pdf (tesis fulltext)
TRANSCRIPT
i
KONSEP BERHUKUM IDEAL BERBASIS PROGRESIF
Sebuah Usaha Pembebasan Diri dari Kekacauan Filosofis Pemikiran Legalistik Positivistik
TESIS
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Hukum
Oleh :
HERI DWI UTOMO
NIM: R100110018
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
.يرفعاللهالذينءامنوامنكموالذينأوتواالعلمدرجات
Artinya :”Allah akan meninggikan orang‐orang yang berimandi antaramu dan orang‐
orang yang diberi ilmu pengetahuan.”
(QS.Al‐Mujadalah:11)
الطبرانى( تعلمواالعلموتعلمواللعلمالسكينةوالوقاروتواضعوالمنتعلمونمنه
“Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan
bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.”
(HR. Al‐Thabrani)
Karya ini Penulis persembahkan untuk :
‐ Ibu dan Kakakku Tercinta ‐ Isteri dan Ketiga anakku Tersayang ‐ Segenap Guru Besar Magister Hukum UMS ‐ Seluruh Almamater Magister Hukum UMS 2012
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala yang telah mengajarkan
manusia dengan pena segala sesuatu yang tidak mereka ketahui. Salam serta
Shalawat senantiasa tercurahkan kepada Junjungan kita Nabiyullah Rasulullah
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang telah menghantarkan sebenar‐
benarnya ilmu kepada manusia dan alam semesta.
Penelitian dan penulisan karya ini tidak semata‐mata dilakukan oleh
penulis sendiri melainkan selesai dengan banyak dukungan para pihak baik yang
terlibat sebagai Pembimbing Aktif maupun tidak. Maka pada kesempatan ini
dengan segala hormat dan kerendahan hati , penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Bambang Setiadji, M.S, selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
2. Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H, M.Hum, selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus Pembimbing Utama
dalam penulisan ini.
3. Wardah Yuspin, S.H, M.Kn, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Prof. Dr. Absori S.H, M.Hum, selaku Pembimbing Kedua dalam penulisan
ini yang telah memberikan banyak petunjuk serta referensi dalam
penulisan ini.
5. Bapak Kelik Wardiono, S.H, M.Hum, atas arahan serta nasehat beliau
selama perkuliahan dan terhadap penulisan ini.
6. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Perpustakaan baik Pusat maupun
Pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah
memberikan fasilitas dalam penyelesaian studi dan penulisan ini.
viii
7. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Pengajaran Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan pelayanan
selama ini.
8. Kepada Ibu dan Istri tercinta serta ketiga anakku (Daffa Royyan, Uwais
Amani Syahid, serta Salsabilla Khomaera) yang telah memberikan
dukungan moril serta doa kepada penulis.
9. Rekan‐Rekan Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2011/2012 yang telah memberikan
dukungan dan doa.
Tiada kalimat yang pantas kecuali Alhamdullahirabbil’alamin dan Jazzakumulloh
khairan katsiraan, Segala Puji Syukur kepada Rabbul Alamin dan semoga Allah
Subhana Wa Ta’ala balasan kebaikan yang melimpah. Amien ya Rabbal’alamin
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2015
Penulis
HERI DWI UTOMO
ix
Abstrak
Cengkeraman epistemologis modern Cartesian‐Newtonian benar‐benar membuat positivisme hukum dimatikan untuk melihat gejolak masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah. Paradigma positivistik telah mereduksi hukum yang dalam kenyataannya adalah sekumpulan pranata pengaturan yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Kebekuan dan kekacauan hukum semacam ini telah menimbulkan intensitas legal gap yang cukup tinggi.Diperlukan sebuah konsep hukum berbasis progresif yang merupakan perilaku hukum para penegak hukum dalam menjalankan undang‐undang. Perilaku yang tidak terbentur pada formalitas dan tekstual belaka. Perilaku yang membawa keadilan pada keputusan yang dihasilkan. Penelitian ini dimulai dengan mempelajari pemikiran hukum dan teori dari beberapa tokoh aliran hukum, yang menjadi bahan kajian penelitian. Selanjutnya ditetapkan inti pemikiran yang mendasar dan topik‐topik sentral pemikiran hukumnya. Karya tokoh yang menjadi subjek penelitian dikaji dengan membuat analisis konsep pokok pemikiran satu per satu, agar dari logika deduktif yang dipakai sebagai pisau analisisnya, dapat ditarik suatu kesimpulan. Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru atau sebuah model berperilaku hukum untuk mengganti atau memperbaiki konsep hukum sebelumnya.
Kata Kunci : paradigma positivisme, kekacauan hukum dan konsep berhukum progresif.
x
Abstract
Modern epistemological grip Cartesian‐Newtonian really make legal positivism is off to see the turmoil the people who always moving and changing. Positivistic paradigm has reduced law in reality is a set of institutions that are very complex arrangement into something simple, linear, mechanistic and deterministic. Ice and legal chaos This creates legal intensity gap is quite high. Required a legal concept which is based on progressive legal behavior of law enforcers to carry out the law. Behavior that is not hampered by a mere formality and textual. Behavior that brings justice on the resulting decisions. The research began by studying the laws of thought and theories of several prominent schools of law, which is the subject of the research study. Furthermore, a core set of thought fundamental and central topics of legal thought. Works of figures who become research subjects studied by making analysis of the basic concepts of thought one by one, in order of deductive logic used as a knife analysis, a conclusion can be drawn. Thus research is expected to generate a descriptive report on the study of law that offers a formulation of a new law or a legal act models to replace or repair the previous legal concepts.
Keywords: paradigm of positivism, legal chaos and lawless progressive concept.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING I ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING II ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ iii
HALAMAN PENGESAHAN ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ vi
KATA PENGANTAR ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ vii
ABSTRAK ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ix
DAFTAR ISI ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1 B. Perumusan Masalah ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 C. Tujuan Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 D. Manfaat Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 E. Landasan Teori ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 12 F. Metode Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 15
1. Subjek dan Objek Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 15 2. Jenis Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 3. Metode Pendekatan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 4. Sumber Data ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 5. Teknik Analisis Data ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 17
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A.Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern
1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19 2. Asumsi Ontologi Paradigma Cartesian‐Newtonian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19 3. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Perkembangan Ilmu
(Sains) dan Positivisme Ilmu (Sains Positivistik) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 24 4. Pengaruh Positivisme Ilmu terhadap Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 28 5. Perkembangan dan Ruang Lingkup Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 30 6. Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 32
a) Aliran Hukum Positif Analitis / Analytical Jurisprudence ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 33 b) Aliran Hukum Murni / Pure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 37 c) Grundnorm dan Stufendtheorie ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 37
xii
7. Beberapa Asumsi dan Karakteristik pemikiran Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 38 8. Konstruksi Epistemologis (Model Penalaran) Mahzab Positivisme Hukum ‐‐‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 40
B. Diskursus mengenai Paradigma Rasional sebagai Basis Epistemologi Pure Theory of Law Hans Kelsen 1. Pure Theory of Law:SebuahDeskripsi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 57 2. Aspek‐aspekEpistemologisPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 65
a) AspekOntologiPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 66 b) AspekEpistemologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 71 c) AspekAksiologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 74
C. Diskursus mengenai Ketidak‐teraturan Hukum (Disorder of Law) dalam Teori
Chaos Charles Sampford 1. Sejarah dan Peristilahan Chaos ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 77 2. Teori Chaos dalamIlmuPengetahuan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 79 3. TeoriHukumAsimetrismenurut Charles Sampford ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 81 4. BeberapaGagasanUtama Charles Sampford ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 82
a) Relasi Kekuasaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 82 b) Legal Melee ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 83 c) Komunikasi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 83
D. Diskursus mengenai Pergeseran dan Perubahan Teori dan Paradigma Ilmu
Hukum 1. Perkembangan Teori Ilmu Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 85 2. Teori Pergeseran Ilmu Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 85 3. Hukum dan Perubahan Sosial ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 88 4. Teori Tentang Evolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 89 5. Teori Revolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 90
E. Diskursus mengenai Teori Holistik (Concilience : Unity of Knowledge)Edward
O. Wilson ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 92
F. Diskursus mengenai Konsep Nilai, Moral, dan Keadilan 1. Nilai sebagai Aspek Aksiologis ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 95 2. Ke‐takterpisahan Hukum dan Moralitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 95 3. Moralitas Dalam Teori Hukum Hart ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 96 4. Sanggahan Terhadap Tesis Keterpisahan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 99 5. Hubungan Mutlak Hukumdan Moralitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐101
a) HukumMutlakMengaturObjek‐ObjekMoralitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐101
xiii
b) HukumMutlakMembuatKlaim Moral terhadapSubjeknya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐102 c) HukumMutlakMengarahpadaKeadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐103 d) HukumMutlakMemilikiRisiko Moral ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 103
6. Moralitas Sebagai Paradigma Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 104 7. KeadilandanKepastianHukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 108 8. Perspektif Keadilan dalam berbagai Mahzab ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 110
G. Diskursus mengenai Paradigma Holistik sebagai Basis Pemikiran Hukum
Progresif 1. Penelusuran Paradigma Holistik Hukum Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 111
a) Hukum di Tengah Arus Perubahan Sosial ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 111 b) PengaruhdanWatakKulturalHukum Modern ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 115 c) HukumProgresifMelampauiPositivismeHukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 116 d) ParadigmaHolistikHukumProgresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 122
2. LandasanKonseptualHukumProgresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 129 a) HukumSebagaiInstitusi yang Dinamis ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 130 b) HukumSebagaiAjaranKemanusiaandanKeadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 c) HukumSebagaiAspekPeraturandanPerilaku ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 d) HukumSebagaiAjaranPembebasan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 e) Pengaruh Mahzab : Sebuah Pendekatan Interdisipliner‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 133
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KekacauanEpistemologis yang terjadipadaPemikiran Legal Positivistik
1. Pengaruh Dualisme dan Reduksionisme Cartesian‐Newtonian dalam Karakteristik Positivisme Yuridis Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 144
2. Dualisme dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 149
3. Reduksionis dalam dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 157 a) Kritik dari Joseph Raz ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 167 b) Kritik Hari Chand ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 167 c) Kritik dari J.W. Harris ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 169
4. Legal Gap ( Jurang Hukum ) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 170 5. Legal Conflictdalam TradisiCivil Law System ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 172
B. Konsep Hukum Ideal Berbasis Progresif
1. Dinamika Ilmu Hukum Di Indonesia ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 175 2. Re‐orientasi Metodologi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 177 3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 179 4. Konsep Pikiran‐Pikiran Integratif : “Gerintegreerde rechtwetenschap” dan
“Consilience”‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 181 5. Berpikir secara Holistik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 185 6. Ilmu Hukum dalam Jagat Sains dan Kecerdasan Berpikirnya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 187
xiv
7. Penawaran suatu bentuk Ilmu Hukum yang Progresif dan Kreatif ‐‐‐‐‐‐‐‐ 190 8. Hermeneutika Sosial sebagai Metode Penemuan Hukum yang Dinamis dan
Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 191 9. Keadilan di Atas Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 199 10. Karakteristik Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 a) Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 b) Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 202 c) Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 205 d) Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 209 e) Pengadilan Non Linier ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 210 f) Intinya adalah Keberanian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 214 g) Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 215 h) Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru 216 i) Statis dan Dinamis Undang‐undang ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 220 j) Mempedulikan hati nurani daripada tekstualismenya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 222 k) Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 223 l) Progresivisme ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 229 m) Membaca Kaidah bukan Peraturan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 230 11. Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum ‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 231 12. Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 240
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 250 B. Kontribusi dan Rekomendasi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 251
DAFTAR PUSTAKA‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 253
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi hukum di Indonesia bisa diibaratkan seperti penari randai; terlihat
bergerak tetapi sesungguhnya berjalan di tempat. Hal ini menunjukkan bahwa
paradigma yang digunakan dalam studi hukum saat ini, yaitu paradigma
positivisme tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Thomas Samuel
Kuhn sebagai “Anomaly”.1Paradigma tersebut terus bertahan sebagai
“Normally Science” dari generasi ke generasi. Paradigma positivisme itu
dianggap tetap relevan digunakan, dan tidak pernah kehilangan relevansinya
dalam menghadapi goncangan‐goncangan yang terjadi. Positivisme adalah
anak kandung dari epistemologi modern yang dirintis oleh Rene Descartes dan
Isaac Newton.2 Dua sarjana jenius ini adalah sebagai tulang punggung
dinamika modernisme.
1Thomas Samuel Kuhn mempercayai bahwa Paradigma diuji untuk mampu mengatasi anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin, maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan maka para ilmuwan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika itulah Paradigma dikatakan mengalami pergeseran yang disebut masa revolusioner. Lihat dalam Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.Jurnal Hukum Progresif”. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hal. 16
2Fritjof Capra menjelaskan bagaimana paradigma Cartesian‐Newtonian menguasai perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari biologi yang kebanyakan menerapkan biologi mekanistik seperti William Harvey, menerapkan sistem mekanistik pada sistem peredaran darah dalam pengertian anatomi dan hidrolik. Teori Evolusi Darwin adalah pengokoh paradigma Cartesian, meski teori ini tidak sesuai dengan gambaran Newton, sampai kepada Neo‐
2
Di dalam paradigma ini, para pelaku hukum menempatkan diri mereka
dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis
berbasis peraturan (rule bound) yang memisahkan antara Das Sollen dengan
Das Sein3sehingga tidak akan mampu menangkap kebenaran yang hakiki.
Dalam ilmu hukum yang legalistis positivistis, hukum sebagai sebuah struktur
pranata yang sangat kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang
sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik. Hal ini dikarenakan
“Legisme”4yang identik dengan undang‐undang perintah penguasa (law is
command from the lawgivers)5 tersebut melihat dunia hukum murni dari
Darwinisme, seperti Richard Dawkins. Setelah itu semua ilmu‐ilmu alam seperti astronomi, fisika, kimia, selanjutnya ilmu‐ilmu sosial kemanusiaan pun ikut terpengaruh oleh paradigma ini. Misalnya, muncul sosiologi yang dibangun oleh tokoh positivisme August Comte, yang kemudian oleh Emile Durkheim paradigma ini lebih disistematiskan. Paradigma ini menguasai pula psikologi, misalnya dalam pemikiran Sigmund Freud. Pendek kata paradigma Cartesian Newtonian menguasai hampir seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Modern. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 66‐67 3Darji Darmodiharjo dan Sidharta berpendapat, positivisme hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara Das Sein dan Das Sollen), Lihat Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok‐pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 113. Pengertian lain misalnya dapat dijelaskan sebagai berikut: positivisme hukum adalah aliran pemikiran yang di dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eksklusif. Kata eksklusif diturunkan dalam bahas latin exclusivus yang artinya tidak menampung atau memuat hal lain. Jika hukum dan moralitas memiliki otonomi yang eksklusif berarti masing‐masing memiliki ruang dan lingkupnya sendiri‐sendiri, dan masing‐masing tidak berhubungan antara satu sama yang lain. Lihat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquainas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 183 4Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang‐undang. Tidak ada hukum diluar undang‐undang. Satu‐satunya sumber hukum adalah undang‐undang. Di Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh misalnya Paul Laband, Jellinek, Rudolf Von Jhering, Hans Kelsen dll. Di negeri Inggris berkembang dalam bentuk yang agak lain yang kita kenal dengan Analytical Jurisprudence yang dipelopori oleh John Austin. Lihat Lili Easjidi dan Ira Rasjidi, Dasar‐dasar Filsafat dan Teori Hukum, hal 56 5Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal yakni “The Province of Jurisprudence Determined” dan “Lectures on Jurisprudence”. Buku kedua berisikan kuliah‐kuliah Austin semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang hukum, Austin berkata dalam buku kumpulan kuliah tersebut sebagai
3
teleskop perundang‐undangan belaka. Tidak ada hukum melainkan
bersumber dari undang‐undang sedangkannilai‐nilai moral dan norma di luar
undang‐undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang‐
undang.6 Hal tersebut artinya implementasi kehidupan berhukum yang
didasarkan pada pola teori paradigma positivisme,adalah bebas dari anasir‐
anasir nilai‐nilai moral(non yuridis) dalam masyarakat.7
Berangkat dari pengaruh dimensi peradapan modern,8 dan warisan
sistem Eropa Kontinental, hukum Indonesia tumbuh dan berkembang dalam
ranah positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu mengkristal di
ranah Das Sollentidak dapat menyesuaikan dengan perubahan Das Sein yang
selalu mengikuti dinamika perubahan sosial yang terus terjadi, sehingga
berikut : Law is command of the Lawgiver, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari sang pemegang kedaulatan. Ibid hal 58 6Di Indonesia sendiri pengaruh pemikiran Legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada pasal 15 Algemene Bepalingen vanWetgeving yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) : ”Terkecuali penyimpangan‐penyimpangan yang ditentukan bagi orang‐orang Indonesia dan mereka dipersamakan dengan orang‐orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang‐undang menentukannnya”. Lihat Op.Cit hal.57 7 Mahzab positivisme merupakan sebagai sumber utama yang menyebabkan hukum itu diperlakukan secara otonom dan terpisah dari kaitannya dengan proses‐proses lain. Mahzab positivisme ini memang mempunyai sejarahnya sendiri, karena ia muncul sebagai reaksi terhadap mahzab hukum alam atau naturalisme. Berbeda dengan mahzab naturalisme yang memusatkan perhatiannya kepada masalah keadilan yang abstrak, maka positivisme mengutarakan masalah ketertiban dan ketepatan. Dengan demikian, mereka didorong untuk membatasi perhatiannya terhadap objek yang jelas dan pasti. Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 195 8Paradigma Cartesian‐Newtonian ini merupakan paradigma peradapan modern yang telah menyatu (built‐in) dengan berbagai sistem dan dimensi kehidupan modern, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun dalam kehidupan sosial budaya sehari‐hari. Kita dapat menyebutnya sebagai kesadaran kolektif (collective consciousness). Hegemoni paradigma ini terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah, bahwa peradapan modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi, dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh penggerak modernisme yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton. Lihat Anthon F.Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal 25
4
semakin kita mempelajari keteraturan (hukum),kita justru akan akan
menemukan sebuah ketidakteraturan(Teaching order finding disorder).9Dalam
kebekuan semacam ini mau tidak mau kita harus segera mencari “sesuatu
yang lebih cair” atau mencairkan kebekuan tersebut dengan cara
mengkonsepsikan, menjabarkan dan menerapkan suatu konsep dan “cara
berhukum” yang berhati nurani, konsep berhukum yang membebaskan,
bukan hukum yang bersumber pada dogmatis tekstualisme tirani dan
kekuasaan semata. Suatu cara berhukum yang diwujudkan dalam konsep
berhukum ideal berbasis progresif untuk menghindari kekacauan‐kekacauan
hukum yang timbul dari hegemoni sporadis paradigma positivisme.
Dengan menampilkan hukum sebagai institusi sosial,10merupakan
keinginan untuk menangkap serta memahami ilmu hukum secara lebih utuh.
Berawal dari itu, muncul sebuah tawaran paradigma holistik11 yang secara
bersamaan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan hukum
9 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal viii 10 Sebagaimana dikatakan hukum sebagai institusi sosial, adalah upaya untuk menidentifikasi
dan mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi‐fungsi sosial dalam dan untuk masyarakat, seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat, dalam pemahaman hukum sebagai institusi sosial itu, dibicarakan juga hubungan hukum dengan kekuasaan dan lain‐lain. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ctk.Kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 117.
11 Paradigma dalam bahasa inggris paradigm, berasal dari bahasa Yunani paradiegma yang terdiri dari dua suku kata para dan dekyani. Suku kata para berarti disamping, disebelah. Sedangkan, deykani artinya memperlihatkan, maksudnya model contoh, erketipe, ideal. Secara harfiah paradigma sering cara pandang maupun dasar konseptual. Satjipto Rahardjo, Op.,Cil, hal x. Paradigma dapat juga diartikan sebagai kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakat. Lili Rasjidi & I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, ctk. Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 106.
5
progresif. Dengan kata lain paradigma holistik “model tersatukan” Wilson
mempunyai karakteristik, pertama; interkoneksitas sebagai antitesa dari
reduksionisme‐mekanistik, kedua, probabilisme sebagai jawaban dari
kelumpuhan determinisme, dan ketiga, kontekstualisme sebagai antitesa dari
objektivisme pada paradigma Cartesian‐Newtonian yang menjadi landasan
berfikir paham postivisme hukum. Landasan filosofis hukum ini adalah bahwa
hukum hadir untuk menebarkan kebaikan, kesejahteraan, keadilan, dan
kedamaian bagi kepentingan manusia.
Hukum Progresif yang menganggap hukum sebagai sebuah institusi yang
dinamismenolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi
yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa
institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making).Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan
tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusiabaik
itu melalui perubahan undang‐undang maupun pada kultur hukumnya.
Dasar filosofi dari hukum progresif ialahhukum sebagai suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera
dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal
itu, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
6
kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.12 Pernyataan bahwa hukum adalah
untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai
kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku
(rules and behavior). Apabila kita sepakat menempatkan aspek perilaku
berada di atas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan
kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur “greget”seperti compassion
(perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), dedication, commitment
(tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
Penelitian ini diilhami oleh sebuah “Karya Besar” yang ditulis oleh
Khudzaifah Dimyati yang tak lain adalah Disertasi beliau sendiri yang berjudul
TEORISASI HUKUM: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di
Indonesia 1945‐1990. Dalam halaman pengantarnya, Satjipto Rahardjo
memuji keberanian dari penulis untuk menjelajahi (meng‐explore) sesuatu
yang hampir belum disentuh para akademisi kita, yaitu eksplorasi kekayaan
pemikiran para intelektual Indonesia sendiri. Perjuangan mereka sangatlah
luar biasa untuk mengubah substansi dan budaya hukum Indonesia agar dapat
menjadi aktualisasi dari karakteristik budaya hukum Indonesia. Sayangnya
12 Faisal, Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis, Jurnal Ultimatum, Edisi II.
September 2008, STIHIBLAM, Jakarta, hal. 17.
7
kesemuanya itu tetap belum bisa lepas atau masih juga berada dalam
pengaruh hegemoni paradigma Cartesian‐Newtonian.13
Buku kedua yang mengusik dan banyak memberikan gambaran serta
referensi bagi penulis adalah Karya Besar yang ditulis oleh Anthon F. Susanto,
yang berjudul Ilmu Hukum Non Sistematik Pondasi Filsafat Pengembangan
Ilmu Hukum Indonesia. Perbedaannya di dalam buku tersebut disajikan dua
teori hukum sebagai solusi dalam mengatasi hegemoni Cartesian – Newtonian
yakni dua model pembacaan yang sangat relevan yaitu model pembacaan
menurut pemikiran teori chaos dalam hukum dan model pembacaan
Hermeneutik Dekonstruksi, sedangkan berangkat dari teori yang sama
(disorder of law) penulis lebih memilih untuk menggunakan konsep pemikiran
hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. 13Tipologi pemikiran pada pada periode 1945‐1960, berusaha melepaskan diri kungkungan hukum Barat. Secara implisit menyiratkan pemikiran hukum pada periode ini, memiliki obsesi yang kuat untuk menciptakan hukum yang didasari oleh pemikiran hukum yang dijiwai oleh budaya hukum Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain dari argumen‐argumen pemikiran hukum tampak, bahwa pada akhirnya juga harus mengakomodasi aliran‐aliran hukum modern yang berkembang di dunia, dengan idiom‐idiom dan terminologi Barat. Refleksi pemikiran pada periode ini, pada dasarnya melaksanakan upaya signifikan terhadap pemikiran dan orientasi hukum yang menekankan manifestasi substansial dari nilai‐nilai budaya Indonesia. Para pemikir hukum menyadari, bahwa eksistensi dan artikulasi nilai‐nilai hukum adat yang digali dari khasanah budaya hukum indonesia yang intrinsik, lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan pemikiran hukum agar mendapatkan perlakuan yang sama dengan hukum modern yang dikembangkan di negara‐negara lain. Pemikiran hukum periode 1960‐1970, memperlihatkan suatu karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas‐asas yang ketat pada format‐format postulat hukum. Fokus pemikirannya tentang hukum lebih diorientasikan pada realitas yang berkembang pada jamannya. Meskipun pemikir pada periode ini gagasannya di dasarkan pada tradisi pemikiran Barat, akan tetapi pada saat yang sama mereka berupaya mengkonseptualisasikan dan mentransformasikan kerangka pemikiran Barat ke dalam realitas Indonesia, baik secara normatif maupun empiris. Pemikiran hukum pada periode tahun 1970‐1990‐an, dapat dipandang sebagai pemikiran yang bersifat transformatif. Artinya, pemikir transformatif bukan hanya menyentuh aspek‐aspek normatif dan doktrinal semata‐mata, melainkan berusaha mentransformasikan secara kritis fenomena‐fenomena hukum dari arah empiris yang dikonstruksikan ke dalam tataran teoritik filosofis. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal viii
8
Pada penelitian ilmiah terdahulu mengenai dinamika dan dialektika teori
hukum di Indonesia telah banyak membahas mengenai pergulatan hukum
untuk menggeser paradigma positivistik menuju suatu model pemikiran
hukum yang lebih membawa keadilan. Usaha‐usaha untuk meletakkan
kristalisasi Hukum Progresif ke dalam das Sollen paradigma positivistik hukum
Indonesia telah berulang kali dilakukan; bahkan beberapa praktisi telah berani
melakukan terobosan tersebut dalam beberapa putusannya.14
Dalam penulisan kali ini penulis ingin melihat dimana sebenarnya letak
kekacauan paradigma positivistik dilihat dari konstruksi epistemologis yang
membentuknya serta mencoba menawarkan konsep hukum ideal berbasis
progresif dengan meneropong teori‐teori yang menjadi dasar pembangunan
Hukum Progresif agar kelak dapat dijadikan sebagai usaha pencerahan dan
pembebasan cara berhukum.
14 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 14 November 2008 kasus Pilkada Jawa Timur pasangan Calon Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa‐Mudjiono (Kaji) melawan pasangan calon gubernur terpilih, Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Karsa). Berdasarkan ketentuan undang‐undang, kewenangan MK dalam mengadili perkara sengketa pemilukada tak lebih dari pengadilan angka. MK tidak boleh memerintahkan diselenggarakannya pemilu ulang atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Sebab, pemilu ulang atau pemungutan suara ulang itu hanya boleh dilakukan oleh dan atas perintah KPU apabila terjadi bencana atau huru‐hara sosial atau keadaan tertentu lainnya. Tetapi MK kemudian membuat terobosan dengan melanggar ketentuan undang‐undang dengan alasan ketentuan tersebut tidak memberi jaminan keadilan karena dalam praktiknya sering diakali dengan berbagai cara. Dalam kasus Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur, untuk pertama kalinya MK membuat putusan yang menyatakan bahwa pemilu di sejumlah tempat di Jawa Timur dan Madura itu harus diulang. Terobosan yang dilakukan MK tersebut bertujuan untuk membangun keadilan substantif. Artinya,apa yang dibangun di MK bukan kebenaran hukum tertulis semata, melainkan keadilan. Dalam batas‐batas tertentu, hukum dan keadilan memang berbeda. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan, sedangkan keadilan belum tentu sama dengan hukum. Hukum menghendaki kesamaan rumusan abstrak sedangkan keadilan, dalam banyak hal menghendaki perbedaan penerapan dalam kasus‐kasus konkret. Lihat Moh. Mahfud MD, Inilah Hukum Progresif Indonesia, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif), Semarang, Thafa Media, 2013, hal 3‐4
9
Pada penelitian terdahulu yang dimuat dalam beberapa jurnal ilmiah
hukum, telah menetapkan beberapa asumsi‐asumsi dan konkretisasi yang
muncul dari subjek penelitian, yang menggambarkan corak hukum yang
berlaku di Indonesia mulai dari tahun 1945 sampai sekitar era tahun 90‐an
dimana dominasi paradigma hukum yang mempengaruhinya sangat kental
dengan kepentingan penguasa pada masa itu sampai dengan pergulatan para
tokoh intelektualisme Indonesia yang berjuang untuk memasukkan norma‐
norma hidup (living law) yang merupakan butir‐butir kearifan lokal budaya
Indonesia menjadi norma positif dalam ranah positivisme. Beberapa
diantaranya adalah membebaskan positivisme ke ranah progresif melalui
perluasan penafsiran teks yang dilakukan para pemutus hukum (hakim) dalam
mengadili perkara‐perkara yang apabila diterapkan aturan positif yang berlaku
akan sangat menimbulkan ketidak adilan dikarenakan ketersediaan norma
yang ada sama sekali tidak tepat digunakan untuk memutus realitas yang
terjadi; sehingga hakim berdasarkan kewenangan yang dimiliki harus mampu
untuk melakukan perluasan tekstualisme yang ada guna mewujudkan
keadilan substantif yang membawa kebahagiaan.
Menggambarkan bagaimana corak hukum yang berlaku di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh karakteristik positivisme hukum yang merupakan
corak hukum modern sehingga hukum tidak lagi menyatu dengan kehidupan
masyarakatnya. Hukum tidak lagi merupakan institusi yang utuh.
10
Ketidakutuhan tersebut sesekali dibuktikan oleh ketidakpuasan terhadap cara‐
cara hukum menyelesaikan persoalan.
Berangkat dari fenomena tersebut,seharusnya penegakan hukum di
Indonesia tidak lagi berhadapan dengan legal positivistik tetapi harus berani
bertindak secara progresif, yang bukan saja di bidang struktur, substansi
maupun kultur, tetapi harus secara menyeluruh. Berangkat dari kristalisasi
penelitian di atas, penulis akan masuk lebih dalam lagi untuk membongkar
dan melihat bahwa chaos yang ditimbulkan oleh paradigma positivistik hukum
adalah berhubungan dengan karakteristik yang dipunyainya. Dari sana bisa
dilihat bahwa kekacauan yang ditimbulkan dari karakteristik paradigma
tersebut adalah terletak pada konstruksi epistemologisnya.
Penulis akan menunjukkan pengaruh paradigma awal dan dimana letak
kekacauan konstruksi epistemologis yang menyebabkan paradigma tersebut
menimbulkan banyak kegoncangan, serta karakteristik seperti apa yang
menyebabkan kekacauan tersebut; akan menjadi jawaban pada perumusan
masalah yang pertama.Bahwa Anthon F.Susanto pada bukunyaIlmu Hukum
Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, telah
menawarkan solusi bagi masalah ini dengan memperkenalkan ilmu hukum
Non‐sistematiknya. Dia menggunakan teori hermeunetika (penafsiran)
dekonstruksi teks untuk keluar dari kungkungan positivisme ini.
Berangkat dari teori yang sama mengenai ketidakteraturan hukum
(disorder of law), penulis mencoba menawarkan konsep hukum ideal berbasis
11
pemikiran hukum progresif beserta teori‐teori yang membangunnya dimana
diharapkan hal tersebut minimal akan menjadi pertimbangan untuk
menggunakan cara berhukum yang lebih bijaksana daripada harus terus
tersandera dalam tembok prosedural positivisme yang hal tersebut akan
selalu menimbulkan kekacauan‐kekacauan baru yang membawa ketidak
adilan.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang menjadi penyebab kekacauan filosofis pemikiran hukum yang
bercorak positivistik?
2. Bagaimana gambaran sebuah konsep berhukum ideal yang berbasis
progresif?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Menjelaskan hal‐hal yang menjadi penyebabkekacauan pemikiran hukum
yang bercorak positivistik.
2. Menjelaskan gambaransebuahkonsepberhukum ideal yang berbasis
progresif.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan sebuah kontribusi bagi pengembangan
pemikiran ilmu hukum progresif di dalam dunia akademis yakni
memasukkan nilai‐nilai progresif berupa perilaku dan budaya penegakan
hukum di Indonesia di dalam kurikulum perkuliahan.
12
2. Penelitian ini dapat menjadi parameter cara berperilaku para penegak
hukum terutama Hakim baik dalammengadili maupun menerapkan
hukumnya.
E. Landasan Teori
Teori Chaos/Legal Disorder dapat dipergunakan untuk menganalisis
kekacauan hukum yang diakibatkan oleh karakteristik paradigma modern
positivisme.Teori Chaos menolak ide keteraturan dan kepastian yang melekat
pada hukum positif, sebagaimana dipegang teguh oleh kaum
positivistik.Masyarakat pada dasarnya berada dalam kondisi tanpa sistem
atau asimetris yang disebutnya dengan social melee; dan hukum adalah
bagian dari kondisi masyarakat tersebut, sehingga hukum niscaya juga berada
dalam kondisi melee tersebut ataulegal melee.
Hukum sejatinya adalah penuh dengan ketidak pastian; sehingga apa
yang dipermukaan tampak sebagai tertib dan teratur, jelas dan pasti,
sebenarnya penuh ketidakpastian. Maka teori hukum tidak perlu berupa teori
tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori tentang
ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder)Di dalam situasi/hubungan
yang asimetris itu, chaosbukanlah sesuatu yang harus ditakuti, atau sesuatu
yang harus dihindari, atau sebagai sesuatu yang harus dilawan dengan
antipati, tetapi di dalamnya ada (semacam) kemungkinan atau peluang yang
dapat dikembangkan, apabila dapat mengambil hikmah/memahami dari
situasi chaos tersebut (the sense of chaos). Tugas para filosof dan ilmuwan
13
adalah menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari
situasi yang chaos atau meleetersebut. Dari sebuah situasi yang chaos akan
dihasilkan sebuah aransemen yang indah berupa hukum baru yang
memberikan solusi.
Hukum Progresif menekankan pada cara berperilaku hukum yang
membawa keadilan walaupun dalam subtansi hukum yang buruk sekalipun.
Dalam sebuah sistem hukum (legal system) adalah merupakan satu kesatuan
hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur Hukum; (2) Substansi
Hukum;(3) Kultur Hukum15.
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem
hukum, maka ketiga unsur tersebut, baik secara bersama‐sama atau secara
sendiri‐sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan. Struktur adalah
keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi
mencakupikepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya;
kantor‐kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan
para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas‐hukum, norma hukum dan
aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasukputusanpengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan‐kebiasaan,
opini‐opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum
maupun dari warga masyarakat.Pentingnya budaya hukum untuk mendukung
adanya sistem hukum, dimanaSubstansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk
15Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975
14
berjalannya sistem hukum. Menurut Friedmann16 sistem
hukum diumpamakan sebagai suatupabrik , jika Substansi itu adalah produk
yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk,
sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan
menghidupkan mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang
dikehendakinya.
Aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot.
Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu
kompleks. Kebenaran riil bukan terletak dalam undang‐undang, tapi pada
kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang
diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franklin17 (eksponen realisme hukum
Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan‐aturan, hanya suatu
generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana
hukum (hakim), sesungguhnya menghadapi gejala‐gejala hidup secara
realistis. Dia berhadapan dengan kebenaran‐kebenaran diluar aturan formal.
Dalam hal inilah ia harus “memenangkan” kebenaran yang menurutnya lebih
unggul meskipun dengan resiko harus mematahkan atau mengalahkan aturan
resmi.
Aturan hukum di mata Holmes hanya menjadi salah satu faktor yang
patut dipertimbangkan dalam sebuah keputusan yang berbobot. Jadi bukan
16Ibid 17Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y.Hage; Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi; Yogyakarta; Genta Publishing; 2010; hal 166‐168
15
sebuah pantangan jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual aturan
rsmi terpaksa disingkirkan (lebih‐lebih jika menggunakan aturan itu justru
berakibat buruk). Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan
yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak bisa disamakan dengan aturan
hukum. Seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario
aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih baik dari aturan. Kaidah hukum
yang berlaku memang mempengaruhi putusan seorang hakim. Tapi itu hanya
salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik,
ekonomi dan moral ikut menentukan putusan hakim. Bahkan pula simpati dan
antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para penegak hukum (Polisi,
Jaksa, Hakim, Advokat) secara umum dan terutama para Hakim secara
khusus, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah pemikiran hukum
dari berbagai mahzab (aliran) hukum yang ada. Model konsep yang
terkandung di dalam pemikiran hukum tersebut, memiliki sifat‐sifat
khusus (asas‐asas) sebagai sebuah karakter pembentuk. Melalui
pendalaman pemahaman terhadap karakter tersebut dapat ditangkap
makna dan cara berhukum yang diusung pemikiran/mahzab hukum
tersebut.
16
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian
Normatif/Doktrinal/Dogmatisatau yang sering disebut penelitian
kepustakaan. Penelitian yang mengkaji studi dokumen ini menggunakan
berbagai data sekunder seperti teori hukum dan pendapat para sarjana.
Berdasarkan jenis dan sumber data yang akan menjadi objek dalam
penelitian ini, maka secara keseluruhan penelitian ini dilakukan di dalam
kepustakaan.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pedekatan
filsafat. Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif,
akan digunakan untuk mengupas secara mendalam (radikal) isu hukum
(legal issue) dalam penelitian ini . Pendekatan filsafat dalam penelitian ini
meliputi kajian ontologis(ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran
tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang pengetahuan)dari pemikiran
hukum yang menjadi objek dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder
yang mencakup bahan hukum primer seperti teori hukum dan pendapat
para sarjana hukum,hasil‐hasil penelitian para ahli hukum , hasil karya
(teksbook), sejumlah disertasi, pidato pengukuhan guru besar, artikel,
17
jurnal, makalah khususnya di bidang perkembangan pemikiran hukum
yang bersumber dari kepustakaan.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni
dengan menjelaskan data‐data sekunder yang bersumber dari
kepustakaan dengan kata‐kata atau pernyataan.
Teknik analisis data dimulai dengan mengkaji karakter‐karakter
yang mempengaruhi dari pemikiran paradigma terdahulu; yang menjadi
embrio dari paradigma positivisme. Setelah mempelajari konsep yang
diusung mahzab tersebut, maka dengan melihat karakter yang
mempengaruhinya dapat kita simpulkan apa yang menjadi kekacauan
konstruksi epistemologis mahzab tersebut. Selanjutnya sebagai tawaran
mengenai konsep hukum ideal berbasis progresif harus dilihat dari
kristalisasi dari pemikiran hukum progresif itu sendiri.
Berangkat dari teori mengenai pergeseran teori hukum dan
paradigma holistik, dipergunakan untuk mendalami apa yang menjadi
“roh” hukum progresif dari karakter dan konsep berbagai mahzab yang
mempengaruhinya. Dari situ kemudian penulis mengkonstruksikan antara
bentuk kekacauan yang ditimbulkan dari pemikiran legal positivistik
dengan konsep pemikiran hukum progresif sehingga dapat disimpulkan
suatu bentuk hukum ideal berbasis progresif sebagai usaha pencerahan
dan pembebasan cara berhukum kita untuk keluar dari kegoncangan‐
18
kegoncangan yang ditimbulkan dari penjara formalisme positivisme.
Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif
tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru
atau sebuah model hukum baru untuk mengganti atau memperbaiki
konsep hukum sebelumnya agar pelaksanaan dan penegakan hukum di
Indonesia dapat lebih memberikan keadilan dan kebahagiaan. 18
18 Ade Saptomo, Pokok‐pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni, Jakarta : Trisakti, 2009, hal.36‐37
19
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern 1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian
Paradigma Cartesian‐Newtonian merupakan paradigma yang
ditasbihkan sebagai pilar peradaban modern, yang di dalam
perkembangannnya telah menyatu dan built‐in dalam berbagai sistem dan
dimensi kehidupan modern, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun
dalam kehidupan sosial budaya sehari‐hari. Paradigma ini telah menjadi
kesadaran kolektif (collective consciousness) dan menghegemoni cara
pandang manusia modern. Paradigma ini dibangun atas dasar ontologi,
kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh
penggerak modernisme, yakni Renee Descartes dan Isaac Newton.19
Rene Descartes (1596‐1650) merupakan orang yang pertama
memiliki kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan
astronomi baru. Descartes adalah seorang filosof, matematikawan,20 dan
19 Penggunaan nama Cartesian dan Newtonian, didasarkan kepada beberapa pemikiran meliputi hal sebagai berikut : Pertama, Descartes dan Newton merupakan dua tokoh atau sarjana yang paling berpengaruh terhadap pembentukan sains dan peradaban modern. Hal ini banyak diakui banyak pemikir, sejarawan, cendikiawan dan filsuf. Revolusi ilmiah, revolusi industri dan abad pencerahan tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kedua tokoh modern ini. Kedua, Descartes dan Newton mewakili perkembangan filsafat dan sains modern. Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern, Newton dijuluki sebagai tokoh pembangun sains modern dan mahzab kosmologi dan fisika klasik Newtonian. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 38 20 Descartes selalu berusaha untuk membuktikan kebenaran‐kebenaran filsafat dengan cara seperti membuktikan sebuah dalil matematika. Dengan kata lain, dia ingin menggunakan
20
ilmuwan. Dalam filsafat dan matematika, karyanya sangat tinggi maknanya
bagi sains dan layak dipuji.21 Dalil Descartescogito ergo sum,22 merupakan
pernyataan bahwa segala sesuatu yang nyata (clearly) dan dapat terpilah
(distincly) adalah merupakan kebenaran.
Konsekuensi dari dalil ini bermuara pada pembedaan yang mencolok
antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan
badan sama‐sama dipandang nyata. Pandangan ini menempatkan
Descartes sebagai seorang penganut paham dualisme.23 Substansi rasio
adalah res cogitans (pemikiran), sedang substansi tubuh adalah res extensa
(berkeluasaan). Cogitans merupakan bidang jiwa, sedangkan extensa
merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran sesungguhnya adalah
kesadaran, dan tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak
dapat lagi dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tetapi materi adalah
perluasan, dan ia mengambil tempat dalam ruang karenanya dapat selalu
dibagi menjadi bagian‐bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi, tapi ia
instrumen yang persis sama dengan yang digunakan oleh ahli matematika yaitu angka‐angka. Lihat Ibid hal 39 21Ada tiga karya utama Descartes yaitu: Discourse de la Methode (Wacana tentang Metode) tahun 1637, Meditationes de Prima Philosophiae (Renungan tentang Metafisika) tahun 1642 dan Principia Philosophia (Prinsip‐Prinsip Filsafat) tahun 1944. Buku yang terakhir ini merupakan buku yang paling banyak memuat teori ilmiah. Lihat Op.Cit hal 39 22Descartes mengajukan ungkapan yang sangat terkenal yaitu cogito ergo sum. Eksistensi “yang berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua disiplin ilmu pengetahuan. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum ... hal 40 23Descartes menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran (cogitans) dan realitas yang meluas (extensa). Misalnya hanya manusia yang mempunyai pikiran. Binatang sepenuhnya merupakan realitas perluasan. Kehidupan dan gerakan mereka dipandang bersifat mekanis. Descartes menganggap seekor binatang sebagai / semacam mesin otomat. Sedangkan mengenai realitas perluasan, dia meyakini suatu pandangan yang sama sekali mekanistis, persis seperti pandangan kaum materialis. Lihat Ibid Hal 42
21
tidak mempunyai kesadaran. Dalam hubungannya dengan dengan sifat‐
sifat objek fisik, Descartes menulis :
“Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat direduksi, dengan kejelasan gambaran matematika, dari pengertian‐pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi, karena semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka tidak ada prinsip‐prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula prinsip‐prinsip lain yang diperlukan”.
Atau dengan penjabaran yang lain Pertama, jangan pernah menerima apa
pun sebagai benar, hal‐hal yang tidak diketahui secara jelas dan terpilah
(clearly and distincly), dan hindari ketergesa‐gesaan dan prasangka. Kedua,
membagi kesulitan yang akan di uji menjadi bagian‐bagian sekecil mungkin
agar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutan pikiran mulai dari
objek yang paling sederhana dan paling mudah untuk dimengerti,
kemudian maju sedikit demi sedikit menurut tingkatannya sampai kepada
pengetahuan yang lebih kompleks. Keempat, memerinci keseluruhan dan
meninjau kembali semua secara umum sedemikian sehingga diyakini tidak
ada yang terabaikan.
Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum‐
hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam materi alam dapat diterangkan
dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian‐bagiannya. Tidak ada
tujuan, kehidupan, dan spiritualitas di dalamnya. Metode penalaran
analitik ini merupakan sumbangan Descartes terbesar pada dunia ilmu.
Metode itu telah menjadi suatu karakteristik penting pikiran ilmiah modern
22
dan telah terbukti sangat bermanfaat dalam perkembangan teori‐teori
ilmiah dan pelaksanaan proyek‐proyek teknologi yang kompleks.24
Pandangan Descartes bahwa alam semesta adalah sebuah sistem
mekanis telah memberikan persetujuan ilmiah pada manipulasi dan
eksploitasi yang telah menjadi karakteristik kebudayaan barat25 persis
sama dengan pandangan Francis Bacon mengenai penguasaan dan
pengendalian alam sebagai tujuan dari ilmu untuk mengubah manusia
menjadi tuan pemilik alam.
Isaac Newton lahir di Inggris pada tahun 1642, yaitu tahun kematian
Galileo.26,dan tepat seratus tahun setelah publikasi karya Copernicus De
24Capra menulis, “Gambaran alam mekanik ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Gambaran ini telah menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga fisika abad kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh penjelasan tentang ilmu mekanistik pada abad ke tujuh belas, delapan belas, dan sembilan belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah perkembangan dari pemikiran Descartes. Descartes telah memberikan kerangka ilmiah pada umumnya, yaitu pandangan alam sebagai mesin sempurna, yang diatur oleh hukum‐hukum matematis yang pasti”. Lihat F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan .... hal 43 25Sebagaimana pandangan Francis Bacon bahwa tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam yang menegaskan pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam. Lihat Ibid hal 50 26Galileo Galilei adalah seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah. Sumbangannya dalam keilmuan antara lain adalah penyempurnaan teleskop, berbagai pengamatan astronomi, dan hukum gerak pertama dan kedua (dinamika). Selain itu, Galileo juga dikenal sebagai seorang pendukung Copernicus mengenai peredaran bumi mengelilingi matahari. Akibat pandangannya yang disebut terakhir itu ia dianggap merusak iman dan diajukan ke pengadilan gereja Italia tanggal 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan ajaran Aristoteles maupun keyakinan gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Ia dihukum dengan pengucilan (tahanan rumah) sampai meninggalnya. Baru pada tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman itu adalah salah, dan dalam pidato 21 Desember 2008 Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa Gereja Katolik Roma merehabilitasi namanya sebagai ilmuwan. Menurut Stephen Hawking, Galileo dapat dianggap sebagai penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Ia juga sering disebut‐sebut sebagai "bapak astronomi modern", "bapak fisika modern", dan "bapak sains". Hasil usahanya bisa dikatakan sebagai terobosan besar dari Aristoteles. Konfliknya dengan Gereja Katolik Roma (Peristiwa Galileo) adalah sebuah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir (terutama dalam sains) pada masyarakat Barat.
23
Revolutionibus, satu tahun sesudah Descartes mempublikasikan
Meditationes dan dua tahun sebelum diterbitkannya Principia Philosophia.
Alam semesta ala Newton adalah sebuah sistem mekanis yang luar
biasa besar yang bekerja sesuai hukum matematika yang pasti. Newton
menyajikan teorinya tentang dunia secara rinci dalam bukunya
Mathematical Principles of Natural Philosophy dimana setiap langkah
didasarkan atas evaluasi kritis terhadap bukti‐bukti percobaan;
sebagaimana dijelaskan Capra:
“Apa saja yang tidak dideduksi dari fenomena disebut suatu hipotesis, dan hipotesis, baik metafisika maupun fisika, baik bersifat gaib maupun mekanik, tidak mempunyai tempat di dalam filsafat eksperimental. Dalam filsafat ini, proposisi‐proposisi tertentu ditarik dari fenomena, dan sesudah itu digeneralisasi dengan cara induksi.”
Menurut Newton, Tuhan mula‐mula menciptakan partikel‐partikel
benda, kekuatan‐kekuatan antar partikel, dan hukum gerak dasar. Dengan
cara ini seluruh alam semesta menjadi bergerak, dan terus bergerak sejak
itu, seperti sebuah mesin yang diatur oleh hukum‐hukum yang kekal.
Pandangan alam mekanistik berhubungan erat dengan determenisme yang
tepat, dengan mesin kosmik raksasa yang bersifat kausal dan tetap. Semua
yang terjadi mempunyai penyebab yang pasti dan menimbulkan akibat
yang pasti pula, dan secara prinsip masa depan setiap bagian dari sistem
itu bisa diramalkan dengan kepastian yang absolut. Menurut Newton
dalam cita‐citanya dia berkata:
“Saya berharap dapat menerangkan fenomena‐fenomena lain dengan penalaran yang sama dengan prinsip‐prinsip mekanika (klasik)”.27
Lihat Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif) Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com yang diakses pada tanggal 7 Mei 2010. 27Lihat Stephen Hawking, Blackholes and Baby Universe and Other Essay, 1993 hal 48‐51
24
Bagan 2.1
Subjektivisme ‐ Antroposentrik Dualisme PARADIGMA CARTESIAN ‐ Mekanistik ‐ Deterministik NEWTONIAN
Reduksionis ‐ Atomistik Instrumentalisme Materialisme – Saintisme 2. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Positivisme Ilmu (Sains
Positivistik) 28
Paradigma Cartesian‐Newtonian ini menjadi pondasi yang kokoh bagi
pengembangan sains hingga saat ini, tidak saja sains alam namun juga telah
merambah sains sosial dan manusia. Misalnya saja ekonom Adam Smith
berbicara tentang mekanisme pasar, biolog Charles Darwin bicara tentang
mekanisme evolusi dan Sigmund Freud bicara tentang mekanisme pertahanan
psikis. Biologi adalah sains yang berurusan dengan fenomena‐fenomena
hayati pada organisme hidup. Selain itu di bidang teori evolusi, semakin 28Melalui paradigma Cartesian‐Newtonian epistemologi ilmu pengetahuan dibatasi pada pengertian metode‐metode eksperimental belaka. Cabang‐cabang ilmu pengetahuan yang tidak menggunakan metode eksperimental dianggap bukan sains. Sebagaimana Descartes mengatakan: “Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat direduksi, dengan kejelasan gambaran matematika, dari pengertian‐pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi, karena semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka tidak ada prinsip‐prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula prinsip‐prinsip lain yang diperlukan”. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 43
25
tampak jelas adanya paradigma Cartesian. Darwin mentransformasikan
pernyataan Cogito Ergo Sum menjadi pernyataan mengenai survival of the
fittest. Aku bertahan hidup maka aku ada. Aku beradaptasi maka aku ada.
Ilmu biologi juga semakin berkembang dan dikaitkan dengan ilmu‐ilmu sosial
sehingga melahirkan ilmu sosio‐biologi. Pada bidang ini, terjadi reduksi
dimana perilaku sosial lalu dilihat semata‐mata sebagai variable dari faktor‐
faktor biologis dan genetis.
Di dalam dunia kedokteran pun juga tampak adanya paradigma
Cartesian‐Newtonian yang berifat mekanistik‐reduksionistik. Dalam hal ini
manusia tidak dilihat lagi sebagai manusia yang utuh dan holistik. Praktek‐
praktek kedokteran hanya berfokus pada tubuh manusia semata tanpa
dikaitkan dengan jiwa dan pikirannya maupun dengan lingkungan sosialnya.
Paradigma Cartesian‐Newtonian juga terdapat dalam ilmu psikologi.
Sebagai contohnya adalah para kaum behavioris yang memandang bahwa
manusia tak ubahnya seperti hewan atau robot dimana segenap perilakunya
dapat diatur dan dikontrol oleh lingkungan eksternal dengan penelitian S‐R
(Stimulus‐Response). Dalam bidang sosiologi pun juga ditemukan paradigma
Cartesian‐Newtonian.
August Comte sebagai salah seorang tokoh positivisme meyakini bahwa
penemuan hukum‐hukum alam akan membukakan batas‐batas yang pasti
yang melekat dalam kenyataan sosial. Comte melihat masyarakat sebagai
suatu keseluruhan organik yang pada kenyataannya sekedar jumlah bagian‐
26
bagian yang saling tergantung. Untuk memahami kenyataan ini, metode
penelitian empiris perlu digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat
adalah suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Sosiologi positivistik
ini pun kerap dijuluki sebagai fisika sosial karena asumsi dan metode yang
diterapkan mencontoh fisika mekanistik. Penegasan ontologi ilmu
pengetahuan dilakukan dengan menggunakan ukuran‐ukuran ilmu alam dan
penegasan epistemologi ilmu juga dilakukan dengan menggunakan batasan‐
batasan metode eksperimental, akibatnya sains terputus dari perspektif
global.
Positivisme29 dipelopori oleh dua pemikir Perancis, yaitu Henry Saint
Simon (1760‐1825) dan muridnya August Comte (1798‐1857) walaupun Henry
yang pertama kali menggunakan istilah positivisme, namun Comte yang
mempopulerkan positivisme. August Comte juga orang yang pertama yang
memperkenalkan istilah sosiologi.
Sosiologi dipahami Comte sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat. Hal
itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari
subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme.30 Filsafat Comte
29Istilah positivisme diperkenalkan Comte. Istilah itu berasal dari kata positif. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten disepanjang bukunya. Dengan filsafat itu ia mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep‐konsep manusia. Sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk menyusun fakta‐fakta yang teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apayang berdasarkan fakta‐fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan, pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta‐fakta. Lihat F.Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 204 30Pemikiran Comte ini merupakan reaksinya terhadap semangat pencerahan yang pada gilirannya melahirkan Revolusi Perancis. Ia amat terganggu oleh anarkisme yang mewarnai masyarakat
27
anti metafisis, ia hanya menerima fakta‐fakta yang ditemukan secara positif‐
alamiah, dan menjauhkan dirinya dari semua pertanyaan yang mengatasi
bidang‐bidang ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour
prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus
menyelidiki gejala‐gejala, agar ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.31
Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivistiknya32 dalam
suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin ini mengajukan kriteria
bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
a. Bebas nilai. Pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai emosi dalam
mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif.
b. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empiris.
c. Bahasa yang digunakan harus analitik, bisa dibenarkan atau disalahkan
secara logis; bisa diperiksa secara empiris atau nonsens.
d. Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan menjelaskan
akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab
pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why.
pada masa itu. Oleh karenanya, ia bersikap kritis terhadap para filsuf pencerahan Prancis. Positivisme dikembangkan Comte guna melawan apa yang ia yakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filsof pencerahan. Para filsuf yang masih bergelut dengan kayalan‐kayalan metafisika. August Comte bersama beberapa filsuf lainnya membuat barisan kontra‐revolusioner yang bersikap kritis pada proyek pencerahan. Ibid hal 200 31Hammersma, Tokoh‐tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1983, hal 54‐55 32Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan, objek‐objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti‐properti mereka secara langsung melalui data inderawi. Realitas dengan data inderawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum .... hal 65
28
August Comte meyakini kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui
penerapan ilmu‐ilmu positif. Semua ilmu dinilai dan dibaca melalui satu
kacamata, yaitu optik ilmu‐ilmu alam. Ini berarti hanya metode ilmu alam saja
yang dapat menjustifikasi keilmiahan ilmu‐ilmu, termasuk ilmu sosial.
Bagan 2.2 Realitas positif Analisis Ilmu Pengetahuan Indera Fakta Keras Mekanis Positivisme (terukur & teramati) (eksperimen) (Kebenaran)
Dualisme : Subjek dan Objek Reduksionis : Bebas Nilai2 Simbolik Mekanistik : Teruji
Pemiskinan Realitas Deterministik : Pasti / Logis ILMU PASTI (SAINS) 3. Pengaruh Positivisme Ilmu terhadap Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam definisinya yang paling
tradisional tentang hakekat hukum, dimaknai sebagai norma‐norma positif
dalam sistem perundang‐undangan.
Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan
penggabungan idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan,
penjelasan seperti itu mengacu kepada teori hukum kehendak (the will theory
of laws) dari John Austin 33 dan teori hukum murni dari Hans Kelsen.
33John Austin dapat disebut sebagai salah satu tokoh penganut aliran positivisme hukum yang inti pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat, atau dalam bahasa aslinya “Law was the
Command of sovereign, for Austin; No Law, No Sovereign; and No Sovereign, No Law.” b. Ilmu Hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan lain yang secara tegas
dapat disebut demikian, yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.
29
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai
sebagai berikut:
a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum
secara eksklusif, dan berakar pada peraturan perundang‐undangan yang
sedang berlaku saat ini
b. Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika
berbentuk norma‐norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan
ditetapkan oleh sebuah instrumen di dalam sebuah negara.34
Menurut positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan
norma hukum pula bukan dengan non‐norma hukum. Norma positif akan
diterima sebagai doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti the rule
systematizing logic of legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi,
derogasi dan non kontradiksi.35
c. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignity) mewarnai hampir keseluruhan
dari ajaran Austin. Lihat dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Satu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal 266‐267 34Lihat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002 hal 183 35Lihat pula pandangan Hart yang ditulis oleh Dale A.Nance, dalam bukunya Law and Justice: Case and Reading on the American Legal System, Second Edition, Carolina Academic Press, 1999 hal 27. Esensi positivisme hukum menurut H.L.A Hart adalah: a. The contention that laws are commands of human beings (hukum adalah perintah); b. The contention that there is no necessary connection between law and morals or law as it is
and law as it ought to be (tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan);
c. The contention that the analisis (or study of meaning) of legal concept is (1) worth pursuing and (2) to be distinguished from historical inquirie, into the causes or origins of laws, from Sosiological Inquiries into the relation of law and other social phenomena and from the critical appraisal of law whether in terms or morals, social aim, function or otherwise (analisis atau studi tentang makna konsep‐konsep hukum adalah studi yang penting, analisis atau studi itu
30
Analitycal Jurisprudence Reine Rechtslehre Bagan 2.3
Positivisme Yuridis Rasionalisme Mekanistik Dogmatik Paradigma Deterministik Cartesian‐ Positivisme Positivisme Newtonian Ilmu Hukum Dualistik Empiris Reduksionis Kuantitatif
Positivisme Sosiologis 4. Perkembangan dan Ruang Lingkup Positivisme Hukum
Positivisme hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
kehadiran negara modern. Sebelum abad ke‐18 pikiran itu sudah hadir, dan
menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern. Sejarah
memperlihatkan bahwa hukum berkembang dari apa yang kita kenal sebagai
tatanan‐tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern,
yaitu pergeseran dari hukum kebiasaan menuju ke hukum yang dibentuk oleh
penguasa atau negara. Perkembangan masyarakat sendiri khususnya
perubahan‐perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang semakin
kompleks, yang menyebabkan semakin kuatnya tuntutan terhadap
harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral. Tujuan‐tujuan sosial dan faungsi‐fungsi sosial);
d. The contention that the legal system is a closed logical system in which correct legal decisions can be deduced by logical means from predetermined legal rules without references to social aim, policies, moral standards (sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan‐putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan‐aturan yang sudah ada sebelumnya);
e. The contention that morals judgement cannot be estabilished or defended as statement of fact can by rational argument, evidence or proof (non cognitivism in ethics) (penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti);
31
pemositifan. Dikehendaki dokumen tertulis, bukti tertulis untuk meyakini dan
mendasari terjadinya proses atau transaksi hukum.
Dentuman besar positivisme adalah kelahiran negara modern tersebut
di atas. Pada tahun 1648 ditandatangani Treaty of Westphalia36yang
merupakan tonggak penting kelahiran negara modern. Tidak ada dalam
sejarah suatu institusi dan organisasi disusun begitu sistematis dan rasional
dengan kekuasaan begitu besar seperti negara modern. Negara modern
menghisap habis kekuasaan‐kekuasaan asli yang sudah ada sebelumnya
dalam wilayah itu dan menjadikan negara sebagai satu‐satunya kekuasaan
dalam teritori itu. Tidak akan pernah dibiarkan kekuasaan tandingan.
Kehadiran negara modern sebetulnya juga didorong oleh suatu
kebutuhan objektif tertentu. Pada abad ke‐18 dan 19, dunia mengalami
kemajuan pesat dalam perkembangan ilmu dan teknologi, sesuatu yang hanya
terjadi pada kurun waktu tiga ratus tahun. Perpaduan teknologi, industrialisasi
dan kapitalisme bergerak sangat cepat, karena kehadiran negara yang
menyediakan struktur yang tersentralisasi dan didukung oleh hukum modern,
maka kebutuhan industrialisasi yang lapar akan lahan dan manajemen sentral
menjadi teratasi. Melalui jargon atau kredo yang ampuh pada abad ke‐19
yaitu liberalisasi, 37 Negara modern, positivisme, dan liberalisme meski dapat
36Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 75 37Sistem hukum yang liberal itu, tidak dirancang untuk memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu, sehingga filsafat, konsep, doktrin dan asas serta perlengkapan lain dikerahkan untuk mengamankan paradigma nilai liberal tersebut. Ibid hal 76
32
dibedakan namun pada dasarnya memiliki keterkaitan yang tidak dapat
dipisahkan.
5. Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya
Sumbangsih positivisme hukum untuk hakikat hukumnya sangat
dipengaruhi oleh pemikiran hukum analitis positivisme dari John Austin
(Analytical Legal Positivism) serta Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen
(Kelsen’s Pure Theory of Law).38
Dari beberapa literatur menjelaskan terdapat dua aliran besar
positivisme hukum yakni yang sering disebut positivisme sosiologis dan
positivisme yuridis; meskipun ada pula yang membagi atau melihat
pembagian tersebut secara berbeda. Misalnya Dardji Darmodihardjo dan
Sidharta menjelaskan positivisme hukum yang dibagi ke dalam aliran hukum
positif analitis (Analitycal Jurisprudence) dan aliran hukum murni (Reine
Rechtslehre).39Keduanya adalah masuk dalam konteks positivisme yuridis.
38 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal. 157 39Pemaparan bagaimana paradigma Cartesian‐Newtonian eksis dan meng‐hegemoni positivisme hukum, sehingga realitas hukum terpisah dan bersifat mekanistik‐deterministik. Positivisme yuridis melihat hukum sebagai aturan normatif (teks), yang terpisah dari realitas sosial, hukum tidak dikonsepkan sebagai asas moral meta‐yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan melainkan sebagai ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lex guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal yang bukan (terbilang) hukum. Sedangkan dalam positivisme sosiologis, hukum dilihat sebagai fakta empirik kuantitatif. Pengaruh tersebut sangat dirasakan terhadap aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 25 dan hal 70
33
a) Aliran Hukum Positif Analitis / Analytical Jurisprudence
Bagi aliran pemikiran hukum positif analitis (Analitycal Jurisprudence)
hukum adalah perintah (command) dari penguasa negara (sovereign). Hakikat
hukum menurut John Austin (1790‐1859) terletak pada unsur “perintah” itu.
Austin menyatakan:
“law is a command are which obliges a person or person..laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferior“ (Hukum adalah perintah yang yang mewajibkan seseorang atau perseorangan..hukum dan perintah adalah berasal dari penguasa, dan untuk mengikat atau mewajibkan rakyatnya).
Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan (superior)
yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari
lembaga superior itu pula memaksa orang lain untuk taat, sebagaimana
dijelaskan Austin:
“...it is positive law, or law strictly so called, by the institution of the present sovereign in the character of political superior...”40 (...Itu adalah hukum positif, atau hukum yang mengikat dan harus dipatuhi, yang berasal dari lembaga yang berdaulat yang hadir dalam karakter politik yang unggul...).
Menurut Austin, sebagaimana ditegaskannya dalam pernyataannya bahwa:
“the matter of jurisprudence is positive law: law, simply and strictly so called, or law set by political superiors to political inferiors.......a law, in the most general and comprehensive acception in which the term in its literal meaning, is employed, maybe said to be a rule laid down for theguidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him....”
pernyataan Austin tersebut menunjukkan pemahamannya tentang hukum,
yaitu sesuatu yang jelas dan tegas keberadaannya, yang merupakan suatu 40Lihat Ibid hal 85‐86
34
produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang
lebih lemah.
Selanjutnya, hukum dalam pengertiannya, adalah juga suatu aturan
yang diberlakukan untuk memberikan arahan (guidance) bagi manusia
(intelligent being) dari dan oleh manusia (intelligent being) yang mempunyai
kekuasaan (having power over him). Lalu bagi Austin, perintah itu haruslah
berasal dari pihak yang memang mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk
mengeluarkan perintah tersebut yang disebut dengan kedaulatan (sovereign).
Lebih jelasnya dapat diamati pada pernyataan Austin yang mengatakan :
“every positive law, or every law simply and strictly so called, is set by a sovereign person, or a sovereign body of person, to a member of members. Of the independent political society wherein that person or body is sovereign or supreme. Or it is set by monarch, or sovereign member, to a person or persons in a state of subjection to its author.”
Dalam pandangan Austin tersebut, pemberi perintah (commander) atau
pemberi hukum tersebut dapat digolongkan sebagai orang maupun suatu
badan atau institusi dengan kedaulatan yang dimilikinya dari suatu
masyarakat politik yang bebas. Sementara kedaulatan yang dimaksud oleh
Austin di sini adalah dalam konteks kebiasaan mematuhi masyarakat terhadap
suatu perintah dari yang berdaulat.
Ajaran Austin tentang kedaulatan dirumuskan bahwa jika ada sesuatu
kekuasaan dari penguasa yang terdiri dari orang‐orang, yang tidak taat pada
sesuatu kekuasaan yang diatasnya (yang tidak mengakui adanya suatu
kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan mereka) menerima ketaatan dari
35
sebagian besar masyarakat tertentu maka kekuasaan itu adalah berdaulat
dalam masyarakat tersebut. Kemudian dalam pandangan Austin, perintah
(command) dari penguasa yang mempunyai kedaulatan (sovereign) harus
disertai dengan sanksi (sanction) atau kepatuhan yang dipaksakan (the evil)
apabila perintah tidak dipatuhi sebagaimana diungkapkan oleh Austin:
“the evil which will probably be incured in case a command be disobeyed or in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or an enforcement of obedience. The command or the duty is said to be sanctioned or enforced by the cance of incuring the evil”.
Bagi Austin hukum itu harus dipisahkan secara tegas dari moral atau
tidak didasarkan atas cita yang baik dan buruk melainkan atas kekuasaan dari
penguasa yang lebih tinggi sebagaimana dalam pernyataannya bahwa :
“as contradistinguished to natural law, or the law of nature, the aggregate of the rules, estabilished by political superior, is frequently styled positive law, or law existing by position.”41
Hukum ditetapkan, diundangkan dan didokumentasikan oleh lembaga
negara serta wajib mengundangkan peraturan tersebut kepada seluruh
anggota‐anggota Organisasi agar mengetahui keberlakuan peraturan tersebut
untuk dipatuhi terlebih untuk dilaksanakan. Pendokumentasian peraturan‐
peraturan organisasi tersebut diantaranya berfungsi sebagai bukti
bahwasanya peraturan‐peraturan tersebut memang dikeluarkan oleh
organisasi melalui para pejabatnya yang berwenang untuk itu dan menjadi
acuan bagi generasi penerus organisasi demikian pula terhadap sistematika
41Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal.159‐160
36
substansi (tidak bertentangan dan tumpang tindih) peraturan‐peraturan pula
bagi keberlakuan peraturan‐peraturan lain yang nantinya akan dibuat setaraf
dengan dinamika kehidupan organisasi.42
Inti ajaran dari John Austin kurang lebihnya dapat dipahami sebagai
berikut :
a. Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan
oleh Austin,
“Positif law..is set by sovereign person, or a sovereign body of person, to members of independent political society wherein that person or body is sovereign or supreme. (Hukum positif adalah ditetapkan oleh orang yang berdaulat, atau oleh badan kedaulatan,kepada anggota masyarakat politik yang independen dimana orang atau badan tersebut berdaulat).
b. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan‐
ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu wajib
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.Hukum harus
dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup (closed
logical system).43
42Lihat Ibid hal 163‐164 43Pemikiran Austin adalah erat dan penting dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan. Austin sebagaimana disebutkan oleh Friedmann mendefinsikan hukum sebagai “a rule laid down for guidance of an intelligent being by intelligent being having power over him”. Dengan demikian hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan atas gagasan‐gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi. Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk itu. Teori model positivistik Austin inilah yang dipandang Prof.Dr. Satjipto Rahardjo,SH sebagai produk hukum yang final. Artinya konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan pemahaman hukum sebagai perintah atau komando. Hukum yang dibuat badan legislatif itu dianggap berisi perintah‐perintah yang jelas dan birokrasi tinggal menjalankannya. Di dalamnya terdapat peraturan perundang‐undangan dan ada perangkat
37
b) Aliran Hukum Murni / Pure Theory of Law
Hans Kelsen (1881‐1973) adalah salah satu tokoh penting lain dari
pemikiran hukum positivisme yuridis yang mengembangkan the pure theory of
law (teori hukum murni) 44. Untuk membedah paradigma rasional dalam basis
epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, akan dijabarkan dalam
Diskursus mengenai hal tersebut dibawah ini.
c) Grundnorm dan Stufendtheorie45
Gagasan Kelsen yang lain adalah teori tentang hirarki norma yang
disebutnya sebagai Stufendtheory. Kelsen menempatkan Grundnorm sebagai
puncak dari norma‐norma, yang kemudian disusul oleh norma yang lebih
rendah. Melalui hubungan yang bersifat superior dan inferior maka
selanjutnya norma paling tinggi akan dikongkritkan dalam norma yang lebih
rendah sampai kepada norma yang paling konkrit. Hubungan antara norma
yang satu dengan norma lain disebut hubungan super dan sub‐ordinasi dalam
penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim. Maka tinggal mereka yang bekerja menjalankan perintah hukum dan rakyat cukup menjadi sasaran dan wajib patuh. Satjipto Raharjo, “Dua Konsep Hukum”, Kompas 22 Februari 2001. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal 64 44 Teori ini berusaha mencari dasar hukum yakni landasan validitasnya bukan dalam prinsip diluar hukum (metajuristik), melainkan dalam hipotesis hukum yakni suatu norma dasar yang harus dibentuk melalui suatu analisis logis tentang pemikiran hukum yang sesungguhnya. Orientasi hukum murni pada dasarnya sama dengan orientasi dari ilmu hukum analitik. Seperti yang diupayakan John Austin dalam “Lectures on Jurisprudence”, teori hukum murni berusaha mencapai hasil‐hasilnya melulu melalui analisis hukum positif. Setiap penegasan yang dikemukakan oleh ilmu hukum harus didasarkan pada tata hukum. Dengan membatasi ilmu hukum kepada analisis struktur hukum positif, maka ilmu hukum terpisah dari filsafat keadilan dan sosiologi hukum, dengan demikian ilmu hukum dapat mencapaikemurnian metodenya. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal 67‐69 45Lihat Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, Cet.II, 2012, hal 100
38
konteks yang spasial. Norma yang menentukan perbuatan norma lain disebut
superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata hukum,
khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma‐
norma yang memiliki level berbeda.
Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang
lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi. Pembuatan yang
ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.
6. Beberapa Asumsi dan Karakteristik Pemikiran Positivisme Hukum
Pertama, dualistis : positivisme yuridis melihat hukum sesuatu selalu
bersifat dualistis, misalnya pemisahan antara moral dan hukum, pemisahan
dari sudut bentuk (form) dan isinya (materiil), bahkan dari sudut pandang
norma adanya sollen (keharusan) dan sein (kenyataan), konsep nilai yang ada
dalam norma bersifat benar dan salah. Hal ini mempengaruhi kepada logika
atau model penalaran hukum (termasuk pendidikan dan praktek hukum) yaitu
adanya logika On/Off atau logika oposisi binari, seperti benar/salah,
yuridis/non yuridis, hitam/putih dan seterusnya.
Kedua, reduksionis: positivisme hukum baik yuridis maupun sosiologis
selalu melakukan penjelasan, bahwa hukum merupakan bangunan yang dapat
dipilah‐pilah mulai dari bagian yang paling besar sampai dengan bagian yang
paling kecil. Hal itu dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen, bagaimana
39
hukum direduksi hanya menjadi teks yang dipositifkan, atau oleh Austin
dimana hukum hanya dilihat sebagai sebuah perintah yang dibuat oleh
mereka yang mempunyai otoritas atau superioritas tertentu. Pemikiran
positivisme sosiologis, selalu melihat bahwa sekalipun hukum sebagai gejala
sosial, tetap hukum dimaknai sebagai variabel‐variabel kuantitatif, sehingga
hukum hanya (semata‐mata) dipahami sebagai fakta‐fakta konkrit yang
dibekukan dan banal.
Ketiga, mekanistis: hukum digambarkan secara mekanis, baik dalam
bentuk hirarki aturan perundang‐undangan atau juga perilaku masyarakat.
Keempat, tertutup, gambaran ini menjelaskan bahwa positivisme hukum
menganut sistem hukum yang tertutup (closed logical system). Hans Kelsen
dengan teori hukum murni adalah contoh paling ekstrem dari sistem yang
bersifat tertutup ini.
Kelima, aturan dan logika, di dalam sistem hukum yang tertutup berlaku
aturan dan logika (rules and logic) yang non kontradiksi 46
46Menurut positivisme hukum, khususnya positivisme yuridis dan analitikal positivisme ada beberapa karakteristik yang muncul :
1. Hukum direduksi sedemikian rupa sebagaimana Hans Kelsen mereduksi realitas hukum yang bersifat beragam menjadi tunggal, yaitu realitas hukum yang bersih dari unsur‐unsur non yuridis. Demikian pula John Austin dengan menjelaskan, hukum adalah perintah penguasa / yang berdaulat dengan menempatkan lembaga‐lembaga yang superior adalah upaya untuk mereduksi kekuatan‐kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam. Semakin jelas tentang otoritas penafsir sebagai pemegang kebenaran; pejabat resmi yaitu ahli hukum profesional saja yang mengerti dan memahami apa yang ditulis sebagai hukum yang dipositifkan tersebut, di luar itu, yaitu masyarakat dipandang hanya sebagai orang‐orang bodoh.
2. Legisme hukum yang mensyaratkan bahwa hukum adalah apa yang dinyatakan dalam bentuk hierarki undang‐undang tertulis (teks) adalah suatu bentuk mekanistik – deterministik yakni keteraturan yang pasti (ketertiban dan kepastian) yang diterapkan terhadap hukum itu sendiri.
3. Sifat Dualisme terlihat pada pemisahan antara moral dan hukum, pemisahan hukum dari sudut bentuk (form) dan isinya (materiil) bahkan dari sudut pandang norma adanya pemisahan antara das sollen dengan das sein.
40
Bagan 2.4
POSITIVISME HUKUM
ANALITIS MURNI John Austin: Hans Kelsen:
Hukum Keadilan & Hukum harus dipisahkan Hukum Norma
Hukum Tuhan Hukum yang dibuat Untuk Manusia Manusia utk Manusia Perintah Larangan Kebolehan
Hukum yang Hukum yang tidak
Sebenarnya Sebenarnya Ground Norm
Hukum yang Hukum yang Bukan Dibuat Piramida Stufentheori Dibuat Penguasa oleh Penguasa (seperti : Kebiasaan,Adat, atau Abstrak Perintah pengusaha kepada Pekerjanya)
Hukum = Undang‐undang Norma Syarat hukum harus memiliki: ‐ Command Konkrit Norma ‐ Sanction ‐ Duty to obey ‐ Souverignity
Syarat Hukum : teks bebas nilai, moral, keadilan (dogmatis‐rasional)
7. Konstruksi Epistemologis (Model Penalaran) Mahzab Positivisme Hukum
Dalam paparannya, Khudzaifah Dimyati47 telah menguraikan model penalaran
mahzab positivisme hukum dalam usahanya untuk menjelaskan konstruksi
epistemologis aliran tersebut. August Comte seorang filsuf sekaligus sosiolog
4. Bersifat Logika Tertutup (Closed Logical System) ; menolak pandangan di luar dari tatanan yang
sudah ada dan sudah jadi. 5. Adanya Aturan dan Logika, didalam sistem hukum yang tertutup tersebut maka yang berlaku
adalah aturan dan logika (Rules and Logic) dengan konsep non kontradiksi Lihat Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal 173 47Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum : Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia; Yogyakarta, Genta Publishing, 2014; hal. 29‐36
41
Perancis, yang menegaskan bahwa pemikiran manusia itu dalam perkembangannya
melewati tiga tingkatan yang menunjukkan posisinya antara lain:
a. Theological state (tingkatan teologis) b. Metaphysical stage (tingkatan metafisik) c. Positivism (positivisme)
Dalam tingkatan teologis, manusia menjelaskan segala sesuatu melalui
atau berdasarkan alasan‐alasan yang bersifat ketuhanan (deity or god).
Bencana fisik atau ketidakberuntungan personal diatribusi pada pengaruh
atau kekuasaan Tuhan. Setelah itu, manusia mencoba mengarahkan pada
kekuatan metafisik atau hukum‐hukum yang bekerja di semesta alam
(universe). Tuhan dikatakan sebagai penyebab seluruh fenomena kehidupan.
Itu semua hanya spekulasi manusia yang tidak dapat diverifikasi melalui
eksperimentasi ilmiah. Tingkatan ketiga, pemikiran manusia
dieksperimentasikan dengan segala sesuatu yang ada saat ini, serta mencoba
untuk mencari (discover) hukum‐hukum yang dibangun. Inilah tingkah laku
para ilmuwan yang disebut Comte sebagai positivisme. Dengan ungkapan lain,
kaum positivis membedakan dirinya dengan natural law lawyers, yang mana
mereka meneliti atau melakukan studi‐studi hukum sebagai ikhwal yang telah
dipositifkan (the law as it was posited), sebagai ikhwal yang telah ditentukan
dan bukan sebagai ikhwal yang seharusnya ada.
Sebenarnya untuk menunjukkan objek studi berdasarkan pandangan
kaum positivis, diantaranya dapat ditelusuri dari ajaran para eksponen
positivisme hukum diantaranya J. Austin dan Hans Kelsen. Austin menegaskan
42
bahwa hukum dalam pengertian hukum positif atau law strictly so called
(hukum dalam arti yang sebenarnya) adalah :
a. Laws set by men as a political superior to political inferior, e.g. laws set by a sovereign in the state.
b. Laws set by men as a private individuals, in pursuance of legal rights, e.g., rules made by a guardian for his ward. Ditegaskan pula bahwa hukum yang merupakan perintah umum
(general command), memiliki tiga elemen:
a. Wish or desire expressed by political superior. b. Aconditional evil incurred if commands not obeyed. c. An expression or intimation of the wish by words or other signs.
Perintah didukung oleh suatu sanksi. Perintah dan sanksi tersebut datang dari
penguasa. Sebagai pembanding, R.Wacks meletakkan 5 (lima) elemen, yaitu
kehendak (wish), sanksi (sanction), pernyataan kehendak (expression of
wish), keumuman (generality), dan penguasa (a sovereign), yang
diformulasikan dalam L=WSEG + S. Austin mengartikan ilmu hukum
(jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencakup dirinya sendiri.
Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan
hukum‐hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima
tanpa memperhatikan kebaikan dan kejelekannnya. Menurut Austin, tugas
ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur‐unsur yang secara nyata ada
dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur‐unsur yang
bersifat histeris di dalamnya, namun secara sadar unsur‐unsur tersebut
43
diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu negara. Lain lagi dengan Hans Kelsen yang populer
dengan The Pure Theory of Law‐nya. Dalam kaitan dengan pengertian hukum
(what law is), Kelsen menegaskan bahwa hukum itu norma pokok (primary
norm) yang menetapkan sanksi.
Hukum itu mengandung petunjuk bagi petugas hukum untuk
menerapkan sanksi dalam kondisi tertentu. Norma itu sendiri (what is norm)
merupakan preskripsi perilaku dan dinyatakan dalam bentuk keharusan
(“ought” form): apabila terjadi X, maka Y harus terjadi. Hans Kelsen
membedakan antara “Is” (yang senyatanya) dan “ought” (yang seharusnya)
dari hukum.
Proposisi hukum hanya dapat dihubungkan dengan ikhwal yang
seharusnya, sebagai contoh, apabila X melakukan pencurian, dia seharusnya
dipidana. Keharusan hukum (legal ought) berbeda dari keharusan nilai (value
ought), yang berkaitan dengan apakah kandungan proposisi hukum itu
dikehendaki atau tidak. Oleh karena itu, Kelsen juga membedakan antara
deskripsi hukum (description of the law) dan preskripsi hukum (preskripsi of
the law). Ilmu hukum mendeskripsikan hukum seperti apa adanya.
Otoritas hukum mempreskripsi hukum dan kandungannya. Setiap
aktivitas hukum ditarik sampai pada norma. Norma (norm) itu merupakan
aturan (rule), yang berarti sesuatu yang harus dilakukan (something ought to
be done). Fungsi norma sebagai “skema interpretasi” (scheme of
44
interpretation). Norma menjadi standar bagi perilaku individu yang
ditentukan sesuai dengan hukum (legal) atau tidak sesuai dengan hukum
(illegal). Fungsi ini dijelaskan melalui penggunaan norma‐norma oleh
pengadilan. Inilah yang oleh Kelsen dikatakan bahwa norma sebagai tindakan
dan sebagai makna.
Pure Theory of Law tidak memerlukan proses mental atau beberapa
jenis peristiwa fisik untuk mengetahui norma, untuk memahami sesuatu
secara hukum. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memahami
sesuatu tersebut sebagai hukum. Tesis bahwa hanya norma‐norma hukum
yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi karena hukum
tersebut–satu‐satunya objek kognisi hukum – adalah norma.
Norma adalah kategori yang tidak dapat diaplikasikan di wilayah alam.
Penggolongan tindakan‐tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya
menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai dalam hal tertentu
dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang Hakim menetapkan
fakta materiil konkrit (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya
diarahkan pada sesuatu yang ada di alam. Kognisinya menjadi hukum ketika
ia menggabungkan fakta materiil yang telah ditetapkannya dan menerapkan
undang‐undang tersebut. Dengan kata lain, kognisinya menjadi hukum ketika
ia menafsirkan fakta materiil tersebut sebagai “pencurian” atau “penipuan”.
Penafsiran ini memungkinkan hanya apabila muatan fakta materiil tersebut
diketahui dengan cara sangat khusus, yaitu sebagai muatan norma. Untuk
45
pembuat undang‐undang, ilmu hukum berbicara mengenai hukum in
abstracto. Akantetapi, tidak berarti bahwa ilmu hukum membicarakan
hukum in concreto untuk hakim. Ilmu hukum memberi pedoman yang harus
dipegang oleh hakim yang menangani perkara dan mencoba untuk
memberikan batasan kepada hal‐hal yang belum jelas. Dengan jalan seperti
itulah hakim akan membuat hukum in concreto.
Pengembanan ilmu hukum berwujud menghimpun dan
mensistematisasi bahan hukum berupa teks otoritatif yang terdiri atas
peraturan perundang‐undangan, putusan hakim, hukum tidak tertulis, dan
doktrin pakar hukum yang berwibawa. Inventarisasi dan sistematisasi bahan
hukum itu terarah pada penyelesaian masalah hukum. dengan demikian,
kegiatan pengembanan ilmu hukum dalam hakikatnya terarah pada
pengambilan putusan (hukum), dan karena itu memperlihatkan sifat
ideografis, yaitu terarah untuk mengindividualisasi makna objektif yang sah
dari aturan hukum yang menurut hakikatnya bersifat umum dengan selalu
mengacu nilai.
Analisis dalam penelitian hukum terkait dengan sudut pandang internal.
Sudut pandang internal ini ditandai dengan karakter argumentasi dari hukum
(the argumentative character of law). Sebagian besar permasalahan hukum
dianalisis dengan menggunakan metode logika yang disebut metode
silogistis. Sebagai contoh : “Semua manusia pasti mati; Socrates adalah
manusia; karena itu, Socrates pasti mati.” Sedangkan mengenai metode
46
argumentasi, menurut Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati,
argumentasi hukum merupakan model argumentasi khusus. Kekhususan
argumentasi hukum itu didasarkan pada 2 (dua) hal:
a. Argumentasi hukum tidak dimulai dari keadaan hampa, namun selalu
dimulai dari hukum positif.
b. Argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka
prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional dan
diskusi rasional.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam teori hukum, logika hukum bertitik
tolak dari model deduksi. Logika hukum yang dimaksud tidak semurni logika
deduktif yang silogistis. Sebab, interpretasi mengambil bagian penting dalam
proses menentukan hukum suatu masalah atau isu hukum. Interpretasi ini
penting terutama ketika peraturan perundang‐undangan tidak jelas.
Menurut Richard Posner, interpretasi tersebut bukan merupakan
metode logika. Interpretasi secara kasar dapat didefinisikan sebagai
pemahaman (understanding) atau penjelasan (explanation) terhadap makna
(meaning) suatu objek. Namun, konsep interpretasi lebih sempit daripada
eksplanasi atau penjelasan. Konsep interpretasi ini memainkan peran
esensial dalam kritik substantif terhadap positivisme hukum dan kritik
metodologis terhadap ilmu hukum analitis (analitycal jurisprudence).
Hans Kelsen menjelaskan bahwa dalam kepustakaan hukum kadang‐
kadang diajukan pandangan yang menyatakan logika yang diterapkan dalam
47
ilmu hukum – khususnya pada norma‐norma hukum – adalah bukan logika
formal yang umum. Untuk membuktikan adanya suatu logika hukum yang
spesifik, hal‐hal utama yang dikemukakan adalah apa yang disebut argumen
analogikal yang sering digunakan para yuris dan argumentum a majore ad
minus yang selalu digunakan.
Argumentum analogikal, argumen a simile, menampakkan diri terutama
dalam putusan‐putusan hukum. Persoalannya adalah menerapkan sebuah
norma hukum yang umum pada suatu kasus konkrit. Esensinya, yaitu hakim
menerapkan sebuah norma umum dari hukum yang valid pada suatu perkara
(kasus) yang sesungguhnya tidak sama dengan yang dirumuskan in abtracto
dalam norma hukum yang umum. Namun, oleh hakim dipandang sebagai
mirip (serupa) atau yang unsur‐unsur esensialnya sama dengan duduk
perkara yang dirumuskan dalam norma hukum operatif. “Keserupaan” atau
“kesamaan esensi” yang demikian merupakan suatu penilaian (putusan) yang
sangat subjektif, dan apa yang tampak bagi seorang hakim sebagai serupa
atau “sama esensi” dapat tidak tampak sebagai demikian bagi hakim yang
lain.
Disamping metode deduktif, dalam ilmu hukum (normatif)
dipergunakan juga metode induktif. Metode induktif ini dipergunakan dalam
mengkonstruksi fakta‐fakta materiil menjadi fakta hukum. Artinya, fakta‐
fakta materiil masih harus dipilah dan dipilih, bahkan melalui proses persepsi
dan kualifikasi berdasarkan kriteria‐kriteria yang ditentukan oleh hukum
48
untuk menjadi fakta hukum. seperti yang dikatakan Bernard Arief Sidharta
bahwa fakta hukum bukanlah “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah
di interprestasikan dan dievaluasi. Demikian pula simpulannya, tidak begitu
saja “mengalir” dari premis‐premis seperti yang dapat diharapkan dalam
silogisme. Simpulannya sering bergantung pada “penilaian kelayakan”
(judgement) dari pengambil putusan. Oleh karena itu, mengutip pendapat
H.J. Berman, dikatakan bahwa dalam praktik yang sering terjadi adalah
proses “backward thinking”, walaupun pemaparan hasil keseluruhan proses
penalaran hukum dirumuskan dalam bentuk silogistik.
Metode induksi dalam mempreskripsi sebenarnya tidak hanya ketika
mengkonstruksi fakta materiil manjadi fakta hukum, namun juga ketika
penalarannya berdasarkan kasus‐kasus terdahulu yang sudah diputus. Dalam
hal ini, penalaran disandarkan pada hasil deskripsi sejumlah putusan kasus
terdahulu. Putusan‐putusan kasus terdahulu dibanding‐bandingkan, baik
mengenai fakta‐faktanya maupun pertimbangan‐pertimbangan hukumnya
dalam arti luas.
49
Bagan 2.5 POSITIVISME YURIDIS POSITIVISME SOSIOLOGIS Meta Yuridis FAKTA HUKUM Pengkongkritan Deduksi Generalisasi Mekanistik Induksi Realitas Sosial Mekanis Politik HUKUM POSITIF Manusia Ekonomis Teks Terpisah Relasi Terpisah Realitas
Deterministik Dogma‐Normatif Reduksionis Fakta Semata Empirik Kuantitatif Bagan 2.6
Pendekatan Dogmatis Terpisahnya (Rasionalisme – Deduktif) Subjek‐Objek Sollen HUKUM Terpisah Logika Analitis Reduksionis Pendekatan Empiris Analistis Kuantitatif (Sein) Mekanistik
Model penalaran dalam positivisme hukum juga dijelaskan oleh
Sidarta48dari segi ontologinya, mencerminkan penggabungan antara idealisme
dengan materialisme.49 Penjelasan mengenai hal ini mengacu pada Teori
48Lihat Sidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, CV Utomo, 2006, hal. 244‐252 49Idealisme adalah sebuah aliran atau paham filsafat yang bercorak spekulatif dan metafisis. Kata Idealisme digunakan oleh para filsuf yang berbeda‐beda dalam pengertian yang berbeda‐beda
50
Hukum Kehendak (The Will Theory of Law) dari John Austin dan Teori Hukum
Murni (The Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen.
Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kumpulan norma yang
tersusun secara sistematis itu dalah rumusan yang bermakna, karena menjadi
sumber kegiatan penemuan hukum oleh pengemban hukum. Muatan makna
(ought or may meaning content) ini didapat dengan pendekatan idealisme dan
materialisme dan diolah dengan aspek epistemologis rasionalisme.
Norma positif akan diterima sebagai doktrin yang aksiomatis, sepanjang
ia mengikuti “the rule systematizing logic of legal science” yang memuat asas
eksklusi, subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi.50 Kekuatan argumen
positivisme hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke dalam
struktur kasus‐kasus konkret.
Positivisme Hukum sendiri pernah mencoba untuk menjawab
pertanyaan tentang tata cara memvalidasi norma positif itu. Hans Kelsen
pula. Idealisme adalah sebuah pandangan dunia yang metafisik yang mengatakan realitas terdiri atas ide‐ide, pikiran‐pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dulu daripada materi, akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan. Sedangkan Materialisme merupakan suatu ajaran yang pada pokoknya sebagai berikut :
a. Hanya benda (materi) yang merupakan kenyataan atau hal yang eksis, benda merupakan unsur primodial atau fundamental alam semesta;
b. Semuanya dapat dijelaskan atas dasar benda‐benda yang bergerak dan energi, sehingga semua perbedaan kualitatif dapat dikuantifikasi. Yang dapat menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan hanyalah hal‐hal yang bersifat fisik atau materiil;
c. Nilai tertinggi yang harus dianut manusia adalah kekayaan, kepuasan badaniyah dan kenikmatan fisik.
Lihat Ibid hal. 152‐153 50Eksklusi atau tertutupartinya menutup diri dari campur tangan anasir‐anasir non yuridis seperti etis, politik dan nilai. Subsumsi diartikan adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan yang lebih tinggi dengan aturan yang lebih rendah. Sedangkan Derogasi artinya menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, hal ini juga tercermin dalam sifat Nonkontradiksi / Hierarki dalam arti linier. Lihat Op.Cit hal. 246
51
relatif berhasil ketika menjelaskan adanya sistem hierarkis dari norma‐norma
positif. Masalahnya baru timbul ketika ia sampai kepada puncak sistem
hierarki itu, yang oleh Kelsen diberi nama Grundnorm (norma dasar). Norma
dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen.
Diskursus tentang norma dasar dan norma fundamental ini
sesungguhnya telah “menjebak” Kelsen kepada “perangkap” Aliran Hukum
Kodrat, sama halnya dengan Savigny ketika mengemukakan Volksgeist
sebagai jiwa bangsa yang harus hadir sebagai pedoman pelembagaan perilaku
sosial. Terlepas dari keberatan kelsen untuk dipersamakan dengan konsep
Aliran Hukum Kodrat dan Mahzab Sejarah, tetaplah bahwa konsep Grundnorm
yang dikemukakannya memaksa Positivisme Hukum membuka sedikit celah
dari kekukuhan argumentasi dan ketertutupan sistem logikanya, bahwa
norma positif itu mempunyai puncak yang berfungsi regulatif dan konstitutif.
Sistem hierarki menunjukkan tingkat‐tingkat abstraksi norma.
Akibatnya, norma dasar ini berada pada tingkat abstraksi tertinggi, yang
bermain di wilayah perbatasan antara hukum dan moral. Ketegasan
Positivisme Hukum untuk menghilangkan persyaratan koneksitas antara
hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini hanya terbatas pada
pencapaian kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum adalah prediktibilitas
yakni kemampuan mempersepsikan “an individual ought to behave in a
certain way.”
52
Aspek aksiologis yang diperjuangkan Positivisme Hukum adalah
kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa
perundang‐undangan, diyakini bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas legalitas
merupakan roh dan upaya pengejaran kepastian hukum tersebut. Asas ini
oleh Von Feuerbach dirumuskan dalam adagium “No punishment without law,
no punishment without crime, no crime without punishment (nulla poena sine
lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena)”. Asas inipun
demikian mendominasi, khususnya dalam arena hukum pidana, sehingga
dalam banyak kodifikasi dimuat dalam pasal pertama. Itulah sebabnya,
larangan retroaktif dan penerapan analogi sangat ditekankan dalam konsep
berpikir tradisional Positivisme Hukum.
Bagan 2.7
TOP DOWN Satu Arah
Penjelasan : Ontologis : Norma‐norma positif dalam sistem perundang‐undangan
53
Epistemologis : Doktrinal – Deduktif ‐ Induktif ‐ Pendekatan Doktrinal ‐ Logika Berpikir Deduktif :dengan metode Silogisme / Rasionalisasi (rules&logic) ‐ Logika Berpikir Induktif : memilih dan memilah fakta‐fakta materiil melalui proses persepsi dan kualifikasi untuk menjadi fakta hukum Aksiologis : Kepastian
Pola penalaran dari dari Positivisme Hukum dapat diformulasikan
dengan contoh sebagai berikut :
a. Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 6 ayat (1) dan pasal 45 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, menetapkan suatu struktur
aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma‐norma itu telah
tervalidasi (memenuhi asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan
nonkontradiksi).
b. Pada suatu ketika terdapat suatu fakta pernikahan antara janda A dan
tuan B, dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
bernama C
Premis Normatif:
Waktu tunggu bagi seorang janda....ditentukan sebagai berikut:
(a) apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari. (b) ..... (Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang‐undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan).
Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat‐syarat perkawinan
54
telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
undang‐undang (Pasal 6 ayat (1) PP No.9 tahun 1975).
.... (b) Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur
dalam pasal 6, ... Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama‐lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‐tingginya Rp.
7.500,‐ (tujuh ribu lima ratus rupiah) (Pasal 45 ayat (1) huruf (b) PP No.9
tahun 1975.
Fakta:
Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati suaminya pada
tanggal 1 Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawinan dengan tuan B
pada tanggal 1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C, yang
mengawasi dan mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan.
Jika diperhatikan dalam struktur aturan dalam premis‐premis
normatif itu, terlihat suatu kebijakan (policy) untuk menyatakan bahwa
perkawinan tidak boleh dilakukan pada masa iddah. Sekalipun demikian,
konsekuensi dari berlangsungnya perkawinan dalam masa iddah ini
ternyata tidak mengakibatkan perkawinan itu menjadi batal secara serta
merta. Pasal 27 ayat (1) PP No.9 tahun 1975 menyatakan :
Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang‐undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak‐pihak sebagai dimaksud pasal 23 Undang‐Undang No.1 tahun 1974.
55
Pihak‐pihak yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) di atas
menurut ketentuan Pasal 23 adalah: (1) para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3)
pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; (4)
pejabat yang ditunjuk untuk mencegah berlangsungnya perkawinan dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal
27 jo Pasal 23 ini harus dimasukkan pula ke dalam struktur aturan
bersama dengan ketentuan lain yang relevan.
Dari pandangan Positivisme Hukum, terlihat dampak dari
perbuatan itu mempunyai suatu akibat yang lebih sempit daripada aliran
Hukum Kodrat. Pada pandangan Positivisme Hukum, jika mengacu pada
kasus di atas, perkawinan pasangan A dan B yang tidaklah serta merta
menjadi batal. Pembatalan hanya mungkin terjadi apabila ada
permohonan dari pihak‐pihak tertentu yang ditetapkan perundang‐
undangan.
Dalam hukum positif, justru akibatnya lebih ditekankan kepada
Pegawai Pencatat Nikah. Apabila ia terbukti tidak meneliti dengan
seksama syarat‐syarat itu, maka Pegawai Pencatat Nikah inilah yang
diancam pemidanaan. Ancaman untuk A dan B tidak ditetapkan kedalam
hukum positif, kecuali tentu saja bila terbukti mereka sengaja
56
memberikan informasi yang keliru. Apabila struktur kasus tersebut di
skematisasi, maka akan muncul formula sebagai berikut:
p ~ q Jika Pegawai Pencatat Nikah tidak meneliti syarat‐syarat pernikahan (termasuk adanya masa iddah), maka ia diancam hukuman kurungan atau denda
p Pegawai Pencatat Nikah C tidak meneliti masa iddah dalam perkawinan antara A dan B
:: q Pegawai Pencatat Nikah C diancam hukuman kurungan atau denda
Kesimpulan (::q) ini adalah titik berdiri (standpunt) yang dibangun
berdasarkan argumen‐argumen berbentuk proposisi di atasnya. Jika
meminjam perspektif Hans Kelsen, proposisi ‘p’ adalah norma primer dan
‘q’ adalah norma sekunder. Hubungan kedua norma ini unik, yang
sekaligus menunjukkan keunikan penalaran hukum. Berbeda dengan
penalaran dalam ilmu‐ilmu eksakta, proposisi majemuk p~q tidak
didasarkan pada hubungan kausalitas. Hubungannya adalah
pertanggungjawaban perbuatan (Zurechnung).
Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas penting bahwa seorang
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld). Unsur
kesalahan inilah yang harus dibuktikan, sehingga tanpa itu ancaman yang
dirumuskan dalam norma sekunder (q) itu tidak mungkin dimintakan
pertanggungjawabannya kepada Pegawai Pencatat Nikah C tersebut.
57
B. Diskursus Mengenai Paradigma Rasional Sebagai Basis Epistemologi Pure Theory of Law Hans Kelsen 1. Pure Theory of Law: Sebuah Deskripsi
Paradigma rasional51 yang terbangun oleh tradisi ilmu hukum
Romawi sejak abad ke‐1 sampai dengan abad ke‐4, kemudian
berpengaruh sangat kuat di daratan Eropa sampai ke Amerika pada abad
ke‐19 ini, selalu tampil sebagai mainstream dalam pembelajaran dan
pembentukan hukum di Indonesia.
Di Indonesia Paradigma rasional yang mulai diberlakukan sejak tahun
1847 ini, secara perlahan menjelma menjadi kekuatan hegemonik, untuk
kemudian memarginalisasikan atau bahkan pada taraf‐taraf tertentu
membungkam paradigma lain yang seharusnya juga dapat digunakan,
sehingga kemudian selalu menjadi pilihan utama (bila tidak dapat
dikatakan menjadi satu‐satunya pilihan) dalam pertarungan antara
berbagai paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi
hukum dalam mengembangkan keilmuannya.
Minimal terdapat lima faktor yang menyebabkan paradigma rasional
masuk, dipergunakan dan kemudian mendominasi model pembelajaran
dan pembentukan hukum di Indonesia, yaitu: pertama, adanya politik
hukum dan pemerintah kolonial Hindia Belanda, untuk memberlakukan
sistem hukum di tanah jajahan yang sama dengan sistem hukum yang
berlaku di negaranya; Kedua, upaya dari pemerintah kolonial Hindia
51Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal v‐x
58
Belanda, untuk menjauhkan segala unsur‐unsur ajaran Islam dan ke‐
Islaman dari kehidupan negara, ketatanegaraan, masyarakat dan hukum ;
Ketiga, adanya keinginan dari pemerintah kolonial, untuk merubah
struktur ekonomi di Hindia Belanda, menjadi sistem ekonomi liberal‐
kapitalistik, dan mengintegrasikan ekonomi di Hindia Belanda dalam
perekonomian internasional, Keempat, kemenangan dari kelompok
penstudi hukum yang menyarankan agar tata hukum Indonesia
melanjutkan saja tata hukum yang telah dibangun sejak zaman
pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan kelompok menganjurkan
agar di Indonesia dibangun tata hukum yang benar‐benar baru, ataupun
kelompok yang hendak memperjuangkan terwujudnya hukum nasional,
dengan cara mengangkat hukum rakyat, yaitu hukum adat sebagai hukum,
di masa‐masa awal kemerdekaan Indonesia; Kelima, kebutuhan untuk
menyiapkan rechtsambtenar (hakim atau panitera pada landraad, raad van
justitie atau hooggerechtshof) yang di satu sisi dapat memahami hukum
yang berkembang menurut konsep‐konsep dan prosedur yang ditradisikan
dalam budaya Eropa, dan di sisi lain memiliki kemampuan dan kepekaan
untuk mengenal dengan penuh penghayatan alam budaya simbolik
bangsanya sendiri.
Selama era pemerintahan Orde Baru, paradigma rasional memegang
peranan yang tidak kecil, karena meskipun teori hukum pembangunan
yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, mendasarkan basis
59
kerangka filosofis pada madzhab sociological jurisprudence berintikan
teori law as a tool of Social Engineering dari Roscoe Pound, akan tetapi
secara substansi, materi dari hukum positif haruslah berasal dari peraturan
perundang‐undangan.
Hans Kelsen, melalui apa yang disebutnya sebagai The Scientific
Critical Philosophy (filsafat ilmiah kritis), telah berupaya menyusun
argumen‐argumen basis epistemologi bagi teori yang dibangun dan
dikembangkannya yaitu Pure Theory of Law (teori hukum murni). Melalui
argumen‐argumen filosofis di dalam teorinya inilah, Hans Kelsen
menawarkan sebuah basis epistemologi "baru" di dalam ilmu hukum, yang
menurutnya mempakan sebuah jalan tengah di antara dua mainstream
ilmu (filsafat) hukum, yaitu teori hukum alam (yang merupakan bagian dari
paradigma moral) dan teori hukum empiris positivistik (yang merupakan
bagian dari paradigma saintisme).
Melalui tesis‐tesis yang menjadi dasar dari teorinya inilah, Kelsen
berupaya melakukan "purify" (pemurnian) dalam 3 hal, yaitu: (a)
Pemurnian terhadap obyek teori hukum; (b) Pemurnian tujuan dan ruang
lingkup teori hukum. (c) Pemurnian terhadap metodologi teori hukum.
Pure Theory of Law52 sebagai sebuah teori yang dibentuk dan
dikembangkan oleh Hans Kelsen, terbangun dalam rentang waktu relatif
52Lihat Ibid hal 1‐8
60
lama (lebih kurang 62 tahun, yaitu dari tahun 1911 hingga tahun 1973).53
Berkembang secara evolutif dan dinamis, mengikuti aneka respon secara
internal maupun eksternal yang muncul.
Bagi Kelsen ilmu hukum harus dilindungi dari dua arah, yaitu dari
pernyatan‐pernyataan yang berasal dari sudut pandang sosiologis yang
menggunakan metode ilmu kausal yang mengasumsikan hukum sebagai
bagian dari alam, dan dari pernyataan‐pernyataan teori hukum alam yang
memasukkan ilmu hukum ke dalam bidang postulat etika politik. Dua hal
yang menurut Kelsen telah menyebabkan ilmu hukum menjadi terlibat
dengan anasir‐anasir "asing" yang menyesatkan. Oleh karena itulah,
diperlukan sebuah teori hukum yang "baru", yang sama sekali berbeda
dengan kedua teori hukum "tadisional" tersebut. Teori hukum "baru" yang
dapat memurnikan hukum dari anasir‐anasir asing.
Pada bagian awal penjelasannya tentang teori hukum murni, Hans
Kelsen berpendapat bahwaTeori hukum murni (Pure Theory of Law) adalah
teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum,
bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, 53Di antara para ilmuan, terdapat perbedaan pendapat tentang periodisasi perkembangan pemikiran Hans Kelsen, Hal ini antara Iain dapat dilihat dari pendapat pendapat Carsten Heidemann, yang membagi menjadi empat fase, yaitu (a) Konstruktivist (1911‐1915), dan kemudian diikuti oleh fase transisi (1915‐1922); (b) fase transendental (1922‐1935); (c) fase realist (1935‐1962), dan; (d) fase analitik linguistik (setelah 1962). Pada bagian lain Stanley L. Paulson, membagi perkembangan pemikiran Kelsen ke dalam 3 tahapan, yaitu: (a) Tahap awal, konstruktivisme kritis (1911‐21); (b) Tahap klasik (1921‐1960), yang dapat dibedakan menjadi beberapa tahap, yaitu: (1) masa neo‐Kantian (1922‐1935) dan; (2) masa hybrid (1935‐1960); (c) Tahap skeptis (1960‐1973). Lihat lebih lanjut Stanley L. Paulson, Spring 1988, Four Phases in Hans Kelsen's Legal Theory? Reflections on a Periodization", Oxford Journal of Legal Studies, Vo.No. 1, hlm. 153‐166 dalam ibid hal 1
61
bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional
tertentu; namun ia menyajikan teori penafsiran.Sebagai sebuah teori ia
dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya.
Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan
bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. la disebut teori
hukum murni lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya
membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut
paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu
hukum dari unsur‐unsur asing.
Teori hukum murni berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang‐bidang tersebut, bukan lantaran ia mengabaikan atau memungkiri
kaitannya, melainkan karena ia hendak menghindari pencampur‐adukkan
berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologinya (sinkretisme
metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas‐
batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.54
Meskipun terurai dengan sangat ringkas, penjelasan Hans Kelsen
tentang pokok‐pokok pikirannya tentang teori "murni", dapatlah diketahui
bahwa dalam hal ini Hans Kelsen berupaya melakukan "purify"
(pemurnian) dalam 3 hal, yaitu:
a) Pemurnian terhadap obyek teori hukum. Dalam kognisi hukum, obyek
54 Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, Berkerley and Los Angeles California Cambridge:
University of California Press, hlm. 1. Bandingkan dengan Hans Kelsen, 2010, Teori Hukum Murni: Dasar‐dasar Ilmu Hukum Nomatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusa Media, hlm. 1.
62
satu‐satunya dari kognisi hukum adalah norma. Kelsen mengendalikan
ruang lingkup analisisnya hanya pada norma hukum. Persoalan pokok
yang dihadapi Kelsen dan perlu dipecahkan di sini ialah bagaimana
norma itu dijadikan norma? Dengan kata lain, dari manakah kualitas
"seharusnya" yang menjadi karakter khas untuk dapat dikategorikan
sebagai norma, dapat ditemukan di dalam norma itu?Meskipun Kelsen
menyadari bahwa hukum dapat dan akan selalu dihubungkan dengan
fenomena sosial, dengan fenomena fisik, dengan nilai‐nilai, dan
seterusnya, akan tetapi Kelsen berupaya meyakinkan bahwa itu bukan
merupakan subjek studi dari teori hukum, tetapi subjek dari disiplin‐
disiplin lain. Untuk melengkapi subyek studinya itu, ia lalu
memperkenalkan model teori hukum (atau metode) "analisis".55Teori
Hukum murni menurut Kelsen, berusaha mencapai hasilnya semata
melalui analisis hukum positif. Setiap penegasan yang dikemukakan
oleh ilmu hukum harus didasarkan pada tatanan hukum positif atau
pada perbandingan isi dari sejumlah tatanan hukum. Dengan
55 Menurut Milijan Popovic, terdapat dua model metodologis dasar ilmu hukum sebagai teori
hukum umum, yaitu: Model sintetis dan model analitik. Model analitik di dalam hukum meskipun telah diperkenalkan pada tahap awal oleh John Austin di Inggris, dan Paul Laband serta Georg Jellinek di Jerman, akan tetapi mendapat bentuk logis yang hampir sempuma ketika dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam teori hukum murninya. Teori hukum analitis menegaskan teori hukum umum sebagai suatu ilmu hukum dengan metode analitis struktural, sebagai prinsip metode studinya dan penciptaan teori hukum umum. Prosedur metodikal analisis struktural menjadi analisis fungsional eksplikatif (sebagai tingkatan lebih tinggi dan analisis deskriptif). Kontribusi penting dari teori hukum analisis Kelsen adalah kemampuannya untuk membatasi teori hukum sebagai ilmu hukum umum dari ilmu‐ilmu dan disiplin‐disiplin lainnya seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, psikologi hukum dan filsafat hukum. Lihat Milijan Popovic, 2002, Methodological Models of The General Theory of Law, facta Universitates, series: Law and Politics Jurnal, Vol. 1, No. 6, 2002, hlm. 659‐682, pada hlm. 659.
63
membatasi ilmu hukum pada analisis struktural terhadap hukum positif,
maka ilmu hukum terpisah dari filsafat keadilan dan sosiologi hukum,
dan dengan demikian ilmu hukum dapat mencapai kemurnian
metodenya.
b) Pemurnian tujuan dan ruanglingkup hukum. Dalamkonteksini Kelsen
bermaksud memurnikan teori hukum dan elemen ideologi apa saja,
yaitu dari pertimbangan nilai, dari penilaian politik, keagamaan, atau
moral. Sebagaimana dikemukakan oleh Kelsen bahwa, teori hukum
murni mempunyai kecenderungan secara terang‐terangan anti‐ideologi.
Kecenderungan ini terlihatdengan menempatkan hukum positif sebagai
hukum yang bebas dari percampuran dengan hukum yang right (benar)
atau hukum yang ideal. Teori hukum murni ingin menyajikan hukum
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya ada; teori hukum
murni mencari tahu hukum yang real (nyata) dan mungkin, bukan
hukum right (benar) atau hukum ideal. Dalam hal ini, Teori hukum murni
merupakan teori hukum radikal yang realistik, yaitu, teori positivisme
hukum.Teori Hukum Murni bertujuan menggambarkan hukum
sebagaimana adanya, tanpa mengabsahkan hukum itu sebagai adil atau
membatalkan hukum karena tidak adil. Teori Hukum Murni menolak
melayani kepentingan‐kepentingan politik seseorang yang melegitimasi
atau membatalkan keberadaan tertib sosial. Tepatnya, melalui pendirian
anti‐ideologisnya, Teori Hukum Murni membuktikan sendiri sebagai
hukum.
64
c) Pemurnian terhadap metodologi teori hukum. Dalam hal ini Kelsen
berupaya menghindari terjadinya sinkretisme metodologi, terutama
sinkretisme metodologi antara sosiologi dengan teori hukum. Hanya
saja sebelum dapat mengkonstruksi teorinya, Kelsen dihadapkan pada
satu persoalan mendasar, terutama dengan adanya pemahaman yang
diterima secara umum, bahwa secara historis perkembangan hukum
didasarkan pada dua teori hukum mainstream, yaitu teori hukum alam
yang tunduk pada batas‐batas moral, dan teori empiris‐positivis yang
mengganggap hukum sebagai bagian dari dunia fakta atau alam. Kedua
teori tersebut masing‐masing berdiri sendiri‐sendiri (tidak mungkin
diintegrasikan) dan kedua‐ duanya dinilai (telah) sama‐sama lengkap.
Keadaan yang demikian menyebabkan beberapa ahli hukum seakan‐
akan dihadapkan pada ketidakmungkinan untuk menghadirkan sebuah
teori "baru" di luar kedua teori mainstream tersebut. Mereka seakan‐
akan terbentur pada kenyataan bahwa kedua teori tersebut karena
sama‐sama lengkapsecara bersama‐sama telah mengesampingkan
kemungkinan ketiga. Dengan adanya keadaan yang demikian, maka
Kelsen dihadapkan pada dua pilihan:
(1) Bila Kelsen mengikuti pendapat dan pemahaman yang ada, maka
mau tidak mau teori yang akan dibangun oleh Kelsen harus
merujuk ke salah satu dari kedua teori hukum tersebut, dan muncul
sebagai salah satu variannya saja, dan;
65
(2) Bila Kelsen menolak kemungkinan tersebut, dalam arti menolak
kedua teori hukum "tradisional" sebagai teori‐teori yang
sudahlengkap, sehingga menutup kemungkinan untuk hadirnya
teori hukum yang baru, maka Kelsen akan menghadapi
antinomi56yurisprudensi.
Hans Kelsen adalahberupaya membangun argumen untuk
menunjukan kelemahan/kekurangan yang ada di dalam kedua teori hukum
"tradisional", sehingga memberi kemungkinan untuk menghadirkan sebuah
teori sebagai alternatif ketiga atau jalan tengah di dalam teori hukum. Pure
Theory of Law hadir dengan latar yang demikian. Pure Theory of Law
dipandang sebagai jalan tengah dalam filsafat hukum.
2. Aspek‐aspek EpistemologisPure Theory of Law
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen,
merupakan sebuah teori (madzhab filsafat hukum), yang ingin
mendudukkan dirinya secara unique di antara dua teori (madzhab filsafat
hukum) mainstream, yaitu teori hukum alam dan teori hukum empiris‐
positivis.57
56 Antinomi adalah adanya nilai‐nilai yang berpasangan yang bersitegang (kontradiksi) secara
filosofis, dalam rangka mencari suatu harmoni di antaranya. Dari setiap ketegangan nilai‐nilai yang ada, bertujuan untuk mencapai harmoni di dalamnya. Ketegangan itu bukan berakibat matinya salah satu nilai yang bersitegang, namun keduanya tetap eksis, dan keduanya harus tetap eksis karena dari situ diharapkan terjadi semacam penyempurnaan konsep nilai‐nilai tersebut. Nilai‐nilai yang bersitegang menjadi saling melengkapi. Keduanya akhirnya seperti mencapai suatu proses penyempurnaan. Dari situasi itu, diharapkan tercipta harmoni nilai yang mengakomodasi secara subjektif dan objektif dari setiap individu. Lihat E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai,Jakarta: Buku Kompas, hlm. 25.
57Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis
66
Dengan merujuk pada konsep universal kategori dualistis antara
"senyatanya" — is" Sebagai penggambaran tindakan manusia dan
"seharusnya" — ought sebagai penggambaran dunia kodrati, Hans Kelsen
membangun dan mengembangkan sebuah teori yang dinamakannya Pure
Theory of Law (teori hukum murni).
Melalui Pure Theory of Law, Hans Kelsen yang mengupayakan
sebuah jalan tengah antara idealisme hukum dan realisme hukum,
menekankan pada "kemurnian" dan mengajukan persyaratan bahwa hukum
harus selalu "murni" dengan berusaha membebaskan obyeknya dari segala
sesuatu yang bukan hukum. Kemurnian teori Kelsen ini ialah independensi
(kemandirian) hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah. Dalam hal ini Kelsen
melakukan pemurnian terhadap objek teori hukum, tujuan dan ruang
lingkup teori hukum, serta metodologi dalam teori hukum.
Berdasarkan uraian di atas, Pure Theory of Law dari Hans Kelsen
secara epistemologis, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a) Aspek OntologiPure Theory of Law
Secara ontologis Kelsen mengatakan bahwa, yang menjadi objek dari
kognisi ilmu hukum adalah hukum.58 Di dalam buku Pure Theory of
LawKelsen menyatakan, bahwa hukum sebagai objek dari ilmu hukum,
tidak hanya berupa norma hukum saja, akan tetapi juga meliputi perilaku
manusia yang ditentukan oleh norma hukum, yaitu perilaku manusia
Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 9 58Ibid hal 10‐23
67
yang terkandung dalam norma hukum. Objek ilmu hukum adalah
hubungan manusia yang terkandung dalam (diaturoleh) norma hukum.
Ilmu hukum berupaya memahami objeknya "secara hukum", yakni dari
sudut pandang hukum.
Memahami sesuatu secara hukum berarti memahami sesuatu
sebagai hukum, yaitu sebagai norma hukum atau sebagai muatan dari
norma hukum atau memahami sesuatu sebagaimana yang ditetapkan
oleh norma hukum.Norma‐normayang memiliki karakter norma hukum
dan yang menjadikan perilaku/tindakan tertentu bersifat legal atau
illegal, merupakan objek dari ilmu hukum. Meskipun Hans Kelsen
menyebutkan secara tegas, bahwa objek kognisi dari ilmu hukum adalah
norma, akan tetapi bagi Hans Kelsen norma yang dimaksud adalah norma
dengan karakter yang khas. Dalam hal ini Kelsen mengartikan norma
sebagai:
(1) Norma hukum sebagai makna tindakan berkehendak.
Dalam perspektif pure theory of law, ilmu hukum diarahkan
pada upaya untuk memahami norma hukum sebagai makna tindakan
(perilaku/perbuatan) berkehendak. Dengan demikian meskipun objek
dari ilmu hukum, berupa norma hukum dan perilaku manusia yang
terkandung dalam norma hukum, akan tetapi yang menjadi objeknya
semata‐mata hanyalah norma, bukan perilaku manusia/ tindakan
berkehendak itu sendiri. Pure theory of law sebagai teori hukum,
68
khusus diarahkan kepada norma hukum, ia tidak diarahkan kepada
fakta; ia tidak diarahkan pada tindakan berkehendak yang
bermaknakan norma hukum, tetapi kepada norma hukum sebagai
makna dari tindakan berkehendak. Kalaupun Pure Theory of Law
bersinggungan dengan fakta‐fakta, akan tetapi ia hanya berfokus
pada fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma hukum yang merupakan
makna dari tindakan berkehendak; makna dari tindakan berkehendak
dan hubungan timbal baliknya inilah yang merupakan pokok bahasan
Pure Theory of Law.
(2) Norma hukum, sebagai norma moral relatif yang
berkarakternormatif.
Perbedaan antara hukum dan moral, menurut Hans Kelsen
bukanlah persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang
bentuknya. Dalam keadaan yang demikian norma hukum sebagai
salah satu tatanan sosial, pada dasarnya telah kehilangan
eksistensinya. Hukum hanya akan bermakna bila memuat nilai‐nilai
moral yang bersifat umum, yang akan diberlakukan bagi semua
sistem moral yang mungkin ada. Hanya saja menurut Kelsen selama
ini tidak dapat dijumpai adanya unsur yang bersifat umum, yang
dapat menjadi isi dari seluruh tatanan moral yang ada, karena
sebuah nilai yang merupakan cita‐cita tertinggi dalam sebuah sistem
moral, bisa jadi sama sekali bukan merupakan nilai dalam beberapa
69
sistem moral yang lain. Kalau pun kemudian dapat terlacak adanya
sebuah elemen yang lazim ada pada semua sistem moral yang selama
ini berlaku, tidak akan cukup alasan untuk mengganggap tatanan
pemaksa yang tidak memiliki elemen ini sebagai sesuatu yang bukan
"moral" atau "tidak adil", dan bukan hukum.
Selama ini, di masyarakat terdapat tatanan pemaksa yang
memerintahkan suatu perilaku, yang justru oleh masyarakat tidak
dianggap baik atau adil, atau melarang suatu perilaku, yang oleh
masyarakat dianggap jahat dan tidak adil.
Setiap sistem yang bersifat "seharusnya" pada dasarnya dapat
diklasifiksaikan sebagai sebuah sistem moral (yang bersifat
"seharusnya "/perintah), yang memiliki karakter normatif. Dengan
demikian, apa yang diperintahkan oleh tatanan pemaksa tersebut
dapat dianggap baik dan adil, dan apa yang dilarang adalah kejahatan
dan ketidakadilan. Oleh karena itulah, apa yang baik secara moral
bukanlah apa yang termasuk dalam nilai moral a‐priori, yang bersifat
absolut, akan tetapi adalah yang sesuai dengan norma sosial yang
menetapkan perilaku manusia tertentu, sehingga apa yang dinilai
jahat secara moral, adalah apa yang bertentangan dengan norma
tersebut. Nilai moral relatif, diwujudkan oleh norma sosial yang
menyatakan bahwa manusia harus berperilaku dengan cara
tertentu.Dengan demikian ungkapan yang menyatakan bahwa
70
"hukum pada dasarnya adalah moral", tidak berarti bahwa hukum
memiliki isi tertentu, tetapi bahwa ia sendiri adalah "moral" yakni
sebuah norma sosial yang menyatakan bahwa manusia harus
berperilaku dengan cara tertentu. Karenanya dalam pengertian relatif
ini, setiap hukum adalah moral; setiap hukum merupakan nilai moral
relatif. Dan itu berarti hubungan antara hukum dan moral bukanlah
persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang bentuknya.
Norma hukum sebagai sebuah sistem moral (perintah), tidaklah
dimaksudkan untuk mewujudkan/merealisasikan nilai moral tertentu,
akan tetapi ia mewujudkan nilai hukum, yang kemudian harus
dipandang sebagai nilai moral (relatif). Inilah makna bahwa hukum
adalah norma (yang berbeda dengan moral).Adanya tuntutan untuk
memisahkan hukum dengan moral pada umumnya dan hukum
dengan keadilan pada khususnya, mengandung arti bahwa
keabsahan tatanan hukum positif tidak tergantung pada tatanan
moral yang berlaku mutlak.
Pengertian bahwa hukum merupakan moral (yakni harus adil),
hanya berarti bahwa pembuatan hukum positif sesuai dengan satu
sistem moral khusus di antara sistem yang mungkin ada.Adanya
kebutuhan untuk memisahkan hukum dan moral, tidaklah berarti
bahwa konsep hukum berada diluar konsep tentang "baik". Sesuatu
yang baik, berdasarkan pemahaman hukum sebagai norma, adalah
71
apa yang tidak melanggar hukum.
Dengan adanya substansi "moral relatif" dalam tatanan hukum
positif, maka moral tidak bisa menyediakan standar mutlak untuk
mengevaluasi tatanan hukum positif. Pembenaran hukum positif
melalui moral hanya dimungkinkan jika terdapat perbedaan antara
norma moral dan norma hukum sehingga akan terdapat hukum yang
baik secara moral dan buruk secara moral.
b) Aspek Epistemologi Pure Theory of Law
Ilmu hukum menunjukan penafsiran normatif atas objeknya,
dengan memahami perilaku manusia yang merupakan isi dari dan
ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma hukum
yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia, dan harus diterapkan dan
dipatuhi oleh tindakan tersebut; dan dengan demikian ia menjelaskan
hubungan normatif antara fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma
hukum.59Berdasarkan deskripsi diatas, maka dapatlah diketahui bahwa
tujuan dari ilmu hukum, adalah untuk:
(1) Mengetahui hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku/ peristiwa
kongkrit tertentu.
Tujuan dari ilmu hukum adalah menunjukkan dan menetapkan
norma hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku/peristiwa
kongkrit tertentu. Dalam hal ini ilmu hukum berfungsi
59Lihat Op. Cit hal 24‐38
72
merekonstruksi berbagai norma hukum umum dan individual yang
diciptakan oleh otoritas hukum menjadi sebuah sistem yang
manunggal, sebuah "tatanan" hukum sehingga hukum yang ada
tersebut dapat dipahami sebagai keseluruhan.Untuk dapat
melakukan hal tersebut, Kelsen telah menyediakan sebuah teori
yang merujuk pada teori struktur hierarkis (Stufenbaulehre) yang
dapat digunakan untuk menjelaskan kesatuan sejumlah norma
hukum yang sah, yang dapat diberlakukan terhadap
perilaku/peristiwa konkrit tertentu.
Menurut Hans Kelsen, sebuah norma menjadi bagian sistem
hukum tertentu, hanya berasal dari fakta bahwa keabsahan norma
yang bersangkutan, bisa diruntut kembali sampai ke norma dasar
yang menyusun sistem tersebut. Dengan demikian sebuah norma
dikatakan sah sebagai norma hukum, hanya karena norma tersebut
dicapai dengan cara tertentu diciptakan menurut aturan tertentu
dikeluarkan dan ditetapkan menurut sebuah metode spesifik;
danhukum tersebut sah hanya sebagai hukum positif, yaitu hanya
sebagai hukum yang dikeluarkan atau ditetapkan. Pada pemenuhan
persyaratan penting, yaitu: dikeluarkan atau ditetapkan inilah yang
menjaminnya. Norma khusus harus diciptakan melalui sebuah cara
khusus yang menetapkan/mengeluarkannya.
73
Sebuah norma umum atau norma individual menjadi sah,
karena norma‐norma tersebut dikeluarkan atau ditetapkan sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan dalam norma yang ada, yang lebih
tinggi. Hal ini akan berlanjut terus hingga sampai pada konstitusi
negara yang bersangkutan, yang bila ditelusuri lebih lanjut akan
merujuk pada konstitusi sebelumnya, dan kemudian akan berakhir
pada konstitusi yang pertama, yang menurut sejarah ditentukan oleh
"para" pengambil alih kekuasaan.
Apa yang dianggap sah sebagai norma adalah apa yang
diungkapkan oleh pada pembuat konstitusi pertama sebagai
kehendak mereka. Inilah perkiraan dasar semua kognisi tentang
sistem hukum yang didasarkan pada konstitusi.Pure Theory of Law
menggunakan norma dasar sebagai dasar hipotesis. Dengan
mempertimbangkan perkiraan bahwa bila norma dasar sah, maka
sistem hukum yang berdasarkan padanya akan sah.
(2) Menjelaskan hukum yang diberlakukan terhadap perilaku/ peristiwa
faktual‐konkrit.
Hubungan yang diungkapkan oleh aturan hukum memiliki
makna yang sepenuhnya berbeda dari hubungan kausalitas dalam
hukum alam.Yang dikatakan oleh aturan hukum bukanlah “bila A
ada”, maka "adaB", melainkan "bila A ada, maka B "seharusnya" ada.
Pertanggungjawaban yang dimiliki oleh seorang individu atas
74
perbuatannya bermakna bahwa: ia bisa dihukum atas perbuatan ini;
dan bila ia dinyatakan tidak bertanggungjawab, ini berarti ia tidak
akan dihukum atas perbuatan yang sama.
Pengamatan yang ditunjukandalam konsep
pertanggungjawaban, bukan merupakan kaitan antara perbuatan
tertentu dengan seorang individu yang berbuat, akan tetapi antara
perbuatan dengan sanksi; karena itulah individu yang tidak bisa
dikenai tanggungjawab tidak bisa dikatakan telah melakukan
pelanggaran.
Ilmu hukum tidak memerlukan penjelasan tentang keterkaitan
antara perbuatan dengan individu yang berbuat, karena bagaimana
pun dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan; bahkan perbuatan dari
orang yang tidak bisa dikenai tanggung jawab tetap saja merupakan
perbuatannya (keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak),
sekalipun perbuatan tersebut bukan merupakan pelanggaran yang
bisa dialamatkan kepadanya. Sanksi dialamatkan kepada
pelanggaran, namun sanksi tidak "dipengaruhi oleh" (atau tidak
"disebabkan oleh") pelanggaran.
c) Aspek aksiologi dari Pure Theory of Law
Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskan
75
/memurnikan ilmu hukum dari anasir‐anasir.60 Sebagaimana dikemukakan
oleh Hans Kelsen :
"Ilmu hukum mencirikan sendiri sebagai teori hukum "murni” karena ilmu hukum itu mengarahkan kognisinya difokuskan hanya pada hukum, dan kerena itu bertujuan menghilangkan dari kognisi ini segala sesuatuyang bukan termasuk obyek kognisi ini tepatnyaditetapkan sebagai hukum”.
Teori Murni bertujuan membebaskan ilmu hukum dari elemen‐
elemen asing. lnilah prinsip dasar metodologisnya.Berdasarkan deskripsi di
atas dapatlah diketahui, bahwa dengan Pure Theory of Law Hans Kelsen
bermaksud untuk menjadikan hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah
(menjamin hukum yang otonom sebagai obyek ilmiah).
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen memberi
ciri sebagai teori hukum "murni" karena mengarahkan kognisi hanya pada
hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dalam membangun teorinya, Kelsen
berupaya menghindari dan meniadakan segala sesuatu yang bukan
termasuk obyek kognisi ilmu hukum, terutama "unsur‐unsur asing" yang
teridentifikasi sebagai bukan hukum. Berdasarkan hal tersebut, kemudian
Kelsen menyatakan bahwa, hukum adalah norma, dan inilah yang menjadi
satu‐satunya obyek kognisi hukum".
Norma sebagai objek kognisi hukum yang berbeda dengan norma
yang menjadi objek ilmu hukum menurut madzhab hukum kodrat,
60Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 38‐42
76
maupun madzhab hukum empiris‐positivistik.Norma hukum sebagai
norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hukum akan
menjadi bagian dari moralitas, dan kemudian memberi nilai mutlak
berdasarkan standar moralitas kepada hukum.
Hukum sebagai kategori moral kemudian diidentikkan dengan
keadilan. Keadilan yang dalam titik tertentu kemudian disamakan dengan
kebahagiaan, terutama ketika keadilan tidak bisa diperoleh secara
individual akan tetapi diperoleh dalam (melalui) masyarakat.Keadilan bagi
Kelsen adalah kesesuaian dengan hukum positif. Jika suatu norma umum
diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus
sejenis yang muncul maka dikatakan "tidak adil", ketidakadilan yang
terlepas dari berbagai pertimbanganmoral dan nilai norma umum
tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relatif dengan sebuah
norma; adil adalah kata lain dari sah.
Pertimbangan nilai, harus dibedakan dengan nilai yang membentuk
norma tersebut. Pertimbangan nilai bisa benar atau salah, karena ia
mengacu pada sebuah norma dari sebuah sistem yang berlaku. Namun
sebuah norma tidak bisa dinyatakan benar atau salah, ia hanya dapat
dinyatakan berlaku atau tidak berlaku.
Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap absah atau berlaku
secara obyektif, adalah berfungsi sebagai standar nilai yang diterapkan
pada perilaku aktual. Dalam pengertian norma menjadi pertimbangan nilai
untuk menentukan baik buruknya sebuah perilaku aktual.
77
C. Diskursus mengenai Ketidak‐teraturan Hukum (Disorder of Law) dalam Teori Chaos of Law Charles Sampford 1. Sejarah dan Peristilahan Chaos
Adalah seorang Yunani dari abad VIII Sebelum Masehi, telah menulis
Theogony, sebuah puisi yang menyatakan, awal dari segalanya adalah
chaos, yang kemudian bumi berangsur‐angsur menjadi stabil. Orang
Yunani kuno sangat percaya bahwa chaos mendahului keteraturan, dengan
kata lain, keteraturan muncul dari ketidakteraturan.
Teori chaos merupakan fenomena yang sangat tua, setua dengan
perkembangan alam semesta itu sendiri. Sebagai sebuah teori, chaos
adalah bidang yang relatif baru dan kontroversial dalam ilmu pengetahuan
sehingga sebagian ilmuwan terkemuka pada dekade yang lalu dan
sebelumnya akan menolak dan menganggapnya sebagai fantasi.
Salah seorang pelopor teori chaos, Benoit Mandelbrot, seorang ahli
matematika dari IBM, menggunakan teknik matematika untuk mencari dan
menemukan pola dalam beragam proses acak alamiah. Ia menemukan,
misalnya suara gemerisik (noise) yang melatar‐belakangi transmisi telepon,
mengikuti satu pola yang tidak sepenuhnya dapat diramalkan atau
chaos61.Di dalam fenomena chaos tergambar apa yang disebut dengan
61 Lihat, Alan Woods dan Ted Grant, Reason in Revalt; Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan
Modern, IRE Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 474. Bencit Mandelbrot, adalah ahli fisika matematika dari Perancis yang lahir di Polandia dan bekerja untuk IBM. Ia telah mengembangkan bidang geometri fraktal yang memainkan peran kunci dalam melahirkan teori chaos. Dia menyelesaikan sebagian besar karya awalnya pada tahun 1970‐an dan menerbitkan penemuan‐penemuannya dalam sebuah buku ilmiah berjudul Fractals From, Change and Dimension. Tidak seorangpun memahami apa yang dibicarakan olehnya, sebagian besar karena substansinya sulit dicerna. Pada tahun 1977, sebuah versi buku ini yang jauh
78
buterfly effect, yaitu perubahan yang terjadi disebuah bagian dunia
(misalnya perubahan cuaca) akan mempengaruhi belahan dunia lainnya.
Sebuah perubahan cuaca di Brasil, misalnya dapat menimbulkan badai
tornado di Texas.
Efek sayap kupu‐kupu ini juga terjadi pada fenomena ekonomi.
Gejolak moneter yang terjadi di sebuah negara, seperti Thailand, dapat
mengakibatkan krisis ekonomi dalam skala regional maupun global.
Apabila pengaruh tersebut terjadi secara berantai, maka yang terjadi
adalah a domino effect, seperti yang melanda negara‐negara Asia akhir‐
akhir ini.
Harus diakui, pada awalnya lebih banyak pandangan negatif
ditujukan kepada chaos, sebagaimana uraian berikut:
“Berjuta teriakan melengking, berjuta suara serak, berjuta hujatan hiruk pikuk, berjuta demonstran yang turun ke jalan; berjuta gerombolan penjarah, berjuta kelompok pembuat teror, berjuta kerusuhan berdarah; berjuta partai politik, berjuta buruh yang mogok, berjuta sopir yang protes, berjuta pedagang kaki lima yang menuntut hak mereka, berjuta rakyat yang menuntut keadilan, berjuta euphoria yang mewarnai kehidupan sosial politik akhir‐akhir ini, itulah rangkaian noise dan noiseadalahchaos”.62
Meskipun noise adalah chaos, hal itu dapat digiring ke arah sebuah
aransemen, sebuah komposisi, sebuah order, sebuah pola, sebuah desain,
sebuah tatanan. Artinya noise itu sesuatu yang dapat digiring ke arah yang
lebih baik diterbitkan dengan judul Hrectal Geometry of Nature, dan geometri Fraktal memenuhi imajinasi para ilmuwan. Lihat Zianuddin Sardar dari Iwona Abrams. Mengenal Chaos...Op, Cit, hlm 28.
62Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin‐mesin Kekerasan, dalam Jagat Raya Chaos, Bandung, 2001, hlm. 251
79
merusak, akan tetapi bisa juga ke arah yang konstruktif. Di balik noise atau
chaos itu ada satu kemungkinan (possibility), satu peluang (chance) yang
muncul, yang dapat dikembangkan menjadi suatu order bila semua pihak
memiliki the sense of chaos dan mengambil hikmah darinya. Tugas filosof,
ilmuwan dan pemikir adalah menangkap peluang dan kemungkinan baru
yang mencuat dari sisi chaos tersebut.63
2. Teori Chaos dalam Ilmu Pengetahuan
Pada dasarnya fenomena chaos merupakan fenomena yang alamiah
dannyata ada dalam realitas kehidupan.64Chaos dapat muncul dalam tingkah
laku cuaca, tingkah laku sebuah pesawat terbang di udara, tingkah laku awan
yang berarak di langit, tingkah laku minyak yang mengalir di dalam sebuah
pipa, tingkah laku air yang mengalir di pinggir sungai, tingkah laku ombak
yang memecah, tingkah laku ekonomi yang fluktuatif, tingkah laku politik yang
kacau, tingkah laku sosial yang rusuh, tingkah laku hukum yang tidak dapat
63 Ibid, hlm. 252 64Ada pandangan yang, menyatakan fenomena chaosatau sering juga disebut sebagai fenomena
kompleksitas muncul sebagai budaya pop yang sepenuhnya direkayasa atau di blow updengan terbitnya buku James Gleick berjudulChaos Making a New SenseBuku itu kemudian menjadi buku yang banyak memberi inspirasi wartawan untuk menulis judul yang serupa dan bertopik mirip untuk meniru kesuksesan buku Gleick tersebut. lihat beberapa buku yang berjudul mirip dan dipengaruhi oleh Karya Gleick, di antaranya, M. Mitchell Waldrop, Simon and Schuster,Complexity : The Emerging Science at the Edge of Order and Chaos, New York, 1992. Roger Levin,Life the Edge of Chaos, MacMillan, New York, 1992. Steven Levy,Artificial Life A Report from the Frontier When Computers Meet Biology, Vintage, New York, 1992. Jack Cohen dan Ian Stewart,Complexification: Explaining a Complex World, Viking New York, 1994. Peter Coveny dan Roger Highfield, Frontiers of Complexity : The Search of Order in a Chaotic World, Columbine, New York, 1995. Buku yang terakhir ini menurut John Horgan mencakup banyak materi yang dibahas oleh Gleick dalam bukunya Chaos dan menguatkan pandangan bahwa perlakuan umum terhadap chaosdan kompleksitas hampir menghapus perbedaan di antara keduanya. Lihat John Horgan, The Endof Science, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudulSenjakala PengetahuanMizan Bandung, 2005, him. 392, catatan kaki nomor. 2
80
diprediksi dan banyak lagi hal lainnya.Bahkan pemikir kontemporer,
mendasarkan pemikirannya kepada pandangan yang chaos tersebut, telah
berjuang selama hidupnya untuk melawan doktrin determinisme ilmu
pengetahuan, yang dirasakan sebagai antitesis terhadap ilmu pengetahuan
sendiri.Popper pernah memberikan kuliah dalam tema ini pada tahun 1950‐
an. Seraya menunjuk halaman berumput di luar jendela, ia berkata, “Ada
chaos dalam setiap rumput”.
Gagasan tentang teori kuantum memperlihatkan, chaos dapat dijadikan
pijakan dalam memahami realitas kealaman. Dalam mekanika kuantum,
misalnya berlaku prinsip‐prinsip yang memperlihatkan kondisi atau situasi
chaos, seperti pinsip probabilitas, prinsip ketidakpastian, dan logika kuantum
sehingga fisika atau alam semesta tidak dapat lagi dipahami secara linier,
banyak alternatif yang dapatdijadikan pegangan.65
Henri Pointcare pada peralihan abad ini memperingatkan, perbedaan
kecil pada kondisi awal bisa menciptakan perbedaan besar pada fenomena
akhir. Kesalahan kecil dipermulaan akan menciptakan kesalahan besar pada
akhirnya, prediksi menjadi mustahil.Para peneliti fenomena chaos dan
kompleksitas66 menegaskan, banyak fenomena di alam yang muncul, dan
65 Lihat misalnya tulisan John Polkinghorne, Teori Kuantum, Jendela, Yogyakarta, 2004. Tulisan
John Gribbin, Fisika Kuantum, Erlangga, Jakarta, 2003. Paul Strathem, Bohr dan Teori Kuantum , Erlangga, Jakarta, 2002.
66 Pada uraian di atas terutama pada footnote, sebelumnya dijelaskan meskipun perbedaan chaosdan kompleksitas menjadi sangat tipis namun penting dijelaskan apa yang dimaksud dengan keduanya. Menurut fisikawan James Yorke,chaos merujuk pada kumpulan fenomena terbatas yang berkembang dengan cara yang tidak dapat diprediksi, seperti menunjukan sensitivitas pada kondisi awal, tingkah laku yang tidak periodik, kemunculan pola‐pola
81
menampilkan sifat‐sifatnya yang tidak bisa diprediksi atau dimengerti dengan
hanya mengkaji beberapa bagian sistemnya.
3. Teori Hukum Asimetris menurut Charles Sampford
Sampford menjelaskan, masyarakat pada dasarnya tanpa sistem atau
dalam kondisi asimetris yang disebutnya dengan social melee dan hukum
adalah bagian dari kondisi masyarakat tersebut, sehingga hukum ada dalam
kondisi melee tersebut (legal melee).
Sampford memperlihatkan cara pandang lain yang dapat digunakan
untuk memperoleh kebenaran alternatif, selain yang selama ini diklaim oleh
kaum positivistik. Bagi pemikir sistematis‐positivistik (modern) chaos
(meleedisorder asismetris) yang di dalamnya terkandung pluralitas,
transformasi, mutasi, perbedaan dan keanekaragaman, diversitas,
multiplisitas dilihat sebagai hantu yang menakutkan bagi pemikiran hukum
sistematis, selalu dianggap negatif dan merusak, yang seharusnya tidak perlu
demikian. Hal tersebut dapat menyebabkan persepsi seseorang terhalang dan
mengalami kesulitan untuk memahami realitas atau situasi chaos tersebut.
Di dalam situasi/hubungan yang asimetris itu, chaos bukanlah sesuatu
yang harus ditakuti, atau sesuatu yang harus dihindari, atau sebagai sesuatu
yang harus dilawan dengan antipati, tetapi di dalamnya ada (semacam)
kemungkinan atau peluang yang dapat dikembangkan, apabila dapat
tertentu dalam skala ruang yang berbeda dan temporal dan seterusnya. Kompleksitas di sisi lain cenderung merujuk pada ’’apapun yang anda mau”. Lihat. John Horgan,The End Of Science hlm.261.
82
mengambil hikmah/memahami dari situasi chaos tersebut (the sense of
chaos).Tugas para filosof dan ilmuwan adalah menangkap pesan, peluang dari
kemungkinan baru yang muncul dari situasi yang chaos atau melee tersebut.
Dari sebuah situasi yang chaos dapat saja dihasilkan sebuah aransemen yang
indah.
Menurut Sampford adalah tidak mungkin untuk menerima adanya suatu
sistem hukum di tengah‐tengah masyarakat yang tidak teratur. Keadaan
tersebut menyebabkan Sampford mengatakan, hukum itu sesungguhnya
penuh dengan ketidakteraturan. Maka teori hukum tidak perlu berupa teori
tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori tentang
ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder). Teori tentang
ketidakteraturan hukum Sampford membawa pemahaman kepada teori yang
lain dari hukum, yaitu teori kekacauan (chaos theory) atau teori hukum yang
kacau (chaos theory of law).
4. Beberapa Gagasan Utama Charles Sampford
Ada beberapa gagasan penting teori chaos yang dikembangkan Charles
Sampford dalam hukum, antara lain:
a) Relasi Kekuasaan
Charles Sampford menjelaskan tentang relasi kekuasaan yang rumit
yang menimbulkan situasi di mana masyarakat tidak dapat dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat sistemik atau mekanistik. Di dalam masyarakat
menurut Charles Sampford penuh dengan relasi kekuasaan yang timpang
83
di mana satu kekuatan saling berbenturan dengan kekuatan lain sehingga
menjadikan masyarakat itu tidak simetris (asimetris). Dengan demikian,
tidak dapat dikatakan relasi masyarakat itu senantiasa berada dalam
kondisi yang teratur. Penggunaan‐penggunaan kekuatan dalam
masyarakat yang akibatnya menimbulkan benturan‐ benturan yang
menghasilkan kondisi yang chaos tersebut.
b) Legal Melee
Istilah atau terminologi yang banyak digunakan oleh Sampford dalam
menjelaskan realitas hukum yang chaos adalah apa yang disebutnya
dengan melee. Istilah ini digunakan oleh Sampford untuk
mengembangkan teori hukum yang chaos. Menurut Sampford legal
melee berasal dari social melee, artinya hukum itu kompleks dan cair
cenderung bersifat asimetris itu berasal dari masyarakat yang kompleks
dan cair pula.
c) Komunikasi Hukum
Sampford menjelaskan cukup rinci tentang apa yang disebutnya
sebagai proses komunikasi hukum. Umumnya dalam tipe atau gagasan
kaum positivisme, pemegang kekuaasaan atau otoritas berupaya untuk
mempengaruhi subjek, dengan harapan subjek berperilaku sesuai dengan
apa yang diperintahkan aturan. Namun kenyataannya, teks undang‐
undang atau bahasa yang tertuang dalam aturan tertentu memberikan
84
lingkup yang cukup luas dan banyak bagi persepsi yang beragam. Disadari
bahasa yang dibuat oleh pembentuk aturan umumnya sangat sulit
dipahami oleh orang kebanyakan, bahkan dalam hal tertentu hal ini tidak
memberikan pesan apapun.
Jika masyarakat berupaya untuk membaca teks, maka proses
interaksi akan terjadi dan muncul pemahaman yangberbeda. Komunikasi
yang dijelaskan Charles Sampford memperlihatkan adanya relasi antara
hukum, individu dan masyarakat.
Bagan 2.8
Gagasan Utama Teori Chaos Charles Sampford
KONSEP UTAMA IDE POKOK IMPLIKASI
Melee Masyarakat bersifat cair dan selalu dinamis, tidak bersifat sistematis
Pluralitas,transformasi, mutasi,penuh perbedaan dan keanekaragaman,diversitas, multiplisitas
Realitas Utuh Realitas tidak terdiri dari satuan‐satuan yang serba pasti serta dapat diukur dan diramalkan
Hilangnya pandangan dualistik dan reduksionis
Relasi Kekuasaan Realitas masyarakat yang cair merupakan konsekuensi dari hubungan‐hubungan dalam masyarakat yang bertumpu pada hubungan antar kekuatan yang timpang atau senjang’
Relasi kekuasaan yang timpang merupakan esensi ketidakteraturan tersebut
Adanya relasi penafsir dan realitas
Hermeneutika ‐ Pemahaman Logika Sintetik
85
D. Diskursus mengenai Pergeseran, Perubahan Teori dan Paradigma Ilmu Hukum
1. Perkembangan Teori Ilmu Hukum
Ada dua pandangan besar (Grand Theory) mengenai Teori Hukum
dimana satu pandangan menyatakan bahwa teori hukum sama sekali
tidak berada pada jalur yang disebut sebagai sistem. Pandangan ini
menolak bahwa teori hukum harus selalu bersifat sistematis dan teratur.
Tetapi sebaliknya teori hukum dapat juga muncul dari situasi yang disebut
dengan situasi chaos, keserba tidak beraturan, atau situasi yang tidak
sistematis. Itulah cerminan masyarakat yang ada, masyarakat selalu ada
pada situasi konflik, ketegangan, atau tekanan‐tekanan baik dalam
ekonomi politik dan lain‐lain secara terus menerus. Sehingga teori hukum
haruslah muncul sebagai suatu model yang dis‐order dan sangat
dipengaruhi oleh persepsi orang (pengamat) dalam memaknai hukum
tersebut.
Pandangan ini banyak dikemukakan oleh mereka yang beraliran
sosiologis dan post modernis. Hukum dalam waktu yang tidak dapat
dipastikan akan mengalami perubahan baik kecil maupun besar, baik
evolutif maupun revolutif.
2. Teori Pergeseran Ilmu Hukum
Sikap ilmuwan harus senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu
yang terus berubah, bergerak dan mengalir, demikian juga ilmu hukum.
Garis perbatasan Ilmu Hukum selalu bergeser sebagaimana dijelaskan;
86
“.....Maka menjadi tidak mengherankan bahwa garis perbatasan ilmu pengetahuan selalu berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju....”67
Dengan mencontohkan pergeseran paradigmatik dalam ilmu fisika
khususnya pemikiran Newton yang terkenal pada waktu itu meng‐
hegemoni para fisikawan, kemudian digantikan oleh era baru dengan
munculnya teori Kuantum Modern yang pada kenyataannya lebih mampu
menjawab persoalan‐persoalan fisika yang tidak terpecahkan
sebelumnya.
Fisika Newton telah memberikan jasa luar biasa besar terhadap
persoalan‐persoalan fisika yang bersifat makro, logis, terukur dan melihat
hubungan sebab akibat (mekanis), namun tidak mampu menjawab
persoalan mikro yang bersifat relatif, kabur, tidak pasti, namun lebih
menyeluruh. Lahirnya teori Kuantum Modern yang memecahkan
kebuntuan dari teori fisika Newton tersebut, selanjutnya merubah cara
pandang ilmuwan tentang realitas alam semesta. Perubahan itu tentu
saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya,
namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah
penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang
labil. Teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau
67Pandangan ini sejalan dengan pendapat Makaminan Makagiansar yang menyatakan “science Education should no limit itself to the transmission of estabilished knowledge only but the teacher must impart an understanding of connectivity between scientific discipline and acquaint the learner with the promise of frontier science”. Lihat dalam pidato “Third Annual Meeting of Asean Academies of Science”. Engineering and Technology and Similar National, July 8‐9, 1999, Manila‐Philipinnes. Yang kemudian pandangan ini diambil oleh Satjipto Rahardjo dan dijadikan catatan kaki dalam pidato emiretusnya. Ibid hal 143
87
sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum itu, artinya apa
yang sedang terjadi atau perubahan yang tengah terjadi di mana
komunitas itu hidup, sangatlah berpengaruh sekali terhadap cara
pandangnya manusia terhadap hukum.
Bagan 2.9
The Subject The Discourse Theory
LAW Komunitas tertentu Bergantung pada Sudut pandangnya
Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan,
yaitu terus menerus berada pada wilayah labil, selalu berada pada suatu
wilayah yang chaos. Artinya disini teori bukanlah sesuatu yang telah jadi,
tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapatkan tantangan dari
berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya
akan lahir teori‐teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus
berlangsung tersebut.
Bagan 2.10
TEORI BARU
STRUKTUR ILMU BERUBAH
TEORI Tambahan IlmuTransformasi : Bergerak Pemaknaan
88
3. Hukum Berhadapan dengan Perubahan Sosial
Berkembangnya pemikiran hukum progresif sebagai alternatif pencarian
hukum yang ideal adalah tidak terlepas dari perkembangan mahzab pemikiran
Sosiologi Hukum.68 Dengan kata lain Sosiologi Hukummemperlihatkan
verifikasi empiris dan validitas empiris dari hukum yang berlaku. Dengan
demikian teori‐teori dalam sosiologi hukum juga bergerak pada jalur
tersebut.69
Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga
mejadi sarana untuk melakukan perubahan‐perubahan dalam masyarakat.
Antara sistem hukum dengan lingkungannya terdapat hubungan yang erat,
yaitu hubungan interaksi atau tukar‐menukar antara keduanya. Hal ini berarti,
bahwa disamping hukum merupakan suatu institusi normatif yang
memberikan pengaruh terhadap lingkungannya ia juga menerima pengaruh
serta dampak dari lingkungannya tersebut.
Pertanyaan pokoknya adalah “bagaimana hukum itu melakukan
adapatasi terhadap perubahan?”. Bagaimana hukum bisa mempertahankan
kelangsungan hidup ditengah‐tengah tarikan perubahan‐perubahan tersebut.
Tantangan ini bisa dijawab dengan memberikan jawaban atau hancur, atau
mampu beradaptasi terhadap perubahan‐perubahan tersebut sehingga bisa
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
68Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Semarang, Citra Aditya Bakti, Cet. Ke 8, 2014, hal 199‐205 69 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum , Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hal. 2
89
Suatu sistem dikatakan hancur, manakala sebagai akibat dari
pertukarannya dengan perubahan‐perubahan tersebut ia tidak mampu
mempertahankan eksistensinya, sehingga harus mengalah terhadap tekanan
perubahan tersebut. Sebaliknya apabila ia sanggup mengatasi tantangan‐
tantangan tersebut dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan‐perubahan yang terjadi disekelilingnya maka ia akan hidup terus.
Hukum tertulis mempunyai kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup
cepat terhadap perubahan di sekelilingnya atau dengan kata lain, hukum
tertulis mudah menciptakan kesenjangan antara peraturan hukum dengan
yang diaturnya.
4. Teori Tentang Evolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum
Teori tentang perubahan hukum secara alami atau evolusi hukum dapat
ditempatkan dalam kerangka teori sistem dalam ilmu sosiologi. Dalam hal ini
masyarakat tersusun dalam suatu sistem sosial, seperti juga seluruh alam
semesta tersusun dalam suatu sistem, yang masing‐masing bagiannya
tersusun dengan sistem tertentu, memiliki fungsi tertentu serta bergerak
menurut aturan tertentu. Maka, manakala ada perubahan dalam suatu bagian
dari sistem yang ada, maka bagian lain dari sistem atau subsistemnya yang
lain juga akan terganggu yang akhirnya bagian‐bagian dari sistem ini bergerak
ke arah tertentu menuju suatu keseimbangan yang baru. Akan tetapi,
manakala terjadi suatu perubahan dalam suatu subsistem, kemudian dapat
direspon dengan cepat dan tepat, dan perubahan tersebut bukan perubahan
90
Relasi Teks dan Realitas
struktural, maka pergerakan dalam subsistem ini sudah mencapai
keseimbangan kembali sebelum sempat menjalar ke subsistem yang lain, dan
keseluruhan sistem menjadi normal kembali. Akan tetapi jika perubahan
dalam suatu subsistem tidak direspon dengan cepat dan tepat, maka akan
terjadi kegoncangan pada subsistem yang lain, dan akhirnya keseluruhan
sistem menjadi bergoncang, dan dalam keadaan seperti itu, suatu konflik,
reformasi bahkan revolusi sudah tidak dapat dihindari.70
Bagan 2.11
DAS SOLLEN DAS SOLLEN
Teks Chaos HUKUM
DAS SEIN DAS SEIN Realitas Chaos
5. Revolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum
Berbagai teori dalam ilmu sosiologi hukum mengajarkan bahwa antara
perubahan hukum (sebagai sistem) di satu pihak dan perubahan masyarakat
(sebagai subsistem) di lain pihak, selalu berjalan seiring, tidak boleh ada
ketimpangan diantara keduanya. Akan terjadi kekacauan jika terdapat gap
diantara kedua faktor tersebut, kekacauan mana dengan berbagai cost dan
resiko akan mencari suatu keseimbangan baru dalam masyarakat.71
Thomas Samuel Kuhn merumuskan teori baru yang didasarkan pada
penelitian historis bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan
70Munir Fuady, Teori‐teori dalam Sosiologi Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, Cet. II, 2013 hal 88‐89 71Ibid hal 94
91
perkembangan paradigma dalam sejarahnya. Proses pertumbuhan sains
merupakan proses yang tidak dapat dihindari. Bermula dari adanya anomali,
keraguan terhadap kebenaran suatu paradigma, yang kemudian dilanjutkan
oleh proses berikutnya, yaitu krisis sebagai akibat dari meningkatnya
pertentangan antara mereka yang berpegang pada paradigma lama dengan
mereka yang menghendaki pertentangan itu, suatu paradigma baru dapat
lahir dari kemenangan pihak yang menghendaki perubahan itu.
Skema progress sains menurut Thomas Kuhn adalah sebagai berikut :
Bagan 2.12
Paradigma Normal Science Anomali Krisis Revolusi Paradigma Baru
Bagan 2.13
Atau dengan penjabaran yang lebih terperinci sebagai berikut :
P1 Ns A C R P2
Keterangan : P1 = adalah suatu simbol dari suatu paradigma yang telah ada dalam suatu masyarakat sains. Paradigma ini sedemikian eksisnya dalam kehidupan suatu masyarakat sains, sehingga ia menjadi suatu paradigma yang membatasi kepercayaan dan usaha‐usaha untuk mencari dan menemukan alternatif‐alternatif baru yang dapat menggantinya. Ns = merupakan simbol dari pengertian ”Normal Science” atau sains yang normal. Sains yang normal adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana ilmuwan‐ilmuwan berorientasi dan memegang teguh paradigma pendahulunya itu (P1). Sains yang normal ditunjukkan untuk artikulasi gejala‐gejala dan teori‐teori yang telah disajikan oleh paradigma pendahulunya itu. Maka sains atau riset yang normal adalah riset yang didasarkan pada paradigma yang telah ada. Sains yang normal, sering menekan hal‐hal baru yang fundamental, karena hal‐hal baru yang fundamental itu akan meruntuhkan paradigma pendahulunya (P1). Keadaan ini tidak akan dapat bertahan secara terus‐menerus. Gejala‐gejala baru yang tumbuh dan berkembang sebagai gejala alamiah, senantiasa akan menjadi sebab yang menantang untuk meruntuhkan paradigma itu. Gejala‐gejala itu merupakan sebab dibutuhkannya penjelajahan‐penjelajahan baru yang dapat menanggapi gejala‐gejala itu. Jika telah sampai pada periode ini, maka suatu proses perkembangan sains segera berada pada periode anomali. A = merupakan simbol dari pengertian Anomaly. Anomali adalah periode pertentangan antara kelompok ilmuwan yang memegang teguh pencapaian‐pencapaian lama (P2) dengan ilmuwan‐ilmuwan yang menanggapi kehadiran gejala‐gejala baru itu, dan karenanya mereka menghendaki perubahan‐perubahan dan perkembangan komitmen‐komitmen baru, yang dapat digunakan
92
untuk menjawab tantangan‐tantangan baru dari gejala itu. Sebab utama kehadiran periode ini adalah gagalnya paradigma lama (P1) untuk memecahkan masalah‐masalah baru yang hadir bersama gejala‐gejala baru. Jika pertentangan ini memuncak, maka proses perkembangan sains segera memasuki periode terbarunya, yaitu periode krisis. C = merupakan simbol dari pengertian Crisis, yaitu suatu periode perkembangan sains yang menunjuk pada kondisi pertentangan antara penganut paradigma lama (P1) dengan kelompok yang menghendaki perubahan terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan‐gagasan baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan menjadi sebab semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya mungkin jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan‐gagasan baru terhadap gejala‐gejala yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu Revolusi Sains (Scientific Revolution). R = merupakan simbol dari pengertian Revolusi Sains (Scientific Revolution), yaitu periode munculnya teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung bersifat sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama harus digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma baru (P2). P2 = merupakan simbol dari pengertian Paradigma baru, yaitu paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan kedudukan paradigma lama (P1). Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan standar revolusi sains adalah ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen sains yang normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian kedudukan terhadap suatu teori lama. E. Diskursus mengenai Teori Holistik (Concilience : Unity of Knowledge) Edward
O. Wilson
Edward O.Wilson adalah seorang biolog yang sejak muda sudah
tercekam oleh teorinya tentang suatu “unified learning”. Sesudah melewati
masa‐masa awal dalam studinya, pada suatu saat tiba‐tiba sebuah dunia baru
seperti terbentang di depannya. Pertanyaan‐pertanyaan yang selama ini ada
di kepalanya menuntunnya kepada suatu keadaan tiba‐tiba tersebut.
Sejak saat itu ia semakin intensif melihat pengetahuan sebagai satu
kesatuan. Tidak ada tujuan yang lebih mulia kecuali menemukan “the intrinsic
of knowledge”. Apa yang dilakukan oleh pemikir‐pemikir Abad Pencerahan
sudah hampir benar. Tetapi fragmentasi pengetahuan yang dilakukan terlalu
93
kaku sehingga bukanlah pencerminan yang sebenarnya dari dunia kita
melainkan hanya “artifacts of scholarship” belaka.
Wilson menggunakan terma “consilience” dan berpendapat, bahwa itu
merupakan kunci menuju unifikasi. “Consilience” artinya terjun bersama‐sama
disiplin‐disiplin ilmu pengetahuan melalui penghubungan fakta‐fakta yang
membentuk suatu teori secara lintas disiplin, yang akhirnya merupakan
rumusan bersama (common groundwork) untuk membuat suatu penjelasan.
Dengan pemikiran yang demikian itu ia melihat, bahwa sekalian pembagian
dalam sains itu akhirnya harus merupakan kesatuan. Pembagian ke dalam
ilmu‐ilmu kealaman (natural science), ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu
kemanusiaan (humanities), disebutnya sebagai “the great branches of
learning”.
Mengenai pembagian tersebut Wilson mengatakan, bahwa sukses
dalam ilmu kealaman tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Untuk sampai
pada kesatuan ilmu pengetahuan, maka sukses‐sukses ilmu‐ilmu kealaman itu
dikembangkan (extrapolation) terus memasuki cabang‐cabang besar
pengetahuan tersebut. Baru kalau ia sudah mampu menunjukkan kekerabatan
dan kemanfaatannya bagi ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan, ilmu‐
ilmu kealaman itu benar‐benar mencapai sukses sesungguhnya. Sasaran
utama sains, menurut Wilson, adalah keberhasilannya untuk menyelesaikan
problem kesejahteraan manusia.
94
“Most of the issues that humanity daily – ethnic conflict, arms escalation, overpopulation, abortion – cannot be solved without integrating knowledge of the natural sciences with that of the social sciences and humanities”.72
Oleh karena itu kita tak dapat berhenti pada pencabangan ilmu
pengetahuan, melainkan menembus batas‐batas cabang tersebut.
“Only fluency across boundaries will provide a clear view of the world as it really is, not as seen through the lens..commanded by myopic response to immediate need”. 73
Berkali‐kali Wilson mengatakan, bahwa ilmu‐ilmu badaniah (physical
sciences) itu sebetulnya relatif mudah. Tantangan yang sebenarnya adalah
ilmu‐ilmu sosial dan kemanusiaan. Sains telah meningkatkan kualitasnya
menuju kepada penyatuan cabang dan disiplin ilmu untuk menghadapi
problem‐problem kemanusiaan yang besar. Itulah ujian keberhasilan ilmu
pengetahuan yang hanya dapat dilakukan melalui “consilience” tersebut. Ilmu
hukum yang tidak mampu untuk melihat tempatnya di dalam elevansi sains
tersebut akan menjadi ilmu yang tertinggal.
Kritik‐kritik terhadap ilmu‐ilmu sosial dan kemanusiaan perlu dijadikan
bahan instropeksi bagi ilmu hukum. Apakah ilmu hukum juga tidak mengalami
fenomena kedangkalan atau “scandal of banality” tersebut?
72Lihat Ibid hal 637 73Lihat Op.Cit hal 638
95
F. Diskursus mengenai konsep Moral, dan Keadilan 1. Nilai Sebagai Aspek Aksiologis
MANUSIA Mempunyai IDE Kehendak Kegiatan Menimbang Menghasilkan KEPUTUSAN
NILAI (Sesuatu yang Berguna) ETIKA (Pemikiran yang ada dibalik
ajaran tentang baik/buruk)
AJARAN MORAL (ajaran tentang bagaimana manusia Harus hidup dan bertindak agar Menjadi manusia baik)
HUKUM (Tatanan Etis dari Ajaran Moral) 2. Ketakterpisahan Hukum dan Moralitas
Hart74 telah memberi sumbangan yang besar terhadap kajian hukum.
Pendapatnya bahwa hukum merupakan kesatuan aturan primer dan sekunder
telah menerangi ragam hukum yang ada dalam sebuah sistem hukum. Aturan
yang ada dalam sistem hukum bukan hanya terdiri dari hukum yang
membebankan kewajiban, melainkan juga aturan yang memberikan kuasa
74Petrus C.K.L. Bello, Hukum & Moralitas : Tinjauan Filsafat Hukum, Yogyakarta, Erlangga, 2012, hal 98‐110
96
pada lembaga atau orang tertentu untuk mengubah dan menentukan hukum,
serta memutuskan perkara. Dengan pembedaan tersebut, Hart berhasil
menjelaskan arti hukum bagi orang yang hidup dalam sistem hukum tertentu.
Hukum, dengan demikian, bukan saja perintah dari luar yang memaksa
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, melainkan juga
standar otoritatif yang digunakan orang untuk menjustifikasi tindakannya
sendiri dan untuk menilai tindakan orang lain.
Lepas dari sumbangan Hart yang besar pada kajian hukum, ada
beberapa hal dari pemikirannya yang tidak memuaskan dan jika diuji akan
terlihat tidak memiliki dasar. Pertama, klaimnya mengenai hubungan antara
hukum dan moralitas. Hart menyatakan bahwa keduanya tidak memiliki
hubungan mutlak; dan Kedua, klaimnya bahwa pemisahan hukum dan
moralitas akan membantu pengembangan dan kritik atas hukum sementara
penyatuan hukum dan moralitas akan membuat hukum menjadi statis.
3. Moralitas Dalam Teori Hukum Hart
Salah satu tesis yang penting sekaligus kontroversial dari positivisme
Hart adalah tesis pemisahan hukum dan moralitas (separation thesis). Apa
maksud Hart dalam tesis tersebut? Apakah tesis pemisahan itu dimaksudkan
sebagai pandangan mengenai hakikat hukum, bahwa dalam kenyataannya
hukum dan moralitas tidak berhubungan dengan mutlak, atau tesis tersebut
ditujukan sebagai dorongan untuk memisahkan hukum dengan moralitas. Jika
melihat kembali beberapa sanggahannya terhadap pandangan yang
97
menegaskan adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas tampak
bahwa kedua pandangan ini ada dalam pemikirannya.
Hart menyangkal semua jenis argumen yang dibangun untuk
mendukung pandangan yang menyatakan adanya hubungan mutlak antara
hukum dan moralitas. Dalam sanggahannya tersebut, dapat kita lihat bahwa
Hart sama sekali tidak menyangkal bahwa moralitas memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan hukum. Moralitas dapat menjadi kriteria validitas
hukum, memengaruhi penafsiran undang‐undang, dan dapat menjadi
landasan diskresi hakim. Bagaimanapun, fakta‐fakta hubungan hukum dan
moralitas tersebut, bagi Hart sama sekali tidak menunjukkan bahwa keduanya
berhubungan secara mutlak.
Bagi Hart, struktur dasar hukum, sebagaimana yang dijelaskan berkali‐
kali sepanjang tesis ini, adalah dua jenis aturan, primer dan sekunder. Artinya,
di mana ada sistem hukum, maka di situ pasti ada aturan yang mewajibkan
dan aturan yang menjadi kriteria aturan yang mewajibkan, selain aturan yang
memberikan wewenang untuk mengubah dan memutuskan perkara.
Sementara moralitas bagi Hart, karena tidak berhubungan mutlak dengan
hukum, tidak harus ada dalam semua sistem hukum. Karenanya, Hart tegas‐
tegas menyatakan bahwa validitas hukum tidak harus bergantung pada
moralitas.
Di sisi lain, Hart juga memberikan penjelasan mengenai kaitan hukum
dan moralitas yang mengindikasikan hal berbeda.Tesis pemisahan hukumdan
98
moralitas bukan sebagai klaim mengenai hubungan hukum dan moralitas,
melainkan sebuah dorongan untuk sepenuhnya memisahkan moralitas dari
hukum.
Hart mengajukan beberapa argumen untuk mendukung pendapat
bahwa hukum dan moralitas harus dipisahkan secara tajam. Dua pandangan
tentang hubungan hukum dan moralitas dalam pemikiran Hart membawa
konsekuensi yang tidak dikehendaki oleh Hart sendiri. Jika tesis pemisahan
dipahami sebagai seruan untuk memisahkan hukum dan moralitas, maka Hart
menggugurkan pendapatnya sendiri yang menyatakan bahwa hukum
sekurang‐kurangnya harus memiliki isi moral minimum karena jika tidak,
hukum tidak memiliki justifikasi untuk dipatuhi. Selain itu, pemahaman tesis
pemisahan sebagai seruan untuk membuang moralitas dari hukum akan
membuat pemikiran Hart terlihat begitu lemah. Akibatnya, Hart sering
diposisikan sebagai positivis naif yang berpandangan bahwa hukum dapat
dipahami hanya melalui struktur formalnya; hukum harus disterilkan dari
pertimbangan‐pertimbangan moral; atau hukum dan moralitas sama sekali
terpisah.
Dalam pandangan penulis, Dworkin dan Fuller terlalu
menyederhanakan pemikiran Hart, sehingga ia memperlakukan Hart sebagai
pemikir hukum yang terkesan anti‐moralitas. Hukum dan moralitas dalam
pandangan Hart adalah tidak mutlak berhubungan, bukan mutlak tidak
berhubungan. Dengan menyatakan bahwa hubungan hukum dan moralitas
tidak mutlak Hart mengakui keduanya bisa memiliki hubungan.
99
Hart setuju bahwa pertimbangan moral dapat masuk dalam keputusan
hukum, moralitas dapat mempengaruhi hukum, dan keadilan merupakan
aspek penting dalam hukum. Pengakuan ini konsisten dengan tesis
pemisahan sebagai pengakuan bahwa tidak ada hubungan mutlakantara
hukum dan moralitas. Sebaliknya, jika tesis tersebut dipahami sebagai seruan
untuk memisahkan hukum dan moralitas, maka akan bertentangan dengan
beberapa klaim Hart lainnya mengenai hubungan hukum dan moralitas
seperti yang sudah disinggung.
4. Sanggahan Terhadap Tesis Keterpisahan
Hart menyatakan bahwa tidak ada hubungan mutlak (necessary) antara
hukum dan moralitas, dan menganggap hubungan keduanya hanyalah
kebetulan (contingent). Di sini perlu kiranya kita menjelaskan lebih dulu istilah
mutlak dan kebetulan itu sendiri untuk kemudian diterapkan dalam hubungan
hukum dan moralitas.Istilah mutlakdan kebetulan biasa digunakan untuk
menilai kebenaran sebuah proposisi atau pernyataan tertentu.
Proposisi yang mutlak benar adalah proposisi yang tidak mungkin salah,
sementara proposisi yang hanya kebetulan benar adalah proposisi yang benar
namun juga dapat salah. Misalnya, pernyataan 'Bunga mawar adalah bunga'
dan 'Bujangan adalah pria yang belum menikah.'Kedua proposisi ini dianggap
memiliki kebenaran mutlak. Sementara proposisi yang memiliki kebenaran
yang kebetulan berhubungan dengan proposisi berdasarkan pengalaman,
tidak pasti, dan memerlukan pembuktian. Anggapan Hart mengenai adanya
100
garis tegas antara kemutlakan alamiah dan logis ini tentu bukan tanpa
masalah, sebab selama kita berurusan dengan hukum, penarikan batas
keduanya akan sulit dilakukan.
Hukum adalah fenomena sosial yang kompleks sehingga penentuan
mana bagian yang benar‐benar mutlak dan mana kurang atau sama sekali
tidak mutlak, akan selalu kontroversial.
Hart mengakui bahwa sekurang‐kurangnya ada dua alasan untuk
mendukung hubungan mutlak hukum dan moralitas. Pertama, isi minimum
hukum kodrat. Hart menyatakan bahwa sistem hukum tidak bisa (dipahami
melalui strukturformalnya semata; hukum juga memiliki isi yang mutlak.
Hukum harus memuat aturan mengenai kekerasan, kepemilikan, dan
kesepakatan yang mendukung kehidupan orang‐orang yang hidup di
dalamnya.Tanpa itu semua tidak ada alasan untuk mematuhi hukum.Kedua,
kemutlakan hubungan hukum dan moralitas terlihat dari kenyataan bahwa
setiap sistem hukum memberlakukan prosedur yang berasal dari prinsip‐
prinsip keadilan.
Hart mengakui isi minimum hukum kodrat dan benih‐benih keadilan
yang mutlak ada dalam hukum namun kemudian ia menyimpulkan bahwa
hubungan tersebut tidak membuktikan kaitan mutlak hukum dan
moralitas.Keraguannya bersumber pada fakta bahwa kedua hubungan
tersebut tidak serta‐merta memunculkan kewajiban moral untuk mematuhi
hukum (ada banyak motif untuk patuh hukum) dan adanya hubungan
101
tersebut juga tidak mengharuskan sistem hukum sejalan dengan moralitas.
Sistem hukum yang diterapkan secara adil dan mengatur masalah kejahatan,
kepemilikan, dan kesepakatan, juga bisa terjadi pada sistem hukum yang
buruk.Apa yang disampaikan Hart benar adanya. Namun adanya sistem
hukum yang buruk yang menerapkan keadilan administratif dan memuat isi
minimum hukum kodrat juga tidak membuktikan tesis Hart tentang tidak
adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas.
Paling jauh fakta ini menunjukkan bahwa nilai‐nilai yang disumbangkan
isi minimum hukum kodrat dan unsur‐unsur keadilan pada sebuah sistem
hukum itu dapat disertai oleh imoralitas yang serius.Dengan demikian,
pernyataan bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan mutlak berarti
mengakui bahwa dari pengalaman keduanya, dalam segi‐segi yang penting,
memiliki hubungan. Adanya hubungan yang dekat antara hukum dan
moralitas ini lebihtepatdiungkapkan bahwa keduanya berhubungan mutlak
daripada keduanya tidak berhubungan mutlak.
5. Hubungan Mutlak Hukumdan Moralitas
Sebagaimana yang sudah dikemukakan, Hart mengakui adanya
hubungan mutlak antara hukum dan moralitas, yaitu pada isi minimum
hukum kodrat dan keadilan administratif.
a) Hukum Mutlak Mengatur Objek‐Objek Moralitas
Moralitas memiliki objek, beberapa objek itu mutlak menjadi objek
hukum. Dapat dikatakan di mana pun ada hukum, di situ ada moralitas.
102
Baik hukum maupun moral mengatur bidang yang sama, yakni mengatur
hal‐hal besar yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Adalah kodrat
hukum untuk memiliki area normatif yang luas, yaitu area yang berkaitan
dengan perhatian moral mayarakat di mana hukum tesebut dijaiankan. Ini
adalah salah satu hal yang membuat hukum begitu penting; ini juga
menjelaskan kenapa debat normatif tentang legitimasi dan otoritas hukum
memiliki arti penting.
b) Hukum Mutlak Membuat Klaim Moral terhadap Subjeknya
Hukum memberitahu kita tentang apa yang harus kita lakukan,
bukan sekadar apa yang akan mendatangkan manfaat, dan hukum
mengharuskan tindakan kita tidak melawan kepentingan orang lain, kecuali
ketika hukum mengizinkan hal sebaliknya.
Setiap sistem hukum memuat norma‐norma yang wajib diikuti
terlepas apakah norma tersebut sesuai atau tidak dengan kepentingan
orang‐orang yang ada dalam sistem hukum tersebut. Perintah hukum
dengan demikian menjadi alasan kategoris untuk bertindak.
Membebankan kewajiban pada orang lain dalam semangat ini berarti
menjadikan mereka terikat secara moral untuk patuh. Tentu saja dari
kenyataan mutlaknya perintah hukum ini tidak membuat semua klaimnya
bisa diterima secara moral; sangat mungkin imperatif hukum bertentangan
dengan imperatif moral, dan karena itu tidak ada kewajiban moral untuk
menaatinya. Namun demikian kenyataan adanya sesuatu yang kategoris
103
pada hukum menunjukkan citra hukum sebagai otoritas yang sah secara
moral.
c) Hukum Mutlak Mengarah pada Keadilan
Sistem hukum yang secara formal‐prosedural adil dapat menjadi alat
untuk kepentingan yang berlawanan dengan keadilan. Demikian argumen
Hart ketika menyangkal argumen adanya hubungan mutlak hukum dan
moralitas berdasarkan adanya kedekatan antara hukum dan keadilan.
Sistem hukum yang memberlakukan aturan‐aturan yang adil, seperti
diterapkan tidak pandang bulu dan konstan, tidak mutlak berjalan secara
adil, sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Argumen Hart kiranya dapat kita terima. Sebab kenyataannya
administrasi dan prosedur hukum yang adil tidak menjamin terpenuhinya
keadilan. Namun, di sini kita akan melihat hubungan mutlak hukum dan
keadilan secara berbeda. Ketika melihat fungsi hukum untuk membuat dan
memberlakukan kewajiban, sangat masuk akal untuk bertanya apakah
hukum tersebut adil atau tidak, dan ketika kita melihat ketidakadilan, maka
kita terdorong untuk mengubah hukum tersebut. Hukum merupakan hal
yang cenderung atau mengarah untuk dinilai berdasarkan keadilan.
d) Hukum Mutlak Memiliki Risiko Moral
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, hukum dapat digunakan
untuk kepentingan yang berlawanan dengan moralitas. Dengan demikian,
anggapan bahwa hukum memiliki karakter kebaikan tidaklah benar.
104
Kenyataannya, di mana hukum diberlakukan, risiko‐risiko moral baru
muncul sebagai sebuah keniscayaan. Ketika hukum diberlakukan, tidak
hanya akan ada perangkat efisien penindasan, tapi juga akan muncul
keburukan‐keburukan baru: pengasingan komunitas‐komunitas tertentu,
tumbuhnya hierarki baru, dan adanya kemungkinan pelenyapan orang‐
orang yang bertindak melawan ketidakadilan melalui perangkat hukum
seperti yang berulang kali terjadi di negara kita.
Meskipun hukum memiliki keutamaan‐keutamaan yang mutlak, pada
saat yang sama hukum juga memliki kebusukan‐kebusukan, dan semua ini
secaraterbalik menunjukkan kaitan mutlak hukum dan moralitas. Ada
beberapa resiko moral ketika hukum diberlakukan, dan hukum itu sendiri
tidak menyediakan alat untuk mencegah risiko‐risiko tersebut.
6. Moralitas Sebagai Paradigma Hukum
Beberapa keberatan Hart mengenai konsekuensi yang harus
ditanggung ketika kita menganggap hukum ituberkaitan secara mutlak
dengan moralitas, yaitu:
(1) Hukum akan menggantikan moralitas dan mengakibatkan orangakan
menjadikonservatif.
(2) Orang akan mudah melanggar hukum yang bertentangan
denganmoralitaspribadinya. Hart menyebutnya anarkis.
Kita akan menguji klaim pertama, yaitu orang akan jatuh dalam
konservatisme jika menganut pandangan bahwa hukum dan moralitas
105
tidak bisa dipisahkan. Hart berpendapat bahwa jika hukum dan moralitas
lidak dipisahkan secara tajam, maka hukum yang ada akan menggantikan
moralitas dan karena itu akan kebal terhadap kritikperlu diingat Hart
melihat moralitas atau sistem normatif lain yang hanya memiliki aturan
primer memiliki sekurangnya tiga kekurangan, yakni statis, tidak pasti, dan
tidak efisien.
Tanpa kritik, hukum akan menjadi statis. Maka pemisahan hukum
dan moralitas akan membantu orang untuk mengembangkan
hukum.Sebagaimana sudah dikemukakan di awal, argumentasi Hart
mengenai akibat yang akan diterima jika memutlakan hukum dan
moralitas, didasarkan pada pengandaian bahwa mutlak berarti sama.
Hukum sama dengan moralitas, maka orang yang menganggap keduanya
berhubungan mutlak akan memandang hukum sama dengan moralitas
yang akibatnya menjadi konservatif. Namun demikian, sebagaimanayang
sudah dijelaskan sebelumnya, anggapan kita mengenai kemutlakan hukum
dan moralitas selalu berangkat dari pengalaman bagaimana hukum
dipraktikkan dan harapan dari orang‐orang yang hidup di dalamnya, bukan
kemutlakan logis yang diukur berdasarkan prinsip identitas.
Anggapan bahwa hukum mutlak berkaitan dengan moralitas berarti
menegaskan bahwa terdapat hubungan penting antara keduanya,
hubungan yang lebih tepat dikatakan mutlak daripada kebetulan
sebagaimana diusulkan Hart.
106
Dengan penjelasan di atas kita dapat menyatakan bahwa usulan Hart
untuk memisahkan hukum dan moralitas secara tegas menjadi tidak masuk
akal. Sebagai ilustrasi kita bisa melihat, misalnya, apakah tuntutan untuk
mengubah KUHP, berasal dari orang‐orang yang membagi secara tegas
antara mana tuntutan moral dan mana tuntutan hukum? Menurut penulis
justru sebaliknya. Orang yang menuntut perubahan peraturan tersebut
adalah orang‐orang yang menganggap aturan hukum, dalam arti tertentu,
harus selaras dengan aturan moralnya. Mereka melihat sejumlah
ketentuan pidana yang ada dalam kitab undang‐undang tersebut dapat
mencederai keadilan. Jadi, pengaburan batas hukum dan moralitas tidak
serta merta menjadikan hukum mandeg. Justru orang yang berpandangan
bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan yang mutlak memiliki
alasan kuat untuk mengkritik dan mengembangkan hukum.
Selanjutnya, kita akan menguji argumen Hart yang kedua.
Pengaburan hukum dan moralitas menurut Hart akan mengarahkan orang
menjadi anarkis. Sama seperti garis argumen yang ditetapkan Hart
sebelumnya, orang yang menganggap hukum berhubungan mutlak dengan
moralitas adalah orang yang menganggap keduanya identik. Jadi ketika ada
hukum berlawanan dengan moralitas, otomatis orang‐orang ini akan
mengabaikan hukum tersebut dan menjadikan moralitas pribadinya
sebagai hukum. Jika sudah demikian, maka terciptalah anarkisme. Jadi
tujuan lain di balik pemisahan hukum dan moralitas adalah untuk menjaga
tatanan sosial.
107
Argumentasi Hart tentang adanya para anarkis ini sejalan dengan
argumentasi Hart tentang konservatisme, yaitu pemahaman bahwahukum
dan moralitas adalah identik. Sama seperti alasan yang sudah diberikan
sebelumnya, bahwa mengakui kemutlakan hubungan hukum dan moralitas
tidak harus memahami keduanya sama dan sebangun, Pemahaman
mengenai hubungan hukum dan mutlak seperti ini tidak otomatis
mengarahkan orang menjadi anarkis. Selain itu, kekhawatiran Hart
mengenai adanya para anarkis hanya mungkin timbul ketika sistem hukum
sama sekali tidak memiliki saluran yang dapat menampung pandangan
moral, dan dalam masyarakat kontemporer hampir semua sistem hukum
telah memiliki prosedur untuk mengubah dan mem batalkan hukum‐
hukum yang dianggap tidak adil atau berlawanan dengan moralitas, tanpa
harus menjadi anarkis.
Dari uraian di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
pemutlakan hubungan hukum dan moralitas tidak mutlak menjadi
konservatif atau anarkis. Sebaliknya, menganggap hukum berhubungan
mutlak dengan moralitas, berarti mengakui bahwa hukum dalam segi‐segi
yang penting berkaitan erat dengan moralitas dan hubungan yang erat itu
harus menjadi perhatian sehingga hukum tetap berada dalam pengawasan
moralitas.
108
7. Keadilan dan Kepastian Hukum
Dalam praktik di dunia peradilan seringkali ditemukan prinsip keadilan
hukum kalah dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan
keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib
diawali dengan kalimat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” yang mempunyai makna bahwa Hakim harus menjadikan keadilan
sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas
yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum.
Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan,
mulai dari tahap konstantir, tahap kualifikasi dan tahap konstituir. Menurut
Gustav Radbruch75 dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan dan
kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama
daripada kepastian dan kemanfaatan.
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan
kepastian menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain.
Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman
di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik‐praktik yang tidak
berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat
hukum yang mensahkan praktik‐praktik kekejaman perang pada masa itu,
Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan
75Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Bandung, Mandar Maju, 2014 hal 31‐33
109
menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah
demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama,
karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.
Kehadiran corak keluarga Eropa Kontinental merupakan produk historis
yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam
aspek substansi, struktur dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang.
Undang‐undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian,
namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak
fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas
suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan
dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnyavalue
consciousness masyarakat ke dalam suatu undang‐undang secara logis akan
membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang‐undang
tersebut atas bahan pembentuknya (nilai‐nilai masyarakat).
Adalah teori keadilan sang filsuf Aristoteles dalam bukunya
Nicomachean Ethics dan teori keadilan sosial sang filsuf John Rawl dalam
bukunyaA Theory of Justice Pandangan‐pandangan Aristoteles tentang
keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanyaNichomachean Ethics, Politics dan
Rethoric. Lebih khususnya, dalam bukuNicomachean Ethics, buku itu
sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, ''karena
hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan". Yang sangat
110
penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami
dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan
numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit.
Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita
maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di
depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. John
Rawls dalam bukunya A Theory of Justice menjelaskan teori keadilan sosial
sebagai perbedaan sosial dan ekonomis yang harus diatur agar memberikan
manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung
sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah.
8. Perspektif Keadilan dalam berbagai Mahzab
a) Natural Law : KEADILAN Keadilan Umum Keadilan Khusus (Justitia Generalis) Keadilan menurut Keadilan Distributif Keadilan Komutatif Keadilan Vindikatif Kehendak undang‐ (Didasarkan atas (Didasarkan atas (Keadilan dalam Undang jasa‐jasanya) kesamaan tanpa menjatuhkan Memperdulikan hukuman) Jasa‐jasanya)
b) Positivisme : KEADILAN Hukum dan Keadilan Dipercayakan kepada Penguasa (Berada dalam tatanan Hukum, Moral, Rasio dll)
111
c) Interessen Jurisprudence : KEADILAN Perilaku Hakim (Rechtvinding)
d) Realisme Hukum : KEADILAN KESEIMBANGAN KEPENTINGAN PRIBADI KEPENTINGAN BERSAMA
e) Sosiological Jurisprudence : KEADILAN KESEIMBANGAN KEPENTINGAN PENGUASA KEPENTINGAN MASYARAKAT
G. Diskursus mengenai Paradigma Holistik sebagai Basis Pemikiran Hukum Progresif 1. Penelusuran Paradigma Holistik Hukum Progresif
a) Hukum di Tengah Arus Perubahan Sosial
Sebagaimana bila kita membicarakan topik mengenai ilmu
hukum,76 kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran
76 Tampaknya ilmu hukum dalam sejarah kemunculannya mengalami sebuah pertentangan berkepanjangan. Rekam sejarah itu tercatat pada abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari ilmu hukum, J.H.von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurispudenz als Wissenschaft artinya (ketidakberhargaan ilmu hukum sebagai ilmu) menyatakan ilmu hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari ilmu hukum. Hal ini tercermin dari karya dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (ketidak‐ilmiahan ilmu hukum) yang terbit pada tahun 1932. Penolakan kedua tokoh ini terhadap ilmu hukum, yaitu berdiri di atas argumentasi bahwa objek dari ilmu hukum itu tidak seperti ilmulainnya yang memiliki sifat universal‐bersifat lokal. Objek ilmu hukum itu tidak dapat dipegang karena ilmu ilmu hukum selalu berubah‐ubah dan berbeda‐beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Jadi ilmu hukum tidak memiliki landasan
112
objek yang nyaris tak bertepi. Objek dalam studi hukum itu menjadi
begitu luas oleh karena ia bersentuhan dengan sejumlah besar aspek
kehidupan manusia, sebut saja; manusia itu sendiri, masyarakat, negara,
politik, sosial, ekonomi, sejarah, psikologi, filsafat, budaya, agama, dan
aspek yang lainnya.
Hukum itu akan bertemu dengan sejumlah aspek tersebut,
bertemu dalam arti berinteraksi, dan saling mengontrol semua faktor
tersebut.77 Ilmu hukum di berikan tugas untuk mengawal (hukum) yang
terus mengalami perkembangan di tengah arus perubahan sosial sampai
dengan hari ini.78 Dalam kaitannya, maka hukum akan terus menerus
dihadapkan kepada perubahan‐perubahan yang tidak melepaskan diri
terhadap medan ilmu yang selalu bergeser. 79
Hukum merupakan suatu produk hubungan‐hubungan dan
perimbangan‐perimbangan kemasyarakatan, maka di dalam proses
penciptaan dan perkembangannya ia ditentukan oleh sejumlah aspek
keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain. Atas pandangan yang minor terhadap ilmu hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebgaai ilmu yang sesungguhnya. Dalam karnyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan ilmu hukum. Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, ctk. Pertama, In‐TRANS, Malang, 2007, hal 8‐9.
77 Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2006, hal 1
78 Satjipto Rahardjo, Lapisan‐lapisan Dalam Studi Hukum, ctk. Pertama, Bayumedia, Malang, 2009, hal 74
79 Satjipto Rahardjo, Op.,Cit, hal 2
113
hubungan‐hubungan dan perimbangan‐perimbangan tersebut.80
Kenyataan ini mengatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang utuh, dan
menyatu dengan masyarakat serta manusia tempat hukum itu berada. 81
Hukum tidak dapat mengabaikan dan menutup diri terhadap perubahan
fundamental yang terjadi dalam dunia sains. 82
Pada kenyataan yang sangat sederhana sistem masyarakat yang
terus menerus mengalami perubahan tentu akan sangat mempengaruhi
terhadap perjalanan dunia keilmuan. Dengan demikian bila tidak ingin
melihat hukum itu berjalan tertatih‐tatih mengikuti kenyataan, sudah
semestinya memahami hukum menjadi bagian kesatuan utuh dalam
perkembangan revolusi sains. Secara komprehensif Thomas. S.
Khunmengungkapkan;
“Perkembangan sains menjadi proses sedikit yang menambahkan item‐item kemudian satu per satu atau dalam bentuk gabungan, kepada timbunan yang semakin membesar yang membentuk teknik dan pengetahuan sains. 83
Pergeseran sains begitu cepat mengubah pula tatanan berpikir Fritjof Capra, ia mengatakan : “keberhasilan The Thao Of Physics telah mengubah hidup saya secara dramatis. Karir profesional saya telah meluas dari seorang fisikawan (terlibat dalam riset teoretik fisika partikel) menjadi peneliti teori sistem
80Freddy Tengker (penyadur), Sejarah Hukum “Suatu Pengantar”, ctk. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 91
81 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum “Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan”, ctk. Pertama, UMS Press, Surakarta, 2004 hal 46
82 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hal 11 83Thomas, S.Khun, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, ctk. Kelima, Remaja Rosdakarya,l Bandung, 2005, hal 1
114
dan filsuf sains”.84
Suatu perubahan pada tingkat substansi atau metodologi saja
belum dapat dikatakan sebagai perkembangan ilmu, kecuali sekedar
dinamika internal dalam ilmu itu sendiri. Ilmu benar‐benar dapat
dikatakan telah berubah atau berkembang ketika paradigma baru telah
hadir menggantikan paradigma lama.85
Perubahan, pergeseran dan perkembangan ilmu hukum dapat
digolongkan sebagai kemajuan (progresivitas) apabila arah dan kualitas
perubahannya mampu mendekatkan manusia kepada nilai kebenaran
dan keadilan yang sebenar‐benarnya. Sebaliknya, apabila perubahan itu
semakin menjauhkan diri dari nilai kebenaran dan keadilan, dapatlah
disebut sebagai kesesatan, kemunduran bahkan kegagalan. Arah dan
kualitas perubahan ilmu hukum dapat dilihat pada tataran
perubahannya, apakah pada paradigma, substansi ataukah sekedar
metodologi.
Sebagaimana Holmesmengatakan perjalanan yang di tempuh oleh
hukum bukanlah jalur dan ruas logika saja, melainkan juga rel 84Selama dua puluh lima tahun terakhir ini, saya (Fritjof Capra) telah banyak berpergian jauh, membahas berbagai implikasi filosofis dan sosial dari sains, kontemporer dengan kalangan profesional maupun awam di seluruh dunia. Dalam melakukan hal tersebut, saya secara konsisten mengeksplorasi satu tema tunggal; perubahan mendasar pandangan dunia yang muncul dalam sains dan masyarakat menjelang akhir abad 20. Suatu perubahan yang mengungkap tak kurang dari suatu visi baru tentang realitas besera implikasi‐implikasi sosial dari transformasi kultural ini untuk abad‐abad mendatang. Fritjop Capra, The Tao Of Physics “Menyikapi Kesejajaran Fisika Modern dan Mistitisme Timur”, Jalasutra, Yogyakarta, 2000, hal 20
85Satjipto Rahardjo, Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, “Perkembangan Ilmu Hukum; Dari Positivistik Menuju Holistik dan Implikasinya terhadap Hukum Agraria Nasional”, Yogyakarta, 28 Maret 2007, hal 5‐6
115
pengalaman. Pengertian tersebut membawa kita kepada kebutuhan
untuk memahami lingkungan tempat hukum itu bekerja, terutama
dalam dimensi perubahannya dan sekaligus juga kepada permasalahan
mengenai hubungan antara hukum dan perubahan sosial.86
Bahwa adanya perubahan‐perubahan sosialyang fundamental
selalu akan diikuti dengan kehidupan hukumnya. Namun,jika hukum itu
sama sekali kurang atau bahkan tidak dapat memberikan tanggapan
terhadap perubahan‐perubahan sosial yang terjadi, maka hal itu sebagai
petanda bahwa ia tetap mempertahankan dirinya sebagaiinstitusi yang
tertutup. Bila ini terjadi maka hukum akan sulit diharapkanuntuk
menjadi instrumen dalam hal menata kehidupan sosial yang semakin
besar dan kompleks.87
b) Pengaruh dan Watak Kultural Hukum Modern
Watak liberal dari hukum modern, yaitu adanya spirit hegemoni
yang tidak akan membiarkan adanya bentuk tatanan lain (hukum)
kecuali yang dibuat dan dikeluarkan oleh Negara. Karena hukum
modern sangatidentik dengan hukum negara. Dengan begitu hukum
harus dibuat oleh badan khusus, dirumuskan secara tertulis, dan
diumumkan kepada publik. Akibatnya yang tidak memenuhi kualifikasi
tersebut tidak bisa disebut sebagai hukum.Perubahan tersebut sangat
86 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial,ctk.Kedua, Alumni, Bandung, 1983, hal 2. 87 Esmi Warasih, Pranata Hukum "Sebuah Telaah Sosiologis ", ctk.Pertama, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal 9‐10.
116
revolusioner karena secara radikal telah menghilangkan tatanan yang
lama digantikan dengan yang baru dan berbeda sama sekali.
Sejak saat itu, hukum tidak lagi muncul dari dalam proses interaksi
antara anggota masyarakat itu sendiri, melainkan merupakan sesuatu
yang artifisial karena dibuat secara sengaja oleh badan tertentuyang
diberi wewenang khusus oleh negara untuk itu.Sejak saat itulah negara
menghendaki dalam mengoperasikan hukum dengan logika yang
rasional. Dengan begitu hukum tidak lagi semata‐mata tempat untuk
mencari keadilan,melainkan juga menerapkan undang‐undang
berdasarkanprinsip kepastian hukum.
Dalam hal ini, legalisme akan mendorong perkembangan
kapitalisme melalui penciptaan kondisi yang stabil dan dapat
diprediksikan.Tidak heran kemudian paradigma positivisme menjadi
bagian dari hadirnya hukum modem tersebut. Sehingga hukum modern
beserta implikasinya dapat menimbulkan kekakuan dalam pencarian
kebenaran dan keadilan, akan menjadi tidak tercapai karena terhalang
oleh "tembok‐ tembok” prosedural.
c) Hukum Progresif Melampaui Positivisme Hukum
Hukum progresif dalam hal ini mengambil sikap untuk melampaui
paham positivisme hukum, karena positivisme hukum adalah aliran
pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara
117
eksklusif 88 dan berakar pada peraturan perundang‐undangan yang
berlaku saat ini.89Keprihatinan terhadap perkembangan paham
positivisme dalam ilmu pengetahuan membawa kita pada problematika
dunia yang semakin tanpa batas (hyperrealitas)90 sebagai indikasi
terhadap krisis ilmu pengetahuan, khususnya pada masyarakat barat
dimana tempat ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.91Sejak
88 Kata “ekslusif’ diturunkan dari bahasa latin exclusivus yang artinya; tidak menampung atau
memuat hal lain. Jika hukum dan moralitas memiliki otonomi yang eksklusif berarti masing‐ masing memiliki ruang lingkupnya sendiri‐sendiri, dan masing‐masing tidak berhubungan satu sama lain.
89 Positivisme hukum dapat juga dirumuskan sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum juga dirumuskan sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya valid jika berbentuk norma‐norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah “instrument” di dalam sebuah negara. Positivisme hukum mencoba mengapus spekulasi tentang aspek metafisik dari hukum, aliran pemikiran ini, hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap dan didasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Sistem normatif yang berlaku umum ini dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapan pemberlakuannya, yaitu sanksi. E. Sumaryono, Etika Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, ctk.Kelima, Pustaka Filsafat, Yogyakarta, 2002, hal 183.
90 Jean Baudrillard dalam simulation menyatakan bahwa problematika masyarakat masa kini, adalah sebuah masyarakat yang di dalamnya dengan segala sesuatu berkembang ke arah titik ekstrim yang melampaui (beyond) segalanya menuju titik hyper. Dalam bukunya yang lain, ia juga menjelaskan bahwa komunikasi berkembang ke arah melampaui alam komunikasi itu sendiri, ke arah ekstasi komunikasi (hypercomunication). Bahwa dunia virtual yang lahir dari sebuah rahim positivisme telah beranjak ke arah yang melampauitapal batas (realitas) yangseharusnya tidak di lewati, sebab proses hyper tersebut sama artinya dengan menggiring manusia pada jalan kehancuran. Akan tetapi, karena manusia tidak berdaya membendung tapal batas tersebut, manusia tidak punya solusi lain kecuali menikmati dunia yang tengah menuju kehancuran itu sendiri. Astar Hadi, Matinya Dunia Cyber Space, ctk.Pertama, LKiS Yogyakarta, 2005, hal 9‐10. Fritjof Capra menyebutnya sebagai penyakit‐penyakit peradaban. Dikutip dari Fritjof Capra yang berjudul Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (terjemahan dari The Turning Point; Science, Society and Rising Culture), Benteng Budaya, Yogyakarta, 1997, hal 8. Anthony Giddens menjuluki masa kini dengan ciri manufactured uncertainty, yaitu masa yang diliputi dengan ketidakpastian dan mengarah kepada high consequnce risk. Anthony Giddens, Beyond Left and Right, Polity Press, Cambridge, 1984, hal 4.
91 Yang dimaksud dengan krisis pengetahuan di sini bukanlah berkurangnya pengetahuan, sebab dewasa ini pengetahuan justru bertambah secara kualitatif maupun kuantitatif. Krisis ini lebih menyangkut menyempitnya pengetahuan akibat reduksi‐reduksi metodologis tertentu yang disertai dengan fragmentasi dan intrumentalisasi ilmu pengetahuan, suatu “krisis” terjadi bila peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Misalnya,
118
hadirnya positivisme dalam ilmu pengetahuan, hal itu dianggap tidak
memadai untuk memahami manusia dan masyarakat. Bahkan tidak
jarang para filsuf mengkritik positivisme sebagai akar dehumanisasi dan
dominasi totaliter modern.92
Positivisme yang menandai krisis ilmu pengetahuan Barat itu
sebenarnyamerupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat
Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke‐19 dengan perintisnya
Auguste Comte.93 Positivisme memiliki pretensi untuk membangun
kembali tatanan objektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika,
melainkan pada metode ilmu‐ilmu alam; dan positivisme menjadi
saintisme. Saintifikasi ini menjalar ke berbagai bidang hidup dan
akhirnya mereduksi manusia pada doktrin objektifnya.94
Tumbuh kembangnya positivisme tidak terlepas dari paradigma
Rene Descartes dan Isaac Newton yang sering disebut sebagai Cartesian
cara berfikir yang lama telah ditinggalkan, tetapi cara berfikir yang baru belum seluruhnya terintegrasi dalam diri manusia dengan segenap kemanfaatannya. F. Budi Hardiman, Melampaui Postivisme dan Modernitas, ctk. Kelima, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal 50‐51.
92 Positivisme adalah jiwa modernitas. Karena itu, kritik atas modernitas harus dimulai dari kritik atas positivisme dengan upaya‐upaya untuk menemukan kekhasan metodologi ilmu‐ilmu sosial kemanusiaan, lbid.
93 Meski dalam beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa segi bersesuaian dengan positivisme. Lebih tepatlah bila dipandang positivisme merupakan peruncingan trend pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui Rasionalitas dan Empirisme. Ibid.
94 Positivisme adalah suatu penyempitan atau reduksi pengetahuan. Reduksi ini sudah terkandung dalam istilah “positif’ yang berdasarkan fakta objektif. Dengan lebih tajam lagi, Comte menjelaskan istilah “positif’ itu dengan membuat distingsi; antara yang “nyata” dan yang “khayal”, yang “pasti” dan yang “meragukan”, yang “tepat” dan yang “kabur”, yang “berguna" dan yang “sia‐sia”, serta yang mengklaim memiliki “kesahihan relatif’ dan yang mengklaim: memiliki “kesahihan mutlak”. Ibid.
119
Newtonian. Paradigma CartesianNewtonian ini,95disatu sisi berhasil
mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan
manusia, namun di lain sisi mereduksi kompleksitas dan kekayaan
kehidupanmanusia itu sendiri.96
Paradigma Cartesian‐Newtonian memperlakukanmanusia dan
sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut dasar konseptual
objektivisme,97determinisme,98 reduksionisme,99 material‐isme
saintisisme,100instrumentalisme,101dualisme102 dan mekanistik.103Hal ini
95 Paradigma Cartesian‐Newtonian terbentuk oleh hasil pemikiran beberapa ilmuan abad
pertengahan yang dipicu oleh temuan Nicolas Copernicus (1473‐1549) tentang Sistem Heliosentris yang menolak faham Geosentris yang dianut oleh masyarakat pada kala itu. Paham Heliosentris dapat dianggap sebagai awal pembentukan paradigma baru yang pada akhirnya menjelma menjadi paradigma Cartesian‐Newtonian. Paham Heliosentris bahwa bumi dan planet lainnya’ beredar mengelilingi matahari. Bumi bersama dengan sekian planet mengelilingi sebuah bintang kecil di ujung galaksi. Sedangkan paham Geosentris bahwa matahari dan benda langit lainnya menggelilingi bumi sebagai pusat alam semesta. A. Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal"Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru ", ctk.Pertama Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 40 dan 45.
96 Salah satu varian radikal dari paradigma Cartesian‐Newtonian adalah positivisme. Paradigma positivisme menempatkan bahasa dan metode sains fisika sebagai metode ilmiah satu‐satunya bagi seluruh kegiatan keilmuan termasuk ilmu‐ilmu sosial dan budaya. Menurut Fritjof Capra cara pandang positivisme ini dikenal dengan reduksionisme yang telah tertanam sedemikian dalam pada kebudayaan modem sehingga sering diidentifikasi sebagai metode ilmiah scientifie method). Capra menyebut tokoh‐tokoh revolusi ilmiah seperti Francis Bacon, Copemicus, Galilea Descartes, dan Newton sebagai pembentuk cara pandang ilmiah yang mekanistik dan reduksionis; tersebut (selanjutnya disebut dengan paradigma Cartesian‐Newtonian). Husain Heriyanto Paradigma Holistik; "Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Shadra dan Whitehead", ctk. Pertama, Teraju, Jakarta, 2003, hal 2‐3. Dalam tradisi pemikiran kelompok positivis berpendapat bahwa terdapat realitas di luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami. Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, ctk.Pertama. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001, hal 11
97 Paham yang meyakini kebenaran itu bersifat objektif, tidak tergantung kepada pengamat dan cara mengamati. Ibid
98 Paham ini memandang alam sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol berdasarkan hukum‐hukum yang deterministik (pasti) sedemikian rupa sehingga memperoleh kepastian setara dengan kepastian matematis. Ibid
99 Paham yang memiliki sebuah pandangan tunggal dan linier terhadap realitas. Ibid 100 Paham ini merupakan materialisme ilmiah dengan cara pandang menempatkan metode
ilmiah yang eksperimental sebagai satu‐satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal.
120
yang menjadi penyebab paradigma CartesianNewtonian berdiri kokoh
dalam mengilhami paham positivisme, dan secara perlahan juga
mempengaruhi ilmu hukum.
Dasar konseptual paradigma Cartesian‐Newtonian tersebut, akan
bekerja dengan memilah‐milah, mengisolasi, dan mendistorsi keaneka‐
ragaman dan dinamika realitas. Akibatnya, realitas yang plural dan
saling terkait antar satu sama lainnya tidak mampu dipersepsi dan
digambarkan oleh paradigma Cartesian‐Newtonian. Karena pemahaman
yang reduksionis terhadap realitas juga akan berimplikasi kepada
penanganan dan pemecahan masalah yang tidak memadai dan
cenderung simplistik, yang pada gilirannya membawa persoalan makin
kompleks, rumit dan sulit terpahami.
Dari alur sejarah dapat ditarik pengertian, bahwa mazhab
positivisme hukum lahir sebagai respon penolakan terhadap ajaran
hukum alam104 penolakan mazhab positivisme terhadap hukum alam
diimplementasikan dengan mengedepankan rasio. Dengan dasar rasio,
Ibid
101 Paham dengan modus berfikir melihat kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauhmana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan‐kepentingan material dan praktis. Ibid
102 Paham ini menempatkan adanya keterpilahan yang dikotomis sebagai konsekuensi alamiah dari prinsip kebenaran dan universal, yaitu prinsip (jelas) dan (terpilah). Ibid.
103 Paham yang mengatakan, bahwa realitas dapat dipahami dengan menganalisa dan memecah‐mecahkan menjadi bagian‐bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Ibid
104 Salah satu pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Pada umumnya penganut hukum alam memandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia dan perhubungannya sesama manusia. Achmad Ali, Menguak TabirHukum. ctk.Pertama,Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hal 274‐275.
121
mazhab positivisme hukum menilai bahwa ajaran hukum alam terlalu
idealis dan moralis, tidak memiliki dasar, dan bentuk dari penalaran
yang palsu.105
Pemikiran positivisme dalam ilmu hukum telah menimbulkan
semacam pelembagaan cara pandang yang penuh dengan keteraturan
yang sifatnya pasti. Secara kasuistik, ketika hakim menangani suatu
kasus, hakim akan mengidentifikasikan prinsip‐prinsip hukum yang
relevan, dan akan menerapkannya secara deduktif, sehingga diharapkan
ketentuan hukum tersebut akan menuntun penyelesaian perkara
menurut prinsip asas kepastian hukum.
Secara lebih kongkrit masuknya paham positivisme hukum dapat
dilihat dalam KUHP (Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana), baik dari
segi tujuan diundangkannya KUHP tersebut bagi perlindungan atas ke‐
jahatan dan pelanggaran, maupun sejarah digunakan suatu hukum
tertulis dalam hukum pidana untuk mencegah adanya kesewenang‐
wenangan penguasa. Pasal 1 ayat (1) KUHPjelas menyuratkan adanya
persyaratan yang tidak memungkinkan adanya kejahatan dan
pelanggaran lain di luar dari aturan yang tertulis untuk dilarang.106
105 Satjipto Rahardjo, Op„ Cit, hal 162. 106 Pasal 1 ayat (1) yang isinya ; “tiadak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali
berdasarkan ketentuan pidana menurut undang‐undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri. Pasal 1 ayat (1) ini sering disebut juga sebagai asas legalitas, yang melegalisasi adanya penghukuman bagi pelanggar setiap larangan yang sudah dituliskan. Asas legalitas itu mengandung tiga pengertian, yaitu;pertama, tiada suatu perbuatan pun yang dilarang (diharuskan) dan diancam dengan pidana, kalau hal itu sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan undang‐undang. Kedua, untuk
122
Aplikasi paradigma positivisme hukum dalam praktek, lebih
mengutamakan prosedur atau hukum acara, maka tidak heran akan
menghasilkan keadilan prosedural yang belum tentu merefleksikan
keadilan yang sesungguhnya. Misalnya, fenomena kasus peradilan
Nenek Minah, Peradilan Prita Mulyasari sampai kasus korupsi BLBI
merupakan satu dari sekian kasus lain, yang memberikan gambaran
betapa sulitnya menemukan kebenaran maupun keadilan yang
subtansial dalam kasus‐kasus tersebut.
d) Paradigma Holistik Hukum Progresif
Kegagalan paham positivisme hukum dalam memandu kehidupan
manusia, disebabkan oleh modus berfikirnya yang secara konsisten
mempertahankan pengaruh reduksionisme, determinisme dan
objektivisme dalam ilmu hukum. Dengan menampilkan hukum sebagai
institusi sosial,107merupakan keinginanuntuk menangkap serta
memahami ilmu hukum secara lebih utuh. Berawal dari itu, muncul
sebuah tawaran paradigma holistik108 yang secara bersamaan juga
menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi, dan ketiga, ketentuan‐ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Niken Savitri, HAM Perempuan; "Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP ”, ctk.Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 62‐64.
107 Sebagaimana dikatakan hukum sebagai institusi sosial, adalah upaya untuk mengidentifikasi dan mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi‐fungsi sosial dalam dan untuk masyarakat, seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat, dalam pemahaman hukum sebagai institusi sosial itu, dibicarakan juga hubungan hukum dengan kekuasaan dan lain‐lain. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ctk.Ke‐8, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal 117.
108 Paradigma dalam bahasa inggris paradigm,berasal dari bahasa Yunani paradiegma yang terdiri dari dua suku kata para dan dekyani. Suku kata para berarti disamping, disebelah. Sedangkan, deykani artinya memperlihatkan, maksudnya model contoh, erketipe, ideal.
123
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan hukum
progresif.Kegagalan seperti itu tampaknya tidak hanya dialami di bidang
studi hukum, melainkan juga di banyak tempat. Misalnya, dalam ilmu
psikologi modern telah menunjukkan kegagalannya untuk meyajikan
gambar tentang manusia secara utuh, karena psikologi modern
hanyamenampilkan gambar tentang kepingan‐kepingan jiwa manusia.
Oleh sebab itu muncul psikologi Abraham Moslow yang disebut human
psychology.
Perkembangan ilmu sekarang yang bergerak menuju suatu pende‐
katan yang bersifat holistik dibuktikan dari salah satu karya Edward
O.Wilson melalui bukunya yang berjudul Consilience; The Unity of
Knowledge (1998).109Wilson mengusulkan dan mengembangkan
wawasan baru dalam ilmu pengetahuan, yaitu tentang penyatuan atau
“pandangan holistik tentang pengetahuan”, yang disebut olehnya
dengan istilah consilience.
Consillience pada dasarnya merupakan konsep yang luas, sebagai‐
mana diperlukan upaya menarik benang merah untuk melihat
Secara harfiah paradigma sering cara pandang maupun dasar konseptual. Satjipto Rahardjo, Op.,Cit, hal x. Paradigma dapat juga diartikan sebagai kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakat. Lili Rasjidi & I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, ctk. Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 106.
109Edward O. Wilson, seorang molekuler yang sangat terpandang di bidangnya. Bagi Wilson ilmu biologi merupakan pusat dari seluruh upaya yang menghantarkannya dalam menemukan model penyatuan. Anthon F. Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif‐Transgresif, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 35.
124
hubungan‐hubungannya dalam ilmu pengetahuan. Paradigma holistik
Wilson terletak pada model consillience yang mengandung nilai model
penyatuan dan model tersatukan.Kedua model ini seakan terlihat sama,
namun pada dasarnya memiliki perbedaan pengertian satu sama
lainnya. “Model penyatuan” menempatkan manusia sebagai aktor yang
dominan terhadap realitas. Manusia pada posisi ini melakukan berbagai
upaya yang bersifat aktif untuk mengintegrasikan dirinya terhadap
realitas kehidupannya, tugas ini meliputi usaha untuk menghilangkan
aspek‐aspek yang dapat mengganggu usahapenyatuan tersebut.
Sebagaimana model penyatuan Wilson yang berpusat pada
optimalisasi peran manusia dalam melakukan konstruksi‐realitas dalam
menjaga fitabilitas kehidupan secara utuh. Maka diktum penyatuan
Wilson dapat ditarik ke dalam maksim hukum progresif “hukum untuk
manusia, dan bukan sebaliknya”. Selanjutnya, “model tersatukan”
Wilson merupakan upaya untuk lepas dari kungkungan pengetahuan
modern (paham positivisme), yang sangat di pengaruhi oleh paradigma
Cartesian‐Newtonian dengan modus berfikir reduksionisme,
determinisme dan objektivisme.
Wilson menolak cara kerja sains Cartesian‐Newtonian yang
menempatkan adanya keterpilahan yang dikotomis terhadap objeknya
sebagai konsekuensi alamiah dari prinsip kebenaran dan universal, yaitu
prinsip (pasti) dan (terpilah). Hal ini dikatakan oleh Wilson bukan
125
kebenaran, melainkan hanya bangunan artifisial. Selanjutnya dengan
nada yang sama Wilson, Capra, dan Shadra memberikan kritik terhadap
keterpilahan (pengkotakan) antara ilmu‐ ilmu sosial dan ilmu‐ilmu alam,
yang dinyatakan sebagai berikut;
“Dewasa ini, banyak permasalahan di dunia tidak dapat dipecahkan oleh disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Kita tidak dapat memperoleh gambaran yang utuh dan berimbang apabila bertolak dari disiplin ilmu yang terpisah‐ pisah. Oleh karena itu batas‐batas antardisiplin ilmu harus dicairkan (Wilson).Fluidasi (pencairan) adalah suatu ungkapan yang menunjukkan bagaimana seluruh komponen paradigma holistik secara bersama‐sama mendekon‐ struksi konsep‐konsep dan term‐term yang terkandung pada paradigma Cartesian‐Newtonian (Mulia Shadra).Hal ini perlu dilakukan karena dunia tidak lagi dilihat sebagai blok‐blok yang terpisah satu dari yang lain, melainkan sebagai satu kesatuan atau jaringan kesatuan yang padu (Capra)”.110
Pernyataan tersebut bermakna, bahwa paradigma holistik jauh
berbeda dengan paradigma Cartesian‐Newtonian. Berfikir holistik berarti
tidak terisolasi, tidak tertutup, dan tidak terkurung, melainkan
berinterkoneksi dengan subjek‐subjek lain di alam raya.Dengan kata lain
paradigma holistik “model tersatukan” Wilson mempunyai karakteristik,
pertama; interkoneksitas sebagai antitesa dari reduksionisme‐mekanistik,
kedua, probabilisme sebagai jawaban dari kelumpuhan determinisme,
dan ketiga, kontekstualisme sebagai antitesa dari objektivisme pada
paradigma Cartesian‐Newtonian yang menjadi landasan berfikir paham
positivisme hukum.
Karakteristik interkoneksitas memandang alam semesta sebagai
110 Satjipto Rahardjo, Op.,Cit, hal 10
126
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Setiap “bagian” terkait dengan
“bagian lain” dalam jejaring interkoneksitas yang dinamis. Implikasinya
karakteristik ini sangat mempengaruhi para filsuf hukum
untukmenempatkan hukum sebagai institusi dengan motode terbuka,
tidak mengisolasi diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang
lain.
Pernyataan itu sejalan dengan studi hukum yang memasuki abad
ke‐20, diawali dengan perkembangan atau perubahan yang sangat
menarik, yaitu studi hukum mulai ditarik keluar dari batas‐batas ranah
perundang‐ undangan.Konsep “model tersatukan” Wilson dengan
karakteristik interkoneksitas memberikan legitimasi pada gagasan hukum
progresif, bahwa hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan
dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
Dengan demikian, bahwa hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom
dan selesai, melainkan merupakan realitas dinamis yang terus bergerak,
berubah, membangun diri, seiring dengan perubahan kehidupan
manusia.
Keberadaan karakteristik probabilisme menegaskan bahwa alam
semesta tidaklah diatur oleh hukum‐hukum yang bersifat deterministik
sebagaimana yang diajarkan oleh paradigma Cartesian‐Newtonian.
Secara konsisten paham determinisme selalu ingin melihat hukum
bergerak secara pasti dan teratur (keteraturan). Keterbatasan paham ini
127
hanya tertuju kepada hukum sebagai suatu sistem positif dan rasional,
tanpa melihat bekerjanya hukum yang digerakkan oleh perilaku sosial
penegak hukum dan masyarakatnya. Sehingga paham determinisme
dalam hukum tidak begitu memperhatikan kompleksitas hubungan‐
hubungan masyarakat yang bersifat cair (fluid).
Pemahaman holistik “model tersatukan” Wilson melihat
probabilitas masyarakat dengan segala kompleksitasnya memberikan
pengertianyang berarti pada “maksim” gagasan hukum progresif, bahwa
orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku
(rules and behavior). Di sini hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku
namun juga sekaligus sebagai aspek peraturan.
Peraturan (rules)akan membangun suatu sistem hukum
positifyang logis dan rasional, orientasinya ialah hukum hadir sedapat
mungkin harus mendatangkan kebahagiaan bagi rakyatnya dan tidak
semata‐mata menghasilkan keadilan prosedural. Sedangkan aspek
perilaku (behaviour) atau manusia akan menggerakkan peraturan dan
sistem yang telah (akan) terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun
disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan
masyarakatnya.Sebagaimana aspek perilaku akan memahami hukum
sebagai institusi sosial, adalah upaya untuk mengidentifikasi dan
mengamati hukum lebih daripada suatu sistem peraturan belaka.
128
Pertaruhan terakhir paradigma holistik “model tersatukan” Wilson
dengan karakteristik kontekstualisme menyatakan bahwa “kebenaran”
tidaklah bersifat objektif. Kebenaran sangat tergantung kepada pengamal
dan cara mengamatinya. Artinya, bersifat kontekstual bahwa tidak ada
kebenaran yang absolut karena semuanya tergantung kepada cara
pandang atau paradigma yang kita anut.
Penyataan di atas akan lebih paham ketika kita hadapkan pada
perkembangan ilmu pengetahuan. Ketika kebenaran itu bersifat mutlak,
niscaya tidak mungkin ada perkembangan ilmu pengetahuan yang
semakin hari terus berubah. Karena ilmu pengetahuan di bangun dari
kegagalanyang satu ke kegagalan yang lain,maka kebenaran pun menjadi
relatif. Hal ini bukan berarti bahwa kebenaran yang sebenar‐benarnya itu
tidak ada. Kebenaran seperti itu tetap ada, melainkan ia akan selalu
berada di luar kemampuan ilmu pengetahuan untuk menunjukkannya.
Dapat disimpulkan subjektivitas kebenaran akan selalu berjalan dinamis.
Paradigma holistik “model tersatukan” Wilson dengan
karakteristik kontekstualisme, dalam hal ini memiliki korelasi yang positif
terhadap gagasan hukum progresif yang mengatakan bahwa terdapat
cara berhukum yang menggunakan paradigma pembebasan. Hukum
progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu
membebaskan diri dari tipe berfikir legal‐positivis. Dengan demikian
paradigma pembebasan harus mampu menjadi bagian yang tidak
129
terpisahkan dari penegak hukum untuk tidak sekedar menjadi tawanan
undang‐undang.Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Satjipto
Rahardjo, ia melakukan analisa tentang perilaku hakim dengan
mengadopsi pendapat Holmesmenarik untuk diperhatikan, sebagai
berikut;
“Sekalipun putusan hakim harus didasarkan undang‐undang, tetapi mengakui adanya faktor atau unsur perilaku itu akan membebaskan hakim sebagai tawanan undang‐undang. Inilah yang menjadi esensi dari diktum yang sangat terkenal, yaitu “the life of law has not been logic, but experience”. Logika hukum yang dibawa terlalu jauh akan menjadikan hakim sebagai tawanan undang‐undang, sedang perilaku (experience) akan membebaskannya.”111
2. Landasan Konseptual Hukum Progresif
Kehadiran Hukum progresif adalah bagian dari proses searching for
the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Untuk
mengetahui lebih jauh mengenai landasan konseptual gagasan hukum
progresif, ada baiknya terlebih dahulu dalam bagian ini menjelaskan
kosakata tekhnis yaitu kata progresif yang agak cenderung asing bagi kita.
Kamus Webster New Universal Unabridged Dictionary, menerangkan
bahwa progresivisme mempunyai kata dasar progressive, yang berasal dari
kata progress, yang berarti moving forward onward (bergerak ke arah
depan), dapat dilacak lagi ke dalam dua suku kata yaitu pro(before yang
artinya sebelum) dan gradi(to step yang artinya melangkah).112Setidaknya
111 Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif; Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, ctk.Pertama, LSHP, Yogyakarta, 2009, hal 387. 112 Mahmud Kusuma,Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigmatik atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, ctk.Pertama, LSHP, Yogyakarta, 2009, hal 30.
130
memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif bertolak
dari pandangan “kemanusiaan” bahwa pada dasarnya manusia adalah baik.
Dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang
kuat.
Semangat progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi
yang bermoral. Jadi, asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat
dasar hukum adalah untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk nilai‐nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai
keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.Semangat hukum
progresif juga berbanding lurus dengan pendapat Muhammad Imrah dalam
tulisannya yang berjudul Islam Progresif; Memahami Islam sebagai
Paradigma Kemanusiaan, ia mengatakan;
“Islam adalah agama yang bersumber dari Tuhan (Allah Swt) dan berorien‐tasi pada paradigma kemanusiaan. Oleh karenannya, Islam harus menjadi solusi bagi problem kemanusiaan. Sebagaimana dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dijelaskan secara jelas dalam Al‐Qur’an. Dalam Al‐Qur’an Allah Swt berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik diutus untuk manusia, menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah Swt". (QS. Ali ‘Imran (3):110)”.113
a) Hukum Sebagai Institusi yang Dinamis
Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum
sebagai institusi yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif
percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi (law as a process, law in the making).
113 Zuhairi Miswari & Noviantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam Sebagai Ajaran
Rahmat, ctk.Pertama, LSIP, Jakarta, 2004, hal 13.
131
b) Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia,
melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif harus lebih
di dahulukan ketimbang keadilan prosedural.
c) Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan
perilaku (rules and behavior). Di sini hukum ditempatkan sebagai aspek
perilaku namun juga sekaligus sebagai aspek peraturan. Peraturan akan
membangun suatu sistem hukum positif yang logis dan rasional.
Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan
dan sistem yang telah (akan) terbangun itu.Satjipto Rahardjo mengutip
ucapan Taverne,
“Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”.
d) Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berfikir, asas dan
teori hukum yang legalistik‐positivistik. Dengan ciri “pembebasan” itu,
hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.
Dalam konteks demikian, untuk melakukan penegakan hukum, maka
perlu dilakukan langkah‐langkah kreatif, inovatif, dan bila perlu
132
melakukan “mobilisasi hukum”114 maupun “rule breaking”.Satjipto
Rahardjo memberikan contoh aksi penegak hukum progresif sebagai
berikut.
Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjiptodengan inisiatif
sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan
Mahkamah Agung (MA). Kemudian dengan berani Hakim Agung Adi
Andojo Soetjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar
Pakpahantidak melakukan perbuatan makar pada era rezim
Soehartoyang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan
tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilagadalam kasus Tempo,
ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada
Tempo.115Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti
menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus
tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan”
serta tidak semata‐mata berdasarkan “logika peraturan” saja.
114 Karena hukum progresif bertumpu pada dua sumbu yaitu perilaku dan peraturan, dan
selama ini supremasi hukum dinilai gagal karena hanya bertumpu pada peraturan, maka perlu siasat dengan “memobilisasi hukum”. Pertama, mobilisasi hukum dimulai dengan mengandalkan pada keberanian untuk melakukan intepretasi hukum secara progresif dari pada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh peraturan‐peraturan hukum. Kedua, hukum progresif sangat bertumpu pada SDM dalam hukum, oleh karenanya sumbangan pendidikan hukum sangat penting. Ketiga, hukum progresif mengubah kultur dalam penegakan hukum, yaitu mengintrodusir kultur kolektif. Keempat, hukum progresif mengembangkan prinsip reward and punishment. Hal ini dipandang penting karena perlakuan yang sama terhadap mereka yang berprestasi dan inovatif dengan yang tidak adalah sangat menyakitkan dan menyurutkan semangat untuk menjalankan pekerjaan dengan bersih dan lebih baik. Yudi Kristiana, Op.,Cit, hal 39.
115 Mahmud Kusuma, Op., Cit, hal 33.
133
e) Pengaruh Mahzab : Sebuah Pendekatan Interdisipliner
Hukum Progresif menggunakan pendekatan interdisipliner, ia lahir
di tengah hukum yang beraliran sosial, yang menghantam paradigma
hukum dogmatik. Ia dalah jalan tengah dari berbagai paham teori
hukum baik yang berpaham dogmatik maupun beraliran sosiologis.116
Bagan 2.14
HUKUM ALAM INTERESSEN JURISPRUDENCE LEGAL REALISME
HUKUM PROGRESIF
SOCIAL ENGINEERING RESPONSIF LAW
Ontologis : Norma (Teks) Epistemologis : Deduktif – Hermeneutik Aksiologis : Keadilan Substantif
1) Mahzab Hukum Alam 117 Bagan 2.15
ALAM SELALU MENGAJARKAN KESEIMBANGAN DAPAT DIUKUR MELALUI MORAL ORIENTASI PADA
KEBAIKAN KEADILAN UNTUK MENGERTI DAN MENCAPAI
116Op. Cit 253 117 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011,hal. 142
134
2) Interessen Jurisprudenz
Teori ini dikualifikasikan sebagai penemuan hukum (rechtvinding).
Artinya seorang hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas
kaidah‐kaidah yang telah ditentukan, dengan menerapkannya secara
kreatif pada tiap‐tiap perkara konkret. Para hakim lebih mengindahkan
kepentingan kepentingan yang dipertaruhkan dalam tiap‐tiap perkara,
untuk mencari suatu keseimbangan di antara kepentingan‐kepentingan
tersebut. Sudah kentara, bahwa seorang hakim dalam hal ini harus
memiliki ketrampilan yang istimewa. Dibutuhkan hakim yang kreatif. 118
3) Legal Realisme (Pragmatic Legal Realism) 119 Bagan 2.16
HUKUM TIDAK STATIS
HUKUM BERGERAK TERUS MENERUS SESUAI DENGAN PERKEMBANGAN JAMAN DAN DINAMIKA MASYARAKAT
REALISME HUKUM HUKUM ADALAH ALAT (PRAGMATIC LEGAL REALISME) UNTUK MENCAPAI TUJUAN SOSIAL
HARUS ADA PEMISAHAN SEMENTARA ANTARA DAS SOLLEN DAN DAS SEIN UNTUK KEPENTINGAN PENYELIDIKAN AGAR OBSERVASI NILAI BEBAS DARI PENGARUH KEPENTINGAN PENGAMAT
HUKUM ADALAH APA YANG DILAKUKAN PENGADILAN DAN ORANG‐ORANGNYA
118 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius Press, 1995, hal. 125 Tokoh yang mengutamakan Interessenjurisprudenz adalah pertama‐tama Rudolf von Jhering dalam tahap hidup ilmiahnya yang kedua. Ajaran yang sama umumnya diakui oleh para penganut sosiologi hukum. Kepentingan‐kepentingan masyarakat main peranan penting dalam pembentukan peraturan hukum dan putusan hakim. 119 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011,hal. 208
135
4) Sociological Jurisprudence (Social Engineering Roscoe Pound)
Aliran ini lahir dari proses dialektika antara yang sebagai Tesis adalah
aliran Hukum Positif dan yang sebagai Antitesis adalah Mahzab Sejarah yang
kemudian menghasilkan Sintesis yang berupa Sociological Jurisprudence.120
Sintesis Sociological Jurisprudence dimaksudkan berusaha menekankan
adanya sisi hukum dan sisi masyarakat secara bersamaan. Selain itu
dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action)
yang dibedakannnya dengan hukum yang tertulis (law in the books).
Bagan 2.17
ALIRAN HUKUM POSITIF MAHZAB SEJARAH HUKUM : PERINTAH PENGUASA HUKUM : TIMBUL & BERKEMBANG BERSAMA MASYARAKAT LEBIH MEMENTINGKAN AKAL LEBIH MEMENTINGKAN PENGALAMAN
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE: MENGANGGAP KEDUANYA SAMA PENTINGNYA
HUKUM : MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA KEPENTINGAN PENGUASA
DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT
KESEIMBANGAN ANTARA HUKUM FORMAL DENGAN HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT
120Ibid hal 196
136
5) Philipe Nonet & Philip Selznick ( Responsif Law )
“in this perspective good law should offer something more than
procedural justice. it should be competent as well as fair, it should help define
the public interest and be committed to the achievement of subtantive justice”
( Nonet‐Selznick ).121
( dalam perspektif ini hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih
dari keadilan prosedural. itu harus kompeten serta adil, ini akan membantu
menentukan kepentingan umum dan berkomitmen untuk pencapaian keadilan
substantif ).
121Philippe Nonet &Philip Selznick,Law and Society in Transition:Toward Responsive LawNew York:Harper Colophon Books, 1978, hal 84
137
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kekacauan Epistemologis Yang Terjadi Pada Pemikiran Legal Positivistik
Indonesia adalah sebuah negara yang besar serta kaya akan budaya dan
adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah
memiliki kehidupan sosial yang berbeda‐beda, pula begitu juga pranata
norma‐norma yang ada. Norma‐norma yang ada berupa hukum adat yang
masih hidup ditengah‐tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum
datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam
dunia hukum.
Positivisme hukum telah menutup ruang gerak bagi hukum adat dan
hukum kebiasaan‐kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk
dapat berlaku ditengah‐tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa
living law terhimpit oleh undang‐undang yang dibuat oleh penjajah dan
penguasa, sehingga perlawanan‐perlawanan terhadap hukum dan putusan
pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang
terkristal dalam undang‐undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari
nilai‐nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat. Di lain sisi,
perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk
mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti
perkembangan masyarakat. Hukum dituntut untuk selalu bisa menjadi
138
pedoman dan solusi terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat
tersebut, sedangkan didalam aliran positivisme hukum terkungkung dalam
sebuah prosedur yang rumit sehingga untuk melakukan sebuah pembaharuan
hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Alhasil hukum yang
ada tidak mampu untuk menjawab tantangan‐tantangan zaman.
Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk
memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi
kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata
utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan
demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan
positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata
pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear,
mekanistik dan deterministik.
Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya
sekedar media profesi. Karena sifatnya yang deterministik, aliran ini
memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya
masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum
demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme
hukum. Aliran positivisme telah banyak menuai kritik dari para ahli hukum.
Hukum terpisah dari norma‐norma yang hidup didalam masyarakat karena
yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh
139
penguasa sehingga terjadinya deviasi nilai‐nilai keadilan, antara keadilan
menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat. Sampai saat ini corak
jurisprudence di Indonesia masih belum begeser dari corak positivisme
hukum, sebagai akibat dari kolonisasi Belanda.
Dalam perspektif keilmuan, teori‐teori positivisme dengan metode
analitisnya, sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan, oleh
karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai
objek kajian kasus tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian
pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran berjalan secara amat pragmatik
atau fungsional demi memecahkan kasus belaka, sehingga hukum perdata,
dagang, pidana, dan semacamnya, hanya membentuk individu yang pandai
menghafal pasal‐pasal di luar kepala. Profesi memang sangat memerlukan
dukungan atau legitimasi seperti itu, yakni yang dapat melihat hukum itu
sebagai bangunan rasional dan memiliki metode rasional pula. Meskipun
secara teoretik selalu berorientasi untuk mengarahkan perubahan, akan
tetapi dalam arah praksis, hukum memiliki karakteristik “selalu tertinggal
dengan objek yang diaturnya.”
Dari titik ini, tampak betapa letak keterbatasan hukum dengan
mainstream dogmatika hukum. Positivisme sebagai sebuah mainstream
menempatkan dirinya dalam posisi yang sulit dibela oleh karena pandangan‐
pandangannya terhadap hukum yang sangat simplistis jika harus berhadapan
140
dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit. Artinya,
positivisme hanya bisa melihat persoalan secara “hitam putih”, sementara
problem yang dihadapi dapat menjadi sangat kompleks justru
karenapengaruh modernisme itu sendiri.
Kurun waktu 350 tahun dalam pengaruh sistem hukum Belanda,
merupakan kurun waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Indonesia
terbiasa dengan sistem hukum tertulis, sebagai akibat dari pengaruh sistem
hukum sipil (Eropa Kontinental) yang dianutnya selama berabad‐abad.
Konsepsi hukum seperti ini dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan
hukum Indonesia, oleh karena, jika hukum hanya dipandang sebagai sistem
norma belaka, maka pembangunan hukum juga akan berorientasi kepada
pembangunan komponen‐komponen hukum yang hanya berkaitan dengan
sistem pembentukan norma atau penerapan norma itu, padahal dalam
kenyataannya, penerapan hukum sebagai suatu norma tidaklah cukup hanya
dengan melibatkan komponen‐komponen yang bersangkutan dengan sistem
norma saja. Fenomena seperti inilah yang memunculkan pemahaman hukum
menjadi kering, oleh karena dibutuhkan suatu pendekatan yang bersifat
holistik dalam melihat hukum.122
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar
manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, 122 Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Seri Ringkasan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II Kontrak: 180/SP3/PP/DP3M/II/2006 POLA PEMIKIRAN HUKUM RESPONSIF: Sebuah Studi Atas Proses Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, hal 6‐8
141
kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu
sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah‐kaidah sosial, kesopanan, adat
istiadat dan kaidah‐kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah‐kaidah
sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu
memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan
kaidah‐kaidah sosial lainnya.123
Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan (hukum) kita
justru akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang
tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di negeri ini memang kacau.
Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi,
kesewenang‐wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang biasa dalam
penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani
keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang semata‐mata bersandarkan
pada peraturan perundang‐undangan.
Menurut aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah
sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga
masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma‐norma kausalitas), maka
mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas‐kausalitas
123 Mochtar Kusumaatmadja, 2009, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm. 2
142
itu dalam wujudnya sebagai perundang‐undangan.124 Soetandyo memaparkan
lebih lanjut bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya
hukum kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa, namun realita menunjukkan bahwa kausalitas dalam
kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi
sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas‐realitas alam kodrat yang
mengkaji “perilaku” benda‐benda anorganik. Hubungan‐hubungan kausalitas
itu dihukumkan atau dipositif‐kan sebagai norma dan tidak pernah
dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau
dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan
struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman‐ancaman pemberian
sanksi.125
Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks,
spesialisasi dan pemencaran bidang‐bidang dalam masyarakat semakin
intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan yang dilakukan
oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian.
Pada sisi lainnya sebagai suatu bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia
merupakan subjek hukum yang merdeka pula. Artinya sebagai suatu bangsa,
bangsa Indonesia terlibat penuh ke dalam aspek penyelenggaraan hukum,
mulai dari pembuatan sampai pelaksanaannya. Hal ini tentunya berbeda
124 Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik‐Kritiknya, dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang diakses pada tanggal 10 Mei 2013 125 Ibid hal 14
143
dengan kehidupan hukum di masa Hindia Belanda. Pada masa itu bangsa
Indonesia tidaklah mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah
perencanaan, pembangunan, pemeliharaan dan penegakan hukumnya.
Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton pinggiran dan menjadi obyek
kontrol dari hukum, segala keputusan dan strategi pembanguan hukum
ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda .
Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan‐tuntutan agar hukum
dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan‐perubahan atau
pengarahan‐pengarahan sesuai dengan politik pembangunan negara. Dengan
demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang
legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal‐pasal undang‐
undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah penggunaan hukum
secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan baru. Ia
tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai suatu sistem logis dan
konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat
hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan
masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi perhatian perkaitan
antara hukum dengan kenyataan‐kenyataan sosial yang hidup.
Kelemahan yang paling mendasar dalam aliran filsafat positivistik
adalah, bahwa ia tidak mampu “memotret” atau menjelaskan realitas hukum
secara holistik, dalam konteks “law as a great anthropological monument”.
Para yuris profesional dan mereka yang berpandangan normatif, tidak mampu
144
melihat kebenaran, bahwa hukum itu merupakan suatu monumen
anthropologi. Ia cenderung untuk mereduksinya ke dalam “peraturan dan
logika” (rules and logic), serta mengacu pada norma‐norma dari pada aksi
atau peristiwa. dan dengan demikian menjadikan gambar yang benar dan
lengkap mengenai hukum menjadi cacat (distorted). Melalui pendekatan
normatif profesional, hanya mampu melihat secara hitam putih, tidak dapat
melihat kebenaran yang lebih lengkap mengenai apa yang terjadi dalam
praksis kontrol sosial. Melalui pendekatan positivistis‐normatif profesional,
kita hanya akan menemukan keharusan‐keharusan dan bukan kebenaran.
1. Pengaruh Dualisme dan Reduksionisme dalam Karakteristik Positivisme Yuridis Austin dan Hans Kelsen
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan tentang karakteristik
paradigma Cartesian‐Newtonian yang telah menghegemoni
perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk positivisme. Ilmu hukum
tidak luput dari pengaruh positivisme ilmu tersebut sebagaimana
dijelaskan Johnny Ibrahim :
“Aliran dalam hukum seperti legal positivism, analytical legal positivism, pragmatic positivism, atau juga penggolongan dalam dua aliran versi Mc Coubrey dan White yaitu classical positivism yang diwakili oleh Bentham dan Austin dan modified positivism yang diwakili oleh Hart, karya pemikir berbagai aliran di bidang hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran Comte yang berawal dari hukum tiga tahap (the law of three stages) yang memunculkan tahap positif yang merupakan tahap manusia sampai pada pengetahuan itu tidak lagi abstrak, tetapi jelas, pasti dan bermanfaat”.126
126Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2006, hal. 85. Menurut Johnny Ibrahim “meskipun penggunaan makna positif versi Comte juga memberikan pengaruh terhadap ilmuwan hukum, namun tidak boleh dilupakan
145
Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto,
“Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara yaitu meng‐upayakan positivisasi norma keadilan agar segera menjadi norma perundang‐undangan sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tidak pula banyak bisa dicabar.”127
Pengaruh yang paling mendasar adalah dualisme terhadap segala
sesuatu. Dualisme merupakan cara pandang yang memisahkan subjek
dengan objek, manusia dengan alam, penafsir dengan teks, dan
menempatkan kata pertama lebih superior dari kata setelahnya. Ini
merupakan konsekuensi dari prinsip Descartes (termasuk positivisme ilmu)
untuk menemukan kebenaran objektif dan universal.
Descartes melihat bahwa manusia dapat memahami dan mengupas
realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia, bahwa subjek dapat
mengukur objek tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa
dipengaruhi oleh objek. Ini sekaligus ciri positivisme ilmu, dimana peneliti
atau subjek mengambil jarak dan bersifat imparsial‐netral. Dualisme,
secara luas meliputi, pemisahan yang nyata dan mendasar antara
kesadaran dan materi, antara pikiran dan tubuh, antara jiwa cogitans dan
bahwa kata “positif” juga merupakan asli kata dari kosa kata dalam ilmu hukum. Asal kata “positif” dalam hukum, berbeda dengan istilah positif versi Comte. Istilah positif dalam hukum merupakan terjemahan dari “ius positum” menjadi hukum positif yang mengandung makna hukum yang ditetapkan (gesteldrecht). Jadi munculnya Ius positum pada zaman hukum Romawi jauh lebih awal sebelum pemunculan karya‐karya pemikiran Comte. Armada Riyanto merujuk positivisme pada kata latin ponere‐posui‐positus yang berarti meletakkan, memaksudkan bahwa tindakan manusia itu adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang diletakkan, diberlakukan. Lihat Armando Riyanto, Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi, sebagai Kritik atas Pembatalan UU anti Terorisme Bom Bali, Kompas, 30 Juli 2004, hal. 4 127Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma dalam ilmu Hukum, wacana Jurnal ilmu sosial Transformatif VI/2000; 12
146
benda extensa serta antara nilai dan fakta. Sebagaimana dikatakan
Descartes, tidak ada yang tercakup di dalam konsep tubuh menjadi milik
akal; dan tidak ada yang tercakup dalam konsep akal menjadi milik
tubuh.128
Konsekuensi pemisahan ini telah merasuk ke dalam alam berpikir
para ilmuwan sebagaimana dijelaskan tokoh mekanika kuantum
Heisenberg, pemisahan ini telah jauh menembus ke dalam pikiran manusia
selama tiga abad sesudah Descartes, dan diperlukan waktu yang sangat
lama untuk menggantinya dengan sikap yang benar‐benar berbeda
terhadap persoalan realitas. Untuk mengukuhkan gagasannya, Descartes
mengembangkan cara pandang yang disusun atas dasar asumsi kosmologis,
alam raya merupakan sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan
statis. Bahkan bukan alam saja, segala sesuatu yang diluar kesadaran
subjek dianggap sebagai mesin yang bekerja menurut hukum‐hukum
matematika yang kuantitatif, sebuah paham yang seolah‐olah
menghidupkan subjek dan mematikan objek. Karena subjek hidup dan
berkesadaran, sedangkan objek berbeda secara diametral dengan subjek,
maka objek haruslah mati dan tidak berkesadaran.
128Durkheim menjelaskan, masyarakat dapat diteliti berdasarkan interaksi antar anggota yang membentuk adat istiadat, tradisi dan perilaku‐perilaku sosial. Dari fakta‐fakta sosial itu peneliti dapat menarik data tentang fenomena objektif yang mendasari seluruh aktivitas sosial. Menurut Durkheim, fenomena itu berada diluar kehendak individu dan mempengaruhi perilaku sosialnya dalam masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif yang mengatasi kesadaran individu. Lihat Op.Cit 145
147
Descartes mengembangkan pendekatan universal melalui empat (4)
tahap yaitu : pertama, sikap kritis dan skeptis terhadap realitas; kedua,
analisis dengan memecah realitas yang dipahami menjadi unit yang kecil‐
kecil, ketiga, digabungkan dan keempat, dijumlahkan kembali. Pandangan
ini sebuah pandangan yang bersifat mekanistik‐deterministik. Jadi jelas
mekanisme dan determinisme merupakan pengejawantahan dari dualisme
kesadaran dengan dunia eksternal. Dualisme memang merupakan problem
klasik dalam sejarah filsafat.
Plato dipandang sebagai filsuf pertama yang menciptakan paham
dualisme, yaitu upaya Plato untuk mendamaikan Heraclitus dan
Parmenides bermuara kepada pemisahan yang tegas antara dunia ide
universal dan dunia inderawi temporal, antara episteme dan doxa, antara
spiritual dan materi, antara jiwa dan tubuh. Perdebatan itu tidak pernah
berakhir hingga saat ini bahkan semakin akut dan pervasif dengan
kemunculan Descartes‐Newton, karena problem yang ditimbulkannya lebih
luas dari dualisme Plato, karena bersimbiosis dengan subjektivisme,
antroposentrisme, mekanis‐reduksionis, saintisme dan Baconianisme
(teknologisme). Dengan kata lain, dualisme Cartesian‐Newtonian telah
ditransformasikan dan dimanifestasikan ke dalam jantung peradaban
modern dengan segenap bentuk asumsi, visi, sistem nilai, dan aktivitasnya.
Dualisme telah mengkarakterisasi kebudayaan, pemikiran dan sains
modern sehingga sukar sekali manusia modern membahas sesuatu tanpa
148
berasumsi dualistik. Dalam pandangan yang dualistik tersebut, logika
oposisi biner atau on off logic129merupakan satu‐satunya logika yang diakui
dan dipakai dalam dunia ilmiah.
Reduksionis adalah asumsi paradigma Cartesian‐Newtonian, yang
melihat alam semesta tidak lain hanyalah benda mati semata, yang tidak
memiliki nilai‐nilai simbolik yang penuh makna, dunia dan alam semesta
kemudian dipandang sebagai realitas yang hanya terdiri dari angka‐angka
matematik (numerik). Melalui pandangan ini, alam semesta dikikis dari
realitas kualitatif, sehingga tercipta pemiskinan realitas yang pada dasarnya
sangat kaya. Alam semesta dilihat sebagai fakta‐fakta yang sudah jadi dan
bukan sebagai sebuah proses pemaknaan yang bersifat dinamis.130
Mereduksi merupakan usaha untuk menterjemaahkan ke dalam
sebuah bahasa yang mudah dimengerti. Menurut Nicholas Fearn, melalui
reduksi sebuah fenomena lebih mudah dipegang dan menjadi kurang
129Oposisi biner adalah sebuah sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni membentuk keuniversalan. Dalam oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu masuk dalam kategori A sekaligus kategori B, dengan memaksakan katagori‐katagori tersebut terhadap dunia, maka kita mulai memahaminya. Dengan begitu, kategori A bisa dipahami hanya karena kategori A bukanlah kategori B. Tanpa kategori B di sini tidak akan ada batas‐batas untuk kategori A, dan karena itu tidak ada kategori A. Secara Struktural kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian bisa dibaca bukan sebagai kisah penciptaan dunia melainkan penciptaan kategori‐kategori kultural yang dengan hal tersebut dunia dipahami. Kegelapan dipisahkan dari cahaya, bumi dari udara, tanah dan air. Menurut Levi Strauss konstruksi oposisi biner ini merupakan proses memahami yang universal dan fundamental. Proses ini universal lantaran hal ini merupakan produk struktur fisik otak manusia, dan karena itu, spesifik pada spesies dan bukan pada suatu kebudayaan atau masyarakat. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum ....hal 147 130Dalam sosiologi dikenal ada aliran pemikiran simbolik‐interaksinis, salah satu tokohnya adalah Herbert Blumer menjelaskan, interaksionis simbolis bertumpu pada tiga premis yaitu: pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna‐makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; kedua, makna tersebut berasal dari “interaksi sosial” seseorang dengan orang lainnya; ketiga makna‐makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2000, hal 258.
149
misterius karena komponen‐komponennya lebih mudah untuk dipahami.131
Pada posisi tersebut, maka reduksionis cenderung sama dengan simplifikasi
(penyederhanaan) yang telah banyak menimbulkan kegagalan pada proyek
modern. Karena reduksionis berkaitan dengan simplifikasi, maka akan ada
resiko untuk menjadi sangat simpel. Oleh karena itu, Nicholas Fearn
menjelaskan sebaiknya berhati‐hati melakukan reduksi. Melalui
penyederhanaan dalam paradigma Cartesian‐Newtonian, maka dunia
menjadi terlihat tidak menarik, dengan kata lain, hanya dipandang sebagai
realitas yang mati.
2. Dualisme dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen
Menurut B. Sidharta, positivisme hukum memperoleh pengaruh
(badai) positivisme ilmu sehingga ilmuwan hukum disibukkan dengan
bagaimana cara membuat definisi, konsep serta deskripsi tentang
perkembangan yang pada saat itu berkembang sangat masif. Menurut
Satjipto Rahardjo sebagian dari mereka berkonsentrasi pada bentuk,
misalnya Austin, Hart, Kelsen sedangkan sebagian lagi menitikberatkan
pada isi (content), misalnya Dworkin dan Fuller.132
131Mengenai reduksionis itu dapat dijelaskan sebagai berikut; pertama, adanya pengidentikan pemikiran sebagai realitas dan pengeliminasian jarak antara subjek dan objek; kedua, ragam fenomena yang kemudian direduksi menjadi tunggal (termasuk fenomena ilmiah dan sosial); ketiga, berpegang pada tradisi masa lampau demi status quo; keempat, keyakinan mental yang absolut dan menolak adanya perbedaan pendapat atau pandangan dalam hal yang substansial; Kelima, pengabaian realitas yang tengah berlangsung. Lihat Nicholas Fearn, Cara Mudah Berfilsafat: Ringkas dan Menghibur, Bentang, Yogyakarta, 2002, hal 6‐7. 132Lon Fuller menjelaskan paling tidak ada delapan syarat moral yang harus dipenuhi ketika berbicara tentang isi hukum antara lain:
150
John Austin salah satu tokoh postivisme hukum yuridis menjelaskan,
bahwa satu‐satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif
yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut Austin tugas
ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur‐unsur yang secara nyata
ada dalam sistem hukum modern. Austin memisahkan hukum dan keadilan
dengan mencoba menggantikan cita tentang keadilan (ideal of Justice)
dengan perintah berdaulat yaitu Negara.
Pandangan ini sama dengan pandangan Thomas Hobbes yaitu filsuf
yang mendasarkan kekuatan hukum pada kedaulatan negara, akan tetapi
Austin menempatkannya dalam perkembangan sistem hukum modern.
Austin menjelaskan tentang empat unsur yang harus ada dan terkandung
dalam hukum positif, yakni perintah (command); sanksi (sanction);
a. Harus ada aturan‐aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat
tentang persyaratan sifat keumuman. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas bararti bahwa keputusan‐keputusan otoritatif tidak dibuat atas sesuatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan‐aturan yang umum;
b. Aturan‐aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan. Seringkali otoritas‐otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan‐aturan dengan tujuan untuk mencegah orang berdasarkan klaim‐klaimnya atas aturan‐aturan tersebut, sehingga aturan‐aturan tadi mengikat otoritas‐otoritas sendiri;
c. Aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman‐pedoman bagi kegiatan‐kegiatan di kemudian hari artinya hukum tidak boleh berlaku surut;
d. Aturan‐aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain; e. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat; f. Aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak‐pihak yang terkena,
artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu‐waktu; h. Harus ada konsistensi antara aturan‐aturan sebagaimana yang diumumkan dengan
pelaksanaan kenyataannya. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945‐1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2010, hal 62. Lihat pula Satjipto Rahardjo; Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2014, hal. 39
151
kewajiban (duty); dan kedaulatan (sovereignity). Tanpa adanya keempat
unsur tersebut, suatu peraturan bukanlah hukum positif melainkan
kesusilaan positif. John Austin membedakan secara tegas antara hukum
dengan moral dan agama, membedakan antara hukum positif dengan
hukum yang dicita‐citakan.
Menurut Austin, ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja,
tanpa membedakan apakah hukum itu baik atau buruk, diterima atau tidak
oleh masyarakat. Gagasan Austin sangat dualistis dengan memisahkan
antara realitas ideal (idealisme metafisis: moral‐agama) dan realitas
material (hukum positif ‐ Command of sovereign atau command of law
giver). Austin juga melakukan pemilahan antara bentuk dan isi, dimana dia
lebih fokus kepada bentuk. Secara ekstrem Austin mencoba melepaskan
hukum dari masalah keadilan. Ia menggantikan kebaikan dan keburukan
sebagai landasan hukum dengan kekuasaan dari penguasa.
Hans Kelsen adalah seseorang yang sangat terobsesi untuk
mensejajarkan ilmu hukum dengan ilmu‐ilmu eksakta sehingga merancang
konsep hukum melalui pendekatan yang bersifat positivistik. Luipen
berpandangan, ajaran hukum murni sesungguhnya adalah ajaran yang
termasuk aliran positivisme hukum. Ajaran ini adalah bentuk yang paling
aktual dari positivisme hukum. Selanjutnya dijelaskan, ajaran hukum murni
tentang hukum adalah teori tentang hukum, suatu ilmu pengetahuan
tentang hukum positif. Ajaran ini disebut murni karena ajaran Hans Kelsen
152
bersih dari unsur‐unsur pengertian hukum alam yang cenderung
memandang hukum sebagai hal ada, dan sebagai ajaran atau teori tentang
aturan hukum positif ajarannya tersebut dibersihkan dari penyelidikan‐
penyelidikan mengenai tingkah laku yang berlandaskan hukum kausalitas
seperti sosiologi dan psikologi.
Sebagai seseorang (yang dapat dikatakan) Neo‐Kantian, maka
pemisahan bentuk dan isi menjadi sangat jelas. Hukum menurut Kelsen
berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Hukum bisa saja
tidak adil, namun tetap hukum. Menurut Kelsen, suatu norma hukum
berlaku tidak karena ia mempunyai isi tertentu, melainkan karena ia dibuat
menurut cara yang ditetapkan oleh (dalam apa) yang dianggap grundnorm.
Berbicara mengenai hukum dalam pengertian teks yang dipositifkan,
sebagaimana pemikiran Hans Kelsen dan John Austin diatas, tercerminkan
dua aspek, yaitu aspek idealisme dan materialisme.
Kumpulan norma yang tersusun secara sistematis itu, merupakan
rumusan yang bermakna, karena ia menjadi sumber kegiatan hukum.
Muatan makna yang terkandung dalam rangkaian teks hukum itu diperoleh
melalui pendekatan idealisme dan materialisme serta diolah dengan aspek
epistemologis‐rasionalisme. Dualisme pendekatan itu diklaim telah
dituntaskan oleh dirinya (Kelsen) dengan mengatakan, unit dari “the
meaning content” itu adalah norma, selanjutnya “A norm is the expression
of the idea..that an individual ought to behave in a certain way.
153
Menurut Kelsen, norma itu berlaku di dalam Sollen bukan di dalam
Sein, hal ini sebagai konsekuensi yang dianutnya bahwa hukum merupakan
Wille des Staates (kehendak negara). Negara bukan Sein melainkan Sollen.
Sebagai seorang penganut pemikiran Immanuel Kant,133 Kelsen
memisahkan secara tajam kenyataan dan keharusan, dan Kelsen memilih
Sollen sebagai persemaian dari pemikirannya tentang hukum. Pandangan
Kelsen dengan upaya untuk menyatukan negara dengan hukum
sebagaimana dijelaskan olehnya, negara tidak lain dari personifikasi tata
hukum nasional dan acapkali semata‐mata sebagai hypostasisasi dari
postulat‐postulat moral politik tertentu.
Upaya Kelsen untuk keluar dari dualisme, yaitu pandangan yang
memisahkan antara hukum dan negara, antara hukum dan keadilan,
hukum objektif dan hukum subjektif ternyata berakhir kepada dualisme
baru yang mengarah kepada reduksionis yang kental. Hans Kelsen
memandang ilmu hukum hanya bersifat formal (wadah), dengan
argumentasi bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang harus dilepaskan dari
insting dan keinginan. Ilmu hukum hanya membahas tentang bentuk
(wadah), yakni pengetahuan tentang segala sesuatu yang merupakan unsur
133Gagasan tentang dualisme Descartes dapat dilacak sampai kepada pemikiran Immanuel Kant yang dikenal dengan “idealisme kritis”, Kant mengembangkan konsep ‘subjektivitas’ yang lebih tajam namun lebih halus dari pemikiran Descartes. Konsekuensi yang muncul adalah sebagai berikut: pertama, dualisme bentuk dan isi pengetahuan; kedua, dualisme dunia Noumena dan dunia Fenomena; ketiga, konstruksi pengetahuan rasio yang terkurung dan terasing dari realitas eksternal; keempat, tendensi relativisme karena pengetahuan manusia tidak berkorelasi dengan realitas sosial yang sesungguhnya. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 153
154
yang esensial dan perlu bagi hukum , tidak bersangkutan dengan isi hukum
yang mungkin berubah‐ubah dalam waktu tertentu. Karena itu ilmu hukum
tidak memberikan penilaian tentang efektivitas hukum.
Austin maupun Kelsen menggunakan logika oposisi binari dalam
menyusun gagasan‐gagasannya (sebuah ciri yang dapat dimasukan ke
dalam pemikiran strukturalis). Konsep normatif terlebih lagi yang muncul
dalam bentuk (undang‐undang atau peraturan tertulis lainnya) banyak
mengandung pandangan yang bersifat oposisi, seperti oposisi atas/bawah,
yang biasanya diterapkan untuk orang‐perorangan, seperti penguasa dalam
organisasi yang berkuasa, yaitu orang‐orang yang biasa memberikan
perintah‐perintah kepada bawahannya dalam melaksanakan aturan
tertentu yang telah membentuk semacam absolutisme kekuasaan yang ada
di atas terhadap mereka yang dibawah.
Konsep yang dikembangkan positivisme hukum (Austin dan Kelsen)
tentang oposisi di dalam, dan di luar (menjelaskan tentang hukum dan
bukan hukum) telah menguatkan argumentasi logika dari oposisi biner
tersebut. Proposisi normatif diasumsikan di dalam ilmu (hukum) modern
sebagai suatu sistem khusus di luar atau di dalam hukum. Bagi Kelsen dan
Austin, proposisi ini menjadi sangat bermanfaat, karena digunakan olehnya
untuk membedakan aturan yang bersifat hukum atau non hukum dan juga
membedakan orang yang ada di dalam sistem hukum dan di luar sistem
hukum.
155
Tentang ini J.W. Harris memberikan penjelasan :
“Semua pengemudi mobil harus menjalankan kendaraannya sebelah kanan, pernyataan di atas adalah suatu proposisi normatif, pernyataan ini tidak memerlukan jawaban ya atau tidak, tetapi sudah merupakan keharusan yang tak perlu otak kita gunakan untuk mencoba memahaminya. Dari sudut pandang non‐hukum, misalnya berdasarkan sikap ilmiah, peraturan tersebut bisa dipandang dari segi kontinuitasnya mungkin kita akan berkata, peraturan tersebut ada manfaatnya atau....tetapi seorang ahli hukum akan berkata, peraturan itu adalah hukum dan kita harus taat karena kita merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku. Jika kita menolaknya berarti kita telah berusaha untuk menempatkan di luar sistem hukum tersebut, dan itu haruslah mengandung resiko. Selanjutnya ia berkata, kriteria‐kriteria tertentu untuk mengidentifikasi apakah suatu aturan berada di dalam atau di luar sistem hukum. Oposisi binari di luar dan di dalam itulah yang menjadi kriterianya, yaitu seperti yang dijelaskan oleh orang‐orang strukturalis bahwa oposisi binari di dalam/di luar merupakan prinsip logika ilmu hukum yang saya sebut juga sebagai prinsip eksklusi (the principle of exclusion).134
Gagasan atau logika oposisi binari ini oleh Kelsen digunakan untuk
menyusun hirarki norma yaitu untuk menurunkan sesuatu yang abstrak
yang menjadi konkrit, atau dengan kata lain, sesuatu yang bersifat gagasan
dapat dilaksanakan dalam realita. Kemudian oleh banyak ahli hukum
dikembangkan dan diidentifikasikan bye‐laws (undang‐undang atau aturan
lain yang lebih rendah seperti Perda) sebagai hukum dengan yang berada
di bawah pengaruh suatu undang‐undang tertentu yang lebih tinggi
tingkatnya.
Oposisi binari di atas/dibawah (baik untuk objek‐objek natural
maupun rank‐rank‐nya) menjadi authorising / authorized (yang
berkuasa/yang dibawah kekuasaan). Inilah yang selanjutnya disebut
134Lihat Ibid hal 155
156
sebagai prinsip logis dari pengelompokan (logical principle of subsumtion),
di samping logika tersebut dalam konsep oposisi binari berlaku pula prinsip
logis yang disebut dengan derogasi dalam ilmu hukum (logical principle of
derogation).135
Dalam konsep oposisi binari terkandung juga prinsip logis dari non‐
kontradiksi (logical principle of non‐contradiction). Hans Kelsen
mengembangkan pandangan strukturalisnya dengan berprinsip pada ide
dasar, ilmu hukum merupakan sumber dari fenomena hukum yang
didasarkan atas praduga‐praduga. Praduga‐praduga ini diikat dalam suatu
norma dasar yang ada di dalam alam kesadaran para ahli hukum. Kelsen
mengambil suatu analogi di antara norma‐norma dasar dengan kategori‐
kategori dari epistemologinya Kant.136
135Derogasi adalah pencabutan kembali (pembatalan) keabsahan dari sebuah norma yang sah oleh norma yang lain. Tidak seperti norma‐norma yang lain, derogasi tidak menunjuk pada suatu tingkah laku tertentu, melainkan pada keabsahan dari norma yang lain. Ia tidak menetapkan (establish) suatu keharusan melainkan suatu non keharusan. Lihat lebih jelas tentang hal ini lihat Hans Kelsen, Hukum dan Logika, Alumni Bandung, 2002, yang diterjemahkan Arief Sidharta, hal 95‐dst. 136Memahami ajaran Immanuel Kant teori dan filsafat hukum dari Kant, selayaknya di dahului prasyarat paham akan ajarannya tentang landasan dasar pemikirannya, yakni tentang kodrat dan kebebasan (Natur And Freheit), Sollen dan Sein, tentang akal budi murni teoritis dan praktis. Kodrat atau Sein adalah lapangan dari akal budi, yang tersusun atas kategori‐kategori pikiran (bentuk‐bentuk pikiran dasar yang a priori dan transendental), yang terdiri atas empat komponen dasar yaitu: kualiteit, kuantiteit, relasi dan modaliteit. Dengan lebih dulu dilandasi ajaran logika transendental mempersalahkan hubungan antara pengamatan pandangan (Anschauung) dan pengetahuan pengertian dan pemikiran untuk mewujudkan pendapat atau timbang pikir yang yang sintetis a priori. Timbang pikir sintesis adalah yang predikatnya tidak dengan sendirinya ada pada subjek. Kebalikan dari timbang pikir analisis. Timbang pikir sintesis a priori (mendahului pengalaman), yang a posteriori adalah sesudah/hasil pengalaman. Dalam hubungan ini dikenal ucapan Immanuel Kant “pemandangan tanpa pengertian adalah buta, sedangkan pengertian tanpa pemandangan adalah kosong.” Lihat Soejono Koesumo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum dalam Relasi dan Relevansinya dengan Pembangunan / Pembinaan Hukum Indonesia, pidato pengukuhan, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 30 Maret 1989.
157
Logika oposisi biner ini oleh Kelsen digunakan untuk menghilangkan
atau menetralisir kecemasan dirinya. Menurut Kelsen norma dasar adalah
suatu gambaran dari hubungan di antara dua oposisi binari dengan melalui
serangkaian transformasi, telah menjadi suatu hal yang dapat diterapkan
oleh para ahli hukum dalam berbagai masalah hukum yang mereka hadapi.
Jadi jelaslah, intisari undang‐undang atau hukum bersifat fisiologis, seperti
yang dikatakan J.W. Harris:
“tugas‐tugas hukum akan berjalan jika dikendalikan oleh aturan‐aturan yang berasal dari sumber‐sumber berikutnya...atau oleh undang‐undang/aturan‐aturan/undang‐undang tertentu. Jika ada kontradiksi di antara aturan‐aturan yang berasal dari sumber yang berbeda, maka hal itu dapat dipecahkan berdasarkan rangking dari sumber‐sumber tersebut...dan sesungguhnya tidak ada satupun kontradiksi yang mendapatkan pengakuan atau bisa diterima.”137
3. Reduksionis dalamdalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan
Hans Kelsen
Sifat reduksionis adalah ciri lain yang dapat ditemukan dalam
pemikiran positivisme hukum. Asumsi ini menyatakan, objek telaah adalah
satuan komposisi yang dapat direduksi menjadi bagian‐bagian kecil. Untuk
memahami persoalan ini, lebih jauh pembahasan akan dikaitkan dengan
apa yang disebut dengan realitas hukum. Realitas hukum secara filosofis
(dapat dijelaskan) terdiri dari realitas idea,138 realitas material,139 dan
137Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 157 138Realitas adalah sesuatu yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, esensi). Pemikiran ini menguasai betul mereka yang berada dibawah payung pemikiran idealisme, misalnya Plato, pada masa Yunani Kuno, idealisme lebih modern seperti Hegel. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, Refika, Bandung, 2004, hal.27.
158
realitas artifisial (hyperrealitas).140 Realitas hukum yang beragam itu, dalam
pandangan positivisme hukum direduksi (hanya) menjadi tunggal.
Konsep pemurnian dari dari hukum (pure theory) Hans Kelsen adalah
contoh nyata dari proses reduksionis tersebut. Proses pemurnian ini
berupaya untuk melepaskan hukum dari ketergantungannya dengan
realitas non‐hukum, sehingga hukum harus benar‐benar dibersihkan dari
unsur non‐yuridis. Kelsen mencoba mengabaikan pendekatan lain terhadap
hukum. Ternyata pandangan itu mengalami beberapa problem bahkan
mengalami kegagalan, sehingga Kelsen sendiri sebenarnya melakukan juga
pendekatan yang tidak murni (pure), sebagaimana disampaikan oleh Hari
Chand :
...”sepanjang mengenai norma dasar dia gagal untuk menjelaskan bagaimana norma tersebut eksis”.
Untuk menjelaskan hakekat norma dasar membutuhkan pengetahuan lain dari
bidang lain, seperti sejarah, ilmu politik, ekonomi dan lain‐lain yang ditolak oleh
Kelsen. Pendekatan tidak murni juga digunakan dalam pure theory.
139Realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata, ada dan objektif, yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra. Pandangan yang berada di bawah payung pemikiran empirisme seperti Bacon, atau seorang sosiolog positivistik seperti Durkheim, Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...Ibid hal.27 140Realitas yang tidak dapat dimasukkan kepada kedua makna realitas di atas, karena realitas ketiga itu telah bersifat melampaui batas‐batas realitas di atas, yang oleh Baudrillard dan Umberto Eco disebut sebagai dunia hyperrealitas, atau dunia yang melampaui batas (hyper‐reality). Itulah sebuah realitas yang melampaui realitas, sebuah realitas virtual, dunia realitas yang melampaui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara total realitas‐realitas tersebut. Setidak‐tidaknya terhadap realitas artifisial tersebut ada tiga pandangan. Pertama yang optimis dan positif, Kedua yang pesimis, curiga dan menolak dan yang Ketiga pandangan yang penuh ketidak pastian, mengkritik tapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Lihat Op. Cit hal 27‐28
159
Pada level norma sub‐ordinat, dalam menentukan fakta dimana norma
harus diterapkan, fakta harus ditentukan, pembuktian dan penghakiman
mengambil peran. Penemuan hukum ada bersama fakta.141 Pandangan
reduksionis dari Hans Kelsen dapat dilihat pada pandangan W.Friedman yang
mengungkapkan, dasar‐dasar esensial dari pemikiran Kelsen adalah sebagai
berikut :
a. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity;
b. Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is not of what the law ought to be;
c. The law is a normative not a natural science; d. Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness
of legal norms; e. A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing
contents a spesific way; f. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of
possible to actual law;142 Dalam teorinya tentang hierarki norma atau Stufen theory, Kelsen
menempatkan Grundnormsebagai puncak dari norma‐norma yang kemudian
disusul oleh norma yang lebih rendah. Melalui hubungan yang bersifat
141Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Cetakan Kedua, 2012, hal 165 142Lihat W.Friedmann, Legal Theory, Third Edition, Stevens & Sons Limited, 1953, hal 113, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya adalah sebagai berikut : a. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan,adalah untuk mengurangi kekacauan
dan kemajemukan menjadi kesatuan; b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya; c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam; d. Teori hukum adalah sebagai teori tentang norma‐norma tidak ada hubungannya dengan daya
kerja norma‐norma hukum; e. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang tata cara menata, mengubah isi dengan cara
khusus; f. Hubungan antara teori hukum dam sistem hukum yang khas dari hukum positif ialah
hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...hal 159
160
superior dan inferior maka selanjutnya norma yang paling tinggi akan
dikonkritkan dalam norma yang lebih rendah sampai kepada norma yang
paling konkrit. Hubungan antara norma yang satu dengan norma yang lain
tersebut dapat disebut hubungan super dan sub‐ordinasi dalam konteks yang
spasial. Norma yang menentukan perbuatan norma yang lain adalah superior,
sedangkan norma yang dibuat adalah inferior.
Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan
merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya,
tetapi suatu hirearki dari norma‐norma yang memiliki level yang berbeda.
Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih
rendah ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang
ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.
Puncak dari piramida hukum yang disebutnya dengan Grundnorm
merupakan wadah yang kosong. Hans Kelsen tidak mengisinya dengan
sebuah rumusan yang khusus (tertentu) dan tetap. Hal ini agak sedikit
berbeda dengan pandangan Kant yang telah mengisi Kategorische Imperative
dengan rumusan tetap, berbuatlah kamu sehingga tindakanmu itu menjadi
ukuran bagi tindakan orang lain. Kategorische Imperative ini menjadi dasar
bagi hukum dan moral.
Dari uraian di atas terlihat, baik pemurnian hukum maupun stufen
theory nya bersifat reduksionis, kita hampir menemukan banyak proses
161
reduksi yang dilakukan dalam menjelaskan teori yang dibangun oleh Hans
Kelsen. Bagi positivisme sosiologis, realitas hukum direduksi sedemikian rupa
menjadi (semata‐mata) realitas material. Durkheim143secara tegas
menyatakan, hukum merupakan fakta sosial, artinya merupakan barang
sesuatu yang nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu.
Pemikir positivisme hukum lainnya yaitu Herbert Lionel Adolphus
Hart (H.L.A.) Hart 144yang diakui sebagai “the most influental modern
positivist in the English speaking world” menggunakan pendekatan bersifat
reduksionis untuk menjelaskan sistem hukumnya. Dimulai dari pembagian
antara aturan primer (primary rules) dan aturan sekunder (secondary rules),
yang kemudian masing‐masing aturan itu dipilah lagi ke dalam bagian‐bagian
yang terkecil di dalamnya dengan menjelaskan relasi di antara masing‐masing
bagian tersebut. Menurut positivisme hukum, khususnya positivisme yuridis
dan analitikal positivisme, hukum direduksi sedemikian rupa sebagaimana
Kelsen mereduksi realitas hukum yang sifatnya beragam menjadi tunggal,
yaitu realitas hukum yang bersih dari unsur‐unsur non yuridis.145 Demikian
143Fakta sosial menurut Durkheim disebutkan terdiri dari: Pertama, bentuk material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata yang dapat disimak dan diobservasi. Kedua, dalam bentuk non material yaitu sesuatu yang dianggap tidak nyata. Lihat Ibid hal 160. 144Hart dalam Concept of Law‐nya mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem aturan‐aturan primer dan aturan‐aturan sekunder. Aturan primer berhubungan dengan aksi‐aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh individu‐individu, sedang aturan‐aturan sekunder berhubungan dengan pembuatan, penafsiran, penerapan dan perubahan aturan primer; seperti aturan‐aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang‐undang, pengadilan dan administrator pada saat mereka membuat dan meafsirkan dan menerapkan aturan‐aturan primer. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 162‐163 145Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.
162
pula Austin dengan menjelaskan, hukum adalah perintah yang berdaulat
dengan menempatkan lembaga‐lembaga yang superior adalah upaya untuk
mereduksi kekuatan‐kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan‐
kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.
Bagan 3.1
Hal yang bersifat Meta Yuridis Realitas Hiper Reduksionis Cyber‐Simbolik Realitas Ideal Manusia Teks ‐ Hukum Positif Realitas Artifisial Fisiologis Biologis Realitas Material Antropologis Realitas Material Empiris Kuantitatif Nalar ‐ Rasio Fakta Empirik Pendekatan Pengkonkritan Mekanistik Dogmatis Kuantitatif AWAL HASIL
Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma‐norma yang positif ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas‐asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakekat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal‐hal yang bukan terbilang hukum. Lihat Absori, Politik Hukum Menuju Hukum Progresif; Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta Press; 2013, hal 20
163
Beberapa pengaruh dualisme dan reduksionisme yang dikembangkan
positivisme hukum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dualisme dan reduksionisme telah mengakibatkan keterbatasan dan
kekaburan ruang lingkup hukum sebagai ilmu yang utuh. Hukum hanya
dibatasi pada wilayah yang benar‐benar murni (pure) yaitu wilayah Sollen.
Hukum juga hanya dibatasi kepada wilayah‐wilayah empirik kuantitatif.
Dengan kata lain, positivisme hanya melihat hukum sebagai teks positif dan
fakta kuantitatif, sedangkan fakta‐fakta simboliknya telah dihilangkan.
Dualisme dan reduksionis telah menimbulkan terputusnya teks hukum
(aturan tertulis) dengan unsur‐unsurnya, yaitu terpisahnya teks dengan
realitas sosial atau terpisahnya teks dengan konteks. Ilmu hukum menjadi
wilayah yang esoterik yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang terdidik
masalah hukum sebagai konsekuensi dari ilmu hukum skema atau skeleton.
Dalam bahasa Belanda dikenal dengan recht‐dogmatiek yang merupakan
trade mark positivisme hukum.
b. Dualisme dan reduksionis telah merusak pemahaman hukum baik sebagai
sains ,ataupun sebagai gejala praktis; wilayah hukum dipandang sebagai
wilayah empirisme dan rasionalisme yang kemudian telah menumbuhkan
mekarnya ilmu hukum positif, dengan kredonya aturan dan logika (rules and
logic). Ilmu hukum hanya memandang hukum sebagai bangunan atau
tatanan logis‐rasional, sehingga fokusnya hanya pada membuat rumusan‐
rumusan, definisi yang spesifik, memilahkan dan menggolongkan,
164
mensistematisir, diterapkan belaka pada undang‐undang. Apabila dikaitkan
dengan pandangan Immanuel Kant, dualisme telah menjadikan ilmu hukum
yang utuh menjadi terpilah‐pilah, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant
akal teoritis berurusan dengan dunia fenomena dan bermuara pada
penjelasan nomologis (berdasarkan hukum‐hukum) dan akal praktis yang
berurusan dengan dunia noumena dan bermuara pada tindakan moral yang
mensyaratkan kebebasan, namun demikian dunia noumena tidak memiliki
status pengetahuan karena pengetahuan hanya dibatasi pada dunia
fenomena. Dari sudut praktis, para profesi hukum untuk menjalankan
profesinya mereka sangat tergantung dan memerlukan dukungan dari kajian
rasional peraturan perundang‐undangan. Para profesional memerlukan
semacam legitimasi ilmiah, termasuk teori, doktrin dan asas sehingga
merasa mantap melakukannya. Bahkan hal ini pula merambah kepada
metode penafsiran hakim di pengadilan.
c. Dualisme dan reduksionis telah menyulitkan hukum dalam mengembangkan
desain analis yang utuh. Ilmu hukum sebagai ilmu yang sarat nilai dan makna
simbolik menjadi ilmu yang kering, karena penggunaan pendekatan dimana
subjek berada di luar objek yang ditelitinya. Pandangan atau paham dualistik
dan reduksionis sebagaimana dijelaskan di atas melihat alam sebagai mesin
yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai dan tanpa cita
rasa etis dan estetis, sebagaimana dikatakan Whitehead, dalam pandangan
sains modern, alam adalah sesuatu yang mati, sepi, tidak bersuara, tidak
165
berbau, tidak berwarna; ia hanyalah seonggok materi. Hal itu dipertegas lagi,
dalam dualisme itu berlaku hukum yang bersifat oposisi biner. Dualisme
subjek‐objek, menciptakan relasi hegemonial karena objek selalu dipandang
sebagai representasi dari subjek, dan lebih superior, seolah‐olah objek akan
mati tanpa subjek. Hal ini menjadikan desain analisis hukum bertumpu
kepada antroposentris (logos), dan model pendekatan hukum hanya bersifat
parsial dan mekanistik, yang kemudian model pendekatan itu diklaim
sebagai satu‐satunya pendekatan yang absolut. Hal itu telah ikut menjadikan
rusaknya desain analisis hukum.
d. Pengaruh lainnya adalah penyempitan substansi kajian ilmu hukum,
sebagaimana positivisme yuridis atau lebih ekstrim lagi legisme yang melihat
hukum semata‐mata hanya sebagai teks (dogma) yang terpisah dari realitas
sosialnya. Menurut positivisme sosiologis, hukum hanya dilihat sebagai fakta
empiris yang hanya dapat diamati oleh panca indera, sementara hakekat
tersembunyi di balik realitas empiris‐fisik menjadi terabaikan.Dualisme dan
reduksionis itu pada akhirnya berujung kepada kegagalan hukum sebagai
ilmu untuk menjelaskan berbagai persoalan yang ada pada saat ini.
Positivisme hukum telah membuat jurang atau kutub yang berlainan
mengenai teks dengan realitas. Sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahardjo,
teks‐teks dalam pemikiran positivisme hukum dipandang sebagai a finitive
closed scheme justification, sementara realitas‐kenyataan tidak bersifat
demikian tetapi dinamis.
166
Bagan 3.2
Dualisme Ontologis Paradigma Cartesian‐ Manusia Alam Newtonian Jiwa (cogitans) Benda (extensa) Pikiran Tubuh ReduksionisKesadaran Materi Nilai Fakta Positivisme Ilmu Pendekatan Mekanis Subjek Objek Comte Gerak Mekanis Terpisah
Positivisme Logis Empirisme Logis Positivisme Hukum Analisis Mekanis Positivisme Positivisme Yuridis Sosiologis
Dualisme Teks Positif Fakta Empirik Reduksionisme Oposisi Biner Terpisah
Seperti halnya teori pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak
terlepas dari berbagai keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum
167
sebelumhya (kusususnya hukum Alam dan positivisme empiris), maupun dari
aliran hukum yang berkembang belakangan. Kritik terhadap teori hukum Kelsen
pada umumnya terkair dengan metode formal yang digunakan dalam Pure
Theory of Law, konsep hukun sebagai perintah yang memaksa namun tidak
secara psikologis, postulasi validitas norma dasar, hubungan hukum dan negara,
dan masalah konsep hukum internasional sebagai suatu sistem.
Kritik‐kritik dikemukakan oleh banyak ahli hukum sesuai dengan pokok
masalah yang menjadi pusat perhatian, dan masing‐masing menggambarkan
perspektif tertentu yang berbeda‐beda.
1) Kritik dari Joseph Raz
Dalam bukunya The Concept of Legal System : An Introduction to The
Theory of Legal System membahas tentang konsep hukum dan sistem hukum
berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan kriteria identitas. Kritik
terhadap teori hukum Kelsen dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari bahasa
pernyataan normatif, struktur norma, eksistensi norma, masalah individuasi,
sampai pada masalah sistem hukum Kelsen terkait dengan prinsip individuasi
dan identitas sebagai pemikiran Raz.
2) Kritik Hari Chand
Hari Chand membahas secara khusus Pure Theory of Law dalam bab
kelima buku “Modern Jurispudence”. Setelah menguraikan pokok‐pokok
168
pikirannya, kemudian chand memberikan kritik tentang teori Kelsen tersebut,
yaitu :
a) Tentang norma dasar
Menurut Chand, konsep norma dasar yang dikemukan Kelsen tidak jelas.
Yang disebut norma dasar tersebut merupakan hukum positif tetapi suatu
pre‐posisi pengetahuan yuridis, atau sesuatu meta‐legal tetapi memiliki suatu
fungsi hukum. Sulit untuk melihat kontribusi Pure Theory of Law terhadap
sistem dengan mengasumsikan hukum berasal dari norma dasar yang tidak
dapat ditemukan.
b) Tentang Metodologi Suatu sistem hukum bukan merupakan koleksi abstrak dari kategori yang
mati, tetapi suatu susunan hidup yang bergerak secara konstan dan terdapat
bahaya apabila melihat potongan‐potongan danmenganalisa masing‐masing
bagian. Pendekatan Kelsen hanya pada satu sisi ketertarikan, yaitu pada
bentuk hukum sembari meletakkan isinya sebagai hal yang sekunder.
c) Tentang Kemurnian
Kelsen sangat menekankan pada analaisis kemurnian sehingga
pendekatan lain terhadap penyelidikan yuridis diabaikan. Metodenya menjadi
tidak murni sepanjang menegenai norma dasar karena dia gagal menjelaskan
bagaimana norma tersebut eksis.
169
d) Tentang Hirarki Norma
Terdapat sumber hukum seperti kebiasaan, undang‐undang, dan
preseden, yang salah satunya tidak dapat dikatkanlebih tinggi dari yang lain.
Disamping norma, dalam sistem hukum juga terdapat standar, prinsip‐prinsip,
kebijakan, asas (maxim), yang sama pentingnya dengan norma, namun tidak
diperhatikan oleh Kelsen.
3) Kritik dari J.W. Harris
Pandangan utana Kelsen adalah bahwa ilmu hukum harus terbebas dari
hal‐hal yang tidak dapat dianalisis secara obyektif menurut hukum dan hal‐hal
yang merupakan hukum. Harris menyatakan bahwa Kelsen telah gagal
menjelaskan bahwa hukum adalah praktek dari ilmuwan hukum. Dengan kata
lain teori norma murni tentang hukum adalah bukan tentang hukum, tetapi
tentang disiplin institusional dari ilmu hukum. Kelsen lebih memilih norma
daripada aturan dengan dua alasan. Pertama, dia khawatir penggunaan
aturan dapat berujung pada kebingungan dari ilmu alam, padahal dalam
bahasa Inggris istilah law ambigu dan norm juga memiliki ambiguitas khusus
karena digunakan juga dalam mendeskripsikan rule situations. Kedua, Kelsen
mendefinisikan suatu norma sebagai “ekspresi dari ide…bahwa seorang
individu harus (ought) untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Kelsen
secara terus menerus menambahkan untuk mengaitkan dengan
pandangannya bahwa aturan hukum adalah entitas abstrak yang berbeda
170
dengan legislasi masa lalu atau pelaksanaannya di masa depan, dengan
membentuk piramida hukum (stufentheorie) yang dikembangkan murid Hans
Kelsen Hans Nawiasky dimana susunan normanya adalah :
1. Norma fundamental (staatsfundamental norm);
2. Aturan dasar negara (staats grunddgesetz);
3. Undang‐undang formal (formel gesetz);
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en
autonomesatzung).
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen adalah
norma dasar (norm basic) dalam suatu negara disebut sebagai norma
fundamental negara. Sehingga dengan penempatan Pancasila sebagai
staatsfundamental norm berarti menempatkannya diatas Undang‐Undang
Dasar. Pancasila tidak termasuk ke dalam konstitusi, karena berada diatas
konstitusi.146
4. Legal Gap ( Jurang Hukum )
Produk Legislasi yang diposisikan sebagai salah satu objek paling
representatif dari hukum, adalah sebuah karya normatif. Pada galibnya,
semua normatif membuka diri untuk terjadinya penyimpangan. Potensi‐
potensi penyimpangan dalam berhukum melahirkan apa yang disebut jurang
hukum (legal gap). Jurang atau lacuna yang terjadi sesungguhnya berproses
146Lihat Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,Jakarta, Konstitusi Press, Cet.II, 2012, hal 141‐154
171
melalui pola‐pola sederhana. Proses tersebut diawali dari ketersediaan hukum
positif yang berada dalam penantian untuk diaktivasi melalui persentuhan
dengan peristiwa konkret. Ketika persentuhan ini terjadi, ada kemungkinan
hukum positif tadi tidak secara tepat mampu menjawab kebutuhan dalam
peristiwa konkret.
Hal diatas terjadi terutama karena hukum positif sebagai satu produk
hukum, selalu dipersepsikan memotret masyarakat dalam konteks penggalan
waktu tertentu (sinkronis). Hasil potret ini memperlihatkan sistem hukum
sebagai karya momentaris (momentary legal system). Di sisi lain masyarakat
mengalami pergolakan tanpa mengenal titik penghentian. Masyarakat
senantiasa berproses, sedangkan hukum positif cenderung mengkristal
sebagai produk.
Jurang hukum sangat terbuka untuk terjadi karena pembentuk undang‐
undang memang tidak pernah mampu memperkirakan secara lengkap varian‐
varian peristiwa konkret seperti apa saja yang bakal terjadi di kemudian hari.
Pada dasarnya setiap peristiwa konkret memiliki keunikan tersendiri dengan
fakta yang yang berbeda satu sama lain.
172
Bagan 3.3
PRODUK LEGISLASI PRODUK LEGISLASI
Kasus Kasus Kasus A A B Asumsi pembentuk Asumsi pembentuk Undang‐undang: undang‐undang meleset Tidak ada “legal Gap” Kenyataannya ada “Legal Gap”
5. Legal Conflictdalam Tradisi Civil Law System
Potensilegal gaps danlegal conflict147 seolah menjadi sulit dihindari ketika
suatu hukum telah bertransformasi menjadi undang‐undang. Namun, legislasi
hukum ke dalam bentuk yang tertulis seperti undang‐undang ini justru
merupakan prinsip yang utama dalam kulturCivil Law System (Romawi‐Jerman
atau corak keluarga Eropa Kontinental), sistem hukum yang diadopsi
Indonesia sekarang ini.
Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini merupakan produk historis
yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam
aspek substansi, struktur dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang. Jika
147Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Bandung, Mandar Maju, 2014, hal 39‐43
173
dijabarkan, maka terdapat pokok‐pokok konsep dalam Civil Law Systemyang
memiliki problematika di dalamnya karena memicu munculnya problematika
dalam ruang Tata Hukum Indonesia, yakni antara lain: Pertama, dalam kultur
Civil Law Systemhukum haruslah tertulis atau dituangkan dalam bentuk
undang‐undang (prinsip legisme).
Undang‐undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian,
namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak
fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas
suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan
dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnyavalue
consciousness masyarakat ke dalam suatu undang‐undang secara logis akan
membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang‐undang
tersebut atas bahan pembentuknya (nilai‐nilai masyarakat), dan dengan
demikian fenomenalegal gaps danlegal conflict akan selalu menjadi
konsekuensi lanjutan yang tidak dapat terhindari.
Suatu undang‐undang memang memiliki mekanisme pembaharuan(legal
reform)sebagai upaya meminimalisir sifat ketidakdinamisannya, namun setiap
orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang‐undang baik
melalui proses legislasi maupun proses ajudikasi oleh hakim bukanlah perkara
yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga
merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan
suatu undang‐undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu
174
yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas
kelompok‐ kelompok dengan visi dan misi yang berbeda‐beda. Sedangkan
pembaruan oleh hakim melalui putusannya (proses ajudikasi) juga tidak bisa
dilakukan secara maksimal, karena kultur Civil Law System menghendaki hakim
untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang‐undang sehingga
hal ini menyebabkan hakim dalam kulturCivil Law System tidak dapat
menyimpang terlalu jauh dari apa yang telah tertulis di undang‐undang,
walaupun undang‐undang tersebut telah ketinggalan zaman.Kedua, kultur
Civil Law System mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Dengan
demikian, dalam Civil Law System terdapat konsep bahwa tujuan utama yang
disasar oleh hukum bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena filsafat
positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas
segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat
dijadikan ukuran kebenaran.
Dua hal di atas itulah yang merupakan konsep pokok dalam Civil Law
System yang jika dikaitkan dengan proses pengembanan Hukum Indonesia
pokok‐pokok pikiran di atas menyimpan problematika yang bersifat mendasar
sehingga jika diterapkan dalam ruang Tata Hukum Indonesia seperti halnya
yang terjadi saat ini secara logis akan menjadi pemicu munculnya
problematika dalam proses pembangunan hukum Indonesia. Dengan
demikian sekarang telah jelas tergambar bahwa adanya problematika
pembangunan hukum Indonesia adalah bagian dari permasalahan sistem
hukum Indonesia (Civil Law System).
175
B. Konsep Berhukum Ideal Berbasis Progresif 1. Dinamika Ilmu Hukum Di Indonesia
Sejak empat dekade yang lalu, dalam ilmu hukum di Indonesia, sudah
mulai tercapai kesadaran, bahwa ada yang salah dalam ilmu hukum yang
selama ini diterima dan dijalankan. Tahun 1970‐an boleh disebut sebagai
“Tahun Emas” berupa titik‐balik dalam perkembangan ilmu hukum di
negeri ini yang sejak berpuluh‐puluh tahun hanya berkutat pada hukum
perundang‐undangan.
Studi‐studi sosiologis terhadap hukum dan pendirian pusat studi
hukum dalam konteks sosial mulai bermunculan seperti “Pusat Hukum dan
Masyarakat” (Undip) dan “Pusat untuk Studi Hukum dan Pembangunan”
(Unair). Kurikulum juga diperkaya dengan mata kuliah seperti Sosiologi
Hukum, Antropologi Hukum. Yang menarik adalah, bahwa dalam kelas
sosial tersebut para mahasiswa tidak boleh berbicara mengenai hukum.
Para penstudi hukum mulai secara sistematis menengok ke dunia empirik,
ke lapangan dan bertanya “apa yang terjadi pada hukum di masyarakat?”.
Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja adalah salah satu tokoh
besar yang memiliki saham besar dengan menjadikan fakultas‐fakultas
hukum sebagai lumbung pemikiran (think tank) kajian sosiologis empiris
perkembangan pemikiran hukum di Indonesia.148 Perubahan dalam
148Pemikiran hukum periode 1960‐1970, memperlihatkan suatu karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas‐asas yang ketat pada format‐format postulat hukum. Fokus pemikirannya tentang hukum lebih diorientasikan pada realitas yang berkembang pada jamannya. Meskipun pemikir pada periode ini gagasannya di dasarkan pada tradisi pemikiran
176
substansi dan arah pendidikan di Indonesia tersebut sempat memancing
kekaguman pengamat dari luar Indonesia. Almarhum Indonesianis terkenal
yakni Daniel S. Lev bertanya “mengapa studi sosial terhadap hukum itu
cepat diterima di negeri ini?” hal ini karena perkembangan tersebut
dimulai dan disebabkan oleh “suasana chaos/kekacauan” hukum sejak
kemerdekaan.
Negara ini tidak menjadi merdeka melalui cara‐cara yang tertib, damai,
teratur, khususnya melalui jalan hukum, tetapi lebih lewat banyak
“ketidak‐teraturan dan kekerasan”. Kemerdekaan negeri ini diumumkan
secara sepihak oleh bangsa Indonesia, tanpa melalui proses hukum
ketatanegaraan yang standar pada waktu itu. Inilah pelajaran penting
pertama bagi bangsa Indonesia tentang penggusuran otoritas hukum oleh
proses dan kekuatan politik. Sesudah selama beratus‐ratus tahun bangsa
Indonesia menikmati “rust en orde”, maka tiba‐tiba mereka harus
mengalami, bahwa suasana damai dan tertib itu bukanlah abadi dan
absolut.
Barat, akan tetapi pada saat yang sama mereka berupaya mengkonseptualisasikan dan mentransformasikan kerangka pemikiran Barat ke dalam realitas Indonesia, baik secara normatif maupun empiris. Pemikiran hukum pada periode tahun 1970‐1990‐an, dapat dipandang sebagai pemikiran yang bersifat transformatif. Artinya, pemikir transformatif bukan hanya menyentuh aspek‐aspek normatif dan doktrinal semata‐mata, melainkan berusaha mentransformasikan secara kritis fenomena‐fenomena hukum dari arah empiris yang dikonstruksikan ke dalam tataran teoritik filosofis. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, Press, 2010, hal viii
177
Sebuah tatanan sah yang ternyata dapat ditumbangkan oleh kekuatan
rakyat yang seharusnya tunduk pada tertib hukum Hindia Belanda.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, “bagaimana gejolak hukum di
Indonesia yang sudah melampaui batas‐batas yang dapat dijelaskan oleh
ilmu hukum “tradisional” itu masih dijelaskan menurut cara berpikir hukum
yang linier, analitis dan Kelsenian? Dibutuhkan historitas ilmu hukum dan
teori hukum Indonesia. Ia tidak hanya mengejar rumusan yang bersifat
umum (generalisasi), melainkan lebih daripada itu, memerhatikan, berfikir
dan berteori tentang realitas Indonesia.
2. Re‐orientasi Metodologi
Keilmuan hukum sekarang terlihat menjadi lebih cerdas, oleh karena
tidak ingin membiarkan hukum itu dilihat dari satu persepsi saja dan
menganggap yang lain sebagai lebih rendah. Membuka wacana yang
demikian itu membawa keilmuan hukum mempertanyakan kembali batas‐
batas antara yang diterima sebagai hukum dan yang tidak. Apa yang sudah
dianggap jelas di masa lalu, sekarang dipertanyakan kembali
keabsahannya.
Di manapun hukum di dunia selalu berkelindan erat dengan
kehidupan sehari‐hari dalam masyarakat di mana hukum itu berada.
Dengan demikian menjadi sulit diterima pikiran yang menghakimi hukum
dari suatu masyarakat sebagai baik atau tidak. Metodologi juga menjadi
masalah baru, oleh karena yang lama tidak dapat dipakai untuk memahami
178
kepekaan pluralisme dewasa ini. Memahami pluralisme tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan metodologi yang cenderung “rigid” dan
“finite” yang menghakimi, melainkan yang mampu menggali dan
mengungkap kekayaan nalar di belakang hukum, seperti pada studi‐studi
anthropologi. Ilmu hukum di Indonesia (baca: “Hindia Belanda”) waktu itu
(sampai sekarang) yang masih kuat dikuasai oleh positivisme, sehingga
tidak mampu memahami dan mencerna realitas dinamika pluralisme
masyarakat Indonesia.
Dewasa ini di kalangan komunitas keilmuan hukum cukup populer
dengan yang disebut “socio‐legal approach”, “socio‐legal research”, atau
“socio‐legal study”. Apabila diamati dengan seksama, maka yang dimaksud
sesungguhnya sangat sederhana, yaitu tidak berhenti pada “analytical‐
legal approach”. Pembedaan antara “law in the books” dan “law in action”
menjadi tema yang sering disebut‐sebut. Dengan demikian ia tidak sekedar
melihat apa yang tertulis dalam teks dan apa yang terjadi di lapangan,
tetapi melihat hukum dalam konteks sosial secara bermakna.
Kajian sosio‐legal adalah jenis studi yang mempresentasikan cara
melihat hukum lebih kepada konteks daripada teks. Secara konvensional
dapat dimaknai sebagai sebuah kajian (studi) terhadap hukum dengan
berangkat dari sudut pandang kelompok ilmu‐ilmu sosial tentang hukum (a
social scientific perspective to the studi of law) atau kelompok ilmu‐ilmu
empiris yang berobjekkan hukum. Sosiologi Hukum misalnya, adalah salah
179
satu dari jenis ilmu empiris yang berobjekkan hukum. Artinya, Sosiologi
Hukum adalah salah satu dari instrumen yang dapat digunakan oleh kajian
sosio‐legal, tetapi jelas ia bukan instrumen satu‐satunya. Ilmu‐ilmu empiris
yang berobjekkan hukum itu sangatlah banyak jumlahnya seperti Sejarah
Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum dan Politik Hukum.
Nikola Lacey bahkan menambahkan, untuk kajian sosio‐legal dapat
diikutsertakan interaksi dengan ilmu‐ilmu lain seperti ekonomi, juga ilmu‐
ilmu eksakta seperti kedokteran. Kajian sosio‐legal dapat dipertemukan
ilmu‐ilmu lain dengan ilmu hukum atau menggunakan interpretasi subjektif
penstudi ilmu‐ilmu lain terhadap hukum. Jadi, dengan meminjam istilah
Lacey kita dapat memasukkan kajian sosio‐legal sebagai bentuk kajian
hukum yang menggunakan perspektif ilmu‐ilmu sosial terhadap hukum
yang dilakukan dengan tujuan sebagai internal kritik. Sasaran kritiknya
adalah kelemahan‐kelemahan praktis hukum tatkala bersentuhan dengan
kenyataan sosial.
3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru
Pada tahun 2001 (dicetak ulang tahun 2006), Brian Z. Tamanaha telah
menulis sebuah buku berjudul “A General Jurisprudence of Law and
Society” yang boleh dikatakan sebagai bentuk ilmu hukum yang baru.
Setidaknya ia telah memisahkan diri dari ilmu hukum tradisional yang
“menanggalkan konteks kemasyarakatannya”. Dengan tegas Tamanaha
mengisyaratkan, bahwa ilmu hukum itu harus berupa dokumen tentang
180
“hukum dan masyarakatnya”. Sementara pemikiran alternatif muncul
dalam bentuk seperti ilmu dan teori hukum yang sadar terhadap pluralisme
(plurality conscious legal theory), kajian holistik dan ekologis dan
pascamodernisme yang sudah memasuki ranah studi hukum. Ilmu hukum
baru tersebut melihat betapa tidak utuhnya hukum yang sudah direduksi
ke dalam teks‐teks undang‐undang. Sejak teks‐teks tersebut hanya
merupakan perumusan tekstual dari realitas yang sebenarnya, maka boleh
kiranya dikatakan, bahwa teks‐teks tersebut adalah “mayat‐mayat hukum”
belaka.
Teks atau rumusan formal itu menjadi mayat hukum, oleh karena
mereduksi suatu keutuhan menjadi kepingan‐kepingan bahasa atau
kalimat. Alih‐alih studi hukum membawa kita kepada pemahaman hukum
secara utuh dan penuh, kita hanya disuguhi suatu skema belaka (finite
scheme). Maka ilmu hukum yang baru tersebut bertugas meng‐utuhkan
kembali hukum yang sudah menjadi tereduksi dan ter‐fragmentasi
tersebut. Usaha ini dapat dilakukan melalui penyatuan kembali antara
masyarakat dengan perundang‐undangan. Dalam bahasa tamsil, ilmu
hukum baru tersebut bertugas “mengembalikan daging, darah dan syaraf
hukum kepada skeleton hukum” itu.
181
Brian Z. Tamanaha149 membangun teorinya tentang hukum yang
disebutnya sebagai “Mirror Thesis”. Sesungguhnya Tamanaha tidak berdiri
sendiri mengenai pendapatnya mengenai esensi sistem hukum itu. Jauh
hari pada tahun 1881, Oliver Wendell Holmes sudah berkata bahwa hukum
itu bukan suatu buku matematik, melainkan memuat “the felt necessities of
the time, the prevalent moral and political theories,... the stories of nation’s
development through many centuries”.
Indonesia sendiri tidak kering dengan pikiran‐pikiran yang tidak ingin
membiarkan ilmu hukum bergelut dengan teks belaka, melainkan
membawanya ke tengah kehidupan masyarakat dengan sekalian aspeknya.
Soerjono Soekanto (1973), Soetandyo Wigyosoebroto (2007), Satjipto
Rahardjo (1980), mereka adalah tokoh pemikir yang menyebut bahwa
hukum adalah berada di luar teks, hukum sebagai institusi sosial, hukum
sebagai perilaku manusia dan sebagainya. Maka kendatipun tanpa
menyebut secara tegas, namun secara substantif studi hukum dan dengan
demikian ilmu hukum di Indonesia sesungguhnya telah menjelma “menjadi
baru”.
4. Konsep Pikiran‐Pikiran Integratif : “Gerintegreerde rechtwetenschap” dan “Consilience”.
Orde hukum memiliki kelengkapan untuk membuat, merubah dan
menjalankan hukum, tetapi tidak memiliki kekuatan (faculty) untuk berpikir
149Lihat Satjipto Rahardjo, B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati, FX Ajie Samekto, Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Thafa Media, 2012, hal 633‐644
182
tentang hukum itu. Maka dibutuhkan sebuah kekuatan lain, yaitu akademis
yang mampu melakukan kontemplasi terhadap hukum. Tanpa kontemplasi
orang tidak dapat melihat kekurangan pada hukum yang dengan itu akan
dilakukan konstruksi dan pembuatan konstruksi baru.
Komunitas akademis yang mengambil jarak terhadap praksis
hukum adalah institut yang tepat untuk mendampingi dan mengawal orde
hukum agar tidak terjerumus dalam anomali. Karena tidak terlibat pada
pekerjaan sehari‐hari yang dilakukan oleh para praksis hukum, maka dunia
akademis itu mampu melihat secara lebih kritis terhadap kekurangan‐
kekurangan yang ada pada orde hukum tersebut. Komunitas ilmu hukum
pada Universitas Erasmus, Rotterdam, dalam sebuah buku yang berjudul
“Geintegreerde rechtwetenschap” (ilmu hukum yang terintegrasi) boleh
menjadi contoh yang mempertontonkan kegelisahan sebuah institut
hukum mengenai kemampuan hukum untuk menghadapi dan
menyelesaikan poblem‐problem.
Pembagian‐pembagian ke dalam hukum publik dan privat yang
sudah berumur ratusan tahun itu, tidak mampu lagi menjadi basis bagi
penyelesaian problem hukum yang sudah semakin kompleks dewasa ini.
Pembagian klasik ke dalam dua ranah publik dan privat itu menjadi
absolete karena dilampaui oleh kompleksitas kehidupan masyarakat yang
tidak dapat lagi dimasuk‐masukkan ke dalam ranah yang satu dan yang
lain. Pengkotakan hukum klasik ke dalam ranah yang dibedakan satu untuk
183
menangani kepentingan umum oleh pemerintah (hukum publik) dan yang
satu lagi menangani interaksi kepentingan pribadi warga negara dan
kelompok‐kelompok masyarakat (hukum privat) berhadapan dengan
tatanan hukum sekarang ini sudah kehilangan keabsahannya.
Perkembangan yang amat cepat dari berbagai ranah hukum
fungsional, seperti hukum‐hukum lingkungan, kesehatan, bangunan telah
menyumbang munculnya problem‐problem baru yang tidak dapat
dikembalikan kepada penataan klasik yang mempertahankan “garis magis”
antara hukum publik dan hukum perdata. Pemisahan yang ketat antara
ilmu hukum dengan ilmu‐ilmu sosial juga muncul sebagai problem pada
waktu pandangan para ahli hukum diarahkan kepada masyarakat, yang
membutuhkan pencerahan yang berasal dari disiplin‐disiplin ilmu lain.
Hukum harus dilihat sebagai “recht in beweging” (hukum yang sedang
bergerak).
Edward O.Wilson adalah seorang biolog yang sejak muda sudah
tercekam oleh teorinya tentang suatu “unified learning”. Sesudah melewati
masa‐masa awal dalam studinya, pada suatu saat tiba‐tiba sebuah dunia
baru seperti terbentang di depannya. Pertanyaan‐pertanyaan yang selama
ini ada di kepalanya menuntunnya kepada suatu keadaan tiba‐tiba
tersebut. Sejak saat itu ia semakin intensif melihat pengetahuan sebagai
satu kesatuan. Tidak ada tujuan yang lebih mulia kecuali menemukan “the
intrinsic of knowledge”. Apa yang dilakukan oleh pemikir‐pemikir Abad
184
Pencerahan sudah hampir benar. Tetapi fragmentasi pengetahuan yang
dilakukan terlalu kaku sehingga bukanlah pencerminan yang sebenarnya
dari dunia kita melainkan hanya “artifacts of scholarship” belaka. Wilson
menggunakan terma “consilience” dan berpendapat, bahwa itu merupakan
kunci menuju unifikasi.
“Consilience” artinya terjun bersama‐sama disiplin‐disiplin ilmu
pengetahuan melalui penghubungan fakta‐fakta yang membentuk suatu
teori secara lintas disiplin, yang akhirnya merupakan rumusan bersama
(common groundwork) untuk membuat suatu penjelasan. Dengan
pemikiran yang demikian itu ia melihat, bahwa sekalian pembagian dalam
sains itu akhirnya harus merupakan kesatuan. Pembagian ke dalam ilmu‐
ilmu kealaman (natural science), ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu
kemanusiaan (humanities), disebutnya sebagai “the great branches of
learning”. Mengenai pembagian tersebut Wilson mengatakan, bahwa
sukses dalam ilmu kealaman tidak boleh hanya berhenti sampai disitu.
Untuk sampai pada kesatuan ilmu pengetahuan, maka sukses‐
sukses ilmu‐ilmu kealaman itu dikembangkan (extrapolation) terus
memasuki cabang‐cabang besar pengetahuan tersebut. Baru kalau ia sudah
mampu menunjukkan kekerabatan dan kemanfaatannya bagi ilmu‐ilmu
sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan, ilmu‐ilmu kealaman itu benar‐benar
mencapai sukses sesungguhnya. Oleh karena itu kita tak dapat berhenti
pada pencabangan ilmu pengetahuan, melainkan menembus batas‐batas
185
cabang tersebut. Ilmu hukum yang tidak mampu untuk melihat tempatnya
di dalam elevansi sains tersebut akan menjadi ilmu yang tertinggal.
5. Berpikir secara Holistik
Sepanjang sejarah sains terdapat dua kutub yang berseberangan
yaitu “mekanisme” di satu pihak dan “holisme” di pihak lain. Mekanisme
diisi dengan pikiran‐pikiran yang membelah‐belah, mengiris‐iris,
mengkotak‐kotak dan mereduksi. Dunia menjadi sebuah mesin besar yang
tersusun dari unsur dan blok‐blok yang berproses secara mekanistis dan
“clock wise”.
Dunia ini tersusun dari kotak‐kotak sebagai bagian‐bagiannya dan
dapat dikembalikan secara eksak (reversible) menjadi bagian‐bagian
tersebut. Inilah tesis Cartesian dan Newtonian. Sebaliknya, holisme melihat
dunia sebagai satu kesatuan dan hanya dapat dipahami dengan seksama
dalam konteks kesatuan itu pula. Untuk memahami sesuatu dengan baik, ia
tidak dapat dikembalikan kepada bagian‐bagiannya, kendati bagian itu
memang ada. Memahami sesuatu dengan baik adalah melihat sesuatu itu
secara holistik. Menurut Capra, cara pemahaman yang demikian itu
merupakan guncangan besar abad ke‐20.
“The great shock of the twentieth century has been that systems cannot be understood by analysis. The properties of the part are not intrinsic properties but can be understood only within the context of the larger whole”.150
150Lihat Satjipto Rahardjo, B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati, FX Ajie Samekto, Refleksi dan Rekonstruksi....hal 640
186
Berpikir tidak lagi menganalisis, yaitu memisah‐misahkan, melainkan
menempatkannya dalam konteks keutuhan yang lebih besar.
Pemikiran‐pemikiran atau pemahaman holistik seperti itu menyebar
ke berbagai disiplin sains, seperti “Gestalt Psychology” (psikologi),
“Quantum Physics” (fisika) dan sekarang berpikir ekologis (Capra). Dua
konsep kunci dalam ilmu ekologi adalah “komunitas” dan “jaringan”
(network). Kehidupan dilihat sebagai suatu komunitas ekologi, yaitu sebuah
kumpulan (assemblage) organisma‐organisma yang terikat ke dalam suatu
kesatuan fungsional melalui saling‐keterikatan (mutual relationship).
Konsep jaringan menjelaskan, bahwa dalam alam itu tidak ada “atas”
dan “bawah”, tidak ada hierarki, melainkan hanya ada jaringan yang
diwadahi dalam jaringan yang lain. Realitas sudah tidak lagi dilihat sebagai
bangunan dengan sekalian pondasinya, melainkan suatu “interconnected
network of concepts and models in which there are no foundations”.
Berpikir sistem adalah berfikir kontekstual dan berfikir secara proses
(process thinking). Kita masih dapat menekuni satu disiplin sains, tetapi
tidak dapat lagi memperlakukannya secara otonom penuh, melainkan
terlibat dalam jaringan yang besar tersebut. Tidak ada lagi disiplin yang
terisolasi, melainkan berada dan terlibat dalam suatu jaringan dan proses.
Ilmu hukum mejadi hanyut belaka dalam suatu jaringan besar sains. Ia
dapat dibedakan dari disiplin yang lain, tetapi selebihnya, seperti juga
187
disiplin‐disiplin yang lain, ia hanya merupakan satu noktah kecil di tengah
suatu jaringan besar.
6. Ilmu Hukum dalam Jagat Sains dan Kecerdasan Berpikirnya
Ilmu hukum tidak berada di luar sains, melainkan berada di
dalamnya. Oleh karena itu ia tak dapat hanya melihat ke dalam, melainkan
perlu secara progresif melihat dan menemukan tempatnya di tengah
perkembangan‐perkembangan disiplin‐disiplin ilmu yang lain. Ilmu hukum
akan menjadi lebih cerdas manakala secara aktif mampu menyesuaikan
dengan perkembangan sains pada umumnya. Berkali‐kali hukum
melemparkan dirinya ke dalam kancah sains, walaupun terkadang tanpa
disadari.
Ilmu hukum berkali‐kali melakukan terobosan dan lompatan,
sehingga hukum mampu keluar dari situasi‐situasi stagnan dan logika
konvensionalnya. Semua itu dilakukannya secara intuitif tanpa dapat
memberikan penjelasan ilmiah mengapa bertindak seperti itu. Penjelasan
ilmiah memang tidak dapat diberikan, oleh karena penjelasan itu
merupakan kompetensi dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh pada 16
Januari 1919, Hooge Raad (Mahkamah Agung Belanda) membuat suatu
sejarah baru dalam pemaknaan “perbuatan melawan hukum”
(onrechtmatige daad), yang memancing sebutan “Revolusi di bulan
Januari”. Kalau sebelumnya perbuatan tersebut diartikan sebagai suatu
perbuatan yang melanggar suatu pasal dalam undang‐undang (atau yang
188
sering kita sebut sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil),
maka sejak detik itu diperluas menjadi “perbuatan yang bertentangan
dengan asas kesantunan dan kepatutan dalam masyarakat” (strijdig met de
goede zeden of de maatschappelijkheid) atau yang kita kenal dengan
perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Celakanya Mahkamah
Konstitusi dengan pertimbangan demi menjaga kepastian hukum, melalui
putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU‐IV/2006 tanggal 25 Juli 2006;
justru malah membatalkan penafsiran tersebut sehingga menyebabkan
dikabulkannya Peninjauan Kembali dari Terpidana Korupsi yang tengah
buron, Sujiono Timan.151 Tidak ada penjelasan yang benar‐benar ilmiah
yang diberikan pada waktu itu.
Paul Scholten hanya berteori, bahwa setiap putusan hakim itu selalu
merupakan suatu lompatan (een sprong). Ronald Dworkin mengatakan,
bahwa setiap kali hakim memutus, maka setiap kali pula ia sedang berteori 151 Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali yang diketuai oleh Suhadi dan tiga Hakim lainnya, yakni Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, dan Sophian Marthabaya menerima Novum dan alasan Kekhilafan Hakim yang diajukan Pengacara Sudjiono, yakni berupa putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006 mengenai tidak mengikatnya perbuatan melawan hukum materiil di dalam pasal 2 ayat 1 Undang‐Undang No.31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi; padahal sebelumnya, pada tingkat Kasasi, yakni pada 2004, Sudjiono dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 396 miliar. Pada tingkat kasasi, Altidjo Alkostar menjerat perbuatan yang dilakukan oleh Sujiono Timan dengan perbuatan melawan hukum dalam ranah materiil karena secara formil tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum padahal nyata adanya kerugian negara sudah timbul akibat perbuatan tersebut. Seperti yang kita tahu bahwa unsur kerugian negara bukan merupakan syarat terjadinya delik dalam tindak pidana korupsi.( lihat Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 434 K/Pid/2003, tanggal 03 Desember 2004 atas nama Terpidana Sujiono Timan ).Majelis Kasasi menyatakan Sudjiono Timan hanya melanggar kepatutan (material), bukan undang‐undang (formil). Jadi dengan dicabutnya frasa pemidanaan berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam arti luas, termasuk yang tidak diatur secara formal. Maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, Majelis Hakim PK membebaskan Sudjiono Timan dengan membatalkanPutusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 434 K/Pid/2003 . (Lihat Putusan Peninjauan Kembali Sujiono Timan No. 97 PK/Pid.Sus/2012).
189
tentang apa hukum itu. Sejak putusan hakim itu merupakan produk dari
pikiran sang hakim, maka barang tentu disiplin yang paling kompeten
untuk memberikan penjelasan adalah psikologi. Sementara itu dalam
psikologi juga telah terjadi perkembangan yang berujung pada berfikir
secara spiritual (Spiritual Quotient).
Kemampuan berfikir manusia tidak hanya mengikuti IQ (Intellectual
Quotient) yang linier, melainkan juga mengikuti SQ, yaitu berpikir secara
melompat. Pada waktu Renee Descartes “menegakkan” tonggak sains
modern yang sepenuhnya menggunakan akal pikiran (ratio), maka IQ
menjadi ikonnya. Mengenai hal itu Zohar dan Marshall 152 mengajukan
kritik sebagai berikut :
“Our Western model of ‘thinking’, then, is adequate. Thinking is not an entirely cerebral process, not just a matter of IQ. We think not only with our heads but also with our emotions and our bodies (EQ) and with our spirits, our visions, our hopes, our sense of meaning and value (SQ)”.
Rupa‐rupanya ilmu hukum harus menunggu lebih dari 75 tahun,
sebelum dapat menjelaskan “revolusi di bulan Januari itu”. Akhirnya
dapatlah dijelaskan secara ilmiah, bahwa apa yang dilakukan oleh hakim‐
hakim Hooge Raad adalah berpikir dengan menggunakan SQ tersebut.
Sebuah contoh lain adalah transformasi teori biologi ke dalam teori hukum.
Teoritisi hukum, seperti Luhman dan Teubner, memanfaatkan
autopoietic dalam biologi untuk membuat penjelasan mengenai
independensi sistem hukum. Maturana dan Varela, dua orang yang 152Lihat Op.Cit hal 626
190
menelorkan terma “autopoiesis”. Kata tersebut menunjukkan adanya self
reproducing at the living system. Luhmann mengadopsi terma tersebut
untuk menjelaskan, bahwa sistem hukum itu juga bersifat autopoietic, “the
legal system as a self referential, self reproducing...”. Jadi sistem hukum
adalah sebuah mesin yang mampu memproses sendiri masukan dari luar
guna melahirkan produk‐produk dari situ. Dengan demikian Luhmann ingin
menunjukkan, bahwa sistem hukum itu mampu berproses berdasarkan
kemampuan inheren yang ada padanya sehingga dapat menimbulkan
wacana‐wacana baru dalam ilmu hukum.
7. Penawaran suatu bentuk Ilmu Hukum yang Progresif dan Kreatif
Sejak hukum itu dituntut untuk memandu kehidupan
masyarakatnya, maka tak ayal, bila diperlukan, ia harus berani keluar dari
tradisi dan konvensi yang selama ini dipegangnya (“out of thinking”, “rule
breaking”). Ia menjadi ilmu hukum “yang mencari” bukan “yang
mengerangkeng”.
Berpikir menerobos menjadi agenda penting dalam tipe berilmu
hukum ini. Panduan hukum dapat dilakukan dengan baik manakala terbuka
ruang bagi terjadinya interaksi yang aktif antara hukum dan
masyarakatnya. Ia harus memperhatikan dan peka terhadap dinamika yang
terjadi di dalam masyarakat. Ia harus dapat menangkap frekwensi
kehidupan masyarakatnya dengan baik. Ilmu hukum bukan legalitas tapi
191
legitimasi. Kendatipun kepastian hukum merupakan suatu kebutuhan,
tetapi bukan kepastian ketidak‐adilan hukum.
8. Hermeneutika Sosial sebagai Metode Penemuan Hukum yang Dinamis dan Progresif
Bahasa dan hukum saling terkait dan hanya dipisahkan oleh
keberadaan otoritas yang melegitimasi keberlakuan kata (teks). Sudikno
Mertokusumo153mengatakan bahwa hukum (baca: peraturan
perundangan‐undangan) tidak lengkap atau tidak jelas, sehingga harus
mencari atau menemukan hukumnya. Penemuan hukum adalah proses
pembentukan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum itu. Dalam penemuan hukum tersebut menjadi proses konkretisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
peristiwa konkrit (das sein).
Penemuan hukum dilakukan dengan menjelaskan, menafsirkan
atau melengkapi peraturan perundang‐undangan. Dalam hal peraturan
perundang‐undangan tidak jelas maka tersedia metode interpretasi atau
metode penafsiran. Artinya penafsiran terjadi sebagai proses pasca
penemuan hukum, yaitu dilakukan setelah menemukan kelengkapan dari
kaedah‐kaedah yang tersedia dalam peraturan perundang‐undangan
tersebut. Setelah upaya mencari jelas atau menemukan kelengkapan
153Lihat Satjipto Rahardjo, B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati, FX Ajie Samekto, Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Thafa Media, 2012, hal 212‐222
192
belum mampu menjelaskan atau melengkapi proses konkretisasi
peraturan hukum, berpalinglah ke metode penafsiran.
Penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang‐
undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu. Dari penjelasan mengenai penemuan hukum dengan
metode penafsiran hukum dapat diketahui bahwa muncul karakteristik
langkah yang dipilih untuk menerapkan hukum yaitu melihat ke dalam.
Yang dimaksud melihat dalam adalah mengutamakan pencarian
penjelasan atas bunyi teks hukum yang tidak lengkap atau tidak jelas ke
dalam peraturan perundang‐undangan (yang tidak jelas) itu sendiri namun
metode yang digunakan tersebut justru memiliki potensi untuk melahirkan
ketidakjelasan baru. Hal ini dikarenakan hukum menutup diri untuk
membongkar bunyi teks. Ia eksklusif dengan membebaskan dirinya dari
anasir‐anasir non hukum sesuai ajaran hukum murninya Hans Kelsen.
Ketidakjelasan yang muncul karena penemuan yang dilakukan dengan
melihat ke dalam tidak cukup atau belum mampu untuk membantu
mencakup keseluruhan kebutuhan pemahaman terhadap hukum ketika
menegakkan hukum.
Hukum tidak identik dengan keadilan. Karena hukum bergerak
dalam pusaran teks, tidak menceburkan diri dalam pergumulan
kontekstualisasi kaedah hukum dengan kondisi dinamis masyarakat,
193
akibatnya hukum menjadi terasing tidak mampu menyentuh rasa keadilan
masyarakat. Untuk mendobrak kesakralan teks‐teks tersebut maka
diperlukan sebuah cara ataupun metode yang digunakan sebagai
pedoman untuk mendobrak. Jadi penafsiran dilakukan dengan cara yang
tidak ilmiah, metode yang paling terkenal adalah menggunakan metode
Hermeneutika.
Sudikno Mertokusumo membagi 6 metode penafsiran yaitu
interpretasi gramatikal, sistematis, histori, teleologis, komparatif daa
antisipatif. Dari sekian banyak metode interpretasi yang paling ideal
adalah interpretasi teleologis yaitu makna undang‐undang itu ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Interpretasi ini mempunyai
kesempatan untuk keluar dari pemahaman teks hukum dan melakukan
penyesuaian bunyi teks tersebut dengan situasi sosial baru. Penemuan
hukum yang menggunakan interpretasi teleologis dapat membuka
pemahaman hukum yang tidak hanya berorientasi ke dalam teks hukum,
namun melihat hukum sebagai fenomena sosial.
Sebagai fenomena sosial hukum tampil lebih dinamis dan progresif
bergerak mengikuti bandul perkembangan masyarakat. Penemuan hukum
yang berorientasi melihat ke dalam akan terus menempatkan hukum jauh
di dibelakang perkembangan masyarakat. Hukum kehilangan hakekat dan
tujuannya untuk memberikan perlindungannya dan menghadirkan
keadilan dalam sebuah realitas kemasyarakatan. Penafsiran hukum
194
dengan metode yang berorientasi ke dalam akan berhasil menjaga
kewibawaan teks hukumnya namun pada saat itu kehilangan
kontekstualisasinya yang pada akhirnya mencabut hukum itu dari kausa
primanya sehingga tidak mengherankan apabila putusan hukum penegak
hukum gagal untuk menjaga ketertiban dalam pengertian menjawab rasa
keadilan masyarakat.
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang‐undang, penegak hukum
(hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang‐undang. Hakim
tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas.
Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak
sempurnanya undang‐undang. Olehnya, karena undang‐undang yang
mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka
dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan
mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas‐petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini
merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Untuk memahami
apa yang dimaksud dengan hermeneutika, perlu menengok kronologi asal‐
195
usul kata hermeneutika, supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah
hermeneutika. Secara etimologis kata ''hermeneutika" itu berasal dari
bahasa Yunani kata kerja uHermeneuein” yang berarti: menafsirkan atau
menginterpretasi, kata benda ''hermenia" yang berarti: penafsiran atau
interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna
dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1)Mengungkapkan kata‐kata,
misalnya “to say”; (2) Menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3)
Menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna
itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to interpret”. Pada
mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata
Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan
menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia.
Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang
memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata‐kata
manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan
pengertian hermeneutika teks‐teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak
Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat‐ayat kitab suci. Secara
teologis peran Hermes tersebut dapat dinisbahkan sebagaimana peran
Nabi, menyatakan bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris AS
Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni
menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci.
Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran
196
filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu.
Sesuatu yang dimaksud di sini dapat berupa teks, naskah‐ naskah kuno,
peristiwa, pernikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah
merupakan objek penafsiran hermeneutika.
Menurut B. Arief Sidharta,154 hermeneutika dikembangkan sebagai
metode atau seni untuk menafsirkan teks, kemudian berkembang
digunakan sebagai metode untuk ilmu‐ilmu manusia, khususnya ilmu
sejarah dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli
humaniora. Sedangkan Jazim Hamidi menjelaskan bahwa hermeneutika
hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu,
atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik
menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara
teks, konteks dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum,
peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau
kitab suci. Adapun fungsi dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut
James Robinson adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas
supaya lebih jelas.
Secara filosofis, sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer,
Hermeneutika Hukum mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan
hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu
dan masa sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang
154Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Bandung, Mandar Maju, 2014, Hal 6‐11
197
pertama kali (genuine). Menurut Gadamer ada tiga syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang penafsir yaitu: memenuhi subtilitas integendi
(ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan
subtilitas applicandi (ketepatan penerapan). Hermeneutika hukum juga
mempunyai pengaruh besar dengan teori penemuan hukum karena dalil
hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta‐fakta
dalam bingkai kaidah‐kaidah dan menginterpretasi kaidah‐kaidah dalam
bingkai fakta‐fakta.
Dalam filsafat hermeneutika khususnya pada peristiwa memahami
atau menginterpretasi sesuatu, subjek (interpretator) tidak dapat memulai
upayanya dengan mendekati objek pemahamannya sebagai tabula rasa
(tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir kedalam suatu
dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses sejarah terus‐menerus,
yakni tradisi yang bermuatan nilai‐nilai, wawasan‐wawasan, pengertian‐
pengertian, asas‐asas, arti‐arti, kaidah‐kaidah, pola‐pola perilaku dan
sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan
sejarah. Jadi, tiap subjek, terlepas dan tidak tergantung dari kehendaknya
sendiri, selalu menemukan dirinya sudah berada dalam suatu tradisi yang
sudah ada sebelum ia dilahirkan dan menemukan dirinya sudah ada disitu.
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang menyerap
atau diresapi muatan tradisi tersebut, dan dengan itu membentuk pra
pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka berupa putusan
198
yang diberikan sebelum semua unsur yang menentukan sesuatu atau
suatu situasi ditelaah secara tuntas, dan dengan itu juga terbentuk
cakrawala pandang, yakni medan pengamatan (range of vision) yang
memuat semua hal yang tampak dari sebuah titik pandang subjektif
tertentu.
Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan
persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan
teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang
bersangkutan. Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran
pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirket),
yakni gerakan bolak‐balik antara bagian atau unsur‐unsur dan keseluruhan
sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini,
tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks
keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas bagian‐bagian yang mewujudkannya.
Bertolak dari pra pemahaman dalam kerangka cakrawala
pandangnya tentang interpretandum (ikhwal yang mau dipahami) sebagai
suatu keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari
bagian‐bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian‐bagian tersebut
dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya
memahami interpretandum,hasilnya disorotkan pada bagian‐bagian guna
memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya
199
disorotkan balik pada keseluruhan, dan demikian seterusnya sampai
tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat.
9. Keadilan di Atas Kepastian Hukum
Undang‐undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan
kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan
menjadi tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan
pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam
konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti
halnyavalue consciousness ke dalam suatu undang‐undang secara logis
akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang‐
undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai‐nilai masyarakat).
Suatu undang‐undang memang memiliki mekanisme
pembaharuanlegal reform sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak
dinamisannya, namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui
suatu undang‐undang baik melalui proses legislasi maupun proses
kontekstualisasi oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk
dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan
manifestasi proses pergulatan politik, di mana untuk menghasilkan suatu
undang‐undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu
yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas
kelompok‐kelompok dengan visi dan misi yang berbeda‐beda. Sedangkan
pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan
200
secara maksimal, di samping karena pengaruh kulturCivil Law System yang
menghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi
undang‐undang walaupun undang‐undang tersebut telah ketinggalan
zaman, juga dikarenakan paradigma berpikir hakim masih banyak
mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Dengan demikian,
tujuan utama yang dituju bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena
filsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif)
di atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja
yang dapat dijadikan ukuran kebenaran. Pada akhirnya, apa yang adil
tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya
sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan
seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam
undang‐undang.
Terdapat macam‐macam teori mengenai keadilan dan masyarakat
yang adil yang didiskusikan secara mendalam oleh para filsuf hukum, akan
tetapi teori‐teori itu sekarang mulai dilupakan oleh para praktisi hukum
dalam menegakkan keadilan. Teori‐teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Pandangan‐pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan
dalam karyanyaNichomachean Ethics, Politics, and RethoricLebih
khususnya, dalam buku Nichomachean Ethicsbuku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti
201
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, ''karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan". Yang sangat penting dari
pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam
pengertian kesamaan.
Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan
numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan
setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami
tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa
semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar
keadilan.
10. Karakteristik Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif a) Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku
Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak
sekali “intervensi” oleh perilaku terhadap normativitas (perintah) dari
hukum. Dalam suatu peraturan misalnya, jelas tercantum secara
limitatif, bahwa yang diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali
(PK) terhadap perkara pidana yang sudah diputus adalah terpidana
atau ahli warisnya. Tetapi, pernah Jaksa mengajukan PK dan diterima
202
pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku
Jaksa.
Hakim Agung O.W. Holmes menyatakan, menjalankan hukum
bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law
has not been logic but experience). Dalam versi yang lain seorang
pernah mengatakan “berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik,
maka dengan hukum yang buruk saya dapat mendatangkan keadilan”.
Jadi, sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia
dalam kehidupan hukum.
b) Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan
Dimulai dari karakteristik hukum modern yang menonjolkan sifat
rasional (dan formal) sehingga rasional adalah di atas segala‐galanya
(rationality above else). Dalam suasana seperti itu tak heran bila para
penegak hukumnya akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula.
Bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup” menjalankan dan
menerapkannya secara rasional. Artinya diyakini, hukum sudah
dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas
tersebut. Disini sangat berhubungan erat dengan aspek liberal yang
mengawali kelahiran sistem hukum modern. Netralitas dipertahankan
dengan menggunakan format‐rasional. Artinya ia sama sekali tidak
mencampuri proses‐proses dalam masyarakat tetapi berusaha untuk
ada di atasnya.
203
Berbekal semboyan laissez fair laissez passez (biarkan semua
berjalan sendiri secara bebas), maka tugas hukum adalah hanya
menjaga agar individu‐individu dalam masyarakat berinteraksi secara
bebas tanpa ada gangguan, intervensi dari siapapun termasuk negara
tidak boleh dilakukan. Itulah hakekat dari kerja hukum liberal.
Masyarakat tidak puas dengan bekerjanya hukum liberal seperti
itu. Masyarakat ingin hukum ikut aktif memberikan perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Maka lahirlah era baru
yakni pascaliberal, dimana negara ikut campur tangan secara aktif
dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat atau yang lebih
kita kenal dengan Negara Kesejahteraan (welvaartstaat). Hukumpun
ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya
kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan kebutuhan publik
lainnya.
Jika dilihat dari filsafat liberal, maka cara kerja hukum pascaliberal
adalah penyimpangan dan pengkhianatan terhadap ide liberal murni.
Singkatnya, kelahiran hukum modern (yang liberal) bukan akhir
segalanya, tetapi alat untuk meraih tujuan yang lebih jauh. Tujuan
lebih jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”.
Masyarakat merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan
memberi keleluasaan bagi individu tanpa memperhatikan kebahagiaan
masyarakat.
204
Tujuan hukum yang lebih besar adalah bukan sekedar
menjalankan rasionalitas dan menimbulkan kepastian akan tetapi
dirumuskan dalam kata‐kata : “keadilan dan kebahagiaan”. Bukan
rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditempatkan di
atas segalanya. Para penyelengara hukum di negeri ini hendaknya
senantiasa gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat
bahagia.
Kendati negara‐negara timur seperti China, Korea, dan Jepang juga
menerima dan menggunakan hukum yang notabene adalah hukum
modern, akantetapi hal tersebut terutama dilakukan karena tidak ingin
disebut ketinggalan dari masyarakat‐masyarakat lain di dunia yang
memakai hukum tersebut. Namun, sebetulnya penerimaan itu
dilakukan Jepang dengan penuh kegelisahan, semata‐mata karena
tidak “merasa bahagia” dengan model hukum itu. Ini terlihat saat
struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote (bagian muka) dan
ura (bagian belakang) atau latemae (luar) dan honne (dalam) ditarik
juga di bidang hukum. Diluar mereka menerima hukum modern yang
ditata secara formal‐rasional, tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak.
Maka, meski di luar mereka menerima penggunaan hukum kontrak
modern, misalnya, tetapi apabila sudah sampai kepada
pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara‐
cara Jepang.
205
Diilustrasikan bila orang Jepang pergi ke kantor pengacara, mereka
melakukannya dengan perasaan sedih karena kepergiannya ke kantor
itu menunjukkan gagalnya cara‐cara Jepang. Karena itu, praktik hukum
di Jepang banyak diintervensi oleh apa yang disebut the Japanese twist
(langgam Jepang). Memang untuk dapat bergaul dengan komunitas
internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum
dipakai di dunia. Tetapi apapun pilihannya tidak ada yang melarang
bangsa ini untuk menjadi bahagia dan itu jauh lebih penting. Sebab‐
sebab ketidak bahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita
sendiri dalam menjalankan hukum. Bahwa tujuan akhir bernegara
hukum,adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini
bahagia.
c) Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual
Sekitar seratus tahun lalu kita hanya mengenal satu macam
berpikir, berpikir rasional. Hanya ada satu ukuran yang dipakai untuk
mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu dengan menggunakan
IQ (intellectual quotient). Namun kini ditemukan tiga macam berpikir
atau kecerdasan sehingga yang (1) rasional, masih ada berpikir dengan
(2) perasaan, dan (3) spiritual. Berpikir secara rasional disebut logis,
linier, serial, dan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate).
Berbeda dengan cara berpikir demikian, berpikir dengan perasaan
mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata‐
206
mata menggunakan logika. Berpikir menjadi tidak sesederhana seperti
berpikir logis, tetapi menjadi lebih kompleks karena
mempertimbnagkan faktor konteks. Lalu sekitar akhir abad ke‐20,
muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu
mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam objek yang sedang
ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual yang pada akhirnya akan
mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum.
Kecerdasan intelektual memang akurat/persis, tetapi amat terikat
patokan (rule bound) dan amat melekat pada program yang telah
dibuat (fixed program) sehingga menjadi deterministik sedangkan
berpikir dengan perasaan sedikit “lebih maju” karena tidak semata‐
mata menggunakan logika tapi bersifat konstekstual. Berbeda dengan
keduanya, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule
bound), juga tidak hanya bersifat konstekstual, tetapi ingin keluar dari
situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna atau
nilai yang lebih dalam. Dengan demikian ia ingin melampaui dan
menembus situasi yang ada (transenden). Dalam kreativitasnya ia
mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule‐
breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule‐making).
Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan kedua model
yang lain, tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat
yang oleh Zohar dan Marshall disebut “kecerdasan sempurna”
207
(ultimate intelligence). Sejak psikologi mempelajari (antara lain)
berpikir manusia secara umum, terpikir mengapa tidak
memanfaatkannya untuk bidang hukum? Kini sudah bukan zamannya
lagi untuk mengotak‐kotakkan bidang ilmu secara ketat, karena makin
disadari ilmu pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan (consilience). Maka bila (ilmu) hukum tidak memanfaatkan
kemajuan dalam bidang ilmu lain, ia akan menjadi tertinggal / kuno
dengan hasil yang kurang memuaskan. Sampai hari ini cara berpikir
dalam hukum masih dikuasai warisan berpikir abad 19 yang positivis‐
dogmatis.
Berpikir seperti itu dapat disejajarkan dengan berpikir
berdasarkan kecerdasan rasional yang bersifat datar, logis dan
berdasarkan peraturan formal. Kredo yang digunakan adalah
“peraturan dan logika” (rules and logic). Pemikiran semacam ini
cenderung menjadi arogan dimana hukum menjadi praktik kotak‐katik
rasional mengenai peraturan, prosedur, asas, dan kelengkapan hukum
lainnya. Hukum belum dijalankan secara bermakna sehingga proses
hukum hanya menjadi ajang mencari menang saja. Keterpurukan di
bidang hukum dewasa ini memberikan kesempatan kepada kita untuk
melakukan perenungan lebih dalam tentang apa makna kita
mengorganisisir kehidupan sosial dengan bernegara hukum. Untuk apa
sesungguhnya kehidupan sosial kita ditata melalui hukum? Untuk
208
menjawabnya kita tidak bisa lari kepada ragam berpikir dengan logika
dan perasaan, tetapi dengan menggunakan kecerdasan spiritual.
Persoalannya sudah menjadi terlalu dalam untuk bisa dijawab dengan
menggunakan rasio yang matematis, datar dan sederhana.
Menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan huruf‐huruf
peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna
sebenarnya dari suatu peraturan. Mencari hukum dalam peraturan
adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan
dan tidak hanya membacanya secara “datar” begitu saja. Hukum
bukan buku telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan pasal,
tetapi sesuatu yang sarat dengan makna dan nilai. Berpikir dengan
menjalankan hukum secara formal rasional maka tidak akan
menemukan makna, nilai, dan kandungan moral dibelakangnya. Cara
berpikir untuk memecahkan persoalan yang diterima sebagai
kecerdasan “sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan
mempertanyakan makna itu.
Kecerdasan spiritual adalah menggugah rasa moral, dengan
memberikan suatu kemampuan untuk mengendalikan ketentuan yang
kaku lewat pengertian (understanding) dan rasa keterlibatan. Agar
kondisi penegakan hukum di negara kita tidak semakin terpuruk akibat
gagalnya para penegak hukumnya membaca tekstualismenya maka
pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari
209
keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk
berani mencari jalan baru (rule‐breaking) dan tidak membiarkan diri
kita terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan tradisional”
yang jelas‐jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian
makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam
menjalankan hukum dan bernegara hukum. Kita semua dalam
kapasitas masing‐masing (hakim, jaksa, advokat, pendidik, dan lain‐
lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna
hukum lebih dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak
menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan
semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang
menderita karena sudah semestinya hukum merupakan institusi yang
berfungsi untuk menjadikan bangsa kita merasa sejahtera dan bahagia.
d) Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik
Meski mungkin jumlah orang‐orang baik di negeri ini tidak sedikit,
namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul.
Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga
tersisihkan menjadi kelompok pinggiran. Istilah “baik” disini dipakai
untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang terpuji. Mereka hadir
tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa disebut kesampar‐
kesandung, ada dimana‐mana.
210
Dalam kehidupan sehari‐hari mereka “terlindas dan terinjak” oleh
orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya memiliki
mentalitas mulia dan terpuji. Usaha–usaha untuk memunculkan orang‐
orang baik dan menolak massa yang preman telah satu dua kali
dilakukan seperti mensyaratkan bahwa presiden harus seorang
sarjana. Tetapi sebagian menolak karena kesarjanaan bukan jaminan,
bahwa ia akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal itu ada
benarnya (dan memang terbukti benar) karena kita mempunyai
pengalaman tentang adanya pemimpin‐pemimpin (baik) yang tidak
memiliki gelar kesarjanaan seperti Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan
Soedjatmoko. Meski tidak bergelar formal mereka tela menunjukkan
diri sebagai orang berkualitas. Agus Salim dengan penguasaan bahasa‐
bahasa asing yang prima, Sjahrir dengan karya‐karya intelektual seperti
Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia), begitu pula
denganSoedjatmoko yang sampai mendapatkan kepercayaan
internasional untuk menjadi Rektor Universitas PBB dan masih banyak
tokoh‐tokoh baik lainnya yang tidak sempat terbaca oleh sejarah.
e) Pengadilan Non Linier
Kita mencoba mengambil gambaran penegakan hukum di dalam
wilayah kekuasaan kehakiman, bagaimana bila ide pengadilan
progresif dikaitkan dengan kasasi? Kita tahu, pada tingkat kasasi
pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan
211
adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh
pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang berkesimpulan
yang diperlukan MA hanya membaca teks UU dan menggunakan logika
hukum (baca: logika peraturan) . Berdasarkan hal‐hal yang terungkap
di dalam tingkat‐tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa
apakah peraturan yang dipergunakan hakim di PN dan PT untuk
menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan
ada pintu masuk bagi pengadilan progresif.
Pengadilan progresif adalah pengadilan yang sarat akan
compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya.
Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa
diekspresikan dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa
kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo “peraturan
dan logika”. Disitu hakim akan bisa menyaksikan sendiri “daging dan
darah” perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh
aroma perkara.
Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan
fakta yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh. Di sini orang lebih
bertumpu pada bagaimana suatu teks UU akan dibaca untuk kemudian
diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen.
Benarkah keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca UU
itu kepala hakim benar‐benar (bisa) “dikosongkan”? Apakah
212
pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas
nilai? Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks
atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan
bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan. Pikiran (mind‐set)
positif‐tekstual kurang lebih hanya akan “mengeja” suatu peraturan.
Cara berpikir hukum seperti itu disini disebut “linier”. Memang itu
amat mudah, tetapi dangkal. Maka menjadi salah sekaligus dangkal
bila orang hanya “mengeja” peraturan. Cara lain adalah melakukan
perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari
suatu peraturan. Apabila “pintu perenungan makna” dibuka,
terbentanglah panorama baru di hadapan hakim.
Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subjektif tetapi juga
sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subjektif,
tetapi juga dengan “telinga sosial”. Pengadilan progresif mengikuti
maksim, “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat
adalah untuk hukum, apapun yang dirasakan rakyat akan ditepis
karena yang dibaca adalah kata‐kata UU. Dalam hubungan ini,
pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks,.
Seorang hakim bukan hanya menjadi teknisi UU, tetapi juga
makhluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh sangat mulia
karena ia bukan hanya memeras otak tetapi juga nuraninya. Menjadi
makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk pikuk
213
masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang
mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil
rakyat. Bila ia berada ditengah masyarakat, berarti ia berbagi suka
duka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di
masyarakat. Hakim akan menolak bila dikatakan perkerjaannya hanya
mengeja UU.
Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung
rakyatnya. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh
yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan
Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas
tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam
tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan
makar. Menurut MA, para hakim dibawah telah melakukan penerapan
hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada
sejak jaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia
telah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan
demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori
hakim yang meletakkan telinganya ke jantung masyarakat. Putusan itu
juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih
dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang
Hakim yang berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di
214
zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan
progresif. Mungkin hakim seperti ini saat ini sudah sangat jarang sekali.
Seorang hakim yang hanya bisa “dibeli” oleh rakyatnya.
f) Intinya adalah Keberanian
Apabila dikatakan bahwa penegakan hukum bukan soal
keberanian, sebetulnya pendapat itu masih merujuk pada pikiran
hukum diabad ke‐19 yang amat positivistik, legalistik, dan dogmatis.
Kita sudah hidup di abad 21 bahkan di abad 20 saja sudah terjadi
perubahan‐perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita
sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan
kontekstual. Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang
sempit itu dan dicerahkan oleh tujuan‐tujuan yang lebih luas.
Sudah sejak dekade‐dekade awal abad ke‐20 muncul aliran bahwa
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan
masyarakat yang lebih besar. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran
hukum yang lebih luas dan kontekstual, seperti yang dilakukan oleh
sociological jurisprudence dan behavioral jurisprudence. Secara implisit
almarhum Baharudin Lopa telah menunjukkan profil keberanian
seorang jaksa sehingga berbeda dengan jaksa yang lain. Ini sama
dengan seorang Hoegeng (polisi) yang juga berbeda dengan rekan‐
rekan yang lain.
215
Faktor yang membedakan adalah predisposisi sikap batin masing‐
masing. Lopa, Bismar, Hoegeng selalu menunjuk kepada hati nurani
dan itulah yang menyebabkan timbulnya keberanian. Putusan hati
nurani adalah nomor satu dan hukum nomor dua. Hakim Bismar
mengatakan, “keadilan diatas peraturan”, sedangkan saat jaksa Lopa
gagal membawa tersangka ke hukuman, ia sering berujar, “sampai
kemana pun kamu akan saya kejar”. Ia juga mengajak korpsnya untuk
perang melawan mafia.
Waktu gagal memenjarakan OJ Simpson oleh karena juri
menyatakan Simpson “not guilty”, Jaksa Darden mengatakan, I wanted
to tell him, that there was another court that would hear his case one
day, ... a court where everyone will be the eye witnesses, Ronald
Goldman and Nicole Brown. Sebagaimana diketahui O.J Simpson
didakwa membunuh mantan istrinya, Nicole Brown dan pacarnya
Ronald Goldman yang pada waktu kejadian kebetulan berada di situ.
g) Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum
Kemampuan hukum itu terbatas. Mempercayakan segala sesuatu
kepada hukum adalah sifat yang tidak realistis dan keliru. Kita
menyerahkan nasib kepada institusi yang tidak memiliki kapasitas
absolut untuk menuntaskan tugasnya sendiri. Secara empirik terbukti,
untuk melakukan tugasnya hukum selalu membutuhkan bantuan,
dukungan, tambahan kekuatan publik. Masyarakat tetap menyimpan
216
kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Kekuatan
itu untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern
yang notabene adalah hukum negara.
Sejak kemunculan 200 tahun lalu, negara ingin memonopoli
kekuasaan, termasuk membuat hukum, membuat struktur (badan dan
lembaga) serta mengatur prosesnya. Tidak ada kekuatan dan
kekuasaan lain yang boleh menyaingi dan semua kekuatan asli harus
minggir. Sejak itu kekuatan otonom masyarakat menjadi tenggelam.
Meski demikian dia tidak mati, tetapi tetap ada dan bekerja diam‐diam
(latent). Sesekali ia menunjukkan kekuatannya, seperti contoh
mahasiswa yang “menulis konstitusi” untuk menurunkan Presiden
Soeharto di saat DPR dan MPR formal telah gagal mengontrol
eksekutif.
Peran publik lewat berbagai lembaga pengawas seperti ICW
(Indonesia Corruption Watch), MTI (Masyarakat Transparansi
Indonesia), Police Watch dan lain‐lain apabila bekerja jujur dan berani
akan merupakan modal dalam menggalang gerakan besar partisipasi
publik.
h) Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru
Kita semua ingin hidup dalam suasana tertib, karena itu adalah
modal utama kehidupan produktif. Proses‐proses ekonomi, sosial, dan
politik yang produktif membutuhkan ketertiban sebagai landasan.
217
Selama ini kita menjalani kehidupan yang didasarkan asumsi ,
ketertiban melekat dan akan selalu melekat di masyarakat. Meninjau
kembali konsep kita tentang ketertiban itu sendiri menunjukkan jika
ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Lebih dari itu sebenarnya kita
berhadapan dengan sesuatu yang kompleks dan cair (fluid).
Ketertiban dan kekacauan sama‐sama ada dalam aras proses
yang bersambungan (continuum). Keduanya tidak berseberangan
tetapi sama‐sama ada dalam satu aras kehidupan sosial. Ketertiban
bersambung dengan kekacauan membangun ketertiban baru,
demikian seterusnya. Dalam ketertiban ada benih‐benih kekacauan,
sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit‐bibit ketertiban.
Keduanya adalah sisi‐sisi dari mata uang yang sama.
Pemahaman secara statis atas ketertiban terbukti telah gagal
dalam menjelaskan keadaan yang kita hadapi. Kita hanya bisa
mengatakan kekacauan itu menyimpang dan bersalah atas kehidupan
sosial yang kita sebut normal. Titik. Memang hanya sampai disitulah
kemampuan teori‐teori normatif‐positivis yang dominan untuk
memberi penjelasan. Suatu teori yang diharapkan bisa memberikan
penjelasan lebih memuaskan adalah teori kekacauan (chaos theory)
atau teori kompleksitas (complexity theory) yang relatif baru. Teori itu
berawal dari ilmu fisika, yaitu sejak fisika Newton yang berjaya selama
ratusan tahun tidak mampu menjelaskan fenomena dalam alam secara
218
lengkap. Alam yang oleh teori Newton dipersepsikan sebagai proses
yang berjalan tertib, mekanistis dan deterministik ternyata tak dapat
menjelaskan aneka kenyataan menyimpang (aberrant data) yang sama
dan nyata‐nyata terjadi di alam. Ternyata alam tidak dapat dimasukkan
ke kotak teori yang mekanistis itu.
Teori kekacauan dimulai dengan bertolak dari dan memunguti
kenyataan yang “dibuang” teori Newton dan mencoba menjelaskan
bagaimana kekacauan itu bisa muncul dari ketertiban dan bagaimana
perkembangannya. Bila kita bertolak dari ketertiban, maka ketertiban
awal itu diibaratkan sebagai air yang mengalir dengan mulus sampai
nanti ia membentur sesuatu yang menyebabkan aliran itu menjadi
kacau. Kekacauan ini akan muncul dalam bentuk aliran yang berputar‐
putar dan berbusa‐busa karena membentur sesuatu. Dalam
perkembagan selanjutnya aliran itu kembali menjadi mulus. Dalam
teori kekacauan, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan
dari keadaan yang semula tertib itu disebut sebagai faktor penggerak
yang datang dari luar. Jadi ada ketertiban, ada kekacauan, dan ada
kekuatan yang bisa memulihkan ketertiban. Dari suasana kacau seperti
terjadi di negeri kita, teori kekacauan menjanjikan penjelasan yang
lebih baik, dan dari situ sekaligus akan memberikan preskripsi tentang
jalan keluarnya.
219
Teori kekacauan memusatkan diri pada kenyataan yang
menyebabkan peralihan dari keadaan tertib menjadi kekacauan.
Pekerjaan besar di sini adalah bagaimana kita berusaha agar aliran air
yang kacau (turbulent) itu kembali menjadi mulus dan lancar.
Setidaknya ada dua usaha yang dapat dicatat untuk memulihkan
kelancaran atau ketertiban. Pertama,dengan menghimpun dan
mendorong kekuatan positif untuk kembali kepada ketertiban. Kedua,
kita akan mencari tahu faktor luar yang menjadi sebab dan
menyingkirkannya. Contoh: pada abad ke‐18 Inggris disebut‐sebut
sebagai negara yang paling korup di dunia, tetapi hari ini kita mengenal
Inggris sebagai negara yang amat berbeda, yaitu negara yang amat
tertib dan teratur. Dua abad lalu di Inggris semua bisa dibeli, termasuk
kursi di parlemen. Lalu ditemukan, sumbernya adalah sistem perizinan
yang meluas dan sudah berubah menjadi barang dagangan. Karena
diharuskan ada izin, maka orang berusaha membeli izin itu, tanpa
bersusah payah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin. Maka
langkah tegas yang diambil adalah menghapus izin‐izin itu, sehingga
tidak ada alasan untuk adanya sesuatu yang bisa dibeli atau
diperjualbelikan. Sejak itu berangsur‐angsur negeri itu mampu keluar
dari kondisi sosialnya yang buruk itu.
Teori kekacauan memberi harapan dan semangat untuk keluar
dari keterpurukan dan krisis yang kini kita alami. Aneka ketertiban‐
220
kekacauan ternyata pada aras yang sama yang beranyaman satu sama
lain dan bersambungan.
i) Statis dan Dinamis Undang‐undang
Dalam masyarakat modern, undang‐undang memiliki saham
penting dalam menata kehidupan masyarakat. Perdagangan,
perbankan, transportasi, komunikasi yang sudah memasuki
penggunaan teknologi canggih, perlu ditata secara jelas, terencana,
rasional, predictable dan seterusnya. Kita tidak mengabaikan diskusi,
komentar, dan kritik masyarakat tentang undang‐undang. Tetapi
selama ini ada yang terasa kurang proporsional. Yang ingin dikatakan,
mengapa kita tidak meributkan tentang “bagaimana undang‐undang
(yang sudah menjadi bubur) bisa dimanfaatkan sebesar‐besarnya guna
kesejahteraan masyarakat?”. Yang masih terlalu diributkan adalah
undang‐undang sebagai suatu tatanan atau bangunan statis.
Negara hukum kita tidak hanya ditegakkan oleh undang‐undang
sebagai tatanan statis dan kaku, tetapi juga sebagai proses dinamis.
Kita ingin membangun negara hukum secara lebih cerdas dan
bermakna. Undang‐undang bisa dilihat sebagai suatu dokumen yang
menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Banyak lembaga
atau kekuatan lain di masyarakat yang sebetulnya juga berfungsi
221
memberikan tuntunan seperti itu. Ada adat, kebiasaan, dan berbagai
norma non‐hukum lainnya. Meski demikian, dalam konteks dan tradisi
negara dan hukum modern, undang‐undang memiliki kelebihan atas
norma yan lain itu. Kelebihan itu disebut legalitas dan legitimitas yang
biasanya hanya diberikan kepada undang‐undang sebagai dokumen
yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif sebagai satu‐satunya badan
dalam lembaga modern yang diberi wewenang untuk membuat hukum
(undang‐undang).
Undang‐undang dianggap sebagai satu‐satunya pintu masuk saat
orang berbicara mengenai hukum dan negara hukum. Hukum adalah
dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran. Undang‐
undang memiliki aspek statis dan dinamis. Untuk undang‐undang
sebagai tatanan dinamik adalah proses yang bergerak secara dinamis
dan cair (fluid). Bisa terjadi, substansi akhir dan nyata dari suatu
undang‐undang, “menyimpang” dari kata‐kata yang ditulis dalam
dokumen itu. Undang‐undang memiliki dinamikanya sendiri yang tidak
selalu bisa dibayangkan dan diantisipasi pembuatnya sendiri. Ia
menjadi seperti itu karena sejak “dilepaskan” ke masyarakat, yang
bermain bukan lagi otoritas pembuat hukum, tetapi interaksi antara
hukum dan kondisi nyata dalam masyarakat yang selalu berubah
secara dinamis.Sebelum ada undang‐undang pun masyarakat sudah
menunjukkan kemampuannya untuk mengatur diri sendiri.
222
Negara hukum tidak sama sekali menghilangkan atau
menghentikan kemampuan dan kekuatan masyarakat itu. Kekuatan
masyarakat disini tidak sepenuhnya sama dengan kekuatan telanjang,
tetapi juga berupa kreativitas komunitas hukum itu sendiri. Secara
non‐formal, komunitas hukum itu akan mencari dan menemukan jalan
keluar itu sendiri sehingga keadaan tidak akan menjadi kacau. Itulah
makna “masyarakat akan mengatur dirinya sendiri” secara positif dan
produktif. Secara naluri alami, masyarakat tidak akan membiarkan
dirinya ambruk. Kekuatan masyarakat tidak sama sekali keluar dari
undang‐undang, tetapi membaca ulang dokumen itu secara lebih
bermakna. Justru yang akan “membunuh” produktivitas negara hukum
adalah sikap yang dikenal sebagai formalisme.
j) Mempedulikan Hati Nurani daripada Tekstualismenya
Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah
penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku
substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan
kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri.
Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama‐tama karena
hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi
karena perilaku substansial. Lebih luas dari disiplin, Jepang
mengunggulkan spiritualisme (Zen, Konfusianisme dan tradisi
Samurai). Dalam hubungan itu Jepang sangat memedulikan faktor hati
223
nurani. Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan
manusia inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang
substansial. Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani dan hati itu, bangsa
Jepang tidak terjebak ke dalam formalisme. Secara singkat, bangsa
Jepang lebih mengunggulkan dan mendengarkan hati nuraninya.
Bangsa Jepang amat memisahkan antara hukum positif dan
mengutamakan spiritisme. Seorang pejabat publik yang terkena
perkara biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus
proses hukumnya dimulai. Bangsa Jepang tidak membaca hukum
sebagai kaidah‐kaidah perundang‐undangan tetapi lebih pada kaidah
moral. Maka disini diusulkan agar negara hukum kita menggunakan
paradigma ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya
menggunakan “paradigma peraturan” tetapi juga “paradigma moral”.
k) Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum
Pengamatan terhadap praktik peradilan pidana di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang keadilan dan kepastian
hukum. Hal ini disebabkan kedua kata tersebut merupakan unsur yang
esensial dalam penegakan hukum, termasuk perilaku penegak hukum
dalam setiap putusannya.Nilai kepastian memiliki arti “ketentuan dan
ketetapan”, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan
kata hukum menjadi “kepastian hukum”, yang memiliki arti “perangkat
hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap
warga negara”.
224
Senada dengan pendapat Simons yang mengatakan bahwa pada
dasarnya undang‐ undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang‐
undang itu sendiri. Jikalau kata‐kata atau rumusan undang‐undang itu
cukup jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata‐kata
tersebut.155 Di samping itu, nilai keadilan merupakan hal yang mutlak
harus dipenuhi oleh penegak hukum dalam setiap putusannya. Namun,
ketentuan nilai keadilan yang mutlak ini akan menerima tanggapan
yang berbeda‐beda setelah menjadi sebuah keputusan hukum. Dengan
demikian, keputusan yang diambil tidak jarang menimbulkan
kerugian/ketidakadilan bagi pihak lain. Hal ini disebabkan oleh
beragamnya kepentingan masyarakat berdasarkan latar belakang
sosial, politik, ekonomi, dan budaya.Oleh sebab itu, keadilan
sesungguhnya merupakan konsep yang relatif.156 Karena, konsep
keadilan sangat beragam dari suatu negaranegara lain dan masing‐
masing didefenisikan serta ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan
tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan.157 Dengan demikian,
155 Otto Cornelis Kaligis, “Miscarriage of Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana: Perlunya
Pendekatan Keadilan Restoratif’, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado, 08 November 2008, hal 24.
156 Pada sisi lain, keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada, yang perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu maupun kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata adil dari bahasa Arab adala yang mengandung maknalengah atau pertengahan. Dari makna ini, kata adala kemudian disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang berarti penengah atau orang yang berdiri di tengah yang mengisyaratkan sikap yang adil. Muhmutarom, HR., Teori Keadilan & Implementasinya Dalam Perlindungan Korban Tindak Pidana; Kajian dari Perspektif Sejarah Hukum, ctk.Pertama, Wahid Hasyim University Press, Semarang, 2008, hal 7.
157Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, ctk.Pertama, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal 1
225
konsepsi mengenai keadilan adalah sebuah hal yang masih abstrak,
yang ketika ingin di konkretkan harus melalui penafsiran atau
interpretasi yang tidak mudah.158 Sebagaimana pendapat yang di‐
ungkapkan oleh Esmi Warassih, sebagai berikut:
“Persoalan nilai keadilan tidak akan pernah selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan keadilan yang terjadi di dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun di masyarakat yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolak ukur ataupun pedoman dalam menentukan keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, sulit sekali untuk menemukan rumusan nilai keadilan yang berlaku secara universal”.159
Pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas
dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik
diwakili olehPlato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya
dari inspirasi dan institusi, dan seringkali nilai keadilan di pahami
sebagai sebuah kualitas di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak
dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal. Sedangkan yang
kedua, adalah keadilan rasional dan diwakili oleh Aristoteles. Keadilan
yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan
dengan cara menjelaskannya secara ilmiah dan itu semua harus di
dasarkan pada alasan‐alasan yang rasional.
158Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Editor), Sosiologi Hukum dalam Perubahan, ctk.
Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal 290. 159Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum; Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 14 April 2001, hal 14.
226
Memandang nilai keadilan dan kepastian hukum, seperti
memandang dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada, jika
keadaan yang damai hendak dicapai. Pada pertengahan abad ke‐20,
orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhana dalam
menerapkan nilai keadilan dan kepastian hukum dalam praktiknya,
karena dalam implementasinya tidak seperti menarik garis lurus antara
dua titik. Maka, tidak benar bahwa setiap penegak hukum itu hanya
tinggal menarik garis lurus yang menghubungkan antara nilai keadilan
dan kepastian hukum.Ternyata, banyak aspek yang mempengaruhi
dalam mewujudkan nilai tersebut. Setidaknya, aspek perilaku penegak
hukum dan aspek peraturan sangat mewarnai bekerjanya hukum
dalam praktik peradilan pidana.160
Ilustrasi yang kerap kali terjadi dalam praktik peradilan pidana.
Misalnya, mengenai disparitas pemidanaan sama sekali tidak
mempunyai kriteria yang jelas. Akibatnya, kerap kali terjadi
pemidanaan kepada seorang pelaku tindak pidana korupsi dengan
modus yang sama, tetapi penjatuhan sanksi pidananya berbeda.
Dengan adanya realitas disparitas pidana tersebut, tidak heran jika
publik mempertanyakan apakah hakim dan lembaga peradilan telah
160 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum perilaku
(behavioralJurisprudence) dapat membantu kita mempelajari tingkah laku aktual penegak hukum dalam setiap proses peradilan. Tingkah laku tersebut dapat dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang‐orang yang terlibat dalam tahap‐tahap pengambilan keputusan hukum tersebut. Dengan demikian, pusat perhatian tidak saja berhenti pada proses memahami hukum secara tertulis dan putusan hakim/penegak hukum yang bersifat formal, melainkan juga pada perilaku penegak hukum yang menjalankan peraturan tersebut. Antonius Sudirman, Op.Cit. hal 32.
227
benar‐benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan
keadilan.Perdebatan yang semakin meruncing ketika penegak hukum
dihadapkan dengan persoalan nilai keadilan dan kepastian hukum,
dapatkita lihat dalam beberapa proses peradilan pidana yang pernah
berlangsung dan menjadi polemik di tengah kehidupan masyarakat.
Hal itu tergambar dari munculnya berbagai kasus yang sempat
dipublikasikan di media massa.
Pada tanggal 26 Desember 2005,Pengadilan Negeri SUMUT
menyelenggarakan sidang perdana peradilan anak di bawah umur yang
bernama Raju. Banyak orang menggangap bahwa peradilan Raju
merupakan cermin buruknya peradilan anak di Indonesia. Betapa
tidak, sebelum diselenggarakannya peradilan tersebut, Raju ditahan
pada tempat yang sama dengan orang dewasa, yakni sudah
seharusnya anak mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan orang
dewasa.161 Di samping itu, telah diketahui bahwa Raju adalah anak
dibawah umur yang berusia 8 (delapan) tahun, yakni dalam prosesnya
hakim melaksanakan persidangan dengan peradilan terbuka, dan
undang‐undang mengatur sebaliknya bahwa sidang anak harus
dilakukan secara tertutup.162
161 Bahwa proses penahanan terhadap korban dengan menempatkan korban pada tempat
tahanan yang sama dengan orang dewasa, hal ini dianggap melanggar Pasal17 ayat (1) huruf a Undang‐Undang No.23 Tentang Perlindungan Anak. Jufri Bulian Ababil, Raju yang diburu; Buruknya Peradilan Anak di Indonesia’ ctk.Pertama, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2006,hal 144.
162 Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 64 ayat (2) huruf b Undang‐Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 66 ayat (7) Undang‐Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa sidang anak harus diselenggarakan secara tertutup.
228
Kemudian kasus berikutnya, perbuatan makar terhadap negara
yang di tuduhkan kepada Muchtar Pakpahan yang pada waktu itu
masih di masa pemerintahan Soeharto. Peradilan ini menjadi menarik
setelah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) melalui Hakim
Agung Adi Andojo Soetjipto, ia memutuskan bahwa saudara Pakpahan
tidak melakukan perbuatan makar. Menurutnya, putusan hakim pada
tingkat sebelumnya telah melakukan penerapan hukum yang salah
dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman
kolonial.
Secara sosiologis, putusan itu tidak benar karenaIndonesia sudah
menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan sistem
demokrasi serta memperhatikanhak asasi manusia.163 Pendapat inilah
yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengatakan bahwa
saudara Muchtar Pakpahan tidak dapat dikatakan melakukan
perbuatan makar.Selanjutnya, kita dapat menyimak peradilan Katarina
dalam kasus perzinaan atau kejahatan kesusilaan yang sangat terkenal
melalui putusan Bismar Siregar. Bismar memperluas pengertian
“barang”,yakni termasuk juga dalam pengertian jasa. Tindakan
Bismar yang menganalogikan barangdengan jasa (seks) adalah suatu
penyimpangan terhadap asas hukum pidana. Dengan kata lain,
tindakan Bismar yang menerapkan analogi dalam hukum pidana
163 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, ctk. Kedua, Kompas, Jakarta, 2007, hal 57.
229
termasuk tindakan yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai
kepastian hukum. Akan tetapi, Bismar dalam kapasitasnya sebagai
hakim, dia berusaha menerobos perundang‐undangan yang tidak
memberikan perlindungan terhadap kaum wanita dari kejahatan
kesusilaan, antara lain dengan meng”analogi”kan “barang” dengan
“jasa seks” yakni untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
nilai kemanusiaan, nilai kepribadian, dan kehormatan kaum wanita.164
l) Progresivisme
Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian,
peraturan dan sistem bukan satu‐satunya yang menentukan. Manusia
masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem
yang ada. Hakim‐hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan
semangat itu. Bismar Siregar berkali‐kali mengatakan, keadilan itu
diatas hukum dan ia benar‐benar bertindak, memutus atas dasar
semangat itu. Namun oleh komunitas hukum yang didominasi pikiran
positivistik, Bismar sering disebut sebagai hakim kontroversial. Begitu
juga saat Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
embrio Komisi Pemberantasan Korupsi sekarang ingin membawa
164 Kasus ini menyangkut perzinaan yang dilakukan oleh mertua Raja Sidabutar, seorang kontraktor dengan Katarina br. Siahaan. Perzinaan terjadi karena didahului oleh janji kawin yang dilakukan oleh terdakwa. Karena adanya janji kawin tersebut, korban menyerahkan kegadisannya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya terdakwa tidak menepati janjinya. Karena itu, korban mengajukan perkara ini kepada pihak berwajib untuk diteruskan ke pengadilan. Antonius Sudirman, Op.,Cit, hal 213‐214.
230
beberapa hakim agung ke pengadilan, justru Tim yang akhirnya
dibubarkan oleh sebuah putusan judicial review MA.
Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran
hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang saya
lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan pada?”. Singkat
kata, ia tidak ingin menjadi tawanan sistem dan undang‐undang
semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
m) Membaca Kaidah bukan Peraturan
Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat
baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke
dalam roh, asas, dan tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan.
Meski kalimat‐kalimat hitam putih yang namanya peraturan sudah
dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa makna lebih dalam
kaimat‐kalimat itu. Dimana letak rohnya, keadilannya?.
Negara Hukum dan Hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi
proyek kultural yang memiliki roh keadilan. Oleh karena itu membaca
dan memahaminya sebagai kalimat‐kalimat yang kering dan linier
dapat membawa malapetaka. Apalagi kalau dia dibaca dengan tujuan
untuk menyelundupkan niat jahat.
231
11. Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum
Hukum Progresif merupakan sebuah gagasan konseptual yang
menawarkan terobosan terhadap berbagai kelemahan dalam penegakan
hukum di tanah air. Hukum Progresif sudah selayaknya dikaji dan
dikembangkan serta dikukuhkan posisinya di dalam peta pemikiran
hukum umumnya. Hukum Progresif sudah selayaknya diposisikan sebagai
salah satu aliran Filsafat Hukum yang tengah berkembang. Upaya
sistematis mengembangkan dan mengukuhkan Progresif seyogyanya
tidak berhenti pada tataran seminar, penelitian publikasi karya ilmiah
berhaluan Hukum Progresif, melainkan juga ditempuh melalui
pengintegrasiannya di dalam kurikulum pendidikan hukum di seluruh
tanah air. Berbagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi hukum
dapat mengakomodasi pembahasan dan diskusi perihal Hukum Progresif.
Hukum progresif sebagai sebuah gagasan besar telah mengalami
diseminasi secara luas di kalangan ilmuwan, pemerhati hukum dan
praktisi hukum di seantero tanah air. Sambutan yang sangat hangat ini
tentu tidak lepas dari keprihatinan bersama atas kondisi penegakan
hukum di tanah selama tiga dasawarsa terakhir, serta optimisme bahwa
hukum progresif sebagai sebuah konsep dapat dikembangkan lebih
lanjut sebagai suatu tatanan pikiran hukum yang solid, sebagai jawaban
atas problematika hukum dan keadilan di tanah air.
232
Seiring dengan optimisme terhadap kekuatan nalar konsep hukum
progresif, para ilmuwan hukum yang memiliki komitmen terhadap
perkembangan hukum progresif sebagai sebuah tananan pemikiran
hukum di Indonesia, perlu mengupayakan baik secara individual maupun
kolektif pengintegrasiannya di dalam sistem pendidikan tinggi hukum
nasional. Ide‐ide dasar yang menyertai konsep hukum progresif perlu
dintegrasikan ke dalam pendidikan tinggi hukum di tanah air.
Gagasan pengintegrasian hukum progresif di dalam kurikulum
pendidikan tinggi hukum sejatinya telah sejak awal disampaikan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai suatu conditio sine terhadap reformasi
penegakan hukum di tanah air. Dalam kaitan ini, konstruksi berpikir teori
revolusi sains seperti dikemukakan Thomas Samuel Kuhn sangat
membantu memahami dialektika perkembangan pemikiran (filsafat)
hukum dari masa ke masa. Dalam wacana teori revolusi sains, revolusi
besar dalam bidang ilmu pengetahuan merupakan akibat dari akibat yang
terjadi secara periodik manakala suatu fenomena atau gejala baru tidak
dapat lagi dijelaskan dengan menggunakan terminologi dasar dari ilmu
pengetahuan yang sudah mapan, dan dengan dianggap sebagai
keganjilan, sehingga memaksa lahirnya dalil dasar yang baru. Dalil dasar
baru yang ditemukan kemudian, dipakai untuk menjelaskan sifat dari apa
yang sebelumnya dipandang sebagai keganjilan belaka, dan menjadi inti
dari ilmu pengetahuan baru.
233
Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran yang lama dapat memberi
jalan bagi lahirnya kebenaran baru. Sementara itu dalam konteks hukum,
keadilan dalam konstruksi yang lama dapat memberi jalan bagi lahirnya
keadilan dalam konstruksi yang baru. Dengan menggunakan teori revolusi
sains sebagai kerangka berpikir, dapat dipahami bahwa terdapatnya
berbagai aliran pemikiran atau teori hukum yang dikenal dewasa ini
tidaklah lahir dan berkembang pada periode yang sama, melainkan
tumbuh dan berkembang pada periode masa yang berbeda dan bahkan
saling menegaskan.
Aliran Hukum Alam (Hukum Kodrat) mampu memberikan
penjelasan secara memuaskan perihal hukum pada abad‐abad kuno
hingga abad pertengahan. Akan tetapi selepas abad pertengahan,
penjelasan tentang hukum semakin dirasakan tidak memadai.
Ketidakpuasan terhadap penjelasan aliran Hukum Alam tentang hukum
ini, mendorong munculnya gagasan untuk mengkaji hukum dengan
menggunakan Positivisme sebagai sebuah paham filsafat, sehingga
lahirlah tatanan pemikiran hukum baru yang kemudian disebut
Positivisme Hukum.Dalam perkembangannya, pemikiran positivisme
hukum tidaklah dengan serta merta dapat memuaskan semua orang
perihal penjelasan terhadap berbagai persoalan hukum.
Dengan mengecualikan aliran Utilitarianisme Hukum yang 'pro'
terhadap positivisme hukum, di kemudian hari bermunculan aliran‐aliran
234
pemikiran hukum yang memperlihatkan reaksi penolakan terhadap tesis
pemikiran positivisme hukum. Dengan mengecualikan aliran
utilitarianisme Hukum yang “pro” terhadap positivisme hukum,
dikemudian hari muncul aliran‐aliran pemikiran yang menujukkan reaksi
penolakan terhadap tesis pemikiran positivisme hukum. Sebutlah aliran
Sociological Jurisprudence yang mensistesiskan pemikiran hukum alam
dan mazhab Sejarah serta Positivisme Hukum, dengan tesisnya hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai‐nilai yang hidup di
dalam masyarakat. Aliran pemikiran ini kemudian berkembang dan
dikenal dengan sebutan Pragmatic Legal Realism atau Realisme Hukum.
Realisme Hukum pada dasarnya telah menghadirkan sikap kritis dalam
melakukan kajian terhadap hukum, namun sikap yang lebih kritis
kemudian justru dihadirkan oleh aliran pemikiran baru yang dikenal
dengan nama Aliran Hukum Kritis (Critical Legal Studies). Studi Hukum
Kritis bahkan berani ‘pasang badan’ dengan pandangan‐pandangannya
bawa Positivisme Hukum hanya memberikan kepastian, keadilan dan
kemanfaatan bagi segelintir orang yang sedang berkuasa secara politik
dan ekonomi dengan mengedepankan keadilan formal atau prosedural.
Oleh karena ituStudi Hukum Kritis menghendaki hukum dikembangkan ke
arah hukum yang memberdayakan masyarakat yang lemah (empowering
the society).
235
Sikap reaksioner yang lebih radikal terhadap pemikiran
positivisme hukum yang didukung kuat oleh negara dan dikenal dengan
terminologi hukum modern, dikemukakan oleh pemikiran Hukum
Posmodern (Posmodernisme Hukum). Pemikiran Hukum Posmodern
berkembang mengikuti pertumbuhan perkembangan filsafat posmodern
(posmodernisme). Ide‐ide dasar Posmodernisme untuk sebagian
merupakan dekonstruksi terhadap ide‐ide modernisme, sedangkan untuk
sebagian lainnya merupakan koreksi terhadap kelemahan‐kelemahan
modernisme.
Dalam bingkai posmodernisme di bidang hukum, ide‐ide hukum
posmodern tampil dalam rupa antitesis terhadap hukum modern yang
berparadigma positivisme. Dalam banyak hal hukum posmodern tampil
dalam bentuk kebangkitan kembali ide‐ide, konsep‐konsep hukum
pramodern atau hukum‐hukum prakolonial dengan mengedepankan
konsep keadilan yang bersifat substantif sekaligus mengesampingkan
formalisme, legalisme, dogmatisme dalam proses penegakan hukum.
Dalam bingkai hukum posmodern inilah lahir, tumbuh dan berkembang
konsep hukum progresif, dengan mencoba mengedepankan moralitas
dalam sikap dan perilaku aparat penegak hukum dalam proses
penegakan hukum.
Hukum progresif dengan demikian pada dasarnya merupakan
gagasan hukum yang bersifat hibrid, yakni mencoba memadukan unsur‐
236
unsur yang unggul dari berbagai aliran pemikiran hukum terdahulu,
sekaligus mengikis kelemahan‐kelemahan yang menyertai aliran‐aliran
pemikiran hukum terdahulu itu.Hukum Progresif di dalam kurikulum
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta165 dapat dijadikan
sebagai studi kasus. Terdapat 5 (lima) mata kuliah yang dapat dimuati
materi bahasan mengenai hukum progresif. Kelima mata kuliah ini adalah
Pengantar Ilmu Hukum di Semester 1, Ilmu Budaya Dasar di Semester 1,
Penalaran Hukum di Semester 3, Etika dan Tanggung Jawab Profesi
Hukum di Semester 6, dan Filsafat Hukum juga di Semester 6. Dalam
silabus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang berbobot 4 SKS, terdapat
pokok bahasan berjudul Macam‐macam Ilmu Pengetahuan Hukum, yang
memuat uraian berbagai cara atau pendekatan dalam pengkajian hukum,
meliputi sosiologis, sejarah, perbandingan, antropologis, politik.
Semua pendekatan ini bersifat positivistik artinya mendekati
hukum sebagai dunia fakta (Das Sollen).Pendekatan lain terhadap hukum
adalah pendekatan filsafat yang dikenal dengan filsafat hukum, yang
mengkaji hukum sebagai dunia nilai (Das Sein). Dalam lingkup filsafat
hukum ini diuraikan secara ringkas konsep hukum menurut berbagai
aliran, diawali aliran hukum alam (hukum kodrat) dan berakhir pada
hukum posmodern. Di dalam lingkup kajian hukum posmodern ini
165Natangsa Surbakti, Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukumdalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif), Semarang, Thafa Media, 2013, hal. 69‐78
237
termasuk di dalamnya materi perkenalan tentang hukum progresif.
Target pembahasan mengenai hukum progresif di sini adalah
memperkenalkan kepada mahasiswa adanya suatu konsep atau tatanan
pemikiran hukum bemama "hukum progresif".Mata kuliah Ilmu Budaya
Dasar (IBD) memuat pembahasan mengenai hukum sebagai salah satu
bentuk budaya manusia. Dalam bingkai pembahasan mengenai hukum
ini, dapat dimuati uraian mengenai berbagai cara pandang tentang
hukum yang salah satunya adalah cara pandang hukum progresif.
Mata kuliah Penalaran Hukum, memuat pembahasan dan diskusi
mengenai struktur logis ontologis, epistemologis dan aksiologis dari
masing‐masing teori hukum yang telah dikenal secara umum. Dalam
pembahasan mengenai struktur logis masing‐masing teori hukum ini,
dapat dimasukkan pembahasan dan diskusi mengenai hukum progresif.
Dalam mata kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum,
pembahasan mengenai urgensi pemahaman, penghayatan dan
penerapan etika dan tanggung jawab para sarjana hukum pada
umumnya, para praktisi hukum khususnya, dapat dihubungkan dengan
hukum progresif yang memang menjadikan komitmen moral dan
tanggung jawab profesi hukum sebagai core ‐ inti teori.
Mata kuliah Filsafat Hukum merupakan mata kuliah yang paling
'welcome' terhadap hukum progresif sebagai suatu aliran pemikiran
hukum baru berspektrum nasional. Silabus mata kuliah Filsafat Hukum
238
seyogyanya memuat pembahasan perkembangan pemikiran tentang
hukum yang memuat berbagai aliran filsafat hukum dan berbagai
masalah dasar filsafat hukum, serta aplikasinya dalam kajian tematik
dalam konteks reformasi hukum nasional. Dengan susunan materi
demikian ini, pembahasan dan diskusi mengenai tema hukum progresif
dapat memunculkan di dua bagian besar materi bahasan itu, yakni dalam
subtema perkembangan pemikiran (filsafat) hukum dan dalam
pembahasan mengenai reformasi hukum dan pendidikan tinggi hukum
nasional.
Keberhasilan pengintegrasian Hukum Progresif di dalam
kurikulum perguruan tinggi hukum, merupakan proyek persemaian yang
memiliki arti penting dalam rangka menumbuhkan generasi baru sarjana
hukum Indonesia yang memahami dengan sangat baik semangat zaman
Hukum progresif, sekaligus sebagai generasi penerus yang menjaga
kesinambungan Hukum Progresif. Generasi baru sarjana hukum yang
telah memahami Hukum Progresif, pada gilirannya menjadi generasi
baru praktisi hukum dengan semangat Hukum progresif, baik sebagai
pembentuk undang‐undang, sebagai hakim, jaksa, advokad, dan di
berbagai posisi struktural dan fungsional lainnya di tanah air.Hasil atau
produk dari proses berfilsafat untuk menemukan jawaban suatu masalah,
tidak berhenti pada perumusan proposisi dan pernyataan kesimpulan
(filsafat). Arti pentingnya jawaban berupa pernyataan kesimpulan
239
(filsafat) itu justru karena keterhandalannya sebagai sarana untuk
menjelaskan fenomena atau sejenis yang terjadi di kemudian hari.
Pernyataan kesimpulan itu juga harus bisa menjadi acuan (referensi)
guna perumusan kebijakan (publik ataupun privat).
Konstruksi berfikir filsafat menuju perumusan jawaban selalu
terdiri tiga landasan berpikir, meliputi landasan berpikir ontologis,
epistemologis dan atau teleologis. Sebuah filsafat atau teori yang handal
atau kredibel (terpercaya) selalu bertumpu pada tiga landasan berpikir
yang meliputi landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis/teleologisnya. Landasan ontologis berkaitan dengan realitas
atau kenyataan yang menjadi objek kajian. Landasan epistemologis
berkaitan dengan metode yang dapat dan tepat diterapkan dalam rangka
pengembangan pemikiran terkait objek kajian ke masa depan. Adapun
landasan aksiologis atau teleologis berkaitan dengan masalah nilai yang
terkandung di dalam pemikiran, konsep atau teori, tujuan yang ingin
dicapai atau diwujudkan melalui pemanfaatan pemikiran, konsep atau
teori yang ingin dibangun. Dalam konteks hukum progresif, perlu
dilakukan kajian ulang secara terus menerus ketiga landasan berpikir
filsafatnya, sebagai upaya sistematik ke arah pengukuhan posisinya
dalam peta filsafat hukum dalam bingkai aliran filsafat hukum
posmodern.
Dari sisi landasan ontologis, hukum progresif dicetuskan dengan
240
latar belakang keprihatinan terhadap realitas penegakan hukum yang
carat marut, penegakan hukum yang tersandera oleh tuntutan
terpenuhinya keadilan formal. Mindset aparat penegak hukum terpenjara
oleh pemikiran berparadigma positivisme hukum sehingga mengalami
kelumpuhan dalam menghadapi perkara hukum kontemporer.
Dari sisi epistemologis, pengembangan ilmu hukum di tanah air
seyogyanya menggunakan metode induktif sebagaimana banyak
dilakukan dalam bingkai Realisme Hukum, sebagai suatu ilmu yang
berbasis empiris sehingga merupakan ilmu dalam arti yang genuine legal
science.
Sementara itu, dalam segi aksiologis atau teleologis, hukum
progresif dimaksudkan sebagai acuan berpikir dalam pengembangan
keilmuan dan pendidikan hukum, pembentukan dan penegakan hukum
yang bertujuan mewujudkan keadilan yang membahagiakan bagi
masyarakat (ringing justice to the people).
12. Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim
Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan
dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk
mendapatkan keadilan pencari keadilan harus melalui prosedur‐
prosedur yang tidak adil sehingga hukum menjadi momok yang
menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan
241
masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal
memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang
selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda tanpa makna. Teks‐teks
hukum hanya permainan bahasa (language) yang cenderung menipu dan
mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia
hukum karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme
yang tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan
dengan hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks
dinamika multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa
hukum sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat
sempit, dimaknai sebatas undang‐undang, sedangkan nilai‐nilai diluar
undang‐undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang
dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak
menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang‐
Undang sebagai sebuah nalar, tetapi hukum yang menghamba pada
kepentingan manusia untuk menegakkan nilai‐nilai kemanusiaan. Fungsi
kaidah hukum pada hakikatnya adalah untuk melindungi kepentingan
manusia.
Dalam penegakan hukum, hakim mempunyai peran sentral, baik
hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, maupun
242
Mahkamah Konstitusi. Dalam penyelenggaraan peradilan, hakim
melakukan penerapan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwa yang
konkrit. Karena beraneka ragamnya kegiatan kehidupan masyarakat dan
cepatnya perkembangan dan perubahannya, maka tidak mungkin
tercakup dalam satu peraturan perundang‐undangan dengan tuntas dan
jelas. Oleh karenanya sudah wajar kalau tidak ada peraturan perundang‐
undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang‐undangan yang
lengkap selengkap‐lengkapnya dan jelas sejelas‐jelasnya. Karena
hukumnya idak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan
diketemukan. Terlebih lagi mengingat ada kemungkinan suatu perkara
yang dihadapkan pada hakim belum ada peraturan hukumnya, atau
peraturan hukumnya ada tetapi tidak jelas, seharusnya hakim dapat
melakukan penemuan hukum, bahkan sekaligus pembentukan hukum.
Sejarah mencatat perubahan yang signifikan aliran legisme
menuju aliran rechtsvinding. Di Belanda perubahan yang revolusioner
terjadi melalui putusan Hogeraad Belanda tanggal 31 Januari 1919 yang
dikenal dengan Revolusi Januari. Melalui putusannya, Hogeraad Belanda
lenyatakan bahwa yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam
Pasal 365 KUH Perdata, bukan perbuatan yang hanya melawan Undang‐
undang (hukum tertulis), melainkan termasuk perbuatan yang melanggar
hukum tidak tertulis. Adanya tafsiran yang luas dari Pasal 1365 oleh
243
hakim terhadap asal 1365 KUH Perdata merupakan suatu keberanian
yang luar biasa di tiang hukum, sebab pada masalah‐masalah
sebelumnya hakim tidak berani memutuskan seperti itu. Dalam hal ini
ternyata sudah dipergunakan tafsiran yang luas, sehingga dapat
dikatakan bahwa putusan tanggal 31 Januari 1919 dianggap suatu
tindakan revolusi di bidang hukum dan kehakiman.
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan
tidak berdasarkan atas kekuasaan. Hukum harus dijadikan panglima
dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk
kesejahteraan hidup manusia. sehingga boleh dikatakan bahwa
berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam
konteks mencari kebahagiaan hidup. Satjipto Rahardjo mengatakan:
“baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia”.166
Dalam hal hakim memutus perkara dengan menggali nilai‐nilai
yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka akan lebih dapat
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian dinamika
166 Lihat Satjipto Rahardjo, B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati, FX Ajie Samekto, Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Thafa Media, 2012, hal 283‐302
244
masyarakat berubah, maka hakim dalam penegakan hukum juga harus
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dinamika kehidupan
masyarakat. Pengadilan bukanlah institusi hukum yang steril, yang hanya
berurusan dengan pengongkretan undang‐undang, melainkan memiliki
jangkauan yang lebih luas. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang
mengikuti dan peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat.
Pengadilan sarat dengan pikiran keadilan, pembelaan rakyat dan
nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga berhati nurani (concience of
the court). Hakim sebagai penegak hukum di pengadilan harus benar‐
benar memperhatikan dinamika masyarakat, berhati nurani dalam
memutus perkara, sehingga benar‐benar bisa memberikan keadilan bagi
masyarakat. Dalam menegakkan hukum dalam sebuah putusan
peradilan (hakim), ada tiga unsur sebagai nilai dasar yang harus selalu
diperhatikan, Pertama, nilai yuridis (kepastian hukum), dengan tujuan
untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kedua, sosiologi
(kemanfaatan), tujuan ditegakkannya hukum masyarakat harus pub
memperoleh manfaat dan jangan justru menimbulkan keresahan
masyarakat, Ketiga, filosofis (keadilan), yakni dengan hukum ditegakkan
dan masyarakat memperoleh keadilan.
Dalam menjalankan tugas untuk mengadili suatu perkara ada
kemungkinan bahwa tidak ada peraturan hukum, atau peraturan
hukumnya baik jelas, atau terjadi kekosongan hukum. Dalam hal
245
demikian, maka hakim harus berusaha mencari dan menemukan
hukumnya untuk menyelesaikan tersebut. Oleh karena itu Hakim sangat
berperan dalam penemuan, mengingat perubahan dan perkembangan
masyarakat yang tentunya diikuti dengan perkembangan peraturan
perundang‐undangan. Menurut Scholten Penemuan hukum
(rechtsvinding) berbeda dengan penerapan hukum (rechtstoepassing).
Penemuan hukum dapat dilakukan baik melalui penafsiran, atau
analogi, maupun penghalusan hukum (rechtsvervijning). Penegakan
hukum tidak harus dilakukan dengan logika penerapan hukum yang
mengandalkan penggunaan logika (een hanteren van logische figuren),
melainkan melibatkan penilaian memasuki ranah pemberian makna.
Melalui silogisme dan kesimpulan logika tidak akan ditemukan sesuatu
yang baru, seperti yang dikehendaki oleh penemuan hukum. Jika hakim
memutus suatu kasus berdasarkan hak dan kewajiban yang sudah ada
(preexisting right and obligation) maka hakim tidak lebih dan tidak
kurang hanya sebagai robot. Karena hakim bukan robot tetap nanusia
maka hakim dapat membuat peraturan baru. Jadi bukan hanya badan
legislatif dan eksekutif yang membuat hukum, tetapi juga badan
yudikatif.
Ada perbedaan mendasar antara pikiran analitis dan realitas atau
sosiologis, seperti diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism
yang pertama selalu melihat ke dalam bingkai peraturan dan tidak ke
246
dari lingkaran itu (in het kader van de wet). Berdasarkan pikiran hukum
yang demikian itu, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan.
Tidak dan tidak boleh ada penafsiran, yang ada ialah penerapan hukum,
undang‐undang. Penafsiran itu ada di tangan badan legislatif, oleh
karena dalam pembuatan hukum sudah termasuk di situ penafsirannya.
Di disini kepastian sangat diunggulkan, bahkan sampai titik mutlak dan
kepastian itu diperoleh dengan membaca undang‐undang. Di pihak lain,
pikiran realis, sosiologis dan bebas, berpendapat bahwa hukum itu
merupakan kerangka yang abstrak, sedang peristiwa yang dihadapkan
padanya adalah unik. Kalau yang berpegangan pada kata‐kata undang‐
undang, maka sifat unik dari perkara tersebut akan hilang dan
dikesampingkan. Oleh karena itu, setiap pembuatan keputusan hukum
adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut.
Hukum progresif dan penafsiran progresif berpegangan pada
paradigma "Hukum untuk manusia", sedang analytical jurisprudence
mengikuti paradigma "Manusia untuk Hukum". Manusia di sini
merupakan simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum itu
memandu dan melayani masyarakat. Dengan demikian diperlukan
keseimbangan antara dan 'dinamika', antara 'peraturan', dan 'jalan yang
terbuka’. Yang lebih tegas menekankan penggunaan hukum maupun
putusanhukum sebagai a tool of social engineering adalah Mochtar
Kusumaatmadja ingin mendayagunakan hukum nasional yang modern
sebagai sarana untuk mengubah dan merekayasa kehidupan masyarakat.
247
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pandangan yang tentang
hukum yang menitikberatkan pada pemeliharaan ketertiban dalam
statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap
bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam
proses pembaharuan. Hakim di samping dapat melakukan penemuan
hukum, juga dimugkinkan membentuk hukum, kalau hasil penemuan
hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti
oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu
putusan yang mengandung asas‐asas hukum dirumuskan dalam
peristiwa konkrit, tetapi memperoleh kekuatan hukum umum. Jadi satu
putusan dapat sekaligus mengandung dua unsur di satu pihak putusan
merupakan penyelesaian atau pemecahan secara konkrit dan di pihak
lain merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang. Dalam hal
demikian Hakim telah melakukan penemuan hukum, dan melakukan
pembentukan hukum.
Hukum bukanlah selalu berupa baik tertulis maupun tidak dapat
juga berupa perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah
diketemukan atau digali kaidah atau hukumnya. Dalam Undang Undang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai‐nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengandemikian istilah
penemuan hukum (rechtsvinding) yang tepat. Apabila suatu kaidah atau
248
ketentuan dalam suatu putusan kemudian diikuti secara konstan atau
tetap oleh para hakim dalam putusannya dan dianggap menjadi bagian
dari keyakinan hukum umum, maka dapat dikatakan bahwa terhadap
masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi.
Diputus ulangnya kaidah hukum dalam suatu putusan oleh
yurisprudensi tetap akan memperkuat wibawa kaidah hukum tersebut.
Dari Pasal tersebut sangat jelas bahwa seorang hakim harus mengikuti
perkembangan hukum di dalam masyarakat yang diharapkan nantinya
dalam mengambil putusan bisa memenuhi rasa keadilan rakyat. Juga
terdapat pada Pasal (5) bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugas
dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan. Dalam praktik
peradilan yang tidak memuaskan masyarakat telah lama dirasakan, yang
bertentangan dengan prinsip peradilan yang murah, cepat dan
sederhana.
Ada tiga faktor yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat
terhadap kinerja hakim; (1) lambatnya penyelesaian perkara yang
disebabkan kurangnya pengetahuan hakim terhadap perkara yang
ditanganinya; (2) Hakim kurang berusaha memutuskan perkara dengan
sungguh‐sungguh yang didasarkan atas pengetahuan hukum positif dan
keyakinannya; (3) seringnya kasus penyuapan atau percobaan
penyuapan tidak dapat dibuktikan karena tekhnik pemberian uang suap
dilakukan tanpa bukti dan tanpa saksi‐saksi yang cukup. Ironi
249
penyimpangan tetap terjadi sekalipun tidak terdapat kolusi antara lain
pencari keadilan, yaitu penulisan putusan yang sengaja dilakukan oleh
panitera. Imparsialitas hakim terlihat bahwa para hakim akan
mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta di persidangan, bukan
atas dasar keterkaitannya dengan pihak terperkara. Dengan demikian
hakim harus mempunyai kemampuan dan kreativitas untuk dapat
menyelesaikan dan memutus perkara dengan mencari dan menemukan
hukum dalam kasus yang tidak ada peraturan hukumnya atau
peraturannya ada tetapi kurang jelas.
Hakim harus mampu melakukan penemuan hukum untuk dapat
memutus perkara sehingga terwujud keadilan yang didambakan
masyarakat. Di sini hakim lebih leluasa serta luwes baik menyelesaikan
perkara, karena tidak hanya menyampaikan bunyi Undang‐undang (la
bouche de la loi), tetapi dapat melakukan penemuan hukum karena
sebenarnya hukum itu ada dalam masyarakat. Di mana ada masyarakat,
di situ tentu ada hukum (ubi murtas, ibi ius), tinggal bagaimana kita
menggali, sehingga dalam penegakan hukum benar‐benar dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat.
250
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Pertama; Salah satu pengaruh buruk dari dominasinya paradigma
modern yaitu pertama, membuat peneliti mengabaikan dan menjauhkan
objek dari lingkungan. Kedua, memisahkan suatu objek dari unsur‐unsur lain
yang mempengaruhinya, sehingga memandang segala sesuatu sebagai sistem
yang bersifat mekanis belaka. Pengaruh paradigma modern dalam ilmu
hukum dapat dilihat dari arus pemikiran yang dikenal dengan positivisme
hukum. Bagi positivisme, hukum merupakan bangunan rasional yang memiliki
metode rasional pula. Hegemoni paradigma ini telah menimbulkan dualisme
dan reduksi ontologis ilmu hukum sehingga teks dan realitas hukum menjadi
mekanistik dan deterministik. Hal ini telah mempengaruhi cara pandang
ilmuan hukum, para praktisi hukum dan pendidikan hukum, bahwa teori
hukum dan ilmu hukum, praktek hukum dan pendidikan hukum dibangun
diatas dasar (pondasi) keteraturan dan ketertiban (mekanistik‐sistematik).
Positivisme hukum memandang realitas bersifat dualistik, serba formal, serta
tidak meragukan sedikitpun tentang eksistensi hukum positif sebagai institusi
pengaturan masyarakat. Pada hakekatnya paradigma positivisme telah
menimbulkan pengaruh terhadap aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis ilmu hukum yang pada akhirnya menyebabkan ilmu hukum terkucil
dari realitas perkembangan keilmuan dewasa ini.
251
Kedua;Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara
berhukum para penegak hukum. Cara berhukum secara progresif tidak
sekedar menerapkan hukum positif legalistis, menerapkan undang‐undang,
membaca atau mengeja undang‐undang. Cara berhukum ini lebih menguras
energi, baik pikiran maupun empati dan keberanian. Berhukum tidak
dilakukan dengan mengutak‐atik teks undang‐undang dan menggunakan
logika, melainkan dengan akal sehat dan nurani. Dalam berhukum progresif,
menjalankan hukum adalah untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Cara berhukum progresif dipengaruhi oleh pandangan holistik tentang realitas
serta terkait dengan kecerdasan spritual. Selain itu, kajian hukum progresif
berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan
optik hukum menuju ke perilaku.
B. Kontribusi DanRekomendasi
Pertama; sebagai bentuk kontribusi dalam dunia akademis, penelitian
ini adalah sebagai ide upaya sistematis untuk mengembangkan dan
mengukuhkan Progresif yang tidak berhenti pada tataran seminar, penelitian
publikasi karya ilmiah saja, melainkan juga ditempuh melalui
pengintegrasiannya di dalam kurikulum pendidikan hukum di seluruh tanah
air. Berbagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi hukum dapat
mengakomodasi pembahasan dan diskusi perihal Hukum Progresif. Hukum
progresif sebagai sebuah konsep dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai
252
suatu tatanan pikiran hukum yang solid, sebagai jawaban atas problematika
hukum dan keadilan di tanah air. Seiring dengan optimisme terhadap
kekuatan nalar konsep hukum progresif, para ilmuwan hukum yang memiliki
komitmen terhadap perkembangan hukum progresif sebagai sebuah tananan
pemikiran hukum di Indonesia, perlu mengupayakan baik secara individual
maupun kolektif pengintegrasiannya di dalam sistem pendidikan tinggi
hukum nasional. Ide‐ide dasar yang menyertai konsep hukum progresif perlu
diintegrasikan ke dalam pendidikan tinggi hukum di tanah air.
Kedua; sebagai sebuah rekomendasi untuk para penegak hukum pada
umumnya terutama sekali para Hakim khususnya, cara berperilaku progresif
akan membentuk praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa,
advokat(yudikatif) yang mampu menegakkan hukum dengan membawa
keadilan di berbagai posisi struktural dan fungsionalnya masing‐masing, serta
bisa menjadi acuan (referensi) guna perumusan kebijakan publik ataupun
privat untuk kalangan legislator (legislatif).
253
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks:
Absori. 2013. Politik Hukum Menuju Hukum Progresif. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Press.
Absori. 2003. Kritik atas Ketidak teraturan Hukum (Terjemahan dari The
Disorder of Law; A Critique of Legal Theory) Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Syafa’at. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Cet.2 Jakarta: Konstitusi Press. Ali, Achmad.2004. Kritis terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi
Hukum Kritis. Yogyakarta : Genta Press. Ali, Achmad.2008. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), Vol.1. Ayyub Saleh, Andi. 2006. Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book
and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding). Jakarta: Yarsif Watampone.
Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal "Konsepsi Pembangunan,
Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru ", cet. 1 Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ababil, Jufri Bulian Ababil. 2006. Raju yang diburu; Buruknya Peradilan Anak di
Indonesia. cet. 1 Yogyakarta: Pondok Edukasi. Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair.1990. Metodologi Penelitian
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. C.K.L. Bello, Petrus. 2012. Hukum & Moralitas: Tinjauan Filsafat Hukum.
Yogyakarta: Erlangga. Capra, Fritjof. 2000. The Tao Of Physics “Menyikapi Kesejajaran Fisika Modern
dan Mistitisme Timur”. Yogyakarta: Jalasutra. Capra, Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terjemahan dari The Turning Point; Science, Society and Rising Culture) Yogyakarta: Benteng Budaya.
254
Cahyadi, Anthonius dan Donny Danardono. 2009. Sosiologi Hukum dalam Perubahan, cet.1 Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dimyati,Khudzaifah dan Kelik Wardiono. 2014. Paradigma Rasional Dalam
Ilmu Hukum : Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen. Yogyakarta: Genta Publishing.
Dimyati, Khudzaifah. 2014. Pemikiran Hukum : Konstruksi Epistemologis
Berbasis Budaya Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Dimyati, Khudzaifah, 2010. TEORISASI HUKUM : Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.
Darmodihardjo, Darji dan Sidharta. 2004.Pokok‐pokok Filsafat Hukum: Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia. Erwin, Muhammad.2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap
Hukum.Jakarta: Rajawali Press. Easjidi, Lili dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar‐dasar Filsafat dan Teori Hukum. Cet.8
Bandung: Citra Aditya Bakti. Fanani, Ahmad Zaenal. 2014. Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan
Praktik). Bandung: Mandar Maju. F. Susanto, Anthon. 2007. Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum
Konstruktif‐Transgresif. Cet. 1 Bandung: Refika Aditama. F. Susanto, Anthon. 2007. “Teks Dalam Realitas Hukum: Sintesis Pendekatan
Chaos dan Hermeneutika Dekonstruksi sebagai Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum”. Semarang: Universitas Diponegoro.
F. Susanto, Anthon. 2005. Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: Refika Aditama. F.Susanto,Anthon. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. F.Susanto, Anthon, 2010. Dekonstruksi Hukum; Eksplorasi Teks dan Model
Pembacaan. cet 1 Yogyakarta: Genta Publising.
255
Faisal. 2008. Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis, Jakarta: STIHIBLAM.
Faisal.2010. Menerobos Positivisme Hukum.Yogyakarta: Rangkang Education. Fuady, Munir.2013. Teori‐teori dalam Sosiologi Hukum. Cet.2 Jakarta: Kencana
Prenada Media. Fuady, Munir. 2003. Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan
Hukum, cet. 1 Bandung: Citra Aditya Bakti. Fearn, Nicholas. 2002. Cara Mudah Berfilsafat: Ringkas dan Menghibur.
Yogyakarta: Bentang. Friedmann,W. 1953. Legal Theory, Third Edition, Stevens & Sons Limited. Gahral Adian, Donny. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komperehensif, Yogyakarta: Jalasutra. Gunawan, Ahmad dan Munawar Ramadhan. 2006. Menggagas Hukum
Progresif, Semarang : Pustaka Pelajar. Giddens, Anthony. 1984. Beyond Left and Right, Cambridge: Polity Press. Gribbin, John. 2003. Fisika Kuantum. Jakarta: Erlangga. Horgan,John. 1997. The End Of Science, Facing the Limits of Knowledge in the
Twilight of the Scientific Age. New York: Broadways Books. Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius Press. Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche.
Jakarta: Gramedia. Hammersma. 1983. Tokoh‐tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia. Heriyanto, Husain. 2003. Paradigma Holistik: "Dialog Filsafat, Sains, dan
Kehidupan Shadra dan Whitehead", cet. 1 Jakarta: Teraju. Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Postivisme dan Modernitas, cet. 5,
Yogyakarta: Kanisius. Hamidi, Jazim.2005. Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interprestasi Teks. Yogyakarta : UII Press.
256
Ibrahim, Anis. 2007. Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga. Cet. 1 Malang: In‐TRANS.
Kelsen,Hans. 2002. Hukum dan Logika, Bandung: Alumni. Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam, cet.1 Surabaya:
Risalah Gusti. Kristiana,Yudi. 2009. Menuju Kejaksaan Progresif; Studi Tentang Penyelidikan,
Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, cet.1, Yogyakarta: LSHP.
Kusuma, Mahmud.2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi
Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Press.
Kusumahatmadja, Mochtar. 2002. Konsep‐konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni. Lukito, Ratno. 2008. Tradisi Hukum Indonesia, cet. 1 Yogyakarta: Teras. L.Tanya, Bernard dan Yoan N.Simanjuntak, dan Markus Y.Hage. 2010. Teori
Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Thafa Media.
Mahfud MD, Moh. 2013. Inilah Hukum Progresif Indonesia, dalam
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif) Semarang: Thafa Media.
Mahfud MD, Mochammad. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. cet.1 Bandung:
Citra Aditya Bakti. Marks, John. 1990. Science and the Making the Modern World, Heinemann:
Oxford. M. Manullang, E. Fernando. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan
Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas. Miswari, Zuhairi & Noviantoni. 2004. Doktrin Islam Progresif; Memahami
Islam Sebagai Ajaran Rahmat, cet.1 Jakarta: LSIP. Muttaqien, Raisul. 2010. Teori Hukum Murni: Dasar‐dasar Ilmu Hukum
Nomatif. Bandung: Nusa Media.
257
Magnis Suseno, Franz. 2003. Etika Politik (Prinsip‐Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
M. Poloma, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. Muhmutarom. 2008. Teori Keadilan & Implementasinya Dalam Perlindungan
Korban Tindak Pidana; Kajian dari Perspektif Sejarah Hukum, cet. 1 Semarang: Wahid Hasyim University Press.
Nonet Philippe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition:Toward
Responsive Law. New York : Harper Colophon Books. Norris, Christopher. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida,
cet. 2 Yogyakarta: AR‐RUZZ Media. Paulson, L. Stanley. 1988. Four Phases in Hans Kelsen's Legal Theory?
Reflections on a Periodization", Oxford Journal of Legal Studies. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barakatullah. 2014. Filsafat, Teori, dan Ilmu
hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin‐mesin
Kekerasan, dalam Jagat Raya Chaos. Bandung: Internusa Media. Piliang, Yasraf,2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Ritzer, George. 2002. Ketika Kapitalisme berjingkrang: telaah Kritis terhadap
Gelombang Mc Donalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum, cet. 8, Bandung: Citra Aditya Bakti. Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan, dan
Pencerahan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Rahardjo, Satjipto dan B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati,
FX Ajie Samekto. 2012. Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Semarang: Thafa Media.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. cet.1
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
258
Rahardjo, Satjipto. 2008. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, cet. 1, Yogyakarta: Genta Press.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Lapisan‐lapisan Dalam Studi Hukum, cet.1 Malang:
Bayumedia. Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman‐pengalaman di Indonesia. Cet.3 Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.
Yogyakarta : Genta Publishing. Rahardjo, Satjipto. 2010.Pemanfaatan Ilmu‐ilmu Sosial bagi Pengembangan
Ilmu Hukum. cet. 2 Yogyakarta : Genta Publishing. Rahardjo, Satjipto.2009. Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman‐pengalaman di Indonesia. cet. 3 Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2006.Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu
Hukum Indonesia. Semarang : Pustaka Pelajar. Rahardjo, Satjipto. 2008.Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum. cet. 2 Jakarta : Kompas Media Nusantara.
Rahardjo, Satjipto. 2010.Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, cet. 2
Yogyakarta: Genta Publishing. Rahardjo, Satjipto. 2006.Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum Dalam Jagat Ketertiban, cet.Pertama,
Jakarta: UKI Press. Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi‐sisi Lain dari Hukum Indonesia. cet.1, Jakarta:
Kompas. Rasjidi, Lili & I. B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, cet. 2
Bandung: Mandar Maju.
259
Rahayu, Sri dan Niken Savitri. 2008. Butir‐butir Pemikiran dalam Hukum “Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta”, cet. 1 Bandung: Refika Aditama.
Sidharta. 2013. Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan Kebekuan
Produk Legislasi, dalam Konsorsium Hukum Progresif, (Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan.
Bandung: CV Utomo. Surbakti, Natangsa. 2013. Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta
Akademik Filsafat Hukum dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sulaiman. 2013. Pembabakan Hukum Progresif dalam Dekonstruksi dan
Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sumaryono,E. 2002.Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquainas.Yogyakarta: Kanisius. Soekanto, Soerjono. 2002. Faktor‐Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. cet. 4 Jakarta: Raja Grafindo Persada. Salman, Otje danAnton F. Susanto. 2011.Teori Hukum: Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Jakarta: Aditama Press. Saptomo Ade. 2009.Pokok‐Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris
Murni. Jakarta: Trisakti. Samekto, FX. Adji. 2008. Justice Not For All "Kritik Terhadap Hukum Modern
dalam Perspektif Studi Hukum Kritis ”. cet. 1 Yogyakarta: Genta Press. S.Khun, Thomas. 2005. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. cet. 5
Bandung: Remaja Rosdakarya. Sampford, Charles. 1989. The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil
Blackwell,(yang diterjemahkan oleh Prof. Dr Absori) Muhammadiyah University Press.
260
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, cet.1 Yogyakarta: Tiara Wacana.
Syamsuddin, Amir. 2008. Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi dan
Pengacara, cet. 1 Jakarta: Kompas. Sudirman, Anthonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya; Suatu
Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Bismar Siregar, cet. 1 Bandung: Citra Aditya Bakti.
Savitri, Niken. 2008. HAM Perempuan. "Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap
KUHP ”. cet. 1 Bandung: Refika Aditama. Tengker, Freddy. 2005. Sejarah Hukum “Suatu Pengantar. cet. 1 Bandung:
Refika Aditama. Tebbit, Mark. 2000. Philosophy of Law. London: Routledge. Warasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum "Sebuah Telaah Sosiologis". cet.1
Semarang: Suryandaru Utama. Wignjosoebroto,Soetandyo, 2007.“Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam
Ilmu Hukum dan Kritik‐kritik terhadap Doktrin Ini” Materi Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum UII.
Woods, Alan dan Ted Grant.2006. Reason in Revalt: Revolusi Berpikir dalam
Ilmu Pengetahuan Modern, Yogyakarta: IRE Press.
Jurnal Ilmiah:
Dinamika Pemikiran Hukum: Orientasi dan Karateristik Pemikiran Expertise Hukum Indonesia; Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum dan Kelik Wardiono, S.H. M.Hum Magister hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (Seri Ringkasan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I No. Kontrak: 154/SPPP/SP/DP3M/IV/2005).
Pola Pemikiran Hukum Responsif: Sebuah Studi Atas Proses Pembangunan
Ilmu Hukum Indonesia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007 Prof Dimyati dan Kelik Wardiono (Seri Ringkasan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II Kontrak: 180/SP3/PP/DP3M/II/2006).
261
Politik Hukum Menuju Hukum Progresif, Prof. Dr. Absori SH MHum, Muhammadiyah University Press; 2013.
Pergulatan Hukum Positivistik Menuju Paradigma Hukum Progresif; Gde Made
Swardhana; (Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Bali).
Membebaskan Positivisme Hukum Ke Ranah Hukum Progresif: Studi
Pembacaan Teks Hukum bagi Penegak Hukum; Sukrisna Sarmadi, Fakultas IAIN Antasari Banjarmasin.
Konfigurasi Hukum Progresif; Dr. Sudijono Sastroatmodjo Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Ilmu‐ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005)
Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Kekuatan
Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) Dr. Eman Suparman SH MH. HUKUM PROGRESIF: HUKUM YANG MEMBEBASKAN. Jurnal Hukum
Progresif”.Satjipto Rahardjo,”Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005.
Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol:1/Nomor1/April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang