penyakit lepto
TRANSCRIPT
PAPER
MATERI PEMBAHASAN “LEPTOSPIROSIS”
Tugas Mata Kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit
Disusun oleh :
Dwi Cahyanti 25010111130229
Nabila Rizky K 25010111110252
Denny Faturachman 25010111140258
Devi Oktaviani 25010111140269
Annisa Savitri 25010111140290
Kelas D 2011
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
1. ETIOLOGI PENYAKIT
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 tm dan tebal 0,1 gin serta memiliki dua lapis
membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik.
Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya.
Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau
mikroskop fase kontras . Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam
air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan
air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (FAINE, 1982).
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di
negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogansdengan
berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada
ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-
lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia
bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau
erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih
binatang yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).
Tabel 1. Serogrup dan beberapa serova L. interrogans sensu lato
Serogrup SerovarIcterohaemorrhagiae icterohaemorrhagiae,
copenhageni, lai, zimbabwe
Hebdomadis hebdomadis, jules, krematosAutumnalis autumnalis, fortbragg,
bim,weerasinghePyrogenes PyrogenesBataviae BataviaeGrippotyphosa grippotyphosa, canalzonae,
ratnapuraCanicola CanicolaAustralis australis, bratislava, lordPomona PomonaJavanica JavanicaSejroe sejroe, saxcoebing, hardjoPanama panama, mangusCynopteri CynopteriDjasiman Djasiman
Sarmin SarminMini mini, georgiaTarassovi TarassoviBallum ballum, aroboreaCelledoni CelledoniLouisiana louisiana, lankaRanarum RanarumManhao ManhaoShermani ShermaniHurstbridge Hurstbridge
Sumber: LEVETT (2001)
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae,
genus Leptospira. Leptospira 21 4 dapat tumbuh di dalam media dasar yang
diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan
garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob
(ADLER et al ., 1986; FAINE, 1982). Sistem penggolongan Leptospira yang
tradisional genus Leptospira dibagi menjadi dua yaitu L. interrogans yang patogen
dan L. biflexa yang nonpatogen . L. interrogans dibagi menjadi serogrup dan
serovar berdasarkan antigen (Tabel 1) . Klasifikasi terbaru dari Leptospira yaitu L.
interrogans dibagi menjadi 7 spesies yaitu L. interrogans, L. weilii, L. santarosai,
L.noguchii, L. borgpetersenii, L. inadai, L.kirschneri dan 5 spesies yang tidak
bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5. L. biflexa dibagi menjadi 5 spesies barn
(HICKEY dan DEEMEKS, 2003) . Ada lebih dari 200 serovar yang telah diisolasi
(LEVETT, 2001) .
Gambar 1 Bakteri leptospira menggunakan mikroskop elektron tipe scanning
Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat,
bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup
atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L.
bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering
menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus,
L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi
dan babi. (Arjatmo, 1996).
2. MASA INKUBASI DAN PENULARAN
Masa inkubasi
Masa inkubasi dari leptospirosis 4-9 hari, rata-rata 10 hari.
Cara penularan
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan - hewan penderita
leptospirosis. Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh melalui selaput lendir
( mukosa ) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran
cerna dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi leptospira.
Masuknya bakteri leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan
dengan proses infeksi pada semua serovar leptospira. Namun masuknya bakteri
secara kuantitatif berbeda bergantung : agent, induk semang, dan lingkungan.
Melalui cara lain dapat saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya
melalui luka abrasi, mukosa ( cavitas buccae / buccal cavity ), saluran hidung atau
konjungtiva. Bakteri leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai
dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukan
gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinik akan bervariasi bergantung
dari kondisi manusianya, spesies hewan dan umurnya. Dapat dikelompokkan
bahwa penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung terjadi :
- Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri leptospira
masuk ke dalam tubuh pejamu
- Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang
yang merawat hewan atau menangani tubuh hewan misalnya pekerja potong
hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan
- Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu Penularan tidak langsung terjadi melalui
genangan air, sungai, danau, selokan air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
Bakteri ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limfa, ginjal dengan
ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem imunitas tubuh akan aktif
apabila bakteri menjalar ke jaringan hati dan ginjal serta berada di tubular ginjal.
Gambar 2 siklus penularan leptospirosis
Sumber :http://www.google.co.id
3. GEJALA DAN TANDA PENYAKIT SERTA CARA DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis
Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase yaitu fase pertama : fase leptospiremia,
fase kedua: fase imun dan fase ketiga : fase penyembuhan.
1) Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi
silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya
gejala klinis untuk sementara.
2) Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis
bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta
gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri
otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat,
tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih
senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non - ikterik) dan
leptospirosis ikterik.
1. Leptospirosis anikterik
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini
diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
Karena itu jika ditemukan satu kasus leptospirosis berat maka diperkirakan
sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau
tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia.
Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri
retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan
paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase
pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat
nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang- kadang mengeluh sukar berjalan.
Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan
fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis.
Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa
ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat
dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik
terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik
sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri
leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu
kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh
sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam
waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam
akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah
endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown
origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding
leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti
influenza, HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus,
infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam
tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2. Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat.
Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik
khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga
fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase
leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan
jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi
penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah
penyebab tersering gagal ginjal akut.
Tabel 2 : Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Dalam periode 1979 - 1982, penyebab kematian leptospirosis berat di
RSUP Dr. Kariadi adalah koma uremikum, syok septik, gagal kardiorespirasi dan
syok hemorhagik. Angka kematian pasien leptospirosis ikterik ini adalah 5-15%,
sedang di RSUP Dr Kariadi Semarang antara 30-50% meskipun telah
mendapatkan terapi. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian
pada pasien leptospirosis adalah oliguria (terutama renal), hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, dispnea, lekositosis > 12.900 / mm3 dan kelainan EKG
(repolarisasi) serta adanya infiltrat pada foto radiologik dada. Pasien leptospirosis
berat (ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta gangguan kesadaran
akibat uremia) dapat menunjukan gambaran klinik yang mirip dengan malaria
falciparum berat (demam, ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta
kesadaran menurun akibat malaria serebral), haemorrhagic fever with renal
syndrome atau HFRS yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava
(demam, gagal ginjal manifestasi perdarahan, subconjunctival injection dan
kadang-kadang ikterik serta peningkatan transaminase) dan demam tifoid berat
dengan komplikasi ganda (sindrom sepsis, ikterik, azotemia, bleeding tendency,
soporocomateus).
Diagnosis klinis dan diagnosis banding
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di
berbagai rumah sakit tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis,
kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.
a. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,
jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan
liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Keluhan-
keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu : demam mendadak, keadaan umum
lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata
semakin lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah
betis dan paha. Untuk memudahkan anamnesis dan pencatatan data untuk
surveilan dapat digunakan daftar tilik.
b. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala
klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu :
hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal, hipotensi, ronki paru
dan adanya diatesisi hemoragi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis dilakukan juga :
1. Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk menentukan
diagnosis leptospirosis.
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu :
a) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukosit, normal atau menurun, hitung
jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil.
Leukosit dapat mencapai 26.000/mm3 pada keadaan anikterik dan mencapai
10.000/mm3 sampai 50.000/mm3 pada keadaan ikterik.
Faktor pembekuan darah normal.
b) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan silinder pada fase
dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula
bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria.
Gagal ginjal kemungkinan besar dialami semua pasien ikterik.
c) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik
disebabkan karena bilirubin direk meningkat.
Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase
(serum glutamic oxoloacetic transaminase= SGOT dan serum glutamic pyruvate
transminase = SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal ataupun
meningkat 2-3 kali nilai
normal.
2. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri leptospira
dapat secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau antigennya dan
secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap bakteri leptospira
dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur, mikroskopis,
inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.
Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen merupakan
diagnosis pasti leptospirosis. Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung
harus dikorelasikan dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat
pajanan dan faktor risiko lain.
a) Pemeriksaan Langsung
1) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri leptospira dalam darah, cairan
peritoneal dan eksudat pleura, dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari
ke-3-7 dan di dalam urin pada minggu kedua, untuk didiagnosis definitif
leptospirosis. Bakteri leptospira dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap.
2) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA bakteri leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai
primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Data terbaru pengujian
spesimen manusia menunjukkan bahwa DNA bakteri leptospira dapat dideteksi
pada stadium dini (hari ke-2), dan maksimal 40 hari. Reaksi PCR lebih cepat,
sensitif dan spesifik serta lebih baik dibanding uji serologi dan bakteriologi.
3) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan
serebrospinal, urin dan jaringan postmertem segera ditanam ke media, kemudian
dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
4) Inokulasi hewan percobaan
Bakteri leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu
hewan yang dapat dipakai untuk isolasi primer bakteri leptospira. Umumnya
dipakai golden hamsters (umur 4-6 minggu) dan marmut muda (150-175g) yang
bukan karier bakteri leptospira. Isolasi bakteri leptospira dilakukan dengan cara
biakan darah atau cairan peritoneal.
b) Pemeriksaan tidak langsung/serologi
Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum
disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu 20-
250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Jenis Uji Serologi
1) Microscopic Agglutination Test (MAT)
MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer
antibodi aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT merupakan baku emas
pemeriksaan serologi kuman leptospirosis dan sampai saat ini belum ada uji lain
yang lebih spesifik. Uji MAT bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serovar pada
manusia dan hewan, diperlukan panel suspensi bakteri leptospira hidup yang
mencakup semua jenis serovar. Kelemahan MAT karena memerlukan fasilitas
biakan untuk memelihara bakteri leptospira, sedangkan teknik pemeriksaannya
sulit dan lama. Antibodi tidak dapat dideteksi bila panel bakteri leptospira tidak
lengkap dan ada kemungkinan munculnya serovar baru yang belum diketahui..
2) Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)
Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopis, di atas kaca
obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan mata telanjang.
Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT kurang spesifik dibanding MAT.
3) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen komersial maupun
antigen yang dibuat sendiri. Uji ini memakai suatu antigen yang bersifat spesifik
pada genus, dapat mendeteksi antibodi di kelas IgM dan IgG. Keuntungan uji
ELISA untuk mengetahui jenis antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM
merupakan prediksi leptospirosis sebagai infeksi akut, dan IgG untuk infeksi
terdahulu. Meskipun demikian perlu diingat bahwa antibodi IgM kadang dapat
menetap selama beberapa tahun. Kelemahan tes ELISA kurang
spesifik dibanding MAT :
- Dapat terjadi reaksi silang pada penyakit lain
- Tidak menentukan jenis serovar, sehingga harus dikonfirmasikan dengan MAT.
4) Uji Serologi Penyaring
Uji serologi penyaring yang praktis, cepat dan sering dipakai sebagai tes
leptospirosis di Indonesia, antara lain :
a) Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi kuman leptospira-spesifik IgM dalam
serum. Metode ini sederhana, relaitf praktis dan cepat karena hanya memerlukan
waktu antra 2,5 sampai 3 jam.
Pemeriksaan ini menggunakan antigen bakteri leptospira yang telah difiksasi dan
dilekatkan pada pita celup. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 84,5% dan 92,1%
pada serum yang dikumpulkan dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari perjalanan
penyakit. Spesifitas adalah 87,5% dan 94,4% pada serum yang diambil dalam
periode 1-10 hari dan > 10 hari sakit.
b) LeptoTek Dri Dot
LeptoTek Dri Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya lebih murah,
praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam 30 detik. Penelitian pada serum-
serum pasien yang dikumpulkan dalam 10 hari pertama sejak sakit, menunjukkan
nilai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% tetapi pada serum yang dikumpulkan
setelah 10 hari perjalanan penyakit, sensitifitas 88,2% dan spesifitas 89,8%.
Interpretasi disesuaikan dengan gejala klinis dan dikonfirmasikan dengan MAT.
c) Leptotek Lateral Flow
Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira –specific
imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi Leptotek Lateral Flow
menunjukkan nilai diagnostik yang baik dengan sensitivitas 85,8% dan spesifitas
93,6%.
4. TRANSMISI PENYAKIT
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke
penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi
melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di
kulit, mulut, cairan urin kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan).
Penularan dari manusia ke manusia melalui hubungan seksual, transplacentally
dari ibu ke janin dan melalui ASI pada anak. Urin dari pasien yang menderita
leptospirosis harus dianggap menular. Seperti leptospira dapat dibiakkan dari
darah, ini harus dipandang sebagai menular untuk Leptospirosis merupakan
penyakit yang dapat ditularkan melaluiair (water borne disease) Urin (air
kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama
penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan
barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan,
tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada
manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan
banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan
tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan
asam.
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,
maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan
jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan
bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai
jaringan tubuh terutama ginjal dan hati
Gambar 3 : Transmision penyakit
http://bezhare.blogspot.com/2011/04/bezhare-what-is-leptospirosis.html
5. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira masuk
ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, kunjungtiva atau
mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat
masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.
Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi bakteri leptospira melalui kulit utuh
yang lama terendam air, saat banjir. Bakteri leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1
atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan, dan bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal
pada hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit. Bakteri leptospira merusak dinding
pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan
ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri yang penting adalah perlekatannya pada
permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri
leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin
bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada
sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis
yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan
protein sitotosin. In vivo, toksin ini mengakibatkan perubahan histopatologik
berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi
kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira
bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu
penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan,
pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Conjungtival
suffusion khususnya perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan
ini sering dijumpai dan patognomik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa
uveitis, iritis, iridoksiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.
Keberadaan bakteri leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis
kronik berulang. Bakteri leptospira difagosit oleh sel-sel retikuloendotelial serta
mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan
meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Bakteri leptospira akan
dieliminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal dan mungkin
otak, dimana bakteri leptospira dapat menetap beberapa minggu atau bulan. Untuk
lebih jelasnya patogenesis leptospirosis dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Sumber : Gasem M H., 2003 yang dikutip dari Faine
Bagan 1 Patogenesis Leptospirosis
6. PENGOBATAN
Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau
Erythromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian
Penicillin atau Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik
(WIDARSO et al, 2005).
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati
dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya
(Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat
mencapai 20% apabila terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN PROPINSI
DKI JAKARTA, 2004). Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005) selain
antibiotika golongan penicilline, bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine,
Chloramphenicol dan Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan
mudah didapatkan. Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis
Leptospirosis umumnya baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan.
Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti
penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin,
sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama
untuk Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit
setiap 4 jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita
dengan kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-
40%. Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum
penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotika dengan dosis yang
adekuat pada fase dini (HANGGARA, 2004).
Menurut WIDARSO et al. (2005) cara mengobati penderita Leptospirosis yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
• Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada
hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6-8
megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
• Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan jumlah
yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m,
separuh dosis dapat diberikan selama 5- 6 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit
i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah terjadi albuminuria
• Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu
Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif
dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita
mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan dosis
250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6
jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg
setiap 6 jam selama 5 hari.
Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau
oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya
berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada
awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis
10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita Leptospirosis, dapat
memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%. Pemberian per-oral dengan
mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-1000 gr ke dalam setiap
makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai
pembawa penyakit pada ternak babi 94% (DHARMOJONO, 2001).
7. PERKEMBANGAN PENY TSB DI INDONESIA
Perkembangan Penyakit Leptospirosis di Indonesia
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil
dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati
dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut
sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa
"Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak
itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi denganbaik dari manusia maupun
hewan.
Angka kejadian Leptospirosis secara pasti sulit diketahui. Umumnya
penyakit ini tidak terdiagnosa, penyakitnya terdiagnosa tapi tidak dilaporkan, dan
penyakitnya tidak menimbulkan gejala atau gejalanya ringan sehingga tidak
dilaporkan. Di Indonesia dilaporkan di dalam risalah Partoatmodjo (1964) bahwa
sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar
maupun hewan peliharaan.
Penyakit ini dikenal dengan nama demam banjir, demam lumpur atau
demam rawa, karena berkaitan dengan sejarah kejadian penyakit. Kejadian akan
meningkat pada saat musim hujan atau paska banjir. Selain itu penyakit ini juga
dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, penyakit Stuttgart, penyakit
Weil, demam canicola, dan penyakit swineherd. Iklim yang sesuai untuk
perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan
Halkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri
Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan
kematian. Sumber utama penularan leptospirosis adalah tikus dan binatang
lainnya antara lain anjing, babi, sapi, dan kambing.
Leptospirosis merupakan penyakit yang paling luas penyebarannya di
seluruh dunia, begitu pula di Indonesia tercatat sebanyak 19 Provinsi yang telah
melaporkan kasus leptospirosis baik di Rodent maupun manusia. Selain itu,
jumlah kasus leptospirosis di Indonesia selama beberapa tahun terakhir cukup
fluktuatif peningkatannya. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2007 tercatat
sebanyak 664 kasus dengan jumlah yang meninggal sebanyak 57 orang.
Jumlah ini meningkat jauh dari tahun 2006 yang hanya tercatat sebanyak
146 kasus dan yang meninggal sebanyak 14 orang. Jumlah tersebut cenderung
mengalami penurunan pada tahun 2008 (426 kasus dan 22 meninggal) dan pada
tahun 2009 (335 kasus dan 23 meninggal). Pada tahun 2010, jumlah kasus
leptosiprosis meningkat menjadi 409 kasus dan 43 orang meninggal, begitu pula
pada tahun 2011 menjadi 766 kasus dan 72 orang meninggal. Untuk lebih
singkatnya dapat melihat grafik 7.
Grafik 1. Perkembangan kasus leptospirosis antara tahun 2004 sampai dengan
2011
(Sumber : Kementerian Kesehatan RI)
Selain itu, pada periode 2009 sampai dengan 2011 terjadi kejadian KLB
Leptospirosis di Provinsi DI Yogyakarata yaitu, di Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Kulon Progo. KLB di Kabupaten Bantul pada tahun 2010 terjadi
dengan tercatatnya sebanyak 110 kasus dengan 12 orang meninggal (CFR :
10,9%), sedangkan pada tahun 2011 tercatat 133 kasus dengan 13 orang
meninggal (CFR : 9,8%). KLB di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 terjadi
dengan tercatatnya sebanyak 53 kasus dengan 7 orang meninggal (CFR : 13,2%),
sedangkan pada tahun 2011 tercatat 328 kasus dengan 20 orang meninggal (CFR :
6,1 %).
8. FAKTOR2 YG BERHUBUNGAN DG PENY TSB
Faktor Risiko Lingkungan kejadian leptospirosis
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua
kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia. Definisi kesehatan lingkungan adalah keseimbangan
ekologis yang harus ada antara manusia dan lingkungannya agar dapat terjamin
keadaan sehat bagi manusia ( UU No.23 tahun 1992). Lingkungan dan manusia
harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka
akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Menurut John Gordon triangulasi
epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi
tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan
karakteristiknya) dan environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut
membentuk model leptospirosisangle sebagai berikut :
Bagan 2Model Triangle Epidemiologi
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan
tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen
akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau
menurunkan kejadian penyakit.
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan
masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi : lingkungan fisik seperti
kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah , curah hujan,
kondisi jalan sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumah dengan selokan,
kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi; lingkungan biologik seperti
populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai
hospes perantara; lingkungan kimia seperti pH tanah; lingkungan sosial seperti
riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko leptospirosis dan
penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomi seperti jumlah pendapatan
dan pekerjaan; lingkungan budaya seperti tidak memakai alas kaki di rumah dan
mencuci/mandi di sungai.
a. Lingkungan Fisik
1) Karakteristik genangan air
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif
dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang padat penduduknya,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun
lingkungan kumum. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat genangan air
inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia.
2) Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang
disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan
kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya
kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus.
3) Curah hujan
Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim
tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembapan tinggi. Leptospirosis
berhubungan dengan musim hujan, dengan meningkatnya kasus dimulai pada
Bulan Agustus dan turun pada Bulan November, puncaknya kasus terjadi pada
Bulan Oktober.
4) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah
yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat
masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari
500 m dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih
besar dibanding yang lebih dari 500 m.
b. Lingkungan Biologik
1) Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah
(Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus).
Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi Kejadian Luar
Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah : R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus
dan R.exulat.
2) Keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara
Tikus (terutama Rattus norvegicus) dan anjing merupakan reservoir penting dalam
leptospirosis. Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang
kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari
binatang ternak, binatang rumah maupun binatang liar.
c. Lingkungan kimia
1) pH tanah
Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (220 C)
dan pH relatif netral (pH 6,2-8)19) Bila di air dan lumpur yang paling cocok
untuk bakteri leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur antara
28oC-30oC. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang. Karakteristik air
pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah air yang menggenang
dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara Menurunkan pH air sawah menjadi
asam yaitu dengan pemakaian pupuk/bahan-bahan kimia menyebabkan jumlah
dan virulensi bakteri leptospira berkurang.
d. Lingkungan Ekonomi
1) Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit
leptospirosis. Jenis pekerjaan yang beresiko terjangkit leptospirosis antara lain :
petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang
sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan
pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat
pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Dari beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian
leptospirosis.
e. Lingkungan Budaya
1) Tidak memakai alas kaki di rumah
Dengan tidak memakai alas kaki akan mengakibatkan kemungkinan masuknya
bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar.
Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan
tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang selalu kontak dengan
air kotor atau lumpur supaya memakai alas kaki seperti sepatu bot. Banyak infeksi
leptospirosis terjadi karena berjalan di air dan kebun tanpa alas kaki.
2) Mencuci/mandi di sungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri
leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena terkena air, selaput
lendir, kulit kaki, tangan dan tubuh yang lecet. Kegiatan mencuci dan mandi di
sungai atau danau akan beresiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan
terjadi kontak dengan urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih besar.
9. CARA PENCEGAHAN
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi
faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran
dapat terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif,
termasuk di sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan
sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah
agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan
kematian.
Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar
tidak terjadi kontak leptospira pada manusia yang meliputi :
1. Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.
Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja
pemotongan hewan, petugas survei di hutan, pekerja tambang, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang telah
terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah
bekerja, terutama pekerja laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci
alat - alat kerja dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan
deterjen.
2. Melindungi sanitasi air minum penduduk.
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan
dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi
asam dengan pemakaian pupuk / bahan - bahan kimia, sehingga jumlah dan
virulensi leptospira berkurang.
3. Pemberian Vaksinasi.
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan
memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja
risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi
pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan efektif untuk mencegah
leptospirosis.
4. Pencegahan dengan antibiotik.
Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara intramuskuler
dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain
leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk
pencegahan.
5. Pengendalian hospes perantara leptospira
Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator
rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya
dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah busuk dibuang.
6. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara
edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar dan
epidemi leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa leptospirosis
merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama,
oleh karena itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan /
kedokteran, dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat.
Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil
studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti
kebiasaan mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih,
disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat
dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan
cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun
tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum
dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan
semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana
pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum
yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak
menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah
atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol,
tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih)
dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung
tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang
baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk atau bahan-
bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air
dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira..
10) Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusia
1) Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok
resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek
penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana
kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
2) Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara-cara edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan.
Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih
lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
10. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI UMUM
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral
termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih
dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir
setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan
ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan
gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju
mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil (WIDARSO
et al, 2005). Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan
siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu
Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born deseasei). Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L.
hardjo, L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan L. icterohaemorrhagiae.
Dua yang disebutkan terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga
(DHARMOJONO, 2001).
Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang
berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20
mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Bakteri ini dapat bergerak maju
mundur memutar sepanjang sumbunya. Sebanyak 175 macam leptospira yang
berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang disebut serovars), baru tujuh macam
yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini hanya terjadi kekebalan silang secara
moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua atau bahkan lebih serovars seringkali
ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska infeksi, umumnya zat anti kebal
aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat dengan cepat, kemudian
menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat moderat, dan tetap ada
untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-tahun. Leptospira hanya
dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras.
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang
lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak
diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan
Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing,
serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat
menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita
Leptospirosis.Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lendir
(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran
pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi
leptospira. Masa inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan
langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005).
Organisme penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui
kulit yang terluka atau membrane mukosa atau kemungkinan juga melalui saluran
pencernaan. Pada kasus indeks masa inkubasinya berlangsung antara 10-12 hari,
tetapi dapat berayun antara 2-30 hari. Umumnyaq wabah terjadi karena terpapar
pada air yang terkontaminasi oleh urin hewan tertular. Populasi dalam resiko
adalah beberapa grup okupasi (pekerjaan), misalnya petani/pekerja di sawah,
perkebunan tebu, tambang, saluran kebersihan kota, rumah potong, perawat
hewan dan dokter hewan yang berhunungan atau terpapar kepada air, perairan,
lumpur dan/atau hewan, baik hewan piara maupun satwa liar (SOEJOEDONO,
2000).
PERSON (ORANG)
1. Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena
kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh
hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis. Hal ini
diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan
yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar kasus terjadi
pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi
tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar 3,59
kali dibandingkan perempuan.
3. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko yang besar
untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis waktu
menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri
leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh
lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang dan
telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit pekerjaan,
karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan, pemburu bebek liar,
para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja perkebunan, dan para
wisatawan pendaki gunung.
PLACE (TEMPAT)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai untuk
perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH
alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun.
Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka
insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut teori Faisal, bakteri
leptospira mampu bertahan hidup lama pada air tergenang seperti di kolam
renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di
pertambangan dan pertanian/perkebunan.
TIME (WAKTU)
Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar sehingga
frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan deras akan
membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan yang banjir akan
mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui air. Kemampuan
leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor
penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan
peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini sesuai
pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah
penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai
3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis
membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air
genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama tikus yang
mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber penularan.
11. GAMBARAN EPIDEMIOLOGINYA DI INDONESIA
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di
Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat. Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja
perkebunan, pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer.
Di samping itu tidak sedikit pula yang menyerang para penggemar olahraga
renang (WIDARSO et al, 2005).
Penyakit ini dikenal dengan nama demam banjir, demam lumpur atau
demam rawa, karena berkaitan dengan sejarah kejadian penyakit. Kejadian akan
meningkat pada saat musim hujan atau paskabanjir. Selain itu penyakit ini juga
dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, penyakit Stuttgart, penyakit
Weil, demam canicola, dan penyakit swineherd. Iklim yang sesuai untuk
perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH
alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu,
kasus 3 Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis
dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih
dari 50 tahun kematian mencapai 56%.
Peran hewan peliharaan sebagai sumber penularan leptospirosis pada
manusia telah diteliti oleh Scott-Orr dan Darodjat (1978) . Mereka menemukan
paling sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif
terhadap serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah dari
Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara positif terhadap
serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa propinsi di Jawa dan
luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar
pomona. Seroprevalensi leptospirosis dari tahun 2003–2007 berdasarkan
pemeriksaan serologik sangat berfluktuasi. Persentase sera dengan antibodi anti
leptospira positif dari tahun 2003 ke tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 9,97%,
dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 1,71%, dari tahun 2005
ke tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 20,36% dan dari tahun 2006 ke tahun 2007
terjadi penurunan sebesar 20,62%. Kejadian leptospirosis paling tinggi terjadi
pada tahun 2006 (36,03%)
12. TUJUAN P3M
Tujuan P3M Penyakit Leptospirosis. Program ini bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit
Leptospirosis, sehingga dapat menurunkan jumlah kejadian kasus Leptospirosis.
13. STRATEGI P3M
1. Strategi P3M untuk penyakit Leptospirosis
Pencegahan Primer Prinsip : mengendalikan agar tidak terjadi kontakLeptospira
pada manusia
Pencegahan Sekunder Prinsip : pengobatan untuk mencegah komplikasi.
2. Target program P3M
Pengontrolan (controlling) terhadap kejadian penyakit leptospirosis, hal
inidilakukan untuk menurunkan angka insidens, prevalens, morbiditas,
danmortalitas penyakit pada tingkat yang telah disepakati, agar tidak
menjadimasalah kesehatan masyarakat.Dimana, angka kematian akibat penyakit
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi.
14. UKURAN EPIDEMIOLOGI YG DPT DIPAKAI
Ada beberapa ukuran epidemiologi penyakit Leptospirosis:
1. Rate
Populasi di dalam rate tidak selalu populasi dalam arti demografis
(misalnya penduduk Jakarta dan lain-lain), tetapi bisa dalam bentuk lain, misalnya
maternal mortality rate ialah jumlah kematian ibu diantara ibu-ibu yang
melahirkan di rumah sakit. Pada jumlah penduduk yang besar sulit ditentukan
mana yang termasuk populasi terancam; di kelompok yang kecil misalnya di
rumah sakit atau kelompok penelitian dapat lebih mudah diketahui mana yang
susceptible (rentan) misalnya ibu hamil mungkin berisiko mendapat placenta
praevia.
2. Ratio
Ini merupakan suatu perbandingan, yang pada umumnya dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Jumlah orang yang terkena oleh sesuatu penyakit atau masalah
kesehatan pada saat atau dalam periode waktu tertentu
Jumlah orang yang tidak terkena oleh sesuatu penyakit atau masalah
kesehatan pada saat atau dalam periode waktu yang sama
Contoh :
Fetal death ratio =
Jumlah kematian foetus dalam 1 tahun
Jumlah lahir hidup dalam 1 tahun
Fetal death ratio berbeda dengan fetal death rate
Fetal death
rate=
Jumlah kematian foetus dalam 1 tahun
x C
Jumlah kematian foetus + Jumlah lahir hidup dalam 1 tahun
3. Proportional rate
Ini merupakan suatu perbandingan yang pada umumnya dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Jumlah orang yang baru terkena oleh suatu penyakit atau masalah
kesehatan dalam periode waktu tertentu
x C
Jumlah orang yang terkena dan tak terkena oleh suatu penyakit atau
masalah kesehatan tertentu dalam periode waktu yang sama
Contoh :
a. Proportional Mortality Rate =
Jumlah kematian oleh karena penyakit A
dalam periode waktu sebulan
x C
Jumlah seluruh kematian oleh karena semua penyakit
dalam waktu sebulan
b. Proportional Morbidity rate =
Jumlah penderita dengan penyakit A di rumah sakit B
dalam waktu 1 bulan
x C
Jumlah semua penderita dari semua penyakit di
rumah sakit B dalam waktu 1 bulan
Penyebut dari perbandingan pada contoh ini bukanlah merupakan population at
risk; perbandingan proportional rate antara dua daerah tertentu tentu tidak
menyatakan bahwa daerah yang satu lebih mungkin menderita sakit daripada
daerah yang lain. Sering para klinikus menyebut proportional rate ini sebagai
incidence rate, tetapi di dalam epidemiologi sebutan seperti itu adalah suatu hal
yang keliru.
Proportional rate untuk penyakit lebih tepat digunakan pada tingkat puskesmas.
Proportional
Rate
=
Jumlah penderita baru dari penyakit A yang berkunjung ke
puskesmas dalam periode waktu tertentu
x C
Jumlah semua penderita baru yang berkunjung ke
puskesmas itu dalam periode waktu yang sama
Proportional rate tiap minggu atau tiap bulan dapat digunakan untuk
memperkirakan kejadian wabah di wilayah teretentu.
Pengertian rate pada butir 1 sebetulnya berbeda dengan pengerti rate pada butir 3
yaitu proprtional rate. Pada butir 3, penyebut bukanlah population at risk.
Beberapa contoh rate pada butir 1 adalah incidence rate, attack rate dan
secondary attack rate.
4. Incidence rate (Omran, 1974 and MacMahom et al, 1970)
Umumnya rate ini dapat dilukiskan sebagai berikut :
Incidence
rate =
Jumlah kasus baru pada periode waktu tertentu x C
Jumlah population at risk pada periode waktu yang
sama
Incidence rate biasanya digunakan pada studi prospektif; bila kita hendak
menyelidiki 100 tikus sehat yang dapat menderita tbc setelah dicampurkan satu
kandang dengan seekor tikus penderita tbc selama setahun. Bila dalam satu tahun
terdapat 10 tikus sebagai kasus tbc yang baru, maka incidence rate adalah 10/100
= 1/10.
Di dalam praktek sering incidence rate dipakai untuk menyatakan rate sesuatu
penyakit dalam sesuatu daerah.
Kelemahan dari pemakaian ini adalah sebagai berikut :
a) Pembilangnya ialah kasus baru; kasus baru ini sulit ditentukan oleh karena waktu
serangan suatu penyakit tak jelas; beberapa kejadian dalam hal ini perlu
diperhatikan :
- Kapan mulainya gejalanya pertama
- Waktu diagnosa
- Masuk rumah sakit, poliklinik, atau balai pengobatan puskesmas
b) Penyebut adalah jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan pada periode
waktu yang sama; dalam hal ini sulit menentukan siapa dari penduduk tersebut
yang termasuk population at risk atau yang suspectible karena mereka
mempunyai daya tahan terhadap sesuatu penyakit karena telah mendapat vaksin
terhadap penyakit itu, mempunyai kekebalan alamiah, mempunyai gizi yang
cukup, dan lain-lain.
5. Attack rate
Attack rate sebetulnya adalah suatu incidence rate. Tetapi pada attack rate, risiko
seseorang untuk mendapatkan penyakit berlangsung dalam waktu yang singkat
karena faktor penyebab penyakit tersebut hanya bereaksi dalam tempo yang
singkat, misalnya pada keracunan makanan. Biasanya attack rate dihitung untuk
penyakit yang sering ditemukan pada umur tertentu, misalnya pada penyakit
morbili, viricella, dan lain-lain yang pada umumnya menyerang anak-anak dan
bayi.
6. Secondary attack rate
Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :
Secondary attack rate = Jumlah kasus sekunder
x C
Population at risk
Kasus sekunder ialah kasus-kasus yang terkena penyakit di dalam sesuatu
lingkungan setelah datangnya satu atau lebih kasus primer dari lingkungan yang
lain.
7. Point prevalence (Omran, 1974)
Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :
Point prevalence
rate
=
Jumlah orang yang menderita penyakit
baru dan lama pada saat tertentu
X C
Jumlah penduduk pada saat tersebut
Dalam hal ini penyebut semestinya population at risk, tetapi point prevalence rate
didapatkan bila dilakukan survei dalam masyarakat. Karena sulit menentukan
population at risk dalam masyarakat, maka dalam point prevalence rate, penyebut
adalah penduduknya saja. Jadi point prevalence rate sering bukan suatu rate yang
tepat.
8. Period prevalence rate (Omran, 1974)
Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :
Period prevalence
rate
=
Jumlah orang yang menderita penyakit
baru dan lama pada jangka waktu tertentu
x C
Jumlah penduduk yang terancam pada
jangka waktu tersebut
Period prevalence sering bukan merupakan rate yang tepat pula.
Period prevalence = point prevalence + incidence.
9. Case fatality rate (Beaglehole, 1993)
Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :
Case fatality rate =
Jumlah orang yang mati oleh karena penyakit
A dalam periode waktu tertentu
x C
Jumlah penderita dengan penyakit A dalam
periode waktu yang sama
Age specific death rate =
Jumlah orang yang mati pada umur di bawah
15 tahun dalam periode waktu tertentu
x C
Jumlah penduduk pada umur di bawah 15
tahun dalam periode waktu yang sama
Case fatality rate menggambarkan keganasan (fatality) suatu penyakit sehingga
menyebabkan kematian; bila case fatality rate penyakit A lebih tinggi daripada
penyakit B, berarti bahwa penyakit A lebih fatal daripada penyakit B. Bila case
fatality rate penyakit A di rumah sakit C lebih rendah daripada case fatality rate
penyakit A di rumah sakit D, ini berarti bahwa pelayanan pengobatan penyakit A
di rumah sakit C lebih berhasil daripada pengobatan penyakit A di rumah sakit D.
Age specific death rate menggambarkan risiko dari suatu penduduk dalam
golongan umur tertentu meninggal oleh suatu penyakit.
Cause specific death rate
=
Jumlah orang yang mati oleh karena
penyakit A dalam periode waktu tertentu
x C
Jumlah penduduk dalam periode waktu sama
Cause specific death rate menggambarkan risiko dari suatu penduduk menderita
penyakit tetentu
Bila suatu penyakit stabil, jadi berarti bahwa Incidence (I) dan cause specific
death rate (M) adalah tetap, maka case fatality rate (F) dapat diperkirakan seperti
pada persamaan sebagai berikut :
F = M
I
Cause specific death rate dapat menggambarkan incidence, bila 1) periode antara
diagnosa dan kematian pendek dan 2) case fatality rate tinggi. Ini misalnya
terdapat pada penyakit haemorrhagic fever, malaria tropicana, leucameia, dan
lain-lain.
15. KEPUSTAKAAN (harvard, diutamakan textbook dan jurnal ilmiah)
ADLER, B ., S. FAINE, W.L . CHRISTOPHER and R.J. CHAPPEL . 1986.
Development of an improved selective medium for isolation of leptospires from
clinical material . Vet . Microbiol . 12 : 377-381 .
BEY, R.F . and R.C . JOHNSON . 1982 . Leptospiral vaccines in dogs:
Immunogenicity of whole cell and outer envelope vaccines prepared in protein-
free medium . Am. J . Vet Res . 43(5) : 831-834.
BOLIN, C.A. and D.P. ALT. 2001 . Use of monovalent leptospiral vaccine to
prevent renal colonization and urinary shedding in cattle exposed to Leptospira
horgpetersenii serovar hardjo . Am . J . Vet Res . 62(7) : 995-1000.
BOLIN, C.A ., R.L. ZUERNER and G . TRUEBA. 1989. Effect of vaccination
with a pentavalent leptospiral vaccine containing Leptospira interrogans serovar
hardjo type hardjo-bovis on type hardjo-bovis infection of cattle. Am. J . Vet .
Res. 50(12) : 2004-2008 .
DARODJAT, M. dan P. RONOHARDJO. 1989. Diagnosa serologik Microscopic
Agllutination Test (MAT) untuk leptospirosis pada serum manusia. Penyakit
Ilewan XXl(37) Semester 1 : 1-8 .
DAVOL, P.A.2004. Current issues on infection and vaccination.
http.//www.rabbies.com/lepto.htm .
DIIALIWAL, G.S., R.D. MURRAY, H. DOBSON, J . MONTGOMERY and
W.A. ELLIS . 1996 . Effect of vaccination against Leptospira interrogans serovar
hardjo on milk production and fertility in dairy cattle. Vet. Rec . 138 : 334-335 .
EBRAHIMI, A., Z . NASR and GH.A. KoiouRi. 2004 . Scroinvestigation of
bovine leptospirosis in Shahrekord district, central Iran . Iranian J . Vet . Res .
University of Shiraz . 5(2) Ser. (10) . 1383 : 110-113 .
ELLIS, W.A ., J.J . OBRIEN, S .O. NELL and D .G. BRYSON. 1986 . Bovine
leptospirosis: experimental serovar hardjo infection. Vet. Microbiol. 11 : 293-299.
FAINE, S . 1982 . Guidelines for the Control of Leptospirosis . World Health
Organization, Geneva. 171 p .
GERRITSEN, M.J ., M.J. KOOPMANS, T.C .E.M. DEKKER, M.C.M. DE
JONG, A. MOERMAN and T. OLYHOCK . 1994 . Effective treatment with
dihydrostreptomycin of naturally infected cows shedding Leptospira interrogans
serovar hardjo subtype hardjobovis . Am . J. Vet. Res. 55(3) : 339-343 .
HARTMAN, E.G ., M.V . HOUTEN, J.F . FRIK and J .A. VAN DER DONK.
1984 . Humoral immune response of dogs after vaccination against leptospirosis
measured by an IgM- and IgG-specific ELISA . Vet . Immuno . And
Immunopathol . 7 : 245-254 .
HARTMAN, E .G ., T.S .G .A.M. VAN DEN INGH and J. ROTHUtzEN . 1986 .
Clinical, pathological and serological features of spontaneous canine leptospirosis.
An evaluation of the IgM- and IgGspecific ELISA. Vet. Immunol . and
Immunopathol . 13:261-271.
HICKEY, P.W. and D. DEEMEKS . 2003. Leptospirosis . Emedicine . pp . 1-9 .
HUDSON, D .B . 1978 . Leptospirosis of domestic animals . http ://www.ianrpubs
.unl.edu/LeptospirosisofDomesti cAnimals/ g78-4. 17 .htm .
LEVETT, P .N. 2001 . Leptospirosis. Clinical Microbiol . Review. 14(2):2%-326 .
NAZIR, H. 2005 . Diagnosis klinis dan penatalaksanaan leptospirosis .
Disampaikan pada Workshop dan Training Penanggulangan Leptospirosis bagi
Dokter Puskesmas di Propinsi DKI Jakarta, Bapelkes Depkes Cilandak, 29 Maret
2005.
OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES . 2000. Leptospirosis, in
Manual of standards for diagnostic test and vaccines, 4th edition : 265-275 .
RAmAM, S., C.O.R. EVERARD and C . ALEX . 1994 . A pilot study on the
prevalence of leptospirosis in Tamilmadu State . Indian Vet. J . 71 : 1059-1063 .
ROCHA, T. 1998 . A review of leptospirosis in farm animals in Portugal . Rev.
Sci . Tech . Off. In . Epiz. 17(3) : 699-712 .
SWAN. R.A ., E.S. WILLIAM and R .G . TAYLOR. 1981 . Clinical and
serological observations on horses with suspected leptospirosis . Aus . Vet. J. 57 :
528-529 .
WAGENAAR, J ., R .L. ZUENER, DAVID ALT and C .A. BOLIN. 2000.
Comparison of polymerase chain reaction assays with bacteriologic culture,
immunoftiorescence, and nucleic acid hybridization for detection of Leptospira
borgpetersenii serovar hardjo in urin of cattle . AJVR 61(3) : 316-320 .
WOODWARD M .J ., A.G. SULLIVAN, N.M.A. PALMER, J.C . WOOLFY and
J .S. REDSTONE . 1991 Development of a PCR test specific for Leptospira
hardjo genotype bovis . Vet . Rec . 128 : 282-283 .
DHARMOJONO. 2001. Limabelas Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer, Jakarta.
DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI JAKARTA. 2004. Info dan Tips Waspada Leptospirosis. Jakarta.
HANGGARA R. 2004. Ulah Leptospirosis. Halo Internis. Edisi II. Jakarta.
SOEJOEDONO, R.R. 2000. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
WIDARSO, WILFRIED dan SITI G. 2005. Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Pusat Data Informasi-Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Jakarta.