refrat multipel sklerosis

39
Referat Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam MULTIPEL SKLEROSIS Oleh : Tiara Bunga Indiarsih, S.Ked 04108705008 Pembimbing : Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR MOH HOESIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 1

Upload: tiara-bunga-indiarsih

Post on 14-Feb-2015

152 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Multiple Sclerosis

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Multipel Sklerosis

Referat Kepaniteraan Klinik SeniorBagian Ilmu Penyakit Dalam

MULTIPEL SKLEROSIS

Oleh :

Tiara Bunga Indiarsih, S.Ked

04108705008

Pembimbing :

Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR MOH HOESIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

2012

1

Page 2: Refrat Multipel Sklerosis

HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Multipel Sklerosis

oleh:

Tiara Bunga Indiarsih, S. Ked (NIM: 04108705008)

Pembimbing :

Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Ujian

Kepaniteraan Klinik Senior periode 16 April – 25 Juni 2012 di Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah Sakit

Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Juni 2012

2

Pembimbing

Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM

Page 3: Refrat Multipel Sklerosis

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan karunia dan rahmat-Nya serta kesehatan dan kesempatan sehingga

penulis dapat menyelesaikan referat sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH,

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Seiring dengan selesainya penulisan referat yang berjudul “Multipel

Sklerosis” ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada Dr.

Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM selaku pembimbing referat atas waktu,

bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.

Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi tercapainya

hasil yang lebih baik dan membawa manfaat bagi semua.

Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat serta dapat dijadikan

pertimbangan dan sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan

Palembang, Juni 2012

Penulis

3

Page 4: Refrat Multipel Sklerosis

DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................3

I. Sejarah......................................................................................................

....3

II. Etiologi.....................................................................................................

....4

III. Patogenesis...............................................................................................

....5

IV. Manifestasi

Klinis........................................................................................6

V. Gambaran

Patologi.......................................................................................9

BAB III...................................................................................................................11

1. Kriteria Diagnostik.....................................................................................11

2. Diagnosis....................................................................................................13

3. Penatalaksanaan.........................................................................................16

BAB IV..................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

4

Page 5: Refrat Multipel Sklerosis

BAB I

PENDAHULUAN

Multipel Sklerosis (MS) adalah penyakit peradangan kronis pada sistem

saraf pusat (SSP) yang terkait dengan imun. Hal ini ditandai secara patologi

dengan adanya infiltrat perivaskular sel radang mononuklear, demielinasi dan

hilangnya aksonal, dengan pembentukan plak pada otak dan sumsum tulang

belakang, dan secara klinis oleh berbagai tanda dan gejala neurologis didiseminasi

sesuai ruang dan waktu.

Multiple sklerosis termasuk penyakit-penyakit demielinisasi. Di dalam

susunan saraf sentral terjadi daerah-daerah yang mengalami demielinisasi. Gejala-

gejalanya hilang timbul dalam serangan-serangan dan tiap serangan meninggalkan

cacat. Gejala-gejala neurologis tergantung dari bagian yang mengalami kerusakan.

Karena keadaan alergi juga dapat menimbulkan demielinisasi dalam susunan saraf

sentral, (vaksinasi terhadap cacar, pengobatan anti-rabies), orang menduga bahwa

multipel sklerosis merupakan penyakit auto-immun.1

Epidemiologi

Selain karena gambaran klinisnya yang khas, saat ini di Eropa Utara

multiple sklerosis merupakan penyakit neurologik yang paling sering ditemukan.

Prevalensinya yaitu jumlah kasus yang serentak ditemukan dalam populasi, paling

tinggi di Eropa Utara dan Tengah, termasuk Swiss, Rusia Soviet, Kanada, dan

Amerika Serikat bagian utara, Selandia Baru, dan bagian barat daya Australia. Di

antara populasi multirasial, orang kulit putih memiliki resiko yang paling tinggi.

Kasus ini sedikit lebih banyak menyerang wanita dibandingkan dengan

pria, usia rata-rata penderita penyakit ini adalah 30 tahun, dengan batas anatara 18

– 40 tahun. Lebih sering dijumpai pada daerah yang beriklim sedang (Eropa Utara

dan Amerika Utara), dengan insiden kurang lebih 10 per 10.000 penduduk.

Penyakit ini jarang ditemukan di daerah tropis.2

5

Page 6: Refrat Multipel Sklerosis

Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasi

terakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit

bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubungan antara

HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan

suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu.3

6

Page 7: Refrat Multipel Sklerosis

BAB II

II.1 Sejarah

Jean Martin Charcot dari Rumah Sakit la Salpe'triere Paris dikreditkan

sebagai yang pertama memberikan deskripsi jelas dan rinci dari penyakit sebagai

yang definisi terpisah dan kesatuan. Dalam serangkaian artikel asli diterbitkan

pada tahun 1868 pada ''La sclerose en plaques,'' dan kemudian pada kuliah dan

presentasi klinis4, ia membuat hubungan yang pasti antara gejala penyakit

terhadap perubahan patologi, sel inflamasi, hilangnya mielin, proliferasi glial dan

serat inti, dan kerusakan aksonal, di samping fitur klinis, termasuk fungsi kognitif.

Pengamatannya juga mengawali untuk pengembangan kriteria diagnostik pertama

untuk Multipel Sklerosis, yaitu Trias Charcot (nistagmus, ataksia dan disarthria).

Meskipun bukanlah orang pertama yang mengenali penyakit ini, kontribusi

Charcot yang besar adalah dalam mendefinisikan dan membingkai Multipel

Sklerosis dengan cara yang jelas dan terorganisir, dengan menggunakan

pendekatan medis modern. Pada tahun 1884, Pierre Marie, murid Charcot, dan

penggantinya sebagai Ketua Neurologi di Rumah Sakit Salpetriere, memikirkan

etiologi infeksi untuk Multipel Sklerosis, yang masih dianggap paling mungkin.

Kemampuan untuk menginduksi penyakit autoimun seperti Multipel

Sklerosis pada mamalia dengan imunisasi menggunakan antigen mielin atau

mielin dari Sistem Saraf Pusat [experimental autoimmune encephalomyelitis

(EAE)] (acute disseminated encephalomyelitis, EAE), pertama kali dijelaskan

pada 1933, mendeteksi proporsi peningkatan gamma globulin dalam cairan

serebrospinal pasien Multipel Sklerosis menggunakan elektroforesis pada tahun

1940, dan beberapa studi epidemiologi besar dan studi kembar, menyebabkan

hipotesis bahwa Multipel Sklerosis melibatkan respon autoimun terhadap self-

antigen pada individu yang rentan secara genetik, yang disebabkan oleh

lingkungan-agen infeksius yang belum diketahui. Pengenalan keberhasilan

kortikosteroid ACTH untuk pengobatan kekambuhan Multipel Sklerosis pada

tahun 1960, dan awal pengobatan jangka panjang dengan obat imunosupresif pada

tahun 1970 menambah dukungan teori mediasi imun pada Multipel Sklerosis.

7

Page 8: Refrat Multipel Sklerosis

Penerapan MRI selama 25 tahun terakhir secara dramatis meningkatkan

kemampuan kita untuk memvisualisasikan lesi Multipel Sklerosis di otak dan

sumsum tulang belakang, dan pengenalan secara berkelanjutan mengenai teknik

non-konvensional MRI sekarang memungkinkan untuk pengukuran yang lebih

akurat terhadap hilangnya aksonal, atrofi atau apa yang disebut ''penampakan-

normal'' jaringan otak.

Interferon-β-1b, yang merupakan pengobatan pencegahan pertama yang

efektif untuk Multipel Sklerosis, telah diperkenalkan pada tahun 1993,

menandakan banyak jalan yang menjanjikan sebagai agen modifikasi penyakit

saat ini dan di masa depan.

II.2 Etiologi

Penyebab Multipel Sklerosis adalah suatu proses autoimmun yang

menyerang myelin dan pembentukan sel myelin pada otak dan medula spinalis,

akan tetapi pada Multipel Sklerosis sebenarnya bukan suatu proses autoimmun

murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang abnormal. Kausa MS

terdiri dari:

a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia

b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga

menyebabkan pelepasan sitokin

c. Defek pada oligodendroglia

d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag, sintesa

prostaglandin

e. Genetika : penurunan kontrol respon immun

f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress

8

Page 9: Refrat Multipel Sklerosis

II.3 Patogenesis

Multipel Sklerosis diyakini terutama dimediasi (namun tidak eksklusif)

oleh autoreaktif sel Th1 secara auto-antigen yang diaktifkan di perifer oleh

mekanisme yang belum dikenalkan (pilihan termasuk mimikri molekuler dengan

faktor peptida lingkungan menular; super-antigens; kerusakan toleransi imunologi

oleh mekanisme lain, dll). Sel-sel T aktif berploriferasi, mengekspresikan

berbagai reseptor dan molekul adhesi, mensekresi mediator proinflamasi dan

metaloproteinase, mengaktifkan blood-brain barrier (BBB) dan berinteraksi

untuk masuk ke dalam otak, dimana mereka mengalami reaktivasi oleh

autoantigen lokal yang dihadirkan oleh molekul MHC kelas II diekspresikan pada

mikroglia aktif, astrosit dan makrofag. Ini memulai reaksi inflamasi lokal di mana

sitokin, kemokin dan mediator lain disekresikan oleh sel-sel aktif, menarik dan

mengaktifkan komponen lainnya dari sistem kekebalan tubuh (makrofag, sel T

sitotoksik, sel B, astrosit dan komplemen) dan menyebabkan serangan terpadu

pada mielin, akson dan glia, yang dimediasi oleh sel sitotoksik dan sitokin,

fagositosis, protease, antibodi antimyelin, komplemen, glutamat, NO dan

intermediet oksigen reaktif lain. Hasil berupa edema, demielinasi, transeksi

aksonal, kehilangan oligodendrocytes dan aktivasi astrosit berkontribusi terhadap

disfungsi neurologis, untuk pembentukan plak akut diikuti kemudian oleh bekas

luka gliotic dan hilangnya volume otak. Proses lain seperti apoptosis, pergeseran

Th1 ke Th2, pelepasan faktor pertumbuhan dan sitokin oleh glia aktif, dan

perubahan lingkungan sitokin yang berkontribusi terhadap regulasi dan resolusi

dari respon inflamasi lokal. Hal ini memungkinkan pelepasan blok konduksi,

reorganisasi jalur fungsional pada tingkat selular dan tingkat sistem, remielinasi

dan beberapa aktivitas regeneratif, dan sinyal pemulihan fungsional. Mekanisme

restoratif ini hanya efektif sebagian dan hanya untuk sementara, seperti akumulasi

hilangnya aksonal ireversibel dari waktu ke waktu secara signifikan, reaktivitas

astrosit menyegel lesi, dan gliosis menyebabkan penghalang fisik untuk

remielinasi lebih lanjut, mengurangi kapasitas untuk mengakomodasi defisit

kumulatif, dan menandai transisi ke tahap defisit persisten. Kehilangan dukungan

9

Page 10: Refrat Multipel Sklerosis

trofik dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan

peningkatan defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari

penyakit5.

II.4 Manifestasi Klinis

Multipel Sklerosis terutama mempengaruhi kaum muda dengan onset

biasanya pada usia 20-40 tahun dan dua sampai tiga kali lebih umum pada wanita.

Onset penyakit ini dapat berupa relapsing-remiting (RR-MS, 85%) atau primary

progressive (PP-MS, 15%) (Gambar 73.1). Gejala kambuh (serangan) biasanya

berkembang dalam waktu jam untuk sampai hari, menetap selama beberapa hari

sampai minggu dan kemudian secara bertahap mereda. Presentasi klinis tipikal

PP-MS biasanya dari myelopathy progresif lambat, terlihat lebih banyak pada pria

berusia> 40 tahun. Gejala umum onset penyakit dirangkum dalam Tabel 73.26.

Seiring waktu, semakin banyak pasien RR-MS (sekitar 50% setelah 10 tahun)

berkonversi ke fase secondary progressive penyakit (SP-MS), di mana

kekambuhan baik berhenti ataupun berkurang jumlahnya, dan kecacatan secara

bertahap terakumulasi bahkan di antara kekambuhan. Sebuah sub-kelompok

pasien (5-7%) mengalami fase kekambuhan progresif, yang ditandai dengan fase

kronis progresif sejak awal, dengan kekambuhan superimposed7. Tingkat

keparahan gejala, kekambuhan dan progresifitas disabilitas sangat bervariasi di

antara pasien, dan 15-20% dari pasien mengalami ''Multipel Sklerosis jinak''

[ditentukan secara retrospektif sebagai tidak memiliki disabilitas atau memiliki

tingkat disabilitas rendah dan mempertahankan fungsi penuh dalam semua sistem

15 tahun setelah onset penyakit].

10

Page 11: Refrat Multipel Sklerosis

Table 73.2 Initial symptoms of Multiple Sclerosis

Prevalence (%)

Sensory symptoms

Weakness in one or more limbs

Visual loss

Diplopia

Altered balance and gait

Vertigo

Bladder and bowel symptoms

35-40

25-40

17-29

12

18

5

5

Berbagai gejala kronis dapat mempengaruhi pasien Multipel Sklerosis

selama penyakit kronis mereka sedang berlangsung, yang berdampak pada sosial,

keluarga, pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal ini termasuk gangguan visual

(karena neuritis optik atau diplopia), kelelahan (pada lebih dari 90% pasien),

kekakuan atau ataksia yang terkait dengan masalah gait, tremor, gejala

paroksismal (kejang, spasme tonik, trigeminal neuralgia, paresthesia /

dysesthesia), penurunan kognitif (dalam 50-75%, terutama dalam domain memori,

perhatian, konsentrasi, kecepatan pemrosesan informasi, fungsi eksekutif dan

orientasi visuo-spasial), depresi dan gangguan afektif lain, disfungsi kandung

kemih, disfungsi seksual, sensitivitas terhadap panas, disfagia, disartria, gangguan

tidur dan nyeri.

Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala bentuk kombinasi

tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi :

1.Gangguan sensorik

Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum dan

peniti) mungkin berbeda-beda tingkatannya dari hari ke hari. Jika lesi

11

Page 12: Refrat Multipel Sklerosis

terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi

leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah

medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering

menimbulkan ataksia sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar

seringkali menghilang. Karena gangguan sensorik tak dapat

diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut dapat disalah

duga sebagai histeria.2,8

2.Gangguan penglihatan

Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-

gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang

abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada

kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total

selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan

visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,

juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang

nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan

nistagmus.8

3.Kelemahan spastik anggota gerak

Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak

pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat

anggota gerak. Pasien mungkin mengeluh merasa lelah dan berat pada

satu tungkau, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah

terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat

mengeluh tungkainya kadang-kadang seakan –akan meloncat secara

spontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan

spatis yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks

tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada.

Respons plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini

merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.8

12

Page 13: Refrat Multipel Sklerosis

4. Tanda-tanda serebelum

Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus

(gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau

vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan

volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria

(bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan

tersendat-sendat).2,8

5. Disfungsi kandung kemih

Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan

pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi

yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang

spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.2

6. Gangguan afek

Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak

realistik. Ini di duga disebabkan terserangnya substansia alba lobus

frontalis. Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya

ingat dan demensia.2,8

II.5 Gambaran Patologi

Secara histologi, plak Multipel Sklerosis, yang tersebar di lapisan putih

pada Sistem Saraf Pusat, menunjukkan infiltrasi perivenular dari sel radang

mononuklear (limfosit T, monosit/makrofag, sel B dan sel plasma), demielinasi,

penurunan jumlah oligodendrocytes, akson transeksi dan astrosit proliferasi

dengan resultan gliosis. Empat kategori dari penyakit telah didefinisikan

13

Page 14: Refrat Multipel Sklerosis

berdasarkan lokasi dan perpanjangan plak, mekanisme immunopatologi, aktivasi

komplemen dan pola perusakan oligodendrocytes9 (Tabel 73.1)

Table 73.1 Heterogenity of MS Pathology

Pattern I (12%)

Pattern II (53%) Pattern III (30%) Pattern IV (4%)

Possible Mediators

CTL + macrophage-mediated demyelination

TNF-α, ROI, proteinase

Antibody-mediated demyelination

Anti-MOG; anti-Glc (anti-Glycan); anti-aquaporin; others?

Distal oligodendrogliopathy and apoptosis

Ischemia/ toxic virus-induced

Primary oligodendroglia degeneration

Metabolic defect

14

Page 15: Refrat Multipel Sklerosis

BAB III

III.1 Kriteria Diagnostik

Beberapa set kriteria telah dikembangkan sebelum era MRI untuk

diagnosis klinis dari Multipel Sklerosis, berdasarkan prinsip bukti objektif untuk

penyebaran lesi lapisan putih Sistem Saraf Pusat dalam ruang dan waktu (Allison

& Millar, 1954; McAlpine, 1965; Schumacher, 1965; Rose, 1976; McDonald &

Halliday, 1979; Poser, 1983).

Ketersediaan pengobatan baru untuk Multipel Sklerosis yang dapat

memodifikasi perjalanan penyakit dan perkembangan lambat penyakit, dan

pengenalan bahwa kerusakan yang signifikan pada Sistem Saraf Pusat dapat

terjadi pada awal perjalanan penyakit ini, sehingga penting untuk mendiagnosis

Multipel Sklerosis sesegera mungkin. Kriteria Mcdonald dan revisinya pada tahun

200512 (Tabel 73.4) memungkinkan diagnosis dini Multipel Sklerosis, bahkan

setelah CIS sugestif pertama penyakit ini, dengan menggunakan kriteria MRI

untuk menegakkan episode kedua, sehingga membantu keputusan sebelumnya

pada terapi. Kriteria Barkhof MRI membantu dalam mengkonfirmasikan

diseminasi yang sesuai dalam ruang (Tabel 73.4a), sedangkan diseminasi pada

waktu dapat ditentukan dengan MRI lain yang dilakukan minimal 30 atau 90 hari

setelah CIS pertama (Tabel 73.4b), dan sebaiknya dilakukan setidaknya 30 hari

dari penghentian pengobatan steroid. Ketika kriteria asli McDonald diterapkan

pada 1 tahun dibandingkan dengan ''gold standard'' dari kriteria Poser sebelumnya

untuk diagnosis pasti Multipel Sklerosis secara klinis pada 3 tahun pada pasien

dengan CIS, sensitivitas tinggi (83%), spesifisitas (83%), nilai prediksi positif

(75%), nilai prediksi negatif (89%) dan akurasi (83%) dicapai (6). Modifikasi

kriteria MRI terbaru berakhir dalam menjaga spesifisitas tinggi (> 90%) dari

kriteria McDonald asli, dan mencapai sensitivitas dan akurasi yang lebih tinggi

(86%) dalam diagnosis pasti dari Multipel Sklerosis setelah CIS pertama (10).

TheMcDonald kriteria mengidentifikasi lebih awal dan tiga kali lebih banyak pada

pasien dengan Multipel Sklerosis yang pasti secara klinis, dibandingkan dengan

15

Page 16: Refrat Multipel Sklerosis

kriteria Poser sebelumnya. Beberapa kendala dari kriteria ini adalah sebagai

berikut:

1. Akses terbatas di beberapa bagian dunia untuk teknologi canggih seperti

MRI, dengan demikian, diagnosis Multipel Sklerosis harus dibuat, sampai

episode klinis kedua.

2. Tes paraclinical yang dimasukkan ke dalam kriteria harus berkualitas dan

bersensitivitas tinggi dan harus digunakan secara andal dan seragam untuk

mencapai akurasi yang tinggi yang diharapkan dari kriteria.

3. Kriteria mungkin terlalu ketat untuk diseminasi dalam ruang.

4. Multipel Sklerosis adalah penyakit yang sangat heterogen, dan kriteria

yang mendekati presentasi klinis yang paling khas mungkin kurang

sensitif dalam kasus atipikal (populasi pediatrik atau tua, PP-MS, asal etnis

non-barat-eropa, atau presentasi klinis atipikal).

5. Meskipun MRI sangat sensitif untuk lesi Multipel Sklerosis, namun MRI

tidak spesifik. Lesi pada lapisan putih yang similar dapat dilihat pada

berbagai penyakit lainnya, banyak penyakit yang memiliki fitur klinis

yang sama dengan Multipel Sklerosis. Terlalu mengandalkan MRI dapat

berakibat pada overdiagnosis Multipel Sklerosis dan penanganan yang

tidak perlu.

Table 73.4a. MRI criteria for disseminaton in space

Secara keseluruhan, kriteria ini masih menekankan sifat klinis dari

diagnosis, kebutuhan untuk menunjukkan diseminasi dalam ruang dan waktu,

16

Three of the following:

≥ 1 gadolinium-enhancing lesion(s) or 9T2 hyperintense lesions ≥ 1 infratentorial lesion(s) ≥ 1 juxtacortical lesion(s) ≥3 periventricular lesions

(a spinal cord lesion is equivalent to a brain infratentorial lesion; an enhancing spinal cord lesion is equivalent to an enhancing brain lesion, and individual spinal cord lesion can contribute together with individual brain lesions to reach the required number of T2 lesions).

Page 17: Refrat Multipel Sklerosis

penggunaan pemeriksaan paraclinical pendukung dan konfirmasi untuk

mempercepat proses dan membantu menghilangkan diagnosa negatif palsu dan

positif palsu, fokus pada spesifisitas daripada sensitivitas dan kebutuhan untuk

menghilangkan penjelasan yang lebih baik untuk diagnosis.

III.2 Diagnosis

Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama

berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal

dan asimetrik pada traktus subtansia alba.

1. Clinically definite MS

Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu

lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked

2. Laboratory supported definite MS

Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu

lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan

kadar Ig G abnormal

3. Clinically probable MS

Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada

lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari

pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi

dan pemeriksaan IgG CSF normal.

4. Laboratory supported probable

Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,

tetapi yang banyak adalah kriteria poser.

17

Page 18: Refrat Multipel Sklerosis

Kriteria Poser

Jumlah serangan

Bukti adanya > 1 lesi IgG CSF

Klinik LabA. Clinically definite

A1A2

22

21 dan 1

B. Laboratory–supported definiteB1B2B3

211

1 atau 1 2 1 dan 1

+++

C. Clinically probableC1C2C3

211

1 2 1 dan 1

D. Laboratory-suported probable

2 0 +

a. Laboratorium

Tidak ada tes laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis Multipel

Sklerosis, namun, beberapa tes dapat mendukung diagnosis klinis penyakit.

Analisis cairan serebrospinal menunjukkan ikatan oligoclonal IgG, yang

mengindikasikan sintesis imunoglobulin intratekal dan inflamasi patologi di lebih

dari 90% pasien. Latensi tertunda pada peningkatan potensi visual, auditori dan

somatosensori pada studi elektrofisiologi dari jalur sensorik pusat, sebagaimana

waktu konduksi memanjang pada motor sentral, merupakan ciri khas dari

demielinasi, dan dapat menunjukkan lesi tersembunyi secara klinis. Tes darah

biasanya digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai

Multipel Sklerosis.

b. Pencitraan

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk

mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk

mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,

18

Page 19: Refrat Multipel Sklerosis

mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan penyakit,

memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan memberikan

hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis hyperintense

pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan hypointense atau

isointense pada pencitraan T1(Gambar 73.2). Lesi Multipel Sklerosis biasanya

berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak raksasa dapat

terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular. Lesi tersebut

cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum dan U-fibers dan

dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama peradangan aktif, karena

gangguan dari BBB10. Beberapa teknik MRI digunakan dalam Multipel Sklerosis,

korelasi patologis dan aplikasinya dirangkum dalam Tabel 73.310,11.

19

Page 20: Refrat Multipel Sklerosis

Table 73.3. Magnetic resonance imaging in multiple sclerosis (MS)

Imaging technique Pathology Application

T1W (unenhanced) Axonal loss; “Black holes”

Correlation with disability

T1W (enhanced) BBB disruption Disease activity

T2W Nonspesific: inflammation, demyelination, edema, gliosis

Burden of disease

FLAIR Comparable to T2W Increased resolution

MR Spectroscopy Axonal loss Research; biochemical imaging

Magnetization transfer Demyelinated areas Research; structural integrity; normal-appearing white matter

Diffusion tensor MRI Demyelination; axonal loss

Abnormalities in the normal appearing grey and white matter

Functional MRI Research; cerebral function and reorganization; prognosis

III.3 Penatalaksanaan

Dalam 15 tahun terakhir telah terlihat kemajuan besar dalam pengelolaan

Multipel Sklerosis. Kemajuan dalam pemahaman tentang imunologi dan patologi

Multipel Sklerosis berakibat pada pengembangan terapi baru. Beberapa agen

modifikasi-penyakit yang mempengaruhi aktivitas dan perkembangan penyakit

telah disetujui untuk digunakan, dan banyak agen imunomodulator lainnya yang

menjanjikan dan metode lainnya, dalam berbagai tahap evaluasi klinis13,14.20

Page 21: Refrat Multipel Sklerosis

1. Untuk kekambuhan akut, pengobatan standar adalah pemberian singkat

kortikosteroid dosis tinggi (biasanya metilprednisolon 500-1000 mg / hari

selama 3-5 hari secara intravena, diikuti, dalam banyak kasus, dengan

tappering down dari prednison oral untuk tambahan 1-2 minggu).

Serangan parah demielinasi Sistem Saraf Pusat yang tidak merespon

corticosteroid secara adekuat dapat diobati dengan pertukaran plasma15.

2. Pencegahan aktivitas penyakit: Enam obat modifikasi-penyakit [tiga jenis

dari interferon-β (Betaferon / Betaseron, Avonex dan Rebif), glatiramer

asetat (GA, Copaxone, mitoxantrone (Novantrone) dan natalizumab

(Tysabri)] selama ini telah disetujui untuk pencegahan aktivitas penyakit

Multipel Sklerosis, setelah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi

tingkat kekambuhan dan tingkat keparahan, memperlambat akumulasi

disablitas dan secara positif mempengaruhi penanda MRI dari aktivitas

dan perkembangan penyakit15,16 (Tabel 73.5). Ketiga interferon tersebut

juga menunda perkembangan Multipel Sklerosis yang pasti setelah CIS

pertama.15

3. Pengobatan simtomatik pada Multipel Sklerosis paling baik disampaikan

dengan pendekatan multidisiplin yang mengintegrasi fisioterapi, intervensi

sosial dan psikologis dan perawatan medis yang bertujuan untuk setiap

gejala individu17.

Penelitian dasar dan klinis luas di seluruh dunia terus mengeksplorasi

terapi baru untuk Multipel Sklerosis. Strategi tersebut meliputi terapi antigen-

spesifik, terapi yang menargetkan regulasi molekul spesifik dari sistem kekebalan

tubuh, menjebak limfosit di kelenjar getah bening, menggunakan imunomodulator

lain, agen imunosupresif dan neuroprotective, transplantasi sel induk

pluripotential dan lainnya13,14.

21

Page 22: Refrat Multipel Sklerosis

Table 73.5. Approved disease-modifying drugs for MS

Medication Trade name Dose, route of administration

Indications

Interferon β-1 b Betaferon/ Betaseron

SC 250 µg every other day

RR-MS, SP-MS

Interferon β-1a Avonex IM 30 µg x 1/w RR-MS

Interferon β-1a Rebif SC 22/44 µg x 3/w RR-MS

Glatiramer acetate Copaxone SC 20 mg/day RR-MS

Mitoxantrone

Natalizumab

Novantrone

Tysabri

IV 12 mg/m2 every 3 months (max 140 mg/m2 )

IV 300 mg every 4 weeks

Aggressive relapsing MS

RR-MS

Generasi saat ini dan yang akan datang dari obat Multipel Sklerosis

tampaknya hanya efektif sebagian dan tidak sama untuk tiap pasien yang berbeda.

Dua strategi dapat mendekati keterbatasan ini: terapi kombinasi18 dan

pharmacogenetics, yang mempelajari variasi genetik antara individu yang dapat

menjelaskan respon diferensial untuk terapi yang diberikan19,20. Hal ini dapat

mengalihkan fokus dari mengobati penyakit ke mengobati pasien (Personalized

Medicine), dimana pengobatan disesuaikan dengan individu pasien,

mengkombinasikan immunomudulator, strategi neuroprotective dan repair-

promoting, secara individu dipilih sesuai genetik pasien, subtipe penyakit dan

aktivitas.

22

Page 23: Refrat Multipel Sklerosis

BAB IV

RINGKASAN

Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir

Agustus D’este dari Inggris, akan tetapi Charcot memberi gambaran lebih

terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.

Insiden penyakit ini di AS 250.000-350.000/tahun (Anderson, 1991) walau

dalam beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan meningkat (Kurtze, 1991)

pada daerah Skotlandia, Finlandia, Norwegia, Itali, Irlandia Utara.

Terdapat hubungan erat antara prevalensi dengan variasi geografik,

negara-negara ekuator menunjukkan insiden yang rendah, prevalensi meningkat

pada daerah yang jauh dari ekuator dan hemisfer misal negara Eropa Utara

terutama Scandinavia yang dianggap sebagai nenek moyang penyakit MS ini.

Prevalensi di Amerika Utara sekitar 100/100.000 sedangkan di Amerika Selatan

20/100.000 (Kurtze, 1993).

Prevalensi menurut umur rata-rata onset MS baik wanita maupun pria

sekitar 31-33 tahun dengan usia rata-rata lebih rendah dari wanita, tetapi dapat

pada usia lebih tua, lebih dari 60 tahun. Studi tentang migrasi, etnik, anak kembar

membuktikan bahwa faktor genetik dan lingkungan berpengaruh pada

perkembangan MS. Studi tentang migrasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan

akan menentukan resiko terjadi MS, misalnya pasien yang melakukan migrasi dari

suatu daerah insidensi ke daerah insidensi tinggi sebelum umur 15 tahun

mempunyai resiko tinggi untuk terjadi MS (Eber & Sadovnick, 1993). Studi

tentang anak kembar ternyata monozigot 30%, dizigot 5% menunjukkan faktor

genetika memegang peranan, tidak adanya lokus mendelian tunggal yang

menyebabkan MS,akan tetapi berupa interaksi antar gen-gen (Sadovnicks, 1993),

gen-gen pada pasien MS di Eropa Utara akan mengontrol fungsi immun (HLA-

A3,B7,DR2,T-Cell reseptor alpha, immunoglobulin subtype (Gm allotype, VH2-

B5), antigen pitative target (proteolipid protein, myelin basic protein, dan lain-

lain)

23

Page 24: Refrat Multipel Sklerosis

Diet akan mempengaruhi MS, diet lemak tak jenuh akan mempengaruhi

pembentukan myelin otak, disamping adanya kelainan pada pertumbuhan

oligodendrolial yang berhubungan dengan diet. Diet lemak tak jenuh berupa asam

linoleat akan menurunkan eksaserbasi penyakit ini (Dwarkin, 1984). Etiologi

penykit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan oligodendroglia, diet,

genetika, dan lain-lain. Untuk mendiognosa penyakit ini masih sulit, diperlukan

pengalaman-pengalaman fase awal penyakit. Pemeriksaan laboratorium akan

membantu menunjang diagnosa.

24

Page 25: Refrat Multipel Sklerosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing.S, Multiple Sclerosis, pada Kapita Selekta Neurologi.

Yogyakarta : Gadjah Mada Universitay Press, 1996

2. Markam Soemarsono. dr, Multiple Sclerosis, pada Neurologi Praktis,

Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990 

3. J.G, Multiple Sclerosis, pada Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi

Fungsional, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994

4. Charcot JM. Histologic de la sclerose en plaques. Gaz Hop. Paris. 1868:

41: 554-5, 557-8, 566.

5. Compston A. Coles A. Multiple Sclerosis. Lancet. 2002; 359: 1321-31.

6. Matthews B. Symptoms and signs of multiple sclerosis. In: Compston A

(ed.). McAlpine’s Multiple Sclerosis. Churcill Livingstone. London: 1998.

7. Lublin FD, ReinGOLD sc. Defining the clinical course of multiple

sclerosis: Results of an international survey. National Multiple Sclerosis

Society (USA) Advisory Committee on Clinical Trials of New Agents in

Multiple Sclerosis. Neurology 1996; 46(4): 907-11.

8. Wiyono Budi Oetomo. dr, Multiple Sclerosis , pada Pedoman Praktis

pengobatan Penyakit Saraf, Jayapura, 2001

9. Lucchinetti C, Bruck W, Parisi J, et al. Heterogeneity of multiple sclerosis

lesions: Implications for the pathogenesis of demyelination. Ann Neurol

2000: 47: 707-17.

10. Bakshi R, Hutton GJ, Miller JR, Radue EW. Theuse of magnetic

resonance imaging in the diagnosis and longterm management of multiple

sclerosis. Neurology 2004: 63: S3-11.

11. Filippi M, Bakshi R, Rovaris M, Comi G. MRI and Multiple Sclerosis;

What Happened in the last 10 years? J Neuroimaging 2007; 17:S1-2.

12. Polman CH, Reingold SC, Edan C, et al. Diagnostic criteria for multiple

sclerosis: 2005 revisisons to the “McDonald criteria”. Ann Neurol 2005;

56: 840-6.

25

Page 26: Refrat Multipel Sklerosis

13. Fontoura P, Steinman L, Miller A. Emerging therapeutic targets in

multiple sclerosis. Curr Opin Neurol 2006; 19:260-6.

14. Blevins G, Martin P. Future immunotherapies in multiple sclerosis. Semin

Neurol 2003; 23: 147-58.

15. Kieseier BC, Hartung HP. Current disease-modifying therapies in multipel

sclerosis. Semin Neurol 2003; 23:133-46.

16. Polman CH, O’Connor PW, Havrdova E, et al. A randomized, placebo-

controlled trial of natalizumab for relapsing multiple sclerosis. N Engl J

Med 2006: 354: 899-910.

17. Kesselring J, Beer S. Symptomatic therapy and neurorehabilitation in

multiple sclerosis. Lancet Neurol 2005; 4: 643-52.

18. Costello F, Stuve O, Weber MS, Zamvil SS, Frohman E. Combination

therapies for multiple sclerosis: Scvientific rationale, clinical trials, and

clinical practice. Curr Opin Neurol 2007 June: 20(3): 281-5.

19. Kirstein-Grossman I, Beckmann JS, Lancet D,MillerA. Pharmacogenetic

development of personalized medicine: Multiple sclerosis treatment as a

model. Drugs Bews Perspectives 2002; 15: 558-67.

20. Grossman I,Avidan N, Singer C, Goldstaub D, Hayardeny L, et al.

Pharmacogenetics of Glatiramer Acetate therapy for Multiple Sclerosis

reveals drug-response markers. Pharmacogenet Genomics 2007; 17: 657-

66.

26