rekonstruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana
TRANSCRIPT
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK
PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN
NILAI-NILAI KEADILAN PANCASILA
DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
Oleh
CIPTONO,S.H.,M.H.
NIM : PDIH.03.10.17.0539
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
1
2
2
3
3
MOTTO
“Direndahkan tidak mungkin jadi sampah, disanjung tidak mungkin jadi
rembulan, maka jangan risaukan omongan orang, sebab setiap orang membacamu
dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda;
Teruslah melangkah selama engkau di jalan yang benar, meski terkadang
kebaikan tidak selalu dihargai;
Tidak usah repot- repot menjelaskan tentang dirimu, sebab yang menyukaimu
tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu;
Hidup bukan tentang siapa yang terbaik, tetapi siapa yang mau berbuat baik;
Jika didzalimi orang jangan berpikir untuk membalas dendam, tetapi berpikirlah
cara membalas dengan kebaikan;
Jangan mengeluh, teruslah berdoa dan berikhtiar, sibukan diri dalam kebaikan
hingga keburukan lelah mengikutimu”.
DESERTASI INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK : Institusiku, Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat aku mengabdi;
Bapak Alm. Soebiat dan Almh Isrokhayah yang telah memberikan contoh dan mengajariku untuk selalu tegar dan tabah dalam memaknai arti
kehidupan;
Guru- guruku, yang telah membukakan jendela pengetahuan untuk dapat melihat, menatap dan menyongsong masa depan;
Istriku yang tercinta Wuryanti MPd;
Anak- anakku Rina kurniawaty SH; Rian Sacipto,SH,MH,
Menantuku Dul Rohman,SH; Aprilia Herdhiyani, S.Stp., M.Si;
Cucu-cucuku Kanesha Najia Rahman, Keandra Satya Baiturahman, Hafidz Yulyan Baihaki, yang telah memberikan dorongan moril
dan semangat serta motivasi untuk berubah menjadi maju;
Teman- teman seprofesi, se- Angkatan Caba Wamil Polri Tahun
1981/1982, Secapa Reguler XIX Tahun 1991, Selapa Polri XXXIII Tahun
2005 dan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Angkatan X Tahun 2017
Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang.
6
6
RINGKASAN DESERTASI
REKONTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA
KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN NILAI- NILAI
KEADILAN PANCASILA
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-
2025, pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem
hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD
1945), bahwa pembangunan hukum nasional merupakan bagian dari
sistem pembangunan mencakup pembangunan materi hukum, struktur
hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum;
perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya
hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta
penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.
Pembangunan sistem hukum nasional perlu memperhatikan nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Perhatian tersebut merupakan
hal yang wajar, karena sistem hukum yang saat ini berlaku di
Indonesia diantaranya KUHP/WvS disusun berdasarkan nilai-nilai
kemasyarakatan yang liberal individual dan tentu berbeda dengan
nilai-nilai kemasyarakatan yang religius bersifat kekeluargaan,
monodualistik dan kolektif.
Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi di jalan raya merupakan
peristiwa pidana karena di dalam Kecelakaan Lalu Lintas tersebut
terdapat unsur tindak pidana sebagaimana terumuskan dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang UULAJR tanggal 22 Juni 2009
maka dalam Kecelakaan Lalu Lintas pelakunya dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 310 sampai dengan Pasal
312 UULAJR. Dengan melihat proses penanganan pemberian sanksi
pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang kurang memberikan rasa
keadilan dan cenderung aparat penegak hukum dapat melakukan
penyalahgunaan wewenang dalam rangka penanggulangan tindak
pidana Kecelakaan Lalu Lintas, maka diperlukan adanya upaya
pencegahan kejahatan yang harus dilakukan secara integral atau
sistematik.
Teori pemidanaan secara tradisional dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu (1) teori absolut atau teori pembalasan
(retributive/vergelding theorieen), menurut teori ini pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau
tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
7
7
melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada
adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, (2) teori relatif atau teori
tujuan (utilitarian/ doeltheorieen), menurut teori ini memidana
bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan.
Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering
juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Dalam
perkembangannya tujuan pidana meliputi teori gabungan dan teori
kontemporer sebagai berikut (3) teori gabungan, Vos secara tegas
menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat
kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu
kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat “..... de
derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een combinatie
van de gedachten der vergelding en der bescherming van de
maatschappelijke orde). Masih menurut Vos, selain titik berat pada
pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk
melindungi ketertiban hukum (..... men kan als uitgangspunt de
vergelding nemen en deze dan beperken in die zin, dat niet verder mag
worden gegaan dan voor de handhaving der rechtsorde nodig is).
Sebagai penganut teori gabungan, Vos menyatakan titik berat yang
sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan masyarakat
(….. dat de straf tegelijk voldoet en aan de eis van vergelding en aan
die der maatschappelijke bescherming). Dengan demikian, Vos
memberi bobot yang sama antara pembalasan dan perlindungan
masyarakat, (4) teori kontemporer, selain teori absolut, teori relatif
dan teori gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembangannya
terdapat teori-teori baru yang penulis sebut sebagai teori kontemporer.
Bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya teori-teori kontemporer ini
berasal dari ketiga teori tersebut di atas dengan beberapa modifikasi.
Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana adalah
sebagai deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak
lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga pidana bertujuan
sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang
baik dan mana perbuatan yang buruk. Tujuan pidana sebagai
deterrence effect pada hakikatnya sama dengan teori relatif terkait
prevensi khusus.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi
pembaharuan hukum pidana material ( hukum pidana substantif ),
hukum pidana formil ( hukum acara pidana ) dan hukum pelaksanaan
pidana ( strafvollstreckungesetz ). Ketiga bidang hukum itu harus
bersama-sama diperbaharui, kalau salah satu bidang saja yang
diperbaharui sedang yang lainnya tidak, maka akan timbul kesulitan
dalam pelaksanaannya dan tujuan dari pembaharuan tidak akan
8
8
tercapai seluruhnya. Keinginan dan usaha untuk melakukan kajian-
kajian/ penggalian hukum yang hidup (yang bersumber dari nilai-nilai
hukum agama dan hukum tradisional/ adat) telah sering dikemukakan
dalam berbagai forum ilmiah. Keinginan itu menunjukan kesadaran,
perlunya digali norma hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-
nilai budaya, moral dan agama.
Kajian atau diskusi mengenai pokok-pokok pemikiran atau ide
dasar ini menjadi sangat penting karena membangun atau melakukan
pembaharuan hukum (law reform) khususnya penal reform pada
hakikatnya adalah membangun atau memperbaharui pokok-pokok
pemikiran/ konsep/ ide dasarnya, bukan sekedar memperbaharui atau
mengganti perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul: “Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak
Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Nilai - Nilai
Keadilan Pancasila”.
2. Fokus Studi dan Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka
dalam penelitian diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Mengapa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu
lintas belum dapat terlaksana secara adil?.
b. Bagaimana kelemahan- kelemahan kebijakan saksi pidana tindak
pidana kecelakaan lalu lintas saat ini?.
c. Bagaimana rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana
kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai keadilan
Pancasila?.
3. Tujuan Penelitian Disertasi
a. Untuk mengungkap dan menganalisis kebijakan sanksi pidana
tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan hukum positif
saat ini.
b. Untuk mengungkap dan menganalisis kelemahan- kelemahan
kebijakan saksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas saat
ini.
c. Untuk menemukan rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak
pidana kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai
keadilan Pancasila.
4. Kegunaan Penelitian Disertasi
a. Teoritis, dengan adanya penelitian ini, maka:
9
9
1) Dapat membangun teori baru tentang kebijakan sanksi
pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan
nilai- nilai keadilan Pancasila.
2) Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi aparat penegak
hukum dalam menjalankan kebijakan sanksi pidana tindak
pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai
keadilan Pancasila.
b. Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
penelitian yang berkaitan dengan rekontruksi kebijakan sanksi
pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai-
nilai keadilan Pancasila.
5. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis
dengan metode kualitatif yang didukung oleh data primer dan
sekunder. Penggunaaan pendekatan yuridis sosiologis, dilakukan
karena kajian dalam penelitian ini untuk melihat secara langsung
fakta- fakta yang ada dilapangan dalam kaitannya dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat berperan menyelesaikan
tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Kalau mempelajari hukum
dalam kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari
batas- batas peraturan hukum dan mengamati praktik-praktik
dan/ atau hukum sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
di dalam masyarakat. Pendekatann ini sering disebut dengan
pendekatan yuridis empiris.
b. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif
analisis, yaitu menggambarkan peraturan- peraturan yang
berlaku (hukum positif) kemudian dihubungan dengan teori-
teori hukum. Bersifat deskriptif artinya penelitian ini diharapkan
dapat menjelaskan gambaran tentang rekonstruksi kebijakan
sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan
nilai- nilai keadilan Pancasila. Bersifat analitis artinya dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat menguraikan berbagai temuan
data baik primer maupun sekunder langsung diolah dan
dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara
kategori, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas
atau dikaji secara logis.
10
10
c. Metode Analisisa Data
Teknik analisis data terhadap data primer, peneliti
menggunakan teknis analisis data tipe Strauss dan J. Corbin,
yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti berada dilapangan
(field). Selanjutnya peneliti melakukan penyusunan,
pengkatagorian data dalam pola/thema. Setelah data divalidasi,
peneliti melakukan rekonstruksi dan analisis secara induktif
kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan. Data akan
dianalisis menggunakan model interaktif yang dikemukakan
oleh Mattew B. Miles and A. Michael Huberman yang meliputi
3 (tiga) kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan simpulan atau verifikasi.
d. Kerangka Teori :
Dalam menganalisis ke tiga permasalahnan digunakan
teori keadilan sebagai grand teori; teori Penegakan Hukum dan
Alternative Dispute Resolution sebagai middle teori serta teori
hukum progresif, perlindungan korban, ganti kerugian dan
harmonisasi hukum sebagai applied teori.
Hukum dan keadilan merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Ketika membicarakan masalah hukum maka
secara jelas maupun samar- samar, kita akan menukik sampai
kepada masalah keadilan. Itu berarti hukum tidak dalam
konteksnya sebagai suatu bangunan yang formal belaka,
melainkan sebagai bagian dari ekpresi cita- cita masyarakat.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan KUHP (WvS)
Masih adanya dualisme perundangan yang digunakan dalam
penegakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yaitu
KUHP dan UULAJR Pasal KUHP yang digunakan dalam kebijakan
sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lu lintas yaitu Pasal 338, 359,
360, 361.
Kejahatan dalam Pasal 338 KUHP dinamakan “makar mati”
atau “pembunuhan” (doodslag). Disini diperlukan perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu
disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam niatnya. Apabila
kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini,
mungkin masuk Pasal 359 KUHP ( karena kurang hati- hatinya,
menyebabkan matinya orang lain), atau Pasal 353 sub 3 KUHP
penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu, berakibat mati), atau
11
11
Pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat berakibat mati ), atau Pasal 355
sub 2 KUHP (penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu,
berakibat mati). Sebaliknya pembunuhan itu harus dilakukan segera
sesudah timbul maksud untuk membunuh itu, tidak dengan dipikir-
pikir panjang.
2. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan UULAJR
Dalam UULAJR digunakan Pasal 310, 311 dan 312 dengan
sanksi pidana dan denda, sedangkan dalam UULAJR ini ada
pemberian ganti kerugian pada korban kecelakaan lalu lintas jalan
raya baik tanpa pidana pokok atau pidana tambahan, yang diatur
dalam Pasal 236 UULAJR Ayat (1) :” Pihak yang menyebabkan
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarnya ditentukan
berdasarkan putusan pengadilan. “ Selanjutnya dalam Ayat (2) :
kewajiban mengganti kerugian sebagaimana pada Ayat (1) pada
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 Ayat
(2) dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai
diantara para pihak yang terlibat.
Hal ini dihubungkan dengan kebijakan operasional yang
dilaksanakan dalam proses penyidikan peristiwa kecelakaan lalu
lintas, penyidik kecelakaan lalu lintas pada Kesatuan Lalu Lintas yang
melakukan proses penyidik selalu mengedepankan pemberian ganti
kerugian dari tersangka kepada korban maupun ahli warisnya.
Meskipun dalam UULAJR yang berlaku sekarang ini tidak terdapat
rumusan tujuan pemidanaan tetapi dalam perkembangan sekarang ini
telah disadari bahwa tujuan pemidanaan itu sangat penting terkait
dengan kerelaan korban untuk menerima kesalahan yang telah
dilakukan oleh pelaku pidana dan memberikan maaf merupakan unsur
utama meniadakan konflik dengan memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP maupun
UULAJR yang sekarang berlaku belum bisa mendukung upaya
memberikan perhatian pada korban karena jenis sanksi yang ada
secara langsung dapat memberikan perlindungan pada korban.
Ketiadaan jenis pidana yang memberikan perlindungan kepada korban
khususnya yang menyangkut pemberian ganti kerugian pada korban,
mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam
rangka untuk memberikan perlindungan pada korban khususnya yang
menyangkut perintah pemberian ganti kerugian. Namun selama ini
hakim belum pernah menjatuhkan putusan pidana bersyarat
sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas, karena dalam UULAJR
12
12
sanksi pidana kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam Pasal 310
sampai 312 tidak ada sanksi pidana ganti kerugian.
3. Perbandingan Hukum Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas Negara Asing
Dalam disertasi ini promovendus membandingkan Undang-
undang Lalu Lintas diberbagai negara yang ada kaitannya dengan
pelaksanaan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, antara lain
Belanda, Inggris, Portugal dan Yugoslavia. Dan secara umum negara
asing tersebut menggunakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang memberikan perlindungan terhadap korban.
Tidak secara eksplisit negara- negara tersebut menerapkan
sanksi ganti kerugian, namun kewajiban membayar sejumlah uang
kepada negara untuk kepentingan korban, yang kemudian dikirimkan
kepada korban tanpa penundaan ( Pasal 36f KUHP Belanda)
.
4. Putusan Hakim Tentang Sanksi Pidana Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas
No. Perkara Psl Yang
Disangkakan
Putusan
1 Laka ka Lntas Metro Mini Tanjung Priok tgl. 6
Maret 1994,Tsk Marojahan Silitonga, korban 32
MD, 13 LB
338 KUHP PN Jakarta Utara, 15 TH PENJARA
2 Laka Lantas Tugu Tani, tgl. 22 Jan 2012, Tsk
Afriani Susanti, korban 9 MD
311 Ayat (5)
UULAJR
PN Jakarta Pusat, 29 Agt 2012, 15
TH PENJARA
3 Laka Lantas Tol Jagorawi, tgl 2 Jan 2013, Tsk
Rasyid Amrullah Rajasa, korban 2 MD, 3 LB
311 Ayat (4)
UULAJR
PN Jakarta Timur, 23 Maret 2013, 5
Bln Penjara dg masa perc 6 Bln dan
Denda 12 Jt
4 Laka Lantas Mikrolet Tamansari, tgl. 23 Feb
2017, Tsk Hery Tomy Chistian, korban 1 MD
310 Ayat (4)
UULAJR
PN Jakarta Barat, 14 Agt 2017, 2
TH PENJARA dan Denda Rp. 5jt
5
Laka Lantas di Karang Anyar, tgl. 21 Sept 2009,
Tsk Lanjar Sriyanto, korban 1 MD
(Saptaningsih)
359 dan 360 Ayat
(2) KUHP
1. PN Karang anyar 4 Maret2010
(bebas)
2. PT Jateng, kurungan penjara
1(satu) bln 7 hari
6 Laka Lantas di Tol Cipularang tgl. 3 Sept 2011,
Tsk Syaiful Jamil, korban 1 MD Virginia
Anggraeni
310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sept 2012,
Hukuman Penjara 5 Bln dg Masa
Percobaan
7 Laka Lantas di Kendal, tgl. 25 Maret 2015, Tsk
Purwanto, korban 1 MD dan 1 LR
310 Ayat ( 1) dan
Ayat (4)
PN Kendal , 15 Agt 2015,
Hukuman Penjara 25 hari dan
Denda 500 rb.
8 Laka lantas di Rembang, tgl. 20 Juni 2017, Tsk
Budi Santoso, Korban 1 MD dan 1 LB
310 Ayat (1), (3)
dan (4) UULAJR
PN Rembang, 24 Feb 2017,
Hukuman Penjara 1 Th 6 Bln
9 Laka Lantas di Surakarta, tgl. 22 Agt 2018, Tsk
Iwan Andranacus , Korban 1 MD
311 Ayat (5)
UULAJR
PN Surakarta, 29 Jan 2019,
Hukuman Penjara 1 Th.
Bahwa perkara kecelakaan lali lintas dikepolisian banyak yang diproses
dengan penyidikan (jalur penal) tetapi lebih banyak dengan non penal terutama
dalam menangani kecelakaan laum lintas korban luka ringan atau kerugian
materiil. Hasil penelitian promovendus terhadap kasus kecelakaan lalu lintas
dan wawancara dengan responden terhadap penelitian ini diperoleh keterangan
kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas Polri lebih banyak penyelesaian
13
13
kecelakaan lalu lintas khususnya untuk korban luka-luka ringan dan kerugian
materiil diselesaikan dengan restorative justice. Hal ini promovendus ketahui
dari data penyelesaian kecelakaan lalu lintas Polda Jawa Tengah dan Polres
tertentu dalam periode 5 (lima) tahun terakhir 2013 sampai dengan 2017.
Data Kejadian dan Penyelesaian Laka Lantas
di Wilayah Polda Jawa Tengah Tahun 2013 – 2017
No Kesatuan Jumlah
Kejadian
Penyelesaian Prosentase
Penyelesaian
RJ SPP RJ
1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49
2 POLRES KENDAL 1.988 404 1.584 79,67
3 POLRES BREBES 3.007 278 2.729 90,75
4 POLRES REMBANG 2.236 168 2.068 92,48
5 POLRES MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79
Sumber: Diolah dari berbagai data di Polda Jateng, Polres Kendal, Polres Bresbes, Polres
Rembang dan Polres Magelang Awal Tahun 2018.1
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian kasus
kecelakaan lalu lintas di Polres Brebes, Polres Kendal, Polres Rembang dan
Polres Magelang, sebagian besar lebih mengarah kepada bentuk penyelesaian
Restorative Justice yaitu penyelesaian berdasarkan atas dasar permintaan para
pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang sudah menyelesaikan
secara kekeluargaan (berdamai) karena masing-masing telah menemukan
keadilannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kejadian kecelakaan lantas yang
terjadi di Polres Brebes jumlah kejadian 3.007, Restorative Justice 2.729
(90,75 %); Polres Kendal jumlah kejadian 1.998, Restorative Justice 1.584
(79,67 %); Polres Rembang jumlah kejadian 2.236, Restorative Justice 2.068 (
1Data Kejadian Kecelakaan lulintas dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2013-2017)
dengan penjelasan 1. Jumlah Kejadian, adalah menerangkan jumlah kejadian kecelakaan lalulintas di masing-
masing wilayah hukum Polres;
2. Penyelesaian SPP, merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas berdasarkan ketentuan
hukum (Sistem Peradilan Pidana/KUHAP) dalam bentuk disidik dan Berkas Perkara
diserahkan ke Penuntut Umum (P-21) dan atau dihentikan proses penyidikannya/SP3 (tidak
cukup bukti/tidak memenuhi unsur/demi hukum) dan atau dilimpahkan ke Instansi samping;
3. Penyelesaian RJ (Restorative Justice), merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas
berdasarkan permohonan dari pihak yang telah melakukan perdamaian karena telah dicapai
keadilan dan kemanfaatan, bentuk penyelesaian berdasarkan Restorative Justice di tingkat
penyidikan tidak dikenal secara yuridis formal tetapi secara yuridis praktis telah dilakukan
karena permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan, sehingga untuk kepastian
hukum maka bentuk administrasi penyelesaiannya adalah penyelesaian terhadap pelanggaran
yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas berupa proses Tilang (tindak
pelanggaan), proses Berita Acara Cepat (BAC) atau Berita Acara Singkat (BAS) dan
diserahkan instansi lain. 4. Prosentase, merupakan jumlah prosentase penyelesaian kecelakaan lalu lintas secara
Restorative Justice.
14
14
92,48 %); Polres Magelang jumlah kejadian 3393, Restorative Justice 3.012 (
88,79 %), sedangkan untuk data penyelesaian kecelakaan lalu lintas di seluruh
jajaran Polda Jawa Tengah (35 Polres) jumlah kejadian 81.159, Restorative
Justice 72.673 (89,49 %).
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara Restorative Justice ini
disamping dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam dalam kecelakaan
lalu lintas sebagaimana hasil wawancara dengan warga masyarakat sebagai
pihak yang pernah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum
Polres Kendal atau keluarganya, dimana mereka lebih memilih perkaranya
diselesaikan melalui Restorative Justice daripada menjalani sidang di
pengadilan, alasannya bahwa perkara tersebut dirasa lebih efektif, cepat selesai
dan lebih dirasakan keadilannya.
Pendapat warga masyarakat tersebut adalah senada dan didukung oleh
ulama/tokoh agama an. KH. Ali Nurudin yang menyatakan bahwa kalau antara
pelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas sudah saling memaafkan maka
telah dicapai kebaikan antara kedua pihak, maka untuk perkaranya tidak perlu
lagi disidangkan di pengadilan dan selesai, demikian pula pendapat Anggota
DPRD Kabupaten Kendal Mastur Samlawi dari Fraksi P3 menyatakan bahwa
apabila kejadian kecelakaan lalu lintas telah diselesaikan berdasarkan
kesepakatan para pihak maka kesimbangan sosial di tengah masyarakat telah
pulih kembali, oleh karenanya tidak diperlukan lagi perkaranya diteruskan ke
pengadilan, demikian pula pernyataan Dr. Sudarmadji, SH,MH (Pemalang)
menyatakan bahwa perdamaian diantara para pihak yang terlibat dalam
kecelakaan lalu lintas mempunyai nilai filosofi keadilan yang sangat tinggi,
bahkan melebihi nilai keadilan yang dilahirkan oleh hakim dalam putusannya,
maka tidak perlu lagi perkara tersebut dibawa ke ranah sidang pengadilan
karena pemidanaan tidak menimbulkan efek jera, dan menurut Rian Sacipto,
S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Ngudi Waluyo ( UNG)
Ungaran menyatakan sependapat bahwa apabila dalam perkara kecelakaan lalu
lintas telah dicapai penyelesaian secara kekeluargaan (perdamaian) maka tidak
perlu lagi perkaranya diteruskan ke sidang pengadilan, hal tersebut didasarkan
atas pertimbangan proses pemidanaan itu adalah ultimum remedium yang
merupakan senjata pamungkas dalam penyelesaian perkara pidana, apabila
mekanisme lain masih dimungkinkan (misalnya musyawarah mufakat) maka
mekanisme dimaksud dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan terlebih dahulu
karena penyelesaian tersebut memberikan manfaat baik bagi kedua pihak,
mengacu pendapat Jeremy Bentham bahwa bagaimana menilai baik atau buruk
kebijaksanaan sosial, politik dan budaya penegakan hukum itu bertumpu pada
tiga pilar, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila aspek
kepastian hukum yang diutamakan maka akan mengorbankan aspek keadilan,
demikian pula sebaliknya, akan tetapi kalau dipilih aspek manfaat maka aspek
kepastian hukum dan aspek keadilan secara serta merta sudah tercakup di
dalamnya, hal tersebut sejalan dengan Teori Hukum Progresif Satjipto
Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu untuk manusia bukan untuk
dirinya sendiri, kalau terjadi permasalahan dengan hukum maka yang
dikalahkan adalah hukum, bukan manusianya, hal ini senafas dengan diskresi
15
15
kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 2
Tahun 2002.
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang seiring
dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan
tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi
seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat
di Indonesia mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat
penegak hukumnya antara lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana ditempuh
melalui sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama
dilakukan adalah membuat laporan polisi. Melalui laporan polisi ini korban
berharap ada keadilan dimana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari
sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam
masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa
belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam
masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana
kecelakaan lalu lintas belum sesuai dengan nilai- nilai keadilan Pancasila.
5. Kelemahan- Kelemahan Sanksi Pidana Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas
Kelemahan- kelemahan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu
lintas saat ini dalam bentuk perundang-undangan yaitu adanya tumpang tindih
peraturan perundang- undangan dalam penegakan sanksi pidana tindak pidana
kecelakaan lalu lintas yaitu KUHP dan UULAJR. Sejak berlaku UULAJR
tanggal 22 Juni 2009 yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya
termasuk kecelakaan lalu lintas semestinya dalam penerapan sanksi pidana
sudah tidak menggunakan KUHP karena berlaku asas lex spesialis derogat lex
generalis.
Akibat dari adanya tumpang tindih peraturan, yang keduanya tidak
mencantumkan sanksi pidana ganti kerugian, maka kelemahan sanksi pidana
kecelakaan lalu lintas pada UULAJR sebagai berikut :
a. Tidak ada pedoman pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar (baik
kesengajaan atau kelalaian).
b. Sulit untuk melacak pelakunya.
c. Belum ada kwalifikasi yuridis.
Disamping itu masalah penegakan hukum yaitu praktik penyelesaian
perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya dan
hanya berkembang dalam dimensi praktik maka lazim terjadi suatu kasus
secara informal telah dilakukan penyelesaian damai namun tetap diproses ke
pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku, sehingga sungguh sangat
menciderai rasa keadilan bagi para pihak.
Restorative Justice sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di
bidang hukum pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana
dan perdata tidak begitu besar. Dalam prakteknya Polri telah menerapkan
restorative justice terhadap Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban materiil
16
16
atau luka ringan yaitu mengacu pada UU Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang dijabarkan dalam :
a. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion
(ADR),
b. Program Polri tentang Pemolisian Masyarakat (Comunity Policing)
sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 3 Tahun 2015,
c. Program Prioritas Rencana Aksi 100 (seratus) hari Kapolri Jendral Drs.
Tito Karnavian, M.A.,Ph.D,
d. Perkap Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan
Lalu Lintas, yang dijabarkan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor :
ST/2981/XII/ 2017 tanggal 19 Desember 2017, hanya digunakan pada
Kecelakaan Lalu Lintas Sedang dan Ringan.
Namun dalam prakteknya Polri masih menyelesaian perkara kecelakaan
lalu lintas luka berat dan meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 229
Ayat (4) UULAJR diselesaikan dengan ADR, hal ini lebih mudah dalam
menyelesaikan perkara dibanding penyidikan (SPP) karena masih ada bolak
balik perkara.
6. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan
Lalu Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Pancasila
A. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam
Sistem Peradilan Pidana
Secara fungsional sistem peradilan pidana akan melibatkan
minimal 4 (empat) faktor saling terkait yaitu :
1) Rekonstruksi Kebijakan Perundang- undangan
Dalam merekonstruksi kebijakan peraturan perundang-
undangan perlu harmonisasi hukum. Harmonisasi hukum sebagai
suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mengatasi hal- hal yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma-
norma hukum didalam peraturan peraturan perundang-undangan,
sehingga terbentuk peraturan perundangan- undangan nasional yang
harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan
konsisten serta taat asas.
Kebijakan peraturan perundang- undangan terutama adanya
tumpang tindih perturan yaitu KUHP dan UULAJR. Langkah sistemik
harmonisasi hukum nasional adalah bertumpu pada paradigma
Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem ketata negaraan
dengan dua asas fundamental yaitu asas demokrasi dan asas negara
hukum yang diidealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan
tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum beserta
kelembagaannya dan budaya hukum.
17
17
2) Kebijakan Rekonstruksi Penegakan Hukum
Karena keterbatasan penal maka dalam penanggulangan
kejahatan ( politik kriminal ) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan
yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana ( termasuk
politik hukum pidana ) dan kebijakan non penal. Penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan penegakan hukum pidana masih
diperlukan melalui pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (
policy oriented approach ). Oleh karena itu penggunaaan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan merupakan
kebijakan juga yang sering disebut dengan kebijakan hukum pidana.
Kebijakan atau politik hukum berarti orang mengadakan
penilaian dan melakukan penilaian dari sekian banyak alternatif yang
dihadapi, sedangkan melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan
pidana yang paling baik dalm arti memenuhi syarat keadilan dan daya
guna. Mengacu pada teori Lawrence M Friedman dalam hal
penegakan hukum didasarkan pada legal structure, legal substance
dan legal cultural. Hal inilah dilakukan apabila kebijakan penal
dengan menggunakan sanksi pidana tidak ada penyelesaian. Di sisi
lain penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.
3) Rekontruksi Kebijakan Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak terlepas
akan suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal tersebut penting
karena dalam menegakkan hukum, seorang Polisi, Jaksa, Hakim dan
Advokad langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga dalam
menegakkan hukum kadang aparat penegak hukum mempunyai
masalah ataupun dampak positif serta negatif dalam menegakkan
suatu norma positif di masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.2
Faktor- faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif
atau negatifnya terletak pada isi faktor- faktor tersebut, antara lain :
a. Faktor hukumnya sendiri (misalnya Undang-Undang).
b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
c. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
d. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
2Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem Peradilan Terpadu
(Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 52
18
18
Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam
peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu dijalankan, dimana proses penegakan hukum itu akan
berpuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.
4) Rekontruksi Kebijakan Patisipasi Masyarakat
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam uraian diatas
bahwa selain aparat penegak hukum yang berperan penting dalam
penegakan hukum adalah peranan masyarakat dimana penegakan
hukum atau sebagai sosial kontrol. Masyarakat haruslah sadar bahwa
proses penegakan hukum bukanlah hanya tugas dari aparat penegak
hukum saja, melainkan juga tugas dari masyarakat juga dalam
menanggulangi, mengahadapi segala bentuk upaya merugikan
masyarakat.
Apabila hal ini terwujud yaitu antara masyarakat dan aparat
penegak hukum saling membantu dalam proses penegakan hukum,
maka kami yakin lambat laun tindakan- tindakan kriminal yang terjadi
khususnya peristiwa kecelakaan lalu lintas akan berkurang. Dalam hal
ini Polri menerapkan Perkap Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian
Masyarakat.
A. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Piadan Kecelakaan Lalu
Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Keadilan Pancasila
Pada bagian lain, dalam kaitannya dengan fungsi hukum dan
lembaga hukum dalam masyarakat, Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa: Pengkajian terhadap hukum dari sudut studi hukum dan
masyarakat, selalu ingin menegaskan fungsi apa yang sesungguhnya
dijalankan oleh hukum atau lembaga hukum itu di dalam masyarakat.
Penegasan mengenai fungsi ini tidak hanya dilihat dari sudut ketentuan
hukum yang mengaturnya, melainkan juga dari apa yang ditentukan oleh
masyarakat sendiri mengenainya.
Hukum merupakan mekanisme yang mengintegrasikan kekuatan-
kekuatan dan proses-proses dalam masyarakat, dengan demikian maka
pengadilan pastilah merupakan lembaga yang menjadi pendukung utama
dari mekanisme itu, karena dalam lembaga inilah nantinya sengketa-
sengketa yang terdapat dalam masyarakat tersebut akan diselesaikan,
agar tidak berkembang menjadi pertentangan yang membahayakan
keamanan dan ketertiban masyarakat.
Untuk mendapatklan kebijakan sanksi pidana tindak pidana
kecelakaan lalu lintas, yang berdasarkan rasa keadilan, kemanusiaan,
dampak yang lebih luas, kepentingan umum, edukasi pembelajaran dan
pencerminan etika moral maka perlu merekontruksi Pasal 310, 311 dan
19
19
312 UULAJR yang merupakan Sanksi Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
sistem perumusan sanksi pidana alternatif sebagai berikut :
Rekontruksi Peraturan Perundang- Undangan
No. Pasal Sebelum
Rekontruksi Kelemahan Sesudah Rekontruksi
1. 310
UULAJR
Setiap orang yang
mengemudikan ken-
daraan bermotor
yang karena kela-
laiannya mengaki-
batkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan:
(1)Kerusakan ken-
daraan dan/ atau
barang, dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 6 (enam)
bulan dan/ atau
denda paling
banyak Rp.1.000.
000,- (satu juta
rupiah).
(2)Korban luka ri-
ngan dan keru-
sakan kendaraan
dan/ atau barang,
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1
(satu) tahun dan/
atau denda pa-
ling banyak Rp.
2.000. 000, (dua
juta rupiah).
(3)Korban luka be-
rat, dipidana de-
ngan pidana pen-
jara paling lama
5 (lima) tahun
dan/ atau denda
paling banyak
Rp.10.000. 000,-
(sepuluh juta
1.Tidak ada
pedoman pe-
midanaan ji-
ka denda
tidak dibayar,
2.Tidak ada
kwalifikasi
yuridis.
Setiap orang yang
mengemudikan ken-
daraan bermotor yang
karena kelalaiannya
mengakibatkan
Kecela-kaan Lalu
Lintas dengan:
(1)Kerusakan kenda-
raan dan/ atau
barang, dipidana
dengan pidana
ganti kerugian
paling banyak
Rp.10.000. 000,-
(sepuluh juta rupi-
ah) dan /atau pen-
jara paling lama 6
(enam) bulan
(2) Korban luka ringan
dan kerusakan
kendaraan dan/
atau barang, dipi-
dana dengan pida-
na ganti kerugian
paling banyak
Rp.50. 000. 000,-
(lima puluh juta
rupiah) dan/ atau
penjara paling
lama 1 (satu) tahun
(3) Korban luka berat,
dipidana dengan
pidana ganti ke-
rugian paling
banyak Rp. 150.
000.000,- (seratus
lima puluh juta
rupiah),dan/ atau
penjara paling
20
20
rupiah), dalam
hal kecelakaan
tersebut menga-
kibatkan orang
lain meninggal
dunia dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 6 (enam)
tahun dan/atau
denda paling ba-
nyak Rp.12. 000.
000,- (dua belas
juta rupiah).
lama 5 (lima)
tahun, dalam hal
kecelakaan terse-
but mengakibatkan
orang lain mening-
gal dunia dipidana
dengan pidana
ganti kerugian
paling banyak Rp.
500.000.000,-
(lima ratus juta
rupiah) dan/ atau
penjara paling la-
ma 6 (enam)
tahun.
2 311
UULAJR
(1)Setiap orang yang
dengan sengaja
mengemudikan
Kendaraan Bermo-
tor dengan cara
atau keadaan yang
membahayakan
bagi nyawa atau
barang dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 1 (satu) tahun
atau denda paling
banyak Rp 3.000.
000,- (tiga juta
rupiah).
(2)Dalam hal per-
buatan sebagai-
mana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu
Lintas dengan
kerusakan Kenda-
raan dan/ atau
barang sebagai-
mana dimaksud
dalam Pasal 229
ayat (2), pelaku
dipidana dengan
pidana penjara
1.Tidak ada
pedoman pe-
midanaan
jika denda
tidak dibayar,
2. Tidak ada
kwalifikasi
yuridis.
(1)Setiap orang yang
dengan sengaja me-
ngemudikan Kenda-
raan Bermotor de-
ngan cara atau
keadaan yang mem-
bahayakan bagi nya-
wa atau barang di-
pidana dengan pida-
na ganti kerugian
paling banyak Rp
10.000. 000,- (sepu-
luh juta rupiah).
Atau penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
(2)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1)
mengakibatkan Ke-
celakaan Lalu Lintas
dengan kerusakan
Kendaraan dan/ atau
barang sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2),
pelaku dipidana de-
ngan pidana ganti
kerugian paling ba-
nyak Rp 50.000.
000,- (lima pulu juta
rupiah) atau penjara
21
21
paling lama 2
(dua) tahun atau
denda paling
banyak Rp 4.000.
000,- (empat juta
rupiah).
(3)Dalam hal per-
buatan sebagai-
mana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kor-
ban luka ringan
dan kerusakan
Kendaraan dan/
atau barang seba-
gaimana dimaksud
dalam Pasal 229
ayat (3), pelaku
dipidana dengan
pidana penjara pa-
ling lama 4 (em-
pat) tahun atau
denda paling ba-
nyak Rp 8. 000.
000,- (delapan juta
rupiah).
(4)Dalam hal per-
buatan sebagai-
mana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kor-
ban luka berat
sebagaimana di-
maksud dalam
Pasal 229 ayat (4),
pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling la-
ma 10 (sepuluh)
tahun atau denda
paling banyak Rp
20. 000.000,- (dua
paling lama 2 (dua)
tahun.
(3)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1)
mengakibatkan Ke-
celakaan Lalu Lintas
dengan korban luka
ringan dan kerusak-
an Kendaraan dan/
atau barang sebagai-
mana dimaksud da-
lam Pasal 229 ayat
(3), pelaku dipidana
dengan pidana ganti
kerugian paling
banyak Rp 150.000.
000,- (seratus lima
juta rupiah) atau
penjara paling lama
4 (empat) tahun.
(4)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1)
mengakibatkan Ke-
celakaan Lalu Lintas
dengan korban luka
berat sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (4),
pelaku dipidana de-
ngan pidana ganti
kerugian paling ba-
nyak Rp 500. 000.
000,- (lima ratus
juta rupiah) atau
penjara paling lama
10 tahun.
(5)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-
sud pada ayat (4)
mengakibatkan
orang lain mening-
gal dunia, pelaku
dipidana dengan pi-
dana ganti kerugian
22
22
puluh juta rupiah).
(5)Dalam hal per-
buatan sebagai-
mana dimaksud
pada ayat (4)
mengakibatkan
orang lain me-
ninggal dunia, pe-
laku dipidana de-
ngan pidana pen-
jara paling lama 12
(dua belas) tahun
atau denda paling
ba-nyak Rp 24.
000. 000,(dua pu-
luh empat juta
rupiah).
paling banyak Rp
2.000.000.000,-
(duamilyard rupiah)
atau penjara paling
lama 12 (dua belas)
tahun.
3. 312
UULAJR
Setiap orang yang
mengemudikan
Kendaraan bermotor
yang terlibat Kece-
lakaan Lalu Lintas
dan dengan sengaja
tidak menghentikan
kendaraannya, tidak
memberikan perto-
longan atau tidak
melaporkan Kecela-
kaan Lalu Lintas
kepada Kepolisian
Negara Republik
Indonesia terdekat
tanpa alasan yang
patut dipidana de-
ngan pidana penjara
paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda
paling banyak Rp.
75. 000.000,- (tujuh
puluh lima juta
rupiah)”.
1.Sulit untuk
melacak
pelaku,
2.Tidak ada
kwalifikasi
yuridis
(1) Setiap orang yang mengemudikan ken-
daraan bermotor
yang terlibat Kece-
lakaan Lalu Lintas
dan dengan sengaja
tidak menghentikan
kendaraannya, tidak
memberikan perto-
longan atau tidak
melaporkan Kece-
lakaan Lalu Lintas
kepada Kepolisian
Negara Republik
Indonesia terdekat
tanpa alasan yang
patut dipidana de-
ngan pidana ganti
kerugian paling ba-
nyak Rp. 500.000.
000,- (lima ratus
juta rupiah)” atau
penjara paling lama
3 (tiga) tahun ditam-
bah 2/3 penjara. 4. 312 A
UULAJR
============ =========
=
(1) Jika terpidana tidak
membayar ganti ke-
rugian sebagaima-
na dimaksud Pasal
23
23
310, 311 dan 312
paling lama dalam
waktu 1 (satu) bu-
lan sesudah putus-
an pengadilan yang
telah memperoleh
kekuatan hukum
tetap, maka harta
bendanya dapat
disita oleh jaksa
dan dilelang untuk
menutupi uang
ganti kerugian
tersebut.
(2) Dalam hal terpi-
dana tidak memiliki
harta yang mencu-
kupi untuk memba-
yar ganti kerugian
sebagaimana di-
maksud ayat (1)
maka dipidana de-
ngan pidana pen-
jara yang lamanya
tidak melebihi an-
caman maksimum
dari pidana pokok-
nya sesuai dengan
ketentuan undang-
undang ini.
5. 312 B
UULAJR
============ =========
=
Bahwa Pasal 310, 311
dan 312 adalah
kejahatan.
III. PENUTUP
Bertitik tolak dari uraian bab terdahulu, maka pada akhir penulisan
penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa simpulan dan saran- saran
sebagai berikut :
1. Simpulan
a. Kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas
diatur dalam Pasal 310, 311 dan 312 UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya jo Peraturan
Kapolri ( Perkap) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
24
24
b. Kelemahan - kelemahan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu
lintas saat ini yang mengacu UULAJR yaitu tidak ada pedoman
pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar baik kesengajaan
atau kelalaian, sulit untuk melacak pelaku dalam perkara tabrak
lari dan belum ada belum ada kwalifikasi yuridis; dalam
penegakan hukum banyak menggunakan Restorative Justice;
ada aparat penegak hukum dengan sumber daya manusia tidak
profesional, bermental buruk; serta partisipasi masyarakat yang
tidak tertib.
c. Rekontruksi kebijakan sanki pidana tindak pidana kecelakaan
lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila, meliputi :
1) kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas
dalam sistem peradilan pidana dengan merekontruksi Pasal
310, 311 dan 312 UULAJR dengan mengganti sanksi
pidana denda menjadi ganti kerugian.
2) adanya nilai- nilai Pancasila dengan ide keseimbangan
antara pelaku dan korban sebagai wujud kepastian hukum,
manfaat dan keadilan dengan memberikan perlindungan
kepada korban.
2. Implikasi Kajian
Berdasarkan penelitian tersebut diatas, maka dihasilkan
implikasi teoritis dan implikasi praktis :
a. Implikasi Teoritis
Terjadi pergeseran kebijakan sanksi pidana kecelakaan
lalu lintas yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban
secara berimbang dengan saksi pidana denda diganti ganti
kerugian.
b. Implikasi Praktis
1) Perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan
antara KUHP dan UULAJR yang menyangkut masalah
sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan
memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat dalam
menyelesaikan kebijakan sanksi pidana tindak pidana
kecelakaan lalu lintas.
2) Bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan
lalu lintas membutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari
semua pemangku kepentingan (stakeholders) dari tingkat
pusat sampai daerah, meliputi masyarakat dan penegak
hukum (Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas
Lembaga Pemasyarakatan) dalam upaya mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah UUD
25
25
1945 dan kerangka Negara kesatuan Pancasila yang
berfalsafah Pancasila.
3) Bahwa ganti kerugian tidak diberikan kepada negara namun
diberikan kepada korban dalam perlindungan.
3. Saran-Saran
a. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu
mengamandemen Pasal 310, 311 dan 312 UULAJR mengenai
sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
b. Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai kebijakan
sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, mengenai pidana pokok
(penjara, kurungan, denda dan tutupan) dengan pidana tambahan
( ganti kerugian).
26
26
SUMMARY OF DISSERTATION
RECONSTRUCTION OF CRIMINAL SANCTIONS FOR THE CRIMINAL
ACTIONS OF TRAFFIC ACCIDENTS BASED ON PANCASILA JUSTICE
VALUES
I. INTRODUCTION
1. Background
National Long-Term Development Plan 2005-2025, legal development is
directed at the realization of a solid national legal system based on the Pancasila
and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution), that
the development of national law is part of the development system including
development legal material, legal structure including legal apparatus, legal
facilities and infrastructure; the realization of a society that has a high awareness
and legal culture in the context of realizing a rule of law; and the creation of a just
and democratic society. The development of the national legal system needs to
pay attention to the legal values that live in society. Such attention is reasonable,
because the legal system currently in force in Indonesia, including the Criminal
Code / WvS, is based on social values that are liberal individual and certainly
differ from social values that are religious, monodualistic and collective.
Traffic Accidents that occur on the highway are criminal events because
in the Traffic Accident there is an element of crime as formulated in Law Number
22 Year 2009 concerning UULAJR dated June 22, 2009, then in the Traffic
Accident the perpetrators can be accounted for under Articles 310 to with Article
312 UULAJR. By looking at the process of handling traffic accidents that do not
provide a sense of justice and tend to law enforcement officials can abuse
authority in the context of handling traffic accidents, it is necessary to prevent
crime that must be carried out integrally or systematically.
Penalty theory traditionally can be divided into two groups, namely (1)
absolute theory or retributive / vergeldingtheorieen theory, according to this
theory criminal imposed solely because people have committed a crime or a crime
(quiapeccatumest). Criminal is an absolute consequence that must exist as a
retaliation to someone whocommit crime. So the basis of justification of the
27
27
criminal lies in the existence or occurrence of the crime itself, (2) the theory of
relative or theory of purpose (utilitarian / doeltheorieen), according to this theory
the conviction is not to satisfy the absolute demands of justice. Vengeance itself
has no value, but only as a means to protect the interests of society. Criminal is
not just to retaliate or reward people who have committed a crime, but has certain
useful purposes. Therefore, even this theory is often called the goal theory
(Utilitarian theory). In its development the criminal objectives include joint theory
and contemporary theory as follows (3) joint theory, Vos explicitly states that in
addition to absolute theory and relative theory there is also a third group called
joint theory. Here there is a combination of retaliation and public order ".....
dederdegroep, de verenigingstheorieen. Hiervindt men eencombinatie van de
gedachten der vergelding en der bescherming van de maatschappelijkeorde). Still
according to Vos, in addition to the emphasis on retaliation, the purpose of the
nature of the retaliation is needed to protect legal order (..... men alsuitgangspunt
de vergeldingnemen en deze and beperken in die zin, datnietverder mag
wordengegaan and voor de handhaving der rechtsordenodig is). As an adherent of
the combined theory, Vos stated that the same emphasis on crime is retaliation
and community protection (... .. men kanalsuitgangspunt de vergeldingnemen en
dezedanbeperken in die zin, datnietverder mag wordengegaandanvoor de
handhaving der rechtsordenodig is). Thus, Vos gives the same weight between
vengeance and protection of society, (4) contemporary theory, in addition to
absolute theory, relative theory and combined theory as criminal objectives, in its
development there are new theories which the authors call contemporary theories.
When examined more deeply, in fact these contemporary theories are derived
from the three theories mentioned above with some modifications. Wayne R.
Lafave said that one of the criminal objectives is as a deterrence effect, so that the
perpetrators of crimes no longer repeat their actions. Likewise, criminal aims to
educate the public about which actions are good and which actions are bad. The
criminal purpose as a deterrence effect is essentially the same as the relative
theory related to special prevention.
28
28
Renewal of criminal law as a whole must include renewal of material criminal law
(substantive criminal law), formal criminal law (criminal procedural law) and
criminal implementation law (strafvollstreckungesetz). The three areas of law
must be jointly renewed, if one of the fields is renewed while the other is not, then
there will be difficulties in its implementation and the purpose of the reform will
not be achieved entirely. The desire and effort to conduct studies / excavation of
living law (sourced from the values of religious law and traditional / customary
law) has often been expressed in various scientific forums. That desire shows
awareness, the need to explore legal norms that are rooted and rooted in cultural,
moral and religious values. The study or discussion of basic ideas or basic ideas is
very important because it builds or reforms the law (law reform) in particular the
penal reform is essentially building or renewing the basic ideas / concepts / ideas,
not just renewing or replacing the formulation article (law) textually. Based on
this, the authors are interested in conducting research with the title:
"Reconstruction Of Criminal Sanctions For The Criminal Actions Of Traffic
Accidents Based On Pancasila Justice Values".
2. Study Focus and Problems
Based on the description on the background of the problem above, the
problem formulation of the research is proposed as follows:
a. Why hasn't the criminal sanction policy for traffic accidents been
implemented fairly?
b. What are the current weaknesses in the witness policy of the crime of
traffic accidents?
c. How do you reconstruct the policy of criminal sanctions for traffic
accidents based on the values of Pancasilajustice ?.
3. Objectives
a. To uncover and analyze the criminal sanctions policy on traffic
accidents based on current positive law.
29
29
b. To uncover and analyze the weaknesses of the current witness policy of
traffic accidents.
c. To find a policy of reconstructing criminal sanctions for traffic accidents
based on the values of Pancasila justice.
4. The Purpose of the Research
a. Theoretical, with this research, then:
1) Can build new theories about the policy of criminal sanctions for traffic
accidents based on the values of Pancasila justice.
2) It is expected to be a material for thought for law enforcement officials
in carrying out the policy of criminal sanctions for traffic accidents based
on the values of Pancasila justice.
b. Practically, this research is expected to be able to increase research
knowledge relating to the reconstruction of policies on criminal sanctions
for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.
5. Research Methods
a. Research Approach
This study uses sociological juridical methods with qualitative methods supported
by primary and secondary data. The use of a sociological juridical approach is
carried out because the study in this study is to look directly at the facts in the
field in relation to the law that lives in the community's role in resolving traffic
accidents. If you study the law in such reality, it must go beyond the limits of the
rule of law and observe practices and / or laws as practiced by people in society.
This approach is often called the empirical juridical approach.
b. Research Specifications
The research specification used is descriptive analysis, which is describing
applicable regulations (positive law) and then related to legal theories. Descriptive
means that this research is expected to be able to explain the picture of the
reconstruction of the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the
30
30
values of Pancasila justice. Analytical means that the results of this study are
expected to be able to decipher the various data findings, both primary and
secondary, which are directly processed and analyzed with the aim of clarifying
the data in categories, compiling systematically and subsequently discussed or
logically examined.
c. Data Analysis Method
Techniques of data analysis of primary data, researchers used technical data
analysis types Strauss and J. Corbin, namely by analyzing data since researchers
were in the field (field). Furthermore, researchers conducted the preparation,
categorization of data in a pattern / theme. After the data has been validated,
researchers conduct qualitative inductive reconstruction and analysis to be able to
answer the problem. Data will be analyzed using an interactive model proposed by
Mattew B. Miles and A. Michael Huberman which includes 3 (three) activities,
namely data reduction, data presentation and drawing conclusions or verification.
d. Theoretical framework
In analyzing the three problems justice theory is used as the grand theory; Law
Enforcement and Alternative Dispute Resolution theories as middle theories and
progressive legal theories, victim protection, compensation and legal
harmonization as applied theories.
Law and justice are two things that cannot be separated. When talking about legal
issues, then clearly and vaguely, we will dive right up to the issue of justice. That
means the law is not in its context as a mere formal building, but rather as part of
the expression of the ideals of society.
II. RESEARCH RESULTS AND DISCUSSION
1. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on the Criminal Code
(WvS)
31
31
There is still a dualism of legislation used in the enforcement of criminal
sanctions for traffic accidents namely the Criminal Code and UULAJR Article of
the Criminal Code used in the policy of criminal sanctions for traffic accident
accidents namely Article 338, 359, 360, 361.
Crimes in Article 338 of the Criminal Code are called "treason" or
"murder" (doodslag). Here an action is needed which results in the death of
another person, whereas the death was intentional, that is to say, included in his
intention. If his death is not intended, not included in this article, it may be
included in Article 359 of the Criminal Code (due to lack of caution, causing the
death of others), or Article 353 sub 3 of the Criminal Code of persecution planned
premeditated, resulting in death), or Article 354 sub 2 (severe persecution results
in death), or Article 355 sub 2 of the Criminal Code (severe persecution planned
in advance, results in death). Instead the murder must be carried out as soon as the
intention to kill it arises, not with much thought.
2. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on UULAJR
In UULAJR Article 310, 311 and 312 are used with criminal sanctions and
fines, whereas in this UULAJR there are compensation payments for road traffic
accident victims without any main or additional crimes, which are regulated in
Article 236 UULAJR Paragraph (1): " The party who caused the Traffic Accident
as referred to in Article 229 is obliged to compensate the loss in the amount
determined based on a court decision. "Furthermore, in Paragraph (2): the
obligation to compensate as referred to in Paragraph (1) on a Traffic Accident as
referred to in article 229 Paragraph (2) may be carried out outside the court if
there is a peace agreement between the parties involved.
In the existing provisions in the Criminal Code and UULAJR that are
currently in effect cannot support efforts to give attention to victims because the
types of sanctions that exist can directly provide protection to victims. The
absence of a criminal type that provides protection to the victim, especially in
relation to providing compensation to the victim, influences the judge in passing a
criminal decision in order to provide protection to the victim, especially in relation
32
32
to the order to provide compensation. But so far the judge has never handed down
a conditional criminal verdict in connection with a traffic accident, because in
UULAJR the criminal sanctions for traffic accidents provided for in Articles 310
to 312 there are no criminal penalties for compensation.
3. Legal Comparison of Criminal Sanctions for Foreign Countries
In this dissertation, the researcher compares the Traffic Laws in various
countries that are related to the implementation of traffic accident sanction
policies, including the Netherlands, England, Portugal and Yugoslavia. And in
general these foreign countries use the Criminal Code (KUHP) which provides
protection for victims.
This is related to the operational policies carried out in the process of investigating
traffic accidents, the traffic accident investigators at the Traffic Units who conduct
the investigation process always prioritize the provision of compensation from
suspects to victims and their heirs. Although in the current UULAJR there is no
formulation of the objective of punishment, in the current development it has been
realized that the purpose of punishment is very important in relation to the
willingness of the victim to accept the wrongs committed by criminal offenders
and forgiveness is the main element of eliminating conflict by restoring balance
and bring a sense of peace in society.
These countries do not explicitly apply compensation sanctions, but the
obligation to pay a sum of money to the state for the benefit of victims,
which is then sent to victims without delay (Article 36f of the Dutch Penal
Code).
4. Judge's Decision Regarding Criminal Sanctions for Traffic Accidents
No. Case Chapter Putusan
1 AccidentkaLntas Metro Mini
TanjungPriok date. March 6, 1994, Tsk
MarojahanSilitonga, victim 32 MD, 13
338 KUHP PN North Jakarta, 15 TH
PRISONS
33
33
LB
2 AccidentLantasTuguTani, date. 22 Jan
2012, Tsk AfrianiSusanti, victim 9 MD
311 Paragraph
(5) UULAJR
PN Jakarta Pusat, 29 Aug
2012, 15 TH PRISONS
3 AccidentJagorawi, on 2nd Jan 2013
Tsk Rashid AmrullahRajasa, victim 2
MD, 3 LB
311 Ayat (4)
UULAJR
East Jakarta District Court,
March 23, 2013, 5 months in
prison with a 6 month
government term and a 12
million fine
4 Accident Then MikroletTamansari,
date. Feb 23 2017, Tsk
HeryTomyChistian, victim 1 MD
310 Ayat (4)
UULAJR
PN West Jakarta, 14 Aug
2017, 2 TH PRISONS and
Fines Rp. 5M
5
AccidentLantas in KarangAnyar, date.
September 21, 2009, Tsk
LanjarSriyanto, victim 1 MD
(Saptaningsih)
359 and 360
Paragraph (2)
of the
Criminal Code
1. PN Karanganyar March 4,
2010 (free)
2. PT Jateng, imprisonment
for 1 (one) month for 7
days
6 AccidentLantas on the Cipularang Toll
on. 3 Sept 2011, Tsk SyaifulJamil, 1
MD Virginia Anggraeni victim
310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sep
2012, 5-Month Prison Term
with a Trial Period
7 Accident So in Kendal, date. March 25,
2015, Tsk Purwanto, 1 MD and 1 LR
victims
310 Paragraph
(1) and
Paragraph (4)
Kendal District Court, 15
Aug 2015, 25-day Prison
Term and 500 Rb Fine.
8 Then in Rembang, dated. June 20,
2017, Tsk Budi Santoso, Victim of 1
MD and 1 LB
310
Paragraphs
(1), (3) and (4)
UULAJR
PN Rembang, 24 Feb 2017,
Prison Sentence 1 Th 6th
Month
9 AccidentLantas in Surakarta, date. 22
Aug 2018, Tsk IwanAndranacus,
Victim 1 MD
311 Paragraph
(5) UULAJR
Surakarta State Court, 29
Jan 2019, Prison sentence 1
year.
Many cases of traffic accidents in the police are processed by investigation
(by the penalties) but more by non-penalties, especially in dealing with accidents
involving minor injuries or material losses. The researcher research results on
cases of traffic accidents and interviews with respondents to this study obtained
information on police traffic accident sanctions policies more settlement of traffic
34
34
accidents, especially for victims of minor injuries and material losses completed
with restorative justice. This the researcher is aware of data from the settlement of
traffic accidents in the Central Java Regional Police and certain Police district in
the period of 5 (five) years 2013 to 2017.
Data of Accidents and Settlement of Traffic Lights
in the Regional Police of Central Java in 2013 - 2017
No Unity Number of
events
completion RJ Completion
Percentage SPP RJ
1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49
2 POLICE DISTRICT
KENDAL 1.988 404 1.584 79,67
3 POLICE DISTRICT
BREBES 3.007 278 2.729 90,75
4 POLICE DISTRICT
REMBANG 2.236 168 2.068 92,48
5 POLICE DISTRICT
MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79
Source: Processed from various data in Central Java Regional Police, Kendal
Regional Police, Bresbes Regional Police, Rembang Regional Police and
Magelang Regional Police Early in 2018.3
Based on the above table, it can be seen that the settlement of traffic
accident cases at Brebes, Kendal, Rembang and Magelang Regional Police
Offices, mostly leads to the restorative justice settlement, which is settlement
Traffic Accident Data in the past 5 years (2013-2017) with explanation
1. Number of Events, is explaining the number of traffic accident incidents in each of the police jurisdictions;
2. SPP Settlement, is the settlement of traffic accidents based on legal provisions (Criminal Justice System / KUHAP) in the form of investigation and
Case Files submitted to the Public Prosecutor (P-21) and or the investigation process / SP3 is terminated (insufficient evidence / does not meet
the elements / by law) and / or delegated to the side agency;
3. Settlement of RJ (Restorative Justice), is the settlement of traffic accidents based on requests from parties who have made peace because justice and
benefits have been achieved, the form of settlement based on Restorative Justice at the investigation level is not known as a formal juridical but
practically juridical has been carried out because of the requests of the the parties involved in the accident, so for legal certainty, the
administrative form of the settlement is the settlement of the violations that cause traffic accidents in the form of a traffic ticket (act of
subscribing), the process of a Fast Minutes (BAC) or a Short Minutes (BAS) and submitted by an agency other.
4. Percentage, is the number of percentages of traffic accident settlement through Restorative Justice.
35
35
based on the request of the parties involved in traffic accidents that have settle in
harmony (peace) because each has found his justice. This can be seen from the
accident incidents which then occurred at Brebes Regional Police, the number of
events was 3,007, Restorative Justice 2,729 (90.75%); Kendal Regional Police
Precinct, 1,998, Restorative Justice 1,584 (79.67%); Rembang Police Precinct
2,236, Restorative Justice 2,068 (
Traffic Accident Data in the past 5 years (2013-2017) with explanation
1. Number of Events, is explaining the number of traffic accident incidents in
each of the police jurisdictions;
2. SPP Settlement, is the settlement of traffic accidents based on legal
provisions (Criminal Justice System / KUHAP) in the form of investigation
and Case Files submitted to the Public Prosecutor (P-21) and or the
investigation process / SP3 is terminated (insufficient evidence / does not
meet the elements / by law) and / or delegated to the side agency;
3. Settlement of RJ (Restorative Justice), is the settlement of traffic accidents
based on requests from parties who have made peace because justice and
benefits have been achieved, the form of settlement based on Restorative
Justice at the investigation level is not known as a formal juridical but
practically juridical has been carried out because of the requests of the parties
involved in the accident, so for legal certainty, the administrative form of the
settlement is the settlement of the violations that cause traffic accidents in the
form of a traffic ticket (act of subscribing), the process of a Fast Minutes
(BAC) or a Short Minutes (BAS) and submitted by an agency other.
4. Percentage is the number of percentages of traffic accident settlement
through Restorative Justice.
92.48%); Magelang Regional Police Precincts with 3393 incidents, Restorative
Justice 3,012 (88.79%), whereas for traffic accident settlement data in all Central
Java Regional Police (35 Police district) the number of incidents was 81,159,
Restorative Justice 72,673 (89.49%).
The settlement of the traffic accident case by Restorative Justice is not
only desired by the parties involved in the traffic accident as the result of
36
36
interviews with community members as those who have been involved in traffic
accidents in the Kendal Police Precinct area or their families, where they prefer to
have their cases resolved. through Restorative Justice rather than undergoing a
trial in court, the reason is that the case is felt to be more effective, quick to finish
and more justice-felt
The opinions of these community members are similar and supported by
religious scholars / leaders. KH. Ali Nurudin who stated that if the perpetrators
and victims in a traffic accident had forgiven each other, then goodness had been
achieved between the two parties, then for the case there was no need to be tried
in court and finished, so too was the opinion of Kendal MasturSamlawi District
Parliament member from the P3 Faction stating that if the traffic accident has been
resolved based on the agreement of the parties, the social balance in the
community has been restored, therefore the case is no longer needed to go to
court, so Dr. Sudarmadji, SH, MH (Pemalang) states that peace between the
parties involved in traffic accidents has a very high philosophical value of justice,
even exceeds the value of justice born by the judge in its decision, so the case no
longer needs to be brought into the realm of a court hearing because
criminalization does not cause a deterrent effect, and according to RianSacipto,
SH, MH, a Lecturer at the Faculty of Law of the University of NgudiWaluyo
(UNG) Ungaran, if in the case of a traffic accident a settlement has been reached
by family (peace) then there is no need to proceed to the case court hearing, it is
based on the consideration of the criminal process that is the ultimumremedium
which is the ultimate weapon in the settlement of criminal cases, if other
mechanisms are still possible (for example consensus agreement) then the
intended mechanism can be implemented to resolve first because the settlement is
ebut provides good benefits for both parties, referring to Jeremy Bentham's
opinion that how to assess the good or bad of social, political and cultural policies
of law enforcement rests on three pillars, namely legal certainty, justice and
expediency, if aspects of legal certainty take precedence it will sacrifice aspects
justice, and vice versa, but if the benefit aspect is selected, the legal certainty
aspect and the justice aspect are automatically included in it, this is in line with
37
37
SatjiptoRahardjo's Progressive Legal Theory which states that the law is for
humans not for themselves, if it happens the problem with the law then what is
defeated is the law, not its people, this is in the same breath as discretionthe police
force as referred to in Article 18 Paragraph (1) of Law Number 2 of 2002.
The problem of criminal law in Indonesia is growing along with the
rapid growth of society. These problems require the right solution to restore the
conditions as before the crime. However, people's understanding in Indonesia
identifies the resolution of legal problems with law enforcement officials, among
others, the police, prosecutors and judges. All three are part of the criminal justice
system. The settlement of criminal cases is pursued through the justice system
stipulated in the Criminal Procedure Code, which is the first thing to do is to make
a police report. Through this police report the victim hopes there is justice where
the perpetrators will be sentenced to criminal. However, the end of the justice
system is often not necessarily guarantee a sense of justice in society. The severity
of the verdict handed down by the judge against the defendant has not yet created
a balance and restored the social situation in the community. This means that the
policy of criminal sanctions for traffic accidents is not in accordance with the
values of Pancasila justice.
5. Weaknesses in Traffic Accident Crimes
Weaknesses of the current criminal sanctions in traffic accidents in the
form of legislation are overlapping laws and regulations in the enforcement of
criminal sanctions for traffic accidents namely the Criminal Code and the
UULAJR. Since UULAJR entered into force on June 22, 2009, which regulates
traffic and road transportation, including traffic accidents, criminal penalties
should not have used the Criminal Code because the Lex Specialist
derogatlexgeneralis principle applies.
As a result of overlapping regulations, both of which do not include
criminal sanctions for compensation, the weaknesses of the traffic accident
penalties at UULAJR are as follows:
38
38
a. There are no criminal guidelines for unpaid penalties (whether
intentional or negligent).
b. It's hard to track down the culprit.
c. There are no juridical qualifications yet.
Besides that, the law enforcement problem is the practice of resolving
cases outside the court as long as there is no formal legal basis and only develops
in the practical dimension, so it is common for a case to have been carried out
informally as a peaceful settlement but still processed in court according to
positive law in force, so it is really very injure the sense of justice for the parties.
Restorative Justice as an alternative settlement of cases in the field of
criminal law shows that the difference between criminal and civil law is not so
great. In practice the Indonesian National Police has implemented restorative
justice for Traffic Accidents with material victimsor minor injuries, referring to
Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute
Resolution (ADR), which are described in:
a. Police Chief Letter No. Pol: B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS, dated
December 14, 2009 concerning Handling Cases through Alternative
Dispute Resolution (ADR),
b. The National Police Program on Community Policing as regulated in
Perkap Number 3 of 2015,
c. Priority Program Action Plan for 100 (one hundred) day National Police
Chief Drs. Tito Karnavian, M.A., Ph.D,
d. Perkap Number 15 of 2013 concerning Procedures for the Management
of Traffic Accidents, which is elaborated in the Chief of Police Telegram
Letter Number: ST / 2981 / XII / 2017 dated December 19, 2017, is only
used on Medium and Minor Traffic Accidents.
However, in practice the National Police are still settling cases of serious
traffic injuries and death as regulated in Article 229 Paragraph (4) UULAJR is
settled by ADR, this is easier to settle cases than investigation (SPP) because there
are still alternating cases.
39
39
6. Reconstruction of the Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on
Pancasila Values
A. Criminal Sanction Policy for Traffic Accidents in the Criminal Justice System
Functionally the criminal justice system will involve at least 4 (four) interrelated
factors, namely:
1) Reconstruction of Legislation
In reconstructing legislation regulations, it is necessary to harmonize the
law. Harmonization of law as a process in the formation of laws and regulations
addressing conflicting and irregularities between the legal norms in the laws and
regulations, so that national harmonious regulations are formed in the sense of
harmony, harmony, balance, integration and integration consistent and obeying
principles.
The laws and regulations, especially the overlapping regulationsis the
Criminal Code and the UULAJR. The systemic step of harmonizing national law
is based on the paradigm of Pancasila and the 1945 Constitution which gave birth
to a state administrative system with two fundamental principles, namely the
principle of democracy and the principle of the rule of law, which is idealized to
create a national legal system with three components, namely legal substance,
legal structure and its institutional and legal culture.
2) Law Enforcement Reconstruction Policy Because of the limitations of
penalties, in combating crime (criminal politics) two policies should be utilized,
namely, a penal policy using criminal sanctions (including criminal law politics)
and a non-penal policy. Crime prevention by using criminal law enforcement is
still needed through a policy-oriented approach. Therefore the use of criminal law
as a means of overcoming crime is also a policy that is often referred to as
criminal law policy. Legal policy or politics means that people conduct judgments
and make judgments from the many alternatives encountered, while carrying out
criminal law politics means holding elections to achieve the best results of
criminal law in the sense of fulfilling the requirements of justice and
effectiveness. Referring to the theory of Lawrence M. Friedman in terms of law
40
40
enforcement based on legal structure, legal substance and legal culture. This is
done if the penal policy using criminal sanctions does not have a solution. On the
other hand, law enforcement is a process to make legal wishes come true.
3) Reconstruction of Law Enforcement Officers
Law enforcement officers in upholding the law are inseparable from the
factors that influence it, it is important because in upholding the law, a Police,
Prosecutor, Judge and Advocate directly confronts the community, so that in
enforcing the law sometimes law enforcement officials have problems or positive
impacts and negative in upholding a positive norm in society.
According to SoerjonoSoekanto, the main problem of law enforcement
actually lies in the factors that influence it.4 These factors have a neutral meaning
so that the positive or negative impact lies in the contents of these factors,
including:
a. The legal factor itself (for example the Act).
b. Factors of facilities or facilities that support law enforcement.
d. Community factors, namely the environment in which the law applies or is
applied.
e. Cultural factors, namely as a result of work, creativity and taste based on
human initiative in the association of life.
Moh.Hatta, Welcoming Responsive Law Enforcement; Integrated Judicial
System (In Conception and Implementation) Capita Selekta.Galang Press,
Yogyakarta, 2008, p. 52.
Legal desires are the thoughts of the legislature which are formulated in
legal regulations. The formulation of the mind of lawmakers as outlined in the
rule of law will also determine how law enforcement is carried out, where the law
enforcement process will culminate in its implementation by law enforcement
officials.
4Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem PeradilanTerpadu
(Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 52
41
41
4) Reconstruction of Community Participation Policy
As has been stated in the description above that besides law enforcement
officers who play an important role in law enforcement are the role of the
community where law enforcement or as social control. The community must be
aware that the process of law enforcement is not only the duty of law enforcement
officers, but also the duty of the community also in tackling, dealing with all
forms of efforts to harm the community.
If this is realized, namely between the community and law enforcement
officers helping each other in the process of law enforcement, then we believe that
in the long run criminal activities that occur, especially traffic accidents will be
reduced. In this case the National Police implemented Perkap Number 3 of 2015
concerning Community Policing.
A. Reconstruction of the Traffic Accident Sanctions Policy Based on the
Pancasila Justice Values
In another part, in relation to the function of law and legal institutions in
society, SatjiptoRahardjo stated that: Study of law from the perspective of legal
and community studies, always wants to emphasize what functions are actually
carried out by the law or legal institutions in society. The affirmation of this
function is not only seen in terms of the legal provisions that govern it, but also
from what is determined by the people themselves about it.
The law is a mechanism that integrates forces and processes in society,
thus the court must be the institution that becomes the main supporter of the
mechanism, because in this institution the disputes contained in the community
will be resolved, so as not to develop into contradictions which endanger the
security and public order.
To get a policy of criminal sanctions for traffic accidents, based on a sense of
justice, humanity, wider impact, public interest, education learning and reflection
of moral ethics, it is necessary to reconstruct Article 310, 311 and 312 UULAJR
42
42
which constitutes a Traffic Accident Criminal Sanction system for the formulation
of alternative criminal sanctions as follows:
Reconstruction of Laws and Regulations
No. Article Before reconstruction Weakness After Reconstruction
1. 310
UULAJR
Any person who drives a
motorized vehicle who,
due to his negligence,
caused a Traffic
Accident by:
(1) Damage to the
vehicle and / or goods,
shall be sentenced to a
maximum imprisonment
of 6 (six) months and /
or a maximum fine of
Rp. 1,000. 000, - (one
million rupiah).
(2) Casualties and
injuries to vehicles and /
or goods, shall be
sentenced to a maximum
imprisonment of 1 (one)
year and / or a maximum
fine of Rp. 2,000 000,
(two million rupiah).
(3) Victims of serious
injuries, shall be
convicted of
imprisonment for a
maximum of 5 (five)
years and / or a
1. There are no
guidelines for
funding if the
fine is not paid,
2. There is no
juridical
qualification.
Any person who drives a
motorized vehicle which
due to negligence results in
Traffic Accidents by:
(1) Damage to the vehicle
and / or goods, shall be
liable to a criminal
compensation of no more
than Rp.10,000. 000, - (ten
million rupees) and / or
imprisonment for a
maximum of 6 (six)
months
(2) Victims of minor
injuries and damage to
vehicles and / or goods,
shall be funded with
compensation at most
Rp.50. 000. 000, - (fifty
million rupiah) and / or
imprisonment for a
maximum of 1 (one) year
(3) Victims of serious
injuries, shall be
sentenced to a
maximum
compensation of Rp.
43
43
maximum fine of
Rp.10,000. 000, -
(ten million rupiah),
in the event that the
accident results in
another person being
sentenced to a
maximum
imprisonment of 6
(six) years and / or a
maximum fine of
Rp.12. 000. 000, -
(twelve million
rupiah).
150,000,000 (one
hundred fifty million
rupiah), and / or
imprisonment for a
maximum of 5 (five)
years, in the event that
the accident results in
another person being
killed in the world
with a maximum
compensation of Rp.
500,000,000 (five
hundred million
rupiah) and / or
imprisonment for a
maximum of 6 (six)
years.
2 311
UULAJR
1) Any person who
intentionally drives a
Motorized Vehicle in a
way or condition that
is dangerous to life or
goods is sentenced to a
maximum
imprisonment of 1
(one) year or a
maximum fine of Rp
3,000. 000, - (three
million rupiah).
(2) In the case of man-
made as referred to in
paragraph (1) resulting
in a Traffic Accident
with damage to the
Vehicle and / or goods
as referred to in
Article 229 paragraph
. There are no
funding
guidelines if
fines are not
paid,
2. There is no
juridical
qualification.
(1) Any person who
intentionally drives a
Motorized Vehicle in a
way or condition that is
dangerous to the person
or goods is criminalized
with compensation in
the maximum amount of
Rp 10,000. 000, - (ten
million rupiah). Or jail
for a maximum of 1
(one) year.
(2) In the case of acts
referred to in paragraph
(1) resulting in Traffic
Accidents with damage
to Vehicles and / or
goods as referred to in
Article 229 paragraph
(2), the perpetrators
44
44
(2), the offender is
sentenced to a
maximum
imprisonment of 2
(two) years or a
maximum fine of Rp
4,000. 000, - (four
million rupiah).
(3) In the case of man-
made as referred to in
paragraph (1) resulting
in a Traffic Accident
with minor injuries
and damage to
Vehicles and / or
goods as referred to in
Article 229 paragraph
(3), the offender shall
be liable to a criminal
long prison term of 4
(four years) or a
maximum fine of Rp.
8,000,000 (eight
million rupiah).
(4) In the case of man-
made as referred to in
paragraph (1) resulting
in a Traffic Accident
with severe injuries as
referred to in Article
229 paragraph (4), the
perpetrator shall be
liable to a maximum
prison sentence of 10 (
ten) years or a
maximum fine of Rp.
20,000,000 (twenty
shall be convicted with
the most maximum
criminal compensation
IDR 50,000 000, - (five
million rupiahs) or a
maximum of 2 (two)
years in prison.
(3) In the case of acts
referred to in paragraph
(1) resulting in Traffic
Accidents with minor
injuries and damage to
Vehicles and / or goods
as referred to in Article
229 paragraph (3), the
offender is sentenced
with a maximum
compensation of Rp
150,000. 000, - (one
hundred and five million
rupiah) or a maximum
of 4 (four) years in
prison.
(4) In the case of acts as
referred to in paragraph
(1) resulting in Traffic
Accidents with serious
injuries as referred to in
Article 229 paragraph
(4), the offender shall be
liable to a criminal
compensation of at most
Rp.500. 000. 000, - (five
hundred million rupiah)
or a maximum of 10
years imprisonment.
(5) In the case of an act as
45
45
million rupiah).
(5) In the case of
manpower as referred
to in paragraph (4)
results in another
person dying, the
offender shall be
sentenced to a
maximum of 12
(twelve) years
imprisonment or the
maximum fine Rp.
24,000. 000, (two
thousand and four
million rupiah).
meant in paragraph (4)
results in another person
leaving the world, the
perpetrator shall be
liable to a compensation
fund of no more than
Rp. 2,000,000,000
(duamilyard rupiah) or a
maximum of 12 (two)
years in prison. twelve)
years.
3. 312
UULAJR
Any person who drives a
motorized vehicle
involved in a Traffic
Accident and
intentionally does not
stop the vehicle, does not
provide assistance or
does not report Traffic
Accidents to the nearest
National Police of the
Republic of Indonesia
without proper grounds
convicted with the most
imprisonment in prison 3
(three) years or a
maximum fine of Rp.
75,000,000 (seventy-five
million rupiah) ".
1. It's hard to
track down the
perpetrator,
2. There is no
juridical
qualification
(2) (1) Any person who
drives a motorized
vehicle involved in a
Traffic Accident and
deliberately does not
stop his vehicle, does
not provide assistance
or does not report a
Traffic Accident to the
nearest National
Police of the Republic
of Indonesia without
proper reason
imprisoned by -
Criminal
compensation at most
is Rp. 500,000. 000, -
(five hundred million
rupiah) "or a
maximum of 3 (three)
years imprisonment
plus 2/3 prisons.
46
46
4. 312 A
UULAJR
============ ========== (3) 1) If the convict does
not pay compensation
as referred to in
Articles 310, 311 and
312 no later than 1
(one) month after the
court's decision which
has obtained
permanent legal
force, then his
property can be
confiscated by
prosecutors and
auctioned off to cover
the compensation
money.
(4) (2) In the event that
the fund does not
have sufficient assets
to pay compensation
as meant in
paragraph (1), the
criminal shall be
sentenced to a prison
sentence whose
duration does not
exceed the maximum
threat from the
principal crime.
according to the
provisions of this law.
5. 312 B
UULAJR
============ ========== Whereas Articles 310, 311
and 312 are crimes.
III. CONCLUSION
47
47
Starting from the description of the previous chapter, at the end of this
research, several conclusions and suggestions can be made as follows:
1. Conclusions
a. The criminal sanctions policy for traffic accidents is regulated in Articles
310, 311 and 312 of Law Number 22 Year 2009 concerning Traffic and
Road Transportation in conjunction with the Police Chief Regulation
(Perkap) Number 15 of 2013 concerning Procedures for Handling Traffic
Accidents.
b. Weaknesses - the weaknesses of the current traffic accidents penalties
policy that refers to UULAJR are that there are no penalties guidelines for
fines that are not paid either intentional or negligently, it is difficult to
track the perpetrators in a hit-and-run case and there is no juridical
qualification yet; in law enforcement many use Restorative Justice; there
are law enforcement officers with unprofessional, poor mentality; and
disorderly community participation.
c. Reconstruction of sanctions for traffic accidents based on Pancasila justice
values, including:
1) the policy of criminal sanctions for traffic accidents in the criminal justice
system by reconstructing Articles 310, 311 and 312 UULAJR by replacing
criminal penalties into compensation.
2) the values of Pancasila with the idea of a balance between perpetrators and
victims as a form of legal certainty, benefits and justice by providing
protection to victims.
2. Implications of the Study
Based on the above research, theoretical and practical implications are generated:
a. Theoretical Implications
There was a shift in the policy of traffic accident sanctions that protected the
community, perpetrators and victims equally with criminal witnesses for fines and
compensation.
48
48
b. Practical Implications
1) The need for harmonization of laws and regulations between the Criminal Code
and UULAJR concerning the issue of criminal sanctions for traffic accidents with
due regard to the law that lives in the community in completing the traffic
sanction criminal sanctions policy.
2) That the policy of criminal sanctions for traffic accidents requires a thorough
understanding of all stakeholders from the central to regional levels, including the
community and law enforcement (Police, Prosecutors, Judges, Lawyers and
Penitentiary Officers) in an effort to realize the community just and prosperous
according to the mandate of the Constitution1945 and the Pancasila unitary state
framework that embraces Pancasila.
3) That compensation is not given to the state but given to victims in protection.
3. Suggestions
a. The Government and the House of Representatives (DPR) need to amend
Article 310, 311 and 312 UULAJR regarding criminal sanctions for traffic
accidents.
b. It is expected that further research on the policy of sanctions for traffic accident
accidents, regarding basic crimes (imprisonment, confinement, fines and cover)
with additional penalties (compensation).
49
49
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadlirat Allah SWT atas rakhmat, taufik, hidayah dan innayah-Nya, sehingga
penulisan Disertasi dengan judul ” Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana
Tindak Pidana Kecelakaan Lintas Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Keadilan
Pancasila” telah dapat diselesaikan guna memenuhi sebagaian persyaratan
mencapai derajat doktor pada program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Shalawat dan salam tercurah pada baginda Rosulullah Muhamas SAW
teladan umat sepanjang masa yang kelak dinantikan syafaatnya di hari akhir.
Atas selesainya penulisan Disertasi ini, sebagai ungkapan rasa syukur yang
tak terhingga dari penulis, pada kesempatan ini kami haturkan banyak
terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang,
Ir. H. Prabowo Setyawan, Ph.D., beserta seluruh dosen dan staf yang telah
memberikan bantuan berupa kesempatan / waktu, sarana dan prasarana
kepada penulis untuk menimba ilmu Program Doktor (S3) Ilmu Hukum
(PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang, Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt, M.Hum., beserta staf
pengajar dan staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan dan
kemudahan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Doktor
50
50
(S3) Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang.
3. Dr. Hj. Anis Masdurohatun,S.H.,M.Hum., selaku Ketua Program S3 yang,
yang dengan semangat, senyum, kedalaman ilmunya, kebesaran jiwanya
telah memberikan kesempatan dan sekaligus membimbing serta mendorong
penulis dalam menempuh pendidikan sekaligus menyusun Disertasi ini.
4. Prof. Dr. Eko Soponyono,S.H.,M.H., selaku Promotor, yang dengan
kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya dan
kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap analisa
pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Disertasi ini pada
akhirnya selesai disusun.
5. Dr. Drs. Munsharif Abdul Halim, S.H., M.H., selaku Co-Promotor, yang
dengan kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya dan
kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap analisa
pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Disertasi ini pada
akhirnya selesai disusun.
6. Gubernur Akademi Kepolisian Irjen Pol Dr. H. Rycho Amelza Dahniel,
M.Si., yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis
untuk menempuh pendidikan di Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH)
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.
7. Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol. Drs.Condro Kirono, M.M., M.Hum.,
Dirlantas Kombes Pol. Dr. Bakharuddin, M.S.,M.Si., beserta staf dan jajaran
Polres terkait (Kendal, Brebes, Rembang dan Magelang) yang telah
51
51
memberikan ijin tempat penelitian, wawancara dan pemberian data
penelitian;
8. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Sultan Agung Semarang
yang dengan semangat kebersamaannya telah membantu penulis dalam
mengikuti perkuliahan dan menyusun Disertasi ini.
9. Kedua orang tua penulis Bapak Ajun inspektur Satu Polisi (P) Almarhum
Soebiat dan Ibu Almarhumah Isrokhayah, yang telah membesarkan,
mendidik dan memberikan contoh sekaligus mengajariku untuk selalu tegar
dan tabah dalam memaknai setiap kehidupan, serta Almarhumah Hj.
Ekowaty Oktavia,S.H., dengan perjuangannya memberi semangat penulis,
mendampingi hingga beliau wafat (2011) dan membesarkan anak- anak.
10. Istri tersayang, Wuryanti, MPd yang dengan penuh ketulusan kasih,
kesabaran, pengertian dan pengorbanan yang sangat besar baik terhadap
waktu dan segala hal telah mendampingi serta selalu berdo’a kepada Allah
SWT untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi Program
Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Unissula Semarang, ditambah dengan
keberadaan anak-anak yang menjadikan kebanggaan tersendiri bagi penulis,
Bripka Rina Kurniawaty, S.H., mas Rian Sacipoto,S.H., M.H , menantu
Bripka Dul Rohman, S.H., dan mbak Aprillia Herdhiyani, S.Stp, M.Si., serta
cucu Kanesha Najia Rahman dan Keandra Satya, yang telah memberi
kobaran api semangat yang luar biasa besarnya di ujung pengabdian penulis
sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
52
52
11. Teman-teman seprofesi di bidang kepolisian, teman-teman Angkatan X
Tahun 2017 di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula Semarang
dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu telah
membantu penulis dalam pengumpulan data, dalam berdiskusi dan dalam
penyelesaian Disertasi ini.
Dengan iringan do’a semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan rachmat
dan sekaligus balasan yang setimpal dari Allah SWT baik di dunia maupun di
akherat, Aamiin.
Penulis sadar bahwa Disertasi ini adalah masih jauh dari harapan, oleh
karenanya kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca yang
budiman, baik dari kalangan dosen, mahasiswa, praktisi hukum terutama dari
rekan sejawat di Kepolisian Negara Republik Indonesia, politisi maupun
pemerhati persoalan hukum serta pihak lain sangat penulis harapkan, semoga hasil
penulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
Semarang, Juli 2019
Penulis,
Ciptono
53
53