82230918 kejang pada neonatus
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri
dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang
paling sering untuk rujukan pada praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak
merupakan diagnosis, tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral (SSS) yang
memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Penyakit ini juga menjadi
salah satu masalah sistem saraf pusat yang banyak terdapat pada neonatus. Kejadiannya
meliputi 0,5% dari semua neonatus baik cukup bulan maupun kurang bulan. 1
Kejang pada periode bayi(neonatus) merupakan keadaan darurat medis, karena kejang
dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi
atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari, 2 disamping itu kejang dapat
merupakan tanda atau gejala dari satu masalah atau lebih. Kejang halus/subtle seizure
adalah jenis yang paling umum kejang yang terjadi dalam periode neonatal. Jenis lain
termasuk serangan klonic, tonik dan myoklonic. Serangan myoklonic membawa
prognosis terburuk dari segi jangka panjang hasil perkembangan saraf. Ensefalopati
iskemik Hipoksik adalah penyebab paling umum neonatal kejang. 2,3
Beberapa etiologi sering hidup berdampingan di anak-anak mereka dan karena itu
penting untuk mengesampingkan penyebab umum seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
meningitis sebelum memulai terapi spesifik. Pendekatan yang komprehensif untuk
manajemen kejang neonatal ditujukan pada periode neonatal yaitu keadaan darurat yang
berpotensi signifikan dalam perkembangan ke otak dewasa. Diagnostik dan terapeutik
intervensi harus jadi dibentuk segera. 1,4
Angka kejadian kejang pada neonatus terjadi lebih tinggi pada bayi kurang bulan
(3,9%) pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka
kejadian kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per
100.000 neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut 1
SDKI 2002-2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari
angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang
sekitar 10%. 5
Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,
toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini daripada
pada periode kehidupan lain kapanpun. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada
anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama
umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi
tidak sempurna pada otak neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan
mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Ada
setidaknya empat tipe kejang yang dapat dikenali pada bayi baru lahir. 2
B. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis,
diagnosis dan penatalaksanaan kejang pada neonatus.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang (konvulsi)
merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak sebagai
gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku,
gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang pada neonatus adalah perubahan
paroksismal fungsi neurologis (tingkah laku dan atau fungsi motorik) akibat aktifitas
yang terus menerus dari neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan pada
bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi kurang bulan.2,6
B. Etiologi
Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :
a. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi
klinis ensefalopati hipoksik – iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan,
sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2
b.Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering
pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang mengalami
perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial
sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan
penyebab lain, yaitu :
-Perdarahan sub arachnoid
3
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan vena
superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat terjadi
kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk
mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan
sangat berguna untuk menentukan letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan
perlu dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 7
-perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri.
Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks , letak muka dan
partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.
Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai
sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur,
kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang.
Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural.
Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan yang kecil
tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan menekan batang
otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah. Mortilitas tinggi, dan
pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2,7
-Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit
dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya
kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada BKB dapat mengalami
perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
berupa gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid,
deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul
dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif,
hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan
horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul
kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-pemberian
cairan hipertonik secara cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis
4
yang timbul bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala
neurologis yang paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal,
multifokal atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi,
jitteriness, muntah, ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus
otot.3
c. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
- Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang asimtomatis.
Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang
menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia
adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi
dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada
kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang
seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang lain. Hanya
sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian
terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang, untuk
mengembalikan kadar gula darah kembali secepatrnya.
- Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering
didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari
ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL
(<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti
hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau
kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama
dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik untuk
menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang disebabkan
oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum berhenti harus
dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
5
- Hiponatremia dan hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami perubahan
dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome of
Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat
dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang
berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,
hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang berlebihan
atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia
terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang
berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan secara oral
maupun parenteral.3,6
d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri
maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu
pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram
negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri yang
sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,
Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus,
herpes (TORCH), treponema pallidum .7
e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai meningkatkan
kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan kerusakan otak pada
BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dl sudah
6
berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar
bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang
sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk
terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan
refleks menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi
dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot
meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1)
disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola
mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan
pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada
25% kasus.
f. Kejang yang berhubungan dengan obat
1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek
putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama hamil,
bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness dan
kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali
pada usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut dapat menetap
untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik jangka
panjang untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari
midazolam untuk sedasi pada BKB.
2.Intoksikasi anestesi local
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke dalam
sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau epidural
serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat. Curiga intoksikasi bila didapatkan
7
pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi pada reflek
okulosefalik (refle doll’s eye menghilang). Bayi lahir menunjukkan Apgar skor yang
rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama
kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang memadai akan
membaik setelah 24-48 jam.6,8
Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi
g. Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa kelainan
susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama kehidupan. Penyebab
yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat disertai keadaan :
dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf seperti lisensefali atau
schizensefali dapat terjadi pada kejang BBL.
h. Kelainan yang diturunkan
1. Gangguan metabolisme asam amino
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan ini
adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine encephalopathy,
arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria
2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin dilaporkan
oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin terjadi akibat gangguan
metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini kemungkinan karena kekurangan dalam
pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang
terlibat dalam pembentukan gama-aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau
menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmitter inhibisi yang dapat menimbulkan
kejang . Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam
kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang
yang diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik dengan pemberian glucose,
kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin intravena sebaiknya
8
dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG menjadi normal. Bila gambaran EEG
normal dan serangan kejang berhenti, diagnosis ketergantungan piridoksin dapat
ditegakkan.
i. Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten terhadap
pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan menunjukkan
kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik terdapat 2 hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan kejang hari kelima
1.Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures)
Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun 1964.
Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3 dan 8q.24.
Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah lahir, dan kebanyakan
(80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir. Jenis kejang biasanya klonik,
sering berulang sampai beberapa puluh kali per hari tetapi berhenti secara spontan setelah
beberapa lama, biasanya serangan kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara
kejang bayi tampak normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada
yang pernah mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan dengan obat-
obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
2. Kejang hari kelima (The Fifth day fits)
Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh kehidupan, paling
sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung hingga 2 minggu pada BCB
dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat kelainan neurologis pada beberapa
hari pertama kehidupan. Serangan kejang yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal atau
9
multifokal dan serangan apneu. Penyebabnya masih merupakan misteri, meskipun kadar
zinc pada cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.
3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal. Mioklonus
terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung fase tidurnya dan paling
sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat usia 6 bulan. Tidak diperlukan
terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan berhenti
sendiri.
Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada
binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia.
Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan
untuk memperkirakan penyebab kejang.
Etiologi Onset (hari)
0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan
Ensefalopati
Iskemik
hipoksik
+ +++ +++
Perdarahan
intracranial
+ + ++ +
J.Infeksi + + ++ ++
10
Gangguan
perkembangan
otak
+ + ++ ++
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemi + + + +
Sindrom
epileptic
+ + +
Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi
Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11
C. Epidemiologi
Angka kejadian kejang pada neonatus umumnya berkisar antara 1,5-14 per 100
kelahiran hidup. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) yaitu pada bayi
dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian kejang pada
neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per
tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut menurut SDKI 2002-
2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka
kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar
10%. 3,7
Di India angka insiden 5 per 1000 kelahiran hidup antara 1959 dan 1962. Nasional
Neonatal Perinatal Database (NNPD) dari India yang dikumpulkan informasi dari 18
pusat dari di seluruh negeri pada tahun 2002-03 telah melaporkan insiden 1.0%. 9
D. Klasifikasi
Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan
electroenchepalographic seizure. 9
11
-Clinical seizure : -subtle
-tonik
-klonik
-myoklonik
-Electroenchephalographic seizure : -Epileptic
-Non Epileptic 9
E. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada
neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps aksodendrit
(sinaptogenesis) yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan penyebaran
rangsang ke seluruh korteks (sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak terjadi.
Rangsang dapat menyebar perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak
berlangsung sekaligus bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus
tidak pernah bersifat kejang tonik klonik umum. 11
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan
dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang.
Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan repolarisasi terjadi
karena keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial
membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme
pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :
1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa Natrium
dan Klaium. Hipoksemia dan Hipoglikemia dapt mengakibatkan penurunan yang tajam
produksi energi
12
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan
kecepatan depolarisasi yang berlebihan
3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat mengakibatkan
kecepatan depolarisasi yang berlebihan.
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar glukosa
otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada otak tidak
dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan aliran
darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat
terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah
sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka pendek ini diikuti
oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan
fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12:
Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal :
- Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogenesis belum
- Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap
Keadaan fisiologis perinatal
- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi
- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
- Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang
Mekanisme penyebab kejang pada BBL
Kemungkinan penyebab Kelainan
13
Kegagalan mekanisme pompa Natrium dan
Kalium akibat penurunan ATP
Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Eksitasi neurotransmitter yang berlebihan Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin
Kelainan membrane sel yang
mengakibatkan kenaikan permiabilitas
Natrium
Hipokalsemia dan hipomagnesemia
Tabel 2. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 10
F. Gejala klinis
Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah:
• Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9
-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500
gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh
dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus
kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti meningkatnya
detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang
tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar kejang tonik
terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan
intraventrikular.
• Kejang Klonik
14
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),
penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. 2 Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan
yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan
posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang kesadaran.
Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik.
Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral
dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan atau tanpa
gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau
migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah ke
ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik
lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang karena
kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah member
kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan
metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2500 gram. 2,9
• Kejang Mioklonik
Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.
-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.
-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd
beberapa bagian tubuh.
-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan batang
tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan dengan patologi
SSP yang difus 1
15
• Kejang “subtle”
Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain, hampir
50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa
orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada BKB)
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke
satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda. Episode apneu dapat
disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika terdapat respon yang lambat
terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya pada neonates preterm dengan
lesi intrakranial. 2
Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk pernapasan
ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan berhubungan denagn
derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba disertai kesadaran
menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan intrakranial
dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang
menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL. Bentuk
gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik. Jitterness
tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat dari sensitifitas
terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan.
Manifestasi klinis Jitterness Kejang
16
a. Gerakan abnormal mata - +
b. Peka terhadap rangsang + -
c. Bentuk gerakan dominan Tremor Klonik
d. Gerakan dapat dihentikan
dengan fleksi pasif
+ _
e. Perubahan fungsi
autonom
- +
f. Perubahan pada tanda
vital dan penurunan saturasi
oksigen
+ _
Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi. Hiperekpleksia
kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan sindroma stiff –
baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat berbahaya dan
terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua hal
tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.
G. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang.17
1. Anamnesis
Faktor resiko :
- Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak terdahulu atau
bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya.
- Riwayat kehamilan/ prenatal
Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
Preeklamsia, gawat janin
Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
Imunisasi anti tetanus, Rubela
- Riwayat persalinan
Asfiksia, episode hipoksik
Trauma persalinan
KPD (Ketuban Pecah Dini)
Anestesi lokal/ blok
- Riwayat pascanatal
Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
Kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
Bentuk gerakan abnormal yang terjadi 1,2,13
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau
adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun
menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara hati-
hati.11
18
Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan perdarahn
intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi cytomegalo virus
atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena dengan bentuk berkelok-
kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas. 9
Pemeriksaan jantung dan paru
Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb
Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro, dsb
3. Pemeriksaan Laborat: Glukosa darah, Kalsium dan magnesium darah,
Pemeriksaan darah lengkap, diferensiasi leukosit dan trombosit, Elektrolit, Analisis Gas
Darah, Analisis dan kultur cairan serebrospinalis, Kultur darah.
4. Pemeriksaan lainnya
Titer TORCH
kadar amonia
USG kepala dan asam amino dalam urine.
EEG: Normal pada sekitar 1/3 kasus
USG kepala: Untuk perdarahan dan luka parut
CT Scan: Untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak 11
H. Diagnosis Banding
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikuler 2
I. Komplikasi
- Malformasi otak (15-20%)
19
- Retardasi mental
- Serebral palsy
J. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
- Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
- Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan akuades
sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga hipokalsemia)
- Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
- Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan
berhenti dalam beberapa menit 10,12
Terapi anti kejang :
- Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit, jika tidak
berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan selang
waktu 30 menit.
- Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena
dalam 30 menit.
- Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara intramuskuler
atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam setelah loading dose.
- Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis terbagi
tiap 12 jam. Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas
kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali
didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan kepala atau adanya tanda
neurologi abnormal saat akan pulang. 1,3,5
Obat lain :
20
Golongan Benzodiazepin
- Kelompok ini obat mungkin diperlukan dalam 15% dari neonatal kejang.
Benzodiazepines umum digunakan adalah diazepam, lorazepam, midazolam, dan
clonazepam. Diazepam umumnya dihindari karena untuk durasi pendek tindakan,
indeks terapeutik yang sempit, dan karena kehadiran natrium benzoate sebagai
pengawet. Lorazepam pilihan di atas diazepam karena memiliki durasi yang lebih
lama dari tindakan dan hasil dalam kurang efek (sedation dan efek kardiovaskular).
Midazolam adalah bertindak lebih cepat daripada lorazepam dan dapat dikelola
sebagai sebuah infusi. Hal ini membutuhkan ketat pemantauan untuk depresi
pernapasan, apnea dan bradycardia. Dosis obat ini diberikan di bawah ini:
- � Diazepam: bolus 0,25 mg/kg IV (0.5 mg/kg dubur); mungkin diulang 1 - 2 kali.
- � Lorazepam: 0,05 mg/kg IV bolus lebih dari 2-5 menit; mungkin diulang
- � Midazolam: 0,15 mg/kg IV bolus diikuti oleh infus 0.1 s.d. 0,4 mg/kg/jam.
- � Clonazepam: 0.1%u20130.2 mg/kg IV bolus diikuti oleh infusi 10-30 mg/kg/hr. 2,13
K. Pencegahan
Pencegahan pra konsepsi, ante natal, masa neonatal
L. Prognosis
Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau beratnya
serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang yang
bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak biasanya
tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status epileptikus dan
kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali penderita yang akan
sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan diagnosis yang dapat
menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8
21
a. Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan.
b. Akhir-akhir ini prognosis bayi kejang lebih baik.
c. Prognosisnya buruk bila :
1. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
2. Resusitasi yang tidak berhasil baik
3. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
4. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
5. Bayi berat badan lahir rendah
6. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
7. Adanya problematika minum yang terus berlanjut
d. Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan subarachnoid
e. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation. 8,11
III. KESIMPULAN
1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek neurologi
anak.
3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik, toksik,
struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu ini
daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.
22
4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi
tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson
dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus. Discharge kejang
karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk
menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan benar diharapkan akan
memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : EGC. 2000; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066
2. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar Neonatologi. Jakarta
: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249
3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 507-23.
4. Depkes RI. Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode tepat
guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
23
5. Sankar J, Agarwal R. Seizures in the newborn. Department of Pediatrics. All India
Institute of Medical Sciences. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http: // www.newbornwhocc.org diakses tanggal 14 januari 2012
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 84-92
7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc
Graw-Hill, 2004; 310-3.
8. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis and
management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998; 15-35
9. Young TE, Mangum B. Neofax, edisi ke-7, 2004 : 154-155
10. Etika R. Kejang pada Neonatus. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/ Diakses tanggal 8 januari 2012.
11. Anonim. Kejang pada bayi baru lahir. Dimuat tahun 2009. Diunduh dari
http://www.supportunicefindonesia.org . Diakses tanggal 6 januari 2012.
12. Volpe JJ. Neonatal zeisures. Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the newborn.
Edisi ke 4. Philadelphia: W B Saunders, 2001. h. 178-214
13. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds.
Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 569-
76.
14. Tjipta G. Kejang pada Neonatus. Dimuat tahun 2008. Diunduh dari
http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-NEONATOLOGI-ATAU-PERINATOLOGI
diakses tanggal 5 januari 2012.
24