referat fix debbiecindew brpn
DESCRIPTION
cdgfgjgkjTRANSCRIPT
Referat
Bronkopneumonia dengan Komplikasi
Meningoensefalitis
Pembimbing
dr. Josef, Sp.A
disusun oleh
Debbie Cinthia Dewi
11.2014.194
KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RS MARDI RAHAYU KUDUS
PERIODE 3 AGUSTUS 2015 – 10 OKTOBER 2015
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru, meliputi alveolus dan jaringan interstitial. Pneumonia pada anak dapat
dibedakan menjadi:
1. Pneumonia lobaris,
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis),
3. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia).
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian utama pada
balita. Departemen Kesehatan mendapatkan pneumonia sebagai penyebab kejadian dan
kematian tertinggi pada balita. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari
2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak.
Bronkopneumonia merupakan suatu peradangan parenkim paru yang terlokalisir yang
biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) yang sering menimpa anak-anak dan balita,
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda
asing. Beberapa factor yang dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya dan beratnya
pneumonia antara lain adalah defek anatomi bawaan, deficit imunologi, aspirasi, dan lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada anak <5 tahun di Negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di Negara berkembang 10-20/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di
negara berkembang.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, menurut data mortalitas tahun 1990,
pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak di bawah 5 tahun dan 80%
terjadi di negara berkembang, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13%
dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Mortalitas disebabkan oleh
bakteremia S.aureus dan S.pneumoniae selain karena malnutrisi dan kurangnya akses
keperrawatan.
Etiologi
Penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi dua, yaitu factor infeksi dan
factor non infeksi. Pada faktor infeksi yang dapat menjadi penybabnya adalah bakteri, virus
dan jamur. Bakteri yang paling sering menjadi penyebab adalah Streptococcus pneumonia.
Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Pada usia < 3 tahun virus yang
paling sering ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Pada umur yang lebih
muda dapat juga ditemukan adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza virus. Pada anak-
anak lebih dari 10 tahun lebih sering ditemukan Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia
pneumonia. Pada anak usia 2-59 bulan bakteri yang paling sering ditemukan adalah
Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus epidermis.
Pada faktor non-infeksi yang sering ditem’ukan adalah akibat dari defek anatomis
bawaan, disfungsi menelan, refluks esophagus (GER), deficit imunologi, polusi, aspirasi, gizi
buruk, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI, imunisasi yang tidak lengkap.
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan
terapi yang lebih relevan.
Pembagian secara anatomis :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
3. Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
Pembagian secara etiologi :
- Bakteri: Mycobaterium tuberculosis, Pneumococcus pneumonia,
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
- Virus: Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
- Jamur: Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,
Blastomycosis, Cryptoccosis.
- Corpus alienum, Aspirasi, Pneumonia hipostatik
Pathogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain
- Inhalasi langsung dari udara,
- Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring,
- Perluasan langsung dari tempat-tempat lain,
- Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari:
- Susunan anatomis rongga hidung
- Jaringan limfoid di nasofaring
- Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
- Refleks batuk.
- Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
- Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
- Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
- Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu:
1. Stadium I (4–12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya). Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat.
3. Stadium III (3 – 8 hari). Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari). Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Manifestasi klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk
biasanya dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di
mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada anak virus lebih
sering menjadi penyebab daripada bakteri. Pada infeksi bakteri harus ada infeksi kronis yang
mendasari.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia
menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara
pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar
lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
- Inspeksi : pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi sela iga.
- Palpasi : fokal fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit
- Perkusi : Sonor memendek sampai beda
- Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki
basah halus sampai sedang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, pneumonia viral/Mycoplasma dapat ditemukan
leukosit normal atau sedikit meningkat. Pada pneumonia bacterial dapat ditemukan
leukositosis (15.000-40.000/mm3), predominan PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang
ditemukan eosinoflia.
Foto thorax tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada anak dengan
infeksi saluran pernafasan bawah akut ringan. Pemeriksaan dilakukan pada penderita
pneumonia yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang membingungkan. Secara umum
gambaran foto toraks pada pneumonia dapat berupa:
- Infiltrate interstisial : peningkatan corakan bronkovaskuler, hiperaerasi.
- Infiltrate alveolar (pneumonia lobaris) : mengenai 1 lobus paru
- Bronkopneumonia : bercak-bercak infiltrate difus merata pada kedua paru
disertai peningkatan corakan peribronkial
- Pneumonia virus : penebalan peribronkial, infiltrate interstisial merata,
dan hiperinflasi
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik
direkomendasikan pada tata laksana anak dengan pneumonia berat.
Pemeriksaan antigen virus dengan atau tanpa kultur (jika fasilitas tersedia) dilakukan
pada anak usia < 18 bulan.
Analisis cairan pleura bila terdapat efusi pleura, dilakukan pemeriksaan mikroskopis,
kultur, deteksi antigen.
Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), laju endap darah (LED), dan protein fase akut
lainnya tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada
bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto
rontgen pada anak dan bayi gambarannya sering tidak sesuai dengan gambaran klinis. Tidak
jarang secara klinis tidak ditemukan apa-apa tetapi gambaran thorak menunjukkan
pneumonia berat. Ketepatan perkiraan etiologi dari gambaran foto thoraks masih
dipertanyakan, tetapi para ahli sepakat adanya infiltrate menunjukkan adanya bakteri
sehingga perlu diberi antibiotika. Rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi
seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah
sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada
dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa
lobus. Foto rontgen pada anak dan bayi gambarannya sering tidak sesuai dengan gambaran
klinis. Tidak jarang secara klinis tidak ditemukan apa-apa tetapi gambaran thorak
menunjukkan pneumonia berat. Ketepatan perkiraan etiologi dari gambaran foto thoraks
masih dipertanyakan, tetapi para ahli sepakat adanya infiltrate menunjukkan adanya bakteri
sehingga perlu diberi antibiotika. Rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi
seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah
sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada
dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena
pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab
tidak selalu dapat ditemukan.
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
- Bronkopneumonia sangat berat : Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak
sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
- Bronkopneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih
sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
- Bronkopneumonia : Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang
cepat :
a. 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
b. 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
c. 40 x/menit pada anak usia 1 – 5 tahun.
- Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti
diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. Deteksi antigen bakteri
Komplikasi
MENINGOENCEPHALITIS
Meningitis Bakterial Akut
Meningitis bakteri merupakan salah satu infeksi serius pada bayi dan anak. Infeksi ini
berhubungan dengan seringnya terjadi komplikasi akut dan kecacatan.
Etiologi
Bakteri penyebab meningitis pada neonates (0-28 hari) biasanya berbeda dengan anak
yang lebih besar. Patogen umum yang sering menginfeksi adalah streptokokus tipe B dan D
(enterococcus), bakteri gram negative enteric bacilli (E.Coli, Klebsiella) dan Listeria
monocytogenes. Streptokokus grup B dilanjuti dengan E.coli merupakan kuman yang paling
sering menyebabkan meningitis pada neonates. N. meningitiditis merupakan kuman tersering
yang menyebabkan meningitis pada anak usia 2 bulan – 12 tahun. S. pneumonia dan H.
influenza tipe B sudah lebih jarang karena ada imunisasi terhadap pathogen saat usia 2 bulan.
Epidemiologi
Faktor resiko utama dari meningitis adalah kurangnya imunitas spesifik terhadap
pathogen pada usia dini. Resiko lainnya seperti kolonisasi kuman pathogen, kontak dengan
sumber kuman. Transmisi kuman terjadi antara manusia-manusia melalui saluran pernafasan.
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, virus,
bakteri, jamur, protozoa atau parasit.2 Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus,
sehingga “ensefalitis” infeksi oleh virus.3
Meningoensefalitis Viral
Meningoensefalitis viral merupakan inflamasi akut meningen dan sel otak.
Karakteristik dari cairan serebrospinal dengan pleositosis dan tidak adanya mikroorganisme
gram pada kultur bakteri. Infeksi viral biasanya sembuh dengan sendirinya.1-3
Enterovirus merupakan virus yang paling sering menyebabkan meningoensefalitis. Lebih dari
80 serotype RNA virus telah diidentifikasikan. Infeksi dari enterovirus dapat ringan, dengan
self-limited illness sampai infeksi berat yang menyebabkan kematian atau meniggalkan gejala
sisa.1
Arbovirus atau lengkapnya “arthropod-borne virus” merupakan penyebab penyakit
demam. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk dimana virus itu
“berkembang biak” menjadi penyebarannya. Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah
perjalanan penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya
menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5 hari.1 Sesudahnya penderita mereka sudah
sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupakan gejala
pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, dan
konvulsi.
602-2 -- Clinical Conditions and Infectious Agents Associated with Aseptic Meningitis1
VIRUSES
Enteroviruses (coxsackievirus, echovirus, poliovirus, enterovirus)
Arboviruses: Eastern equine, Western equine, Venezuelan equine, St. Louis encephalitis, Powassan and California encephalitis, West Nile virus, Colorado tick fever
Herpes simplex (types 1,2)
Human herpesvirus type 6
Varicella-zoster virus
Epstein-Barr virus
Parvovirus B19
Cytomegalovirus
Adenovirus
Variola (smallpox)
Measles
Mumps
Rubella
Influenza A and B
Parainfluenza
Rhinovirus
Rabies
Lymphocytic choriomeningitis
Rotaviruses
Coronaviruses
Human immunodeficiency virus type 1
Epidemiologi
Pola epidemiologi dari meningoensefalitis terutama ditentukan dari prevalensi
enterovirus. Infeksi enterovirus dapat menular melalui manusia ke manusia, dengan masa
inkubasi 4-6 hari.1 Kasus ini banyak terjadi pada lingkungan dengan suhu iklim panas
(summer). Agent lain selain enterovirus juga dipengaruhi oleh kondisi iklim, cuaca, geografi
dan eksposur dari vector.
1. Berdasarkan tahapan virus menginvasi otak1
a. Ensefalitis Primer, virus langsung menyerang otak
b. Ensefalitis sekunder, diawali adanya infeksi sistemik atau vaksinasi.
2. Berdasarkan jenis virus
a. Ensefalitis virus sporadik : virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes
Zoster, mumps, limfogranuloma dan lymphocytic choriomeningitis yang
ditularkan gigitan tupai dan tikus
b. Ensefalitis virus epidemik : virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki,
virus ECHO, virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi: Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi,
dan jenis-jenis virus yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik
Penyebaran virus 1
a. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia : Parotitis, Campak, Kelompok virus
entero, Rubela, Kelompok Virus Herpes: Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2),Virus
varicela-zoster,Virus CMV kongenital, Virus Epstein Barr, Kelompok virus poks:
Vaksinia dan variola.
b. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda : Virus arbo, Caplak
c. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas : Rabies, Virus herpes Simiae (virus “B”),
Koriomeningitis limfositik
2. NON–VIRUS1
a. Riketsia
b. Mycoplasma pneumonia
c. Bakteri
d. Spirochaeta: Sifilis, kongenital atau akuisita, leptospirosis
e. Jamur: Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis,
Aspergillus fumagatus, Mucor mycosis
f. Protozoa: Plasmaodium Sp., Trypanosoma Sp., Naegleria Sp., Acanthamoeba,
Toxoplasma gondii
g. Metazoa: Trikinosis, Ekinokokosis, Sistiserkosis, Skistosomiasis
Pada infeksi pneumonia Staphylococcus, perburukan klinis yang cepat walaupun sudah
diterapi, pada foto toraks didapat pneumotokel/pneumotoraks dengan efusi pleura, pada
apusan sputum ditemukan kokus Gram +, dapat terdapat infeksi kulit yang disertai
pus/pustul. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering pada pneumonia bakteri.
Pericarditis purulenta, Infeksi ekstrapulmoner (meningitis purulenta), miokarditis (pada anak
usia 2-24 bulan), cor pulmonale, dekompensatio cordis.
Penatalaksanaan
1. Pneumonia ringan
- Rawat jalan
- Antibiotic (kotrimoksasol, amoksisilin 2x/hari selama 3 hari)
2. Pneumonia berat
- Pemberian oksigen. Dipantau tiap 4 jam.
- Hindari pemberian makan secara oral.dapat diganti dengan NGT.intravena.
- Antipiretik
- Nebulisasi
- Antibiotic (amoksisilin IV atau IM setiap 8 jam, dipantau ketat dalam 72 jam
pertama. Bila respon baik diteruskan sealam 5 hari. Lalu dilanjutkan dengan
amoksisilin oral 3x/hari selama 5 hari. Bila respon memburuk diberikan
kloramfenikol IM atau IV setiap 8 jam)
Prognosis
Data survei kesehatan nasional (SKN, 2011) menunjukan bahwa 27,6% kematian bayi
dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan olleh penyakit respiratori, terutama
pneumonia.
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat
dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pencegahan
Bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan
tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan
makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
- Vaksinasi Pneumokokus
- Vaksinasi H. Influenza
Daftar Pustaka
1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, dkk [editor]. Pedoman pelayanan medis
ikatan dokter anak Indonesia. Jilid ke-1. Cetakan ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2010.h.250-5.
2. Prober CG. Pneumonia. Dalam: Wahab AS. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-15.
Volume ke-2. Jakarta: ECG; 2012.h.883-9.
3. Callistania C, Indrawati W. Pneumonia. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta
EA [editor]. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.h.174-6.
4. IDAI. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2004.h.351-8.
5. Matondang, Cory dkk. Diagnosis Fisik pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto;
2003.