refrat kejang neonatus (revisi) .docx
TRANSCRIPT
REFRAT
KEJANG PADA NEONATUS
Pembimbing :
dr.Rita Wahyunarti,SpA
Disusun oleh :
M.Fauzan Maulana
1110103000064
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah kasus ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita
junjungkan kehadirat Nabi Muhammad SAW.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Rita Wahyunarti,
SpA selaku pembimbing Refrat ini.
Kami menyadari makalah tentang “Kejang pada Neonatus” ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan
demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah kasus ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami dan rekan-rekan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan
kepaniteraan klinik.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7)”
Jakarta, Oktober 2015
Penyusun
1
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR .............................................................................................................1
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI........................................................................................................ 4
2.2. EPIDEMIOLOGI ........................................................................................... 4
2.3. ETIOLOGI ..................................................................................................... 4
2.3.1. Ensefalopati Iskemik .......................................................................... 5
2.3.2. Infeksi ................................................................................................. 6
2.3.3. Metabolik ............................................................................................ 7
2.3.4. Kelainan Perkembangan Otak ............................................................ 8
2.4. PATOGENESIS ............................................................................................. 8
2.5. AWITAN KEJANG .......................................................................... 10
2.6. DIAGNOSIS .................................................................................................. 11
2.7. TATALAKSANA ......................................................................................... 18
2.8. PROGNOSIS ................................................................................................. 19
2.9. KESIMPULAN .............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 21
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang merupakan salah satu keadaan yang merupakan suatu tanda bahaya yang
sering terjadi pada neonatus, karena kejang dapat menyebabkan hipoksia otak yang
berbahaya bagi kehidupan bayi sekaligus dapat menyebabkan terbentuknyan sekuele yang
menetap dan berakibat buruk pada kehidupan bayi di masa depan. Selain itu, kejang dapat
merupakan suatu tanda atau gejala signifikan dari suatu masalah SSP pada neonatus.
Diagnosis dan intervensi dini sangat dibutuhkan bukan hanya karena kejang merupakan tanda
suatu penyakit serius yang tersembunyi, tapi juga dapat berpengaruh pada metode suportif
seperti alat bantu pernafasan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk pemberian nutrisi. Hal
ini dikarenakan neonatus memiliki daya tahan terhadap kerusakan otak yang lebih baik,
namun efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar dan daya
ingat tetap dapat terjadi di masa depan.1
Manifestasi klinis kejang sangat bervariasi bahkan sering sulit membedakan dengan
gerakan normal bayi itu sendiri. Meskipun demikian diagnosis yang cepat dan terapi tepat
merupakan hal yang penting karena pengenalan kondisi yang terlambat meskipun tertangani
akan dapat meninggalkan sekuele pada sistem saraf. Sedangkan gejala klinis yang terlihat
pada kejang neonatus sangat terlihat berbeda dibandingkan kejang yang terjadi pada bayi
dengan umur lebih tua. Ini dikarenakan otak pada neonatus masih merupakan otak imatur,
sehingga lebih inkompeten dalam menyalurkan gelombang listrik secara umum atau
sebagian.2
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksismal dari fungsi
neurologik seperti perilaku, sensorik, motorik dan fungsi otonom, yang terjadi pada bayi
berumur sampai dengan 28 hari. 1,2
2.2. Epidemiologi
Kejang pada neonatus sampai sekarang sangat sulit untuk dipelajari dan dikenal
secara pasti bangkitannya, insidensi dan prevalensi yang pasti sampai sekarang belum
diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan banyak kejadian kejang pada
neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Meskipun demikian, menurut buku
neonatologi IDAI, perkiraan angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap
1000 neonatus setiap tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan
pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi
cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak kejang, namun pada
elektrografik tampak gambaran masih kejang.1
Menurut data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical guideline, kejang
sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang bulan dengan pendarahan
intraventrikular atau leukomalasia periventricular. Kejang biasanya dikenali lebih sering
dengan penggunaan monitor EEG berkelanjutan.3
2.3. Etiologi
2.3.1. Ensefalopati Iskemik Hipoksik.1
Merupakan penyebab tersering (70-65%) kejang pada neonatus, biasanya
terjadi dalam waktu 24 jam pertama dan sering mulai 12 jam pertama. Dapat
4
terjadi pada bayi cukup bulan maupun kurang bulan, terutama terlahir dengan
asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik.
Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral.
Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3
stadium, yaitu : ringan, sedang dan berat.manifestasi kejang terjadi pada
stadium sedang dan berat.
Etiologi kejang neonatus
Ensefalopati Iskemik HipoksikPerdarahan Intrakranial Perdarahan Intraventrikular Perdarahan Intracerebral Perdarahan Subdural Perdarahan SubarakhnoidInfeksi SSP Meningitis Bakteri Meningitis Virus Enchepalitis Intrauterin Infeksi Bakteri Patogen (Streptokokus group B, E.Coli, listeria, staphyloccocus)Metabolik Hipoglikemia Hipokalsemia Hiponatremia/Hipernatremia Kelainan Perkembangan OtakEnsefalopati Bilirubin Obat-obatan Kelainan yang diturunkan Idiopatik
2.3.2. Perdarahan Intrakranial.1
Penyebab kejang utama dan tersering pad abayi aterm. Pendarahan
intarkranial sering kali sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang.
Biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :
a. Perdarahan sub arakhnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, terutama sebagai akibat
dari proses partus yang lama. Awalnya bayi terlihat baik, namun tiba-tiba
timbul kejang pada hari pertama dan kedua. Pungsi lumbal merupakan
indikasi absolut untuk dilakukan untuk mengetahui adanya darah di dalam
cairan serebrospinal. Biasanya bayi ditemukan tampak sakit berat pada 1-2
5
hari pertama dan timbul tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial
seperti ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang, muntah memancar,
menangis keras dan kejang-kejang.
b. Perdarahan subdural
Perdarahan ini biasanya terjadi akibat robekan tentorium dekat falks
serebri. Biasanya bila ada molase berlebihan di letak verteks, letak wajah
dan partus lama. Manifestasi klinik biasanya sama dengan ensefalopati
hipoksik-iskemik ringan sedang. Dapat timbul pernapasan yang tidak
teratur apabila terjadi penekanan pada batang otak disertai penurunan
kesadaran, tangisan yang melengking dan ubun-ubun besar tegang dan
menonjol. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup hidup biasanya
terdapat gejala sisa neurologis.
c. Perdarahan periventrikular / intraventrikular
Manifestasi klinis perdarahan intraventrikuler tergantung pada seberapa
beratnya penyakit dan saat dimulainya perdarahan. Pada bayi yang
mengalami trauma atau asfiksia biasanya timbul pada hari pertama dan
kedua. Pada bayi kurang bulan dapat timbul gejala seperti gangguan napas,
kejang tonik umum, pupil terfiksasi kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan
stupor atau koma yang dalam. Pada bayi cukup bulan biasanya ditemukan
riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hpertonik
secara cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifetasi klinis
yang timbul biasanya bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala
yang hebat. Gejala neurologis yang paling sering ditemui adalah kjang
yang bersifat fokal, multifokal atau umum.
2.3.2. Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang
neonatus. Bakteri, non-bakteri maupun kongenital dapat juga menyebabkan
kejang pada neonatus. Kejadian ini biasanya terjadi setelah satu minggu
pertama kehidupan. Infeksi digolongkan menjadi :
6
a. Infeksi Akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubugan dengan meningitis.Bakteri
yang sering ditemukan adalah group B Streptococus, E Coli, Listeria
sp,Staphylococcus.
b. Infeksi Kronik
Infeksi intrauterine yang berlangsung lama: Toxoplasmosis, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes Simpleks, TORCH, Treponema Pallidum juga dapat
mengakibatkan kejang.
2.3.3. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
a. Hipoglikemik
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dl disebut hipoglikemik.
Kadang berupa asimptomatik. Hipoglikemik yang berkepanjangan dan
berulang dapat mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. Bayi
yang memiliki faktor resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia
adalah : bayi kecil untuk masa kehamilan,bayi besar untuk masa
kehamilan dan bayi dari ibu diabetes mellitus.
Hipoglikemia dapat menjadi penyebab dasara terjadiya kejang dan gejala
neurologis lainnya seperti apnu,letargia, dan jitternes. Tidak ada
keraguan dalam pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan
kadar glukosa rendah pada bayi kejang.Untuk mengembalikan kadar
glukosa darah kembali normal.
b. Hipokalsemia
Bayi dengan hipokalsemia dengan kadar kalsium < 7,5 mg/dL (<1,87
mmol/L), biasanya disertai dengan kadar fosfat > 3mg/dL (> 0,95
mmol/L). Hipokalsemia biasanya asiptomatik. Sering berhubungan
dengan prematuritas atau kesulitan persalinan dan asfiksia.
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua.
Lebih sering didapatkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah dan
7
sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu dengan
dibetes mellitus. Bila kejang pada bayi berat badan lahir rendah yang
disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat apabila kejang
belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.
2.3.4. Kelainan Perkembangan Otak
Kelainan dapat disebabkan karena terganggunya perkembangan otak.
Beberapa kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari
pertama kehidupan.penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis
korteks serebri, dapat disertai keadaan : dismorfi, hidrosefalus,mikrosefalus.
2.4. Patogenesis
Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari
perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya kalium.
Kejang terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga terbentuk
gelombang listrik yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4 kemungkinan alasan
terjadinya depolarisasi berlebihan :2
Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi
energi.
Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan
inhibitorik
Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan
eksitatorik
Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium.
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak
yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak
dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat
esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan
8
berakumulasi selama terjadi kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal
ini menyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa
berhubungan pada kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur
kortikal dan subkortikal yang masih sangat minim.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai 2
tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan kepadatan
dendrit pada sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan
sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat baru lahir, merupakan periode
tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis dan sinaptogenesis yang terjadi pada
saat ini sepenuhnya bergantung pada aktifitas. Selain itu, menurut penelitian, pada
periode ini keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung
mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada pembentukan sinaps yang
bergantung pada aktifitasnya.
Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus
adalah :
Peningkatan eksitabillitas pada neonatus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui homolog
dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter seperti
glutamate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan
N-methyl-D-aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2 minggu awal kelahiran
untuk membantu pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya. Selain
itu, pada periode ini merupakan saat sesnsitifitas terhadap magnesium di titik
terendah. Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga
berdampak pada meningkatnya eksitabilitas otak bayi.4
Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara
perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi pengikatan
reseptor GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada
masa-masa awal kehidupan. Sehingga dengan hubungannya terhadap aktifitas sel
9
syaraf pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini
mendukung terjadinya kejang.
Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan. Seperti
yang terjadi pada mutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan
dengan terjadinya kejang neonatus familial jinak, menyebabkan proses
hiperpolarisasi K+ yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang
berulang dengan cepat.
Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal. Contoh
penting ada pada Corticotropin releasing hormone(CRH), yang memicu terjadinya
potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada fase kehidupan selanjutnya,
CRH dikeluarkan pada tingkat yang lebih tinggi pada 2 minggu awal kehidupan,
seperti yang terlihat pada tikus. CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang
menjelaskan mengapa pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan
memicu terjadinya kejadian kejang yang berulang.4
2.5. Awitan Kejang
Awitan kejang yang terjadi pada kejang demam biasanya dimulai antara 12
hingga 48 jam setelah lahir, bayi jarang mengalami kejang saat berada di ruang
bersalim. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam
setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang
pelepasan dan penghancuran glutamat pada saat fase reperfusi sekunder3. Keadaan
yang sama terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut memberi kesan adanya meningitis,
kejang familial benigna atau hipokalsemia.1
2.6. Diagnosis.1,6
10
Diagnosis kejang pada neonatus didasarkan pada anamnesis yang lengkap,
riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan
menyeluruh terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti riwayat
penyalah gunaan narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat kehamilan,
infeksi intrauterus, dan kondisi metabolik harus dicatat dengan baik dan didapat
langsung dari ibu sedetail mungkin.
Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah :
Faktor resiko :
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus
pada anak sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal
tanpa diketahui penyebabnya.
Riwayat kehamilan
Infeksi – infeksi yang terjadi pada waktu hamil
Preeklampsia, gawat janin
Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
Imunisasi anti tetanus, rubela
Riwayat persalinan
Asfiksia, episode hipoksik
Trauma persalinan
Ketuban Pecah Dini
Anestesi lokal/blok
Riwayat pascanatal
Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur
perawatan
Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan
etiologi
11
Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik kejang neonatus sangat berbeda dengan kejang pada anak
yang lebih besar, bahkan kejang pada bayi kurang bulan berbeda dengan cukup cukup
bulan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh susunan neuroanatomik, fisiologis dan
biokimia pada berbagai tahap perkembangan otak berlainan. Meskipun komponen
korteks neonatus relatif lengkap tetapi sinaps aksodendrit masih kurang dan
mielinisasi sel otak belum sempurna terutama antara kedua hemisfer.5,6
Gambaran klinis kejang yang sering terjadi pada neoatus sebagai berikut : 1,2,5
Subtle
Merupakan tipe kejang tersering yang terjadi pada bayi kurang bulan.
Manifestasi klinis kejang ini hampir tidak terlihat, biasanya berupa pergerakan
muka, mulut, atau lidah berupa menyeringai, terkejat-kejat, mengisap,
menguyang, menelan, atau menguap. Manifestasi kejang subtle pada mata
adalah berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata
terfiksasi ke satu arah. Pada anggota gerak didapatkan pergerakan mengayuh
atau seperti berenang.
Tonik
Kejang tonik biasa didapatkan pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi
perinatal berat seperti perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini
yaitu pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum.
a. Fokal : terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan
atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.
b. Kejang Tonik Umum : ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher,
badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah
juga.
Klonik
12
Kejang klonik merupakan petunjuk dari lesi fokal yang mendasari seperti
infark korteks, namun kejang klonik juga dapat disebabkan oleh metabolik.
Bayi dengan kejang klonik biasanya tidak mengalami penurunan kesadaran.
Terdapat 2 bentuk kejang klonik, yaitu :
a. Kejang klonik fokal
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran, dan
biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini sebagai
manifestasi akibat trauma fokal pada kontusio cerebri pada bayi
besar atau bayi cukup bulan, atau pada kelainan ensefalopati
metabolik.
b. Kejang klonik multifokal
Kejang klonik multifokal adalah bentuk kejang yang sering ddapat
pada
bayi baru lahir, terutama pada bayi cukup bulan dengan berat
badan lebih dari 2500 gram. Bentuk kejang merupakan gerakan
klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-
pindah atau terpisah secara teratur. Kadang-kadang karena kejang
yang satu dan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah
memberi kesan sebagai kejang umum. Biasanya bentuk kejang ini
terdapat pada gangguan metabolik.
Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang
mioklonik terdiri atas :
a. Fokal : terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor
ekstremitas atas
b. Multifokal : terdiri dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian
tubuh.
c. Umum : terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari
kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari
ekstremitas.
13
Perbedaan Jiternes dan Kejang 1
Manifestasi klinis Jitterness Kejang a. Gerakan abnormal mata - +
b. Peka terhadap rangsang + -
c. Bentuk gerakan dominan tremor Klonik
d. Gerakan dapat dihentikan dengan fleksi pasif + -
e. Perubahan fungsi otonom - +
f. Perubahan pada tanda vital dan penurunan saturasi + -
Perbedaan Kejang dan Spasme 1
Masalah Temuan klinis Kejang umum - Gerakan wajah dan ekstremitas yang teratur dan berulang
- Ekstensi atau fleksi tonik lengan atau tungkai, baik sinkron maupun tidak sinkron
- Perubahan status kesadaran - Apnu (napas spontan berhenti lebih 20 detik)
Kejang subtle - Gerakan mata berkedip, berputar dan juling yang berulang - Gerakan mulut dan lidah berulang - Gerakan tungkai tidak terkendali, gerakan seperti mengayuh
sepeda - Apnu - Bayi tetap sadar
Spasme - Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa detik sampai menit
- Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya - Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan - Trismus ( rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir
mencucu)- Opistotonus - Gerakan tangan seperti meninju dan mengepal
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis,
dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat kejang
dalam batas normal, namun demikian bergantung penyakit yang mendasarinya
14
sehingga neonatus yang mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis legkap secara
sistematis dan berurutan :1,5,6
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri
manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk kejang,
kemungkinan penyebab dapat ditemukan
2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit. Kesadaran yang
tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya pernapasan,
kejang tonik, posisi serebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan
terdapat kuadriparesis flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan intravetrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti sianosis dan
kelainan pada jantung atau pernapasan sehingga dapat dicurigai
kemungkinian adanya iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur, depresi atau
moulding yang berlebihan karena hal-hal seperti trauma. Ubun-ubun besar
yang tegang dan menonjol menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural serta
kemungkinan adanya meningitis
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau
subhialoid yang merupakan manifestasi patognomonik untuk hematoma
subdural. Dapat ditemukan korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubela.
6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi,
berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada kasus yang
dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.
The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria sebagai berikut :8
a. Non epileptikus : Berdasarkan gejala klinis kejang semata
b. Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG.
Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari
gambaran EEG masih mengalami kejang.
Kejang elektrografik
15
Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset, morfologi dan perambatan
yang bervariasi. Bayi preterm maupun aterm, keduanya mempunyai kemampuan
menciptakan peristiwa ictal yang sangat bervariasi, lokasi asal kejang yang paling
umum adalah lobus temporal. Beberapa penelitian telah menghitung durasi kejang
pada neonatus. Umumnya digunakan batasan 5 detik, namun Clancy dan Ledigo
menggunakan pembatasan menurut mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi
minimal dan definisi ini juga diadopsi oleh Sher dkk.
Disosiasi elektroklinik
Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran EEG, hanya sepertiga
dari kasus yang dipelajari dengan rekaman video yang manifestasi klinis dan
gelombang listriknya sesuai. Pada 349 neonatus yang diteliti oleh Mizrahi, ditemukan
415 kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11 neonatus lain ditemukan
secra elektrografis walaupun secara klinis tidak kejang. Manifestasi klinis timbul
karena adanya gelombang dari batang otak dan medula spinalis dilepaskan dan
kurangnya inhibisi dari pusat yang lebih tinggi.
D. Pemeriksaan penunjang 1,5
Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus
digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani
dengan baik untuk mencari penyebab yang lebih spesifik
o Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada
darah serta analisa gas darah harus dilakukan.
o Pemeriksaan darah rutin
Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit ,
leukosit, hitung jenis leukosit
o Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada
bayi baru lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang
tidak responsif terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab
metabolik yang mungkin.
16
o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa
o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa
untuk mencari substansi reduksi
Pemeriksaan radiologis
o USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk
mencari adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular.
Perdarahan subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan
pemeriksaan ini.
o CT-scan kranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya
penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan
bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi
serebral.Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan
hasil yang penting pada kasus kejang neonatus, terutama bila kejang
terjadi asimetris.
o MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi
subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium..
Pemeriksaan lain
o EEG (electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda
abnormal. EEG interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal.
Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2
hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda
diagnostik yang penting untuk menentukan prognosis di masa depan
bayi.
EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis pada bayi cukup
bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat penting untuk
memeastikan adanya kejang di saat manifestasi klinis yang timbul
subtle atau apabila obat-obatan penenang neuromuscular telah
diberikan. Untuk menginterpretasikan hasil EEG dengan benar,
17
sangatlah penting untuk mengetahui status klinis bayi (termasuk
keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.
2.7 Tatalaksana.
Penatalaksanaan kejang pada neonatus meliputi stabilisasi keadaan umum bayi,
menghentikan kejang dan identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta suportif
untuk mencegah kejang berulang.3,7
Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada diagnosis klinis saja,
tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan EEG yang kontinyu menunjukkan
bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya kejang walaupun
setelah dimulainya terapi anti konvulsi.7
18
Manajemen kejang pada neonatus 3
Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen
Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang dapatg ditangani
dengan cepat, jika tidak bisa tangani kejang dengan fenobarbital 20 mg/kg IV
sambil terus memonitor sistem kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi
suportif yang dibutuhkan.
Hentikan semua asupan secara oral
19
Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata cara yang diindikasikan
Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan fenobarbital 5 mg/kg IV
(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb)
Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb
Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan untuk
menghentikan obat antikonvulsan jika : kejang terkontrol dan pemeriksaan
neurologis normal atau pemeriksaan neurologis abnormal namun EEG normal
2.8. Prognosis
Menurut buku neonatus IDAI, Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan kematian,
atau jika hidup dapat menderita gejala sisa atau sekuele.1
Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)HIE sedang dan berat 50 25 25Bayi kurang bulan 58 23 18Meningitis 20 40 40Malformasi otak 60 40Hipokalsemia 100Hipoglikemia 50 50
Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir rendah seperti
pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan penyebabnya.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko kerusakan
pada otak dan berdampak pada terjadinya kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy
dan retardasi mental).
2.9. Kesimpulan
20
Kejang pada neonatus merupakan kelainan yang dapat berdampak buruk pada masa
depan bayi bahkan dapat menyebabkan kematian bayi. Angka kejadian pasti dari kejang pada
neonatus belum diketahui secara pasti karena sulitnya mempelajari bayi yang baru lahir
Manifestasi klinis dari kejang pada neonatus dapat bermacam-macam dapat berupa
kejang tonik, klonik, subtle dan mioklonik.Selain iru bisa juga tidak terlihat manifestasi
secara klinis, namun bila diperiksa dengan menggunakan EEG, akan terlihat tanda abnormal
pada hasil pemeriksaan .
Penegakkan Diagnosis kejang pada neonatus didapat dari pemeriksaan secara
menyeluruh dan detail melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim M. Sholeh, Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan Santosa, Ali Usman.
Buku Ajar Neonatologi. 2010. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Ghomela, Tricia. Lange Neonatology : Management, Procedures, On-Call Problems,
Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The Mcgraw-Hills
3. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline. 2001-
2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment . 2011
21
4. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on Mechanisms and
management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881
5. Arvin Behrman Kliegman. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol 3. 2000. Edisi 15. Jakarta
: EGC
6. Wahidiyat Iskandar, Sastroasmoro Sudigdo. Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan
Anak.2014. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto
7. Pellegrino TR. Seizures and Status epilepticus in childhoods. In: Tintinali JE, Ruiz E,
Krome RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996: 456-67.
8. Pusponegoro, Hardiono D, Widodo, Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
penatalaksanaan kejang. IDAI. Jakarta. 2006.
22