peduli yasmin 8 januari 2012

8
D esember belum usai keka aroma kekerasan kembali menyeruak dari dinding-dinding sekat rumah ibadah. Pada 23 Desember sore, sebelum senja usai pesan singkat dari Pendeta Bedalihulu mampir di ponsel. “Gereja kami di segel jam lima sore tadi, tolong kami”. Menjelang Natal, kembali jemaat sebuah gereja di Tangerang harus menahan amarah dan benci karena rumah ibadah mereka direbut oleh satpol PP dengan alasan warga dak setuju ada rumah ibadah disana. Alasan yang sangat klise dan sepernya dak ada alasan lain. Nyeri menusuk jantung keka sesama anak bangsa merasa lebih berhak nggal di bumi perwi ini. Merasa jauh lebih memiliki warisan untuk mendirikan rumah ibadah dan merasa sebagai pemilik satu-satunya kebenaran di muka bumi ini. Wajah garang berselimut murka kembali terbayang. Betapa ngerinya berada dalam situasi yang dak menguntungkan, dengan sedikit pengikut dan sedikit nyali. Bahkan tawa riang anak-anak GKI Yasmin harus ditelan riak demonstran an keberagaman. Perayaan Natal yang ditunggu-tunggu tak juga bisa mereka nikma. Jangankan berbagi kado, untuk berdoa saja mereka dak mendapat tempat di negeri ini. Masih terbayang wajah-wajah lucu nan riang yang sering bertanya “Mengapa kami dak boleh berdoa di gereja?” Penyegelan, penutupan, perusakan masih menjadi bara yang meranggas di Indonesia. Atas nama keinginan kelompok yang bersuara keras (an toleransi) Negara ini menjadi lembek, lemah dan tunduk. Kita sudah leh bertanya kemana perangkat hukum beraksi keka kasus seper ini terjadi? Apakah mereka bersembunyi di warung-warung sambil minum teh, atau mereka menyimpan senjata laras panjang untuk “dihadiahkan” pada para demonstran atau petani?. Mungkin saja, bagaimana dak mereka begitu garang melayangkan tendangan dan peluru keka aksi masyarakat Mengeja Indonesia dalam Keberagaman Peduli Yasmin http://facebook.com/gkiyasmin Minggu, 8 Januari 2012 Oleh : Agnes Hening Ratri

Upload: kris-hidayat

Post on 30-Mar-2016

228 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Mengeja Indonesia dalam Keberagaman,

TRANSCRIPT

Page 1: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

Desember belum usai ketika aroma kekerasan kembali menyeruak dari dinding-dinding sekat rumah ibadah. Pada 23 Desember sore, sebelum senja usai pesan

singkat dari Pendeta Bedalihulu mampir di ponsel. “Gereja kami di segel jam lima sore tadi, tolong kami”. Menjelang Natal, kembali jemaat sebuah gereja di Tangerang harus menahan amarah dan benci karena rumah ibadah mereka direbut oleh satpol PP dengan alasan warga tidak setuju ada rumah ibadah disana. Alasan yang sangat klise dan sepertinya tidak ada alasan lain.

Nyeri menusuk jantung ketika sesama anak bangsa merasa lebih berhak tinggal di bumi pertiwi ini. Merasa jauh lebih memiliki warisan untuk mendirikan rumah ibadah dan merasa sebagai pemilik satu-satunya kebenaran di muka bumi ini. Wajah garang berselimut murka kembali terbayang. Betapa ngerinya berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, dengan sedikit pengikut dan sedikit nyali.

Bahkan tawa riang anak-anak GKI Yasmin harus ditelan riak demonstran anti keberagaman. Perayaan Natal yang ditunggu-tunggu tak juga bisa mereka nikmati. Jangankan berbagi kado, untuk berdoa saja mereka tidak mendapat tempat di negeri ini. Masih terbayang wajah-wajah lucu nan riang yang sering bertanya “Mengapa kami tidak boleh berdoa di gereja?”

Penyegelan, penutupan, perusakan masih menjadi bara yang meranggas di Indonesia. Atas nama keinginan kelompok yang bersuara keras (anti toleransi) Negara ini menjadi lembek, lemah dan tunduk. Kita sudah letih bertanya kemana perangkat hukum beraksi ketika kasus seperti ini terjadi? Apakah mereka bersembunyi di warung-warung sambil minum teh, atau mereka menyimpan senjata laras panjang untuk “dihadiahkan” pada para demonstran atau petani?.

Mungkin saja, bagaimana tidak mereka begitu garang melayangkan tendangan dan peluru ketika aksi masyarakat

Mengeja Indonesia dalam Keberagaman Peduli Yasmin

http://facebook.com/gkiyasminMinggu, 8 Januari 2012

Oleh : Agnes Hening Ratri

Page 2: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

dan mahasiswa bergema. Bahkan atas nama aparat mereka pun menjadi begitu arogan di halaman Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta beberapa waktu lalu.

Indonesiaku dalam rengkuh Pancasila yang kian lesu, menunduk dalam garis batas khatulistiwa yang kian panas. Sepanas desing peluru yang mencabut nyawa di Bima, Mesuji dan Papua. Rakyat yang membayar aparat, namun rakyat juga yang menerima timah panas. Merasakan mesiu masuk menerobos jantung dan bersarang dalam dinding-dinding kematian.

Keterangsingan kemudian menjadi kawan dalam merengkuh luka dan air mata. Karena berkata-kata telah menghabiskan energi dan menguras seluruh keberanian untuk melawan. Negeri ini telah kembali menjadi gagu, wagu dalam bersikap dan bahkan seringkali lebih memilih diam menjadi penonton atas pesta darah yang tertumpah.

Negeriku dalam cengkeraman maut, tiap saat membutuhkan tumbal. Tumbal dari mereka yang berani bersikap untuk menjadi santapan pemimpin abal-abal yang bersekutu dengan kaum bar-bar. Betapa kita sangat menyayangkan situasi ini. Bukankah hal ini kemudian meremehkan perjuangan Ignatius Slamet Rijadi, NI Mas Agustinus Adisutjipto (diabadikan menjadi nama bandara di jogja), Marta Christina Tijahahu, Latuharhary, Maria Walanda Maramis, MGR A.Sugiopranoto, S.J dan lain sebagainya. Dulu mereka tidak pernah bertanya agamamu apa dan berjuang untuk kelompok agama mana. Namun saat ini kita bisa melihat betapa angkuhnya anak-anak bangsa yang mewarisi kemerdekaan.

Kelewang dan pedang sekelebat melayang di atas langit Madura dan Cikesik tahun ini. Meminta darah dan nyawa bagi mereka yang setia pada keyakinan. Batu dan kayu bersahabat dengan suara doa-doa

jemaat GKI Yasmin, gereja Rancaengkek, dan Sepatan.

Sementara mesiu dan senjata laras panjang masih mengintip di bumi Cendrawasih, menyelinap diantara perkebunan sawit Mesuji serta berbaur dengan aroma pantai di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Sampai kapan irama kekerasan ini akan berhenti? Kemudian saling berdekapan dalam satu rumah yang nyaman bernama Indoensia? Kapan suara azan berpadu dengan kidung malam kudus? Meramu kalimat memuji Tuhan dalam kesantunan dan kemuliayaan.

Merindukan Indonesia tanpa kelewang, tanap pedang, tanpa batu, mesiu dan senjata laras panjang. Seperti bermimpi tentang kejayaan masa lalu, dimana sumberdaya melimpah, rempah-rempah menjadi kekayaan nusantara, dimana laut menjadi kawan baik bagi nelayan. Berharap tentang perubahan Indoensia, seperti menyusun parcel yang telah tercecer di berbagai tempat. Tidaklah mudah mengembalikan senyum anak-anak negeri ini yang telah lama menyimpan nya dalam bilik-bilik suram wajah mereka.

Mengeja kembali Indonesia dalam ruang bersama bernama Pancasila, di mana perbedaan menjadi kekayaan, di mana keanekaragaman menjadi begitu berwarna. Tidak senada, tidak seirama dalam melantunkan zikir dan pujian atas nama Tuhan, karena sejatinya Ia pun mengetahui semua bahasa. Bukan penyeragaman!

2 3

Page 3: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

Saya disini bersama teman-teman, tidak hanya mewakili keluarga Abdurrahman Wahid, juga bersama dengan teman-teman saya dari

positive movement disini juga ada tante, ada sepupu saya, ada teman-teman saya, ada saudara saya, jadi ini koq seperti pertemuan keluarga saya ya?

Itulah, siapapun kita, apapun bentuk agamanya kita kita semua adalah bersaudara.

Beberapa bulan lalu, pada waktu menemani teman-teman GKI Yasmin pada acara dengar pendapat di DPR, mereka selalu katakan GKI Yasmin melanggar hukum – ini masalah hukum! Bagi saya jadi lucu, kalau masalah pelanggaran hukum kenapa harus berpakaian sorban, dan teriak Allahuakbar?

Maka kita akan tunjukkan bahwa ini adalah masalah hukum, bahwa hak-hak teman-teman GKI Yasmin jelas dilanggar. Dan tidak hanya teman-teman GKI Yasmin

yang dilanggar haknya, tetapi kami juga sebagai orang muslim. Karena sebagaimana anda, begitu pula kami, anda sakit, kami juga sakit dan itulah yang diajarkan agama-agama.

Pada saat-saat seperti inilah kita mengetahui, pada saat orang membenci kita, kita baru sadar bahwa ada yang namanya kasih, pada saat orang-orang marah pada kita, mengeluarkan makian - tadi saya baca di twitter ternyata banyak orang-orang yang mengeluarkan makian, pada saat itulah kita sadar apa sih yang diajarkan oleh Yesus, Muhamad, Budha, siapapun. Kita baru sadar betul apa yang diajarkan oleh mereka.

Kita jadi sadar betul Natal itu artinya apa? Bagi kami umat islam, kami sadar betul, Islam itu artinya apa. Salam, Damai, itu artinya apa, bukan pada saat senang. Orang sering kali bilang, damai itu bisa diciptakan ketika semua keadaan tenang, Bukan, Damai itu diciptakan ketika semua keadaan kacau balau dan kita tetap tenang, kita tetap penuh kasih. Dan kita tetap membagikan kasih itu. Maka itulah damai.

Tidak ada yang bisa saya katakan lagi, saya cuma mau bilang, saya pikir Bapak saya lagi ketawa di atas sana, mungkin dia senyum-senyum seneng, dirumah yg kecil ini, kelihatan aslinya Indonesia itu seperti apa.

Inayah Wahid di Natal GKI Yasmin:

“Siapapun kita, apapun bentuk agamanya kita, kita semua adalah bersaudara”

2 3

Page 4: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

Iwan Fals mengaku takjub dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena di tengah kesibukan mengurusi negara masih bisa membuat albumnya yang keempat. Seraya bercanda Iwan mengatakan bahwa album ”Harmoni” karya SBY itu merupakan ”Keajaiban

Dunia yang ke-8”. ”Luar biasa, SBY dengan banyaknya kegiatan sebagai kepala negara, masih bisa rileks membuat album itu,” ujar penyanyi yang selalu menyuarakan kritik sosial dalam lagu-lagunya itu, 3 November lalu. Harus diakui SBY memang produktif membuat album lagu-lagu ciptaannya, termasuk menerbitkan sebuah buku yang menggambarkan proses pembuatan beberapa albumnya itu. Cobalah buka internet dan masuk ke mesin pencari google. Ketik ”album SBY” lalu klik kategori ”gambar”, dalam sekejap akan terlihat foto-foto SBY sedang bermain gitar dan bernyanyi santai. Luar biasa pemimpin kita ini, mirip mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton yang kerap memukau publik melalui permainan saksofonnya. Tapi, di sisi lain kita patut bertanya: sebaik itukah SBY mengatasi pelbagai masalah bangsa ini? Seberapa banyakkah waktu dan energinya telah tercurah untuk memedulikan pelbagai persoalan yang dihadapi rakyatnya? Kalau SBY begitu hirau akan surat pribadi seorang tersangka korupsi, Nazaruddin (yang pernah merepotkan polisi karena buron ke mancanegara), sehingga dalam tempo singkat langsung membalasnya, bagaimana dengan surat-surat lainnya? Bagaimana dengan surat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) perihal pembangkangan putusan Mahkamah Agung (MA) dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Walikota Bogor Diani Budiarto? Dalam Surat No 056/SK/Pembina/YLBHI/X/2011 tertanggal 17 Oktober 2011, YLBHI meminta perhatian Presiden SBY agar bisa membantu menyelesaikan masalah GKI Yasmin Bogor demi menegakkan wibawa pemerintah, HAM, serta keutuhan bangsa. “Sampai saat ini belum ada respons sama sekali dari Presiden,” kata Ketua Pembina YLBHI Todung Mulya Lubis, 14 November lalu.

GKI YaSmIn &KeajaIban DunIa Ke-8

4 5

Page 5: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

Menurut Todung, selama masa kepemimpinan SBY, Indonesia mengalami kemajuan yang menggembirakan dalam hal penegakan HAM. Indonesia telah menjadi teladan dunia dalam hal transisi menuju penghargaan HAM dan demokrasi. Namun, di tengah perkembangan yang membesarkan hati itu, ironisnya saat ini justru terjadi kontradiksi. Pelbagai peristiwa yang terjadi kian mengkhawatirkan dan mengindikasikan adanya situasi yang buruk. YLBHI mempertanyakan, bagaimana pemerintah bisa bicara mengenai keteladanan dan kepatuhan terhadap hukum bila yang terjadi di depan mata justru sebaliknya. “Padahal, sebagaimana yang pernah Bapak (SBY) katakan, negara tidak boleh kalah. Bila MA sudah memutus inkracht, haruslah ditegakkan at any cost. Bukankah itu esensi negara hukum dan negara tidak boleh kalah? Kalau tidak, apa gunanya kekuasaan memaksa yang dimiliki negara dan alat-alat pemaksa negara?” tanya Todung.

Pendapat Todung benar, khususnya tentang kemajuan penghargaan atas HAM di Tanah Air. Namun, harus dikritisi bahwa kemajuan itu lebih pada hal-hal yang nampak di permukaan belaka. Memang, institusi-institusi HAM telah berdiri satu demi satu, sebagai penanda negara demokratis ketiga terbesar di dunia ini kian menghormati HAM. Namun itu lebih sekedar pencitraan, terutama kepada dunia internasional. Dan terbukti berhasil: Indonesia sejak 2006 hingga kini telah ketiga kalinya terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Prestasi yang membanggakan bukan? Di sebuah negara demokratis, HAM haruslah sejalan dengan penegakan hukum. Jika ada salah satu yang pincang, kita patut mencurigainya. Entahkah demokrasinya yang semu, hukum yang belum menjadi panglima, atau hakikat HAM yang belum dipahami dengan

baik oleh segenap komponen bangsa itu. Untuk Indonesia, yang mana yang benar? Boleh jadi ketiganya, namun yang paling parah adalah penegakan hukum, karena aparatnya banyak yang gemar memperjualbelikannya. Tak heran kalau di sini hukum bagaikan jaring laba-laba: yang lemah terjerat, yang kuat terlewat. Sebenarnya masalah ini bisa diatasi kalau saja para pemimpin mampu memperlihatkan keteladanan dalam hal menghormati dan menaati hukum. Terkait kasus GKI Yasmin, kita menyaksikan sendiri bahwa supremasi hukum tak lebih dari pepesan kosong belaka. Di Kota Bogor, tempat gereja itu berada, pemerintahnya justru membangkang terhadap putusan hukum. Pasalnya, pada 13 Juni 2006, GKI Yasmin secara resmi memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk gedung gereja di Jalan Abdullah

4 5

Page 6: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

bin Nuh Nomor 31, Bogor. Berikutnya, 19 Agustus 2006, pihak GKI Yasmin menggelar acara Peletakan Batu Pertama untuk memulai pembangunan gedung gereja. Saat itu Walikota Bogor Diani Budiarto menyampaikan Sambutan Tertulis Resmi yang dibacakan oleh perwakilan Pemkot Bogor. Namun, 25 Februari 2008, Walikota Bogor membatalkan IMB GKI Yasmin dengan alasan “sikap keberatan dan protes dari masyarakat terhadap Pemkot Bogor terkait pembangunan gedung gereja”. Tertanggal 28 Februari 2008, pihak GKI Yasmin menyampaikan surat keberatan kepada Walikota Bogor atas pembekuan IMB tersebut. Alasannya, mengacu Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dan No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, bahwa tidak diatur wewenang Bupati/Walikota untuk mencabut dan/atau membekukan IMB rumah ibadat (kecuali lewat pengadilan). Sejak itu pihak GKI Yasmin pun menempuh langkah hukum. Singkatnya, tahun 2009 keluarlah putusan MA No 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun selama dua tahun, Pemkot Bogor tidak menaati putusan MA dan bahkan pada 11 Maret 2011 mencabut IMB tersebut melalui SK No 645.45-137. Sementara itu pihak GKI Yasmin juga mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Walikota Bogor tertanggal 11 Maret 2011 itu karena dianggap sebagai perbuatan mal-administrasi dan pengabaian kewajiban hukum. Per 18 September lalu, batas waktu yang diberikan Ombudsman berakhir, namun Walikota Bogor tetap membandel. Akibatnya jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di

lahan dan gedung yang mereka miliki secara sah itu. Mereka terpaksa beribadah di trotoar dekat gereja. Itu pun selalu diintimidasi oleh Pemkot Bogor, Satpol PP dan pihak-pihak lain dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Perjuangan pihak GKI Yasmin terdengar sampai ke luar negeri. Pada 11 Oktober lalu, Moderator Dewan Gereja-gereja se-Dunia Walter Altmann datang menyambangi GKI Yasmin. Altmann bersama rombongan dan pengurus GKI Yasmin berdoa bersama di lokasi yang dijaga ketat aparat kepolisian dan Satpol PP setempat. Pertanyaannya, mengapa seorang kepala daerah yang melakukan pembangkangan hukum dan telah melecehkan dua lembaga negara yang terhormat (MA dan Ombudsman) seakan dibiarkan saja oleh para pemimpin di atasnya? Tidakkah ada rasa malu di dalam diri Pemerintah, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tidakkah ada niat baik untuk menyelesaikan masalah ini demi Pancasila, UUD 45, dan demi menjaga kewibawaan hukum? Kita menunggu kalau-kalau SBY sudi mendengar aspirasi rakyatnya yang sudah lelah berjuang demi keadilan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memerintahkan Kapolri untuk secepatnya bertindak memulihkan hak-hak umat GKI Yasmin. Lebih dari itu SBY harus merekomendasikan kepada Fraksi Partai Demokrat di DPRD Kota Bogor maupun di DPR agar Diani Budiarto dimakzulkan. Kalau tidak, benarlah bahwa di Indonesia ada satu lagi keajaiban dunia selain komodo.

Victor Silaen | Ketua Pengurus Yakoma-PGI dan Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan Jakarta.

6 7

Page 7: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

Selama kurang lebih 2 Tahun ini, lebih kurang kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya Republik ini. Kita memang sedang disuguhi tontonan yang cukup

memprihatinkan, betapa para pejabat publik kita, mulai dari Bapak Presiden sampai pada para aparat, yang saat ini sudah lebih taat pada konstituennya daripada konstitusi.

2 Tahun lebih kurang GKI Yasmin melihat dan merasakan sendiri betapa para pejabat publik ini tidak mengindahkan konstitusi. Kita melihat bahwa gerombolan lebih ditaati ketimbang konstitusi, sehingga ada yang mengatakan sekarang ini kita bukan lagi negara hukum tetapi negara mobokrasi. Kekuasaan yang lebih takut pada gerombolan.

GKI Yasmin itu sebetulnya bukan sedang berjuang untuk dirinya. Ini adalah spirit berbagi, berjuang bagi masyarakat. GKI Yasmin sedang berjuang bagi masyarakat Indonesisa, sedang berjuang bagi tegaknya hukum. Kalau untuk dirinya, GKI Yasmin sederhana sekali, tidak sulit untuk pindah tempat. tidak sulit untuk beribadah di tempat yang lain, tetapi putusan yang demikian tidak diambil, karena GKI Yasmin sadar, ini bukan persoalan GKI Yasmin semata, ini persoalan Republik yang semakin menjauh dari tatanan negaranya.

Dalam kerangka inilah kita tetap dipersatukan. Ini adalah antara kita yang setuju proyek bersama yaitu Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Undang-Undang Dasar 45 melawan mereka yang menggerogoti proyek bersama, yang menggerogoti Republik Indonesia tercinta ini. Semoga dengan semangat Natal ini kita diberi inspirasi baru bagi perjuangan tegaknya Hak Azasi di Indonesia ini. Banyak pekerjaan rumah kita, peristiwa Bima, peristiwa Mesuji, Papua dan berbagai persoalan pelik lainnya. Nyawa seakan tak berharga di negara ini, untuk itulah kita semua, tanpa memandang agama, Tuhan mengutus kita untuk berjuang di sana.

Dan Tentang GKI Yasmin, Bapak SBY mengatakan, “Keputusan hukum yang sudah final tidak boleh diabaikan, oleh karena itu kalau keputusan MA untuk GKI Yasmin sulit dilaksanakan, kesulitan itu yang harus diatasi.” Dan saya, kata Bapak Presiden, sudah menugaskan menteri terkait, untuk menyelesaikan, ada Menkopolhukam, ada Mendagri ketika itu. Kalau menteri tidak bisa atasi dalam waktu segera, saya akan turun langsung. Itu kalimat Bapak Presiden, dua minggu yang lalu, tapi kita melihat sampai sekarang Natal juga belum. Kami berencana sesuai dengan kesepakatan waktu itu, bertemu dengan bapak Presiden dan saya akan ungkapkan kembali pengalaman hari ini. Bahwa masih terjadi, bahwa bapak Presiden tidak digubris oleh para menterinya. | Natal GKI Yasmin, 25 Desember 2011

Pdt. Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI:

“GKI Yasmin itu bukan sedang berjuang untuk dirinya GKI Yasmin sedang berjuang bagi masyarakat Indonesisa”

6 7

Page 8: Peduli Yasmin 8 Januari 2012

PRESS RELEASE: Jakarta, 05 Januari 2012

“Kita Butuh Islam Ramah, dan Bukan Islam Marah”

Menyikapi tudingan beberapa kelompok keagamaan di Bogor pada Minggu 01 Januari 2012 yang menyatakan,

stiker bertuliskan “Kita Butuh Islam Ramah, dan Bukan Islam Marah” sebagai upaya provokasi yang dilakukan Gereja Yasmin, adalah tidak beralasan. Oleh sebab itu, kami menyampaikan penjelasan sebagai berikut:

Stiker bertajuk “Kita Butuh Islam Ramah, dan Bukan Islam Marah” diterbitkan 1. Jaringan Gusdurian atas izin keluarga almarhum KH. Abdurrahman Wahid, tanpa intervensi organisasi atau institusi keagamaan tertentu.Kalimat stiker “Kita Butuh Islam Ramah, dan Bukan Islam Marah” merupakan 2. kutipan otentik dari KH. Abdurrahman Wahid, dan tidak merujuk pada identitas tokoh atau lembaga selainnya.Stiker tersebut kami edarkan secara luas ke publik sejak peluncuran Pojok 3. Gus Dur di Gedung PBNU pada Agustus 2011, dan pada acara Haul ke-II KH Abdurrahman Wahid pada 30 Desember 2011.Stiker tersebut dihadirkan ke ruang publik semata demi penyebarluasan gagasan 4. Islam damai bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin); visi keagamaan dan kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan almarhum KH Abdurrahman Wahid dan Nahdlatul Ulama (NU).Mengingat relevansinya dalam konteks ke-Indonesia-an, kami akan terus 5. memproduksi dan memperbanyak stiker tersebut serta menghadirkannya ke ruang publik masyarakat secara luas. Dan bukan tidak mungkin, masyarakat Indonesia akan berinisiatif untuk memproduksi stiker ini secara swadaya, sebagai wujud partisipasi penyebarluasan gagasan Islam Rahmatan lil Alam.Demikian press release ini kami sampaikan, sekaligus sebagai penjelasan 6. dan tabayun bahwa stiker tersebut dibuat dan disebarkan murni demi tujuan harmonisasi antar pemeluk agama, dan bukan sebaliknya.Kami menghimbau kepada semua pihak untuk menjunjung tinggi supremasi 7. hukum di Indonesia dan tidak melakukan tindakan anarkhis apapun hanya semata berdasarkan prasangka atas nama agama, suku, ras, dan keyakinan apapun. Sekian dan terima kasih.8.

WassalamAlissa Qotrunnada Wahid

Panitia Haul ke-II KH. Abdurrahman Wahid - Jaringan Gusdurian.