oloeh - · pdf fileada kesamaan antara pemikiran etika aristoteles dan pemikir ... komentar...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENEL:I:'I'IAN
PENGAH.UH EI':I:I<A AR:I:STOJ'EI.ES
PADA
EI':I:I<A :I:BN l'1:I:SI<AWA:I:I-I
OLoEH:
AGUS DARl'1AJ:I:
FAI<ULTAS USHULUDD:I:N
INSrr:I:TUT AGAMA :I:SLAM NEGERI
SYARIF HlTIAYATUT...T..AH
Laporan Penelitian
Pengaruh Etika Aristoteles
Pada
Etika Ibn Miskawaih
Oleh:
Drs. Agus Darmaji
Disetujui Oleh:
Pembimbing
Dr. Z inun Kamal MA
NIP. 150 228 520
Lembar Pengesahan
Penelitian yang ber judul "Pengaruh Etika Aristoteles
Pada Etika Ibn Miskawaih" telah dilaksanakan oleh:
Nama
NIP
Pangkat/Gol.
Fakultas
Drs. Agus Darmaji
150262447
Asisten Ahli (III/b)
Ushuluddin
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ushuluddin
NIP. 150 216 997
Jakarta, 5 Februari 1999
Mengesahkan:
AN. REKTOR
Kepala Pusat Penelitian
ada MA
356
\
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penelitian
tentang "Pengaruh Etika Aristo·teles Pada Etika Ibn Miska
waih" dapat diselesaikan dengan balk.
Laporan penelitian lni merupakan studl perbandingan
antara dua filsuf besar di bidang etika. Keduanya merupakan
pionir yang memperkenalkan pemikiran etika di Yunani dan di
dunia Islam. Dalam uji hipotesis akan dilihat apakah ada
kesamaan dan pengaruh antara kedua pemikir tersebut. Karena
dalam karya Ibn Miskawaih seringkali merujuk kepada Aris
toteles, maka dengan melihat hal tersebut akan terlihat
kesamaan dan pengaruh antara dua filsuf besar tersebut.
Pada kesempatan ini, penulis perlu meyampaikan ucapan
terima· kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian penelitian ini, terutama kepada Bapak
Dr. Hamdani Anwar, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin, dan Bapak
Dr. Dede Rosyada, MA, Kepala Pusat Penelitian, lAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Juga kepada Dr. Zainun Kamal, MA,
yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang
bermanfaat dalam proses penelitian ini. Akhirnya juga kepada
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik
yang secara langsung maupun tidak langsungtelah membantu
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Akhirulkalam, semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat, meskipun, tentu saja, masih banyak kekurangan di
sana-sini, untuk itu penulis siap menerima kritik dan saran.
Wassalam,
Jakarta, 5 Februari 1999
Penulis
Agus Darmaji
ii
DAFTAR lSI
10
13
13
15
17
18
BAB II
KATA PENGANTAR ... . . . . . . • . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
DAFTAR lSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Ba1akang Masalah 1
B. Ruang Lingkup dan Batasan Pene1itian 2
C. Rumusan Masa1ah dan Hipotesis 2
1. Rumusan Masa1ah 2
2. Hipotesis 2
D. Tinjauan Pustaka 3
E. Tujuan dan Kegunaan Pene1itian 6
F. Metode Penelitian 6
G. Langkah-1angkah Pene1itian 7
H. Waktu dan Biaya Penelitian 8
I. Sistematika Penu1isan 8
ETIKA ARISTOTELES
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya .
B. Kebahagiaan Sebagai Kebaikan Tertinggi .
1. Kebahagiaan Sebagai Tujuan .
2. Kebahagiaan Menurut Isinya .
C. Ajaran Tentang Keutamaan .
1. Keutamaan Inte1ektua1 .
i i ;
a. Kebijaksanaan Teoritis 19
b. Kebijaksanaan Praktis 19
2. Keutamaan Moral 20
BAB III: ETIKA IBN MISKAWAIH
A. Riwayat Hidp dan Karya-karyanya 24
B. Ajaran Tentang Keutamaan 25
1. Ajaran Tentang Jalan Tengah 26
2. Menjaga Kesucian Diri 30
3. Keberanian 35
4. Kebijaksanaan 38
5. Keadilan 40
BAB IV KESIMPULAN. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . 49
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
A. Proposal Penelitian 54
B. Surat Keputusan ...•............................. 61
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam khasanah filsafat Islam, ada beberapa filosof
yang membicarakan etika sebagai salah satu bidang kajian.
Salah satu filosof yang mengkaji etika secara sistematik
adalah Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-420 H/941-1030 M)
atau dikenal dengan nama Ibn Miskawaih. Karyanya yang berju
dul Tahzib Al-Akhlaq, menurut para ahli, merupakan buku
rujukan pertama tentang etika Islam.
Seperti telah diketahui bahwa dalam sej arah pemikiran
filsafat Islam pengaruh pemikiran filsafat Yunani sangat
besar. Pemikir-pemikir besar Yunani seperti Sokrates, Plato,
Aristoteles, serta Plotinus, Stoa, Epikuros sangat berpen
garuh dalam pemikiran filsafat Islam. Demikian juga dalam
bidang etika. Karya Ibn Miskawaih dalam Tahzib al-Akhlaq,
menurut beberapa penulis, sebagian besar dari isi buku
tersebut merupakan pendapat Aristoteles dalam buku Nico
machean Ethics yang tentu saja kemudian dimodifikasi dengan
pemikiran Islam.
Untuk melihat pengaruh pemikiran etika Aristoteles
dalam pemikiran Ibn Miskawaih, paling tidak dapat dilihat
dari buku Tahzib al-Akhlaq. Buku tersebut, seperti dijelas
kan di atas, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.
2
pada bagaian mana pengaruh pemikiran Aristoteles sangat
dominan dalam pemikiran etika Ibn Miskawaih.
B. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah pemikiran etika dari Aristoteles dan Ibn Miskawaih.
Rujukan utama yang digunakan adalah karya kedua filosof ter
sebut yaitu Tahzib al-Akhlaq karya Ibn Miskawaih dan Nico
machean Ethics karya Aristoteles. Penekanan penelitian lebih
kepada karya yang pertama ketimbang pada buku atau karya
yang kedua.
c. Rumusan Masalah dan Hipotesis
1. Rumusan Masalah
Masalah yang diajukan dalam penelitian ini dapat diru
muskan sebagai berikut:
Adakah kesamaan pemikiran etika Aristoteles dan pemikiran
etika Ibn Miskawaih?
2. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan bacaan
bacaan yang ada, maka hipotesis yang diajukan adalah:
Ada kesamaan antara pemikiran etika Aristoteles dan pemikir
an etika Ibn Miskawaih.
3
D. Tinjauan Pustaka
Tujuan dari Tahzib al-Akhlaq, seperti dijelaskan dalam
pendahuluan, adalah untuk menanamkan dalam diri kita kuali
tas-kualitas moral dan melaksanakannya dalam tindakan-tinda
kan utama seeara spontan. Dalam melaksanakan yang demikian
itu, pertama-tama harus diselidiki sifat, kesempurnaan, daya
dan tujuan jiwa, seperti yang dikaji dalam psikologi.
Menurut Abdurrahman Badawi, dalam buku Para Filosof
Muslim, suntingan M.M. Syarif, menyatakan bahwa mulai seten
gah sampai akhir dari bab pertama Tahzib al-Akhlaq, pemikir
an Miskawaih terpengaruh Aristoteles ketika ia menganggap
kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia
menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan
utama. Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manu
sia dan asal-usulnya. Ia menyatakan pendapat Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa
adanya manusia tergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi
perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan tergan
tung kepada kemauan sendiri.
Bagian utama etika Miskawaih sebenarnya dimulai dari
bab ketiga. Pertama-tama ia mengikuti Aristoteles, sebagima
na dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya Miskawaih tergantung
sepenuhnya kepada komentar Porphyry terhadap tulisan Nico
machean Ethics karya Aristoteles yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas
4.
sa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Namun demikian semua
itu dapat dilihat bentuknya kembali dalam Tahzib al-Akhlaq
nya Miskawaih (M.M. Syarif 1994: 92).
Mengikuti Aristoteles, Miskawaih menyatakan bahwa
kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi
ini mungkin berasal dari Eudoxus yang disaj ikan di bagian
awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih menyata
kan bahwa apa yang berguna untuk mencapai tujuan adalah
baik, misalnya sarana-sarana atau tujuan itu sendiri dapat
disebut baik. Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan
suatu kebaikan yang relatif, yaitu semacam kebaikan yang
tidak mempunyai hakekat tersendiri dan berdiri sendiri.
Miskawaih, sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan keba
hagiaan secara lebih terinci, yang mungkin diambil dari
komentar Porphyry.
Miskawaih menyatakan bahwa kita harus menolak ajaran
yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh
setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dica
pai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali
dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Tetapi
sebagai seorang religius, ia lebih memilih akhirat. Untuk
menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel terjemahan Abu
Utsman al-Dimasqi yang ber judul Keutamaan Ruh yang ditUlis
oleh Aristoteles.
Dalam bab keempat membahas tentang keadilan dan penje-
5
kernbali rnengikuti bagian-bagian dalarn Nicomachean Ethics-nya
Aristoteles. Secara urnurn , tulisan Miskawaih tentang keadilan
bersifat Aristoteles, tetapi rnenurut Miskawaih kebajikan ini
rnerupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan. Pengetahuan
tentang cara atau batas setiap persoalan rnerupakan prasyarat
bagi keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpen
dapat bahwa keadilan rnerupakan fungsi kehendak ilahiah dan
bukan sekedar pernikiran rasional dan sikap kehatihatian.
Pada bab kelirna, Miskawaih rnernbahas tentang persahaba
tan dan cinta. Cinta bukanlah perluasan dari cinta diri,
sebagairnana dikernukakan Aristoteles, tetapi suatu batasan
dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Miskawaih rnernan
dang rasa cinta (mahabbah) sebagai kernarnpuan fitrah rnanusia
untuk bersekutu dengan rnanusia secara urnurn, tetapi rnernbatasi
persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu, dengan
rnendasarkan pada pertirnbangan keuntungan, kesenangan atau
kebaikan sebagairnana dijelaskan oleh Aristoteles. Miskawaih
rnenyebutkan secara spesifik cinta rnanusia kepada Tuhan,
cinta rnurid kepada guru, dan cinta anak kepada orang tua
secara bertingkat-tingkat. Ia rnenyirnpulkan bahwa keadilan
dapat terwujud rnelalui rasa takut dan kekuatan, sedangkan
cinta rnerupakan suatu surnber alarni kesatuan, sehingga keadi
Ian tidak diperlukan jika cinta telah unggul. Dengan derni
kian, cinta berdaulat, sedang keadilan adalah wakilnya (M.M.
Syarif 1994: 95).
6
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini secara umum adalah:
1. Untuk menjelaskan pemikiran etika pada masa klasik
atau Yunani, terutama pemikiran Aristote1es dan
untuk menjelaskan pemikiran etika dalam filsafat
Islam, terutama etika Ibn Miskawaih.
2. Untuk mencari sejauhmana pengaruh pemikiran etika
Aristoteles pada pemikiran etika Ibn Miskawaih.
3. Diharapkan setelah adanya penelitian ini akan dilan
jutkan dan dilakukan penelitian komparasi pada
bidang-bidang lain dalam filsafat Islam, terutama
dalam kaitannya dengan filsafat Yunani.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
teknik komunikasi melalui anal isis dokumentasi (komunikasi
tertulis), yaitu membandingkan buku Tahzib al-Akhlaq dan
Nicomachea Ethics. Pene-litian kepustakaan ini lebih mene
kankan pada buku yang pertama dengan melihat pada setiap
bab. Kemudian melihat sejauhmana pengaruh buku yang kedua
pada buku yang pertama.
Meskipun banyak pengamat yang menyatakan bahwa rujukan
Miskawaih adalah karya Aristoteles yang telah dikomentari
oleh Porphyry, namun karena komentar tersebut sampai sekar-
7
tian ini adalah karya langsung dari Aristoteles, tentu saja
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
G. Langkah-langkah Penelitian
Untuk pemecahan masalah dan penguj ian hipotesis sebagaimana
tercantum di atas, maka penelitian ini akan menempuh prosedur
sebagai berikut:
1. Studi kelayakan
Sebagai langkah awal, studi kelayakan dilakukan
untuk menentukan tingkat kemungkinan penelitian.
Studi awal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang
ada dari berbagai sumber yang memungkinkan.
2. Penyusunan proposal
Sete1ah diperkirakan layak untuk diteliti, maka
proposal disusun dan diajukan sebagai bahan peneli
tian.
3. Penyusunan rancangan operasional
Langkah ini ditempuh untuk lebih memahami dan men
garahkan jalur opersional, sehingga penelitian 'yang
akan dilakukan menjadi terarah dan terpadu sesuai
dengan langkah yang ditetapkan.
4. Pengumpulan bahan
Berdasarkan prosedur rancangan operasional yang ada,
kegiatan pengumpulan bahan dilakukan dengan mengum-
8
5. Analisis
Analisis dilakukan berdasarkan informasi dari pen
gumpulan bahan. Kegiatan ini ditempuh dengan cara
melakukan komparasi kedua buku rujukan utama terse
but, sehingga pengaruh antara kedua buku tersebut
dapat dilihat.
6. Kesimpulan
Langkah ini akan memberikan gambaran jawaban at as
masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini,
sehingga apakah penelitian ini mendukung hipotesis
atau tidak dapat diketahui dengan pasti.
7. Laporan
Sebagai tahap akhir dari suatu kegiatan penelitian.
penyusunan laporan penelitian diperlukan untuk meng
informasikan hasil penelitian dan juga pertanggung
jawaban peneliti.
H. Waktu dan Biaya Penelitian
Penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu kurang
lebih empat bulan.
Biaya penelitian ini dibebankan kepada anggaran penda
patan dan belanja lAIN Jakarta (DURK).
I. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistematika
9
Bab Pendahuluan rneliputi uraian tantang latar belakang
rnasalah, ruang lingkup dan batasan penelitian, rurnusan rnasa
lah dan hipotesis, tujuan penelitian, rnetode penelitian,
langkah-langkah penelitian, dan sisternatika penulisan lapor
an penelitian.
Bab Kedua rnenguraikan tentang pernikiran filsafat Aris
toteles, terutarna pernik iran etikanya.
Bab Ketiga rnernbandingkan pernikiran kedua filosof terse
but. Dilihat bagairnana dan dirnana pengaruh diantara kedua
filosof tersebut terutarna pernikiran di bidang etikanya.
Bab Penutup rnerupakan bagian kajian terakhir yang
rnernbahas tentang kesirnpulan yang diperoleh dari analisis
kornparasi tersebut di atas, sehingga dapat rnernberikan jawa
ban atas rnasalah dan hipotesis yang dirurnuskan.
\
BAB II
ETIKA ARISTOTELES
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Aristoteles lahir di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani
Utara pada tahun 384 SM. Delapan belas tahun kemudian ia
masuk Akademia di Athena dan samapai tahun 347 menjadi murid
Plato. Pada tahun 342 ia diangkat menjadi pendidik Iskandar
Agung Muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun
335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya
Lykaion, juga disebt sekolah ParipatetiJ" yang sebenarnya
adalah pus at penelitian ilmiah. Pada tahun 323, sesudah
kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena
karen a ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh
menyebarkan ateisme. Ia meninggal pada tahun 322 SM.
Walaupun telah menjadi murid Plato selama 20 tahun,
namun Aristoteles menolak ajaran Plato tentang ide. Menurut
Aristoteles tidak ada ide-ide abadi. Apa yang dipahami oleh
Plato sebagai ide sebenarnya tidak lain adalah bentuk ab-
strak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari
realitas inderawi konkrit akal budi manusia mengabstraksikan
paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu misalnya akal
budi mengabstraksikan paham orang manusia dari orang-orang
konkrit-nyata yang kit a lihat, yang masing-masing berbeda
satu sarna lain.
11
merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manu-
sia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal
yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan i tu tidak perlu
menerima alam ide-ide abadi. Aristoteles menjelaskan dengan
kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi. untuk
meng-angkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris
individual. Dengan demikian pendekatan Aristoteles adalah
empiris. Ia bertolak dari realitas nyata-inderawi. Itulah
sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan
mendukung pengembangan ilmu-ilmu khusus.
Aristoteles juga menolak paham Plato tentang ide Yang
Baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dalam kontemplasi
atau penyatuan dengan ide yang baik itu. Menurut Aris-
toteles. paham Yang Baik itu sedikit pun tidak membantu
seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja
denganbaik, atua seorang negarawan untuk mengetahui bagai-
manaia harus memimpin negaranya. Jadi tidak ada gunanya. Apa
yang membuat manusia menjadi bermutu harus dicari dengan
bertolak dari realitas manusia sendiri. 1 .
Aristoteles membagi filsafat ke dalam filsafat teoritis
dan filsafat praktis. Kata teoritis berasal dari kat a Yunani
theoria, yang berarti memandang, mengkontemplasikan. Theoria
merupakan i1mu yang memandang. mencoba memahami dan mere-
fleksikart asal-usul, keteraturan dan hukum. serta perkem-
1. Franz Magnis-Suseno. 1997, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani
12
bangan dari segala apa yang ada. Filsafat praktis sebenarnya
sama dengan etika dan filsafat politik. Perbedaannya hanya
kalau filsafat memusatkan perhatiannya pada tatanan komuni
tas dan negara, etika lebih mempertanyakan bagaimana kehidu
pan individual harus diwujudkan.
Pendasaran etika sebagai bidang penelitian tersendiri
adalah karya Aristoteles. Aristoteles adalah pemikir pertama
di dunia yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika
secara kritis, refleksif, dan argumentatif. Ia juga mengu
tarakan status teoritis ilmu baru itu serta membahas metode
yang sesuai dengan ciri khasnya. Oleh karena itu, Aris
toteles dianggap sebagai filsuf moral pert am a dalam arti
yang sebenarnya. Ia adalah pendiri etika sebagai ilmu atau
cabang filsafat tersendiri.
Ada tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika:
yang pertama adalah Ethika Eudemia, yang kedua Nicomachean
Ethics, dan yang ketiga Politike. Karya yang pertama tidak
banyak mendapat perhatian karena dianggap belum merupakan
ungkapan pikiran matang Aristoteles dan juga karena kurang
jelas apakah ditulis oleh Aristoteles sendiri. 2 . Adapun
buku Politike merupakan perpanjangan buku Nicomachean Ethics
yang lebih memfokuskan pada masalah kenegaraan. Dalam pene
litian ini lebih menekankan pada buku Nicomachean Ethics.
2. Ihid.
13
B. Kebahagiaan sebagai Kebaikan Tertinggi
Dalam buku Nicomachean Ethics, Aristoteles merancang
suatu visi baru tentang peruntukan dan kemungkinan ultim
manusia. Aristoteles beranjak dari pengandaian bahwa seluruh
kegiatan manusia terarah pada sesuatu yang baik sebagai hal
yang dituju oleh segala-galanya. Kebaikan tertinggi yang
dituju oleh manusia adalah kebahagiaan. Kata yang kurang
jelas ini tentu harus memperoleh suatu isi yang tertentu,
karena apa saja dapat kita sebut kebahagiaan. Kebahagiaan
yang sejati dan sempurna oleh Aristoteles dicari dalam napa
yang membuat kehidupan pantas dituju pada dirinya sendir-i
dan tidak kekurangan suatu apa pun".3. Dalam masalah keba-
hagiaan di sini akan dibahas kebahagiaan sebagai tujuan dan
kebahagiaan menurut isinya.
1. Kebahagiaan Sebagai Tujuan
Dalam semua perbuatannya rnanusia mengejar suatu tujuan.
1a selalu mencari sesuatu yang baik baginya. Tetapi ada
banyak macarn aktivitas manusia yang terarah kepada rupa-rupa
tujuan. Aktivitas seorang dokter misalnya mengarah keseha-
tan. Kepandaian seorang pelaut berusaha supaya kapalnya tiba
dengan selamat di pelabuhan. Pedagang mencari bertambanya
keuntungan. Apalagi aktivitas yang sarna seringkali mengejar
beberapa tujuan yang tergantung yang satu pada yang lain.
3. P.A Van der Weij, 1988, Filsllf-filsllf Resar Tentang Nanllsia,rliinrlnn~~i~~~n nloh V Ra~+~n~ ~"~__ ~~_ ~_1.__ ~_
14
Seorang dokter dapat memberi pasiennya obat supaya ia tidur
nyenyak; dan tidur itu dimaksudkan supaya kesehatan dapat
pulih. Dengan demikian satu tujuan demi tujuan lain. Aris
toteles mengajukan pertanyaan, apakah kiranya terdapat suatu
tujuan tertinggi dan terakhir yang dikejar hanya karena
dirinya sendiri dan bukan demi suatu tujuan lain.
Menurut Aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebaha
giaan (eudaimonia). Kebahagiaan merupakan tujuan terakhir
manusia. Mengapa? Di satu pihak, karena apabila sudah baha
gia, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Di lain pihak,
kalau orang sudah bahagia, tidak masuk akal jika masih
mencari sesuatu yang lain lagi. Kebahagiaan itlah yang baik
pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu
nilai yang lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya
sendiri. 4.
Dengan kat a eudaimonia orang Yunani tidak memaksudkan
suatu perasaan subyektif, tetapi suatu keadaan manusia yang
bersifat demikian sehingga semuanya yang harus ada padanya
terdapat pada manusia (well-being). Tugas etika adalah
mengmebangkan dan mempertahankan kebahagiaan itu. Dengan
demikian nyatalah bahwa etika merupakan cabang filsafat yang
bermaksud praktis, bukan teoritis. Oleh karenanya Aris
toteles berpendapat bahwa etika sebaiknya tidak dipelajari
oleh orang musa, sebab mereka belum mempunyai pengalaman
15
yang boleh disebut matang. 5 .
2. Kebahagiaan Menurut Isinya
Belum cukuplah jika dikatakan bahwa kebahagiaan merupa-
kan tujuan tertinggi dalam hidup manusia. Perkataan ini
perlu dijelaskan lagi, karena banyak orang menganggap keba-
hagiaan dengan berbagai macam cara. Yang satu berpendapat
bahwa kesehatan adlah kebahagiaan, yang lain menyetarakan
kebahagiaan dengan kekayaan, yang lain lagi menyamakan
kebahagiaan dengan penghormatan. Boleh jadi juga bahwa orang
yang sama memandang kebahagiaan dengan cara yang berlainan
dalam berbagai periode hidupnya. Oleh sebab itu, Aristoteles
bertanya apakah sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah kebaha~
giaan menurut isinya? Yang pasti -demikian jawaban Aris-
toteles- bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan suatu
aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka, karena aktus
mempunyai prioritas terhadap potensi. Suatu makhluk mendapat
kesempurnaannya bukan karen a potensi begitu saja, melainkan
karean potensi sudah mencapai aktualisasinya. Dan apakah
kesempurnaan manusia? Kita harus mengatakan bahwa kesempur-
naan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi
yang hanya terdapat pada manusia saja, yaitu rasio. Itulah
sebabnya kebahagiaan manusia sarna saja dengan menjalankan
aktivitas yang spesifik baginya, yaitu pemikiran. Bagi
5. K. Bertens, 1975, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakar-
16
manusia, kebahagiaan ialah memandang kebenaran.
Tetapi di sini sesuatu yang hakiki harus ditambah lagi.
Agar manusia sungguh-sungguh bahagia, tidak cUkuP hanya jika
aktivitas tertinggi manusia dijalankan dengan sembarang cara
saja. Manusia hanya disebut bahagia, jika ia menjalankan
aktivi tasnya dengan baik. Supaya manusia bahagia, ia harus
menjalankan aktivitasnya "menurut keutamaan". Hanya pemikir
an yang disertai dengan keutamaan (arete) dapat membuat
manusia menjadi bahagia. Keutamaan menyangkut rasia, tetapi
juga manusia seluruhnya. Manusia bukan saja makhluk intelek
tual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-pera
saan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu dan lain sebagainya.
Dleh sebab itu ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan
intelektual dan keutamaan moral.
Aristoteles mencatat pula bahwa pemikiran yang diser
tai kei.ltamaan belum boleh disebut kebahagiaan kalau hanya
berlangsung dalam beberapa detik atau sekali-sekali saja.
Manusia baru boleh disebut bahagia, jika ia dapat menjalan
kan pemikiran yang disertai keutamaan dalam jangka waktu
yang cUkup panjang. Dengan perkataan lain, kebahagiaan ada
lah keadaan manusia yang bersifat stabil.
Masih ada unsur-unsur lain lagi yang penting juga
supaya manusia bahagia, biarpun unsur-unsur ini tidak terma
suk hakekat kebahagiaan sendiri. Supaya manusia sungguh
sungguh bahagia, perlu juga bahwa dia merasa senang dalam
17
kesenangan (pleasure) atau rasa bahagia yang subyektif.
Tentu saja, kebahagiaan tidak dapat disamakan dengan kese
nangan; Aristo·teles menolak hedonisme. Tetapi ia mengakui
juga bahwa kebahagiaan belum komplit, kalau tidak disertai
dengan kesenangan. Selain dari kesenangan, yang merupakan
suatu unsur batiniah, mesti ada juga beberapa unsur lahir
iah, supaya kebahagiaan betul--betul ter j amin, seperti mis
alnya: kesehatan, kesejahteraan ekonomi, sahabat-sahabat,
hidup berkeluarga, penghormatan dan lain sebagainya. Manusia
yang mengalami kekurangan-kekurangan dalam bidang itu, sukar
dapat disebut bahagia. Tetapi sekali lagi harus ditekankan,
bahwa kesenangan dan unsur-unsur lahiriah tidak termasuk
hakekat kebahagiaan sendir i. Semuanya i tu hanya merupakan
syarat supaya kebahagiaan dapat direalisasikan. 6 .
c. Ajaran Tentang Keutamaan
Mulai dengan buku II, Nicomachea Ethics menguraikan
secara panjang lebar ajaran Aristoteles mengenai keutamaan
(aretel. Untuk memperoleh keutamaan, kita mesti mulai dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik secara obyektif
saja, artinya perbuatan-perbuatan yang oleh umum dianggap
bersifat baik. Tetapi lambat laun suatu kebiasaan yang kokoh
akan terbentuk dalam watak kita, sehingga untuk selanjutnya
kita melakukan perbuatan-perbuatan baik berdasarkan keuta-
18
maan. Sebuah contoh dapat menjelaskan maksudnya. Seorang
anak misalnya dilarang oleh orang tuanya jangan mencuri
barang kepunyaan orang lain. Jika dia berbuat sesuai dengan
larangan tersebut, maka belum dapat dikatakan bahwa dia
berlaku berdasarkan keutamaan. Tetapi mungkin sekali dengan
demikian suatu sikap tetap akan terbentuk dalam hati si
anak, sehingga ia tidak mencuri lagi justru karena ia yakin
bahwa itu tidak baik. Itulah yang dimaksud oleh Aristoteles.
Hidup menurut keutamaan (obyektif) dapat menyebabkan keuta-
maan pribadi, sehingga untuk selanjutnya perbuatan-perbuatan
akan dilakukan karen a keutamaan.
Biarpun Aristoteles menolak pendirian yang menyamakan
keutamaan dengan pengetahuan, namun ia mengakui juga bahwa
rasio mempunyai peranan terpenting dalam membentuk keuta-
maan-keutamaan. Setiap keutamaan berasal dari rasio. Tetapi
ada dua j enis keutamaan. Keutamaan dapat menyempurnakan
rasio sendiri dan keutamaan dapat mengatur watak manusia
(perasaan-perasaan, nafsu-nafsu, dan sebagainya). Jenis per-
tama disebut keutamaan intelektual, sedangkan jenis kedua
dinamakan keutamaan moral.\'~11J.1i ,
1. Keutamaan Intelektual
Menurut Aristoteles, rasio manusia mempunyai dua fung-
si. Di satu pihak rasio memungkinkan manusia untuk mengenal
kebenaran. Dalam arti ini rasio boleh disebut rasio teori-
19
orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan
tertentu. Dalam arti ini rasio boleh dinamakan rasio prak
tis. Oleh karen a itu, Aristoteles membedakan dua macam
keutamaan yang menyempurnakan ras io: ada kebij aksanaan
teoritis dan ada kebijaksanaan praktis.
a. Kebijaksanaan teoritis
Aristoteles sendiri memilih kat a sophia untuk menunjuk
kan kebijaksanaan teoritis. Sebagaimana halnya dengan tiap
tiap keutamaan, kebijaksanaan teoritis pun merupakan suatu
sikap tetap. Sekali-sekali saja mengenal kebenaran belum
boleh dianggap sebagai keutamaan. Sudah nyata bah\.la hanya
sedikit orang dapat memiliki kebijaksanaan teoritis, yaitu
orang-orang terpelajar. Dan jalan yang menuju ke kebijaksa
naan teoritis ini adalah suatu jalan panjang yang meliputi
seluruh pendidikan ilmiah. 7 .
b. Kebijaksanaan praktis
Aristoteles menggunakan kat a phronesis untuk menunjuk
kan kebijaksanaan praktis. Skolastik Abad Pertengahan telah
menerjemahkan istilah ini dengan kat a Latin "prudentia"
(bahasa Inggris: "prudence"). Kebijaksanaan praktis adalah
sikap ji\.la yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang
mana dari barang-barang konkrit boleh dianggap baik untuk
7. Thill.. h. HiS.
20
hidupnya. Harus ditekaknkan bahwa kebijaksanaan praktis ini
tidak lepas dari keutamaan moral. Tiap-tiap orang yang hidup
menurut keutamaan, mesti memiliki kebijaksanaan praktis
juga. Jika dalam analisisnya mengenai keutamaan moral,
Aristoteles menekankan bahwa jalan tengah antara dua ekstrim
harus ditentukan "sebagaimana seorang yang bijaksana dalam
bidang praktis akan menentukan pertengahan itu", maka ia
maksudkan bahwa kebijaksanaan praktis harus menunjukkan
jalan tengah. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai
dengan kebijaksanaan praktis.
2. Keutamaan Moral
Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu
sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan
tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Misalnya, dalam
hal membelanjakan uang ada kemungkinan dua sikap yang ek
strem: di satu pihak orang dapat mengeluarkan uang terlalu
banyak dan di lain pihak orang dapat juga mengeluarkan uang
terlalu kurang. Seorang yang mengeluarkan terlalu banyak
disebut pemboros, sedangkan orang yang terlalu hemat membuka
dompetnya disebut kikir. Dua sikap ekstrem tersebut masing
masing disebut keborosan dan kekikiran. Keutamaan dalam
bidang membelanjakan uang dapat memilih jalan tengah antara
dua eks trem it u dan ini lah keutamaan yang ki ta namakan
"kemurahan hati". Contoh lain, dalam bidang percaya diri
~_. __ ..:1 •• _ _1 __ .... _ __ ... -"- --- - -- -" --- -- -
21
akan dirinya dan mereka dapat disebut gegabah. Ada pula
orang yang terlampau kurang percaya diri dan mereka dapat
disebut pengecut. Gleh karen a itu dalam hal percaya diri
terdapat dua sikap ekstrem yang masing-masing disebut kege
gabahan dan pengecut. Di sini juga ada kemungkinan suatu
keutamaan yang memilih jalan tengah antara kedua ekstrem
tadi, yaitu "keberanian". Dengan demikian setiap keutamaan
dapat menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berla
wanan. Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebi
han dan kekurangan. 8 .
Menurut Aristoteles keutamaan merupakan suatu sikap.
Supaya kita betul-betul mempunyai keutamaan, belum cukup
jika hanya satu kali atau beberapa kali kita memilih jalan
tengah antara dua ekstrem. Dan juga jika hanya kebetulan
kita memilih jalan tengah, kita belum mempunyai keutamaan.
Bagi Aristoteles, keutamaan baru merupakan keutamaan yang
sungguh-sungguh, jika kit a mempunyai sikap yang tetap untuk
memilih jalan tengah tersebut.
Jalan tengah tidak dapat di tentukan dengan cara yang
sarna untuk semua orang. Dengan lain perkataan, jalan tengah
harus dipandang sUbyektif, bukan obyektif. Tidak mungkin
mengukur pertengahan antara dua sikap ekstrem dengan cara
matematis. Faktor- faktor pr ibadi harus dipertimbangkan.
Perbuatan yang bersifat berani bagi seorang yang badannya
mempertimbangkan
22
lemah, misalnya, barangkali tidak melebihi sifat pengecut
kalau dilakukan oleh seorang yang kuat betul. Akibatnya,
jalan tengah tidak dapat ditentukan pada umumnya, tetapi
harus dicocokkan dengan orang masing-masing.
Apakah terdapat suatu norma atau kaidah untuk menentu
kan jalan tengah? Aristoteles menjawab bahwa rasio menetap
kan pertengahan itu dan rasio harus melakukannya "sebagaima
na seorang yang bijaksana dalam bidang praktis akan menentu
kan pertengahan itu".9. Aristoteles memaksudkan bahwa hidup
menurut keutamaan tidak merupakan suatu persoalan teoritis.
Belum tentu bahwa seorang terpelajar mampu untuk hidup
menurut keutamaan moral. Tetapi seorang yang bijaksana dalam
bidang praksis moral akan mampu untuk menentukan pertengahan
antara kekurangan dan kelebihan, dengan
keadaan konkrit.
Dalam Nicomachean Ethics pembahasan keutamakan-keuta
maan mengambil bagian cukup luas. Aristo"teles membahas
sekurang-kurangnya sebelas keutamaan, yaitu keberanian,
penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur,
harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran, keberadaan, dan
persahabatan. Pada contoh keberanian, Aristoteles menjelas
kan pahamnya tentang keutamaan. Keutamaan bukan pertama-tama
dipahami sebagai lawan suatu sikap buruk, melainkan sebagai
tengah Imesotesl antara dua ekstrem. Keberanian terletak di
23
tengah antara sikap gegabah dan takut. Jadi. keutamaan-keu
tamaan dipahami sebagai sikap seimbang dan justru karena itu
menunjukkan kematangan dan kekuatan perkembangan pribadi. 10 .
Dalam buku X dan terakhir dari Nicomachean Ethics
Aristoteles kembali lagi pada unsur yang terpenting dalam
kebahagiaan manusia. yaitu memandang kebenaran. Theoria
(memandang kebenaran) aktivitas manusia yang tertinggi.
Jadi. hidup yang bahagia ialah hidup sebagai filsuf. Dan
karena rasio merupakan suatu unsur ilahi dalam diri manusia,
harus dikatakan pula bahwa menjalankan akt:ivitas rasio
adalah suatu hidup ilahi .11. Karenanya filsuf sedapat
mungkin akan memelihara hidup ilahi itu dengan mengabaikan
hal-hal yang manusiawi belaka.
10. Franz Magnis. Gp. Cit .• h. 39.
11 T( 'Rort Cln c:. _ nn. rl' t __ h. 1on.
25
dan Ibn Sina. 1
Ibn Miskawaih juga dikena1 sebagai sejarawan besar
kemasyhurannya me1ebihi a1-Thabari (w. 310/923). Selain itu
ia juga dikenal sebagai dokter, penyair, dan ahli bahasa.
Keahliannya dalam berbagai bidang tersebut antara lain
dibuktikan dengan karya tulis berupa buku dan atau artikel.
Jumlah buku dan artikel yang dihasilkannya ada 41 buah.
Dalam bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpe-
ngaruh adalah Tahzib al-Akhlaq. Karya-karya yang lain ten-
tang etika, seperti dituturkan dalam beberapa sumber, antara
lain Al-Fauz Al-Akbar, Al-Faus Al-Ashghar, Tartib al-
Sa'adat, Kitab Adab Al-'Arab wa Al-Furs, dan surat-surat
pendek untuk edisi hampir semua karyanya yaitu Fi Al-Lazzat
wa Al-Alam, Fi Al-Nafs wa Al- 'Aql, sejumlah teks filosofis
lainnya maupun surat \"as iatnya sendiri, dan Risalah fi Al-
'Adl. Perlu ditambahkan pada kategori ini karya-karya ter-
tentu yang digambarkan dalam berbagai sumber seperti antolo-
gi-antologi tentang etika at au puisi: Uns Al-Farid, Al-
Mustawfi, dan Al-Siyar.
B. Ajaran tentang Keutamaan
Sebelum membahas tentang keutamaan-keutamaan moral
1. Lihat antara lain Ibn AI-Khatib, "al-Muqaddimah", dalam Tahzihal-Akhlaq wa Tathhir al-'A 'raq, (Beirut: Dar-AI-Kutub AI-'Ilmiyyah,1405H), Cet. II, h. 5-8. 'Abd aI-Rahman Badawi, "Miskawaih", dalam M.M.Sharif (Ed.), A History of Muslim Philosophy, (Weisbaden: Otto Harraso-
26
menurut Ibn Miskawaih sebaiknya dibahas dulu apa yang dimak-
sud dengan ajaran "jalan tengah", karena ia mendasarkan
teori keutamaan moralnya pada "pertengahan" (al-wasath).
1. Ajaran Tentang Jalan Tengah
Ajaran tentang jalan tengah (al-wasath) yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrine of the
Mean atau The Golden Mean ternyata sudah dikenal para filsuf
sebelum Ibn Miskawaih. Mencius (551-479 8M), seorang filsuf
Cina, misalnya, telah menulis buku tentang ajaran jalan
tengah. 2 Filsuf Yunani seperti Plato, Aris·toteles, dan
Filsuf Muslim seperti al-Kindi dan Ibn 8ina juga didapati
memiliki ajaran tentang jalan tengah.
Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian jalan
tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,
harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antar dua ekstrem.
Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan
moral secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara
ekstrem kelebihan dan eJ{trem kekurangan masing-masing j iwa
manus ia. Jiwa manusia mempunyai tiga fakultas, yai tu: j iwa
al-bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyat, dan jiwa al-nathiqat.
Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyyat
adalah menjaga kesucian diri (al-' iffat/temperance). Posisi
2. Lihat James Legge (penterjemah), The Four Books: ConfucianAnalects, The Great Learning, The Doctrine of the Mean, and the Work ofMencius, dan Wing-Tsit Chan, A Source Book in Chinese Phil i sophy, (New
27
tengah j iwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja' at/-
courage). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksa-
naan (al-hikmat/wisdom). Adapun gabungan dari pos isi tengah
at au keutamaan semua j iwa tersebut adalah keadilan (al-
'adalat/justice). Rincian masing-masing jalan tengah ini
akan ditempatkan sesudah pembahasan ini.
Keempat keutamaan moral tersebut merupakan pokok,
sedangkan keutamaan lainnya adalah cabang. Cabang dari
keempat pokok keutamaan itu sangat banyak, tidak terhitung
jumlahnya. Jenis dan pemahamannya pun dapat disesuaikan
dengan perkembangan jaman. 3
Menurut Ibn Miskawaih, setiap keutamaan mempunyai dua
ekstrem. Yang tengah adalah terpuji dan yang ektrem adalah
tercela. Posisi tengah yang dimaksudkan di sini adalah suatu
standar atau prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi
tengah· yang sebenarnya (al-wasath al-haqiqi) adalah satu,
yaitu keutamaan (al-fadilat). Yang satu ini disebut juga
garis lurus (al-khathth al-mustaqim). Karena pook keutamaan
ada empat yaitu menahan diri, keberanian, kebijaksanaan, dan
keadilan, maka yang tercela intinya ada delapan. Kedelapan
sifat tercela tersebut antara lain: 1. nekad (al-tahawwur/-
recklessness), 2. pengecut (al-jubn/cowardice) , 3. rakus
(al-syarah/profigacy) , 4. dingin hati (al-khumud/frigidity) ,
5. kelancangan (al-safah/impudence) , 6. kebodohan (al-balah-
3. Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq, diedit Ibn'IIl_V'h ... +-~h (n .... ~ ....,.-f-. n ... ", 'II1_V"i· .. h 'II1_'Tl ..... .:~ ...... h 1 11 f\1:::t1 \ rt .... +- TT 1-. At::
28
/stupidi ty), 7. aniaya (a1- jaur/a1-zhu1m/tyranny) , dan 8.
teraniaya (a1-muhanat/a1-inzhi1am/servi1ity).4
Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang moral
bukan merupakan proporsi ilmu hitung (seperti 10 itu banyak,
2 itu sedikit sednagkan 6 adalah tengahnya). Karena itu ia
berpendapat bahwa posisi tengah ini sangat relatif. 5 Meski-
pun Ibn Miskawaih mengakui adanya sifat relatif bagi posisi
tengah, tetapi ia tidak ingin menjadikan ukuran tengah
tersebut berasal dari orang per-orang tetapi berupa kaidah
umum yang berlaku bagi setiap orang. 6 Apabila sifat perten-
gahan itu disebut sifat yang baik, tentu timbul pertanyaan
bagaimana menentukan sikap pertengahan secara benar? Kalau
Aristoteles berpendapat bahwa alat untuk mengukur sikap
pertengahan i tu hanya dengan aka1 7 , maka Ibn Miskawaih
berpendapat bahwa alat yang dijadikan ukuran untuk mempero-
leh sikap pertengahan adalah akal dan syari'at. Di sini
tampak adanya perbedaan yang mencolok antara Ibn Miskawaih
dan Aristoteles di bidang alat pengukuran moral.
Dalam menguraikan sikaptengah dalam moral (a1-wasatl]
fi a1-akh1aq) ini, Ibn Miskawaih tidak membawa satu ayat pun
4. Ibid., h. 164.
5. Aristoteles, Nicomachean Ethics, diedit oleh Jonathan Barnes,da1am The Complete Works of Aristotle, (Oxford: Princeton UniversityPress), Vol. III, h. 1747.
6. Ibn Miskawaih, Gp. Cit., h. 46.
29
atau Hadits. Namun demikian, spirit ajaran jalan tengah ini
adalah islami karena memang banyak dijumpai ayat-ayat al
Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh
kikir tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah
tetapi jangan berlebihan. 8
Ajaran tentang jalan tengah ini juga dapat dipahami
sebagai ajaran yang mengandung arti dan nuansa dinamis.
Letak dinamikanya terlihat pada tarik menarik antara kebutu
han, peluang, kemampuan, dan efektivitas. Sebagai makhluk
sosial, manusia selalu dalam dinamika, mengikuti gerak
jaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidi
kan, ekonomi merupakan pemicu bagi gerak jaman. Ukuran jalan
tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem
kekurangan maupun ekstrem kelebihannya. Ukuran tingkat kese
derhanaan di bidang mater i misalnya, pada masyarakat kota
dan desa tidak dapat disamakan. Ukuran tingkat kesederhanaan
untuk negara maju berbeda dengan negara berkembang, dan
seterusnya.
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa dengan memperhatikan
aturan-aturan tertentu seseorang "sangat mungkin" untuk
mendapatkan posisi pertengahan i tu. Pendapat ini tentunya
memberi efek tersendiri bagi kesungguhan usaha. Ibn Miska
waih lebih banyak memberi peluang bagi kesungguhan us aha
yang terus-menerus dengan sikap optimis untuk berhasil.
30
Hanya saja istilah "sangat mungkin" yang diajukan Ibn Miska
waih dapat dipahami dalam bahasa lain sebagai rasa pesimis
walau barangkali ia tidak bermaksud demikian.
Dengan demikian yang dimaksud dengan posisi tengah
adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati
posisi yang utama (al-fadilatl. Apabila seseorang senantiasa
berupaya menempuh posisi pertengahan dalam segala situasi
maka sifat-sifat utarna, yaitu kesucian diri, keberanian,
kebijaksanaan, dan keadilan akan dapat dihasilkan. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ajaran jalan tengah
tidak hanya merniliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel.
Oleh karena itu, ajaran tersebut dapat terus menerus berlaku
dengan tantangan jamannya tanpa rnenghilangkan nilai-nilai
esensial dari pokok keutamaan moral.
Seperti telah dijanjikan di depan, berikut ini rincian
pokok ajaran keutamaan moral menurut Ibn Miskawaih.
2. Menjaga Kesucian Diri
Ajaran keutarnaan moral yang pertama adalah menjaga
kesucian diri (al-'iffat/temperance). Al-'iffat merupakan
keutamaan jiwa al-bahimiyyat. Keutamaan jni akan muncul pada
diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya.
Artinya. ia rnampu menyesuaikan pilihan yang benar sehingga
bebas. tidak dikuasai dan tidak diperbudak oleh nafsunya. 9
31
Sifat ini merupakan pertengahan antara rakus (a1-syarah/pro
figacy) dengan dingin hati (khumud a1-syahwat/frigidity).
Yang dimaksud dengan a1-syarah adalah tenggelam dalam kenik
matan dan melampaui batas. Adapun yang dimaksud dengan
khumud a1-syahwat adalah tidak mau berusaha untuk memperoleh
kenikmatan yang baik sebatas yang diperlukan oleh tubuh,
sesuai dengan yang diizinkan syari'at dan akal.
Tampaknya Ibn Miskawaih mengambil pengertian a1-' iffat
tersebut dari uraian Aristoteles. Akan tetapi seperti halnya
ukuran untuk keberanian, Aristoteles sendiri tidak menyebut
syari'at sebagai landasan untuk memperoleh posisi tengah
antara rakus dan dingin hati. Untuk menemukan posisi tengah
tersebut, Aristoteles hanya menyebut akal. Di sini terlihat
perbedaan pokok antara Aristoteles dan Ibn Miskawaih. Ibn
Miskawaih memasukkan syari'at dalam filsafat. Di sini pula
letak salah satu islamisasi filsafat Yunani oleh para filsuf
muslim.
Aristoteles juga berpendapat bahwa a1-' iffat ini hanya
berkaitan dengan kesenangan jasmani (panca indera), terutama
indera peraba (touch) dan indera perasa (taste). Pada da
sarnya, obyek kesenangan itu hanya bertumpu pada indera
peraba seperti makan-minum dan kegiatan seksual. 10 Barangka
Ii dasar pertimbangannya adalah makan-minum dan kegiatan
seksual merupakan sebab utama munculnya nafsu jahat yang ada
h 1"7t::r-.
32
pada diri rnanusia. Sernentara itu dalarn pernik iran Ibn Miska
waih tidak memberikan batasan indera mana yang paling dorni
nan bagi obyek pernbicaraan al-' iffat. Akan tetapi kalau
diperhatikan batasan al-'iffat yang dikemukakan di atas.
maka titik berat sasaran pembahasannya juga menyangkut
kesenangan fisiko
Jiwa al-bahimiyyat (al-nafs al-bahimiyyat) yang menjadi
pangkal terciptanya al-'iffat, menjadi dominan pada diri
manusia dibanding al-nafs yang lain. Di antara daya yang
rnuncul pertarna kali dar i al-nafs al-bahimiyyat ini adalah
daya makan -minum. Karena makan -minum in i menj adi faktor
dominan bagi kelangsungan hidup mal,a Ibn Miskawaih tampak
memberikan perhatian utama dalam masalah ini. Menurutnya.
pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan bagi makan-minum
adalah untuk kesehatan tubuh. menghindari sakitnya haus dan
lapar. ~erta mencegah penyakit. bukan karen a kenikmatan/ke
lezatan semata. Oleh karena itu, latihan terus menerus perlu
dilakukan dalam menentukan kuantitas. kualitas, dan jenis
makanan dan minuman. agar tidak membawa efek buruk lagi
tercela seperti cepat marah. nekad. malas. dan lain-lain. 11
Latihan secara rutin yang harus dimulai sGjak awal pertumbu
han manusia baik menyangkut makan-minum, berpakaian. dan la
innya yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, diarahkan untuk
mencapai posisi tengah. bukan berlebihan at au kekurangan.
33
Pada fase awal ini fungsi syari'at harus lebih diutama
kan oleh orang tua dalam menentukan sikap pertengahan anak
anaknya karena semakin lama pikiran mereka dapat mengetahui
alasannya .12 Pelajaran yang pantas di tarik dari uraian ini
adalah ternyata bahwa Ibn Miskawaih menempatkan syari'at
sebagai unsur dominan bagi terciptanya jalan tengah dari a1
nafs a1-bahimiyyat. Penerapan ssyari'at untuk tingkatan anak
lebih bersifat doktriner. Karena itu, unsur taqlid terhadap
syari'at pada usia anak masih ditekankan.
Dibanding dengan ajaran keutamaan moral yang lain, a1
'iffat justru memiliki cabang yang lebih banyak dan bahkan
ada yang memiliki sub-cabang. Setidaknya ada dua belas
cabang dan enam sub-cabang yang telah disebut oleh Ibn
Miskawaih. Tetapi inti yang dimajukannya berisi upaya sikap
menahan diri untuk memperoleh dan atau memberi sesuatu
harta.Kedua belas cabang itu adalah: 1. A1-haya' (pengenda
lian jiwa untuk takut melakukan perbuatan yang jelek), 2.
A1-da 'at (ketenangan jiwa ketika nafsu bergolak), 3. A1
shabr (menahan nafsu agar tidak terbuai oleh buruknya kele
zatan), 4. A1-sakha' (sikap tengah dalam hal pemberian), 5.
A1-hurriyyat (keutamaan ji\va dalam memperoleh, memberikan,
dan menolak harta secara benar), 6. A1-qana'at (sikap sedang
dalam hal makan, minum, dan perhiasan), 7. A1-damasat (kece
nderungan jiwa terhadap yang baik dan cepat mewujudkannya),
34
8. A1-intizham (kondisi jiwa yang menilai sesuatu secara
tepat dan mengaturnya dengan cara yang sangat baik) , 9. Husn
a1-hady (senang menghias diri dengan yang baik), 10. A1
musa1amat (kemampuan diri untuk meninggalkan sesuatu yang
tidak baik) , 11. A1-waqar (ketenangan jiwa krtika tuntutan
nafsu mendesak), 12. A1-wara' lkontinuitas dalam berbuat
baik).
Adapun cabang a1-sakha adalah: a1-karam (mudah mender
makan harta yang banyak untuk kepentingan yang baik) , a1
isar lmengurangi kebutuhan pribadi sehingga mampu memberikan
sisanya kepada orang lain yang berhak), a1-nub1 (kepuasan
jiwa karena melakukan pekerjaan yang besar), a1-muwasat
(menolong orang lain dengan harta dan makanan), a1-samahat
lmemberikan sebagian di luar yang wajib), dan a1-musamahat
(membatalkan sebagian yang wajib atas dasar kemauan dan
pilihan) .13
Apabila cabang-cabang a1-'iffat diamati secara cermat,
maka dapat dipahami bahwa keselamatan spiritual individu
(individu spiritual salvation), dalam arti. mengutamakan ke
selamatan jiwa pribadi, merupakan ciri khusus konsep pendi
dikan moralnya. Bila jenis cabang-cabang a1-'iffat ditinjau
dari sisi makna keutamaan sosial, maka Ibn Miskawaih tampak
memberikan porsi yang lebih banyak. Pendapat Ibn Miskawaih
tentang a1-saklJa' dengan semua cabangnya dapat dipahami se-
35
bagai keutamaan sosia1. Sementara itu, Ibn Miskawaih meski-
pun tidak dikena1 sebagai sufi tetapi agaknya ia juga tidak
dapat men01ak kenyataanbahwa usaha memperoleh keselamatan
pribadi hakekatnya juga termasuk salah satu ciri kesufian. 14
Pada sisi lain lagi, dominasi cabang al-'iffat yang
berkaitan dengan keselamatan spiritual individu di atas,
merupakan bukti bahwa perjuangan melawan nafsu pribadi 1ebih
banyak, lebih rumit, dan lebih berat dibanding dengan per-
juangan di medan perang. Musuh yang dihadapi dalam medan
pertempuran relatif lebih mudah dipersepsi oleh indera,
sementara musuh yang per] u diperangi dalam pribadi terasa
lebih pelik.
3. Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan jiwa al-ghadabiyyat. Ke-
utamaan ini muncul pada manusia sewaktu nafsunya dibimbing
oleh jiwa al-nathiqat. Artinya, ia tidak takutterhadap hal-
hal yang besar jika pelaksanaannya membawa kebaikan dan
mempertahankannya merupakan hal yang terpuj i .15 Sifat ini
merupakan pertengahan antara pengecut (al-jubn) dengan nekad
(al-tahawwur). Al- jubn adalah takut terhadap sesuatu yang
seharusnya tidak ditakuti. Karena itu a1- jubn digolongkan
sebagai ekstrem kekurangan. Adapun a1-tahawwur adalah berani
14. Suwito, Konsep Pendidikan Akh1aq l1enurut Ibn l1iskawaih, (Disertasi, Pascasarjana lAIN Syarif Hidayatu11ah, Jakarta, 1995), h. 134.
36
terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini.
Oleh sebab itu, al-talJawwur digolongkan sebagai ekstrem
kelebihan.
Karena sikap al-jubn dan al-tahawwur sumber dan penye
babnya adalah al-nafs al-ghadabiyyat, maka Ibn Miskawaih
berpendapat bahwa keduanya sangat terkait dengan sifat ma
rah. Walaupun marah itu digolongkan sebagai penyakit rohani
yang paling serius tetapi agaknya Ibn Miskawaih juga berpen
dapat bahwa marah itu sendiri tidak tercela. 16 Hal ini dapat
dimak1umi karena marah tersebut dapat dijadikan alat untuk
menolak sesuatu yang merusak jika dilakukan dengan tidak
ber1ebihan atau kekurangan. Karena itu Ibn Miskawaih mene
gaskan bahwa yang disebut pemberani itu setidaknya ditandai
oleh enam hal: 1. dalam soal kebaikan, ia memandang ringan
terhadap sesuatu yang hakekatnya berat, 2. ia sabar terhadap
persoalan yang menakutkan, 3. memandang ringan terhadap se
suatu yang umumnya dianggap berat oleh orang lain sehingga
ia rela mati dalam memilih persoalan yang paling utama, 4.
tidak bersedih terhadap sesuatu yang tidak bisa dicapainya,
5. tidak gundah apabila menerima berbagai cobaan, 6. kalau
ia marah dan mengadakan pembalasan maka kemarahan dan pemba
lasannya dilakukan sesuai dengan ukuran, obyek dan waktu
yang diwajibkannya. 17
16. Ibid., h. 170 dan 172.
1"1 rJ...';,ri h 1f'\t:.
37
Dari uraian di atas diperoleh pemahaman bahwa gejala
terbesar keberanian adalah tetapnya pikirnn ketika berbagai
bahaya datang. Kondisi seperti ini hanya akan diperoleh
karena adanya fnktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam
menghadapi segala hal.
Sandaran untuk memperoleh konsekuensi keberanian antara
Aristoteles dan Ibn MiskalJaih tampak ada perbedaan. Aris
toteles Iebih meni tik beratkan keberanian untuk memperoleh
kematian yang mulia tanpa mengkaitkan akibatnya setelah ke
matian. Sedangkan Ibn Miskawaih meni tik beratkan akibatnya
pada selama hidup dan sesudah kematiannya. Hanya saja teori
keberanian mereka sarna-sarna diukur pada ketidak·takutan
seseorag untuk mati. Mati at as landasan berani sarna-sarna di
nilai sebagai sesuatu yang terpuji. 18
Sebagaimana kesucian diri (al-' iffat) , keberanian juga
memiliki berbagai cabang. Ibn Miskawaih menyebut sembi Ian
mac am cabang yang ada dalam keberanian, yaitu: 1. jiwa besar
(kibar al-nafs) , pantang ketakutan (al-najdat) , ketenangan
('izham al-himmat) , kell1etan (al-sabat) , kesabaran (al
shabr) , murah hati (al-hilm), menahan diri ('adam al
thaisy) , keperkasaan (al-syahamat) , dan memiliki daya tahan
yang kllat atau senang bekerja berat (ihtimal al-kadd). Ibn
Miskawaih memasllkkan al-shabr ke da1am dua tempat: 1. seba
gai cabang keberanian, dan 2. sebagai cabang dar! kesucian
38
diri. Al-shabr sebagai cabang keberanian diartikan sebagai
sabaI' dalam menghadapi masala~-masalah yang berat, sedangkan
al-shabr sebagai cabang dari kesucian diri diartikan sebagai
sabaI' dalam menahan nafsu yang bergelora terhadap berbagai
akibat buruknya kelezatan. 19
4. Kebijaksanaan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah
keutamaan jiwa rasional (al-nafs al- nathiqat) yang mengeta-
hui segala maujud (al-maujudat) , baik hal-hal yang bersifat
ketuhanan (al-umur al-ilahiyyat) maupun hal-hal yang bersi-
fat kemanusiaan (al-umur al-insaniyyat). Pengetahuan ini
membuahkan pengetahuan rasional (al-ma'quiat) yang mampu
memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang
wajib ditinggalkan.
Di samping itu Ibn Miskawaih juga memberi pengertian
bahwa kebijaksanaan adalah pertengahan (al-wasath) antara
kelancangan (ai-safah/impudence) dan kebodohan (al-balah/-
stupidity). Yang dimaksud dengan kelancangan di sini adalah
penggunaan daya pikir yangtidaktepat (ma la yanbaghi wa
kama la yanbaghi/wrong ends and in the wrong ways). Adapun
yang dimaksud dengan kebodohan adalah membekukan dan menge-
sampingkan daya pikir walau sebetulnya mempunyai kemampuan.
Dengan demikian yang menjadi tekanan Ibn Miskawaih di sini
10 Thirl h il1-.I1?
39
bukan pada sisi kualitas daya pikir itu melainkan pada sisi
kemauan untuk menggunakannya. 20
Ibn Miskawaih memberikan tujuh jenis keutamaan yang
termasuk dalam kebijaksanaan (al-hikmat) , yaitu: 1. ketaja
man intelegensi (al-zaka'/intelligence) , 2. kuat ingatan
(al-zukr/retention) , 3. rasionalitas (ta'aqqul/rationality) ,
4. tangkas (sur' at al-fahm/soundness of understanding), 6.
jernih pemikiran (jaudat al-zihn/clarity of mind), dan 7.
mudah dalam belajar (suhulat al-ta'allum/capacity for learn
ing easily}.21
Pembidangan antara yang pokok dengan yang cabang pada
kebijaksanaan di atas agaknya ditinjau dari sisi hasil dan
proses pencapaian. Kebijaksanaan itu sendiri sebetulnya
merupakan hasil, sedangkan cabang-cabangnya merupakan proses
bagi terwujudnya hasil. Hal ini tampak pada perbedaan penye
butan macammacam cabang atas kebijaksanaan itu. Sangat wajar
apabila terdapat jenis dan proses untuk memperoleh hasil
bagi orang per-orang atau bahkan seseorang pada suatu waktu.
Akan tetapi apabila diambil intinya, kebijaksanaan (al
hikma t) di s ini adalah suatu J<eadaan j iwa yang memungkinkan
seseorang membedakan yang benar dari yang salah dalam semua
keadaan secara sukarela tanpa ada tekanan atau paksaan dari
pihak lain.
20. Ibid., h. 46.
40
Untuk memperoleh hasil tersebut, maka antara lain
seseorang harus memiliki sifat-sifat: suka akan ilmu penge
tahuan, mudah dalam belajar, tajam ingatan, dan mudah lagi
benar dalam mereproduksi kembali apa yang telah diingat,
baik dalam wujud perkataan atau dalam perbuatan. Adapun
j enis lainnya sebetulnya dapat digolongkan sebagai faktor
penunjang bagi kelancaran proses.
Secara sederhana, maksud dari kebijaksanaan (al-hikmat)
ini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemi
kirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan apa saja
sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Pengetahuan
rasional tersebut kemudian diaplikasikan dalam wujud perbua
tan berupa keputusan untuk wajib melaksanakan atau mening
galkan sesuatu. 22
5. Keadilan
Keadilan (al-adalat) merupakan gabungan dari ketiga
keutamaan al-nafs. Dikatakan demikian karen a seseorang tidak
dapat disebut ksatria j ika ia tidak adi.l. Demikian pula
orang tidak dapat disebut pemberani jika ia tidak mengetahui
keadilan j iwa atau dirinya dan mengarahkan semua inderanya
untuk tidak mencapai tingkat nekad (al-tahawwur) maupun
pengecut (al-jubn). Al-hakim tidak akan memperoleh al-hikmat
jika ia tidak menegakkan keadilan dalam berbagai pengeta-
41
huannya dan tidak rnenjauhkan diri dari sifat kelancangan
la1-safah) dan kebodohan (a1-ba1ah). Dengan dernikian rnanusia
tidak akan dikatakan adil jika ia tidak rnengetahui cara
rnengharrnonisasikan a1-hikmat, a1-syaja 'at, dall a1- 'iffat.
Menurut Ibn Miskawaih, keadi Ian rnernang diter j ernahkan
sebagai pertengahan antara a1-zhu1m dan a1-illzhi1am. A1
zhu1m berarti rnernperoleh hak rnilik dari surnber dan cara yang
tidak sernestinya (berbuat aniaya). Adapun a1-illzhi1am adalah
menyerahkan hak rnilik kepada orang yang tidak sernestinya dan
atau dengan cara yang tidak sernestinya pula lteraniaya) .23
Pengertian keadilan di sini disepakati oleh para filsuf
bukan sebagai sebuah keutarnaan tersendiri rnelainkan keuta
rna an secara rnenyeluruh. Keadilan ini rnerupakan gabungan dari
sernua keutarnaan, karenanya ia hanya akan tercapai jika
setiap jiwa rnewujudkan rnasing-rnasing keutarnaan.
Konsep keadilan rnenurut Ibn Maskawaih tarnpak bersifat
Platonik, tetapi kelihatan pula bahwa ia secara rnudah rnern
perternukan perangkat-perangkat keadilan itu ke dalarn kerang
ka Aristoteles. Dengan dernikian, keadilan didefinisikan
sebagai kesernpurnaan dan pemenuhan ketiga keutarnaan: kesu
cian diri, keberanian, dan kebijaksanaan, yang hasilnya
adlah keseirnbangan la1-i'tida1} atau persesuaian la1-llisbat)
antara ketiga rnacarn: a1-bahimiyyat, a1-ghadabiyyat, dan a1
llathiqat. Keseirnbangan ini kernudian diinterpretasikan secara
42
Pythagorian dan Neo-Platonik sebagai car~ penyatuan, bahwa
prinsip utama hidup di dunia ini adalah sebagai pengganti
(surrogate) atau bayangan keesaan (zhill al-wahdat/shadow of
unity). Pada hakekatnya kesatuan ini merupakan sinonim dari
kesempurnaan sesuatu (perfection of being) dan pada lain
kesempatan ia juga merupakan sinonim dari kebijaksanaan yang
sempurna (perfect goodness).24
Ibn Miskawaih membagi keadilan secara umum menjadi tiga
macam, yaitu: 1. keadilan alum (al- 'adl al-tlJabi' i/natural
justice), 2. keadilan menurut adat/kebiasaan (al- 'adl al
l"ad'i/conventional justice), dan 3. keadilan Tuhan (al-' adl
al-ilahi/divine justice). Keadilan yang klmsus diupayakan
manusia, ada dalam ketiga macam keadilan ini, karena itu,
keadilan yang khusus diupayakan manusia tidak dapat dipisah
kan dari ketiga keadilan lainnya. Inti masing-masing keadi
Ian tersebut adalah bernilai baik selama sisi keharmonisan
hubungan dari unsur-unsur yang hakekatnya berbeda. 25
Karena benda-benda yang bersifat fisik tidak pernah
akan terbebas dari pluralitas, maka benda-benda fisik terse
but tidak akan pernah pula menyatu dalam arti sebenarnya,
melainkan hanya lebih dekat kepada persatuan dalam arti
kiasan atau pengganti persamaan. Melalui persamaan ini,
benda-benda yang bersifat fisik menerima suatu penyatuan
24. Ibid., h. 108.
43
atau keseimbangan, tetapi benda-benda tersebut tetap memeli
hara identitasnya sendiri dan tidak dapat didominasi atau
dirusak oleh sekelompok benda lain. Hal seperti inilah yang
dimaksud dengan keadilan alamo Tanpa adanya keadilan seperti
ini, alam secara keseluruhan akan hancur.
Inti adanya keadilan alarn adalah adanya ekstrern yang
bertentangan. Masing-masing ekstrem mewujud dalarn pertentan
gan yang sama kuat sehingga rnasing-rnasing rnen~unyai eksis
tensi. Kondisi ini rnelahirkan gerak rnelingkar yang hakekat
nya adalah satu. Di sini tidak ada yang kalah atau rnenang.
Karenanya, ia menjadi satu dengan yang mernelihara wujudnya.
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan Tuhan adalah
juga keadilan alam. Karena i tu, ia mernbagi keadilan hanya
ada dua, yaitu: keadilan alam dan keadilan rnenurut adat
kebiasaan. 26 Ibn Miskawaih justru rnernpertentangkan keadilan
alarn dengan keadilan Tuhan. Tetapi Ibn Miskawaih juga rnenga
kui ada sisi persarnaan antara keadilan alarn dan keadilan
Tuhan. Menurutnya, walaupun keduanya sarna-sarna abadi, tetapi
keadilan ilahi eksis dalarn alarn irnmateri sementara keadilan
alam hanya eksis dalarn alam materi. Untuk rnernberikan pemaha
man tentang ini, Ibn Miskmvaih rnengutip teor i Pythagorian
tentang paharn bilangan. Teori ini rnenyatakan bahwa bilangan
merupakan abstraksi dari sesu-tau yang terbilang. Kalaupun
sesuatu yang terbilang itu dihilangkan rnaka bilangannya
n. r .. -' _,- .,.__ ~
44
tetap tidak akan hilang atau berubah.
Dengan demikian, keadilan alam ter j adi karena masing
masing benda alam eksis pada dirinya. Eksis pada diri ini
muneul karena ada dua kubu ekstrem yang sarna-sarna kuat atau
sarna-sarna lemah. Agaknya teori ini dapat ditarik kepada
pengertian bahwa eksistensi sesuatu akan eksis dikarenakan
oleh eksis lainnya, yakni ekstrem-ekstremnya.
Adapun keadilan menurut adat kebiasaan, dibagi lagi
menjadi dua: 1. umum, disetujui oleh setiap orang, 2. khu
sus, hanya disetujui oleh bangsa, daerah, sampai yang terke-
eil (dua individu)
tetap dan absolut.
Norma bagi keadilan ini., tidak bisa
Pembuat aturan dan perundang-undangan
wajib menyesuaikan situasi dan kondisi. Semua peraturan atau
perundang-undangan tidak boleh berlaku tetap melainkan dapat
diubah sesuai perubahan situasi dan adat. Hal ini dimungkin
kan karena bisa jadi sesuatu bernilai a(Hl dalam waktunya
tetapi pada waktu yang lainnya bisa berubah menjadi tidak
adil. Dari sini terlihat pendapat bahwa ukuran bagi keadilan
menurut adat kebiasaan adalah peraturan atau perundang
undangan yang disepakati.
Adapun keadilan yang khusus diupayakan manusia adalah
menjaga keselarasan atau keseimbangan kekuatan fakultas
fakultas jiwanya sehingga satu dengan lainnya tidak saling
berselisih dan menindas. Yang berlaku bagi kesehatan jiwa,
berlaku pula bagi kesehatantubuh. Kalau j iwanya mulia dan
akan bisa dicapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan
dalam temperamen yang moderato Seperti halnya Aristoteles,
Ibn Miskawaih juga berpendapat bahwa manusia yang adil bukan
hanya memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi melainkan
juga dengan orang lain.
Keadilan dalam kaitannya dengan orang lain, ia bagi
menjadi tiga, yaitu: pertama, pembagian harta dan kehormatan
(al-karamat) , kedua, muamalah yang disengaja (al-mu'amalat
al-iradiyyat) , dan ketiga, pembagian sesuatu (yang tidak
disengaja) yang di dalamnya terjadi ketidakadilan. 27
Untuk memperoleh keadilan dalam pembagian harta dan
kehormatan, digunakan perbanclingan ilmu hi·tung yang oleh Ibn
Miskawaih disebut perbandingan ·terpi sah (al-nisba t al-mun
fashilat/discrete proportion) yang berlalm dalam empat hal
seperti A:B=C:D. Pada keadilan yang berkaitan dengan muama
lah yang disengaja, pada suatu waktu digunakan perbandingan
terkai t atau berkelanjutan (al-nisba t al-muttashilat/con
tinuous proportion) dan pada waktu yang lain digunakan
perbandingan terpisah (al-nisbat al-munfashilat). Contoh
untuk perbadingan ini ialah A (penjahit/al-bazzaz) dibanding
B (tukang sepatu/al-iskafi) = C (pakaian/al-saub) dibanding
D (sepatu/khuff). Karena itu tidak salah juga bila perban
dingan dilakukan dengan A (penjahit) clibanding B (tukang
sepatu) = B (tukang sepatu) dibanding C (tukang kayu) atau
pakaian (A)
kursi (C).
46
dibanding sepatu (B) = sepatu (B) dibanding
Untuk keadilan dalam kaitannya dengan muamalah
yang tidak disengaja, yang didalamnya terjadi ketidak adi
lan, dipergunakan perbandingan geometris (a1-nisbat a1
misahiyyat/geometrica1 proportion}.28
Ibn Miskawaih tidak menginginkan mernbuat perbandingan
antara seseorang dengan seseorang lainnya. Kalau tetap juga
dibuat perbandingan, rnaka has ilnya tidak mudah didapat
secara tepat, dikarenakan perbandingan hanya bisa dilakukan
bila sernua unsur perbandingan diperoleh. Di sarnping itu,
diperlukan juga pengetahuan tentang posisi tengah antara
ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan dalam setiap hal.
Setiap orang memiliki kelebihan atau kekurangan di bidangn
ya. Begitu rumitnya memperoleh perbandingan yang tepat, Ibn
Miskawaih memberikan ilustrasi sebagai berikut. Garis lurus
yang dibagi dua tidak sarna misalnya, akan terjadi keadaan,
yang satu leih panjang dan yang satu lagi kurang panjang.
Untuk mecapai titik kesamaan, maka yang kurang ditambah dan
yang lebih dikurangi. Oleh sebab itu, dalam rangka mempero
leh kesesuaian dalam perbandingan dimungkinkan menggunakan
berbagai pendekatan yang sesuai dengan obyelmya. Diantara
pendeJeatan i·tu adalah perbandingan dengan hi Lungan, geomet
ri, dan persesuaian (a1-nisbat a1-ta'lifiyyat) .29
28. Ibid., h. 116, dan Aristoteles, Gp. Cit., h. 1788.
47
Menurut Ibn Miskawaih keadilan yang diupayakan manusia
diarahkan kepada keadilan terhadap dirinya danterhadap
orang lain. Terhadap kedua arah keadilan ini masing-masing
mempunyai tingkat kesulitan. Keadilan untuk diri sendiri
berarti keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa
yang ada dalam dirinya. Untuk mengatasi kesulitan mencapai
nya diperlukan pemahaman secara pasti posisi tengah dari
masing-masing jiwa. Adapun cara memperoleh keadilan terhadap
orang lain dapat tercipta melalui berbagai pendekatan,
seperti pendekatan bilangan, geometri, atau persesuaian,
yang intinya harus diperoleh kesamaan. Keadilan hanya akan
diperoleh bila segala aspek yang mungkin ada pengaruh bagi
terciptanya ketidakadilan (berbuat aniaya dan at au tera
niaya), diwaspadai. Kalau demikian, yang dapat disebut adil
di sini berarti adil buat diri dan juga pihak lain, termasuk
terhadap alam dan Tuhan.
Akhirnya dapat diambil pemahaman bahwa pokok keutamaan
moral yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah terciptanya
keserasian pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia,
alam, dan Tuhan. Keserasian itu ditunjukkan oleh kemampuan
manusia dalam mengharmonisasikan jiwa a1-bahimiyyat, a1
glJadabiyyat, dan a1-JlatlJiqat yang ada pada dirinya dan
dengan pihak di luar dirinya. Keserasian atau pertengahan
dalam moral tampaknya dapat pula dipahami sebagai sikap
menghindari konflik. Dapat pula secara sinis dipahami bahwa
48
cari selamat sendiri. Sebaliknya, pemikiran moral jalan
tengah dapat pula ditarik kepada suatu pendapat yang mengar-
ah kepada kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya, dapat diterima semua pihak. Agaknya, sikap
yang demikian terlihat lambat menerima perubahan. Akan
tetapi kalau diperbandingkan dengan rincian pendapat Ibn
Miskawaih yang lain, doktrin jalan tengah yang dikehendaki-
nya lebih dekat diberi pengertian sebagai "moral yang dina-
mis". Karena dalam ukuran keseimbangan selalu terjadi tarik-
menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan efektivi-
tas individu, masyarakat, waktu dan tempat.
Hal yang menarik dari pendapat Ibn Miskawaih menyangkut
upaya mencapai posisi tengah masing-masing jiwa manusia
adalah penempatan fungsi syari'at dan filsafat . Ibn Miska-
waih memang berpendapat bahwa filsafat dan syari'at menempa-
ti posisi penting pada tempatnya masing-masing. Syari'at
berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa a1-
balJimiyyat dan a1-glJadabiyyat, sedangkan filsafat berfungsi
efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-natlJiqat.
Berarti bahwa syari' at dan filsafat harus mewujud dalam
diri seseorang. Tampaknya dasar pertimbangannya adalah
karena jiwa al-balJimiyyat dan a1-glJadabiyyat sangat cender-
ung terhadap materi, sebaliknya jiwa al-natlJiqat sangat
tidak cenderung terhadap materi. 30
\ilK\~~_; t ,~..
51
Miskawaih membagi keadilan menjadi tiga macam: keadilan
alamo keadilan menurut adat kebiasaan. dan keadilan Tuhan.
AI' istote les menya takan bahwa keadi Ian Tuhan ada lah juga
keadilan alamo Ibn Miskawaih justru mempertentangkan keadi
Ian alam dan keadilan Tuhan. Tetapi Ibn Miskawaih juga meng
akui ada sisi persamaan antara keadilan alam dengan keadilan
Tuhan. Walaupun keduanya sarna-sarna abadi. tetapi keadilan
ilahi eksis dalam alam immateri. sementara keadilan alami
hanya eksis dalam alam materi.
Perbedaan yang culmp mecolok dari Aristoteles dengan
Ibn Miskawaih adalah tentang apakah landasan untuk mempero
leh posisi tengah atau keutamaan. Aristoteles hanya menyebut
akal. sedangkan Ibn Miskavlaih menyebut aka 1 dan syar i 'ah.
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa aka 1 dan syari' at menempati
posisi penting pada tempatnya masing-masing. Akal berfungsi
efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-nathiqat.
sedangkan syari' ah berfungsi efektif untuk terciptanya
posisi tengah jiwa al-bahimiyyat dan jiwa a.l-ghadabiyyat.
52
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, 1977, Ethika (Ilmu Akhlak) , alih bahasa oleh
Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Bulan Bintang, Jakarta.
Basyir, Ahmad Azhar, 1983, Miskawai1J: Rilvayat Hidup dan
Pemikiran Filsafatnya, Nur cahaya, Yogyakarta.
Barnes, Jonathan, The Complete Works of Ar.istotle, Vol. III,
Princeton University Press, Oxford.
Bertens, K., 1997, Etika, Gramedia, Jakarta.
_______ , 1991, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogya
karta.
Daudy, Ahmad, 1992, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang,
Jakarta.
Fakhry, Majid, 1983, A History of Islamic Philosophy, Colum
bia University Press, New York.
______ , 1996, Btika dalam Islam, Pus taka Pelajar, Solo.
Tzutsu, Toshihiko, 1995, Etika Beragama dalam Qur'an, Pusta
ka Firdaus, Jakarta.
Magnis-Suseno, Franz, 1995, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Kanisius, Yogyakarta.
1997, 13 Tokoh BLika: Sejak Zaman
Yunani Sampai Abad ke-.I9, Kanisius, Yogyakarta.
1997, 13 Model Penclekatan Btika,
53
Miskawaih, Ibn, 1405H, Tahzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-A'raq,
Dar Al-Kutub A1-'Ilmiyyah, Lebanon, Beirut.
1968, The Refinement of C1Jaracter, trans
lated by Constantine K. Zurayk, Beirut.
1997, Menuju Kesempurnaan Akhlaq, diterje
mahkan oleh Helmi Hidayat, Mizan Bandung.
Quasem, MUhammad Abul, 1988, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk
di Dalam Islam, Pustaka, Bandung.
Syarif, M.M. (ed.), 1994, Para Filosof Muslim, Mizan, Ban
dung.
Suwito, 1995, Konsep Pendidikan Akhlaq Nenurut Ibn Nis
kawaih, Disertasi, Pascasarjana, IAIN Syarif Hidaya
tul1ah, Jakarta
Lampiran AProposal Penelitian
Pengaruh Etika Aristoteles
Pada
Etika Ibn Miskawaih
A. Latar Belakang Masalah
Dalam khasanah filsafat Islam, ada beberapa filosof
yang membicarakan etika sebao;rai salah satu bidang kajian.
Salah satu filosof yang mengkaji etika secara sistematik
adalah Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-420 H/941-1030 M)
atau dikenal dengan nama Ibn Miskawaih. Karyanya yang berju
dul Tahzib Al-Akhlaq, menurut para ahli, merupakan buku
rujukan pertama tentang etika Islam.
Seperti telah diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran
filsafat Islam pengaruh pemikiran filsafat Yunani sangat
besar. Pemikir-pemikir besar Yunani seperti Sokrates, Plato,
Aristoteles, serta Plotinus, Stoa, Epikuros sangat berpen
garuh dalam pemikiran filsafat Islam. Demikian juga dalam
bidang etika. Karya Ibn Miskawaih dalam Tahzib al-Akhlaq,
menurut beberapa penulis, sebagian besar dari isi buku
tersebut merupakan pendapat Aristoteles dalam buku Nico
machean Ethics yang tentu saja kemudian dimodifikasi dengan
pemikiran Islam.
Untuk melihat pengaruh pemikiran etika Aristoteles
dalam pemikiran Ibn Miskawaih, paling tidak dapat dilihat
dari buku Tahzib al-Akhlaq. Buku tersebut, seperti dijelas-
55
Masalah yang timbul adalah sejauhmana pengaruh tersebut dan
pada bagaian mana pengaruh pemiJdran Aristoteles sangat
dominan dalam pemikiran etika Ibn Miskawaih.
B. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah pemikiran etika dari Aristoteles dan Ibn Miskawaih.
Rujukan utama yang digunakan adalah karya kedua filosof ter
sebut yaitu Tahzib al-Akhlaq J,arya Ibn Miskawaih dan Nico
machean Ethics karya Aristoteles. Penekanan penelitian lebih
kepada karya yang pertama ketimbang pada buku at au karya
yang kedua.
C. Rumusan Masalah dan Hipotesis
1. Rumusan Masalah
Masalah yang diajukan dalam penel i tian j ni dapat diru
muskan sebagai berikut:
Adakah kesamaan pemikiran etika Aristoteles dan pemikiran
etika Ibn Miskawaih?
2. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan bacaan
bacaan yang ada, maka hipotesis yang diajukan adalah:
Ada kesamaan antara pemikiran etika Aristoteles dan pemikir
an etika Ibn Miskawaih.
56
D. Tinjauan Pustaka
Tujuan dari Tahzib al-Akhlaq, seperti dijelaskan dalam
pendahuluan, adalah untuk menanamkan dalam diri kita kuali
tas-kualitas moral dan melaksanakannya dalam tindakan-tinda
kan utama secara spontan. Dalam melaksanakan yang demikian
itu, pertama-tama harus diselidiki sifat, kesempurnaan, daya
dan tujuan jiwa, seperti yang dikaji dalam psikologi.
Menurut Abdurrahman Badawi, dalam buku Para Filosof
Muslim, suntingan M.M. Syarif, menyatakan bahwa mulai seten
gah sampai akhir dari bab pertama Tahzib al-Akhlaq, pemikir
an Miskawaih terpengaruh Aristoteles ketika ia menganggap
kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia
menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan
utama. Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manu
sia dan asal-usulnya. Ia menyatakan pendapat Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa
adanya manus ia tergantung J,epada kehendak Tuhan, tetapi
perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan tergan
tung kepada kemauan sendiri.
Bagian utama etika Miskawaih sebenarnya dimulai dari
bab ketiga. Pertama-tama ia mengikuti Aristoteles, sebagima
na dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya Miskawaih tergantung
sepenuhnya kepada kamentar Porphyry terhadap tulisan Nico
machean Ethics karya Aristateles yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab aleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas
57
sa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Namun demikian semua
i tu dapat dilihat ben·tuknya kembali dalam Tahzib al-Akhlaq
nya Miskawaih (M.M. Syarif 1994: 92).
Mengikuti Aristoteles. Miskawaih menyatakan bahwa
kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi
ini mungkin berasal dari Eudoxus yang disaj ikan di bagian
awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih menyata
kan bahwa apa yang berguna untuk mencapai tujuan adalah
baik. misalnya sarana-sarana atau tujuan itu sendiri dapat
disebut baik. Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan
suatu kebaikan yang relatif. yaitu semacam kebaikan yang
tidak mempunyai hakekat tersendiri dan berdiri sendiri.
MisJ<awaih. sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan J<eba
hagiaan secara lebih terinci, yang mungkin diambil dari
komentar Porphyry.
Miskawaih menyatakan bahwa ki ta harus menolak ajaran
yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh
setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dica
pai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai J<ecuali
dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Tetapi
sebagai seorang religius. ia lebih memilih akhirat. Untuk
menguatkan ini. ia mengutip suatu artikel terjemahan Abu
Utsman al-Dimasqi yang bel' j udul Keutamaan Ruh yang ditulis
oleh Aristoteles.
Dalam bab keempat membahas tentang keadilan dan penje-
~ini i "
58
kembali mengikuti bagian-bagian dalam Nicomachean Ethics-nya
Aristoteles. Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan
bersifat Aristoteles, tetapi menurut Miskawaih kebajikan ini
merupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan. Pengetahuan
tentang cara atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat
bagi keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpen
dapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak ilahiah dan
bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehatihatian.
Pada bab kelima, Miskawaih membahas tentang persahaba
tan dan cinta. Cinta bukanlah perluasan dari cinta diri,
sebagaimana dikemukakan Aristote1es, tetapi suatu batasan
dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Miskawaih meman
dang rasa cinta (mahabbah) sebagai kemampuan fitrah manusia
untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi
persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu. dengan
mendasarkan pada pertimbangan !,euntungan, kesenangan atau
kebaikan sebagaimana dijelaskan aleh Aristateles. Miskawaih
menyebutkan secara spesifik cin·ta manusia kepada Tuhan.
cinta murid kepada guru. dan cinta anak kepada orang tua
secara bertingkat-tingkat. Ia menyimpulkan bahwa keadilan
dapat terwujud melalui rasa takut dan kekuatan. sedangkan
cinta merupakan suatu sumber alami kesatuan. sehingga keadi
Ian tidak diperlukan jika cinta telah unggu1. Dengan demi
kian. cinta berdaulat. sedang keadilan adalah wakilnya (M.M.
Syarif 1994: 95).
59
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini secara umum adalah:
1. Untuk menjelaskan pemikiran etika pada mas a klasik
atau Yunani, terutama pemikiran Aris·to·teles dan
untuk menjelaskan pemikiran etika dalam filsafat
Islam, terutama etika Ibn Miskawaih.
2. Untuk mencari sejauhmana pengaruh pemikiran etika
Aristoteles pada pemikiran etika Ibn Miskawaih.
3. Diharapkan setelah adanya pene1itian ini akan dilan
jutkan dan dilakukan penelitian komparasi pada
bidang-bidang lain dalam filsafat Islam, terutama
dalam kaitannya dengan filsafat Yunani.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
teknik komunikasi melalui analisis dokumentasi (komunikasi
tertulisl, yaitu membandingkan buku Tahzib al-Akhlaq dan
Nicomachea Ethics. Pene-liti.an kepustakaan ini. lebih mene
kankan pada buku yang pertama dengan melihat pada setiap
bab. Kemudian melihat sejauhmana pengaruh buku yang kedua
pada buku yang pertama.
Meskipun banyak pengamat yang menyatakan bahwa rujukan
Miskawaih adalah karya Ar is toteles yang te 1all dikomentari
oleh Porphyry, namun karen a komentar tersebut sampai sekar-
60
tian ini adalah karya langsung dari Aristoteles, tentu saja
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
H. Waktu dan Biaya Penelitian
Penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu kurang
lebih empat bulan.
Biaya penelitian ini dibebankan kepada anggaran penda
patan dan belanja lAIN Jakarta (DURK).
I. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
Bab Pendahuluan meliputi uraian tantang latar belakang
masalah, ruang lingkup dan batasan penelitian, rumusan masa
lah dan hipotesis, tujuan penelitian, metode penelitian,
langkah-langkah penelitian, dan sistematika penulisan lapor
an penelitian.
Bab Kedua menguraikan tentang pemikiran filsafat Aris
toteles, terutama pemikiran etikanya.
Bab Ketiga membandingkan pemikiran kedua filosof terse
but. Dilihat bagaimana dan dimana pengaruh diantara kedua
filosof tersebut terutama pemikiran di bidang etikanya.
Bab Penutup merupakan bagian kajian terakhir yang
membahas tentang kesimpulan yang diperoleh dari analisis
komparasi tersebut di atas, sehingga dapat memberikan jawa-
61
Lampiran B
SURATKEPUTUSAN KEPALA PUSAT PENELlTlANlAIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NOMOR : PL.003.4/x/98
TENTANG
JUDUL PENELlTIAN DOSEN INSTITUT AGAfvlA ISL.AM NEGERISYARIf HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1998/1999
KEPALA PUSAT PENELITIAN lAIN SYARIF HlDAYATULLAH JAKARTA
Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas penelitian dilingkungan lAIN Syarif Hidayatuilah Jakarta, perlu d!letapkanjudulPenelitian Tal1Un 1998/1999.
b. bahwa berdasarkan penilaian dari Tim Pen! lai Proposal PusatPenclitian , pcneli tian yang diajukan. o\eh Fakultas mcmcnuhi pcrsyaratan tcknis dan akademik untuk dilaksanakan.
c. bahwa judul-jlldlll penelitian yang tercanlum dalal11 dnftar InmpiranKeputusan ini dipandang Iayak untuk dilaksanakan.
Mengingat : I. Undang-undang No 2 Tahun 1998 tentang sistim PendidikanNasional.
2. Keputusan Presiden HI No 16 Tahun 1994 dhd Keppres No 24Tahun 1995 Tcntang pelaksanaan Anggaran Belan.'a Negnra.
3. Keputusan Menteri Agama RI No. 386 Tahun 1993 TcnlangOrganisasi dan Tata Kerja JAIN SyarifHidayatul1ah Jakarta.
4. Keputusan Menteri Agama No. 400 Tahun 1993 Tentang StatumlAIN Syarif Hidayatullah jakarta.
Mernperhatikan: Keputusan Hektor lAIN Syarif I-lidayatullah Jakarta No:38 Tahun1998 Tcntang Petunjuk Organisasl (PO) dan Tarif Bc1anja TahunAnggaran 1998/1999.
62
MEMUTUSKAN
Mcnctapkan : KEPUTUSAN KEPALA PUSAT PENELITIAN TENTANG JUDULPENELITIAN DOSEN lAIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA TAHUN 1998/1999.
PCliama
Kedua
Ketiga
: Mcnctapkan judul penclitian lAIN Syarif Hidayatullah JakartaTahun 1998/1999 sebagaimana tercantum dalam lampiran SuratKeputusan ini.
Segala Biaya sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan inidibebankan kepada DIKS/DURK JAIN Tahun 1998/1999.
: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
DITETAPKAN DI : JAKARTAPADA TANGGAL : I OKTOBER 1998
TcmbusaI)l. Ditbinperta Islam Departernen Agama Pet hkarta;2. Kepala Kontor Perbendaharaan dan Kas Ncgam Jakarta IV Jakarta;3. Para Dekan ili Lingkungan lAIN Jakarta;4. Kepaia Pusat pcnclitian lAIN Jakarta;5. Kepala Biro AAKPSI dan ADKUM lAIN Jakarta;6. '{ang bcrsangkutan
63
LUll1piran : Keplltusan Kcpala Pllsat Pcnclilianli\IN SyarirHiduyatullah JakartaNo. : PL.003.4/XJ98Tcntang Judlll-judul Penelitian lAIN SyarifHidayatullah Jakarta Tahun 1998/1999
I'EM8Il\lBINGII
I'ENCLlTI
i. .JENIS i!j>ENF~L1T1AN!
JI":[)UL PROPOSALi--·-----..-------··----!·-·.......~-'-----r--------- - ---.--.--.~~----!-------
I~. TARUIYAH
Ivasi Bcrprcslasi di kalangan Kolcklif'a Madrasah AIiyah Negeri.N) OKI Jakm1a.
ar Ai-Sunal-I j\·i;lsa Kiasik (SmHll lndi\ idual111 11ist\."ris Jan Argumematif.
Ors. Faridal Arkam,M.Pd iTanpa Pembimbing
iIi
l.il,. !\bd.Majid Khun I Prof.Dr.H.MuhammadAm;n Suma,MA.SH
.aian Mhs. Terhadap Kompentesi Individual;ajar Bhs. lnggris.
Drs. Syallki Drs.Nasrull Mahmud,MA
lan Bimbing.an dan Penyuluhan Individualn :>'lcngatasi Kesulitan Belajar;ajar i\lhs. Fak Tarbiyah lAINIf Hidayatullah Jakm1a.
Ora. Ilj. Snuarti ~l Taupa Pembimbing.
Kebijakan Pcningkatan 1\'lutu Individualidikan Oasar Berciri Kllasoa Islam di OKI Jakarta.
Abdul Rozak. S.AS Dr.H.Abudin Nala.i\lA
I Sis,," SLTA di Wilayah DKI Individualta dan Sekitarnya terhadaptran.
Dr". YefucilY Z Prof.Dr.Zakiah Daradjat
I dan Prilaku keagamaml Masya- IndividualKeJas 1vlenengall :Studi Kasllsrumahan Bimaro Sektor I JakseI
Dra.Hj.Siti Sotiah MS Dr.Dede Rosyada,MA
sis Kesalahan Ja\\'aball r3h~ fndividualPesen" l."jian :>.Iasuk 1AINf Ilidayatuliah Jakarta 1'h.1998.
Drs. Syamsul !\ri-fin Drs.H.i\'1.SupanaJvIA
tas Hadis-hadis Tentang ImanI Kumpulan f'utusan TarjihImmadivah.
Individual i Drs. Nluhbih. i\I.AgI,
Dr. Falhurrahman DjamiJ
has Cshuluddin ,, I
,fti dan KendaJa Penerapan ! Kolektif I Drs.Amsal Bakhtiar.i\·IA Tanpa Pembimbing'~~lll.-Th.I_997_<!! IA1~J'yariL_L J. ... .._
64
layatullah Jakarta
nsepsi AI-Ghazali TentangllUsia Utama
:ktifitas Khutbah Jum'at pada MaTakat: Studi Kasus di Kecarnatanedug.. l(otamadya Tangerang
Igaruh Eti].;a Aristotdes padaIlikiran Etika Ibn Miskawih.
oak PCllulisan Lmu111 Serapa.n darii. Arab: Sll.di Knsus Skripsi.Ushuluddin L\iN Jakarta'6/1997.
Individual
Individual
Individual
lndiyiduul
IDrs. Achmad Gholib
IIDrs. Ilarun Rasyid
i.
iDrs. Agus Dal111adji
1 Dr:;. Rwnb.ll .\. Ghalll
IProfDr.Moh.Ardani
Dr.! LAbudin Nata,MA
IIi Dr.! !.ZailltUl Kamal, NI A
II
Dr.ll.IIHJayat HD.,!\l/\
kultas SV'll'Lah
J
, T:mpa Pcmbimhillg! -
iI\ Tanpa PcmbilnbingI
Tanpa Pembimbing!i
II
ii Tanpa Pembimbing
l
1ITanpa Pembimbing
I
II Drs. Norvamin Ain;, :vIi\
I '
i!Llra.Hj.lSmah Salman,,1 M Hum
i
1'1\1[Dr.l-l tvjul1allln~ad
\min S;llna.~1 '\51!
,I Dr. Hasanuddin AF, i'AAI
I! Dr. ih,m",ddin AF. !vlA
II Drs.Aftfi Fauzi Abbas,MAI Tanpa Pembimbing
i II IIDrs.M.Arskal Salim GP, I ProfDcH. Bustanul
M.Ag I ATi fin, Sl-!,
Kolektif
Individual
Individual
Kolektif
Individual
Individual
Indivjdt~al
pon L.emlx.l!:!a p~ndidjk2n l'inggi:lbz~:l \~bm Terhauap Bm,k,unal n1 Jndonc:sl a
1 Zakat Kontckstual (Studi Kasuslang Zakat Binatang ternak).
iahsin Wa Al,Tagbih dalam:lanagan Ahli Ushulahallimin" .
ungan Mahar dan Status Sosial dimnitas Muslim Kecmnatan Kali". Jakarta Bara\.
nltas Dllkwah
an [lmu Dakwah Pada Skripsi. lAIN (Analisis lsi Landasanpsi Mhs. Juc KPI dan BPI Fakwah lAIN Jakalta.. _
Hakim Tunggal ke,Majelisim: Telaah atas Transfonnasiama hakim Agama di Indonesiaj XV-XVII.
Ru~yd Versus i\\-Ghazalitang Hukum Kwalitas.
~'P~-l-D~-s-'c-n--:I--:A-oI;-N"'S;;-'y-m-'--:if;:---TI-;I-nd-;:ividual
iatullah Jakm1a terhadap,ahmuan Pemikiran Hm'unlion dan Prospeknya.
Drs. S.Hamdani
65
-----:MAjDr.H. YUllml Yusuf,MA I
Prof Dr.ll.AminuddinRasyad, MA
asi Prestasi Mata Kuliah Bhs.dcngan Mala Kuliah Tafsir Jur.lagi Mhs. Program S! Fak.,all.
de Pcnclitian Komunikasi padasi Mhs. (Analisi, Skripsi r-,'Ihsan KPI. Fak Dakwah lAINtal
it<:ls Pcnjaringan i\fahasisw,-lni Jillur !'MDK (Studi Kasussi \Iahasiswa Tim 1998-1999)
,Ilas Adab
Individual
Individual
Indivldu<!l
Drs.H.l!arun As!;,r
Dra.Annawati Arbi ,\l.Si
Drs.II.l\'lah:Y1ud Djala!
\
I!I
I Prof:Dr.Azyu1l1m·di A2m
Dr. Dcde Rosyada, 1vl A
;i lslam Terhadap Poli1ik Jepan~l
ll1~~la (Toindo) 1942-19·15.
sa Kch idupan Pacta lll(tsa Kd:u\Ialllalik di Mesir (1250-1517).
tjaran Bhs.Arab di Pergufuan~i Agama ls\am Swasta.
mmadiyah : Keterlibatannyan Politik.
( Bala"hah Da1am Svair-svairt __
(Ralapan) Sayid ldms AI-Jufri.
Kokktif Drs..H.1311d~ Tanpd PemhimbingISul istiolio,!vi. Hum
I Individual IDrs.H. Fathurr'lhman Tanpa PClllbimbing
i i Raul
.
1 Individual I Dr. H. Ridlo rvlasduki iTanpa PClllbimbing
i iiIndh idual IDto. H.Syamsudm Dasan I Dc,fathurrahmull Djamil
iIndivi~~'_'\I_J~;:i~;~::~ .1T.""" p,mrn'_ll_b_in_g J
yting harll~' mClIggllllalilln pcmbiml>ing adalall
berpangkllt di bawah lcktor (IVa), atallbcrpelzdidikan minimal 82 fCfapi beillm berpcnglliaman me/alil/lilln pcndirlllll illdividu minimal 3 kali.