picu final kurang cover kata pengantar daftar isi
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan bagian dari rumah sakit
yang terpisah, suatu ruangan khusus yang memiliki staf dan alat-alat khusus yang
ditujukan untuk mengelola penderita dengan penyakit yang mengancam jiwan
(Prijanto Poerjoto, 1993). Kecemasan dan nyeri adalah dua factor yang
menyebabkan stress emosi yang hebat pada pediatric di ruang PICU. Pemilihan
obat premedikasi peroral pada pasien pediatrik penting untuk memberikan efek
sedasi yang adekuat dan stabilitas hemodinamik selama tindakan anestesi dan
pembedahan (Yudha, 2010). Penilaian klinis derajat berat sakit merupakan elemen
penting dalam menentukan prognosis dan pelayanan rujukan pada pasien
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) (Gunning K, 1999). Penilaian skala sedasi
pada anak yang dirawat merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebagai
panduan untuk menyusun algoritma penanganan nyeri. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu fomat pengkajian penilaian sedasi yang efektif bagi anak di
ruangan PICU.
Kegawatan sirkulasi dan respirasi menempati urutan pertama dan kedua,
dengan jumlah pasien yang memakai alat ventilasi mekanik 32 dari 120 pasien
(26,7%) di PICU. Leteurtre dkk (2003) melaporkan kegawatan neurologis dan
kardiovaskular menempati urutan pertama dan kedua dengan jumlah pasien yang
memakai alat ventilasi mekanik 51%. (Leteurtre, Martinot, Duhamel, Proulx,
Grandbastien, & Cotting, 2003). Pemasangan ventilator tentunya merupakan salah
satu prosedur yang membutuhkan pemberian sedasi untuk mengurangi nyeri.
1
Dalam sebuah penelitian mengenai persepsi dan pemanfaatan terapi
komplementer dan alternative yang dilakukan oleh perawat yang tergabung dalam
American Association of Critical Care Nurses oleh Tracy et al (2005) kepada 726
responden perawat kritis menyatakan bahwa penggunaan terapi komplementer
terbanyak yang digunakan adalah manajemen diet, olahraga, teknik relaksasi dan
terapi doa yang mengatasi stress, kecemasan serta berbagai macam tanda dan
gejala di ruang ICU. Nyeri telah menjadi masalah utama di ruang keperawatan
kritis anak sehingga manajemen nyeri menjadi manajemen utama, serta
penggunaan sedative harus terus terpantau dengan adanya pengkajian terhadap
level sedative. Namun beberapa macam sedative memiliki efek samping yang
cukup menyakitkan bagi anak, baik efek samping psikologis dan efek samping
fisik. Sedative medikasi terkadang hanya mampu menyelesaikan maslah fisik
sedangkan masalah psikologis anak belum terselesaikan, sehingga perlulah adanya
terapi non farmakologis sebagai usaha mengurangi efek psikologis pada nyeri.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis mencoba menyusun makalah
mengenai inovasi pengkajian dan intervensi terhadap pasien di PICU. Intervensi
yang digunakan yaitu pemberian guided imagery. Distraksi nyeri adalah
manajemen nyeri yang paling esensial untuk digunakan sebagai intervensi dalam
mengurangi nyeri bagi anak-anak dengan distress (Cohen, 2005). Keefektifan
managemen nyeri dapat dilihar melalui pengkajian nyeri. Adapun pengkajian
nyeri yang dapat digunakan di ruangan PICU yaitu menggunakan COMFORT
Behaviour Scale. Berdasarkan hasil penelitian lain juga menjelaskan bahwa model
pengkajian COMFORT Behavior scale lebih efektif digunakan dibandingkan
dengan COMFORT Scale (Ista, van Dijk, Tibboel, & de Hoog, 2005).
2
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep PICU, pengkajian di PICU dan dan inovasi intervensi
di PICU?
1.3 Tujuan
1.3.1Tujuan Umum
Mengetahui konsep PICU dan dan menyusun pengkajian dan inovasi
intervensi di PICU
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian PICU
2. Menjelaskan konsep sedasi di PICU
3. Menjelaskan analisa penelitian terkait sedation Assessment di PICU
4. Menjelaskan Konsep Terapi Komplementer dan Alternatif dalam
PICU
5. Menjelaskan Analisa Penelitian terkait Guided imagery di PICU
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi
Menjadi salah satu acuan pembelajaran bagi Advanced Nursing Practice
1.4.2 Bagi Mahasiswa
Menjadi salah satu sumber acuan pembelajaran mengenai konsep PICU ,
intervensi dan inovasi pengkajian di PICU
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep PICU
2.1.1 Pengertian
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) adalah unit fokus perawatan kompleks
dengan penerapan monitoring hemodynamic secara invasive serta perawatan bagi
pasien pediatrik yang sedang menghadapi masa kritis seperti dalam open heart
surgery, thoracic surgery, neurosurgery, orthopaedic surgery, otolaryngology
surgery, plastic surgery, urologic surgery and transplantation of the heart, lungs,
bone marrow and liver. PICU juga termasuk unit perawatan kritis yang merawat
dan memonitoring secara intensif kondisi pasien anak dengan trauma mayor.
Anak-anak yang dirawat dalam PICU adalah anak dengan rerata usia 1 hari
sampai 18 tahun. Diperlukan perawat yang sudah mendapat pendidikan khusus,
dan memiliki dedikasi serta motivasi yang tinggi bagi para perawat yang bekerja
di PICU. Para perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi keadaan klien
pediatrik, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam
jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam
jiwa, sebelum dokter datang. Perbandingan perawat dan klien di PICU 1 : 1 atau
2 : 3 (artinya 1 perawat untuk 1 klien atau 2 perawat untuk 3 klien).
Pada saat ini pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan suatu instalasi
tersendiri, dengan disiplin ilmu sendiri, meski tak lepas dari perkembangan
disiplin ilmu yang lain (DepkesRI, 2002).
2.1.2 Tujuan Pelayanan Keperawatan Intensif
Tujuan pelayanan keperawatan Intensif di ruang PICU antara lain:
4
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan
monitoring yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data
yang didapat, dan melakukan tindak lanjut.
3. Meningkatkan kualitas klien dan mempertahankan kehidupan
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh klien
5. Mengurangi angka kematian klien kritis dan mempercepat proses
penyembuhan klien.
2.1.3 Klasifikasi PICU
Adapun klasifikasi pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) adalah:
1. PICU primer (standar minimal)
Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) primer merupakan
pelayanan pengelolaan resusitas segera untuk klien sakit gawat, tunjangan
kardio – respirasi jangka pendek, dan mempunyai peran sangat penting dalam
pemantauan dan pencegahan penyulit pada klien bayi, anak dan bedah.
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) harus mampu melakukan ventilasi
mekanik dan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam.
2. PICU Sekunder
Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sekunder adalah
pelayanan yang khusus mampu memberikan ventilasi bantu lama, mampu
melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
3. PICU Tersier
Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) tersier adalah pelayanan
untuk semua aspek perawatan intensif, mampu memberikan pelayanan tertinggi
termasuk dukungan atau bantuan hidup multi system kompleks dalam jangka
5
waktu yang tidak terbataas serta mampu melakukan pemantauan invasive
dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
2.1.4 Peran dan tanggung jawab perawat PICU
Perawat PICU memainkan peran penting. Perawat PICU terdaftar secara
khusus dilatih untuk merawat anak yang sakit kritis. Perawat PICU memiliki
kepedulian yang tinggi untuk anak-anak dari segala usia yang membutuhkan
perhatian khusus dari trauma, operasi, dan berbagai kondisi neurologis seperti,
pernapasan, kardiovaskular, pencernaan, ginjal atau system genitourinary,
ortopedi, membakar, onkologi, dan / atau multi-sistem keterlibatan. Perawat PICU
memiliki peranan penting dalam memastikan bahwa kebutuhan fisik pasien dan
kebutuhan nyeri terpenuhi, memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan
kondisi pasien, berkomunikasi dengan tim perawatan kesehatan, obat-obatan, dan
perawatan medis. Memenuhi kebutuhan perkembangan dan emosional pasien
sebagai prioritas kerja serta memastikan pasien dan keselamatan keluarga. Tim
keperawatan didedikasikan untuk menyediakan perawatan yang sangat baik dan
membantu keluarga melalui mereka menginap di PICU. (Monroe Carell Jr.
Childern Hospital at Vanderbilt, 2011)
2.1.4 Indikasi masuk ruang PICU
Kriteria Klien Pediatric Intensive Care Unit (PICU):
1. Klien untuk rawat PICU adalah
1) Prioritas I: yaitu klien yang dalam keadaan akut dan perlu alat bantu nafas.
2) Prioritas II yaitu klien dengan keadaan perlu monitoring intensif, syok
disritmia yang mengancam jiwa, terapi titrasi
6
3) Prioritas III yaitu klien dengan keadaan endstage suatu penyakit yang
mengalami kegawatan
2. Klien tidak masuk PICU adalah klien dengan kriteria MBO (mati batang otak)
3. Klien keluar PICU antara lain:
1) Bila indikasi untuk semua tindakan di ruang intensif tidak dibutuhkan lagi
(pemantauan invasive, CVP, arteri line dan intervensi invasive)
2) Kriteria keluar dari PICU didasarkan atas parameter hemodinamik stabil,
status respirasi stabil (tanpa ETT, jalan nafas bebas, gas darah normal) dan
kebutuhan O2 minimal.
3) Tidak butuh tunjangan inotropok vasodilator, anti aritmia
4) Disritmia jantung terkontrol
5) Kateter pemantau sudah dilepas
6) Pasien dengan PD atau HD kronik yang telah teratasi keadaan akutnya
7) Trakheomalasia tidak lagi membutuhkan suction intensif.
8) Staf medic dan keluarga telah melakukan penilaian bersama dan
menyepakati bahwa tidak lagi ada keuntungan untuk mempertahankan
perawatan di PICU (informed concent).
2.2 Konsep Sedasi di PICU
Nyeri dan kecemasan menjadi masalah umum dalam emergency department (ED).
Dengan mengurangi nyeri, akan dapat mengurangi kecemasan dan pasien dapat
lebih kooperatif, sehingga dapat meraih hasil akhir / outcome yang lebih baik.
Ketakutan, kecemasan dan level perkembangan seorang anak membuat anak
mengalami kesulitan dalam menerima setiap prosedur tindakan medis yang
diberikan oleh petugas ketika berada dalam ruang PICU, hal ini yang akan
7
menyebabkan hasil akhir atau outcome yang diharapkan kurang sesuai dan tidak
optimal. Dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa banyak pusat dan pelaku
di emergency department kurang memperhatikan premedikasi bagi pasien anak
yang akan mendapatkan prosedur yang menyakitkan.
Tindakan medis yang biasa digunakan dalam emergency department seperti PICU
dan bertujuan untuk mengatasi kecemasan, nyeri dan agitasi adalah prosedur
sedasi (sedative procedures). Prosedur sedasi yang biasa digunakan untuk
tindakan mayor di emergency departement seperti : reduksi pada fraktur tulang,
lumbar puncture, biopsy bone marrow, pemasangan multiple IV lines dan
tindakan menyakitkan lainnya pada anak-anak. Prosedur sedasi memiliki tujuan
untuk mengurangi restrain (tekanan nyeri) dan mengurangi stress pada pasien dan
anggota keluarga. Berbagai macam sedative medication antara lain :
1. Opioid analgesic (memiliki efek hypnosis, tetai ada efek samping pada depresi
pernafasan) salah satu contoh opioid analgesic adalah :
a. morphine sulfate (memiliki efek yang reliable dan dapat diprediksi dengan
baik, efek samping ringan)
b. Fentanyl (memilki efek hipotensi, menurunkan cardiac output dan tekanan
darah),
2. Benzodiazepines
a. Midazolam (larut dalam air, sehingga bisa diberikan per-oral dan tidak
menyebabkan nyeri)
b. Diazepam (efek menenangkan hypothalamus)
3. Barbiturates (Pentobarbial (ada efek anti konvulsant), Methohexital,
Thiopental)
8
4. Zat lain : Nitrous Oxide (NO), Ketamine, Propofol, dll
2.3 Analisa Penelitian terkait Sedation Assessment di PICU
Adapun Penelitian tentang Sedation Assessment di PICU antara lain
1. Assessment of sedation levels in pediatric intensive care patients can be
improved by using the COMFORT "behavior" scale
Penelitian ini dilakukan pada 78 anak di ruangan PICU dengan menggunakan
metode prospective observational study. Peneliti menyebutkan bahwa COMFORT
Behaviour Scale lebih reliable dibandingkan Original COMFORT untuk
mengukul level sedasi pada pasien anak. Titik cutoff dari skala COMFORT-B
berhubungan dengan skor interpretasi perawat yang menggunakan algoritma
sedasi pada unit perawatan intensif anak (Ista, van Dijk, Tibboel, & de Hoog,
2005).
2. An item analysis of the COMFORT Scale in a pediatric intensive care unit
Penelitian ini dilaksanakan pada 18 anak yang dilakukan intubasi di ruangan
pediatric Intensive Care Unit (PICU. Peneliti melakukan analisis item dari skala
COMFORT yang terdiri dari delapan parameter klinis untuk mengetahui tingkat
distress pada anak yang mengalami fase kritis. Dari penelitian tersebut didapatkan
bahwa dari delapan item dalam COMFORT Scale, hanya terdapat 6 item saja yang
validitas dan reabilitasnya mencapai 97%. Hal ini dikarenakan dua item yang lain
sangat dipengaruhi oleh hemodinamik (Carnevale & Razack, 2002).
3. Assessing sedation in the pediatric intensive care unit by using BIS and the
COMFORT Scale
Penelitian ini dilakukan pada 31 anak yang terpasang ventilasi mekanik dan
sedasi. Tujuan peneliti yaitu untuk mengevaluasi keefektifan Bispektrum Indeks
9
Scale (BIS) untuk mengukur tingkat sedasi pada anak-anak sakit kritis dan
membandingkan kinerjanya dengan penilaian standar tingkat sedasi (COMFORT
Scale). Yang dilakukan dua kali sehari selama lima hari. Hasilnya, pengukuran
tingkat sedasi dengan mengguna BIS lebih efektif digunakan dibandingkan
dengan menggunakan COMFORT Scale (Crain, Slonim, & Pollack, 2002).
4. Correlation of the Bispectral Index Monitor with the COMFORT Scale in the
pediatric intensive care unit.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat korelasi antara COMFORT Scale
dan monitor BIS. Penelitian ini menggunakan desain studi prospektif dan
dilakukan pada 75 dengan usia rata-rata 10 bulan. Monitor BIS mungkin valid dan
berguna untuk mengukur tingkat sedasi anak-anak di PICU. Namun kita tidak bisa
mengharapkan korelasi yang sempurna antara nilai-nilai BIS dan skala
observasional karena mereka mengukur variabel yang berbeda. Kemampuan
monitor BIS untuk membedakan antara tingkat sedasi yang sangat mendalam
mungkin berguna untuk mencegah over-sedasi pada anak-anak dalam PICU dan
untuk memperjelas target level yang tepat dari obat penenang untuk setiap anak.
(MD, J, J, & RH, 2005)
5. State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and
young children supported on mechanical ventilation.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji reliabilitas dan
validitas State Behavioral Scale (SBS) untuk digunakan dalam menggambarkan
tingkat sedasi/ agitasi pada pasien anak dengan intubasi ventilasi mekanik.
Penelitian ini dilakukan pada 91 pasien anak dengan intubasi ventilasi mekanik.
Penelitian ini menjelaskan bahwa SBS ini dapat digunakan untuk instrument
10
dalam mengukur tingkat sedasi pada anak, namun perlu penelitian lebih lanjut
untuk menguji tingkat keefektifan dari SBS tersebut. (MA, SK, KA, RA, & JH,
2006)
6. Optimal sedation of mechanically ventilated pediatric critical care patients.
Penelitian ini dilakukan pada 85 anak yang berada di PICU dengan metode Serial
prospective agreement cohort studies. Dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa
pengukuran level sedasi lebih baik menggunakan COMFORT Scale dibandingkan
dengan penilaian global intensivist. (CM, et al., 1994).
Dari beberapa penelitian, terdapat beberapa model pengkajian level sedasi pada
anak yang sedang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), antara lain
COMFORT Scale, comfort behavior scale, State Behavioral Scale (SBS), dan
Bispektrum Indeks Scale (BIS). Model pengkajian SBS belum diketahui
efektifitasnya dalam mengukur level sedasi pada anak, sehingga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut (MA, SK, KA, RA, & JH, 2006). Pada
model Bispektrum Indeks Scale (BIS), beberapa penelitian menyebutkan bahwa
model ini efektif untuk mengukur level sedasi pada anak, model BIS juga lebih
efektif digunakan dibandingkan dengan model COMFORT Scale (MD, J, J, &
RH, 2005). Akan tetapi, BIS ini sangat buruk untuk menilai level sedasi pada
opioid dan ketamin (Malviya, Voepel-Lewis, Tai, Watcha, Sadhasivam, &
Friesen, 2007). Disamping itu, Sebelum dilakukan pengukuran, pada bagian dahi
an dipasang empat buah elektroda perak untuk mengetahui elektromyocity pada
keadaan sedasi. Hasil dari pemeriksaan ini akan ditampilkan pada monitor. Akurat
tidaknya hasil pemeriksaan ini tergantung pada tinggi rendahnya amplitude dan
pemasangan electrode (Johansen, 81-99). Dalam penerapan model BIS ini,
11
kesalahan alat dalam menginterpretasikan kemungkinan bisa terjadi, sehingga
perlu dipertimbagkan kembali untuk digunakan. Pada penggunaan model
pengkajian COMFORT Scale, dari 8 item yang dikaji, hanya 6 item yang valid
dan reliable, sehingga butuh dimodifikasi (Carnevale & Razack, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian lain juga menjelaskan bahwa model pengkajian
comfort behavior scale lebih efektif dibandingkan dengan COMFORT Scale (Ista,
van Dijk, Tibboel, & de Hoog, 2005). Dari beberapa penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa model pengkajian COMFORT Behaviour Scale yang ebih
efektif digunakan dan applicable.
2.4 Konsep Terapi Komplementer dan Alternatif dalam PICU
Pengobatan alternatif adalah setiap upaya praktek penyembuhan yang
tidak menggunakan obat konvensional. Terapi alternatif dan komplementer adalah
upaya penyembuhan penyakit yang berbasis budaya dimana dapat meningkatkan
keberhasilan upaya pemulihan (Conward & Ratanakul,1999). Definisi lain
mengenai komplementer adalah adalah penggunaan terapi tradisonal kedalam
pengobatan modern (Andrews et al., 19990). Terminologi ini dikenal sebagai
terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam
pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang
menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang memengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan
individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi
(Smith et al., 2004). Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah
lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai
12
dengan prinsip keperwatan yang memandang manusia sebgai makhluk yang
holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).
National Center for Complementary/Alternative medicine (NCCAM) membuat
klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan ke dalam 5 kategori :
1. Mind-body terapi
Yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi
kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya
perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journalin, bio feedback,
humor, tai chi, dan terapi seni.
2. Alternatif sistem pelayanan
Yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan pedekatan pelayanan
biomedis berbeda dari barat misalnya pengobatan tradiosonal cina, ayurvedia,
pengobatan asli amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy.
3. Terapi Biologis
Yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal dan
makanan.
4. Terapi manipulatif dan sistem tubuh
Yaitu terapi yang didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya
pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna,
serta hidroterapi.
5. Terapi Energi
Yaitu terapi yang yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau
mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapeutik sentuhan, pengobatan
sentuhan, reiki, external qi gong, magnet.
13
2.5 Analisa Penelitian terkait Guided imagery di PICU
Berbagai macam terapi tambahan (adjuvant therapy) bagi dalam prosedur sedative
saat ini telah banyak berkembang. Terapi ajuvan ini adalah sebuah terapi yang
memang membutuhkan pelatihan dan pembelajaran dalam penggunaannya, tetapi
dalam sekali pelatihan atau pemebelajaran terapi ini mudah untuk dilaksanakan.
Salah satu contohnya adalah terapi non-pharmacologycal Guided imagery.
Guided imagery telah menjadi salah satu terapi komplementer adjuvant dalam
keperawatn kritis terutama dalam keperawatan kritis anak. Berdasarkan penelitian
oleh (Kline, Turnbull, Labruna, Haufler, DeVivio, & Ciminera, 2009) mengenai
penerapan Guided imagery sebagai manajemen nyeri pada 24 anak postoperative
di ruang PICU menyatakan bahwa dengan melakukan Guided Mental Imagery
pada klien anak selama 28 menit saat preoperative akan menurunkan tingkat rerata
nyeri.
Penelitian lain yang menyatakan bahwa guided imagery efektif digunakan
sebagai manajemen pain dan membantu mengurang kecemasan dan agitasi ada
pasien anak. pernyataan dari (Cohen, 2005) bahwa distraksi nyeri adalah
manajemen nyeri yang paling esensial untuk digunakan sebagai intervensi dalam
mengurangi nyeri bagi anak-anak dengan distress. Dan menjadi komponen
esensial dalam keberhasilan non-pharmacologycal manajemen nyeri (Elliott,
1983). Hasil penelitian Lambert (1996) menggunakan terapi guided imagery
dapat menurunkan nyeri postoperative dan mempercepat ALOS pasien anak.
Tingkat kecemasan anak juga menurun dibandingkan dengan kelompok control
yang tidak diberikan intervensi guided imagery.
14
Selain itu menurut penelitian A Meta-Analysis of the Effect of Guided Imagery
Practice on Outcomes (Debra Van Kuiken) di sebutkan bahwa ada hubungan
antara lama durasi pemberian intervensi guided imagery terhadap effect outcome
nya. Semakin lama di berikan terapi guided imagery maka hasilnya akan semakin
positif. Tetapi dalam penelitian tersebut sangat sulit untuk menentukan dosis
minimal waktu pemberian terapi guided imagery agar memberikan efek yang
besar. Jenis kelamin juga mempengaruhi hasil dari pemberian terapi guided
imagery, menurut penelitian Imagery Reduces Pain in Pediatric ICU - CHPA,
Hypnotherapy Association (Sullivan 2010) terjadi penurunan yang signifikan
terhadap nyeri yang di alami anak laki-laki pain ratings [t(38) = 3.41, p = .0015]
sedangkan pada anak perempuan menunjukkan penurunan rasa nyeri yang tidak
signifikan. Sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa terapi guided imagery
untuk mengatasi nyeri pada anak di ruang intensive care memiliki manfaat.
15
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Keperawatan saat ini di PICU
Penggunaan terapi komplementer dan alternative di dunia keperawatan kritis
sudah semakin berkembang. Dalam sebuah penelitian mengenai persepsi dan
pemanfaatan terapi komplementer dan alternative yang dilakukan oleh perawat
yang tergabung dalam American Association of Critical Care Nurses oleh Tracy
et al (2005) kepada 726 responden perawat kritis menyatakan bahwa penggunaan
terapi komplementer terbanyak yang digunakan adalah manajemen diet, olahraga,
teknik relaksasi dan terapi doa. Lebih lanjut dalam penelitiannya meyatakan
bahwa terapi komplementer sangat berperan dalam mengatasi stress, kecemasan
serta berbagai macam tanda dan gejala di ruang ICU yang mana kondisi pasien
selalu dalam keadaan yang tidak stabil dan memiliki toleransi yang rendah dalam
penggunaan terapi farmakologi tradisional.
Dan dalam pengembangan Advanced Nursing Practice kami akan mengangkat
topik Guided imagery sebagai terapi komplementer adjuvant selain medication
sedative untuk menurunkan Agitasi dan nyeri pada Anak di Ruang PICU.
3.2 Pengkajian Level Sedasi Menggunakan COMFORT Behaviour Scale
COMFORT B Scale
Kriteria anak yang dapat dilakukan pengkajian dengan menggunakan COMFORT
Behaviour Scale menurut (Monique van Dijk, B, Peters, & Patricia van Deventer,
2005) yaitu:
1. Mendapatkan pengobatan
16
1) Pemberian analgesik dan obat penenang
2) Tambahan analgesik dan obat penenang
3) Obat-obatan, seperti antikonvulsan, yang dapat mempengaruhi perilaku
4) Sebelum menggunakan agen memblokir neuromuscular (dilakukan setelah
bolus diberikan,
5) Nonfarmakologis intervensi penbrian sukrosa.
2. Kondisi anak
1) Penyakit parah yang membatasi gerak
2) Penyakit neuromuskular, penyakit kognitif, dan penyakit neurologis
3) Post operasi
4) Kondisi yang membatasi gerak
5) Pemasangan ventilasi mekanis
6) Lingkungan yang mempengaruhi perilaku
7) Persepsi perawat pada emosi anak, seperti kemarahan atau ketakutan
Adapun waktu dilakukannya pengkajian dengan COMFORT Behaviour Scale
yaitu:
1. Setiap 2 jam di hari pertama pasien post operasi besar
2. Sebelum dan setelah intervensi pada pasien nyeri
3. Prosedur lain-lain yang menimbulkan rasa sakit akut (Monique van Dijk, B,
Peters, & Patricia van Deventer, 2005).
Tabel 1. Analisa rencana inovasi PICOT COMFORT B Scale
Population Intervension Comparation Outcome Time
Anak yang dirawat Melakukan - Valid dan Setiap 2 jam
17
di Pediatric
Intensive Care Unit
(PICU) yang
terpasang ventilator
mekanik
pengkajian untuk
mengetahui level
sedasi dan tingkat
nyeri pada anak
dengan menggunakan
COMFORT
Behaviour Scale.
COMFORT B Scale
terdiri dari 7 item
yaitu alertness,
calmness-agitation,
respiratory response,
Crying, physical
movement, muscle
tone, dan facial
tension yang mana
tiap item terdiri dari 5
skor dari 1-5
(Monique van Dijk, B,
Peters, & Patricia van
Deventer, 2005)
reliable untuk
mengukur
level sedasi
pada anak di
ruangan PICU
(Ista, van Dijk,
Tibboel, & de
Hoog, 2005)
di hari
pertama
setelah
operasi
(Monique van
Dijk, B, Peters,
& Patricia van
Deventer,
2005)
Implementasi COMFORT B Scale
18
Cara mengimplementasikan model pengkajian COMFORT Behaviour Scale
terdiri dari beberapa tahap ( www.anestesiarianimazione.com), yaitu:
1. Fase persiapan (sekitar 3 bulan)
Perawat merencanakan pengkajian nyeri menggunakan COMFORT Behaviour
Scale melalui diskusi dengan tenaga medis dan staf keperawatan. Setelah
didiskusikan, mereka mulai membahas pendekatan yang cocok untuk
mengimplementasikan rencana tersebut. Setelah itu dilakukan sosialisasi terkait
pengimplementasian COMFORT Behaviour Scale untuk mendapatkan dukungan
positif dari tenaga kesehatan lain. Langkah selanjutnya yaitu pelatihan pada
perawat dan dokter tentang cara menggunakan COMFORT Behaviour Scale.
2. Fase 2
Selama fase ini kita melakukan penilaian dasar untuk menentukan kebijakan
pengobatan nyeri di bangsal. Tujuannya, Comfort Behaviour score dikumpulkan
selama dua bulan pertama dan dimasukkan dalam database bersama karakteristik
pasien dan dosis pemberian analgesik. Staf medis mengembangkan algoritma
pemberian analgesik yang sesuai untuk kelompok pasien tertentu. Pada akhir
periode (4bulan), perawat melakukan proses evaluasi melalui survei, wawancara,
misalnya, apakah frekuensi penilaian comfort behavior scale sudah cukup, terlalu
rendah, atau terlalu tinggi. Selain itu, perawat memeriksa apakah penilaian
Comfort Behaviour Scale yang dicatat dalam file pasien yang tepat. Di samping
itu, memberikan pengetahuan kepada perawat tentang frekuensi aktual penilaian
Comfort Behaviour Scale. Dengan informasi ini, frekuensi penilaian Comfort
Behaviour Scale dalam kelompok pasien tertentu dapat disesuaikan, dan
algoritma pemberian analgesik secara adekuat dapat ditentukan.
19
3. Setelah perawatan (4 bulan)
Selama periode ini, pengkajian terus dilakukan dikombinasikan dengan
managemen nyeri terpadu setiap hari. kegiatan selanjutnya berfokus pada
keteraturan mengisi form COMFORT Behaviour Scale tanpa mengabaikan proses
implementasi. Pelatihan cara menggunakan COMFORT Behaviour Scale juga
dapat dilakukan kembali bagi tenaga kesehatan yang belum mengetahui. Diskusi
dengan perawat di ruangan lain juga diperlukan untuk bertukar pengalaman
tentang pelaksanaan model pengkajian COMFORT Behaviour Scale.
4. Fase 4
Pelaksanaan penilaian nyeri membutuhkan perhatian secara khusus. Perawat
melakukan pemeriksaan rutin dalam beberapa kasus untuk memperbaiki skor
nyeri agar tidak memburuk, sehingga pelaksanaan penilaian nyeri harus diawasi
untuk waktu yang lama.
Terdapat beberapa faktor yang menghambat keberhasilan penilaian nyeri
yang dikombinasikan dengan algoritma untuk mengetahui adaptasi seseorang
yang diberikan obat analgesik.
1. Staf medis acuh tak acuh, menganggap penilaian nyeri sebagai isu
keperawatan saja. Komitmen dari tenaga medis sangat penting, karena meraka
harus mengembangkan algoritma pemberian analgesic sesuai dengan keadaan
terkini.
2. Tidak ada waktu atau uang untuk melakukan pelatihan bagi semua perawat.
20
Gambar 1. Form pengkajian COMFORT Behaviour Scale
21
3.3 Guided imagery untuk Mengurangu nyeri pada Anak di Ruang PICU
Nyeri dan kecemasan menjadi masalah umum dalam emergency
department (ED). Dengan mengurangi nyeri, akan dapat mengurangi kecemasan
dan pasien dapat lebih kooperatif, sehingga dapat meraih hasil akhir / outcome
yang lebih baik. Ketakutan, kecemasan dan level perkembangan seorang anak
membuat anak mengalami kesulitan dalam menerima setiap prosedur tindakan
medis yang diberikan oleh petugas ketika berada dalam ruang PICU, hal ini yang
akan menyebabkan hasil akhir atau outcome yang diharapkan kurang sesuai dan
tidak optimal. Dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa banyak pusat dan
pelaku di emergency department kurang memperhatikan premedikasi bagi pasien
anak yang akan mendapatkan prosedur yang menyakitkan.
The agency for health care Policy and Research and The American Society of
Anasthesiologist memberikan rekomendasi untuk penggunakan pharmacological
dan non-pharmacological teknik untuk manajemen nyeri pada pasien anak (Huth,
2009) & (Anasthesiologist, 1992). Nyeri dihasilkan dari hubungan antara
komponen afektif dari stimulus noxious (Melzak & Casey, 1968) Noxius adalah
Sebuah stimulus berbahaya atau berpotensi, merusak jaringan dan bertanggung
jawab untuk menyebabkan rasa sakit, tetapi tidak selalu memyebabkannya.
Beberapa rangsangan berbahaya, khususnya di visera, tidak menyebabkan respon
nociceptive. rangsangan dapat menyebabkan nyeri viseral atau pembuangan
aferen, sebanding dengan yang dari rangsangan merusak. Rangsangan Algogenic
adalah mereka yang menimbulkan nyeri dan biasanya, namun tidak selalu,.Ketika
intervensi non farmakologial dikombinasi dengan agen farmakologikal sebagai
22
manajemen nyeri post-operatif maka, sensor dan komponen afektif nyeri dapat
berkurang daripada hanya menggunakan medikasi sedative saja (Huth, 2009)
The academy of Guided imagery (2010) menyatakan bahwa guided imagery
adalah sebah teknik visualisasi dan pemberian sugesti langsung, serta secara
metafora dan mendongeng sebagai sebuah jalan untuk menghubungkan antara
alam bawah sadar dan menyerupakan sebuah gambar imajinasi yang dapat
berkomunikasi dengan alam sadar. Dengan adanya hubungan antara alam sadar
dan bawah sadar inilah pasien dapat menggunakan sumber internal yang
sebelumnya tidak disadari untuk membantu dam menjadi coping bagi pasien
dalam menghadapi situasi yang mengancam. Praktik guided imagery dapat
dilakukan melalui instruksi dan pembimbingan dari seorang psikologis, atau
pelatih professional lain, dapat melalui rekaman video atau rekaman suara,
maupun dapat dilakukan sendiri tanpa ada sumber external yang mempengaruhi.
Praktik guided imagery paling umum adalah Interactive Guided imagery, praktik
relaksasi ini mengembangkan bentuk imajinasi langsung kepada pasien tanpa
adanya professional mapun rekaman suara yang diberikan kepada pasien.
(Rossman M, 2004)
Huth et al (2004) dalam penelitian experimental secara random menganalisis 73
anak usia sekolah (7-12 tahun) yang akan menajalani tonsilektomi dan/atau
adenoidectomy. Pada saat perlakuan, kelompok perlakuan diberikan rekaman
video-tape dan diperdengarkan audiotape 1 minggu sebelum hari operasi. Mereka
juga diperdengarkan audiotape setelah keluar dari ruang operasi dan ketika sudah
berada dirumah (discharge). Hasil menunjukkan bahwa ada penurunan nyeri dan
kecemasan yang signifikan antara 1 - 4 jam setelah operasi juga didukung dengan
23
adanya pemberian analgesic dan penangangan kecemasan. Intervensi yang
digunakan adalah Magical Island: Relaxation for Kids (Magic Island) yang
diawali dengan tension-release exercise untuk meringankan ketengan otot dan
stress fisik kemudian diiringi dengan background music seorang narrator
membacakan imajinasi perjalanan menggunakan balon udara menuju Magic
island (Pulau Ajaib). Anak-anak di dorong untuk teratur melakukan nafas dalam
untuk mengubah sirkulasi oksigen dan menenangkan tubuh. Relaksasi Magic
Island ini menggunakan tiga alat relaksasi: tension-release exercise, nafas dalam
dan imajinasi terbimbing untuk menenangkan pikiran dan mengembangkan
imajinasi anak.
Tabel 2. Analisa Inovasi PICOT Guided imagery
Population Intervension Comparation Outcome Time
12 anak (usia 3-18
tahun) yang dirawat
di PICU .
Responden: 6 anak
Kelompok control 6
anak
Instrument :
CD Guided
imagery yang
terdapat
rekaman
terjemahan dari
Magical island
diberikan pada
responden
penelitian
untuk di
perdengarkan
Instrument :
Teaching mental
imagery dan
detailed inquiry
(Kline, Turnbull,
Labruna, Haufler,
DeVivio, &
Ciminera, 2009)
Audio recorded of
Guided imagery in
2 month
(Miranda A.L. van
Terdapat
penurunan
tingkat nyeri
yang signifikan
pada kelompok
responden yang
diberikan terapi
guided imagery,
skala trauma
menunjukkan
penurunan
tingkat trauma
15-20 menit
sebelum
tindakan
medis yang
menyakitkan
(Kline,
Turnbull,
Labruna,
Haufler,
DeVivio, &
Ciminera,
2009)
24
kelompok
control : no
intervention
Post painfull
medical
prosedur :
Pain rating
Scale
Menggunakan
Likert Scale (0-
10) anak
usia 8-18 tahun
Wong Baker
Faces:
(happy –
extremely
pained) anak
usia 3-7 tahun
Pediatric
trauma Scale
Pediatric
trauma score (-
1 and +2)
lower score
Tilburg, 2009)
Watching
Videotape &
Listening Audio
Tape : Magical
Island (Huth,
2009)
anak
Persepsi positif
perawat thd
sikap kooperatif
anak di ruang
PICU
25
indicated
greater trauma
severity
Persepsi
perawat dalam
merawat
responden dan
kelompok
control
26
DAFTAR PUSTAKA
Anasthesiologist, A. s. (1992). Acute pain management in infants, childern, adolescent: operative and medical prosedure.
Bakke AC, P. M. (2002). The effect of hypnotic-guided imagery on psychological well-being and immune function in patients with prior breast cancer. J Psychosom Res. , 2002 Dec;53(6):1131-7.
Carnevale, F. A., & Razack, S. M. (2002). An item analysis of the COMFORT scale in a pediatric intensive care unit. Pediatric Critical Care Medicine: Volume 3 ; Issue 2 , 177-180.
CM, M., PG, S., LH, L., KW, H., B, A., TS, Y., et al. (1994). Optimal sedation of mechanically ventilated pediatric critical care patients. Critical Care Medicine , 163-170.
Cohen, M. L. (2005). a comparison distraction strategies of venipuncture distress in childern. journal of pediatrics psychology vol 30 , 387-396.
Crain, N. M., Slonim, A. M., & Pollack, M. M. (2002). Assessing sedation in the pediatric intensive care unit by using BIS and the COMFORT scale. Pediatric Critical Care Medicine; Volume 3; Issue 1 , 11-14.
Curley MA, H. S. (2006). State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and young children supported on mechanical ventilation. Pediatric Critical Care Medicine , 107-140.
DepkesRI. (2002). Pelayanan Intensive Care. In D. Y. RI, Pelayanan Intensive Care (pp. 21-25). Jakarta: Depkes RI.
Elliott, C. H. (1983). the management of childern distress in response to painful medical treatment for burn injuries. behaviour research and therapy Vol 21 , 675-683.
Gunning K, R. K. (1999). Outcome data and scoring system. BMJ , 241.
Huth, M. M. (2009). Evaluation of the M a g i c Island : Relaxation for Kids Compact Disc. CNE ContinuingNursing Education Series vol 35 no 5 , 290-295.
Ista, E. R., van Dijk, M. P., Tibboel, D. M., & de Hoog, M. M. (2005). Assessment of sedation levels in pediatric intensive care patients can be improved by using the COMFORT "behavior" scale . Pediatric Critical Care Medicine , 58-63.
Johansen, J. W. (81-99). Update on Bispectral Index monitoring . Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology , 2006.
Kline, W. H., Turnbull, P., Labruna, V. E., Haufler, L., DeVivio, S., & Ciminera, a. P. (2009). Enhancing Pain Management in the PICU by Teaching Guided Mental Imagery: A Quality-Improvement Project. Journal of Pediatric Psychology , Volume 35, Issue 1Pp. 25-31.
27
Lambert, S. A. (1996). The effects of hypnosis/guided imagery on the postoperative course of children. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics , Vol 17(5), Oct 1996, 307-310.
Leteurtre, Martinot, Duhamel, Proulx, Grandbastien, & Cotting. (2003). Validation of the paediatric logistic organ dysfunction (PELOD) score: prospective, observational, multicentre study. Lancet , 192.
MA, C., SK, H., KA, F., RA, J., & JH, A. (2006). State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and young children supported on mechanical ventilation. Pediatric Critical Care Medicine , 107-140.
Maj Eric A. Gonzales, C. M. (2010). Effects of Guided Imagery on Postoperative outcomes in patients undergoing same-day surgical procedures: a randomized single blind study. AANA Journal ß June 2010 ß Vol. 78, No. 3 , 181-188.
Malviya, S., Voepel-Lewis, T., Tai, A. R., Watcha, M. F., Sadhasivam, S., & Friesen, R. H. (2007). Effect of Age and Sedative Agent on the Accuracy of Bispectral Index in Detecting Depth of Sedation in Children. Pediatrics , 120;e461.
MD, T., J, Z., J, G., & RH, F. (2005). Correlation of the Bispectral Index Monitor with the COMFORT scale in the pediatric intensive care unit. Pediatric Critical Care Medicine , 648-653.
Miranda A.L. van Tilburg, P. D.-M. (2009). Audio-Recorded Guided Imagery Treatment Reduces Functional Abdominal Pain in Children: A Pilot Study. PEDIATRICS Vol. 124 No. 5 November 1, 2009 .
Monique van Dijk, P. R., B, J. W., Peters, P. R., & Patricia van Deventer, R. a. (2005). The COMFORT Behavior Scale A tool for assessing pain and sedation in infants. AJN Vol. 105, No. 1 .
Monroe Carell Jr. Childern Hospital at Vanderbilt. (2011, August 25). Retrieved March 7, 2013, from http://www.childrenshospital.vanderbilt.org/services.php?mid=7143: http://www.childrenshospital.vanderbilt.org/services.php?mid=7143
Pope-Angulo, N. (2010). , RN. B.S. WCSI CCEP 4 , 1-2.
Rossman M, L. (2004). Guided imagery in cancer care. Seminars in integratif medicine , 99-106.
Traci R. Stein, P. M. (2010). A Pilot Study to Assess the Effects of a guided imagery audiotape intervention on psychological outcomes in patients undergoing coronary artery bypass graft surgery. JOURNAL OF HOLISTIC NURSING PRACTICE , 213-215.
Weydert, J. A. (2006). Evaluation of guided imagery as treatment for recurrent abdominal pain in children : a randomized control trial . BMC Pediatrics , 1-10.
Yudha, S. (2010). Perbandingan Premedikasi Klonidin Dan Diazepam Peroral Terhadap Level Sedasi Dan Respons Hemodinamik Pediatrik. Retrieved
28
Maret 2013, 2013, from http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=29178.
Zen-zen. (2010). Managemen PICU . Retrieved Maret 6, 2013, from http://akatsuki-ners.blogspot.com/2010/11/manajemen-picu-dan-.html.
29