potong tangan dalam al-qur’an
TRANSCRIPT
i
POTONG TANGAN DALAM AL-QUR’AN
(Studi Pemikiran Fazlur Rahman)
SKRIPSI
Oleh:
Pita Ria Erviana
210417004
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
2021
xii
ABSTRAK
Pita Ria Erviana : Potong Tangan Dalam Al-Qur’an (Studi Pemikiran Fazlur
Rahman). Skripsi. Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Pembimbing : Drs. H. Agus Romdlon Saputra. M.H.I
Kata kunci : potong tangan, Fazlur Rahman
Banyak sekali penafsiran tentang potong tangan menurut para mufassir baik
klasik maupun kontemporer. Dalam al-Qur’an kata yang mengandung perintah
untuk memotong tangan pencuri terdapat dalam al-Qur’an surah al-Maidah
ayat 38. Dalam wacana tafsir klasik potong tangan wajib dilakukan terhadap
pencuri yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi untuk
menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Namun seiring dengan
perkembangan zaman hukuman potong tangan dianggap sebagai hukuman
yang sangat keji dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dari fenomena
tersebut , maka sekiranya perlu dilakukan penelitian tentang makna
seseungguhnya dari ayat tersebut. Disini penulis menggunakan pendekatan
double movement yaitu metode hermeneutika yang digagas oleh Fazlur
Rahman dalam menafsirkan suatu ayat. Dipilih metode ini karena penafsiran
Fazlur Rahman yang cenderung lebih mengambil nilai moral dari suatu ayat.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Kesimpulan yang didapatkan
setelah proses analisis dari penelitian ini adalah , pertama ideal moral dari
potong tangan menurut Fazlur Rahman adalah memotong kemampuan pencuri
agar tidak lagi melakukan kejatahan tersebut, jadi potong tangan yang
dimaksud bukan dalam artian memotong anggota badan. Sehingga hukuman
potong tangan ini dapat diganti dengan yang lebih manusiawi misalnya dengan
hukuman penjara atau denda tetapi tetap memberikan efek jera bagi pelaku.
Potong tangan dalam artian memotong anggota badan menurut Fazlur
Rahman merupakan budaya Arab yang lahir sebelum Islam dating, jadi bukan
merupakan ajaran Islam.
ii
v
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Sistem transliterasi Arab-Indonesia yang dijadikan pedoman dalam penulisan
skripsi ini adalah sistem Institute of Islamic Studies, McGill University, yaitu sebagai
berikut:
z = ز ’ = ء
q = ق
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م {s = ص th = ث
ج= j
ض= d} ن = n
W = و {t = ط {h = ح
h = ه {z = ظ kh = خ
y = ي ‘ = ع d = د
gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
Ta>’ marbu>t}a tidak ditampakkan kecuali dalam susunan ida>fa, huruf tersebut ditulis t.
Misalnya: فطانة = fat}a>na; فطانة النبي = fat}a>nat al-nabi>
aw = او
ay = أي
Konsonan rangkap ditulis rangkap, kecuali huruf waw yang
didahului d}amma dan huruf ya>’ yang didahului kasra seperti tersebut dalam tabel.
<u = او <i = اي <a = ا
Kata Sandang
-wa al = وال al-sh = الش -al = ال
ix
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ...................................................................................................... i
Halaman Judul ......................................................................................................... ii
Pernyataan Keaslian Skripsi ................................................................................... iii
Lembar Persetujuan ................................................................................................ iv
Kata Pengantar ......................................................................................................... v
Pedoman Translitersi ............................................................................................. vii
Daftar Isi................................................................................................................. ix
Motto ...................................................................................................................... xi
Abstrak .................................................................................................................. xii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
C. Tujuan .......................................................................................................... 8
D. Manfaat ........................................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Metode Penelitian....................................................................................... 15
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 16
Bab II Potong Tangan dalam al-Qur’an ................................................................. 19
A. Pengertian Potong Tangan ......................................................................... 19
B. Potong Tangan dalam Hukum Islam .......................................................... 28
x
C. Hukuman Potong Tangan di Indonesia ...................................................... 31
Bab III Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman ........................................ 38
A. Biografi Fazlur Rahman ............................................................................. 38
B. Pengertian, Sejarah, dan Pembagian Hermeneutika .................................. 52
C. Hermeneutika, Ilmu Tafsir dan Al-Qur’an................................................. 58
D. Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman ........................................ 65
E. Hermeneutika Double Movement ............................................................... 74
Bab IV Analisis Penafsiran Potong Tangan Menurut Fazlur Rahman .................. 80
A. Penafsiran Potong Tangan Menurut Fazlur Rahman ................................. 80
B. Relevansi Terhadap Konteks di Indonesia ................................................ 88
C. Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Tafsir Fazlur Rahman .................. 96
Bab V Penutup ....................................................................................................... 98
A. Kesimpulan ............................................................................................... 98
B. Saran ........................................................................................................... 99
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 101
Riwayat Hidup ..................................................................................................... 104
xi
MOTTO
Don’t insecure, always be grateful
نسان في أحسن تقويم لقد خلقنا ال
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya .(At-Tin : 4)
xii
ABSTRAK
Pita Ria Erviana : Potong Tangan Dalam Al-Qur’an (Studi Pemikiran Fazlur
Rahman). Skripsi. Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Pembimbing : Drs. H. Agus Romdlon Saputra. M.H.I
Kata kunci : potong tangan, Fazlur Rahman
Banyak sekali penafsiran tentang potong tangan menurut para mufassir baik
klasik maupun kontemporer. Dalam al-Qur’an kata yang mengandung perintah
untuk memotong tangan pencuri terdapat dalam al-Qur’an surah al-Maidah
ayat 38. Dalam wacana tafsir klasik potong tangan wajib dilakukan terhadap
pencuri yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi untuk
menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Namun seiring dengan
perkembangan zaman hukuman potong tangan dianggap sebagai hukuman
yang sangat keji dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dari fenomena
tersebut , maka sekiranya perlu dilakukan penelitian tentang makna
seseungguhnya dari ayat tersebut. Disini penulis menggunakan pendekatan
double movement yaitu metode hermeneutika yang digagas oleh Fazlur
Rahman dalam menafsirkan suatu ayat. Dipilih metode ini karena penafsiran
Fazlur Rahman yang cenderung lebih mengambil nilai moral dari suatu ayat.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Kesimpulan yang didapatkan
setelah proses analisis dari penelitian ini adalah , pertama ideal moral dari
potong tangan menurut Fazlur Rahman adalah memotong kemampuan pencuri
agar tidak lagi melakukan kejatahan tersebut, jadi potong tangan yang
dimaksud bukan dalam artian memotong anggota badan. Sehingga hukuman
potong tangan ini dapat diganti dengan yang lebih manusiawi misalnya dengan
hukuman penjara atau denda tetapi tetap memberikan efek jera bagi pelaku.
Potong tangan dalam artian memotong anggota badan menurut Fazlur
Rahman merupakan budaya Arab yang lahir sebelum Islam dating, jadi bukan
merupakan ajaran Islam.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Bahkan kitab
ini sendiri menamakan dirinya “petunjuk bagi manusia” hudan lin-nas
(2;185) dan berbagai julukan lainnya yang senada di dalam ayat-ayat lainnya1.
Oleh karena itu agar al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsinya sebagai
hudan maka penafsiran berperan penting untuk memahami peran dan
kandungannya2. Tafsir al-Qur’an sendiri yang bermula dari Rasullulah hingga
sekarang telah banyak melahirkan penafsiran yang berbeda-beda, baik
penafsiran yang berbentuk tekstual maupun kontekstual.
Berbicara tentang al-Qur’an maupun tafsirnya tentu tak lepas dari
kontenya yang didalamnya terkandung ayat-ayat kisah, hukum dan tauhid serta
ayat-ayat lainnya. Salah satu hal signifikan yang menjadi kajian dalam al-
Qur’an adalah ayat-ayat tentang hukum. Hal ini dikarenakan hukum merupakan
tata cara yang mengatur seseorang untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan
Tuhan, orang lain dan lingkungan disekitarnya3.
1 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), 1
2 D.Rohmanudin, digilib, UINSGD
3 Zarmi Iskandar, Penafsiran Hukum Potong Tangan (Pendekatan Kontekstual Abdullah
Saeed), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1
2
Terdapat sekitar 350 ayat hukum atau yang dalam istilah barat disebut
dengan juris corpus, yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagian ayat tersebut
berkenaan dengan masalah hukum secara secara spesifik dan sanksi-sanksi
terhadap perbuatan yang diharamkan dan dilarang. Sebagain besar berkenaan
dengan aturan-aturan umum dalam beribadah dan beberapa ayat merupakan
perincian aturan-aturan umum yang dimaksud. Beberapa ayat lainnya
menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya banyak ayat
yang membicarakan tentang keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-hak
dalam hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan sebagian kecil
dari jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an, tetapi ayat-ayat ini sangat esensial
sebagai dasar hukum Islam4.
Ada dua pendapat mengenai definisi hukum Islam, Hasbi As-Shidieqqy
dalam bukunya Falsafah Hukum Islam memberikan definisi hukum Islam
dengan “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. ” Sedangkan menurut Amir Syariffudin
memberikan penjelasan bahwa apabial kata hukum dihubungkan dengan Islam
maka hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarakan wahyu Allah
dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Secara
4 Sayyed Hosein Nasr, The Heart Of Islam Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan,
(Bandung:Mizan Media Utma, 2002), 143.
3
sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang
berdasarkan wahyu Allah5.
Namun saat ini banyak sekali hukum Islam yang penerapannya tidak
sesuai dengan tafsir-tafsir testual. Hal ini dikarenakan, hukum Islam ada dua
yang pertama hukum Islam yang dapat berubah dan dapat dikontekstualisasikan
sesuai dengan perubahan dan perkembanag zaman, hukum Islam ini bermakna
fiqh, sebagai ijtihad dan interprestasi manusia terhadap ajaran syariah yang
kebenarannya bersifat relatif. Yang kedua hukum Islam yang bermakna syari’
ah atau hukum syara’ yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersiafat mutlak
dan telah sempurna.
Salah satu contoh ayat yang hukum yang menerangkan tentang potong
tangan dalam al-Qur’anadalah al-Qur’an surah al-Maidah ayat 38
ما فاقطع وا والسارقة والسارق ن نكالا كسبا بما جزاء أيديه عزيز والل ه الل ه م
حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana6.
Ayat ini turun berkenaan dengan seseorang perempuan yang mencuri
pada zaman Rasulullah SAW maka dipotonglah tangan kanannya lalu pencuri
5 Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, (Yogyakarta:Pustaka Peajar 2006), 3
6 Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta:Almahira, 2015) , 114
4
perempuan itu berkata “ apakah saya masih mendapat kesempatan untuk
bertaubat ya Rasulullah?” maka Allah menurunkan ayat surat al-Maidah ini7.
kemudian Allah menurunkan ayat berikutnya QS. Al-Maidah ayat 39 yang
menegaskan bahwa taubat seseorang akan diterima Allah apabila ia
memperbaiki diri dan berbuat baik (diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain
yang bersumber dari Abdullah bin Amr)8
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa syariat memerintahkan untuk
memotong tangan seorang pencuri baik laki-laki maupun perempuan, apabila
orang tersebut telah mengambil hak milik orang lain tanpa seijin dari
pemiliknya atau dalam kata yang umum disebut dengan mencuri. Hal ini
sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan.
Namun seorang tokoh pemikir kontempor Fazlur Rahman menafsirkan
ayat ini dengan penafsiran yang berbeda, dalam tafsirannya ia menafsirkan kata
fa-qtha’u {{{}> aidiyahuma> (maka potonglah tangan keduanya) sebagai bentuk
perintah untuk menghalagi tangan-tangan pencuri melalui perbaikan ekonomi.
Sehingga ideal moral dari ayt ini adalah memotong kemampuan pencuri agar
tidak mencuri lagi. Secara historissosiologis, mencuri menurut kebudayaan
Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan
7 Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul (Riwayat turunnya ayat-ayat al-Qur’an), (Surabaya:
Mutiara Ilmu).
8 Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, edisi 2 (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2000) , 192.
5
melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan
zaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya dengan
pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah.
Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan mencuri lagi dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau
denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
Karena setiap wilayah memilki hukum, adat-istiadat dan aturan yang
berbeda-beda. Ada wilayah yang memperlakukan hukum tersebut, namun ada
juga yang menggantinya dengan hukuman yang lebih manusiawi tetapi tetap
memberikan efek jera. Penafsiran yang cenderung ke arah tekstual dinilai tidak
sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku. Berangkat dari hal ini
peneliti kemudian tertarik untuk mengkaji ulang penafsiran hukum potong(Q.S
al-Maidah ayat 38) tangan dengan menggunakan pendekatan hermeneutika
Fazlur Rahman, hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri hukum potong tangan
tidak diterapkan, untuk itu peneliti ingin meneliti penafsiran ayat Q.S al-
Maidah ayat 38 ini dengan menggunakan pendekatan pemikiran hermeneutika
Fazlur Rahman yang hasil penafsirannya dinilai lebih kontekstual dan relevan
untuk diterapakan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk sebuah
skripsi.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti dapat merumuskan
pokok permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana konsep potong tangan dalam al-Qur’an menurut Fazlur Rahman?
2. Bagaimana metode tafsir yang menjadi dasar ketetapan potong tangan dalam
al-Qur’an menurut Fazlur Rahman?
3. Bagaimana relevansi penafsiran Fazlur Rahman terhadap hukum potong
tangan di Indonesia?
C. Tujuan
Dalam penelitian ini, berdasarkan pada rumusan masalah di atas penulis
bertujuan:
1. Menjelaskan penafsiran Fazlur Rahman terhadap ayat tentang potong tangan
bagi pencuri.
2. Untuk mendiskripsikan metode penafsiran Fazlur Rahman terhadap ayat
tentang potong tangan
3. Menganalisis relevansi konsep penafsiran ayat potong tangan menurut
Fazlur Rahman terhadap konteks masa kini khususnya di Indonesia.
D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis, secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk
7
menambah pengetahuan dan wawasan keilmuan terutama dalam bidang tafsir
al-Qur’an utamanya tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an
berdasarkan penafsiran Fazlur Rahman.Penelitian ini diharapkan mampu
menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya.2.Manfaat praktis: Bagi Akademisi
Dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan penelitian yang lebih lanjut
baik untuk penulis sendiri atau penulis lain khususnya dalam tema tentang
potong tangan karena dengan perkembangan zaman yang semakin dinamis dan
pesatnya kemajuan teknologi, ayat potong tangan perlu penafsiran-penafsiran
baru agar keadilan sosial dapat terwujud. Bagi mufasir penelitian ini diharapkan
mampu menjadi bahan koreksi dan juga edukasi untuk terus mengembangkan
khasanah tafsir agar mampu mengatasi problem dalam masyarakat.Bagi
masyarakat umum penelitian ini diharapkan mampu menjadi refrensi bahwa
penafsiran ayat tentang potong tangan tidak hanya terpaku pada tekstual ayat
tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
Dengan penelusuran dan peneyelidikan yang dilakukan peneliti
mendapati beberapa kemiripan judul yang menyangkut penelitian yang akan
diteliti berkaitan dengan hukum potong tangan dalam al-Qur’an berdasarkan
studi terhadap pemikiran Fazlur Rahman diantaranya:
8
Teoritik: buku Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman 9 karya
Sibawaihi. Buku ini secara umum menjelalaskan tentang metedologi tafsir
Fazlur Rahman, sebagai suatu pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini
dikarenakan metedologi tafsir Rahman terserak dalam banyak buku dan
makalah yang ia tulis sepanjang hidupnya. Buku ini berusaha menghimpun dan
mengumpulkan pemikiran Fazlur Rahman dalam suatu formulasi yang utuh.
Perbedaan buku ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
peneliti akan menjelaskan lebih detail tentang ayat potong tangan dalam al-
Qur’an serta implementasinya dalam masyarakat, selain itu juga menuliskan
ayatnya agar lebih mudah dipahami.
Empirik: pertama, skripsi yang berjudul penafsiran hukum potong
tangan dengan menggunakanpendekatan kontekstual Abdullah Saeed karya
Zarmi Iskandar penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah
Saeed untuk memaknai hukum potong tangan. Penelitian ini mengaplikasikan
metode hermeneutika Abdullah Saeed dalam memahami ayat tentang potong
tangan, kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa masa
pewahyuan Q.S Al-Maidah ayat 38 yakni hukuman potong tangan bagi pencuri
telah dilakukan sebelum masa Islam yakni dimana orang yang membunuh
dibalas dengan membunuh dan orang yang merusak anggota tubuh maka
dibalas dengan cara merusak anggota tubuhnya juga. Dengan turunya ayat
9 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasura, 2007).
9
tersebut sangsi potong tangan merupakan sanksi yang paling efektif karena
mempertimbangkan aspek budaya masyarakat 10 . Perbedaaan penelitian ini
dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian hukum potong tangan
dengan menggunakan konsep pemikiran hermenutika Fazlur Rahman.
Sedangkan persamaanya adalah sama-sama membahas tentang hukum potong
tangan menurut pemikiran suatu tokoh.
Kedua, penelitan yang dilakukan oleh Riza Taufiq Majid dengan judul
Riba dalam al-Qur’an (Studi pemikiran Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed)
tesis yang dilakukan oleh saudara Riza ini membahas tentang hukum riba
menurut pandangan Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed dari kesimpulan yang
diperoleh dipahami bahwa menurut Rahman larangan riba menekankan pada
aspek moral dibandingkan aspek legal-formal Riba yang dilarang dalam al-
Qur’an adalah riba jahiliyyah yang mempraktikkan riba yang berlipat ganda QS.
Ali Imran: 130. Pada waktu ayat ini turun, terdapat kelompok masyarakat yang
secara ekonomi sangat tertekan sehingga menjadi korban eksploitasi orang-
orang kaya yang meminjamkan uangnya. Dengan kata lain, ideal moral dari
ayat tersebut adalah larangan melakukan eksploitasi terhadap kaum ekonomi
lemah. Dengan demikian, selagi bank tidak menerapkan tambahan yang
berlipat ganda (eksploitatif) maka hal itu dapat dibenarkan sedangkan
10 Zarmi Iskandar, Penafsiran Hukum Potong Tangan Dengan Menggunakan Pendekatan
Kontekstual Abdullah Saeed, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 90
10
Abdullah Saeed menekankan aspek moral dibandingkan aspek literal Statemen
lakum ru’us amwalikum (bagimu pokok hartamu) telah diberi penekanan
moral melalui penjelasan la taz’limun wa latuzlamun (kamu tidak melakukan
penganiayaan dan tidak pula kamu dianiaya). Statemen pertama “penambahan
dalam pinjam meminjam di atas pokok pinjaman” dianggap sebagai ‘illah,
sementara statemen yang kedua “kamu tidak melakukan penganiayaan dan
tidak pula kamu dianiaya” merupakan hikmah11.Penelitian ini jelas berbeda
dengan penelirian yang akan dilakukan oleh penulis, sebab pokok pembahasan
yang dikaji adalah dua sub bab yang berbeda. Penelitian ini meneliti tentang
riba sedangkan penelitian penulis tentang potong tangan. Sedangkan
persamaanya adalah pada bahan kajian yakni pemikiran tokoh Fazlur Rahman
dan hasil tafsirnya tentang suatu ayat.
Ketiga. penelitian dengan judul penerapan metode Double Movement
dalam memahami hadist tentang nyanyian, penelitian ini dilakukan oleh Kiki
Saraswati 12 . Penelitian ini membahas tentang penerapan teori Double
Movement dalam memahami hadist-hadist tentang nyanyian. Dalam
kesimpulannya menggunakan metode double movement diperoleh hasil bahwa
11 Riza Taufiq Majid, Riba dalam al-Qur’an (Studi pemikiran Fazlur Rahman dan Abdullah
Saeed), Tesis, IAIN Ponorogo, 122
12 Kiki Saraswati, Penerapan Metode Double Movement Dalam Memahami Hadist Tentang
Nyanyian,Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
nyanyian diperbolehkan selama liriknya tidak bertentangan dengan Islam dan
mendengarkannya tidak dibarengi dengan perbuatan maksiat. Sebab music juga
memiliki dampak yang positif bagi manusia misalnya membangkitkan
semangat juang dalam lagu-lagu nasional untuk mengenang jasa para pahlawan,
membangkitkan semangat ketika berolahraga, ketika sdang mengerjakan tugas
atau lainnya. Perbedaan penelitian ini dengan yang diteliti oleh peneliti adalah
penelitian ini menguraikan tentang hadist yang berhubungan dengan nyanyyian
kemudian dianalisa menggunkan teori hermenutika double movement
sedangkan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti adalah ayat yang
berkenaan dengan hukum potong tangan berdasarkan pemikiran hermenutika
Fazlur Rahman. Sedangkan persamaannya dalah terletak pada metode yang
digunakan yakni sama-sama menggunakan pendekatan metode pemikiran
hermeneutika double movement Fazlur Rahman.
Selain itu juga beberapa karya buku yang menyangkut tentang
hermeneutika Fazlur Rahman dan penafsirannya, misalnya juga bebrapa jurnal
yang membahas tentang metedologi pemikiran hukum Fazlur Rahman, nilai-
nilai al-Qur’an sesuai konteks sekarang 13 .
13 Edi Susanto, Pengantar Hermeneutika. Google Books, (Jakarta:Kencana, 2016), 77
12
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,
yaitu pendekatan yang tidak memerlukan hitungan. serta hasilnya
menekankan makna daripada generalisasi14 dengan model pelaksanaannya
adalah penelitian kepustakaan. Penelitian ini berpusat di perpustakaan
(library research). Biasanya penelitian ini berhubungan dengan studi
pustaka yang memerlukan informasi dari penelitian yang telah ada. Peneliti
berkesempatan untuk mengeksplor hal baru yang belum pernah ditemukan
dalam penelitian sebelumnya dengan kajian secara mendalam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika al-Qur’an
Double Movement yang digunakan oleh Fazlur Rahman.
2. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini dapat disederhanakan sebagai berikut:
a. Metode Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.
b. Penafsiran Fazlur Rahman tentang potong tangan
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
Sumber data primer penelitian ini terdiri dari karya ilmiah, seperti
skripsi, tesis, disertasi maupun buku-buku yang berhubungan dengan
bahasan yang akan dikaji, yaitu karya-karya Fazlurrahman diantaranya
14 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung:Alfabet, 2015), 15
13
Islam, Islam and Moderenity, Revival and Reform. Dan buku-buku lainya
yakni Epistemologi Tafsir Kontemporer, Filsafat Hukum Islam, Studi
Hermeneutika Kajian Pengantar.
Selain itu juga sumber data sekunder yakni semua kitab, buku, karya
tulis serta artikel yang dapat mendukung dan relevan dengan tema yang
diangkat dalam penelitian ini. Data primer data sekunder ini kemudian
penulis analisis, sehingga nanti harapannya dan tujuan tercapai meskipun
tidak maksimal. Diantara sumber data sekunder yang digunakan adalah
jurnal A.M.Ismatulloh dengan judul ayat-ayat hukum dalam pemikiran
mufasir indonesia (studi komparatif penafsiran M.Hasbi Ashshiddieqi dan
M.Quraish Shihab) jurnal Fenomena, vol 6 no 2, 2014. Buku hukum islam
(menjawab tantangan zaman yang terus berkembang) karya Abdul Halim,
buku Asbabun Nuzul, the Heart of Islam, dll.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seperti yang dicantumkan pada judul penelitian ini menggunkan
pendekatan hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Maka teknik yang
digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan cara studi
kepustakaan dengan menggunkan cara heuristik. Heuristik adalah kegiatan
mencari dan menemukan sumber data yang diperlukan. Lebih jelasnya
langkah-langkahnya dalah sebagai berikut:
a. Menentukan tema yang akan dibahas
b. Melacak pemikiran tokoh
14
c. Melacak penafsiran tentang ayat tersebut sesuai dengan pemikiran
tokoh.
4. Teknik Pengolahan Data
Untuk mengolah data pada penelitian ini, penulis menggunkan cara
metode deskriptif-analitis, yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang
ada. Metode ini tidak hanya terbatas sampai pada pengumpulan dan
penyusunan data, akan tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti
data tersebut.15
5. Teknik Analisis Data
Analisis adalah proses penghimpunan atau pengumpulan data
dengan tujuan memperoleh informasi dan manfaat, dan mendukung
pembuatan keputusan hasil penelitian. Teknik analisis yang digunakan
dalam metode ini adalah analisis deskriptif dan interpretatif. Metode
analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan latar belakang dan
teori hermeneutika Fazlur Rahman. Metode analisis taksonomi digunakan
untuk memusatkan penelitian pada domain tertentu dari tokoh. Metode
analisis interpretatif digunakan untuk menginterpretasikan dan
menganalisis secara mendalam teori hermeneutika Fazlur Rahman dan
khususnya tentang ayat potong tangan. Interpretasi dilakukan hanya dalam
15 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, 139
15
batasan alur pemikiran. Hal ini digunakan untuk menemukan dan
memahami apa yang dimaksud Rahman tentang potong tangan.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan
skripsi ini serta memudahkan pembaca dalam menelaah dan memahami
disusunlah sebuah sistematika pembahasan yang akan disusun dalam lima bab
sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian terdahulu, metode
penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini menggambarkan kerangka
pemikiran penulis dalam melakukan penelitian serta dalam upaya menemukan
masalah secara sistematis.
Bab kedua, bab ini akan membahas tentang biografi Fazlur Rahman.
Mulai dari riwayat hidupnya, pendidikannya dan juga hasil karya beliau.
Bab ketiga, hermenutika al-Qur’an Fazlur Rahman Bab ini akan
menjelaskan tentang pengertian hermeneutika dan bagaimana teori
hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.
Bab keempat, penafsiran Fazlur Rahman tentang potong tangan.
implementasi metode Fazlur Rahman dalam menafsirkan ayat potong tangan,
implementasi ini nanti digunakan untuk melihat relevansi penafsiran dalam
konteks di Indonesia.
16
Bab kelima, bab ini akan membahas penutup dari skripsi yang berisi
tentang hasil penelitian yang dilakukan dalam bentuk kesimpulan dan saran-
saran yang konstruktif bagi penelitian-penelitian sejenis dimasa selanjutnya.
17
BAB II
POTONG TANGAN DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Potong Tangan Menurut Mufassir
Secara bahasa potong tangan dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata
yaitu قطع dan اليد. Kata قطع merupakan isim masdar dari lafadz قطع-يقطع-قطع
yang berarti memotong atau memutuskan. Sedangkan kata اليد merupakan isim
dari lafadz اليد- )ايد(: الكفوالدراع yang berarti (tangan, lengan)1. Secara istilah
potong tangan berarti memotong atau memutuskan tangan mulai dari telapak
tangan sampai pergelangan.
Defisini diatas sama dengan definisi menurut empat Imam Madzhab,
ulama Zahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah yang mendefinisikan hukum potong
tangan yaitu memotong tangan pelaku pencurian mulai dari telapak tangan
sampai pergelangan tangan . karena menurut batas minimal dari tangan ialah
dari jari sampai pergelangan tangan.
Dalam al-Qur’an surah yang menjelaskan tentang potong tangan
terdapat dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 38
ما فاقطع وا والسارقة والسارق ن نكالا كسبا بما ءجزا أيديه عزيز والل ه الل ه م
حكيم
1 Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, h.1697
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana2.
Ayat ini turun berkenaan dengan seseorang perempuan yang mencuri
pada zaman Rasulullah SAW maka dipotonglah tangan kanannya lalu pencuri
perempuan itu berkata “ apakah saya masih mendapat kesempatan untuk
bertaubat ya Rasulullah?” maka Allah menurunkan ayat surat al-Maidah ini3.
kemudian Allah menurunkan ayat berikutnya QS. Al-Maidah ayat 39 yang
menegaskan bahwa taubat seseorang akan diterima Allah apabila ia
memperbaiki diri dan berbuat baik (diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain
yang bersumber dari Abdullah bin Amr) 4 Kemudian alAmidi menjelaskan
bahwa asbabun nuzul ayat ini berhubungan dengan Thu’man bin Ubairq
ketika mencuri baju besi tetangganya yang disembunyikan dalam tepung
gandum. kemudian didakwakannya kepada Qutadah bin Nu ’ man, Dia
menyembunyikan di rumah seorang Yahudi Zaid Ibnus Saminn . Ketika
dituduhkan kepada Qutadah sebagai pencuri seperti tuduhan Thu’mah, tidak
ditemukan padanya tuduhan tersebut. Dia membantah tidak mengambilnya, dia
tidak tahu sama sekali. Kemudian ditelusuri tepung yang tercecer dan diikuti
2 Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta:Almahira, 2015), 114
3 Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul (Riwayat turunnya ayat-ayat al-Qur’an), (Surabaya:
Mutiara Ilmu).
4 Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, edisi 2 (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2000), 192.
sehingga sampai kerumah Zaid Ibnus Samin lalu diambil darinya. Lalu Zaid
pun membela dirinya dengan mengatakan bahwa perisai itu diserahkan
kepadanya oleh Thu’mah bin Ubariq dan pernyataanya ini dikuatkan oleh
kesaksian bebrapa orang Yahudi lainnya. Pada waktu itu, Rasullulah ingin
membela Thu’mah karena perisai itu ditemukan ditempat orang lain, namun
turunlah surah an-Nisa’ ayat 107 yang menerangkan :
“Dan janganlah kamu berdebat untuk (membela) orang-orang yang
menghianati dirinya”
Kemudian turunlah ayat 38 al-Maidah ini untuk menerangkan tentang
hukum pencurian.5
Mufradat Lafaz ااسارق artinya orang yang mengambil harta secara
diam-diam atau sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya(al-Hirz).ia
adalah isim fa’il dari lafaz س رق yang artinya mencuri atau mengambil
sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari tempat
penyimpanan.Termasuk dalam pencurian adalah mencuri dengar pembicaraan
orang lain dan mencuri pandang jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Sariq artinya pencuri laki-laki atau ada yang mengartikan laki-laki pencuri dan
sariqah pencuri perempuan atau perempuan pencuri6. ما tempat فاقطع وا أيديه
5 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wal Manhaj, Dar al-Fikr,
Beirut, jilid 3 th 2005, 510
6 Nailul Rahmi. Hukuman Potong Tangan Perspektif Al-Qur`An Dan Hadis. Jurnal Ulunnuha
Vol.7 No.2/Desember 2018, 56
pemotongan dari tangan artinya tempat pada bagian tangan yang dipotong jika
seseorang mencuri. Orang yang dipotong tangannya jika dia mencuri ¼ dinar ke
atas menurut jumhur selain hanafiah. ن الل ه sanksi atau hukuman bagi نكالا م
keduanya (pencuri baik ia laki-laki ataupun perempuan) untuk menghalangi
atau larangan bagi manusia untuk melakukan pencurian. Hukuman dari Allah
terhadap perbuatan pencurian yang dilarang Allah Swt. Oleh karena itu
hukuman had potong tangan bagi pencuri tidak dapat gugur karena maaf yang
diberikan oleh pemilik harta yang dicuri.7
sebagi hukuman bagi mereka berdua dari Allah Swt ( نكالمن االله(
yang bisa menjadi efek jera bagi orang-orang supaya mereka tidak melakukan
tindakan kriminal pencurian. حكيم عزيز والل ه Allah Swt Maha Perkasa dan
Digdaya atas urusan-Nya, lagi Maha Bijaksana terhadap makhluk-Nya.
Munasabah dari ayat ini dimulai dari ayat 37 dimana Allah menjelaskan
tentang . hukum bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan hirabah
atau penyamun atau perampok, yaitu dengan memotong atau merampas orang
ditengah jalan dengan kekerasan, adakalanya dengan menyakiti pemilik harta
atau bahkan dengan membunuh pemilik harta. Menurut Abu Hanifah hirabah
adalah pencurian yang besar, sedangkan menurut yang lain pencurian kecil.
7 Wahbah Zuhaili,Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wal Manhaj, Dar al-Fikr, Beirut,
jilid 3 th 2005, 510
Setelah Allah menjelaskan sanksi bagi pelaku hirabah yang melakuka
perbuatan yang fasad di atas bumi dan menyuruh manusia untuk bertaqwa
kepada Allah agar terhindar dari perbuatan yang haram dan ma’shiat, lalu
Allah menjelaskan sanksi bagi orang-orang yang mengambil harta dari
persembunyiannya. Diantara sanksi pagi pelaku hirabah adalah dipotong tangan
dan kaki secara berlawanan dan sanksi pencurian adalah potong tangan.
Kemudian pada ayat 39 Allah menjelaskan bahwa Dia akan mengampuni
hambaNya yang bertaubat setelah melakukan perbuatan dosa. Hirabah dan
pencurian adalah perbuataan dosa yang dilarang oleh Allah Swt, dan siapa saja
yang melakukannya maka Allah telah menetapkan sanksi bagi mereka di dunia
dan akhirat kelak, karena itu seyogyanyalah perbuatan tersebut selalu dihindari
oleh seorang mukmin.8
Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa gerombolan
perampok, pencuri, pembegal yang merusak keamanan, memerangi Allah dan
Rosul dengan kekerasan dan dengan senjata merapas hak milik orang lain,
maka hukuman bagi mereka adalah hukuman yang tidak tanggung-tanggung.
Namun yang mengambil milik mereka secara sembunyi-sembunyi atau
mencuri, mengambil milik orang yang sedang tidur, mencopet ketika lengah,
dan mengambil jemuran orang yang tenggah berada di dapur maka hanya ada
8 Nailul Rahmi, Hukuman Potong Tangan Perspektif Al-Qur`An Dan Hadis, Jurnal Ulunnuha
Vol.7 No.2/Desember 2018, 56
dua ketetapan darai Allah yakni, pertama yakni dengan jalan bertaqwa, mencari
jalan yang diridhoi oleh Allah, hidup baik dan beramal serta berjihad mencari
harta yang halal. Namun bagi yang tidak bisa mengendalikan jiwanya maka
jalan kedua bagi mereka adalah ancaman hukuman badan.
Seperti dalam Firman Allah surat al Maidah ayat 38 (“dan laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri maka hendaklah kamu potong tangan
mereka, sebagai balasan atas apa yang telah mereka perbuat itu, sebagai contoh
menakutkan dari Allah”)
Islam mengadakan hukuman yang berat bagi orang-orang yang
mencuri. Potong tangannya saja, dari ujung tangan sampai ke pergelangan.
Sebab tangan tersebut telah berbuat jahat. Tidak peduli apa dia laki-laki atau
perempuan. Sebab seorang perempuan pun ada yang tangannya sangat suka
mencuri.
Menurut hukum yang ditetapkan oleh Ali bin Abi Thalib seseorang
boleh dipotong tangannya apabila barang yang di curi sudah mencapai
seperempat dinar emas atau seharganya. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Imam Syafi’i. namun hukuman bagi pencuri dapat diterpakan apabila terdapat
bukti yang jelas (Bayyinah). Dan hukuman tidak bias dilaksanakan apabila
orang yang kecurian memberi maaf sebelum sampai ke tangan hakim. Serta
hukuman ini tidak boleh dilakukan ketika waktu perang, agar pencuri tidak
melarikan diri ke musuh.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa hukuman potong tangan ini
diterapkan sebagai contoh yang menakutkan dari Allah sehingga seseorang
yang akan mencuri berfikir terlebih dahulu sebelum mengambil milik orang
lain. Sebab dengan adanya hukum potong tangan, seseorang akan terus
membawa tanda bukti kejahatannya kepada khalayak umum. Hal ini dilakukan
agar memberikan efek jera kepada seseorang yang suka mengambil sesuatu
yang bukan hak-nya.
Banyak anggapan bahawa hukum ini dianggap kejam dan hukum yang
telah kolot, namun apabila ditinjau dari betapa hebat dan memuncaknya
kejahatan manusia pada masa kini, maka hukuman ini sebetulnya tidak boleh
berhenti. Kecuali, bagi mereka yang telah bertaubat dan segera mengembalikan
harta yang dicurinya itu, serta menyesali perbuatannya maka Tuhan akan
memberikan taubat.
Dalam uraian ini tentu dapat dipahami bahwa seseorang yang mencuri
namun telah bertaubat sebelum sampai kepada hakim, mengembalikan barang
curian, dan telah dimaafkan oleh seseorang yang kecurian maka orang tersebut
dimaafkan. Namun apabila telah sampai kepada Hakim, meskipun dia telah
bertaubat maka hukuman tersebut diserahkan kepada hakim, untuk dimaafkan
atau tidaknya. Hukuman ini juga bisa terjadi jika si pencuri tidak bisa
mengembalikan barang yang dicurinya. Semoga Allah meringankan dan
memberi ampunan karena tangannya yang telah hilang itu.9
Al-Qurthubi menjelaskan tentang Al Maidah ayat 38 ini dengan,
memahami ayat tersebut sebagai sebuah hukuman untuk seorang pencuri.
Hukuman yang ditetapkan oleh Allah kepada pencuri adalah potong tangan.
Namun, tidak semua jenis pencurian harus dihukum dengan potong tangan. Ada
syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk sampai pada tindakan potong tangan.
Seseorang boleh dipotong tangannya apabila ia mencuri seperempat dinar atau
lebih, atau mencuri sesuatu yang nominalnya sama dengan seperempat dinar.
Hal ini berdasarkan pada hadis nabi yang artinya:
“Jangan dipotong tangan seorang pencuri kecuali pada (pencurian)
seperempat dinar atau lebih.”
Menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri potong tangan dapat dilaksanakan
jika mencapai nominal sepuluh dirham. Mereka berargumentasi demikian
berpegang pada hadis dari Ibnu Abbas. Menurut Ibnu Abbas perisai yang
karenanya nabi memotong tangan pencuri itu dinilai dengan sepuluh dirham.
Di sini al-Qurthubi mengemukakan berbagai pendapat mengenai batas minimal
nilai barang yang dicuri agar hukum potong tangan dilakukan. Namun,
pendapatnya tetap pada satu kesimpulan bahwa pencuri baik laki-laki maupun
9 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Kerjaya Printing
Industries, 2003) jilid 3, 1730-1733
wanita harus dipotong tangannya apabila mencapai batas nominal yang telah
ditetapkan10.
at-Thabari menjelaskan bahwa potong tangan adalah balasan terhadap
perbuatan mencuri yang dilakukan keduanya dari Allah. Thabari juga
menjelaskan bahwa Umar bin Khatab menyuruh agar memberikan hukuman
yang keras (berat) kepada pencuri dalam kasus pencurian.Umar mengatakan
“potonglah tangan –tangan mereka lalu kai-kaki mereka”. الله عزيز خكيمو
maksud firman Allah ini menurut at-Thabari adalah bahwa Allah maha Perkasa
dalam memberikan hukuman kepada laki-laki atau perempuan yang melakukan
pencurian serta selain mereka berdua yang melakukan kedurhakaan kepada
Allah, sesungguhnya Allah maha bijaksana dalam memberikan keputusan dan
hukuman kepada mereka. Ayat ini juga bermakna “oleh karena itu janganlah
kamu berlebih-lebihan dalam memberikan hukuman , hai orang-orang mukmin,
terhadap orang pencuri dan selain mereka dari orang-orang yang melakukan
kejahatan yang wajib diberikan hukuman. Karena sesungguhnya Allah dengan
hikmah-Nya memutuskan keputusan untuk mereka dan pengetahuan Allah
menunjukkan kebaikan kepada mereka dan kepadamu.11
10 Ulummudin, Analisis Penafsiran Terhadap Q.S al-Maidah:38 dalam Qur’an: A Reformist
Translation. QOF, VOL 3 No 2, 152
11Ath Thabari
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengemukakan berbagai pendapat ulama
dan juga hadist-hadist. Menuutnya mayoritas ulama menetapkan batas tertentu
dalam pencurian. Imam Malik bin Anas misalnya, nishab atau batas
minimalnya adalah tiga dirham atau barang yang seharga tiga dirham atau lebih.
Jika seseorang mencuri tiga dirham atau lebih maka hukuman potong
tangannya adalah wajib. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat potong tangan
bagi pencuri ukuran minimalnya adalah uang sebesar seperempat dinar atau
benda lain yang sama harganya. Pendapat ini mengacu kepada hadist yang
dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Aisyah, Abu
Bakar dan Utsman12
Sedangkan menurut mufassir Indonesia Quraish Shihab menafsirkan
ayat ini dengan Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, potonglah pergelangan
tangan keduanya sebagai pembalasan duniawi bagi apa yakni pencurian yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan yang menjadikan ia jera dan orang lain
takut melakukan hal serupa dari Allah.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Tetapi jika ia
menyadari kesalahannya dan menyesalinyalalu bertaubat maka barang siapa
bertaubat di antara pencuri-pencuri itu sesudah melakukan penganiayaannya,
yakni pencurian itu walaupun telah berlalu waktu yang lama dan memperbaiki
12 Dr Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, terj.M. Abdul Ghofar. (Kairo:Mu-
assasah Daaral-Hilaal Kairo, 2003), 81-85
diri, antara lain mengembalikan apa yang telah dicurinya atau nilainya kepada
pemilik yang sah maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya sehingga dia
tidak akan disiksa di akhirat nanti.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata
pencuri memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali
mencuri, sehingga wajar ia dinamai pencuri. Jika kita memahami demikian,
maka ini berarti, seorang yang baru sekali atau dua kali mencuri belum wajar
dinamai pencuri, dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai sanksi yang
disebut oleh ayat di atas.Ini berbeda jika kata tersebut diterjemahkan “lelaki
yang mencuri". Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seseorang tertangkap
basah mencuri, tetapi bersumpah berkali-kali bahwa baru kali itu dia
mencuri.Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra. tetap memerintahkan memotong
tangannya, sambil menyatakan, Allah tidak mempermalukan seseorang yang
baru sekali melakukan dosa. Setelah sanksi hukum beliau menggugah hati si
pencuri, lalu beliau bertanya kepadanya, telah berapa kali ia mencuri, si pencuri
menjawab: "Telah berkali-kali.” Demikian Maha Benar redaksi ayat ini dan
baru pertama kali tertangkap.
Beliau berpendapat ada kemungkinan lain dari “potonglah kedua
tangannya” yakni melumpuhkan kemampuannya. Dalam hal ini dapat diganti
dengan hukuam penjara. Namun Quraish Shihab menerima pendapat bahwa
potong tangan adalah batas maksimal hukuman seorang pencuri. Meskipun
pemahaman seperti ini tidak diisyaratkan oleh teks namun hal dapat diterima
apabila ada alasan yang meringankannya, seperti yang terdapat dalam kasus
Umar bin Khatab ketika terjadi paceklik.13 Tidak juga menjatuhkannya kepada
sekelompok karyawan yang mencuri seekor unta karena majikannya tidak
memberikan mereka upah yang wajar Bahkan yang dijatuhi hukuman ketika itu
oleh 'Umar ra adalah sang majikan, yakni Ibn Hathib Ibn Abi Balta'ah dengan
mewajibkan membayar kepada pemilik unta yang dicuri dua kali lipat
harganya.
Ini tentu bukan berarti bahwa yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi
sama sekali, tetapi yang dimaksud adalah tidak menjatuhkan bad yakni sanksi
hukum seperti potong tangan bagi yang mencuri, mencambuk dan atau merajatn
bagi yang berzina dan membunuh bagi yang membunuh.Sanksi hukum yang
harus ditegakkan sebagai gantinya adalah apa yang diistilahkan dengan ta'zir,
yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang ditetapkan bila bukti
pelanggaran cukup kuat. Ta'zir dapat berupa hukuman penjara, atau apa saja
yang dinilai wajar oleh yang berwewenang.
Sedangkan Hasbi mengatakan, diantara hukum yang diterangkan
kepada kamu adalah hukum bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan.
Maka barang siapa mencuri, laki-laki ataupun perempuan, hakim hendaknya
menghukum dan memotong tangan kanannya dari telapak tangan sehingga
13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 93
pergelangan tangan sebagai hukuman atas perbuatannya yang mengambil harta
orang lain. Menurut Hasbi, ayat ini tegas menetapkan hukum memotong tangan
pencuri. Ayat ini tidak menetapkan batas minimum barang curian, yang dapat
dijatuhi hukuman potongan tangan. Menurut Hasbi, dengan tidak ditetapkannya
batas minimum dalam ayat tersebut adalah sesuai benar dengan hikmah
Alquran yang umum, mengingat perkembangan keadaan dan masa. Menurut
Hasbi, dengan mengutif perkataan para muhaqqiq, bahwa ‘lafazh sariq dan
sariqah” mengandung pengertian seorang residivis. Maka yang dipotong
tangannya hanyalah pencuri yang telah berulang kali mencuri. Adapun pencuri
yang baru sekali atau dua kali berbuat dan perbuatannya itu belum menjadi
kebiasaan, maka dia tidak dijatuhi hukuman potong tangan. Menurut Hasbi,
hukuman potong tangan dilakukan sesudah tidak ada lagi jalan untuk
memperbaikinya14.
B. Potong Tangan dalam Hukum Islam
Potong tangan merupakan ancaman hukuman bagi tindak pidana
pencurian yang di atur dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum Islam,
pencurian termasuk salah satu jarimah hudud, karena secara tegas dan
14 A.M.Ismatulloh, Ayat-Ayat Hukum Dalam Pemikiran Mufasir Indonesia (Studi Komparatif
Penafsiran M.Hasbi Ashshiddieqi Dan M.Quraish Shihab). FENOMENA, Vol 6 No 2, 2014, 282.
teksnisnya sudah diatur dalam nash-nash al-Qur’an dan hadist.15 Pencurian
termasuk kedalam mengambil hak orang lain secara diam-diam.
Hukuman potong tangan didasarkan pada penyelidikan mental dan
kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukuman tersebutadalah hukuman yang
sesuai dengan perseorangan maupun masyaraka, oleh karena itu merupakan
hukuman yang paling baik sebab bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa
menjamin ketentraman masyarakat.16
Pencurian dalam hukum Islam tidak bisa dihapus dengan adanya pemaafan,
baik dari korban maupun dari penguasa. Hukuman ini tidak boleh diganti dengan
hukuman lain atau yang lebih ringan dari padanya. Hal ini sebagimana firman
Allah dalam al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut: والسارق
ما فاقطع وا والسارقة ن نكالا كسبا بما جزاء أيديه حكيم عزيز والل ه الل ه م
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana17.
Dalam ayat ini jelas diterangkan bahwa laki-laki maupun perempuan
yang mencuri wajib dipotong tangannya, tanpa terkecuali bagi mereka yang
telah tertangkap basah melakukan perbuatan pencurian. Menurut al-Syayid
15 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), 193
16 Siti Khodijah, Hukum Potong Tangan Dan Pemberlakukannya Di Indonesia, Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah, 2
17 Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta:Almahira, 2015), 114
sabiq syarat-syarat seseorang yang divonis hukuman potong tangan ada tiga
yakni pertama cakap hukum(taklif), merupakan kehendak sendiri(ikhtiar), dan
sesuatu yang dicuri tersebut bukan merupakan barang Syubhat.18
Sedangkan batas minimum harta yang dicuri yang dikenai hukuman
potong tangan, ada beberapa perbedaan pendapat menurut para ulama madzhab
yakni, Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang pencuri sudah bisa dijatuhi
hukuman potong tangan jika nilai harta yang dicurinya mencapai seperempat
dinar atau tiga dirham ke atas. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa`I, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari
hadist Aisyah.19
Namun ada ulama lain yang berpendapat bahwa batasan harta seseorang
boleh dipotong tangannya adalah pencurian dengan nominal sepuluh dirham,
hal ini menurut pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mendasarkannya pada
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
C. Hukuman Potong Tangan di Indonesia
1. Hukuman potong tangan di Aceh, Aceh adalah salah satu daerah dalam
wilayah NKRI yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam
secara utuh. Salah satu undang-undang yang mengaturnya adalah UU No.4
18 Ida Kurniati, Pencurian Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif, FSH IAIN Pare-Pare, 2
19 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Kerjaya
Printing Industries, 2003) jilid 3, 1730-1733
tahun 1994 yang mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Dalam masalah
jinayah Aceh mengatur kehidupan masyarakatnya meliputi tiga hal yakni
Minuman Khamr, Perjudian, dan Mesum. Bagi mereka yang melanggar
aturan tersebut maka akan dikenai berbagai macam hukuman misalnya, bagi
seseorang yang mengkonsumsi khamr makan akan dikenai hukuman cambuk
sebanyak 40 kali, dan juga denda uang tunai.
Sedangkan bagi mereka yang melakukan perbuatan judi (taruhan antara
dua pihak) akan dikenai hukuman cambuk sebanyak 12 kali dan juga
Pemerintah melarang keras setiap badan usaha untuk menyelenggarakan hal
tersebut. Bagi mereka yang melakukan perbuatan mesum maka akan
dicambuk sebanyak 9 kali dan juga denda.
Hukuman potong tangan di Aceh untuk saat ini belum diberlakukan
namun ada potensi besar hukuman ini dapat diberlakukan di Aceh mengingat
daerah ini memilki keistimewaan untuk mengatur peraturan daerahnya
sendiri.20
2. Peraturan pengganti hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku di
Indonesia yakni, Dalam hukum pidana Indonesia terdapat beberapa macam
sanksi yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
20 Siti Khodijah, Hukum Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia, skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 69
sebagaimana diterangkan sebagai berikut : Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok
1. Pidana mati; 2.Pidana penjara; 3.Pidana kurungan; 4.Pidana denda; 5.Pidana
tutupan. b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2.Perampasan
barang-barang tertentu; 3.Pengumuman putusan hakim. Dalam hal tindak
pidana pencurian, sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi pelaku pencurian
di dalam KUHP ialah pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana
denda dan sebagai pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu (Pasal
366 KUHP)21.
Pengertian tindak pidana pencurian dan pencurian dengan kekerasan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni: a) Pencurian
Biasa Pencurian biasa diatur dalam Bab XXII buku II dalam Pasal 362 KUHP
sampai dengan Pasal 367 KUHP. Dalam Pasal 362, pencurian adalah : “Barang
siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
denda paling banyak enam puluh rupiah”. b) Pencurian dengan Pemberatan
Pencurian dengan pemberatan atau yang disebut juga pencurian yang di
kualifisir dengan ancaman hukuman yang lebih berat jika dibandingkan dengan
pencurian biasa, menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang
selanjutnya disingkat KUHP pada buku kedua kejahatan bab XXII tentang
21 Prof. Moeljatno, Op.Cit, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hlm, 5-6.
pencurian dalam pasal 363, yakni sebagai berikut:12 (1) Diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ke-1 Pencurian ternak; Ke-2 Pencurian
pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut,
gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, hura-
hara, pemberontak atau bahaya perang; Ke-3 Pencurian diwaktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang
berhak; Ke-4 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu; Ke-5 Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu. (2) Jika pencurian yang diterngkan dalam
bukti 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka dikenakan
pidana penjara paling lama sembilan tahun. c) Pencurian Ringan Menurut
KUHP pada buku kedua (kejahatan) bab XXII tentang pencurian dalam pasal
364, pencurian ringan yaitu: “Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan
pasal 363 butir 4, begitupun.perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir
5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”. d) Pencurian
dengan kekerasan.
Pencurian dengan kekerasan menurut KUHP pada buku kedua
(kejahatan) dalam pasal 365, yakni: (1) Diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau
untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. (2) Diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun: Ke-1. Jika perbuatan dilakukan pada
waktu malamdalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
dirumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang
berjalan; Ke-2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu; Ke-3. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan
merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu; Ke-4. Jika perbuatan mengakibatkan lukaluka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan
dalam no.1 dan 3. (5) Adapun unsur-unsur pencuriaan dengan kekerasan yang
terdapat dalam KUHP, yakni: (6) Unsur subjektif adalah unsurunsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus di lakukan.
Pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk mengambil hak milik
orang lain secara sembunyi-sembunyi atau diam-diam. Tindak pidana sendiri
didefinisikan yaitu sebagai melihat perbuatan pidana menurut wujud atau
sifatnya perbuatan-perbuatan pidana sebagai perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam
arti bertentangan atau menghambat terlaksanakannya tata cara dalam pergaulan
mayarakat yang dianggap baik dan adil, sehingga suatu perbuatan akan menjadi
suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut: a. Melawan hukum; b.
Merugikan masyarakat; c. Dilarang oleh aturan pidana; d. Pelakunya diancam
dengan pidana.
Unsur-unsurnya dirumuskan dalam UU menurut KUHP pasal 55 dan
56, yaitu: a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari: 1) Pelaku (pleger)
Pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi rumusan delik. 2) Yang menyuruh-lakukan (doenpleger) Orang
yang menyuruhlakukan (doenpleger) adalah orang yang melakukan perbuatan
dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan
sebagai alat. 3) Yang turut serta (medepleger) Orang yang turut serta
(medepleger) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu 4) Penganjur (uitloker) Penganjur (uitloker)
adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh UU. b.
Pembantu/mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari dua jenis: a) Jenis
pertama Waktunya : Pembantu saat kejahatan dilakukan Caranya : tidak
ditentukan secara limitatif dalam UU; b) Jenis kedua Waktunya : Pembantu
sebelum kejahatan dilakukan Caranya : ditentukan secara limitatif dalam UU
(yaitu dengan cara memberi 5 kesempatan, sarana atau keterangan)22
22 Sesilia Intan de Lima, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 5
38
BAB III
TEORI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN
A. Biografi Fazlur Rahman
1. Riwayat hidup Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1991 dari keluarga
Malak di Hazara, daerah yang termasuk bagian India, yang sekarang menjadi
Bagian Negara Pakistan. Beliau wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di Chicago,
Illinois. Keluarganya adalah kalangan yang religius. ayahnya bernama Maulana
Shihab al-Din adalah lulusan dari sekolah terkenal India, yakni Dar al-Ulum
Deoband1.
Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh perkembanga
pemikirannya di kemudian hari. Perdebatan publik diantara berbagai golongan
muslim yang terjadi sebelumnya mewarnai kehiduan sosial negerinya.
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berisah dari India.
Pakistan berdulat menjadi negara sendiri ada tanggal 14 Agustus 1947.
Akibatnya golongan-golongan yang berseteru semakin mendapatkan angin
segar untuk mewujudkan ide-ide mereka. Ide-ide untuk memberi identitas
Islam bagi negerinya. Setidaknya ada tiga kubu yang berseteru yakni kaum
1 Fazlur Rahman, Revival and Reform In Islam. Edited by Ebrahim Moosa. (England: One
world Publication, 2003) , 2
modernis, kaum tradisionalis, dan kaum fudamentalis. Kaum modernis
merumuskan konse kenegaraan Islam dalam bingkai term-term ideologi
modern. Sedangkan kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang
didasarkan atas teori-teori politik tradisional yakni khilafah dan imamah. Lain
halnya dengan kaum fundamentalis yang menawarkan konsep kenegaraan
“ kerajaan Tuhan ” . Perdebatan ini terus berlanjut hingga melahirkan
berbagai konstitusi dengan amandemennya.2
Di tengah perdebatan inilah,Rahman tampil dengan mengemukakan
gagasannya. Latar belakang ini telah menjadi pemicu baginya untuk mendalami
seluk beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai metedologi pemikiran.
Rahman dibesarkan dalam tradisi keluarga beraliran madzhab Hanafi yang
cukup kuat. Sejak kecil ia telah dapat melaksanakan ritual-ritual keagamaan
seperti sholat dan puasa. Orang tuanya yang berpengaruh dalam membentuk
watak dan keyakinan awal religius Fazlur Rahman. Ibunya mengajarkan nilai
kebenaran, cinta dan kasih sayang sedangkan ayahnya adalah seseorang yang
memiliki keyakinan bahwa Islam melihat moderinitas sebagai tantangan-
tantangan dan kesempatan yang harus dihadapi. Pengajaran inilah yang
nantinya menjadikan Fazlur Rahman sosok yang tegar dan tabah dalam
2 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 17
mengembangkan pembaharuan Islam, dan juga sosok yang tekun menimba
ilmu dari berbagai sumber.3 Ia menikah dengan Ny. Bilqis Rahman.4
Karena didikan orang tuanya inilah pula pada usia 10 tahun ia telah
mampu menghafal Al-Qur'an di luar kepala selain itu juga mendapatkan
pendidikan dalam bidang Tafsir, Hadist dan Fiqh.5
Setelah menamatkan pendidikan menengahnya, Rahman kemudian
melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Punjab dan berhasil meraih
gelar Master dalam bidang sastra Arab pada tahun 1942. Namun ketika ia ingin
melanjutkan kuliah S3 Rahman mengalami kebimbangan, hal ini karena studi
di negaranya dianggap kurang adanya kurikulum yang memuaskan, sedangkan
melanjutkan ke Barat dianggap terlalu beresiko dan kurang etis dalam
pandangan masyarakat. Namun akhirnya dia melanjutkan ke Barat yakni ke
Oxford university pada tahun 1948.
Rahman menguasai bahasa Arab, serta mampu membaca teks-teks Arab
paling kuno sekalipun. Selain itu ia juga menguasai beberapa bahasa dunia,
seperti bahasa Persia, Urdu, Prancis, Jerman, Latin dan Yunani6 secara singkat
3 Dr. Zaprulkhan, Teori hermeneutika Al Qur'an Fazlur Rahman, (Jurnal Noura, Vol 1 No 1,
2007), 24
4 Nama istri Fazlur Rahman didapatkan dari catatan yang dibuat oleh Ebrahim Moosa sebagai
editor buku Revival and Reform in Islam. Lihat Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam. Edited by
Ebrahim Moosa. (England: One world Publication, 2003) , 2
5 . Heni Fatimah, (vol 9 no 1, 2015), 46
6 . Dr. Jazim Hamidi dkk, Metodologi Tafsir Fazlur Rahman, (Malang: UB Press, 2013) hal 15
pemikiran keagamaan Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode yakni,
periode awal atau disebut dengan periode peletakan dasar pemikiran dalam
berkarya. Periode ini dimulai sejak mulai Raham belajar samapi ia menamatkan
pendidikannya dan kembali ke Pakistan. Yang kedua, yakni periode Pakistan,
dimana karyanya lebih didominasi oleh pendekatan yang bersifat normative.
Dan yang terakhir adalah periode Chicago, atau periode dimana Rahman telah
mengalami kematangan dalam berfikir, sehingga berhasil menggabungkan
pendekatan yang sistematis dan komperehensif yang nantinya disebut dengan
metode Double Movement.7
2. Riwayat Pendidikan
Fazlur Rahman memulai pendidikan awalnya dalam pemikiran
tradisional dibawah bimbingan ayahnya. Pendidikan ini dimulai dengan
pelajaran-pelajaran lain dalam bidang bahasa yakni arab, persia, retorika, sastra
logika, aristotelian, filsafat, teologi islam(kalam) hukum fiqh dan tafsir.
Kendati kurikulum ini kurang lebih sama di setiap lembaga pendidikan
tradisioanl islam namun urutan kursus tersebut antara sekolah satu dengan lain
berbeda-beda. Ia mengikuti kurikulum yang dikembangkan oleh Mullah
7 Heni Fatimah, Pendekatan Historis Sosiologis Terhadap Ayat-Ayat Ahkam Dalam Studi Al-
Qur’an Persepektif Fazlur Rahman.( Hermeneutik.Vol, 9, No.1 2015), 48
Nizammudin yang dikenal dengan “ Dars-i-Nizami” dan dikatakan ia
memualai pendidikannya di usia yang masih sangat muda.8
Sekolah modern dimasukinya ketika ia berusia 14 tahun, setelah
keluarganya pindah ke Lahore pada tahun 1933. Sekolah ini didirikan oleh
Qasim Natonawi pada tahun 1867. Pada masa muda inilah beliau sangat
bersemangat dalam mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi hadist, dan juga
tafsir. Namun pendidikan dirumah bersama ayahnya tetap dilanjutkan.
Pendidikan tinggi ditempuh di Punjab University untuk jurusan sastra Arab
dan selesai dengan gelar BA pada tahun 1940. Gelar Master diperolehnya di
Universitas yang sama pada tahun 1942.9
Disinilah babak kritisismenya semakin teruji. Sebab, pada masa ini
Rahman tidak hanya mempelajari filsafat Islam, tetapi juga mendalami bahasa-
bahasa Barat yang mana hal itu sangat membantunya dalam menelusuri
literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis.Akan tetapi,
walaupun Rahman berguru pada orientalis, ia tetap kritis terhadap pandangan-
pandangan mereka. Misalnya, kritiknya pada para orientalis yang tidak
mengakui adanya hadits dan meragukan otentisitas al-Qur’an.
8 Arpaslang Acikgenc, Fazlur Rahman: Pemikir Kebangkitan Dan Pembaharuan Islam
Kontemporer. AL-QALAM,VOL XVIII NO 90-91, 196
9 Kurdi dkk, Hermeneutika Al Qur'an dan Hadits (Yogyakarta:eLSAQ Press, 2010), 62
Menurutnya, kepala suku biasa saja dikutip kata-katanya, apalagi Nabi
sebagai pemimpin umat. Rahman juga menegaskan bahwa otentisitas al-
Qur’an sudah final dan tidak perlu lagi dipersoalkan. Yang perlu dikritisi
adalah pemahaman para mufassir atas al-Qur’an itu sendiri.10
Setelah menyelesaikan program masternya Fazlur Rahman melanjutkan
pendidikannya ke Oxford university dan meninggalkan Pakistan pada tahun
1946. Ia menyandang gelar P.hD dalam bidang sastra dan menyelesaikannya
pada tahun 1950. Keputusan Rahman untuk melanjutkan pendidikannya di
Inggris bermula dari lambat dan rendahnya muru pendidikan di India pada
masa itu. Keputusan ini dianggap terlalu berani, hal ini dapat dilihat dari situasi
sosial masyarakat pada waktu itu bahwa orang yang belajar di Barat, sudah
dipengaruhi oleh sistem Barat yang bertentangan dengan Islam. Meskipun
mereka berhasil akan sukit diterima di tengah masyarakat, bahkan mengalami
penindasan. Namun pandangan tersebut tidak menyurutkan langkah Rahman
untuk melanjutkan pendidikannya ke Barat.
Selama studi inilah Rahman mempelajari banyak bahasa seperti bahasa
Inggris, Persia, Yunani, Latin, Jerman, Turki, Urdu, dan tentunya bahasa
Arab11.Selesai dengan gelar Doktornya, Rahman tidak langsung pulang ke
Pakistan. Selama beberapa tahun ia memilih mengajar di Eropa. Ia menjadi
10 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Bandung:Jalasura, 2007), 18
11 Kurdi dkk, Hermeneutika Al Qur'an dan hadits, ibid, 62
Dosen bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University Inggris pada
tahun 1950-1958. Setelah itu ia melanjutkan karirnya ke McGill University
Kanada untuk menjadi associate professor pada bidang Islamic studies.
Namun setelah 3 tahun semangat patriotik kenegaraannya mengalahkan
segalanya12.
Ketika pemerintahan Pakistan berpindah ke tangan Ayyub Khan yang
berpikiran modern, Rahman kemudian terpanggil untuk membenahi Negara
salnya tersebut. Beliau rela meninggalkan karir akademiknya demi tantagan di
negerinya sendiri. Ia kemudian ditunujk sebagai direktur Pusat Lembaga Islam
selama satu periode (1961-1968). Selain itu Rahamn juga tercatat sebagai
anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam, sebuah lembaga pembuat kebijakan
tertinggi di Pakistan. Pada masa inilah ia berkesempatan melihat lebih dekat
praktik kekuasaan kala itu. Selain itu juga memprakarsai terbitnya Journal of
Islamic Studies tempat ia menampung dan menuangkan gagasannya.13
Pada tahun 1969, ia melepas posisinya sebagai anggota Dewan
Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan setelah beberapa saat
sebelumnya, yakni pada bulan September 1968 ia telah melepas jabatannya
selaku Direktur Lembaga Riset Islam. Setelah melepas kedua jabatannya di
Pakistan, Rahman hijrah ke Barat. Hal ini dikarenakan Rahman merasa
12 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 19
13 Ibid, 19
negerinya belum siap menerima gagasan-gagasan pembaharuannya. Setibanya
di Barat, ia diterima sebagai tenaga pengajar (visiting professor) di Universitas
California, Los Angeles, Amerika. Kemudian pada tahun 1969, ia mulai
menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya di
Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of
Chicago. Di universitas inilah Rahman menjadi salah satu sosok yang
dihormati. Ketenaran universitas ini juga disebabkan karena Raham yang
ditunjuk sebagi guru besarnya. Tidak kurang dari 18 tahun, beliau menetap di
Chichago, menulis meneliti dan mengkomunikasikan gagasannya.14 Tempat
ini yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafat pada tanggal
26 Juli 1988.15
Selama 18 tahun terakhirnya tersebut selain menjadi pengajar di
Universitas Chichago, ia juga kerap diminta untuk mengajar di universitas lain.
Ia menjadi Muslim pertama yang menerima mendali Giorgio Levi della Vilda
yang ,elambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari
Gustave E Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies (UCLA).
14 Abdul Mustaqim, Studi Al-Qur’an Kontemporer.(Yogyakarta:PT Tiara Wacana, 2002), 47
15 Heni Fatimah, Opcit, 48.
3. Karya-Karya Fazlur Rahman
Fazlur Rahman terkenal dengan kontribusinya yang cukup besar dalam
diskursus modern reformasi pemikiran Islam. Dia banyak menulis tentang
berbagai bidang, termasuk pendidikan Islam, tafsir al-Qur'an, kritik hadits,
perkembangan awal tradisi intelektual Islam serta reformasi hukum Islam dan
etika. Beliau adalah sarjana dan penulis yang sangat produktif, menulis
monografi dan hampir 100 artikel tentang berbagai aspek kehidupan politik,
agama dan intelektual di dunia Islam. Berikut karya-karya beliau, yaitu:
1. Avicenna’s psychology (1952), tulisan ini merupakan terjemahan dari edisi
kritis dari kitab al-Najat (Kitab Ibnu Sina) yang didasarkan pada
disertasinya di Oxford, Propechy in Islam: Philosophy and
Orthodoxy(1958), serta De Anima karya Ibnu Sina, yang merupakan
bagian psikologi dari kitab al-Syifa (1959).
2. Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958).
3. Selected Letters of Ahmad Sirhindi (1968), tulisan tentang pemikir abad
17, Syaikh Ahmad Sirhindi.
4. The Philosophy of Mulla Sadra (1975), yang mengupas tentang pemikiran
Sadrudin Syirazi.
5. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982),
tulisan tentang pendekatan baru dalam metode penafsiran dan artikulasi
Islam dalam budaya dan masyarakat.
6. Major Themes of the Al-Qur'an (1980)
7. Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity (1987)
8. Islamic Methodology in History (1965).
9. Islam (edisi perdana 1966; edisi kedua 1979).
10. Revival and Reform in Islam (2000)
Dalam bentuk artikel ilmiah, karyanya tersebar di banyak jurnal baik
jurnal lokal Pakistan, maupun internasional dan dimuat dalam banyak buku.
Jurnal-jurnal yang memuat tulisannya antara lain Islamic Studies, The Muslim
World, dan Studia Islamica. Sedangkan buku-buku suntingan terkemuka yang
memuat karyanya antara lain, Theology and Law in Islam yang diedit oleh G.E
von Grunebaum, The Encyclopedia of Religion yang diedit oleh Mircea Eliade,
Approaches to Islam in Religious Studies yang diedit oleh Richard C. Mertin;
Islam: Past Influence and Present Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch
dan P. Cachia dan lainnya. Secara rinci tertulis yakni:
Artikel dalam buku
1. "A Muslim Response to Christian Partikularity and the Faith of Islam,"
dalam Donald G. Dawe ve John B. Carman, ed, Christian Faith in a
Religiously Plural World,New York: Orbis Book, Maryknoll, 1978 : 69-79.
2. "Approaches to Islam in Religious Studies : A Review, " dalam Richard C.
Martin, ed., Approaches to Islam in Religious Studies, Tuscon : University
of Arizona Press, 1985 : 189-202.
3. "Avicienna and Orthodox Islam : An Interpretive Note on the Composition
of His System, " dalam Wolfson, Jubilee Volume on the Occasion ef his
Seventy-Fifth Birthday, 2 vol., American Academy for Jewish
Research,Jerussalem, 1965: 667-676.
4. "Controversy Over Muslim Family Laws," dalam Donald EugeneSmith,
South Asian Politics and Religion, Princeton University Press, Princeton,
1966 : 414-427.
5. ''Functional Interdependence of Law at1d Theology," dalam G.E van
Grunebaum, Theology and Law; Second Giorgio Levi Della Vida
Conference, Otto Harrassowitz, Wisbaden, 1971 : 89-97.
6. "Ibn Sina" dalam M.M Sharif, A History of Muslim Philoshophy, (2 jilid),
Otto Harrosowitz, 1963: 480-506.
7. "Iqbal, the visionary; Jinah, the technician; Pakistan, the reality," dalam
C.M. Nairn, ed., Iqbal, Jinah and Pakistan,_ Syracus University Press,
1979: 1-9.
8. "Islam ; Callenges and Opportinities", dalam Alford T. Welch dan Piere
cacbia, Islam : Past Influence and Present Calknge in Honor of W.
Montgamery Watt, Albany : State University of New York, 1979 : 315-330.
9. "Islamic Studies and the Future of Islam", dalam Malcolm H. Kerr, ed,
Islamic Studies: A Tradition and Its Problems, Seventh Giorgio Della Vida
Conference, California: Undena Publications, 1980 : 125-133.
10. ''Law in Ethics in Islam", dalam R. Hovannisian, ed., Ethics in Islam :Ninth
Georgia Levi Della Vida Conferences, 1983, in Honor of Fazlur Rahman,
California : Undena Publications, 1985 : 3-15.
11. ''Revival and Reform in Islam", dalam P.M. Hotlt, Cambridge History of
Islam, Cambridge University Press, Cambridge, 1970 : 632-656.
12. ''Roots of Islamic Neo-fundamentalism," dalam Phlip H.; Staddard, ed.,
Change in the Muslim World, Syracuse : Syracuse University Press, 1981 :
23-35.
13. "Some Islamic Issues in the Ayub Khan's Era", dalam Donald P. Little, ed.,
Essays on Islamic Civilization: Presented to Ntyazj Berkes, Leiden: I.J.
Brill, 1976 : 284-302
14. "Status of Women in the Qur'an", dalam Guity Nashat, ed., Women and
Revolution in Iran, Boulder: Westview Press, 1983: 37-54.
15. ''The Eternity of the World and the Heavenly Bodies", dalam G.F. Hourani,
Essays on Islamic Philosophy and Science, Albany : State University of
New York, 1975: 222-237.
16. ''The Law of Rebellion in Islam," dalam Jill Raitt, ed., Islam in the Modern
World, 1983 Paine Lectures in Religion, Columbia: University of Missouri-
Columbia, 1983 : 1-10.
17. 'The Massage and the Messenger", dalam Marjorie Kelly, ed., Islam: The
'Religious and Political Life of a World Community, New York : Preager
Publication, 1984 : 29-54.
18. "The Status of Women in Islam : A Modernist Interpretation", dalam
Hanna Paponek dan Gail Minault, ed., Separate Worlds: Studies of Purdah
in South Asia, Delhi: Chanakya Publication, 1982: 285-310.
19. ''Personal Statements", dalam Philip L. Berman, ed, Courage of Coviction:
Prominent Contemporaries Discuss Their &lifts and How The put them into
Actions, New York : Ballentine Books, 1985: 153-159.
Artikel dalam Jurnal Ilmiah,:
1. "A Survey of Modernization of Muslim Family Law", dalam Intenational
Journal Middle Eastern Studies, 1980, vol 11, hal. 451-465
2. "Challenges of Modern Ideas and Sosial Values to Muslim Society", dalam
International. Islamic. Colloquium, University of Punjab, 1957-58, hh. 94-
96.
3. "Currents of Religious Thought in Pakistan'', dalam lslamic Studies,1968,
vol.7, no. 1, hh. 1-7
4. "Development oL the Doctine of Sama' in Islam up to Nizam al-Din
(d.1325)", ini barangkali.mcrupakan·artikcl·yang belum lengkap dalam
koleksi Fazlur Rahman- yang terdapat di International Islamic University
Malaysia.
5. "Devine· Revelation and the Prophet'', dalam Hamdard lslamicuss,
1978,vol. 1, no. 2, hh. 66-72.
6. "Economic Principles of Islam", dalam Islamic Studies, 1969, vol. 8, no. 1,
hh. 1-8.
7. "Essence and Existence in Ibn Sina: the Myth and the Reality", dalam
Hamdard Islamicus, 1981, vol.A, no.1, hh. 314 .
8. ''Dream, Imagination, and Alamal-Ifithal'', dalam Islamic Studies, 1964,
vol.3, no.2, hh. 167-180:
9. "Evolution of Soviet policy toward Muslims in Rusia: 1917-1965",dalam.
journal for the lnstitute for Muslim Minorrity Affairs, 1979-80, vol.1- 2, hh.
28-46.
10. "Implementation of Islamic Concept of State in the Pakistani Milieu'', dalam
Islamic Studies, 1967, vol.6, no.3, hh.205-224 ..
11. "Intellectus · Acquitus in Alfacibi", dalam Geonarle Critico Della Filosofia
ltaliana, 1953; no.7,hh.351-357;
12. "Internal Religious Development in the Present Century Islam",
dalam jurnal of World History, 1954-55, no.2, hh.862-879.16
16 Heni Fatimah, Pendekatan Historis Sosiologis Terhadapr Ayat-Ayat Ahkam Dalam Studi Al-
Qur’an Persepektif Fazlur Rahman.( Hermeneutik.Vol, 9, No.1 2015), 48
B. Pengertian, Sejarah , dan Pembagian Hermeneutika
Secara umum hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin
yang berarti “menafsirkan”17 atau menerjemahkan18 . Dalam Islam, Hermes
sering diidentikkan dengan Nabi Idris, orang yang pertama kali mengenal
tulisan, teknik, dan kedokteran. Di kalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal
dengan nama Thot, sementara di kalangan masyarakat Yahudi dikenal dengan
nama Unukh, dan dikalangan masyarakat Persi dikenal dengan Hushang.19Kata
hermeneuin ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani
Hermes, yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia untuk
menyampaikan pesan. Selain itu juga sering dihubungkan dengan tokoh
mitologis Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Mitos ini menjelaskan tentang tugas Hermes yang sangat penting, yang apabila
keliru maka dapat berakibat fatal. Hermes merupakan simbol duta yang
dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Indikasi berhasil tidaknya misi
ini adalah merubah manusia yang semula tidak tahu menjadi tahu.20
17 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 4
18 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 6
19 Lihat catatan kaki Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 25
20 Ibid, 6
Pengasosiasian Hermenetik dengan Hermes ini menunjukkan tiga unsur
manusia dalam memahami, yakni:
1. Tanda atau pesan teks yang menjadi bahan/sumber dalam penafsiran yang
dibawa oleh Hermes.
2. Perantara/penafsir (Hermes)
3. Penyampain itu dilakukan oleh sang perantara agar dapat dipahami oleh
manusia.
Secara terminologi hermeneutika didefinisikan menjadi tiga pengertian
yakni:
1. Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemah dan tindakan penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya belum
diketahui kedalan bahasa yang dimengerti oleh pembaca.
3. Pemindahan ungkapan yang belum jelas menjadi lebih jelas.21
Dari beberapa pengertian diatas, hermeneutika dapat dipahami sebagai
suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau
kejadianpada waktu dan budaya lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna
secara eksitensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain hermeneutika
merupakan teori pengoprasian pemahaman dalam hubungannnya terhadap
interpretasi suatu teks.22 Secara lebih luas Zygmunt Bauman mendefinisikan
21 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 5
22 Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
18
hermeneutika sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian
dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remnag,
dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Sejarah hermeneutika dimulai dari ditemukannya karya Aristoteles
yang berjudul Peri Hermenneias, dalam karya ini dipaparkan tentang kata-kata
yang kita ucapkan adlah simbol dari pengalaman kita, dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Pemaparan inilah yang
menjadi titik tolak awal dimulainya pembahasan hermeneutika.23 Pada awal
kemunculannya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan, yakni pada
abad-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermenetis untuk membongkar
makna teks Injil. Selanjutnya pada abad ke 20 kajian hermeneutika semakin
berkembang. F.D.E Schleiermacher, yang merupakan Bapak Hermeneutika
Modern memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra
dan kitab suci.
Scheleirmacher melihat bahwa sebagai metode interpretasi
hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bias diadopsi oleh semua
kalangan. Karena sekarang, berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya
hermeneutika pada zaman ini yang telah masuk kedalam bidang agama (kitab
suci), sastra, sejarah, hukum, dan filsafat.
23 Sibawahi, Opcit, 6
Hingga akhir abad 20 secara umum hermeneutika dibagi menjadi tiga
kategori. Kategori pertama yakni hermeneutika sebagai filsafat, yakni
hermeneutika tumbuh menjadi satu aliran pemikiran yang menempati lahan-
lahan strategis dalam diskursus filsafat. Tokoh yang memperkenalkannya
adalah Heiddegger dan dalam istilah hermeneutika dikenal dengan istilah
hermeneutika ekstensialis-ontologis. Selanjutnya hermeneutika berfokus pada
problem di sekiatar teori interpretasi: yakni bagaimana menghasilkan
interpretasi dan standarisasinya. Hasilnya bermunculanlah berbagai macam
teori, tidak hanya terbatas pada beberapa teori saja.24
Untuk memudahkan pemahaman tentang jenis-jenis hermeneutika,
Richard E Palmer membaginya menjadi enam kategori, pertama hermeneutika
sebagai teori penafsiran kitab suci. Hermeneutika disini difungsikan untuk
memahami kitab suci, yang dilakukan oleh agamawan tokohnya adalah J.C
Dannhauer. Bentuknya bermacam-macam dan memunculkan berbagai aliran
dan corak, yang terkadang saling bertolak belakang. Namun selanjutnya
Schleiermacher muncul dengan pencetusan hermeneutika modern yang
membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara
metedologis.
Kedua hermeneutika sebagai metode filogi. Disini hermeneutika
difungsikan sebagai metode pengkajian suatu teks dan menempatkan semua
24 Ibid, 8
teks dalam bentuk yang sama, termasuk kitab suci. Kemunculannya dipicu oleh
semangat rasionalisme pencerahan. Tokohnya yakni Johan August Ernesti.
Dalam perkembangannya corak ini dikritik oleh kalangan gereja karena
menyuguhkan metode kritik sejarah dalam mencermaati teologi. Namun tetap
saja metode pengkajian Injil tidak bias melepaskan diri dari metode riset filogi.
Ketiga hermeneutika yang berisi cara untuk memahami, disini kajian
hermeneutika sebagai penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan
proposional. Bagaimana menciptakan sebuah teks yang komprehensif.
Hermeneutika model ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah
satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh suatu pemahaman25.
Selain itu juga menggunakan aspek ilmu linguistik.
Keempat, hermeneutika sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Di sini
hermeneutika difungsikan sebagai landasan metedologis bagi humaniora.
Tokohnya adalah Wilhemm Dithley, seorang filsuf sejarah. Kelima
hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial. Tokohnya adalah Martin
Heidgger dan Gradamer. Heidgger berpendapat bahwa hermeneutika bukan
hanya metode filogi, melainkan menjadi karateristik manusia itu sendiri.
Gradamer memandang hermeneutika sebagai usaha untuk
25 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 8
mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai proses ontologis manusia.
Yang tentunya terdapat factor historis, dialektis, dan linguistik.26
Yang terakhir adalah hermeneutika sebagai system penafsiran,
hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara
menghilangkan segala misteri yang menutupi simbol. Tokohnya adalah Paul
Ricouer.27
Meskipun hermeneutika telah menyebar kedalam berbagai macam
bidang keilmuan, peran terbesarnya adalah tetap apad interpretasi teks. Sebagai
metode interpretasi, hermeneutika tidak hanya mengkaji teks, tetapi juga aspek
yang melingkupi teks tersebut. Mulai dari pembuat teks, teks itu sendiri, dan
juga sampai pada pembaca. Dalam hal ini seorang penafsir berusaha
menyuguhkan teks sebagai suatu entitas otonom yang terbebas dari segala
kepentingan.terkait dengan kitab suci, yang dipelajari adalah dimensi
psikologis, sosial dan kultural yang mengitari teks tersebut ketika diturunkan
oleh-Nya. Hal ini tentu menyangkut dengan Nabi dan juga umatnya.
26 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 9
27 Ibid, 10
C. Hermeneutika, Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Sebagai sebuah metedologi baru bagi pengkajian kitab suci
hermeneutika tentunya tidak bisa dielakkan dari dunia Islam dalam memahami
kitab suci al-Qur’an, atau istilahnya disebut dengan ilmu tafsir. Banyaknya
berbagai literature ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika
sebagai variable metode pemahaman al-Qur’an menunjukkan bahwa
hermeneutika menjadi daya Tarik yang luar biasa. Banyak pakar Muslim
modern melihat signifikasi hermeneutika khususnya untuk memahami al-
Qur’an.
Sebenarnya term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan
interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”. Kata yang dalam
bahasa arab disebut fassara/fasara, secara teknis digunakan oleh umat Islam
dari abad ke-5 sampai sekarang. Sementara istilah hermentik sendiri dalam
keilmuan Islam, khususnya dalam tafsir klasik tidak ditemukan. Jika dilihat dari
perkembangannya, mulai popular beberapa decade terakhir. Hal ini dimulai dari
pesatnya perkembangan teknologi informasi dan juga dunia pendidikan yang
akhirnya menghasilkan banyak intelektual muslim modern.28
Beberapa ilmuan muslim ini kemudian melihat signifkasi hermeneutika
untuk memahami teks, setelah mereka menyadari fakta tragis yang terjadi
dalam keilmuan tafsir konvensional. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang
28 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an. (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 13
selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki
keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menrangkan pemahaman teks
semata tanpa mau mendialogikannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks
itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, maka teks al-Qur’an akan sulit
untuk dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi. Selain itu juga teks
hanya diperlakukan sebagai teks pasif yang semata-mata digunakan sebagai
suatu pembenaran ide tertentu tanpa memperhatikan konteks. Esensi teks itu
sendiri diabaikan dan dikorbankan untuk memperoleh tafsir tertentu. Teks
seharusnya dipandang sebagai sebuah teks linguistic historis yang muncul
dalam suasana kultural dan historis tertentu.
Dalam masalah ini misalnya pembedaan antara ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat (ayat yang jelas dan ayat yang ambigu). Fenomena ini sering kali
menjadikan pemahaman yang berbeda dalam suatu mazhab. Pada kondisi ini
al-Qur’an sering kali dianggap sebagai alat perjuangan intelektual, sosial, dan
politik. Masalah ini membawa dampak pada pengandaian bahwa al-Qur’an
tidak menyediakan secara utuh untuk dipahami oleh manusia. Padahal yang
sesungguhnya al-Qur’an adalah kitab dengan bahasa yang mudah dimengerti
oleh manusia juga pedoman serta rahmat bagi manusia.
Permasalahan lainnya yakni misalnya Prosedur yang cenderung
mengkaji ayat-ayat secara parsial dan terpisah juga menjadi bagian dari
keterbatasan ilmu tafsir pada umumnya. Aspek keutuhan dan integralitas pesan
yang disampaikan menjadi sulit untuk dilihat, bahkan sering melahirkan
distorsi. Ini terlihat jelas terutama dalam metode tafsir ijmali (global), tahlili
(analitis), dan muqarin (komparatif).Bahkan, dalam metode mutakhirnya
maudha'i (tematis). Keterbatasan-keterbatasan ilmu tafsir ini jelas tidak akan
mampu dipecahkan oleh perumus ilmu tafsir itu sendiri.Belum lagi dengan
mangaitkan fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif,
aturan yang dihubungkan dengan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Seorang
penafsir, misalnya, dibebani syarat-syarat harus berakidah yang benar,
berakhlak mulia, bersifat ikhlas, berhati jujur, dan sebagainya.Bila syarat-syarat
ini tidak dipenuhi, maka ide penafsirannya tidak diakui. Ini juga
mengindikasikan relasi kepentingan seputar siapa yang bisa memberi legitimasi
keagamaan sebagai penafsir29.
Dari berbagai permasalahan inilah kemudian para pemikir kontemporer
melihat jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan umat Islam tidak akan
mampu menembut makna ayat-ayat al-Qur’an yang lebih luas. Umat Islam akan
terkungkung dalam pagar intelektualitas tafsir yang sempit. Dari hal inilah
kemudian muncullah ide untuk mengupayakan sebuah rekontruksti atas
metedologi penafsiran. Rekonstruksi ini meniscayakan pembaharuan tafsir
yang bersifat menyeluruh. Bila metode tafsir selama ini menarik teks dalam
horison sang penafsir, kali ini teks harus diperlakukan sebagai sebuah entitas
otonom yang dipandang berdasarkan kondisi objektif. Teks Al-Qur’an
29 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 12
dibiarkan berbicara sendiri tanpa disusupi berbagai kepentingan. Bila metode
tafsir selama ini bersifat parsial, maka kemenyeluruhan dan keterpaduan ayat-
ayat harus ditampilkan. Demikian halnya jika metode tafsir selama ini
menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian, maka sudah saatnya segala
unsur empiris-psikologis-kultural yang terlibat dalam pembentukan teks itu
dieksplorasi. Faktor-faktor dalam rekonstruksi inilah yang ditemukan dalam
pembahasan hermeneutika. Tidak heran, hermeneutika kemudian menjadi
alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir itu.
Menurut Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul Interpreting
The Qur’an beliau mengibaratkan bahwa al-Qur’an itu seperti gunung es yang
terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen sedangkan sisanya yang Sembilan
puluh persen terendam di bawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah
yang masih diselubungi oleh keterbatasan metedologis dan reifikasi sejarah.30
Asumsi bahwa hermeneutika dapat menafsirkan teks apapun maka, al-
Qur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami. Pesan-pesannya
dengan menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara rinci
tentang proses penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan sampai ke tingkat
dunia. Jadi di dalam hermeneutika pemahamaan bukan hanya sebatas teks tetapi
juga aspek yang mengitari teks tersebut sampai kepada pembacanya.31
30 Fazlur Rahman, Interpreting The Qur’an. Inquiri . (1986), 46
31 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 14
Dengan adanya realitas seperti ini hermeneutika lebih luas ketimbang
ilmu tafsir. Bhakan apa yang menjadi bahasan ilmu tafsir juga dikaji oleh
hermeneutika. Asumsi ini tidak berlebihan mengingat bahwa praktik
Hermeneutika telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya dalam
al-Qur’an seperti halnya yang dikatakan oleh Farid Esack dalam bukunya yang
berjudul Qur’an: Pluralism and Liberation bahwa praktik hemeneutika telah
dilakukan sejak lama buktinya yakni,
1. Problematika hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak
ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dalam kajian-kajian mengenai
asbabun nuzul dan nasakh-mansukh.
2. Perbedaan antara komentar-komentar yang actual terhadap al-Qur’an (tafsir)
dengan aturan, teori metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya
literature-literatur tafsir yang disusun dalam ilmu tafsir.
3. Tafsir tradisonal itu selalu dimasukkan dalam kategor-kategori, misalnya tafsir
syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat dan lain sebagainya. Hal
ini menunjukkan adanya kesadaran kelompok-kelompok tertentu, ideologi
tertentu, periode-periode tertentu, maupun horizon-horison sosial tertentu dari
tafsir.32
32 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an. (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 13
Dari berbagi bukti inilah tanpa disadari problem hermeneutika telah
dihadapi dan dipecahkan, meski tidak ditampilakn secara definitif. Dalam hal
ini maka diketahui bahwa umat Islam tidak bisa menafikkan kontribusi
hermeneutika dalam upaya pengembangan keilmuan tafsir.
Dibalik itu semua tentu saja sebagai sebuah metode yang berasal dari
luar Islam, aplikasi terhadap metode ini menghadapi banyak tantangan dan
penolakan dari sebagian Muslim. Hal ini dikarenakan hermeneutika dianggap
sebagai benda asing yang merusak tatanan keilmuan Islam, dan bahkan
merusak ajaran Islam itu sendiri. Hal ini didasarkan bahwa hermeneutika
berasal dari Barat-Kristen yag berlandaskan pada argument emosional yang
lebih mengedepankan kecurigaan dan apriori yang buruk terhadap dunia Barat-
Kristen yang ingimn merusak Islam.33
Namun hal ini tidak menyurutkan langkah para pemikir kontemporer
untuk mengadopsinya. Buktinya dapat dilihat dari banyaknya intelektual
Muslim yang tetap mengkampanyekan arti penting hermeneutika dalam
interpretasi al-Qur’an. Seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zayd, Arkoun. Mereka adalah contoh bagaimana menafsirkan al-
Qur’an dengan hermeneutika. Dengan menggunakan pendekatan yang jika
dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an maka persoalan dan tema pokok
33 Sibawaihi.Opcit, 15
yang dihadapi adalah bagaimana al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu
dipahami, diterima dan ditafsirkan sesuai dengan realitas historisnya.
Dibalik itu semua harus dipahami sehubungan dengan pendekatan
hermeneutika modern terhadap al-Qur’an ini ada tiga hal menjadi asumsi dasar
penafsirannya yaitu, pertama para penafsir adalah manusia yang tentu saja
memiliki sifat kemanusiaannya masing-masing, kedua penafsiran apapun
bentuknya tentu saja tidak lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi, dan yang ketiga
adalah tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri.
Tidak dapat dipungkiri Selain sumbangan pemahaman yang
komprehensif dengan menimbang dimensi konteks dan secara aktif melakukan
kontekstualisasi, hermeneutika menyumbangkan sebuah kesadaran yang sangat
vital dalam kehidupan sosial manusia, yaitu kesadaran akan pluralitas.
Kesadaran bahwa realitas kehidupan tidak pernah tunggal dan satu dimensi,
namun senantiasa multi-dimensi dapat dikatakan merupakan kesadaran yang
sangatdiperlukan di era globalisasi informasi saat ini. Tidak ada orang yang bisa
hidup tanpa berinteraksi dan bersinggungan dengan 'yang lain'.
Ketidakmampuan untuk mengapresiasi dan mengakui 'yang lain' hanya akan
membawa seseorang terasing dari realitas hidupnya sendiri. Di titik inilah
hermeneutika menemukan relevansinya dengan tawarannya untuk menimbang
pluralitas dalam konteks dan progresifitas dalam kontekstualisasi ketika
seseorang melakukan aktifitas pemahaman dan penafsiran.34
D. Teori Hermeneutika Fazlur Rahman
1. Pandangan Fazlur terhadap Al-Qur’an
Menurut Fazlur Rahman, problem studi al-Qur’an bukan seputar
pada problem keaslian, tetapi problem tersebut adalah problem pemahaman.
Berbeda dengan para orientalis seperti Richard Bell, yang mencari unsur-
unsur Kristen dalam al-Qur’an dan John Wansbrough yang berpendapat
bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang dipengaruhi oleh tradisi Yahudi
(ala tradition Jueve) 35 , bahwa al-Qur’an adalah “ perpaduan ” dari
berbagai tradisi, dan al-Qur’an adalah sebuah ciptaan setelah kehadiran
Muhammad. Fazlur Rahman sama sekali tidak mempersoalkan otentisitas
al-Qur’an. Bahkan terang-terangan ia mengakui dan memaparkan beberapa
opini yang menjurus pada ketidaksesuaiannya dengan tiga pendapat yang
dikemukakan oleh Wansbrough.36
Tidak mempersoalkan otensitas al-Qur’an berarti secara total
sudah mengakui bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang otentik. Rahman,
34 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 24
35 Abdul Mustaqim, Studi Al-Qur’an Kontemporer.(Yogyakarta:PT Tiara Wacana, 2002), 46
36Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an. (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), xi-xii
seperti orang-orang Islam pada umumnya memang mengakui bahwa al-
Qur’an adalah kalam Ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad.
Walaupun ia sendiri mengatakan bahwa al-Qur’an dalam arti kata biasa, juga
seluruhnya adalah perkataan Muhammad37 namun dalam kesempatan lain ia
pernah menyatakan bahwa tanpa keyakinan bahwa al-Qur’an adalah Kalam
Ilahi, tak satupun yang dapat dikatakan sebagai seorang muslim yang
nominal.38.
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi al-Qur’an murni
kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan
personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-
kata(Kalam) Ilahi itu tidak dipahami secara mekanis seperti hubungan rekaman. Kata-
kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.39
Definisi ini mengasumsikan bahwa pola hubungan atas model
pewahyuan yang dibangun antara al-Qur’an( sebagi sebuah teks; The Text)
Allah adalah pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the
author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara
ini menegaskan bahwa secara psikolgi Muhammad berpartisipasi baik
mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. Oleh karena itu al-
37 Fazlur Rahman, Islam Terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit PUSTAKA, 2003),33
38 Abdul Mustaqim, Studi Al-Qur’an Kontemporer.(Yogyakarta:PT Tiara Wacana, 2002) ,46
39 Ibid, 33
Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan Nabi dan
latar belakang dari perjuangan tersebut.40
Namun Rahman menolak bahwa Malikat Jibril dalam
menyampaikan wahyu kepada Muhammad berhadapan secara vis a a visa
tau berhadapan secara langsung. Rahman merujuk pada ayat –ayat al-
Qur’an yang menunjukkan bahwa wahyu al-Qur’an diturunkan Jibril melalui
hati Nabi Muhammad. Sebagaiman Q.S 26:193-194 yang berbunyi:
وح نذرين )٣٩١المين )نزل به الر (٣٩١( على قلبك لتك ون من الم
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan.
Dan juga ayat 97 QS. Al-Baqarah yang berbunyi:
ا ل ما بين يديه وه دا ق قا صد له على قلبك بإذن الل ه م اا ل جبريل فإنه نز ى ل من كان عد و
ؤمنين (٩٩) وب شرى للم
Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah.
membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk
serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.41
Rahman bukan tidak mengakui bahwa Nabi Muhammad tidak pernah
bertemu Jibril, tetapi ini terjadi dalam peristiwa lain, seperti peristiwa Isra’
Miraj
40 Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. (Yogyakarta:Elsaq Press, 2010) 46
41 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an. Terj Anas Mahyudin (Bandung:Pustaka, 1983), 134
Dari sini dapat diketahui bahwa Rahman mengakui otentisitas
al-Qur’an. Berangkat dari keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan sumber
ajaran Islam. Menurutnya, al-Qur’an membantu manusia dalam
menghasilkan pengetahuan, karena al-Qur’an sendiri menyebut dirinya
sebagai petunjuk bagi manusia. Posisi al-Qur’an begitu tinggi. Sehingga, al-
Qur’an ditampilkan tidak hanya sebagai sumber doktrin deskriptif agama,
melainkan juga sebagai alat analitis yang bahkan lebih luas dan dapat
menjadi alat kritis. Rahman bahkan mengkritisi keilmuan klasik yang
dirumuskan oleh ulama tradisonal dengan memurnikannya menggunakan
persepektif qur’ani. Ia membongkar ajaran yang tidak selaras dengan al-
Qur’an. Upaya ini dilakukan dalam rangka purifikasi ajaran Islam dari unsur-
unsur asing yang merusak pesan orisinal al-Qur’an.
Memang para filsof, dan sering kali para sufi memahami al-Qur’an sebagai satu
kesatuan, tetapi kesatuan ini dikenakan kepada al-Qur’an (dan Islam pada umumnya)
dari luar, bukan diperoleh dari kajian atas al-Qur’an itu sendiri. Sistem dan orientasi
pemikiran tertentu didopsi dari sumber-sumber luar (tidak dengan sendirinya
seluruhnya bertentangan dengan al-Qur’an, tetapi secara pasti adalah asing dan tak
jarang tak sesuai dengannya) yang disesuaikan dengan lingkungan mental Islam,
namun bagaimanakah pulasan yang tipis ini bisa menyembunyikan kenyataan bahwa
struktur gagasan-gagasan dasarnya tidak diambil dari al-Qur’an sendiri.42
Menurut Rahman inilah legalisasi al-Qur’an yang pertama yakni
bahwa al-Qur’an adalah seluruhnya Kalam Allah, sejauh ia bersifat
sempurna dan sepenuhnya bebas dari kesalahan , tetapi sejauh ia turun ke
42 lih Fazlur Rahman, Islam and Modernity. (Chichago: Center Middle Eastern Studies, 1992)
3
hati Muhammad dan kemudian diucapkan lewat lidahnya, ia seluruhnya
adalah perkataan Muhammad. Sedangkan hakikat wahyu yang sebenarnya
ialah bahwa al-Qur’an bukanlah suatu kitab dalam pengertian umum istilah,
sebab al-Qur’an tidak diformulasikan sebagai suatu kesatuan atau
keseluruhannya secara terkait, melainkan diwahyukan kepada Muhammad
secara berangsur-angsur serta berlaku dalam masyarakat secara bertahap.43
Sementara legalisasi yang kedua adalah al-Qur’an diturunkan
melalui latar belakang turunnya ayat al-Qur’an (asbabun nuzul) sebab-sebab
turunnya ayat al-Qur’an. Menurut Rahman al-Qur’an juga merupakan
respon Ilahi terhadap situasi sosial moral dan historis Nabi, khusunya
terhadap masalah-masalah masyarakat Makkah pada masanya. Agar dapat
relevan dengan zaman dan berlaku adil sesuai tuntutan sejarah maka al-
Qur’an harus dipahami dan disandarkan pada semangat moralnya yang
berlandaskan pada keadilan sosial.
Al-Qur’an juga merupakan seperangkat ajaran yang koheren
dan komprehensif, sehingga kepastian terhadap al-Qur’an bukan pada
ayatnya yang terpenggal-penggal, tetapi pada pemahaman keseluruhannya.
Untuk membangun itu semua dibutuhkan suatu gerakan ganda yaitu yang
pertama bergerak dari penangan-penangan konkert oleh al-Qur’an dengan
43 Jazim Hazimi dkk, Metedologi Tafsir Fazlur Rahman, Ipusnas (Malang: UB Press, 2013),
32
memperhitungkan kondisi-kondisi sosial yang relevan pada waktu itu ke
prinsip-prinsip umum, yang kedua dilakukan gerakan kembali kepada
legalisasi-spesifik dengan memperhitungkan kondisi-kondisi yang
sekarang.44
Dari pandangan Rahman tentang al-Qur’an inilah dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya Rahman dalam memandang al-
Qur’an lebih sebagai ajaran historis dari pada ajaran normatif. Sebagaimana
juga yang diyakini oleh mufassir tradisional. Pandangan inilah yang nantinya
akan membentuk landasan terciptanya metedologi penafsirannya.
2. Paradigma Pemikiran
Unsur-unsur terpenting untuk dapat memahami pemikiran
hermeneutika Fazlur Rahman dapat dilihat dalam jurnal yang ditulisnya.
Yakni yang berjudul “ Islamic Modernism: Its Scope, Method and
Alternative ” disana dipaparkan langkah-langkah metedologis untuk
memahami dan memaparkan al-Qur’an harus melalui langkah metedologis
berikut:
a. Metode Kritik Sejarah (The Critical History Method) William
Montgomery Watt menggunakan istilah historio-critical method yang
merupakan pendekatan kesejarahan. Pada hakikatnya memiliki tujuan
44 Ibid, 33
untuk menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-
nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Metode itu menegaskan
bahwa pemaparan nilai-nilai yang terdapat pada sejumlah data sejarah,
bukan peristiwa sejarah itu sendiri.
Berbeda dengan model pendekatan kesejarahan yang
fokus pada sebatas kronologi dari data sejarah saja. Metode kritik
sejarah ini juga berbeda dengan metode sosio sejarah meskipun kedua
metode tersebut sama-sama menjawab pertanyaan “mengapa”. Metode
pertama digunakan untuk mencari jawaban atas konteks dan latar
belakang perisitiwa sejarah. Sedangkan metode kedua (sosio–sejarah)
lebih berperan sebagai pengantar metode pertama. 5 Metode kritik
sejarah, sebagaimana yang dimaksudkan Fazlur Rahman, telah banyak
diterapkan dalam penelitian sejarah Islam oleh para orientalis.
Penelitian orientalis tersebut menghasilkan berbagai
tesis yang menghebohkan terutama dari kalangan muslim tradisional.
Hal inilah sebenarnya, menurut Rahman, yang menyebabkan metode
kritik sejarah tidak dapat berkembang dengan baik di kalangan para
pemikir muslim sampai pertengahan abad 20 M. Sikap para pemikir
muslim yang menolak metode kritik sejarah itu disayangkan oleh Watt
dan Gibb. Rahman menyambut baik terhadap apa yang disayangkan
dua orientalis tersebut. Sebagai sarjana muslim, menyadari akan
kurangnya perspektif kesejarahan di kalangan sarjana muslim yang
pada gilirannya menyebabkan minimnya kajian-kajian sejarah Islam.
Menurutnya, umat Islam sangat memerlukan kajian kesejarahan agar
mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembagan sejarah
tersebut untuk melakukan rekonstruksi disiplin-disiplin ilmu Islam
untuk masa depan.
b. Metode Penafsiran Sistematis (the systematic interpretation method)
Metode kritik sejarah yang telah lama diterapkan dalam menulis
pikiran-pikirannya yang tajam dan kritis, kemudian dikembangkan
menjadi metode yang lebih sistematis, yang disebut dengan the
systematic interpretation method. Menurut Rahman, jika orang-orang
Islam dengan keras dan gigih berbicara tentang kelangsungan hidup
Islam sebagai sistem doktrin dan praktek di dunia dewasa ini sungguh-
sungguh sejati, kelihatan dengan jelas bahwa mereka harus memulai
sekali lagi dari tingkat intelektual.
Mereka harus mendiskusikan lagi dengan ikhlas dan tanpa
menahan diri tentang apa yang mereka inginkan terhadap Islam dewasa
ini. Seluruh kandungan syariah harus diarahkan menjadi sasaran
pengujian yang segar dalam sinaran bukti Alquran. Suatu penafsiran
secara sistematis dan berani terhadap Alquran harus dilakukan. Resiko
terbesar dalam pemahaman ini tentu akan menjadi proyeksi dari ide
subjektif dalam Alquran dan menjadikannya sebagai objek penanganan
secara arbitrer. Akan tetapi, walaupun ini mungkin sangat
membahayakan tidak dapat dihindarkan. Metodologi yang tepat untuk
memahami dan menafsirkan Alquran harus diterapkan. Selanjutnya
Fazlur Rahman menjelaskan secara detail bahwa metode ini terdiri atas
tiga langkah utama. Pertama, pendekatan historis, untuk menemukan
makna teks Alquran dalam bentang karir dan perjuangan Nabi. Kedua,
adalah membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan
Alquran. Ketiga, adalah memahami dan menetapkan sasaran Alquran
dengan memperhatikan secara menyeluruh pada latar belakang
sosiologisnya.45
c. Metode Double-Movement Rahman menawarkan suatu metode yang
logis, kritis dan komprehensif yaitu hermeneutika double movement
(gerak ganda interpretasi). Metode ini memberikan pemahaman yang
sistematis dan kontekstualis, sehingga menghasilkan suatu penafsiran
yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran
yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian. Adapun yang
dimaksud gerak ganda adalah; dimulai dari situasi sekarang ke masa
al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. 46
45 Ma’adul Yaqien Makkarateng, Metodologi Pemikiran Hukum Islam Fazlur Rahman. Al-
BayyinaH: Jurnal Islamic Law, 113
46 Kurdi dkk, Op. cit, 71
E. Hermeneutika Double Movement
Adapun mekanisme hermeneutika double movement yang diusulkan
Fazlur Rahman dalam manafsirkan al-Qur’an dapat dipahami dari
penuturannya yakni:
Gerakan pertama terdiri dari dua langkah (1) orang harus memahami arti/makna suatu
pernyataan tertentu dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji teks-teks spesifik
dalam sinaran situasi spesifiknya, suatu kajian umum mengenai situasi makro
berkenaan dengan masyarakat, agama, adat dan kebiasaan kehidupan secara
menyeluruh di Arabia pada saat datangnya Islam, dan terutama di Makkah dan
sekitarnya harus dilakukan. Jadi langkah pertama dalam gerakan pertama ini terdiri dari
pemahaman makna al-Qur’an secara keseluruhan serta berkenaan dengan ajaran-ajaran
spesifik yang merupakan respon situasi-situasi spesifik. Kedua, menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyatan yang
memiliki tujuantujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari teks-teks spesifik
dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes legis (illat hukum) yang sering
dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu (pemahaman makna teks spesifik)
sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu47.
Adapun gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan
umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan
sekarang. Yakni, yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis
konkret sekarang. Ini sekali lagi memerlukan pengkajian teliti terhadap situasi
sekarang dan analisis terhadap berbagai unsur komponennya. Sehingga kita
dapat menilai situasi mutakhir dan mengubah yang sekarang sejauh yang
diperlukan, sehingga kita bisa menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nila-nilai al-Qur’an secara baru pula48
47 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chichago: Center Middle Eastern Studies, 1992),
151
48 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Bandung:Jalasura, 2007), hal 58 lih
Fazlur Rahman. Islam and Modernity. (Chichago: Center Middle Eastern Studies, 1992) hal 6
Gambarannya yakni
Gerak pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan, yang
terdiri dari dua langkah:
Langkah pertama, merupakan tahap pemahan arti , terjadi dari hal-hal
yang spesifik dalam al-Qur’an ke pengkajian dan sistematika prinsip-prinsip
umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan jangka panjangnya. Tentu saja, sebelum
mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu
kajian mengenai situasi makro dalam batasanbatasan masyarakat, agama, adat
istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di
Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah akan
dilakukan. Dapat dipahami langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah
Memperhatikan situasi historis
dalam konteks mikro dan makro
Menggeneralisasikan respon
spesifik dan menentukan tujuan
moral-sosial secara umum
Menyesuaikan tujuan moral-sosial
umum dengan konteks sekarang
memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam baas-
batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi
khusus.49
Langkah kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu
dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memilki tujuan moral-
sosial yang umum yang dapat disaring dari teks-teks spesifik dalam sinaran
latar belakang sosio historis dan rationes legis (illat hukum) yang sering
dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu (pemahaman makna teks
spesifik) sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah
itu.
Gerak kedua, yakni merupakan proses yang berangkat dari pandangan
khusus yang harus dirumuskandan direalisasikan sekarang. Dalam hal ini harus
dilakukan penanganan umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan
dan direalisasikan ke dalam kondisi sekarang50
Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied)
dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Momen yang
kedua ini juga akan berfungsi sebagai pengkoreksi hasil-hasil dari momen yang
pertama, yaitu hasil-hasil dari pemahaman dan penafsiran. Karena apabila hasil
49 Ibdi, 71
50 Jazim Hazimi dkk, Metedologi Tafsir Fazlur Rahman. Ipusnas (Malang: UB Press, 2013),
45.
pemahaman gagal dalam aplikasi sekarang, maka tentunya telah terjadi
kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam
memahami al-Qur’an. Karena tidaklah mungkin bahwa sesuatu yang dulu bisa
dan sungguh-sungguh telah direalisasi dalam tatanan spesifik di masa lampau
tidak bisa direalisasi dalam konteks sekarang, dengan mempertimbangkan
perbedaan dalam hal-hal spesifik dalam situasi sekarang, dimana ungkapan
“mempertimbangkan perbedaan dalam hal-hal spesifik dalam situasi sekarang”
meliputi baik pengubahan aturan-aturan dari masa lampau sesuai dengan situasi
yang telah berubah di masa sekarang (asalkan pengubahan ini tidak melanggar
prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum yang berasal dari masa lampau) dan
pengubahan situasi sekarang, di mana perlu, hingga sesuai dengan prinsip-
prinsip dan nilai-nilai umum tersebut.
Dalam hal ini tentunya memerlukan kajian teliti terhadap situasi
sekarang dan analisis terhadap berbagai unsur komponen, sehingga kita bisa
menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-
nilai al-Qur’an secara baru. Metode yang diintroduksir oleh Rahman adalah
metode berfikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan
induksi secara timbal balik. Metedologi semacam ini membawa implikasi,
bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian seperti yang dipahami
manusia itu tidak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah prinsip moral. Dengan
demikian hukum potong tangan, misalnya hanyalah salah satu model hukum
yang diistimbathkan (digali) dari prinsip moral, demikian pula misalnya hukum
cambuk seratus kali bagi pezina51.
Teori hermeneutika double movement Rahman, tampaknya mencoba
mendialektikkan tex, author dan reader. Sebagai author, Rahman tidak
memaksa teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan
membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Rahman
menelaah historisitas teks. Historis yang dimaksudkan di sini bukanlah
semata-mata asba>b al-nuzul sebagaimana yang dipahami oleh ulama
konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan al-Qur’an diturunkan,
melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting sosial masyarakat Arab di mana al-
Qur’an diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tari>khiyyah. Tujuan
menelaah historis teks di sini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal, dalam
bahasa Rahman menyebutnya dengan ideal moral, sebab ideal moral berlaku
sepanjang masa dan tidak berubah-rubah. Dalam hal ini, Rahman membedakan
antara ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral
yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang
diterapkan secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang
ketentuan legal spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal Qur’an
51 Kurdi dkk, Op. cit, 72
dipandang elastis dan fleksibel. Sedangkan legal spesifik lebih bersifat
partikular52
Jadi, dapat disimpulkan, hermeneutika double movement adalah usaha
intelektual, termasuk unsur-unsur intelektual dari kedua momen yang lampau
dan sekarang yang berarti upaya untuk memahami makna dari suatu teks atau
preseden di masa lampau, yang mempunyai suatu aturan, dan untuk mengubah
aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi ataupun memodifikasinya
dengan cara sedemikian rupa hingga suatu situasi baru dapat dicakup di
dalamnya dengan suatu solusi yang baru53
52 Kurdi, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, 72-73
53 Riza Taufiqi Majid, Riba Dalam Al-Qur’an.Thesis IAIN Ponorogo
80
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN POTONG TANGAN MENURUT FAZLUR
RAHMAN
A. Potong tangan menurut penafsiran Fazlur Rahman
Untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan potong tangan
teori yang digunakan adalah teori gerakan ganda ( double movement). Dengan
teori ini pemahaman terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum tidak
dilihat dari alasan partikular yang membentuk sebuah tuntutan keagamaan
semata, melainkan pesan universal yang ada dibalik alasan partikular itu.
Dengan kata lain yang dilihat bukan aspek spesifik saja tapi yang lebih penting
adalah aspek ideal moral yang mendasari tujuan orisinal ayat tersebut. Dalam
analisa yang digunakan Fazlur Rahman lebih banyak menggunakan metode
sosio-historis.
Yang dimaksud sosio historis adalah sosio berarti melihat secara luas
pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Tidak hanya dilingkungan sekitar nabi saja
tetapi juga meliputi kebiasaan, adat budaya, di semenanjung Arabia. Sedangkan
historis adalah keadaan di sekitar Nabi. Al-Qur’an tidak hanya berbicara
masalah ketauhidan, dan risalah para Nabi terdahulu tetapi secara substansi
bertujuan untuk membimbing moral umat manusia. Ayat yang akan dikaji
dalam pembahasan ini yakni yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Maidah
ayat 38
ما فاقطع وا والسارقة والسارق ن نكالا كسبا بما جزاء أيديه عزيز والل ه الل ه م
حكيم
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”1
Pencuri baik laki-laki maupun perempuan, dihukum potong tangan atas
perbuatannya mencuri, yakni di potong sampai pergelangan tangan. Ayat ini
berkenaan dengan perintah Rasullah untuk memotong tangan seorang pencuri
wanita, atas perbuatan yang telah dilakukannya. Karena wanita tersebut telah
melanggar perintah Allah, dosa bagi seorang pencuri tidak hanya menyangkut
terhadap hak Allah saja tetapi juga menyangkut hak-hak manusia, oleh
karenanya al-Qur’an ingin memberikan efek jera bagi pelakunya.2
Penafsiran Fazlur Rahman tentang ayat ini yakni potong tangan
utamanya diketahui oleh masyarakat Indonesia ketika beliau berkunjung ke
Indonesia, dan sempat diwawancarai oleh majalah tempo seputar hukuman
potong tangan. Rahman mengatakan “ hukum potong tangan itu sangat
mengerikan. Saya tidak setuju. Hukum potong tangan merupakan tradisi yang
lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam”3 lanjutnya tangan merupakan alat
1 Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta:Almahira, 2015), 114
2 Nasrullah, Ketentuan Pidana Pencurian dalam KUHP. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim,
58
3 Lihat Tempo, 24 Agustus 1985, 49
atau perantara dari seseorang untuk mengambil barang milik orang lain.
Dengan demikian yang dikehendaki adalah memotong kemampuan untuk tidak
mencuri lagi dengan cara perbaikan ekonomi.
Rahman memulai penafsirannya dengan kata fa-qtha’u> aidiyahuma>
(maka potonglah tangan keduanya) dalam kata ini ditafsirkan sebagai bentuk
perintah untuk menghalangi tangan-tangan pencuri melalui perbaikan ekonomi,
inilah ideal moral dalam kasus ini adalah memotong kemampuan pencuri agar
tidak mencuri lagi4.
Lebih lanjut Rahman menjelaskan jika ditinjau lebih jauh, kasus praktik
hukuman potong tangan bagi pencuri telah dilaksanakan di kalangan suku-suku
Arab sebelum Islam. Secara historis-sosiologis mencuri menurut kebudayaan
mereka dianggap tidak saja sebagai kejahatan ekonomi tetapi juga sebagai
kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Bagi bangsa Arab pada
masa itu pencurian merupakan tindak pidana yang tidak bisa diampuni oleh
masyarkat Arab pra Islam. Perbuatan mencuri adalah perbuatan yang telah
melawan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam budaya Arab pra Islam.
Bahkan dianggap telah menyerang harga diri manusia, sehingga
perbuatan mencuri tidak bisa diampuni dan dikategorikan sebagai pidana luar
biasa. Oleh karena itu pada masa Nabi hukuman yang pantas diterima bagi
4 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Bandung:Jalasura, 2007), 80
pelaku pencurian adalah di potong tangannya seperti yang dijelaskan dalam al-
Qur’an. Pernyataan humum potong tangan yang dilafadzkan al-Qur’an
merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan perbuatan pencurian masyarakat
Arab pra-Islam.
Namun seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, mencuri
dalam masyarakat urban telah mengalami pergeseran pemahaman. Pencurian
dalam konsep modernitas tidak lebih dari sekedar kejahatan dalam bidang
ekonomi. yakni, penghilangan hak milik seseorang oleh orang lain secara tidak
sah belaka. pencurian saat ini tidak ada hubungannya dengan pelecehan
terhadap harga diri manusia. Namun murni sebagai tindak kriminal, yang tidak
dimotivasi oleh pelanggaran terhadap diri seseorang.
Karena itu pergeseran pemahaman nyata tentang definisi pencuri ini
memerlukan perubahan bentuk hukuman. Bagi Rahman, ayat di atas juga
diniscayakan untuk diberlakukan. Ideal moralnya yaitu memotong kemampuan
si pencuri untuk tidak mencuri lagi. Mengamputasi segala kemungkinan yang
memungkinkan dia mencuri lagi bisa dilakukan dengan berbagai cara yang
lebih manusiawi, semisal pemenjaraan dalam waktu yang relatif lama, atau
denda yang seberat-beratnya.
Ini lebih cocok dan sejalan dengan nilai-nilai luhur manusia. Bukan
memberlakukan ayat itu secara literer. Bagai banyak kebudayaan di dunia ini,
bentuk hukuman potong tangan seperti ini dianggap amat sadis dan sampai pada
batas tertentu bertentangan dengan perikemanusiaan.
Potong tangan yang dianggap tradisi yang lahir di Arab ini dipahami
Rahman bahwa aspek legal spesifik berupa pemotongan tangan itu tidak pantas
diterapkan untuk era sekarang.5
Berdasarkan penafsiran Rahman tersebut ada beberapa hal yang penting,
pertama yakni Rahman mengartikan kata fa-qtha ’ u> aidiyahuma (maka
potonglah tangan keduanya) pada al-Maidah ayat 38 ini dengan dengan
merujuk pada arti secara metafora yakni perintah untuk menghalagi tangan
pencuri. Rahman menawarkan beberapa jalan alternatif untuk menghukum
seorang pencuri dan mencegah mereka melakukan perbuatan yang sama.
Tawaran tersebut yakni sebagai berikut.
Pertama, menghalangi pencuri untuk melakukan perbuatan yang sama
dengan jalan perbaikan ekonomi. Contohnya dengan masyarakat dan
pemerintah sama-sama bersinergi untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
juga unit-unit kegiatan masyarakat yang mampu menunjang perekonomian dan
juga sebagai sarana untuk memandirikan masyarakat. Dengan tersedianya
lapangan kerja dan juga unit kegiatan masyarakat, diharapkan kasus pencurian
dapat diatasi. Sehingga tidak perlu adanya hukuman bagi seorang pencuri.
Tindakan ini disebut juga dengan tindakan preventif.
Kedua, mengamputasi segala kemungkinan pencuri yang
memungkinkan dia mencuri lagi, misalnya disini yakni dengan cara hukuman
5 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Bandung:Jalasura, 2007), 80
penjara dalam waktu yang relative lama. Dengan adanya hukuman pemenjaraan
maka akan memutus niat dan sumber seseorang untuk mencuri. Hukuman
penjara merupakan hukuman rehabilitasi. Seseorang yang telah terbukti
mencuri wajib untuk diberi hukuman agar ia berhenti melakukan pencurian.
Salah satu hukuman agar mereka berhenti dan juga jera, namun tetap dalam
standar kemanusiaan yakni hukuman penjara. Dalam hal ini penjara juga
bertugas untuk melakukan bimbingan dan rehabilitasi. Dengan begitu
diharapkan untuk menyadari kesalahannya dan juga tidak akan melakukan
perbuatan yang sama di masa mendatang.
Ketiga, memberikan denda yang seberat-beratnya bagi pelaku
pencurian. Dengan adanya hukuman denda yang seberat-beratnya, sesorang
akan berfikir ulang jika akan melakukan tindakan pencurian tersebut. Hal ini
dikarekan denda yang amat banyak akan sangat memberatkan bagi mereka,
apalagi seperti yang kita ketahui seseorang yang melakukan pencurian pada
umumnya adalah mereka yang tidak memiliki suatu barang tersebut. Sehingga
dengan adanya denda yang berat diharapkan menjadi bahan pemikiran ulang
seorang pencuri ketika akan melakukan tindakan pencurian.
Ketiga opsi inilah yang ditawarkan oleh Rahman ketika menafsirkan
kata fa-qtha’u> aidiyahuma. Menurutnya ketiga opsi tersebut dapat diterapkan
salah satunya untuk menghukum pelaku pencurian, namun dalam taraf yang
lebih manusiawi dan sejalan dengan nilai-nilai luhur manusia. Yang perlu
digarisbawahi adalah Rahman tidak menafsirkan ayat ini secara makna literer
yakni dengan memotong tangan pencuri secara nyata berupa pemisahan fisik.
Seperti yang dikemukakan oleh mayoritas ulama, hal ini dikarenakan bentuk
hukuman potong tangan yang seperti itu dinilai terlalu sadis dan bertentangan
dengan rasa perikemanusiaan.
Penulis memandang ide pokok yang dikemukakan Rahman dalam hal
ini adalah suatu bentuk makna kontekstual atau signifikasi. Ia telah melakukan
proses hermeneutika untuk menentukan ideal moral dari arti kata tersebut.
Dalam proses ini Rahman melibatkan konteks historis dalam penentuan
signifikasi. Selain itu juga mendasarkan pada konteks kontemporer. Hal ini
tercermin dari penjelasannya tentang historitas hukuman potong tangan.
Bagi Rahman kejahatan pencurian yang terjadi pada zaman
diturunkannya ayat tentang potong tangan tersebut mengandung berbagi unsur
budaya yang berkaitan dengan hukuman yang dijatuhkan yakni, pada masa
Arab sebelum Islam datang hukuman potong tangan telah dipraktikkan oleh
kalangan suku-suku Arab. Jika ditinjau lebih lanjut secara sosio-historis
mencuri merupakan tindakan kejahatan yang melanggar nilai-nilai
kemanusiaan dan merusak harga diri manusia, sehingga hukuman potong
tangan merupakan hukuman yang pantas diterima oleh mereka, jika ditelaah
dengan teori double movement, kejahatan pencurian di masa kini adalah
tindakan kejahatan dalam bidang ekonomi dan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pelecehan harga diri manusia, sehingga hukuman tersebut
tentunya harus diambil ideal moralnya saja bukan arti secara literer dari ayat
tersebut.
Impikasi dari penafsiran Rahman ini menciptakan suatu benak dalam
audience kontemporer tentang pemahaman mengenai implikasi makna teks
yang ditafsirkan, terlepas dari makna tersebut telah diketahui oleh audience atau
belum. Pada tahap ini penafsiran Rahman bukan hanya semata-mata memahami
arti sebuah teks, tetapi sudah berkembang lebih jauh. Dalam hal ini dibutuhkan
suatu pemahaman yang mendalam terhadap makan teks tersebut sebagai
prasyaratnya. Berdasarkan beberapa arti yang diberikan oleh Rahman dalam
kata fa-qtha’u aidiyahuma dalam Q.S Al-Maidah ayat 38, seseorang audience
kontemporer dapat memilih salah satu makna yang ditawarkan oleh Rahman
untuk menghukum seorang pencuri. Dengan demikian bentuk hukuman selain
potong tangan dapat diterima dan tidak bertentangan dengan maksud dari al-
Maidah ayat 38. Contoh hukumannya yakni misalnya penjara dan denda yang
seberat-beratnya. Selian itu juga perlu adanya upaya preventif untuk mencegah
tindakan tersebut yakni dengan jalan perbaikan ekonomi masyarakat. Selama
hukuman tersebut tetap dapat memberikan efek jera bagi pencuri, maka jenis
hukumannya tidak lagi menjadi sebuah persoalan.
Selain itu ketika menjatuhkan hukuman terhadap seorang pencuri
hendaknya dipertimbangkan berbagi faktor yang berhubungan dengan
kesejahteraan social. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam hal ini
adalah perbaikan ekonomi dan juga pelatihan yang bisa digunakan oleh seorang
pencuri setelah kembali dari hukumannya, sebagai sarana perbaikan di masa
depan.
Tidak dapat dipungkiri Fazlur Rahman telah memberikan suatu
pemahaman baru yang berbeda dengan terjemah dan penafsiran terdahulu. Ia
mampu menggali arti ideal moral dari suatu ayat al-Qur’an itu sendiri.
Upayanya ini dikatakan sebagai suatu bagian dalam hermeneutika dalam arti
penerjemahan yang bukan hanya sekedar alih bahasa tetapi juga terhadap
suaatu misi yang dapat dipahami di era sekarang.
B. Relevansi Terhadap Konteks di Indonesia
Pada era kontemporer seperti saat ini ada sebuah system regulasi yang
disebut dengan hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebuah
konsep hukum dan normative yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak
yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi ini
berlaku kapanpun, dimanapun, kepada siapapun, sehingga sifatnya universal.
HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut.6 Hak ini bertujuan untuk melindungi
seseorang dari kekerasan dan perilaku sewenang-wenang serta menjamin hak
orang lain agar tidak dilanggar dan bertanggung jawab untuk saling menghargai
antar sesama manusia.
6 Wikipedia. Diakses pada tanggal 28 Maret 2021 pukul 14.31
Perubahan kebutuhan manusia yang sangat banyak mulai dari segi
budaya, ekonomi, sains, dan intelektualnya. Perubahan-perubahan ini
misalnya :globalisasi, revolusi industri, penjelajahan luar angkasa, penemuan-
penemuan arkeologis, pendidikan, evolusi dan genetika, pemberantasan buta
huruf, serta pemahaman mengenai martabat manusia, interaksi antar agama
yang semakin besar, munculnya konsep kenegaraan dan juga kesetaraan gender.
Selain itu, suatu setiap wilayah memiliki hukum, adat-istiadat dan aturan yang
berbeda-beda. Dengan kebudayaan dan juga tradisi yang tidak bisa disamakan.
Problematika kemanusiaan dan perkembangan zaman sering kali
menjadikan manusia terus berupaya untuk menggali pesan-pesan al-Qur’an
yang terkandung dalam setiap ayatnya, untuk kemudian dipahami secara
universal bukan hanya dari aspek legal-spesifik saja tetapi yang lebih penting
adalah aspek ideal moral yang terkandung dalam ayat tersebut.
Persoalan lain yang sering kali menjadi perdebatan kaum Muslim
adalah mengenai bagaimana al-Qur’an dapat beraktualisasi dengan zaman..
Seperti pernyataan al-Qur ’ a>n sa>lihun likulli zama>n wa maka>n yang
didalamnya sudah terkandung berbagai hal jawaban terkait problema manusia
sehingga menjadi jawaban yang actual dan terpercaya. Maka harus
beraktualisai dengan zaman.
Implikasinya adalah bahwa problem-problem keagamaan dan sosial di
era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-Qur’an. Yakni dengan cara
melakukan kontekstualisasi penafsiran sesuai dengan tuntan problematika
kontemporer. Hal ini juga dikarenakan al-Qur’an adalah kitab yang
diperuntukkan tidak hanya untuk generasi Nabi terdahulu tetapi juga generasi
sekarang, dan juga generasi yang akan mendatang. Prinsip universal al-Qur’an
inilah yang dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman.
Tafsir klasik sesunggguhnya telah memasukkan pesan universal ini
kedalam karya-karya tafsir mereka, namun sering kali terjebak dalam keadaaan
sedikit “memaksakan” konteks apapaun ke dalam teks al-Qur’an sehingga
terkesan cenderung tekstualis dan literalis. Paradigm tafsir kontemporer
cenderung lebih bersifat kontekstual dan liberal, dalam artian berupaya untuk
mengkontekstualisasikan makna ayat tersebut dengan mengambil prinsip-
prinsip dan ide universalnya. Dari hal inilah jika terdapat ayat-ayat yang secara
tekstual dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman karena
dianggap bersifat partikular dan kausistik, maka para mufasir kontemporer
akan berusaha untuk menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan semangat
zamannya.7
Salah satu contoh ayatnya terdapat dalam al-Qur’an surah al-Ma>idah
(5) : 38 yang membahas tentang hukuman potong tangan bagi pencuri yakni:
7 Abdul Mustaqim, Epistemolgi Tafsir Kontekstual, (Yogyakarta: LKiS Group, 2012) hal 55-
54
ما ع وا فاقط والسارقة والسارق ن نكالا كسبا بما جزاء أيديه عزيز والل ه الل ه م
حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana8
Jika dipandang dari segi hak asasi manusia dan sudut pandang nilai
kontemporer, ancaman hukuman potong tangan terhadap anggota tubuh akan
terlihat dehumanis. Seperti yang dikemukakan al-Ghazali, ada 5 hal yang
harus dijaga untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dan memelihara
tujuan syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah
yaitu perlindungan terhadap agama (h{ifz} al-di>n), jiwa (h{ifz} al-nafs) akal
(h{ifz{ –‘aql), keturunan (h{ifz{ al-nasl), dan harta (h{ifz{ al-ma>l). Setiap hukum
yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat,
dan setiap hal yang membuat hilangnya lima unsur ini disebut mafsadah.9
Menurut al-Ghazali, menjaga kelima kelima pokok yang telah disebut
di atas (perlindungan terhadap agama, jiwa, akal keturunan dan harta)
merupakan peringkat al-Dharurat (sangat urgen). Dan ini merupakan tingkat
yang tertinggi dari al-mashlahah yang perlu dijaga. Sebagai contoh, syari’at
menetapkan hukuman nunuh bagi orang kafir yang menyesatkan orang banyak,
8 Ibid hal 80
9 Suansar Khatib, Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali
Dan Al-Syathibi.( MIZANI: 47 | Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018, 47
begitu juga pembuat bid’ah yang menyuru orang lain mengikuti bid’ahnya;
sebab perbuatan-perbuatan tersebut merusak agama.
Begitu pula, syariat mewajibkan hukum qishash, karena dengan
terpeliharanya diri (jiwa) manusia. Diwajibkannya had (hukuman cambuk)
minuman khamar, karena dengannya akan terpelihara akal pikiran.
Diwajibkannya had zina, karena dengannya terpelihara garis keturunan. Dan
diwajibkannya menghukum perampok dan pencuri, karena dengannya akan
terpelihara harta benda yang merupakan sumber penghidupan manusia dan
memenuhi keperluan hidup mereka. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan
utama penetapan hukum islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia
pada dua dimensi, yaitu duniawi dan ukhrawi.10
Dari berbagai persoalan inilah salah satu mufasir era kontemporer,
Fazlur Rahman dalam metodenya Double Movement menjelaskan bahwa
sebuah persoalan suatu ayat tidak hanya dilihat dari alasan partikular yang
membentuk sebuah tuntutan keagamaan semata, melainkan pesan universal
yang ada dibalik alasan partikular tersebut. Dengan kata lain yang harus dilihat
bukan hanya aspek legal spesifik saja, tetapi yang lebih penting adalah aspek
ideal moral yang mendasari tujuan orisinal ayat itu.11
10 Ibid, 56
11 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007),74
Seperti ketika menafsirkan ayat q.s Al-Midah ayat 38, menurut Fazlur
Rahman kata fa-qtha’u> aidiyahuma~> (maka potonglah kedua tangannya) ideal
moralnya dalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi.
Dengan jalan misalnya perbaikan ekonomi. Menurutnya, hukuman potong
tangan merupakan hukuman yang sadis dan bertentangan dengan rasa
perikemanusiaan. Oleh sebab inilah legal-spesifik potong tangan ini tidak
pantas diterapkan di era sekarang. Apabila dilihat secara substansif maknanya
adalah memberikan efek jera kepada pelaku pencurian. Sehinggga hal ini dapat
diganti dengan alternative lain, semisal penjara sehingga tidak harus potong
tangan.
Dalam pandangan fiqh, hukuman pencurian seperti yang terdapat
dalam Q.S Al-Maidah ayat 38, terdapat berbagai pendapat dari ulama-ulama
madzhab, yakni Imam Abu Hanifah menyatakan hukuman potong tangan
dapat dilaksanakan jika telah mencapi nominal sepuluh dirham, hal ini
didasarkan pada hadist Ibnu Abbas. Menurut Ibnu Abbas perisai yang
karenanya Rasullulah menjatuhkan hukuman potong tangan pada pencuri
tersebut, bernilai sepuluh dirham. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’I
berpendapat hukuman potong tangan bagi pencuri adalah uang sebesar
seperempat dinar atau benda lain yang seharga dengannnya. Imam Ahmad bin
Hambal batasannya dalah seperempat dinar atau tiga dirham12.
Jika dikaitkan dengan koteks Indonesia, penafsiran Fazlur Rahman
tersebut menurut asumsi peneliti tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Di
dalam Pancasila dan UUD tentunya termuat nilai-nilai postif yakni keadilan,
adab, dan juga kemanusiaan yang juga terkandung dalam al-Qur’an. Seperti
kita ketahui Indonesia adalah Negara yang tidak menerapkan hukum potong
tangan. Di Indonesia tindak pidana pencurian biasa diatur dalam pasal 326
KUHP yang menyatakan bahwa “barang siapa mengambil barang yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian dengan pidana paling lama lima tahun atau denda paling banyak
Sembilan ratus rupiah”
Dari pasal ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukuman bagi
pelaku pencurian di Indonesia adalah kurungan penjara atau denda. Jika
ditinjau berdasarkan penafsiran Fazlur Rahman tentang potong tangan maka
hal ini tidak bertentangan/relevan. Dikarenakan hukuman penjara atau denda
dianggap sudah memberikan efek jera bagi pelaku pencurian selain itu juga
dinilai lebih berperikemanusiaan. Dari pasal-pasal lain yang terdapat dalam
bab III kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa semua bentuk hukuman
12 Ulummudin, Analisis Penafsiran Terhadap Q.S Al-Maidah ayat 38, QAF Vol 2 No 3, 153
yang dijatuhkan kepada seorang pencuri adalah penjara atau denda, bukan
hukuman potong tangan.
Hal ini diperkuat bahwa aturan-aturan yang telah ditentukan dalam al-
Qur’an pada hakekatnya meliputi hal-hal berikut:
1. Sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Ilahi yang dengan
sendirinya telah ditetapkan kepada manusia sebagai khilafatullah fi al ardh.
2. Aturan moral yang ditetapkan bersifat universal
3. Aturan moral dijadikan sebagi suatu aturan yang harus dan wajib ditaati
karena sebagai kata yang bersifat mutlak.13
Al-Qur’an sangat mengedepankan aturan moral, begitu juga apa yang
dilakukan Fazlur Rahman di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tentang
potong tangan. Dengan metode analisis sosio-historis telah mengambil
kesimpulan bahwa hukuman yang dikehendaki dalam konteks ini adalah
hukuman yang bersifat ideal moral. Dalam KUHPidana dijelaskan bahwa
hukuman pidana untuk pelaku pencurian adalah hukuman penjara atau denda.
Hukuman ini merupakan salah satu bentuk hukuman yang ditarik dari ideal
moral Fazlur Rahman yang mempunyai tujuan untuk memotong atau
memutus kemampuan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan pidana.
Keduanya tentu memiliki tujuan yang sama yakni untuk memberikan efek
13 Fazlur Rahma, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, (Bandung:Risalah, 1984)
jera kepada pelaku pencurian, namun tetap mempertimbangkan aspek
kemanusiaan.
Jika ketika kita melihat pendapat ulama-ulama fiqh, secara umum
mereka hanya menjelaskan tentang batas minimum seorang pencuri harus
dipotong tangannya. Namun tidak menjelaskan secara lebih detail tentang
hukuman lain yang dapat menggantikannya.
C. Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Fazlur Rahman
Kelebihan:
1.Fazlur Rahman telah berhasil menyuguhkan metedologi baru dalam
pengembangan keilmuan Islam. Dengan adanya metode sosio-historis dan
gerakan ganda dalam pendekatan penafsiran maka hal ini menambah
khasanah keilmuan Islam teruatama dalam memahami dan menafsirkan ayat
yang berkaitan dengan potong tangan.
2.Menggeser paradigm dari hanya melihat legal-spesifik saja, tetapi juga
melihat lebih jauh tentang pesan universal yang terkandung dalam suatu
ayat, semisal ideal-moral.
3.Hasil penafsirannya lebih menengakkan pada nilai-nilai etika sosial dalam
Islam modern.
Kekurangan:
1.Keterpakuan Rahman pada teks eksplisit al-Qur’an. Diakui atau tidak
sesungguhnya ia tidak berani melangkah lebih jauh untuk mengikuti pola
pikir yang luas dan bebas, ia mengkaji semata-mata hanya apa yang
ditampilkan secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Sehingga ia terpaku pada
wahyu dan sulit untuk keluar dari benturan kepentingan pengkajian model
filosofis, dalam artian sering kali hanya untuk mendukung keyakinan yang
dianut.14
2.Tidak semua mufassir sepakat dengan metodenya misalnya Quraish Shihab
yang mengkritik pemaknaan Fazlur Rahman pada kata faqtha’u
aidiyahuma, yang dimaknai dengan melumpuhkan kemampuan
sebagaimana ditafsirkan secara hermeneutika oleh Rahman dengan
memenjarakannya. Alasan Shihab karena pendapat melumpuhkan tersebut
tidak sesuai dengan praktek Nabi Saw. Dalam hal ini, Shihab menolak
penggunaan metode double movement dalam menafsirkan ayat tentang
hukuman potong bagi pencuri.15
14 Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Bandung:Jalasura, 2007), 141
15 Rahmi dan Novizal Wendry, Double Movements Dalam Tafsir Al-Mishbah.( Al-Bayan:
Studi Al-Qur’an dan Tafsir 4, 2 (Desember 2019), 141
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Fazlur Rahman dalam menafsirkan ayat potong tangan lebih mengambil
aspek ideal moral dari ayat tersebut dibandingkan dengan aspek legal-
spesifiknya. Bentuk perintah potong tangan pada dasarnya adalah
menghalahi tangan-tangan pencuri dengan jalan perbaikan ekonomi.
Menurutnya potong tanagn merupakan tradisi yang lahir di Arab sebelum
adanya Islam. Sehingga potong tangan yang dimaksud adalah memotong
kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Legal-spesifik berupa
pemotongan tangan merupakan hukuman yang tidak pantas untuk diterapkan
diera sekarang karena bertentangan dengan HAM dan moral kemanusiaan.
2. Metode penafsiran al-Qur’an yang diusulkan oleh Fazlur Rahman adalah
hermeneutika double movement, yang mekanismenya terdiri dari dua
gerakan, gerakan pertama terdiri dari dua langkah yang pertama memahami
makna dari suatu pernyataan atau problem historis dimana ayat al-Qur’an
tersebut merupakan jawabannya. Kedua, adalah menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-
pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
‘disaring’ dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis
yang sering dinyatakan. Gerakan yang kedua harus dilakukan dari
pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasi ‘sekarang’.
3. Penafsiran Fazlur Rahman tersebut jika dikaitkan dengan konteks di
Indonesia, berdasarkan asumsi peneliti tidak bertentangan. Hal ini
dikarenakan hukuman potong tangan di Indonesia tidak dilakukan, namun
berdasarkan peraturan KUHP hukuman tersebut diganti dengan hukuman
penjara atau denda. Jika dikaitkan dengan penafsiran Rahman yang
menafsirkannya dengan memotong kemampuan pencuri agar tidak lagi
mencuri, penjara dan denda merupakan salah satu caranya. Dan juga dinilai
lebih manusiawi.
B. Saran
1.Metode double movement yang digagas oleh Fazlur Rahman ini sudah sangat
rinci, dengan teori ini pemahaman terhadap persoalan hukum tidak hanya
dilihat dari lasan partikular yang membentuk suatu tuntutan keagamaan
semata, melainkan pesan universal yang berada di ayat tersebut. Namun
penafsirannya menggunkan metode ini dalam topik penerapan hukuman
potong tangan bagi pencuri terlalu ringan untuk mereka yang melakukan
pencurian dalam jumlah yang banyak. Karena seringkali hukuman penjara
dan denda tidak memberikan efek jera bagi pelaku.
2.Kepada teman-teman semoga judul ini dapat diteruskan dan dikembangkan,
agar dapat menjadi pembahsan yang lebih mendalam. Misalnya dengan
mengkomparasikan pemikiran Fazlur Rahman dengan pemikiran muffasir
lainnya yang menggunkan metode yang berbeda.
3.Jauhilah sifat ingin memiliki milik orang lain, karena harta yang paling
berkah adalah harta yang kita miliki sendiri.
4.Belajar itu harus, tapi jangan sampai terbawa arus.
101
DAFTAR PUSTAKA
A.M.Ismatulloh. Ayat-Ayat Hukum Dalam Pemikiran Mufasir Indonesia (Studi
Komparatif Penafsiran M.Hasbi Ashshiddieqi Dan M.Quraish Shihab).
FENOMENA, Vol 6 No 2, 2014
Acikgenc , Arpaslang.Fazlur Rahman: Pemikir Kebangkitan Dan Pembaharuan Islam
Kontemporer. AL-QALAM,VOL XVIII
Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta:Almahira, 2015)
Amrullah Abdulmalik Abdulkarim (HAMKA). Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Kerjaya
Printing Industries, 2003)
Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, edisi 2
(Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000)
Dr. Zaprulkhan. Teori hermeneutika Al Qur'an Fazlur Rahman. (Jurnal Noura, Vol 1
No 1, 2007)
Faiz, Fahrudin , Hermeneutika al-Qur’an. (Yogyakarta: Elsaq, 2005)
Fatimah , Heni. Pendekatan Historis Sosiologis Terhadapr Ayat-Ayat Ahkam Dalam
Studi Al-Qur’an Persepektif Fazlur Rahman.( Hermeneutik.Vol, 9, No.1 2015),
Halim, Abdul dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang
Terus Berkembang. (Yogyakarta:Pustaka Peajar 2006)
Hazimi Jazim dkk. Metedologi Tafsir Fazlur Rahman. Ipusnas (Malang: UB Press,
2013)
Hosein Nasr, Sayyed. The Heart Of Islam Pesan-Pesan Universal Islam Untuk
Kemanusiaan. (Bandung:Mizan Media Utma, 2002)
Iskandar, Zarmi. Penafsiran Hukum Potong Tangan (Pendekatan Kontekstual
Abdullah Saeed). Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ismatulloh A.M. Ayat-Ayat Hukum Dalam Pemikiran Mufasir Indonesia (Studi
Komparatif Penafsiran M.Hasbi Ashshiddieqi Dan M.Quraish Shihab).
FENOMENA, Vol 6 No 2
Khatib Suansar. Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-
Ghazali Dan Al-Syathibi.( MIZANI: 47 | Wacana Hukum, Ekonomi dan
Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018
Kurdi dkk. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. (Yogyakarta:Elsaq Press, 2010)
Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul (Riwayat turunnya ayat-ayat al-Qur’an), (Surabaya:
Mutiara Ilmu).
Makkarateng, Ma’adul Yaqien.Metodologi Pemikiran Hukum Islam Fazlur Rahman.
Al-BayyinaH: Jurnal Islamic Law
Muhammad Dr Abdullah bin. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, terj.M. Abdul Ghofar.
(Kairo:Mu-assasah Daaral-Hilaal Kairo, 2003)
Mustaqim , Abdul. Studi Al-Qur’an Kontemporer.(Yogyakarta:PT Tiara Wacana, 2002)
Mustaqim.Abdul . Epistemolgi Tafsir Kontekstual. (Yogyakarta: LKiS Group, 2012)
Nasrullah. Ketentuan Pidana Pencurian dalam KUHP. Skripsi. UIN Maulana Malik
Ibrahim,
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung:Alfabeta, 2015 Rahman,
Fazlur.Tema Pokok al-Qur’an. (Bandung: Pustaka, 1996)
Rahman , Fazlur. Interpreting The Qur’an. Inquiri . (1986),
-----. Islam. Terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit PUSTAKA, 2003)
-----. Tema Pokok Al-Qur’an. Terj Anas Mahyudin (Bandung:Pustaka, 1983
-----. Konsepsi Masyarakat Islam Modern. (Bandung:Risalah, 1984)
-----. Revival and Reform In Islam. Edited by Ebrahim Moosa. (England: One world
Publication, 2003)
-----. Islam and Modernity. (Chichago: Center Middle Eastern Studies, 1992)
Rahmi dan Novizal Wendry.Double Movements Dalam Tafsir Al-Mishbah.( Al-
Bayan: Studi Al-Qur’an dan Tafsir 4, 2 (Desember 2019)
Rahmi Nailul . Hukuman Potong Tangan Perspektif Al-Qur`An Dan Hadis. Jurnal
Ulunnuha Vol.7 No.2/Desember 2018
Rohmanudin D. digilib.uinsgd.
Saraswati, Kiki. Penerapan Metode Double Movement Dalam Memahami Hadist
Tentang Nyanyian.Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shihab M. Quraish. Tafsir al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Sibawaihi.Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Bandung:Jalasura, 2007)
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009)
Taufiq Majid, Riza. Riba dalam al-Qur’an (Studi pemikiran Fazlur Rahman dan
Abdullah Saeed). Tesis. IAIN Ponorogo
Tempo, 24 Agustus 1985
Ulummudin, Analisis Penafsiran Terhadap Q.S al-Maidah:38 dalam Qur’an: A
Reformist Translation. QOF, VOL 3 No 2
Wikipedia. Diakses pada tanggal 28 Maret 2021 pukul 14.31
Zuhaili Wahbah,Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wal Manhaj, Dar al-Fikr,
Beirut, jilid 3 th 2005
104