pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian … · perlakuan pengolahan tanah meliputi bedengan 2 m...
TRANSCRIPT
i
PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PENGENDALIAN GULMA
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KEDELAI
PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN
A24110157
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pengolahan
Tanah dan Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai
pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan
arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan salam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor
Bogor, Agustus 2016
Robinhood Gerado Juniver Siahaan
A24110157
ii
ABSTRAK
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN. Pengaruh Pengolahan Tanah
dan Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai pada
Budidaya Januh Air di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF
GHULAMAHDI dan SOFYAN ZAMAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan
masyarakat Indonesia. Namun produksi kedelai nasional hanya mampu memenuhi
60 % kebutuhan nasional. Rendahnya produktivitas dan menurunnya luas panen
merupakan salah satu faktor yang membuat kebutuhan kedelai tidak bisa dipenuhi.
Penggunaan lahan suboptimal merupakan salah satu alternatif yang dapat
digunakan. Lahan pasang surut merupakan lahan suboptimal yang cocok untuk
budidaya kedelai. Kendala pada lahan pasang surut dapat diatasi dengan teknik
budidaya jenuh air. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga September
2015 di Desa Muliasari, Banyuasin, Sumatra Selatan. Penelitian ini menggunakan
lahan pasang surut tipe B. Rancangan percobaan yang digunakan adalah split-plot
dua faktor. Perlakuan pengolahan tanah meliputi bedengan 2 m tanpa olah tanah
(L1), lebar bedeng 2 m dengan olah tanah (L2), lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah
(L3), dan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah (L4). Perlakuan pengendalian gulma
meliputi tanpa pengendalian (C0), pengendalian manual (C1), pengendalian gulma
dengan herbisida sistemik berbahan aktif Glyfosat 3 minggu sebelum tanam +
herbisida kontak berbahan aktif paraquat 1 minggu sebelum tanam (C2). Hasil
penelitan ini menunjukkan bahwa perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m dengan olah
tanah (L2 dan L4) menunjukkan pertumbuhan kedelai yang lebih baik.
Produktivitas tertinggi terdapat pada perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah
yakni sebesar 3,23 ton ha-1. Perlakuan pengendalian manual menunjukkan hasil
pertumbuhan kedelai yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya, yakni
sebesar 3,22 ton ha-1. Namun produktivitas pada perlakuan pengendalian manual
tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengendalian dengan herbisida sistemik
berbahan aktif glyfosat 3 minggu sebelum tanam + herbisida kontak berbahan aktif
paraquat 1 minggu sebelum tanam.
Kata kunci : kedelai, herbisida, lebar bedeng, pengolahan lahan
iii
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN. Effect of Soil Tillage and Weed
Control on the Growth and Productivity Soybean with Saturated Soil Cultur on
Tidal Swamp. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI and SOFYAN ZAMAN
Soybean is one of the important agricultural commodities for Indonesian
people. However, the national soybean products only able to meet 60% of national
needs. Low productivity and a decreasing in harvested area is one factor that makes
soybean needs cannot be met. Sub-optimal land is one of alternative that can be
used. Tidal land are suboptimal land suitable for cultivation of soybean. Constraints
on the tidal land cultivation techniques can be overcome with water saturated. This
research was conducted in April to September 2015 in the Muliasari Village,
Banyuasin, South Sumatra. This research uses tidal area type b. Experimental
design used was a split-lot-2 factor. processing treatment beds 2 meters of land
covering no-tillage (L1), width of 2 meters plot with tillage (L2), plot 4 meters wide
no-tillage (L3), and a width of 4 meters plot with tillage (L4). Weed control
treatments include without control (C0), manual control (C1), control of weeds with
a systemic herbicide active ingredient gly-fosat 3 weeks before planting-contact
herbicide active ingredient paraquat one week before planting (C2). This research
was conducted in April to August 2015 at Muliasari Village, Banyuasin Distric,
South Sumatra Province with the type B tidal land. This experimental design used
a split-plot with two factor and three replications. This research result showed that
the soybean growth on the bed width 2 m and 4 m with soil tillage was better than
the other treatment. The highest productivity was obtained on the bed with 4 m with
soil tillage (3,23 ton ha-1). The weed treatment showed that manual weed control
has better result than other treatment. The best productivity showed in manual weed
control (3,23 ton ha-1), but this treatment is not significalny different with the
treatment using glyfosat 3 week before planting + contac herbicide with paraquat
as active substance 1 week before planting.
Keyword : soybean, herbicide, bed width, tillage
iv
PENGARUH PENGOLAHAN TANAH dan PENGENDALIAN
GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN dan
PRODUKTIVITAS KEDELAI pada BUDIDAYA JENUH AIR di
LAHAN PASANG SURUT
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN
A24110157
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberi kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengendalian Gulma Terhadap
Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang
surut” mulai dilaksanakan sejak bulan April hingga September 2015 di Desa
Muliasari, Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi
M.S dan Ir. Sofyan Zaman, M.P selaku dosen pembimbing yang terlah memberikan
pengarahan, bimbingan, dan saran selama proses penyelesaian skipsi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Djoni Siahaan, Jeanny Makaenas
selaku orang tua dan saudara Rodriquez Siahaan atas seluruh kasih sayang,
motivasi, dan perhatian yang diberikan. Penulis juga menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Bapak Wakidi, Bu yati, Pak Muh, Pak Romlan, Mas Karman,
Pak Bandi, dan penduduk Desa Mulyasari yang sudah membantu selama proses
penelitian berlangsung. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pak Danner
Sagala, Saudari Eka, Boanerges Bogor, Tiberias Plaza Jambu Dua, AVENGERS,
AGH 48, REBORN SW, beserta keluarga dan semua pihak yang sudah turut
membantu dalam pembuatan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Oktober 2016
Robinhood Geraldo Juniver Siahaan
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR TABEL viii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Tujuan 2 Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2 Botani Kedelai 2 Lingkungan Hidup Kedelai 3 Lahan Pasang Surut 3 Budidaya Jenuh Air 4
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai 5 Herbisida 5 Glifosat 6
Paraquat 6 METODE 7
Tempat dan Waktu 7
Bahan dan Alat 7
Metode Penelitian 7 Pelaksanaan Percobaan 8 Pengamatan 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Kondisi Umum 10
Pertumbuhan Kedelai 11 Komponen Produksi 16 Pertumbuhan Gulma pada Lahan Percobaan 19 Analisis Usahatani Kedelai 21
KESIMPULAN DAN SARAN 22 Kesimpulan 22 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26 RIWAYAT HIDUP 43
viii
DAFTAR TABEL
1. Tinggi dan jumlah daun berbagai pengolahan tanah 12
2. Tinggi dan jumlah daun pada perlakuan pengendalian gulma 12
3. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi 13
4. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi 14
5. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengolahan tanah 14
6. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengendalian gulma 15
7. Luas daun pada perlakuan pengolahan tanah 15
8. Luas daun pada perlakuan pengendalian gulma 16
9. Komponen Produksi pada perlakuan pengolahan tanah 17
10. Komponen Produksi pada perlakuan pengendalian gulma 18
11. Gulma dominan sebelum tanam 20
12. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap komposisi gulma dominan 20
13. Pengaruh pengolahan tanah terhadap komposisi gulma dominan 21
14. Perbandingan Analisis Usahatani/ha untuk setiap perlakuan 22
DAFTAR GAMBAR
1. Struktur kimia Glifosat 6
2. Struktur kimia paraquat 7
DAFTAR LAMPIRAN
1. Denah petak percobaan 26
2. Teknik pengambilan ubinan 27
3. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam 28
4. Data BMKG bulan April hingga Oktober 2015 (BMKG 2015) 29
5. Uji beda nyata perlakuan pengolahan tanah dan pegendalian gulma
terhadap berbagai peubah yang diamati 30
6. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 31
7. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 32
8. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 33
9. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 34
ix
10. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 35
11. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 36
12. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 37
13. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 38
14. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 39
15. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 40
16. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 41
17. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 42
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L) Merril) merupakan salah satu komoditas pertanian
yang sangat dibutuhkan masyarakat di Indonesia, kebutuhan kedelai terus
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, hal ini tidak
diikuti dengan jumlah produksi kedelai di Indonesia sehingga Indonesia harus
melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelainya. Menurut BPS (2015),
produksi kedelai tahun 2012, dan 2013 berturut- turut sebanyak 843.153 ton, dan
779.992 ton. Selain itu, luas lahan yang digunakan untuk memproduksi kedelai
selalu mengalami penurunan. Luas panen pada tahun 2012 dan 2013 sebesar
567.624 dan 554.132 ha.
Penggunaan lahan – lahan yang berpotensi seperti lahan rawa merupakan
salah satu alternatif yang dapat digunakan. Menurut BBSDL (2006) Luas lahan
pasang surut di Indonesia diperkirakan sebesar 20,13 juta ha. Lahan pasang surut
yang siap digunakan untuk lahan pertanian sebesar 9,53 juta ha. Persebaran lahan
rawa di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta
sebagian kecil di Pulau Sulawesi.
Lahan pasang surut merupakan lahan yang berpotensi menjadi lahan
pertanian. Namun budidaya kedelai dengan menggunakan lahan pasang surut
memiliki beberapa kendala. Menurut Suastika dan Sutriadi (2001) rendahnya
produktivitas kedelai di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kadar pirit,
Al, Fe, dan Mn serta rendahnya ketersediaan hara P dan K. Selain itu juga menurut
Noor (2004), lahan pasang surut yang dikeringkan akan membuat pirit yang ada
menjadi teroksidasi. Pada saat pirit teroksidasi menyebabkan lahan tersebut
memiliki pH kurang dari tiga. Hal ini disebabkan karena reaksi pirit teroksidasi
menghasilkan banyak ion H+.
Permasalahan lahan pasang surut dapat ditangani dengan menggunakan
teknik budidaya jenuh air. Teknik budidaya ini merupakan teknik penanaman
dimana air diberikan secara terus – menerus melalui parit – parit disekitar petak
pertanaman. Menurut Ghulamahdi (2011), budidaya kedelai di lahan pasang surut
dengan menggunakan sistem budidaya jenuh air mampu meningkatkan
produktivitas kedelai varietas Tanggamus mencapai 4,8 ton ha-1.
Perbaikan – perbaikan teknik penanaman seperti pengaturan lebar bedeng
dan pengolahan tanah juga dapat dilakukan untuk membuat budidaya kedelai di
lahan pasang surut menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produksi
kedelai. Pengaturan lebar bedengan perlu dilakukan untuk mengurangi penggunaan
tenaga kerja dalam pembuatan parit. Namun perlu diperhatikan juga kemampuan
air meresap dari parit ke seluruh bagian bedengan. Menurut penelitian Sahuri
(2011) penggunaan bedengan dengan lebar 2 m dan 4 m masih memberikan hasil
yang baik dibandingkan lebar bedengan yang lain. Pengaturan pengolahan tanah
perlu diperhitungkan agar teknik budidaya tanaman menjadi lebih efisien.
Menurut Moenandir (1988) gulma merupakan tanaman penggangu yang
mampu mempengaruhi tanaman budidaya. Adanya persaingan dengan gulma akan
membuat pertumbuhan maupun hasil akhir tanaman budidaya mengalami
penurunan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap gulma. Salah
2
satu kendala yang dihadapi dalam mengendalikan gulma di lahan pasang surut
adalah masih tingginya biaya dan tenaga kerja yang diperlukan. Penentuan teknik
dan cara pengendalian yang tepat mampu membuat budidaya kedelai di lahan
pasang surut menjadi lebih efisien.
Tujuan
Tujuan penelitian ini diadakan adalah untuk mengetahui pengaruh
pengolahan tanah dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas
kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Pengaruh pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai
2. Pengaruh pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai
3. Interaksi pengolahan tanah dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan
produktivitas kedelai
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kedelai
Kedelai (Glycine max (L) Merril) merupakan tanaman pangan yang
termasuk dalam famili Leguminoceae. Kedalaman perakaran dapat mencapai 2 m,
sedangkan penyebaran kesamping sejauh 1,5 m. Akar tanaman kedelai memiliki
ciri khusus yaitu adanya interaksi simbiosis antara bakteri nodul akar (Rhizobium
Japonicum) dengan akar tanaman kedelai yang menyebabkan terbentuknya bintil
akar. Bintil akar ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses fiksasi N2
yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kedelai. Interaksi simbiosis ini yang
membuat kedelai tidak memerlukan banyak pupuk nitrogen pada masa awal
pertumbuhannya (Adisarwanto, 2014).
Kedelai juga merupakan tanaman herba yang tumbuh tegak. Batang kedelai
memiliki buku yang akan menjadi tempat tumbuhnya bunga. Jumlah buku pada
tanaman ini berkisar 15 – 20 buku dengan jarak berkisar 2 – 9 cm. Pada batang
tanaman tersebut biasaya akan muncul cabang. Bentuk daun kedelai ada dua yaitu
bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedelai memiliki daun yang bersifat majemuk
berdaun tiga (Trifoliat) pada tangkai daun (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Warna bunga kedelai biasanya putih dan ungu. Setelah 7 – 10 hari sejak bunga
pertama muncul, polong kedelai akan terbentuk untuk pertama kalinya. Polongnya
berwarna hijau saat masih muda dan akan berubah menjadi kuning kecoklatan saat
masak (Purwono dan Purnamawati, 2007).
3
Lingkungan Hidup Kedelai
Tanaman kedelai juga mampu tumbuh pada tanah dengan tekstur gembur,
lembab, tidak tergenang air dan pH 6 – 6,8. Tanaman kedelai yang ditanam pada
pH dibawah 5,0 membuat pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan
kurang baik. Hal ini akan menghambat pertumbuhan tanaman kedelai karena
keracunan aluminium (Deptan, 2013). Tanah yang cocok untuk pertumbuhan
kedelai yaitu, alluvial, regosol, grumosol, latsol dan andosol.
Suhu yang optimal untuk pertumbuhan kedelai sekitar 20 – 30 0C.
Kelembapan udara yang optimal untuk tanaman kedelai berkisar 75 – 90 %.
Kelembapan tanah juga perlu diperhatikan, penurunan kelembapan tanah dari 90 %
menjadi 50 % dapat menurunkan hasil biji kedelai sekitar 30 – 40 %. Ketinggian
tempat yang baik untuk kedelai berbiji sekitar 0,5 – 300 m di permukaan laut
(Deptan, 2013).
Tanaman kedelai juga memerlukan curah hujan optimal sebesar 100- 200
mm/bulan. Kekurangan atau kelebihan air akan berpengaruh terhadap produksi
kedelai. Saluran drainase yang baik merupakan cara untuk mengurangi pengaruh
negatif dari kelebihan air. Tanaman kedelai memerlukan air yang banyak pada
tahap awal vegetatif, tahap pembungaan, dan pengisian polong. Namun perlu
diperhatikan dengan baik bahwa curah hujan yang tinggi pada tahap pengisian
polong dapat mengakibatkan polong menjadi busuk (Adisarwanto, 2014).
Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut merupakan daerah rawa yang mendapat pengaruh
langsung atau tidak langsung oleh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya.
Pasang surut air laut atau sungai dapat terjadi secara langsung pada saat pasang
tunggal atau pasang ganda. Lahan pasang surut memiliki beberapa pembagian tipe
lahan berdasarkan tipe luapan airnya. Lahan tipe A adalah lahan pasang surut yang
selalu terluapi oleh air pada saat pasang besar ataupun pasang kecil. Lahan tipe B
adalah lahan pasang surut surut yang hanya terluapi air saat terjadi pasang besar
saja. Tipe lahan C adalah lahan pasang surut yang tidak terluapi oleh air walaupun
terjadi pasang besar dan kedalaman muka air tanah < 50 cm dari permukaan tanah.
Tipe lahan D adalah lahan pasang surut yang tidak terluapi air saat terjadi pasang
besar dan pasang kecil dan memiliki kedalaman muka air > 50 cm dari permukaan
tanah (Noor, 2004).
Menurut Noor (2004), lahan pasang surut dapat menjadi sumber
pertumbuhan baru dalam produksi pertanian karena memiliki keuntungan antara
lain: 1) ketersediaan air yang melimpah, 2) topografi nisbi datar, 3) letak yang tidak
jauh dengan sungai, dan 4) lahan yang masih luas. Namun lahan pasang surut
memiliki beberapa kendala yang harus diperhatikan yaitu: 1) sifat fisika yang jelek,
2) sifat kimia dengan kemasaman yang tinggi, 3) kandungan pirit tinggi, 4) kahat
hara makro dan mikro. Menurut Suriadikarta (2005), kendala – kendala yang ada
dilahan pasang surut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi seperti
pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan
varietas yang adaptif, pengendalian hama dan penyakit, dan model usaha tani.
Lahan sulfat masam termasuk salah satu bagian dari lahan rawa pasang
surut. Tanah ini mengandung pirit dengan kedalaman > 50 cm. Kandungan pirit ini
4
bila terbuka ke udara akan teroksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi
sehingga tanah menjadi beracun. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral,
termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam
endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang
mengandung senyawa sulfat (SO4) larut (BBSDL, 2006). Adanya lapisan pirit
dicirikan dengan adanya warna kuning jerami pada bongkahan tanah, adanya warna
reduksi kelabu atau kelabu kehijauan, dan adanya bau H2S pada tanah yang diolah
(Barchia, 2006). Reaksi oksidasi pirit menurut Noor (2004) adalah sebagai berikut:
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+
FeS2 + 14Fe3+ 8H2O → 15Fe2+ 2SO42- + 16H+
Menurut Noor (2004), setiap 1 mol pirit apabila teroksidasi akan
membebaskan 4 mol ion H+, dan apabila ferri (Fe3+) terbentuk akan menjadi
oksidator sehingga membebaskan 16 mol H+ ke dalam tanah. Hal inilah yang
membuat tanah menjadi sangat masam. Tanah yang memiliki pH rendah akan
membuat senyawa Al3+, Fe2+, dan Mn2+ terlarut dalam tanah dan menjadi racun bagi
tanaman. Menurut Barchia (2006) Laju oksidasi pirit dipengaruhi oleh pH,
konsentrasi oksigen, suhu, kelembaban tanah, dan keseimbangan Fe(II) dan Fe(III)
di dalam sistem. Menurut Widjaja-Adhi (1986) di dalam Suriadikarta (2005) pirit
yang berada di dalam lumpur anaerob tidak akan membahayakan karena pirit dalam
kondisi stabil. Namun pada saat lumpur mengering akan membuat pirit dalam
keadaan tidak stabil.
Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air merupakan teknik budidaya dimana tanaman diberikan
irigasi secara terus menerus dan membuat tinggi muka airnya tetap. Hal ini
membuat lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air diberikan sejak tanaman
kedelai berumur 14 hari sampai polong kedelai berwarna cokelat (Hunter, 1980
dalam Ghulamahdi et al., 2006). Menurut Ghulamahdi (2011) teknik budidaya
kedelai di lahan pasang surut yang menggunakan teknik budidaya jenuh air dapat
meningkatkan produktivitas kedelai dibandingkan dengan budidaya biasa.
Indradewa (2004) juga menyatakan pemberian genangan air di saluran mampu
meningkatkan hasil biji kedelai 20% sampai 80%. BBSDL (2006) menyatakan
muka air tanah yang dipertahankan di atas lapiran pirit merupakan salah satu
strategi pengelolaan air di lahan pasang surut.
Budidaya jenuh air dapat mengatasi kendala yang ada di lahan pasang surut
karena tinggi muka air tanah yang tepat membuat lapisan pirit pada lahan pasang
surut dalam kondisi anaerob dan tidak bisa teroksidasi. Menurut Ghulamahdi
(2011) kedalaman muka air 20 cm dengan lebar saluran air 30 cm dan dalam saluran
25 cm untuk Variestas Tanggamus mampu menghasilkan kedelai dengan
produktivitas 4,8 ton/ha.
Kedalaman muka air yang tetap mampu menghilangkan dampak negatif
pada tanaman kadelai karena kedelai merupakan tanaman yang tidak tahan
tergenang. Menurut Troedson (1983) dalam Ghulamahdi (2011) muka air yang
tetap membuat tanaman kedelai akan beraklimatisasi dan kemudian akan
memperbaiki pertumbuhannya. Tahapan aklimatisasi ini terjadi selama 2 minggu
5
sejak pemberian irigasi. Pada tahap ini hasil fotosintesis akan dialokasikan ke
bagian akar tanaman untuk pembentukan akar baru. Adanya pembentukan akar baru
ini akan meningkatkan aktivitas bakteri penambat N. Menurut Ghulamahdi et al.
(2006) budidaya jenuh air mampu meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N,
P, K daun, bobor kering bintil, akar, batang, daun, polong serta biji dibandingkan
budidaya kering.
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempat yang
dikehendaki. Gulma juga termasuk dalam oraganisme pengganggu tanaman (OPT)
selain hama dan penyakit. Persyaratan tumbuh yang sama seperti tanaman lainnya
mengakibatkan terjadinya asosiasi gulma di daerah sekitar tanaman budidaya.
Gulma yang berasosiasi ini akan memperebutkan bahan – bahan yang dibutuhkan
untuk tumbuh (Moenandir, 1988). Kemampuan reproduksi yang tinggi,
pertumbuhan awal yang cepat, dan siklus hidup yang lama membuat gulma menjadi
kompetitor yang tangguh. Gulma ini akan bersaing dengan tanaman untuk
memperebutkan hara di tanah, air, cahaya, karbondioksida, dan ruang tumbuh
(Ashton and Monaco, 1991).
Gulma perlu dikendalikan agar tidak mengganggu tanaman yang
dibudidayakan. Gulma yang berasosiasi dengan tanaman budidaya mampu
menurunkan jumlah hasil (kuantitas), menurunkan mutu hasil (kualitas), mampu
meracuni tanaman dengan alelopati, mampu menurunkan nilai tanah, dan merusak
dan menghambat penggunaan alat – alat mekanik (Semobodo, 2010; Sastroutomo,
1990). Hal ini membuat diperlukan adanya tindakan pengendalian gulma pada
praktek budidaya pertanian. Pengendalian gulma adalah adanya populasi gulma
yang dimatikan pada stadia perioda kristis dalam siklus hidup tanaman yang
dibudidayakan. Pengendalian gulma ini bertujuan untuk mengendalikan gulma di
waktu gulma benar – benar memberi pengaruh yang buruk bagi tanaman. Beberapa
cara untuk mengendalikan gulma adalah pengendalian secara preventif atau
pencegahan, pengendalian secara mekanik, kultur teknik, hayati, kimia, dan terpadu
(Moenandir, 2010).
Pengendalian gulma secara kimiawi ialah pengendalian gulma dengan
menggunakan bahan kimiawi yang dapat menekan bahkan mematikan gulma.
Bahan kimiawi itu biasa disebut herbisida. Keuntungan yang diperoleh dengan cara
pengendalian ini adalah mampu menekan gulma yang peka, dapat mengendalikan
gulma sejak awal, mengurangi resiko kerusakan akar saat penyiangan gulma secara
manual, dapat dilakukan pada waktu yang singkat dan tenaga kerja yang dibutuhkan
sedikit (Moenandir, 2010).
Herbisida
Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan tumbuhan. Herbisida mampu mempengaruhi satu atau lebih proses –
proses yang sangat diperlukan tumbuhan dalam kelangsungan hidupnya. Herbisida
bukan hanya bersifat racun terhadap gulma tetapi terhadap tanaman juga (Sembodo,
2010). Herbisida berdasarkan waktu aplikasinya dibedakan menjadi herbisida
preplanting (sebelum tanam), pre emergence (sebelum tumbuh), dan post
6
emergence. Herbisida preplanting merupakan herbisida yang diaplikasikan sebelum
tanaman ditanam. Herbisida pre-emergence merupakan herbisida yang diaplikasi
setelah tanaman ditanam dan sebelum gulma tumbuh. Herbisida post-emergence
merupakan herbisida yang diaplikasikan setelah tanaman dan gulma tumbuh
(Ashton and Monaco, 1991).
Herbisida berdasarkan tipe translokasi herbisida dalam tumbuhan dibagi
menjadi dua yaitu herbisida selektif dan herbisida kontak. Herbisida sistemik
merupakan herbisida yang dialirkan dari tempat terjadinya kontak pertama ke
bagian lainnya. Herbisida ini akan dibawa pada titik tumbuh. Herbisida ini biasanya
diaplikasikan melalu tajuk. Herbisida kontak mengendalikan gulma dengan
mematikan gulma yang terkena oleh herbisida ini. Herbisida ini tidak
ditranslokasikan ke bagian tubuh gulma yang lain (Sembodo, 2010). Translokasi
herbisida dalam tumbuhan dapat melalui simplastik dan apoplastik.
Glifosat
Glifosat memiliki nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine. Herbisida
ini termasuk herbisida yang non selektif dan mempunyai kemampuan untuk
memerantas tumbuhan yang sangat luas (Ashton and Monaco, 1991). Herbisida
berdasarkan bahan aktifnya tergolong dalam senyawa organofosforus. Herbisida ini
tidak aktif ketika diaplikasikan ditanah karena mudah terikat dengan koloid tanah
(Sembodo, 2010).
Glifosat sangat efektif bila diaplikasikan melalui daun. Herbisida ini bekerja
pada saat daun aktif sehingga daun dapat menyerap herbisida. Setelah herbisida ini
diserap, herbisida ini akan ditranslokasikan keseluruh jaringan tanaman. Herbisida
ditranslokasi secara simplastik dan bisa juga secara apoplastik (Ashton and
Monaco, 1991). Herbisida ini akan terdegradasi dengan cepat di tanah. Herbisida
ini berkerja dengan menghambat biosintesis dari asam amino fenil alanin dan asam
amino aromatik. (Klingman et al., 1975). Herbisida ini akan menunjukkan gejala
umum klorosis yang diikuti dengan nekrosis pada tumbuhan yang diberi herbisida
ini. Herbisida ini bekerja dalam tumbuhan dengan cara menghambat proses sintesa
protein. Herbisida ini menghentikan penggabungan asam amno aromatic (Ashton
and Monaco, 1991). Gejala keracunan yang ditunjukan berkembang secara perlahan
dan baru bisa diamati pada 1 – 3 minggu setelah aplikasi (Klingman et al., 1975).
Gambar 1. Struktur kimia glifosat
Paraquat
Paraquat merupakan herbisida yang tergolong dalam herbisida berbahan
aktif bipiridilium. Herbisida ini termasuk dalam golongan herbisida pasca tumbuh.
Herbisida ini tidak aktif apabila diaplikasikan melalui tanah dan bersifat tidak
selektif. (Sembodo, 2010). Gejala umum setelah tumbuhan diaplikasikan herbisida
7
ini adalah adanya efek bakar dalam waktu yang relative singkat dan diikuti dengan
layu daun. Layunya daun pada tanaman diakibatkan karena herbisida ini mampu
merusak membran pada sel dan kloroplas. Cahaya, oksigen dan klorofil merupakan
prasarana yang diperlukan untuk menunjukkan efek racun tersebut. (Asthon and
Crafts, 1973). Paraquat memiliki nama umum yaitu 1,1-dimethyl-4, 4-
bipyridynium. Herbisida ini menghasilkan hydrogen peroksida yang bekerja untuk
merusak dinding sel (Ashton and Monaco, 1991).
Gambar 2. Struktur kimia paraquat
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin Palembang Sumatera Selatan pada bulan April sampai
September 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Tanggamus, herbisida sistemik berbahan aktif Glifosat pada volume semprot 550
kg ha-1, herbisida kontak berbahan aktif Paraquat pada volume semprot 400 l ha-1,
insektisida berbahan aktif klorantraniliprol 50 g l-1 dan fipronil 50 g l-1, Rhizobium
5 g kg-1 benih, dolomit 1 ton ha-1, 200 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCl, dan Urea 10
g l-1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu ajir, label, mesin pompa air,
knap sack sprayer, nozzle T-jet warna biru, alat pertanian umum, alat tulis, dan alat
ukur.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan split-plot dua faktor. Perlakuan
pengolahan tanah sebagai petak utama yaitu: 1) Bedengan 2 m tanpa olah tanah
(L1), 2) Bedengan 2 m dengan olah tanah (L2), 3) Bedengan 4 m tanpa olah tanah
(L3), 4) Bedengan 4 m dengan olah tanah (L4). Anak petak adalah 3 taraf
perlakuan pengendalian gulma yaitu: 1) Tanpa pengendalian gulma (C0), 2)
Pengendalian secara Manual (C1), 3) Aplikasi herbisida sistemik berbahan aktif
Glyfosat 3 minggu sebelum tanam + herbisida kontak berbahan aktif paraquat 1
minggu sebelum tanam (C2). Kombinasi antara perlakuan pengolahan tanah dan
8
pengendalian gulma diperoleh 12 perlakuan, masing – masing perlakuan diulang
sebanyak 3 ulangan sehingga diperoleh 36 petak perlakuan (Lampiran 1).
Pengolahan data menggunakan Uji-F. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh
nyata maka dilakukan uji lanjut terhadap perbedaan nilai rata-rata taraf 5% dengan
uji DMRT.
Model rancangan yang digunakan adalah
Yijk = μ + αi + βj + γik + (αβ)ij + ρk + εijk,
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan pengolahan tanah ke-i, pengendalian
gulma ke-j, dan ulangan ke-k
μ = nilai rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan pengolahan tanah ke-i; dimana i = 1, 2, 3 dan 4
βj = pengaruh perlakuan pengendalian gulma ke-j; j = 0, 1, 2,
γik = pengaruh galat perlakuan pengolahan tanah ke-i terhadap ulangan ke-k;
k = 1, 2, 3
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara pengolahan tanah ke-I dan pengendalian
gulma ke-j
Ρk = pengaruh aditif dari ulangan ke-k
εijk = galat umum percobaan
Pelaksanaan Percobaan
Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma pada penelitian ini dilakukan sesuai dengan perlakuan
pengendalian gulma. Sebelum perlakuan ini dilakukan, terlebih dahulu dilakukan
analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m untuk
mengetahui dominansi gulma awal pada areal percobaan yang telah ditentukan.
Perlakuan ini dilakukan pada saat sebelum tanam pada petak yang sudah ditentukan.
Pada perlakuan pertama tidak dilakukan pengendalian gulma (C0). Pada perlakuan
kedua pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menggunakan alat
pertanian seperti cangkul dan kored (C1). Pengendalian manual ini dilakukan pada
umur 3 dan 6 MST. Pada perlakuan ketiga pengendalian gulma dilakukan dengan
herbisida sistemik berbahan aktif glifosat pada saat tiga minggu sebelum tanam dan
aplikasi herbisida kontak berbahan aktif paraquat pada saat satu minggu sebelum
tanam (C2). Perlakuan herbisida sistemik menggunaan volume semprot 550 l ha-1
dan herbisida kontak menggunakan volum semprot 400 l ha-1.
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan sesuai dengan perlakuan pengolahan tanah.
Pengendalian pengolahan tanah dilakukan setelah pengendalian gulma. Petak
percobaan dibuat dalam 2 ukuran yaitu 5 m x 2 m dan 5 m x 4 m dimana masing –
masing ukuran terdiri dari 18 petak percobaan. Saluran air dibuat melalui setiap
bedengan dimana lebar saluran 30 cm dengan ke dalam 25 cm dan dialiri air setinggi
20 cm. Tanah sisa pembuatan saluran air ada yang diletakan di tepi petak percobaan
dan ada juga yang dicampur merata pada petak percobaan. Tanah sisa yang ditaruh
ditepi bedengan dilakukan pada 18 petak percobaan yang tidak diolah dan tanah
sisa yang dicampur merata dilakukan pada 18 petak perlakuan yang tanahnya
9
diolah. Pengolahan tanah yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengolahan
tanah ringan yakni mengolah tanah sedalam 10 cm dari permukaan tanah. Terjadi
kesalahan teknis pada aplikasi pengolahan tanah. Tanah hasil pembuatan saluran
yang kemungkinan memiliki kandungan pirit dicampur merata diatas petak
percobaan pada perlakuan yang tanahnya diolah. Sehingga pirit akan tercampur
diatas permukaan petak sehingga bisa mempengaruhi pertumbuhan kedelai.
Setelah pengolahan tanah, petak perlakuan diberikan pupuk KCl, SP-36 dan kapur
dolomit dengan cara ditebar merata. Pemberian pupuk dasar ini dilakukan satu
minggu sebelum tanam
Penanaman, Pemeliharaan, dan Pemanenan
Benih kedelai sebelum ditanam diberi Rhizobium dengan dosis 5 gr/ kg
benih. Benih yang telah disiapkan ditanam dengan cara ditugal dengan jarak tanam
20 cm x 25 cm. Benih ditanam dengan 2 benih per lubang (populasi 400.000
tanaman per hektar) dan ditutup dengan tanah Pada umur 3, 4, 5, dan 6 MST
tanaman diberikan pupuk susulan yaitu pupuk urea, Zn dan Cu masing – masing
dengan dosis 4 kg ha-1, 0,2 kg ha-1, dan 0,2 kg ha-1. Pupuk urea, Zn, dan Cu
diberikan dengan cara disemprot ke daun dengan masing – masing dosis 10 g l-1,
0,5 g l-1, dan 0,5 g l-1. Penyulaman dilakukan pada satu minggu setelah tanam.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan. Tanaman kedelai
dipanen saat daun dan polong sudah berwarna coklat dan kering.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman contoh di 36 unit percobaan.
Analisis hara tanah sebelum tanam: analisis dilakukan saat sebelum tanam
Pengamatan pada tanaman kedelai:
1. Tinggi tanaman: diukur dari pangkal batang sampai pada titik
tumbuh. Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman contoh pada 2, 4, 6,
8, dan 10 MST
2. Jumlah daun: satu unit daun merupakan daun trifoliet yang mekar
sempurna diukur pada 5 tanaman contoh pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MST
3. Bobot kering bintil akar, batang dan daun setiap petak percobaan
pada 4 dan 8 MST. Sampel dikeringkan dalam oven selama 72 jam
dengan suhu 60oC. Bagian tanaman seperti batang, daun, akar, dan
bintil akar dipisahkan dan ditimbang seteleh dikeringkan dalam
oven.
4. Jumlah polong isi merupakan polong yang bernas yang diamati saat
panen.
5. Jumlah polong hampa merupakan polong yang tidak berisi.
Pengamatan ini dilakukan pada saat panen.
6. Bobot biji per tanaman
7. Bobot 100 biji setiap petak perlakuan
8. Bobot biji per ubinan dihitung dari hasil ubinan 1 x 2 m untuk petak
perlakuan yang berukuran 4 x 5 m dan 2 x 5 m (Lampiran 2).
10
Pengamatan pada gulma
Analisis vegetasi ( Jenis gulma, kerapatan, frekuensi, bobot kering,
nilai jumlah dominansi) dilakukan pada saat awal sebelum perlakuan
diberikan, 1 bulan setelah tanam (4 MST) dan 2 bulan setelah tanam (8
MST). Pengamatan dilakukan menggunakan metode kuadran dengan
petak contoh berukuran 0,5 m x 0,5 m. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara gulma yang masih segar dipotong di atas permukaan tanah.
Sampel yang ada dipisahkan sesuai dengan spesiesnya. Bobot kering
gulma didapatkan setelah sampel gulma di oven pada suhu 1050C
selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan tujuan untuk melihat
gulma – gulma yang dominan pada lahan percobaan, dengan rumus
sebagai berikut:
Kerapatan Mutlak (KM) = Jumlah individu jenis tertentu dalam petak contoh
Kerapatan Relatif (KR) = KM jenis tertentu
Jumlah KM semua jenis x 100%
Bobot Kering Mutlak = Bobot kering (biomass) setiap spesies gulma
(BKM)
Bobot Kering Relatif = bobot kering (biomass) setiap spesies gulma
Jumlah nilai bobot kering mutlak semua jenis x 100%
(BKR)
Frekuensi Mutlak (FM) = Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentu
Jumlah semua petak contoh yang diambil
Frekuensi Relatif (FR) = Nilai FM jenis tertentu
Jumlah nilai FM semua jenis x 100%
Nilai Jumlah Dominansi = KR+BKR+FR
3
(NJD)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Pertumbuhan kedelai selama penelitian menunjukkan perkembangan yang
baik. Pada penelitian ini tipe lahan pasang surut yang digunakan adalah tipe B.
Menurut Noor (2004) Lahan pasang surut tipe B adalah lahan pasang surut surut
yang hanya terluapi air saat terjadi pasang besar saja.
Kondisi tanah pada areal percobaan memiliki tekstur tanah debu berliat
dengan komposisi pasir 3,55 %, Debu 48,60 %, dan liat 47,85%. Kandungan karbon
organik tergolong sangat tinggi yakni sebesar 5,4 %. Namun kandungan nitrogen
organik tergolong sedang dengan nilai sebesar 0,34 % sehingga rasio karbon-
nitrogennya organiknya sebesar 15,88 yang masih tergolong sedang. Kandungan
unsur P dan K juga masih tergolong sedang. Derajat kemasaman yang tergolong
sangat masam dengan nilai pH sebesar 4,30 berdasarkan larutan air dan tergolong
11
masam berdasarkan larutan kalium klorida dengan nilai pH sebesar 3,50 sehingga
diperlukan input tambahan seperti kapur dan pupuk agar kedelai dapat tumbuh
dengan baik (Lampiran 3).
Kondisi Iklim selama penelitian dapat dilihat dari data curah hujan, suhu
dan lama penyinaran. Menurut BMKG Ciputat (2015) rata – rata curah Hujan
bulanan dari April sampai Agustus 2015 sebesar 293,3 mm, 177,9 mm, 170,2 mm,
21,4 mm, dan 21,2 mm. Curah hujan bulanan menunjukkan bahwa cendrung
mengalami penurunan dari bulan April sampai Agustus (Lampiran 4). Menurut
Adisarwanto (2014) curah hujan yang optimal untuk kedelai sebear 100 – 200 mm.
Kedelai mulai ditanam pada bulan Mei dan kecambah mulai muncul pada
umur 5 hari setelah tanam. Pada umur 3 MST tanaman kedelai menunjukkan gejala
kuning pada daun muda. Namun tanaman yang mengalami gejala tersebut
berangsur pulih setelah diberikan pupuk N melalui daun pada umur 4 MST dan 5
MST. Pada umur 2 MST tanaman kedelai terserang oleh hama tikus dan ulat grayak
(Spodoptera litura). Hal ini dapat dicegah dengan melakukan pengendalian
menggunakan racun tikus dan insektisida. Curah hujan yang tinggi pada awal
penanaman juga menimbulkan serangan penyakit pada tanaman kedelai. Hal ini
dapat dicegah dengan penyemprotan fungisida dan bakterisida atau membuang
tanaman yang terkena penyakit.
Pertumbuhan Kedelai
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal pengolahan tanah
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 6, 8, dan 10 MST, jumlah
daun pada umur 4, 6, dan 8 MST. Faktor tunggal pengendalian gulma berpengaruh
nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2 dan 4 MST, jumlah daun pada umur 6,
8 dan 10 MST, bobor kering daun, batang akar pada umur 8 MST serta indeks luas
daun pada umur 8 MST. Interaksi antara faktor pengolahan tanah dan pengendalian
gulma berbeda nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2 dan 4 MST
(Lampiran 5).
Tinggi tanaman kedelai dari umur 6, 8, dan 10 MST pada lebar bedeng 2 m
dan 4 m dengan olah tanah berbeda nyata dengan lebar bedeng 2 m dan 4 m tanpa
olah tanah. Tinggi tanaman kedelai pada lebar bedeng 2 m dan 4 m dengan olah
tanah masing sebesar 60,53 cm dan 64,69 cm jauh lebih tinggi dari perlakuan lain
pada umur 10 MST. Jumlah daun tanaman kedelai dari umur 4, 6, dan 8 MST pada
perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m dengan olah tanah berbeda nyata dengan
tanaman pada perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m tanpa olah tanah (Tabel 1).
Pada umur 10 MST Tinggi dan jumlah daun tanaman pada lebar bedeng 2
m dan 4 m dengan olah tanah lebih baik dari perlakuan lain (Tabel 1). Hal ini diduga
bahwa pada bedeng dengan lebar 2 m dan 4 m ketersediaan air masih tercukupi.
Indradewa (2002) mengatakan bahwa pada lebar bedeng 2 m lengas tanah masih
diatas kapasitas lapang dan tersebar merata. Pada lebar bedeng 4 m lengas tanah
masih diatas 80 % kapasitas lapang sehingga tanaman kedelai tidak kekurangan air.
Selain itu, pengolahan tanah diduga dapat menciptakan kondisi yang lebih baik
untuk perkembangan akar sehingga penyerapan hara dan air berlangsung dengan
baik. Ohorella (2011) mengatakan setiap penambahan sistem olah tanah akan
menaikan pertumbuhan tinggi dan jumlah daun kedelai.
12
Table 1. Tinggi dan jumlah daun berbagai pengolahan tanah
Kolom
Pengamatan
Lebar bedeng dan pengolahan tanah
2 m + Tanpa 2 m + Diolah 4 m + Tanpa 4 m + Diolah
---------------------------------------Tinggi (cm) ---------------------------------------
2 MST 9,72 8,77 10,30 8,98
4 MST 16,32 15,93 15,70 16,24
6 MST 31,84b 37,04a 29,58b 37,83a
8 MST 48,71b 59,29a 46,33b 61,96a
10 MST 53,62b 60,53a 49,67b 64,69a
---------------------------------------Daun (daun)----------------------------------------
2 MST 1,00 1,07 1,04 1,04
4 MST 3,09b 3,93a 3,07b 4,04a
6 MST 9,07b 12,38a 7,78b 13,80a
8 MST 18,18b 23,20a 17,20b 22,36a
10 MST 26,89 27,69 25,73 33,07 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%; MST: Minggu Setelah Tanam.
Berdasarkan Tabel 2, pada umur 2 dan 4 MST perlakuan tanpa pengendalian
menunjukkan tinggi tanaman yang berbeda nyata dengan perlakuan pengendalian
manual dan pengendalian dengan herbisida. Pada umur tersebut, tinggi tanaman
pada perlakuan tanpa pengendalian jauh lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.
Hal ini diduga karena jumlah gulma yang tinggi membuat tanaman kedelai ternaugi
oleh gulma sehingga batang tanaman mengalami proses etiolasi. Namun pada usia
6, 8 dan 10 MST tinggi tanaman antar perlakuan tidak berbeda nyata meskipun
tinggi tanaman pada perlakuan tanpa pengendalian lebih tinggi.
Table 2. Tinggi dan jumlah daun pada perlakuan pengendalian gulma
Kolom
Pengamatan
Pengendalian Gulma
Tanpa Manual Herbisida
---------------------------------------Tinggi (cm) ---------------------------------------
2 MST 10,53a 9,15b 8,65b
4 MST 17,71a 15,50b 14,94b
6 MST 36,51 33,25 32,47
8 MST 57,10 51,02 54,10
10 MST 59,22 54,43 57,73
---------------------------------------Daun (daun) ---------------------------------------
2 MST 1,02 1,07 1,03
4 MST 3,48 3,70 3,42
6 MST 9,37b 12,45a 10,45b
8 MST 17,47b 23,87a 19,37b
10 MST 23,35b 31,48a 30,20a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%; MST: Minggu Setelah Tanam.
Pada umur 6 sampai 10 MST, perlakuan pengendalian gulma terhadap
jumlah daun menunjukkan hasil berbeda nyata. Pada umur 4 dan 6 MST perlakuan
pengendalian manual berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Namun pada umur
10 MST perlakuan pengendalian manual tidak berbeda nyata terhadap perlakuan
pengendalian dengan herbisida (Tabel 2). Hal ini diduga karena asosiasi gulma
13
dengan tanaman kedelai pada pengendalian manual tidak sebanyak pada petak
perlakuan tanpa pegendalian dan pengendalian dengan herbisida. Menurut
Moenandir (1988), gulma yang berasosiasi dengan tanaman budidaya akan
memperebutkan bahan – bahan yang seperti cahaya matahari, unsur hara dan air.
Bila terjadi kompetisi yang tinggi antara tanaman dengan gulma membuat tanaman
akan kekurangan bahan tersebut sehinnga mengganggu pertumbuhan kedelai.
Pada Tabel 3, pengaruh interaksi antara pengolahan tanah dan pengendalian
pada tinggi tanaman umur 2 MST menunjukkan pengaruh yang nyata. Pada Tabel
tersebut, terlihat tinggi tanaman kedelai pada perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa
olah tanah yang dikombinasikan dengan perlakuan tanpa pengendalian gulma tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah. Namun
perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m
dengan olah tanah yang dikombinasikan perlakuan tanpa pengendalian gulma.
Tinggi tanaman tertinggi terdapat pada interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa
olah tanah dengan perlakuan tanpa pengendalian (12,47 cm). Tinggi tanaman pada
perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan
perlakuan tanpa pengendalian berbeda nyata dengan perlakuan lebar bedeng 2 m
yang dikombinasikan dengan perlakuan pengendalian gulma secara manual dan
pengendalian dengan herbisida.
Table 3. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi
tanaman umur 2 MST
Lebar Bedeng +
Pengolahan Tanah
Pengendalian Gulma
Tanpa (cm) Manual (cm) Herbisida (cm)
2 m + Tanpa 11,33a 9,0b 8,83b
2 m + Diolah 9,0b 8,73b 8,57b
4 m + Tanpa 12,47a 9,37b 9,07b
4 m + Diolah 9,3b 9,5b 8,13b Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
DMRT taraf 5%.
Interaksi perlakuan pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi
tanaman umur 4 MST juga menunjukkan pengaruh nyata (Tabel 4). Interaksi
perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah dengan perlakuan tanpa pengendalian
memiliki tinggi tanaman tertinggi. Tinggi tanaman pada perlakuan lebar bedeng 2
m tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan perlakuan tanpa pengendalian
tidak berbeda nyata dengan perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah yang
dikombinasikan dengan perlakuan tanpa pengendalian. Namun interaksi perlakuan
lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah dengan perlakuan tanpa pengendalian berbeda
nyata dengan perlakuan yang lainnya.
Tinggi tanaman pada interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah
dengan perlakuan tanpa pengendalian dan interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan perlakuan tanpa pengendalian baik pada umur 2 MST dan
4 MST menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hal ini diduga terjadi karena pada
petak tersebut masih terdapat banyak gulma. Hal ini membuat tanaman kedelai
ternaungi sehingga batang mengalami etiolasi. Penelitian Wicaksono (2006) juga
menunjukkan bahwa tinggi tanaman kedelai tanpa pengendalian gulma jauh lebih
tinggi. Tinggi pada interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m dengan olah tanah dengan
perlakuan tanpa pengendalian dan intreaksi perlakuan lebar bedeng 4 m dengan
14
olah tanah dengan perlakuan tanpa pengendalian tidak tinggi karena gulma pada
petak perlakuan ini berkurang akibat proses pengolahan tanah. Menurut Juleha
(2002) pengolahan tanah mampu menekan pertumbuhan gulma. Hal ini membuat
tanaman kedelai pada perlakuan tersebut tidak mengalami etiolasi.
Table 4. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi
tanaman umur 4 MST
Lebar Bedeng +
Pengolahan Tanah
Pengendalian Gulma
Tanpa (cm) Manual (cm) Herbisida (cm)
2 m + Tanpa 20,2a 14,03d 14,73cd
2 m + Diolah 16,37bcd 15,63bcd 15,8bcd
4 m + Tanpa 18,2ab 14,97cd 13,93d
4 m + Diolah 16,07bcd 17,37bc 15,3cd Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
DMRT taraf 5%.
Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar pada perlakuan pengolahan
tanah tidak menunjukkan pengaruh nyata baik pada umur 4 dan 8 MST (Tabel 5).
Hal ini diduga karena pada lebar bedeng 2 m dan 4 m ketersediaan air masih
tercukupi untuk tanaman kedelai. Sahuri (2011) mengatakan bahwa lebar bedeng
yang ideal untuk digunakan adalah 2 m dan 4 m.
Table 5. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengolahan tanah
Lebar Bedeng + Pengolahan
Tanah
Bobot Kering Total
Berat
Kering Batang Daun Akar
Bintil
Akar
--------------------------------------- 4 MST (g) ---------------------------------------
2 m + Tanpa 0,31 0,49 0,23 0,06 1,09
2 m + Diolah 0,36 0,56 0,21 0,06 1,19
4 m + Tanpa 0,25 0,39 0,15 0,05 0,84
4 m + Diolah 0,39 0,58 0,22 0,06 1,25
--------------------------------------- 8 MST (g) ---------------------------------------
2 m + Tanpa 10,39 8,65 2,26 0,35 21,65
2 m + Diolah 7,96 6,19 1,43 0,31 15,89
4 m + Tanpa 7,61 6,26 1,73 0,33 15,93
4 m + Diolah 9,67 7,41 1,94 0,40 19,42 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.
Pada perlakuan pengendalian gulma, bobot kering batang, daun, akar, dan
bintil akar pada umur 4 MST tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Table
6). Hal ini diduga karena pada 4 MST dominansi gulma masih belum tinggi
sehingga tidak menggangu pertumbuhan kedelai. Pada 8 MST, perlakuan
pengendalian gulma menunjukkan ada hasil berbeda nyata. Perlakuan pengendalian
manual dan pengendalian dengan herbisida menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan tanpa pengendalian. Hal ini diduga karena pada
perlakuan tanpa pegendalian gulma lebih banyak ditemukan dibandingkan
perlakuan lain. Banyaknya gulma menyebabkan kompetisi menjadi lebih tinggi
sehingga kedelai mengalami ganguan dalam bertumbuh. Gulma ini akan bersaing
15
dengan tanaman untuk memperebutkan hara di tanah, air, cahaya, karbondioksida,
dan ruang tumbuh sehingga mampu mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman
(Ashton and Monaco, 1991).
Table 6. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengendalian gulma
Pengendalian Gulma
Bobot Kering Total
Berat
Kering Batang Daun Akar
Bintil
Akar
--------------------------------------- 4 MST (g) --------------------------------------
Tanpa 0,28 0,43 0,19 0,05 0,95
Manual 0,36 0,5 0,19 0,06 1,11
Herbisida 0,35 0,59 0,22 0,07 1,23
--------------------------------------- 8 MST (g) --------------------------------------
Tanpa 6,6b 5,42b 1,28b 0,25 13,55
Manual 10,47a 8,44a 2,35a 0,42 21,68
Herbisida 9,65a 7,52a 1,9a 0,38 19,45 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.
Luas daun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada perlakuan
pengolahan tanah baik pada 4 dan 8 MST (Tabel 7). Hal ini diduga karena
ketersediaan air yang masih mencukupi pada seluruh perlakuan pengolahan tanah.
Indradewa (2001) mengatakan kapasitas lapang tanah pada lebar bedeng 2 m dan 4
m masih diatas 80 % kapasitas lapang. Penelitian Yuliawati dan Manik (2014) juga
menyatakan bahwa indeks luas daun akan lebih baik apabila tanaman kedelai
kebutuhan airnya selalu tersedia.
Table 7. Luas daun pada perlakuan pengolahan tanah
Lebar bedeng + Pengolahan
tanah
Luas Daun/ Tanaman (cm2)
4 MST 8 MST
2 m + Tanpa 231,43 3115,87
2 m + Diolah 249,84 2271,43
4 m + Tanpa 154,13 2319,05
4 m + Diolah 261,11 2822,22 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%; MST: Minggu Setelah Tanam.
Luas daun pada perlakuan pengendalian gulma menunjukkan hasil berbeda
nyata pada 8 MST sedangkan pada 4 MST tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (Tabel 8). Perlakuan pengendalian manual berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pengendalian dan pengendalian dengan herbisida. Perlakuan pengendalian
manual menunjukkan bahwa indeks luas daun pada 8 MST dapat mencapai 3223,81
cm2. Hal ini diduga karena gulma pada perlakuan pengendalian manual lebih sedikit
dibandingkan perlakuan lain. Selain itu, gulma yang banyak membuat tanaman
pada perlakuan tanpa pengendalian mengalami persaingan dalam mendapatkan
unsur hara, cahaya matahari, dan ruang tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sembodo (2010) gulma yang ada disekitar tanaman mampu menurunkan kuantitas
dan kualitas pertumbuhan tanaman. Penelitian Eprim (2006) menyatakan bahwa
16
semakin lama gulma berada disekitar tanaman kedelai membuat semakin kecil ILD
tanaman kedelai.
Table 8. Luas daun pada perlakuan pengendalian gulma
Pengendalian Gulma Luas Daun/ Tanaman (cm2)
4 MST 8 MST
Tanpa 178,21 1890,48b
Manual 241,19 3223,81a
Herbisida 252,98 2782,14a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%; MST: Minggu Setelah Tanam.
Luas daun pada perlakuan pengendalian dengan herbisida pada umur 4 MST
jauh lebih tinggi, namun pada umur 8 MST Luas daun pada pengendalian manual
jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini diduga karena pada umur 4 MST
dominansi gulma pada perlakuan belum terlalu tinggi. Kondisi gulma pada
pengendalian manual dan pengendalian dengan herbisida masih sedikit sehingga
pertumbuhan kedelai masih cukup baik. Namun pada umur 8 MST dapat dilihat
bahwa kondisi gulma pada pengendalian dengan herbisida jauh lebih banyak
dibandingkan perlakuan pengendalian manual. Hal ini menunjukkan bahwa
pengendalian dengan herbisida sebelum tanam masih belum efektif untuk menekan
pertumbuhan gulma sampai pada umur 8 MST.
Komponen Produksi
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor pengolahan tanah
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong total, jumlah polong isi,
bobot biji tanaman contoh dan produktivitas. Faktor pengendalian gulma juga
menunjukkan pengaruh nyata terhadap jumlah polong total, jumlah polong isi,
cabang, bobot biji tanaman contoh, dan produktivitas. (Lampiran 3)
Jumlah polong total, jumlah polong isi, dan bobot biji tanaman contoh pada
perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (Tabel 9). Hal ini diduga karena lebar bedeng 4 m dengan olah tanah (L4)
mampu memberikan ketersediaan air yang optimum untuk kedelai serta mampu
menciptakan kondisi tanah yang baik untuk perakaran kedelai. Hal ini sama dengan
yang dikatakan Yuliawati dan Manik (2014) bahwa kedelai yang diberikan air yang
optimum mampu meningkatkan jumlah polong dan bobot biji kedelai. Pengolahan
tanah mampu menciptakan kondisi tanah yang baik untuk akar kedelai sehingga
mampu menyerap unsur hara dan air dengan baik. Hal ini diduga membuat tanaman
kedelai menghasilkan jumlah polong dan bobot biji yang lebih baik. Ohorella
(2011) melalui penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan sistem olah tanah
mampu meningkatkan jumlah polong dan bobot biji kedelai.
Produktivitas pada lebar bedeng 4 m dengan olah tanah berbeda nyata
dengan perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah, namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa olah dan lebar bedeng 2 m dengan olah
tanah (Tabel 9). Perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah masih menunjukkan
produktivitas tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena
dengan adanya pengolahan tanah mampu mengurangi dominansi gulma sehingga
gulma pada awal pertumbuhan kedelai sulit untuk tumbuh. Selain itu pengolahan
17
tanah diduga mampu membuat kondisi tanah yang baik bagi perakaran sehingga
tanaman kedelai mampu tumbuh dengan lebih baik. Hal ini membuat kedelai
bertumbuh dengan cepat dibandingkan gulma sehingga kanopi kedelai mampu
menguasai ruang tumbuh dengan cepat. Hal ini membuat gulma tidak mampu
bersaing. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat perlakuan Lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah (L4) memberikan hasil yang lebih baik. Namun perlu diingat
pengolahan tanah memerlukan biaya dan tenaga kerja yang tinggi.
Table 9. Komponen Produksi pada perlakuan pengolahan tanah
Kolom pengamatan Lebar bedeng + Pengolahan tanah
2 m + Tanpa 2 m + Diolah 4 m + Tanpa 4 m + Diolah
Jumlah polong total/
tanaman 85,44b 82,87b 76,98b 105,40a
Jumlah polong isi/
tanaman 83,27b 79,96b 74,98b 102,80a
Jumlah polong hampa/
tanaman 2,18 2,71 2,09 2,73
Bobot biji/ tanaman (g) 17,44b 16,74b 15,65b 22,39a
Bobot 100 butir (g) 10,32 10,77 10,73 10,53
Bobot Ubinan (g)/ 2 m2 584,54a 585,58a 460,98b 646,82a
Produktivitas (ton ha-1) 2,92ab 2,93ab 2,30b 3,23a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT tara f 5%.
Menurut Sahuri (2011) lebar bedeng 2 m dan 4 m merupakan lebar bedeng
yang optimum untuk budidaya kedelai dilahan pasang surut. Namun pada penelitian
ini didapatkan bahwa jumlah polong total, jumlah polong isi, bobot biji per
tanaman, dan produktivitas pada perlakuan lebar bedeng 2 m dengan olah tanah
(L2) tidak menunjukkan hasil yang baik bila dibandingkan perlakuan lebar bedeng
4 m dengan olah tanah (L4). Hal ini diduga karena adanya kesalahan teknis dalam
aplikasi pengolahan tanah dimana tanah sisa pembuatan saluran air dicampur
merata diatas petak perlakuan yang tanahnya diolah. Tanah sisa pembuatan saluran
ini diduga mengandung pirit karena saluran air dibuat sedalam 30 cm dari
permukaan tanah. Ketika tanah ini diolah merata pada petak percobaan ada
kemungkinan pirit teroksidasi sehingga mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Lebar
bedengan yang lebih kecil diduga membuat akumulasi pirit jauh lebih besar pada
perlakuan lebar bedeng 2 m dibandingkan akumulasi pirit pada perlakuan lebar
bedeng 4 m. Akumulasi pirit yang jauh lebih besar pada perlakuan lebar bedeng 2
m diduga mampu mengganggu pertumbuhan kedelai pada petak perlakuan tersebut.
Menurut Noor (2004) pirit yang teroksidasi akan membuat pH tanah menjadi
rendah. Tanah yang memiliki pH rendah akan membuat senyawa Al3+, Fe2+, dan
Mn2+ terlarut dalam tanah dan menjadi racun bagi tanaman. Oleh karena itu perlu
dilakukan penentuan kedalaman pirit saat sebelum percobaan dilakukan. Penentuan
kedalaman pirit dapat dilakukan dengan analisis tanah sebelum percobaan
dilakukan.
Jumlah polong total, jumlah polong isi, bobot biji per tanaman, dan
produktivitas pada perlakuan lebar bedeng 2 m dengan olah tanah tidak
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah. Hal ini diduga karena adanya kelebihan air pada petak percobaan lebar
18
bedeng 2 m dengan olah tanah (L2). Kelebihan air ini bisa disebabkan karena
tingginya curah hujan pada awal penanaman (Lampiran 2) dan menurut Indradewa
(2002) bahwa air pada lebar bedeng 2 m berada di atas kapasitas lapang ketika
diberi genangan air secara konstan. Hal ini membuat air berlebih pada petak lebar
bedeng 2 m dengan olah tanah (L2) sehingga dapat menghambat pertumbuhan
kedelai pada masa awal. Terhambatnya pertumbuhan ini diduga dapat
mempengaruhi jumlah polong kedelai.
Jumlah polong hampa pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini
diduga karena ketersediaan air yang cukup untuk tanaman kedelai pada seluruh
perlakuan. Ketersediaan air yang cukup ini membuat proses pengisian polong dapat
berjalan dengan baik. Menurut penelitian Rosawanti (2015) jumlah polong pada
tanaman kedelai saling berbanding terbalik antara jumlah polong isi dengan jumlah
polong hampa. Dalam penelitiannya menunjukan cekaman kekeringan mampu
meningkatkan jumlah polong hampa. Perbedaan jumlah polong ini berkaitan
dengan kadar air yang tersedia. Menurut Penelitian Wicaksono (2006) juga
menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan tanah tidak memberikan pengaruh
nyata pada jumlah polong hampa dan bobot 100 butir
Pada perlakuan pengendalian gulma terhadap jumlah polong total dan
jumlah polong isi, pelakuan pengendalian manual berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (Tabel 10). Bobot biji tanaman contoh dan jumlah cabang serta bobot
ubinan juga menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian manual dan pengendalian
dengan herbisida berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pengendalian (Tabel 10).
Produktivitas juga menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian manual dan
pengendalian dengan herbisida berbeda nyata dengan perlakuan tanpa
pengendalian. Produktivitas pada perlakuan pengendalian manual menunjukkan
hasil sebesar 3,22 ton sedangkan perlakuan tanpa pengendalian dan pengendalian
dengan herbisida hanya mencapai 2,27 ton dan 3,05 ton.
Table 10. Komponen Produksi pada perlakuan pengendalian gulma
Peubah pengamatan Pengendalian Gulma
Tanpa Manual Herbisida
Jumlah polong total/tanaman 61,65c 109,08a 92,28b
Jumlah polong isi/tanaman 58,13c 107,63a 89,98b
Jumlah polong hampa/
tanaman 3,52 1,47 2,30
Bobot biji/ tanaman (g) 12,46b 22,67a 19,04a
Bobot 100 butir (g) 10,59 10,54 10,63
Bobot Ubinan (g)/ 2 m2 453,54b 644,84a 610,06a
Produktivitas (ton ha-1) 2,27b 3,22a 3,05a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.
Pada umumnya perlakuan pengendalian manual menunjukkan hasil
komponen produksi yang lebih baik dari pada perlakuan yang lainnya. Hal ini
diduga karena adanya gulma sejak awal pertumbuhan mengingat pada perlakuan
tanpa pengendalian gulma sama sekali tidak disiangi sehingga sejak awal kedelai
langsung bersaing dengan gulma. Kehadiran gulma sejak 2 MST akan membuat
penurunan hasil yang nyata karena menghambat pertumbuhan vegetatif serta
pengisian polong pada umur 7 – 9 MST (Eprim, 2006).
19
Pada Tabel 10 terlihat bahwa produktivitas pada perlakuan tanpa
pengendalian mengalami penurunan produktivitas sebesar 29,50 % dibandingkan
dengan produktivitas pada perlakuan pengendalian gulma secara manual.
Produktivitas pada perlakuan pengendalian dengan herbisida mampu meningkatkan
produktivitas sebesar 25,57 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa
pengendalian. Penurunan hasil ini diduga karena kehadiran gulma pada perlakuan
tanpa pengendalian jauh lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal
ini membuat tanaman kedelai bersaing bersaing memperebutkan cahaya matahari,
unsur hara, air, dan ruang hidup dengan gulma sehingga pertumbuhan tanaman
kedelai akan terganggu (Moenandir, 1988).
Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan pengendalian manual (C1) pada
penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pengendalian herbisida
dengan glifosat dan paraquat saat sebelum tanam (C2). Hal tersebut bertentangan
dengan penelitian Utomo et al. (2014) yang menyatakan bahwa aplikasi herbisida
glifosat dan paraquat pada saat sebelum tanam mampu meningkatkan hasil kedelai
dibandingkan tanpa pengendalian dan pengendalian manual. Selain itu, hasil
penelitian Fauzi (2009) menyatakan bahwa hasil kedelai pada perlakuan tanpa olah
tanah + herbisida glifosat lebih baik dibandingkan hanya diolah saja. Hal ini diduga
karena herbisida yang diaplikasikan masih belum cukup untuk menekan
pertumbuhan gulma sehingga gulma masih dapat tumbuh dan membuat tanaman
kedelai mengalami persaingan. Tingginya curah hujan pada saat aplikasi herbisida
diduga menjadi salah satu penyebab gulma tidak tertekan (Lampiran 2). Budidaya
jenuh air membuat tanah selalu dalam kondisi jenuh air sehingga gulma juga dapat
tumbuh dengan gulma karena adanya air.
Menurut Troedson et al. (1983) budidaya jenuh air membuat kedelai
mengalami aklimatisasi dimana seluruh hasil fotosintesis akan dialokasikan ke
bagian akar tanaman untuk pembentukan akar baru. Aklimatisasi terjadi 2 minggu
setelah adanya penggenagan. Hal ini diduga membuat kedelai mengalami hambatan
pertumbuhan. Hambatan ini memberi kesempatan gulma untuk tumbuh karena
tanaman kedelai tidak mampu menguasai ruang tumbuh yang ada untuk menekan
pertumbuhan gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida saat kedelai sedang
dalam proses pemulihan diduga perlu dilakukan untuk menekan gulma. Menurut
penelitian Ghulamahdi et al. (2006) tanaman kedelai baru dapat pulih dari proses
aklimatisasi pada umur 5 – 9 MST. Pengendalian gulma setelah tanaman kedelai
tumbuh dapat dilakukan pada saat tanaman kedelai mulai pulih dari proses
aklimatisasi yakni umur 5 – 9 MST dengan menggunakan sungkup sprayer.
Pertumbuhan Gulma pada Lahan Percobaan
Analisis vegetasi gulma dilakukan sebelum perlakuan dilakukan untuk
mengetahui dominansi gulma awal sebelum percobaan dilakukan. Analisis vegetasi
menggunakan metode kuadran. Pada Tabel 11 dapat dilihat hasil analisis vegetasi
gulma pada lahan percobaan memperlihatkan bahwa areal percobaan didominansi
oleh gulma dari golongan teki yakni Cyperus iria L. Gulma spesies Cyperus iria
memiliki Nilai Jumlah Dominansi (NJD) sebesar 19.17%. Gulma dominan kedua
termasuk gulma daun lebar yakni Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven, gulma ini
memiliki nilai NJD sebesar 18.48%. Gulma lainnya yang mendominansi adalah
Ischaemum rugosum Salisb., Drymaria cordata (L.) Willd ex Roem. & Schult.¸
20
Paspalum commersonii¸ Paspalum conjugatum Berg., dan Oldenlandia corymbosa
(L.) Lam. dengan nilai jumlah dominansi masing – masing sebesar 13.33%, 9.33%,
7.39%, 5.96%, dan 5,71%.
Table 11. Gulma dominan sebelum tanam
Nama Gulma Golongan Nisbah Jumlah Dominan
Cyperus iria Teki 19,17%
Ludwigia octovalvis Daun Lebar 18,48%
Ischaemum rugosum Rumput 13,33%
Drymaria cordata Daun Lebar 9,33%
Paspalum commersonii Rumput 7,39%
Paspalum conjugatum Rumput 5,96%
Oldenlandia corymbosa Rumput 5,71%
Jumlah gulma dominan 79,38%
Jumlah gulma lainnya 20,62%
Perlakuan pengendalian gulma berpengaruh terhadap dominansi gulma.
Pada Tabel 12 dapat dilihat terjadi pergeseran dominansi gulma. Pada perlakuan
tanpa pengendalian dan pengendalian gulma dengan herbisida, gulma Ludwigia
octavalis menggeser dominansi gulma Cyperus iria pada umur 4 MST. Gulma
Ludwigia octovalvis tetap menjadi gulma dominan sampai pada umur 8 MST. Pada
perlakuan pengendalian secara manual terjadi pergeseran dominansi gulma baik
pada umur 4 MST dan 8 MST. Pada umur 4 MST Gulma Ludwigia octovalvis
menjadi lebih dominan dibandingkan gulma lainnya. Namun pada umur 8 MST,
gulma Oldenlandia corymbosa mengganti dominansi gulma Ludwigia octovalvis.
Table 12. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap komposisi gulma dominan
Umur Pengendalian
Gulma
Gulma Dominan (%) Jumlah
CI LO IR DC PCom PCon OC
4 MST Tanpa 6,72 20,53 2,09 4,92 6,35 6,90 6,06 53,57
Manual 7,90 12,88 0 11,18 7,79 21,14 11,18 72,07
Herbisida 8,46 15,71 2,54 15,31 4,58 5,36 8,57 60,53
8 MST Tanpa 5,87 15,27 3,57 5,68 8,95 4,77 5,98 50,08
Manual 4,98 7,92 0,83 5,03 6,14 6,39 10,38 41,67
Herbisida 9,52 15,51 0 8,46 7,64 0,48 7,09 48,69 Keterangan: MST: Minggu Setelah Tanam; CI = Cyperus iria; LO = Ludwigia octovalvis;
IR = Ischaemum rugosum; DC = Drymaria cordata; PCom = Paspalum commersonii;
PCon = Paspalum conjugatum; OC = Oldenlandia corymbosa.
Pada perlakuan pengolahan tanah, terjadi pergeseran gulma yang dominan
pada areal percobaan. Pada perlakuan lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah, lebar
bedeng 2 m dengan olah tanah, dan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah, gulma
Ludwigia Octovalvis menjadi gulma dominan menggeser gulma Cyperus iria baik
pada umur 4 MST maupun 8 MST. Pada perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa olah
tanah, Gulma Drymaria cordata menjadi gulma dominan pada 4 MST. Namun pada
8 MST terjadi pergeseran dominansi gulma. Gulma Ludwigia octovalvis menggeser
dominansi gulma Drymaria cordata. Pada seluruh perlakuan gulma spesies
21
Ischaemum rugosum mengalami penurunan nilai jumlah dominansi yang cukup
signifikan dibandingkan dengan gulma dominan lainnya.
Table 13. Pengaruh pengolahan tanah terhadap komposisi gulma dominan
Umur Lebar bedeng +
Pengolahan
Gulma Dominan (%) Jumlah
CI LO IR DC PCom PCon OC
4 MST 2 m + Tanpa 7,53 18,76 4,85 10,11 5,68 3,98 7,11 58,02
2 m + Diolah 6,24 35,91 0 6,00 7,34 7,13 8,81 71,44
4 m + Tanpa 5,72 11,34 0,76 11,70 4,13 8,72 6,26 48,63
4 m + Diolah 9,05 30,88 0 4,13 7,55 11,23 7,03 69,86
8 MST 2 m + Tanpa 8,09 17,32 1,96 6,39 3,55 10,86 6,80 54,96
2 m + Diolah 6,79 13,01 1,33 3,52 6,97 1,09 6,99 39,69
4 m + Tanpa 7,49 14,74 0 9,32 10,83 1,23 6,20 49,81
4 m + Diolah 6,21 13,76 0,07 7,59 13,13 0,80 7,53 49,08 Keterangan: MST: Minggu Setelah Tanam; CI = Cyperus iria; LO = Ludwigia octovalvis;
IR = Ischaemum rugosum; DC = Drymaria cordata; PCom = Paspalum commersonii;
PCon = Paspalum conjugatum; OC = Oldenlandia corymbosa.
Ludwigia octovalvis merupakan gulma yang tumbuh tegak, berbatang basah
tapi terkadang bisa menjadi kayu, ujung daun meruncing, dan berakar serabut.
Tinggi tanaman ini dapat mencapai 75 – 150 cm. Gulma ini merupakan gulma yang
mampu hidup pada kondisi lingkungan yang berlebih airnya. Gulma ini biasa
ditemukan pada lahan pertanian yang banyak air seperti lahan persawahan
(Kostermannns et al., 1983).
Analisis Usahatani Kedelai
Analisis usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari
bagaimana menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif pada suatu usaha
pertanian agar diperoleh hasil maksimal. Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio) adalah
peneilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa
perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih
sekarang negatif. Suatu proyek layak dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai B/C
Ratio > 1, yang berarti manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Jika B/C ratio < 1, berarti manfaat yang diperoleh tidak cukup untuk
menutupi biaya yang dikeluarkan sehingga proyek tidak layak dan efisien untuk
dilaksanakan (Shinta, 2011).
Pada Tabel 14 dari rekapitulasi data lampiran 7 - 18, dapat dilihat bahwa
hasil analisis usahatani pada kombinasi perlakuan lebar bedeng 2 m dtanpa olah
tanah dan perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida (L1C2) memiliki nilai
B/C rasio tertinggi yaitu 2,53 dengan keuntungan sebesar Rp12.881.250.
Kombinasi perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah dan perlakuan
pengendalian gulma dengan herbisida (L4C2) memiliki keuntungan terbesar kedua
yaitu Rp12.578.750 dengan B/C rasio sebesar 2,42. Kombinasi perlakuan lebar
bedeng 2 tanpa olah tanah dan perlakuan pengendalian gulma secara manual
(L4C1) memperoleh keuntungan terbesar Rp12.881.250 namun nilai B/C rasio jauh
lebih rendah yakni sebesar 2,53. Kombinasi perlakuan lebar bedeng 4 m tanpa olah
tanah dan perlakuan tanpa pengendalian gulma memiliki pendapatan terkecil yakni
sebesar Rp3.153.250 dengan B/C rasio sebesar 1,43.
22
Table 14. Perbandingan Analisis Usahatani/ha untuk setiap perlakuan
Perlakuan
Biaya (Rp) Pendapatan
(Rp)
Keuntungan
(Rp)
B/C
Ratio (Lebar bedeng + Pengolahan
tanah + Pengendalian Gulma)
2 m + Tanpa + Tanpa 7.664.250 16.897.500 9.233.250 2,21
2 m + Tanpa + Manual 10.064.250 17.677.500 7.613.250 1,76
2 m + Tanpa + Herbisida 8.426.250 21.307.500 12.881.250 2,53
2 m + Diolah + Tanpa 8.464.250 14.670.000 6.205.750 1,73
2 m + Diolah + Manual 10.864.250 22.875.000 12.010750 2,11
2 m + Diolah + Herbisida 9.226.250 18.442.500 9.216.250 1,99
4 m + Tanpa + Tanpa 7.264.250 10.417.500 3.153.250 1,43
4 m + Tanpa + Manual 9.664.250 17.032.500 7.368.250 1,76
4 m + Tanpa + Herbisida 8.026.250 16.620.000 8.593.750 2,07
4 m + Diolah + Tanpa 8.064.250 15.817.500 7.753.250 1,96
4 m + Diolah + Manual 10.464.250 24.615.000 14.150750 2,35
4 m + Diolah + Herbisida 8.826.250 21.405.000 12.578.750 2,42
Berdasarkan hasil analisis usahatani dapat dilihat bahwa kombinasi
perlakuan lebar bedeng 2 m dengan olah tanah dan perlakuan pengendalian dengan
herbisida dapat digunakan dalam budidaya kedelai di lahan pasang surut. Hal ini
dikarenakan perlakuan tersebut memiliki nilai B/C ratio tertinggi. Namun
pembuatan saluran akan memakan banyak biaya dan waktu jika menggunakan lebar
bedeng 2 m. Jumlah saluran yang dibuat dengan lebar bedengan 2 m akan jauh lebih
banyak dibandingkan jumlah saluran dengan lebar bedeng 4 m. Oleh karena itu
lebih baik menggunakan kombinasi perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah
dan perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida agar waktu dan biaya yang
digunakan jauh lebih efisien.
Kombinasi perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah dan pengendalian
gulma secara manual menunjukan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan
perlakuan lain. Namun pengendalian gulma secara manual memerlukan tenaga
kerja yang banyak dan biaya yang besar. Selain itu juga, ketersediaan tenaga kerja
pada setiap daerah tidak sama. Oleh karena itu lebih baik menggunakan kombinasi
perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah dan perlakuan pengendalian gulma
dengan herbisida dalam budidaya kedelai dilahan pasang surut. Pengendalian
gulma dengan menggunakan herbisida mampu menekan tenaga kerja dan biaya
produksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m dengan olah tanah mampu meningkatkan
pertumbuhan kedelai. Meskipun tidak berbeda nyata, pengaruh lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah menunjukkan produktivitas kedelai tertinggi dibandingkan
23
perlakuan yang lainnya. Produktivitas pada perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah
tanah dapat mencapai 3,23 ton. Petak perlakuan yang diolah baik dengan lebar
bedeng 2 m dan 4 m mampu menekan pertumbuhan gulma.
Produktivitas tertinggi didapat pada perlakuan pengendalian gulma secara
manual yakni sebesar 3,22 ton. Pertumbuhan gulma dapat ditekan dengan baik pada
perlakuan pengendalian manual dan perlakuan menggunakan herbisida. Menurut
data analisis usaha tani menunjukkan bahwa perlakuan pengendalian gulma secara
manual memberi keuntungan terbesar dibandingkan perlakuan pengendalian
dengan herbisida. Namun pengendalian secara manual memerlukan tenaga kerja
dan biaya. Oleh karena itu perlakuan dengan menggunakan herbisida merupakan
salah satu teknik pengendalian gulma yang bias digunakan dalam budidaya kedelai
dilahan pasang surut.
Saran
Penggunaan lebar bedeng 2 m tidak diperlukan lagi karena hasil pertumbuhan
dan komponen produksi tidak jauh berbeda dengan lebar bedeng 4 m. Selain itu
penggunaan lebar bedeng 4 m memudahkan proses budidaya kedelai. Perlu
dilakukan analisis kedalaman pirit pada lahan yang akan digunakan untuk
penelitian. Pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pengendalian gulma
dengan herbisida pada saat tanaman kedelai sudah tumbuh dengan menggunakan
sungkup sprayer.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto T. 2014. Kedelai Tropika Produktivitas 3 ton/ha. Penebar Swadya,
Jakarta
Ashton F.M. and Monaco T.J. 1991. Weed Science Principles and Practice. Canada.
Inter Sci Publ. John Willey and Sons.
Ashton F.M. and Crafts A.S. 1973. Mode of Action of Herbicides. Canada. Inter
Sci Publ. John Willey and Sons.
Barchia M.F. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gaja Mada
University Press, Yogyakarta.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Data Iklim Stasiun
Kenten. BMKG, Palembang.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik Jakarta.
www.BPS.go.id. [6 April 2015].
[BBSDL] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
2006. Karakteristik dan Pengolahan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Eprim Y.S. 2006. Periode Kritis Tanman Kedelai (Glycine max (L.)Meriil)
terhadap Kompetisi Gulma Pada Beberapa Jarak Tanam di Lahan Alang –
Alang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fauzi I. 2009. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Pemupukan Fosfor terhadap
Gulma dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.)Meriil). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
24
Ghulamahdi M., Aziz S.A., Melati M., Dewi N. dan Rais S.A. 2006. Aktivitas
nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi
jenuh air dan kering. Bul Agronomi 34(1): 32 – 38.
Ghulamahdi M., Aziz S.A. and Sagala D. 2009. Production of soybean varieties
under saturated soil culture on tidal swamps. J. Agronom 37(3): 226 – 232.
Ghulamahdi M. 2011. Best Practice dalam Budidaya Kedelai di Lahan Pasang
Surut. KIPNAS X Tahun 2011, Bogor.
Hunter M.N., De Fabrun P.L.M. and Byth D.E. 1980. Response of nine soybean
lines to soil moisture conditions close to saturation. Austral J. Exp. Agric.
Anim.Husb. 20:339-345.
Indradewa D., Sastrowinoto S. dan Notohadisuwarno S. 2002. Lebar bedengan
untuk genangan dalam parit pada tanaman kedelai. Bul Agronomi 30(3): 82
– 86.
Indradewa D., Sastrowinoto S., Notohadisuwarno S. dan Prabowo H. 2004.
Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat genangan dalam
parit. Ilmu Pertanian 11(2): 68 – 75.
Juleha. 2002. Penerapan Budidaya Kedelai (Glycine max (L.)Meriil) dengan
Teknologi Konvensional dan Olah Tanah Konservasi pada Beberapa Cara
Pengendalian. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Teknik Budidaya Kedelai di Lahan
Pasang Surut. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/1393/. [16 Maret
2014].
Klingman G.C, Ashton F.M. and Noordhoff L.J. 1973. Weed Science Principles
and Practice. Canada. Inter Sci Publ. John Willey and Sons.
Kostermans A.J.G.H., Wirjahardja S., Dekker R.J. 1987. The Weeds: Description,
Ecology and Control. Dalam: Soerjani M., Kostermans A.J.G.H.,
Tjitrosoepomo G. Weeds of Rice in Indonesian. Jakarta. Balai pustaka.
Moenandir J. 1988. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. Jakarta (ID):
Rajawali.
__________. 1990. Fisiologi Herbisida. Rajawali, Jakarta.
__________. 2010. Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press, Malang.
Noor M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ohorella Z. 2011. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai pada
Sistem Olah Tanah yang Berbeda. J Agronomika 1(3): 92 – 98.
Purwono dan Purnamawati H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Penebar swadaya, Bogor.
Rosawanti P. 2015. Toleransi Beberapa Genotipe Kedelai terhadap Cekaman
Kekeringan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sahuri. 2011. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.)Meriil) di Lahan
Pasang Surut. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastroutomo S.S.1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sembodo D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Shinta A. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press. Malang.
Suastika I.W. dan Sutriadi M.T. 2001. Pengaruh Perbaikan Tata Air Mikro terhadap
Kualitas Air Tanah dan Hasil Tanaman. Seminar Hasil Penelitian
Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumater Selatan.
25
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suriadikarta D.A. 2005. Pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian. J.
Litbang Pertanian 24(1) : 36 – 45.
Troedson R.J, Lawn R.J, Byth D.E, and Wilson G.L. 1983. Saturated Soil Culture
in Innovated Water Management Option for Soybean in the tropics and
Subtropics. In S. Shanmugasundaran and E.w. Sulzberger (ed). Soybean in
Tropical and Subtropical System. Proc. Symp. Tsukuba. Japan.
Utomo D.W.S., Nugroho A. dan Sebayang H.F. 2014. Pengaruh aplikasi herbisida
pra tanamn cuka (c2h4o2), glifosat, dan paraquat pada gulma tanaman
kedelai. J Produksi Tanaman 2(3): 213 – 220.
Wicaksono E.B. 2006. Aplikasi Olah Tanah Konservasu dengan Beberapa Cara
Pengendalian Gulma pada Budidaya Kedelai (Glycine max (L.)Meriil).
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Widjaja-Adhi I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1): 1–9.
Yuliawati T., Manik T.K. dan Rosadi R.A.B. 2014. Pendugaan kebutuhan air
tanaman dan nilai koefisien tanaman (kc) kedelai (glycine max (l.)meriil)
varietas tanggamus dengan metode lysimeter. J Teknik Pertanian Lampung
3(3): 233 – 238.
26
LAMPIRAN
Lampiran 1. Denah petak percobaan
Keterangan L1 = Lebar bedeng 2 m tanpa olah tanah
L2 = Lebar bedeng 2 m dengan olah tanah
L3 = Lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah;
L4 = Lebar bedeng 4 m dengan olah tanah
C0 = Tanpa Pengendalian;
C1 = Pengendalian Manual
C2 = Pengendalian dengan Herbisida.
L4C1U3 L2C2U2 L1C0U1
L4C2U3 L2C0U2 L1C1U1
L4C0U3 L2C1U2 L1C2U1
L3C2U3 L4C0U2 L2C1U1
L3C0U3 L4C1U2 L2C2U1
L3C1U3 L4C2U2 L2C0U1
L2C0U3 L1C1U2 L3C0U1
L2C1U3 L1C0U2 L3C2U1
L2C2U3 L1C2U2 L3C1U1
L1C1U3 L3C0U2 L4C2U1
L1C0U3 L3C1U2 L4C0U1
L1C2U3 L3C2U2 L4C1U1
27
Lampiran 2. Teknik pengambilan ubinan
Teknik pengambilan ubinan pada petak percobaan berukuran 4 x 5 m, ubinan
seluas 1 x 2 m dengan 40 lubang tanam
Teknik pengambilan ubinan pada petak percobaan berukuran 4 x 5 m, ubinan
seluas 1 x 2 m dengan 40 lubang tanam
28
Lampiran 3. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam
No Komponen Analisis Tanah Nilai Keterangan
1 Tekstur
- Pasir 3,55 %
Debu berliat - Debu 48,60 %
- Liat 47,85 %
2 pH
- H2O 4,30 Sangat Masam
- KCl 3,50 Sangat Masam
3 C-Organik 5,4 %
4 N 0,34 % Sedang
5 C/N rasio 15,88 Sedang
6 P 27,5 ppm Sangat Tinggi
7 Ca 4,29 mol/100g Sedang
8 Mg 2,3 mol/100g Tinggi
9 K 0,67 mol/100g Tinggi
10 Na 0,41 mol/100g Sedang
11 KTK 27,89 mol/100g Tinggi
12 KB 27,5 % Rendah 15 Fe 69,85 ppm Sangat Tinggi
16 Al 8,09 ppm Tinggi
18 Mn 2,87 ppm Sedang
29
Lampiran 4. Data BMKG bulan April hingga Oktober 2015 (BMKG 2015)
Lokasi : Stasiun Klimatologi Kenten , Sumatera Selatan
Lintang : 02° 55' 41" LS
Bujur : 104° 46' 19" BT
Elevasi : 4 m
Bulan
2015
Jumlah
Curah
Hujan
(mm)
Suhu
rata-rata
Bulanan
(oC)
Suhu
rata-rata
Max
Bulanan
( ° C)
Suhu rata-rata
Min Bulanan
( ° C)
Lama
Penyinaran
matahari
(persen)
APR 293,3 27,6 33,2 24,2 61
MAY 177,9 28,3 33,6 25,1 66
JUN 170,2 27,8 33,1 24,7 36
JUL 21,4 28,0 33,5 24,6 77
AUG 21,2 28,0 33,9 24,3 75
SEP 5,3 28,2 34,6 24,0 47
OCT 0,2 28,6 34,4 24,2 13
30
Lampiran 5. Uji beda nyata perlakuan pengolahan tanah dan pegendalian gulma
terhadap berbagai peubah yang diamati
Parameter Pengamatan
Sumber Keragaman
Pengolahan
Tanah
Pengendalian
Gulma Interaksi
Tinggi 2 MST tn * *
Daun 2 MST tn tn tn
Tinggi 4 MST tn * *
Daun 4 MST * tn tn
Tinggi 6 MST * tn tn
Daun 6 MST * * tn
Tinggi 8 MST * tn tn
Daun 8 MST * * tn
Tinggi 10 MST * tn tn
Daun 10 MST tn * tn
Jumlah Polong * * tn
Jumlah Polong Isi * * tn
Jumlah Polong Hampa tn tn tn
Cabang tn * tn
Bobot Biji Tanaman Contoh * * tn
Bobot 100 Butir tn tn tn
Bobot Ubinan * * tn
Produktivitas * * tn
Bobot Kering Daun 4 MST tn tn tn
Bobot Kering Batang 4 MST tn tn tn
Bobot Kering Akar 4 MST tn tn tn
Bobor Kering Bintil Akar 4 MST tn tn tn
Indeks Luas Daun 4 MST tn tn tn
Bobot Kering Daun 8 MST tn * tn
Bobot Kering Batang 8 MST tn * tn
Bobot Kering Akar 8 MST tn * tn
Bobor Kering Bintil Akar 8 MST tn tn tn
Indeks Luas Daun 8 MST tn * tn
31
Lampiran 6. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian kg 2.253 7.500 16.897.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor ) Hari Kerja 2 400.000 800.000
b. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
c. Pemeliharaan
d. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
e. Panen HOK 15 60.000 900.000
f. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
g. Transportasi dan
Distribusi 150.000
Total Biaya 7.664.250
Keuntungan 9.233.250
B/C 2,204716704
32
Lampiran 7. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas
penelitian
kg 2.357 7.500 17.677.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. gr 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan
Saluran ( Hand
Traktor )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
b. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
c. Pemeliharaan
d. Penyiangan Gulma HOK 40 60.000 2.400.000
e. Penyemprotan
Urea HOK 12 60.000
720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 100.64.250
4. Keuntungan 7.613.250
5. B/C 1,756464714
33
Lampiran 8. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian Kg 2.841 7.500 21.307.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai Kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea Kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 Kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL Kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit Kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Herbisida Gramoxon Botol 2 120.000 240.000
h. Herbisida Sun Up Botol 3 54.000 162.000
i. Insektisida Botol 2 130.000 260.000
j. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Penyemprotan Herbisida HOK 6 60.000 360.000
b. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 8.426.250
4. Keuntungan 12.881.250
5. B/C 2,52870494
34
Lampiran 9. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian Kg 1.956 7.500 14.670.000
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai Kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea Kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 Kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL Kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit Kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Insektisida Botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
b. Pengolahan Tanah (
Hand Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 8.464.250
4. Keuntungan 6.205.750
5. B/C 1,73317187
35
Lampiran 10. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian kg 3.050 7.500 22.875.000
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. gr 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
b. Pengolahan Tanah (
Hand Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyiangan Gulma HOK 40 60.000 2.400.000
f. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
g. Panen HOK 15 60.000 900.000
h. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
i. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 10.864.250
4. Keuntungan 12.010.750
5. B/C 2,105529604
36
Lampiran 11. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan
herbisida
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian Kg 2.459 7.500 18.442.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai Kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea Kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 Kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL Kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit Kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Herbisida Gramoxon botol 2 120.000 240.000
h. Herbisida Sun Up botol 3 54.000 162.000
i. Insektisida botol 2 130.000 260.000
j. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Penyemprotan Herbisida HOK 6 60.000 360.000
b. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Pengolahan Tanah (
Hand Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
d. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
e. Pemeliharaan
f. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
g. Panen HOK 15 60.000 900.000
h. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
i. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 9.226.250
4. Keuntungan 9.216.250
5. B/C 1.998916136
37
Lampiran 12. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian kg 1.389 7.500 10.417.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
b. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
c. Pemeliharaan
d. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
e. Panen HOK 15 60.000 900.000
f. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
g. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 7.264.250
4. Keuntungan 3.153.250
5. B/C 1.434077847
38
Lampiran 13. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian kg 2.271 7.500 17.032.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. gr 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
b. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
c. Pemeliharaan
d. Penyiangan Gulma HOK 40 60.000 2.400.000
e. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 9.664.250
4. Keuntungan 7.368.250
5. B/C 1,762423364
39
Lampiran 14. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan
herbisida
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 % produktivitas
penelitian kg 2.216 7.500 16.620.000
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Herbisida Gramoxon botol 2 120.000 240.000
h. Herbisida Sun Up botol 3 54.000 162.000
i. Insektisida botol 2 130.000 260.000
j. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Penyemprotan Herbisida HOK 6 60.000 360.000
b. Pembuatan Saluran ( Hand
Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan Distribusi 150.000
3. Total Biaya 8.026.250
4. Keuntungan 8.593.750
5. B/C 2,070705498
40
Lampiran 15. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 % produktivitas
penelitian kg 2.109 7.500 15.817.500
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran ( Hand
Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
b. Pengolahan Tanah ( Hand
Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
f. Panen HOK 15 60.000 900.000
g. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
h. Transportasi dan Distribusi 150.000
3. Total Biaya 8.064.250
4. Keuntungan 7.753.250
5. B/C 1.961434727
41
Lampiran 16. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 %
produktivitas penelitian kg 3.282 7.500 24.615.000
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. gr 250 625 156.250
g. Insektisida botol 2 130.000 260.000
h. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Pembuatan Saluran (
Hand Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
b. Pengolahan Tanah (
Hand Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
c. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
d. Pemeliharaan
e. Penyiangan Gulma HOK 40 60.000 2.400.000
f. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
g. Panen HOK 15 60.000 900.000
h. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
i. Transportasi dan
Distribusi 150.000
3. Total Biaya 10.464.250
4. Keuntungan 14.150.750
5. B/C 2,352294718
42
Lampiran 17. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan
herbisida
Uraian Satuan Volume
Harga/
Satuan
(Rp)
Total (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85 % produktivitas
penelitian kg 2.854 7.500 21.405.000
2. Biaya
Sarana Produksi
a. Benih Kedelai kg 50 12.000 600.000
b. Pupuk Urea kg 4 2.000 8.000
c. Pupuk SP-36 kg 200 2.000 400.000
d. Pupuk KCL kg 100 6.000 600.000
e. Kapur Dolomit kg 2.000 900 1.800.000
f. Rhizobium sp. g 250 625 156.250
g. Herbisida Gramoxon botol 2 120.000 240.000
h. Herbisida Sun Up botol 3 54.000 162.000
i. Insektisida botol 2 130.000 260.000
j. Fungisida bungkus 2 35.000 70.000
Tenaga Kerja
a. Penyemprotan Herbisida HOK 6 60.000 360.000
b. Pembuatan Saluran ( Hand
Traktor )
Hari
Kerja 1 400.000 400.000
c. Pengolahan Tanah ( Hand
Traktor Rotari )
Hari
Kerja 2 400.000 800.000
d. Penanaman HOK 15 60.000 900.000
e. Pemeliharaan
f. Penyemprotan Urea HOK 12 60.000 720.000
g. Panen HOK 15 60.000 900.000
h. Pascapanen HOK 5 60.000 300.000
i. Transportasi dan Distribusi 150.000
3. Total Biaya 8.826.250
4. Keuntungan 12.578.750
5. B/C 2.425152245
43
RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama lengkap Robinhood Geraldo Juniver Siahaan dilahirkan
pada tanggal 29 Mei 1993 di Padang, Sumatra Barat. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Djoni Siahaan dan Ibu Jeanny
Irene Virginia Makaenas. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Santu Petrus dan
pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB dan diterima di Departemen Agronomi
dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama aktif berkuliah, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan dan
organisasi. Penulis aktif dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB.
Penulis pernah mengikuti kepanitiaan seperti Ret – ret PMK Angkatan 49, Natal
Civa 2014, KATA 2013, Masa Oreientasi Departemen (MPD), FBBN 2015, dan
kepanitiaan lainnya. Penulis juga aktif menjadi Asisten Pratikum mata kuliah
Ekologi Tanaman (2014).