan
untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-
baiknya kepada jamaah sehingga jamaah dapat menunaikan ibadahnya
sesuai dengan ketentuan syariat Islam.31
Berdasarkan data domisili kantor pusat PPIU, sebagian besar
berdomisili di DKI Jakarta (54 %), selebihnya (46 %) tersebar di beberapa
30
Kasmir, Etika Customer Service, h.186-187. 31
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah, Pasal 1-3.
32
provinsi antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,
dan provinsi lainnya. Namun demikian, ada beberapa PPIU yang memiliki
kantor cabang di luar domisili provinsi kantor pusanya.
Berikut ini tabel data PPIU berdasarkan Provinsi sampai dengan 31
Agustus 2016:
Tabel 2.1. Data PPIU berdasarkan Provinsi
NO PROVINSI JUMLAH PPIU PRESENTASI
1 ACEH 4 1%
2 BALI 1 0%
3 BANGKA BELITUNG 1 0%
4 BANTEN 36 5%
5 DKI JAKARTA 384 54%
6 JAMBI 2 0%
7 JAWA BARAT 95 13%
8 JAWA TENGAH 12 2%
9 JAWA TIMUR 56 8%
10 KALIMANTAN BARAT 4 1%
11 KALIMANTAN SELATAN 28 4%
12 KALIMANTAN TENGAH 1 0%
13 KALIMANTAN TIMUR 10 1%
14 KEPULAUAN RIAU 3 0%
33
15 LAMPUNG 4 1%
16 RIAU 11 2%
17 SULAWESI SELATAN 31 4%
18 SULAWESI TENGAH 2 0%
19 SUMATERA BARAT 5 1%
20 SUMATERA SELATAN 4 1%
21 SUMATERA UTARA 11 2%
22 DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA 6 1%
JUMLAH 711 100%
Sumber : Subdirektorat Ditjen PHU Kemenag RI
5. Tugas Pokok PPIU
Sesuai Undang-undang No. 13 Tahun 2008, PPIU wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a. Menyediakan pembimbing dan petugas kesehatan;
b. Memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa
berlaku visa umrah di Arab Saudi;
c. Memberikan pelayanan sesuai perjanjian tertulis antara penyelenggara
dan Jemaah;
d. Melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi
(Kepala Kantor Misi Haji Indonesia) di Arab Saudi pada saat datang
dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
34
e. Melaporkan keberangkatan jemaah umrah meliputi, rencana
perjalanan umrah, pemberangkatan dan pemulangan kepada Dirjen
PHU.
6. Kewajiban Pelayanan PPIU
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 18 tahun 2015 Pasal 10
disebutkan bahwa PPIU wajib memberikan pelayanan :
a. Bimbingan ibadah umrah, sebelum keberangkatan, selama di
perjalanan dan selama di Arab Saudi serta diberikan materi bimbingan
manasik dan perjalanan umrah.
b. Transportasi, dari dan ke Arab Saudi dan selama di Arab Saudi, paling
banyak 1(satu) kali transit dengan menggunakan maskapai
penerbangan yang sama dan memiliki izin mendarat di Indonesia dan
Arab Saudi. Transportasi darat selama di Arab Saudi wajib memiliki
tasreh atau ijin dengan memperhatikan aspek kenyamanan,
keselamatan, dan keamanan.
c. Akomodasi dan konsumsi, dengan menempatkan jemaah umrah di
hotel minimal bintang 3 (tiga) atau penginapan yang layak. Sedangkan
konsumsi diberikan oleh PPIU sebelum berangkat, dalam perjalanan,
dan selama di Arab Saudi dan harus sesuai standar menu, higienitas
dan sehat.
d. Pelayanan kesehatan, yang meliputin penyediaan petugas kesehatan,
penyediaan obat-obatan dan pengurusan bagi jamaah umrah yang sakit
selama di perjalanan dan Arab Saudi. Pada pelayanan kesehatan ini
35
jamaah wajib melakukan vaksin meningitis yang menjadi tanggung
jawab jamaah secara individu akan tetapi PPIU dapat
memfasilitasinya dengan mengacu kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e. Perlindungan jemaah dan petugas, menjadi tanggung jawab PPIU
dengan memberikan asuransi jiwa, kesehatan dan kecelakaan.
f. Administrasi dan dokumen, dalam bentuk, pengurusan dokumen
perjalanan umrah dan visa bagi jamaah dan pengurusan dokumen
jamaah sakit, meninggal, dan hilang.
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib pula memiliki
izin operasional dari Kementerian Agama yang dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah atas nama Menteri Agama,
dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Memiliki izin usaha;
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c. Memiliki akta pendirian perseroan terbatas (PT) yang telah disahkan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
d. Memiliki surat keterangan domisili perusahaan;
e. Memiliki izin sebagai biro perjalanan umum dari instansi pemerintah
propinsi yang membidangi pariwisata (Dinas Pariwisata) dan berlaku
sekurang-kurangnya 3 (tiga ) tahun;
f. Memiliki susunan pengurus dan komisaris perseroan terbatas;
36
g. Menyerahkan uang jaminan sebesar Rp. 250.000.000(dua ratus lima
Puluh juta rupiah) dalam bentuk bank garansi yang diterbitkan oleh
bank umum milik negara dan berlaku selama 3 (tiga) tahun;
h. Kementerian Agama d.h.i Ditjen PHU melakukan verifikasi terhadap
keabsahan dokumen persyaratan yang telah diajukan dan memproses
lebih lanjut berdasarkan SOP;
i. Izin PPIU berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang dengan mengajukan permohonankepada Menteri Agama
dengan melampirkan foto copy tentang Penetapan Izin sebagai PPIU
yang masih berlaku dan diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
habis masa berlaku izin;
j. PPIU yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan dikenakan
Sanksi berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.32
32
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah, Pasal 5.
37
BAB III
GAMBARAN UMUM DITJEN PHU KEMENAG RI
A. Sejarah dan Perkembangan Ditjen PHU
1. Penyelenggaraan Haji Pasca-Kemerdekaan
Pada pasca kemerdekaan tepatnya pada tahun 1948, pemerintah
Indonesia mengirimkan misi haji untuk bertemu dengan Raja Arab Saudi
saat itu. Misi tersebut mendapat sambutan hangat dari Raja Ibnu Saud.
Misi haji tersebut bertujuan untuk menjelaskan ke dunia Islam perihal
politik Indonesia yang tengah melarang umat Islam di Indonesia
melaksanakan ibadah haji sekaligus meminta dukungan terhadap
perjuangan muslim menentang kembalinya penjajahan.
Pada tanggal 21 Januari 1950, Badan Kongres Muslimin Indonesia
(BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus menangani
kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji
Indonesia (PPPHI) yang kemudian kedudukannya diperkuat dengan
dikeluarkannya Surat Kementerian Agama Republik Indonesia Serikat
(RIS) Nomor 3170 tanggal 6 Pebruari 1950, disusul dengan surat edaran
Menteri Agama RIS Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Pebruari 1950 yang
menunjuk PPPHI sebagai satu-satunya wadah yang sah disamping
Pemerintah untuk mengurus dan menyelenggarakan haji Indonesia. Sejak
saat itulah penyelenggaraan haji ditangani oleh Pemerintah, dalam hal ini
38
Kementerian Agama, dibantu oleh instansi lain seperti Pamongpraja.33
Tahun itu merupakan tahun pertama rombongan haji Indonesia yang
diikuti dan dipimpin oleh Majelis Pimpinan Haji bersama dengan
Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI).
PPPHI berada di setiap karesidenan, karena saat itu karesidenan
merupakan pemerintah daerah yang mengatur, mengolah dan menangani
segala urusan administratif masyarakat termasuk di dalamnya
memudahkan semua urusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
ibadah haji.34
Dengan dibentuknya Kementerian Agama sebagai salah satu unsur
kabinet Pemerintah setelah masa kemerdekaan, maka seluruh beban
Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) ditanggung pemerintah dan segala
kebijakan tentang pelaksanaan ibadah haji semakin terkendali. Dengan
semakin membaiknya tatanan kenegaraan Indonesia, pada tahun 1964
pemerintah mengambil alih kewenangan dalam PIH dengan membubarkan
PPPHI yang kemudian diserahkan kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA)
dibawah koordinasi Menteri Urusan Haji.35
2. Penyelenggaraan Haji Masa Orde Baru
Tugas awal penguasa Orde Baru sebagai pucuk pimpinan negara
pada tahun 1966 adalah membenahi sistem kenegaraan. Pembenahan
sistem pemerintahan tersebut berpengaruh pula terhadap PIH dengan
33
Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah, (Jakarta:
Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2008), h. 5. 34
Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK Pres, 2008), h. 52. 35
Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah, h. 5.
39
dibentuknya Departemen Agama yang merubah struktur dan tata kerja
organisasi Menteri Urusan Haji dan mengalihkan tugas PIH dibawah
wewenang Dirjen Urusan Haji, termasuk penetapan biaya, sistem
manajemen dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam
Keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun 1967
melalui keputusan Menteri Agama Nomor 92 tahun 1967, penetapan
besarnya biaya haji ditentukan oleh Menteri Agama.
Pada tahun 1968, keputusan tentang besarnya biaya haji kembali
ditetapkan oleh Dirjen Urusan Haji dengan keputusan Nomor 111 tahun
1968. Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah bertanggung jawab secara
penuh dalam PIH mulai dari penentuan biaya haji, pelaksanaan ibadah haji
serta hubungan antara dua negara yang mulai dilaksanakan pada tahun
1970. Pada tahun tersebut biaya perjalanan haji ditetapkan oleh Presiden
melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970. Dalam tahun-tahun
berikutnya PIH tidak banyak mengalami perubahan-perubahan kebijakan
dan keputusan tentang biaya perjalanan haji ditetapkan melalui Keputusan
Presiden.36
Pada tahun 1976, ditandai dengan adanya perubahan tata kerja dan
struktur organisasi PIH yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji (BIUH). Sebagai panitia pusat, Dirjen BIUH melaksanakan
koordinasi ke tiap-tiap daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia. Dalam
hal ini sistem koordinasi dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh
36
Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah, h. 5.
40
Dirjen BIUH. Beberapa panitia penyelenggara didaerah juga menjalin
koordinasi dengan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI, hal
ini dikarenakan BAKUH ABRI memiliki lembaga tersendiri untuk
pelaksaan operasional PIH.
Setelah tahun 1976, seluruh pelaksanaan operasional perjalanan
ibadah haji dilaksanakan oleh Dirjen BIUH. Pada tahun 1985, pemerintah
kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam PIH, dimana pihak-pihak
swasta tersebut mempunyai kewajiban langsung kepada pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, lingkungan bisnis modern mengubah
orientasi pihak-pihak swasta tersebut dengan menyeimbangkan antara
orientasi pelayanan dan orientasi keuntungan yang selanjutnya dikenal
dengan istilah PIH Plus. Pada tahun 1987 pemerintah mengeluarkan
keputusan tentang PIH dan Umrah Nomor 22 tahun 1987 yang selanjutnya
disempurnakan dengan mengeluarkan peraturan PIH dan Umrah Nomor
245 tahun 1991 yang lebih menekankan pada pemberian sanksi yang jelas
kepada pihak swasta yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana
ketentuan yang berlaku.
Pembatasan jamaah haji yang lebih dikenal dengan pembagian
kuota haji diterapkan pada tahun 1996 dengan dukungan Sistem
Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) untuk mencegah terjadinya
over quota seperti yang terjadi pada tahun 1995 dan sempat menimbulkan
keresahan dan kegelisahan di masyarakat, khususnya calon jamaah haji
yang telah terdaftar pada tahun tersebut namun tidak dapat berangkat.
41
Mulai tahun 2005 penetapan porsi provinsi dilakukan sesuai dengan
ketentuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yaitu 1 orang per mil dari
jumlah penduduk yang beragama Islam dari masing-masing provinsi,
kecuali untuk jamaah haji khusus diberikan porsi tersendiri.37
3. Penyelenggaraan Haji Pasca-Orde Baru
Melalui Keputusan Presiden Nomor 119 tahun 1998, pemerintah
menghapus monopoli angkutan haji dengan mngizinkan kepada
perusahaan penerbangan lain selain PT. Garuda Indonesia untuk
melaksanakan angkutan haji. Dibukanya kesempatan tersebut disambut
hangat oleh sebuah perusahaan asing, Saudi Arabian Airlines untuk ikut
serta dalam angkutan haji dengan mengajukan penawaran kepada
pemerintah dan mendapapat respon yang positif. Sejak era reformasi,
setiap bentuk kebijakan harus memenuhi aspek keterbukaan dan
transaparansi, jika tidak akan menuai kritik dari masyarakat. Pemerintah
dituntut untuk terus menyempurnakan sistem penyelenggaraan haji dengan
lebih menekankan pada pelayanan, pembinaan dan perlindungan secara
opitmal.
Penyelenggaraan Haji menjadi tanggung jawab Menteri Agama
yang dalam pelaksanaan sehari-hari, secara struktural dan teknis
fungsional dilaksanakan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji (BIPH) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 165 tahun 2000. Dalam perkembangan terakhir
37
Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah, h. 6.
42
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2005 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2005, Ditjen BIPH
direstrukturasi menjadi dua unit kerja eselon I, yaitu Ditjen Bimbingan
Masyarakat Islam (Bimas Islam) dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah (PHU). Dengan demikian mulai operasional haji tahun 2007
pelaksana teknis PPIH dan pembinaan umrah berada dibawah Ditjen
PHU.38
B. Visi dan Misi Ditjen PHU
Berpedoman pada keputusan Ditjen PHU Nomor: D/54 tahun 2010
tentang Visi dan Misi Ditjen PHU, disebutkan sebagai berikut:39
1. Visi
Terwujudnya pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jamaah
haji dan umrah berdasarkan asas keadilan, transparan, akuntabel dengan
prinsip nirlaba. Penjabaran dari Visi Ditjen PHU tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pembinaan, diwujudkan dalam bentuk bimbingan, penyuluhan dan
penerangan kepada masyarakat dan jamaah haji dan umrah.
Sedangkan pembinaan petugas diarahkan pada profesionalisme dan
dedikasinya.
38
Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah, h. 6. 39
Kementrian Agama Republik Indonesia , Ditjen Penyelenggara haji dan Umrah, rencana
Strategis direktorat Jenderal Penyelenggaraan haji dan Umrah Tahun 2010-2014.
43
b. Pelayanan, diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan
administrasi dan dokumen, transportasi, kesehatan, serta akomodasi
dan konsumsi.
c. Perlindungan, diwujudkan dalam bentuk jaminan keselamatan dan
keamanan jamaah haji selama menunaikan ibadah haji dan umrah.
d. Asas keadilan, bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus berpegang
pada kebenaran, tidak berat sebelah dan tidak memihak, tidak
sewenang-wenang dalam penyelenggaraannya.
e. Transparan, bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam proses
penyelenggaraan haji dan umrah dapat diketahui oleh masyarakat
dan jamaah haji dan umrah.
f. Akuntabel dengan prinsip nirlaba, bahwa penyelenggaraan ibadah
haji dan umrah dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak
mencari keuntungan.
2. Misi
a. Meningkatkan kualitas penyuluhan, bimbingan dan pemahaman
manasik haji dan umrah.
b. Meningkatkan profesionalisme dan dedikasi petugas haji dan umrah.
c. Memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji dan
umrah melalui pembinaan haji khusus, umrah dan kelompok
bimbingan ibadah.
44
d. Meningkatkan pelayanan pendaftaran, dokumen, akomodasi,
transportasi dan katering sesuai standar pelayanan minimal
penyelenggaraan haji dan umrah.
e. Memberikan perlindungan kepada jamaah sehingga diperoleh rasa
aman, keadilan dan kepastian melaksanakan ibadah haji dan umrah.
f. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dana haji serta
pengembangan sistem informasi haji.
g. Meningkatkan kualitas dukungan manajemen dan dukungan teknis
lainnya dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
C. Tugas dan Fungsi Ditjen PHU
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 10 tahun 2010, Ditjen
PHU memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:40
1. Tugas
Ditjen PHU mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standarisasi teknis di bidang penyelenggaraan haji dan
umrah.
2. Fungsi
Sedangkan dalam melaksanakan tugas, Ditjen PHU memiliki fungsi
sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan haji dan umrah.
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan haji dan umrah.
40
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Agama RI, h. 56.
45
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria di bidang
penyelenggaraan haji dan umrah.
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi penyelenggaraan haji dan
umrah.
e. Pelaksanaan administrasi Ditjen PHU.
D. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
dan Umrah
Struktur organisasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umroh tertulis dalam PMA No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan PMA
No. 80 Tahun 2013 pada pemecahan Direktorat Pelayanan Haji menjadi
Direktorat Pelayanan Dalam Negeri dan Direktorat Pelayanan Luar Negeri.
Adapun semenjak diterbitkannya PMA No 80 Tahun 2013 susunan organisasi
Ditjen PHU adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh
2. Direktorat Pembinaan Haji dan Umroh (Ditbina Haji dan Umroh)
3. Direktorat Pelayanan Dalam Negeri
4. Direktorat Pelayanan Luar Negeri
5. Direktorat Pengelolaan Dana Haji (Ditlola Dana Haji)41
41
Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 dengan perubahan sesuai Peraturan Menteri
Agama No. 80 Tahun 2013
46
Sebagai perinciannya Ditjen PHU memiiki susunan organisasi sebagai
berikut:42
1. Sekretariat Ditjen PHU
a. Bagian Perencaaan dan Keuangan
1) Subbagian perencanaan dan evaluasi program
2) Subbagian pelaksanaan anggaran dan perbendaharaan
3) Subbagian verifikasi, akuntansi dan pelaporan keuangan
b. Bagian Organisai, Tata Laksana dan Kepegawaian
1) Subbagian organisasi dan tata laksana
2) Subbagian kepegawaian
3) Subbagian hukum dan peraturan perundang-undangan
42
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Agama RI, h. 56-73.
Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan
Umroh
Direktorat
Pelayanan
Haji Luar
Negeri
Direktorat
Pembinaan
Haji dan
Umroh
Sekretariat Direktorat
Jenderal
Penyelenggaraan Haji
dan Umroh
Direktorat
Pelayanan
Haji dalam
Negeri
Direktorat
Pengelolaan
Dana Haji
47
c. Bagian Sistem Informasi Haji Terpadu
1) Subbagian pengelolaan sistem jaringan
2) Subbagian pengembanga databae haji
3) Subbagian informasi haji
d. Bagian Umum
1) Subbagian tata usaha
2) Subbagian rumah tangga
3) Subbagian perlengkapan dan barang milik negara
2. Direktorat Pembinaan Haji dan Umrah
a. Subdirektorat bimbingan jamaah haji
1) Seksi pengembangan materi bimbingan
2) Seksi operasi bimbingan
3) Seksi pembinaan kelompok bimbingan
b. Subdirektorat pembinaan petugas haji
1) Seksi rekruitmen petugas
2) Seksi pelatihan petugas
3) Seksi penilaian kinerja petugas
c. Subdirektorat pembinaan haji khusus
1) Seksi perizinan penyelenggaraan ibadah haji khusus
2) Seksi akreditasi penyelenggaraan ibadah haji khusus
3) Seksi pengawasan penyelenggaraan ibadah haji khusus
d. Subdirektorat pembinaan umrah
1) Seksi perizinan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah
48
2) Seksi akreditasi penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah
3) Seksi pengawasan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah
e. Subbagian tata usaha direktorat
3. Direktorat Pelayanan Haji
a. Subdirektorat pendaftaran haji
1) Seksi pendaftran haji reguler
2) Seksi pendaftran haji khusus
3) Seksi pembatalan pendaftaran haji
b. Subdirektorat dokumen dan perlengkapan haji
1) Seksi dokumen jamaah haji
2) Seksi pemvisaan
3) Seksi perlengkapan jamaah haji
c. Subdirektorat akomodasi dan katering haji
1) Seksi akomodasi di Arab Saudi
2) Seksi katering jamaah haji
d. Subdirektorat transportasi dan perlindungan jamaah haji
1) Seksi transportasi udara
2) Seksi transportasi darat
3) Seksi perlindungan dan keamanan jamaah haji
e. Subbagian tata usaha direktorat
4. Direktorat Pengelolaan Dana Haji
a. Subdirektorat biaya penyelenggaraan ibadah haji
1) Seksi setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji
49
2) Seksi penyusunan program dan portofolio
3) Seksi akuntansi dan pelaporan setoran awal
b. Subdirektorat pelaksanaan anggaran operasional haji
1) Seksi perbendaharaan operasional haji
2) Seksi verifikasi
3) Seksi akuntansi dan pelaporan pelaksanaan
c. Subdirektorat pengembangan dan pengelolaan dana haji
1) Seksi pengembangan dana haji
2) Seksi administrasi aset haji
3) Seksi pengembangan sistem akuntansi
d. Subdirektorat fasilitasi badan pengelola dana abadi umat
1) Seksi program dan portofolio
2) Seksi perbendaharaan, akutansi dan pelaporan
3) Seksi administrasi umum
e. Subbagian tata usaha direktorat
E. Subdirektorat Pembinaan Umrah
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010,
Subdirektorat Pembinaan Umrah mempunyai tugas dan fungsi sebagai
berikut:
1. Tugas
Subdirektorat Pembinaan Umrah mempunyai tugas melaksanakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
50
prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang
pembinaan umrah.43
2. Fungsi
Sedangkan dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Pembinaan
Umrah memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang perizinan, akreditasi, dan
pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah;
b. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang perizinan, akreditasi, dan
pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah;
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang perizinan, akreditasi, dan pengawasan penyelenggaraan ibadah
umrah; dan
d. Penyiapan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perizinan,
akreditasi, dan pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah.44
Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Pembinaan Umrah
dibantu oleh Seksi Perizinan PPIU, Seksi Akreditasi PPIU, dan Seksi
Pengawasan PPIU yang mempunyai tugas untuk melakukan penyiapan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis, serta evaluasi pada bidangnya
masing-masing dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.
43
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Agama RI, h. 63. 44
Peraturan Menteri Agama Reublik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi Tata
Kerja Kementrian Agama RI, Pasal 281, h. 64.
51
Pada Subdirektorat Pembinaan Umrah memiliki struktur organisasi
yang bertugas menyelesaikan persoalan-persoalan tentang umrah. Berikut
struktur organisasi Subdirektorat Pembinaan Umrah:
STRUKTUR ORGANISASI SUBDIREKTORAT PEMBINAAN
UMRAH
H. M. ARFI HATIM, M. Ag
Kasubdit Pembinaan
Umrah Ditjen PHU
H. DENNY, SE, M.Si
Kasi Pengawasan
PPIU
H. BENY DARMAWAN, M.Si
Kasi Akreditasi PPIU
Hj. DEWI GUSTIKARINI, SH
Kasi Perizinan PPIU
STAFF
PELAKSANA
STAFF
PELAKSANA
STAFF
PELAKSANA
STAFF
PELAKSANA
STAFF
PELAKSANA
52
F. Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Dari Masa ke
Masa
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah sejak berdirinya di
tahun 1964 sudah mengalami 11 kali pergantian direktur, yaitu sebagai
berikut:
Tabel 3.1. Ditjen PHU dari Masa ke Masa
No. Nama Jabatan Masa Bakti
1 Prof. KH. Farid Ma’ruf
Menteri Urusan Haji 1964 – 1965
Dirjen Urusan Haji 1965 – 1973
2 H. Burhani Tjokrohandoko
Dirjen Urusan Haji 1973 – 1979
Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji
1979 – 1984
3 H. A. Qadir Basalamah
Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji
1984 – 1989
4 H. Andi Lolo Tonang, SH
Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji
1989 – 1991
5 Drs. H. Amidhan
Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji
1991 – 1995
6 Drs. H. A. Ghazali
Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji
1995 – 1996
7 Drs. H. Mubarok, M.Si
Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji
1996 – 2000
8 Drs. H. Taufiq Kamil Dirjen Bimas Islam dan 2000 – 2005
53
Penyelenggaraan Haji
9 Drs. H. Slamet Riyanto, M.Si
Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji
2005 – 2006
Dirjen Penyelenggaraan
Haji dan Umrah
2006 – 2012
10 Dr. H. Anggito Abimanyu, M.Sc
Dirjen Penyelenggaraan
Haji dan Umrah
2012- 2014
11 Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A.
Dirjen Penyelenggaraan
Haji dan Umrah
2014 –
sekarang
Sumber : Buku Haji dari Masa ke Masa45
45
Haji Dari Masa Ke Masa, (Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementerian Agama RI, 2012) Cet. 1, h. 312
54
BAB IV
SISTEM PENGAWASAN PELAYANAN PPIU DITJEN PHU
KEMENAG RI
A. Sistem Pengawasan
1. Objek Pengawasan
Pada pembahasan skripsi ini, objek pengawasannya adalah
pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah atau disingkat PPIU.
Sedangkan PPIU yang menjadi objek pengawasan Ditjen PHU yakni PPIU
yang telah terdaftar izinnya di Kemenag RI. PPIU yang tidak terdaftar
bukan di bawah pengawasan Ditjen PHU, akan tetapi hal tersebut sudah
menjadi kasus tindak pidana di bawah tanggung jawab kepolisian. Baik
karena kasus penipuan ataupun kasus penelantaran jamaah.
Meskipun demikian, untuk menindak PPIU tersebut, Ditjen PHU
melakukan kerja sama dengan Kepolisian Negara RI. Keduanya menukar
informasi dalam pelaksanaan kerja sama pengawasan dan penegakan
hukum tentang PPIU. Hal ini tertuang dalam Nota kesepahaman antara
Kementerian Agama Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor: D/ 152 Tahun 2013.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Ahmad Kartono, Mantan
Direktur Pembinaan Haji & Umrah, bahwasanya tugas Ditjen PHU harus
sesuai dengan amanat Undang-undang yakni untuk membina, dan
55
mengarahkan tentang PPIU yang resmi mendapatkan izin dari Kemenag
RI. Di luar izin Kemenag RI, berarti urusannya pada ranah kepolisian,
karena sudah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Maka dari itu,
PPIU yang tidak berizin akan diberikan sanksi oleh kepolisian RI.
Sedangkan Kemenag RI akan memberikan sanksi kepada PPIU yang
memiliki izin tersebut. Di samping itu, kemenag RI juga harus membina
kembali PPIU supaya PPIU tersebut tetap kepada ketentuan yang
berlaku.46
Pada tahun 2016 ini sudah ada 650 PPIU yang sudah mendapatkan
izin operasional. Daftar PPIU tersebut bisa dapat dilihat melalui
http://haji.kemenag.go.id/v2/basisdata/daftar-ppiu. Namun ada juga
PPIU yang telah melanggar dengan berbagai macam kriteria sanksinya.
Pada tahun 2016 ini, sudah ada 17 PPIU yang telah diberikan sanksi oleh
Kemenag RI. Di bawah ini merupakan tabel nama-nama PPIU yang telah
diberikan sanksi oleh Kemenag RI terhitung sampai tanggal 15 September
2016:
Tabel: 4.1. Nama PPIU Yang Diberikan Sanksi Oleh Kemenag RI
No. Nama PPIU Sanksi
1. Pt. Mediterrania Travel Pencabutan Izin
2. Pt. Mustaqbal Lima Pencabutan Izin
3. Pt. Ronalditya Pencabutan Izin
4. Pt. Kopindo Wisata Tidak Dapat Di Proses Izin
Perpanjangan Dikarenakan Kasus
46
Ahmad Kartono, Mantan Direktur Pembinaan haji & Umrah, Wawancara Pribadi, 21
September 2016 (14.00-14.30).
56
Penelantaran Dan Izin Sudah Habis
Masa Berlakunya (Pencabutan)
5. Pt. Catur Daya Utama Tidak Dapat Di Proses Izin
Perpanjangan Berdasarkan Hasil
Akreditasi
6. Pt. Huli Saqdah Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi
7. Pt. Maccadina Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi
8. Pt. Gema Arofah Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi
9. Pt. Wisata Pesona Nugraha Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi
10. Pt. Assuryaniyah Cipta Prima Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi
11. Pt. Maulana Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Berdasarkan Hasil Akreditasi Dan
Pengawasan
12. Pt. Timur Sarana Tour & Travel Pencabutan Izin
13. Pt. Diva Sakinah Pencabutan Izin
14. Pt. Hikmah Sakti Perdana Pencabutan Izin
15. Pt. Faliyatika Cholis Utama Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Karena Masa Berlaku Telah Habis
Tidak Melakukan Perpanjangan
16. Pt. Sandhora Wahana Wisata Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Karena Masa Berlaku Telah Habis
Tidak Melakukan Perpanjangan
17. Pt. Nurmadania Nusha Wisata Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi
Karena Masa Berlaku Telah Habis
Tidak Melakukan Perpanjangan
Sumber: Kasubdit Pembinaan Umrah47
47
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
57
Terdapat tiga hal yang diawasi oleh Ditjen PHU terhadap PPIU.
Diantaranya perizinan , akreditasi, dan pelayanan. Namun skripsi ini hanya
sebatas pengawasan terhadap pelayanan PPIU. Ada enam pelayanan
pokok yang harus dipenuhi PPIU terhadap jamaahnya. Keenam pelayanan
pokok tersebut meliputi: bimbingan ibadah, transportasi, akomodasi dan
konsumsi, kesehatan, perlindungan serta administrasi dan dokumen.
Berdasarkan waktu kapan PPIU memberikan pelayanan kepada
jamaahnya, pelayanan PPIU dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
pelayanan yang diberikan PPIU di Tanah Air, meliputi: bimbingan ibadah,
perlindungan dan administrasi. Bagian kedua, pelayanan yang diberikan
PPIU di Arab Saudi, meliputi: transportasi, akomodasi dan konsumsi serta
pelayanan kesehatan.
Di samping itu, memang ada beberapa pelayanan yang diberikan
ketika berada di Tanah Air dan Arab Saudi. Diantaranya bimbingan
ibadah, pelayanan kesehatan dan transportasi. Pembagian ini berdasarkan
poin-poin pelayanan yang telah disebutkan dalam PMA Nomor 18 tahun
2015 tentang Perjalanan Ibadah Umrah.
Keenam pelayanan tersebut sama dengan pelayanan pokok yang
ada pada Haji Reguler. Akan tetapi yang menjadi pembeda adalah pada
kegiatan ibadah haji reguler, pendaftaran masuk ke dalam pelayanan.
Sedangkan pada kegiatan ibadah umrah, pendaftaran tidak masuk ke dalam
pelayanan. Karena memang pada kegiatan ibadah haji, pemerintah menjadi
regulator sekaligus pelaksana. Sedangkan pada kegiatan ibadah umrah
58
pemerintah hanya sebagai regulator saja selebihnya yang menjadi
pelaksana adalah pihak swasta. Maka dari itu, pada PMA Nomor 18
Tahun 2015, pendaftaran tidak masuk ke dalam kewajiban pelayanan
PPIU. Meskipun begitu, pemerintah juga mengatur ketentuan pendaftaran
calon jamaah umrah kepada PPIU yang tercantum pada PMA Nomor 18
Tahun 2015 Bab III Pasal 9.
2. Bentuk Pengawasan
Pada pengawasan Ditjen PHU melakukan tindakan koreksi
terhadap pelayanan yang diberikan oleh PPIU jika PPIU tersebut tidak
bertanggungjawab terhadap program perjalanan umrah yang telah
disepakati oleh calon jamaah umrah dan PPIU tersebut.
PPIU harus mengikuti ketentuan yang telah diberikan oleh Ditjen
PHU terhadap pelayanan yang akan diberikan oleh calon jamaah umrah.
Ketentuan tersebut berpedoman pada Undang-Undang dan Peraturan
Menteri Agama yang telah ditetapkan oleh Kemenag RI. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pengawasan ini dilakukan oleh pihak
terkait di luar perusahaan penyelenggara.
Dari sini dapat dipahami bahwa paling tidak pihak PPIU dalam
memberikan pelayanannya kepada jamaah harus sesuai dengan SPM atau
Standar Pelayanan Minimal. Akan tetapi Ditjen PHU masih belum ada
SPM untuk ibadah umrah. Hal ini diperjelas oleh Arfi Hatim selaku
Kasubdit Pembinaan Umrah, menurutnya masih belum ada SPM atau SPM
masih dalam proses karena memang idealnya pengawasan itu berdasarkan
59
SPM. Maka dari itu, sampai sekarang pengawasan itu berdasarkan LRPU
atau Laporan Rencana Perjalanan Umrah yang PPIU input ke dalam sistem
secara online.48
Pemerintah juga masih belum menetapkan biaya minimal ibadah
umrah. Akan tetapi pada sosialisasi umrah, AMPHURI dan Kementerian
Agama RI berkomitmen untuk menetapkan standar minimum untuk
penyelenggaraan umrah senilai 1.700 dolar AS. Hal tersebut memang
masih belum bisa di tetapkan. Meskipun begitu, Ditjen PHU selalu
berusaha mensosialisasi masyarakat dalam rangka perlindungan terhadap
jamaah umrah.49
Biaya umrah 1.700 USD tersebut merupakan standar minimum
untuk perjalanan umrah yang termasuk tiket maskapai Pulang-Pergi, visa
umrah, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan selama di Tanah
Suci, serta manasik umrah. Sehingga apabila terdapat angka atau harga
umrah di bawah itu, maka sangat riskan untuk bisa memenuhi standar
pelayanan di Tanah Suci.
Menurut Djoko Asmoro, harga tiket maskapai penerbangan PP
(pulang-pergi) mulai dari 1.000 USD hingga 1.300 USD, sehingga biaya
umrah 1.700 USD itu sudah merupakan harga standar minimal. Apabila di
48
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30). 49
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
60
bawah harga standard tersebut diragukan standar pelayanan dan banyak
fasilitas yang dikurangi.50
Menurut kriteria pelayanan yang ditinjau langsung oleh
pemerintah, dengan harga demikian, pelayanan yang diberikan PPIU
kepada jamaah umrah minimal akan sesuai dengan standar. Sehingga
dengan adanya standar biaya umroh minimum ini dapat menjamin
pelayanan umrah kepada setiap jemaah yang terus meningkat setiap
tahunnya.
Apabila pelayanan yang diberikan kurang dari standar, bisa
dikatakan pihak PPIU melakukan pelanggaran dengan menghilangkan
pelayanan yang sudah seharusnya menjadi hak jamaah umrah. PPIU
memberikan harga lebih mahal dari harga yang telah dikomitmenkan
pemerintah, asalkan ada catatan tentang program pelayanannya apa saja
yang diberikan kepada jamaah umrah. Akan tetapi, jika ada PPIU yang
memberikan harga umrah dibawah 1.700 USD kepada jamaahnya, hal itu
harus sudah disepakati oleh jamaah umrahnya sendiri dan hal itu di luar
pengawasan Ditjen PHU.
Padahal menurut Kasmir dalam bukunya Etika Customer Service
menjelaskan bahwasanya ciri-ciri pelayanan yang baik salah satunya yaitu
berusaha memahami kebutuhan jamaah.51
Dalam hal ini, kebutuhan
50
Edy Supriatna Sjafei, “Standar Minimal Biaya Umrah 1.700 Dollar AS”, artikel diakses
pada 10 September 2016 darihttp://haji.kemenag.go.id/v2/content/standar-minimal-biaya-umrah-
1700-dolar.html. 51
Kasmir, Etika Customer Service, h.186-187.
61
jamaah itu harus dilayani dengan standar minimal agar kualitas pelayanan
dapat dipersepsikan baik oleh jamaah yang menunaikan ibadah umrah.
3. Metode Pengawasan
Metode pengawasan yang digunakan oleh Ditjen PHU menerapkan
gabungan dari metode pengawasan langsung dan tidak langsung.
Pengawasan langsung yang dilakukan oleh petugas pengawasan PPIU saat
melakukan peninjauan langsung terkait pelayanan yang diberikan oleh
PPIU kepada jamaahnya baik itu di Tanah Air maupun di Arab Saudi.
Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan petugas pengawasan
dengan menganalisa laporan-laporan yang masuk dari petugas PPIU. Hal
ini untuk melihat apakah pelayanan PPIU telah sesuai atau tidak dengan
program perjalanan ibadah umrah yang diberikan oleh petugas PPIU.
Menurut Ahmad Kartono, pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen
PHU yaitu ketika berangkat di Bandara, di Arab Saudi, sampai para
jamaah umrah pulang kembali ke Tanah Air. Karena pengawasan
diperlukan untuk mengetahui pelayanan PPIU terhadap jamaah umrahnya.
Apakah jamaah mendapatkan perlindungan ataukah tidak. Apakah jumlah
jamaah yang berangkat hingga pulang ke Tanah Air sama atau berbeda.
Sehingga perlindungan itu penting bagi pemerintah yang mengawasi. Hal
ini untuk mengetahui apakah benar atau tidak PPIU tersebut bertanggung
jawab dalam melayani jamaahnya.52
52
Ahmad Kartono, Mantan Direktur Pembinaan Haji & Umrah, Wawancara Pribadi, 21
September 2016 (14.00-14.30).
62
Penggunaan metode ini menjelaskan bahwa Ditjen PHU dalam hal
melakukan pelayanan terhadap PPIU menggunakan 2 kategori pelayanan.
Pelayanan yang berupa kegiatan lapangan dan pelayanan yang diberikan
berupa data-data administratif. Jika pelayanan berupa data-data
administratif seperti yang terjadi pada pelayanan administratif dan
dokumen serta perlindungan jamaah, maka kegiatan pengawasannya bisa
sepenuhnya dilakukan dengan metode pengawasan langsung. Ditjen PHU
tidak mendapatkan masalah yang serius terkait pelayanan-pelayanan
tersebut. Pengawasan tersebut dapat dikatakan berhasil, dan bisa dilihat
langsung bahwa kinerjanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berbeda halnya dengan pelayanan yang berupa kegiatan lapangan.
Ditjen PHU melakukan pengawasannya menggunakan kedua metode
tersebut. Meski menggunakan keduanya, tetapi selama ini, metode yang
sepenuhnya di terapkan yaitu metode pengawasan tidak langsung atau
jarak jauh. Seluruh PPIU mampu dipantau oleh pengawasan tidak
langsung dengan laporan-laporan yang telah diserahkan oleh petugas
PPIU.
Tapi tidak jika menggunakan metode pengawasan langsung.
Karena masih sulit untuk menerapkan pengawasan langsung dengan porsi
yang lebih besar terkait dengan jumlah PPIU yang terus berkembang
sampai saat ini sebesar 650 PPIU yang telah terdaftar di Kemenag RI.
63
Padahal pengawasan efektif harus memberi petunjuk tentang kemungkinan
adanya deviasi/penyimpangan.53
Pada pelayanan yang berupa kegiatan lapangan inilah yang lebih
banyak adanya kemungkinan penyimpangan yang terjadi. Misalnya seperti
pelayanan di Arab Saudi. Menurut Arfi Hatim, sampai sekarang memang
Ditjen PHU belum bisa secara maksimal melakukan pelayanan, karena itu
terkait dengan kurangnya Sumber Daya Manusia dan anggaran. Terdapat
anggaran untuk mengawasi PPIU ketika di Arab Saudi, akan tetapi masih
minim atau terbatas. Karena jika harus melakukan pengawasan di Arab
Saudi akan cukup besar anggaran yang dibutuhkan.54
PPIU di seluruh Indonesia saat ini mencapai 650 an, pelayanan
yang diberikan kepada jamaah umrah ada 6 bagian. Sedangkan petugas
pengawas dari Kasi (Kepala Seksi) pengawasan sangat terbatas. Tidak
mungkin pihak Ditjen PHU mampu melakukan peninjauan langsung pada
keseluruhan kegiatan pelayanan di semua PPIU. Saat ini peninjauan
langsung hanya sebagai pelengkap atau pengawasan tidak langsung.
Berikut ini tabel dari bentuk pelayanan dan bagaimana metode
pengawasan pada masing-masing pelayanan tersebut.
53
Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, h. 130. 54
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
64
Tabel: 4.2. Metode Pengawasan pada Masing-Masing Pelayanan
No. Bentuk Pelayanan Metode Pengawasan Dilakukan Oleh
1 Pendaftaran Langsung PPIU
2 Bimbingan Ibadah Tidak Langsung Ditjen PHU
3 Transportasi Tidak Langsung Ditjen PHU
4 Akomodasi dan
Konsumsi
Langsung dan Tidak
Langsung
Ditjen PHU
5 Kesehatan Langsung dan Tidak
Langsung
Ditjen PHU
6 Perlindungan Langsung Ditjen PHU
7 Administrasi dan
Dokumen
Langsung Ditjen PHU
4. Langkah-langkah Pengawasan
Dari keterangan-keterangan Kasubdit Pembinaan Umrah Ditjen
PHU, langkah-langkah yang diterapkan dalam pengawasan pelayanan
PPIU meliputi, penetapan ukuran standar, penilaian kinerja dengan standar
serta perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan yang terjadi.
Berikut ini adalah gambaran dari skema langkah-langkah
pengawasan Ditjen PHU terhadap pelayanan PPIU.
Gambar 4.1. Tahapan Pengawasan Ditjen PHU Terhadap Pelayanan PPIU
Sumber: Hasil Wawancara dengan Kasubdit Pembinaan Umrah55
55
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016, (10.30-
11.30)
Penetapan Standar
Operasional
Prosedur
Penilaian
Kinerja
Perbaikan terhadap
Penyimpangan
yang terjadi
65
a. Penetapan Ukuran atau Standar
Dalam pengawasan, harus ada sebuah pedoman sebagai tolak
ukur penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi. Sebagai
regulator, Ditjen PHU dalam mengawasi pelayanan PPIU sudah
mempunyai pedoman penilaian yang telah dibuat oleh Pemerintah
Republik Indonesia, berupa:
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2012
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
2) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2015 tentang Perjalanan Ibadah Umrah
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama.
4) Nota kesepahaman antara Kementerian Agama Republik
Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor:
D/152 Tahun 2013.
Keseluruhan peraturan ini merupakan landasan Ditjen PHU dalam
melakukan pengawasan terhadap PPIU. Meskipun peraturan yang
paling pokok berkaitan langsung dengan pelayanan adalah PMA
Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perjalanan Ibadah Umrah. Namun
untuk melakukan pengawasan Ditjen PHU tetap berpedoman kepada
66
semua peraturan yang ada karena saling berkaitan satu dengan
lainnya.
b. Penilaian Kegiatan dengan Standar
Inti dari pengawasan yakni menyesuaikan kegiatan dengan
standar. Dalam pengawasan Ditjen PHU terhadap pelayanan PPIU,
kegiatan ini merupakan proses sinkronisasi antara peraturan yang
berlaku dengan kegiatan pelayanan yang terjadi. Dengan peraturan
tersebut, Kasi Pengawasan melakukan verifikasi terhadap daftar
program perjalanan PPIU yang nantinya digunakan sebagai instrument
pengawasan.
Proses ini mengetahui apakah pelayanan PPIU menyimpang atau
tidak dengan standar yang telah ditetapkan, atau sesuai tidaknya
dengan daftar program perjalanan PPIU yang telah diberikan petugas
PPIU kepada Kasi Pengawasan. Kegiatan ini menjadi 3 periode. Tiga
periode kegiatan tersebut yakni pra operasional, operasional, dan
pasca operasional. Pembahasan lebih lanjut terangkum dalam proses
pengawasan yang akan dijabarkan pada pembahasan berikutnya.
c. Perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi
Setelah melakukan dua langkah pengawasan tersebut, langkah
selanjutnya yang dilakukan oleh Ditjen PHU dalam pengawasan
pelayanan PPIU adalah melakukan tindakan kepada PPIU yang
melanggar peraturan. Apabila terjadi penyimpangan terhadap
pelayanan ibadah umrah tersebut, Subdit Pembinaan umrah
67
melakukan tindakan lanjut. Tindakan lanjut ini harus sesuai dengan
SOP atau Standar Operasional Prosedur yang telah ditetapkan
Kemenag RI kepada Subdit Pembinaan Umrah.
Tata cara pengenaan sanksi tertuang dalam Standar Operasional
Prosedur Subdirektorat Pembinaan Umrah sebagai pelaksana atau Tim
penyelesaian Kasus dalam Penyelenggaraan Ibadah Umrah. Berikut
Standar Operasional Prosedur Subdirektorat Pembinaaan Umrah:
1) Laporan atau pengaduan di inventarisir di Sekretariat atau Subdit
Pembinaan Umrah dan Subdit Pembinaan Haji Khusus.
2) Sekretariat atau Subdit Pembinaan Umrah dan Subdit Pembinaan
Haji Khusus menginventarisasi dokumen dan bukti terkait
3) Sekretaris Tim mendistribusikan kepada Sub Tim yang telah
ditentukan
4) Sub Tim menindaklanjuti dokumen atau data
a) Klarifikasi
b) Tidak Klarifikasi
5) Apabila perlu klarifikasi lebih lanjut, sekretariat mengundang
pihak-pihak untuk klarifikasi
6) Sub Tim melakukan klarifikasi sesuai dengan jadwal yang
ditentukan
7) Hasil klarifikasi dituangkan dalam bentuk Berita Acara
Klarifikasi
68
8) Sub Tim menyampaikan hasil klarifikasi dengan rekomendasi dan
saran tindak lanjut kepada ketua
9) Ketua Tim menindaklanjuti hasil klarifikasi untuk di plenokan
kepada anggota tim
10) Hasil pleno disampaikan ke Dirbina Haji dan Umrah dan
diteruskan ke Dirjen PHU untuk mendapatkan arahan lebih lanjut
11) Atas arahan Dirjen PHU, Sub Tim atau Subdit Pembinaan Umrah
dan Subdit Pembinaan Haji Khusus membuat draft Surat
Keputusan Menteri tentang pemberian sanksi administratif.
Berikut ini merupakan gambar skema Standar Operasional
Prosedur Subdirektorat Pembinaan Umrah tahun 2016.
69
Gambar 4.2. Standar Operasional Prosedur Subdirektorat Pembinaan Umrah
Sumber: Hasil Wawancara dengan Kasubdit Pembinaan Umrah56
Setelah melakukan tindakan-tindakan di atas, selanjutnya Ditjen
PHU melakukan 3 kemungkinan yang akan dilakukan oleh Ditjen
PHU. Tindakannya sebagai berikut:
56
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR
Pendataan Kasus oleh
Subdit Pembinaan Haji
Khusus dan Umrah
Pengumpulan
Bahan/dokumen Subdit
Pembinaan Haji khusus
dan Umrah
Subdit Pembinaan Haji
Khusus dan Umrah
Laporkan ke Sekretaris
Sekretaris memberikan
Bahan/berkas
diberikan ke Sub Tim
Sub Tim Membuat
Laporan hasil
Klarifikasi kepada
Ketua, berupa STL
yang terdiri dari:
-Saran
-Hasil Rekomendasi
-Sanksi
-Pasal Pelanggaran
Sub Tim melakukan
Klarifikasi
Subdit Pembinaan
Haji Khusus dan
Umrah menyiapkan
surat pemanggilan
untuk klarifikasi jika
dibutuhkan
Tim
melakukan
sidang Pleno
(tergantung
masalah)
Membuat
Laporan Hasil
Rapat Pleno
dari Ketua
Tim kepada
Direktur
Pembinaan,
Laporan
Direktur
Pembinaan ke
Dirjen dengan
melampirkan
draft SK
sanksi.
70
1) Tindakan Perbaikan
Tindakan perbaikan dilakukan agar penyimpangan yang
terjadi tidak akan dilakukan secara terus-menerus oleh PPIU dalam
kegiatan berikutnya. Karena jika pelanggaran itu ditindaklanjuti,
maka PPIU tersebut akan semena-mena dalam memberikan
pelayanan kepada jamaahnya dengan tidak menghiraukan batasan
kewajiban pelayanan PPIU yang telah ditentukan oleh Kemenag
RI. Tindakan Ditjen PHU terhadap PPIU yang melakukan
penyimpangan dilakukan sesuai dengan kadar penyimpangannya.
Tindakan tersebut berupa:
a) Peringatan tertulis
b) Pembekuan Izin penyelenggaraan atau
c) Pencabutan izin penyelenggaraan
2) Revisi Standar
Selain melakukan tindakan kepada PPIU, yang perlu
dilakukan oleh Ditjen PHU adalah merevisi atau mengoreksi
standar. Karena bisa jadi penyimpangan yang terjadi akibat
ketidakrelevanan sebuah standar. Bukan mutlak kesalahan PPIU.
Misalkan saja, ketentuan yang berkaitan dengan pelayanan ibadah
umrah akan berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi di Mekkah.
3) Tidak melakukan apa-apa
Selain tindakan di atas, boleh jadi Ditjen PHU membiarkan
penyimpangan PPIU tersebut terjadi. Asalkan penyimpangan
71
tersebut tidak terlalu besar pengaruh penyimpangannya terhadap
ketentuan yang berlaku. Misalkan saja apabila ternyata PPIU tidak
memenuhi pelayanan yang dijanjikan oleh PPIU tersebut kepada
jamaah, namun pihak PPIU telah menggantikan dengan uang yang
senilai atau biasa disebut dengan ganti rugi, maka PPIU telah bebas
dari kesalahannya.
5. Proses Pengawasan
Maksud dari proses pengawasan ini adalah penilaian pelayanan
PPIU dengan standar, serta sinkronisasi dengan daftar program perjalanan
PPIU yang telah diinput secara online melalui website kemenag RI. Proses
pengawasan ini dibagi menjadi tiga periode. Tiga periode tersebut yakni,
pra operasional, operasional, dan pasca operasional.
a. Pra Operasional
Kegiatan pengawasan terhadap pelayanan PPIU sebelum waktu
pelaksanaan ibadah umrah meliputi pelayanan tentang bimbingan
ibadah, perlindungan serta administrasi dan dokumen. Kegiatan pra
operasional ini berlangsung ketika PPIU menginput data Laporan
Rencana Perjalanan Umrah (LRPU) ke website Kemenag melalui
online. Pada saat itulah pengawasan Ditjen PHU terhadap pelayanan
PPIU dilaksanakan.
Selain itu, LRPU bertindak sebagai subsistem dari website
Kemenag RI. Hal tersebut sesuai dengan pengertian sistem menurut
Edhy Sutanto dalam bukunya Sistem Informasi Manajemen, bahwa
72
sistem merupakan subsistem yang saling dihubungkan dengan cara-
cara tertentu sehingga membentuk satu kesatuan untuk melaksanakan
suatu fungsi guna mencapai suatu tujuan.57
Dalam pembahasan sebelumnya, pelayanan ibadah haji,
pendaftaran masuk ke dalam pelayanan, tetapi tidak dengan pada
ibadah umrah. Maka dari itu, pada ibadah umrah pendaftaran jamaah
di luar pengawasan Ditjen PHU terhadap pelayanan PPIU. Karena
pendaftaran umrah tidak melalui pemerintah tetapi melalui PPIU
masing-masing. Meskipun begitu Ditjen PHU tetap menentukan
ketentuan bagaimana pendaftaran jamaah kepada PPIU.
Jemaah umrah yang akan mendaftarkan diri kepada PPIU wajib
melakukan perjalanan ibadah umrah, bukan untuk tinggal disana
(Arab Saudi). Ketika PPIU menerima pendaftaran jamaah umrah
sesuai dengan paket layanan, PPIU wajib melaporkan kepada Direktur
Jenderal. Pendaftaran dilakukan dengan ketentuan :
1) Jamaah mengisi blanko pendaftaran yang ditetapkan oleh PPIU
2) Jamaah membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah (BPIU)
sesuai paket yang dipilih, dan
3) Jamaah dan PPIU menandatangani perjanjian yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak
57
Edhy Sutanto, Sistem Informasi Manajemen,h. 4
73
Jika jemaah umrah yang telah terdaftar membatalkan umrahnya,
PPIU wajib mengembalikan BPIU setelah dikurangi biaya yang telah
dikeluarkan sesuai perjanjian yang telah disepakati.58
Pada saat jamaah umrah sudah mendaftarkan diri ke PPIU, dan
PPIU sudah siap memberangkatkan jamaah umrah tersebut, PPIU
harus mengisi Laporan Rencana Perjalanan Umrah (LRPU) pada
sistem yang terhubung dengan Kemenag. Pengawasan terhadap
administrasi dan dokumentasi dijalankan oleh Ditjen PHU melalui
LRPU tersebut.
Tidak sembarang orang yang dapat mengisi LRPU. Karena LRPU
tersebut berada dalam Aplikasi Umrah Online yang hanya bisa di
input data nya oleh petugas PPIU yang sudah memiliki username dan
password yang telah diberikan oleh Ditjen PHU. Cara mendapatakan
password dan username hanya bisa didapatkan apabila PPIU tersebut
sudah memiliki izin dari kemenag RI.
Untuk mengakses Aplikasi Umrah Online, PPIU dapat membuka
website www.haji.kemenag.go.id. Pada Aplikasi Umrah online
tersebut memiliki menu yang meliputi rencana perjalanan, data
jamaah, maskapai penerbangan yang dipakai, jumlah jamaah umrah
yang akan diberangkatkan, nama-nama petugas yang akan berangkat,
tanggal pemberangkatan dan pemulangan. Setelah PPIU menginput
secara online LRPU, kemudian tugas dari Subdit Pembinaan Umrah
58
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab III Pasal 9
74
adalah memverifikasi perjalanan tersebut di lapangan, terutama di
Bandara. Lalu PPIU melaporkan kepada Subdirektorat Pembinaan
Umrah sesuai yang mereka input secara online. Jika sesuai berarti
tidak ada masalah, akan tetapi jika tidak sesuai dengan apa yang ada
di lapangan itulah yang akan ditindaklanjuti oleh Subdit Pembinaan
Umrah.59
Selanjutnya, kewajiban pelayanan yang diberikan PPIU kepada
jamaahnya yakni pelayanan perlindungan jamaah umrah dan petugas
umrah. Pelayanan tersebut wajib dilakukan oleh PPIU, meliputi:
1) Asuransi jiwa, kesehatan dan kecelakaan.
2) Pengurusan dokumen jemaah yang hilang selama perjalanan
ibadah umrah dan
3) Pengurusan jamaah umrah yang meninggal sebelum tiba kembali
di tempat domisili.
Besaran pertanggungan asuransi atau nilai manfaat disesuaikan
dengan ketentuan dalam asuransi perjalanan yang telah disepakati oleh
PPIU dan jamaah.60
Pelayanan lain yang harus diberikan PPIU kepada jamaah umrah
sebelum pemberangkatan yakni masalah bimbingan umrah.
Pengawasan terhadap layanan bimbingan umrah ini tidak dilakukan
secara langsung. Melainkan dengan menggunakan data dari laporan
59
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30). 60
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab III Pasal 16
75
dari LRPU yang telah diinput secara online oleh petugas PPIU. Ditjen
PHU dalam PMA Nomor 18 Tahun 2015 tidak menyebutkan berapa
kali maksimal PPIU harus melakukan bimbingan manasik oleh
pembimbing ibadah kepada jamaahnya.
Akan tetapi dalam kewajiban pelayanan PPIU, PPIU wajib
memberikan bimbingan manasik umrah pada saat sebelum
keberangkatan, dalam perjalanan, dan selama di Arab Saudi. Hal ini
menunjukkan bahwa PPIU harus memberikan bimbingan manasik
umrah kepada para jamaahnya minimal 3 kali pertemuan.
Bimbingan manasik yang diberikan oleh PPIU kepada jamaah
umrah dilakukan melalui pembimbing ibadah. Pembimbing ibadah
umrah diangkat oleh pimpinan PPIU sendiri, dan wajib memiliki
standar kompetensi meliputi pengetahuan di bidang manasik haji atau
umrah dan telah melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Pelayanan bimbingan manasik PPIU kepada jamaah umrah
meliputi materi bimbingan manasik dan perjalanan umrah. Materi
bimbingan manasik dan perjalanan umrah berpedoman pada
bimbingan manasik dan perjalanan haji dan umrah yang diterbitkan
oleh Kementerian Agama.61
Kemudian kewajiban pelayanan yang harus diberikan kepada
jamaah umrah adalah pelayanan terhadap administrasi dan dokumen
umrah yang meliputi, pengurusan dokumen perjalanan umrah dan visa
61
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab III Pasal 11
76
bagi jamaah dan Pengurusan jamaah sakit meninggal, dan ghaib atau
hilang.
Pengurusan visa dilakukan oleh PPIU yang memiliki kontrak
kerjasama dengan perusahaan pelayanan umrah dan telah
mendapatkan pengesahan dari Kementrian terkait. PPIU yang
memiliki kontrak kerja sama dengan perusahaan pelayanan umrah di
Arab Saudi dapat menjadi provider visa. Dalam hal pengesahan untuk
menjadi provider visa yang dilakukan oleh Kementerian Agama, PPIU
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Memiliki izin operasional yang masih berlaku;
2) Memiliki kontrak kerja sama yang telah ditandatangani oleh
pimpinan perusahaan layanan umrah di Arab Saudi dan PPIU
yang telah disahkan oleh notaris;
3) Memiliki sertifikat International Air Transport Association
(IATA);
4) Memiliki rekomendasi dari Asosiasi Penyelenggara Umrah;
5) Memiliki kemampuan finansial yang dibuktikan dengan laporan
keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik; dan
6) Memiliki komitmen mentaati peraturan perundang-undangan
yang dibuktikan dengan surat pernyataan atau Pakta integritas
Provider visa juga memiliki kewajiban untuk:
1) Mentaati seluruh peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi;
77
2) Menjamin pelayanan administrasi, akomodasi, konsumsi dan
transportasi di Arab Saudi;
3) Menjamin pengurusan visa jamaah hanya kepada PPIU yang
memiliki izin operasional yang masih berlaku yang memiliki izin
operasional yang masih berlaku;
4) Menjamin pengurusan jamaah umrah yang mengalami sakit dan
dirawat di rumah sakit Arab Saudi sampai kembali ke tanah air;
dan
5) Menjamin tiket jemaah umrah ke dan dari Arab Saudi.62
b. Operasional
Yakni proses pengawasan ketika operasional penyelenggaraan
ibadah umrah, mulai dari pemberangkatan jamaah umrah dari Tanah
Air ke Arab Saudi hingga kembali ke Tanah Air. Pelayanan yang
diberikan di Arab Saudi meliputi transportasi, akomodasi, dan
konsumsi serta pelayanan kesehatan. Kegiatan pengawasannya juga
meliputi beberapa pelayanan tersebut.
Kewajiban Pelayanan yang diberikan oleh PPIU terhadap jamaah
umrah yakni akomodasi dan konsumsi. Pelayanan ini wajib dilakukan
oleh PPIU selama jamaah berada di Arab Saudi. Kewajiban pelayanan
tersebut dilakukan oleh PPIU dengan menempatkan jamaah pada hotel
minimal bintang 3. Kemudian pelayanan konsumsi diberikan oleh
PPIU sebelum berangkat, dalam perjalanan dan selama di Arab Saudi.
62
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab III Pasal 18
78
Pelayanan konsumsi tersebut harus memenuhi standar menu higienitas
dan kesehatan.
Selanjutnya pada kewajiban pelayanan transportasi jemaah umrah
yang diberikan oleh PPIU meliputi pelayanan pemberangkatan ke dan
dari Arab Saudi dan selama di Arab Saudi. Transportasi jemaah umrah
paling banyak satu kali transit dengan menggunakan maskapai
penerbangan yang sama dan memiliki izin mendarat di Indonesia dan
Arab Saudi. Transportasi darat selama di Arab Saudi wajib memiliki
tasreh atau izin untuk pelayanan umrah. Pelayanan transportasi ini
harus memperhatikan memperhatikan kenyamanan keselamatan dan
keamanan jamaah umrah.
Setelah kewajiban pelayanan tersebut, PPIU harus memperhatikan
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan meliputi penyediaan
petugas kesehatan, penyediaan obat-obatan dan pengurusan bagi
jemaah umrah yang sakit selama di perjalanan dan di Arab Saudi.
Setiap jamaah umrah juga diwajibkan untuk melakukan vaksinasi
meningitis. Vaksinasi meningitis menjadi tanggung jawab jamaah
secara individu. Jamaah umrah bisa melakukan vaksinasi meningitis
di Rumah sakit terdekat. Akan tetapi PPIU juga dapat memfasilitasi
vaksinasi meningitis jamaah umrah tersebut. Dalam hal memfasilitasi
pemberian vaksinasi meningitis pada para jamaah umrah tersebut,
PPIU wajib mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
79
Pengawasan dimulai dari pemberangkatan jamaah umrah dari
Bandara di Tanah Air. Petugas pengawas PPIU yang berada di
Bandara berjumlah 3 orang. Petugas pengawas yang berada di
Bandara tersebut dibagi menjadi 2 Shift, pagi dan malam.63
Kemudian petugas PPIU yang telah ditugaskan untuk melayani
jamaah umrah menginput LRPU. Sebelum menginput LRPU, petugas
PPIU terlebih dahulu memberikan surat keterangan kepada petugas
pengawas Ditjen PHU yang berada di Bandara. Surat keterangan
tersebut digunakan agar petugas PPIU dapat menginput LRPU secara
online di website Kemenag RI.
Ketika selesai dengan proses pengawasan saat pemberangkatan
dan kedatangan jamaah umrah di Arab Saudi, baru melakukan
pengawasan terkait pelaksanaan ibadah umrah. Baik itu peninjauan
langsung di Mekkah beserta pelayan PPIU lainnya, maupun
peninjauan langsung pada paket program dan kesesuaian di lapangan
terkait pelayanan akomodasi, transportasi, katering dan hotel.
Namun dalam kenyataanya, peninjauan pelayanan yang
dilaksanakan di Arab Saudi belum maksimal. Dengan sebab yang
telah di sebutkan sebelumnya yakni keterbatasan petugas dan
anggaran serta terlalu banyaknya PPIU.
Akan tetapi Ditjen PHU tetap mengawasi pelayanan PPIU ketika
di Arab Saudi yakni melalui Kantor Urusan Haji yang berada di KJRI
63
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
80
Jeddah. Hal ini tercantum dalam PMA Nomor 18 Tahun 2015, bahwa
Kantor urusan haji yang ada pada Konsulat Jenderal Republik
Indonesia (KJRI) Jeddah dapat memfasilitasi pelaksanaan pengawasan
terhadap pelayanan jamaah di Arab Saudi.64
Menurut Ahmad Kartono, pengawasan di Arab Saudi sebenarnya
di awasi oleh TUH atau (Tehnis Urusan Haji). TUH tersebut
merupakan tim dari KJRI Jeddah secara struktural, sedangkan secara
operasional di bawah Kemenag RI. TUH tersebut merupakan warga
negara Indonesia yang ikut ditugaskan untuk mengawasi
penyelenggaraan ibadah umrah di Arab Saudi.65
Hal ini juga disampaikan oleh Arfi Hatim yang menyampaikan
bahwa salah satu tugas dan fungsi Kantor Urusan haji Arab Saudi
yaitu untuk pengawasan terhadap penyelenggara umrah, akan tetapi
sampai sekarang belum berjalan secara maksimal. Sifatnya masih
kondisional atau kasus per kasus.66
Hal ini meyebabkan terjadinya
celah dalam penyimpangan terhadap pelayanan PPIU.
c. Pasca Operasional
Pengawasan setelah penyelenggaraan ibadah umrah selesai
tentunya hanya bisa dengan menggunakan pengawasan tidak
langsung. Sebab semua kegiatan telah berjalan. Pengawasan ini
64
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab V Pasal 20 Ayat 4 65
Ahmad Kartono, Mantan Direktur Pembinaan Haji & Umrah, Wawancara Pribadi, 21
September 2016 (14.00-14.30). 66
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
81
menggunakan data dari fakta yang terangkum dalam instrument
pengawasan yang telah diinput oleh petugas PPIU ketika di Bandara.
Dengan instrument pengawasan yang telah terisi tersebut, petugas
pengawasan Ditjen PHU dapat mengetahui apakah PPIU telah
melayani jamaahnya sesuai dengan standard an apakah sesuai juga
dengan pelayanan yang telah dijanjikan PPIU kepada jamaahnya.
PPIU wajib membuat LRPU. Laporan tersebut meliputi, rencana
perjalanan umrah, bimbingan ibadah umrah, data keberangkatan dan
kepulangan jamaah, penerimaan dan pengeluaran visa jamaah, dan
permasalahan serta solusi jamaah. Laporan penyelenggaraan
perjalanan umrah tersebut disampaikan kepada Direktur Jenderal
paling lambat 15 hari setelah jamaah kembali tiba di Tanah Air.
Selain laporan penyelenggaran perjalanan umrah di atas, PPIU
juga wajib menyampaikan laporan akhir tahun penyelenggaraan
perjalanan ibadah umrah kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah Kepala Kanwil
setempat paling lambat satu bulan sebelum musim umrah
berikutnya.67
Di luar menggunakan data instrument pengawasan, pengawasan
ini juga dilakukan dengan data dari pengaduan masyarakat atas
67
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan
Ibadah Umrah Bab IV Pasal 19
82
Penetapan Standar
• Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008
• Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2015
• Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
• Nota kesepahaman antara Kementerian Agama Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: D/152 Tahun 2013
Penilaian Kinerja
• Pra Operasional (Pelayanan di Tanah Air)
• Operasional (Pelayanan di Arab Saudi)
• Pasca Operasional (Penilaian Laporan)
• Pada Penilaian Kerja ini dilakukannya
Proses Pengawasan
Perbaikan terhadap Penyimpangan
• Tindakan Perbaikan (Peringatan, Pembekuan Izin, dan Pencabutan Izin)
• Revisi Standar
• Tidak Melakukan Sesuatu
ketidaksesuaian paket yang telah dijanjikan, atau pengaduan atas
pelayanan PPIU terkait yang tidak sesuai dengan standar.68
Demikian proses pengawasan terhadap pelayanan PPIU
dilakukan. Dan upaya terakhir setelah proses pengawasan selesai yaitu
tindakan kepada PPIU yang telah melakukan kesalahan. Mereka akan
diberi sanksi sesuai kadar kesalahannya.
Berikut ini skema mengenai pengawasan pelayanan PPIU pada
Ditjen PHU Kemenag RI tahun 2016.
Gambar 4.3.
Skema Mengenai Pengawasan Pelayanan PPIU Pada Ditjen PHU Kemenag RI Tahun 2016
68
Arfi Hatim, Kasubdit Pembinaan Umrah, Wawancara Pribadi, 19 September 2016 (10.30-
11.30).
83
B. Analisis Sistem Pengawasan
Pengawasan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan manajer untuk
mengontrol aktivitas perusahaan kemudian mengambil tindakan yang tepat
ketika terdapat penyimpangan yang terjadi. Menurut J. Mockler, yang
dikutip oleh Kadarman, pengawasan merupakan upaya untuk menetapkan
kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik
informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang
ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan
dan mengukur signifikasi penyimpangan tersebut.69
Inti dari pengawasan
tersebut adalah mengontrol kegiatana manajemen dari perencanaaan,
pengorganisasian, dan pengaktualisasian melalui beberapa tahapan
tertentu sehingga terciptanya manfaat dari semua stakeholder dan tidak
ada yang dirugikan satu sama lain
Tujuan pengawasan dalam manajerial perusahaan secara umum
adalah sama. Untuk kepentingan perusahaan agar tidak ada
penyelewengan dan terjadinya kerugian yang tidak diinginkan. Akan tetapi
pengawasan eksternal yang dilakukan Ditjen PHU terhadap PPIU bukan
untuk kepentingan perusahaan. Tetapi untuk kepentingan masyarakat
banyak dengan menjamin pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang
sebaik-baiknya kepada jamaah, sehingga jamaah dapat menunaikan ibadah
umrah dengan aman, nyaman dan sesuai kebutuhan syariat Islam.
69
A.M. Kadarman, Pengantar Ilmu Manajemen, h. 132.
84
Sesuai dengan teori pengawasan yang telah disebutkan pada Bab II,
penulis menganalisa bahwasannya pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen
PHU terhadap PPIU merupakan sistem kontrol dari sebuah instansi
kepemerintahan kepada pihak swasta. Dalam hal ini PPIU sebagai pihak
swasta dan sebagai badan penyelenggara ibadah umrah. Perbedaan dari
keduanya bahwa instansi pemerintahan berorientasi kepada pelayanan
public (public service), sedangkan pihak swasta berorientasi kepada
keuntungan (profit oriented). Jika pengawasan pada umumnya dilakukan
oleh sistem manajerial perusahaan itu sendiri yang biasa disebut dengan
pengawasan internal, akan tetapi pada pengawasan pelayanan PPIU pada
Ditjen PHU ini justru dilakukan oleh pihak luar penyelenggara.
Melihat peran dari Ditjen PHU yang berjalan di luar sistem dari
manajerial PPIU, bisa dikatakan bahwa bentuk pengawasan pada Ditjen
PHU tersebut adalah pengawasan eksternal. Pengawasan eksternal ini
sesuai dengan pendapat H. Hadari Nawawi yang menyatakan bahwa
pengawasan eksternal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pihak dari
luar organisasi kerja.70
Sesuai dengan ketentuan PMA No. 18 Tahun 2015 yang
menyebutkan bahwa PPIU adalah biro perjalanan wisata yang telah
mendapat izin dari Menteri Agama untuk menyelenggarakan perjalanan
ibadah umrah. Maka pemerintah mengawasi biro-biro yang hanya
mendapatkan izin dari Kemenag RI. Diluar itu, pemerintah menyerahkan
70
Hadari Nawawi, Manajemen Strategi, h. 120.
85
tanggung jawabnya kepada Polisi RI. Tujuan pengawasan pada Ditjen
PHU terhadap pelayanan PPIU tersebut agar tidak hanya mengambil
keuntungan semata melainkan mereka juga harus melayani jamaah dengan
pelayanan yang sesuai dengan ketentuan yang ada.
Sedangkan metode pengawasan yang digunakan, Ditjen PHU
menerapkan gabungan dari metode pengawasan langsung dan tidak
langsung. Pengawasan langsung dilakukan oleh petugas pengawasan PPIU
saat melakukan peninjauan langsung terkait pelayanan yang diberikan
PPIU kepada jamaah umrahnya, baik itu pada saat di Tanah Air maupun di
Arab Saudi. Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan petugas
pengawasan dengan menganalisa laporan-laporan yang masuk dari petugas
PPIU.
Metode pengawasan tersebut sesuai dengan teori Maringin Masry
Simbolon, yang menyatakan bahwa di anatara metode pengawasan adalah
pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung adalah
pengawasan yang dilakukan dengan mendatangi langsung tempat
pelaksanaan pekerjaaan, baik dengan sistem inspektif (pemeriksaan
dengan seksama secara langsung), verifikatif (pemeriksaan tentang
kebenaran laporan), maupun dengan sistem investigative (penyelidikan
dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan). Sedangkan
86
pengawasan tidak langsung yakni pengawasan yang dilakukan hanya
melalui laporan-laporan yang masuk, baik laporan tertulis maupun lisan.71
Pengawasan langsung digunakan untuk mengawasi kegiatan
pelayanan berupa data-data administratif seperti yang terjadi pada
pelayanan pendaftaran yang langsung dilakukan oleh PPIU, pelayanan
administrasi dan dokumen, serta pelayanan perlindungan jamaah. Berbeda
halnya dengan pelayanan yang berupa kegiatan lapangan seperti,
bimbingan ibadah, transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta kesehatan,
Ditjen PHU melakukan pengawasannya dengan menggunakan kedua
metode tersebut.
Tiga langkah yang ditempuh oleh Ditjen PHU dalam mengawasi
pelayanan PPIU yakni sesuai dengan teori George R. Terry yang dikutip
oleh Ibrahim Lubis dalam bukunya Pengendalian dan Pengawasan Proyek
dalam Manajemen yang menyatakan bahwa langkah-langkah pengawasan
meliputi tiga langkah yaitu penetapan ukuran standar, penilaian kinerja
dengan standar serta perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan
yang terjadi.72
Dalam perbaikan atas penyimpangan yang terjadi, Ditjen PHU
perlu melakukan tiga hal khusus, yaitu yang pertama adalah tindakan
kepada PPIU, bisa berupa peringatan, pembekuan izin dan pencabutan
izin. Kemudian tindakan yang kedua adalah merevisi standar yang apabila
standarlah yang tidak relevan terhadap perkembangan yang ada. Serta
71
Maringin Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 2004) , h. 65-68. 72
Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 160.
87
yang ketiga yakni tidak melakukan apa-apa jika penyimpanagan itu tidak
terlalu signifikan. Tindakan tersebut juga tidak lepas dari teori yang tertera
dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin, yang menyatakan
bahwa tindakan dalam manajerial perusahaan apabila terjadi
penyimpangan adalah tindakan perbaikan, revisi standar dan tidak
melakukan apa-apa.73
Pada proses pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen PHU terhadap
pelayanan PPIU dibagi menjadi 3 periode yakni, pra operasional,
operasional dan pasca operasional. Periode pra operasional dilakukan
ketika calon jamaah umrah mendaftar di PPIU dan menyepakati segala
program perjalanan yang di tawarkan oleh PPIU. Pada periode ini
dilakukan di Tanah Air dan ketika di Bandara sebelum calon jamaah
berangkat umrah. Kemudian periode operasional dilakukan ketika kegiatan
ibadah umrah sedang berjalan dari pemberangkatan hingga pemulangan
jamaah umrah. Sedangkan periode paska operasional dilakukan ketika
pemulangan jamaah umrah atau kembalinya jamaah umrah ke Tanah Air.
Teori ini seseuai dengan teori Ernie tisnawati Sule dan Kurniawan
Saefullah yang mengatakan bahwa periode pengawasan dapat dibagi
menjadi 3 periode, yakni pengawasan awal (Feedforward controlling),
pengawasan proses (Concurrent controlling) dan pengawasan akhir
(Feedback controlling).74
73
Ismail Solihin, Pengantar Manajemen, h. 327-328. 74
Erni Tisnawati dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2009).
Edisi Pertama, cet ke-4, h. 327-328.
88
Meskipun Ditjen PHU telah mengaplikasikan teori yang ada, guna
pengawasan terhadap pelayanan PPIU, namun masih ada yang harus
diperbaiki. Sebagaimana data yang penulis kaji, pengawasan yang berupa
kegiatan lapangan masih banyak yang harus ditinjau langsung, sebab tidak
mungkin semua PPIU yang ada di Arab Saudi mampu didatangi satu
persatu karena begitu banyaknya PPIU dan sedikitnya jumlah petugas
pengawasan. Meskipun Kasi pengawasan telah menggunakan metode
pengawasan tidak langsung terkait pelayanan ini, namun bisa saja program
perjalanan PPIU yang telah diverifikasi petugas pengawasan tidak sesuai
dengan apa yang terjadi di lapangan. Dari analisa tersebut dapat
disimpulkan bahwa Ditjen PHU telah menerapkan teori-teori pengawasan
meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
sistem pengawasan pelayanan PPIU pada Ditjen PHU Kemenag RI tahun
2016 yaitu:
1. Objek pengawasan Ditjen PHU adalah PPIU yang telah terdaftar izinnya
di Kemenag RI. Bentuk pengawasan nya adalah pengawasan eksternal.
2. Langkah-langkah pengawasan Ditjen PHU meliputi, penetapan standar
operasional, penilaian standar dengan operasional, dan tindakan atas
penyimpangan yang terjadi.
3. Proses pengawasan atas penilaian kerja dengan standar dibagi menjadi 3
periode, yaitu: pra operasional (di Tanah Air), operasional (di Arab
Saudi), dan pasca operasional (penilaian laporan).
4. Pengaruh pengawasan untuk pemerintah sendiri, agar tidak terjadinya
penyelewengan pelayanan yang dilakukan oleh PPIU untuk para jamaah
umrah.
5. Sedangkan untuk PPIU, agar dapat meningkatkan kepercayaan jamaah
umrah kepada PPIU tersebut sehingga bisa meningkatnya pula jamaah
umrah yang berumrah di PPIU tersebut. Serta jamaah umrah yang akan
beribadah akan menjadi aman, nyaman dan khusyuk dalam ibadahnya.
90
B. Saran
Untuk lebih memajukan Direktorat Jenderal Penyelenggaran Haji
dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, khususnya pada
Subdirektorat Pembinaan Umrah dengan studi dan penelaahan serta observasi
yang tertera dalam penelitian ini, penulis akan mengemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1. Ditjen PHU Kemenag RI hendaknya disegerakan untuk membuat
Standar Pelayanan Minimal (SPM) umrah.
2. Menambah Sumber Daya manusia sebagai penambahan personil
petugas pengawasan baik itu di Tanah Air maupun di Arab Saudi.
3. Mengadakan kerja sama dengan pihak KPHI atau Komisi
Pengawas Haji Indonesia.
4. Mengadakan studi penalaahan tentang sejarah PPIU.
91
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlawi,Ablah Muhammad. Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita.
Jakarta: Zaman, 2015.
Arifin,Gus. Ensiklopedia Fiqih Haji & Umrah. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014.
Anshar, Zakaria, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah,
Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2008.
Basyuni, Muhammad Maftuh, Reformasi Manajemen Haji, Jakarta: FDK Pres,
2008.
Brantas. Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta, 2009.
Brata, Atep Adya. Bisnis dan Hukum Perdata Dagas SMK. Bandung: Armico,
1999.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka, 2001.
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 5 Pasti Umrah. Jakarta:
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2013.
_______________. Haji dari Masa ke Masa. Jakarta: Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2012.
Handoko, T. Hani. Manajemen. Yogyakarta: BPFE, 2002.
Jary, David and Julia. Dictionary of Sociology.Glaslow: HarperCollins Publishers,
1991.
Kadarman, A. M. Pengantar Ilmu Manajemen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996.
Kasmir. Etika Customer Service. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Kottler, Philip. Marketing Manajemen: Analisis Planning, Implementation and
Control.Eight Edition, New Jersey, Prentice Hall, 1994.
92
Lubis,Ibrahim. Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Maksum, M. Syukron. Bimbingan Lengkap Haji dan Umrah. Yogyakarta: PT.
Agromedia Pustaka, 2013.
Marbun,BN. DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Jakarta:
Erlangga, 1993.
Mockler ,Robert J. The Management Control Process. Prentice-Hall Englewood
Clifffs, 1972.
Moenir, AS. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,
2000.
Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Nawawi, Hadari. Manajemen Strategi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011.
Nota Kesepahaman Kepolisian Negara RI dan Kemeterian Agama RI Nomor:
D/152 Tahun 2013.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama RI
_______________. No. 18 Tahun 2015 Tentang Perjalanan Ibadah Umrah
Siagian, P. Sondang. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Simbolon, Maringin Masry. Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004.
Singleton,Royce.dkk. Approaches to Social Research.New York: Oxford
University Press, 1988.
Sutanto,Edhy. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003.
Tisnawati, Erni dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, Jakarta:
Kencana, 2009.
93
Umar, Husein. Risset Pemasaran dan Perilaku Konsumen.Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Usman, Suparman.Manasik Haji dalam Pandangan Mazhab.Serang: MUI
Provinsi Banten, 2008.
Winarsih, Atik Septi dan Ratmiko. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka,
2007.
Majalah:
Umrah Murah Bermasalah. Majalah Haji & Umrah, Januari-Februari 2016.
Sumber Internet:
http://haji.kemenag.go.id/v2/content/standar-minimal-biaya-umrah-1700-
dolar.html. Diakses tanggal 10 September 2016
http://haji.kemenag.go.id/v2/content/spm-kewajiban-pemerintah-dan-hak-
masyarakat-menerima-layanan-dengan-jelas.html. Diakses tanggal 05
September 2016.
http://haji.kemenag.go.id/v2/content/tujuh-langkah-strategis-kemenag-dalam-
penyelenggaraan-umrah.html. Diakses tanggal 05 September 2016.
http://haji.kemenag.go.id/v2/basisdata/daftar-ppiu. Diakses tanggal 27 Agustus
2016.
95
96
Lampiran 3: Contoh Laporan Rencana Perjalan Umrah (LRPU)
97
Lampiran 4: PMA Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perjalanan Ibadah Umrah
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
Lampiran 5 : Nota Kesepahaman Kepolisian Negara RI dengan Kemenag RI
109
110
111
112
113
114