repositori.unud.ac.id filedari pengertian ini saja dapat dikatakan bahwa desa itu, benar-benar...
TRANSCRIPT
BAB I
DESA DALAM KONTEKS PERUNDANG-UNDANGAN
Sekitar tiga bulan menjelang berakhirnya tahun 2014, masyarakat diramaikan dengan
diskusi tentang pilihan, apakah Bali akan memakai desa dinas atau desa pakraman (adat) sebagai
desa “resmi” di Bali sesuai dengan tuntutan Undang-Undang No. 6 tahun 2014, yang mengatur
tentang Desa. Fenomena ini hampir sama dengan awal tahun 2014 ketika diselenggarakan
berbagai pertemuan dan seminar tentang desa yang akan menjadi pilihan bagi Bali dalam
kerangka undang-undang tersebut. Diskusi masalah ini sempat diselenggarakan di Universitas
Udayana, diikuti oleh berbagai pihak termasuk komponen masyarakat. Di luar pertemuan yang
diselenggarakan di kampus, diskusi informal bisa dilihat dari berbagai perbincangan ringan di
pertemuan masyarakat, semisal saat ada upacara adat atau melayat ke tempat orang meninggal.
Bagaimanapun, desa dinas dan desa pakraman ini, harus mendapatkan perhatian dari
masyarakat agar kelak tidak mendapatkan gangguan. Keputusan memilih satu desa dapat
menimbulkan berbagai macam akibat. Gangguan secara fisik dapat saja terajdi, misalnya
berupa pembongkaran hak milik karena tanah itu, diklaim oleh krama. Di beberapa tempat di
Bali, tenah dan rumah yang ditempati warga bisa diambilalih oleh desa pakraman, jika memang
ketahuaan sejarah penempatan rumah dan pekarangaan tersebut. Disamping itu, gangguan
psikologis bisa berupa rasa menyesal telah melakukan pilihan yang salah dalam pengajuan desa
yang dimaksudkan sesuai dengan yang dituntut oleh undang-undang No. 6 tahun 2014 tersebut.
Dalam konteks seperti ini, ganggaun pesikologis tersebut dapat terjadi di dalam satu desa.
Desa, dalam pengertian Undang-undang No. 16 Tahun 2014 adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dari pengertian ini saja dapat dikatakan bahwa desa itu, benar-benar mandiri dan mampu
melaksanakan kemandiriannya itu di dalam wilayah kesatuan negara Republik Indonesia.
Sebagai wujud desa mandiri, maka hal pertama yang harus dilihat adalah bagaimana
mewujudkan kemandirian tersebut. Ini akan sangat terkait dengan sumber daya yang dimiliki
oleh desa tersebut. Di Bali, dalam konteks desa ini, baik desa pakaraman maupun desa dinas
yang disebut juga dengan keperbekelan, sesungguhnya dapat dipilih menjadi desa sesuai dengan
amanah dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Indonesia menurut data biro pusat statistik,
jumlah desa ada sebanyak 81.635 desa (Kompas 3 Juli, 2015, hal. 5)
Dalam pandangan Padjung (2015), nafas utama dari Undang-undang Desa ini adalah
rekognisi dan subsidiaritas. Asas tersebut mengandung arti bahwa pemerintah mengakui desa
sebagai kesatuan hukum masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat atas dasar asal-usulnya
dan atau hak tradisionilnya. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa tidak menjadi bawahan
dari kota atau kabupaten tetapi merupakan pemerintahan yang berbasis masyarakat (kombinasi
antara self governing community dan local self government) yang berhubungan langsung dengan
kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Sedangkan asas subsidiaritas mempunyai arti bahwa
negara menyerahkan kewenangan lokal berskala desa kepada desa bersangkutan. Artinya ada
sejumlah kewenangan desa yang tidak perlu melalui pelimpahan kewenangan dari pemerintah
kabupaten/kota.
Satu hal yang harus dilihat dari keberadaan undang-undang ini adalah bahwa pusat
otonomi daerah yang kini ada di kabupaten, seolah berpindah ke wilayah desa dengan adanya
dana dan kewenangan yang cukup besar di desa, baik untuk mengelola keuangan maupun
memberdayakan masyarakat dan sumber daya yang ada. Karena itulah kemudian sumberdaya
manusia yang diperlukan untuk menggerakkan kewenangan tersebut harus betul-betul
diperhatikan. Berlakunya undang-undang ini juga menjadi tanggung jawab bersama untuk
mencapai cita-cita bersama demi memberdayakan desa.
Keinginan untuk melakukan pemberdayaan sesungguhnya merupakan cita-cita lama.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah telah menyebut
tiga tingkat pemerintahan daerah, yaitu tingkat I (provinsi), tingkat II (kabupaten/kota) dan
tingkat III (desa). Akan tetapi penjelasan undang-undang ini mengatakan bahwa sesuai dengan
keadaan masyarakat, hanya dapat diadakah dua tingkat terlebih dahulu. Undang-undang No. 5
Tahun 1979 menyatakan titik berat otonomi daerah ada di pedesaan (Kompas, 2 Juli 2015: 5).
Namun kedua titik berat itu dipandang kurang berhasil.
Secara sosiologis, terbentuknya undang-undang, aturan atau apapun yang sifatnya
normatif bertujuan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat atau mencita-citakan
kesejahteraan sosial. Hal ini dapat diwujudkan dengan menaati aturan dan ketentuan yang
tercantum di dalam undang-undang tersebut. Wujud perundangan jelas terdiri dari berbagai pasal
yang menentukan tingkah gerak kita dalam berinteraksi secara sosial. Telah ada aturan-aturan
yang mengatur tentang tingkah gerak manusia, baik di lingkungannya sendiri maupun di
lingkungan wilayah lain.
Dengan demikian, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang desa ini,
tidak lain yang diinginkan adalah menciptakan ketertiban masyarakat khususnya dalam
menjalankan kehidupannya sebagai warga desa serta mengejar cita-cita kesejahteraan sosial itu.
Tentu juga desa yang dimaksudkan mampu berjalan secara manajerial sesuai dengan undang-
undang yang ada serta peraturan pemerintah yang menjadi aturan lanjutannya. Undang-undang
tentang desa ini sangat penting di Indonesia karena secara mayoritas, sebagian besar dari habitat
Indonesia itu desa, dan sebagian besar dari masyarakat Indonesia hidup di pedesaan.
Munculnya undang-undang ini boleh dikatakan terlambat, dalam hal mengadaptasi model
pembangunan.
Kalau dilihat dari semangat yang ada pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 ini, maka
ada beberapa hal yang dapat dikatakan menjadi tujuannya. Yang pertama adalah upaya
memperbarui dan memperbaiki perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Undang-
undang ini secara jelas menginginkan masyarakat desa mampu memanfaatkan potensi sumber
daya yang ada. Ketentuan demikian, kurang mendapat penekanan pada produk perundangan
sebelunya, khususnya yang menekankan pada keberadaan desa. Kedua demi memberikan
kemandirian kepada masyarakat desa untuk mengelola aset yang dimiliki. Bantuan keuangan
yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta berbagai kerjasama yang
dilakukan, bertujuan untuk mengelola aset yang dimiliki oleh masing-masing desa. Ketiga,
memperlihatkan demokratisasi yang lebih menukik kepada masyarakat Indonesia. Artinya ide-
ide yang berasal secara langsung dari rakyat, dapat disalurkan dan dapat dipakai untuk
meningkatkan kesejahteraan. Dan keempat adalah dalam kerangka menghadapi globalisasi,
khususnya tahun 2015, adalah masyarakat bebas ASEAN. Demokrasi yang dimaksudkan disini
adalah munculnya berbagai ide, kreasi dan pendapat dari masyarakat paling bawah demi
mencapai kesejahteraan mereka. Pemerintah yang ada di atasnya, mendukung pengelolaan itu.
Dan dengan cara itulah kemudian masyarakat Indonesia menghadapi persaingan global. Untuk
mencapai hal itu, pencerdasan, kreatifitas serta kemandirian mau tidak mau harus menjadi
landasan dari masyarakat desa setelah berlakunya undang-undang ini. Karena itulah kemudian
memerlukan banyak pentahapan untuk mencapai keberhasilan undang-undang ini.
Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ada dua pengertian
yang menyangkut desa, yakni desa dan kelurahan. Yang dimaksudkan dengan desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah,
langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat a). Wilayah di bawah desa disebut dengan
dusun yang masih merupakan lingkungan pelaksanaan pemerintahan desa.
Sedangkan kelurahan merupakan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk,
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Di bawah lurah yang merupakan lingkungan kerja
pelaksnaan kelurahan, disebut dengan lingkungan. Secara geografis, kelurahan tersebut berada
perkotaan atau berdekatan dengan kota.
Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk
peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia (Undang-undang tentang Desapraja), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
desapraja dalam undang-undang tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-
batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan
mempunyai harta benda sendiri.
Secara sosiologis, pengertian desa menurut Undang-Undang yang disebutkan diatas
masih longgar karena letak desa tersebut tidak harus jauh di pedalaman seperti di pegunungan
atau mempunyai jarak dengan kota. Pemahaman tradisionil masyarakat tentang desa selalu
mengacu kepada hal yang mempunyai jarak dengan kota, dimana kehidupan tradisional lekat
dengan kehidupan itu. Perbedaan antara desa dengan kota terletak pada sikap masyarakat
terhadap tradisionalitas tersebut. Biasanya yang membedakan adalah sikap dan tindakan rasional.
Atau dengan cara pandang lain, adalah sikap praktis dalam kehidupan, dimana sikap praktis ini
lebih diacu kepada proses waktu yang dihabiskan dalam menyelesaikan sesuatu. Di kota
misalnya, orang memasak memakai listrik atau kompor gas. Di desa memakai kayu api.
Memasak dengan kompor gas jauh lebih cepat dibandingkan dengan memakai kayu api. Di kota
angkutan digunakan dengan mobil, di desa masih dengan jalan kaki atau memakai kuda. Inilah
beberapa indikator apabila membandingkan kehidupan desa dengan kota di masa lalu. Dari
konteks lingkungan, desa lebih bersih udaranya dibanding kota yang polutif.
Desa menurut Undang-undang No 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pasal 1, huruf 1.).
Ada satu frasa penting dalam pengertian desa seperti yang tercantum dalam pengertian
itu, yakni hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan. Jika dilihat dari sejarahnya, kota pun merupakan desa sebelum kemudian
mendapatkan perkembangan baru dengan lebih banyaknya penduduk dan ragam profesi yang ada
di wilayah kota itu. Akan tetapi, hak-hak tradisionil yang mampu di pertahankan di daerah itu,
apapun bentuknya, memungkinkan tumbuh, berdiri dan hadirnya desa di wilayah kota. Tentu
dengan batasan wilayah yang dimiliki. Di Bali, sesungguhnya tidaklah terlalu sulit melihat
kehadiran desa demikian di dalam kota. Desa adat atau desa pakraman, hadir dan ada di
lingkungan kota karena desa pakraman ini mempunyai wilayah sendiri dan mengayomi praktik
tradisionil dari masyarakat yang beragama Hindu.
Dibandingkan dengan pengertian desa dalam undang-undang yang lain, pengertian desa
yang dimaksudkan pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 terlihat lebih komplit karena
mengandung frase tradisional seperti yang diungkapkan diatas. Frase ini penting, paling tidak
untuk menjembatani alam pikiran dan persepsi masyarakat, tentang pengertian desa yang ada
jarak dengan kota dan desa yang lebih mempunyai sifat tradisional tersendiri.
Dilihat dari sisi kemandiriannya, seluruh undang-undang yang disebutkan itu
menekankan bahwa desa merupakan wilayah dengan masyarakatnya yang boleh mengurus
rumah tangganya sendiri, yang tentu saja dalam koridor negara Republik Indonesia. Adanya
pengakuan terhadap desa yang membolehkan mengurus rumah tangganya sendiri ini berkaitan
dengan berbagai kondisi adat setempat atau lingkungan dan sejarah dari desa tersebut. Dalam
konteks Indonesia, kemandirian ini penting demi memberi kebebasan bagi komunitas yang ada
di wilayah desa itu untuk menyerap kebiasaan dan adat istiadat yang ada. Indonesia merupakan
negara yang Bhineka Tunggal Ika dengan berbagai ragam suku, agama dan kebiasaan yang ada
sehingga memengaruhi kehidupan sosial di wilayah tersebut. Desa juga mempunyai keragaman
lingkungan seperti misalnya lingkungan pegunungan, pantai, dataran rendah dan sebagainya.
Itulah yang menjadi alasan mengapa desa dipandang berhak mempunyai otonomi untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
Hanya saja dari tiga pengertian desa ditas, hanya undang-undang No 19 tahun 1965 yang
menekankan bahwa setiap desa mempunyai harta benda sendiri. Dua undang undang lainnya,
meski tidak menyebutkan tentang harta benda, lebih menyebutkan dengan sumber dana dari desa
tersebut. Setidaknya, dalam penjelasan undang-undang ini, dapat dikatakan bahwa pencatuman
harta benda tersebut terjadi karena beberapa alasan. Disebutkan bahwa pada jaman Orde Lama,
ada keinginan untuk membagi habis wilayah Indonesia menjadi daerah tingkat I, II, dan III,
maka desapraja ini hendak dijadikan wilayah peralihan untuk menjadi daerah tingkat III. Daerah
inilah yang dengan dasar pasal 18 UUD 1945, kelak akan dijadikan sebagai daerah tingkat III
yang sifatnya otonom juga. Karena sifatnya otonom itulah maka diperlukan adanya harta benda
tersebut. Daerah tingkat III yang dimaksudkan itu sesuai dengan asal-usulnya yang mempunyai
sifat tradisionil. Jadi harta benda ini dimaksudkan untuk membiayai keadmistrasian desapraja
yang mempunyai asal-usul berbeda dengan yang lainnya.
Selanjutnya, harta benda ini juga mempunyai arti untuk memutus hubungan dengan
model-model feodal di masa itu. Harta benda inilah yang menjadi salah satu penghasilan dari
desapraja, yang dapat digunakan untuk kepentingan desapraja, seperti membayar pamong dan
sebagainya. Di jaman feodal masih dijumpai adanya penggunaan tenaga kerja tanpa bayaran atau
tanah bengkok untuk membayar kepala desa.
Meskipun tidak dinyatakan secara jelas soal harta benda desa, tetapi dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1979, harta benda itu secara tersurat dimuat pada bagian kedelapan,
tentang kekayaan desa, dimana yang dimaksudkan dengan itu adalah tanah-tanah kas desa atau
usaha yang dilakukan oleh desa tersebut. Seperti juga Undang_undang No 5 Tahun 1979, pada
Undang-Undang No 6 Tahun 2014, tidak dicantumkan secara jelas harta benda desa di dalam
definisi. Akan tetapi undang-undang ini mencantumkan secara lengkap apa yang dimaksud
dengan aset desa. Diantara yang dimaksudkan itu adalah pada bagian kedua, pasal 76 dan 77
mengupas tentang aset desa, dimana dua pasal ini terdiri dari 9 ayat, dengan pasal 76 ayat 2
terbagi lagi menjadi lima huruf yang menyatakan tentang aset desa. Aset itu diantaranya adalah
kekayaan desa yang diperoleh atas beban Anggaran Pendapat dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Kekayaan desa
yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis. Kekayaan desa yang diperoleh dari
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundaang-
undangan. Hasil kerjasama desa, dan kekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang
sah. Pada ayat 4 disebutkan bahwa kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas
nama pemerintah desa.
Demikian banyaknya aturan tentang aset desa ini disebabkan karena desa kelak
diharapkan menjadi sentra pembangunan negara, yang mampu bersaing dalam dunia global.
Dalam pertimbangan konsiderans Undang-undaang No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa desa
telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar
menjadi kuat, maju mandiri dan demokratis sehingga menjadi landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera. Pertimbangan ini bisa dikatakan sebagai salah satu alasan demikian rinci aset yang
disebutkan dalam perundangan ini. Dengan aset yang kuat, diharapkan pemberdayaan desa agar
maju, kuat dan mandiri, akan bisa terlaksana. Disamping itu, pasal 78 dari undang-undang ini
secara garis besar menentukan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, penanggulangan kemiskinan sampai dengan
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Ini menandakan bahwa
tujuan pembangunan itu akan bisa dicapai apabila dilakukan dengan memanfaatkan aset desa
yang komplit dan berdaya guna.
Satu hal yang menjadi kelebihan dari Undang-Undang No 6 tahun 2014 ini adalah
tentang pembangunan desa. Pada dua undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang desa
atau desa praja, tidak ada hal yang secara khusus mengupas tentang pembangunan desa. Malah,
lebih banyak mengatur masalah teknis seperti soal pemilihan kepala desa. Undang-Undang No 6
Tahaun 2014 mengatur dengan rinci pembangunan desa tersebut. Ini jelas mempunyai
keterkaitan dengan konsiderans dari perundangan ini yang menekankan tujuan bahwa desa harus
menjadi kuat, mandiri dan demokratis. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa pengaturan desa seperti
dengan pembuatan undang- undang ini mempunyai tujuan untuk menempatkan masyarakat desa
sebagai subyek pembangunan (pasal 4, huruf i). Tidak ada konsepsi seperti ini yang ditekankan
pada dua perundangan lainnya, baik Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa dan Undang-Undang No 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Dalam konteks pembangunan nasional Indonesia, tujuan menjadikan masyarakat desa
menjadi subyek pembangunan, merupakan pilihan yang tepat karena karakter geografis dan
lokasi tempat tinggal rakyat Indonesia, lebih banyak di desa. Mereka hidup secara agraris
dengan menempatkan alam sebagai tumpuan utama kehidupan sosial, individu maupun
keluarga. Dengan karakter seperti ini, maka menempatkan masyarakat desa sebagai subyek
pembangunan merupakan pilihan yang tepat. Pertama, masyarakat akan mampu menyelami
berbagai bentuk pembangunannya karena pembangunan tersebut sesuai dengan model dari
lingkungan yang ada. Kedua, mereka tidak akan terkejut dengan model dan instrumen
pembangunan yang baru, misalnya instrumen yang lebih menekankan pada pembangunan yang
bercirikan kota, seperti menekankan pada penggunaan mesin. Ketiga, pembangunan bisa
dilakukan secara pelan-pelan dan akan menyeleksi kelompok masyarakat yang mampu
mengadaptasi perubahan sosial lebih cepat. Artinya kelompok masyarakat desa yang mampu
mengadaptasi perubahan sosial, dapat menyesuaikan model pembangunannya dengan apa yang
ada di kota.
Pada Undang-Undang No. 6 tahun 2014 ini, pembangunan desa tersebut boleh
dikatakan dilapis. Dalam arti tidak hanya ada kehendak untuk membangun desa itu sendiri
tetapi juga pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan desa, artinya pembangunan yang
dilakukan di dan oleh masyarakat desa tersebut. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan
adalah pembangunan pedesaan yang ada di lingkungan kabupaten atau kota. Disini, rencana atau
tanggung jawab itu lebih tertekan kepada kota atau kabupaten tempat desa-desa tersebut berada.
Daerah tingkat II inilah yang harus tanggap terhadap cita-cita, rancangan dan inspirasi terhadap
pembangunan desa di kawasan itu.
Sebagai kelengkapan teknis pembangunan desa, undang-undang ini telah
mencantumkannya secara lebih luas. Secara tradisional, seluruh pembangunan yang berlangsung
di desa tersebut harus didasarkan kepada kearifan lokal yang ada di desa tersebut (pasal 81 ayat
3). Pemilihan kearifan lokal sebagai basis pembimbing pembangunan itu sangat berguna karena
masing-masing desa di Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Seperti yang telah
menjadi pemahaman nasional, Indonesia ini merupakan negara yang berbhineka secara sosial
dan budaya, dimana masing-masing budaya itu mempunyai kearifan masing-masing sesuai
dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Karena itu, pembangunan yang menyesuaikan
dengan keraifan lokal ini amat berguna agar masyarakat tidak teralienasi, terasing dengan bentuk
pembangunan, rencana pembangunan, instrumen pembangunan sampai dengan hasil
pembangunan yang akan terjadi. Dengan demikian, tenaga yang dipakai akan mampu benar-
benar terserap secara utuh karena menyesuaikan dengan iklim sosial masyarakat setempat. Pada
masyarakat yang masih tradisionil dengan basis kekuatan agraris, maka cara gotong royong
untuk melaksanakan pembangunan merupakan pilihan yang lebih tepat dan membantu.
Sebaliknya, desa yang ada di kota, tidak keliru apabila instrumen pembanguannya memakai
mesin.
Dengan cara memakai kearifan lokal demikian, penyerapan tenaga kerja juga akan lebih
maksimal dari desa tersebut. Tidak akan terjadi banyak pengangguran karena keterampilan yang
dipakai menyesuaikan dengan keadaan setempat.
Seperti halnya pada skala nasional, pembangunan desa inipun mempunyai perencanaan
juga. Dalam undang-undang ini disebutkan dengan perencanaan pembangunan jangka
menengah yang mempunyai rentang waktu 6 tahun (pasal 79 ayat 2 huruf a). Yang lebih penting
diperhatikan disini adalah bahwa perencanaan pembangunan itu sangat berguna untuk
memberikan skala prioritas terhadap pembangunan yang ada di desa, sesuai dengan karakter
lingkungan dan potensi yang ada di desa tersebut. Sebuah perencanaan pembangunan, apalagi
yang bersifat sosial pasti memerlukan perencanaan sosial. Dalam perencanaan sosial ini, yang
perlu dilibatkan adalah masyarakat dan segenap komponen yang ada di masyarakat tersebut.
Dalam undang-undang ini telah dicantumkan bahwa dalam membuat perencanaan tersebut,
diikutkan masyarakat desa (pasal 80). Secara sosial, disamping merupakan sebuah keharusan,
pelibatan masyarakat setempat itu mempunyai manfaat besar bagi kepentingan di desa tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan, secara langsung akan menggali potensi-potensi kritis
dan cerdas dari anggota masyarakat desa untuk membuka wawasannya. Perencanaan tentu
memerlukan permusyawaratan dari semua warga yang ada. Keterlibatan ini jelas akan membuat
hasil pembangunan itu merupakan hasil rumusan bersama, sehingga apapun hasilnya akan
menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian, secara tidak langsung juga akan mampu
menumbuhkan spesialisasi di dalam anggota masyarakat itu. Artinya akan muncul tokoh atau
kelompok atau individu yang secara khusus memperhatikan persoalan air, ladang, sawah,
perekonomian dan sebagainya sehingga hal ini berpotensi mendorong tumbuhnya kecerdasan
warga. Kecerdasan akan menumbuhkan kemajuan desa.
Sebuah perencanaan sosial sudah seharusnya melibatkan berbagai ahli dan melibatkan
masyarakat setempat. Maka, dalam perencanaan sosial di desa ini, ahli-ahli yang ada di desa
akan muncul. Fenomena ini juga akan mendorong generasi muda desa untuk menempuh
pendidikan sesuai dengan kondisi yang ada di desanya. Jadi mereka akan menjadi ahli sesuai
dengan keadaan lingkungan di desa.
Tanggung jawab desa terhadap pembangunannya juga akan terasa lebih komplit karena
ketentuan undang-undang ini menyebutkan bahwa apabila ada pembangunan “milik”
pemerintah kota yang berkosentrasi di desa bersangkutan, akan diberikan kepada desa tersebut.
Pasal 79 ayat 6 menyebutkan bahwa program pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang
berskala lokal desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanannya kepada desa. Secara
sosial maupun politis, hal ini telah menyiratkan bahwa desa merupakan sentral dari
pembangunan, sesuai dengan karakter yang ada di desa tersebut. Campur tangan pemerintah
kepada pembangunan desa dikhawatirkan akan membuat pola dan bentuk pembangunan akan
menyimpang karena tidak sesuai dengan karakter masyarakat desa. Memberikan pelaksanaan
pembangunan kepada desa mempunyai makna bahwa agar pembangunan ini lebih baik, maka
pilihan jenis pembangunan mesti diberikan kepada masyarakat setempat. Atau apabila memang
desa tersebut masih belum mampu melaksanakan pembangunannya secara mandiri yang
disebabkan oleh tenaga ahli, keterampilan ataupun infrastrutur yang kurang, maka pemerintah
daerah tetap tidak mau melaksanakan pembangunan itu secara mandiri tetapi tetap memberikan
kesempatan kepada masyarakat desa untuk melaksanakan, dengan koordinasi kepada pemerintah
daerah. Bentuk koordinasinya tentu saja ditentukan dengan kesepakatan antara kedua belah
pihak. Jadi, boleh dikatakan bahwa secara politis pemerintah daerah memberikan perhatian
lebih banyak kepada desa demi berbagai macam tujuan yang telah ditetapkan, misalnya
menekan angka kemiskian.
Proyek pengentasan kemiskinan misalnya, lebih sering jatuh kepada pemerintah daerah,
khususnya pemerintah daerah tingkat II. Di jaman Orde Baru, kemiskinan itu lebih banyak ada di
pedesaan. Akan tetapi, sekarang karena sistem ekonomi yang cenderung lebih liberal,
kemiskinan itu tidak hanya ada di desa, akan tetapi juga ada di perkotaan. Undang-Undang No. 6
Tahun 2016 ini tidak mengenal pembedaan secara khusus antara desa dengan kota. Artinya di
kota pun dinyatakan tetap ada desa. Karena itu apabila ada proyek pencegahan kemiskinan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II, maka demi kelancaran dan ketepatsasaran dari
proyek tersebut, pelaksanaan dari hal ini akan lebih baik langsung diberikan kepada desa.
Sebagai sebuah kelengkapan pembangunan, di jaman reformasi diperlukan adanya
informasi. Undang-undang No 6 tahun 2014 memberikan jaminan soal ini. Penyediaaan
informasi ini dilakukan oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah kabupaten dalam bentuk
macam-macam. Misalnya pemerintah daerah itu harus mempersiapkan fasilitas perangkat keras
maupun lunak, jaringan sampai dengan sumber dayanya. Apabila dilihat dari sisi keterbukaan
dan tanggung jawab, penyediaan sarana ini merupakan upaya memberikan keterbukaan kepada
dua pihak. Pemerintah memberikan perangkat informasi itu guna memberikan aliran
pengetahuan kepada masyarakat di desa, sampai ke sektor yang paling kecil, terhadap berbagai
informasii pembangunan. Hal ini mempunyai beberapa manfaat. Yang pertama, memberikan
aliran pengetahuan kepada masyarakat tentang metode, keahlian, keterampilan sampai dengan
berbagai kebutuhan dalam pembangunan. Masyarakat akan dapat pengetahuan untuk
membangun selokan yang baik misalnya, melalui internet yang telah disediakan di desa.
Masyarakat pun akan dapat mendiskusikan tentang kebutuhan campuran semen untuk membuat
dinding bagunan. Jadi, informasi ini akan dapat langsung diakses oleh masyarakat yang paling
bawah. Kedua, memberikan informasi tentang ragam wujud pembangunan di desa. Aparat desa
dan juga masyarakat harus rajin membuka informasi melalui perangkat yang ada karena melalui
hal inilah pemerintah daerah akan menginformasikan berbagai berita, pengumuman dan
sebagainya tentang pembangunan di desa. Ini misalnya bisa dilihat dalam bentuk jenis
pembangunan apa yang mendapatkan pembiayaan dari pusat. Atau bagaimana alokasi
pembiayaan tersebut dan waktu yang ditetapkan untuk proyek pembangunan di desa. Juga
tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Ketiga, akan memberikan keterbukaan. Baik anggota
masyarakat, pemerintah daerah, maupun aparat desa sama-sama mengetahui berbagai informasi
tentang pembangunan desa secara terbuka. Jumlah dana yang diperlukan, dana yang dihabiskan
sampai sarana dan jangka waktu pembangunan itu, semuanya dapat diakses secara terbuka baik
oleh masyarakat desa setempat maupun oleh pemerintah. Keempat, keterbukaan informasi ini
sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab. Bagi masyarakat tanggung jawabnya adalah
memantau jalannya proyek pembangunan, sekaligus memberikan kritik dan sumbangan pikiran
terhadap proyek pelaksanannnya itu, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada aparat desa.
Dalam hal pelaksanaan negara yang bersih, cara seperti ini akan mampu menekan dan
menghindari korupsi karena keterbukaan itu telah dilakukan di berbagai bidang. Melalui
keterbukaan informasi ini juga pemerintah dapat mengontrol pembangunan di desa, apabila
misalnya pembangunan itu dibawah koordinasi pemerintah.
Salah satu kekhawatiran dari palaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini adalah
bahwa pada tahap awal-awal pelaksanannya, sangat rawan dengan tindakan-tindakan koruptif.
Gelontoran dana yang berjumlah sampai milyaran rupiah tersebut, memerlukan pembukuan yang
professional yang akan mencatat segala macam pengeluarannya. Padahal pada sisi lain, seperti
yang telah diketahui oleh masyarakat banyak, profesionalisme birokrasi pada tingkat desa itu
jauh dari sisi memadai. Desa yang dimaksud baik desa dinas maupun desa pakraman (di Bali).
Karena itu dikhawatirkan uang milyaran rupiah tersebut tidak akan dapat digunakan secara baik
dan bergunan apabila tidak dikelola secara prpfesional. Artinya ada kesempatan untuk
melakukan korupsi. Maka, cara keterbukaan melalui jaringan informasi di pedesaan ini,
dipandang mampu memberikan kontrol agar dana-dana itu tidak digunakan secara sewenang-
wenang. Artinya untuk memberikan tekanan agar korupsi tersebut tidak muncul, apalagi di
pedesaan.
Pembangunan desa tidak dapat hanya dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tetapi juga bisa
dilakukana melalui apa yang disebut dengan Pembangunan Kawasan Perdesaan. Dalam undang-
undang ini, yang dimaksudkan dengan pembangunan kawasan perdesaan adalah pembangunan
yang merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten atau kota (pasal 83).
Ketentuan ini menyertakan bahwa pembangunan desa tersebut dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah, baik provinsi maupun daerah tingkat dua. Akan tetapi pembangunan itu
dilakukan dalam konteks yang berhubungan antara satu desa dengan desa lainnya. Hubungan
dan interaksi tersebut sangat penting untuk meningkatkan saling kerjasama antar desa di dalam
satu kabupaten. Pembangunan kawasan perdesaan ini mempunyai tujuan untuk mengintegrasikan
antara kebijakan pemerintah, tetapi tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kearifan lokal
dan lingkungan yang ada di desa. Karena itulah kemudian, rancangan pembangunan kawasann
perdesaan ini dibuat bersama oleh pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah tingkat
II (kabupaten dan kota). Akan tetapi rencana pembangunan kemudian ditetapkan oleh
bupati/walikota sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (pasal 83 ayat 5).
Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksud
itu agar sesuai dengan kebijakan pusat. Pemerintah propinsi merupakan perwakilan pemerintah
pusat di daerah. Tetapi bagaimanapun pihak yang paling tahu tentang desa dan masyarakat yang
ada di lingkungannya adalah pemerintah daerah tingkat II. Karena itulah rencana pembangunan
itu ditetapkan oleh pemerintah tingkat II melalui pembangunan jangka menengahnya.
Sedangkan pelaksanannya harus melibatkan masyarakat desa. Pembangunan kawasan perdesaan
ini, juga memperlihatkan bahwa pembangunan di kawasan tersebut harus mampu menyesuaikan
diri dengan kawasan daerah tingkat II yang ada di desa tersebut.
Keterkaitan hubungan antara pemerintah kota atau kabupaten, termasuk juga dengan
pemerintah pusat dan propinsi dalam hal pembangunan desa, masih sangat erat. Ini misalnya
terlihat bahwa pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini,
bertujuan paling tidak menyesuaikan dengan model pembangunan yang ada di kota atau
kabupaten. Bahwa penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan
pembangunan, sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota. Karena itu, meskipun pembangunan
kawasan pedesaan ini tetap melibatkan aparat dan masyarakat desa, tetap ketentuan lanjutan dari
perencanaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan ini, tetap diatur dalam peraturan
daerah kabupatan/kota.
Ketentuan demikian, disamping bertujuan untuk memberikan bantuan terhadap arah
pembangunan desa, juga dimaksudkan mengontrol pembangunan desa agar menyesuaikan
dengan pola pembangunan di kabupaten/kota. Hal ini penting karena dalam konsep
pembangunan perdesaan itu, lebih menentukan pada pembangunan antar desa yang ada di
kabupaten tersebut. Karena merupakan pembangunan antar desa, dapat saja model dan bentuk
pembangunannya terintegrasi yang menyesuaikan dengan pola pembangunan yang dirancang
kota. Ketentuan pembangunan perdesaan ini mengandung makna tersembunyi. Artinya pembuat
undang-undang ini telah mengetahui bahwa kota-kota di Indonesia itu cepat berkembang, dimana
perkembangannya sering kali menjalar sampai ke desa-desa yang ada di sekitar kota. Agar tidak
memunculkan persoalan-persoalan sosial di kemudian hari, maka kota atau kabupaten mencoba
melihat konteks perkembangan yang ada di kota itu sesuai dengan kebutuhan dan ciri dari
daerah tingkat II yang ada. Sebuah kabupaten telah mempunyai perencanaan jangka menengah,
sehingga pelaksanaan pembangunan di desa haruslah sesuai dengan perencanaan tersebut.
Misalnya, pembangunan diarahkan ke wilayah barat, maka desa-desa yang ada di wilayah timur
mesti menyesuaikan diri dengan rencana tersebut. Sekarang, perluasan permukiman misalnya,
sering kali menggerus desa-desa yang ada di wilayah berdekatan dengan kota atau pusat
kabupaten sehingga justru mampu memunculkan persoalan-persoalan sosial.
Ibu kota kabupaten atau kota sering kali menjadi sasaran urbanisasi akibat pembangunan
yang tidak merata. Karena itu, dalam kaitan dengan pembangunan perdesaan yang menekankan
saling kebersamaan pembangunan antar desa tersebut, sangat berguna untuk menentukan pilihan-
pilihan pembangunan yang sesuai dengan keunggulan maupun ciri dari kabupaten maupun kota
tersebut. Misalnya untuk mencegah munculnya urbanisasi, maka pemerintah kabupaten dapat
saja membangun industri kopra di desa-desa yang mempunyai sentral pohon kelapa. Pemerintah
kabupaten dapat membuat peraturan tentang perencanaan tersebut, demi menahan arus urbanisasi
yang kemungkinan terjadi. Di Tabanan Bali, misalnya, wilayah Selabih, Surabrata dan
sekitarnya sanat tepat dipakai sebagai sentra pengolahan kelapa.
Dalam jangka pendek, terutama di jaman sekarang (2014-2020), yang harus
diperhatikan fokus pembangunannya adalah pada desa-desa yang berdekatan dengan kota
kabupaten. Di Bali, desa-desa yang ada di wilayah Bali selatan haruslah mewaspadai
perkembangan perkembangan kota kabupaten ini. Dikhawatirkan desa-desa yang ada di pinggir
kota ini akan diserobot pembangunan sebagai imbas dari kesesakan arus urbanisasi yang
berlangsung di kota. Desa-desa yang ada di wilayah Badung misalnya, sudah sangat sesak oleh
penduduk, pembangunan perumahan, tempat hiburan dan sebagainya sebagai akibat dari
padatnya arus urbanisasi ke kabupaten Badung dan memadati Mangupura. Khusus di kota
Denpasar misalnya, haruslah diperhatikan bahwa semakin sesaknya penduduk di kota akan dapat
menggerus nilai-nilai budaya yang ada di desa-desa yang ada di kota, terutama yang berkaitan
dengan masalah adat dan kebiasaan masyarakat Hindu Bali.
Proses pembangunan perdesaan ini, yang bersesuaian dengan pola pembangunan di
kabupaten akan mempunyai akibat lebih kuat kalau dilakukan secara bersama-sama. Jadi
melakukan kerjasama atau melakukan integrasi pembangunan dengan beberapa desa, akan
mendapatkan hasil yang lebih baik. Ini disebabkan, kesepakatan antar desa itu dapat dipandang
sebagai bendungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Yang paling tepat, kerjasama
itu harus dilakukan oleh desa-desa yang benar-benar berada di pinggir kota atau dengan fokus
pada desa-desa yang melingkari kota kabupaten.
Landasan Sosiologis Keterikatan Kota dengan Desa
Dalam sejarah perkotaan di Indonesia, pembentukan kota tidak dapat dipisahkan dengan
pembentukan desa terlebih dahulu. Dalam arti, pemukiman padat di kota diawali oleh
pemukiman yang mirip dengan pedesaan. Sudah menjadi jelas bagi masyarakat Indonesia bahwa
tempat tinggal itu harus berdekatan dengan air dan tanah pertanian. Filosofi ini mirip dengan
cara-cara yang dilakukan oleh orang nomaden atau perkebunan berpindah. Air dan tanah
merupakan penopang kehidupan manusia. Karena itu, desa yang terbentuk pasti berdekatan
dengan sungai atau dengan sumber air. Di Bali, identitas ini terlihat cukup jelas karena hampir di
setiap desa selalu dijumpai sungai atau sumber air. Bahkan juga desa-desa di pegunungan
didirikan berdekatan dengan sumber air.
Dilihat dari konteks perkembangan demikian, dapat dikatakan bahwa di daerah perkotaan
setidaknya ditemukan adanya lebih dari satu sungai, atau sungai yang panjang dan besar. Hal ini
merupakan perkembangan dari keberadaan desa di masa sebelumnya. Kota, dengan demikian
dapat merupakan perkembangan jumlah penduduk dari desa yang berwilayah luas. Atau
merupakan gabungan dari beberapa desa yang berada di sekitar sungai, yang secara geografis
mempunyai wilayah berdekatan. Paling kurang penduduk desa tersebut saling meluber secara
geografis dan akhirnya menyatukan diri menjadi kota. Hal ini misalnya terlihat, dalam kasus di
Bali, di kota, baik di Denpasar, Tabanan, Klungkung dan kota-kota lainnya. Banyak terdapat
desa yang disebut dengan desa pakraman atau desa adat yang merupakan kesatuan masyarakat
tradisionil di Bali. Desa dinas pun terdapat di dalam kota.
Dengan logika perkebangan demikian, maka banyak ciri-ciri ataupun identitas desa
masih melekat pada perkembangan kota. Pola pemukiman misalnya, masih banyak dijumpai pola
pemukiman kampung yang ada di perkotaan. Di Bali, rumah penduduk di kota mempunyai
kesamaan dengan apa yang ada di desa. Pola pemukiman tradisional masyarakat Bali setidaknya
dibagi menjadi empat atau lima bagian. Rumah tidur utama, ada pada bagian barat menghadap ke
timur. Dapur ada di bagian selatan, rumah tempat menyimpan sarana upacara di bagian utara dan
di bagian tengah ada rumah untuk melaksanakan ritual upacara. Pada bagian timur laut,
merupakan lokasi tempat persembahyangan keluarga. Tempat untuk beternak ada di belakang
rumah utama. Model pemukiman seperti itu juga masih terlalu jamak dan dijumpai di kota-kota
di Bali. Demikian juga dengan pola tempat tinggal sosial.
Pola tempat tinggal sosial masyarakat Indonesia, dan juga di Bali sebarannya
mengelompok dan mengembang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Rumah inti yang
merupakan rumah tua, dikelilingi oleh rumah-rumah lain, merupakan pengembangan dari
keluarga inti, yang berdekatan satu sama lain. Artinya dalam satu lingkungan, dijumpai sanak
keluarga yang juga beranak pinak. Di Bali, pola tempat tinggal yang berakar keluarga ini
mengelilingi satu halaman yang luas. Akan tetapi, lama kelamaan halaman ini bertambah sempit
sesuai dengan perkembangan jumlah anggota keluarga yang telah bertempat tinggal. Perumahan
yang ada dihiasi oleh pola-pola perumahan seperti itu. Di Bali, kesatuan kehidupan sosial paling
kecil diatas keluarga, disebut dengan banjar. Menurut sejarahnya, munculnya kata banjar
tersebut tidak lain disebabkan oleh adanya deretan rumah yang berjajar. Karena itu disebut
dengan banjar. Pola perumahan yang mengelompok sesuai dengan anggota keluarga juga
dijumpai di kota-kota lain di Indonesia. Khusus di Bali, model rumah yang berjajar seperti
berbanjar tersebut, juga dijumpai di kota.
Pola kehidupan sosial kota juga mempunyai korelasi dengan pola kehidupan sosial di
desa, bahkan di kota-kota besar sekalipun. Karena geografisnya luas, terdiri dari ladang dan
persawahan serta perumahan yang tidak demikian banyak, sebagian masyarakat di pedesaan
memelihara hewan dengan cara membiarkannya berkeliaran di ladang. Atau untuk menghindari
adanya pencurian, hewan-hewan besar seperti sapi atau kambing dibuatkan kandang tepat di
belakang rumahnya. Unggas juga dipelihara dengan cara membiarkannya bebas berkeliaran,
sehingga masuk ke pekarangan rumah bahkan ke kamar-kamar tempat masakan dan tempat
tidur. Pola pemeliharaan seperti itu, sampai saat ini masih dijumpai di kota. Di Surabaya
kambing masuk halaman kampus. Di Bali, sapi masih berkeliaran di jalan raya dan perumahan.
Di Jakarta, masih banyak masyarakat yang membuat kandang sapi di belakang rumahnya. Ini
menandakan bahwa latar belakang kota itu, berawal dari desa beserta dengan kehidupannya.
Atau masyarakat yang tinggal di kota itu sesungguhnya mempunyai latar pedesaan.
Dalam konteks demografis, tidak dapat dilepaskan bahwa pertumbuhan berbagai kota di
Indonesia disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Berbagai perilaku yang dipaparkan di depan
tadi, juga tidak dapat dilepaskan oleh perilaku urbanisasi tersebut. Ketimpangan pembangunan
serta infrastruktur yang tidak mendukung, membuat pembangunan di desa sangat tidak imbang
apabila dikaitkan dengan kota. Jalan yang rusak membuat pola pengangkutan barang kebutuhan
masyarakat menjadi tersendat atau malah mahal. Demikian pula sebaliknya untuk pengangkutan
barang yang ada di desa. Hal inilah membuat kehidupan di desa lebih sulit dibanding dengan
kota. Jawaban untuk menghadapi persoalan ini adalah dengan cara berpindah dan bekerja di
kota. Pada sisi lain, masyarakat desa masih belum mengetahui bagaimana pola dan cara hidup di
kota. Tidak adanya pengetahuan tentang pola kehidupan ini membuat para urban tersebut
memakai model hidup di pedesaan menuju ke kota, tempatnya bekerja sekarang. Disamping
membuat kandang ayam di perumahan, contoh lain tentang pola hidup desa ini adalah pola
mencuci. Mereka mencuci di belakang gubuk atau lapak tempat berdagang. Padahal lapak itu ada
di jalan di kota atau di trotoar. Akibatnya jalan dan trotoar menjadi kotor karena menjadi tempat
pencucian.
Dengan demikian, kehidupan sosial yang ada di kota tersebut hampir sama dengan apa
yang ada di desa. Dalam konteks sejarah membentukan kota, desa merupakan cikal bakalnya. Ini
dibuktikan dengan adanya beberapa desa yang “melekat” di dalam kota. Sedangkan pola
interaksi sosial yang ada di kota, mempunyai kesamaan dengan apa yang ada di desa karena kota
dipenuhi oleh kaum urban yang datang dari desa.
Bahkan, kalau dilihat dari kondisi sekarang, meskipun Indonesia sudah masuk kedalam
negara modern secara sosial, tetapi kehidupan-kehidupan model pedesaan tetap terlihat di kota.
Salah satu dari indikator modernnya kehidupan sosial masyarakat adalah penggunaan teknologi.
Kendaraan bermotor, baik yang berjenis mobil maupun kendaraan roda dua, kini sudah dimiliki
oleh sebagian besar masyarakat sampai ke desa. Akses terhadap informasi juga menjadi salah
satu ciri dari masyarakat modern. Dilihat dari sudut ini, penggunaan telepon seluler serta
kepemilikan televisi, memberikan indikasi bahwa sebagian besar masyarakat sudah masuk dalam
ranah modern. Cara mengolah lahan pertanian, sampai cara memasak sekarang sudah lebih
banyak menggunakan tenaga bukan manusia. Penggunaan traktor pertanian sampai dengan alat
pengulik sambal sudah memakai teknologi. Di pedesaan juga banyak dijumpai kompor gas yang
membuat masyarakat tidak lagi mencari kayu bakar untuk memasak di dapur. Sekali lagi, ini
merupakan indikator kemajuan. Di kota-kota hampir seluruhnya dijumpai hal seperti yang
diungkapkan diatas.
Akan tetapi kalau dilihat dari perilaku dan sikap terhadap lingkungan, tindakan sosial
yang dilakukan masyarakat antara desa dengan kota, tidak ada perbedaan yang signifikan.
Perilaku-perilaku desa masih banyak kelihatan di kota. Misalnya seorang pedagang masih
seenaknya membuang sampah di sekitar tempat berjualan atau mencuci piring di sekitar tempat
berjualan. Padahal lokasi berjualan itu di pinggir jalan. Apabila berjualan di desa, dengan lokasi
yang masih luas, tentu cara seperti itu masih dapat dipandang biasa meskipun tidak sopan, akan
tetapi masyarakat kota yang tempatnya sangat sempit, dan penduduknya banyak serta lahan
yang sudah terbagi-bagi, tidak pantas untuk melakukan perbuatan seperti itu. Demikian pula
apabila kita lihat dengan pola pemeliharaan hewan. Di desa, sapi misalnya dipelihara dengan
cara dilepaskan di ladang atau ayam dibiarkan lepas di ladang. Akan tetapi, di kota-kota sekarang
masih sering terlihat sapi yang berjalan liar tanpa dikawal oleh pemiliknya. Atau ayam yang
tidak dikandangkan. Belum lagi dengan cara berbicara yang masih dengan volume keras seperti
di sawah atau di ladang.
Apa yang diungkapkan diatas, merupakan perilaku-perilaku desa yang masih tetap
melekat di kota-kota di Indonesia, yang pada akhirnya memberikan pemahaman bahwa antara
kota dengan desa di Indonesia masih cukup lekat secara sosiologis.
Kepentingan Keterkaitan antara Kota dengan Desa
Undang Undang No. 6 Tahun 2014, tentang Desa, menyatakan bahwa desa itu juga ada
di kota. Pasal 5 menyatakan bahwa desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Sedangkan
pada pasal 1 tentang Ketentuan Umum ada yang menyebutkan kawasan perdesaan, yaitu
kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pasal 83 menyiratkan kalau kawasan
perdesaan ini ada di lingkungan wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, desa yang
dimaksudkan dalam undang-undang ini tidak semata-mata seperti yang ada dalam bayangan
orang dengan ciri-ciri seperti jauh dari perkotaan, ada di kawasan pegunungan, sepi dan
sebagainya, tetapi desa juga ada di kota atau perkotaan. Dimana wilayah-wilayah pertanian pun
sebenarnya juga ada di daerah perkotaan, sesuai dengan undang-undang ini.
Ada beberapa hal yang dapat dilihat tentang keterkaitan antara desa dengan kota, apabila
dihubungkan dengan persoalan sosiologis. Yang harus dilihat dari sisi struktural bahwa kota
dapat dikatakan mempunyai perkembangan sosial yang lebih dinamis dibandingkan dengan desa.
Perkembangan kedinamisan itu, tidak sekedar sebagai akibat dari sarana kota yang lebih
dibanding dengan desa, tetapi berdasarkan kelebihan tersebut tingkat kemampuan intelektual dan
rasionalitas masyarakat kota, pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang
ada di pedesaan. Sekolah dari tingkat rendah sampai dengan perguruan tinggi, lebih banyak di
kota. Berbagai jenis perkantoran, pasar dan pertokoan lebih banyak di kota. Ruang untuk
melakukan diskusi dan dialektika, juga lebih banyak di kota. Termasuk juga dengan arena
hiburan dan ruang untuk saling berinteraksi sosial. Itulah yang membuat dinamika kota lebih
banyak ada di daerah perkotaan.
Akan tetapi mengingat sejarah kota, seperti yang disebutkan diatas berasal dari dari desa,
maka di dalam kota pun masih dijumpai eksistensi desa dengan segala identitasnya, yang kalau
tidak diperhatikan secara cermat akan dapat menghapuskan identitas dan keberadaan masyarakat
desa. Pemikiran rasional yang dimiliki oleh masyarakat kota, akan mampu menghilangkan
identitas tersebut. Dengan menerapkan teknologi mesin pemotong rumput misalnya, gotong
royong untuk membersihkan lingkungan akan terhapus. Di Bali pemikiran ekonomis membuat
masyarakat lebih memilih membeli sarana upacara, dibanding dengan membuatnya secara
bersama-sama. Inilah beberapa contoh yang memungkinkan praktik gotong royong yang ada di
desa akan punah. Padahal gotong royong itu mempunyai nilai kebersamaan yang memungkinkan
saling memahami saling keperluan antar individu yang membuat persaudaraan tetap utuh, untuk
mencegah konflik dan kekerasan.
Kota sebagai lokus pemikiran dan rasionalitas, dengan tingkat komposisi pemikir lebih
banyak, bahkan dapat dikatakan sebagai pusat, mempunyai kedudukan struktur sosial lebih
tinggi dibanding dengan desa. Karena itu dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini,
sebagian ketentuan untuk mengatur desa tersebut, harus bersumber dari kota (kabupaten).
Belanja desa misalnya, seperti yang ditentukan dalam pasal 74, disesuaikan dengan prioritas
pemerintah kabupaten/kota, pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah Indonesia. Laporan
penyelenggaraan dari kepala desa juga harus dilaporkan kepada walikota setiap tahun dan saat
mengakhiri jabatanya, kepala desa harus melapor kepada pemerintah kabupaten/kota. Bahkan
pemberhentian atau merahabilitasi nama baik kepala desa, dilakukan oleh walikota (bupati).
Pembuatan peraturan desa juga harus dikoordinasikan dengan walikota untuk mendapat evaluasi,
terutama tentang anggaran pendapatan, tata ruang serta organisasi pemerintahan desa.
Dengan ketentuan seperti itu, secara struktural desa masih berada dalam pengawasan dari
kota. Akan tetapi langkah dan proses pengawasan atau pengaturan atau pengendalian desa
tersebut mempunyai kepentingan yang positif.
Keterkaitan antara kota dengan desa pada konteks seperti yang disebutkan diatas itu
dalam hal asas pengaturannya bisa dikatakan sebagai asas pemberdayaan dan keberlanjutan.
Pada penjelasan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tetang Desa ini disebutkan bahwa asas
pemberdayaan dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai esensi masalah
dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Sedangkan asas keberlanjutan dimaksudkan sebagai
suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.
Dari titik itulah dapat dilihat bagaimana pentingnya hubungan antara desa dan kota
dalam hal perdesaan yang ada di kota. Dengan cara memberikan keterkaitan pendanaan desa
disesuaikan dengan prioritas keuangan dari kota misalnya, pembangunan yang ada di desa dapat
disesuaikan dan dikoordinasikan dengan pembangunan yang ada di kota. Misalkan dalam taraf
ijin pembangunan ruko modern, desa-desa yang ada di kota tidak harus seluruhnya ikut-ikutan
memberikan keleluasaan pembangunan ruko apabila salah satu desa yang berdekatan telah
didirikan toko dengan berbagai jenis barang yang dijual. Ruko tersebut terjangkau dari berbagai
desa yang ada di sekitarnya, dengan menggunakan sarana transportasi yang telah ada.
Pembangunan terminal juga akan melihat pada lokasi terminal yang sudah ada. Demikian juga
soal pembangunan pasar tradisionil.
Cara mengkoordinasikan pembangunan seperti itu akan mampu memberikan pentahapan
perkembangan perluasan kota secara teratur dan bertahap, dan memberikan pentahapan
penyesuaian diri kepada masyarakat untuk mengikuti pola-pola kehidupan masyarakat kota,
dengan rasionalitas yang dimilikinya. Dengan demikian, identitas kehidupan sosial masyarakat
desa akan dapat disesuaikan dan dikembangkan secara sistematis dan terarah. Adanya
kecenderungan kota yang tetap memberikan campur tangan terhadap perkembaangan desa (yang
ada di perkotaan), disebabkan oleh perkembangan globalisasi, perkembangan sosial terutama
arus urbanisasi, tidak dipahaminya makna perundang-undangan oleh masyarakat sampai dengan
munculnya egosentris pemikiran individual yang dianut oleh oknum-oknum pengembang. Di
Bali, terutama di kota-kota yang ada pada wilayah Bali bagian selatan, perkembangan kota ini
sangat tidak kondusif karena menghabiskan wilayah-wilayah perdesaan dan tidak sesuai dengan
tata ruang yang telah disediakan. Munculnya banyak perumahan, ruko, dan berbagai fasilitas
sosial, sangat tidak memberikan dukungan bagi pemeliharaan identitas-identitas masyarakat
pedesaan. Kota, bagaimanapun merupakan pengembangan dari masyarakat desa.
Memanfaatkan Keterkaitan Kota dengan Desa
Pola struktur yang lebih mengedepankan kota dibanding desa, memberikan keuntungan-
keuntungan disamping juga faktor negatif yang melekat kepadanya. Dalam konteks karakter
kependudukan, di Indonesia, penduduk di perkotaan lebih mempunyai tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dibanding dengan desa. Sekolah dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak berdiri
di kota. Dalam perkembangan dunia global, perubahan sosial dan modernisasi selalu menjadi
langkah yang dinilai sebagai sebuah kemajuan. Dalam arti lebih memperingan hidup manusia
dan memberikan kenyamanan. Intinya masyarakat kota lebih rasional. Dengan demikian, dalam
kerangka memajukan desa yang ada di dalam lingkungan kota, desa yang menjadi subordinat
kota, mendapatkan posisi yang penting. Yang pertama, bahwa sesuai dengan pola pemikiran
global, modernisasi dan perubahan sosial yang ada, secara lambat laun desa yang ada akan
terpengaruhi oleh kehidupan kota. Atau dalam bahasa yang lebih kasar, tergerus oleh
perkembangan kota. Padahal gerusan dan perkembangan kota yang tidak terkendali justru akan
mampu merusak tatanan kehidupan desa. Masyarakat yang terbiasa dengan hidup sebagai
pedagang barang kelontong misalnya, tidak akan mampu secara cepat beradaptasi dengan
perdagangan jasa. Memerlukan pendidikan dan keterampilan lanjutan apabila seorang pedagang
minyak tanah menjadi pedagang jasa penukaran uang. Apalagi apabila asal muasal itu dari
seorang petani.
Maka, keunggulan pemikir-pemikir yang dimiliki oleh masyarakat kota, termasuk
pengalaman kontak sosialnya dengan lebih banyak komponen, akan mampu memberi
pengarahan untuk memilih prioritas pembangunan di desa yang berada di lingkungan perkotaan.
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa ini juga menyebutkan bahwa anggaran belanja
yang akan digunakan oleh desa, menyesuaikan dengan prioritas dari kota. Ini artinya
penyesuaian-penyesuaian itu harus dilakukan. Dalam perkembangan kota mutakhir, perencanaan
perluasan kota tersebut sangat dipentingkan. Desa-desa yang ada di pinggir kota sering kali
menjadi sasaran untuk perluasan kota dalam bentuk pembangunan pemukiman dan pusat
perdagangan. Para perencana kota yang terdiri dari para pemikir-pemikir, akan mampu memilih
dan memilah wilayah mana dan desa mana yang akan dikembangkan untuk itu, dengan
melakukan berbagai pertimbangan, mulai dari aspek sosial-lingkungan, kebudayaan, ekonomi
sampai dengan pertimbangan politis. Desa yang mempunyai lahan luas dan kosong dengan
tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih minim, boleh saja dikembangkan menjadi wilayah
pemukiman baru, dengan syarat yang ketat ada persetujuan dari warga. Tentu juga warganya
harus diberikan penjelasan dari berbagai aspek tentang akibat dari adanya perluasan pemukiman
tersebut.
Dalam kasus di Bali, mulai dari jaman Orde Baru sampai sekarang, kecenderungan untuk
mengabaikan pendapat masyarakat desa cukup kelihatan. Di jaman Orde Baru, perluasan kota
untuk membuat pemukiman sering memakai alasan demi kepentingan pemerintah, meskipun hal
itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan pengembang. Inilah yang membuat perluasan kota
sering masuk sampai ke desa-desa sekitar kota. Di jaman reformasi, uang menjadi alat utama
(plus ancaman dari kelompok), yang diiming-imingi kepada rakyat pemilik lahan untuk menjual
tanahnya. Secara kebetulan biaya kehidupan sosial di Bali cukup tinggi dan biaya untuk upacara
agama juga tinggi sehingga memudahkan uang itu menjadi target penduduk untuk menjual
lahannya.
Dari sisi pemanfaatan dan pengenalan potensi sumber daya, keterkaitan pola subordinasi
antara kota dengan desa memungkinkan kerjasama antara dua pihak. Artinya komponen-
komponen masyarakat kota (seperti para ahli) melakukan identifikasi sekaligus sistematika
potensi sumber daya yang dimiliki oleh desa. Identifikasi inilah yang kemudian dapat
ditinjaklanjuti dalam bentuk kerjasama antara dua pihak untuk dikembangkan agar dapat
memajukan kota dan desa tersebut. Pembuatan batu bata misalnya, jelas bukan merupakan
kebutuhan orang desa saja, tetapi pembangunan yang ada di kota termasuk cara pemasarannya
dan modernisasi yang dilakukan, memerlukan keahlian orang kota juga. Peraturan yang dibuat
untuk mengembangkan desa, dimungkinkan diberikan evaluasi oleh walikota sehingga dalam
eveluasi tersebut dimungkinkan adanya ayat tambahan untuk membuat peraturan sehingga
menguntungkan kedua belah pihak. Atau para ahli dan perkantoran yang ada di kota membuat
kebun percobaan di desa tertentu.
Dari sini dapat dikatakan bahwa komposisi subordinat desa terhadap kota mempunyai
manfaat positif dalam kerangka menggradualkan perkembangan desa yang ada di dalam kota.
Perkembangan itu tidak dilarang akan tetapi ditahapkan sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang
dimiliki oleh rasionalitas masyarakat kota. Budaya desa tidak selamanya kalah dengan budaya
kota. Dengan cara pandang seperti ini akan terdapat dialektika antara budaya dan cara berfikir
orang kota dengan orang desa, sehingga pada masa depan akan ada pilihan-pilihan bagi anggota
masyarakat demi menjalankan kehidupan sosialnya. Kehidupan seperti ini di Indonesia tetap
perlu dipertahankan sebagai pengimbang kemajuan rasionalitas pada masyarakat kota.
Memang, kelemahan dari sifat subordinat ini lebih mengekang kehidupan sosial yang ada
di pedesaan. Pengekangan ini membuat banyak ide-ide yang mungkin terhambat. Misalnya
apabila ada desa yang menginginkan berdirinya kompleks industri demi pekerjaan yang
didapatkan oleh penduduknya. Akan tetapi, pengontrolan keinginan seperti itu justru sangat
diperlukan karena tidak semuanya kompleks industri dapat menguntungkan desa bersangkutan.
Jadi kota tetap harus memperhatikan perkembangan desa yang ada di perkotaan. Dengan
demikian, maksud undang-undang ini lebih mempunyai sifat ordinat bagi desa adalah demi
menjaga pembangunan antara dua pihak tersebut dapat melakukan pentahapan secara lebih baik,
memelihara budaya-budaya tradisionil dan mengembangkan budaya, terutama budaya positif
yang dapat digunakan untuk orang banyak. Sifat altruistis yang sekarang mulai didengung-
dengungkan, sebenarnya termaknai sebagai budaya perhatian, simpati dan empati kepada pihak
lain, yang bersumberr dari budaya pedesaan, yang berbasis pertanian. Tentu juga yang menjadi
kepentingan dalam undang-undang ini adalah mampu memberikan penyeimbangan antara
perkembangan kota dan desa di masa depan.
BAB 2
MENGGALI POTENSI SUMBERDAYA DI PEDESAAN
Salah satu pemikiran yang muncul terhadap keberadaan Undang-Undang No 6 Tahun
2014 tentang Desa ini adalah keinginann untuk menggerakkan desa dengan potensi-potensi yang
dimilikinya. Karena desa jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, maka dapat dikatakan tidak
semua desa mempunyai potensi sumber daya manusia yang sama antara satu desa dengan yang
lain. Bentangan geografis Indonesia yang jutaan kilometer luasnya, dengan sifat geografis yang
bermacam-macam tidak memungkinkan kesamaan itu. Di Pulau Jawa dan Bali misalnya, banyak
dijumpai daerah pegunungan. Beberapa dari gunung itu aktif meletus atau dalam sejarahnya
pernah meletus. Ini yang membuat kekayaan alam di dua pulau tersebut lebih bervariasi serta
tanahnya subur. Di Papua, geografisnya lain lagi karena kaya dengan bahan tambang. Demikian
juga dengan Pulau Sumatra, Kalimantan serta Sulawesi yang kaya dengan bahan pertambangan.
Apabila dilihat dari konteks budaya, Indonesia ini juga sangat kaya ragam. Catatan yang
pernah ada menyebutkan bahwa paling kurang Indonesia terdiri dari 250 suku bangsa. Masing-
masing suku ini mempunyai budaya, seni, kebiasaan, sejarah yang berbeda-beda yang dapat
ditampilkan sebagai sebuah kekayaan budaya yang dapat diolah. Misalnya ditampilkan sebagai
sebuah pesta kesenian yang dapat mengundang turis. Budaya merupakan salah satu aset desa
yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pendapatan desa kelak. Di Bali, dengan
kekayaan budayanya mempunyai bentuk budaya dalam wujud kesenian tradisionil yang
demikian banyak ada di setiap desa. Tari Sanghyang dengan berbagai bentuknya itu, tidak hanya
dijumpai di satu tempat tetapi juga ada di berbagai tempat, dengan wujud yang berbeda.
Disamping itu atraksi budaya yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk seni seperti Perang Tipat di
Kapal, Mekotek di Tabanan, atau Omed-Omedan di Sesetan, merupakan atraksi yang dapat
diklaim sebagai milik desa dan kemudian diberdayakan untuk kemanfaatan desa tersebut. Salah
satu resiko dari pemberdayaan desa ini adalah komersialisasi terhadap upacara-upacara ritual
yang sebelumnya dipandang sakral.
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa sesungguhnya menginginkan adanya
pemberdayaan sumber daya desa ini agar ke depan desa mampu mandiri. Dalam penjelasan
undang-undang ini, disebutkan bahwa tujuan dibentuknya pengaturan desa melalui keluarnya
undang-undang, ada sembilan butir. Dari seluruh butir tersebut, setidaknya sebagian
mempunyai kaitan dengan upaya memberdayakan sumber daya desa, aset desa untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Tujuan itu adalah mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi
masyarakat desa untuk mengembangkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum; memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.
Dari tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa, ada beberapa kalimat
kunci yang dapat dilihat yaitu, masyarakat desa harus dijadikan sebagai subyek pembangunan.
Disini harus dilihat bahwa pembangunan yang hendak dilakukan di desa, tidak boleh
menyimpang dari lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang ada di desa tersebut. Proyek
pembangunan yang akan dilaksanakan harus mengacu kepada lingkungan tersebut. Perencanaan
pembangunan dan pengembangannya harus dimulai dari apa yang ada di desa. Misalnya, apabila
di desa itu ada bendungan, maka proyek pembangunan dan pengembangan ke depan, haruslah
dimulai dari bendungan ini. Artinya pengembangan dapat dari pertanian, pengembangan
pariwisata air, budidaya perikanan, dan seterusnya. Apabila kebanyakan masyarakat di desa
tersebut dalam kehidupan sosialnya sebagai pedagang, maka haruslah dikembangkan upaya-
upaya pengembangan jiwa wirausaha, terutama bagi generasi penerusnya.
Kalimat kunci lain yang dapat dilihat dari tujuan tersebut adalah pengembangan potensi
dan aset desa demi kesejahteraan bersama. Dengan kalimat kunci seperti ini, maka yang
dipentingkan adalah mengenali potensi sumber daya manusia yang ada di desa untuk
mengembangkan potensi dan aset tersebut. Dalam kehidupan sosial sekarang, sesungguhnya
tantangan besar terletak disini karena orientasi pemuda desa, kebanyakan ke kota atau ke
wilayah-wilayah yang telah menyediakan lahan untuk langsung bekerja. Misalnya, pemuda desa
yang sudah mempunyai keterampilan, tamat diploma, tamat sarjana bahkan tamat doktor,
memilih bekerja di bank, di perhotelan dan sebagainya. Padahal, maksud dan tujuan dari undang-
undang ini adalah untuk menahan mereka-mereka itu keluar desa dan mengenali potensi yang
ada di desanya. Untuk hal ini, beberapa cara dapat dilakukan demi mengembangkan potensi desa
yang ada. Yang pertama, dalam bidang pendidikan tinggi, para dosen atau pengajar berupaya
mengenalkan pemahaman kepada mahasiswa tentang manfaat pembangunan desa, pengenalan
potensi sumber daya desa yang dimilikinya atau pemahaman tentang bagaimana perlunya
pembangunan desa demi memamtapkan pembangunan nasional. Kedua, dalam hal demikian,
para pejabat desa, baik kepala desa maupun tokoh-tokoh desa harus pro aktif melihat potensi
generasi mudanya, dan kemudian memberikan pesan kepada lembaga pendidikan dimana
pemuda itu melanjutkan pendidikan, agar kelak pemuda tersebut bersedia kembali ke desa.
Ketiga, desa dapat mengeluarkan bantuan keuangan untuk ikut membiaya pemuda melanjutkan
sekolah. Dan keempat adalah, pemantauan dini kepada sumber daya manusia desa, tentang
keahlian-keahlian yang dimiliki. Selanjutnya memberikan biaya melanjutkan pendidikan sesuai
dengan keterampilan yang dimiliki. Dengan cara demikian, akan dapat diupayakan partisipasi
warga untuk memanfaatkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.
Peningkatan pelayanan publik juga merupakan kata kunci menarik. Tidak lain, ini
ditujukan kepada aparat-aparat desa yang bekerja di birokrasi desa. Disamping aparatur desa
yang bertugas harus ditingkatkan kualitasnya, penting juga diperhatikan kualitas instrumen-
instrumen yang dipakai untuk melayani masyarakat. Intinya adalah bagaimana aparat tersebut
sigap, kosentrasi dan dengan menggunakan prasarana yang modern, dapat memperingkas
pelayanannya kepada masyarakat, membuat rakyat merasa puas dan senang ketika berususan
dengan kantor kepala desa. Pembuatan kartu penduduk yang memerlukan waktu hanya satu hari,
tentu akan mempercepat proses lanjutan lainnya sehingga percepatan ini dapat mewujudkan
kesejahteraan umum. Pemakaian komputer dan internet, menjadi persyaratan pokok bagi
keberlangsungan dari keberhasilan desa di masa depan.
Pembangunan desa pada akhirnya merupakan upaya untuk menghilangkan kesenjangan
nasional. Untuk menghilangkan kesenjangan ini, tidak lain cara yang dipakai adalah gerakan-
gerakan pada bidang ekonomi. Kritik paling banyak yang ditujukan kepada Indonesia saat ini
adalah adanya kesenjangan dengan dimensi banyak. Artinya, dalam konteks negara secara utuh,
kemakmuran ekonomi antara Indonesia di bagian barat dengan baagian timur, sangat senjang.
Pembangunan banyak dilakukan di bagian barat, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Jalan beraspal,
kendaraan serta pusat pengembangan intelektual, ada di wilayah Indonesia bagian barat.
Demikian juga halnya dengan proyek industri. Juga ada kesenjangan antara kota dengan desa.
Dalam proses pembangunan, kota seolah lebih dulu dikembangkan di dibanding dengan desa.
Akibatnya, banyak masyarakat desa mengalir ke kota dalam bentuk urbanisasi. Kesenjangan lain
antara kaya dengan miskin. Yang ditekankan dalam hal ini adalah lebar kesenjangan itu sangat
kentara. Contoh paling menyolok, justru dapat dilihat di Indonesia bagaian Barat, terutama di
Jakarta. Disamping hotel-hotel berbintang justru terlihat banyak sekali perumahan gubuk yang
memperlihatkan kontrasnya hasil pembangunan. Tidak hanya di Jakarta, kota besar lain seperti
Surabaya, Denpasar juga memperlihatkan disparitas kekayaan tersebut. Banyak masih dijumpai
ada pengemis dan gubuk-gubuk liar di pinggir jalan, padahal di beberapa wilayah hotel bintang
lima bertebaran.
Karena itulah kemudian, untuk menghindari adanya kesenjangan seperti ini,
pembangunan dengan pusat pedesaan akan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan
Indonesia. Satu hal paling utama yang dapat dilihat dari pembangunan di desa, adalah bahwa
proyek tersebut akan dapat menekan arus urbanisasi ke kota. Urbanisasi ini disebabkan oleh
tidak adanya kegiatan pembangunan atau kegiatan ekonomi di pedesaan sehingga kebutuhan
masyarakat tidak mampu dipenuhi dengan baik. Dengan kegiatan ekonomi yang reletif lebih
banyak di perkotaan, membuat urbanisasi itu meningkat. Menghentikan hal itu adalah dengan
menggerakkan perekonomian di pedesaan. Dengan cara seperti inilah kelak diharapkan tidak
akan terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dengan kota. Karena Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, maka yang menjadi sasaran adalah seluruh
pedesaan di Indonesia. Hilangnya kesenjangan inipun diharapkan untuk seluruh negara
Indonesia.
Maka, upaya-upaya untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan diatas, tidak lain
dengan cara memaksimalkan berbagai sumber daya yang ada di desa, dikembangkan dengan
karakter lingkungan dan identitas lingkungan di desa tersebut. Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 menyebutkan bahwa desa sesungguhnyaa telah mempunyai aset yang dapat dikelola. Pasal
76 undang-undang ini menyebutkan bahwa aset desa itu dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik
desa, pemandian umum dan aset lainnya milik desa.
Terutama setelah reformasi, Bali menjadi salah satu daerah yang paling banyak
mendapat luberan pendatang. Hal ini awalnya disebabkan oleh kerusuhan yang terjadi setelah
jatuhnya rejim Orde Baru. Bali yang dipandang aman, menjadi daerah tujuan tempat tinggal bagi
mereka-mereka yang berduit di Jakarta. Pada akhir kekuasaan Orde Baru juga terlihat ada
kelompok minoritas Tionghoa yang merasa terganggu tinggal di Jakarta, memindahkan tempat
tinggalnya di Bali.
Dampak lain dari kerusuhan Mei 1998 itu, yakni setelah runtuhnya Orde Baru adalah
penurunan aktivitas perekonomian negara. Investor banyak yang lari dari Jakarta sehingga mulai
banyak munculnya pengangguran di Jakarta khusunya dan di Jawa pada umumnya. Sebagai
daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan terbaik di Indonesia, maka
perekonomian Bali relatif tidak terganggu, kecuali pada dua kali peledakan bom di Kuta. Hal ini
pula yang mendorong adanya aarus urbanaisasi semakin banyak ke Pulau Bali. Kaum urban dan
pendatang inilah yang kemudian datang ke desa-desa di Bali, termasuk juga desa pakraman.
Salah satu akibat psoitif dari adanya hal ini adalah semakin banyaknya usaha penginapan
(kos-kosan) yang ada di pedesaan. Usaha seperti ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit
kepadamasyarakat yang membuka lahan itu. Di beberapa tempat, dibukanya upaya penginapan
atau kos-kosan di pedesaan ini mengubah secara mendasar mata pencaharian anggota masyarakat
dari sebelumnya menjadi petani kemudian menjadi pengusaha kos-kosan. Bagi mereka yang
mempunyai kemampuan kreatif dan memiliki usaha yang cukup banyak, usaha tersebut dapat
diperlebar juga dengan sampingan berupa usaha dagang, baik yang kecil maupun menengah.
Artinya ada masyarakat yang melebarkan usahanya dengan menyediakan usaha rantangan atau
jualan kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh mereka yang mengontrak kamar tersebut. Jika
bukan pemilik yang melakukan diversifikasi ini, masyarakat setempat juga dapat menggerakkan
perekonomian dengan membuka warung makanan. Jadi, mirip dengan upaya yang dilakukan
masyarakat kota.
Disamping upaya tersebut, di desa juga semakin banyak dijumpai usaha perbengkelan,
baik untuk kendaraan besar roda empat atau lebih maupun untuk roda dua. Relatif baik
tumbuhnya perekonomian Bali yang digerakkan oleh pariwisata, membuat dinamika gerakan
masyarakat semakin banyak, termasuk juga untuk mekukan aktivitas pariwisata yang jaraknya
cukup jauh dari desa di Tabanan ke Denpasar atau Badung. Dinamika ini pada akhirnya
membuat munculnya perpaduan antara kebutuhan gerak-cepat dengan kemampuan daya beli
masyarakat. Dipadu dengan relatif baiknya lalu lintas transportasi sampai ke desa-desa, maka
usaha perbengkelan itu dapat tumbuh sampai ke desa-desa. Dengan kemampuan daya beli
demikian, bukan hanya bengkel kendaraan roda dua yang ada, juga roda empat dengan bisnis
ikutannya, seperti karoseri dan pengelasan.
Karena listrik sudah mulai masuk desa-desa, maka alat-alat rumah tangga yang dapat
digerakkan dengan listrik juga banyak ada di desa. Sebagai penunjangnya, tidak hanya ada
usaha perbengkelan alat-alat listrik ini tumbuh di desa, akan tetapi juga toko-toko yang menjual
alat-alat listrik. Di daerah Kecamatan Kerambitan, terutama di bagian yang dibelah oleh alur
jalan raya Denpasar-Gilimanuk, segala macam barang-barang yang dijual di kota, termasuk
juga jenis-jenis usaha yang ada di perkotaan, seperti misalnya di kota Denpasar, juga ada di
sepanjang jalan tersebut. Ini disebabkan karena berbagai kebutuhan pengguna jalan raya sangat
beragam. Bahkan kompleks industri juga mulai merambah wilayah ini. Kecenderungan sosial
awal abad ke-21 (tahun 2015), kepadatan kota telah meningkat dengan banyaknya kaum urban
yang datang. Fenomena ini menyebabkan wilayah-wilayah untuk membangun kompleks
perindustrian semakin susah dijumpai. Karena itu untuk membangun kompleks perindustrian
yang semakin dibutuhkan masyarakat, pindah ke pedesaan. Dan wilayah desa yang dipilih
adalah yang dekat dengan jalan poros Denpasar-Gilimanuk serta mempunyai jalan aspal yang
kondisinya baik. Inilah yang membuat industri seperti perakitan mobil, gudang mobil, industri
furniture berdiri di wilayah pedesaan. Misalnya di Desa Pangkungkarung, Banjar Selingsing
tempat lokasi furniture.
Suasana dan ciri masyarakat desa yang agraris tersebut sudah boleh dikatakan hilang
pada jalur-jalur seperti ini. Desa-desa yang ada di jalur ini hanya dicirikan oleh desa pakraman,
yaitu adanya tempat persembahyangan Khayangan Tiga, dimana masyarakatnya menggelar ritual
secara bersama-sama pada momen-momen tertentu. Ritual itu misalnya ngaben, atau
persembahyangan bersama (odalan). Model kehidupan masyarakat kota sehari-hari lebih banyak
kelihatan dengan penghargaan terhadap waktu. Jalan raya secara langsung dan tidak langsung
menjadi pendorong menjalarnya pola kehidupan kota menuju desa tersebut. Secara langsung
karena jalan rayalah yang menjadi alur utama lalu-lintas masyarakat sehingga pertokoan dan
usaha jual beli, muncul di tempat seperti ini. Hal itu muncul di jalan raya di Kecamatan
Kerambitan yang dibelah oleh jalur utama Jawa-Bali. Secara tidak langsung, penduduk yang
tinggal di wilayah ini mempunyai kesempatan untuk melakukan perjalanan ke kota secara lebih
cepat dibandingkan dengan penduduk yang ada di pedalaman. Akibatnya, segala modernisasi
dan perubahan sosial yang ada di kota dapat masuk ke desa tersebut secara lebih cepat pula.
Masyarakat akan mencontoh segala perkembangan yang ada di kota untuk di bawa ke wilayah
desa mereka.
BAB 3
POTENSI SUMBER DAYA DESA:
BEBERAPA CONTOH DI KECAMATAN KERAMBITAN, TABANAN, BALI
Embung Telaga Tunjung
Embung, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bendungan yang ukuranya lebih
kecil, telah ada di Desa Telaga Tunjung. Ini berada di Keperbekelan Timpag. Dalam konteks
ekonomis, ia dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Pada bidang
pertanian, bendungan ini sudah jelas mampu dimanfaatkan sebagai sumber air untuk mengairi
lahan pertanian yang ada di wilayah Timpag dan Kecamatan Kerambilan di bagian utara. Akan
tetapi, bendungan juga dapat dimanfaatkan untuk menarik pariwisata air, seperti wisata mancing
alami serta rekreasi. Bendungan yang luas ini sesungguhnya santat bagus dipakai untuk sarana
mancing. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Provinsi Bali pernah menaburkan bibit ikan di
Danau Batur yang kemudian dimanfaatkan masyarakat, bukan saja sebagai sarana pariwisata
tetapi juga sebagai tempat mata pencaharian. Hal yang sama seharusnya juga dapat dilakukan di
Embung Telaga Tunjung ini. Keuntungan yang dapat diraih adalah bahwa dengan lokasi yang
lebih kecil dibandingkan dengan Danau Batur, masyarakat lebih mudah untuk melakukan
aktivitas macing. Dalam arti secara teoritis, mendapatkan ikannya lebih mudah dibanding dengan
apa yang dilakukan di Danau Batur. Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak melakukan hal itu
untuk memetik keuntungan dari keberadaan Embung Telaga Tunjung. Padahal, masyarakat
Tabanan, terutama di desa-desa, sangat rajin melakukan lomba mancing di berbegai desa, dengan
memakai kolam-kolam yang kecil dan dimiliki oleh perkumpulan. Atau juga dilaksanakan di
selokan-selokan kecil. Jadi, secara sosial, potensi untuk melakukan lomba sebagai sebuah
atraksi wisata di Emung Telaga Tunjung, sangat dimungkinkan dalam bentuk lomba mancing.
Kalaupun kemudian tidak ada perhatian terhadap hal itu oleh pemerintah Kabupaten
Tabanan, seharusnya hal ini dapat dilakukan oleh pemerintahan desa yang ada di wilayah
tersebut, atau oleh bendesa pakraman yang ada di wilayah itu. Dalam hal ini, bukan berarti
lomba yang sifatnya mendadak. Dengan luas mencapai 10 hektar tersebut terlalu luas dipakai
sebagai sebagai arena lomba mincing secara mendadak. Akan tetapi dalam dilakukan sebagai
arena mincing secara regular. Pengelola, yang dalam hal ini bisa oleh kebendesaan atau desa
pakraman, dapat menggelar acara mancing itu di setiap waktu dan di setiap saat. Hanya saja
pengelola harus siap dan menjamin adanya ikan di dalam kolam besar tersebut, dengan cara
memasok ikan. Jadi, setiap hari anggota masyarakat dapat menggunakan tempat ini sebagai
arena mancing dan arena rekreasi. Sudah tentu yang kemudian menjadi pemasukan adalah
pungutan yang ditimpakan kepada mereka yang ingin memancing di lokasi tersebut.
Pengeloaan ini dapat dilakukan oleh pihak swasta, lembaga atau secara mandiri oleh desa
pakraman atau keperbekelan. Pengelolaan oleh pihak swasta akan memberikan kesempatan bagi
pengusaha untuk mengembangkan keterampilannya di bidang manajemen. Akan tetapi juga
mampu memberikan solusi terhadap desa pakraman atau desa dinas yang tidak mempunyai
keahlian di bidang itu untuk melakukan pengelolaan. Desa Pakraman atau desa dinas harus
terampil dalam membuat perjanjian dengan pihak yang akan diajak bekerja sama. Dalam hal ini,
pemerintah daerah tingkat II Tabanan seharusnya memberikan kesempatan kepada pihak desa
pakraman atau desa dinas untuk melakukan hal ini demi memaksimalkan kesempatan yang ada.
Pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga atau korporasi atau kelompok orang juga dapat
dilakukan. Dengan pengelolaan oleh kelompok ini, keterampilan yang ada pada masing-masing
orang akan menyatu sehingga secara manajemen lebih baik. Kelemahannya adalah terletak pada
menyatukan keterampilan tersebut agar dapat menjadikan manajamen yang hebat. Masing-
masing pihak yang mempunyai keterampilan biasanya mengeluarkan egonya masing-masing
sehingga kelompok sukar bertahan lama.
Paling menguntungkan sesungguhnya dilakukan oleh desa pakraman atau desa dinas.
Manfaat paling besar akan mengaktifkan potensi-potensi terampil yang ada di desa pakraman
dan di desa dinas tersebut. Ini memberikan manfaat pada beberapa hal. Secara ekonomis,
pengelolaan yang dilakukan desa pakraman atau desa dinas, memberikan keuntungan material
kepada desa tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan desa bersangkutan, baik
desa pakraman atau desa dinas. Selanjutnya akan merangsang lahirnya tenaga-tenaga
professional di desa sehingga tidak harus pergi ke luar desa mencari pekerjaan. Desa mempunyai
otonomi dan pengetahuan untuk mengelola aset miliknya sendiri.
Dalam hal wisata air, Embung Telaga Tunjung tidak hanya dilakukan dengan
memanfaatkan embung tersebut sebagai sarana mancing. Rekreasi air seperti menghadirkan
perahu untuk rekreasi bagi anak-anak atau anak-anak muda juga dapat dilakukan sebagai
alternatif yang lain. Di masa lalu, masyarakat Bali, terutama di desa-desa sudah akrab dengan hal
seperti ini, apalagi di Kecamatan Kerambitan. Paling tidak ada dua tempat yang pernah populer
pada dekade tujuhpuluhan sebagai tempat rekreasi jukung yang laris dimanfaatkan oleh anak-
anak, yaitu di Banjar Mandung dan Banjar Selingsing pada Empelan Gubug. Wisata mejukungan
pada Hari Raya Ngembak Geni atau Galungan dan Kuningan di masa lalu merupakan pilihan
lain di luar menonton bioskop yang ada di kota Tabanan. Saat ini untuk membuat jukung, banyak
pilihan yang dapat dilakukan, yaitu memakai jukung tradisionil yang terbuat dari kayu atau
membeli yang sudah modern, seperti yang terbuat dari plastik. Wisata seperti ini akan menarik
bagi anak-anak, remaja atau muda-mudi. Dengan luas yang lebih dari lima hektar dari embung
tersebut, sangat memungkinkan mengembangkan wisata rekreasi ini karena manufer yang
dilakukan jukung dapat dilakukan secara lebih luas. Dengan latar belakang tradisi yang sudah
ada sebelumnya pada rekreasi jukung, maka menggalakkan rekreasi ini di embung tersebut
secara manajemen cukup dengan membangkitkan nostalgia masa lalu. Anak-anak muda sekarang
mempunyai orang tua yang mengalami masa-masa rekreasi jukung tradisionil tersebut. Maka
cerita dan pengalaman masa lalu, akan dapat memantik rekreasi seperti ini sekarang.
Olahraga air yang mungkin digelar di Embung Telaga Tunjung adalah kayak termasuk
juga penggelaran lomba kayak. Kayak tidak hanya dapat dilakukan di laut seperti yang dilakukan
di daerah pariwisata Sanur tetapi juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung yang cukup
luas areal bagi olahraga ini. Lomba-lomba yang dilakukan setiap minggu dapat juga digelar oleh
pengelola, baik desa pakraman maupun desa dinas.
Sekeliling embung ini luas, dengan dikitari oleh pohon-pohon hijau yang masih sangat
subur. Embung ini berada masuk ke pedesaan sekitar 20 menit dari jalur utama Denpasar-
Gilimanuk dengan kondisi jalan aspal yang bagus. Dengan begitu tidak terlalu susah untuk
dijangkau. Dikelilingi oleh tebing alami yang tinggi di kiri-kanan embung, maka lokasi ini
potensial untuk membuat sarana pendukung rekreasi. Masyarakat dapat membuka warung
tradisionil sebagai lokasi penjualan makanan ringan. Bahkan juga dapat dimanfaatkan dengan
membuka lapangan futsal karena hawanya sejuk, bahkan di siang hari. Daerah pinggiran dari
Emung Telaga Tunjung juga dapat dibesihkan, dibentuk taman dengan diteduhi oleh pohon-
pohon rindang yang alami. Lingkungan ini juga dapat memberikan pemandangan yang jauh lebih
luas, lebih alami dan memikat dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh hotel-hotel
berbintang, baik yang ada di daerah Nusa Dua, Jimbaran maupun tempat lain di Bali.
Posisi Geografis di Poros Jalan Raya Jawa-Bali
Kecamatan Kerambitan boleh dikatakan mempunyai lokasi yang menguntungkan apabila
dilihat dari alur jalan yang dimiliki. Sebagian dari desa-desa yang ada di Kecamatan ini dilalui
oleh jalan poros Bali-Jawa, yaitu jalan Denpasar-Gilimanuk. Kecamatan ini juga dihubungkan
oleh jalan aspal menuju Kota Tabanan. Pembangunan dan perencanaan sosial akan lebih mudah
dilakukan apabila mempunyai jalan raya yang lebih bagus. Pertama karena dengan transportasi
yang lebih baik, dapat diperkirakan alur angkutan kebutuhan masyarakat lebih terjamin
sampainya di tempat tujuan. Kedua, segala hasil barang dan jasa yang hidup di wilayah tersebut,
akan dijamin tercapai tujuannya dan waktu sampainya. Ketiga, lalu-lintas pergerakan masyarakat
dari satu wilayah ke wilayah lainnya relatif tidak mengalami hambatan sehingga kontak sosial
juga akan berlangsung dengan lebih baik. Keempat, dengan kontak sosial yang berlangsung lebih
baik, maka berbagai kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi. Akan lebih baik lagi apabila
dengan kondisi sarana transportasi yang baik tersebut, masyarakat juga mampu melakukan
aktivitasnya secara lebih baik dengan dukungan alat komunikasi yang modern. Saat ini berbagai
pilihan alat komunikasi modern sudah tersedia di pasaran.
Di Kecamatan Kerambilan, Desa Pakraman Penyalin, Samsam I dan II, Lumajang,
Mandung, Sembung Meranggi, Sembung Gede, Meliling merupakan desa-desa yang dilalui dan
dibelah oleh Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk. Desa dinas yang dilalui oleh jalan tersebut adalah
Desa Dinas Samsam, Sembung Gede dan Timpag. Melihat kondisi demikian, seharusnya baik
desa pakraman maupun desa dinas yang ada berpotensi besar untuk meningkatkan kemakmuran
rakyatnya. Desa-desa lain di kecamatan Kerambitan telah dihubungkan oleh jalan yang telah
diaspal dengan baik.
Berbagai kreatifitas untuk memanfaatkan potensi sumber daya dapat dilakukan oleh
desa pakraman dan desa dinas untuk meningkatkan kapasitas pendapatannya. Secara ekonomi
pembukaan toko, warung dan berbagai jasa lainnya dibutuhkan oleh masyarakat, dan terutama
oleh mereka yang lewat di jalan raya. Lalu lintas Denpasar-Gilimanuk dipenuhi oleh berbagai
kendaraan, mulai dari sepeda motor yang paling kecil sampai dengan mobil yang mempunyai
roda lebih dari 20. Dalam konteks jalan seperti yang disebutkan diatas, kemanfaatannya oleh
berbagai jenis jasa sudah dilakukan oleh masyarakat.
Kelemahan-kelemahan yang terlihat adalah bahwa, jasa-jasa yang dibuat oleh
masyarakat desa pakraman dan desa dinas itu, masih terlihat monoton, ikut-ikutan dengan apa
yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. Sebagai contoh, saat ini sangat terkenal
warung nasi be guling. Sebagai bentuk dari aktivitas jasa ini, sepanjang jalan Denpasar-
Gilimanuk di Kecamatan Kerambitan ada sekian banyak warung nasi be guling (babi gulung) di
pinggir-pinggir jalan. Sampai saat ini memang warung tersebut kelihatan masih laris. Akan
tetapi, mendirikan warung demikian berjejer di satu sisi jalan belum tentu memberikan
keuntungan maksimal di masa mendatang. Persaingan akan semakin ketat dan semakin banyak
yang membuat daya jual semakin sedikit dan akibatnya, keuntungan juga akan semakin kecil.
Pada akhirnya semangat untuk berusaha juga akan semakin menipis. Keseragaman ini masih
dapat dilihat pada obyek jualan pada warung-warung yang lain, entah mereka yang berjualan
kelontong atau berjualan minuman.
Kelemahan lain yang terlihat terutama di jalur poros Denpasar-Gilimanuk adalah kurang
pahamnya anggota masyarakat tentang manajemen warung. Bagi mereka yang mempunyai
warung atau tempat usaha yang lebih besar, sangat kurang memperhatikan lokasi parkir. Mereka
membangun warung dengan memanfaatkan lahan secara penuh sehingga lahan parkir menjadi
kurang. Di tengah kecenderungan masyarakat memakai kendaraan bermotor, tempat parkir
merupakan hal paling wajib dalam satu warung. Parkir yang luas merupakan daya tarik pertama
bagi setiap pelanggan dan pembeli. Akan tetapi, sebagian dari warung-warung yang ada di
sepanjang jalan itu, masih belum memperhatikan hal ini. Fenomena demikian merupakan ciri
khas dari warung tradisional Bali masa lalu. Ini bisa dipahami karena di masa lalu masyarakat
lebih banyak berjalan kaki untuk berbelanja
Boleh dikatakan sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk, sudah semua dimanfaatkan
dengan berbagai jasa yang ada. Berbagai jenis jasa yang kelihatan adalah warung, toko,
perbankan, bengkel, kontrakan, perkantoran, jasa foto copy, tukang cukur, salon, pencucian
kendaraan sampai dengan penginapan. Ini menandakan bahwa pemanfaatan tersebut sudah
optimal di masyarakat yang ada di pnggir jalan tersebut. Yang masih belum maksimal dilakukan
adalah sikap profesional mereka dalam melakukan pengelolaan. Kalau tadi disebutkan tentang
sarana parkir yang masih belum menunjang, hal lain yang tidak terlihat adalah soal ruangan dan
kebersihan. Terutama bagi warung-warung yang tradisional, ruangannya masih penuh dijejali
dengan berbagai barang yang dijual. Akibatnya meja yang seharusnya dapat dipakai untuk duduk
menikmati makanan, misalnya rujak, sesak dan tidak memberikan kenyamanan untuk
menikmati suguhan. Ini juga terjadi pada hal-hal lainnya, misalnya bengkel yang tidak
menyediakan kursi bagi pelanggan yang datang. Termasuk juga jasa foto copy yang tidak
memberikan ruang untuk duduk bagi pelanggan. Etika profesional hanya kelihatan pada kantor-
kantor yang bergerak pada bidang jasa, misalnya perbankan yang memang menyediakan kursi
bagi pelanggan dan pengguna jasa. Bagaimanapun, pelanggan akan merasa lebih nyaman datang
apabila kebutuhan primer fisiknya dipenuhi. Kebutuhan primer fisik ini diantaranya adalah
tempat duduk tadi. Kekurangan professional tersebut semakin terlihat apabila dilihat warung atau
jasa yang dibuka di jalan arteri dan bertambah lagi apabila memasuki wilayah pelosok.
Kebersihan dan penataan tempat berjualan juga kurang terlihat. Terutama di daerah-
daerah yang ada di pedesaan debu yang melekat pada barang-barang jualan masih menempel.
Ini merupakan bagian dari kebiasaan masa lalu yang masih belum dapat diperbaiki sampai
sekarang. Dalam arti kebiasaan tersebut masih melekat. Padahal, kesadaran soal kebersihan
sudah semakin sering dimunculkan di media massa. Disamping debu yang melekat pada barang-
barang, ornamen dari warung juga kelihatan masih kurang bersih.
Sarjana dari Berbagai Disiplin Ilmu
Kecamatan Kerambitan dikenal mempunyai warga yang berpendidikan tinggi. Disamping
itu juga mempunyai semangat tinggi dalam berbagai bidang. Sebagai bagian dari Kabupaten
Tabanan, Kecamatan Kerambitan merupakan salah satu penghasil beras dan padi yang cukup
untuk memberikan kesejahteraan kepada keluarga. Di luar itu, yang patut juga dipertimbangkan
adalah semangat dan fanatisme terhadap daerah. Pada bidang olahraga sepakbola misalnya, di
masa lalu Kerambitan kerap menjadi juara se kabupaten Tabanan, mulai dari tingkat sekolah
dasar sampai kompetisi dewasa.
Di masa pendidikan bertambah maju, terutama dengan semakin terdidiknya mayarakat ke
perguruan tinggi, banyak sarjana juga berada di Kecamatan Kerambitan. Di desa Pakraman
Penyalin misalnya, jumlah sarjananya cukup signifikan. Akan tetapi, sarjana yang mampu
memanfaatkan alam desa pakraman untuk maju sangat sedikit. Yang paling cocok
dikembangkan di desa pakraman ini adalah sektor pertanian,, petkebunan dan persawahan.
Tetapi sarjana pertanian hanya satu dan kemudian telah merantau ke Pulau Jawa.
Sarjana merupakan produk perguruan tinggi yang secara formal diakui memiliki
kemampuan untuk menganalisa masalah tertentu. Kemampuan menganalisis ini merupakan
kelebihannya apabila dibandingkan dengan tamatan akademi atau diploma. Tamatan diploma
dibekali oleh keterampilan mengolah atau membentuk suatu produk. Sedangkan sarjana
mempunyai kelebihan menganalisis. Obyek yang dianalisis itu bisa berupa produk, dimana
produk ini dihasilkan oleh sebuah keterampilan. Melalui analisislah kekurangan atau kelebihan
produk itu diketahui. Seorang yang mampu menghasilkan produk kue misalnya, akan dianalisis
oleh seorang sarjana ekonimi tentang pemasarannya, tentang bahan asalnya oleh sarjana kimia
atau potensi kebusukannya. Maka, seorang sarjana akan mampu membekali diri dan menambah
keterampilan, melalui kursus atau belajar secara mandiri untuk menghasilkan keterampilan.
Seorang sarjana ekonomi tidak akan salah apabila menambah wawasannya dengan terampil
membikin kue. Seorang sarjana teknik menambah keterampilannya dengan membikin produk
sepeda elektrik. Atau seorang sarjana pertanian tidak keliru juga apabila menggabungkan
keahliannya pada bidang manajemen.
Dalam hal ini, harus diakui bahwa sarjana yang banyak bertebaran di pedesaan dan
menjadi aset desa pakraman maupun desa dinas itu, kurang mampu menggerakkan dirinya untuk
menambah keterampilan produksi atau keterampilan lainnya sehingga keahlian yang dimiliki
tidak dapat digunakan secara maksimal. Akibatnya, mereka banyak menganggur atau datang
menjadi kaum urban di perkotaan dan banyak bekerja di sektor pariwisata di Denpasar atau
Badung. Waktu yang terbuang percuma untuk menempuh jarak yang lebih dari 70 kilometer
tersebut tidak dipikirkan secara matang sehingga terbuang percuma, disamping juga tidak baik
untuk kesehatan pribadi.
Suara-suara kritis tentang desa pakraman, yang kebanyakan bernuansa negatif, dapat
dikatakan sesungguhnya mempunyai hubungan dengan tidak dimanfaatkannya secara maksimal
potensi sarjana terhadap perkembangan dan pembaruan desa pakraman. Setidaknya secara
tekstual, desa pakraman itu mempunyai keterkaitan sangat kuat dengan sarjana hukum, terutama
dari kosentrasi hukum adat. Ini dikarenakan hukum adat itu merupakan pemikir dan otak dari
keberadaan desa pakraman tersebut. Sarjana hukum adat dididik untuk berfikir dan menganalisis
tentang sejarah adat, perkembangannya serta arah pembaruannya di masa depan. Ketika desa
pakraman berhadapan langsung dengan modernisasi, para sarjana yang mempunyai spesialisasi
hukum adat lah yang akan dapat mengembangkan dan memperbaiki hal seperti itu. Sekarang
jarang ada sarjana hukum adat yang memegang desa pakraman. Para sarjana ini tidak saja
mempunyai kemampuan untuk menganalisis sejarah dari hukum adat tersebut, tetapi juga secara
jelas mengkaji norma-norma yang sudah tidak sepatutnya dipertahankan serta memperbarui
kebiasaan yang ada berdasarkan perbandingan yang ada.
Sebagai seorang yang belajar hukum, mereka akan mengetahui bagaimana norma-norma
yang mestinya berlaku di masyarakat dan bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Sebagai pembelajar adat, para sarjana ini tidak hanya mengetahui perkembangan hukum dan
norma-noma adat yang ada di daerahnya sendiri. Akan tetapi juga dari daerah-daerah lain di
Indonesia. Sebagai negara yang mempunyai banyak suku bangsa, maka tersedia demikian
banyak kebiasaan adat yang berlaku di berbagai wilayah Indonesia. Banyaknya kebiasaan inilah
yang sesungguhnya dapat dipakai sebagai perbandingan untuk memperbaiki segala kebiasaan
yang berlaku di desa pakraman di Bali. Ini sangat penting dilakukan di tengah perkembangan
jaman dan modernisasi yang demikian ketat di Bali.
Sarjana lain yang juga mempunyai keterkaitan dengan perkembangan desa pakraman di
Bali adalah sosiologi. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dengan berbagai
aspek yang ada. Setiap aspek perkembangan masyarakat akan dipelajari dalam ilmu ini. Desa
pakraman tidak lain merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki perkembangan kompleks
di Bali. Secara sederhana, desa pakraman ini merupakan lembaga yang hampir mirip dengan
negara. Di samping mempunyai wilayah dengan penduduknya, juga mempunyai aturan hukum,
pemerintahan dengan berbagai strukturnya, kekuatan ekonomi sampai dengan memiliki penjaga
keamanan. Termasuk juga perbatasan. Dengan keberadaan seperti itu, segala aspek
perkembangan sosial terjadi di dalam desa pakraman. Secara mendasar, desa ini boleh dikatakan
sebagai komunitas yang mempunyai tugas menjalankan keagamaannya dan komunitas tersebut
berjalan berdasarkan pada keagamaan Hindu. Karena itulah, hubungan sosial, persaudaraan,
gotong-royong, subordinasi, kekuasaan, pengaruh, konflik dan sebagainya ada di dalam
lingkungan desa pakraman dengan segala aspek-aspeknya. Masing-masing desa pakraman di
Bali mempunyai banyak ragam gaya sesuai dengan budaya mereka di lingkungan tersebut.
Sosiologi mempelajari setiap aspek dari kehidupan sosial, termasuk perubahan sosial yang akan
terjadi beserta bagaimana cara mengantisipasinya. Karena itu, sarjana sosiologi sangat
diperlukan untuk mengembangkan desa pakraman.
Sarjana Antropologi juga sangat diperlukan. Antropologi merupakan ilmu yang mengalir
seperti air. Ilmu ini mempelajari kebudayaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat. Disebutkan juga apabila antropologi tersebut mempelajari suku bangsa. Akan
tetapi, apabila dilihat secara lebih dalam, misalnya dengan ciri khas dan kebiasaan yang berlaku
di desa bersangkutan, desa pakraman sesungguhnya merupakan kelompok masyarakat yang
malah mirip dengan suku. Di Bali, desa pakraman tersebut mempunyai kebiasaan yang berbeda-
beda dalam penerapan ritual agama. Dan karena itu juga mempunyai kebiasaan yang berebeda
dalam menerapkan praktik kehidupan mereka. Sebanyak 1500 lebih ada desa pakraman di Bali,
yang tidak semuanya mempunyai praktik yang sama antara satu sama lain. Dengan kondisi
seperti itulah sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang pantas untuk dilibatkan dalam
proses pengembangan desa pakraman ini. Artinya baik para sarjana antropologi maupun desa
pakraman tidak saling menjaga jarak, melainkan saling meleburkan diri satu sama lain untuk
mengembangkan desa pakraman.
Sarjana Sastra Bali dan Jawa Kuno diperlukan untuk memberikan pemahaman-
pemahaman terhadap tafsir sastra yang dipakai sebagai dasar menjalankan ritual agama Hindu.
Agama Hindu di Bali dijalankan atas dasar sastra baik yang berasal dari bahasa sansekerta
maupun dari bahasa Jawa Kuno (Kawi). Dalam hal sastra yang telah diterjemahkan, seperti
misalnya Bhagavat Gita, yang dipandang sebagai Weda Kelima masyarakat memandang arti
dari bait-bait syair yang ada di dalam buku suci tersebut telah diketahui. Akan tetapi, pemaknaan
dari bait syair itu belum tentu diketahui secara matang. Ini disebabkan karena setiap bait syair itu
dapat ditafsirkan menjadi beragam makna. Untuk memahami pemaknaan yang lebih luas itulah
maka diperlukan adanya penafsir-penafsir terhadap ajaran Weda ini sehingga masyarakat dapat
menjalankan agama secara lebih luas dan bermakna. Secara lebih luas artinya mempunyai
pilihan yang lebih banyak, disesuaikan dengan konteks waktu, tempat dan keadaan. Sarjana
sastra Bali mempunyai kemampuan untuk melakukan penafsiran tersebut.
Disamping melakukan melakukan tafsiran atas pemaknaan tersebut, sarjana sastra Bali
tentu saja juga mampu melakukan penerjemahan terhadap sastra-sastra lain yang dipakai
landasan dalam menjalankan ritual agama di Bali.
Sarjana Agama Hindu sudah tentu juga diperlukan oleh desa pakraman. Seperti juga
halnya dengan sarjana sastra Bali Kuno atau Jawa Kuno, sarjana agama Hindu diperlukan untuk
menerjemahkan makna agama yang dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ritual
yang terlalu memberatkan masyarakat, yang menyita tenaga, waktu dan biaya, semestinya dapat
dikurangi agar masyarakat desa pakraman dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
perekonomian yang demikian cepat di Bali. Sarjana agama Hindu ini diperlukan untuk
menerjemahkan pemaknaan upacara sehingga desa pakraman di Bali dapat melakukan upacara
yang sesuai dengan pemaknaan itu agar tidak bertentangan dengan sebagian besar anggota
masyarakat. Sebuah pembaruan dari tradisi, misalnya menyederhakana upacara sampai 50
persen, berpotensi menimbulkan konflik. Karena itu, kerjasama antara sarjana agama Hindu
dengan sarjana sastra ini dalam menerjemahkan arti syair sastra dan menafsirkan pemaknaannya,
dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat dan kemudian tidak menimbulkan konflik sosial.
Dalam kerangka menyongsong perkembangan sosial di Bali, dengan aspek
perekonomiannya yang demikian berkembang, desa pakraman mau tidak mau harus
memanfaatkan sarjana manajemen (ekonomi), atau teknik industri. Kedua sarjana ini mempunyai
keahlian dalam mengelola organisasi (perusahan) untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Teknik industri merupakan sarjana yang mempunyai kemampuan untuk mengelola
perusahan dan memikirkan berbagai kiat perkembangannya. Pengelolaan desa pakraman sesuai
dengan perkembangan jaman yang diatur dibawah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, tidak
lain menginginkan desa sebagai sebuah organisasi yang mampu mengelola dirinya sendiri
termasuk aset yang dimiliki. Dengan demikian, diperlukan kemampuan manajamen untuk
mengelola modal yang dimiliki tersebut.
Sebagai sebuah komunitas tradisional di Bali, desa pakraman mau tidak mau
mendasarkan diri pada lingkungan tradisional yang menjadi penopang hidup masyarakat. Bali,
sejak berabad-abad telah dikelola dengan dasar pertanian dan perkebunan. Pertanian, terutama
persawahan menjadi dasar dari perkembangan struktur sosial di Bali, termasuk juga desa
pakraman. Pada hakekatnya desa pakraman ini merupakan struktur sosial yang banyak mengatur
tentang kegiatan sosial yang berbasis pertanian. Upacara agama yang menjadi fungsi pokok dari
desa pakraman, sesungguhnya juga merupakan endapan dari budaya pertanian. Dengan alasan
tersebut maka desa pakraman sangat memerlukan sarjana pertanian untuk perkembangannya.
Sarjana dengan kualifikasi inilah yang akan dapat memberikan masukan-masukan kepada desa
pakraman, terutama dalam hal sejauh mana ritual yang bebasis pertanian itu dapat dipertahankan
bagi desa pakraman yang berada di lingkungan perkotaan. Sebaliknya bagi desa pakraman yang
masih ada di desa dan pegunungan, sarjana pertanian ini akan mampu memberikan saran, contoh
dan praktik mengembangkan model-model pertanian terbaru untuk memacu desa tersebut
berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial paling modern.
Sarjana-sarjana dari ilmu yang lain lain akan sangat membantu perkembangan desa
pakraman, terutama apabila dikaitkan dengan berbagai perkembangan kemajuan sosial di Bali.
Dengan pesatnya pariwisata yang ada di Kuta, Sanur, Gianyar dan lain-lain, cara pengelolaan
desa pakraman tentu akan sangat berbeda. Dengan otonomi yang dimilikinya serta gaya
manajemen yang berbeda-beda, desa pakraman akan dapat memanfaatkan sarjana dari berbagai
disiplin ilmu untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Potensi Pariwisata Laut
Bagian selatan dari Kecamatan Kerambitan, yaitu di Kelating dan Pasut, berbatasan
langsung dengan Samudra Indonesia yang mempunyai ombak besar. Potensi ombak yang besar
ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek rekreasi surving, terutama kepada turis-turis
maancanegara yang datang ke Bali. Transportasi menuju daerah ini sudah lumayan bagus karena
jalan rayanya sudah mulus dan memakai aspal hotmik. Tidak saja terhubung langsung ke kota
Kabupaten Tabanan, tetapi juga terhubung langsung dengan pusat pariwisata di Tabanan, yaitu
Tanah Lot, dan dari sini, langsung terhubung ke Denpasar. Sebagai kawasan rekreasi, laut
Samudra Indonesia tidak hanya menawarkan ombak yang besar tetapi juga pantai yang indah
dan pemandangan sunset yang memesona. Sebagai tawaran pemandangan yang luas dan segar di
pantai, Pantai Pasut dan Kelating memberikan harapan. Demikian juga sunset nya. Karena itu
dua pantai di Kecamatan Kerambitan ini memberikan potensi besar sebagai daerah yang
menghasilkan pendapatan.
Pasir laut di wilayah ini memang tidak seperti Pantai Kuta atau pantai di kawasan Selatan
Kabupaten Badung yang semuanya putih. Pantai di Kelating dan Pasut berwarna hitam pekat.
Akan tetapi, bukan sekedar itu yang ditawarkan. Seperti yang diutarakan tadi, kedua pantai ini
menawarkan atraksi alami sunset yang bebas pandang di sore hari, sama dengan pemandangan
yang dijanjikan oleh Pantai Kuta, Tanah Lot, Ulu Watu maupun pantai lain yang ada di kawasan
Badung bagian selatan.
Di pantai Kelating telah dibuat telanjakan sebagai sarana masyarakat untuk berjalan-
jalan melihat matahari terbenam. Telanjakan tersebut sudah bagus. Pantai Kelating juga
menawarkan posisi pantai yang datar untuk berjualan sehingga para pedagang dapat
mempergunakan secara baik. Posisi pantai ini kondusif bagi pariwisata pantai dan laut.
Gelombang lautnya cukup tinggi untuk kegiatan surving. Pantainya mempunyai bagian datar
untuk menyaksikan segala atraksi ke laut atau melihat pemandangan lain karena dari pantai ini
juga kelihatan kawasan Uluwatu, yang ada di Badung bagian selatan. Tebing curam dari
Uluwatu jelas kelihatan dari tempat ini, termasuk juga pemandangan malam harinya ke arah
Kuta. Lokasi untuk mandi secara umum juga ada pada sisi barat dari pantai tersebut yang tidak
terlalu dalam dengan ombak yang tidak terlalu besar. Bagi mereka yang menyukai kegiatan
jalan-jalan, dapat melakukan perjalanan menuju pantai Yeh Gangga ke timur dengan berjalan
kaki atau ke pantai Pasut ke arah barat juga dengan jalan kaki.
Pantai pasut juga mempunyai potensi yang sama seperti yang ditawarkan oleh Pantai
Kelating. Malah pantai ini mempunyai pasir yang padat dan lebih lebar sehingga bagi anak-anak
yang menyukai olahraga pantai, seperti sepakbola, dan volley dalam melakukannya baik di pagi
hari maupun sore hari. Pasir yang lebih padat memungkinkan olahraga ini dilakukan di Pantai
Pasut. Malah, anak-anak muda yang suka trek-trekan, memakai arena pasir Pantai Pasut sebagai
arena balap kendaraan, sebuah olahraga yang mengandung resiko cukup berbahaya.
Pantai Kelating dan Pasut ini dapat mencontoh apa yang ada di Pantai Kedonganan,
yaitu membuka warung untuk makanan ikan, yang khusus untuk disajikan secara segar kepada
para pembeli, baik berupa pembeli lokal maupun pembeli asing (turis).
Kesenian dan Manajemen Kesenian Tradisionil
Kerambitan mempunyai salah satu unsur kesenian yang disebut dengan Tektekan.
Kesenian ini sudah berusia puluhan tahun, yang berasal dari tradisi masyarakat. Ia memakai
instrumen utama bambu yang dipukul. Pada awalnya, menjadi alat pengusir bala apabila
masyarakat terkena wabah penyakit. Masyarakat tradisionil Kerambitan, dan umumnya di Bali,
masih mempercayai bahwa penyakit itu disebabkan oleh gangguan-gangguan dari luar, dan
karena itu haruslah gangguan itu diusir dari lingkungan masyarakat. Cara mengusirnya adalah
melalui cara membisingkan lingkungan agar kekuatan-kekuatan tersebut keluar dari lingkungan.
Dengan logika seperti inilah masyarakat befikir bahwa penyakit yang menjangkiti sebagian besar
anggota masyarakat, akan dapat hilang.
Melihat fenomena bunyi tektek yang keluar dari suara bambu yang dipukul tersebut,
tokoh masyarakat Baturiti di Kerambitan, yaitu Anak Agung Silagunada kemudian mempunyai
ide bahwa keramaian tersebut dapat dikelola dan kemudian dibentuk sebagai sebuah instrumen
seni. Maka, berbagai jenis suara yang muncul dari berbagai jenis pukulan bambu itu kemudian
diubah menjadi seni dengan memasukkan unsur-unsur gong Bali. Unsur gong yang dimasukkan
itu adalah kendang sehingga melalui sebuah strategi seni, pada akhirnya mampu membentuk
untaian seni yang dapat dinikmati masyarakat banyak. Juga dimasukkan unsur-unsur dalam
kesenian drama yang lain, mislanya kisah tentang Mahabharata yang demikian pupuler di Bali.
Disamping itu, unsur lain yang dimasukkan adalah atraksi ngurek yang juga santat populer di
Bali. Atraksi tersebut berupa perkelahian antara kekuatan jahat yang disimbolkan dengan rangda
dengan kekuatan positif yang disimbolkan dengan barong. Atraksi ini akan berisi penusukan,
tetapi melalui kekuatan gaib tidak dapat tertembus. Bagi para penonton, disamping suara dari
tektekan tersebut yang agak aneh, atraksi ngurek ini juga mendapat perhatian yang banyak.
Sumber Air
Salah satu aset yang dimiliki oleh desa adalah sumber air. Desa-desa yang ada di Bali
sesungguhnya sangat kaya dengan sumber air yang bersumber dari pegunungan. Bali bagian
tengah mempunyai pegunungan yang merupakan tempat penyimpanan air alami. Deretan
pegunungan ini membentang dari arah barat di Jembrana sampai ke timur di Karangansem, yang
secara simetris membelah Pulau Bali menjadi bagian utara dengan bagian selatan. Meskipun
dari sisi kontur tanah pegunungan itu kemungkinan merupakan hasil dari tumbukan lempeng
bumi di bawah, akan tetapi membawa manfaat besar bagi persediaan air di Bali. Yang menarik,
sumber air itu muncul tidak hanya langsung di lereng gunung seperti yang ada di wilayah
Jatiluwuh di Kabupaten Tabanan, atau di Kubu dan Tirtagangga di Karangsem, akan tetapi juga
muncul di daerah yang relatif jauh. Misalnya ada di Kebendesaan Samsam di Kecamatan
Kerambitan,Tabanan. Paling tidak empat dari lima banjar yang ada di Kebendesaan ini
mempunyai sumber air, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Samsam, Kutuh Kelod, dan Kutuh Kaje.
Dalam ketentuan pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, salah satu aset desa yang
dapat dimanfaatkan adalah sumber air tersebut. Dengan ketentuan itu, maka sumber air ini dapat
dikelola oleh BUM Desa secara cermat untuk kesejahteraan bersama. Dalam hal kebutuhan air
bersih, Bali sesungguhnya sekarang sudah mulai sangat memerlukan air bersih. Kota Denpasar,
wilayah Badung bagian selatan memerlukan air dari wilayah-wilayah kabupaten lain untuk
menyediakan warganya dengan kebutuhan air. Industri pariwisata memerlukan debit air dalam
jumlah banyak di wilayah-wilayah yang disebutkan tadi. Demikian juga dengan perumahan
yang muncul di berbagai wilayah di Badung dan Denpasar. Karena itulah kemudian daerah
Tabanan menjadi alternatif untuk mencari ketersediaan air tersebut.
Dari sini apabila sumber air tersebut dikelola oleh BUM Desa, atau katakanlah oleh desa,
maka tidak ada individu atau pihak-pihak lain yang akan mampu membuat hal yang sifatnya
semena-mena terhadap penggunaan air. Desa akan membuat aturan tersendiri melalui BUM
Desa tersebut tentang pemanfaatan air dengan melibatkan masyarakat dan pengawasan dari
masyarakat dan pihak luar yang ditunjuk.
Air juga digunakan dalam lingkungan ekonomi sebagai sebuah obyek bisnis. Dengan
semakin dikenalnya air mineral serta air kemasan, berbagai perusahan yang bergerak di bidang
air, mencoba mencari-cari lahan untuk mengelola air yang kemudian diolah menjadi industri.
Kegiatan seperti ini seharusnya dapat dipergunakan oleh desa untuk kesejahteraan warganya
dengan cara mengelola bersama atau lewat BUM Desa. Seperti yang dikatakan tadi, Desa
Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan mempunyai sumber air dengan debit air yang
relatif besar.
Sebagai satu perbandingan, di daerah Tembuku, Bangli air yang ada di desa tersebut
dijual dengan menggunakan truk, untuk mengairi berbagai tempat yang kekurangan air. Akan
tetapi di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, air tidaklah kurang. Namun, air ini dapat
dimanfaatkan untuk cadangan masa depan apabila misalnya kekurangan air melanda Bali. Posisi
kecamatan ini sekitar 40 kilometer dari Gunung Batukaru sehingga memungkinkan sebagai
rembesan air sumber yang berasal dari gunung tersebut di bawah tanah.
Wilayah Luas
Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh masyarakat ketika melihat keunggulan desa
dibandingkan dengan kota adalah keluasan ruangan yang dimiliki oleh desa. Sudah menjadi ciri
dari desa itu mempunyai ruang yang jauh lebih lapang dibandingkan dengan kota yang demikian
sesak. Akan tetapi, di jaman sekarang, terutama di kecamatan Kerambitan khususnya dan di Bali
pada umumnya, keluasan dan keleluasaan ruangan ini benar-benar mampu dipandang sebagai
modal dasar untuk melakukan aktivitas menguntungkan, apalagi dikaitkan dengan sumber daya
ekonomi. Ruang wilayah yang leluasa luas dan tidak sesak tersebut dapat diberdayakan sebagai
sumber ekonomi. Di kaitkan dengan potensi pariwisata yang ada, sesungguhnya tanah yang luas
dan lapang ini dapat digunakan sebagai area kuliner dengan berbagai atraksinya. Dari sisi
pariwisata, akan dapat ditampilkan berbagai macam makanan khas Bali, dengan mengambil
tempat yang luas sehingga para turis dapat menikmati kuliner dengan nyaman. Termasuk juga
dengan penampilan atraksi apapun karena di desa dapat menggunakan ruangan dengan leluasa.
Kabupaten Tabanan, khsusunya Kecamatan Kerambitan mempunyai makanan khas lawar
anyang barak. Jika hal ini diperkenalkan dengan prinsip pariwisata, bukan saja menikmati lawar
yang diadon dengan darah hewan segar itu, akan tetapi proses pembuatannya dapat disuguhkan
kepada turis. Dengan menggunakan lahan yang luas, tidak sempit seperti yang ada di kota-kota,
masyarakat dapat melakukan atraksi tersebut mulai sejak awal, misalnya mulai menangkap babi,
kemudian proses lanjutannya sampai dengan selesai. Melalui ruangan terbuka juga para turis itu
akan dapat mengikuti segala prosesinya, termasuk mungkin dengan mempersembahkan sesajen,
sampai kemudian pengolahan.
Disamping itu, demi menambah semaraknya suasana, sambil menunggu racikannya
selesai, para guide juga dapat memberikan semacam kuliah penjelasan dengan asal-usul dari
kuliner ini, kemudian menjelaskan maknanya serta penggunannya bagi masyarakat. Kuliner Bali
mempunyai keterkaitan dengan ritual-ritual yang ada. Semasih menikmati, kuliner, dengan
keleluasan ruangan, dapat saja kemudian dipentaskan gong sebagai sebuah hiburan bagi para
tamu. Dan seusai pementasan dapat menyaksikan pertunjukan “tektekan”. Kerambitan
mempunyai seni khusus “tektekan” yang terkenal awalnya di wilayah itu yang sampai
kemudian terkenal di seluruh wilayah Bali. Atraksi ini dapat dilakukan seusai hidangan kuliner.
Dengan demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa potensi desa yang tidak terlihat
ini akan dapat dimaksimalkan dan kemudian dioptimalkan. Di masa lalu, luas wilayah desa
mungkin tidak mempunyai arti apa-apa dibandingkan dengan apa yang ada di perkotaan. Kini
setelah aliran listrik tersebut sudah sampai ke desa, dengan jalan-jalan juga sudah diaspal sampai
ke desa, seharusnya keleluasaan tempat ini sangat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa.
Gabungan antara listrik dengan jalan raya yang bagus ini sangat membantu optimalisasi
pembangunan desa. Dari sisi pendidikan, boleh dikatakan tingkat pendidikan paling rendah dari
masyarakat desa adalah tingkat sekolah menengah atas. Pendidikan ini telah mampu
memberikan cara-cara berfikir kritis dan mengembangkan keterampilan sehingga sangat berguna
bagi pemberdayaan desa. Sikap kritis diperlukan untuk mengembangkan wisata kuliner.
Luas tanah dan ruang yang masih lapang di desa tersebut, tidak hanya dapat digunakan
untuk hal yang bersangkutan dengan kuliner saja, akan tetpi juga untuk berbagai kepentingan.
Pada bidang seni misalnya dapat dipakai pameran. Memberikan pameran instalasi, atau pameran
khusus tentang keramik dan berbagai jenisnya, juga dapat dilakukan di pedesaan. Pameran yang
memerlukan ruangan besar tidak dapat dilakukan di kota, kecuali menyewa lahan yang sewanya
mahal. Maka desa merupakan solusi untuk lahan ini mengingat sewa yang dilakukan tidak
terlalu mahal. Para seniman maupun budayawan, mestinya mampu memanfaatkan hal ini secara
lebih baik. Di Kecamatan Kerambitan misalnya, dengan infrastruktur jalan yang sudah bagus,
tidak memerlukan waktu banyak untuk datang ke kecamatan ini mengajak turis untuk
mengunjungi kawasan pameran. Hanya diperlukan waktu sekitar satu jam untuk mengangkut
puluhan turis dengan kendaraan bus. Disamping itu, wilayah ini telah biasa dilalui melalui turis
yang ingin mengunjungi Bali secara cross country.
Kuntungan lain yang secara ekonomi dapat ditawarkan oleh desa adalah keaslian
produksinya. Di negara yang berbasis pertanian atau daerah yang berbasis pertanian dan
perkebunan, desa menduduki tempat yang vital karena di tempat inilah pertanian dan
perkebungan itu tumbuh dan berkembang. Demikian juga halnya dengan desa yang ada di
daerah pegunungan. Dari sinilah hasil kebun dan pertanian itu berasal. Dengan demikian,
keaslian produk pertanian dan perkebunan tersebut dapat dijamin. Hal ini dapat menjadi
keunggulan desa sekaligus mampu melakukan pemberdayaan kepada segala sumber daya yang
dimiliki tersebut. Sebab, di jaman modern sekarang, segala produk ekonomi yang dijual di pasar
kota, keasliannya sudah sangat dipertanyakan. Merebaknya produk kemasan yang bercampur
dengan pengawet buatan, sekarang banyak mendapat sorotan masyarakat. Demikian juga
produk-produk makanan dan ikan yang disimpan di tempat pengawet, termasuk juga dengan
sayur yang sudah dinyatakan tidak segar lagi.
Bahkan soal keaslian ini tidak saja dapat diperlihatkan oleh sektor pertanian dan
perkebunan, akan tetapi juga oleh sektor peternakan dan kehewanan. Produk daging yang dijual
di pasaran di kota atau yang dijual sekarang, lebih banyak memakai produk yang sudah diolah
dengan sarana modern. Misalnya daging ayam merupakan produk modern karena makanan yang
dipakai untuk membesarkan ayam, berasal dari industri. Dari kualitas daging, dinilai kurang
bagus dibanding dengan produk asli desa. Demikian juga dengan cara masyarakat membesarkan
babi, sapi dan lainnya. Maka, dalam konteks ini, desa dapat melakukan hal yang sebaliknya,
yaitu tetap mempertahankan nilai ketradisionalan mereka. Memelihara ayam tidak dengan
konsentrat tetapi membiarkan hidup liar di ladang sehingga kualitas daging dan telornya jauh
lebih unggul di bidang rasa dengan ayam-ayam ras. Demikian juga beternak sapi sesuai dengan
apa yang dilakukan masyarakat di masa lalu, yakni memelihara sapi dengan pakan alami.
Desa, dapat memanfaatkan masalah orang kota ini dengan memproduksi barang-barangg
tersebut sesuai dengan keaslian dan kesegarannya. Dalam hal makanan ternak dan ayam, jelas
desa memberikan sumbangan besar karena kondisi alami desa dengan berbagai tumbuhan yang
ada. Tentu, desa yang ada di pantai, akan dapat menyumbangkan keasliannya dengan
menawarkan hasil ikan laut yang masih segar untuk dijual kepada masyarakat. Segala yang
menyangkut keaslian, seperti buah-buahan yang segar dapat langsung di petik dari desa,
terutama desa yang jauh dari perkotaan dan daerah pegunungan. Di wilayah Kintamani misalnya,
dengan kondisi wilayah yang luas serta hawanya yang sejuk, cara untuk menikmati minuman
kopi, langsung disuguhkan dengan cara menyeduh di tempat, sambil melihat-lihat kebun kopi
yang ada di tempat tersebut.
Nilai dan Suasana Tradisional
Dalam hubungan dengan perkembangan pariwisata di Bali, desa sesungguhnya masih
mampu memberikan sumbangan yang lain dengan memberdayakan potensi dan sumber daya
yang dimiliki. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan adanya lalu lintas dan sarana lalu-lintas yang
baik menuju ke pedesaan. Sebagai sebuah komunitas yang berbasis pertanian, masyarakat Bali
masih menyimpan budaya, barang, sampai dengan ritual yang mentradisi. Kehidupan pertanian
di Bali, boleh dikatakan belum sepenuhnya beranjak ke arah modern. Masyarakat yang memakai
traktor untuk mengolah sawahnya, baru diperkenalkan pada dekade tujuhpuluhan. Akan tetapi
perkenalan tersebut masih belum tuntas sampai ke desa di pelosok. Masih ada masyarakat yang
menggunakan alat bajak, sawah, maupun menggunakan sapi untuk mengolah tanah. Demikian
juga, perkenalan dengan mesin penggiling padi. Meskipun diperkenalkan pada dekade
tujuhpuluhan, tetapi tetap ada anggota masyarakat yang masih menggunakan lesung, alu dan niru
untuk memisahkan kulit padi dan membersihkan beras. Sebagai sebuah atraksi, ini sangat
menarik bagi wisatawan. Mengolah tanah sawah dengan kerbau atau sapi, membersihkan beras
dengan alu, merupakan atraksi menarik. Namun, haruslah kemudian hal ini dikemas dalam
bentuk profesional. Mereka-mereka itu harus mendapatkan bayaran sampingan sebagai sebuah
atraksi karena ditonton, bahkan difoto dan direkam oleh turis. Karena itu, haruslah dikenakan
biaya untuk hal ini dari turis dan bayarannya itu diberikan kepada petani yang menjadi pelaku
langsung dari atraksi tersebut.
Kalaupun misalnya pengerjaan tersebut tidak dilakukan dengan cara tradisional, paling
tidak alat-alat untuk melakukan itu masih ada. Dan untuk itu, setiap desa tidak ada salahnya
membuka museum tradisi untuk memamerkan barang-barang yang dipakai untuk mengolah
sawah maupun untuk mengolah padi menjadi beras. Barang-barang tersebut terbuat dari barang-
barang pilihan pada masanya sehingga masih bertahan sampai sekarang. Pembuatan museum ini
sangat menarik untuk ditindaklanjuti karena desa mempunyai lahan yang luas untuk itu.
Cara memasak masyarakat Bali juga unik, demikian juga dengan alat memasak dan
tungku dapur yang digunakan. Setelah gas masuk sampai ke kampung-kampung, ada perubahan
sosial cukup pesat di masyarakat kampung dalam hal memasak, yaitu menggunakan kompor gas.
Sebelumnya, masyarakat juga banyak yang memakai kompor minyak tanah. Akan tetapi,
belakangan muncul kesadaran bahwa hasil masakan tradisional yang menggunakan kayu bakar
mempunyai cita rasa yang jauh lebih enak. Pada keluarga-keluarga tertentu juga, masih
menggunakan cara memasak tradisional dan menyajikannya dengan cara tradisional. Karena itu,
proses memasak yang ada pada masyarakat Bali ini, merupakan sebuah atraksi pengetahuan juga
bagi turis terutama yang sudah terlalu tersentuh dengan pola kehidupan masyarakat modern.
Mereka tentu akan mampu meningkatkan pengtahuannya terhadap masyarakat Bali dengan
melihat lesung, alu, nampan, sabit dan sebagainya sebagai alat-alat tradisionil sebagai penopang
kehidupan sosial.
Nilai tradisional yang paling sering dijual sebagai atraksi kepada turis, adalah atraksi
budaya yang dikaitkan dengan religiusitas. Masyarakat sembahyang di Pura, atau menghaturkan
sesaji di sawah, telah menjadi hal biasa untuk pariwisata di Bali. Namun kesadaran untuk
memungut biaya atas atraksi tersebut masih belum dilakukan. Masih terjadi pertetangan bagi
masyarakat, apakah seharusnya memungut biaya untuk upacara adat dan agama karena dinilai
sebagai merendahkan martabat ritual. Atraksi tersebut sudah menjadi turun temurun di Bali.
Bahwa sekarang ada turis yang menonton, itu merupakan konsekuensi dari konsepsi pariwisata
budaya yang dikembangkan di Bali. Akan tetapi, pada pihak lain, ada masyarakat yang
berpandangan bahwa turis yang melihat atraksi tersebut mendapatkan hiburan dan pengetahuan
sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dan kualitas pengetahuan mereka. Peningkatan ini
haruslah dilakukan dengan transformasi untuk menghargai peningkatan pengetahuan dan
kualitas hidup yang didapatkan. Uang adalah bentuk dari transformasi itu, seperti juga ketika kita
membeli makanan yang membuat kualitas hidup kita lebih baik, atau masuk ke sekolah yang
membayar jasa guru-guru yang mentransfer ilmu kepada murid-murid.
Dalam hal tradisionalitas dan keleluasaan ruangan ini, desa yang ada di kota tidak akan
mampu menyaingi desa yang ada di luar kota, apalagi yang di pedalaman dan pegunungan. Di
Bali, desa tidak hanya ada di pedalaman atau pegunungan tetapi juga di kota. Desa Pakraman
yang merupakan desa tradisional di Bali, ada juga di perkotaan. Sistem sosial di Bali, memang
tidak memandang adanya istilah kota, tetapi desa, yang kemudian terbagi-bagi menjadi banjar,
baik banjar pakraman maupun banjar dinas atau adminsitratif. Karena itulah di kota-kota yang
ada di Bali, dikenal juga keberadaan desa. Malah pola kehidupan sosial yang ada pada desa di
perkotaan sangat mirip dengan apa yang ada dipedesaan di pedalaman atau di luar kota.
Keterikatan kepada hinduisme dan desa pakraman tersebut, memungkinkan adanya kemiripan
pola-pola kehidupan sosial dan sistem sosial tersebut. Hanya saja dalam hal keleluasaan
ruangan, desa di kota tidak mampu menandingi desa yang ada di luar perkotaan. Ruang yang ada
di kota jauh lebih sesak karena adanya urbanisasi dan bangunan-bangunan untuk aktivitas
pendidikan, kebudayaan, pemerintahan serta perekonomian. Akan tetapi, keunggulan yang
dimiliki desa di perkotaan ada pada sektor sumber daya manusianya, yang jauh lebih terdidik dan
jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang bersifat praktis. Dalam hal kepariwisataan dan
bisnis serta perekonomian, masyarakat di perkotaan jauh lebih berpengalaman.
Karena itu, ketimpangan ini sesungguhnya dapat dipakai sebagai saling-silang kebutuhan
antara masyarakat desa di luar perkotaan atau di pedalaman dengan masyarakat kota. Mereka
harus mampu saling bertukar pengalaman dan informasi termasuk keterampilan dan mampu
memberikan ruang kepada masyarakat desa kota untuk mengelola segala sumber daya yang ada
di pedesaan. Paling tidak masyarakat desa kota bersedia mentransfer pengetahuan dan
keterampilannya kepada masyarakat pedesaan yang letaknya jauh di luar kota.
Tetapi dalam hal mengolah nilai-nilai tradisionalis untuk kepentingan pariwisata, dan
dengan demikian mampu mengembangkan sumber daya yang ada, masyarakat desa di kota
masih mampu melakukannya. Karena masyarakat Bali berbasis pada kehinduan, tradisi tersebut
masih dapat dipakai untuk disajikan sebagai atraksi pariwisata. Dilihat dari hal itu, maka
ketradisionalan tidak hanya dapat dilihat dari perilaku masyarakat beserta dengan berbagai
artefak yang dimilikinya, tetapi juga produk-produk yang sifatnya tradisional. Kuliner tradisional
misalnya, apabila dibandingkan dengan kuliner nasional atau internasional, tidak kalah
kualitasnya. Di desa, banyak kuliner tradisional yang dapat diolah mulai dari metode kulinernya
sampai dengan hasil masakannya untuk memberikan penghasilan kepada desa. Sebagai sebuah
hasil dari kreatifitas masyarakat, proses ini dapat dipertotonkan kepada turis. Atau apabila dilihat
dari nilai rasanya, dapat dijual tidak hanya di hotel tetapi juga untuk masyarakat desa sendiri.
Cara pengolahannya yang harus diperbaiki agar menjadi lebih bersih.
Suasana Pedesaan
Banyak yang kurang memperhatikan bahwa suasana desa, sesungguhnya dapat dipakai
sebagai sebuah alternatif menikmati kehidupan di Bali. Apabila dilihat suasana kota Denpasar,
Badung dan Gianyar (terutama di Ubud) sudah demikian padat lalu lintasnya, perumahan yang
sudah sesak, dengan sawah yang sudah hampir tidak ada sisa, maka kondisi ini hampir sama
dengan apa yang ada di Jakarta. Persaingan hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di
perhotelan, nampaknya sudah mulai sumpek. Bekerja mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan
pukul 17.00 sore atau kalipatannya di sore dan malam hari, membuat pemikiran tidak selalu bisa
segar. Karena itu diperlukan suasana yang segar agar kosentrasi kerja dapat berlangsung dengan
baik dan kompetitif. Pantai mungkin sudah ditawarkan oleh daerah-daerah Badung dan Gianyar
bagian selatan. Akan tetapi, tetap diperlukan suasana alternatif untuk melepaskan ketegangan
tersebut.
Suasana inilah yang mesti ditawarkan oleh desa. Dalam keadaan demikian, desa-desa
yang paling menguntungkan itu adalah yang berlokasi di pegunungan atau yang mempunyai
kedudukan tinggi diatas 500 meter diatas permukaan laut. Seharusnya, suasana pedesaan ini
tidak mesti dimanfaatkan oleh desa di pegunungan saja tetapi juga dapat di desa yang ada di
dataran rendah, asal mampu memelihara suasana desanya. Jadi, desa yang rimbun dengan
suasana asli dapat dipakai sebagai daya tarik untuk menarik masyarakat perkotaan untuk tinggal
di desa. Mungkin ini dipakai sebagai wisatawan domestik yang mencari suasana alternatif untuk
menyegarkan pikiran. Karena itu, penginapan temporer atau penyewaan tempat tinggal di desa,
menjadi salah satu cara untuk menambah penghasilan. Pada desa yang berada di pegunungan,
hal ini akan bertambah positif lagi karena mempunyai suasana yang sejuk. Dalam contoh yang
ada di Bali bagian tengah misalnya, suasana dari Desa Petang sampai dengan Kintamani,
mempunyai suasana sejuk sehingga iklim tersebut dapat diberdayakan untuk meningkatkan
kesejahteraan desa. Beberapa desa di Badung bagian utara, misalnya di Auman, telah
menyediakan fasilitas trekking yang dapat tembus sampai di Bedugul Tabanan. Membuka lahan
warung makan juga tidak terlalu sulit dilakukan.
Dari skala jarak, Bali ini sesungguhnya relatif tidak terlalu melelahkan untuk dijelajah.
Satu putaran penuh Bali, memerlukan sekitar 12 sampai 13 jam untuk mengitari, dengan kondisi
jalan yang bagus, memakai kendaraan roda empat maupun kendaraan roda 2. Sedangkan jarak
dari Denpasar menuju Kintamani, sebagai obyek desa pegunungan, hanya memerlukan waktu
sekitar dua jam, dengan kondisi jalan yang bagus, beraspal hotmik. Dengan demikian,
menempuh perjalanan menuju desa-desa lain di Bali, relatif tidak terlalu sulit. Inilah tawaran
yang dapat dilakukan oleh desa, untuk meringankan beban kehidupan di kota. Masyarakat
Jakarta, setiap hari libur pasti akan menyerbu daerah puncak di Bandung, tidak lain tujuannya
adalah untuk menghilangkan rasa penat bekerja di tengah sesaknya Ibu Kota. Satu hal yang
sudah diperlihatkan oleh keunggulan desa saat ini adalah adanya wisatawan yang memakai mobil
savari,menembus desa-desa pedalaman yang ada di Bali. Seharusnya, ini dipungut biaya setiap
ada konvoi yang datang melewati desa. Demikian juga dengan gras track yang dilakukan oleh
anak-anak muda memakai sepeda motor modifikasi (trill). Banyak lahan yang hancur akibat
dilalui oleh sepeda motor modifikasi ini.
BAB 4
KOMUNITAS TRADISIONAL: DESA PAKRAMAN
Desa pakraman adalah komunitas masyarakat Hindu di Bali yang menempati wilayah
tertentu, dipayungi oleh tempat persembahyangan yang disebut dengan Khayangan Tiga. Pada
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, (yang diubah menjadi Peraturan Daerah No. 3 Tahun
2003), dijelaskan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun-temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(pasal 1 angka 4).
Ada beberapa frase kunci yang dapat menjelaskan desa pakraman ini. Yang pertama
adalah “masyarakat hukum adat di Propinsi Bali”. Artinya bahwa desa pakraman ini, dalam
konteks keberadaannya pada kasanah wilayah Indonesia, hanya ada di Propinsi Bali, yang
bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakannya sehari-hari (adat). Desa yang ada di
luar propinsi Bali, tidaklah disebutkan dengan sebutan “desa pakraman”, meskipun desa tersebut
dilandaskan pembentukannya pada kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
Kedua, “mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun-temurun.” Paling tidak frase ini menekankan kepada identitas religius
yang melandasi desa pakraman itu, yaitu agama Hindu, yang mana identitas ini diikuti oleh
kebiasaan-kebiasaan yangtelah dilakukan turun temurun. Masyarakat yang keberadaannya di
luar agama Hindu, tidaklah termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan
desa pakraman tersebut. Dalam konteks sosiologis dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang turun-
temurun itu telah tercermin di dalam pergaulan, kontak sosial, termasuk norma-norma setempat
yang muncul sebagai akibat pergaulan tersebut. Apabila di Bali terdapat kebiasaan yang berbeda-
beda, tetapi sepanjang hal itu merupakan roh dari agama Hindu Bali, maka hal itupun juga
merupakan bagian dari desa pakraman. Fakta inilah yang kemudian membuat masing-masing
desa pakraman itu mempunyai alur praktik sosial, budaya dan religius yang berbeda-beda di
Bali. Awaig-awig yang ada di satu desa pakraman, tidak dapat disamakan dengan awaig-awig di
desa pakraman yang lain. Hanya, pengikat dari konteks ini adalah kehinduan atau praktik ritual
agama Hindu di Bali.
Ketiga, “dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa”. Frase ini menegaskan
bahwa Khayangan Tiga merupakan hal kemutlakan di dalam desa pakraman tersebut. Artinya
setiap desa pakraman harus mempunyai khayangan tiga atau khayangan desa tersebut. Di Bali,
yang disebut dengan khayangan tiga adalah tiga rangkaian kesatuan pura yang merupakan
simbolisasi kekuatan Tuhan, dimana masing-masing tempat sembahyang tersebut merupakan
manifestasi dari kekuatan Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada Khayangan Tiga, Pura Desa
merupakan manifestasi dari Dewa Brahma, Pura Puseh merupakan manifestasi dari Dewa Wisnu
dan Pura Dalem merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Ketiga tempat sembahyang ini mutlak
dimiliki oleh komunitas yang disebut dengan Desa Pakraman, bagaimanapun wujud fisik dari
pura tersebut dan bagaimanapun lokasinya jaraknya. Desa yang tidak mempunyai tiga pura
tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai desa pakraman. Sebaliknya apabila satu komunitas sosial
mempunyai tiga tempat persembahyangan tersebut, dia layak mendapat sebutan sebagai Desa
Pakaraman.
Keempat, mempunyai wilayah tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang
tergabung dalam Desa pakraman ini harus mempunyai wilayah tertentu. Pada peraturan daerah
ini tidak disebutkan secara pasti seberapa jauh wilayah yang ditempati oleh masyarakat yang
tergabung di dalam desa pakraman tersebut. Juga tidak disebutkan berapa jumlah penduduknya
dan bagaimana perbatasannya. Yang paling utama adalah keterikatan mereka dengan tempat
persembahyangan bersama yang disebut dengan khayangan tiga tersebut. Dengan demikian, bisa
saja keanggotaan desa pakraman itu berasal dari tiga banjar dinas, atau bahkan satu banjar dinas,
bahkan satu banjar dinas dapat terdiri dari dua desa pakraman dengan komposisi tempat tinggal
penduduknya selang- seling atau berdampingan dengan penduduk rumah tangga yang menjadi
anggota desa pakraman lain. Tidak ada kewajiban desa pakraman tersebut mempunyai kuburan.
Karena itu dimungkinkan desa pakraman itu berdiri dengan tanpa kuburan asal masyarakat
tersebut mempunyai tiga tempat sembahnya tersebut, yaitu Khayangan Tiga. Di jaman sekarang,
tahun 2015 ini, dengan adanya jasa penitipan jenazah di rumah sakit, jasa untuk mengkremasi
jenazah, sangat mungkin desa pakraman ini berdiri hanya dengan mengikatkan diri pada pura
khayangan tiga, tanpa mempunyai kuburan.
Kelima, “mempunyai harta kekayaan sendiri”. Frase ini mencirikan tentang kesejarahan
dari desa pakraman itu di Bali. Desa pakraman ini merupakan komunitas gotong-royong, saling
tolong menolong, yang amat mungkin di masa lalu terkosentrasi pada pelaksanaan ritual
keagamaan. Seperti yang sudah diketahui dan dirasakan masyarakat, ritual Hindu Bali, apalagi di
masa lalu, ritual tersebut cenderung kompleks. Kekompleksan ini membutuhkan waktu, tenaga
dan biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Untuk pelaksanaan kompleksitas tersebut,
maka secara ekonomi memerlukan biaya yang besar. Maka untuk menutupi pembiayaan ini,
secara sosial desa pakraman mempunyai kekayaan yang dapat dikelola secara bersama. Inilah
barangkali yang menjadi dasar pemikiran munculnya harta benda yang dimiliki desa pakraman.
Yang paling terkenal, kekayaan ini adalah tanah laba pura, yang dipertahankan sampai sekarang.
Angka 10 pada pasal 1 Peraturan daerah No. 3 Tahun 2001 (sebagaimana yang diubah menjadi
Perda No. 3 tahun 2003) menyebutkan bahwa tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik
desa pakraman yang berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman. Ini juga menjadi
kekayaan yang dapat dikelola oleh desa parkaran secara mandiri. Tentu sekarang kekayaan
tersebut berkembang semakin meluas seperti Lembaga Perkreditan Rakyat dan sebagainya. Pura
Khayangan Tiga tentu juga menjadi hak milik dari desa pakraman.
Keenam “ berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dari sini dapat dikatakan bahwa
komunitas ini mempunyai kewenangan otonomi. Konstitusi Indonesia melindungi hal ini karena
masing-masing kebiasaan yang berupa adat tersebut mempunyai perwujudan praktik yang
berbeda-beda. Demikiann juga halnya di Bali. Meskipun mempunyai landasan keagamaan yang
sama, akan tetapi penafsiran atas ritual yang telah menjadi kebiasaan itu berbeda-beda. Dalam
hal desa pakraman, kepentingan mengurus rumah tangga sendiri yang bersendi otonomi itu
penting, demi mencegah konflik penafsiran.
Banyak yang menyebutkan secara satir bahwa desa pakaraman itu mirip seperti negara di
dalam negara. Mungkin ini hanya ungkapan lelucon yang ditujukan kepada lembaga ini karena
mempunyai fungsi, kewenangan serta kelengkapan organisasi mirip dengan negara. Pasal 5
Peraturan daerah No 3 Tahun 2001 mengatur tentang tugas desa pakraman sebagai berikut:
a. Membuat awig-awig
b. Mengatur karma desa
c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa
d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di
bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan,
e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaann nasional pada umumnya dan
kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras paros, sagilik-saguluk
salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).
f. Mengayomi krama desa.
Pasal 6 dari peraturan ini mengatur wewenang desa pakraman, yaitu:
a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap
membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awaig-awig dan adat
kebiasaan setempat.
b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di
wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana,
c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Organisasi desa pakraman dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai alat kelengkapan
yang disebut dengan prajuru. Dimana prajuru ini ditetapkan oleh masyarakat yang menjadi
anggota desa pakraman tersebut berdasarkan awig-awig yang dimilikinya (Pasal 7, Perda No. 3
Tahun 2001). Sedangkan pada bidang keamanan, dilengkapai dengan apa yang disebut pecalang
(pasal 17, Perda No. 3 Tahun 2001). Ketertiban dan keamanan di masyarakat dilaksanakan oleh
pecalang.
Dengan adanya fungsi, kewenangan dan kelengkapan seperti itu, ditambah dengan
kekayaan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, material maupun immaterial, serta
barang-barang yang memiliki makna magis dan religius, desa pakraman tersebut mirip dengan
negara di dalam negara. Apalagi kemudian lembaga ini mempunyai otoritas sendiri untuk
mengelolanya.
Desa pakraman merupakan sebutan untuk sistem kemasyarakatan asli dari masyarakat
Hindu di Bali. Akan tetapi, perhatian yang lebih menekankan kepada aspek hukum tentang
lembaga desa adat ini justru baru dimulai pada tahun 1986, ketika pemerintah daerah Bali
membuat Peraturan daerah No 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat
sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali. Ini boleh
dikatakan sebagai upaya pertama secara normative dalam mengatur, menegaskan eksistensi desa
adat di Bali, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Dalam peraturan daerah ini kata “adat”
masih dipakai untuk menyebutkan pakraman seperti yang dirtulis sekarang. Adat, dengan
demikian mencerminkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, sesuai dengan
leluhurnya, dan menurun secara berkesinambungan. Munculnya aturan normatif ini, dapat
dipandang sebagai munculnya kesadaran baru dari kalangan elit dan intelektual Bali terhadap
perlindungan komunitas adat ini, baik secara hukum maupun dalam menghadapi perubahan
sosial. Aturan secara hukum perlu dibuat demi memberikan status yang jelas kedudukan, fungsi
dan eksistensi dari lembaga ini, baik bagi masyarakat Bali maupun masyarakat di luar Bali. Bagi
masyarakat Bali hal ini akan menambah keyakinannya dalam negara Indonesia karena
kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan turun-temurun telah
mempunyai payung hukum. Bagi kalangan di luar masyarakat Bali, akan mengetahui bagaimana
keberadaan desa tradisionil di Bali dan bagaimana posisinya di dalam hukum nasional. Akan
tetapi yang juga perlu dilihat adalah bahwa munculnya peraturan daerah ini amat mungkin
didorong oleh mulai terasakannya desakan-desakan kepada desa adat dari pengaruh-pengaruh
luar, terutama dari arus turisme yang demikian deras di Bali.
Peraturan daerah ini kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana kemudian yang telah direvisi melalui
Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003. Dua hal penting yang mesti dicatat dalam
perkembangan ini, terutama dari tahun 1986 dengan tahun 2001 adalah adanya bab khusus
tentang Pemberdayaan Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman serta bab tentang Pecalang.
Ketiga ketentuan ini tidak ada dalam peraturan daerah sebelumnya. Munculnya bab tentang
Pemberdayaan Desa Pakraman mencerminkan telah mulai ada kesadaran bahwa desa pakraman
ini dapat dibuat mandiri, maju dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bahkan dalam
ketentuan pasal 1 angka 19 sengaja dijelaskan tentang maksud dari kata pemberdayaan itu, yaitu
rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakraman dapat lestari dan kokoh
sehingga berperan positif dalam pembangunan. Dengan kata lain, desa pakraman ini dapat ikut
terlibat dalam perubahan sosial, membangun dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman
dan tetap eksis. Tidak lain, ini disebabkan karena desa pakraman mempunyai sumber daya atau
kepemilikan seperti yang disebutkan pada bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman dan
bab VI tentang Pendapatan Desa Pakraman.
Bab tentang Majelis Desa Pakraman boleh dikatakan sebagai sebuah lembaga yang
bermanfaat untuk menyelesaikan segala perbedaan-perbedaan yang ada di berbagai desa
pakraman di Bali dan menyamakan persepsi diantara sekian banyaknya desa pakraman yang
mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda meskipun dilandasi oleh agama Hindu. Sedangkan
Bab tentang Pecalang, merupakan antisipasi dari adanya konflik yang mungkin muncul intra
anggota desa pakraman tentang kesalahan penafsiran dari makna awaig-awig di tengah
perkembangan jaman serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi di antara desa pakraman.
Konflik berpotensi muncul sebagai akibat perubahan sosial yang demikian deras di Bali dengan
industri pariwisatanya.
Hubungan antara Desa Dinas Dengan Desa Pakraman
Meskipun dua desa ini berada di dalam satu komunitas, dalam pelaksanaan praktik
sehari-hari kedua desa tersebut menjalankan fungsinya secara mandiri. Pada intinya, desa dinas
menjalankan fungsinya dalam rangka administratif kependudukan yang berhubungan dengan
kepemerintahan. Sedangkan desa pakraman, menjalankan fungsi yang berhubungan dengan adat
dan keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali secara turun-temurun dan
berkelanjutan. Dari konteks tersebut, sesungguhnya tidak ada kaitan antara desa pakraman
dengan desa dinas karena masing-masing mempunyai peran tersendiri.
Namun demikian, kedua desa di Bali ini mempunyai hubungan yang unik yang kemudian
membentuk pola hubungan harmonis. Yang pertama adalah adanya satu banjar dinas yang
langsung menjadi satu desa pakraman. Ini merupakan hubungan menarik karena di lingkungan
banjar dinas itu juga berdiri Pura Khayangan Tiga sebagai tempat persembahyangan dari seluruh
masyarakat yang ada di banjar dinas itu. Dalam konteks sistem sosial tradisional di Bali, banjar
ini disebut dengan Desa Pakraman atau dulu disebut dengan desa adat karena mempunyai Pura
Khayangan Tiga tersendiri. Hubungan antara desa pakraman dengan banjar dinas boleh
dikatakan sejajar, tidak saling intervensi, dan saling bekerjasama. Dikatakan sejajar karena
masing-masing mempunyai legitimasi. Banjar dinas merupakan unsur paling rendah (dekat
dengan masyarakat) dalam sistem kepemerintahan Indonesia di Bali. Banjar inilah yang
mengurus administrasi kependudukan dalam kerangka hubungan penduduk dengan negara atau
pemerintah. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali sehingga dengan
keberadaan itu juga memiliki legitimasi sosial. Fungsi dari desa pakraman lebih banyak
mengatur soal hubungan sosial tradisional di Bali yang menyangkut kebudayaan dan ritual atau
berhubungan dengan sistem sosial ketradisionalan Bali. Dengan komposisi legistimasi seperti
itulah kemudian kedua sistem ini dapat hidup berdampingan tanpa harus mencampuri urusan
masing-masing lembaga. Keduanya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, dengan pokok
melayani masyarakat, akan tetapi dengan wujud yang berbeda. Akibat positif dari keberadaan
dua lembaga ini sering terlihat. Di darah-daerah rawan di Bali, terutama di desa atau lingkungan
yang dekat dengan perkotaan, desa pakraman dengan banjar dinas dapat melakukan kerjasama
dalam memelihara ketertiban dan keamanan. Satuan pecalang yang dimiliki oleh Desa
Pakraman dapat bersinergi melaksanakan tugas untuk menertibkan desa yang dengan demikian,
juga menciptakan ketertiban di banjar dinas. Dalam praktiknya pecalang melaksanakan tugas
dengan melakukan sidak ke tempat-tempat yang dipandang rawan pelanggaran seperti kos-
kosan atau melakukan patroli ke wilayah lingkungan desa untuk memantau keamanan. Dalam
rapat yang dilakukan oleh desa pakraman misalnya, pimpinan (kelihan) banjar dinas dapat
memakai kesempatan memberikan pengumuman kepada warga tentang kebijakan-kebijakan
yang dilakukan pemerintah. Kerjasama antara kedua lembaga ini justru dapat memberikan saling
keberuntungan bagi warga.
Aparatur yang menjalankan desa dinas ada juga yang menjadi aparatur di desa pakraman
sehingga membuat segala perkembangan yang ada di kedua lingkungan lembaga tersebut, dapat
diketahui dan disikapi oleh aparatur yang sama. Atau sebaliknya aparatur yang secara struktural
mempunyai kedudukan tinggi di desa pakraman, mempunyai struktur juga di banjar dinas. Ini
membuat sikap saling hormat menghormati diantara kedua desa tersebut. Mau tidak mau, untuk
memelihara ketertiban lingkungan, baik desa pakraman maupun desa dinas (keperbekelan),
harus saling memberikan penilaian, bertukar informasi tentang segala potensi negatif yang ada di
desa untuk didiskusikan demi menciptakan ketertiban bersama.
Realitas adanya banjar dinas yang menjadi desa pakraman sesungguhnya merupakan
komposisi yang ideal karena kedua lembaga itu berada di dalam satu wilayah, satu lingkungan
dan dengan demikian juga aparaturnya dapat saling melengkapi. Harmonisasi dalam
menyelenggarakan pemerintahan relatif dapat dipelihara karena lingkungan perbatasan dari dua
lembaga komunal ini sama. Satu hal yang dapat menjadi pengganjal dari dua lembaga ini adalah
pada bidang keyakinan dari warganya. Karena desa pakraman merupakan lembaga yang menjadi
pengayom masyarakat Hindu (Bali), maka warga di banjar tersebut yang bukan pemeluk Hindu
bukan menjadi wadah dari desa pakraman. Perbedaan budaya karena kebanyakan masyarakat
non-Hindu berasal dari luar daerah Bali, dan juga perbedaan agama, akan menimbulkan
ketidakpahaman tentang pola ritual atau pelaksanaan agama yang digelar. Pada titik inilah
penting bagi banjar dinas dengan aparatnya menjadi penghubungan yang baik dan fungsional
untuk menjelaskan kebiasaan dan ritual dari masing-masing kepercayaan tersebut kepada
berbagai pihak agar dapat saling dimengerti. Norma-norma, kebiasaan dan budaya dari masing-
masing pihak harus dijelaskan oleh aparatur banjar dinas agar mampu memunculkan saling
pengertian. Dengan dasar saling pengertian inilah kemudian akan mampu diciptakan harmonisasi
di lingkungan tersebut. Tentu saja juga sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur banjar dinas itu
dilakukan secara bersama-sama oleh aparat (prajuru) desa pakraman. Cara ini akan menambah
kentalnya upaya harmonisasi tersebut.
Harus diakui bahwa ada perbedaan antara desa dinas (administratif) dengan desa
pakraman. Pada umumnya desa dinas itu terdiri dari beberapa banjar dinas yang kemudian
bersatu atau disatukan menjadi satu desa dinas, yang sekarang di Bali disebutkan dengan nama
keperbekelan. Misalnya Perbekel Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdiri dari enam
banjar dinas, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam I, Samsam II dan
Banjar Dinas Lumajang. Akan tetapi di Keperbekelan Samsam terdapat Lima Desa Pakraman,
yaitu Samsam, Lumajang, Penyalin, Kutuh Kelod dan Kutuh Kaja. Dari sisi penyebutan anggota
masyarakat juga mempunyai perbedaan karena pada desa dinas (perbekel), disebut sebagai warga
dan desa pakraman, disebut dengan krama.
Dalam hal pengelompokan krama, desa pakraman mempunyai tingkatan-tingkatan
tertentu, sesuai dengan asal usul atau kepemilikan yang dikelola. Pembagian sebutan krama
(warga) pada desa pakraman ini setidaknya dikenal pada tiga kelompok, yaitu krama pengarep,
krama pangle, dan sekarang ada juga yang disebut dengan krama tamiu. Mereka yang disebut
dengan krama pengarep adalah orang yang terkena ayah-ayahan dan ikut bertanggung jawab
di dalam ritual yang dilakukan oleh desa. Di wilayah lain, misalnya di Karangasem, mereka yang
disebut dengan krama pengarep adalah pihak yang mendapatkan hak untuk mengolah tanah
milik desa pakraman (Stuart-Fox, 2010: 37). Sedangkan krama pangele adalah mereka yang
berasal dari desa pakraman bersangkutan, akan tetapi karena berdomisili di wilayah yang jauh,
dapat melakukan ganti terhadap kerja gotong royong yang dilakukan di desa pakraman tersebut.
Sedangkan krama tamiu merupakan warga lain yang berasal dari luar wilayah, berdomisili di
wilayah desa pakraman tersebut tetapi tidak bergabung dengan desa pakraman. Paling banyak
mereka yang disebut sebagai krama tamiu ini adalah mereka yang beragama di luar Hindu dan
berasal dari daerah lain. Dalam kasus di Bali, di awal millennium ke-21 ini cukup banyak
krama tamiu yang menduduki wilayah desa pakraman, terutama yang berdekatan dengan kota.
Dalam konteks demikian, desa administrative (keperbekelan), tidak mempunyai
pembedaan dalam penyebutan anggota masyarakat yang berdomisili di wilayahnya. Seluruh
warga yang menyatakan bertanggung jawab dan berdomisili di wilayah desa tersebut mempunyai
hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai pembedaan sebutan. Semua warga wajib
membayar pajak apabila berada di wilayah keperbekelan itu dan juga berhak untuk mengelola
tanah miliknya atas dasar pajak yang diserahkan, dan sebaliknya juga berhak mendapatkan
kepengurusan administrasi seperti memiliki KTP, mengurus kartu keluarga dan sebagainya.
Hubungan kerjasama antara desa pakraman dengan desa dinas atau banjar dinas, justru
semakin kental akhir-akhir ini ketika krama tamiu semakin banyak yang datang di Bali. Krama
tamiu tersebut bertempat tinggal di banjar-banjar yang menjadi wilayah desa dinas sekaligus
juga menjadi wilayah desa atau banjar pakraman. Datangnya krama tamiu ini memberikan
penghasilan tambahan bagi krama desa dengan penyediakan rumah-rumah kontrakan atau
tempat kost. Akibat dari itu, jumlah penduduk satu desa menjadi bertambah banyak dan
dipandang perlu untuk melakukan kontrol lapangan demi menjaga ketertiban lingkungan. Untuk
melakukan kontrol inilah kemudian desa dinas (keperbekelan), memerlukan peran dari desa
pakraman dengan memanfaatkan petugas keamanan dari desa pakraman, yang disebut dengan
pecalang. Petugas keamanan desa pakraman yang berfungsi menjaga keamanan.
Ada dua varian kerjasama yang dilakukan. Varian yang pertama adalah pimpinan desa
dinas meminta bantuan kepada pimpinan desa pakraman (disebut dengan kelihan) untuk
mengaktifkan pecalang di wilayahnya masing-masing. Dalam kerangka ini, desa pakraman akan
bertindak sendirian untuk memantau situasi lingkungan yang ada di desa pakraman
bersangkutan. Dalam praktik, pecalang biasanya berkeliling wilayah desa untuk memantau
situasi dan melakukan razia terhadap warga yang tidak jelas identitasnya. Sedangkan varian
kedua, akan ada gabungan tindakan baik yang dilakukan oleh desa pakraman maupun desa dinas
(administratif) untuk melakukan pemantauan lingkungan. Desa pakraman akan turun ke
lapangan dengan dilengkapi pecalang beserta jajaran pimpinan dan kelengkapan organisasi,
sedangkan jajaran pimpinan desa dinas juga melakukan hal yang sama. Karena garis komando
dari desa dinas ada di dalam pemerintahan negara, maka dalam konteks kerjasama ini, petugas
kepolisianlah yang akan mendampingi desa dinas dalam melakukan pemeriksanaan. Karena
itulah akan terlihat kerjasama koordinatif antara desa pakaraman dan dinas, yang dalam praktik
secara teknis akan mempunyai beragam metode untuk mengaplikasikannya. Misalnya, setiap
desa pakraman yang ada di desa dinas tersebut mendapat dampingan beberapa petugas kepolisian
saat melakukan sidak lingkungan.
Dalam kasus yang lain, bentuk kerjasama dan koordinasi antara desa dinas dengan desa
atau banjar pakraman itu sangat tergantung dari kebiasaan yang ada di wilayah bersangkutan. Di
Desa Pakaraman Eka Cita di Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Tabanan misalnya, ketika desa
pakraman mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah propinsi, dalam jumlah tertentu juga
disumbangkan kepada banjar dinas, yang penggunannya untuk perbaikan sarana di wilayah
banjar tersebut. Membangun jalan menuju sungai atau permandian umum, mempunyai dua cara
pandang karena dapat memperbaiki infrastrutur di desa pakraman sekaligus juga di desa dinas.
Bantuan juga diberikan untuk memperbaiki kantor dari banjar dinas, atau untuk memperbaiki
bale banjar yang dipakai sebagai kantor dari banjar dinas.
Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18B menyebutkan pada angka 2). Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ini menandakan bahwa kesatuan masyarakat adat tersebut, dengan berbagai kebiasannya
masih tetap mendapatkan pengakuan oleh negara di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adat pada awalnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “Adah” yang artinya
kebiasaan, yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi (Samosir, 2013: 8). Desa pakraman
yang sekarang berlaku di Bali, pada awalnya disebut dengan desa adat yang memang mengacu
kepada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kebiasaan ini lebih mengacu
kepada ritual agama yang telah dilakukan masyarakat Bali secara turun-temurun dan berabad-
abad. Akan tetapi setelah menemukan makna kata yang lebih sesuai dengan konteks Bali, maka
kata “adat” tersebut kemudian dihilangkan dan dipakailah kata pakraman sebagai pelengkap kata
“desa” untuk menyebutkan praktik kebiasaan masyarakat Bali, sesuai ritual Hindu yang
dilakukan dan berlangsung di desa, dan menjadi desa pakraman untuk mengganti sebutan desa
adat.
Kelemahan Desa Pakraman
Dalam perjalanan desa pakraman, sifat ketradisionalannya tidak dapat dilepaskan sama
sekali karena desa ini merupakan turunan dari desa Bali kuno yang mengadaptasi model-model
pemerintahan di masa lalu. Dengan adaptasi seperti itu maka legitimasi dari keberadaan desa
pakraman, tidak lain adalah tradisi tersebut. Apabila dilihat ke belakang, tradisi Bali sangat lekat
dengan pola-pola ritual agama Hindu sesuai dengan penafsiran dari masyarakat setempat,
ditambah dengan penafsiran dari pendeta atau orang-orang yang berpengaruh pada saat itu. Desa
pakraman mempunyai dua kekuatan yang tertuju kepada sifat tradisinya itu, yaitu hal ritual yang
berhubungan dengan agama (Hindu) dan para tokoh yang menjadi pembenar dari ritual
tersebut. Berhadapan dengan agama, masyarakat tidak mampu lagi menolak karena agama pada
masyarakat Indonesia, apalagi di Bali, agama merupakan keyakinan faktual dan ketundukan
yang mutlak. Kemudian ketika ritual agama tersebut dibenarkan oleh tokoh masyarakat, apalagi
raja dan para pendeta yang ada, maka ritual tersebut, tidak dapat dihindarkan lagi. Bagaimanapun
kompleksitasnya, pasti akan dijalankan. Desa pakraman merupakan sikretisme dari hal ini,
mekipun kini harus berhadapan dengan modernisasi di Bali. Dasar dari lembaga ini adalah
keterikatan warga dengan tempat persembahyangan masyarakat Hindu Bali yang percaya dengan
tiga sakti dari Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa yang kemudian diimplementasikan ke
dalam Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Kelemahan lain dari desa pakraman adalah keberadaannya yang terpisah antara satu
dengan yang lain di Bali. Sejarah kemandirian lembaga ini ada di masing-masing desa. Kontak
yang terjadi jarang, kecuali pada desa pakraman yang berdekatan. Dan masing-masing desa
mempunyai wilayah yang luas sehingga harus mengadaptasi berbagai pendapat di wilayah yang
luas tersebut.
Karena itulah kemudian munculnya lembaga yang mengayomi desa pakraman yang
berjenjang dari kecamatan sampai dengan propinsi, menjadi satu terobosan penting misalnya
untuk menghadapi kesenjangan dialog dan hubungan sosial antar desa pakraman tersebut di Bali.
Modernisasi memberikan dorongan yang sangat besar terhadap keberadaan desa pakraman ini.
Majelis desa pakraman yang berada pada tingkat kecamatan sampai di propinsi tersebut, akan
memberikan semacam informasi yang sangat berguna bagi perkembangan desa ini menghadapi
perubahan sosial. Kesamaan persepsi tentang perubahan sosial memberikan sumbangan penting
bagi keberadaan desa dan kemudian adanya persamaan-persmaan persepsi dengan bagaimana
pola ritual yang harus dilakukan oleh desa pakraman. Bentuk dari kemajuan itu sebagai akibat
adanya lembaga yang berjenjang ini adalah adanya kesepakatan untuk membuat awig-awig yang
secara umum mempunyai kesamaan. Pola ini paling tidak akan memberikan satu garis persepsi
yang sama terhadap pembuatan kelengkapan struktur maupun fungsi desa pakraman. Sekarang
misalnya kita lihat bahwa setiap desa pakraman telah memiliki pecalang, telah mempunyai LPD
atau apabila tidak mampu secara mandiri, dapat melakukan gabungan untuk membuat Lembaga
Perkreditan Desa secara bersama-sama.
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 menyebutkan tentang berdirinya Badan Usaha Milik
Desa (BUMDesa) yang dapat dikelola oleh desa untuk mensejahterakan rakyat serta mengelola
aset-aset yang dimiliki oleh desa bersangkutan. Meskipun tidak sama dengan apa yang
dilaksnakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, akan tetapi BUM
Desa ini merupakan ide untuk mengelola usaha aset yang dimiliki oleh desa.
Ketika kemudian pilihan dijatuhkan kepada desa pakraman sebagai desa “perwakilan”
dari Bali, maka seperti yang dikatakan oleh Dr. I Nyoman Subanda, bahwa dalam konteks
pengalaman keadministrasian, hal ini akan berdampak besar. Para pengurus desa pakraman tidak
mempunyai pengalaman dalam membuat administrasi seperti laporan keuangan tahunan dan
sebagainya yang harus dilakukan oleh aparat desa. Bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi
pekerjaan berat. Disamping itu karena ada laporan tahunan kepada pemerintah, desa adat atau
desa pakraman akan tunduk oleh instruksi aturan-aturan pusat yang memungkinkan tergerusnya
aturan adat asli sendiri. Originalitas adat bisa tergerus. (Fajar Bali, 30 September 2014. Hal 1-
11).
Harus juga dilihat, desa pakraman mempunyai nama sebutan desa adat di masa lalu.
Sebutan untuk pimpinan desa adat adalah kelihan adat. Kata kelihan ini berakar dari bahasa
daerah Bali, yang artinya “kelih”. Kata itu merujuk kepada orang yang lebih tua atau sudah tua.
Dalam pemahaman tradisional, seorang yang sudah tua dipandang mempunyai pengalaman yang
lebih banyak, baik di bidang sosial maupun kepemimpinan, termasuk juga pengetahuan. Karena
itu orang yang tua dipandang cocok untuk menjadi pemimpin. Apalagi dalam desa pakraman
atau desa adat di Bali, ritual upacara adat dan agama yang dilakukan, memerlukan “legitimasi”
dari orang-orang yang lebih tua. Ritual tersebut mempunyai perlengkapan, alat, tata krama yang
memerlukan pengalaman dalam arti luas. Di tengah kemampuan mencatat dan menulis
masyarakat di masa lalu yang belum baik, maka hanya orang tua yang berpengalamanlah
dipandang layak memimpin desa adat.
Meskipun di jaman modern ini sebagian pimpinan desa pakraman dipimpin oleh mereka
yang masih muda, akan tetapi sebagian lain masih dipimpin oleh mereka yang tua.
Konsekuensinya, masih banyak orang tua yang tidak mampu membaca dan menulis yang
memimpin desa pakraman. Apalagi apabila dikaitkan dengan kemampuan manajemen. Padahal,
sesuai dengan Undang-undang No 6 tahun 2014, desa akan mendapatkan dana milyaran rupiah
untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat. Mengelola uang yang banyaknya milyaran rupiah ini,
memerlukan keterampilan manajemen dari seorang pimpinan. Apabila desa pakraman kelak
menjadi desa terpilih di beberapa kabupaten di Bali, tantangannya terletak pada konteks ini.
Bahkan desa pakraman yang dipimpin oleh anak muda pun berpotensi tidak mempunyai
keterampilan manajemen. Pengelolaan keuangan yang jumlahnya sampai milyaran rupiah
tersebut, memerlukan keteramapilan di luar manajemen, seperti misalnya mengoperasikan
perangkat lunak komputer dan sejenisnya.
Dalam sejarahnya, pemilihan kepada desa pakraman atau kepala adat, selalu menjadi
momok bagi generasi baru. Ini disebabkan oleh dipandang ribetnya upacara agama yang
menjadi tanggung jawab desa pakraman, disamping juga mengelola keragaman masyarakat
dengan berbagai perangainya. Pada konteks seperti ini, kepala desa pakraman terpilih karena
terpaksa atau karena dipaksa. Dalam pandangan manajemen, ini merupakan kelemahan karena
tidak akan mungkin dapat dihasilkan pimpinan dan pekerja yang handal apabila dimunculkan
dari kondisi yang memaksa. Mengelola desa dengan tujuan-tujuan seperti yang terlihat dalam
Undang-undang No 6 Tahun 2014, cukup sulit untuk diwujudkan. Undang-undang ini
menginginkan tujuan idealis untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Salah satu caranya
adalah dengan memberikan bantuan keuangan, baik dari pusat maupun daerah. Bentuk
pertanggungjawaban dari ini adalah membuat perencanaan sosial agar uang itu mampu
dimanfaatkan dengan baik, serta sudah menjadi kewajiban administrasi untuk membuat laporan
ke berbagai instansi yang memberikan bantuan keuangan. Pimpinan yang merasa terpaksa untuk
menjadi kepala desa pasti akan kesulitan mengelola ini. Yang paling dikhawatirkan dari hal-hal
seperti ini adalah adanya penyimpangan-penyimpangan keuangan.
Dalam hubungan dengan penyimpangan ini, adanya bantuan keuangan kepada desa dari
pusat maupun daerah, juga potensial berbahaya apabila dikaitkan dengan kepemimpinan. Isu
paling utama dari Undang-Undnag Desa ini adalah bahwa desa akan mendapat bantuan uang
sampai lebih dari 1 milyar setiap tahun. Banyak pihak kemudian yang tiba-tiba tertarik menjadi
kepala desa. Kecurigaan yang muncul adalah bahwa meningkatnya animo tersebut disebabkan
oleh adanya jumlah yang yang banyak tersebut. Keinginan yang tiba-tiba ramai jika
dibandingkan dengan sepi sebelumnya, pantas dicurigai. Bukan tidak mungkin orang-otrang
seperti itu adalah mereka yang mempunyai sifat avonturir, yakni mencoba mengintip uang
tersebut demi keuntungan-keuntungan pribadi.
Maka, desa dan pemerintah pada umumnya, harus mempunyai aturan tersendiri untuk
memilih kepala desa. Masyarakat juga harus ditingkatkan pengetahuannya.
BAB 5
KERSAJAMA ANTAR SEKTOR
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini jelas mempunyai tujuan memperbaiki kualitas
desa yang ada sekarang, dengan desa yang dimaksud baik desa dinas, desa adat atau desa dengan
sebutan lain di Indonesia. Artinya memaksimalkan peran desa dalam keberadaannya di Indonesia
maupun memperbaiki kedudukannya dilihat dari sejarah desa sebelumnya. Karena itulah,
disamping memperbaiki sistem pemerintahan desa, memperbaiki hubungan sosial dengan desa-
desa lainnya, pemerintah dari segala tingkatan memberikan bantuan kepada desa. Bantuan
tersebut baik berupa penasihatan maupun banatuan pada bidang keuangan. Disamping
memberikan bantuan pada bidang keuangan, dalam kerangka memaksimalkan peran desa,
melalui undang-undang ini pemerintah memberikan kesempatan kepada desa untuk
memaksimlakan segala sumber daya yang ada dan dimiliki oleh desa.
Upaya memaksimalkan peranan desa dalam kerangka memajukan Indonesia tersebut
boleh dikatakan sebagai upaya dasar bagi pembangunan negara karena desa merupakan basis
dasar dari negara Indonesia. Dengan memajukan desa maka secara simultan Indonesia maju
secara nasional sebab kemajuan itu akan merata, tidak hanya sepihak pada daerah-daerah
perkotaan atau desa yang berdekatan dengan kota. Kemajuan itupun sangat kuat mempunyai
dasar dalam berkompetisi dengan dunia internasional (globalisasi) karena keberhasilan
pembangunan di desa itu didasarkan pada potensi-potensi dan aset yang dimiliki oleh desa
bersangkutan. Potensi itulah yang diunggulkan untuk menopang kesejahteraan rakyat, sehingga
apabila kemakmuran rakyat berbasis kepada kemampuan dasar desa itu, maka potensi akan
semakin ditingkatkan kualitasnya oleh masyarakat di desa bersangkutan sehingga sumber daya
itu semakin hari kualitasnya semakin meningkat, semakin berkembang dan semakin menemukan
pembaruan. Misalnya, sebuah desa yang dikelilingi oleh sungai, maka sungai itu tidak hanya
dapat dimanfaatkan airnya untuk menyiram tanaman, akan tetapi juga dapat dipakai mengairi
persawahan, kemudian memelihara berbagai jenis ikan, wisata air untuk anak-anak, sumber air
bersih, sampai pada akhirnya pembangkit tenaga listrik untuk mengairi desa. Apabila desa itu
cocok sebagai penghasil kayu jati karena tanahnya berkapur, masyarakat di sekitar desa itu tidak
saja memperluas perkebunan jatinya tetapi juga mengembangkan berbagai jenis varian tanaman
jati, mendirikan usaha ukir-ukiran sampai mebel dan menghidupakan upaya ekspor furniture.
Memaksimalkan peranan desa dalam pembangunan nasional dan memperkuat ketahanan
negara, dapat dilakukan melalui kerjasama dengan desa lain. Secara sosiologis, ini sangat
berguna. Cara melakukan kerjasama ini akan memunculkan interaksi dengan masyarakat lain,
baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok. Bagi Indonesia cara kerjasama ini penting
karena dasar dari masyarakat Indonesia itu adalah gotong royong. Akan tetapi bukan sekedar
gotong royong itu yang menjadi maanfaat utama dari kerjasama ini. Budaya Indonesia dalam
khasanah sosiologisnya adalah kontak sosial. Di dalam kontak sosial ini akan ditemui berbagai
macam manfaat. Yang pertama tentang pertukaran informasi. Baik di kota, desa maupun
pegunungan, informasi itu sangat penting untuk saling memahami perkembangan sosial yang
ada. Di desa perkembangan sosial itu berguna untuk saling memberikan pengetahuan. Informasi
pada hakekatnya adalah pengetahuan yang sudah dikemas. Bagaimanapun bentuk dan wujud
pengetahuan itu, apabila disebarkan akan dapat berguna bagi masyarakat. Misalnya tentang
kepenyakitan. Berjangkitnya penyakit rabies di Bali perlu diinformasikan ke desa lain agar desa
yang lain bersiaga menghadapi wabah ini. Informasi tersebut tentu juga diikuti dengan cara-cara
pencegahan dan teknik pertolongan pertama. Demikian juga informasi tentang kejahatan serta
informasi lain.
Kedua, kerjasama ini akan memberi manfaat mengetahui karakter dan kebiasaan dari
desa lain. Pengetahuan tentang karkater desa lain dengan sendirinya juga akan mengetahui sifat
secara umum dari desa tetangga dengan melihat kebiasaan yang dilakukan. Hal ini akan mampu
mencegah munculnya konflik antar desa. Di desa-desa yang berdekatan, konflik sering muncul
disebabkan oleh ketidakpahaman dari kebiasaan dari desa tetangga. Kerjasama yang akan
dilakukan, bagaimanapun akan memberikan kesempatan untuk mengetahui karakter desa
tersebut. Desa yang terbiasa menggelar ritual pertanian, pasti mempunyai mayoritas warga
petani. Demikian juga desa yang pemudanya mempunyai kegiatan olahraga sore hari,
menandakan kekompakan pada generasi muda.
Ketiga, memberikan kesempatan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Masing-
masing desa mempunyai potensi yang berbeda-beda dan masing-masing penduduk mempunyai
keterampilan yang juga berbeda-beda. Untuk memberikan manfaat yang lebih maksimal dari
potensi-potensi tersebut, maka kerjasama merupakan cara yang paling baik untuk
mengembangkannya. Desa yang mempunyai mayoritas penduduk sebagai petani, memerlukan
orang yang cakap untuk memasarkan hasil pertanian, atau memerlukan desa yang mempunyai
alat untuk mengolah gabah. Kerjasama yang saling menguntungkan ini tentu saja juga
memberikan sumbangan penting bagi saling meningkatnya pemahaman antar individu.
Keempat, bermanfaat untuk saling mengenal secara individual. Mengenal individu
masing-masing desa penting karena jalinan keakraban sesungguhnya berada pada tataran
individu. Kerjasama antar desa memberikan kesempatan untuk pengenalan individu ini.
Keakraman yang terjalin antar individu antar desa, mempunyai pengaruh besar kepada stabilitas
antar desa sebab hal ini dapat menurun pada generasi yang baru. Persahabatan yang dijalin oleh
orang tua, dapat menjalar menurun kepada anak-anak dan dari anak-anak kepada cucu.
Demikian seterusnya.
Pada masyarakat Bali masa lalu, paling tidak dekade tujuhpuluhan dan sebelumnya,
contoh kerjasama positif dapat dilihat pada lomba laying-layang. Lomba ini memberikan
kesempatan adanya pertemuan komunitas penggemar layang-layang dari satu desa dengan desa
lainnya. Juga memberikan kesempatan memunculkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang
tinggi. Desa yang menggelar lomba layang-layang akan mengundang desa sekitar untuk
berlomba, meminta bantuan kepanitiaan, bantuan makanan berupa kue sampai nasi dan
minuman. Cara-cara seperti ini juga akan dilakukan oleh desa-desa lain yang menggelar lomba
laying-layang di waktu lain, dan demikian terus bergiliran setiap tahun manakala sudah ada
masa untuk lomba laying-layang. Cara meminta bantuan dan pelibatan seperti ini, sangat ampuh
untuk membina persahabatan serta menekan konflik.
Dalam konteks demikian, Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang desa ini memberikan
peluang untuk melakukan kerjasama dengan desa lainnya dalam hal upaya meningkatkan
potensi desa. Pasal 83 dari undang-undang ini menyebutkan tentang kawasan perdesaan.
Kawasan yang dimaksud merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu
kabupaten/kota. Basis dari pasal ini mempunyai tujuan agar pembangunan itu terpadu dan
disesuaikan dengan perencanaan-perencanaan yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Perencanaan tersebut dibuat dengan memperhatikan potensi yang ada di masing-masing desa
yang dipandang mampu melaksanakan perpaduan tersebut, dengan titik pusat pada bidang
pertanian. Untuk melaksanakan pembangunan yang terpadu ini, tidak lain harus dilakukan
dengan melakukan kerjasama antar desa dengan memanfaatkan aset-aset yang ada. Penggunaan
aset tersebut dapat saja dilakukan secara silang, dalam arti antara aset yang dimiliki oleh satu
desa akan dapat dimaksimalkan pemberdayaannya melalui tenaga terampil dari desa yang lain.
Dalam penafsiran dari undang-undang tersebut serta Peraturan pemerintah No 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 6 tahun 2014, pemerintahlah, baik pusat
maupun daerah yang menentukan kawasan perdesaan itu, yang kemudian disosialisasikan. Desa
kemudian menyambutnya dengan membuat kajian dan kemudian usulan untuk menetapkan
kawasan perdesaan tersebut.
Dengan demikian, melalui kerjasama antar desa dapat dilakukan maksimalisasi manfaat
dari pembangunan desa ini. Dalam konteks pembangunan kawasan perdesaan, konsep awalnya
yang meliputi wilayah-wilayah yang ditetapkan itu, berasal dari pemerintah. Desa tetap
mempunyai peran untuk menginventarisasi aset dan potensi-potensi yang ada untuk
dikembangkan. Dalam kerangka inventarisasi inilah kemudian dimungkinkan lagi melakukan
kontak sosial dengan desa-desa lainnya untuk mencapai saling pengertian. Inventarisasi aset dan
potensi pengembangan ini perlu mendapatkan kerjasama untuk saling memudahkan. Pemerintah
akan mudah melakukan penilaian, dan ketika kerjasama antar kawasan perdesaan itu terjadi,
akan mudah melakukan tindakan baik untuk memngembangkan usaha maupun mencari solusi
masalah yang muncul.
Cara lain untuk memaksimalkan peranan desa untuk kesejahteraan rakyat itu adalah
dengan mengoptimalkan potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh desa. Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 ini telah memberikan garis-garis besar upaya untuk memaksimalkan
potensi tersebut demi dapat mengejar kepentingan-kepentingan yang sifatnya ekonomis, dengan
tujuan utama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara struktural, pemerintah telah
digariskan dalam undang-undang untuk memberikan bantuan kepada desa demi melakukan
pembangunan itu. Pemerintah yang dimaksudkan ini, tidak hanya pada pemerintah kabupaten
saja, akan tetapi juga pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pasal 72 Undang-Undang itu
menyebutkan bahwa dana yang akan didapatkan oleh desa dari pemerintah dapat berupa alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota, alokasi dana desa yang merupakan dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan
belanja daerah Kabupaten/Kota.
Makna dari pernyataan dalam undang-undang ini adalah bahwa pemerintah tidak akan
membiarkan desa tersebut berjalan sendirian semata-mata hanya dengan mengolah asetnya
sendiri untuk mengembangkan diri, tetapi tetap memberikan dana rangsangan yang dapat
dipadukan dengan kekayaan serta kemampuan yang dimiliki oleh desa. Jika memang desa
mempunyai modal yang besar dan potensi besar pula untuk mengembangkannya, tentu hal ini
tidak masalah. Namun apabila dana yang besar tersebut kemudian dipadukan dengan bantuan
yang diberikan oleh pemerintah, akan menjadi sinergi positif untuk menjalankan fungsi desa
sebagai basis utama mensejahterakan masyarakat Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam
memberikan bantuan ini boleh dipandang sebagai hasil pemikiran yang menyadari bahwa tidak
seluruhnya desa-desa di Indonesia yang jumlahnya ribuan tersebut, mampu mengembangkan diri
secara mandiri. Bahkan sebagian besar desa-desa yang ada di Indonesia masih memerlukan dana
sebagai penopang melaksanakan pembangunan. Hal ini juga merupakan kewajiban dari
pemerintah untuk menyebarkan hasil pendapat negara kepada masyarakat melalui bantuan
kepada desa.
Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan itu dapat juga dibaca bahwa
pembangunan di pedesaan itu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ditentukan
pemerintah. Dalam arti, sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam koridor negara
Indonesia. Setiap perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pasti menekankan hal ini,
termasuk juga dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Koridor utama yang harus ditaati
adalah tidak bertentangan dengan Pancasila dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bantuan dari pemerintah tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai adanya bentuk diksusi dua arah
antara pemerintah dengan desa dalam kerangka melakukan berbagai perencanaan-perencanaan
pembangunan di pedesaan. Ini misalnya terlihat jelas dalam hal pembentukan pembangunan
daerah perdesaan. Pembangunan ini berbasis pada pertanian antar desa yang ada di
kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan ini mesti dkoordinasikan dengan pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Upaya memaksimalkan pembangunan desa untuk kepentingan ekonomi demi
kesejahteraan rakyat, tidak hanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah tersebut. Ia juga
dapat dilakukan dengan memanfaatkan aset-aset desa yang sudah dimiliki. Karena itu aset desa
harus diketahui dan digali keberadaannya. Cara paling bagus untuk memaksimalkan
pembangunan desa dalam konteks ini adalah dengan memadukan dua hal tadi, yaitu antara
bantuan dari pemerintah dengan aset yang dimiliki oleh desa. Bagi yang tidak mempunyai aset
dan potensi atau bagi desa yang masih belum menggali potensi desanya, bantuan dari
pemerintah itu masti dipandang sebagai rangsangan atau modal awal untuk menggerakkan
potensi dan aset yang ada, betapapun minimnya aset tersebut. Misalnya, bantuan itu dapat
digunakan sebagai upaya untuk membuat lokasi pengolahan air, yang mana akan dapat dipakai
untuk menjual air sumber kepada umum.
Oleh pemerintah, aset yang telah diakui oleh undang-undang sudah dinyatakan secara
jelas. Bahkan aset tersebut dapat diperluas lagi sepanjang itu dinyatakan sah. Aset itu
diantaranya adalah, seperti yang dinyatakan pada pasal 76, dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan
hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, permaindian umum dan aset lainnya milik
desa. Juga dikatakan, bahwa aset pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang berskala desa
dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa. Kekayaan milik desa yang telah diambilalih oleh
pemerintah kabupaten/kota, dapat diambilalih lagi oleh desa sepanjang tidak dipakai untuk
kepentingan umum.
Untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, segala aset yang disebutkan diatas, dapat diolah
dan dipakai untuk itu, dengan memadukan dana yang dimiliki desa dan bantuan pemerintah.
Sebutan yang diterakan pada undang-undang tentunya tidak dapat disamaratakan dengan
kepemilikan aset dari desa-desa yang ada di Indonesia. Karena itulah kemudian tetap ada
kemungkinan desa yang masih mempunyai kekayaan lain di luar yang ditentukan oleh undang-
undang. Aset ini dapat dimiliki apabila prosedurnya dilakukan dengan cara yang sah. Di Bali
misalnya, sangat jarang desa mempunyai tambatan perahu. Namun desa pakraman mempunyai
aset yang sering disebut dengan laba pura . Akhir-akhir ini desa pakraman juga mempunyai
pasar tradisional. Kecenderungan ini semakin banyak dilakukan oleh desa pakraman sebagai
akibat dari perubahan sosial yang ada. Bali pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini terasa
mengalami urbanisasi yang besar dengan datangnya warga dari luar pulau. Di desa-desa di
Bali juga banyak dijumpai sumber air pegunungan. Akan tetapi sumber air ini banyak yang
terbuang atau dimiliki oleh perorangan karena ada di tanah yang dimiliki oleh perorangan.
Aset yang dimiliki desa, seperti yang disebutkan pada undang-undang itulah yang
seharusnya dikelola, dikembangkan secara terus-menerus dengan memakai modal yang ada,
untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di pedesaan. Ini yang menjadi tujuan dari
pemerintah untuk membentuk Undang-Undang No 6 tahun 2014. Pesan yang dikembangkan
dari perundangan ini dapat berupa menggugah masyarakat dan aparat desa tentang potensi yang
dimilikinya untuk dikembangkan secara mandiri, dengan perlindungan dan sokongan pemerintah
demi memperkuat ketahanan negara dan bangsa Indonesia. Sebagai wilayah organisasional yang
terletak pada struktur paling bawah, berhadapan langsung dengan rakyat, kesadaran kepemilikan
aset ini memang harus digugah. Sebelumnya tidak banyak desa yang sadar dengan berbagai
kekayaan yang dimiliki.
Yang selanjutnya adalah memaksimalkan sumber daya manusia. Intinya tentang potensi-
potensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia itu guna mendukung maksimalisasi ekonomi
dan kerjasama dengan desa lain. Sumber daya manusia mempunyai karakter yang unik dan luar
biasa. Meskipun manusia tidak merasakan mempunyai keterampilan di dalam kehidupannya,
akan tetapi manakala ada seseorang yang menemukan keterampilan tersebut dan kemudian
mengasahnya, mereka akan menemukan kesenangan tersendiri untuk menekuni. Manusia juga
akan terbiasa dan menyesuaikan diri dengan keterampilan itu. Atau, keterampilan itu ditemukan
secara kebetulan dan merasa cocok, senang dan tidak terbebani dengan keterampilan tersebut.
Misalnya seseorang yang menemukan dirinya sebagai pedagang dan menemukan kenikmatan di
sana. Bukan tidak mungkin hal ini akan berlanjut terus dan semakin hari mengasahnya.
Demikian juga dengan keterampilan lain seperti menulis, melukis, membuat kue, memasak,
beternak dan sebagainya. Inilah keunikan dari manusia yang dapat mengerjakan apa saja,
menemukan apa saja di dalam perjalanan hidupnya dan kemudian menekuni profesi tersebut.
Dan apabila profesi dan kesenangan itu dikembangkan dengan kesediaan-kesediaan belajar,
maka hal ini akan menjadi luar biasa perkembangannya. Kepercayaan diri terhadap keterampilan
tersebut akan mampu membuat perkembangan luar biasa. Seseorang yang menemukan diri pada
keterampilan memperbaiki kendaraan (bengkel), akan dapat membuka cabang-cabang bengkel di
berbagai tempat dan akhirnya menyedot banyak lapangan pekerjaan.
Secara nasional, Indonesia sekarang dikatakan sebagai negara yang mempunyai bonus
demografi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa diantara 250 juta penduduk Indonesia di
tahun 2015 ini, mayoritas dari penduduk itu mempunyai usia produktif, antara 17 sampai dengan
50 tahun. Keadaan demikian merupakan keuntungan bagi suatu negara untuk menggerakkan
segala potensi yang dimiliki negara itu, entah potensi alam seperti pertanian, pertambangan dan
sebagainya. Atau potensi ekonomi perdagangan baik yang berskala domestik, nasional, bahkan
internasional. Bonus demografi tersebut terasa juga di pedesaan. Di Bali misalnya, rapat-rapat
di pedesaan banyak yang dikendalikan oleh anak-anak muda usia di bawah 50 tahun yang
mendominasi pendapat dan usulan. Tenaga kerja di pedesaan juga banyak yang berumber dari
anak-anak muda, bahkan di bawah 40 tahun. Lalu-lintas penglaju di pedesaan yang bekerja di
kota Denpasar dan Badung, membuktikan bahwa hanya usia-usia produktiflah yang mampu
melakukan aktivitas tersebut karena memerlukan tenaga ekstra untuk menempuh jarak antara 50
sampai 60 kilometer. Banyak warga pedesaan di Bali yang memilih cara menglaju untuk
bekerja pada rentang jarak antara 50 sampai 60 kilometer tersebut. Fenomena ini tidak hanya
terlihat pada siang hari tetapi juga malam hari, bahkan juga sampai dini hari.
Sekali lagi, hal itu membuktikan apabila memang bonus demografi ada di Indonesia,
termasuk juga pedesaan. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa ini sesungguhnya
memberikan arahan memanfaatkan bonus demografi untuk memaksimalkan potensi sumber daya
manusia yang ada, memanfaatkan sumber daya yang ada di desa demi kemakmuran rakyat. Dari
sumber daya manusia itu sesungguhnya dapat digali berbagai macam potensi yang dapat
memanfaatkan aset dan sumber daya desa untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang ini,
termasuk peraturan pelaksanannya, sudah jelas tidak mencantumkan bagaimana aset sumber
daya manusia yang harus dimiliki oleh desa dalam rangka mengejar tujuan undang-undang
tersebut. Akan tetapi untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan strategi pemberdayaan, mau
tidak mau haruslah dilakukan oleh generasi aktif dan produktif.
Pasal 127 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memuat tentang upaya
pemberdayaan masyarakat desa. Hal penting yang harus dilihat dalam upaya pemberdayaan ini
adalah bahwa upaya itu mendorong partisipasi masyarakat membuat perencanaan pembangunan
desa, mengembangkan program pembangunan agar berkelanjutan; menyusun perancanaan yang
berpihak kepada masyarakat miskin, tidak mampu, berkebutuhan khusus, dan sebagainya;
menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa;
melakukan pendampingan dan seterusnya. Semua kondisi-kondisi tersebut hanya dapat
dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih aktif dan produktif. Potensi-potensi inilah yang
kemudian harus digali oleh masyarakat desa demi mendapatkan kecocokan dalam
pembangunannya.
Pendampingan
Upaya untuk memajukan negara dengan berbasiskan pada desa, boleh dikatakan sebagai
upaya pelaksanaan yang baru, meski ide tersebut sudah lama. Keinginan untuk membentuk desa
sebagai daerah tingkat III misalnya, boleh dikatakan sebagai keinginan untuk membangun desa
sejak jaman Orde Lama. Akan tetapi karena persoalan politik dan administrasi kenegaraan yang
belum tuntas, hal ini tidak sempat terlaksana. Harus jujur diakui bahwa perpaduan antara
keinginan yang tertunda dengan basis petani yang menjadi mayoritas penduduk desa di Indonesia
itu, mempunyai dampak kemana-mana. Pada tingkat kebijakan politik, pemerintah Orde Baru
sesungguhnya sudah mempunyai kebijakan yang bagus dalam garis-garis besar haluan negara,
dengan menetapkan proses pembangunan yang disebut Pelita. Mulai dari Pelita I sampai dengan
Pelita IV, kebijakan ini telah menetapkan pertanian sebagai basis pembangunan Indonesia.
Secara langsung dan tidak langsung, sesungguhnya langkah politis ini telah
memperhatikan desa sebagai pusat pembangunan karena basis pertanian itu ada di desa dan
rakyat Indonesia kebanyakan ada di pedesaan. Karena itu, langkah politis ini sudah benar. Pada
tingkatan akademis, pada pertengahan pemerintahan Orde Baru, perguruan tinggi juga telah
mencetak banyak sarjana pertanian. Bahkan dekade delapanpuluhan, sarjana pertanian menjadi
salah satu favorit bagi anak-anak sekolah lanjutan atas untuk kuliah di perguruan tinggi.
Pemerintah juga mulai mengembangkan fakultas dan program studi yang relatif baru, yaitu
Teknologi Pertanian. Akan tetapi perkembangan ini kemudian seolah berbenturan dengan
kenyataan yang ada karena pada saat itu kegiatan perekonomian yang berbasis industri sudah
mulai kelihatan di Indonesia, termasuk juga dengan barang-barang impornya. Jika dipakai kasus
Malari sebagai salah satu tolok ukur, maka boleh dikatakan bahwa impor barang-barang dari luar
negeri (Jepang) sudah mulai kelihatan pada awal dekade tujuhpuluhan.
Inilah yang kemudian kiranya berdampak pada kosentrasi pembangunan pertanian, yang
juga pada akhirnya pada pembangunan di pedesaan. Sarjana-sarjana pertanian yang dihasilkan
oleh perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi ternama, tidak dapat bekerja secara maksimal
pada garis linear sesuai dengan jurusannya di kampus, tetapi malah terserap pada dunia kerja
yang berorientasi ekonomi, seperti perbankan, media massa atau sektor industri. Pemikiran-
pemikiran mereka lebih banyak terserap kepada sektor industri dan bisnis. Dan secara pelan-
pelan juga, kebijakan nasional negara pada waktu itu kelihatan pada orientasi impor dan
dirgantara. Sektor pertanian dan pedesaan menjadi kurang terperhatikan.
Dari situlah kemudian dampak ini berkembang kemana-mana sampai dengan saat ini.
Industri menjadi lahan paling menonjol dalam kehidupan masyarakat dan pertanian semakin
tertinggalkan. Di Bali, dua dekade pertama abad ke-21 ini sangat kelihatan pengaruhnya.
Disamping lahan pertanian, perkebunan dan persawahan terkikis oleh perumahan, generasi muda
juga sudah mulai meninggalkan desa, beralih dari sektor pertanian menuju sektor jasa atau
industri. Sangat terlihat ladang menjadi semak dan sawah-sawah menjadi kering, sementara
generasi petani yang lebih tua, tidak mampu lagi bekerja di sawah. Desa relatif kosong
aktivitasnya karena kebanyakan generasi muda lari ke kota. Di perguruan tinggi, Fakultas
Pertanian tidak lagi menjadi favorit dan berpindah menuju Fakultas Ekonomi, Hukum dan
bahkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Inilah yang menjadi persoalan untuk menerapkan pelaksanaan dari Undang-undang No. 6
Tahun 2014. Karena itu, ketika ada usulan tentang adanya pendampingan terhadap pelaksanaan
ini, menjadi ide yang positif untuk pengembangan mayarakat desa. Yang harus
dipertimbangkan adalah, bahwa pendampingan ini haruslah memakai pertimbangan model-
model perencanaan sosial. Perencanaan sosial merupakan suatu pertimbangan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat. Pertimbangan yang dimaksudkan itu adalah
pergulatan pikiran yang berasal dari berbagai pihak, ditujukan untuk membangun masyarakat,
baik dalam bentuk kelompok maupun desa, dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu ditetapkan
oleh masyarakat dengan sasaran yang sudah disepakati, juga dengan batasan waktu yang telah
ditetapkan. Karena itu merupakan perencanaan sosial, maka sasarannya tersebut haruslah
menguntungkan setiap komponen masyarakat yang ada. Pelibatan untuk menetapkan
perencanaan itu adalah seluruh anggota masyarakat.
Salah satu tugas pendamping desa itu adalah mendampingi dalam mengelola dana desa.
Dalam pandangan Padjung (Kompas, 6 Juli 2015, hal 7), tahun 2015 ini telah ada 13.000-an
fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), yang
sesungguhnya merupakan pendamping desa, yang kini telah melakukan pendampingan kepada
67.108 desa. Tahun 2015 ini pemerintah akan menambah 26.000 pendamping desa. Dengan
jumlah yang mencapai puluhan ribu tersebut, diharapkan desa akan mampu mengaktifkan
kegiatannya. Namun, jika dilihat jumlah desa di Indonesia sekarang yang mencapai lebih dari
80.000, maka jumlah pendamping ini masih kurang. Paling pantas kalau pendamping tersebut
lebih dari satu orang dalam satu desa sehingga mampu mengeluarkan pendapat lebih banyak dan
berdikusi dengan cara yang lebih luas.
Pada masyarakat pedesaan, termasuk juga dengan kondisi yang ada sekarang, masih
banyak anggota masyarakat masih belum menguasai pengetahuan yang komprehensif, yang
mewakili untuk seluruh pencapaian tujuan tersebut. Perencanaan sosial, secara teoritis,
memerlukan banyak ahli untuk memberikan saran dan sumbangan pikiran untuk mengkaji
sasaran yang telah ditetapkan masyarakat tersebut. Pendampingan terhadap desa dalam kerangka
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini haruslah melibatkan banyak ahli agar sasaran yang
ditetapkan desa bersangkutan bisa realistis dan tercapai dalam target waktu yang telah
ditetapkan.
Salah satu hal penting yang harus dijalankan oleh petugas pendamping desa ini adalah
kemampuannya untuk menyederhanakan pengertian berbagai peraturan tentang desa atau yang
mengenai desa agar masyarakat menjadi mengerti. Ada lebih dari satu peraturan yang mengenai
desa sehingga membuat masyarakat tidak memahami. Titik tolak kepentingan ini terdapat pada
upaya pemahaman sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai penyalahgunaan
wewenang dan terutama dalam penyalahgunaan penggunaan keuangan desa. Besarnya dana
yang diberikan kepada desa (lebih dari 1 milyar), memungkinkan bagi munculnya berbagai
penyelewengan tersebut. Apabila dilihat dari pengalaman dan keterampilan aparat desa, apalagi
yang berasal dari desa tradisioni (seperti misalnya hukum adat), akan berpotensi menimbulkan
kesalahan administrasi keuangan sehingga dapat dipandang penyimpangan atau korupsi. Kajian-
kajian Komisi Pemberantasan Korupi (KPK) seperti yang diutarakan Padjung (2015), bahwa ada
14 persoalan pengelolaan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi. Diantaranya adalah
berhubungan dengan pengawasan, pengaduan masyarakat, pertanggungjawaban, sumber daya
manusia, serta monitor dan evaluasi.
Pada tingkat pendidikan, sesungguhnya pada pertengahan pemerintahan Orde Baru,
pembangunan di Indonesia telah diisi dengan upaya-upaya peningkatan pendidikan seperti yang
telah terlihat, misalnya adanya pembangunan sekolah dasar yang disebut dengan Inpres. Sekolah
dasar yang mendasarkan pada instruksi presiden ini mempunyaai keterkaitan dengan upaya
pemerintah untuk menuntaskan pendidikan masyarakat enam tahun. Maksudnya seluruh
masyarakat Indonesia paling tidak harus tamat sekolah dasar (yang kelak dilanjutkan menjadi
pendidikan sembilan dan 12 tahun). Akibat lanjutan dari kebijakan sekolah dasar Inpres ini
adalah munculnya sekolah-sekolahh dasar yang ada di pedesaan. Dengan demikian, juga ikut
membantu pembangunan desa serta memberantas buta huruf.
Sutoro Eko (Kompas, 2 Juli 2015, Pendampingan Desa, hal 7), menyatakan bahwa
dalam upaya pendampingan desa ini, masyarakat diharapkan pada konteks pro politik. Yang
dimaksudkan adalah bahwa pendampingan tersebut tidak dimaksudkan sebagai mesin politik
tetapi bahwa pendampingan tersebut harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan Undang-
undang Desa, representasi politik, serta pemberdayaan dan edukasi politik. Dia selanjutnya
menyebutkan bahwa pendampingan tersebut mempunyai jalan ideologis yang memuliakan desa,
hendak mempromosikan desa sebagai masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang maju
kuat, demokratis dan mandiri. Kedua disebutkan bahwa pendampingan tersebut mengandung
jalan repolitisi masyarakat. Artinya masyarakat mempunyai kesadaran sendiri dalam berpolitik,
kritis yang mengutamakan kedaulatan politik mereka. Eko menyebutkan, salah satu bentuk kritis
tersebut adalah rakyat secara berani menolak politik uang.
Ketiga, pendampingan tersebut tidak ditempuh dalam aras pembinaan tetapi
pemberdayaan. Dimaksudkan bahwa rakyat mampu memperkuat desanya secara ekonomi,
politik dan budaya. Pembinaan terlalu mengandung konotasi penerapan ekspansi atasan,
termasuk birokrasi pemerintah atasan kepada desa dan masyarakat. Yang keempat bahwa
pendampingan yang dilakukan tidak hanya menghasilkan alat dokumen semata tetapi harus
mempunyai sentuhan filosofis. Misalnya dalam setiap perencanaan yang dilakukan, ada
pembelajaran bagi masyarakat desa untuk membangun impian kolektif dan mandiri dalam
mengambil keputusan politik.
Dari empat hal yang dikemukakan diatas, harus diterjemahkan bahwa pendamping desa
harus mampu memberikan rasa percaya diri, kemampuan intelektual baik pada bidang politik,
budaya, ekonomi dan sosial untuk membangun desanya sesuai dengan karakter desa
bersangkutan. Dari sisi personil pendamping, ini tidak boleh dilakukan secara main-main karena
seorang pendamping, disamping mempunyai kemampuan yang luas, juga harus mempunyai
keterampilan mendorong aktivitas yang muncul di masyarakat. Ia adalah ahli yang mempuni
pada bidangnya sebagai pendamping. Tetapi juga harus mempunyai relasi sosial yang luas.
Relasi ini diperlukan untuk menjalin hubungan sekaligus menarik ahli lain memberikan dan
mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada desa, agar masyarakat memiliki
kemampuan untuk memberdayakan desa.
Di tengah iklim politik yang sekarang banyak mempengaruhi orang-orang desa, maka
seharusnya pendamping ini juga mampu memberikan pemahaman tentang politik dan sosiologi.
Pemahaman politik ini penting karena sampai sekarang budaya politik masyarakat itu masih
sederhana, dipengaruhi oleh kebiasaan yang terjadi pada jaman Orde Baru. Kebiasaan-kebiasaan
itu misalnya mudah terpengaruh oleh bujukan orang lain, masih mendukung politik kekerabatan
dalam praktik, sampai dengan mudah terkena suap menjelang pemilihan umum. Masyarakat
seperti ini harus disadarkan. Bahkan hal paling utama yang harus ditekankan oleh pendamping
justru harus memberikan kesadaran tentang politik tersebut. Dalam arti luas, kesadaran ini akan
mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat desa untuk bersikap mandiri dalam
membuat keputusan dan melakukan bargaining dengan kekuatan pemerintah atau pada kelompok
politik. Tetapi kesadaran politik paling besar yang haarus ditanamkan adalah makna, tujuan dan
hakekat pembangunan desa serta apa yang tertera di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014
ini. Pembangunan politik itu ilakukan dengan berbagai strategi, seperti memilih pendamping
yang berkomitmen membangun desa dan bersedia dalam jangka waktu yang lama tinggal
bersama masyarakat, melakukan diskusi serta memberikan berbagai keterangan berkaitan dengan
pembangunan desa.
Jalan paling penting untuk memuliakan desa, seperti yang dimaksudkan Sutoro Eko,
dapat ditafsirkan bahwa desa itu akan mendapat martabat yang lebih mulai apabila mampu
memanfaatkan segala sumber daya yang ada di desanya untuk kesejahteraan rakyat. Segenap
potensi desa yang ada, mulai dari kekayaan alam sampai dengan sumber daya manusianya
mampu mempunyai kesadaran dan kemudian mengembangkan sumberr daya itu untuk
kesejahteraan rakyat. Masyarakat menyadari kepentingan desa dan bersyukur atas adanya
berbagai sumber daya tersebut, yang dengan bantuan pemerintah mampu diolah. Kemampuan ini
kemudian dikembangkan kepada generasi berikut. Meskipun anggota masyarat di desa itu ada
berjauhan dan berkedudukan sebagai ahli, mereka tidak lepas dari desanya sendiri.
Budiman Sudjatmiko, Kompas 10 Juli 2015, menyebutkan bahwa dana desa tersebut,
secara umum mampu memberikan tiga jenis pertumbuhan, yaitu pertumbuhan alami,
pertumbuhan langsung dan pertumbuhan rentetan. Pertumbuhan alami dalam hal ini
dimaksudkan sebagai pertumbuhan yang terjadi secara mandiri tanpa adanya intervensi dari
bantuan dana desa yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan pertumbuhan langsung adalah
aktivitas ekonomi yang muncul sebagai akibat dari adanya bantuan dana desa dari pemerintah
tersebut. Sedangkan pertumbuhan rentetan adalah pertumbuhan yang memicu terjadinya efek
multiplier sebagai akibat bantuan pemerntah ini. Misalnya munculnya usaha baru sebagai akibat
timbuhnya sebuah usaha dan kemudian memunculkan usaha lainnya lagi.
Dalam konteks yang dikemukana oleh Sudjatmiko tersebut, pertumbuhan alami yang
ada di desa terletak pada upaya peningkatan kesejahteraan yang terjadi hanya karena potensi
desa yang ada. Pertumbuhan ini secara umum boleh dikatakan minim, dan karena itulah
kemudian muncul ide untuk membangun desa, yang salah satu cara untuk pembangunan itu
dilakukan dengan memberikan dana desa, sekitar 1,4 milyar rupiah (Sudjatmiko, 2015, Kompas
7 Juli). Pembangunan yang hanya mengandalkan potensi alami saat sekarang ini cukup sulit.
Karena kesulitan itulah kemudian memunculkan urbanisasi. Banyak faktor yang membuat
kesulitan itu, salah satunya adalah dana yang tidak dimiliki desa. Disamping itu juga adalah
kesadaran untuk membangun desa sudah dikalahkan oleh kenyataan bahwa hidup di kota akan
lebih mampu memberikan penghasilan yang lebih banyak. Disamping itu pekerjaan lebih banyak
terbuka di kota.
Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan langsung, seperti yang telah diungkapkan
diatas, merupakan ide dasar dari pembangunan desa serta diluncurkannya dana untuk
membangun desa. Diharapkan bantuan ini akan memberikan rangsangan pembangunan usaha di
desa. Pemberian bantuan ini seharusnya tidak saja memberikan rangsangan usaha saja tetapi
juga upaya rangsangan lain, pada bidang yang lain yang bukan sektor ekonomi. Inilah yang
kemudian dimaksudkan oleh Sudjatmiko sebagai efek rentetan dari bantuan dana desa tersebut.
Secara ekonomi jelas sebuah usaha akan memberikan rentetan lain. Misalnya seorang yang
membuka bengkel karoseri mobil, akan membuka usaha penjualan cat. Penjualan cat itu
berpotensi membuka jasa pengantaran dan seterusnya. Tentu ini akan mampu melibatkan banyak
orang. Akan tetapi dana desa ini seharusnya juga mampu mengaktifkan ide yang lain, misalnya
meningkatkan tingkat pendidikan. Bantuan dana tersebut harus dapat meningkatkan status
pendidikan pemuda, misalnya yang sebelumnya hanya tingkat sekolah menengah atas menuju
perguruan tinggi. Hal lain yang juga didorong oleh munculnya bantuan ini adalah kesadaran
tentang kesehatan, misalnya dengan memperbaiki kondisi kebersihan rumah, membuat kamar
mandi dan sejenisnya.
Di negara yang terdiri dari kesatuan masyarakat yang berbasis kesamaan nilai, maka
akan muncul kearifan-kearifan lokal yang dipakai sebagai patokan hidup masyarakat. Indonesia
yang terdiri dari ratusan suku bangsa, dan bahkan mungkin ribuan, pasti memiliki kearifan yang
jumlahnya sama atau melebihi kesatuan budaya yang ada. Kearifan lokal ini muncul
berdasarkan atas cara pandang terbaik yang disepakati oleh masyarakat yang memilikii
kebudayaan tersebut. Ia mengendap berdasarkan sejarah perjalanan masyarakat itu, disarikan
berdasarkan berbagai pertimbangan yang ada dan kemudian menjadi persetujuan bersama.
Persetujuan ini bisa secara diam-diam maupun dengan kesepakatan dari anggota masyarakat.
Karena muncul berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, maka ia masuk wilayah
kognitif, yang artinya telah dipertimbangkan berdasarkan olah pikir dan olah otak manusia,
khususnya mereka yang memiliki kearifan tersebut. Jadi endapan ini sesungguhnya merupakan
intisari kepintaran dari budaya-budaya dalam hubungan dengan relasi sosial, kontak sosial
diantara penganut kebudayaan itu. Sebagai sebuah intisasi kepintaran, maka kearifan lokal
menjadi sumber daya yang mampu diberdayakan, sebuah sumber daya yang mampu
dimanfaatkan untuk kemajuan desa nanti.
Kearifan lokal, dalam konteks pengembangan sumber daya desa ini, bisa mempunyai
beberapa fungsi sekaligus. Yang pertama adalah sumber pengawas moral dan etika dalam
menjalankan tugas. Pemberdayaan desa seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 6
Tahun 2014 ini menjadi sangat menarik baik dalam pembahasan maupun oleh orang-orang yang
menginginkan keuntungan tertentu, karena menyediakan uang lebih dari 1 milyar rupiah untuk
memberdayakannya. Dari sisi ketertiban sosial, yang paling dikhawatirkan adalah adanya
penyimpangan penggunaan uang tersebut atas nama pemberdayaan desa. Dalam arti,
dikhawatirkan adanya banyak korupsi. Ini sesuatu yang harus diwaspadai dan nampaknya
rasional untuk dikemukakan saat ini. Boleh dikatakan, Indonesia saat ini sudah masuk ke dalam
kapitalis yang menawarkan banyak barang-barang mewah yang menjadi kebutuhan manusia,
seperti yang terlihat di televisi. Pada sisi lain, mencari pekerjaan saat ini sulit dan dengan
demikian, mencari penghasilan juga susah. Desa, sebagai bagian dari sistem keindonesiaan,
boleh ditakan jauh lebih miskin dibanding dengan masyarakat yang hidup di kota. Padahal,
kehidupan di kota tidak senyaman dengan kehidupan di pedesaan. Dengan konteks demikian,
maka adanya kesempatan menjadi pengurus desa dengan pengeloaan uang sampai milyaran
rupiah, sangat potensial memunculkan adanya korupsi atau penyimpangan.
Disini, kearifan lokal mampu menjadi patokan bertindak bagi para aparat desa untuk
menjalankan tugasnya, menjadikannya rambu-rambu yang dapat menghindarkan aparat dari
penyelewengan tugas. Di Bali, secara umum kearifan lokal itu biasanya bertumpun pada phala
karma, kearifan lokal berbasisi Hindu yang membuat penyimpangan itu dapat direm. Maknanya
adalah bahwa segala perbuatan pasti ada hasilnya. Apabila kita berbuat baik, akan menghasilkan
produk positif dan sebaliknya apabila berbuat jahat, akan menghasilkan hasil yang negatif.
Kearifan ini sampai sekarang masih hidup dan dipercaya kehadirannya oleh masyarakat. Di
setiap desa pasti aka nada kearifan lokal yang mampu berfungsi untuk menjaga etika dan moral
dalam melakukan tindakan. Kearifan disini bersumber dari etika dan pergaulan sosial.
Kedua, kearifan lokal juga dapat diberdayakan sebagai sarana untuk menggerakkan
segala potensi desa. Misalnya di Bali ada konsepsi segalak saguluk salunglung sebayantaka.
Kearifan ini mempunyai akar pada kerjasama yang boleh disepadankan dengan berat sama
dipikul, ringan sama-sama dijinjing. Jadi boleh dikatakan kerjasama dalam bentuk yang lebih
erat tanpa membeda-bedakan golongan. Apabila hal ini mampu dijalankan, akan dihasilkan
produk yang berdaya untuk kepentingan sosial. Bahkan konsepsi tersebut mampu mengelola
konflik dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Konflik harus dipecahkan bersama-
sama tanpa harus memberatkan pihak yang lain. Pekerjaan mengelola perbedaan secara bersama-
sama akan menghasilkan sesuatu yang sifatnya positif.
Kearifan lokal tersebut, dapat hidup melintasi kelompok, misalnya berlaku secara umum
di Bali oleh masyarakat Hindu, akan tetapi juga dapat hidup dan dipakai oleh satu kelompok
budaya tersendiri. Desa atau desa pakraman merupakan kelompok yang bisa jadi juga dilingkupi
oleh satu kesatuan budaya sehingga di dalamnya muncul satu kearifan tersendiri. Misalnya di
sebuah desa di Pupuan, ada kearifan yang menghargai segala bentuk kehidupan, sehingga apabila
ada salah satu mahluk hidup yang meninggal, pemiliknya tidak akan melakukan aktivitas apapun
pada satu satuan waktu. Sebelan misalnya, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk
penafsiran sehingga di setiap desa atau banjar di Bali mempunyai cara tersendiri untuk
menerapkannnya. Ada wilayah yang menerapkan hanya tiga hari sebagai bentuk berkabung
untuk seluruh komunitas tetapi juga ada yang sampai 12 hari.
Selama ini, kearifan lokal yang ada di desa tersebut seolah berada dalam keadaan diam
sehingga lama-kelamaan akan tidak dikenal masyarakat, terutama generasi baru, yang pada
akhirnya dikhawatirkan akan mati tergerus oleh cara pandang modern. Menggunakan alat mesin
sebagai pengolah tanah di sawah jelas menguntungkan karena membuat pengerjaan lahan jauh
lebih cepat. Akan tetapi cara demikian menghilangkan kekerabatan antar desa. Karena itu
kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong-royong, akan mampu membangkitkan
atau mempertahankan kearifan tersebut sehingga dapat terbukti manfaatnya. Generasi baru akan
melihat bukti keampuan kearifan tersebut, khususnya dalam melaksanakan kerjasama antar desa.
Cara inilah yang akan mengawal pertumbuhan ekonomi dan segala penghasilan yang dapat
diraih oleh masing-masing desa untuk kepentingan bersama maupun secara sendiri-sendiri.
Kerjasama dengan desa lain
Potensi yang juga dapat dipakai untuk meningkatkan peemberdayaan desa adalah
kerjasama dengan desa yang lain. Salah satu inti dari kerjasama adalah saling memberikan
dukungan atas kelamahan dan kelebihan yang ada. Dengan cara seperti ini kekurangan yang
dimiliki oleh satu desa akan dapat tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki oleh desa lain. Dalam
konteks desa, kerjasama ini sesungguhnya bukanlah hal yang aneh.
Secara umum, kearifan lokal yang ada di Indonesia dan menjadi jiwa dari negara adalah
gotong-royong. Inti dari gotong royong tersebut tidak lain kerjasama yang di dalamnya
menyiratkan adanya upaya untuk saling membantu antar berbagai pihak serta menambah
kekurangan dengan kelebihan yang dimiliki pihak lain dan sebaliknya memberikan kelebihan
kita untuk menambal kekurangan yang kita miliki. Sebuah keluarga kaya, tetap memerlukan
orang lain dalam upacara pemakaman jenazah di Bali misalnya. Itu tidak lain merupakan cara
menambal kekurangan diri dari kelebihan yang dimiliki orang atau kelompok lain.
Secara tradisional, di Bali kekerabatan tersebut berlangsung lintas perbatasan. Ini
disebabkan oleh adanya pola pernikahan, kaitan sejarah masa lalu tentang silsilah, atau karena
pergerakan masyarakat seperti transmigrasi lokal di masa lalu, membentuk tempat tinggal baru di
tempat lain. Akan tetapi, pada upacara ritual adat, para kerabat tersebut akan datang untuk
memberikan bantuan kepada salah satu anggota keluarga yang menggelar upacara. Ini sering
disebut dengan metulungan yang artinya, saling membantu. Dengan demikian, pekerjaan yang
dilakukan, akan terselesaikan dengan baik dan acara yang hendak dilaksanakan terlenggaran.
Satu aspek keuntungan yang telah terjalin disini adalah adanya perpaduan antara solidaritas,
keihklasan dan tanpa pamrih. Nilai-nilai tersebut, masih melekat pada kehidupan masyarakat
pedesaan hingga saat ini, dan menjadi sangat terlihat pada upacara agama, terutama kematian.
Di Bali, pada masa lalu, sekitar dekade tujuhpuluhan lomba layang-layang tradisionil sangat
memperlihatkan pola kerjasama seperti ini.
Nilai yang disebutkan diatas, menjadi modal dasar untuk melakukan kerjasama antar
desa, baik antar desa pakraman dengan desa dinas, desa pakraman dengan desa pakraman
maupun antar desa dinas. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk melakukan kerjasama tersebut,
bahkan dengan desa yang lokasinya berjauhan dengan desa lainnya. Kerjasama yang paling
memungkinkan dan paling baik adalah antar desa yang ada berdekatan karena pengotrolan
terhadap berbagai aset yang dikerjasamakan tersebut lebih mudah dilakukan. Pengelolaan air
sungai, perusahan, koperasi dan sebagainya dapat lebih mudah dilakukan dengan desa-desa yang
bersebelahan. Meski konflik pengelolaan berpotensi muncul, akan tetapi kerjasama ini pun dapat
menimalkan konflik asal sebelumnya ditetapkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang
dituangkan dalam peraturan bersama.
Tidak dapat dilepaskan bahwa desa-desa yang berdekatan, apalagi berbatasan,
mempunyai keunggulan lain dalam melakukan kerjasama, yaitu hubungan sosial antara
penduduknya. Banyak yang tidak menyadari bahwa hubungan kekerabatan di desa-desa seperti
ini telah dibina sejak masih kecil, masih anak-anak melalui jenjang pendidikan. Taman kanak-
kanak, atau sekolah dasar, bahkan sekolah menengah pertama dan atas, menjadi wilayah yang
sangat potensial untuk mengeratkan hubungan persahabatan antar warga di berbagai desa
tersebut. Hubungan ini mempunyai dasar yang kuat karena dilalui dengan permainan-permainan
masa kecil yang masih melekat sampai dewasa. Karena itulah kemudian pertemanan ini dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk mengekalkan dan menertibkan kerjasama yang ada
diantara desa tersebut. Dalam arti, kalaupun konflik dan ketidaksepakatan yang muncul sebagai
akibat kerjasama ini, tidak akan muncul sebagai konflik terbuka yang dapat merugikan berbagai
pihak.
BAB V
KESIMPULAN
Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, mempunyai manfaat untuk
menumbuhkan kepercayaan diri desa dalam melaksanakan pembangunan. Kepercayaan diri ini
akan tumbuh bersamaan dengan keberhasilan desa tersebut melaksanakan pembangunan yang
bersumber dan dimulai dari desa itu. Apabila Indonesia berhasil melaksanakan pembangunan
dari maka secara nasional memberikan ciri tersendiri bagi Indonesia apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain. Pada umumnya pembangunan itu dimulai dari kota karena kota
merupakan pusat dari intelektual, gagasan, modal sampai dengan politik. Karena itulah, apabila
berhasil melakukan pembangunan dari desa ini, merupakan sukses tersendiri dan menjadi yang
pertama di dunia. Undang-undang Desa yang diluncurkan pemerintah memberikan semangat
sepert itu. Semangat itu diwujudkan, baik dalam ketentuan kesiapan pemerintah memberikan
bantuan keuangan, pendampingan serta mendorong adanya kerjasama antara satu desa dengan
desa lainnya serta memberikan pendampingan untuk menggali potensi desa yang ada.
Masing-masing desa sebenarnya mempunyai sumber daya sendiri yang dapat digali
potensinya untuk dikembangkan. Sampai saat ini, masih jarang potensi desa yang dimiliki
tersebut digali dan dikembangkan untuk pengembangan desa itu sendiri. Masih banyak para
pencari kerja di desa lebih menyukai pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, meskipun cara
demikian sering merugikan masyarakat itu sendiri. Tidak disadari bahwa jauhnya jarak ke kota
dari desa, tenaga yang dikeluarkan, sampai biaya yang diperlukan memberikan tekanan tersendiri
kepada masyarakat, yang mengurangi modalnya untuk membangun kesejahteraan.
Di Kecamatan Kerambitan, desa-desa yang ada di desa tersebut mempunyai potensi
besar untuk maju, tetapi sekarang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Temuan di
lapangan memperlihatkan bahwa desa di wilayah kecamatan ini mempunyai sembilan sumber
daya yang dapat dikembangkan. Di Desa Timpag, ada bendungan yang dinamakan Embung
Telaga Tunjung. Sampai sekarang kondisi ini hanya dipakai untuk pengairan sawah saja. Padahal
sesungguhnya dapat dipakai lebih dari itu, misalnya untuk perikanan sampai dengan
kepariwisataan. Sebagian desa dari kecamatan ini terletak di jalur jalan raya Denpasar-
Gilimnuk. Jalur ini ramai sehingga dapat dimanfaatkan untuk potensi perdagangan. Kecamatan
Kerambitan terkenal dengan Seni Tektekan. Seni ini sekarang sudah mulai redup, dan kurang
mendapat perhatian dari masyarakatnya. Kecamatan Kerambitan juga kaya dengan sumber air.
Kalau dimanfaatkan dapat digunakan untuk mengairi sawah, tegalan sampai dengan diolah
menjadi air kemasan. Desa-desa di wilayah ini cukup luas, dan relatif dekat dengan kota
sehingga berpotensi juga untuk dikembangkan perekonomian berbasis desa, yang pemasarannya
dilakukan di kota. Bagian selatan dari kecamatan ini berbatasan dengan Samudra Indonesia yang
dapat dipontensikan untuk olahraga laut. Seperti juga dengan wilayah lain, banyak sarjana yang
tinggal di pedesaan di Kerambitan. Nilai-nilai tradisional dan suasana tradisionil masih dijumpai
di desa-desa Kecamatan Kerambitan. Paling tidak hal ini dapat dikembangkan untuk potensi
kuliner yang asli desa. Tentu juga suasana pedesaan dapat dipergunakan untuk menambah
kemantapan pariwisata untuk nyamannya suasana.
Dengan demikian, apabila dimanafaatkan secara maksimal dan dicari secara kritis
potensi-potensi yang ada, masing-masing desa mempunyai sumber daya yang dapat
diberdayakan dengan baik. Desa akan menjadi pusat pembangunan. ****
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bryman, Alan, 2004, Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press
Catur Utama, Fransisca Romana, 2014, “Pemberdayaan dan Pemanfaatan Teknologi yang
Mencerdaskan Masyarakat, dalam Menuju Teknologi Transkomunitas, Supraja, Muhamad
(ed.), 2014, UGM, Lingkar Studi Mikrososiologi.
Gibbons,Michael T., Noer Zaman, Ali (Pen.), 2002, Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik
Kontmporer: Tafsir Politik, Yogyakarta: Qalam
Mellor, Philip, A., 2000, “Rationali Choice or Sacred Contagion? „Rationality Non-Rationality
and Religion” dalam Social Compas, 47 (2).
Pelly, Usman, Menanti, Asih, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya, Jakarta, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ritzer, George, Nurhadi (Pen.), 2011, Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul, Kreasi Wacana
Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia: Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia
Stuart-Fox, David J., Putra Yadnya, I. B (terj), 2010, Pura Besakih: Pura, Agama, dan
Masyarakat Bali, Udayana University Press.
Windya, Wayan P., 2014, Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penylesaiannya, Denpasar,
Udayana University Press
Tulisan di Jurnal Ilmiah
Sarman, Mukhtar, 1997, “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: pelajaran dari
Program IDT, dalam Prisma, 1, Januari 1997
Suka Arjawa, GPB, 2014, “Pilihan Rasional di Balik Pembebasan Corby”, dalam Global dan
Strategis, Th. 8, No. 1, Januari-Juni 2014.
Hasil Penelitian
Dharma Laksana, I Gusti Ngurah, 2011, ““Eksistensi Gotong Royong dan Tolong Menolong
dalam Kehidupan masyarakat Adat dalam Perkembangan Pariwisata di Desa pakraman
Penyaringan Desa Sanur Kauh”, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Jayantiari, IGA Mas Rwa, et. All., 2011, “Otonomi Desa Adat dalam Kaitan dengan Eksistensi
Tanah Adat di Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Penelitian,
Fakultas Hukum Universsitas Udayana.
Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, “Konflik Perbatasan Desa pakraman
dalam perspektif Ekonomis Tanah serta Penyelesaiannya”, Penelitian, Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Perundang-Undangan dan Peraturan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja
Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undng No 6
Tahun 2014 tentang Desa
Undang –Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk
Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia.
Peraturan Daerah Propinsi daerah Tingkat I Bali, No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan Fungsi
dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah
Tingkat I Bali.
Peraturan Daerah Proinsi Bali No 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Peraturan Daaerah Propinsi Bali No.3 Tahun 2003 Tentang Revisi atas Perda No 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman.
Koran
Setiawan, Bambang, 2014, “Kekuatan di Tengah Ikatan yang Melemah”, dalam Kompas, 28
November 2014, hal 63.
Fajar Bali, 30 September 2014.
Padjung, Rusnadi, 2015, Khawatir Dana Desa Dikorupsi, dalam Kompas, 6 Juli 2015, hal. 7.
Kompas, 2 Juli 2015, hal 5 dan 6.
Kompas, 3 Juli 2015.
Kompas, 10 Juli 2015, hal 7.
KETERANGAN:
Nama penulis: I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa
Pekerjaan : Staf Pengajar Sosiologi FISIP, Universitas Udayana.
S1, Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
S2. Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Airlangga
S3, Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Airlangga.
Tahun 2015 menjabat sebagai dekan FISIP Universitas Udayana.