rekonstruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana

52
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN NILAI-NILAI KEADILAN PANCASILA DISERTASI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum Oleh CIPTONO,S.H.,M.H. NIM : PDIH.03.10.17.0539 PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2019

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK

PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN

NILAI-NILAI KEADILAN PANCASILA

DISERTASI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum

Oleh

CIPTONO,S.H.,M.H.

NIM : PDIH.03.10.17.0539

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2019

Page 2: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

1

Page 3: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

2

2

Page 4: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

3

3

MOTTO

“Direndahkan tidak mungkin jadi sampah, disanjung tidak mungkin jadi

rembulan, maka jangan risaukan omongan orang, sebab setiap orang membacamu

dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda;

Teruslah melangkah selama engkau di jalan yang benar, meski terkadang

kebaikan tidak selalu dihargai;

Tidak usah repot- repot menjelaskan tentang dirimu, sebab yang menyukaimu

tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu;

Hidup bukan tentang siapa yang terbaik, tetapi siapa yang mau berbuat baik;

Jika didzalimi orang jangan berpikir untuk membalas dendam, tetapi berpikirlah

cara membalas dengan kebaikan;

Jangan mengeluh, teruslah berdoa dan berikhtiar, sibukan diri dalam kebaikan

hingga keburukan lelah mengikutimu”.

DESERTASI INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK : Institusiku, Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat aku mengabdi;

Bapak Alm. Soebiat dan Almh Isrokhayah yang telah memberikan contoh dan mengajariku untuk selalu tegar dan tabah dalam memaknai arti

kehidupan;

Guru- guruku, yang telah membukakan jendela pengetahuan untuk dapat melihat, menatap dan menyongsong masa depan;

Istriku yang tercinta Wuryanti MPd;

Anak- anakku Rina kurniawaty SH; Rian Sacipto,SH,MH,

Menantuku Dul Rohman,SH; Aprilia Herdhiyani, S.Stp., M.Si;

Cucu-cucuku Kanesha Najia Rahman, Keandra Satya Baiturahman, Hafidz Yulyan Baihaki, yang telah memberikan dorongan moril

dan semangat serta motivasi untuk berubah menjadi maju;

Teman- teman seprofesi, se- Angkatan Caba Wamil Polri Tahun

1981/1982, Secapa Reguler XIX Tahun 1991, Selapa Polri XXXIII Tahun

2005 dan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Angkatan X Tahun 2017

Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang.

Page 5: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

6

6

RINGKASAN DESERTASI

REKONTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN NILAI- NILAI

KEADILAN PANCASILA

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-

2025, pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem

hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD

1945), bahwa pembangunan hukum nasional merupakan bagian dari

sistem pembangunan mencakup pembangunan materi hukum, struktur

hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum;

perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya

hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta

penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.

Pembangunan sistem hukum nasional perlu memperhatikan nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat. Perhatian tersebut merupakan

hal yang wajar, karena sistem hukum yang saat ini berlaku di

Indonesia diantaranya KUHP/WvS disusun berdasarkan nilai-nilai

kemasyarakatan yang liberal individual dan tentu berbeda dengan

nilai-nilai kemasyarakatan yang religius bersifat kekeluargaan,

monodualistik dan kolektif.

Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi di jalan raya merupakan

peristiwa pidana karena di dalam Kecelakaan Lalu Lintas tersebut

terdapat unsur tindak pidana sebagaimana terumuskan dalam Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang UULAJR tanggal 22 Juni 2009

maka dalam Kecelakaan Lalu Lintas pelakunya dapat

dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 310 sampai dengan Pasal

312 UULAJR. Dengan melihat proses penanganan pemberian sanksi

pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang kurang memberikan rasa

keadilan dan cenderung aparat penegak hukum dapat melakukan

penyalahgunaan wewenang dalam rangka penanggulangan tindak

pidana Kecelakaan Lalu Lintas, maka diperlukan adanya upaya

pencegahan kejahatan yang harus dilakukan secara integral atau

sistematik.

Teori pemidanaan secara tradisional dapat dibagi dalam dua

kelompok yaitu (1) teori absolut atau teori pembalasan

(retributive/vergelding theorieen), menurut teori ini pidana dijatuhkan

semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau

tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak

yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang

Page 6: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

7

7

melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada

adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, (2) teori relatif atau teori

tujuan (utilitarian/ doeltheorieen), menurut teori ini memidana

bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan.

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai

sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-

tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering

juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Dalam

perkembangannya tujuan pidana meliputi teori gabungan dan teori

kontemporer sebagai berikut (3) teori gabungan, Vos secara tegas

menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat

kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu

kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat “..... de

derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een combinatie

van de gedachten der vergelding en der bescherming van de

maatschappelijke orde). Masih menurut Vos, selain titik berat pada

pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk

melindungi ketertiban hukum (..... men kan als uitgangspunt de

vergelding nemen en deze dan beperken in die zin, dat niet verder mag

worden gegaan dan voor de handhaving der rechtsorde nodig is).

Sebagai penganut teori gabungan, Vos menyatakan titik berat yang

sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan masyarakat

(….. dat de straf tegelijk voldoet en aan de eis van vergelding en aan

die der maatschappelijke bescherming). Dengan demikian, Vos

memberi bobot yang sama antara pembalasan dan perlindungan

masyarakat, (4) teori kontemporer, selain teori absolut, teori relatif

dan teori gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembangannya

terdapat teori-teori baru yang penulis sebut sebagai teori kontemporer.

Bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya teori-teori kontemporer ini

berasal dari ketiga teori tersebut di atas dengan beberapa modifikasi.

Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana adalah

sebagai deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak

lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga pidana bertujuan

sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang

baik dan mana perbuatan yang buruk. Tujuan pidana sebagai

deterrence effect pada hakikatnya sama dengan teori relatif terkait

prevensi khusus.

Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi

pembaharuan hukum pidana material ( hukum pidana substantif ),

hukum pidana formil ( hukum acara pidana ) dan hukum pelaksanaan

pidana ( strafvollstreckungesetz ). Ketiga bidang hukum itu harus

bersama-sama diperbaharui, kalau salah satu bidang saja yang

diperbaharui sedang yang lainnya tidak, maka akan timbul kesulitan

dalam pelaksanaannya dan tujuan dari pembaharuan tidak akan

Page 7: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

8

8

tercapai seluruhnya. Keinginan dan usaha untuk melakukan kajian-

kajian/ penggalian hukum yang hidup (yang bersumber dari nilai-nilai

hukum agama dan hukum tradisional/ adat) telah sering dikemukakan

dalam berbagai forum ilmiah. Keinginan itu menunjukan kesadaran,

perlunya digali norma hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-

nilai budaya, moral dan agama.

Kajian atau diskusi mengenai pokok-pokok pemikiran atau ide

dasar ini menjadi sangat penting karena membangun atau melakukan

pembaharuan hukum (law reform) khususnya penal reform pada

hakikatnya adalah membangun atau memperbaharui pokok-pokok

pemikiran/ konsep/ ide dasarnya, bukan sekedar memperbaharui atau

mengganti perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian

dengan judul: “Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak

Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Nilai - Nilai

Keadilan Pancasila”.

2. Fokus Studi dan Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka

dalam penelitian diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Mengapa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu

lintas belum dapat terlaksana secara adil?.

b. Bagaimana kelemahan- kelemahan kebijakan saksi pidana tindak

pidana kecelakaan lalu lintas saat ini?.

c. Bagaimana rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana

kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai keadilan

Pancasila?.

3. Tujuan Penelitian Disertasi

a. Untuk mengungkap dan menganalisis kebijakan sanksi pidana

tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan hukum positif

saat ini.

b. Untuk mengungkap dan menganalisis kelemahan- kelemahan

kebijakan saksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas saat

ini.

c. Untuk menemukan rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak

pidana kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai

keadilan Pancasila.

4. Kegunaan Penelitian Disertasi

a. Teoritis, dengan adanya penelitian ini, maka:

Page 8: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

9

9

1) Dapat membangun teori baru tentang kebijakan sanksi

pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan

nilai- nilai keadilan Pancasila.

2) Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi aparat penegak

hukum dalam menjalankan kebijakan sanksi pidana tindak

pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai

keadilan Pancasila.

b. Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

penelitian yang berkaitan dengan rekontruksi kebijakan sanksi

pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai-

nilai keadilan Pancasila.

5. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis

dengan metode kualitatif yang didukung oleh data primer dan

sekunder. Penggunaaan pendekatan yuridis sosiologis, dilakukan

karena kajian dalam penelitian ini untuk melihat secara langsung

fakta- fakta yang ada dilapangan dalam kaitannya dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat berperan menyelesaikan

tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Kalau mempelajari hukum

dalam kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari

batas- batas peraturan hukum dan mengamati praktik-praktik

dan/ atau hukum sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang

di dalam masyarakat. Pendekatann ini sering disebut dengan

pendekatan yuridis empiris.

b. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif

analisis, yaitu menggambarkan peraturan- peraturan yang

berlaku (hukum positif) kemudian dihubungan dengan teori-

teori hukum. Bersifat deskriptif artinya penelitian ini diharapkan

dapat menjelaskan gambaran tentang rekonstruksi kebijakan

sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan

nilai- nilai keadilan Pancasila. Bersifat analitis artinya dari hasil

penelitian ini diharapkan dapat menguraikan berbagai temuan

data baik primer maupun sekunder langsung diolah dan

dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara

kategori, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas

atau dikaji secara logis.

Page 9: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

10

10

c. Metode Analisisa Data

Teknik analisis data terhadap data primer, peneliti

menggunakan teknis analisis data tipe Strauss dan J. Corbin,

yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti berada dilapangan

(field). Selanjutnya peneliti melakukan penyusunan,

pengkatagorian data dalam pola/thema. Setelah data divalidasi,

peneliti melakukan rekonstruksi dan analisis secara induktif

kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan. Data akan

dianalisis menggunakan model interaktif yang dikemukakan

oleh Mattew B. Miles and A. Michael Huberman yang meliputi

3 (tiga) kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan

penarikan simpulan atau verifikasi.

d. Kerangka Teori :

Dalam menganalisis ke tiga permasalahnan digunakan

teori keadilan sebagai grand teori; teori Penegakan Hukum dan

Alternative Dispute Resolution sebagai middle teori serta teori

hukum progresif, perlindungan korban, ganti kerugian dan

harmonisasi hukum sebagai applied teori.

Hukum dan keadilan merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan. Ketika membicarakan masalah hukum maka

secara jelas maupun samar- samar, kita akan menukik sampai

kepada masalah keadilan. Itu berarti hukum tidak dalam

konteksnya sebagai suatu bangunan yang formal belaka,

melainkan sebagai bagian dari ekpresi cita- cita masyarakat.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan KUHP (WvS)

Masih adanya dualisme perundangan yang digunakan dalam

penegakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yaitu

KUHP dan UULAJR Pasal KUHP yang digunakan dalam kebijakan

sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lu lintas yaitu Pasal 338, 359,

360, 361.

Kejahatan dalam Pasal 338 KUHP dinamakan “makar mati”

atau “pembunuhan” (doodslag). Disini diperlukan perbuatan yang

mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu

disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam niatnya. Apabila

kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini,

mungkin masuk Pasal 359 KUHP ( karena kurang hati- hatinya,

menyebabkan matinya orang lain), atau Pasal 353 sub 3 KUHP

penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu, berakibat mati), atau

Page 10: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

11

11

Pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat berakibat mati ), atau Pasal 355

sub 2 KUHP (penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu,

berakibat mati). Sebaliknya pembunuhan itu harus dilakukan segera

sesudah timbul maksud untuk membunuh itu, tidak dengan dipikir-

pikir panjang.

2. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan UULAJR

Dalam UULAJR digunakan Pasal 310, 311 dan 312 dengan

sanksi pidana dan denda, sedangkan dalam UULAJR ini ada

pemberian ganti kerugian pada korban kecelakaan lalu lintas jalan

raya baik tanpa pidana pokok atau pidana tambahan, yang diatur

dalam Pasal 236 UULAJR Ayat (1) :” Pihak yang menyebabkan

terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarnya ditentukan

berdasarkan putusan pengadilan. “ Selanjutnya dalam Ayat (2) :

kewajiban mengganti kerugian sebagaimana pada Ayat (1) pada

Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 Ayat

(2) dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai

diantara para pihak yang terlibat.

Hal ini dihubungkan dengan kebijakan operasional yang

dilaksanakan dalam proses penyidikan peristiwa kecelakaan lalu

lintas, penyidik kecelakaan lalu lintas pada Kesatuan Lalu Lintas yang

melakukan proses penyidik selalu mengedepankan pemberian ganti

kerugian dari tersangka kepada korban maupun ahli warisnya.

Meskipun dalam UULAJR yang berlaku sekarang ini tidak terdapat

rumusan tujuan pemidanaan tetapi dalam perkembangan sekarang ini

telah disadari bahwa tujuan pemidanaan itu sangat penting terkait

dengan kerelaan korban untuk menerima kesalahan yang telah

dilakukan oleh pelaku pidana dan memberikan maaf merupakan unsur

utama meniadakan konflik dengan memulihkan keseimbangan dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP maupun

UULAJR yang sekarang berlaku belum bisa mendukung upaya

memberikan perhatian pada korban karena jenis sanksi yang ada

secara langsung dapat memberikan perlindungan pada korban.

Ketiadaan jenis pidana yang memberikan perlindungan kepada korban

khususnya yang menyangkut pemberian ganti kerugian pada korban,

mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam

rangka untuk memberikan perlindungan pada korban khususnya yang

menyangkut perintah pemberian ganti kerugian. Namun selama ini

hakim belum pernah menjatuhkan putusan pidana bersyarat

sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas, karena dalam UULAJR

Page 11: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

12

12

sanksi pidana kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam Pasal 310

sampai 312 tidak ada sanksi pidana ganti kerugian.

3. Perbandingan Hukum Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas Negara Asing

Dalam disertasi ini promovendus membandingkan Undang-

undang Lalu Lintas diberbagai negara yang ada kaitannya dengan

pelaksanaan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, antara lain

Belanda, Inggris, Portugal dan Yugoslavia. Dan secara umum negara

asing tersebut menggunakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang memberikan perlindungan terhadap korban.

Tidak secara eksplisit negara- negara tersebut menerapkan

sanksi ganti kerugian, namun kewajiban membayar sejumlah uang

kepada negara untuk kepentingan korban, yang kemudian dikirimkan

kepada korban tanpa penundaan ( Pasal 36f KUHP Belanda)

.

4. Putusan Hakim Tentang Sanksi Pidana Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas

No. Perkara Psl Yang

Disangkakan

Putusan

1 Laka ka Lntas Metro Mini Tanjung Priok tgl. 6

Maret 1994,Tsk Marojahan Silitonga, korban 32

MD, 13 LB

338 KUHP PN Jakarta Utara, 15 TH PENJARA

2 Laka Lantas Tugu Tani, tgl. 22 Jan 2012, Tsk

Afriani Susanti, korban 9 MD

311 Ayat (5)

UULAJR

PN Jakarta Pusat, 29 Agt 2012, 15

TH PENJARA

3 Laka Lantas Tol Jagorawi, tgl 2 Jan 2013, Tsk

Rasyid Amrullah Rajasa, korban 2 MD, 3 LB

311 Ayat (4)

UULAJR

PN Jakarta Timur, 23 Maret 2013, 5

Bln Penjara dg masa perc 6 Bln dan

Denda 12 Jt

4 Laka Lantas Mikrolet Tamansari, tgl. 23 Feb

2017, Tsk Hery Tomy Chistian, korban 1 MD

310 Ayat (4)

UULAJR

PN Jakarta Barat, 14 Agt 2017, 2

TH PENJARA dan Denda Rp. 5jt

5

Laka Lantas di Karang Anyar, tgl. 21 Sept 2009,

Tsk Lanjar Sriyanto, korban 1 MD

(Saptaningsih)

359 dan 360 Ayat

(2) KUHP

1. PN Karang anyar 4 Maret2010

(bebas)

2. PT Jateng, kurungan penjara

1(satu) bln 7 hari

6 Laka Lantas di Tol Cipularang tgl. 3 Sept 2011,

Tsk Syaiful Jamil, korban 1 MD Virginia

Anggraeni

310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sept 2012,

Hukuman Penjara 5 Bln dg Masa

Percobaan

7 Laka Lantas di Kendal, tgl. 25 Maret 2015, Tsk

Purwanto, korban 1 MD dan 1 LR

310 Ayat ( 1) dan

Ayat (4)

PN Kendal , 15 Agt 2015,

Hukuman Penjara 25 hari dan

Denda 500 rb.

8 Laka lantas di Rembang, tgl. 20 Juni 2017, Tsk

Budi Santoso, Korban 1 MD dan 1 LB

310 Ayat (1), (3)

dan (4) UULAJR

PN Rembang, 24 Feb 2017,

Hukuman Penjara 1 Th 6 Bln

9 Laka Lantas di Surakarta, tgl. 22 Agt 2018, Tsk

Iwan Andranacus , Korban 1 MD

311 Ayat (5)

UULAJR

PN Surakarta, 29 Jan 2019,

Hukuman Penjara 1 Th.

Bahwa perkara kecelakaan lali lintas dikepolisian banyak yang diproses

dengan penyidikan (jalur penal) tetapi lebih banyak dengan non penal terutama

dalam menangani kecelakaan laum lintas korban luka ringan atau kerugian

materiil. Hasil penelitian promovendus terhadap kasus kecelakaan lalu lintas

dan wawancara dengan responden terhadap penelitian ini diperoleh keterangan

kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas Polri lebih banyak penyelesaian

Page 12: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

13

13

kecelakaan lalu lintas khususnya untuk korban luka-luka ringan dan kerugian

materiil diselesaikan dengan restorative justice. Hal ini promovendus ketahui

dari data penyelesaian kecelakaan lalu lintas Polda Jawa Tengah dan Polres

tertentu dalam periode 5 (lima) tahun terakhir 2013 sampai dengan 2017.

Data Kejadian dan Penyelesaian Laka Lantas

di Wilayah Polda Jawa Tengah Tahun 2013 – 2017

No Kesatuan Jumlah

Kejadian

Penyelesaian Prosentase

Penyelesaian

RJ SPP RJ

1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49

2 POLRES KENDAL 1.988 404 1.584 79,67

3 POLRES BREBES 3.007 278 2.729 90,75

4 POLRES REMBANG 2.236 168 2.068 92,48

5 POLRES MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79

Sumber: Diolah dari berbagai data di Polda Jateng, Polres Kendal, Polres Bresbes, Polres

Rembang dan Polres Magelang Awal Tahun 2018.1

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian kasus

kecelakaan lalu lintas di Polres Brebes, Polres Kendal, Polres Rembang dan

Polres Magelang, sebagian besar lebih mengarah kepada bentuk penyelesaian

Restorative Justice yaitu penyelesaian berdasarkan atas dasar permintaan para

pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang sudah menyelesaikan

secara kekeluargaan (berdamai) karena masing-masing telah menemukan

keadilannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kejadian kecelakaan lantas yang

terjadi di Polres Brebes jumlah kejadian 3.007, Restorative Justice 2.729

(90,75 %); Polres Kendal jumlah kejadian 1.998, Restorative Justice 1.584

(79,67 %); Polres Rembang jumlah kejadian 2.236, Restorative Justice 2.068 (

1Data Kejadian Kecelakaan lulintas dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2013-2017)

dengan penjelasan 1. Jumlah Kejadian, adalah menerangkan jumlah kejadian kecelakaan lalulintas di masing-

masing wilayah hukum Polres;

2. Penyelesaian SPP, merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas berdasarkan ketentuan

hukum (Sistem Peradilan Pidana/KUHAP) dalam bentuk disidik dan Berkas Perkara

diserahkan ke Penuntut Umum (P-21) dan atau dihentikan proses penyidikannya/SP3 (tidak

cukup bukti/tidak memenuhi unsur/demi hukum) dan atau dilimpahkan ke Instansi samping;

3. Penyelesaian RJ (Restorative Justice), merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas

berdasarkan permohonan dari pihak yang telah melakukan perdamaian karena telah dicapai

keadilan dan kemanfaatan, bentuk penyelesaian berdasarkan Restorative Justice di tingkat

penyidikan tidak dikenal secara yuridis formal tetapi secara yuridis praktis telah dilakukan

karena permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan, sehingga untuk kepastian

hukum maka bentuk administrasi penyelesaiannya adalah penyelesaian terhadap pelanggaran

yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas berupa proses Tilang (tindak

pelanggaan), proses Berita Acara Cepat (BAC) atau Berita Acara Singkat (BAS) dan

diserahkan instansi lain. 4. Prosentase, merupakan jumlah prosentase penyelesaian kecelakaan lalu lintas secara

Restorative Justice.

Page 13: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

14

14

92,48 %); Polres Magelang jumlah kejadian 3393, Restorative Justice 3.012 (

88,79 %), sedangkan untuk data penyelesaian kecelakaan lalu lintas di seluruh

jajaran Polda Jawa Tengah (35 Polres) jumlah kejadian 81.159, Restorative

Justice 72.673 (89,49 %).

Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara Restorative Justice ini

disamping dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam dalam kecelakaan

lalu lintas sebagaimana hasil wawancara dengan warga masyarakat sebagai

pihak yang pernah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum

Polres Kendal atau keluarganya, dimana mereka lebih memilih perkaranya

diselesaikan melalui Restorative Justice daripada menjalani sidang di

pengadilan, alasannya bahwa perkara tersebut dirasa lebih efektif, cepat selesai

dan lebih dirasakan keadilannya.

Pendapat warga masyarakat tersebut adalah senada dan didukung oleh

ulama/tokoh agama an. KH. Ali Nurudin yang menyatakan bahwa kalau antara

pelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas sudah saling memaafkan maka

telah dicapai kebaikan antara kedua pihak, maka untuk perkaranya tidak perlu

lagi disidangkan di pengadilan dan selesai, demikian pula pendapat Anggota

DPRD Kabupaten Kendal Mastur Samlawi dari Fraksi P3 menyatakan bahwa

apabila kejadian kecelakaan lalu lintas telah diselesaikan berdasarkan

kesepakatan para pihak maka kesimbangan sosial di tengah masyarakat telah

pulih kembali, oleh karenanya tidak diperlukan lagi perkaranya diteruskan ke

pengadilan, demikian pula pernyataan Dr. Sudarmadji, SH,MH (Pemalang)

menyatakan bahwa perdamaian diantara para pihak yang terlibat dalam

kecelakaan lalu lintas mempunyai nilai filosofi keadilan yang sangat tinggi,

bahkan melebihi nilai keadilan yang dilahirkan oleh hakim dalam putusannya,

maka tidak perlu lagi perkara tersebut dibawa ke ranah sidang pengadilan

karena pemidanaan tidak menimbulkan efek jera, dan menurut Rian Sacipto,

S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Ngudi Waluyo ( UNG)

Ungaran menyatakan sependapat bahwa apabila dalam perkara kecelakaan lalu

lintas telah dicapai penyelesaian secara kekeluargaan (perdamaian) maka tidak

perlu lagi perkaranya diteruskan ke sidang pengadilan, hal tersebut didasarkan

atas pertimbangan proses pemidanaan itu adalah ultimum remedium yang

merupakan senjata pamungkas dalam penyelesaian perkara pidana, apabila

mekanisme lain masih dimungkinkan (misalnya musyawarah mufakat) maka

mekanisme dimaksud dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan terlebih dahulu

karena penyelesaian tersebut memberikan manfaat baik bagi kedua pihak,

mengacu pendapat Jeremy Bentham bahwa bagaimana menilai baik atau buruk

kebijaksanaan sosial, politik dan budaya penegakan hukum itu bertumpu pada

tiga pilar, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila aspek

kepastian hukum yang diutamakan maka akan mengorbankan aspek keadilan,

demikian pula sebaliknya, akan tetapi kalau dipilih aspek manfaat maka aspek

kepastian hukum dan aspek keadilan secara serta merta sudah tercakup di

dalamnya, hal tersebut sejalan dengan Teori Hukum Progresif Satjipto

Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu untuk manusia bukan untuk

dirinya sendiri, kalau terjadi permasalahan dengan hukum maka yang

dikalahkan adalah hukum, bukan manusianya, hal ini senafas dengan diskresi

Page 14: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

15

15

kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 2

Tahun 2002.

Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang seiring

dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan

tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi

seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat

di Indonesia mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat

penegak hukumnya antara lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan

bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana ditempuh

melalui sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama

dilakukan adalah membuat laporan polisi. Melalui laporan polisi ini korban

berharap ada keadilan dimana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari

sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam

masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa

belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam

masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana

kecelakaan lalu lintas belum sesuai dengan nilai- nilai keadilan Pancasila.

5. Kelemahan- Kelemahan Sanksi Pidana Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas

Kelemahan- kelemahan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu

lintas saat ini dalam bentuk perundang-undangan yaitu adanya tumpang tindih

peraturan perundang- undangan dalam penegakan sanksi pidana tindak pidana

kecelakaan lalu lintas yaitu KUHP dan UULAJR. Sejak berlaku UULAJR

tanggal 22 Juni 2009 yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya

termasuk kecelakaan lalu lintas semestinya dalam penerapan sanksi pidana

sudah tidak menggunakan KUHP karena berlaku asas lex spesialis derogat lex

generalis.

Akibat dari adanya tumpang tindih peraturan, yang keduanya tidak

mencantumkan sanksi pidana ganti kerugian, maka kelemahan sanksi pidana

kecelakaan lalu lintas pada UULAJR sebagai berikut :

a. Tidak ada pedoman pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar (baik

kesengajaan atau kelalaian).

b. Sulit untuk melacak pelakunya.

c. Belum ada kwalifikasi yuridis.

Disamping itu masalah penegakan hukum yaitu praktik penyelesaian

perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya dan

hanya berkembang dalam dimensi praktik maka lazim terjadi suatu kasus

secara informal telah dilakukan penyelesaian damai namun tetap diproses ke

pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku, sehingga sungguh sangat

menciderai rasa keadilan bagi para pihak.

Restorative Justice sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di

bidang hukum pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana

dan perdata tidak begitu besar. Dalam prakteknya Polri telah menerapkan

restorative justice terhadap Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban materiil

Page 15: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

16

16

atau luka ringan yaitu mengacu pada UU Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang dijabarkan dalam :

a. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember

2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion

(ADR),

b. Program Polri tentang Pemolisian Masyarakat (Comunity Policing)

sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 3 Tahun 2015,

c. Program Prioritas Rencana Aksi 100 (seratus) hari Kapolri Jendral Drs.

Tito Karnavian, M.A.,Ph.D,

d. Perkap Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan

Lalu Lintas, yang dijabarkan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor :

ST/2981/XII/ 2017 tanggal 19 Desember 2017, hanya digunakan pada

Kecelakaan Lalu Lintas Sedang dan Ringan.

Namun dalam prakteknya Polri masih menyelesaian perkara kecelakaan

lalu lintas luka berat dan meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 229

Ayat (4) UULAJR diselesaikan dengan ADR, hal ini lebih mudah dalam

menyelesaikan perkara dibanding penyidikan (SPP) karena masih ada bolak

balik perkara.

6. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan

Lalu Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Pancasila

A. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam

Sistem Peradilan Pidana

Secara fungsional sistem peradilan pidana akan melibatkan

minimal 4 (empat) faktor saling terkait yaitu :

1) Rekonstruksi Kebijakan Perundang- undangan

Dalam merekonstruksi kebijakan peraturan perundang-

undangan perlu harmonisasi hukum. Harmonisasi hukum sebagai

suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

mengatasi hal- hal yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma-

norma hukum didalam peraturan peraturan perundang-undangan,

sehingga terbentuk peraturan perundangan- undangan nasional yang

harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan

konsisten serta taat asas.

Kebijakan peraturan perundang- undangan terutama adanya

tumpang tindih perturan yaitu KUHP dan UULAJR. Langkah sistemik

harmonisasi hukum nasional adalah bertumpu pada paradigma

Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem ketata negaraan

dengan dua asas fundamental yaitu asas demokrasi dan asas negara

hukum yang diidealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan

tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum beserta

kelembagaannya dan budaya hukum.

Page 16: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

17

17

2) Kebijakan Rekonstruksi Penegakan Hukum

Karena keterbatasan penal maka dalam penanggulangan

kejahatan ( politik kriminal ) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan

yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana ( termasuk

politik hukum pidana ) dan kebijakan non penal. Penanggulangan

kejahatan dengan menggunakan penegakan hukum pidana masih

diperlukan melalui pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (

policy oriented approach ). Oleh karena itu penggunaaan hukum

pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan merupakan

kebijakan juga yang sering disebut dengan kebijakan hukum pidana.

Kebijakan atau politik hukum berarti orang mengadakan

penilaian dan melakukan penilaian dari sekian banyak alternatif yang

dihadapi, sedangkan melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan

pidana yang paling baik dalm arti memenuhi syarat keadilan dan daya

guna. Mengacu pada teori Lawrence M Friedman dalam hal

penegakan hukum didasarkan pada legal structure, legal substance

dan legal cultural. Hal inilah dilakukan apabila kebijakan penal

dengan menggunakan sanksi pidana tidak ada penyelesaian. Di sisi

lain penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.

3) Rekontruksi Kebijakan Aparat Penegak Hukum

Aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak terlepas

akan suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal tersebut penting

karena dalam menegakkan hukum, seorang Polisi, Jaksa, Hakim dan

Advokad langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga dalam

menegakkan hukum kadang aparat penegak hukum mempunyai

masalah ataupun dampak positif serta negatif dalam menegakkan

suatu norma positif di masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.2

Faktor- faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif

atau negatifnya terletak pada isi faktor- faktor tersebut, antara lain :

a. Faktor hukumnya sendiri (misalnya Undang-Undang).

b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

c. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

d. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup

2Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem Peradilan Terpadu

(Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 52

Page 17: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

18

18

Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan

pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan

hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam

peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan

hukum itu dijalankan, dimana proses penegakan hukum itu akan

berpuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.

4) Rekontruksi Kebijakan Patisipasi Masyarakat

Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam uraian diatas

bahwa selain aparat penegak hukum yang berperan penting dalam

penegakan hukum adalah peranan masyarakat dimana penegakan

hukum atau sebagai sosial kontrol. Masyarakat haruslah sadar bahwa

proses penegakan hukum bukanlah hanya tugas dari aparat penegak

hukum saja, melainkan juga tugas dari masyarakat juga dalam

menanggulangi, mengahadapi segala bentuk upaya merugikan

masyarakat.

Apabila hal ini terwujud yaitu antara masyarakat dan aparat

penegak hukum saling membantu dalam proses penegakan hukum,

maka kami yakin lambat laun tindakan- tindakan kriminal yang terjadi

khususnya peristiwa kecelakaan lalu lintas akan berkurang. Dalam hal

ini Polri menerapkan Perkap Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian

Masyarakat.

A. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Piadan Kecelakaan Lalu

Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Keadilan Pancasila

Pada bagian lain, dalam kaitannya dengan fungsi hukum dan

lembaga hukum dalam masyarakat, Satjipto Rahardjo mengemukakan

bahwa: Pengkajian terhadap hukum dari sudut studi hukum dan

masyarakat, selalu ingin menegaskan fungsi apa yang sesungguhnya

dijalankan oleh hukum atau lembaga hukum itu di dalam masyarakat.

Penegasan mengenai fungsi ini tidak hanya dilihat dari sudut ketentuan

hukum yang mengaturnya, melainkan juga dari apa yang ditentukan oleh

masyarakat sendiri mengenainya.

Hukum merupakan mekanisme yang mengintegrasikan kekuatan-

kekuatan dan proses-proses dalam masyarakat, dengan demikian maka

pengadilan pastilah merupakan lembaga yang menjadi pendukung utama

dari mekanisme itu, karena dalam lembaga inilah nantinya sengketa-

sengketa yang terdapat dalam masyarakat tersebut akan diselesaikan,

agar tidak berkembang menjadi pertentangan yang membahayakan

keamanan dan ketertiban masyarakat.

Untuk mendapatklan kebijakan sanksi pidana tindak pidana

kecelakaan lalu lintas, yang berdasarkan rasa keadilan, kemanusiaan,

dampak yang lebih luas, kepentingan umum, edukasi pembelajaran dan

pencerminan etika moral maka perlu merekontruksi Pasal 310, 311 dan

Page 18: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

19

19

312 UULAJR yang merupakan Sanksi Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

sistem perumusan sanksi pidana alternatif sebagai berikut :

Rekontruksi Peraturan Perundang- Undangan

No. Pasal Sebelum

Rekontruksi Kelemahan Sesudah Rekontruksi

1. 310

UULAJR

Setiap orang yang

mengemudikan ken-

daraan bermotor

yang karena kela-

laiannya mengaki-

batkan Kecelakaan

Lalu Lintas dengan:

(1)Kerusakan ken-

daraan dan/ atau

barang, dipidana

dengan pidana

penjara paling

lama 6 (enam)

bulan dan/ atau

denda paling

banyak Rp.1.000.

000,- (satu juta

rupiah).

(2)Korban luka ri-

ngan dan keru-

sakan kendaraan

dan/ atau barang,

dipidana dengan

pidana penjara

paling lama 1

(satu) tahun dan/

atau denda pa-

ling banyak Rp.

2.000. 000, (dua

juta rupiah).

(3)Korban luka be-

rat, dipidana de-

ngan pidana pen-

jara paling lama

5 (lima) tahun

dan/ atau denda

paling banyak

Rp.10.000. 000,-

(sepuluh juta

1.Tidak ada

pedoman pe-

midanaan ji-

ka denda

tidak dibayar,

2.Tidak ada

kwalifikasi

yuridis.

Setiap orang yang

mengemudikan ken-

daraan bermotor yang

karena kelalaiannya

mengakibatkan

Kecela-kaan Lalu

Lintas dengan:

(1)Kerusakan kenda-

raan dan/ atau

barang, dipidana

dengan pidana

ganti kerugian

paling banyak

Rp.10.000. 000,-

(sepuluh juta rupi-

ah) dan /atau pen-

jara paling lama 6

(enam) bulan

(2) Korban luka ringan

dan kerusakan

kendaraan dan/

atau barang, dipi-

dana dengan pida-

na ganti kerugian

paling banyak

Rp.50. 000. 000,-

(lima puluh juta

rupiah) dan/ atau

penjara paling

lama 1 (satu) tahun

(3) Korban luka berat,

dipidana dengan

pidana ganti ke-

rugian paling

banyak Rp. 150.

000.000,- (seratus

lima puluh juta

rupiah),dan/ atau

penjara paling

Page 19: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

20

20

rupiah), dalam

hal kecelakaan

tersebut menga-

kibatkan orang

lain meninggal

dunia dipidana

dengan pidana

penjara paling

lama 6 (enam)

tahun dan/atau

denda paling ba-

nyak Rp.12. 000.

000,- (dua belas

juta rupiah).

lama 5 (lima)

tahun, dalam hal

kecelakaan terse-

but mengakibatkan

orang lain mening-

gal dunia dipidana

dengan pidana

ganti kerugian

paling banyak Rp.

500.000.000,-

(lima ratus juta

rupiah) dan/ atau

penjara paling la-

ma 6 (enam)

tahun.

2 311

UULAJR

(1)Setiap orang yang

dengan sengaja

mengemudikan

Kendaraan Bermo-

tor dengan cara

atau keadaan yang

membahayakan

bagi nyawa atau

barang dipidana

dengan pidana

penjara paling

lama 1 (satu) tahun

atau denda paling

banyak Rp 3.000.

000,- (tiga juta

rupiah).

(2)Dalam hal per-

buatan sebagai-

mana dimaksud

pada ayat (1)

mengakibatkan

Kecelakaan Lalu

Lintas dengan

kerusakan Kenda-

raan dan/ atau

barang sebagai-

mana dimaksud

dalam Pasal 229

ayat (2), pelaku

dipidana dengan

pidana penjara

1.Tidak ada

pedoman pe-

midanaan

jika denda

tidak dibayar,

2. Tidak ada

kwalifikasi

yuridis.

(1)Setiap orang yang

dengan sengaja me-

ngemudikan Kenda-

raan Bermotor de-

ngan cara atau

keadaan yang mem-

bahayakan bagi nya-

wa atau barang di-

pidana dengan pida-

na ganti kerugian

paling banyak Rp

10.000. 000,- (sepu-

luh juta rupiah).

Atau penjara paling

lama 1 (satu) tahun.

(2)Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1)

mengakibatkan Ke-

celakaan Lalu Lintas

dengan kerusakan

Kendaraan dan/ atau

barang sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (2),

pelaku dipidana de-

ngan pidana ganti

kerugian paling ba-

nyak Rp 50.000.

000,- (lima pulu juta

rupiah) atau penjara

Page 20: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

21

21

paling lama 2

(dua) tahun atau

denda paling

banyak Rp 4.000.

000,- (empat juta

rupiah).

(3)Dalam hal per-

buatan sebagai-

mana dimaksud

pada ayat (1)

mengakibatkan

Kecelakaan Lalu

Lintas dengan kor-

ban luka ringan

dan kerusakan

Kendaraan dan/

atau barang seba-

gaimana dimaksud

dalam Pasal 229

ayat (3), pelaku

dipidana dengan

pidana penjara pa-

ling lama 4 (em-

pat) tahun atau

denda paling ba-

nyak Rp 8. 000.

000,- (delapan juta

rupiah).

(4)Dalam hal per-

buatan sebagai-

mana dimaksud

pada ayat (1)

mengakibatkan

Kecelakaan Lalu

Lintas dengan kor-

ban luka berat

sebagaimana di-

maksud dalam

Pasal 229 ayat (4),

pelaku dipidana

dengan pidana

penjara paling la-

ma 10 (sepuluh)

tahun atau denda

paling banyak Rp

20. 000.000,- (dua

paling lama 2 (dua)

tahun.

(3)Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1)

mengakibatkan Ke-

celakaan Lalu Lintas

dengan korban luka

ringan dan kerusak-

an Kendaraan dan/

atau barang sebagai-

mana dimaksud da-

lam Pasal 229 ayat

(3), pelaku dipidana

dengan pidana ganti

kerugian paling

banyak Rp 150.000.

000,- (seratus lima

juta rupiah) atau

penjara paling lama

4 (empat) tahun.

(4)Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1)

mengakibatkan Ke-

celakaan Lalu Lintas

dengan korban luka

berat sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (4),

pelaku dipidana de-

ngan pidana ganti

kerugian paling ba-

nyak Rp 500. 000.

000,- (lima ratus

juta rupiah) atau

penjara paling lama

10 tahun.

(5)Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimak-

sud pada ayat (4)

mengakibatkan

orang lain mening-

gal dunia, pelaku

dipidana dengan pi-

dana ganti kerugian

Page 21: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

22

22

puluh juta rupiah).

(5)Dalam hal per-

buatan sebagai-

mana dimaksud

pada ayat (4)

mengakibatkan

orang lain me-

ninggal dunia, pe-

laku dipidana de-

ngan pidana pen-

jara paling lama 12

(dua belas) tahun

atau denda paling

ba-nyak Rp 24.

000. 000,(dua pu-

luh empat juta

rupiah).

paling banyak Rp

2.000.000.000,-

(duamilyard rupiah)

atau penjara paling

lama 12 (dua belas)

tahun.

3. 312

UULAJR

Setiap orang yang

mengemudikan

Kendaraan bermotor

yang terlibat Kece-

lakaan Lalu Lintas

dan dengan sengaja

tidak menghentikan

kendaraannya, tidak

memberikan perto-

longan atau tidak

melaporkan Kecela-

kaan Lalu Lintas

kepada Kepolisian

Negara Republik

Indonesia terdekat

tanpa alasan yang

patut dipidana de-

ngan pidana penjara

paling lama 3 (tiga)

tahun atau denda

paling banyak Rp.

75. 000.000,- (tujuh

puluh lima juta

rupiah)”.

1.Sulit untuk

melacak

pelaku,

2.Tidak ada

kwalifikasi

yuridis

(1) Setiap orang yang mengemudikan ken-

daraan bermotor

yang terlibat Kece-

lakaan Lalu Lintas

dan dengan sengaja

tidak menghentikan

kendaraannya, tidak

memberikan perto-

longan atau tidak

melaporkan Kece-

lakaan Lalu Lintas

kepada Kepolisian

Negara Republik

Indonesia terdekat

tanpa alasan yang

patut dipidana de-

ngan pidana ganti

kerugian paling ba-

nyak Rp. 500.000.

000,- (lima ratus

juta rupiah)” atau

penjara paling lama

3 (tiga) tahun ditam-

bah 2/3 penjara. 4. 312 A

UULAJR

============ =========

=

(1) Jika terpidana tidak

membayar ganti ke-

rugian sebagaima-

na dimaksud Pasal

Page 22: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

23

23

310, 311 dan 312

paling lama dalam

waktu 1 (satu) bu-

lan sesudah putus-

an pengadilan yang

telah memperoleh

kekuatan hukum

tetap, maka harta

bendanya dapat

disita oleh jaksa

dan dilelang untuk

menutupi uang

ganti kerugian

tersebut.

(2) Dalam hal terpi-

dana tidak memiliki

harta yang mencu-

kupi untuk memba-

yar ganti kerugian

sebagaimana di-

maksud ayat (1)

maka dipidana de-

ngan pidana pen-

jara yang lamanya

tidak melebihi an-

caman maksimum

dari pidana pokok-

nya sesuai dengan

ketentuan undang-

undang ini.

5. 312 B

UULAJR

============ =========

=

Bahwa Pasal 310, 311

dan 312 adalah

kejahatan.

III. PENUTUP

Bertitik tolak dari uraian bab terdahulu, maka pada akhir penulisan

penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa simpulan dan saran- saran

sebagai berikut :

1. Simpulan

a. Kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas

diatur dalam Pasal 310, 311 dan 312 UU Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya jo Peraturan

Kapolri ( Perkap) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Page 23: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

24

24

b. Kelemahan - kelemahan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu

lintas saat ini yang mengacu UULAJR yaitu tidak ada pedoman

pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar baik kesengajaan

atau kelalaian, sulit untuk melacak pelaku dalam perkara tabrak

lari dan belum ada belum ada kwalifikasi yuridis; dalam

penegakan hukum banyak menggunakan Restorative Justice;

ada aparat penegak hukum dengan sumber daya manusia tidak

profesional, bermental buruk; serta partisipasi masyarakat yang

tidak tertib.

c. Rekontruksi kebijakan sanki pidana tindak pidana kecelakaan

lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila, meliputi :

1) kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas

dalam sistem peradilan pidana dengan merekontruksi Pasal

310, 311 dan 312 UULAJR dengan mengganti sanksi

pidana denda menjadi ganti kerugian.

2) adanya nilai- nilai Pancasila dengan ide keseimbangan

antara pelaku dan korban sebagai wujud kepastian hukum,

manfaat dan keadilan dengan memberikan perlindungan

kepada korban.

2. Implikasi Kajian

Berdasarkan penelitian tersebut diatas, maka dihasilkan

implikasi teoritis dan implikasi praktis :

a. Implikasi Teoritis

Terjadi pergeseran kebijakan sanksi pidana kecelakaan

lalu lintas yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban

secara berimbang dengan saksi pidana denda diganti ganti

kerugian.

b. Implikasi Praktis

1) Perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan

antara KUHP dan UULAJR yang menyangkut masalah

sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan

memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat dalam

menyelesaikan kebijakan sanksi pidana tindak pidana

kecelakaan lalu lintas.

2) Bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan

lalu lintas membutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari

semua pemangku kepentingan (stakeholders) dari tingkat

pusat sampai daerah, meliputi masyarakat dan penegak

hukum (Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas

Lembaga Pemasyarakatan) dalam upaya mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah UUD

Page 24: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

25

25

1945 dan kerangka Negara kesatuan Pancasila yang

berfalsafah Pancasila.

3) Bahwa ganti kerugian tidak diberikan kepada negara namun

diberikan kepada korban dalam perlindungan.

3. Saran-Saran

a. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu

mengamandemen Pasal 310, 311 dan 312 UULAJR mengenai

sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

b. Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai kebijakan

sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, mengenai pidana pokok

(penjara, kurungan, denda dan tutupan) dengan pidana tambahan

( ganti kerugian).

Page 25: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

26

26

SUMMARY OF DISSERTATION

RECONSTRUCTION OF CRIMINAL SANCTIONS FOR THE CRIMINAL

ACTIONS OF TRAFFIC ACCIDENTS BASED ON PANCASILA JUSTICE

VALUES

I. INTRODUCTION

1. Background

National Long-Term Development Plan 2005-2025, legal development is

directed at the realization of a solid national legal system based on the Pancasila

and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution), that

the development of national law is part of the development system including

development legal material, legal structure including legal apparatus, legal

facilities and infrastructure; the realization of a society that has a high awareness

and legal culture in the context of realizing a rule of law; and the creation of a just

and democratic society. The development of the national legal system needs to

pay attention to the legal values that live in society. Such attention is reasonable,

because the legal system currently in force in Indonesia, including the Criminal

Code / WvS, is based on social values that are liberal individual and certainly

differ from social values that are religious, monodualistic and collective.

Traffic Accidents that occur on the highway are criminal events because

in the Traffic Accident there is an element of crime as formulated in Law Number

22 Year 2009 concerning UULAJR dated June 22, 2009, then in the Traffic

Accident the perpetrators can be accounted for under Articles 310 to with Article

312 UULAJR. By looking at the process of handling traffic accidents that do not

provide a sense of justice and tend to law enforcement officials can abuse

authority in the context of handling traffic accidents, it is necessary to prevent

crime that must be carried out integrally or systematically.

Penalty theory traditionally can be divided into two groups, namely (1)

absolute theory or retributive / vergeldingtheorieen theory, according to this

theory criminal imposed solely because people have committed a crime or a crime

(quiapeccatumest). Criminal is an absolute consequence that must exist as a

retaliation to someone whocommit crime. So the basis of justification of the

Page 26: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

27

27

criminal lies in the existence or occurrence of the crime itself, (2) the theory of

relative or theory of purpose (utilitarian / doeltheorieen), according to this theory

the conviction is not to satisfy the absolute demands of justice. Vengeance itself

has no value, but only as a means to protect the interests of society. Criminal is

not just to retaliate or reward people who have committed a crime, but has certain

useful purposes. Therefore, even this theory is often called the goal theory

(Utilitarian theory). In its development the criminal objectives include joint theory

and contemporary theory as follows (3) joint theory, Vos explicitly states that in

addition to absolute theory and relative theory there is also a third group called

joint theory. Here there is a combination of retaliation and public order ".....

dederdegroep, de verenigingstheorieen. Hiervindt men eencombinatie van de

gedachten der vergelding en der bescherming van de maatschappelijkeorde). Still

according to Vos, in addition to the emphasis on retaliation, the purpose of the

nature of the retaliation is needed to protect legal order (..... men alsuitgangspunt

de vergeldingnemen en deze and beperken in die zin, datnietverder mag

wordengegaan and voor de handhaving der rechtsordenodig is). As an adherent of

the combined theory, Vos stated that the same emphasis on crime is retaliation

and community protection (... .. men kanalsuitgangspunt de vergeldingnemen en

dezedanbeperken in die zin, datnietverder mag wordengegaandanvoor de

handhaving der rechtsordenodig is). Thus, Vos gives the same weight between

vengeance and protection of society, (4) contemporary theory, in addition to

absolute theory, relative theory and combined theory as criminal objectives, in its

development there are new theories which the authors call contemporary theories.

When examined more deeply, in fact these contemporary theories are derived

from the three theories mentioned above with some modifications. Wayne R.

Lafave said that one of the criminal objectives is as a deterrence effect, so that the

perpetrators of crimes no longer repeat their actions. Likewise, criminal aims to

educate the public about which actions are good and which actions are bad. The

criminal purpose as a deterrence effect is essentially the same as the relative

theory related to special prevention.

Page 27: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

28

28

Renewal of criminal law as a whole must include renewal of material criminal law

(substantive criminal law), formal criminal law (criminal procedural law) and

criminal implementation law (strafvollstreckungesetz). The three areas of law

must be jointly renewed, if one of the fields is renewed while the other is not, then

there will be difficulties in its implementation and the purpose of the reform will

not be achieved entirely. The desire and effort to conduct studies / excavation of

living law (sourced from the values of religious law and traditional / customary

law) has often been expressed in various scientific forums. That desire shows

awareness, the need to explore legal norms that are rooted and rooted in cultural,

moral and religious values. The study or discussion of basic ideas or basic ideas is

very important because it builds or reforms the law (law reform) in particular the

penal reform is essentially building or renewing the basic ideas / concepts / ideas,

not just renewing or replacing the formulation article (law) textually. Based on

this, the authors are interested in conducting research with the title:

"Reconstruction Of Criminal Sanctions For The Criminal Actions Of Traffic

Accidents Based On Pancasila Justice Values".

2. Study Focus and Problems

Based on the description on the background of the problem above, the

problem formulation of the research is proposed as follows:

a. Why hasn't the criminal sanction policy for traffic accidents been

implemented fairly?

b. What are the current weaknesses in the witness policy of the crime of

traffic accidents?

c. How do you reconstruct the policy of criminal sanctions for traffic

accidents based on the values of Pancasilajustice ?.

3. Objectives

a. To uncover and analyze the criminal sanctions policy on traffic

accidents based on current positive law.

Page 28: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

29

29

b. To uncover and analyze the weaknesses of the current witness policy of

traffic accidents.

c. To find a policy of reconstructing criminal sanctions for traffic accidents

based on the values of Pancasila justice.

4. The Purpose of the Research

a. Theoretical, with this research, then:

1) Can build new theories about the policy of criminal sanctions for traffic

accidents based on the values of Pancasila justice.

2) It is expected to be a material for thought for law enforcement officials

in carrying out the policy of criminal sanctions for traffic accidents based

on the values of Pancasila justice.

b. Practically, this research is expected to be able to increase research

knowledge relating to the reconstruction of policies on criminal sanctions

for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.

5. Research Methods

a. Research Approach

This study uses sociological juridical methods with qualitative methods supported

by primary and secondary data. The use of a sociological juridical approach is

carried out because the study in this study is to look directly at the facts in the

field in relation to the law that lives in the community's role in resolving traffic

accidents. If you study the law in such reality, it must go beyond the limits of the

rule of law and observe practices and / or laws as practiced by people in society.

This approach is often called the empirical juridical approach.

b. Research Specifications

The research specification used is descriptive analysis, which is describing

applicable regulations (positive law) and then related to legal theories. Descriptive

means that this research is expected to be able to explain the picture of the

reconstruction of the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the

Page 29: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

30

30

values of Pancasila justice. Analytical means that the results of this study are

expected to be able to decipher the various data findings, both primary and

secondary, which are directly processed and analyzed with the aim of clarifying

the data in categories, compiling systematically and subsequently discussed or

logically examined.

c. Data Analysis Method

Techniques of data analysis of primary data, researchers used technical data

analysis types Strauss and J. Corbin, namely by analyzing data since researchers

were in the field (field). Furthermore, researchers conducted the preparation,

categorization of data in a pattern / theme. After the data has been validated,

researchers conduct qualitative inductive reconstruction and analysis to be able to

answer the problem. Data will be analyzed using an interactive model proposed by

Mattew B. Miles and A. Michael Huberman which includes 3 (three) activities,

namely data reduction, data presentation and drawing conclusions or verification.

d. Theoretical framework

In analyzing the three problems justice theory is used as the grand theory; Law

Enforcement and Alternative Dispute Resolution theories as middle theories and

progressive legal theories, victim protection, compensation and legal

harmonization as applied theories.

Law and justice are two things that cannot be separated. When talking about legal

issues, then clearly and vaguely, we will dive right up to the issue of justice. That

means the law is not in its context as a mere formal building, but rather as part of

the expression of the ideals of society.

II. RESEARCH RESULTS AND DISCUSSION

1. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on the Criminal Code

(WvS)

Page 30: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

31

31

There is still a dualism of legislation used in the enforcement of criminal

sanctions for traffic accidents namely the Criminal Code and UULAJR Article of

the Criminal Code used in the policy of criminal sanctions for traffic accident

accidents namely Article 338, 359, 360, 361.

Crimes in Article 338 of the Criminal Code are called "treason" or

"murder" (doodslag). Here an action is needed which results in the death of

another person, whereas the death was intentional, that is to say, included in his

intention. If his death is not intended, not included in this article, it may be

included in Article 359 of the Criminal Code (due to lack of caution, causing the

death of others), or Article 353 sub 3 of the Criminal Code of persecution planned

premeditated, resulting in death), or Article 354 sub 2 (severe persecution results

in death), or Article 355 sub 2 of the Criminal Code (severe persecution planned

in advance, results in death). Instead the murder must be carried out as soon as the

intention to kill it arises, not with much thought.

2. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on UULAJR

In UULAJR Article 310, 311 and 312 are used with criminal sanctions and

fines, whereas in this UULAJR there are compensation payments for road traffic

accident victims without any main or additional crimes, which are regulated in

Article 236 UULAJR Paragraph (1): " The party who caused the Traffic Accident

as referred to in Article 229 is obliged to compensate the loss in the amount

determined based on a court decision. "Furthermore, in Paragraph (2): the

obligation to compensate as referred to in Paragraph (1) on a Traffic Accident as

referred to in article 229 Paragraph (2) may be carried out outside the court if

there is a peace agreement between the parties involved.

In the existing provisions in the Criminal Code and UULAJR that are

currently in effect cannot support efforts to give attention to victims because the

types of sanctions that exist can directly provide protection to victims. The

absence of a criminal type that provides protection to the victim, especially in

relation to providing compensation to the victim, influences the judge in passing a

criminal decision in order to provide protection to the victim, especially in relation

Page 31: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

32

32

to the order to provide compensation. But so far the judge has never handed down

a conditional criminal verdict in connection with a traffic accident, because in

UULAJR the criminal sanctions for traffic accidents provided for in Articles 310

to 312 there are no criminal penalties for compensation.

3. Legal Comparison of Criminal Sanctions for Foreign Countries

In this dissertation, the researcher compares the Traffic Laws in various

countries that are related to the implementation of traffic accident sanction

policies, including the Netherlands, England, Portugal and Yugoslavia. And in

general these foreign countries use the Criminal Code (KUHP) which provides

protection for victims.

This is related to the operational policies carried out in the process of investigating

traffic accidents, the traffic accident investigators at the Traffic Units who conduct

the investigation process always prioritize the provision of compensation from

suspects to victims and their heirs. Although in the current UULAJR there is no

formulation of the objective of punishment, in the current development it has been

realized that the purpose of punishment is very important in relation to the

willingness of the victim to accept the wrongs committed by criminal offenders

and forgiveness is the main element of eliminating conflict by restoring balance

and bring a sense of peace in society.

These countries do not explicitly apply compensation sanctions, but the

obligation to pay a sum of money to the state for the benefit of victims,

which is then sent to victims without delay (Article 36f of the Dutch Penal

Code).

4. Judge's Decision Regarding Criminal Sanctions for Traffic Accidents

No. Case Chapter Putusan

1 AccidentkaLntas Metro Mini

TanjungPriok date. March 6, 1994, Tsk

MarojahanSilitonga, victim 32 MD, 13

338 KUHP PN North Jakarta, 15 TH

PRISONS

Page 32: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

33

33

LB

2 AccidentLantasTuguTani, date. 22 Jan

2012, Tsk AfrianiSusanti, victim 9 MD

311 Paragraph

(5) UULAJR

PN Jakarta Pusat, 29 Aug

2012, 15 TH PRISONS

3 AccidentJagorawi, on 2nd Jan 2013

Tsk Rashid AmrullahRajasa, victim 2

MD, 3 LB

311 Ayat (4)

UULAJR

East Jakarta District Court,

March 23, 2013, 5 months in

prison with a 6 month

government term and a 12

million fine

4 Accident Then MikroletTamansari,

date. Feb 23 2017, Tsk

HeryTomyChistian, victim 1 MD

310 Ayat (4)

UULAJR

PN West Jakarta, 14 Aug

2017, 2 TH PRISONS and

Fines Rp. 5M

5

AccidentLantas in KarangAnyar, date.

September 21, 2009, Tsk

LanjarSriyanto, victim 1 MD

(Saptaningsih)

359 and 360

Paragraph (2)

of the

Criminal Code

1. PN Karanganyar March 4,

2010 (free)

2. PT Jateng, imprisonment

for 1 (one) month for 7

days

6 AccidentLantas on the Cipularang Toll

on. 3 Sept 2011, Tsk SyaifulJamil, 1

MD Virginia Anggraeni victim

310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sep

2012, 5-Month Prison Term

with a Trial Period

7 Accident So in Kendal, date. March 25,

2015, Tsk Purwanto, 1 MD and 1 LR

victims

310 Paragraph

(1) and

Paragraph (4)

Kendal District Court, 15

Aug 2015, 25-day Prison

Term and 500 Rb Fine.

8 Then in Rembang, dated. June 20,

2017, Tsk Budi Santoso, Victim of 1

MD and 1 LB

310

Paragraphs

(1), (3) and (4)

UULAJR

PN Rembang, 24 Feb 2017,

Prison Sentence 1 Th 6th

Month

9 AccidentLantas in Surakarta, date. 22

Aug 2018, Tsk IwanAndranacus,

Victim 1 MD

311 Paragraph

(5) UULAJR

Surakarta State Court, 29

Jan 2019, Prison sentence 1

year.

Many cases of traffic accidents in the police are processed by investigation

(by the penalties) but more by non-penalties, especially in dealing with accidents

involving minor injuries or material losses. The researcher research results on

cases of traffic accidents and interviews with respondents to this study obtained

information on police traffic accident sanctions policies more settlement of traffic

Page 33: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

34

34

accidents, especially for victims of minor injuries and material losses completed

with restorative justice. This the researcher is aware of data from the settlement of

traffic accidents in the Central Java Regional Police and certain Police district in

the period of 5 (five) years 2013 to 2017.

Data of Accidents and Settlement of Traffic Lights

in the Regional Police of Central Java in 2013 - 2017

No Unity Number of

events

completion RJ Completion

Percentage SPP RJ

1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49

2 POLICE DISTRICT

KENDAL 1.988 404 1.584 79,67

3 POLICE DISTRICT

BREBES 3.007 278 2.729 90,75

4 POLICE DISTRICT

REMBANG 2.236 168 2.068 92,48

5 POLICE DISTRICT

MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79

Source: Processed from various data in Central Java Regional Police, Kendal

Regional Police, Bresbes Regional Police, Rembang Regional Police and

Magelang Regional Police Early in 2018.3

Based on the above table, it can be seen that the settlement of traffic

accident cases at Brebes, Kendal, Rembang and Magelang Regional Police

Offices, mostly leads to the restorative justice settlement, which is settlement

Traffic Accident Data in the past 5 years (2013-2017) with explanation

1. Number of Events, is explaining the number of traffic accident incidents in each of the police jurisdictions;

2. SPP Settlement, is the settlement of traffic accidents based on legal provisions (Criminal Justice System / KUHAP) in the form of investigation and

Case Files submitted to the Public Prosecutor (P-21) and or the investigation process / SP3 is terminated (insufficient evidence / does not meet

the elements / by law) and / or delegated to the side agency;

3. Settlement of RJ (Restorative Justice), is the settlement of traffic accidents based on requests from parties who have made peace because justice and

benefits have been achieved, the form of settlement based on Restorative Justice at the investigation level is not known as a formal juridical but

practically juridical has been carried out because of the requests of the the parties involved in the accident, so for legal certainty, the

administrative form of the settlement is the settlement of the violations that cause traffic accidents in the form of a traffic ticket (act of

subscribing), the process of a Fast Minutes (BAC) or a Short Minutes (BAS) and submitted by an agency other.

4. Percentage, is the number of percentages of traffic accident settlement through Restorative Justice.

Page 34: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

35

35

based on the request of the parties involved in traffic accidents that have settle in

harmony (peace) because each has found his justice. This can be seen from the

accident incidents which then occurred at Brebes Regional Police, the number of

events was 3,007, Restorative Justice 2,729 (90.75%); Kendal Regional Police

Precinct, 1,998, Restorative Justice 1,584 (79.67%); Rembang Police Precinct

2,236, Restorative Justice 2,068 (

Traffic Accident Data in the past 5 years (2013-2017) with explanation

1. Number of Events, is explaining the number of traffic accident incidents in

each of the police jurisdictions;

2. SPP Settlement, is the settlement of traffic accidents based on legal

provisions (Criminal Justice System / KUHAP) in the form of investigation

and Case Files submitted to the Public Prosecutor (P-21) and or the

investigation process / SP3 is terminated (insufficient evidence / does not

meet the elements / by law) and / or delegated to the side agency;

3. Settlement of RJ (Restorative Justice), is the settlement of traffic accidents

based on requests from parties who have made peace because justice and

benefits have been achieved, the form of settlement based on Restorative

Justice at the investigation level is not known as a formal juridical but

practically juridical has been carried out because of the requests of the parties

involved in the accident, so for legal certainty, the administrative form of the

settlement is the settlement of the violations that cause traffic accidents in the

form of a traffic ticket (act of subscribing), the process of a Fast Minutes

(BAC) or a Short Minutes (BAS) and submitted by an agency other.

4. Percentage is the number of percentages of traffic accident settlement

through Restorative Justice.

92.48%); Magelang Regional Police Precincts with 3393 incidents, Restorative

Justice 3,012 (88.79%), whereas for traffic accident settlement data in all Central

Java Regional Police (35 Police district) the number of incidents was 81,159,

Restorative Justice 72,673 (89.49%).

The settlement of the traffic accident case by Restorative Justice is not

only desired by the parties involved in the traffic accident as the result of

Page 35: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

36

36

interviews with community members as those who have been involved in traffic

accidents in the Kendal Police Precinct area or their families, where they prefer to

have their cases resolved. through Restorative Justice rather than undergoing a

trial in court, the reason is that the case is felt to be more effective, quick to finish

and more justice-felt

The opinions of these community members are similar and supported by

religious scholars / leaders. KH. Ali Nurudin who stated that if the perpetrators

and victims in a traffic accident had forgiven each other, then goodness had been

achieved between the two parties, then for the case there was no need to be tried

in court and finished, so too was the opinion of Kendal MasturSamlawi District

Parliament member from the P3 Faction stating that if the traffic accident has been

resolved based on the agreement of the parties, the social balance in the

community has been restored, therefore the case is no longer needed to go to

court, so Dr. Sudarmadji, SH, MH (Pemalang) states that peace between the

parties involved in traffic accidents has a very high philosophical value of justice,

even exceeds the value of justice born by the judge in its decision, so the case no

longer needs to be brought into the realm of a court hearing because

criminalization does not cause a deterrent effect, and according to RianSacipto,

SH, MH, a Lecturer at the Faculty of Law of the University of NgudiWaluyo

(UNG) Ungaran, if in the case of a traffic accident a settlement has been reached

by family (peace) then there is no need to proceed to the case court hearing, it is

based on the consideration of the criminal process that is the ultimumremedium

which is the ultimate weapon in the settlement of criminal cases, if other

mechanisms are still possible (for example consensus agreement) then the

intended mechanism can be implemented to resolve first because the settlement is

ebut provides good benefits for both parties, referring to Jeremy Bentham's

opinion that how to assess the good or bad of social, political and cultural policies

of law enforcement rests on three pillars, namely legal certainty, justice and

expediency, if aspects of legal certainty take precedence it will sacrifice aspects

justice, and vice versa, but if the benefit aspect is selected, the legal certainty

aspect and the justice aspect are automatically included in it, this is in line with

Page 36: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

37

37

SatjiptoRahardjo's Progressive Legal Theory which states that the law is for

humans not for themselves, if it happens the problem with the law then what is

defeated is the law, not its people, this is in the same breath as discretionthe police

force as referred to in Article 18 Paragraph (1) of Law Number 2 of 2002.

The problem of criminal law in Indonesia is growing along with the

rapid growth of society. These problems require the right solution to restore the

conditions as before the crime. However, people's understanding in Indonesia

identifies the resolution of legal problems with law enforcement officials, among

others, the police, prosecutors and judges. All three are part of the criminal justice

system. The settlement of criminal cases is pursued through the justice system

stipulated in the Criminal Procedure Code, which is the first thing to do is to make

a police report. Through this police report the victim hopes there is justice where

the perpetrators will be sentenced to criminal. However, the end of the justice

system is often not necessarily guarantee a sense of justice in society. The severity

of the verdict handed down by the judge against the defendant has not yet created

a balance and restored the social situation in the community. This means that the

policy of criminal sanctions for traffic accidents is not in accordance with the

values of Pancasila justice.

5. Weaknesses in Traffic Accident Crimes

Weaknesses of the current criminal sanctions in traffic accidents in the

form of legislation are overlapping laws and regulations in the enforcement of

criminal sanctions for traffic accidents namely the Criminal Code and the

UULAJR. Since UULAJR entered into force on June 22, 2009, which regulates

traffic and road transportation, including traffic accidents, criminal penalties

should not have used the Criminal Code because the Lex Specialist

derogatlexgeneralis principle applies.

As a result of overlapping regulations, both of which do not include

criminal sanctions for compensation, the weaknesses of the traffic accident

penalties at UULAJR are as follows:

Page 37: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

38

38

a. There are no criminal guidelines for unpaid penalties (whether

intentional or negligent).

b. It's hard to track down the culprit.

c. There are no juridical qualifications yet.

Besides that, the law enforcement problem is the practice of resolving

cases outside the court as long as there is no formal legal basis and only develops

in the practical dimension, so it is common for a case to have been carried out

informally as a peaceful settlement but still processed in court according to

positive law in force, so it is really very injure the sense of justice for the parties.

Restorative Justice as an alternative settlement of cases in the field of

criminal law shows that the difference between criminal and civil law is not so

great. In practice the Indonesian National Police has implemented restorative

justice for Traffic Accidents with material victimsor minor injuries, referring to

Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute

Resolution (ADR), which are described in:

a. Police Chief Letter No. Pol: B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS, dated

December 14, 2009 concerning Handling Cases through Alternative

Dispute Resolution (ADR),

b. The National Police Program on Community Policing as regulated in

Perkap Number 3 of 2015,

c. Priority Program Action Plan for 100 (one hundred) day National Police

Chief Drs. Tito Karnavian, M.A., Ph.D,

d. Perkap Number 15 of 2013 concerning Procedures for the Management

of Traffic Accidents, which is elaborated in the Chief of Police Telegram

Letter Number: ST / 2981 / XII / 2017 dated December 19, 2017, is only

used on Medium and Minor Traffic Accidents.

However, in practice the National Police are still settling cases of serious

traffic injuries and death as regulated in Article 229 Paragraph (4) UULAJR is

settled by ADR, this is easier to settle cases than investigation (SPP) because there

are still alternating cases.

Page 38: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

39

39

6. Reconstruction of the Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on

Pancasila Values

A. Criminal Sanction Policy for Traffic Accidents in the Criminal Justice System

Functionally the criminal justice system will involve at least 4 (four) interrelated

factors, namely:

1) Reconstruction of Legislation

In reconstructing legislation regulations, it is necessary to harmonize the

law. Harmonization of law as a process in the formation of laws and regulations

addressing conflicting and irregularities between the legal norms in the laws and

regulations, so that national harmonious regulations are formed in the sense of

harmony, harmony, balance, integration and integration consistent and obeying

principles.

The laws and regulations, especially the overlapping regulationsis the

Criminal Code and the UULAJR. The systemic step of harmonizing national law

is based on the paradigm of Pancasila and the 1945 Constitution which gave birth

to a state administrative system with two fundamental principles, namely the

principle of democracy and the principle of the rule of law, which is idealized to

create a national legal system with three components, namely legal substance,

legal structure and its institutional and legal culture.

2) Law Enforcement Reconstruction Policy Because of the limitations of

penalties, in combating crime (criminal politics) two policies should be utilized,

namely, a penal policy using criminal sanctions (including criminal law politics)

and a non-penal policy. Crime prevention by using criminal law enforcement is

still needed through a policy-oriented approach. Therefore the use of criminal law

as a means of overcoming crime is also a policy that is often referred to as

criminal law policy. Legal policy or politics means that people conduct judgments

and make judgments from the many alternatives encountered, while carrying out

criminal law politics means holding elections to achieve the best results of

criminal law in the sense of fulfilling the requirements of justice and

effectiveness. Referring to the theory of Lawrence M. Friedman in terms of law

Page 39: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

40

40

enforcement based on legal structure, legal substance and legal culture. This is

done if the penal policy using criminal sanctions does not have a solution. On the

other hand, law enforcement is a process to make legal wishes come true.

3) Reconstruction of Law Enforcement Officers

Law enforcement officers in upholding the law are inseparable from the

factors that influence it, it is important because in upholding the law, a Police,

Prosecutor, Judge and Advocate directly confronts the community, so that in

enforcing the law sometimes law enforcement officials have problems or positive

impacts and negative in upholding a positive norm in society.

According to SoerjonoSoekanto, the main problem of law enforcement

actually lies in the factors that influence it.4 These factors have a neutral meaning

so that the positive or negative impact lies in the contents of these factors,

including:

a. The legal factor itself (for example the Act).

b. Factors of facilities or facilities that support law enforcement.

d. Community factors, namely the environment in which the law applies or is

applied.

e. Cultural factors, namely as a result of work, creativity and taste based on

human initiative in the association of life.

Moh.Hatta, Welcoming Responsive Law Enforcement; Integrated Judicial

System (In Conception and Implementation) Capita Selekta.Galang Press,

Yogyakarta, 2008, p. 52.

Legal desires are the thoughts of the legislature which are formulated in

legal regulations. The formulation of the mind of lawmakers as outlined in the

rule of law will also determine how law enforcement is carried out, where the law

enforcement process will culminate in its implementation by law enforcement

officials.

4Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem PeradilanTerpadu

(Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 52

Page 40: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

41

41

4) Reconstruction of Community Participation Policy

As has been stated in the description above that besides law enforcement

officers who play an important role in law enforcement are the role of the

community where law enforcement or as social control. The community must be

aware that the process of law enforcement is not only the duty of law enforcement

officers, but also the duty of the community also in tackling, dealing with all

forms of efforts to harm the community.

If this is realized, namely between the community and law enforcement

officers helping each other in the process of law enforcement, then we believe that

in the long run criminal activities that occur, especially traffic accidents will be

reduced. In this case the National Police implemented Perkap Number 3 of 2015

concerning Community Policing.

A. Reconstruction of the Traffic Accident Sanctions Policy Based on the

Pancasila Justice Values

In another part, in relation to the function of law and legal institutions in

society, SatjiptoRahardjo stated that: Study of law from the perspective of legal

and community studies, always wants to emphasize what functions are actually

carried out by the law or legal institutions in society. The affirmation of this

function is not only seen in terms of the legal provisions that govern it, but also

from what is determined by the people themselves about it.

The law is a mechanism that integrates forces and processes in society,

thus the court must be the institution that becomes the main supporter of the

mechanism, because in this institution the disputes contained in the community

will be resolved, so as not to develop into contradictions which endanger the

security and public order.

To get a policy of criminal sanctions for traffic accidents, based on a sense of

justice, humanity, wider impact, public interest, education learning and reflection

of moral ethics, it is necessary to reconstruct Article 310, 311 and 312 UULAJR

Page 41: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

42

42

which constitutes a Traffic Accident Criminal Sanction system for the formulation

of alternative criminal sanctions as follows:

Reconstruction of Laws and Regulations

No. Article Before reconstruction Weakness After Reconstruction

1. 310

UULAJR

Any person who drives a

motorized vehicle who,

due to his negligence,

caused a Traffic

Accident by:

(1) Damage to the

vehicle and / or goods,

shall be sentenced to a

maximum imprisonment

of 6 (six) months and /

or a maximum fine of

Rp. 1,000. 000, - (one

million rupiah).

(2) Casualties and

injuries to vehicles and /

or goods, shall be

sentenced to a maximum

imprisonment of 1 (one)

year and / or a maximum

fine of Rp. 2,000 000,

(two million rupiah).

(3) Victims of serious

injuries, shall be

convicted of

imprisonment for a

maximum of 5 (five)

years and / or a

1. There are no

guidelines for

funding if the

fine is not paid,

2. There is no

juridical

qualification.

Any person who drives a

motorized vehicle which

due to negligence results in

Traffic Accidents by:

(1) Damage to the vehicle

and / or goods, shall be

liable to a criminal

compensation of no more

than Rp.10,000. 000, - (ten

million rupees) and / or

imprisonment for a

maximum of 6 (six)

months

(2) Victims of minor

injuries and damage to

vehicles and / or goods,

shall be funded with

compensation at most

Rp.50. 000. 000, - (fifty

million rupiah) and / or

imprisonment for a

maximum of 1 (one) year

(3) Victims of serious

injuries, shall be

sentenced to a

maximum

compensation of Rp.

Page 42: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

43

43

maximum fine of

Rp.10,000. 000, -

(ten million rupiah),

in the event that the

accident results in

another person being

sentenced to a

maximum

imprisonment of 6

(six) years and / or a

maximum fine of

Rp.12. 000. 000, -

(twelve million

rupiah).

150,000,000 (one

hundred fifty million

rupiah), and / or

imprisonment for a

maximum of 5 (five)

years, in the event that

the accident results in

another person being

killed in the world

with a maximum

compensation of Rp.

500,000,000 (five

hundred million

rupiah) and / or

imprisonment for a

maximum of 6 (six)

years.

2 311

UULAJR

1) Any person who

intentionally drives a

Motorized Vehicle in a

way or condition that

is dangerous to life or

goods is sentenced to a

maximum

imprisonment of 1

(one) year or a

maximum fine of Rp

3,000. 000, - (three

million rupiah).

(2) In the case of man-

made as referred to in

paragraph (1) resulting

in a Traffic Accident

with damage to the

Vehicle and / or goods

as referred to in

Article 229 paragraph

. There are no

funding

guidelines if

fines are not

paid,

2. There is no

juridical

qualification.

(1) Any person who

intentionally drives a

Motorized Vehicle in a

way or condition that is

dangerous to the person

or goods is criminalized

with compensation in

the maximum amount of

Rp 10,000. 000, - (ten

million rupiah). Or jail

for a maximum of 1

(one) year.

(2) In the case of acts

referred to in paragraph

(1) resulting in Traffic

Accidents with damage

to Vehicles and / or

goods as referred to in

Article 229 paragraph

(2), the perpetrators

Page 43: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

44

44

(2), the offender is

sentenced to a

maximum

imprisonment of 2

(two) years or a

maximum fine of Rp

4,000. 000, - (four

million rupiah).

(3) In the case of man-

made as referred to in

paragraph (1) resulting

in a Traffic Accident

with minor injuries

and damage to

Vehicles and / or

goods as referred to in

Article 229 paragraph

(3), the offender shall

be liable to a criminal

long prison term of 4

(four years) or a

maximum fine of Rp.

8,000,000 (eight

million rupiah).

(4) In the case of man-

made as referred to in

paragraph (1) resulting

in a Traffic Accident

with severe injuries as

referred to in Article

229 paragraph (4), the

perpetrator shall be

liable to a maximum

prison sentence of 10 (

ten) years or a

maximum fine of Rp.

20,000,000 (twenty

shall be convicted with

the most maximum

criminal compensation

IDR 50,000 000, - (five

million rupiahs) or a

maximum of 2 (two)

years in prison.

(3) In the case of acts

referred to in paragraph

(1) resulting in Traffic

Accidents with minor

injuries and damage to

Vehicles and / or goods

as referred to in Article

229 paragraph (3), the

offender is sentenced

with a maximum

compensation of Rp

150,000. 000, - (one

hundred and five million

rupiah) or a maximum

of 4 (four) years in

prison.

(4) In the case of acts as

referred to in paragraph

(1) resulting in Traffic

Accidents with serious

injuries as referred to in

Article 229 paragraph

(4), the offender shall be

liable to a criminal

compensation of at most

Rp.500. 000. 000, - (five

hundred million rupiah)

or a maximum of 10

years imprisonment.

(5) In the case of an act as

Page 44: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

45

45

million rupiah).

(5) In the case of

manpower as referred

to in paragraph (4)

results in another

person dying, the

offender shall be

sentenced to a

maximum of 12

(twelve) years

imprisonment or the

maximum fine Rp.

24,000. 000, (two

thousand and four

million rupiah).

meant in paragraph (4)

results in another person

leaving the world, the

perpetrator shall be

liable to a compensation

fund of no more than

Rp. 2,000,000,000

(duamilyard rupiah) or a

maximum of 12 (two)

years in prison. twelve)

years.

3. 312

UULAJR

Any person who drives a

motorized vehicle

involved in a Traffic

Accident and

intentionally does not

stop the vehicle, does not

provide assistance or

does not report Traffic

Accidents to the nearest

National Police of the

Republic of Indonesia

without proper grounds

convicted with the most

imprisonment in prison 3

(three) years or a

maximum fine of Rp.

75,000,000 (seventy-five

million rupiah) ".

1. It's hard to

track down the

perpetrator,

2. There is no

juridical

qualification

(2) (1) Any person who

drives a motorized

vehicle involved in a

Traffic Accident and

deliberately does not

stop his vehicle, does

not provide assistance

or does not report a

Traffic Accident to the

nearest National

Police of the Republic

of Indonesia without

proper reason

imprisoned by -

Criminal

compensation at most

is Rp. 500,000. 000, -

(five hundred million

rupiah) "or a

maximum of 3 (three)

years imprisonment

plus 2/3 prisons.

Page 45: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

46

46

4. 312 A

UULAJR

============ ========== (3) 1) If the convict does

not pay compensation

as referred to in

Articles 310, 311 and

312 no later than 1

(one) month after the

court's decision which

has obtained

permanent legal

force, then his

property can be

confiscated by

prosecutors and

auctioned off to cover

the compensation

money.

(4) (2) In the event that

the fund does not

have sufficient assets

to pay compensation

as meant in

paragraph (1), the

criminal shall be

sentenced to a prison

sentence whose

duration does not

exceed the maximum

threat from the

principal crime.

according to the

provisions of this law.

5. 312 B

UULAJR

============ ========== Whereas Articles 310, 311

and 312 are crimes.

III. CONCLUSION

Page 46: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

47

47

Starting from the description of the previous chapter, at the end of this

research, several conclusions and suggestions can be made as follows:

1. Conclusions

a. The criminal sanctions policy for traffic accidents is regulated in Articles

310, 311 and 312 of Law Number 22 Year 2009 concerning Traffic and

Road Transportation in conjunction with the Police Chief Regulation

(Perkap) Number 15 of 2013 concerning Procedures for Handling Traffic

Accidents.

b. Weaknesses - the weaknesses of the current traffic accidents penalties

policy that refers to UULAJR are that there are no penalties guidelines for

fines that are not paid either intentional or negligently, it is difficult to

track the perpetrators in a hit-and-run case and there is no juridical

qualification yet; in law enforcement many use Restorative Justice; there

are law enforcement officers with unprofessional, poor mentality; and

disorderly community participation.

c. Reconstruction of sanctions for traffic accidents based on Pancasila justice

values, including:

1) the policy of criminal sanctions for traffic accidents in the criminal justice

system by reconstructing Articles 310, 311 and 312 UULAJR by replacing

criminal penalties into compensation.

2) the values of Pancasila with the idea of a balance between perpetrators and

victims as a form of legal certainty, benefits and justice by providing

protection to victims.

2. Implications of the Study

Based on the above research, theoretical and practical implications are generated:

a. Theoretical Implications

There was a shift in the policy of traffic accident sanctions that protected the

community, perpetrators and victims equally with criminal witnesses for fines and

compensation.

Page 47: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

48

48

b. Practical Implications

1) The need for harmonization of laws and regulations between the Criminal Code

and UULAJR concerning the issue of criminal sanctions for traffic accidents with

due regard to the law that lives in the community in completing the traffic

sanction criminal sanctions policy.

2) That the policy of criminal sanctions for traffic accidents requires a thorough

understanding of all stakeholders from the central to regional levels, including the

community and law enforcement (Police, Prosecutors, Judges, Lawyers and

Penitentiary Officers) in an effort to realize the community just and prosperous

according to the mandate of the Constitution1945 and the Pancasila unitary state

framework that embraces Pancasila.

3) That compensation is not given to the state but given to victims in protection.

3. Suggestions

a. The Government and the House of Representatives (DPR) need to amend

Article 310, 311 and 312 UULAJR regarding criminal sanctions for traffic

accidents.

b. It is expected that further research on the policy of sanctions for traffic accident

accidents, regarding basic crimes (imprisonment, confinement, fines and cover)

with additional penalties (compensation).

Page 48: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

49

49

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke

hadlirat Allah SWT atas rakhmat, taufik, hidayah dan innayah-Nya, sehingga

penulisan Disertasi dengan judul ” Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana

Tindak Pidana Kecelakaan Lintas Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Keadilan

Pancasila” telah dapat diselesaikan guna memenuhi sebagaian persyaratan

mencapai derajat doktor pada program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas

Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Shalawat dan salam tercurah pada baginda Rosulullah Muhamas SAW

teladan umat sepanjang masa yang kelak dinantikan syafaatnya di hari akhir.

Atas selesainya penulisan Disertasi ini, sebagai ungkapan rasa syukur yang

tak terhingga dari penulis, pada kesempatan ini kami haturkan banyak

terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang,

Ir. H. Prabowo Setyawan, Ph.D., beserta seluruh dosen dan staf yang telah

memberikan bantuan berupa kesempatan / waktu, sarana dan prasarana

kepada penulis untuk menimba ilmu Program Doktor (S3) Ilmu Hukum

(PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang, Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt, M.Hum., beserta staf

pengajar dan staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan dan

kemudahan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Doktor

Page 49: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

50

50

(S3) Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang.

3. Dr. Hj. Anis Masdurohatun,S.H.,M.Hum., selaku Ketua Program S3 yang,

yang dengan semangat, senyum, kedalaman ilmunya, kebesaran jiwanya

telah memberikan kesempatan dan sekaligus membimbing serta mendorong

penulis dalam menempuh pendidikan sekaligus menyusun Disertasi ini.

4. Prof. Dr. Eko Soponyono,S.H.,M.H., selaku Promotor, yang dengan

kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya dan

kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap analisa

pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Disertasi ini pada

akhirnya selesai disusun.

5. Dr. Drs. Munsharif Abdul Halim, S.H., M.H., selaku Co-Promotor, yang

dengan kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya dan

kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap analisa

pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Disertasi ini pada

akhirnya selesai disusun.

6. Gubernur Akademi Kepolisian Irjen Pol Dr. H. Rycho Amelza Dahniel,

M.Si., yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis

untuk menempuh pendidikan di Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH)

Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

7. Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol. Drs.Condro Kirono, M.M., M.Hum.,

Dirlantas Kombes Pol. Dr. Bakharuddin, M.S.,M.Si., beserta staf dan jajaran

Polres terkait (Kendal, Brebes, Rembang dan Magelang) yang telah

Page 50: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

51

51

memberikan ijin tempat penelitian, wawancara dan pemberian data

penelitian;

8. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Sultan Agung Semarang

yang dengan semangat kebersamaannya telah membantu penulis dalam

mengikuti perkuliahan dan menyusun Disertasi ini.

9. Kedua orang tua penulis Bapak Ajun inspektur Satu Polisi (P) Almarhum

Soebiat dan Ibu Almarhumah Isrokhayah, yang telah membesarkan,

mendidik dan memberikan contoh sekaligus mengajariku untuk selalu tegar

dan tabah dalam memaknai setiap kehidupan, serta Almarhumah Hj.

Ekowaty Oktavia,S.H., dengan perjuangannya memberi semangat penulis,

mendampingi hingga beliau wafat (2011) dan membesarkan anak- anak.

10. Istri tersayang, Wuryanti, MPd yang dengan penuh ketulusan kasih,

kesabaran, pengertian dan pengorbanan yang sangat besar baik terhadap

waktu dan segala hal telah mendampingi serta selalu berdo’a kepada Allah

SWT untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi Program

Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Unissula Semarang, ditambah dengan

keberadaan anak-anak yang menjadikan kebanggaan tersendiri bagi penulis,

Bripka Rina Kurniawaty, S.H., mas Rian Sacipoto,S.H., M.H , menantu

Bripka Dul Rohman, S.H., dan mbak Aprillia Herdhiyani, S.Stp, M.Si., serta

cucu Kanesha Najia Rahman dan Keandra Satya, yang telah memberi

kobaran api semangat yang luar biasa besarnya di ujung pengabdian penulis

sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 51: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

52

52

11. Teman-teman seprofesi di bidang kepolisian, teman-teman Angkatan X

Tahun 2017 di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula Semarang

dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu telah

membantu penulis dalam pengumpulan data, dalam berdiskusi dan dalam

penyelesaian Disertasi ini.

Dengan iringan do’a semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan rachmat

dan sekaligus balasan yang setimpal dari Allah SWT baik di dunia maupun di

akherat, Aamiin.

Penulis sadar bahwa Disertasi ini adalah masih jauh dari harapan, oleh

karenanya kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca yang

budiman, baik dari kalangan dosen, mahasiswa, praktisi hukum terutama dari

rekan sejawat di Kepolisian Negara Republik Indonesia, politisi maupun

pemerhati persoalan hukum serta pihak lain sangat penulis harapkan, semoga hasil

penulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.

Semarang, Juli 2019

Penulis,

Ciptono

Page 52: REKONSTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA

53

53