referat baru fix aamiiiin
DESCRIPTION
referat pdlTRANSCRIPT
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh
adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu.
Penyakit ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun
alergi dan non-alergi.1
Kompleks imun merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang
saling berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan
dari sirkulasi. Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan
akan terperangkap ke dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh
darah. Di dalam jaringan, kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh
komplemen dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks
imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam menimbulkan suatu proses
penyakit.1
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja
bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung
pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana
antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari
antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang
ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,
agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema.2
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine
atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local.
Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks
yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di
berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat.2
Reaksi yang diinisiasi kompleks imun dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Hal itu dapat dicegah dengan diagnosis dan
penatalaksanaan dini yang akurat dan adekuat.
1
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
BAB II
IMUNOPATOGENESIS
PENYAKIT KOMPLEKS IMUN
1. Imunopatogenesis penyakit kompleks imun 1,2,3
Dasar patofisiologi dari penyakit kompleks imun ini adalah reaksi
hipersensitivitas tipe I,II, dan III menurut Gell dan Comb. Reaksi yang terjadi
disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgM dan IgG, dan
dapat pula berupa IgA atau IgE. IgG dan IgM mengaktifkan komplemen melalui
jalur alternatif. Pada penyakit kompleks imun alergik seperti Aspergilosis
Bronkopulmonari Alergik IgE juga berperan melalui reaksi hipersensistivitas tipe
I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage
Chemotactc Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas
enzim protease dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Makrofag
juga melepas bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin
(Oksigen Radikal Bebas) yang akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih
parah.1,2
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen
dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear, terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam
proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada
umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh
makrofag dalam hati, sedangkan kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan karena
itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi
fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan.
2
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
tersebut mengendap di jaringan.
Hal yang memungkinkan terjadinya pengednapan kompleks imun dalam
jaringan, ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang
meninggi, antara lain karena histamin yang dilepas.
Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada penglepasan
histamin tersebut. Histamin dilepas dari mastosit atas pengaruh anafilaktosin
(C3a dan C5A) yang dilepas pada aktivasi komplemen.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan, misalnya dalam kapiler
glomerulus, bifurkasi pembuluh darahm pleksus koroid dan ciliary body mata.
Pada lupus eritematosus sistemik (SLE), ginjal merupakan tempat endapan
kompleks imun. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk
anti-IgG (faktor reumatoid berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun di
sendi.
Muatan listrik kompleks imun ikut pula berperan. Kompleks imun
bermuatan positif cenderung lebih mudah mengendap, terutama di glomeruli. Hal
ini diduga karena glomeruli bermuatan negatif.
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen,
tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan
secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan
kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.2
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis
besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan,1,2 yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang
lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat
mengendap di berbagai jaringan.
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara
terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru–paru,
akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
3
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Gambar 1. Reaksi kompleks imun2
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang
pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti
halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III,
antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen
antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen,
menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak
proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula
berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim
pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,
proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak
jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler
twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).1,3
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja
bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung
pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana
antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari
antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang
4
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,
agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.2
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine
atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local.
Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks
yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di
berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat
seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang
berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula. Meskipun
demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi
sistemik seperti:3
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara
lain : 1,2
a. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun
harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar
biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit,
tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk
beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan
produksi antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan
pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu
bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.1
5
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
b. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh
kelas immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah
melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari
sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah
melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan
kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-
paru, dan otak.2,4
c. Aktivasi komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi
klinik adalah berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik.
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan
kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat
pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan
melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana
kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu,
misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan
membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia
terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa
kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau
terperangkap dalam jaringan.1,2
d. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan
permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan
vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi
ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan
trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan
permeabilitas vascular.
e. Proses hemodinamik
6
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-
tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks
imun mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat
hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat
terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
f. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di
tempat – tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan
kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun
lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks
imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh
afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu
lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam
rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus
erythematosis -SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai
senyawa asing dan membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks
Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:
− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala
(Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada
7
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III
antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap
immunisasi dan antitoksin.
Reaksi Artus1,2
Artus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal
berulang kali menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan.
Mula-mula hanya terjadi eritema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi
tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edema
yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis
yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Artus yang merupakan bentuk
reaksi dari kompleks imun.
Reaksi Artus biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah
besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut
dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat
menjadi besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosin) yang
terbentuk meninggikan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edema.
Komponen lain yang berperan adalah faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit
mulai menimbun ditempat reaksi dan mengakibatkan stasis dan obstruksi total
aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan toksik seperti
oksigen radikal bebas, protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhiornya
terjadi perdarahan disertai dengan nekrosis jaringan setempat.
Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibodi, dan berbagai
komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh darah. Bila
kadar komplemen atau jumlah granulosis (pada binatang, kadar komplemen dapat
diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari Artus tidak terjadi. Di
dalam klinik, reaksi Artus jarang terlihat.
8
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
BAB III
PEMBAGIAN PENYAKIT KOMPLEKS IMUN
1. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) 1,4,14
a. Definisi SLE
Lupus adalah suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan oleh
penyakit autoimun.
Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh.
Penyakit lupus terjadi akibat produksi anti-bodi yang berlebihan, sehingga
tidak berfungsi menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh,
melainkan justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh
sendiri Jika jaringan kulit saja yang terlibat, disebut diskoid lupus, jika
organ-organ dalam turut terlibat, ia dikenali sebagai lupus eritematosus
sistemik.4
b. Patogenesis SLE
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial,
karena komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks
penghancur membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada
pasien lupus eritematosus sistemik.
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan
membuat anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam
serangan virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen).
Pada penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti
kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan
sel maupun jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang
seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi
berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh,
tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya
sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan
anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun.
9
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
c. Etiologi SLE
Hingga kini, faktor penyebab hadirnya lupus di tubuh belum
diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian kemungkinan lupus
hadir melalui beberapa faktor diantaranya :
Faktor Lingkungan
- Infeksi
- Stress
- Makanan
- Antibiotik (khususnya kelompok sulfa & penisilin)
- Ultraviolet
- Penggunaan obat-obat tertentu
Faktor Genetik
Sampai saat ini, tidak diketahui gen-gen yang menjadi
penyebabnya, lupus diturunkan angkanya relatif kecil, kemungkinan hanya
10 %.
Faktor Hormon
Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa kaum hawa lebih
sering terkena lupus dibanding pria. Meningkatnya angka pertumbuhan
10
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
penyakit lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan
mendukung keyakinan bahwa hormon, khususnya estrogen, menjadi
pencetus lupus.
Faktor Sinar Matahari
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat
merangsang peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimun.
d. Jenis-Jenis Lupus
Lupus Eritematosus Diskoid
- Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan
manifestasi beberapa jenis kelainan kulit
- Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung,
pipi), telinga atau leher.
- Ruam kulit berupa makula eritem, berbatas jelas dengan sumbatan
keratin pada folikel-folikel rambut (follicular plugs). Bila ruam
atau lesi di atas hidung dan pipi berkonfluensi dapat seperti kupu-
kupu (Butterfly Erythema)
- Ruam biasanya tidak nyeri dan bukan penyakit gatal, tetapi
bekasnya dapat menyebabkan hilangnya rambut permanen. 5-10 %
pasien dengan lupus diskoid dapat berkembang menjadi lupus
eritematosus sistemik
- Ruam ini pulih dengan meninggalkan parut, diskoid lupus tidak
serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain
Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria A.R.A (The American Rheumatism Association) 1982 :
1. Eritema fasial (butterfly rash)
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut dan rinofaring
5. Arthritis (non erosif, mengenai dua atau lebih sendi perifer)
11
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
6. Serositis (pleuritis, pericarditis)
7. Kelainan ginjal :
- Proteinuri 0,5 g/dl atau > 3+
- Cellular cast : sel darah merah, Hb, granular, tubular atau mix
8. Kelainan neurologi : (kelelahan, psikosis)
9. Kelainan darah :
- Hemolitik anemia dengan retikulosit
- Leukopenia : < 4000/mm3
- Trombositopenia: <100.000 mm
10. Kelainan imunologi :
- Anti- DNA
- Anti-Sm
- Positif semu test serologik untuk sifilis
11. Anti-bodi antinuklear (8).
Gejala atau Simptom
1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %
2. Demam di atas 38oC 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthritis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan
81%
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %
10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %
11. Rambut rontok 27 %
12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %
13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %
14. Stroke 15 %
15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %
16. Selera makan hilang > 60 %
12
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Lupus Obat
Timbul akibat efek samping obat akan sembuh sendiri dengan
memberhentikan obat terkait, biasanya pemakaian obat hydralazine
(obat hipertensi) dan procanamide (untuk mengobati detak jantung
yang tidak teratur)
Hanya 4 % dari orang yang mengkonsumsi obat-obat yang bakal
membentuk anti-bodi penyebab lupus.
e. Diagnosis SLE
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki
gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang
berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus
sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus
sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.
Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejala-gejala yang di
diskusikan diatas. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus
eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang
cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan
kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah
observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut,
diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian,
diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien
dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi.
Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang
kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian.
Sebelas kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis lupus
eritematosus sistemik :
o Ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu di daerah pipi atau muka.
o Ruam diskoid : bercak-bercak kemerahan yang dapat menyebabkan
parut.
o Fotosensitivitas : ruam kulit akibat reaksi terkena matahari.
13
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
o Ulkus pada membran mukosa : ulkus daerah mulut, hidung atau
tenggorokan.
o Arthritis : pembengkakan pada dua atau lebih sendi-sendi di
ekstremitas.
o Pleuritis dan Perikarditis : peradangan pada jaringan ikat yang
membungkus jantung atau paru-paru, biasanya berkaitan dengan nyeri
dada saat bernafas.
o Gangguan ginjal : terdapatnya jumlah proteinuri yang abnormal.
o Iritasi otak : ditunjukkan dengan adanya kejang dan psikosis.
o Hitung darah yang tidak normal : ditemukannya leukosit, eritrosit dan
trombosit yang rendah.
o Gangguan imunologis : pengujian imun yang abnormal termasuk anti-
bodi anti-DNA atau anti-Sm (Smith), positif semu pada pengujian
darah untuk sifilis, anti-bodi anti-kardiolipin, uji LE positif.
o Anti-bodi antinuklear : pengujian anti-bodi ANA positif
o Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya
dapat membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus
sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang terlibat.
Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah, pengujian
kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi
jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu
diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik
f. Pemeriksaan Penunjang SLE 1,6,14
1. Patologi Anatomi
Epidermis atrofi
Degenerasi pada junction dermal-epidermal
Dermis edema
Infiltrat limfositosis dermal
Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding
pembuluh darah.
14
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2. Imunofloresensi Kulit
LBT (lupus band test)
Direct imunofloresensi demonstrasi IgG, IgM, C3
3. Serologi
ANA positif
Anti double strand DNA antibodies
Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
Anti-kardiolipin auto anti-bodi
4. Hematologi
Anemia
Limpopenia
Trombositopenia
Elevasi ESR
5. Urinalisa
Proteinuria
g. Komplikasi SLE
1. Serangan pada Ginjal
Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)
2. Serangan pada Jantung dan Paru
Pleuritis
Pericarditis
Efusi pleura dan Efusi pericard
Radang otot jantung atau Miocarditis
Gagal jantung
Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan Sistem Saraf
15
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
a. Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan
kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat
menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung
cahaya disebut lesi diskoid
§ Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir
70-an :
o Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka
psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
o Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat
mencakup area yang luas di bagian tubuh
§ Lesi non spesifik
o Rambut rontok (alopecia)
o Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan
kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki
yang dapat menjadi borok
o Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari
dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
16
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
h. Penatalaksanaan SLE14
1. Serangan pada Ginjal
§ Urinalisis
§ Creatinin clearence test
§ BUN
§ Sinar X
§ Biopsi ginjal
§ Therapi :
Kortikosteroid (Prednison, Prednisolone, Metilprednisolone)
Sitostatik/Imunosupresif (Azatioprin, Siklofosfamide)
§ Hemodialisa
2. Serangan pada Jantung dan Paru
o Semua pasien lupus mengalami serangan batuk secara tiba-tiba atau
rasa sakit di dada harus segera memberitahu dokter.
o Masalah jantung dan paru yang berkaitan dengan lupus dapat di obati
namun, tetap harus ditindak lanjuti secara seksama
3. Serangan Sistem Saraf
o Pengobatan sistem saraf lupus tergantung dari gejalanya.
o Pengobatan dapat menggunakan : steroid, imunosupresan, anti
koagulan, antibiotik, anti konvulsan, anti depresi, konsultasi dengan
psikiater, atau operasi pembedahan.
4. Serangan pada Kulit
17
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Pengobatan penyakit kulit akibat lupus eritematosus sistemik dapat
menggunakan : cream steroid, plester steroid untuk menutup luka
lupus, atau dengan suntikan steroid dosis tinggi.
Untuk luka akibat lupus yang menyebar luas, sering diobati dengan
hidroksikhloroquin (plaquenil) atau di kombinasi dengan steroid
oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat.
Cream pelindung matahari digunakan untuk mencegah luka kulit
lupus.
Sebaiknya odapus menghindari paparan sinar matahari secara
langsung dalam waktu yang lama
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus dapat diobati : NSAIDs, seperti aspirin,
ibuprofen, dan naproxen.
- Bila tidak efektif dapat digunakan obat-obatan anti malaria seperti
hidroksihloroquin (plaquenil) efektif untuk mengobati gejala kulit
dan sendi yang biasa terjadi pada lupus eritematosus sistemik.
- Anti malaria juga dapat meredakan gejala ruam kulit dan sendi
pada pasien lupus
i. Kesimpulan
Lupus merupakan suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan
oleh penyakit autoimun. Ia muncul karena adanya aktivitas sistem
kekebalan tubuh (zat anti-bodi) yang berlebihan.
2. Vaskulitis6,15
a. Definisi
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang
di tandai adanya proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh
darah.Pembuluh darah yang terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai
ukuran.5
b. Etiologi Vaskulitis
18
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan
jelas, namun ada beberapa yang memegang peranan yang memicu
timbulnya penyakit ini yaitu:
a. Komplek imun
b. Infeksi bakteri atau virus
c. Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan
parasit.
d. Genetik
e. Nekrosis granulomatosa
c. Klasifikasi Vaskulitis6,14,17
Walaupun banyak pembagian mengenai vaskulitis akan tetapi
klasifikasi yang banyak dianut adalah pembagian menurut Consensus
Chapel Hill (1994) yang melibatkan berbagai ahli sehingga dapat diterima
dari berbagai susdut pandang.
1) Vaskulitis Primer
i. Vaskulitis Pembuluh Darah Besar
Arteritis Takayasu
Adalah penyakit kronik yang tidak diketahui etiologinya
yang sering muncul pda wanita muda. Prepalensi lebih banyak
ditemukan pada orang asia . penyempitan , sumbatan bervariasi
tergantung kepada tingkat kelainan penyakit tersebut sehingga
gejala klinisnya akan berbeda tergantung derajat penyumbatan
dan kerusakan .
Umumnya 80-90% arteritis takayasu mengenai wanita .
dapat dimulai pada umur 10-40 tahun . Gejala awal umumnya
berupa kelelahan , penurunan berat badan , dan panas yang tidak
terlalu tinggi . Gejala artralgia atau pun nyeri otot ditemukan pada
separuh pasien dan jarang disertai sinovitis. Nyeri daerah sendi
dapat hilang timbul atau menetap . (tjokronegoro,2001)
Tanda dan gejala lainnya asimetris denyut arteri dan
hilangnya pulsus arteri , bruit di arteri , hipertensi (reno
19
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
vascular), sakit kepala , sinkop atau postural dizziness dan
klaudikasio
Criteria diagnosis arteritis takayasu ( ditemukan 3 dari 6 kriteria )
No Kriteria Definisi
1 Usia awal penyakit < 40
tahun
Timbul gejala ditemukan pada umur 40
tahun atau kurang
2 Gejala klaudikasio
ekstremitas
Perburukan kelemahan , perasaan tidak
enak pada otot (pegal) satu atau lebih
terutama bila melakukan aktivitas terutam
ekstremitas bagian atas
3 Penurunan pulsasi arteri
brakialis
Adanya penurunan pulsasi salah satu
atau kedua arteri brakialis
4 Perbedaan TD > 10 mmHg Adanya pebedaan TD sistolik >10 mmHg
antara kedua lengan
5 Bruit pada daerah A .
subklavia atau aorta
Ditemukan bruit pada pemeriksaan
auskultasi diatas kedua daerah atau salah
satu arteri subklavia atau pun aorta
abdominalis
6 Angiografi yang abnormal Ditemukan arteriogram dengan
penyempitan atau penyumbatan aorta dan
cabang – cabangnya .
Arteritis Temporal (giant cell arteritis)
Suatu penyakit yang kausanya tidak diketahui,terjadi pada
pembuluh arteri besar dan medium.Gejala akan muncul pada umur
50 tahun atau lebih (90% didapatkan pada umur 60 tahun atau
lebih), insidensi terbanyak pada usia 70 tahun.Dua pertiga pasien
adalah wanita.Pada umumnya gejala dapat muncul beberapa
minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala dapat berupa
kelelahan, pana, dan berat badan menurun. Keluhan panas
20
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
ditemukan pada setengah pasien arteritis temporal. Suhu dapat
tinggi lebih dari 40 derajat Celsius dan disertai gejala yang mirip
sepsis. Gejala lainnya yang sering di jumpai adalah polimialgia
reumatika dan keluhan sakit kepala dan gejala local yang
berhubungan dengan lesi kelainan berupa nyeri tekan di arteri
temporal, pembengkakan dan kadang ditemukan bruit. Kadang
ditemukan gangguan penglihatan yang dapat menetap.
Criteria diagnostic arteritis temporal.(ditemukan 3 dari 5 kriteria)
(Kriteria American college of rheumatology tahun 1990)
No
.
Kriteria Definisi
1 Usia saat awitan ≥ 50
tahun
Timbul tanda dan gejala pertama kali pada usia
50 tahun atau lebih
2 Sakit kepala (baru) Nyeri yang baru pada lokasi
3 Kelainan
A.temporalis
A.temporalis yang lemah pada palpasi atau
ditemukan pulsasi yang menurun, tidak ada
hubungannya dengan aterossklerosis a.cervicals
4 Kenaikan LED LED ≥50mm/jam (westergen)
5 Kelainan pada biopsi Menunjukkan predominansi infiltrasi
mononuclear atau infragranulomatosa umumnya
dengan multi-nuklear giant cell
ii. Vaskulitis Pembuluh Darah Sedang
Poliarteritis nodosa (Poliarteritis nodosa klasik)
Suatu penyakit kompleks imun arteri muskularis dan arteriol.
Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya tidak
diketahui. Gejala yang dapat ditemukan ialah : artralgia , mialgia ,
gangguan saraf perifer , kemerahan pada kulit ,nodul di kulit , nyeri
abdomen , hipertensi ,dan gangguan pada jantung ( gagal jantung ).
21
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Untuk memudahkan pendekatan diagnosis perlu diingat hal sebagai
berikut :
- Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah sedang, organ yang
terkena kulit , otot, saraf perifer , lambung , ginjal , sedang
paru –paru tidak terkena.
- Dihubungkan dengan HBsAg (kurang lebih 20 %)
- Diagnosis ditegakkan dengan angiografi dan biopsi jaringan .
Arteriografi menunjukkan adanya aneurisma atau oklusi arteri
visera yang bukan disebabkan oleh arteriosklerosis atau sebab
noninflamasi lainnya.Pada biopsi didapatkan adanya gambaran
granulosit dan mononuklear pada dinding arteri.
Penyakit Kawasaki
Beberapa buku menyebut istilah poliarteritis infantile , karena
berhubungan dengan usia yang terjadi pada anak-anak . Penyakit
ini jarang mengenai orang dewasa.
Kriteria diagnosis :
1. Panas > 5 hari
2. Ditemukan 4 dari 5 keadaan ini :
a) Injeksi konjungtiva non eksudatif bilateral .
b) Ditemukan salah satu kelainan di orofaring :
- Injected atau fisura di bibir
- Injected farings
- Strawberry tongue
c) Satu atau lebih kelainan di ekstremitas.
- Eritema di telapak tangan
- Edema di tangan atau kaki
- Deskuamasi periungual
d) Eksantema polimorfi
e) Kelenjar getah bening servikal akut non supuratif
inflamasi
3. Penyakitnya tidak dapat diterangkan oleh sebab lain .
22
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
iii. Vaskulitis Pembuluh Darah kecil
Granulomatosis Wagener
Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran nafas bagian
atas dan bawah serta ginjal yang etiologinya tidak di ketahui .Proses
inflamasi yang terjadi dapat mengenai system arteri dan vena terbukti
dengan ditemukannya deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya . Dari
keadaan ini dapat disimpulkan bahwa yang bertanggung jawab pada
proses diatas adalah system imun.
Hubungannya dengan ANCA (merupakan suatu keadaan
kompleks imun)yang dapat merusak pembuluh darah banyak
dilaporkan peneliti , walaupun pada beberapa kasus belum terbukti
hubungannya. Bila mengenai ginjal akan menimbulkan
glomerulonefritis kresentik .
Kriteria diagnostik granulomatosa wagener (ditemukan 2 dari 4 kriteria di bawah
ini )
No Kriteria Definisi
1 Inflamasi oral atau
nasal
Timbulnya ulkus di mulut yang nyeri atau tidak di
temukannya sekret hidung yang purulen atau
hemoragik
2 Foto dada
abnormal
Dapat di lihat gambaran nodul , infiltrat yang menetap
atau kavitas
3 Sedimen urin Ditemukan mikrohematuria (> 5 sel darah merah /
LPB) atau silinder eritrosit
4 Biopsi , adanya
inflamasi
Inflamasi granulomatosa di temukan pada
granulomatosa dinding arteri atau daerah
perivaskuler/ekstravaskuler
23
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa granulomatosis
wagener sangat berhubungan erat dengan ANCA , sehingga
pemeriksaan ini sekarang dapat di pakai sebagai pemeriksaan penapis
untuk penyakit wagener.
Sindrom Churg-Strauss
Keadaan yang perlu diketahui mengenai sindrom churg
strauss ialah :
a) Vaskulitis yang mengenai arteri dan vena pembuluh darah sedang
dan dapat mengenai paru, saluran nafas bagian atas , usus, susunan
saraf perifer , kulit ,dan ginjal.
b) Diawali gejala vase alergi (gejal asma).
c) Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru
Kriteria diagnostik sindrom churg-strauss (ditemukan 4 dari 6 kriteria)
No Kriteria Definisi
1 Asma Riwayat wheezing atau ronki kering nyaring pada
ekspirasi
2 Eosinofilia Eosinofil >10% hitung jenis
3 Riwayat alergi Riwayat alergi musim,dan makanan serta kontak
lainnya kecuali alergi obat.
4 Mononeuropati Berhubungan dengan vaskulitis sistemik atau poli
neuropati
5 Infiltrat paru yang
tidak menetap
6 Kelainan sinus
7 Eosinofil ekstra
vascular
Biopsi arteri , arteriol atau venul menunjukkan
penumpukan eosinofil ekstra vascular
Poliarteritis mikroskopik
Poliarteritis mikroskopik (PM) adalah suatu vaskulitis
sistemik yang mengenai arteriol dan kapiler dengan gejala
24
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
prodromal panas, lelah , dan mialgia, yaitu suatu sindrom yang
menyerupai infeksi virus.Pada PM ini tidak ada hubungannya
ddengan infeksi. Gejale tersebut dapat berlangsung 1 bulan
sebelum tanda dan gejala penuh poliarteritis mikroskopik terlihat.
Kelainan akut GN kresentik dapat disebabkan oleh poliarteritis
mikroskopik selain granulomatosa wagener.
Walaupun penyakit tersebut hampir serupa akan tetapi
gejala di luar ginjal berbeda. Poliarteritis mikroskopik dapat
menyebabkangagal ginjal akut (GGA) sehingga bila menemukan
gejala GGA tanpa sebab tidak jelas perlu dipikirkan PM.
Perbedaan yang lain dengan granulomatosis wagener adalah bahwa
pada PM, ANCA jarang ditemukan. Penyakit ini bila tidak segera
di obati akan berakibat fatal, oleh karena itu penemuan secara cepat
akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Purpura Henoch-Schonlein
Suatu sindrom tanpa trombositopenia nyeri abdomen ,
kadang ditemukan perdarahan saluran cerna , dan kelaina ginjal.
Ditemukannya kompleks imun lgA di jaringan merupakan hal yang
patognomonik . Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-
kadang penyakit ini self limiting yang tidak menemukan
pengobatan.
Kriteria diagnostik (ditemukan 2 dari 4 kriteria)
a. Pulpura palpable
b. Umur mulai kena kurang atau sama dengan 20 tahun
c. Bowel angina
d. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding pembuluh darah
(arterio maupun venul)
25
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Vaskulitis krioglobulinemia esensial
Tanda dan gejal yang perlu diketahui :
Vaskulitis pada pembuluh darah kecil umumnya mengenai kulit,
saraf perifer, sendi dan ginjal dan umumnya karena infeksi
hepatitis C.
Angitis kutaneus leukositoklastik
Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah kecil ini sering
juga disebuthypersensitivity vasculitis, oleh karena gejala lebih
banyak pada daerah kulit , jarang / tidak ditemukan kelainan pada
visceral . Nama lain ialah allergic vasculitis, cutaneus systemic
vasculitis, leucocytoclastic vasculitis atau small vessel vasculitis.
Walaupun banyak nama , akan tetapi semua sependapat
bahwa kelainan hanya pada kulit saja yaitu pada biopsi akan
terlihat suatu endapan (deposit) kompleks imun dengan suatu
aktivasi komplemen
Kriteria diagnostik Angitis Leukositoklastik(ditemukan 3 dari 5 kriteria)
No Kriteria Definisi
1 Usia saat awitan penyakit >16 tahun
2 Pengobatan saat awitan
penyakit
Pengobatan yang didapat yang
mungkin menjadi faktor presipitasi
3 Pulpura palpable Tidak berhubungan dengan
trombositopenia
4 Ruam makulopapular
5 Gambaran biopsi arteriol dan
venul
Adanya gambaran granulosit pada
perivaskular dan ekstra vascular
26
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2) Vaskulitis Sekunder
i. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit infeksi
(endokarditis bacterial,viral,mikobakterial dan riketsia).
ii. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit kolagen(lupus
eritematosussistemik,arthritis rheumatoid, sindrom Sjogren’s,
dermatomiositis)
iii. Vaskulitis oleh karena obat(drug induced vasculitis)
iv. Vaskulitis yang berhubungan dengan keganasan
v. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit
sistemik(hepatitis kronik aktif,sirosis biliaris primer).
d. Patofisiologi dan WOC Vaskulitis15,17
Vaskulitis terjadinya akibat aktivitas proses imunologi pada
dinding pembuluh darah.Bebeapa pertanyaan yang banyak dikemukakan
misalnya ,kenapa vaskulitis itu terjadi ,keadaan apa saja yang dapat
mencetuskan kerusakan pembuluh darah,atau jenis allergen apa saja yang
dapat menyebabkan vaskulitis,dan mengapa proses inflamasi tersebut
hanya terjadi pada pembuluh darah tertentus saja tanpa melibatkan
pembuluh darah lainnya,serta mediator-mediator yang dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.Kondisi tersebut hanya
sebagian dapat diterangkan sedangkan mekanisme lainnya masih dalam
penelitian.
Keadaan imunologi yang dapat menerangkan timbulnya aktivasi
imunologi ditentukan oleh beberapa keadaan,yaitu jumlah
antigen,kemampuan tubuh mengenal antigen,kemampuan respons imun
untuk mengiliminasi antigen dan route(target organ)yang dirusak.
Beberapa mediator yang dapat terlibat dalam vaskulitis
ini,misal:interleukin(sitokin)yaitu suatu molekul yang dihasilkan oleh sel
yang teraktivasi oleh respons imun yang dpat berpengaruh terhadap
mekanisme imunolgi selanjutnya.Interleukin yang berperan pada
vaskulitis ialah: IL-1,IL-2,IL-6,IL-4,TNF alfa,dan interferon gama.S
27
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
edangkan mediator inflamasi lainnya yang terlibat dalam terjadinya
vaskulitis misalnya histamine,serotonin,PAF dan endotelin.
Dengan ditemukannya ANCA (Anti Neutrophilic Cytoplasmic
Antibody) pathogenesis beberapa vaskulitis dapat diterangkan,dan dari
beberpa laporan penelitian pemeriksaan ini erat kaitannya dengan arteritis
Wegener.
i. Vaskulitis Reumatoid dan Poliarteritis Nodosa
Patologi pada penyakit ini yaitu: adanya inflamasi nekrotik
fokal, panmural mengenai arteri otot berukuran kecil dan sedang.
Seluruh arteri tubuh dapat terkena dengan berbagai tingkatan
inflamasi. Lesi awal berupa nekrosis fibrinoid bersebukan sel
radang. Perubahan kronik tampak sebagai parut yang tebal dan
menyebabkan oklusi pembuluh darah. Pada tahap awal tampak
adanya deposit komplek imun baik immunoglobulin maupun
komplemen dan sulit di temukan pada fase kronik.
ii. Vaskulitis Hipersensitif
Proses inflamasi dapat di cetuskan oleh reaksi alergi
terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus atau
parasit. Reaksi di perantarai sel maupun komplek imun dapat
terlihat pada penyakit ini. Pada fese akut tampak pembengkakan
endotel pembuluh darah di sertai oklusi lumen, sebukan sel radang
polimurfonuklear dan tampak adanya fragmentasi nucleus serta
leukositoklasik. Tampak pula nekrosis fibrinoid dan
ekstrafasasieritrosit. Fase lanjut akan mengenai jaringan ikat yang
lebih luas dari dermis.
28
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
iii. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-
Strauss)
Pada pembuluh darah dapat di jumpai deposit
imunoglobulin. Nekrosis granulomatosa di jumpai baik pada arteri
kecil dan sedang maupun pada vena. Granuloma berukuran 1 mm
yang terletak dekat arteri kecil mengandung banyak eusinofil yang
di kelilingi oleh makrofag dan sel raksasa epiteloid. Pada fese akut
sebukan sel radang lebih banyak di dominasi oleh eusinofil dan
pada fese kronik lebih banyak di jumpai makrofag dan sel raksasa.
Pada kulit, ginjal gambaran patologi lebih karakteristik dimana
terlihat granuloma eusinofilik serta infiltrasi eosinofil.
iv. Arteritis Takayasu
Proses patofisiologi penyakit ini di kaitkan dengan adanya
infeksi oleh spirochaeta, basil tuberculosis dan streptococcus. Di
jumpai adanya antibodi terhadap aorta.
v. Purpura Henoch-Schonlein
Sepertihalnya vaskulitis hipersensitif, pada penyakit ini
memberikan gambaran patofisisologi yang hampir sama.
Kebanyakan immunoglobulin yang di jumpai adalah Ig A. proses
aktivasi komplemen lebih banyak melalui jalur alternatif.
vi. Granulomatosis Wegener
Pada tahap awal terlihat keterlibatan paru dan di ikuti oleh
berbagai proses inflamasi sistemik di banyak jaringan lain
termasuk ginjal. Terdapat gangguan imunitas yang di perantarai sel
dan di curigai berkaitan dengan faktor genetik berkaitan dengan
HLA-DR2 dan HLA-B8. pada fase awal tampak adanya granuloma
nekrotik yang di kelilingi oleh histiosid yang membentuk palisade.
29
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
e. Manifestasi Vaskulitis
i. Vaskulitis Reumatoid
Manifestasi klinis yang merupakan gabungan dengan arthritis
rheumatoid sering di jumpai pada pasien ini, baik laki-laki maupun wanita,
dapat di jumpai gejala konstitusional seperti demam dan kelelahan, Infark
ujung jari merupakan kelaininan yang mudah di temukan di sertai dengan
neuropati sensorimotor. Penyakit ini tidak berkaitan dengan gangguan
ginjal. Di jumpai peningkatan titer factor rheumatoid, rendahnya kadar
komplemen serum, krioglobulin dan meteri komplek imun dalam serum,
juga terdapat peningkatan laju endapan rendah, anemia, trombosit dan
menurunnya kadar albumin serum.
ii. Poliarteritis Nodosa (Poliarteritis nodosa klasik)
Suatu penyakit kompleks imunarteri muskularis dan arteriol.
Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya belum diketahui. Gejala
yang dapat di temukan ialah: artralgia, mialgia, gangguan saraf perifer,
kemerahan pada kulit, nodul di kulit, nyeri abdomen, hipertensi, dan
gangguan pada jantung (gagal jantung). Pada beberapa kasus terdapat
perforasi usus dan instususepsi ileoilel yang disebabkan oleh vaskulitis
dinding usus yang menyebabkan udema dan pendarahan submukosa.
iii. Vaskulitis Hipersensitif
Demam merupakan gejala sistemik yang paling sering pada
penyakit ini, di duga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin
yang bersifat vasokontriktor yang menghambat pengeluaran panas tubuh.
Gejala lain pada penyakit ini yaitu purpura yang dapat di raba, nyeri
abdominal dan arthritis. Edema pada kaki, tangan, periorbital seringkali di
jumpai. Artritis terutama mengenai sendi lutut dan pergelangan kaki.
Hipertensi di jumpai pada 13% pasien, dan jarang terjadi kelainan fungsi
ginjal.
30
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
iv. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-Strauss)
Keadaan yang perlu di ketahui mengenai penyakit ini ialah:
a. Peradangan granulomatosa di mana vaskulitis yang mengenai
arteri dan vena pembuluh darah sedang dan dapat mengenai
paru, saluran nafas bagian atas, usus, susunan saraf perifer, dan
kulit.
b. Di awali gejala fase alergi (gejala asma)
c. Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru.
v. Arteritis Takayasu
Adalah suatu penyakit kronik yang tidak di ketahui etiologinya
yang sering muncul pada perempuan muda. Awalnya dominansi gejala
sistemik lebih manonjol seperti: demam ringan, kelelahan, penurunan BB,
artalgia maupun artritis dan panas yang tidak terlalu tinggi. Kemudian di
ikuti oleh infusisinensi vaskuler akibat sumbatan atau penyempitan arteri
besar. Klaudikasio, penurunan suhu ekstremitas sering di jimpai.
Hipertensi di jumpai lebih dari 50% pasien. Apabila kelaini ini mengenai
arteri pulmonalis dapat timbul gejala sesak nafas, hemoptisis atau
hipertensi pulmonal. Kelainan akibat stenosis arteri mesentrika dapat
menimbulkan nyeri abdominal atau pendarahan gastrointestinal. Pada
arteri koronaria yang manyempit dapat timbul gejala angina pectoris.
vi. Purpura Henoch Schonlein
Berawal berupa ruam macula erterimatosa pada kulit yang disertai
rasa gatal dan berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya
trombosotopenia. Purpura dapat timbul dalam 12-24 jam. Purpura
terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan. Penyakit ini
merupakan suatu sindrom tanpa trombositopenia, nyeri abdomen, kadang
ditemukan perdarahan saluran cerrna, dan kelainan ginjal. Ditemukannya
kompleks imun IgA di jaringan merupakan hal yang patognomonik.
Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-kadang penyakit ini self
limiting yang tidak memerlukan pengobatan.
31
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
vii. Granulomatosa Wegener
Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran nafas bagian atas
seperti: rinorea, sinusitis, ulkus mukosa hidung, otitis media bahkan
sampai ketulian dengan gejala seperti: batuk, hemoptisis, sesak nafas,
bahkan sampai terjadi efusi pleura.pada stadium lanjut biasanya dapat di
jumpai kegagalan ginjal yang progresif. Proses inflamasi yang terjadi
dapat mengenai system arteri dan vena terbukti dengan di temukannya
deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya. Dari keadaan ini dapat di
simpulkan bahwa yang bertanggung jawab pada proses ini adalah system
imun.
f. Pemeriksaan Penunjang Vaskulitis 1,6,15
a) Laboratorium (sampel urin)
Gejala keterlibatan ginjal mungkin tidak diperhatikan oleh pasien,
tetapi dapat dievaluasi dengan melihat sampel urin untuk sejumlah
kecil darah dan protein. Gagal ginjal tidak umum, tetapi dapat terjadi
terutama dengan paparan berat atau berkepanjangan terhadap obat
yang dicurigai atau infeksi. Gagal ginjal dapat 'akut', yang berarti ada
kerugian cepat fungsi ginjal, tetapi terapi suportif dengan dialisis
(pembersihan mekanik darah) bisa dilakukan selama beberapa hari
atau minggu dan kembali fungsi ginjal. Dalam beberapa kasus, gagal
ginjal 'kronis' terjadi, yang berarti bahwa ada kebutuhan yang sedang
berlangsung untuk cuci darah karena ginjal tidak memulihkan fungsi
normal mereka.
b) Biopsi kulit
Biopsi kulit paling sering dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Selama prosedur, contoh kecil dari jaringan kulit akan dihapus dan
dianalisis di bawah mikroskop di laboratorium. Analisis ini akan
menentukan apakah vaskulitis hadir.
32
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
c) ESR
Sebuah tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) tes dapat dilakukan untuk
memantau kondisi pasien. Tes satu jam mengukur jarak (dalam
milimeter) yang sel darah merah mengendap dalam darah unclotted ke
bagian bawah tabung reaksi.
g. Penatalaksanaan Medis Vaskulitis
Pemberian steroid dalam dosis terbagi dapat dimulai bla
menemukan vaskulitis, karena efek anti-inflamasi steroid dapat segera
terlihat lebih cepat dibanding pemberian siklofospamid. Dosis prednison
dimulai 1 mg/kg BB/hari, dapat diberikan tiap 6-8 jam .Dosis permulaan
diberikan antara 7-10 hari dan setelah itu dapat diberikan pagi hari sampai
2 minggu berikutnya. Pemberian ini umumnya disebut sebagai dosis
induksi . Setelah dosis induksi, pemberian steroid diturunkan secara
bertahap dosis 60 mg diberikan secara selang sehari untuk waktu 1-2 bulan
berikutnya . Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan sampai dosis
pemeliharaan yang tergantung pada gambaran klinis .
Pada keadaan khusus seperti pada penyakit granulomatosis
wagener, serta poliarteris nodosa, arteritis takayasu , dan vaskulitis
susunan saraf pusat yang resisten terhadap steroid diberikan kombinasi
dengan siklofosfamid. Umumnya pemberian siklofosfamid secara oral tiap
hari yang digabung dengan steroid dosis kecil selang sehari untuk
menghindari terjadinya infeksi sekunder akibat pemakaian steroid jangka
lama. Lama pemberian siklosfosfamid berkisar antara 18-24 bulan ,
sedang lama pemberian steroid tergantung pada aktivitas penyakitnya.
Pemberian pulse methyl prednisolon 0,5-1 g/ hari selama 3 hari
berturut-turut diberikan pada permulaan pengobatan kasus-kasus yang
mengancam nyawa (life threatening vasculitis syndrome) atau vasculitis
yang progresif. Intervensi pembedahan hanya dimungkinkan pada
penyakit takayasu setelah aktivitas penyakitnya tenang, sedang pada
arteritis temporal jarang dilakukan tindakan pembedahan .
(tjokronegoro,2001).
33
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
i. Vaskulitis Reumatoid dan Poliarteritis Nodosa
Pengobatan bergantung pada jenis dan luasnya lesi. Pada
dasarnya pengobatan pada penyakit ini tidak memerlukan pengobatan
tambahan selain dari penggunaan anti inflamasi non steroid.
Penggunaan dipiridamolpada beberapa penelitian memberikan
harapan yang baik, walaupun belum di lakukan penelitian acak
terkontrol dalam hal ini. Seperti halnya arthritis rheumatoid,
glukokortikoid dapat di berikan pada kelainan yang progresif seperti:
manifestasi infak ujung jari atau neuropati sensorik dan motorik.
Panggunaan prosedur transfusi tukar walaupun telah di gunakan, saat
ini masih merupakan pengobatan alternatifdalam tahap
eksperimantal.
ii. Vaskulitis Hipersensitif
Dalam penatalaksanaan vaskulitis hipersensitif, suatu hal
yang harus di lakukan pertama kali adalah menyingkirkan seluruh
obat-obatan atau antigen yang di duga sebagai penyebabnya. Pada
kasus yang ringan hanya di jumpai purpura pada kulit tanpa
dijumpainya gejala sistemik atau keterlibatan organ internal,
umumnya tidak di perlukan pengobatan spesifik. Pada kasus
dengan gejala sistemik atau keterlibatan organ vital dapat di
berikan pengobatan glukokortikoid yang setara dengan 20-60
mg/hari tergantung pada beratnya gejala klinis. Jika glukokortikoid
tidak memberikan perbaikan yang bermakna atau timbul efek
samping pada penggunaan obat, penggunaan sitostatika dapat di
pertimbangkan walaupun belum jelas bahwa pemberian sitostatika
merupakan cara pengobatan yang lebih baik. Pada kasus vaskulitis
hipersensitif kronik dimana factor pencetus sulit di tentukan,
penggunaan dopsone, OAINS atau colchicines dapat di coba,
walaupun hasil pengobatan dengan penggunaan modalitas ini
umumnya masih bervariasi.
34
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
iii. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-Strauss)
Pengobatan utama penyakit ini adalah: pemberian
kartikosteroid serta dengan prednisone 20-40 mg/hari, dalam dosis
yang terbagi. Penggunaan kartikosteroid bersama pulse
siklofosfamid atau pertukaran plasma bersama sitostatika pada
kelainan ini belum jelas manfaatnya. Prognosis pasien pada
penyakit ini umumnya lebih baik dari jenis poliarteritis yang lain.
iv. Arteritis Takayasu
Pada tahap awal pemberian steroid sangat membantu dalam
menekan gejala sistemik serta mengatasi timbulnya stenosis
pembuluh darah. Pemberian dengan teknik pulse dapat dengan
cepat memperbaiki keadaan penyakit terutama keluhan klaudikasio.
Dosis yang di anjurkan adalah: 45-60 mg prednison dalam dosis
ekuivalen. Parameter laboratorik saperti laju endapan darah (LED)
di pakai untuk menentukan aktifitas penyakit, serta dosis steroid
dapat di turunkan sampai dosis minimum yang tetap memberikan
efek supresi terhadap gejala klinisnya. Selanjutnya di lanjutkan
dengan dosis pemeliharaan (dosis kecil) jangka panjang.
Penggunaan sitostatik, vasodilator atau anti koagulan tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Penyakit ini dapat mengalami
remisi spontan atau menjadi lebih buruk dan menimbulkan
kematian.
v. Purpura Henoch Schonlein
Penyakit ini bersifat self-limited dan berfariasi antara 6-16
minggu. Untuk kasus ringan pengobatan soportif biasanya
mencukupi, sedangkan pada kusu yang lebih berat di perlukan
steroid selama fase akut untuk mencegah perburukan maupun
kelainan ginjal.
35
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
vi. Granulomatosa Wegener
Pada beberapa kasus penggunaan glukokortikoid
memberikan hasil yang baik, di samping penggunaan
siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, klorambusil, dan nitrogen
mustard. Siklofosfamid labih baik dari azatioprin dalam
menginduksi timbulnya remisi. Di pakai dosis 2 mg/kbBB secara
oral. Pada pasien yang menunjukkan reaksi elergi terhadap
siklofosfamid dapat di pakai azatioprin atau dengan penambahan
kotrimoksazol. Apabila di jumpai manifastsi sistemik yang berat,
harus di berikan pula prednison secara bersamaan dengan
siklofosfamid dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi. Dosis
prednison dapat di turnkan apabila gejala sistemik telah teratasi.
Evaluasi penyakit dapat di lakukan dengan pemeriksaan
terhadap laju endapan darah, kadar c-reactive protein (CRP). Pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal biasanya prognosisnya lebih
buruk dan bila terjadi gagal ginjal di perlukan tindakan cuci darah.
h. Prognosis Vaskulitis6,15
HSP adalah penyakit vaskulitis yang sembuh sendiri dengan
prognosis semuanya yang sempurna. Penyakit ginjal kronis dapat
menghasilkan morbiditas : studi dasar populasi mengindikasikan bahwa
kebih sedikit dari 1% pasien dengan HSP menjadi penyakit ginjal persisten
dan kurang dari 0.1% menimbulkan penyakit ginjal yang serius.
Jarangnya, kematian dapat timbul selama fase akut penyakit sebagai hasil
dari infark usus, keterlibatan CNS, atau penyakit ginjal. Sesuai keadaan,
anak-anak yang menampakkan sindrom seperti HSP membawa
karakteristik dari penyakit jaringan ikat lain.
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara
spontan dalam beberapa hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu
setelah onset).Rekurensi dapat tejadi pada 50% kasus.Pada beberapa kasus
terjadi nefritis kronik, bahkan pada 2% kasus menderita gagal ginjal. Bila
manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu
36
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
dilakukan pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca-
sakit. Sepertiga sampai setengah anak-anak dapat mengalami setidaknya
satu kali rekurensi yang terdiri dari ruam merah atau nyeri abdomen,
namun lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan episode sebelumnya.
Eksaserbasi umumnya dapat terjadi antara 6 minggu sampai 2 tahun
setelah onset pertama, dan dapat berhubungan dengan infeksi saluran nafas
berulang.
Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu
setelah onset, eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan
aktivitas faktor XIII, hipertensi, adanya gagal ginjal dan pada biosi ginjal
ditemukan badan kresens pada glomeruli, infiltrasi makrofag dan penyakit
tubulointerstisial.
3. Glomerulonefritis1,6
a. Epidemiologi
Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan
pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55%
penderita yang mengalami hemodialisis.6
Insidens tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi
dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang
tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Kaplan
memperkirakan separuh pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok
pada suatu epidemi tidak terdeteksi6,7
Glomerulonefritis akut pascastreptokok terutama menyerang anak
pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah usia 3
tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil
penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat
170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien
terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut
di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-
laki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada
37
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
usia antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim
dingin dan puncaknya pada musim semi.6
b. Etiologi1,2,8
Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi
Streptococcus β- hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe
yang lain. Hanya sedikitStreptococcus β-hemolyticus grup A bersifat
nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis
pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas
adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe
M49, 55, 57, 60.6,7
Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi
tenggorokan atau kulit olehstrain “nefritogenik” dari streptococcus β-
hemolyticus grup A tertentu. Faktor-faktor yang memungkinkan bahwa
hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi “nefritogenik” tetap
belum jelas. Selama cuaca dingin glomerulonefritis streptokokus biasanya
menyertai tonsilofaringitis streptokokus, sedangkan selama cuaca panas
glomerulonefritis biasanya menyertai infeksi kulit atau pioderma
streptokokus. Epidemi nefritis telah diuraikan bersama dengan infeksi
tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi kulit (serotipe 49), tetapi
penyakit ini sekarang paling lazim terjadi secara sporadik.6,7
Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah skarlatina,
otitis media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit. Jasad
reniknya hampir selalu streptokok beta hemolitik golongan A, dan paling
sering ialah tipe 12. Strain nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula
ialah tipe 4, 47, 1, 6, 25 dan Red Lake (49)6,7,10
Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran
klinis dari kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten
ini biasanya antara 1-2 minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini
sehingga dapat dibedakan dengan sindrom nefritik akut karena sebab
lainnya. Periode laten dari infeksi kulit (impetigo) biasanya antara 8-21
hari.10
38
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
c. Patologi1,6
Makroskopik
Ginjal pada glomerulonefritis akut membesar secara simetris
hingga meregang, mudah terkelupas, berpermukaan licin, dan berwarna
merah tengguli disertai bercak-bercak perdarahan fokal. Gambaran korteks
tampak sembab dan melebar, korteks dan medula berbatas jelas6,7,9
Glomerulus dapat terlihat sebagai titik-titik putih kelabu, kadang-kadang
terdapat daerah-daerah merah fokal. Piramida-piramida dan pelvis
kongestif atau normal6,7,8
Mikroskopik
Dari pemeriksaan secara mikroskopis, hampir semua glomerulus
yang terkena memperlihatkan gambaran pembesaran dan hiperselularitas,
sehingga dinamakan sebagaiglomerulonephritis acuta proliferativa. Belum
ada kesepakatan mengenai jenis sel yang berproliferasi, kemungkinan
ialah endotelial, mesangial atau sebukan sel monokleus. Sebukan leukosit
polimorfonukleus mungkin ada. Akibat proliferasi sel, lumen kapiler-
kaliper tersumbat, dan glomelurus seolah-olah menjadi avaskuler. Kadang-
kadang dapat pula ditemukan trombus dalam kapiler-kaliper. Sekali-kali
tampak nekrosis fibrinoid dinding kapiler. Dalam ruang Bowman kadang-
kadang dapat ditemukan banyak eritrosit. Selain eritrosit, ruang Bowman
berisi endapan protein dan leukosit. Proliferasi sel epitel mungkin juga
ada, tetapi hanya ringan, kadang-kadang dengan pembentukkan bulan sabit
(crescent) dan mungkin terjadi perlekatan antara gelung glomerulus dan
simpai Bowman. Membrana basalis kapiler dapat menunjukkan penebalan
fokal.6,7,9
Tubulus menunjukkan vakuolisasi lipoid dan pembentukkan
“hyaline-droplet”dalam sel epitel dan dilatasi tubulus proximalis. Dalam
tubulus dapat ditemukan berbagai torak (cast). Pada bentuk nekrotik dan
hemoragik ditemukan torak eritrosit yang berdegenerasi dalam tubulus
distalis7,9
39
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Interstisium bersebukan leukosit polimorfonukleus atau sel
mononukleus dan menunjukkan edema setempat. Pembuluh darah arteri
dan arteriol tidak menunjukkan kelainan jelas9,11
d. Patogenesis1,4
Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang
tenggorok dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut.
Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan
pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa
glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis yang
bermediakan proses imunologis. Meskipun secara umum patogenesis
glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat
bagaimana terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria
pada glomerulonefritis pascastreptokokus belumlah jelas benar.
Pembentukan kompleks-imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks-
imun in situ, telah ditetapkan sebagai mekanisme patogenesis
glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis lain yang sering disebut-
sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus
yang mengubah IgG endogen sehingga menjadi “autoantigenik”.
Akibatnya terbentuklah autoantibody terhadap IgG yang telah berubah
tersebut, yang mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi,
yang kemudian mengendap dalam ginjal6,7
Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran
klinis dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis
memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis.
Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari
penyakit kompleks-imun6,7,9
Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi
dengancirculating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah
untuk membentukcirculating immunne complexes.
Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan
antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih
40
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah
bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen. Kompleks-imun yang
beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat akan
menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses
kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan
dan mikrokoagulasi. Untuk sistematisnya dapat dilihat pada skema berikut
ini:
e. Patofisiologi1,5
Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:
1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria
Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi
lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka
terjadi proteinuria dan hematuria7
2. Edema
Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis
tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan
mekanisme edema pada sindrom nefrotik.
Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak
diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan histopatologis
(pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapiler-
kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan
ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+.
Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam natrium
dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma,
kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan
akhirnya terjadi edema6,7,10
41
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
3. Hipertensi
a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)
Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis
hipertensi ringan dan sedang.
b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi
berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat
menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin.
Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi7
4. Bendungan Sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom
nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam
kepustakaan-kepustakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda
kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan
pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial
dan menjadi edema.
b. Penyakit jantung hipertensif
Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan
hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut.
c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan
perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada
semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan
gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan
miokarditis.
42
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung
Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut,
kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan
patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air6,7,9
f. Gejala Klinis
Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat
bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul
gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau
ensefalopati hipertensi7
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut
dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat
merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa
atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut
hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.
1. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau
infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa
prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi
infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif
rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan
dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak
jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari
semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti
infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis.
Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien
dewasa.
43
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada
semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali
normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan
antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya
dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata
atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila
perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau
persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura6,7,12
g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi:
· Gagal ginjal akut
· Kongesti sirkulasi dan hipertensi
· Hiperkalemia
· Hiperfosfatemia
· Hipokalsemia
· Asidosis
· Kejang-kejang
· Uremia
h. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai
pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul
mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus.
Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3
mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan
lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal
44
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan
nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak
segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi
bersamaan pada saat faringitis (synpharyngetic hematuria), sementara
pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari
setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada
nefropati-IgA6,7,9
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis
berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal.
Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut
adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus dan
glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan
glomerulonefritis akut pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit2,7
Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria,
kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak
seluler, granular dan eritrosit. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin
serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tanpak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindrom nefrotik. Komplemen hemolitik
total serum (total hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir
semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya
menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien.
Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur alternatif
komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis
akut pascastreptokok dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-
140 mg/dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit
dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai harga normal kembali
dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena
pada glomerulonefritis yang lain (glomerulonefritis membrans proliferatif,
nefritis lupus) yang juga menunjukkan penurunan kadar C3, ternyata
berlangsung lebih lama6,7
45
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan
penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan
cepat pulih). Sindrom nefrotik dan proteinuria masif lebih jarang terlihat
pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak
lanjut merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan
glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik
yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8
minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada
glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama7
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada
glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-
nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif.
Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi
ginjal untuk menegakkan diagnosis, tetapi bila tidak terjadi perbaikan
fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau
memburuk, biopsi merupakan indikasi6,7
Konfirmasi diagnosis memerlukan bukti yang jelas akan adanya
infeksi streptokokus. Dengan demikian, biakan tenggorokan positif dapat
mendukung diagnosis atau mungkin hanya menggambarkan status
pengidap. Untuk mendokumentasi infeksi streptokokus secara tepat, harus
dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi terhadap antigen
streptokokus. Meskipun biasanya paling banyak diperoleh, penentuan titer
Anti Sterptolisin Titer O (ASTO) mungkin tidak membantu karena titer ini
jarang meningkat pascainfeksi streptokokus kulit. Titer antibodi tunggal
yang paling baik diukur adalah titer terhadap antigen DN-ase B. Pilihan
lain adalah uji Streptozime (Wampole Laboratoris, Stamford, Ct), suatu
prosedur aglutination slide yang mendeteksi antibodi terhadap streptolisin
O, DN-ase B, hialuronidase, streptokinase, dan NAD-ase6
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan
biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah
diberikan antimikroba. Bebarapa uji serologis terhadap antigen
46
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi
streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti
DN-ase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu
mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti
streptolisin O meningkat pada 75-80 % pasien dengan glomerulonefritis
akut pascastreptokok dengan faringitis, meskipun beberapa strain
streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Sebaiknya serum di uji
terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis
dilakukan, lebih dari 90 % kasus menunjukkan adanya infeksi
streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus
glomerulonefritis akut pascastreptokok atau pascaimpetigo, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus
biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum
meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer
2-3 kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti
adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa
glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi
streptokokus tersebut. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting
untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan6,9
Krioglobulin juga ditemukan dalam glomerulonefritis akut
pascastreptokok dan mengandung IgG, IgM dan C3. Kompleks-imun
bersirkulasi juga ditemukan pada glomerulonefritis akut pascastreptokok.
Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu
dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien6
i. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi
berat, kejang, payah jantung
Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil
katabolisme endogen dan diet rendah garam
47
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Medikamentosa
· Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr
· Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis
· Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis
· Bila disertai hipertensi
Ø Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi
Ø Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin
sublingual
Ø Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual
· Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai
oligouria beri diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali)7
j. Prognosis
Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan
glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi
penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut
dapat menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan
insuffisiensi ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan
manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut.
Kekambuhan sangat jarang terjadi6,7,9
k. Pencegahan
Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus
tenggorokan dan kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis.
Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus mendapat
pemeriksaan laboratorium untuk streptococcus β-hemolyiticus grup A dan
diobati jika biakan positif6,12
48
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
4. Anafilaksis1,6
a. Definisi
Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima
di seluruh dunia. Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy
Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis
sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa.
Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut
diperantarai oleh mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks
imun-komplemen. Reaksi anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE,
disebut anafilaksis alergi IgE-mediated.
Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi
anafilaktoid atau reaksi pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan
oleh penyebab non imunologis.8 Definisi ini cukup membantu para klinisi,
tenaga medis emergensi dan tenaga kesehatan lainnya yang sering
menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu gejala dari pola tanda
dan gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian memberikan terapi.
b. Epidemiologi
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar
disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri.
Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar
mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih
ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per
tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus
per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak
berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang
lebih sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka
kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik.
Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun,
predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun,
predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor
pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh,
49
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada
remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh
sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-
obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.
c. Etiologi
Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan,
obat-obatan, sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang
terjadi pada pasien rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap
pengobatan dan lateks, sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah
sakit paling banyak disebabkan oleh alergi makanan.
Anafilaktik (IgE dependent)
Antibiotik:
Penisilin dan derivatnya
Basitrasin
Neomisin
Tetrasiklin
Streptomisin, dll
Bahan yang sering dipergunakan
untuk prosedur diagnosis:
Zat radioopak
Bromsulfalein
Benzilpenisiloil-polilisin
Bisa (racun):
Ular
Semut api
Lebah
Kumbang
Ekstrak alergen:
Rumput-rumputan atau jamur
Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)
Darah
Lengkap
Produk
Gamaglobulin
Kriopresipitat
Serum
Imunoglobulin i.v.
Makanan
Susu sapi
Kerang
Kacang-kacangan
Ikan
Telur, Udang
Lateks
Anafilaktoid (IgE Independent)
Aktivasi komplemen multimediator – Faktor fisik
50
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
aktivasi sistem kontak
Media radiokontras
Angiotensin-converting enzyme
inhibitoryang diberikan selam dialisis
ginjal
Etilen oksida
Protamin
Degranulasi sel mast dan basofil
nonspesifik
Opioid
Pelemas otot
Idiopatik
Olahraga
Suhu (dingin atau panas)
Immune aggregates
Imunoglobulin intravena
Dekstran
Sitotoksik
Reaksi transfusi terhadap elemen seluler
(IgG, IgM)
Psikogenik
Zat artifisial
Anafilaksis idiopatik
Mayoritas kasus reaksi anafilaksis tidak bersifat fatal. Diperkirakan
1-2% kejadian yang disebabkan penisilin diperberat dengan reaksi
sistemik namun hanya 10% yang bersifat fatal. Di Amerika Serikat sekitar
400-800 orang meninggal per tahunnya karena anafilaksis akibat penisilin
dengan gambaran yang serupa dengan media kontras. Tujuh puluh persen
kematian disebabkan oleh komplikasi pernafasan yaitu edema laring dan
atau bronkospasme dan 25% oleh karena disfungsi kardiovaskular.
d. Patogenesis
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan
mekanisme imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan
sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem
simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap organ
sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap
keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).
Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau
endotel dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE
sitotropik yang berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga
menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti
51
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus
mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil).
Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif
(Ē) yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit.
Mikrotubuli angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang
mengandung beberapa mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat
dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya
pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari
ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula
cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi
cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi
cAMP dan cGMP.
Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau
penurunan cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf
parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin
yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini
akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan
parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin.
Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan
mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri
akan mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang
berbeda. Perangsangan melalui reseptor α-adrenergik akan menghasilkan
penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui β-
adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui
pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi
cAMP.
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat
mempengaruhi degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP.
Namun sebaliknya juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim
fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.
Reseptor untuk adrenergik α dan β dapat dirangsang oleh molekul yang
sama dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf
52
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
noradrenergik misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang
berbeda. Perangsangan reseptor α akan lebih besar efeknya dari pada
perangsangan reseptor β. Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang
reseptor β. Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik
β1 dan β2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata.
Misalnya reseptor β2lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru.
Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan
salbutamol yang merupakan agonis untuk reseptor β2.
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi
keadaan sel sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan
keadaan fisiologik sel sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi
peningkatan kadar cAMP maka otot polos tersebut ada dalam keadaan
relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya
sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan
pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala
alergi.
Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi
renjatan anafilaktik diantaranya:
1. Adrenalin.
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan
konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi.
Selain itu adrenalin mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu:
(1). Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan
terhadap kelenjar liur. (2). Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan
pembuluh darah otot rangka. (3). Perangsanga jantung dengan akibat
peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
(4). Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-gejala renjatan
anafilaktik.
53
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2. Antihistamin.
Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja
menghambat histamin yang dihasilkan oleh mastosit.
3. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat
mengatasi renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan
sel sasarannya seperti halnya adrenalin.
Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak
cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi
mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan
dan otot-otot bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan
kontraksi. Kesemuanya akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling
banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun
pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada
jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi.
Koretokosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping
menghambat respons imun dan menstabilkan dinding mastosit. Dengan
menghambat respons imun mungkin dapat menghambat sintesis IgE.
e. Manifestasi Klinis
Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada
organ seperti kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan
saraf 6
Tanda dan gejala klinis anafilaksis
Kutan / subkutan / jaringan mukosa
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform
Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula
Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva
Saluran pernafasan
54
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak,
pruritus di kanalis aurikularis eksterna
Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi /
bronkospasme (penurunan PEF)
Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin
Kardiovaskular
Hipotensi
Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran
Nyeri dada, disritmia
Gastrointestinal
Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare
Lain-lain
Kontraksi uterus pada wanita
Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun
kompensasi dari sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi
hal yang penting karena kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini
paling sering berakibat fatal.
Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan
angioedema, serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut,
edema dan perdarahan intraalveolar, kongesti visera dan edema laring.
Hipotensi akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor dan atau disritmia
jantung.
Onset dari gejalanya bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi
dari alergen yang ditelan (makanan, obat-obatan) mengalami onset yang
lambat (bermenit-menit sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergen yang
disuntikkan (sengatan serangga, obat-obatan) dan cenderung lebih banyak
mengalami gejala gastrointestinal. Waktu rata-rata sampai terjadinya henti
nafas atau henti jantung pada alergi makanan sekitar 30 menit, pada
sengatan serangga sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti media
kontras mencapai 5 menit.
55
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh
obat-obatan
Uji kulit
Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
Uji tempel (Patch test)
Uji provokasi
Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi
Pemeriksaan darah lengkap
Foto toraks
Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru
EKG
Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium)
Depresi gelombang S-T
Bundle branch block
Fibrilasi atrium
Berbagai aritmia ventrikular
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis,
meskipun penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya.
Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi
vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah,
mual, muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan
reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria,
angioedema, kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi
vasodepres, sementara pada anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.
56
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai
anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat
ACE, alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma,
hiperglikemi dapat menyebabkan terjadinya flushing.
g. Kriteria Diagnosis
Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau
transfusi. Diagnosis anafilaksis bergantung dari anamnesis yang tepat dan
hati-hati. Untuk dapat menggali anamnesa yang tepat, penting untuk
mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi tersering dari
anafilaksis adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak
adanya manifestasi pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis.
Alergi yang berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda,
meskipun imunobiologis dan patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada
dasarnya sama. Pada anamnesis perlu diketahui kapan serangan terjadi,
aktivitas yang sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi yang
diberikan selama serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya
serangan. Bila serangan bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu
ditanyakan dari masing-masing serangan.
Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari
serangan. Perlu ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan
sebelum timbul serangan, kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat
serangan terjadi, lokasi kejadian apakah di rumah atau tempat kerja, atau
apakah serangan berkaitan dengan panas, dingin, juga aktivitas seksual.
Status atopi pada penderita juga perlu ditanyakan karena anafilaksis yang
dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi
pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan yang tidak.
Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga perlu diperhatikan karena
hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga diperlukan masa
observasi yang lebih lama.
Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan
anamnesis yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval
57
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
sampai terjadi reaksi, obat-obatan yang sebelumnya pernah didapatkan
oleh pasien (untuk memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon
pasien terhadap terapi. Data rekam medis dari unit gawat darurat atau
catatan dokter sebelumnya dapat membantu untuk mendiagnosis dengan
tepat.
Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu
dicatat dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria,
angioedema, flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala
gastrointestinal, sinkop, hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan
pusing.
h. Terapi
Tindakan harus segera
Resusitasi kardiopulmonal
Trakeostomi sesuai indikasi
Adrenalin (epinefrin) ® 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000),
bila perlu ulangi dengan interval 15-30 menit
Bila syok/kolaps vaskular ® 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan
1:10.000), suntikan perlahan-lahan (1-2 menit)
Bila penyebabnya suntikan ® adrenalin 0,1–0,2 ml (larutan 1:1000)
s.k. pada daerah suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen
Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan)
Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang
disuntikkan pada ekstremitas
Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit
O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi
Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung
Difenhidramin ® 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-
lahan selama 5-10 menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah
keadaan gawat teratasi
Bila penderita masih hipotensi, dispnea, gawat à rawat di PICU
58
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa
5% dengan perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling
lama 2 jam
Setelah syok teratasi, infus diteruskan sesuai berat badan dan umur
anak
Aminofilin
Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam
dekstrosa 5% paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-
20 menit)
Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2
mg/kgBB/jam atau 4-5 mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam.
Kalau memungkinkan, monitor kadar aminofilin darah
Vasopresor
Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah
ini. Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis
tunggal, i.v. secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi
aritmia jantung, hentikan segera. Dosis dapat diulang. Levaterenol
bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan 0,5
ml/menit
Dopamin
Berikan bersama infus, kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
Kortikosteroid
Diberikan setelah fase akut teratasi, memperpendek lama sakit dan
mencegah rekurensi.
Hidrokortison ® 7-10 mg/kgBB i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam.
Hentikan setelah 2-3 hari
Suportif
Setelah stabil.
59
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
i. Pencegahan
Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan
Anamnesis teliti mengenai alergi obat
Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat
Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau
mungkin berikanlah p.o. daripada suntikan
Bacalah label obat dengan teliti
Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum
manumur
Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva
Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai
macam/jenis obat tersebut.
5. Reaksi Serum Sickness1
Serum sickness adalah penyakit kompleks imun alergik yang bersifat
sistemik akibat pemberian serumheterolog.
Istilah ini berasal dari Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai
konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetaus
dengan antiserum asal kuda.
Sekitar 1-2 minggu setelah serum kuda diberikan, timbul reaksi sistemik
berupa panas dan gatal (urtikaria), bengkak-bengkak (angioedema), kemerahan,
dan rasa sakit di beberapa bagian badan, sendi, dan kelenjar limfoid. Sedangkan
pada tempat injeksi didapati tanda radang akut. Gejala tersebut akan menghilang
sendiri (self limited) setelah 7-30 hari. Pada keadaan payah jantung dan ginjal
dapat pula terlibat, tetapi keadaan ini jarang terjadi. Begitu pula gejala-gejala
neurologik seperti mono/polineuropati, sindrom Guillain-Barre, dan
meningoensefalitis jarang terjadi.
6. Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik1
Penyakit ini merupakan peradangan saluran napas yang ditemukan pada
pasien atopi usia muda. Pasien sering memperlihatkan gejala alergi terhadap
jamur Aspergillus fumigatus. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada
60
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
bronkus (bronkiektasis) dan kerusakan parenkim paru. Baik IgE maupun IgG
terhadap Aspergilus, berperan dalam patogenesis penyakit ini. IgE terbentuk
terhadap alergen spora sedangakn IgG terhadap alergen miselium. Tidak
didapatkan peningkatan titer IgE yang menyolok pada keadaan eksaserbasi akut.
Pada penyakit ini didapatkan 2 mekanisme imunologik. Pertama:
kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG)
menyebabkan inflamasi saluran napas melalui mekanisme aktivasi komplemen
dan sel-sel fagosit. Kedua; kerusakan parenkim paru dan bronkus terjadi pula
akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang menempel pada mastosit, yang
selanjutnya menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan
histamin dan mediator lainnya.
Gambaran klinis penyakit ini menyerupai asma dengan tanda-tanda
serangan demam, batuk produktif, nyeri dada dan kelelahan. Batuk darah jarang
terjadi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, nyeri sendi dan otot. Pada
pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki yang menunjukkan adanya infiltrat.
Aspergilosis bronkopulomonari Alergik ini teremasuk dalam kelompok penyakit
Farmer’s Lung Disease.
Farmer’s Lung Disease ditemukan pula pada orang yang rentan dengan
pemaparan jerami yang mengandung banyak aktinomiset termofilik yang melepas
spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam
6-8 jam sesudah pemaparan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang
spesifik terhadap actinomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-
antibodi. Reaksi Tipe III pulmoner lain-lain yang sejenis adalah Pigeon breeder’s
disease, Cheese washer’s disease. Bagassosis, Maple bark stripper’s disease,
Paprika worker’s disease, dan Thatched roof worker’s disease.
7. Anemia Hemolitik Aoutoimun6,15
a. Definisi
Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kelainan dimana terdapat
antibodi tertentu pada tubuh kita yang menganggap eritrosit sebagai
antigen non-self nya, sehingga menyebabkan eritrosit mengalami lisis.
Etiologi sampai sekarang masi belum jelas.
61
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
b. Imunopatogenesis 16
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan anemia hemolitik autoimun.
Yaitu aktivasi komplemen dan aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi
keduanya.
aktivasi komplemen. Ada dua cara aktivasinya, klasik dan alternatif.
(1) Kalau klasik biasanya diaktifkan oleh antibodi IgM,IgG1,IgG2 dan
IgG3. Mulai dari C1, C4, dst hingga C9, nanti ujungnya terbentuklah
kompleks penghancur membran yg terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8
dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke membran
sel eritrosit dan mengganggu aliran transmembrannya, sehingga
permeabilitas membran eritrosit normal akan terganggu, akhirnya air
dan ion masuk, eritrosit jadi bengkak dan ruptur. Dan satunya yaitu
(2) Untuk aktivasi alternativ hanya berbeda urutan pengaktivannya,
ujungnya ntar molekul C5b yang akan menghancurkan membran
eritrosit.
aktivasi mekanisme seluler. Mekanismenya, jika ada eritrosit yang
tersensitisasi oleh komponen sistem imun seperti IgG atau kompemen,
namun tidak terjadi aktivasi sistem komplemen lebih lanjut, maka ia
akan difagositosis langsung oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses ini
dikenal dg mekanismeimmunoadhearance.
c. Diagnosis
Untuk mendiagnosis seseorang menderita anemia hemolitik, dilakukan
pemeriksaan Commb’s Test. Ada dua cara:
1. Direct Coomb’s test. Sel eritrosit pasien dibersihkan dari protein-protein
yang melekat, lalu direaksikan dengan antibodi monoklonal seperti IgG
dan komplemen seperti C3d. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif.
Berarti IgG atau C3d atau keduanya melekat di eritrosit tersebut.
2. Indirect Coomb’s test. Serum pasien diambil, direaksikan dengan sel-sel
reagen yaitu sel darah merah yang sudah terstandar. Jika terjadi aglutinasi,
maka hasilnya positif. Berarti ada imunoglobulin di serum tersebut yang
bereaksi dengan sel-sel reagen.
62
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
d. Klasifikasi dan tatalaksana6,16
Anemia hemolitik autoimun ada dua jenis, yaitu :
i. Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37
derajat celcius).
Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul perlahan,
menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada
umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi
splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati.
Pemeriksaan Lab: Coomb’s test direk positif, Hb biasanya
Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival
70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan
penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika
membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari.
(2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)
imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150
mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika
kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/d
B. Tipe dingin
terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang
memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung
berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu fagositosis.
Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya
Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali.
pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb
positif, spesifisitas tinggi untukantigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr,
anti-M dan anti-P.
Prognosis:baik, cukup stabil
terapi: hindari udara dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari,
dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.
63
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
BAB IV
KESIMPULAN
Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh
adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu.
Penyakit ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun
alergi dan non-alergi. Penyakit kompleks imun alergik antara lain reaksi arthus,
reaksi serum sickness, bronco-alveoli alergi. Sedangkan yang termasuk penyakit
kompleks imun non-alergik antara lain Lupus Eritmetosus Sistemik (LES),
vaskulitis, grumerulonefritis, dan rhematoid arthritis.
Kompleks imun merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang
saling berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan
dari sirkulasi. Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan
akan terperangkap ke dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh
darah. Di dalam jaringan, kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh
komplemen dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks
imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam menimbulkan suatu proses
penyakit.
Berbagai penyakit yang dimediasi kompleks imun antara lain lupus
eritematosus sistemik, vaskulitis, glomerulonefritis, dan reaksi anafilaksis.
Penyakit-penyakit tersebut memiliki dasar patogenesis yang sama, yakni
dicetuskan oleh kompleks imun yang mengawali berbagai proses yang melibatkan
sel-sel imun. Hal inilah yang menimbulkan manifestasi klinis penyakit tersebut.
Melalui deteksi dini faktor resiko dan diagnosis yang akurat, morbiditas
dan mortalitas penyakit tersebut dapat diturunkan sehingga kualitas hidup pasien
akan lebih baik.
64
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA
1. Salim, Eddy .Mart dan Sukmana, Nanang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Penyakit Kompleks Imun. Interna Publishinh: Jakarta.
2. IAID. 2013. Immune System. Diunduh dari http://www.niaid.nih.gov pada tanggal 21 Januari 2014.
3. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p.370-83
4. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: Pathologic basis of disease. 7th ed. China: Elsevier Saunders; 2005.
5. Konthen, P. G. 2004. Pandangan baru penatalaksanaan penyakit alergi berdasarkan imunopatogenesis. Surabaya J.Int. Med. 24 (1) : 9 – 13
6. Wollenberg A; Karaft S; Oppel T; Bieber T. Atopic dermatitis: pathogenetic mechanisms, Clin Exp Dermatol, 2000; 25(7): 530-534
7. Juhlin L; Johansson SGO; Bennich H; Hogman C and Thyresson W. Immunoglobulin E in Dermatoses. Level in Atopic Dermatitis and Urticaria, Arch Derm, 100; 1969: 12-15.
8. Johnson E; Irons J.S.; Patterson R and Roberts M. Serum IgE Concentration in Atopic Dermatitis, Allergy Clin Immunol, 1994; 54: 94-99.
9. Fridalni, N. 2013. Lupus Erimatosus Sistemik. Diunduh dari http://www.scribd.com/ pada tanggal 21 Januari 2014.
10. Raharjo, D.L. 2012. Makalah Imunologi dan Sistem Hematologi Vaskulitis. Makalah pada Stikes Ngudia Husada Madura.
11. Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. h 345-353
12. Guyton & Hall (2006) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
13. Karnath BM. Anemia in the adult patient. Hospital Physician 2004:32-6.
14. Prico SA. dan Wilson LM. Patologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC; 1995. h 827-829.
15. Sutisna Himawan. Patologi. Jakarta. FK UI; 1998 h 258-261.
16. Cukasah, U. Reaksi Anafilaksis/Anafilaktoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNJANI, 2011.
65