mohammad idham chaled nim 1112013000019
TRANSCRIPT
KONFLIK BATIN TOKOH DIREKTUR UMUM DALAM NASKAH DRAMA
DALAM BAYANGAN TUHAN ATAWA INTEROGASI KARYA ARIFIN C
NOER SERTA IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI
SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
oleh:
Mohammad Idham Chaled
NIM 1112013000019
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIf HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Mohammad Idham Chaled, 1112013000019, “Konflik Batin Tokoh
Direktur Umum dalam Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin C
Noer serta Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida
Erowati, M. Hum.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konflik batin yang terjadi pada
tokoh Direktur Umum dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin
C Noer serta Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan antar disiplin ilmu, yaitu psikologi dan sastra. Penelitian ini
memfokuskan pada kajian psikologi sastra yang tergambar dalam naskah drama
Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin C Noer. Melalui pembelajaran ini siswa
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada dirinya tanpa
menyalahkan orang sekelilingnya. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik batin yang dialami Direktur
Umum dalam bentuk Rasionalisasi, Agresi, Fantasi/Stereotype, dan Proyeksi.
Umumnya konflik batin seseorang diakibatkan karena tidak berjalannya hubungan
vertikal antara manusia dengan tuhannya. Permasalahan lain yang muncul akibat
konflik batin adalah hilangnya rasa hormat terhadap orang tua, sehingga hal ini
perlu menjadi perhatian bagi siswa dalam menyikapi dan mengatasi konflik batin
yang suatu saat akan dirasakan olehnya.
Kata kunci: Konflik Batin, Direktur Umum, Dalam Bayangan Tuhan
ii
ABSTRACT
Mohammad Idham Chaled, 1112013000019, "Inner Conflicts of Public
Director Figure in Drama Manuscript of In God's Shadow by Arifin C Noer and
Its Implication on Literature Learning in School". Department of Indonesian
Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher's Training,
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati,
M. Hum.
This study aims to describe the inner conflicts that occurred on the
character of the Public Director in drama manuscript of In God's Shadowthe work
of Arifin C Noer and its Implications on Literature Learning in School. The
method that used in this study is descriptive qualitative by using approaches
between disciplines, namely psychology and literature. This study focuses on the
study of literary psychology that is depicted in drama manuscript In God's
Shadow the work of Arifin C Noer. Through this learning, students are expected
to overcome the problems that occur on them without blaming people around
them. Based on the analysis that has been done, the results of this study indicate
that the inner conflicts experienced by the Public Director in the form of
Rationalization, Aggression, Fantasy / Stereotype, and Projection. Generally,
one's inner conflict is caused by the inexistence of vertical relationship between
man and his god. Another problem arising from inner conflicts is the loss of
respect for parents, so this needs to be a concern for students in addressing and
resolving the inner conflicts that will one day be felt by them.
Keywords: Inner Conflict, Public Director, In God's Shadow
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan petunjuk dan kuasanya sehingga
saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurah untuk baginda nabi Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan kita
sebagai pengikutnya sampai akhir zaman nanti, aamiin.
Terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul “Konflik Batin Tokoh
Direktur Umum dalam Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi
Karya Arifin C Noer serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”
ini merupakan hasil kerja keras saya yang tidak bisa dilepaskan dari dukungan
banyak pihak, baik dukungan berupa doa, semangat, sumbangan pemikiran dan
ide, tenaga, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan skripsi
ini. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Abidin Ahmad, M. Pd dan Aifitri Susilowati selaku orangtua penulis,
dukungan moral maupun rohani yang mereka berikan dan pengorbanan
mereka dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini tidak akan
pernah terlupakan, skripsi ini penulis dedikasikan khusus untuk mereka
berdua. Doa penulis selalu menyertai kalian.
3. Rosida Erowati, M. Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, bimbingan, motivasi, dan masukan yang sangat
berarti bagi penulis, semoga sukses selalu menyertai bu ros.
4. Dr. Makyun Subuki, M. Hum selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan dosen penasihat akademik.
5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis semasa perkuliahan.
6. Eko Khotib selaku pendiri teater El Na‟ma, yang telah meluangkan
waktunya untuk bersedia diwawancarai guna memberikan informasi
sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
iv
7. Ayu Awalia Rahman dan Rachmawati Fauziyatul Putri selaku adik
tercinta yang menjadi penghilang kepenatan dikala buntu mengerjakan
skripsi, tawa, canda, dan hiburan kalian menjadi semangat tersendiri bagi
penulis.
8. Lulu Innajma, Amd Keb. Ucapan teristimewa saya sampaikan untukmu,
wanita yang selalu menjadi motivasi tersendiri dan sumber semangat bagi
penulis, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan, semoga
segala harapan dan impian kita lekas dikabulkan oleh Allah swt.
9. Teman-teman seperjuangan sependeritaan yang dikenal dengan liga
mamang yaitu, Nur Hidayat, Fikry Bermaki, Arief Darmawan Hasibuan,
Hardi Kurniawan, Achmed Khomeini, Andriansyah Nur Hidayat, Yasin
Zhebri, Dede Wahyudi, Rifqi Aulia Fahmi, kalian adalah sekumpulan
orang yang saya tidak habis pikir jalan pikirannya, terima kasih atas segala
kesan dan kenangannya.
10. Teman-teman PBSI angkatan 2012, tidak terasa perpisahan sudah di depan
mata, masing-masing pergi mengejar impiannya, semoga kesuksesan
menyertai kita semua.
11. Teman teman seperjuangan satu bimbingan yaitu Dede, Rizki, Indri, Citra,
Ami, dan Jessica, semoga kita tetap semangat dalam menjalani proses
akhir ini.
12. Keluarga besar SASTRANESIA yang menjadi tempat untuk menyalurkan
hobi penulis yaitu futsal, mari lanjutkan prestasi, pelihara tradisi.
13. Komunitas Oretan Liar, yang menjadi wadah kreativitas bagi penulis,
semoga terus berkarya.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap mendapat masukan demi
kesempurnaan penelitian ini. Besar harapan penulis agar penelitian ini
bermanfaat bagi dunia akademisi.
Jakarta, 14 Desember 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK.......................................................................................................... i
ABSTRACT....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Identifikasi Masalah........................................................................5
C. Batasan Masalah.............................................................................6
D. Rumusan Masalah...........................................................................6
E. Tujuan Penelitian.............................................................................6
F. Manfaat Penelitian...........................................................................6
G. Metodologi Penelitian................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI.................................................................................. 10
A. DRAMA..................................................................................... 10
1. Hakikat Drama................................................................ 10
2. Unsur Pembentuk Drama................................................ 13
B. PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA..................................20
1. Psikologi Sastra.................................................................20
2. Konflik Batin.....................................................................23
C. PEMBELAJARAN SASTRA.....................................................29
D. PENELITIAN RELEVAN..........................................................30
BAB III PROFIL ARIFIN C NOER.................................................................32
A. Biografi Arifin C Noer...................................................................32
B. Karya Arifin C Noer.......................................................................34
C. Pemikiran Arifin C Noer................................................................36
vi
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN DRAMA DBT............................40
A. Unsur Intrinsik Drama DBT..........................................................40
B. Konflik Batin Tokoh Direktur Umum...........................................96
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah....................104
BAB V PENUTUP..............................................................................................108
A. Simpulan......................................................................................108
B. Saran............................................................................................109
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................110
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan cerminan kehidupan manusia dalam dunia nyata yang
dituangkan dalam bentuk narasi berupa tulisan. Karya sastra memanfaatkan
kejadian-kejadian sedemikian rupa, memanipulasikannya ke dalam dimensi waktu,
sebagai bentuk penceritaan, sehingga menimbulkan kualitas estetis.1
Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi
kehidupannya maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide,
teori, atau sistem berpikir, tetapi juga merupakan media, untuk menampung ide,
teori, atau sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu
melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan
manusia. Di samping itu, sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-
ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.2
Karya sastra tentu tidak terlepas dari yang menciptakannya. Para sastrawan
yang menciptakan sebuah karya sastra tentunya memiliki maksud lain terkait karya
sastra yang dia ciptakan. Setiap pembaca ada yang mudah memahami suatu karya
sastra, ada pula yang sulit memahami apa maksud dari karya sastra tersebut. Ada
sastrawan yang mengajak, mendikte, atau bersifat menggurui pembaca. Sikap ini
muncul karena sastrawan menganggap pembacanya tidak mengerti atau bodoh
sehingga perlu bimbingan. Keadaan ini mungkin ada hubungannya atau berasal dari
hubungan tukang cerita (tradisional) dengan masyarakatnya. Tukang cerita dianggap
mengetahui segalanya. Sedangkan masyarakat hanya mendengarkannya. Masyarakat
mungkin meminta keterangan tambahan kepada tukang cerita yang dianggap
mengetahui segalanya. Bahkan banyak anggota masyarakat yang menganggap
1 Nyoman Kutha Ratna, S.U, Sastra dan Cultural Studies. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2007), h. 293 2 M.atar Semi, Anatomi Sastra. (Padang : Angkasa Raya, 1988), h. 8
2
tukang cerita mempunyai kekuatan gaib seperti yang ada pada diri dalang wayang
kulit di pulau Jawa.3
Salah satu karya sastra adalah drama. Sebagai suatu genre sastra, drama
mempunyai kekhususan dibandingkan dengan genre puisi ataupun genre fiksi. Kesan
dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi
langsung secara konkret. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis
pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk
dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan
untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan
perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang
menyebabkan pengertian drama lebih condong kepada sebuah seni pertunjukan
dibanding sebagai sebuah karya sastra.
Menurut Hasanuddin WS, drama mempunyai dua wajah yang berbeda, yaitu
sebagai karya sastra dan sebagai seni pertunjukkan. Banyak yang menafsirkan
bahwa drama adalah seni pertunjukan orang atau seni pertunjukkan yang terinspirasi
dari kehidupan nyata, dalam istilahnya adalah mimetik. Beberapa asumsi mengenai
pengertian drama tersebut tidaklah salah. Istilah drama berasal dari bahasa Yunani
yaitu Draomai yang artinya berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya.4
Jadi secara garis besar, drama adalah perbuatan atau tindakan. Dari pengertian secara
bahasa inilah drama cenderung sebagai seni pertunjukan. Dalam sebuah drama
biasanya mengandung pesan moral yang tersirat. Pesan tersebut disampaikan dalam
bentuk lakon yang terkadang menyentil pihak tertentu. Drama Arifin C. Noer
cenderung berupa sentilan-sentilan kecil terhadap pemerintah yang kebijakannya
menyengsarakan rakyat kecil. Pertunjukan drama yang dipentaskan berasal dari
naskah yang ditulis oleh seorang pengarang.
3 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra. (Jakarta : Grasindo, 2008), h. 100
4 Hasanuddin, WS. DRAMA, Karya dalam Dua Dimensi, kajian Teori, Sejarah, dan
Analisis.(Bandung:Angkasa, 2009), h. 2
3
Di Indonesia, nama Arifin C Noer dikenal luas sebagai seorang seniman
lengkap dan multi talenta. Selain sebagai penulis naskah drama, ia pun dikenal
sebagai aktor dan sutradara. Sastrawan dengan nama lengkap Arifin Chairin Noer ini
dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10 Maret 1941. Dalam kiprahnya di dunia
pementasan Indonesia tak sedikit piala yang berhasil dia raih. Arifin beberapa kali
memenangkan piala Citra, sebuah penghargaan untuk film terbaik dan penulis
skenario terbaik. Dalam dunia drama, banyak naskah yang telah ia hasilkan seperti,
Mega-Mega, Umang-Umang, Sumur Tanpa Dasar, Dalam Bayangan Tuhan,
Tengul, dan lain sebagainya. Salah satu naskah drama yang dihasilkannya adalah
Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi (selanjutnya disebut DBT). Naskah ini
dibuat oleh Arifin pada tahun 1984. Menurut Eko Khotib, seorang sutradara dan
pendiri teater El Na’ma yang berada di Ciputat, bahwa jika tanpa improvisasi yang
baik, naskah ini cenderung membosankan untuk dibaca dan menjenuhkan ketika
dipentaskan karena dialognya yang terlalu panjang. Selain dialognya yang panjang,
problem absurditas dalam naskah ini begitu kentara.5 Jika dibaca dari awal sampai
akhir, dalam setiap pergantian babaknya mengalami perbedaan peristiwa yang
signifikan. Namun menurut pandangan penulis, yang menarik dalam naskah Dalam
Bayangan Tuhan ini mengandung konflik batin yang begitu dalam dan bisa
dijadikan cermin pada kehidupan zaman sekarang. Hal ini membuktikan bahwa
manusia tidak hanya sakit fisik namun sakit batinnya juga.
Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis mengambil satu tokoh yang
dijadikan sebagai objek penelitian yaitu tokoh Direktur Umum. Faktor yang
melatarbelakanginya adalah karena tokoh Direktur merupakan tokoh utama yang
mempengaruhi jalannya cerita secara keseluruhan. Naskah ini mengisahkan tentang
satu orang yang memiliki dua kepribadian. Dua kepribadian ini dilukiskan secara
bersamaan. Tokoh yang pertama bernama Sandek, seorang pekerja buruh yang
menuntut keadilan dalam pekerjaannya, seorang tokoh revolusioner pemimpin demo
5 Wawancara bersama Eko Khotib di teater El Na’ma pada hari sabtu, 24 Juni 2017 pkl. 19.00 WIB
4
kalangan buruh. Tokoh yang kedua adalah bos dari Sandek, yaitu Direktur Umum.
Tokoh ini digambarkan identik dengan kemewahan dengan segala pernak pernik
yang dikenakannya, sikapnya yang elegan dan penampilannya yang borjuis.
Konflik batin pada naskah drama Dalam Bayangan Tuhan terletak pada babak
kedua dan keempat. Konflik batin yang terjadi pada babak kedua adalah ketika
Direktur Umum tidak mengakui ibunya sendiri. Dia berusaha menutupi identitasnya
di hadapan para wartawan dengan beradu argumen dengan ibunya dan berusaha
mengusir ibunya keluar dari ruang peresmian pabriknya. Kemudian pada akhir
babak kedua kembali Direktur Umum mengalami konflik batin. Dia merenungi
dirinya saat ini yang bergelimpah harta namun tetap merasa kesepian.
Berkaca dari kehidupan di zaman sekarang ini, manusia kerap berkonflik tidak
hanya secara fisik, pun secara non fisik. Hubungan antara manusia satu dengan
lainnya tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik terhadap sesama manusia
maupun konflik dengan dirinya sendiri sebagai reaksi terhadap situasi sosial di
lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan hidup
yang dijalaninya. Persoalan tersebut mau tidak mau harus diatasi agar hidup menjadi
tenang dan tentram. Ditambah lagi jika kita mengaitkan konflik batin dengan
konteks zaman sekarang dimana manusia begitu “menuhankan” telepon genggam
dalam kehidupannya membuat manusia menjadi makhluk asosial. Inilah yang
terkadang menjadi salah satu pemicu munculnya konflik batin di kalangan orang-
orang yang memiliki sifat sosial yang tinggi.
Konflik batin yang dialami Direktur Umum juga bisa berpengaruh dalam
religiositasnya. Kesadaran ruhaniahnya seperti terkunci. Konflik batin yang jamak
dilakukan sekarang ini lebih kepada pelaksanaan kewajiban yang berbenturan
dengan pekerjaan. Sikap gamang sering dialami oleh orang-orang seperti ini dengan
dalih pekerjaan yang tanggung dan rasa malas yang menggelayuti diri membuat
mereka enggan untuk menunaikan kewajiban mereka terhadap tuhannya. Inilah salah
satu bentuk konflik batin secara religiositas. Eksistensi sosok Direktur Umum yang
begitu mendominasi jalannya cerita membuatnya menjadi tokoh sentral dalam
5
naskah drama ini. Ketertarikan penulis semakin meningkat dengan nama besar
Arifin C Noer dalam dunia sastra. Arifin yang juga merupakan sutradara film
G30S/PKI yang menuai kontroversi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi kalangan
praktisi pendidikan untuk membahas karya-karyanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan
banyaknya skripsi yang membahas naskah karya Arifin.
pembelajaran sastra di sekolah hanya sampai pada proses mengidentifikasi
saja. Keterbatasan waktu dalam proses belajar mengajar membuat siswa sulit
memahami drama secara keseluruhan, sehingga pemahaman siswa hanya pada
dasarnya saja.
Subyek konflik batin yang menjadi bahasan dalam penelitian ini sejalan
dengan permasalahan yang sering dialami siswa. Ini dapat dijadikan sebagai acuan
bagi siswa dan para pembaca untuk mengatasi konflik yang berkecamuk dalam diri
sendiri serta bagaimana langkah yang harus diambil untuk mengatasi hal tersebut.
Pemba hasan tentang tokoh Direktur Umum yang labil dan munafik sejalan dengan
kondisi remaja saat ini yang cenderung labil dan tidak punya pendirian. Diharapkan
siswa memiliki kesadaran untuk mencari solusi ketika memiliki konflik dengan
temannya. Sikap dewasa tentu saja dibutuhkan dalam kondisi seperti ini di mana
pada kenyataannya fase remaja merupakan fase di mana kondisi kejiwaan seseorang
belum stabil. Dengan demikian, penelitian ini mengambil judul Konflik Batin Tokoh
Direktur Umum dalam Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi
Karya Arifin C. Noer serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah yang ada
yaitu:
1. Kurangnya pemahaman konflik batin tokoh Direktur Umum dalam naskah
drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer
2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur Intrinsik karena dalam kegiatan
belajar mengajar hanya sebatas mengidentifikasi
6
3. Kurangnya pemahaman siswa terhadap drama jika dikaitkan dengan situasi
terkini
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka kajian penelitian ini hanya
mencakup analisis konflik batin yang dialami oleh tokoh Direktur Umum dalam
naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer serta implikasinya
terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan
penelitian lebih terfokus pada konflik batin tokoh Direktur Umum dalam naskah
drama Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konflik batin tokoh Direktur Umum dalam naskah drama Dalam
Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer?
2. Bagaimana implikasi konflik batin terhadap pembelajaran sastra di sekolah ?
E. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan konflik batin tokoh Direktur Umum dalam naskah drama
Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer
2. Mendeskripsikan implikasi konflik batin terhadap pembelajaran sastra di
sekolah
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia
sastra serta khazanah keilmuan tentang kajian sastra di Indonesia, khususnya
mengenai subyek yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Selain itu,
pembahasan dalam penelitian ini juga dapat menjadi acuan terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.
2. Manfaat Praktis
Jika dilihat dari segi kepraktisan, penelitian ini diharapkan mampu
membantu siswa dalam mengidentifikasi konflik batin yang sering dialami
oleh tokoh utama dalam sebuah cerita. Materi yang terkait dengan konflik
7
batin seperti cerpen, drama, novel, dan lain sebagainya. Konflik batin masuk
dalam unsur intrinsik yaitu penokohan. Tokoh yang mempunyai peranan
penting dalam membangun imaji dalam sebuah naskah drama. Selain itu
dengan adanya penelitian ini, siswa diharapkan terlatih dan terampil dalam
mengatasi pergejolakan yang ada dalam diri sendiri dan terlatih dalam
menyikapi permasalahan yang terjadi dalam lingkungannya sehingga kita
dapat mengambil tindakan yang paling tepat dan tidak berlawanan dengan hati
kecil kita.
G. Metodologi Penelitian
1. Bentuk penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dengan pendekatan ini, hasil
penelitian yang dihasilkan bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang
variabel, melainkan berupa deskripsi. Metode analisis ini digunakan untuk
menganalisis isi suatu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian
adalah naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer.
2. Sumber Data
Sumber data dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya
Arifin C Noer.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang menunjang dan
diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih
berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder
ini bersifat menunjang penelitian ini. Sumber data sekunder yang
8
digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta
buku-buku yang berhubungan dengan topik penelitian yang diangkat,
serta wawancara eksklusif dengan pembina teater El Na’ma Eko Khotib.
3. Teknik Pengumpulan Data
Proses pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni
dengan membaca dan menyimak naskah drama Dalam Bayangan Tuhan
karya Arifin C Noer secara cermat, terarah dan teliti. Pada saat melakukan
pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan
tokoh Direktur Umum, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan
karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data
yang didapat lebih maksimal dan terpercaya.
4. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data antara
lain:
a. Menganalisis naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer
dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan
dengan proses membaca dan memahami kembali data yang sudah
diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam
naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer. yang
mengandung unsur intrinsik drama berupa tema, tokoh dan penokohan,
alur, latar atau setting, gaya bahasa, dan amanat.
b. Analisis kedua untuk menjelaskan konflik batin pada tokoh Direktur
Umum dengan cara metode showing (tidak langsung). Menurut Pickering
dan Hoeper dalam Albertine Minderop menjelaskan bahwa metode
showing (tidak langsung) memperlihatkan pengarang menempatkan diri
di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk
menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action.6 Hal ini
6 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) h. 6
9
dilakukan dengan membaca serta memahami kembali data yang
diperoleh. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang mengandung
bahasan tentang tokoh Direktur Umum yang terdapat dalam naskah
drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer.
c. Mengimplikasikan naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C
Noer pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah
dilakukan dengan cara menghubungkan materi sastra di sekolah.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Drama
1. Hakikat Drama
Drama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah komposisi syair
atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui
tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan.1 Kesan dan kesadaran kita
tentang drama sangat khusus. Bila kita mendekati sebuah puisi, maka kesan
pokok kita adalah bahwa puisi itu adalah suatu intuisi imajinatif. Prosa kita
pandang sebagai suatu beberan yang terbuka, sedangkan drama adalah perasaan
manusia yang beraksi di depan mata kita. Itu berarti bahwa aksi dari suatu
perasaan mendasari keseluruhan drama.
Drama yang baik selalu dikatakan menjadi bahan hiburan dan pendidikan
(dulce et utile). Konflik akan muncul apabila ada pertentangan manusia dengan
manusia, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan alam, manusia dengan
ideologi, dan manusia dengan masyarakat. Terpulang kepada si dramawan
memilih konflik manakah yang sesuai dengan bahan yang hendak ditulisnya.
Tetapi apa yang penting disini ialah bahwa setiap drama itu harus mempunyai
konflik. Apabila sebuah drama itu tidak mempunyai konflik, ia sesungguhnya
bukanlah sebuah drama.2
Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan
secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada.
Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama
juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan
1 Reyhan Virgiawan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Garda Media, 2012), h 72.
2 Suyadi San, Drama, Konsep Teori dan Kajian. (Medan : Partama Mitra Sari, 2013), h 30.
11
memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh
tokoh.3
Drama dapat saja menggunakan bahasa yang imajinatif atau analitik, karena
itu ia dapat ditulis dalam bentuk puisi atau dalam bentuk prosa, tetapi tanpa aksi
atau perilaku gerak drama tidak ada. Bahkan dapat dikatakan bahwa drama bisa
terjadi tanpa bahasa, namun tidak mungkin tanpa adanya gerak laku (aksi).
Drama tidaklah menekankan pada pembicaraan tentang sesuatu, tetapi yang
paling penting adalah memperlihatkan atau mempertontonkan sesuatu melalui
tiruan gerak. Seorang aktor dalam drama berbuat seolah-olah menjadi seseorang,
seperti meniru gerak tari perang suku Dayak di Kalimantan.4
Drama atau sandiwara juga adalah seni yang mengungkapkan perasaan orang
dengan menggunakan laku jasmani dan ucapan kata-kata.5 Endah Tri Priyatna
dalam bukunya Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis
mengungkapkan bahwa sebuah drama pada hakikatnya hanya terdiri atas dialog.
Mungkin dalam drama ada petunjuk pementasan, namun petunjuk pementasan
ini sebenarnya hanya dijadikan pedoman oleh sutradara dan para pemain. Oleh
karena itu, dialog para tokoh dalam drama disebut sebagai teks utama (hauptext)
dan petunjuk lakuannya disebut teks sampingan (nebentext).6
Drama dalam sastra mempunyai kekhususan dibanding genre puisi atau fiksi
sebab drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi langsung
secara konkret. Kekhususan drama juga disebabkan oleh tujuan drama yang
ditulis oleh pengarangnya yang tidak berhenti sampai pada tahap pembeberan
peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya,
3 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra. (Magelang : Indonesia Tera, 2006), h 95
4 M. Atar Semi, Anatomi Sastra. (Padang : Angkasa Raya, 1988), h 156
5 Rendra, Seni Drama untuk Remaja, (Jakarta: Burung Merak Press, 2009), h 73
6 Endah Tri Priyatna, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010),
h 183
12
namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu
penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan.7
Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat drama sebagai berikut:
Austin Warren berpendapat, bahwa pada intinya drama bersifat sastra, tetapi
juga terdiri dari tontonan (spectacole) yang harus memanfaatkan keahlian aktor,
sutradara, penanggung jawab kostum, dan ahli listrik.8
Ferdinand Brunetiere dan Balthazar Verhagen dalam Hasanuddin
berpendapat, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia
dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Sedangkan
menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah
menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.9
Berdasarkan tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian drama
adalah sebuah karya sastra yang dilukiskan dengan gerak yang memanfaatkan
keahlian aktor dan arahan sutradara dan juga melukiskan sedikit banyaknya
kehidupan manusia mulai dari sifat, sikap dan perilaku yang diekspresikan secara
langsung dalam sebuah pementasan. Akan tetapi, sesuatu yang terjadi di atas
panggung tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra, melainkan
kepada ilmu drama sebagai suatu seni pertunjukan yang oleh banyak pihak pada
saat ini disebut dengan istilah teater. Harus dipahami pula bahwa di dalam drama
terkandung nilai-nilai kebenaran dan keseriusan, dan bukan sekadar “permainan”
belaka.10
7 Hasanuddin WS, Drama Karya dalam Dua Dimensi (Bandung: Angkasa, 1996), h 1
8 Renne Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h
302 9 Hasanuddin, op.cit, h.2
10 Ibid, h.3
13
Satu hal yang menjadi ciri drama adalah bahwa semua kemungkinan itu harus
disampaikan dalam bentuk dialog-dialog para tokoh. Akibat dari hal inilah maka
seandainya seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa
menyaksikan pementasan drama mau tidak mau harus membayangkan jalur
peristiwa di atas pentas.11
Meskipun berbentuk dialog, dilihat dari kemungkinan
untuk dipentaskan ada naskah yang dapat dan akan menarik perhatian orang jika
yang dipentaskan disebut sebagai drama pentas atau drama saja, dan banyak
pula yang tidak memberikan kemungkinan untuk dipentaskan dan disebut drama
baca.12
2. Unsur Pembentuk Drama
Unsur intrinsik drama yang terkandung dalam drama tidak berbeda jauh
dengan unsur yang biasa ditemukan dalam unsur intrinsik cerpen atau novel.
Namun karena drama adalah seni pertunjukkan, maka ada elemen-elemen yang
wajib ada, yaitu pemain atau pelaku pertunjukkan, tempat pertunjukkan, dan
penonton. Tiga hal inilah yang menjadi elemen paling wajib untuk menggelar seni
pertunjukkan atau drama. Sedangkan unsur yang membangun seni drama sebagai
pertunjukkan berbeda dengan teks drama.13
Adapun hal yang terdapat dalam
unsur drama dalam pertunjukan adalah plot, tata artistik, dialog dan gerak,
sedangkan unsur teks drama sebagai berikut:
a. Tema
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang
dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai
peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama
terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan,
tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan
11
Ibid, h.5-6 12
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang:Indonesia Tera, 2006), h.111-112 13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h 163
14
tersebut. Permasalahan ini juga dapat muncul melalui perilaku-perilaku para
tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.14
Tema menjadi dasar pengembangan keseluruhan cerita, bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas,
dan abstrak. Untuk menemukan tema haruslah disimpulkan dari keseluruhan
cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Walau sulit
ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang terlalu “disembunyikan”,
namun belum tentu juga dikemukakan secara eksplisit. Tema merupakan
makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya akan
“tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.15
Tema terbagi menjadi dua, tema utama atau pokok atau mayor dan tema
tambahan atau minor. Tema mayor dapat diartikan makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum suatu karya. Menentukan tema pokok
sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih,
mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan
ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.16
Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-
makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna
utama keseluruhan cerita. Jadi singkatnya, makna-makna tambahan atau tema-
tema minor itu, bersifat mempertegas eksistensi makna utama.17
b. Tokoh dan Penokohan
Baldic dalam Nurgiyantoro, menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang
menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedangkan penokohan adalah
penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau
14
Hasanudin, Op.Cit,h.103 15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h.163 16
Ibid.h.133 17
Ibid.h.134
15
tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya
lewat kata dan tindakannya.18
Tokoh-tokoh yang telah “dipilih” oleh pengarangnya biasanya telah
“dipersiapkan” sedemikian rupa. Akan tetapi, bagaimanapun pengarang tetap
akan menjaga agar “keluar jalurnya” sang tokoh tidak terlalu jauh. Maka, hal-
hal yang melekat pada tokoh dapat dijadikan sumber data atau sinyal
informasi guna membuka selubung makna drama secara keseluruhan. Faktor-
faktor yang dimaksud melekat langsung pada tokoh adalah persoalan nama,
peran, keadaan fisik, keadaan psikis, serta karakternya. Aspek-aspek
penokohan ini akan saling berhubungan dan berkaitan dalam upaya
membentuk dan membangun permasalahan dan konflik di dalam drama.19
c. Alur (Plot)
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama,
yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan
selesaian.20
Jika sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat
disatukelompokkan itu dihubung-hubungkan, maka akan terlihatlah susunan
peristiwa secara kausalitas (hubungan sebab-akibat). Pada akhirnya pembaca
akan menemukan sebuah peristiwa atau sekelompok peristiwa akan
berhubungan semuanya tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara
satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut
sebagai alur atau plot.21
Rincian Tasrif dalam Nurgiyantoro mengenai plot, yaitu membedakan
tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1) Tahap Situation. Tahap penyituasian, tahap yang tertama berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang 18
Ibid.h.247 19
Hasanuddin, Op.Cit. h77 20
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h.159 21
Hasanuddin, Op.cit.h.89-90
16
terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada
tahap berikutnya.
2) Tahap Generating circumstances. Tahap pemunculan konflik, masalah-
masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik,
dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3) Tahap rising action. Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik
yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-
pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah dan tokoh
yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
4) Tahap climax. Tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi,
yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai
titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-
tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya
konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih
dari satu klimaks.
5) Tahap denouement. Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
d. Latar
Nurgiyantoro di dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi mengatakan
bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk
pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.22
Di sisi lain Albert
22
Burhan, Op.Cit, h.302
17
Stanton berpendapat bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung.23
Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa latar berkaitan dengan ruang lingkup sebuah cerita. Latar
harus menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun
permasalahan dan konflik. Alur masih netral mengungkapkan peristiwa-
peristiwa sebagai bagian dari permasalahan, latar memperjelas keadaan,
suasana, tempat, dan waktu terjadinya peristiwa. Demikian juga dengan
penokohan yang adakalanya masih mengambang, maka latarlah yang
memperjelasnya.24
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana
tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25
Latar terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial budaya.
1) Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak,
tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang
bersangkutan.
2) Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
23
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h 35 24
Op Cit, h.94-95 25
Ibid, h.303
18
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
3) Latar sosial
Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-
lain.26
e. Gaya Bahasa
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra lebih dari sekadar
bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihan”nya itu pun hanya dapat
diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin
menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat
dikomunikasikan lewat sarana bahasa.27
untuk membuat sebuah dialog antara
tokoh yang satu dengan tokoh lain, pengarang memerlukan bahasa. Ragam
bahasa dalam dialog antar tokoh merupakan ragam lisan yang komunikatif.
Untuk mengetahui sikap dan sifat seorang tokoh dalam sebuah drama, kita
mengetahuinya lewat dialog-dialog yang berfungsi sebagai tuturan dari tokoh
satu ke tokoh lainnya. Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut
kemahiran pengarang dalam menggunakan bahasa sebagai medium drama.
Bagaimana pengarang memilih sarana pengucapannya sehingga permasalahan
yang ingin dikemukakan dapat tertuang melalui bentukan dialog para tokoh
drama.
Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang berarti
tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga terdapat celah
kelemahan komunikasi dibandingkan bahasa lisan. Akan tetapi karena situasi
bahasa di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa
26
Ibid 314-322 27
Ibid. h.364
19
tulis, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan
dalam drama dibandingkan pada fiksi yang lain. Gaya bahasa cenderung
dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan,
perbandingan, dan sindiran.
Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para
pengarang pun memanfaatkan hal ini. Tentu dengan memperhatikan
kekhususan karakteristik drama. Masing-masing jenis itu dapat diperinci lebih
lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain, untuk
jenis bahasa perbandingan, ironi, sarkas, dan sinis, untuk jenis gaya bahasa
sindiran; pleonasme, repetisi, klimaks, retoris, dan lain-lain, untuk gaya
bahasa penegasan, dan paradoks, antithesis, dan lain-lain, untuk jenis gaya
bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu
pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya
bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan berbeda letaknya
dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan
dan perbandingan.28
f. Amanat
Hasanuddin di dalam bukunya mengungkapkan bahwa amanat merupakan
opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang
dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal
kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik
atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Amanat juga merupakan
kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita.29
Di
dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat
diungkapkan secara eksplisit (berterang-terangan) dan dapat juga secara
28
Hasanuddin, Op.Cit. h. 100 29
Ibid. h. 103
20
implisit (tersirat). Bahkan ada amanat yang tidak nampak sama sekali.
Umumnya cipta sastra modern memiliki amanat secara implisit.30
B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Psikologi Sastra
Pendekatan Psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi
bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.31
Aminuddin dalam bukunya yang berjudul Pengantar Apresiasi karya Sastra
mengatakan bahwa psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni
sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain.
Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan terdapat dalam sastra adalah gejala
kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah
manusia-manusia riil.32
Albertine Minderop dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sastra
mengatakan bahwa karya sastra, baik novel, drama dan puisi di zaman modern
ini sarat dengan unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi: kejiwaan pengarang,
para tokoh fiksional dalam kisahan dan pembaca. Dengan demikian, akhir-akhir
ini telaah sastra melalui pendekatan psikologi mendapat tempat di hati para
peneliti, mahasiswa, dan para dosen sastra.33
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang
pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang
kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari
dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).34
Proses kreatif meliputi
seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra
30
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung : Angkasa, 2013), h 20 31
M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 1990), h 76 32
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1990), h 93 33
Albertine Minderop, Psikologi Sastra ( Jakarta : Pustaka Obor Indonesia, 2016), h 53 34
Renne Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), h 90
21
sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah
pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.35
Belum banyak pembicaraan tentang proses kreatif yang bersifat umum dan
menunjang teori sastra. Memang banyak sejarah kasus tokoh-tokoh tertentu,
tetapi umumnya berasal dari kasus tokoh-tokoh yang relatif mutakhir., yang
sudah berpikir dan menulis tentang karya seni mereka (Goethe, Schiller,
Flaubert, James, Elliot, dan Valery). Selain itu, ada generalisasi jarak jauh yang
dibuat para psikolog tentang keaslian, penemuan, dan imajinasi. Yang dicari di
sini adalah persamaan penciptaan ilmiah, filsafat, dan seni.36
Endraswara di dalam Albertine Minderop mengungkapkan bahwa langkah
pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama melalui
pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu
karya sastra. Kedua dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra
sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang
dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga secara simultan menemukan teori dan
objek penelitian.37
Selain itu, Endraswara berpendapat bahwa tanpa kehadiran psikologi
sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan
timpang. Kecerdasan sastrawan yang sering melampaui batas kewajaran
mungkin bisa dideteksi lewat psikologi sastra. Itulah sebabnya pemunculan
psikologi sastra perlu mendapat sambutan. Setidaknya sisi lain dari sastra akan
terpahami secara proporsional dengan penelitian psikologi sastra. Apakah sastra
merupakan sebuah lamunan, impian, dorongan seks, dan seterusnya dapat
dipahami lewat ilmu ini.38
Terkait dengan hubungan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, suatu karya sastra harus merefleksikan 35
Ibid h 97 36
Ibid h 100 37
Op. Cit h 59 38
Ibid h 60
22
kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya sebagaimana dinyatakan oleh
Cristopher Marlowe.
Pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi
intrinsik khususnya pada penokohan atau perwatakan. Jiwa pengarang berupaya
menangkap gejala di sekitarnya, lalu diresapi dan diekspresikan lewat gagasan.
Hal ini diungkapkan oleh Lacan dalam Endraswara, bahwa sastra itu ekspresi
jiwa lewat kata. Di balik kata, ada pengalaman psikoanalisis yang dalam.39
Penekanan ini dipentingkan, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni
(art) sedangkan psikologi menunjuk kepada studi ilmiah tentang perilaku
manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau
kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai
sumber kajian. Pendekatan psikologis ini tidak melulu berasal dari dalam diri
sendiri. menurut Lacan di dalam Faruk dalam bukunya Metode Penelitian Sastra
, orang tidak akan memperoleh citra dirinya yang stabil karena orang mengetahui
dirinya melalui respon orang lain dan dalam mencoba memahami respon orang
lain itu, orang akan mungkin melakukan misinterpretasi.40
Menurut Roekhen dalam Endraswara, psikologi sastra merupakan disiplin
ilmu yang ditopang oleh tiga pendekatan studi, pendekatan tersebut yaitu:
a) Pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam
sebuah karya sastra
b) Pendekatan representative pragmatic, yaitu mengkaji aspek psikologi
pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh
karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam
menikmati karya sastra.
39
Suwardi Endraswara, Teori Kritik Sastra (Yogyakarta:CAPS, 2013), h 129 40
Faruk, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015), h 190
23
c) Pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi sang penulis ketika
melakukan proses kreatif, yang terproyeksi melalui karyanya, bagi penulis
sebagai pribadi maupun wali masyarakat.41
2. Konflik Batin
Suyadi San, pendiri teater Generasi dan juga seorang dosen Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Islam Sumatera Utara di dalam
bukunya mengatakan bahwa keunikan dan keistimewaan drama terletak pada
konfliknya. Konflik dalam drama sangat penting, sehingga ia dapat dikatakan
sebagai nyawa dan darah kepada seni tersebut.42
Konflik atau pertentangan bisa
dibangun oleh unsur-unsur berbeda. Ada yang dinamakan konflik peristiwa,
konflik watak, konflik pribadi, dan konflik batin. Jika sebuah drama itu mampu
merangkum keseluruhan konflik, sudah tentu ia berhasil mencapai mutu yang
tinggi. 43
Setiap manusia pasti mengalami konflik batin yang terjadi pada dirinya.
Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau
lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga
mempengaruhi tingkah laku. Irwanto dalam bukunya berpendapat bahwa
pengertian konflik adalah keadaan munculnya dua atau lebih kebutuhan pada
saat yang bersamaan.44
Albertine Minderop dalam bukunya yaitu Psikologi Sastra mengungkapkan
bahwa konflik batin memiliki bentuk sebagai berikut:
1) Represi (Repression)
Freud sebagaimana dikutip oleh Minderop mengungkapkan
bahwa mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan luas adalah
41
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : CAPS, 2011), h 9 42
Suyadi San, Drama, konsep teori dan kajian, (Medan : Partama Mitra Sari, 2013), h 29 43
Ibid 44
Irwanto, Psikologi Umum, (Jakarta: PT Prenhallindo, 2002), h 207
24
antara lain represi. Tugas represi ialah mendorong keluar impuls-
impuls id yang tak diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam
bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme
pertahanan ego. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah
untuk menekan atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar
keluar dari alam sadar.
2) Sublimasi
Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat
secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi
sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu
memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan
tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara
sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tanpa busana.
3) Proyeksi
Kita semua kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak
diinginkan dan tidak dapat kita terima dengan melimpahkannya
dengan alasan lain. Misalnya, kita harus bersikap kritis atau bersikap
kasar terhadap orang lain. Kita menyadari bahwa sikap ini tidak pantas
untuk kita lakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan
bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita
lakukan agar kita tampak lebih baik. Mekanisme yang tidak disadari
yang melindungi kita dari pengakuan terhadap kondisi tersebut
dinamakan proyeksi.
4) Pengalihan (Displacement)
Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap
suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misal,
adanya impuls-impuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing
hitam, terhadap orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek
25
tersebut bukan sebagai sumber frustrasi namun lebih aman dijadikan
sebagai sasaran.
5) Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi
kekecewaan ketika kita gagal mencapai suatu tujuan; dan kedua,
memberikan kita motif yang dapat diterima atas perilaku.
Rasionalisasi terjadi bila motif nyata dari perilaku individu tidak dapat
diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oleh semacam motif
pengganti dengan tujuan pembenaran.
6) Reaksi Formasi (Reaction Formation)
Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh
kecenderungan yang berlawanan yang bertolak belakang dengan
tendensi yang ditekan: reaksi formasi. Reaksi formasi mampu
mencegah seorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas
dan kerap kali dapat mencegahnya bersikap antisosial.
7) Regresi
Terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, regresi
yang disebut retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang
mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa
aman dan perhatian orang lain. Kedua, regresi yang disebut
primitivation ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak
berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan
berkelahi.
8) Agresi dan Apatis
Hilgard sebagaimana dijelaskan di dalam Psikologi Sastra
karya Albertine Minderop berpendapat bahwa perasaan marah terkait
erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada
perusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan
pengalihan (direct aggression dan displaced aggression). Agresi
26
langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada
seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Bagi orang
dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal ketimbang
fisik. Si korban yang tersinggung biasanya akan merespon. Agresi
yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak
dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustrasi tersebut
karena tidak jelas atau tak tersentuh. Si pelaku tidak tahu kemana ia
harus menyerang; sedangkan ia sangat marah dan membutuhkan
sesuatu untuk pelampiasan. Penyerang kadang-kadang tertuju kepada
orang yang tidak bersalah atau mencari „kambing hitam‟. Apatis
adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap apatis
(apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah.
9) Fantasi dan Stereotype
Hilgard di dalam Albertine Minderop mengatakan bahwa
ketika kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang
kala kita mencari „solusi‟ dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang
berdasarkan fantasi ketimbang realitas. Contoh para serdadu perang
yang kerap menempelkan gambar-gambar pin-up girls di barak
mereka yang melambangkan fantasi kehidupan tetap berlangsung pada
saat kehidupan seksualnya terganggu sebagaimana orang yang sedang
lapar membayangkan makanan lezat dengan mengumpulkan potongan
gambar berbagai hidangan. Stereotype adalah konsekuensi lain dari
frustrasi, yaitu perilaku stereotype-memperlihatkan perilaku
pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan
yang tidak bermanfaat dan tampak aneh.45
Umumnya, konflik dapat dikenali karena beberapa ciri, yaitu:
45
Albertine Minderop, Psikologi Sastra, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2016), h 29
27
a) Terjadi pada setiap orang dengan reaksi berbeda untuk rangsangan
yang sama. Hal ini bergantung pada faktor-faktor yang sifatnya
pribadi.
b) Konflik terjadi bilamana motif-motif mempunyai nilai yang seimbang
atau kira-kira sama sehingga menimbulkan kebimbangan dan
ketegangan.
c) Konflik dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, mungkin
beberapa detik, tetapi bisa juga berlangsung lama, berhari-hari,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.46
Freud dalam Kusumawati menyatakan bahwa faktor-faktor yang
memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin antara lain:
a) Teori Agresi
Teori agresi menunjukkan bahwa depresi terjadi karena
perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri. Agresi yang
diarahkan pada diri sendiri sebagai bagian dari nafsu bawaan yang
bersifat merusak. Untuk beberapa alasan tidak secara langsung
diarahkan pada objek yang berhubungan dengan perasaan berdosa
atau bersalah. Prosesnya terjadi akibat kehilangan atau perasaan
ambivalen terhadap objek yang sangat dicintai.
b) Teori Kehilangan
Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu
dengan benda atau seseorang yang dapat memberikan rasa aman. Hal
penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai
faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi
faktor pencetus terjadinya stress.
c) Teori Kepribadian
46
Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h 293
28
Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan
harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian
seseorang terhadap streessor. Pandangan ini memfokuskan pada
variabel utama dari psikososial yang menyebabkan harga diri rendah.
d) Teori Kognitif
Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah
kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap
dirinya sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat
berpikir tentang dirinya secara negatif dan tidak mencoba memahami
kemampuannya.
e) Teori ketidakberdayaan
Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin
dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak
mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya,
oleh karena itu ia mengulang respon yang adaptif.
f) Teori Perilaku
Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak
pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Depresi berkaitan dengan interaksi antara perilaku
individu dengan lingkungan. Teori ini memandang bahwa individu
memiliki kemampuan untuk memeriksa dan mempertimbangkan
perilakunya. Mereka bukan hanya melakukan reaksi dari faktor
internal. Individu tidak dipandang sebagai objek yang tidak berdaya
yang dikendalikan lingkungan, tetapi tidak juga bebas dari pengaruh
lingkungan dan melakukan apa saja yang mereka pilih tetapi antar
29
individu dengan lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna antar
satu dengan yang lainnya.47
Dengan demikian, teori diatas akan penulis gunakan untuk pembahasan unsur
intrinsik pada BAB IV.
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra di sekolah khususnya dalam materi drama dapat diklasifiksikan
ke dalam dua golongan, yaitu:
1) Pengajaran teks drama yang termasuk sastra
2) Pementasan drama yang termasuk bidang teater.48
Umumnya, hampir setiap sekolah dari jenjang yang berbeda baik itu SD, SMP,
dan SMA kerap mengadakan pementasan drama dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia. Drama yang ditampilkan dapat terjadi karena faktor tugas akhir atau
tampil di acara yang diselenggarakan oleh sekolah masing-masing. Bukan hanya di
jenjang pendidikan dasar, perguruan tinggi pun sering mengadakan pementasan untuk
dinikmati.
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra.49
Secara tidak langsung dalam
proses drama, tentu siswa diajak untuk membaca naskah, lalu memahami, kemudian
menganalisis, dan siswa juga berkesempatan menikmati karya sastra. Ketepatan
dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta rasa, dan menunjang
47
Magdalena Kusmawati, Gambaran Resiliensi dan Dukungan Sosial pada Anak berusia 7-12, (Jakarta: Fakultas Psikologi Atma Jaya, 2003), h 33 48
Herman J Waluyo, Drama : Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2011), h.168 49
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h.168
30
pembentukan watak.50
Hal ini kurang didapatkan oleh siswa dalam lingkup sekolah.
Dalam kurikulum KTSP maupun kurikulum 2013, materi drama hanya sebatas
mengidentifikasi unsur intrinsik dan menulis drama saja. Proses kritik sastra sebagai
bentuk dari budaya kritis siswa tidak difasilitasi oleh kurikulum.
D. Penelitian Relevan
Adapun penelitian relevan ini dibuat untuk menghindari kejahatan dalam
dunia akademik yaitu pencontekan atau penjiplakan karya orang lain. Untuk
menghindari hal tersebut, penulis akan memaparkan perbedaan antara masing-
masing judul dan permasalahan yang dibahas.
Skripsi pertama berjudul “Hubungan Fungsional antara Gaya Bahasa dengan
Penokohan dalam Perkembangan Plot Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan
Atawa Interogasi I Karya Arifin C Noer”. Skripsi ini ditulis oleh Lusia Andriyani
mahasiswa IKIP Malang Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun
1995. Skripsi ini membahas tentang gaya bahasa dengan penokohan dalam
perkembangan plot naskah yang ada dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan
karya Arifin C Noer. Skripsi ini lebih spesifik dan berfokus kepada masalah gaya
bahasa dan penokohan yang ada dalam naskah Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin
C Noer. Oleh karena itu, antara skripsi tersebut dengan skripsi karya penulis terdapat
perbedaan subyek pembahasan.
Skripsi kedua berjudul “Perbedaan Tema Naskah Drama Karya Arifin C Noer
(Sumur Tanpa Dasar, Kapai-Kapai, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi).
Skripsi ini ditulis oleh Indra Suherjanto, mahasiswa IKIP Malang jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1994. Skripsi ini lebih menekankan
kepada tema di antara tiga naskah karya Arifin C Noer yaitu Sumur Tanpa Dasar,
Kapai-Kapai, dan Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi. Skripsi ini
membandingkan tiga naskah tersebut atau dengan kata lain penelitian tersebut
objeknya lebih banyak. Sedangkan skripsi penulis lebih spesifik membahas masalah
50
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.16
31
konflik batin tokoh Direktur Umum dalam Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan
atawa Interogasi.
Skripsi ketiga berjudul “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega-
Mega Karya Arifin C Noer dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA”.
Skripsi ini adalah hasil karya Yunia Ria Rahayu, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Subyek dan obyek penelitian
skripsi ini berbeda. Obyek penelitian skripsi Yunia dan obyek penelitian skripsi ini
sama-sama karya Arifin C Noer, namun dengan judul karya yang berbeda.
Dari tiga skripsi yang ada menunjukkan bahwa pembahasan DBT belum
banyak dilakukan, sedangan pembahasan untuk karya Arifin C Noer yang lain
cenderung melihat permasalahan sosial, bukan masalah psikologi tokoh. Dengan
demikian, pembahasan tentang DBT ini telah dilakukan oleh dua skripsi yang terbit
23 tahun yang lalu. Namun skripsi tersebut tidak membahas masalah konflik batin
tokoh Direktur Umum. Kebaruan subyek pembahasan skripsi ini terkait dengan
perkembangan situasi aktual di dalam masyarakat modern di Indonesia.
32
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Arifin C. Noer
Arifin memiliki nama lengkap Arifin Chairin Noer, lahir di kota Cirebon Jawa
Barat 10 Maret 1941. Ia meninggal di Jakarta, pada 28 Mei 1995 diusia yang ke 54
tahun.1 Ayahnya merupakan seseorang yang berprofesi sebagai tukang sate dangulai,
meskipun terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, akan tetapi ia memiliki
semangat yang tinggi untuk menimba ilmu. Pendidikan pertama yang ditempuhnya di
sekolah SD Taman Siswa, Cirebon, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP
Muhammadiyah, Cirebon. Tak lama setelah lulus dari SMP ia melanjutkan ke
sekolah tingkat atas di SMA Negeri Cirebon, meskipun tidak diselesaikan. Lalu
mencoba melanjutkan kembali pendidikannya di Sekolah Jurnalistik, Solo.2 Setelah
lulus, pada tahun1967 masuk ke perguruan tinggi dan mengambil pendidikan di
Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Serta International
Writing Program, Universitas Iowa, AS pada tahun 1972.3
Sejak SLP Arifin sudah giat bermain sandiwara. Karyanya yang pertama kali
berjudul Dunia Yang Retak. Ia menulis sekaligus menyutradarai pementasan
tersebut.4 Saat masih sekolah di Solo, ia bergabung dengan Himpunan PeminatSastra
Surakarta(HPSS) sambil mencanangkan hari puisi.5 Pada tahun 1960-an Arifin
menikah dengan Nurul Aini dan tinggal di Yogyakarta. Semenjak pindah ke
Yogyakarta pada tahun 1960-an ini kreativitasnya di bidang penulisan puisi dan
1 Hardo S, “Arifin C.Noer, Sineas Lengkap”, Jakarta: Suara Karya Minggu, no. 1073, Minggu
ketiga Agustus 1992, h.3 2 Jamal D Rahman dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: Gramedia, 2014)
3Puji Sentosa.“Biografi Arifin C.Noer”, http://pujies pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-
cnoer. html. 4Ibid
5Ibid
33
drama semakin berkembang.6 Sebelum akhirnya Arifin menekuni dunia teater,
pertama kali ia bergabung dengan sebuah teater bernama Teater Muslim pimpinan
Mohammad Diponegoro, kemudian bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan
W.S. Rendra. Pada tahun 1968 dengan modal kreativitasnya yang tinggi dalam dunia
teater kemudian pindah ke Jakarta dan mendirikan sebuah teater yang diberi nama
Teater Kecil. Teater ini pun dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan
kreativitas seni khususnya teater di Indonesia.7 Melalui Teater Kecil ini Arifin
memiliki harapan agar kesenian di Indonesia dapat dikembangkan agar memiliki
kualitas yang lebih baik.
Semenjak memiliki Teter Kecil ia mulai memikirkan kebutuhan finansial
untuk dapat menunjang proses kreativitas teaternya dalam berkesenian agar
kehidupan berteater dapat berjalan terus. Selanjutnya ia mulai bekerja sebagai
manager pengelola Balai Bimbingan dan Latihan Kerja di Kawasan Industri
Pulogadung, Jakarta Timur. Namun karena merasa kreativitas seninya tidak terasah
saat bekerja sebagai manager, ia pun memilih untuk berhenti dan menjabat menjadi
Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Arifin juga pernah diundang ke sebuah akademi
teater di Amerika Serikat untuk menjadi dosen tamu di sana. Selain itu Arifin juga
pernah menjabat sebagai kepala humas majalah Sarinah. Merasa tidak dapat
mengembangkan kreativitasnya di bidang seni, pada akhirnya untuk kesekian kalinya
Arifin keluar dari pekerjaannya untuk menekuni dunia perfilman dan teater.
Arifin mulai terjun ke dunia film pada tahun 1971. Berkat kegigihannya dan
konsistensinya dalam dunia seni, lewat film karyanya berjudul Pemberang, ia dapat
menyabet piala The Golden Harvest pada Festival Film Asia (1972), Film berjudul
Melawan Badai pun tak luput mendapat penghargaan sebagai sekenario terbaik, film
Suci Sang Primadona juga menjadi film terbaik dalam Festival Film Indonesia (1973,
1974, 1990). Pada tahun 1982 film Serangan Fajar menyabet 5 piala Citra, dan film
6Ibid
7Ibid
34
yang dibintangi oleh Meriam Bellina dengan Rano Karno berjudul Taksi menjadi film
terbaik dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1990 dan meraih 7 piala citra,
selain itu Arifin juga mendapat piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia (1995).
Lebih hebatnya lagi melalui film hasil garapannya yang mendapat penghargaan
terbesar selama pemerintahan Orde Baru adalah film Pengkhianatan G.30.S/PKI yang
dibintangi Umar Kayam, keberhasilan kembali diraihnya dengan gelar sebagai
penulis sekenario terbaik. Film ini selalu diputar setiap tahun melalui TVRI dalam
memperingati "Hari Kesaktian Pancasila" dan baru diberhentikan setelah
pemerintahan Orde Baru tumbang. 8
Selain film-film karyanya, beberapa naskah drama Arifin pun tak luput dari
kemenangan. Karya drama tersebut yaitu: drama Mega-Mega menjadi pemenang
kedua sayembara naskah drama Badan Pembinaan Teater Nasional
Indonesia(BPTNI) tahun 1967. Naskah drama Kapai-kapai memenangkan Hadiah I
sayembara penulisan lakon DKJ. Sebagai sastrawan yang unggul dan kreatif, ia juga
sering mendapat hadiah sastra, antara lain, Pemenang Sayembara Penulisan Naskah
Lakon dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya Matahari di Sebuah
Djalan Ketjil dan Nenek Tertjinta, Anugerah Seni dari Pemerintah Republik
Indonesia (1972) atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di Indonesia, Hadiah
Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand (1990) atas karyanya Ozon, dan Hadiah
Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990). Dramanya Kapai-
Kapai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan judul
Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia.9
B. Karya Arifin C.Noer
Arifin digolongkan oleh Abdul Hadi WM sebagai sastrawan besar untuk
bidang teater sebagai tokoh angkatan 70-an yang lakon sandiwaranya bernada
8 Ibid
9Ibid
35
surealis. Sastrawan yang disebut sebagai Sineas Lengkap dalam Suara Karya Minggu
ini telah banyak melahirkan karya. Dikatakan sebagai Sineas Lengkap sebab ia
bukan hanya menyutradarai, tetapi juga menulis cerita dan skenario. Dengan menulis
sendiri cerita dan skenario kemudian menyutradarainya, maka apa yang ingin
disampaikan kepada penonton bisa utuh.10
Kelancaran bertutur dan penyelesaian
konflik yang tidak bertele-tele menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan film-film
Arifin. Namun untuk menikmati hasil film garapan Arifin juga tidak mudah, sebab
diperlukan sebuah kecermatan mengikuti alur cerita dan membedah dialog-
dialognya.11
Seperti film karya Arifin yang berjudul Bibir Mer, film ini dapat
dikatakan sebagai refleksi kegelisahan terhadap kehidupan sosial dan perilaku umum
yang sudah demikian absurd. Menurut Arifin dalam sebuah wawancaranya kepada
Suara Karya Minggu mengatakan “Pokoknya film ini bercerita tentang bibir di
Indonesia”. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Arifin menjelaskan bahwa inti isi
dari film Bibir Mer tersebut adalah tentang cara bersikap masyarakat Indonesia.
Kritikus sastra dan drama menilai Arifin sebagai salah satu pembaharu dunia
drama di Indonesia. Karya-karya drama dan puisinya mempunyai jalinan dramatik
yang kuat, sedangkan drama-dramanya puitis sekali. Kritikus film Dr. Salim Said
juga menuliskan pendapatnya tentang karya Arifin,“sebuah skenario yang plastis dan
memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penonton. Tanpa perlu menceritakan
semuanya, penonton bisa tahu jalan cerita dengan sedikit menggunakan pikiran dan
perasaannya”. Sedangkan menurut penilaian Rendra, Arifin merupakan orang yang
serius menggeluti teater, sehingga bisa kita lihat bagaimana karya-karya Arifin
meninggalkan gema yang panjang untuk disimak.
Dilihat secara tematik, nyaris semua karya Arifin C Noer mengurus tema
ketidakadilan sosial, modernitas vs tradisi, yang duniawi versus ukhrawi, yang
pedasaan versus perkotaan. Bahkan, secara bentuk pun Arifin C Noer
10
Ibid 11
Ibid.
36
memperhadapkan yang tradisi dengan yang modern, yang fakta dengan yang fiksi,
yang mengkota dan yang kampungan. Tema dan permasalahan yang diangkatnya
boleh jadi universal, namun suasana dan citarasanya Indonesia.12
Selain menulis sajak dan naskah lakon, Arifin berhasil menulis banyak
skenario film dan sinetron serta kritik dan esai drama dan seni pentas yang lain.13
Adapun buku kumpulan sajak karyanya adalah: Nurul Aini (1963), Siti Aisah (1964),
Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), Selamat Pagi, Jajang (1979), dan
Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah Lampu Neon (1960), Matahari di
Sebuah Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita (1967), Mega-
mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar
(1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun I atawa Madekur dan
Tarkeni (1974), Umang-Umang (1976), Sondek, Pemuda Pekerja (1979), Dalam
Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan
Ozon atawa Orkes Madun IV (1989). Selain itu, ia juga menyutradarai banyak film
dan sinetron serta menulis skenarionya, antara lain, Pemberang (1972), Rio Anakku
(1973), Melawan Badai (1974), Petualang-Petualang (1974), Suci Sang Primadona
(1978), Harmoniku (1979), Lingkaran-Lingkaran (1980), Serangan Fajar (1981),
Pengkhianatan G.30 S/PKI (1983), Matahari-Matahari (1985), Sumur Tanpa Dasar
(1989), Taksi (1990), dan Keris (1995).
C. Pemikiran Arifin C.Noer
Arifin C.Noer merupakan salah satu sastrawan yang karyanya banyak
mencerminkan atau berkaca melalui kehidupan yang terjadi di Indonesia, baik dalam
karya filmnya maupun drama ia lebih condong mengangkat permasalahan di
Indonesia, sehingga seluruh karyanya dapat dirasakan sebagai karya keIndonesiaan.
Menurut Arifin, sastra merupakan hasil karya seni yang cenderung angkuh karena
12
Jamal D Rahman dkk, 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,2014) 13
Op. Cit
37
mau mengungkapkan segalanya secara utuh. Namun tanpa membaca sastra manusia
tidak bisa berkaca diri untuk mengungkapkan kenyataan.14
Sebuah karya sastra
bukanlah semata-mata produk khayalan, tetapi juga hasil produk pengalaman dan
berpikir. Semua pengarang harus mampu menangkap segala pengalaman yang ada
pada dirinya, kemudian pengarang pula yang menuangkan kedalam bentuk karya
sastra untuk menghadirkan kenyataan yang ada melalui keindahan penggunaan
bahasa.15
Arifin C Noer dan Teater Kecil adalah sebuah fenomena dalam teater
Indonesia modern. Kalau WS. Rendra dengan bengkel teater menyumbangkan
kegagahan dalam kemiskinan dengan antara lain menggali idiom pengadegan teater
rakyat seperti ketoprak, Teguh Karya dengan Teater Populer menyumbangkan upaya
menggali realisme barat dan pola produksi yang sadar pasar sehingga menjadikan
teater sebagai hidangan terhormat di masyarakat kelas menengah. Arifin
menyumbangkan bau Indonesia dengan segala masalah sosial, psikologis, plus juga
sering mistik Jawa/Sunda dalam kemasan Indonesia. Arifin salah seorang pelopor
teater Indonesia modern yang membawa cap Indonesia. Sama dengan Rendra dan
Teguh Karya, di samping sebagai sutradara, Arifin juga aktor yang hebat. Lebih dari
kedua orang rekannya itu, dia adalah pengarang produktif yang meninggalkan banyak
naskah drama yang sduah membuat sejarah dalam perjalanan teater Indonesia modern
seperti misalnya: Mega-Mega, Kapai-Kapai, dan Sumur tanpa Dasar. Dalam awal-
awal lomba penulisan lakon yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada dekade 70-an, dewan juri sampai tak memberikan hadiah utama, karena
mereka menganggap tak ada peserta yang bisa menghampiri kualitas lakon Arifin
Kapai-Kapai yang dianggap sebagai standar lakon untuk teater Indonesia modern.16
14
Sardjono Maria A, “Tanpa Seni Manusia Tak Dapat Berkaca Diri”, (Jakarta: Media
Indonesia, 1990). h. 1 15
Ibid., 16
Pusat Dokumentasi Sastra H.b. Jassin, Dari Konsep ke Panggung Arifin, (Semarang: Harian Suara Merdeka, 2005)
38
Berbeda dari Teater Populer yang jelas berkiblat kepada Barat, tetapi tidak
juga sama dengan Bengkel Teater yang menempatkan penonton sebagai raja
sekaligus anak kecil, yang harus dihibur/diberikan pengarahan dengan cerita dan
kritik-kritik tajam yang frontal, Arifin mengajak penonton bermain, berkontemplasi,
untuk bersama-sama kembali kepada kehidupan sehari-hari di sekitar dengan
persoalan sosial dan aspek religiusitas yang tak bisa lepas dari masyarakat yang
mayoritas muslim. Arifin adalah salah seorang dari pentolan yang membawa teater
Indonesia modern untuk berdarah dan berdaging lokal dengan muatan-muatan lokal,
namun tanpa harus terjebak dalam keterbatasan idiom ekspresi. Kalau di dalam
pementasan Bengkel Teater misalnya jelas terlihat pola pengadeganan yang
menyarankan sesuatu yang dilakukan oleh teater rakyat ketoprak dalam bertutur.
Arifin dalam pementasan-pementasan Teater Kecil lebih cenderung kepada seni
bertutur mendongeng yang sampai kini tetap hidup di beberapa kawasan Nusantara
seperti kita lihat pada membasan di Bali, kaaba di Sumatera Barat dan Aceh.17
Utuy Tatang Sontany dengan realisme sosialnya sudah menarik teater pada
kenyataan sosial dalam kehidupan sehari-hari dari era sandiwara-sandiwara yang
sangat berbau Shakespeare. Arifin melanjutkan, tetapi ia tidak lagi hanya mengolah
realisme sosial secara fisik tetapi ke dalam batinnya. Ia menampilkan ekspresi
manusia Indonesia dengan segala lamunan, mimpi, mistik, kekonyolan dan bahkan
juga absurditasnya. Kalau dilihat seluruh perjalanan artistik Arifin, mulai dari
pementasan-pementasannya lewat Teater Muslim Yogya (pimpinan Mohammad
Diponegoro), jelas bahwa Arifin yang mulai dari realisme kemudian menuju ke
surealisme dan selanjutnya memainkan keduanya tanpa kecanggungan. Itu kita lihat
jelas dalam naskah Sumur Tanpa Dasar. Naskah tersebut berawal dari kisah realis
yang lebih menonjolkan pengamatan psikologis, kemudian berubah menjadi sesuatu
17
Ibid
39
yang surealistik dan impresif. Arifin disebut-sebut sebagai pembawa
realisme/surealisme religius dalam ekspresi-ekspresi personanya.18
Menurut Arifin seni akting sebagai bahan telaah, baik dari segi kesenian
maupun dari segi sosiologi ataupun dari segi lainnya sungguh sangat kaya dan sangat
menantang, terlebih lagi di Indonesia sebab akan membawa seseorang ke dalam hutan
pengetahuan yang wilayahnya banyak bersampiran dengan wilayah ilmu-ilmu sosial
yang selalu bikin penasaran. Sebab seni akting itu lahir tidak sendirian, ia
berdampingan dengan berbagai macam ragam pengetahuan, terutama psikologi.
Dalam setiap pembuatan karyanya Arifin selalu menangkap realitas yang ada
di sekitar. Menurutnya dengan cara tersebut ia dapat mendekatkan masyarakat
Indonesia dengan realitas di sekitarnya. Meskipun begitu, ia juga menemui banyak
kesulitan dalam menemukan karya yang memiliki identitasnya sendiri, tidak kebarat-
baratan maupun tidak terlalu ketimuran akan tetapi tetap mencerminkan
keIndonesiaan itu sendiri. Hal lain yang tidak kalah penting yang diperlukan dalam
menciptakan sebuah karya adalah menanamkan budaya perencanaan. Tidak dapat
dipungkiri pula budaya perencanaan tersebut dapat mencerminkan bagaimana sikap
manusia Indonesia menghadapi masa depan dan mengurus dirinya. Sikap yang apa
boleh buat merupakan sikap yang mencemaskan, karena masa depan kemudian
menjadi hal yang sulit diramalkan. Gencarnya arus informasi yang dihasilkan
teknologi komunikasi, antara lain ikut mempersulit ketepatan prediksi manusia.
Seperti karya-karya teaternya, hampir semua film Arifin kental bernuansakan
keindonesiaan, dalam arti selalu menggali nilai-nilai tradisional milik bangsa untuk
dipentaskan dalam sebuah film dan selalu menggali idiom-idiom yang berbau tradisi.
18
Ibid
40
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi Karya
Arifin C Noer.
1. Tema
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang
dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai
peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama
terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan,
tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan
tersebut. Permasalahan ini juga dapat muncul melalui perilaku-perilaku para
tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.1 Naskah drama Dalam
Bayangan Tuhan Atawa Interogasi Karya Arifin C Noer mempunyai tema
tentang kesenjangan sosial terutama yang terjadi antara tokoh Direktur Umum
dan Sandek.
SANDEK : Tidak sulit membedakan beliau dengan saya bukan? Sebenarnya
tidak begitu perlu memperkenalkan diri karena saya yakin siapapun akan
mengenalnya sebagai seorang direktur dari suatu pabrik assembling mobil
terbesar di negeri ini. Paling sedikit semua orang pasti akan mampu menaksir
harga pakaian dan sepatu serta perlengkapan lainnya seperti arloji cincin dan
sebagainya.2
Terlihat sekali dalam petikan tersebut bagaimana tokoh Sandek
medeskripsikan tokoh Direktur Umum sebagai sosok yang bergelimang harta jika
dilihat dari luarnya.
Sandek masih belum tahu bagaimana mulai makan. Baru pertama kali dalam
hidupnya ia menyaksikan hidangan makan siang semewah itu, baik
makanannya maupun tempatnya. Ia bengong saja beberapa saat. Sementara
1 Hasanudin Ws, Drama Karya dalam Dua Dimensi,(Bandung: Angkasa, 1996),h.103
2 Arifin C Noer, Dalam Bayangan Tuhan, h 6
41
itu Direktur Umum dengan perasaan bahagia sekali mulai memindahkan
sebagian isi rantang ke piringnya.3
Dari kutipan kedua bisa dibayangkan betapa miskinnya tokoh Sandek
sampai-sampai dia tidak tahu bagaimana caranya memulai makan di ruangan
sebagus itu dan dengan hidangan semewah itu.
Jika dilihat dari judulnya, Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi,
mungkin orang akan berpikiran bahwa naskah drama ini sarat dengan
religiusitas. Tidak salah memang, dalam naskah drama ini memang ada unsur
religiusitas yang digambarkan oleh tokohnya, akan tetapi secara keseluruhan
naskah ini lebih menonjolkan kritik sosial dalam masyarakat Indonesia.
Naskah drama Dalam Bayangan Tuhan terbagi ke dalam empat bagian,
bagian pertama bercerita tentang dialog antara Direktur Umum dengan
Sandek. Bagian kedua bercerita tentang kedurhakaan tokoh Direktur Umum
terhadap ibunya. Bagian ketiga menceritakan tentang Sandek dan Oni yang
masuk Rumah Sakit dan menemukan berbagai keganjilan-keganjilan yang
terjadi. Pada bagian keempat bercerita tentang Sandek yang hendak dioperasi
dan kehidupan Sandek bersama Oni di rumah sederhananya. Masing-masing
bagian memiliki subtema yang berbeda-beda. Pada bagian pertama, tema yang
tersaji adalah ketimpangan sosial, dimana pada babak pertama ini Arifin
menyajikan konflik antara Direktur Umum dengan Sandek. Perdebatan yang
terjadi awalnya cukup sengit sebelum akhirnya Sandek berubah menjadi
pengecut.
SANDEK yang ditunjuk kelihatannya semakin ketakutan. Pada saat
itu pintu belakang terbuka dan muncul dua orang pelayan dalam
pakaian seragam putih-putih dari suatu hotel mewah menyajikan
hidangan makan siang. Makan siang untuk dua orang. Semakin kikuk
3 Ibid, h 14
42
SANDEK memperhatikan bagaimana pelayan-pelayan itu memenuhi
meja dengan makanan.4
Pada babak kedua, Arifin menonjolkan kemegahan sekaligus
kebobrokaan yang dimiliki oleh tokoh Direktur Umum. Awal mulanya tokoh
Sutradara memperkenalkan tokoh Direktur Umum sebagai orang yang
Multinasionalis dan penguasa dunia. Perkenalan sosok Direktur Umum ini
menunjukkan bahwa dia orang yang berpengaruh, seorang pemimpin sebuah
perusahaan yang disegani. Apalagi dia sedang meresmikan sebuah pabrik baru
miliknya.
Begitu layar diangkat orang-orang bertepuk-tangan. SUTRADARA
pergi. Direktur Umum sedang pidato dalam suatu upacara peresmian
pabrik. Kertas warna-warni. Beberapa saat beberapa wartawan sibuk
dengan tustelnya.5
Pada peristiwa selanjutnya, Arifin masih menunjukkan bahwa Direktur
Umum adalah sosok yang sangat ambisius dan seorang yang begitu memuja
manusia dengan kekuatan pikirannya.
Keagungan manusia! Terpujilah manusia! Putra-putra dewa yang
sejati! Tuhan sendiri mengakui kedudukan manusia yang luar biasa
ini. Para malaikat yang adalah helai-helai cahaya itu juga bersujud.
Hari ini adalah hari kemenangan manusia.6
Petikan pidato tokoh Direktur Umum di atas menunjukkan bahwa
tokoh Direktur Umum sangat mendewakan dan mengagungkan manusia
dengan segala kehebatan fikirannya yang mampu menciptakan berbagai
penemuan luar biasa.
Pada cerita selanjutnya, yang terjadi justru sebaliknya. Arifin berusaha
memutarbalikkan fakta yang terjadi. Ia menghadirkan sosok Ibu dari Direktur
4 Ibid, h 24
5 Ibid
6 Ibid, h 25
43
Umum untuk mematahkan argumen-argumen yang dilontarkan oleh Direktur
Umum dan kebobrokan tokoh Direktur Umum dimulai dari sini, dimana ia
adalah seorang anak yang tidak berbakti kepada orangtuanya dengan tidak
mengakui ibunya sendiri.
WARTAWAN I : Maaf, pak Malin. Siapa wanita tua yang ganjil itu?
DIREKTUR UMUM : anda sendiri mengatakan ganjil. Kalau begitu,
wanita ganjillah.7
Fakta bahwa tokoh Direktur Umum tidak mengakui ibunya sendiri diperkuat
oleh argumen yang dilontarkan oleh tokoh Ibu.
Ia telah melupakan ibunya. Sejak ia merantau ia tidak pernah kembali.
Dengan badan yang tua ini ibunya mencari anak itu. Pernah dua kali
ibunya menemui anak itu ketika sedang sibuk di kantornya di New
York, tapi anak itu tak lagi tahu nama kampong nelayan di tanah
Minang dimana ia dibesarkan dalam kemiskinan. Terakhir ibu itu
diusir oleh sekretaris anak itu di suatu pasar bursa di London.8
Yang terjadi selanjutnya layaknya seperti kisah Malin Kundang,
seorang anak durhaka yang tidak mengakui ibunya ketika ia telah sukses,
namun berbeda dengan Arifin yang dalam naskahnya ini, ia mencoba untuk
membuat sebuah perbedaan. Perbedaan itu terletak pada bagian akhir cerita
dari peristiwa Direktur Umum yang tidak mengakui ibunya. Jika dalam cerita
rakyat Malin Kundang sang anak yang dikutuk karena tidak mengakui ibunya,
maka dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer ini
justru sang ibulah yang dikutuk oleh anaknya.
Patung penemuan ini juga akan menemani patung-patung yang lain
koleksi umum nasional. Maka saya harap sumbangan saya sangat
berharga ini akan dapat diterima dengan bahagia oleh segenap warga
kota Saya sangat mencintai patung ini tapi saya juga ingin supaya
7 Ibid, h 26
8 Ibid, h 27
44
orang lain sempat menatap dan mencintainya juga. Sebab di balik
patung yang purba ini terekam rahasia dan riwayat manusia.9
Babak ketiga menjadi pentas bagi Sandek dan Oni. Pada babak ini,
tokoh Sandek dan Oni menjadi pesakitan bersama pasien lain yang berada di
rumah sakit. Tema yang hendak disampaikan oleh Arifin pada babak ketiga
ini mengenai bobroknya sistem rumah sakit. Hal ini semacam kritikan
terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia. Berbagai permasalahan yang
digambarkan dalam adegan di babak ketiga ini merupakan cerminan
pelayanan rumah sakit yang buruk yang sering terjadi di Indonesia, utamanya
persoalan administrasi. Masalah administrasi menjadi sorotan utama pada
babak ini.
DOKTER KEPALA : Dalam kuliah hari ini ingin sekali saya
bicarkan secara khusus segi-segi administrasi ini. Namun saya tidak
tertarik menguraikan kenapa bidang administrasi rumah sakit sebagai
suatu jurusan belum mendapat perhatian tetapi saya terutama ingin
menyadarkan bahwa tanpa disadari administrasi adalah kunci segala-
galanya. Kegagalan-kegagalan selama ini dalam segala bidang
ternyata disebabkan oleh penguasaan administrasi yang tidak
memadai.10
Masalah administrasi seolah menjadi kunci jika pasien ingin dirawat
secara baik oleh pihak rumah sakit. Bahkan sampai-sampai Arifin membuat
sindiran bagi rumah sakit yang begitu satir. Sindiran itu adalah pada adegan
ketika orang yang sudah mati di rumah sakit itu tidak diurus hanya karena
administrasinya belum selesai.
DOKTER KEPALA : Lho ini kan sudah mati.
DOKTER ASISTEN :Memang sudah, prof.
PERAWAT P :Sudah lama sekali kok.
DOKTER KEPALA :Kalau memang sudah lama kenapa mayat ini
masih diberi jata disini?
PERAWAT P :Itu kan hanya soal administrasi, prof.
9 Ibid, h 33
10 Ibid, h 43
45
DOKTER ASISTEN :Hanya soal administrasi, prof.
DOKTER KEPALA :Saya kira juga memang hanya soal
administrasi.11
Selain masalah administrasi, Arifin juga menyoroti masalah sikap
perawat terhadap pasien. Dalam dunia rumah sakit memang sudah tak lazim
lagi ditemukan sikap perawat yang terkesan sinis terhadap pasien rumah sakit.
Terkadang ketika pasien mengeluh kesakitan, justru perawat tidak peduli dan
malah membentaknya.
SEORANG PASIEN : Oh! Oh! Uh! Uh!
PERAWAT L : Saya peringatkan sekali lagi diam! Jangan cengeng!
Hargai dirimu sebagai manusia!.
SEORANG PASIEN : Saya tidak tahan. Saya tidak tahan. Rasanya
seperti sedang terbakar uluhati saya.
PERAWAT P : Itu biasa! Artinya kamu mau mati! Jadi jangan
rewel! Jangan cengeng! Tabah!
PERAWAT L : Memalukan! Kamu laki atau perempuan?
SEORANG PASIEN : Laki.
PERAWAT L : Lebih lagi memalukannya! Diam, nggak? Saya
kepret lho!12
Beberapa perlakuan perawat yang tidak mengenakkan terhadap pasien
beberapa kali ditunjukkan oleh Arifin dalam babak ketiga ini. Beberapa
perlakuan Dokter Kepala yang peduli terhadap tokoh Sandek dan Oni
hanyalah kamuflase belaka. Hal ini semakin menambah citra buruk rumah
sakit dalam pandangan masyarakat. Pada babak ini Arifin seolah ingin
menyampaikan kritik sosial dengan sindiran-sindiran halus yang ia tampilkan
pada setiap adegannya.
Pada babak keempat adalah peristiwa di mana Sandek dan Oni sedang
berada di rumah beradegan bersama kedua anaknya. Awal mulanya mereka
berdua sedang bercengkerama memikirkan masalah beban hidup yang mereka
tanggung utamanya oleh Sandek. Kemudian muncullah kedua anak mereka
11
Ibid, h 36 12
Ibid, h 41
46
menghampiri Sandek dan Oni. Layaknya anak kecil yang masih polos, mereka
begitu riang tanpa mengetahui permasalahan yang membelit kedua
orangtuanya. Oni berpesan pada kedua anaknya bahwa selagi bisa bermain
dan bersenang-senang maka lakukanlah, karena ketika mereka sudah beranjak
besar nanti, kehidupan akan benar-benar berubah seperti apa yang Oni dan
Sandek rasakan. Oni tidak mau kedua anaknya, saat ini ikut merasakan
penderitaan yang dirasakannya bersama Sandek.
ONI : kita di luar musim. Kita tidak punya musim. Apa bedanya ?
kalau ibu memilih suatu kata, hanyalah sekedar memberi tahu bahwa
kita masih hidup. Masih mencoba hidup. Mencoba memahami kata,
suatu kata. Sekarang main lagilah kalian diluar. Jangan terlalu jauh
tapi. Jangan terlalu lama tapi. Bagaimanapun udara diluar lebih bersih
daripada di dalam gubuk apek ini. Hiruplah udara sepuas-puas kalian
mumpung belum diperdagangkan. Bahkan oksigen terasa mulai
berkurang dan mahal.13
Tidak lupa Oni memberi peringatan kepada kedua anaknya agar
memanfaatkan waktu selagi masih bisa bermain, karena tidak lama lagi
mereka akan memasuki dunia yang lain dari sekarang dalam artian mereka
akan mulai memikul pula beban yang dirasakan Sandek dan Oni.
ONI : kalian juga begitu.lebih lagi barangkali. Nah, pergilah kalian.
Bermainlah selagi kalian masih bisa bermain. Tidak lama lagi kalian
akan memasuki dunia yang lain sama sekali. Segeralah. Bermainlah.14
Selain bertemakan tentang kondisi Sandek dan Oni, di babak keempat
ini Direktur Umum muncul kembali. Dia menemui Sandek ketika sedang
berada di ruang operasi. Sandek yang terbaring lemah di meja operasi
dihampiri oleh Direktur Umum. Direktur Umum merasa iba dengan kondisi
Sandek saat ini. Ia merasa kasihan dengan keadaan Sandek yang terbaring
lemah di meja operasi.
13
Ibid, h 60 14
Ibid
47
DIREKTUR UMUM : Saya tidak sedang memerlukan analisa saat ini.
Saya memerlukan orang ini bicara. Adalah tidak adil membiarkan
wajah orang ini terus-menerus memandang dengan penuh dakwaan
sementara mulutnya samasekali rapat seolah seluruh giginya menyatu.
Sorot matanya. Air-mukanya. Oh, rahasia apa yang dia simpan?15
Pada babak keempat ini ditutup dengan adegan di mana Sandek
dipaksa untuk menyebutkan identitas yang sebenarnya. Arifin hendak
menunjukkan bahwa di dunia ini semua berbicara tentang angka, semuanya
harus melibatkan angka, bahkan sampai manusia pun menggunakan angka
sebagai nomor pengenal.
2. Tokoh dan Penokohan
Dalam unsur intrinsik, tokoh dan penokohan merupakan dua hal
penting yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah cerita. Tokoh merupakan
pemeran dalam jalannya suatu cerita atau lakon. Tokoh memegang peranan
penting yang tidak bisa dianggap remeh. Tokoh dan penokohan merupakan
unsur penting dalam cerita fiksi. Hadirnya sebuah peristiwa dan konflik dalam
cerita fiksi dijalani oleh tokoh-tokoh dengan segala perwatakannya. Arifin
dalam Dalam Bayangan Tuhan melukiskan tokohnya secara jelas. Hal ini
terlihat melalui tindakan para tokoh serta pendeskripsian yang disampaikan
oleh pengarang melalui narasi dan dialog. Sebagai manusia yang memiliki
masalah serta problema kehidupan, tokoh yang dihadirkan pun berperan
dalam menghadirkan konflik serta alur bagi kehidupannya.
Gambaran tokoh tercermin lewat dialog dalam naskah lakon Dalam
Bayangan Tuhan karya Arifin C. Noer, tergambar tokoh beserta wataknya.
Tokoh biasanya ditandai dengan nama sedangkan penokohan atau karakter
biasanya ditandai dengan sikap dan watak. Dalam naskah drama Dalam
Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer, terdapat banyak tokoh yang terlibat
dalam jalannya cerita di antaranya, Sandek, Direktur Umum, Oni, Ibu Tua,
15
Ibid, 64
48
Sutradara, Dokter Kepala, Polisi, Satpam, Luki, Para Wartawan, Perawat,
Pasien-Pasien, yang mati, asisten dokter, anak Sandek, Sekretaris, dan
tetangga-tetangga. Dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan Atawa
Interogasi, tokoh yang menjadi peran utama adalah Sandek dan Direktur
Umum. Kedua tokoh ini pada babak pertama mengalami konfrontasi yang
menegangkan. Masing-masing memiliki keribadian dan watak yang
berbanding terbalik.
Berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita secara
keseluruhan, tokoh dibedakan ke dalam tokoh utama; tokoh utama yang
utama dan tokoh utama tambahan serta tokoh tambahan; tokoh tambahan
utama dan tokoh tambahan yang tambahan. Di bawah ini akan saya jelaskan
karakteristik dari masing-masing tokoh yang ada dalam naskah drama Dalam
Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer.
a. Sandek
Sandek adalah tokoh utama dalam lakon drama Dalam Bayangan
Tuhan Atawa Interogasi Karya Arifin C Noer. Dilihat dari awal
kemunculannya, Sandek termasuk tokoh utama yang utama. Hal ini karena
Sandek memiliki peranan vital untuk mengetahui tema apa yang terkandung
dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan ini. Sandek adalah seorang
buruh yang menuntut keadilan di perusahaan yang dipimpin oleh seorang
tokoh yang bernama Direktur Umum. Di awal babak, Sandek menjelaskan
terlebih dahulu siapa dirinya dengan memperkenalkan dirinya kepada
penonton bagaimana dia menjalani lakon ini sebagai tokoh yang memerankan
Sandek. Tokoh Sandek merupakan representasi dari seorang pemimpin buruh
yang mencoba untuk menyuarakan keluh kesah yang dialami oleh rekan-rekan
buruhnya.
Yang paling menyedihkan dalam lakon sandiwara ini adalah
kenyataan bahwa SANDEK, tokoh utama sandiwara ini bukanlah
tokoh yang riil. Sebagai tokoh “fiktif” tentu saja ia memiliki beberapa
49
kelemahan dasar, seperti misalnya segi-segi historisnya. Bahkan
kelahiran SANDEK boleh dikatakan sebagai dipaksakan, seperti
sebuah revolusi. Karena itu pada posisinya yang menurut beberapa
kalangan sebagai tidak alami SANDEK telah melakukan
penyimpangan hukum kejadian, dalam hal ini adalah menyimpangkan
arah sejarah bangsa ini, dan kedua sekaligus ini berarti memberikan
satu cirri tambahan baru pada pola kepribadian bangsa ini.16
Seolah ingin menegaskan posisinya yang tidak menguntungkan dalam
menjalani peran ini, Sandek kembali menekankan kepada penonton tentang
perannya itu dalam menghadapi perdebatan dengan tokoh Direktur Umum.
Para penonton yang terhormat, sebentar lagi Sandek yang saya
mainkan dalam keadaan tanpa pegangan dan posisi yang labil, malah
bisa dikatakan tidak konstan, sebagai layaknya sesuatu yang berada
pada tingkat prosessing – sebentar lagi akan dihadapkan kepada
Direktur Umum dari manajemen pabrik tempat Sandek bekerja
sebagai buruh.17
Ketika debat sudah dimulai dan suasana mulai memanas, Sandek
berupaya untuk memancing emosi Direktur Umum dengan mengungkit segala
harta kekayaannya. Segala apa yang dimiliki oleh Direktur Umum disebutkan
oleh Sandek. Sandek mencoba untuk menempatkan Direktur Umum sebagai
orang yang kejam karena telah merampas jatah makan bayi-bayi dalam satu
generasi.
Paling sedikit semua orang pasti akan mampu menaksir harga pakaian
dan sepatu serta perlengkapan lainnya seperti arloji cincin dan
sebagainya. Satu langkah tokoh ini lebih berharga dari beasiswa untuk
dua pemuda di negeri ini. Seorang tukang sol sepatu yang langkahnya
lebih banyak tidak akan mampu menghitung biaya yang dihabiskan
tokoh ini sehari semalam minus makan malamnya disebuah restaurant
termewah dari sebuah hotel termewah di negeri ini. Begitu mahal
biaya hidup tokoh ini sehingga secara kasar bisa didakwa bahwa ia
telah merampas jatah makan bayi-bayi yang kelaparan di lorong-
lorong kota diseluruh bumi ini pada satu generasi. Maaf kalau
sentimen sosial ini tidak bisa saya tahankan sebelum waktunya.18
16
Ibid, h 6 17
Ibid 18
Ibid, h 7
50
Pada awal perdebatan, Sandek pandai dalam memainkan emosi
Direktur Umum. Ketika Direktur Umum merasa keberatan dengan apa yang
dilontarkan oleh Sandek, maka Sandek berusaha menuruti perkataan Direktur
Umum, akan tetapi justru Sandek kemudian memancing Direktur Umum
kembali dengan mengungkit masalah biaya dari furnitur yang ada dalam
ruangan Direktur Umum
Baik, akan saya katakan saja secara singkat kalau begitu. Para hadirin,
ruang dimana akan dihadapkan Sandek adalah ruang kerja Direktur
Umum. Harga bangunan tuang itu lebih mahal daripada sepuluh rumah
murah di Depok. Luasnya….19
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Sandek pandai memainkan
emosi. Dia mampu membuat Direktur Umum memotong kalimatnya sebelum
Sandek menyelesaikan perkataannya.
Pada bagian selanjutnya, Sandek mengalami perubahan sifat yang
berbanding terbalik dari sebelumnya. Jika sebelumnya Sandek terkesan
menantang Direktur Umum, maka yang terjadi selanjutnya adalah Sandek
begitu ketakutan ketika Direktur Umum mulai mengeluarkan argumennya.
Tak dapat dipungkiri memang dalam lakon sandiwara ini, kekuatan utama
Direktur Umum adalah kata-kata dan logika seperti dalam petikan naskah
berikut ini.
Lakon ini hanya akan memberikan kesempatan kepada kita untuk
berbicara dan bukan untuk yang lainnya. Kita akan adu kata-kata adu
logika. Adalah tidak adil kalau kamu mempengaruhi sentimen
penonton terlebih dahulu sebelum mereka mengetahui duduk
persoalannya.20
Dengan kelihaian yang dimiliki oleh Direktur Umum dalam menyusun
kalimat dan kata-kata serta pandai menggunakan logika, Sandek pun
19
Ibid, h 8 20
Ibid
51
mengakui keunggulan yang dimiliki oleh lawan bicaranya tersebut. Sandek
yang sejatinya mewakili barisan para buruh untuk melancarkan aksi demo
terhadap bosnya yaitu Direktur Umum kini tertunduk patuh atas apa saja yang
diucapkan oleh tokoh Direktur Umum.
Pada halaman delapan, tokoh Sandek secara sempurna berubah
menjadi penakut, sebagaimana seorang buruh ketika berbicara dengan
atasannya, apalagi yang ia ajak bicara adalah seorang pemilik pabrik, orang
nomor satu di perusahannya. Tampaklah Sandek kikuk bahkan terbata-bata
dalam menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari Direktur Umum.
SANDEK :Iy . . . ya. Maaf. Saya tidak mengerti apa yang bapak
maksudkan.21
Bahkan Sandek terkesan lugu ketika menjawab pertanyaan dari Direktur
Umum. Pertanyaan-pertanyaan dasar yang ditanyakan oleh Direktur Umum
terkadang dia tidak bisa menjawabnya.
DIREKTUR UMUM : Saudara jujur sekali. Itulah yang membuat
saya menaruh hormat dan mendorong saya mengadakan pertemuan ini.
SANDEK : Saya juga masih tidak faham apa yang bapak katakan.
Maafkan saya.
DIREKTUR UMUM : Kalau kata-kata belum cukup mampu berkata
bagaimana kalau kita makan dulu?
SANDEK : Sekali lagi saya harus minta maaf karena saya juga
masih belum mengerti.22
Pada bagian ini Sandek cukup sempurna dalam menampilkan sikap polosnya.
Terlihat dari jawaban-jawaban yang dilontarkannya ketika dia diajak makan
oleh Direktur Umum di ruang kerja Direktur Umum.
SANDEK : Saya tidak pernah tahu mengenai waktu. Saya tidak
pernah memperdulikannya atau boleh jadi waktu tidak pernah
memperdulikan saya. Yang pasti saya lapar.23
21
Ibid h 8 22
Ibid h 13 23
Ibid
52
Pada babak ketiga ketika berada di rumah sakit bersama istrinya yaitu
Oni, Sandek berubah menjadi orang yang pandai beretorika. Di hadapan
orang-orang yang ada di rumah sakit, Sandek berbicara mengenai posisinya,
apa yang menjadi kegundahan di dalam hatinya.
SANDEK : Ada semacam kebodohan dalam tindakan Sandek, tetapi
tentu saja Sandek tidak pernah menyadarinya. Apa-apa yang
dilakukannya didorong oleh nalurinya yang sehat dan sama sekali ia
tidak sedang berfilsafat. Segi ini yang barangkali sulit difahami orang.
Setidak-tidaknya bayangannya sendiri yang direktur itu tidak dapat
menangkap latar belakang ini. Ketika tiba-tiba Sandek menjadi bisu,
sebenarnya ia sedang menyempurnakan sikap-skapnya sebagai Sandek
dengan hati nuraninya. Sejak itu begitu banyak kata menyerbu
tenggorokannya, dari perut, jantung dan otak berjuta kata berebut
keluar pada saat yag bersamaan. Semuanya tersekap terkunci, saling
menyekap saling mengunci, sehingga semuanya menjelma menjadi
sunyi.
Pengakuan Sandek ini tentu saja sedikit membuka bagaimana Arifin
mencoba untuk memosisikan Sandek sebagai orang yang ingin menyuarakan
kebenaran baginya dan teman-teman buruhnya. Sandek oleh Arifin dibuat
sebagai lawan tanding yang tidak sepadan bagi Direktur Umum, layaknya
david versus goliath. Rakyat biasa melawan Direktur pabrik. Persoalannya
disini adalah Sandek tidak bermodalkan apa-apa dalam menyauarakan
aspirasinya di hadapan Direktur Umum. Sedangkan Direktur Umum yang
berpengalaman dalam beradu argumen tentulah bukan perkara sulit dalam
menghadapi gelombang protes yang hendak dilancarkan oleh Sandek.
SANDEK : Apa komentar Sandek tentang harapan? Ia diam saja. Ia
tidak pernah membaca buku-buku sejarah. Tapi ia diam-diam
menyimpan rahasia sejarah. Selain itu ia juga menyimpan dengan baik
potret orang tua dan kakek buyutnya dalam kenangannya. Dalam
warna hitam-putih ia masih dapat membayangkan orang-orang
53
sederhana yang selalu sengsara itu, jelas tercacar pada airmuka mereka
yang selalu merahasiakan sesuatu, airmuka yang rata!24
Kutipan dialog Sandek diatas mempertegas bahwa Sandek tidak
mempunyai harapan untuk melawan birokrasi yang diciptakan oleh sebagian
oknum. Dialog itu terjadi ketika Sandek sedang berada di rumah sakit, namun
petugas rumah sakit seperti mempersulit pasien yang hendak dirawat seperti
masalah administrasi yang seolah menjadi permasalahan utama.
Pada babak keempat di mana pada awal pembuka pentas, Sandek
sedang berada bersama Oni di dalam rumahnya. Adegannya adalah Oni
sedang mengeroki Sandek yang sedang jatuh sakit. Sambil mengeroki
suaminya, Oni mengajak Sandek untuk berbincang. Sandek nampak frustasi
dengan keadaan yang dia alami saat itu. Dari ucapannya yang menjawab
pertanyaan dari Oni bahwa dia telah kehilangan bahasa, kata-kata, dan bahkan
suaranya seperti pada kutipan berikut ini.
SANDEK : Bukan Sandek tidak mau berbagi cerita atau berbagi
pengalaman, tapi sandek tidak mampu. Ia telah kehilangan bahasa,
kata-kata dan bahkan kehilangan suaranya.25
Ada yang menarik pada babak keempat ini. Arifin C Noer seperti
hendak melakukan kritik terhadap beberapa orang, namun dengan melalui
perantara tokoh Sandek. Kritik pertama ia sampaikan untuk aktor dan
sastrawan. Berikut ini petikannya
SANDEK : Sastrawan yang mana? Aktor yang mana? Sandek
menganggap mereka, juga pengarang sandiwara ini, terlalu kebarat-
baratan dan sulit menangkap nuansa persoalan yang sedang
digelutinya. Selain itu pada zaman ini sangat sulit menemukan
seniman yang tidak genit. Mereka narsis semuanya26
.
24
Ibid h 45 25
Ibid h 61 26
Ibid
54
Kritikan kedua ia tujukan kepada ahli sosial. Menurut tetangganya
yang bertanya pada Sandek, bahwa ahli sosial dapat meminjamkan alat-alat
dan bahasanya. jadi tetangganya tersebut menganjurkan kepada Sandek untuk
meminjam alat-alat dan bahasanya kepada kaum elit tersebut.
TETANGGA II: Kalau begitu apakah Sandek tidak dapat berhubungan
dengan ahli-ahli ilmu sosial? Bukan tidak mungkin kelompok elit ini
bersedia meminjamkan alat-alat dan bahasanya.
SANDEK : Sebagaimana halnya para seniman, juga para ilmuwan
tidak jelas orientasinya dan terperangkap ke dalam strata sosialnya
sendiri. mereka juga tidak lebih dari kaum orientalis yang sering
tersesat di hutan-hutan katulistiwa. Sandek sangsi apakah mereka
mampu memahami pengalaman-pengalamannya dan mengutarakannya
menjadi pengertian-pengertian.27
Kritikan ketiga ia tujukan kepada pers. Pada bagian ini seolah Sandek
sedang mengkritik Dewan Kesenian Jakarta. Pada saat itu memang DKJ
kesulitan dalam membayar honor para pemainnya.
SANDEK : Pers yang mana?pers milik siapa?selain itu saat ini pers
sedang sibuk sekali oleh persoalannya sendiri. paling sedikit pers kini
sedang kepusingan akibat masalah pelik manajemennya karena
personilnya kelewat banyak.
Seniman, Ilmuwan, pers semakin sibuk dari hari ke hari oleh persoalan
mereka sendiri. yang satu sibuk dengan persoalan estetika, yang lain
sibuk dengan persoalan metode dan fungsi.28
Kritikan keempat ia tujukan kepada para politikus.
SANDEK : Siapa itu? Apa itu?Tanya Sandek. Sandek tidak mengenal
mereka. Karena itu Sandek sangsi apakah mereka juga mengenal
Sandek.29
Kritikan terakhir ia alamatkan untuk kaum agamis. Menurutnya, saat ini kaum
agamis kesibukannya berlipat ganda karena petualangan ilmu dan teknologi.
27
Ibid h 62 28
Ibid 29
Ibid
55
SANDEK : Sandek tidak mau mengganggu mereka. Petualangan ilmu
dan teknologi telah menyebabkan kesibukan mereka jadi berlipat
ganda. Salah satu persoalan dasar mereka adalah juga bahasa. (Mereka
saat ini sedang mencoba memahami kembali secara lebih baik kalimat
demi kalimat, kata demi kata, huruf demi huruf yang terkandung dalam
setiap firman Tuhan).30
Setelah Sandek menyampaikan semua kritikannya, ia menunjukkan
sisi religiusnya. Sisi religius itu ia tunjukkan ketika salah satu tetangganya
berkata bahwa tidak ada harapan lagi bagi Sandek untuk berbicara.
TETANGGA I: Kalau begitu berarti tak ada harapan sama sekali
Sandek akan bicara.
SANDEK : Ada. Sandek akan mencoba meminjam bahasa dan suara
Tuhan.31
Kalimat ini menunjukkan bahwa Sandek adalah sosok yang religius. Ia
mengakui bahwa harapan terakhirnya ialah tuhan, karena ia tahu bahwa suara
tuhan adalah suara kebenaran yang tidak mungkin salah. Akhirnya Sandek
menyerahkan semuanya kepada tuhan dan berpasrah diri terhadap tuhan.
Dari pembahasan tokoh Sandek, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
tokoh Sandek adalah tokoh dinamis karena Sandek mengalami perubahan
karakter di dalam naskah ini. Selain itu dilihat dari kemunculannya, Sandek
termasuk tokoh utama yang utama karena perannya yang vital di dalam
jalannya cerita.
b. Direktur Umum
Direktur Umum adalah seteru abadi dalam naskah Dalam Bayangan
Tuhan karya Arifin C Noer . Tokoh Direktur Umum dilukiskan sebagai sosok
yang bergelimang harta, necis, idealis, dan penuh dengan kemewahan. Sosok
direktur ini merupakan kebalikan dari Sandek. Arifin seperti membenturkan
kedua tokoh ini untuk menciptakan konflik-konflik horizontal yang
menyebabkan terjadinya permasalahan yang menarik dalam naskah ini.
30
Ibid h 63 31
Ibid
56
Direktur Umum memiliki sifat yang keras dalam menjalani kehidupan. Dia
terkenal memiliki kemauan yang kuat, ambisius dan tegas. Sosok Direktur
Umum yang idealis tercermin dari jawabannya menanggapi komentar Sandek.
Biaya saya mahal karena saya telah menyerahkan telah membaktikan
yang paling mahal milik saya, yaitu akal budi dan daya cipta dan juga
keringat! Saya tidak semata-mata mempertaruhkan daging saya tapi
seluruh kekayaan saya. Siapa yang mempertaruhkan sedikit modal ia
hanya akan mendapatkan sedikit keuntungan.32
Direktur Umum merasa tersulut karena hal tersebut sangat sensitif
baginya, Seolah-olah Sandek begitu antipati terhadap kesuksesan yang
dimiliki Direktur Umum. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, Direktur
Umum sebenarnya tidak merasa benar-benar tersulut oleh kata-kata Sandek.
Ia hanya berusaha untuk menutupi segala kemewahannya yang hendak
dipertontonkan oleh Sandek. Direktur Umum tahu bahwa masyarakat awam
sangat antipati terhadap kemewahan yang dimiliki oleh pejabat. Maka dari itu,
Direktur Umum tidak mau jika Sandek menunjukkan slide yang Direktur
Umum tahu bahwa itu akan menyudutkannya.
DIREKTUR UMUM: Lakon ini hanya akan memberikan kesempatan
kepada kita untuk berbicara dan bukan untuk yang lainnya. Kita akan
adu kata-kata adu logika. Adalah tidak adil kalau kamu mempengaruhi
sentimen penonton terlebih dahulu sebelum mereka mengetahui duduk
persoalannya.33
Direktur Umum berusaha agar ia dan Sandek hanya akan beradu
Argumen, adu kata-kata dan adu logika, sebab jika Sandek memunculkan
slide yang telah ia siapkan, bisa jadi penonton secara psikologis akan berada
di belakang Sandek yang mewakili orang miskin. Sandek berusaha
menampilkan seolah-olah ini adalah pertarungan antara si miskin vs si kaya,
sedangkan Direktur Umum tentu tidak mau hal itu terjadi. Sebab jika itu
32
Ibid h 7 33
Ibid h 8
57
terjadi, maka Sandek mendapat dukungan moril dari masyarakat awam yang
merasa senasib dengan Sandek mewakili kaum si miskin.
SANDEK: Baik, akan saya katakan saja secara singkat kalau begitu. Para
hadirin, ruang dimana akan dihadapkan Sandek adalah ruang
kerja Direktur Umum. Harga bangunan tuang itu lebih mahal
daripada sepuluh rumah murah di Depok. Luasnya….34
Ketika Sandek lagi-lagi berusaha menyerang Direktur Umum dengan
membahas ruang kerja Direktur Umum yang mewah, Direktur Umum pun
langsung mengelaknya.
DIREKTUR UMUM: Kamu betul-betul sentiment sekali. Ingat. Kita
belum memulai adegan itu.35
Dengan kemahirannya memainkan kata-kata serta kecerdasaannya
dalam mengelak segala tuduhan Sandek, Direktur Umum pun berhasil
membalikkan keadaan. Ketika Sandek tidak mengungkit kemewahannya lagi,
disitulah Direktur Umum merasa memiliki celah untuk melakukan serangan
balik. Sentimentil yang ditunjukkan oleh Sandek lebih mengarah agar
Direktur Umum sebagai pimpinan menanggapi dengan Sandek dengan sinis.
Karena jika hal ini terjadi, Sandek berharap bosnya tersebut membludak
amarahnya hingga melakukan kesalahan yang bisa ia manfaatkan.
DIREKTUR UMUM :Persoalan keadilan bukan semata-mata
persoalan rakyat jelata, anak muda..., tetapi persoalan umum, dan
sekali lagi saya ingatkan, bahwa adegan sandiwara ini belum dimulai,
karenanya tahan diri dulu, tinggalkan dulu pakaian rombeng
kerakyatanmu.36
Strategi Direktur Umum untuk melawan Sandek pun dimulai. Hal ini bisa
dilihat dari petikan berikut ini.
DIREKTUR UMUM :Persoalan pokok dalam adegan pertama
sandiwara ini adalah Direktur Umum harus memberikan saran-saran
34
Ibid 35
Ibid 36
Ibid h 9
58
atau persuasi kepada Sandek yang sedang memimpin aksi pemogokan
buruh pabrik.37
Dalam petikan dialog di atas, secara tersirat Direktur Umum mulai
melakukan psywar terhadap Sandek. Direktur Umum mencoba untuk
menyerang psikologi Sandek seolah-olah Sandek salah dan harus diberikan
saran-saran atau persuasi. Ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa
Sandek melakukan kesalahan karena memimpin aksi pemogokan buruh.
DIREKTUR UMUM :Mula-mula sekali Direktur Umum akan
menyampaikan saran-saran pribadinya secara simpatik yang
dibungkus tawaran-tawaran berupa goodwill, kedudukan dan uang.
Kalau ternyata nanti gagal kemudian ia akan mengajukan kepada
Sandek sederetan peraturan-peraturan pabrik, Undang-Undang dan
lain-lain. Nah, saya kira siapapun pasti akan menilai bahwa langkah-
langkah ini adalah sangat bijaksana sekali.38
Pada dialog di atas, mulai terlihat ambisi Direktur Umum untuk
menjegal Sandek dengan sederet strategi yang disiapkah oleh Direktur Umum.
Strategi tersebut digunakan agar Sandek tidak bisa melawannya. Tawaran-
tawaran yang bersifat niat baik, kedudukan dan uang. Secara pemikiran
umum, hal ini sulit ditolak untuk kalangan buruh seperti Sandek. Kecerdasan
Direktur Umum seperti tiada habisnya. Sandek seperti tidak diberi ruang sama
sekali. Jika Sandek masih bersikukuh tidak mau menerima tawaran itu, maka
peraturan-peraturan pabrik dan Undang-Undang yang akan berbicara. Artinya
Sandek seperti memakan buah simalakama, dia tidak bisa menghindar dari
pilihan.
DIREKTUR UMUM :Masyarakat itu suatu kawanan kerbau yang
kadangkala tidak tahu apa-apa dan mereka masih mengidap romantika
sejarah bahwa kebenaran selalu berpakaian compang-camping atau
sederhana seperti nabi-nabi dahulu kala. Camkan baik-baik kata-kata
37
Ibid 38
Ibid h 10
59
saya: illusi kuno itu! Zaman sudah berubah dengan seluruh perangkat
alat-alat dan kaidah-kaidahnya.39
Kutipan teks di atas menunjukkan dua sifat sekaligus yang ada pada
diri Direktur Umum yaitu arogan dan aktual. Sikapnya yang arogan
ditunjukkan ketika Direktur Umum menyebut masyarakat sebagai suatu
kawanan kerbau karena pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah
bahwa orang yang benar selalu datang dari orang yang teraniaya. Hal ini
digambarkan oleh Direktur Umum dengan berpakaian compang-camping.
Yang kedua adalah aktual. Aktual dalam hal ini adalah Direktur Umum
menyadari bahwasanya zaman semakin maju pasti mengalami perubahan.
Perubahan seperti itulah yang harus disadari oleh setiap orang, sehingga
orang-orang tidak tergerus oleh perubahan zaman. Hal ini menuntut manusia
untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan baik agar dapat bersaing
dengan orang lain.
DIREKTUR UMUM: Sudah tentu saya tidak hendak menganjurkan
supaya manusia dilepaskan dari kehidupan emosionalnya, tapi saya
berani mengatakan bahwa zaman yang penuh dengan emosi-emosian
sudah berlalu. Zaman yang kini sedang kita hidupi adalah zaman
fikiran. Dalam suasana zaman inilah saya harap pertukaran fikiran
antara saya dengan Sandek atau dengan siapa saja bisa berjalan. Saya
tidak punya senjata kecuali fikiran dan kata-kata.40
Pada kutipan ini seolah Arifin menegaskan bahwa tokoh Direktur
Umum yang dia munculkan adalah tokoh yang idealis. Kekuatan Direktur
umum pada setiap bagiannya adalah bermain dengan kata-kata dalam artian
selalu pandai dalam berbicara baik ketika debat dengan Sandek maupun
ketika berdialog dengan tokoh lain. Hal ini bisa dilihat dari bagian terakhir
dalam kutipan di atas bahwa Direktur Umum tidak punya senjata lain kecuali
fikiran dan kata-kata. Selain itu ada makna yang terkandung dalam salah satu
39
Ibid h 11 40
Ibid h 12
60
kalimat yang dilontarkan oleh Direktur Umum. “zaman yang kini sedang kita
hidupi adalah zaman fikiran”. Perlu diketahui bahwa naskah Dalam
Bayangan Tuhan ini ditulis oleh Arifin C Noer pada tahun 1984. Pada saat itu,
presiden Soeharto sedang gencar-gencarnya melakukan pembersihan terhadap
para pelaku kejahatan. Operasi ini disebut petrus (penembakan misterius).
Petrus adalah suatu operasi rahasia dari pemerintahan Soeharto pada tahun
1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan
terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman
masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan
tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus”, penembak misterius.
Pada tahun 1984 operasi petrus masih terjadi dan banyak orang yang menjadi
korban. Hal ini seolah menegaskan bahwa pada waktu itu presiden Soeharto
hendak menegaskan pada khalayak bahwasanya zaman atau masa yang
sedang ia pimpin harus berganti menjadi zaman fikiran, zaman bagi orang-
orang yang berfikir dengan bebas, tanpa ada ancaman sedikitpun. Mungkin
inilah yang hendak disampaikan oleh Arifin dalam naskahnya.
DIREKTUR UMUM : Aah, bubur apa lagi ini? Istri saya memang
luar biasa. Cintanya kepada saya ia isyaratkan ke mana-mana, sampai-
sampai bubur ini pun seperti bunga saja laiknya. Setiap kali saya
merasa sedang menghirup bau harum cinta kasihnya.41
Arifin memang dikenal sebagai sosok yang romantis. Sosok yang tau
bagaimana mengungkapkan rasa cintanya kepada orang yang dia cintai.
Tulisannya yang pertama berupa sajak, yang menggambarkan curahan
perasaan cintanya kepada seorang gadis Nurul Aini (1963), yang kemudian
ternyata menjadi istrinya. Ketika menikah dengan istri pertamanya yaitu
Nurul Aini pada tahun 1967, Arifin menghadiahkan sebuah sajak yang
berjudul Prita Istri Kita yang dijadikan sebagai mas kawin. Demikian pula
41
Ibid h 15
61
kepada istri keduanya yaitu Jajang Pamoentjak, Arifin membuat buku
kumpulan puisi berjudul Selamat Pagi, Jajang (1979).
DIREKTUR UMUM :Kami bukan saja sama. Tapi yang paling
penting kami sama-sama mempunyai keluarga
yang kami cintai. Juga kami mempunyai cita-
cita yang sama, yaitu membahagiakan keluarga
kami.42
Dialog di atas adalah ketika Direktur Umum dan Sandek sedang
mengalami serangan jantung di ruang kerja Direktur Umum. Satu sifat yang
digambarkan oleh Direktur Umum dalam dialog di atas adalah sosok yang
begitu mencintai keluarganya. Hal ini merupakan representasi dari Arifin
yang sejatinya memang sangat menyayangi keluarganya. Bagi Arifin,
keluarga adalah sumber kekuatannya. Tak dapat dipungkiri memang keluarga
menjadi penyemangat utama Arifin di kala ia terus dihujat oleh berbagai
kalangan akibat film kontroversial buatan dirinya yang bertemakan tentang
penghianatan G 30s/PKI.
DIREKTUR UMUM :Keagungan manusia! Terpujilah manusia!
Putra-putra dewa yang sejati! Tuhan sendiri
mengakui kedudukan manusia yang luar biasa
ini. Para malaikat yang adalah helai-helai
cahaya itu juga bersujud. Hari ini adalah hari
kemenangan manusia.43
Dalam kutipan dialog di atas, ada sisi religiusitas yang tersirat. Orang
awam mungkin melihat dialog di atas sebagai sebuah sikap yang berlebihan
karena terlalu mengagung agungkan manusia. Namun ada sisi religiusitas
yang dapat diungkap. Allah SWT memang menciptakan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaannya yang lain.
Bahkan kedudukan manusia pun berada di atas malaikat yang notabene adalah
makhluk ciptaan Allah yang paling suci. Hal ini bisa dilihat dari kutipan surat
Al Baqarah ayat 30 yang artinya:
42
Ibid h 20 43
Ibid h 25
62
Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Q.S.
Al Baqarah:30]
Penulis menelusuri apa maksud dari dialog ini, akhirnya penulis
menemukan satu fakta bahwa Promotheus adalah sebuah film tentang asal
muasal penciptaan manusia. Film yang dirilis pada tahun 2012 ini bercerita
tentang sekelompok peneliti yang hendak mencari tau bagaimana awalnya
manusia bisa tercipta.
DIREKTUR UMUM :Dengan ini juga, semua saya undang untuk
hadir nanti malam menyaksikan pementasan
drama dalam rangka pesta pembukaan pabrik
ini, sebuah lakon import yang istimewa, yaitu
Promotheus!44
Ada benang merah yang dapat ditarik antara film Promotheus dengan
naskah Dalam Bayangan Tuhan ini. Secara garis besar, ini merupakan bentuk
penguatan karakter Direktur Umum yang begitu mendewakan manusia.
Langkah Direktur Umum mengajak para hadirin untuk menonton
pertunjukkan Promotheus seolah ingin memberitahu pada khalayak asal
muasal manusia yang hebat itu seperti yang digambarkan dalam film itu.
DIREKTUR UMUM : Saya menetas dari tabung. Ibu saya adalah
laboratorium. Saya adalah hasil pengumpulan
fikiran-fikiran murni. Saya adalah manusia
pertama !45
Dalam petikan dialog di atas menunjukkan betapa angkuhnya Direktur
Umum yang tidak mau mengakui ibunya sendiri. Seolah menafikkan peran
ibunya, ia lebih merasa bahwa hidupnya benar-benar terasa karena dia adalah
44
Ibid 45
Ibid h 30
63
hasil dari pikiran-pikiran murni. Manusia yang begitu menuhankan
pemikirannya yang dianggapnya brilian dan memiliki andil besar atas
kehidupan manusia.
Direktur Umum : Tidak lama lagi perdagangan antar galaksi
memulai sejarahnya sementara kita tak lagi memerlukan gerak karena
semua jarak akan lenyap.46
Melihat dialog Direktur Umum ini, Arifin C Noer seolah mengetahui
apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, dan memang masa itu
sudah terjadi pada saat ini. Kita sudah melihat bagaimana jarak seperti sudah
lenyap. Kita bisa melihat dan mengetahui peristiwa di berbagai belahan dunia
tanpa harus menuju tempat tersebut dengan kecanggihan teknologi.
Direktur Umum : Terus terang saya sama sekali tidak sedang
memikirkan nasib dan perkara Sandek. Ia hanyalah salah satu angka
di antara angka-angka dalam pembukuan perusahaan. Menurut
laporan, sandek sekarang kembali menjadi pengangguran. Tempatnya
sudah direbut oleh seorang pekerja yang lain setelah lolos dari
persaingan hebat calon-calon pekerja yang fantastik jumlahnya. Dia
terlalu polos. Dan ia bodoh sekali karena tidak menyadari kedudukan
yang lemah. Di tengah arus tenaga kerja yang membanjir suaranya tak
akan didengar siapa-siapa.47
Dialog Direktur Umum ini menunjukkan bahwa sebenarnya dia
memiliki sisi perhatian dan peduli kepada Sandek. Direktur seperti ingin
memberitahu Sandek, berbicara dengan Sandek bahwa di zaman sekarang ini
jangan menjadi orang yang terlalu polos dan bodoh, karna hukum alam mulai
bermain. Direktur Umum pun seperti ingin memberitahu bahwa kehidupan
memanglah keras. Hal itu terbukti dari posisi Sandek yang sudah tergantikan
oleh pekerja yang lain.
c. Sutradara
46
Ibid h 32 47
Ibid h 34
64
Sosok sutradara yang dimainkan oleh Arifin C Noer adalah sosok yang
lebih sering menjadi prolog dalam setiap babaknya. Sutradara pada babak
pertama berperan dalam menjelaskan situasi yang akan dimainkan oleh para
pemain, memberi himbauan-himbauan kepada para penonton selayaknya
sutradara dalam mengatur segala tetek bengek pementasan. Namun bedanya,
peran sutradara kali ini benar-benar ditampilkan di dalam naskah, bukan di
balik layar seperti pada umumnya. Sebuah keunikan tersendiri yang dimiliki
oleh Arifin C Noer. Tentu saja Arifin tidak sembarang dalam menghadirkan
sosok Sutradara ini. Dalam kenyataannya di lapangan memang sutradara ini
berperan layaknya Sutradara sungguhan yang sering berada di balik layar.
Arifin seperti hendak memberi tahu kepada para penonton bahwa seperti
inilah peranan dan tugas Sutradara di belakang layar yang jarang diketahui
oleh banyak orang. Penonton jadi mengetahui seluk beluk yang dilakukan
oleh Sutradara dalam sebuah pementasan.
SUTRADARA:Sebagai sutradara saya bertanggung jawab akan
kelancaran dan keberesan pementasan ini, setidak-tidaknya secara
fisik. Jadi saudara-saudara sebelum sandiwara ini saya mulai saya
minta dengan sangat tapi hormat agar fihak keamanan gedung teater
ini mengamankan terlebih dahulu tempat ini dan sekitarnya. Saya
termasuk di antara orang-orang yang percaya bahwa kebenaran pada
dasarnya tidak selaras dengan kekerasan. Barangkali ini bentuk lain
dari kepengecutan tapi saya tetap beranggapan bahwa kekerasan atau
cara-cara kekerasan adalah sisa dari sifat kebinatangan manusia dari
masa silam kita yang disebut oleh ahli-ahli sejarah sebagai masa
prasejarah.48
Pada petikan dialog di atas, sebagaimana peran sutradara dalam
sebuah pementasan, yakni bertanggung jawab secara penuh atas pementasan
yang akan berlangsung, terutama dalam segi keamanan. Tetapi ada yang patut
diperhatikan pada kutipan dialog tersebut yaitu ketika sutradara mengatakan
bahwa kebenaran pada dasarnya tidak selaras dengan kekerasan. Arifin
48
Ibid h 2
65
hendak menyampaikan bahwa untuk memperjuangkan kebenaran, tidaklah
dibenarkan menggunakan kekerasan. Jika kita analogikan dengan situasi
sekarang, hal ini bisa kita lihat pada sepak terjang dari salah satu ormas di
Indonesia yaitu Front Pembela Islam (FPI). FPI dalam setiap aksinya identik
dengan kekerasan, karena mereka berpegang pada nahi munkar, memberantas
kemungkaran. FPI keluar dari “zona aman” dalam menjalankan syariat
agamanya. Secara syariat Islam bernahi munkar memang diperbolehkan. Dan
di sinilah perbedaannya dengan Arifin. Arifin adalah sosok yang tidak
menyukai kekerasan dalam bentuk apapun walaupun itu untuk kebaikan.
Selagi masih bisa menggunakan cara yang lebih halus, maka itulah jalan yang
ia pilih. Ketidaksukaan Arifin pada cara-cara kekerasan diperkuat pada akhir
petikan dialog tersebut yang berbunyi “barangkali ini bentuk dari
kepengecutan tapi saya tetap beranggapan bahwa kekerasan atau cara-cara
kekerasan adalah sisa dari sifat kebinatangan manusia dari masa silam kita
yang disebut oleh ahli-ahli sejarah adalah masa prasejarah”.
SUTRADARA: Sengaja saya menyebutnya dengan istilah kerjasama
yang hangat, karena bentuk dan sifat kerjasama itu banyak ragamnya.
Ada kerjasama yang terpaksa, kerjasama yang diliputi ketakutan,
kerjasama yang berpola pemerasan dan lain-lainnya. Adapun
kehangatan berarti saling percaya dan saling percaya adalah benih dari
keamanan yang sejati.49
Kutipan di atas masih tidak terlepas dari kutipan sebelumnya yang
menjelaskan tentang sosok Arifin yang tidak menyukai kekerasan. Pada
kutipan ini juga, Arifin seperti ingin menjelaskan tentang berbagai macam
perasaan dalam terjalinnya suatu kerjasama. Namun jika diperhatikan lebih
detail lagi, yang Arifin sebutkan hanyalah bentuk kerjasama yang berkonotasi
negatif. Kerja sama terpaksa, kerja sama yang diliputi ketakutan, dan kerja
sama berpola pemerasan, ketiganya bersifat negatif. Pada bagian akhir
49
Ibid h 3
66
kutipan, Arifin seperti hendak menegaskan kembali bahwa dalam segala hal
tidak perlu melibatkan kekerasan sedikit pun.
SUTRADARA: Sambil lalu, kalau kebetulan ada di antara saudara-
saudara petugas kepolisian yang berpakaian preman atau petugas intel
atau lebih-lebih agen KGB atau CIA saya persilakan dengan sangat
tapi hormat supaya mencatatkan namanya di kantor manajer teater
ini.50
KGB adalah singkatan dari Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti,
sebuah badan intelijen Uni Soviet. Pada tahun 1980, seorang perwira TNI
angkatan laut berpangkat Letnan Kolonel ditangkap oleh Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) karena spionase. Dia ditangkap setelah jaringan
telepon di kediamannya disadap. Dalam percakapan melalui telepon, perwira
bernama letkol Susdaryanto diketahui bakal memberikan sebuah dokumen
rahasia mengenai pemetaan laut Indonesia kepada seorang agen intelijen Uni
Soviet bernama Alexander Pavlovich Fineko yang menyamar sebagai
perwakilan perusahaan penerbangan Aeroflot Indonesia.51
Menurut pandangan
penulis, Arifin sering mengaitkan naskahnya pada setiap kejadian yang terjadi
pada saat itu.
SUTRADARA: Pengarang lakon ini sendiri, sebenarnya, tidak hendak
mempertemukan ibu itu dengan Malin Kundang. Kuno katanya.
Biarlah, saya disebut kuno. Saya akan mencoba, menemui ibu tua itu
dan mengantarkan ke tempat anaknya, yang kini menjadi penguasa
dunia. Multinasionalis, nama samarannya. Nama kecilnya,
Descartes!52
Kisah Malin Kundang, seorang anak yang durhaka terhadap ibunya
berusaha diadaptasi oleh Arifin ke dalam naskah drama DBT ini. Kisahnya
pun hampir serupa, hanya berbeda akhir ceritanya saja. Pada petikan dialog di
atas, tokoh Sutradara mengatakan bahwa dia hendak mempertemukan si ibu
50
Ibid h 4 51
https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/mencari-para-penghianat-di-indonesia-bzny 52
Ibid
67
dengan Malin Kundang atau Direktur Umum, yang sekarang menjadi
penguasa dunia. Yang menarik adalah bagaimana disitu tokoh sutradara
menyebutkan nama Descartes. Descartes adalah seorang filsuf dan
matematikawan Perancis. Ia sering disebut sebagai bapak filsafat modern.53
Lantas apa kaitannya dengan tokoh Direktur Umum yang disebutkan oleh
tokoh Sutradara sebagai nama kecilnya? Penulis menemukan fakta bahwa ada
satu sisi kemiripan antara sosok bapak filsafat modern, Descartes dan tokoh
Direktur Umum yang terdapat pada naskah drama Dalam Bayangan Tuhan.
Descartes semasa mudanya dikenal sebagai sosok yang sedikit memiliki
teman. Dia lebih suka menyendiri dan mengasingkan dirinya di suatu tempat.
Sebenarnya kehidupannya tergolong mapan karena ayahnya seorang borjuis.
Tetapi Descartes tidak nyaman dengan kemewahan tersebut dan memilih
menjual warisan dari ayahnya itu. Apa yang dialami oleh Descartes hampir
mirip dengan yang dialami oleh Direktur Umum. Digambarkan sebagai sosok
yang bergelimang harta, namun tidak nyaman dengan kekayaannya itu. Di
tengah hartanya yang melimpah ruah, Direktur Umum merasa sedikit
memiliki teman sehingga ia merasa kesepian.
SUTRADARA: maaf. Saya mengganggu lagi. Pengarang sandiwara
ini suka belingsatan dan sama sekali tidak punya kemampuan
komposisi. Tidak sistimatik. Cilakaknya pada zaman porakporanda ini
setiap orang dengan gampang bisa melakukan rasionalisasi atas segala
hal, sehingga antara dosa dan kebajikan jadi kabur.54
Pada kutipan dialog di atas, sutradara menyinggung perihal masalah
kaburnya antara dosa dan kebajikan. Persoalan antara hitam dan putih, antara
baik dan buruk memang terkadang bisa dibolak-balikkan dengan mudahnya.
Di zaman sekarang ini di era yang super canggih, hal itu begitu terasa,
bagaimana orang yang salah dianggap benar dan orang yang benar dianggap
53
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rene_Descartes 54
Ibid h 51
68
salah. Dengan kekuatan sebuah media, opini masyarakat bisa dibentuk dengan
mudahnya karena obyektivitas dalam menyikapi suatu hal mulai hilang.
SUTRADARA: langsung saja turun dan langsung saja keluar. Dari
pada musti dilukiskan bagaimana mayat itu mati-matian
mempertahankan ranjangnya berebut dengan pasien yang akan datang
nanti lebih baik cara ini. Oya langsug juga ganti kostum dan juga ganti
rias bila perlu untuk peran yang lain. Maklum dia memainkan lebih
dari satu peran. Terpaksa, karena group sandiwara ini tidak mampu
membayar layak pemian-pemainnya. Anda-anda sendiri tahu bahwa
kedudukan kesenian macam beginian payah sekarang. (DKJ tidak
pernah menaikkan honornya. Tidak kretif!)55
Hal yang menarik dari kutipan di atas adalah bagaimana arifin
menyelipkan sebuah kritikan. Sebuah kritikan pedas dilontarkan oleh Arifin
yang ditujukan untuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dalam kutipan di atas,
Arifin menyampaikannya melalui tokoh Sutradara, bahwa Dewan Kesenian
Jakarta tidak pernah menaikkan honor para pemain teater.
SUTRADARA: Lihat, betapa komunikasi tidak berjalan. Ternyata
setiap hal menuntut pendekatan sendiri-sendiri. Tidak bisa memerintah
polisi dengan bahasa seni, tapi juga sebaliknya tidak bisa
memperlakukan setiap orang dengan gaya polisionil belaka. Coba.
Pasukan, bersi-ap!56
Jika kita cermati kutipan di atas, sesungguhnya kutipan tersebut berisi
kritikan halus. Sebuah tindakan harus sesuai dengan latar belakang orang
tersebut. Polisi yang identik dengan ketegasannya tidak cocok jika
diperlakukan dengan halus dan lembut, karena sudah terbiasa dengan
kekerasan dan ketegasan. Sebaliknya, masyarakat sipil yang kepribadiannya
beragam, tidak bisa disamaratakan perlakuannya, apalagi dengan gaya
polisionil seperti yang diutarakan pada kutipan di atas. Hal ini dikarenakan
setiap orang memiliki tingkat sensivitas yang berbeda. Ada orang yang
55
Ibid h 51 56
Ibid h 57
69
menyukai ketegasan karena dapat menumbuhkan sikap disiplin. Ada pula
orang yang tidak menyukai ketegasan, jika dipaksakan maka konsekuensinya
bisa membuat orang tersebut sakit hati.
d. Oni
Tokoh Oni pada lakon DBT adalah sebagai istri Sandek. Oni
digambarkan sebagai seorang istri yang sangat menyayangi suaminya
tersebut. Tokoh Oni termasuk salah satu tokoh yang paling sering muncul
dalam lakon sandiwara ini. Tercatat ia muncul di awal di akhir babak kedua,
sepanjang babak ketiga, dan hampir seluruh babak keempat. Tokoh Oni
merupakan representasi dari seorang istri idaman. Hal ini terlihat pada babak
ketiga bagaimana Oni begitu perhatian pada Sandek yang sedang sakit hingga
Oni rela membopongnya sampai kamar. Peranannya di dalam lakon ini sangat
penting karena Oni menjadi tokoh sentral terutama pada babak ketiga dimana
Oni terus-menerus mendampingi Sandek. Oni termasuk tokoh bulat karena
tidak mengalami perubahan sifat sedikitpun.
ONI:Bukan tanpa rasa putus asa kami berusaha berjalan, merayap
dalam kesakitan menuju kesini. Tapi memang kami belum mau mati.
Sepucat apa pun yang bernama harapan, atau betapapun utopisnya
harapan, namun kami tidak dapat lepas daripadaNya. Ini adalah suatu
pengakuan yang paling jujur, diakui atau tidak oleh mulut kita sendiri.
Dan Alhamdulillah bahwa sekarang kami berkesempatan dirawat
disini.57
Dialog di atas terjadi ketika Oni dan Sandek berusaha sekuat tenaga
masuk dengan cara menyelinap untuk menghindari administrasi Rumah Sakit.
Dari kutipan dialog di atas, menunjukkan bahwa Oni adalah sosok wanita
yang pantang menyerah dan tidak mudah putus asa, setia mendampingi
suaminya, serta pribadi yang mudah bersyukur kepada Allah swt. Seluruh
sifat tersebut dilukiskan oleh Arifin dalam satu kutipan dialog diatas.
57
Ibid h 45
70
Walaupun dalam kesakitannya, Oni berusaha untuk terus berjalan dan
menggandeng Sandek yang lumpuh untuk mencapai kamar di rumah sakit
tersebut. Pribadi yang tak kenal putus asa juga ditunjukkan oleh Oni lewat
kata-katanya bahwa sekecil apapun harapan, ia tidak akan pernah bisa lepas
dari takdir yang dikehendaki oleh Allah swt.
ONI : Apa yang kamu dapat ? apa yang kamu capai ? saya tidak
pernah melihat apa-apa. Tidak barang tidak kesenangan. Kita memang
orang-orang pinggiran. Tidak ada tempat untuk kita. Tidak juga dalam
sejarah. Kita Cuma angka-angka.58
Petikan dialog di atas terjadi pada babak keempat ketika Oni sedang
mengeroki Sandek di rumahnya. Pernyataan ini merujuk pada kejadian
bagaimana suaminya, Sandek selama ini diperlakukan tidak adil, bagaimana
seorang buruh seperti tidak memiliki harga diri layaknya seorang babu,
bagaimana Oni menumpahkan segala keluh kesah dan kekecewaannya pada
kehidupan ini ketika tengah mengeroki Sandek. Oni menganggap bahwa ia
dan Sandek hanyalah sekumpulan angka-angka yang artinya tidak berharga
sedikitpun bagi orang-orang besar yang hanya memikirkan kehidupannya
yang mewah.
ONI:bukan saya tidak menghargai semangat impian kamu. Tapi
kalimat-kalimatmu terlalu puitis sehingga hanya cocok untuk dibaca
atau dinyanyikan. Boleh jadi kamu akan tertolong tapi kawan-
kawanmu tidak. Apa lagi yang lainnya, yang milyunan jumlahnya.
Abad-abad ini hanya mampu berurusan dengan beberapa orang tapi
tidak dengan semua orang. Kita betul-betul orang pinggiran.59
Petikan dialog di atas masih terjadi pada babak keempat dan Oni
masih mengeroki Sandek di rumahnya. Dari petikan dialog di atas, Oni
berupaya menyadarkan Sandek yang menurutnya terlalu tinggi dalam
berkhayal. Oni menyindir Sandek secara halus bahwa orasinya, keluhannya
58
Ibid h 58 59
Ibid
71
selama ini terlalu puitis sehingga hanya cocok untuk dibaca dan diperhatikan,
tidak untuk didengarkan. Pada kutipan ini, Oni sepenuhnya mengingatkan
Sandek dan berupaya menyadarkannya bahwa kemajuan zaman tidak bisa
dibendung. Orang yang bisa menyesuaikan dengan zaman, maka ia akan terus
berkembang, sebaliknya jika ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman,
maka ia akan semakin tertinggal, itulah makna yang ingin disampaikan oleh
tokoh Oni pada kalimat “abad-abad ini hanya mampu berurusan dengan
beberapa orang tapi tidak dengan semua orang”.
ONI : tak habis-habis kalian menangis, anak-anakku. Tak lagi bersuara
tangis kalian. Tak lagi berurai air mata tangis kalian. Satu tahap lagi
pastilah rumusan yang akan kalian sampaikan dan tidak lagi tangisan.
Tapi itupun apagunanya. Kita ini hanya figuran-figuran dalam
berbagai lakon. Darah dan airmata. Itulah bagian kita.60
Petikan dialog di atas ketika kedua anak Oni sedang menangis
merengek kepada kedua orangtuanya. Dalam naskah DBT, kedua anak Oni
hanyalah sebagai tokoh tambahan yang tambahan. Kedua anak Oni hanya
muncul pada babak keempat dan hanya beberapa saat saja untuk memperkuat
penggambaran penderitaan Sandek dan Oni yang miskin. Kehadiran mereka
berdua semata untuk menunjukkan dan menjelaskan ketidakberdayaan Sandek
dan Oni, dimana ketika mereka muncul, Oni menangis sebagai tanda
kesedihan karena tidak mampu membahagiakan anaknya karena kondisinya
dan Sandek yang serba kekurangan.
ONI : kita di luar musim. Kita tidak punya musim. Apa bedanya ?
kalau ibu memilih suatu kata, hanyalah sekedar memberi tahu bahwa
kita masih hidup. Masih mencoba hidup. Mencoba memahami kata,
suatu kata. Sekarang main lagilah kalian diluar. Jangan terlalu jauh
tapi. Jangan terlalu lama tapi. Bagaimanapun udara diluar lebih bersih
daripada di dalam gubuk apek ini. Hiruplah udara sepuas-puas kalian
60
Ibid 59
72
mumpung belum diperdagangkan. Bahkan oksigen terasa mulai
berkurang dan mahal.61
Petikan dialog di atas diambil ketika Oni sedang menjelaskan kepada
anaknya tentang keadaan yang mereka alami. Penderitaan demi penderitaan
terus mereka hadapi. Bagaimana mereka tinggal di gubuk yang pengap dan
sempit, dan menganjurkan anaknya agar bermain di luar saja karena udara di
luar lebih segar dihirup ketimbang udara di dalam rumahnya. Dalam petikan
dialog di atas, kembali terjadi penguatan karakter yang ditampilkan oleh Oni.
Hal ini ditunjukkan ketika Oni menyuruh kedua anaknya untuk bermain
keluar agar mereka berdua tidak mengetahui permasalahan pelik yang sedang
dihadapi oleh Oni dan Sandek.
ONI : ibu tersenyum. Ibu berseri-seri. Ibu-ibu diseluruh dunia selalu
mencoba tersenyum selalu berseri-seri agar anak-anaknya selalu sehat
selalu bahagia. Karena inilah hanya yang masih tersisa dalam
perjalanan yang tidak sampai-sampai.62
Petikan dialog di atas diambil ketika Oni berusaha untuk
menenangkan kedua anaknya yang tengah bersedih. Oni tidak mau anaknya
merasakan beban mereka. Tokoh Oni sangat merepresentasikan keibuan. Hal
yang biasa dilakukan oleh para ibu ketika sedang sedih dan anaknya
mengetahui hal tersebut, maka sang ibu berusaha menyembunyikan
kesedihannya tersebut di depan anaknya. Ia tidak ingin anaknya mengetahui
kesedihan yang dirasakan agar tidak menjadi beban di pikiran anaknya. Hal
itulah yang digambarkan oleh Arifin tentang kehebatan sosok ibu melalui
tokoh Oni.
e. Dokter Kepala
Tokoh Dokter Kepala hanya muncul pada babak ketiga dan keempat.
Dokter Kepala mengepalai rumah sakit tempat Sandek dan Oni dirawat.
61
Ibid h 60 62
Ibid
73
DOKTER KEPALA : Dengan menyesal harus saya jelaskan bahwa
saya hanya mengurus orang-orang yang hidup. Begitu anda mati sudah
bukan urusan saya lagi. Apalagi harga tanah kuburan terus melonjak
dari waktu ke waktu. Belum lagi biaya tetek bengek lainnya. Jangan
pula tanya soal kain kafan dan kembang setaman. Nah saya harap anda
cukup faham.63
Petikan dialog di atas adalah saat Dokter Kepala menjawab pertanyaan
dari si mayat yang meminta untuk dikuburkan jasadnya. Namun Dokter
Kepala enggan mengurus si mayat karena itu sudah bukan urusannya lagi.
Sontak saja hal ini membuat si mayat geram dan timbullah tragedi mayat
menyerang Dokter Kepala. Selain itu pada dialog di atas, harga tanah
pekuburan juga sedikit disinggung oleh Dokter Kepala. Harga tanah
pekuburan dari waktu ke waktu memang terus mengalami kenaikan. Hal ini
terkadang membuat pusing warga yang keluarganya meninggal, namun dari
golongan ekonomi menengah ke bawah.
DOKTER KEPALA : Yak! Kita tidak bisa bersaing dengan rumah
sakit-rumah sakit Taiwan, Singapura, Jepang atau Amerika kecuali
dengan cara meningkatkan promosi kita sedemikian rupa sehingga
terapi macam apapun akan meyakinkan masyarakat. Dengan cara ini
pulalah kita ikut membantu peningkatan tabungan devisa kita.64
Pada petikan dialog diatas, Dokter Kepala menyampaikan pesannya
tersebut di hadapan para perawat dan mahasiswa yang sedang praktik. Pada
tahun 1984 dimana naskah ini dibuat, rumah sakit di Indonesia memang kalah
secara kelengkapan alat dan kualitas rumah sakit dibanding Taiwan,
Singapura, Jepang, atau Amerika Serikat. Justru banyak orang Indonesia yang
memilih berobat ke luar negeri karena lebih percaya pada kualitas rumah sakit
di luar negeri. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang. Banyak orang
Indonesia yang memilih dirujuk ke rumah sakit di Singapura yang letaknya
63
Ibid h 37 64
Ibid h 38
74
memang tidak jauh dari Indonesia. pejabat-pejabat dan terutama para artis
yang ingin berobat atau memoles diri memilih menjalaninya di rumah sakit
luar negeri.
ONI : Kami sungguh miskin, dokter. Kami tidak pura-pura.
DOKTER KEPALA : Kamu jangan campuradukkan masalah
ekonomi dengan masalah kedokteran ya?! Dan sekali lagi saya
tegaskan bahwa adalah tidak bisa dibenarkan dari segi apapun
membiarkan seorang pasien yang begini menderita berjalan sendiri.
Apa tidak tahu di depan ada kursi roda atau ranjang beroda?65
Masalah yang sering dihadapi oleh pasien dan keluarga pasien adalah
soal biaya. Banyak keluarga pasien yang memilih membawa pulang pasien
dan memilih rawat di rumah dengan alasan tidak memiliki biaya. Pihak rumah
sakit begitu tegas soal biaya, karena memang sebelum adanya kartu jaminan
kesehatan, biaya rawat inap tergolong mahal di rumah sakit manapun.
Permasalahan ini memang tergolong pelik karena rata-rata pihak keluarga
pasien menuntut rasa kemanusiaan dan demi sembuhnya sang pasien. Namun
di sisi lain, profesionalisme seorang dokter pun sedang diuji. Dokter pun
membutuhkan uang untuk biaya kehidupannya. Dalam petikan dialog diatas,
sepertinya Arifin hendak menyampaikan keluhan dokter. Banyak keluarga
pasien yang sering mencampuradukkan masalah ekonomi dengan masalah
kedokteran. Di zaman sekarang ini, dengan adanya kartu BPJS, maka biaya
rawat inap pasien bisa ter cover.
DOKTER KEPALA : Kalau begitu koreksi kalimat tadi. Mahasiswa-
mahasiswa supaya memperhatikan juga segi bahasa secara memadai.
Salah satu melapetaka yang dialami kita semuanya adalah masalah
bahasa.66
Dari petikan dialog di atas, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa
bahasa sangat penting untuk kita kuasai. Penulis menangkap bahwa ketika
Dokter Kepala berkata demikian, maka akan ada orang yang berupaya untuk
65
Ibid h 39 66
Ibid h 42
75
memelintir apa yang disampaikan olehnya. Masalah bahasa tidak bisa
dianggap sepele karena bisa menimbulkan kesalahpamahaman dengan orang
lain. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan bahasa yang baik agar
ketika kita berdiskusi dengan siapapun itu, tidak terjadi kesalahpahaman yang
berujung menimbulkan konflik di antara keduanya.
DOKTER KEPALA : Saat masih dalam kandungan sampai saat
kelahirannya pasien ini masih menyimpan potensi yang tak terbatas,
bersifat terbuka. maka adalah tidak tepat kalau dikatakan bahwa
kemiskinannya dimulai ketika menjadi bayi. Pengertian bayi sudah
menyangkut dimensi sosiologis. Artinya – misalnya – menyangkut
pula masalah jenis dan kualitas makanan atau masalah gizi.
Selanjutnya berkait juga dengan lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan IQ-nya dan seterusnya.67
Dari petikan dialog di atas, Dokter Kepala menyanggah perkataan Oni
yang mengatakan bahwa kemiskinan yang diderita Sandek adalah sejak lahir.
Pernyataan Oni tersebut cenderung sentimentil. Kesenjangan yang terjadi
memang terkadang membuat seseorang memiliki sentimen berlebih. Dalam
jawabannya, Dokter Kepala menjabarkan bahwa pada hakikatnya, pengertian
bayi sudah menyangkut dimensi sosiologis. Peranan lingkungan sekitar
berperan besar dalam membentuk kepribadian dan pola pikir seseorang.
DOKTER KEPALA : Dalam kuliah hari ini ingin sekali saya
bicarkan secara khusus segi-segi administrasi ini. Namun saya tidak
tertarik menguraikan kenapa bidang administrasi rumah sakit sebagai
suatu jurusan belum mendapat perhatian tetapi saya terutama ingin
menyadarkan bahwa tanpa disadari administrasi adalah kunci segala-
galanya. Kegagalan-kegagalan selama ini dalam segala bidang
ternyata disebabkan oleh penguasaan administrasi yang tidak
memadai.68
Pada petikan dialog di atas, Dokter Kepala sedikit memberikan
penjelasan tentang realita yang terjadi di rumah sakit, bahwasanya persoalan
67
Ibid 68
Ibid h 43
76
yang biasa menjerat pasien adalah masalah administrasi. Administrasi seakan
menjadi momok bagi orang-orang miskin. Ia menyoroti bagaimana jurusan
administrasi belum mendapat perhatian yang penuh. Di akhir kalimat, Dokter
Kepala menekankan bahwa administrasi adalaha kunci segala-galanya.
Artinya, persoalan apapun mau tidak mau pasti ada yang namanya
administrasi. Jika masalah administrasi tidak bisa kita penuhi, maka yjangan
harap persoalan kita dapat diatasi.
f. Ibu Tua
Ibu Tua dalam naskah drama DBT karya Arifin C Noer dikisahkan
sebagai ibu dari Malin atau Direktur Umum. Ia telah kehilangan anaknya
bertahun-tahun hingga akhirnya ia mencari ke seluruh dunia dan berhasil
menemukan anaknya itu di sebuah gedung ketika anaknya tersebut sedang
meresmikan sebuah pabrik baru miliknya. Betapa terkejutnya ia melihat
anaknya telah menjadi seorang yang berhasil. Namun seperti kisah Malin
Kundang, anaknya tersebut yang tak lain adalah Direktur Umum tidak mau
mengakui bahwa itu adalah ibunya. Hal itu membuat tokoh Ibu Tua murka
dan mengeluarkan sumpah serapah serta kutukan kepada anaknya. Namun apa
yang terjadi selanjutnya bisa disebut sebagai penyimpangan sejarah, karena
Direktur Umum tidak mempan terhadap kutukan yang diberikan oleh ibunya.
Justru sebaliknya, Direktur Umum mengutuk balik ibunya dan ibunya pun
menjadi batu atau patung. Tokoh Ibu Tua hanya muncul pada babak kedua,
namun peranannya sangatlah vital karena ia terlibat konfrontasi langsung
dengan Direktur Umum. Arifin menghadirkan tokoh Ibu Tua untuk menjadi
“lawan main” Direktur Umum setelah pada babak pertama Direktur Umum
berhadapan dengan Sandek.
IBU TUA: Tadi kamu baru saja berkoar, bahwa manusia itu luar biasa,
di atas segala-galanya. Penguasa dunia, begitu kan maksud kamu? Eh
tiba-tiba, kamu bicara soal persaingan bebas. Kamu turunkan lagi
manusia pada derajat hewan, artinya tidak istimewa lagi!
77
Pada petikan dialog di atas, Ibu Tua sedang mengingatkan Direktur
Umum karena Ibu Tua merasa bahasa yang dilontarkan oleh Direktur Umum
terlalu tinggi. Perlu diingat bahwa dalam naskah ini, tokoh Direktur Umum
juga dipanggil dengan sebutan malin oleh tokoh Ibu Tua. Ibu Tua merasa
tidak suka orang yang ia anggap sebagai anaknya itu berlebihan ketika sudah
menjadi orang sukses. Sebuah pesan moral bagi siapa saja bahwa ketika
sukses, kita tidak boleh bersikap tinggi hati, karena itu semua bisa membuat
seseorang jatuh kembali. Tetaplah bersikap rendah hati karena itu akan
membuat seseorang lebih sadar akan kekurangan-kekurangan yang masih
dimilikinya.
IBU TUA : Ia telah melupakan ibunya. Sejak ia merantau ia tidak
pernah kembali. Dengan badan yang tua ini ibunya mencari anak itu.
Pernah dua kali ibunya menemui anak itu ketika sedang sibuk di
kantornya di New York, tapi anak itu tak lagi tahu nama kampong
nelayan di tanah Minang dimana ia dibesarkan dalam kemiskinan.
Terakhir ibu itu diusir oleh sekretaris anak itu di suatu pasar bursa di
London.
Pada kutipan di atas, terlihat Arifin seperti ingin membuat Malin
Kundang versi Modern. Tak berbeda jauh dengan kisah aslinya, sosok Ibu
Tua yang digambarkan dalam naskah ini pun adalah sosok yang ditinggal oleh
anaknya untuk pergi merantau berniat mengubah kehidupannya. Ia sangat
merindukan anaknya setelah sekian lama ditinggal pergi. Bahkan Ibu Tua rela
mencari anaknya tersebut ke New York dan London. Sama seperti kisah
Malin Kundang yang setiap harinya menanyai malin kundang ke para
tetangga dan mencarinya keliling desa. Kemiripan lainnya adalah bagaimana
pada kutipan diatas disebutkan latar tempat yaitu minang, sama seperti kisah
Malin Kundang yang berlatar Minang. Kisah Malin Kundang yang diadaptasi
oleh Arifin ke dalam naskah DBT ini memang sedikit mengalami perbedaan,
terutama pada bagian akhir cerita.
78
IBU TUA : Seketarismu sudah menjadi batu, Malin. Ia juga telah
bersikap kurang ajar kepada perempuan tua dan kemiskinan ini.
Semua petugas keamanan dan sebagian besar orang yang pakaiannya
kelewat mahal sudah membatu semuanya. Kamu sendirian, Malin.
Kamu tidak bisa ingkar lagi. Pers akan jadi saksi.
Peristiwa pada kutipan dialog di atas terjadi ketika untuk kesekian
kalinya, Direktur Umum enggan mengakui Ibu Tua sebagai ibunya sendiri. ia
berusaha menghindar dan menjauhi Ibu Tua karena merasa risih. Namun para
wartawan yang terus mengikuti mereka dan berusaha mewawancarai serta
merekam semua kejadian tersebut membuat Direktur Umum geram dan
memanggil petugas keamanan untuk mengusir Ibu Tua tersebut. Ibu Tua coba
memanfaatkan kehadiran pers agar segala kebohongan yang dilakukan oleh
Direktur Umum terbongkar dan ia tidak menjadi orang yang sombong. Pada
fase ini, kemarahan Ibu Tua semakin membara dan mulai menuju puncak
kemarahannya.
IBU TUA: Persis seperti dalam dongeng itu, Malin. Pada akhirnya
mulutmu itu akan menjadi lobang kuburanmu sendiri.
Pada kutipan dialog di atas, Ibu Tua memperingatkan Direktur Umum
yang sudah tenggelam akan kesombongannya. Ibarat pepatah, mulutmu
harimaumu, itulah yang hendak disampaikan Ibu Tua kepada Direktur Umum
atau malin, mulutmu akan menjadi lobang kuburanmu sendiri, artinya ia akan
terkubur bersama segala kata-katanya yang terlalu tinggi. Peringatan ini
sebenarnya lebih bersifat universal, artinya untuk siapa saja yang hidupnya
penuh dengan rasa sombong, maka cepat atau lambat ia akan merasakan
akibatnya.
IBU TUA : Kutuk mulai menyiapkan tuahnya, anakku. Jangan biarkan
dirimu menyesal di belakang. Batu-batu menangis sudah, terlalu
banyak di pantai-pantai dan ombak yang pulang-pergi tidak merubah
apa-apa.
79
Kutipan di atas adalah fase dimana Ibu Tua mulai mengutuk Direktur
Umum menjadi batu. Segala bentuk kata makian dan kutukan ia sebutkan
untuk mengutuk anaknya tersebut karena tidak mengakui ibunya sendiri.
Kesan seram yang dihadirkan oleh Arifin terasa kental dan badai yang besar
membuat para wartawan terombang-ambing dan badai mulai menyerang
Direktur Umum. Dengan diselipi majas, kutukan Ibu Tua lebih terasa
maknanya karena relevan dengan kondisi yang ditampilkan dalam naskah.
IBU TUA : Anak durhaka! Kau ingkari ibumu sendiri! Kau ingkari
tanah airmu sendiri! O keserakahan! Kau adalah kegelapan! Kau
adalah ruh setan ! kau adalah magi hitam! Terkutuk! Kau akan
menjadi batu selama-lamanya! Kau akan berpisah dengan
kesenanganmu kebanggaan duniamu!
Petikan dialog di atas adalah puncak dari kemarahan ibu tua. Ia mulai
mengeluarkan sumpah serapahnya untuk mengutuk Direktur Umum. Kali ini Ibu
Tua benar-benar marah dengan sejadi-jadinya. Ia tidak lagi memikirkan bahwa
Direktur Umum adalah anaknya. Yang ia rasakan saat ini adalah sakit hati yang
tiada tara karena tidak diakui oleh anaknya ketika sang anak sudah menjadi orang
yang sukses. Segala bentuk kata kutukan ia keluarkan untuk mengutuk anaknya
tersebut. Seperti kisah malin kundang, Ibu Tua berusaha mengutuk Direktur
Umum menjadi batu seperti yang tertera pada petikan dialog diatas.
3. Latar
Latar merupakan salah satu komponen penting dalam unsur intrinsik.
Latar memiliki kaitan yang erat dengan penokohan dan alur karena ketiga
komponen tersebut memiliki hubungan dalam membangun permasalahan dan
konflik. Tanpa adanya latar, tidak ada pijakan bagi tokoh dan alur dalam
membangun jalannya cerita. Latar memberikan pijakan secara konkrit dan
jelas, hal ini penting karena untuk menghadirkan kesan realistis bagi pembaca.
Latar termasuk bagian penting di dalam sebuah karya drama, karena dari situ
pembaca akan mengetahui kejadian apa dan kapan peristiwa itu terjadi. Jika di
80
dalam pementasan, latar berperan untuk memudahkan pemain sekaligus
sutradara untuk merealisasikan kegiatannya di panggung. Membaca sebuah
karya drama, tentu saja kita dihadapkan pada tempat atau lokasi-lokasi
kejadian serta waktu kejadian peristiwa, misalnya nama kota, nama jalan,
pagi, siang, sore, malam, yang menandai jalannya alur cerita.
a. Latar Tempat
Secara garis besar latar tempat yang digunakan dalam naskah
drama DBT adalah kota Cirebon. Hal ini tidak terlepas dari Arifin C
Noer, sang pembuat naskah yang berasal dari Cirebon.
Sambil lalu, kalau kebetulan ada di antara saudara-saudara
petugas kepolisian yang berpakaian preman atau petugas intel
atau lebih-lebuh agen KGB atau CIA saya persilakan dengan
sangat tapi hormat supaya mencatatkan namanya di kantor
manajer teater ini.69
Pada petikan dialog di atas, latar tempat yang tergambar adalah
di ruang teeter. Dialog diatas disampaikan oleh tokoh Sutradara
sebelum pementasan dimulai. Ia berdiri di atas panggung untuk
mempersiapkan pementasan dan menjaga ketertiban penonton.
Kalimat “supaya mencatatkan namanya di kantor manajer teater ini”
menunjukkan bahwa adegan tersebut berada di sebuah gedung teater
yang memiliki gedung pertunjukkan dan kantor manajemen.
Baik, akan saya katakan saja secara singkat kalau begitu. Para
hadirin, ruang dimana akan dihadapkan Sandek adalah ruang
kerja Direktur Umum. Harga bangunan ruang itu lebih mahal
daripada sepuluh rumah murah di Depok. Luasnya….70
Pada kutipan dialog di atas, percakapan antara Sandek dengan
Direktur Umum sebenarnya terjadi di ruang kerja Direktur Umum. Hal
ini disebutkan sendiri oleh Sandek, namun pada bagian akhir kalimat,
69
Ibid h 4 70
Ibid h 8
81
disebutkan pula nama kota yaitu kota Depok. Kota Depok disebutkan
oleh Sandek sebagai pembanding dengan ruang kerja Direktur Umum
yang begitu mewah. Mewah disini sebenarnya tidak disebutkan secara
langsung oleh Sandek, namun pembandingan yang dilakukan dengan
sepuluh rumah tentu bukanlah harga yang sedikit untuk ukurang ruang
kerja.
DIREKTUR UMUM: Saya jadi penasaran. Coba jawab lagi.
Saudara asal mana?
SANDEK : Watubela
DIREKTUR UMUM: Watubela? Cirebon?
SANDEK : Cirebon.71
Dialog di atas terjadi pada babak pertama. Pada kutipan dialog
diatas, ketika Direktur Umum bertanya kepada Sandek darimana ia
berasal, Sandek menjawab sebuah nama daerah yaitu Watubela.
Watubela adalah nama sebuah desa yang terletak di kabupaten
Cirebon. Desa tersebut menjadi tempat dimana Arifin C Noer
dilahirkan. Watubela artinya batu yang terbelah. Entah darimana asal
penamaan tersebut, desa yang menghubungkan antara pasar Sumber
dan pasar Plered ini di sepanjang jalannya diapit oleh hijaunya sawah.
Kebetulan penulis pun berasal dari Cirebon dan menghabiskan masa
kecilnya di kota udang tersebut. Jarak antara kampung penulis dan
kampung Arifin C Noer hanya sekitar dua kilometer, membutuhkan
waktu sekitar sepuluh menit saja jika mengendarai sepeda motor. Desa
kecil tersebut telah melahirkan seorang sastrawan terkenal yang
hingga kini karyanya banyak diteliti dan diperbincangkan oleh
kalangan akademisi. Tampaknya Arifin ingin mengangkat tempat
kelahirannya agar dikenal oleh masyarakat dengan memasukkanya ke
71
Ibid h 15
82
dalam naskah DBT ini. Ini membuktikan Arifin bukanlah orang yang
lupa akan kampung halamannya.
DIREKTUR UMUM : Saya jadi ingat masa kanak-kanak
saya
SANDEK : Tiba-tiba saya ingat ketika saya
mandi-mandi di kali Perbutulan.72
Kutipan dialog di atas adalah percakapan antara Direktur
Umum dan Sandek ketika mereka berdua mengingat-ingat masa kecil
di kampung halamannya. Sandek menyebutkan sebuah nama yaitu kali
Perbutulan. Kali adalah bahasa sunda, yang artinya adalah sungai. Kali
Perbutulan adalah sebuah nama sungai yang terletak di desa
Perbutulan, kabupaten Cirebon. Kali ini oleh warga sekitar sering
dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci pakaian. Walaupun tidak
disebutkan secara langsung bahwa Arifin sendiri semasa kecilnya
pernah mandi di sungai tersebut, namun sepertinya Arifin hendak
berbagi pengalaman masa kecilnya. Hal ini tidak terlepas bahwa
Arifin putra daerah di Watubela. Tentunya ia hafal betul bagaimana
asiknya mandi di sungai setiap sore selepas bemain bola dengan
teman-teman. Penulispun sempat merasakan indahnya masa-masa
seperti itu. Hal ini seperti sebuah tradisi bagi anak-anak di kabupaten
Cirebon, dimana setiap hari libur, anak-anak bermain bola, bertanding
melawan kampung sebelah. Selepas bertanding, mereka menuju
sungai untuk mandi membersihkan sisa-sisa lumpur yang menempel
pada tubuh. Letak sungai yang bersebelahan dengan area persawahan
membuat masa kecil kami begitu indah dan menyenangkan.
Sebagaimana astronot, yang pertama menginjakkan kakinya di
bulan, kita kita akan mengibarkan bendera pada hari ini.
72
Ibid h 18
83
Bendera kemenangan manusia. Manusia. Manusia. Maka
dengan segala puji-puji kepada manusia, saya resmikan pabrik
makanan pertama dalam bentuk tablet ini.
Kutipan dialog di atas terjadi pada awal babak kedua, dimana
ketika Direktur Umum sedang meresmikan pabrik makanan miliknya.
Latar tempat yang tergambar dalam dialog tersebut yaitu di pabrik
baru milik Direktur Umum. Pabrik baru ini juga menjadi tempat
tatkala Direktur Umum bertemu dengan tokoh Ibu Tua dan
bersitegang dengannya.
Ia telah melupakan ibunya. Sejak ia merantau ia tidak pernah
kembali. Dengan badan yang tua ini ibunya mencari anak itu.
Pernah dua kali ibunya menemui anak itu ketika sedang sibuk
di kantornya di New York, tapi anak itu tak lagi tahu nama
kampong nelayan di tanah Minang dimana ia dibesarkan dalam
kemiskinan. Terakhir ibu itu diusir oleh sekretaris anak itu di
suatu pasar bursa di London.
Pada kutipan dialog di atas, disebutkan beberapa tempat
diantaranya New York, Minang, dan London. Ketiganya adalah nama
kota. New York adalah sebuah kota besar yang terletak di negara
Amerika Serikat. London adalah nama ibu kota dari negara Inggris,
sedangkan minang adalah nama salah satu suku di Indonesia yang
mayoritas penduduknya terletak di kota Padang. Namun ketiga tempat
tersebut bukanlah latar tempat di mana adegan berlangsung. Ketiga
tempat tersebut hanyalah sebatas deskripsi dari tokoh Ibu Tua ketika ia
mencari anaknya.
Kami tidak sempat melihat benda-benda itu, dokter. Kami
sibuk berurusan dengan petugas di loket. Atas nama
perikemanusiaan kami tadi juga berdebat mengenai ongkos
pendaftaran. Petugas-petugas bersikeras menghalangi kami
membawa pasien yang malang ini kesini. Mereka hanya mau
84
mengizinkan kami masuk kalau kami mampu membayar uang
muka sejumlah ongkos sepuluh hari pertama.73
Pada kutipan dialog di atas, peristiwanya terjadi pada babak
ketiga. Latar tempat yang disebutkan adalah loket rumah sakit.
Peristiwa yang terjadi adalah ketika Oni membawa Sandek untuk
masuk ke dalam, namun ditahan oleh petugas keamanan karena harus
membayar DP terlebih dahulu. Namun karena Oni dan Sandek tidak
memiliki biaya, maka mereka berdua masuk secara diam-diam tanpa
diketahui oleh para petugas.
DOKTER KEPALA : Sorri. Saya kira saya sedang berada di
kantor. Tapi betul saya sedang di rumah sakit?
ASISTEN DOKTER : Betul, prof. Dan di sekeliling anda
adalah pasien-pasien, perawat-perawat, beberapa mahasiswa
tingkat akhir serta seorang pasien baru dengan istrinya.74
Latar tempat yang tergambar pada petikan dialog di atas adalah
Rumah Sakit. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui ucapan tokoh
Asisten Dokter ketika menjawab pertanyaan dari tokoh Dokter Kepala.
Latar rumah sakit digambarkan oleh Asisten Dokter karena Dokter
bertanya sedang dimana dirinya. Penggambaran latar ini didukung
oleh penyebutan pasien-pasien dan perawat-perawat yang memang
identik dengan rumah sakit.
ONI : musim hujan, sayang. Gubuk kita bocor. Stoples kita
bolong.75
73
Ibid h 39 74
Ibid h 41 75
Ibid h. 60
85
Pada kutipan dialog di atas, latar tempat yang tergambar adalah
di rumah Sandek dan Oni. Rumah Sandek dan Oni sangat
memprihatinkan kondisinya karena hanya sebuah gubuk yang
berlantaikan tanah. Bahkan digambarkan di dalam naskah, para
tetangganya bisa sampai melongok ke dalam rumah ketika Oni sedang
mengeroki Sandek.
Muncul dalam pakaian putih-putih DOKTER KEPALA,
DOKTER ASISTEN dan PERAWAT PERAWAT. Sebuah
meja didorong ke tengah pentas. Setelah itu mereka
mengangkat tubuh SANDEK dan meletakannya di meja.
Semua pekerja rumah sakit itu mengenakan topeng putih
sebagaimana lazimnya kalau mau melakukan pembedahan.76
Latar tempat yang tergambar dalam petikan dialog di atas adalah
ruang operasi. Hal ini dapat dibuktikan pada kalimat terakhir pada petikan
dialog tersebut, karena pembedahan dalam dunia medis dilakukan di ruang
operasi. Peristiwa ini terjadi ketika Sandek hendak dioperasi oleh Dokter
Kepala, Dokter Asisten, dan Perawat. Penggambaran ruang operasi di
dalam naskah DBT ini cukup sederhana. Hanya dengan sebuah meja yang
didorong ke tengah pentas, lalu kemunculan Dokter Kepala, Dokter
Asisten dan Perawat, ditambah dengan kalimat penutup dengan kata kunci
“pembedahan”, maka pembaca manapun pasti akan langsung menebak
bahwa latar yang sedang digambarkan di dalam naskah adalah ruang
operasi.
Dengan demikian, latar tempat pada naskah ini didominasi oleh
latar Rumah Sakit, karena latar Rumah Sakit digunakan pada babak ketiga
dan babak keempat dari total empat babak pada naskah ini.
b. Latar Waktu
76
Ibid h 64
86
Latar waktu pada naskah drama Dalam Bayangan Tuhan tidak
terlalu spesifik dalam menyebutkan waktu terjadinya peristiwa. Hanya
beberapa bagian saja yang disebutkan waktunya dalam suatu adegan.
DIREKTUR UMUM: Saat ini sudah lewat tengah hari.
Saudara lapar?
SANDEK : Kalimat yang terakhir saya faham. Ya,
saya lapar. Sejak tadi. Sangat lapar.77
Pada kutipan dialog di atas, yang menunjukkan latar waktu
adegan tersebut adalah ucapan dari tokoh Direktur Umum. Adegan
tersebut bercerita tentang Direktur Umum yang mengajak Sandek
untuk makan siang. Hal yang lumrah bagi orang-orang ketika sudah
lewat tengah hari, maka sudah waktunya istirahat dan menyantap
makan siang. Sebuah ciri khas masyarakat Indonesia dimunculkan
oleh Arifin dimana tokoh Direktur Umum ketika hendak makan,
menawarkan juga tamunya yaitu Sandek untuk ikut makan bersama di
ruangannya. Hal yang biasa dijumpai di sekeliling kita menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia dikenal memiliki sikap yang ramah dan
menghormati lawan bicaranya.
DIREKTUR UMUM: Saya paling suka bermain di tengah
sawah setelah usai panen. Batang-batang jerami yang kering
dari hari ke hari dan batu-batu besar di kali sementara
keciprat air bening sejuk di kaki… ah jadi romantic
akhirnya saya. Saya pernah bersembunyi di kuburan
semalam suntuk dan semua kawan-kawan saya menyangka
saya digondol wewe. Saya juga pernah menaiki pohon yang
dianggap tabu dan besoknya saya pura-pura sakit supaya
saya bisa bolos sekolah.78
77
Ibid h 13 78
Ibid h 18
87
Pada kutipan dialog di atas, latar waktu yang tersirat yaitu
semalam suntuk. Tidak terlalu spesifik memang, karena latar waktu
yang digunakan oleh Arifin pada dialog diatas hanyalah khayalan
Direktur Umum semata ketika mengenang masa kecilnya di kampung.
Ditambah lagi dengan mitos hantu kelong wewe yang terkenal suka
menculik anak-anak yang masih berkeliaran di luar rumah ketika
waktu maghrib tiba. Arifin mencoba untuk memasukkan sisi mistis
yang ada di daerahnya ke dalam naskah ini. Bukan hal yang aneh
memang jika teman-teman Direktur Umum mengira Direktur Umum
digondol wewe. Karena jika ada anak yang tidak kembali ke rumah
hingga malam hari, maka masyarakat sering mengkambinghitamkan
hantu ini. Kebetulan penulis pun berasal dari kota Cirebon dan
kampung tempat tinggal Arifin yaitu Watubela tidak jauh dari
kampung penulis yaitu Sindang Jawa yang kurang lebih hanya
berjarak 2 KM saja. Mitos yang berkembang pada saat itu memang
sangat ramai diperbincangkan, bahkan kolong wewe sempat menjadi
bahan perbincangan yang hangat di lingkungan masyarakat beberapa
saat lamanya.
DIREKTUR UMUM : Dengan ini juga, semua saya undang
untuk hadir nanti malam menyaksikan pementasan drama
dalam rangka pesta pembukaan pabrik ini, sebuah lakon import
yang istimewa, yaitu Promotheus!79
Latar waktu yang digambarkan pada kutipan dialog di atas
adalah malam hari. Namun malam hari yang tersurat pada kutipan
diatas hanyalah ucapan dari Direktur Umum ketika mengundang para
hadirin yang hadir dalam peresmian pabrik barunya. Maka ungkapan
“nanti malam” secara tidak langsung menghadirkan waktu lain ketika
peristiwa ini terjadi. Kemungkinannya bisa pagi, siang atau sore hari,
79
Ibid h 25
88
karena latar waktu dimana Direktur Umum meresmikan pabriknya
tidak disebutkan.
Dengan demikian, latar waktu pada naskah drama DBT ini
tidak spesifik karena latar waktu yang muncul tidak berpengaruh besar
terhadap jalannya cerita di dalam naskah ini.
4. Alur
Drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer menggunakan
alur maju dan mundur. Alur maju lebih mendominasi dalam jalannya cerita,
sedangkan alur mundur terkadang digunakan ketika tokoh teringat akan
peristiwa masa lampau. Cerita dalam naskah DBT terdiri dari empat babak.
Ada beberapa tahapan yang terjadi dalam naskah DBT sesuai dengan teori
yang diuraikan pada BAB II.
Yang paling menyedihkan dalam lakon sandiwara ini adalah
kenyataan bahwa SANDEK, tokoh utama sandiwara ini bukanlah
tokoh yang riil. Sebagai tokoh “fiktif” tentu saja ia memiliki beberapa
kelemahan dasar, seperti misalnya segi-segi historisnya. Bahkan
kelahiran SANDEK boleh dikatakan sebagai dipaksakan, seperti
sebuah revolusi. Karena itu pada posisinya yang menurut beberapa
kalangan sebagai tidak alami SANDEK telah melakukan
penyimpangan hukum kejadian, dalam hal ini adalah menyimpangkan
arah sejarah bangsa ini, dan kedua sekaligus ini berarti memberikan
satu ciri tambahan baru pada pola kepribadian bangsa ini.
Para penonton yang terhormat, sebentar lagi Sandek-yang saya
mainkan dalam keadaan tanpa pegangan dan posisi yang labil, malah
bisa dikatakan tidak konstan, sebagai layaknya sesuatu yang berada
pada tingkat prosessing – sebentar lagi akan dihadapkan kepada
direktur umum dari manajemen pabrik tempat Sandek bekerja sebagai
buruh.80
Petikan dialog di atas dilontarkan oleh tokoh Sandek. Dialog diatas
menggambarkan tahap pertama dalam identifikasi alur, yaitu Tahap Situation.
Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
80
Ibid h 6
89
Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal.
Terlihat pada dialog diatas, Sandek sedikit memberi tahu kepada penonton
bagaimana peran yang akan ia jalani nanti ketika menghadapi bos pabriknya
yaitu Direktur Umum. Tahap ini berfungsi untuk memberikan informasi
kepada penonton, agar penonton tidak buta dan sedikit mendapatgambaran
mengenai jalannya cerita.
DIREKTUR UMUM : Sekali lagi saya tegaskan. Saya tidak mengenal
perempuan tua yang compang-camping itu. Bagaimana mungkin saya
tidak mengenal ibu saya?
DIREKTUR UMUM : Jadi jelas dia bukan ibu saya.81
Petikan dialog di atas adalah Tahap Generating circumstances. Tahap
ini adalah tahap dimana terjadinya pemunculan konflik, masalah-masalah dan
peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Jadi, tahap ini
merupakan tahap awal munculnya konflik. Jika kita melihat ucapan Direktur
Umum diatas, tahap pemunculan konflik mulai terjadi. Hal ini dikarenakan
Direktur Umum tidak mau mengakui ibunya sendiri. Ini menjadi jalan
pembuka bagi konflik yang akan berlangsung selanjutnya. Kemarahan yang
dialami oleh ibu Malin disebabkan oleh persoalan ini.
IBU TUA: Persis seperti dalam dongeng itu, Malin. Pada akhirnya
mulutmu itu akan menjadi lobang kuburanmu sendiri.
DIREKTUR UMUM : Ibu saya adalah fikiran saya!
IBU TUA: Kutuk mulai menyiapkan tuahnya, anakku. Jangan biarkan
dirimu menyesal di belakang. Batu-batu menangis sudah, terlalu
banyak di pantai-pantai dan ombak yang pulang-pergi tidak merubah
apa-apa.82
Petikan percakapan diatas antara Direktur Umum dengan Ibu Tua
adalah Tahap rising action. Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
81
Ibid h 29 82
Ibid
90
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan
kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita
semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal
dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan
antarkepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin
tidak dapat dihindari. Pada dialog diatas, Direktur Umum masih bersikeras
tidak mau mengakui ibunya tersebut. Hal ini membuat kemarahan ibunya
memuncak. Dengan menyelipkan sedikit pepatah, mulutmu akan menjadi
lobang kuburanmu sendiri, hal ini memiliki arti bahwasanya apa yang
diucapkan oleh Direktur Umum akan memiliki dampak yang akan
dirasakannya sendiri. Pada tahap ini, Ibu tua semakin geram sehingga ia mulai
menyiapkan kutukan yang akan ia alamatkan untuk anaknya tersebut karena
tidak mengakui ibunya.
DIREKTUR UMUM : Saya menetas dari tabung. Ibu saya adalah
laboratorium. Saya adalah hasil pengumpulan fikiran-fikiran murni.
Saya adalah manusia pertama !
IBU TUA: Terkutuk!
IBU TUA: O kilat dan halilintar!!
IBU TUA: O hujan lebat!
IBU TUA: Anak durhaka! Kau ingkari ibumu sendiri! Kau ingkari
tanah airmu sendiri! O keserakahan! Kau adalah kegelapan! Kau
adalah ruh setan ! kau adalah magi hitam! Terkutuk! Kau akan
menjadi batu selama-lamanya! Kau akan berpisah dengan
kesenanganmu kebanggaan duniamu!
O topan dan badai!!
IBU TUA : Kamu akan menjadi batu karena hatimu batu, karena
kau tak lebih berharga daripada batu!
Terjadilah!83
83
Ibid h 30
91
Petikan dialog di atas adalah terjadinya Tahap climax. Tahap klimaks,
konflik atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan atau ditimpakan
kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah
cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama. Jika kita melihat dialog diatas, sang Ibu
sedang mempergunakan kuasanya untuk menurunkan kutukan kepada
anaknya yang tifak mau mengakuinya. Tahapan ini terjadi setelah diawali oleh
pernyataan Direktur Umum yang tidak mengakui ibunya, kemudian terjadi
dialog-dialig yang memancing kemarahan Ibu Tua, sehingga akhirnya
klimaksnya yaitu Ibu Tua mengutuk anaknya tersebut karena kemarahannya
sudah tak tertahankan lagi.
Ibu Tua: ini betul-betul suatu penyimpangan kisah yang tidak
tanggung- tanggung. Malin tidak jadi batu!
Direktur Umum: Dongeng dan hikayat lama dengan ini kita tutup.
Tenung, tuah, teluh dan kesaktian serapah kita ganti dengan keajaiban
leser.84
Petikan dialog diatas menerangkan terjadinya Tahap denouement.
Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar,
cerita diakhiri. Jalan keluar dan akhir dari cerita tersebut adalah bahwa
Direktur Umum tidak mempan dikutuk oleh ibunya. Setelah pada tahap
sebelumnya Ibu Tua mengutuk dengan memanggil kilat, halilintar, badai dan
lain sebagainya, pada tahap ini menjelaskan dari tahapan sebelumnya.
Dengan demikian, alur yang terjadi pada naskah DBT ini adalah alur
kronologis, karena rangkaian jalannya peristiwa pada naskah ini terjadi secara
berurutan.
5. Gaya Bahasa
84
Ibid h 32
92
Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang
mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Gaya bahasa cenderung
dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu, penegasan, pertentangan,
perbandingan, dan sindiran.
SUTRADARA: Sengaja saya menyebutnya dengan istilah kerjasama
yang hangat, karena bentuk dan sifat kerjasama itu banyak ragamnya.
Ada kerjasama yang terpaksa, kerjasama yang diliputi ketakutan,
kerjasama yang berpola pemerasan dan lain-lainnya. Adapun
kehangatan berarti saling percaya dan saling percaya adalah benih dari
keamanan yang sejati.85
Pada kutipan dialog diatas, terdapat dua petikan dialog yang
mengandung unsur majas yaitu kerjasama yang hangat dan benih keamanan.
Keduanya adalah majas personifikasi yang masuk ke dalam golongan majas
perbandingan. Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang melukiskan benda
mati yang diungkapkan seperti manusia. Jika kita melihat kalimat kerjasama
yang hangat dan benih keamanan, kata hangat dan benih adalah
penggambaran dari sifat manusia. Hangat biasa digunakan untuk melukiskan
keadaan diantara panas dan dingin, sedangkan benih merepresentasikan biji
tanaman yang ingin ditanam.
SESEORANG : Tapi saya betul kan? Tanpa pandang bulu saya
geledah semua.86
Pada kutipan dialog diatas, majas yang terlihat adalah majas
personifikasi yang tergambar dalam kalimat tanpa pandang bulu. Pandang
atau memandang adalah salah satu sifat manusia. Kata pandang bersinonim
dengan kata melihat. Kata pandang bulu jika disatukan akan menghasilkan
makna lain yaitu pilih-pilih. Maka maksud dari dialog diatas adalah
menggeledah siapa saja tanpa pilih-pilih.
85
Ibid h. 3 86
Ibid h. 4
93
IBU TUA: Kutuk mulai menyiapkan tuahnya, anakku. Jangan biarkan
dirimu menyesal di belakang. Batu-batu menangis sudah, terlalu
banyak di pantai-pantai dan ombak yang pulang-pergi tidak merubah
apa-apa.87
Majas yang tergambar dari petikan dialog diatas adalah personifikasi.
Ada dua majas personifikasi yang terdapat pada dialog diatas yaitu, batu-batu
menangis dan ombak yang pulang pergi. Kata menangis dan pulang-pergi
adalah ungkapan untuk manusia. Kata menangis biasa digunakan untuk
keadaan seseorang ketika meneteskan air matanya, sedangkan kata pulang-
pergi biasa digunakan ketika seseorang melakukan memulai dan mengakhiri
sebuah aktivitas. Tetapi dalam petikan dialog diatas, kedua kata tersebut
digunakan untuk menggambarkan penantian yang sia-sia. Penantian yang
dilakukan oleh tokoh Ibu Tua dalam menantikan anaknya yaitu Direktur
Umum. Kata menangis disandingkan dengan kata benda yaitu batu sehingga
gabungan kedua ata tersebut menghasilkan gaya bahasa. Begitupun dengan
kata pulang-pergi yang disandingkan dengan kata benda yaitu ombak.
Penggabungan dua kata tersebut menghasilkan gaya bahasa personifikasi.
Dengan demikian, majas yang mendominasi pada naskah drama DBT
ini adalah majas personifikasi. Majas personifikasi yang digunakan pada
naskah ini untuk memperkuat dialog antar tokoh sehingga memudahkan
pembaca untuk lebih memahami jalannya cerita.
6. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya atau pendengar.88
Pada
umumnya karya sastra, khususnya naskah drama selalu berisi pesan atau
amanat yang disampaikan melalui dialog tiap tokoh, sehingga pesan yang
disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Melalui medium
87
Ibid h. 29 88
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT. Grasindo,2008), h 162
94
karya sastra, setiap pengarang memiliki tujuannya sendiri tentang apa yang
ingin disampaikan kepada pembacanya. Begitu pula Arifin C Noer dengan
naskah DBT, melalui naskah ini, Arifin menyampaikan pesan melalui tokoh
Direktur Umum di antaranya
DIREKTUR UMUM : Hubungi keamanan dan segera amankan ibu
tua ini.
IBU TUA: Begitu cara kamu memperlakukan ibumu, Malin. Apakah
kekayaanmu sudah melebihi kekayaan Allah? Apakah suksesmu yang
mematikan kesadaranmu sebagai anak?89
Pada petikan dialog diatas, ada dua amanat yang bisa kita ambil. Yang
pertama yaitu ketika Direktur Umum memanggil petugas keamanan untuk
mengamankan ibunya sendiri. dalam konteks apapun, berlau demikian kepada
ibu sendiri sangat tidak dibenarkan. Seorang anak harus berbakti kepada
orangtuanya terutama ibu. Namun apa yang dilakukan oleh malin tidak
menunjukkan sikap seorang anak yang berbakti kepada ibunya.
Amanat yang kedua yaitu terdapat pada dialog yang dilontarkan oleh
tokoh Ibu Tua. Terlihat pada dialognya ketika Ibu Tua berkata “apakah
kekayaanmu sudah melebihi kekayaan Allah?apakah kesuksesanmu yang
mematikan kesadaranmu sebagai seorang anak?” tentu kalimat ini berisi
makna yang sangat dalam. Kalimat ini mengandung pesan moral untuk siapa
saja, bahwa ketika seseorang sudah mencapai kesuksesannya, tidak boleh
melupakan jasa orang-orang yang berjasa bagi perjalanan kesuksesannya.
Terkadang banyak orang yang ktika sudah sukses, maka ia lupa diri dan tidak
bersyukur. Pesan moral lain yang disampaikan oleh Ibu Tua bahwa sekaya
apapun kita, tidak akan sanggup melebihi yang maha kaya, Allah swt. Harta
memang sering melenakan seseorang hingga ia lupa pada segala hal yang
harus disyukurinya.
89
Ibid h. 28
95
Direktur Umum: Apa sebetulnya yang saya fikirkan? Saya kesepian.
Merasa kesepian. Di tengah kesibukan saya dan jumlah penduduk
dunia yang membludak saya merasa tidak punya teman. Terus terang
saya sedang menyesali sesuatu yang tidak jelas dalam hidup saya.
Boleh dikatakan sering sekali saya merasa seperti ini. Terutama
semenjak saya tidak lagi bisa berdoa. Hidup saya seperti rumah
jompo, kosong.90
Pada kutipan dialog di atas, suasana yang tergambar adalah kesunyian.
Kesunyian hati yang dirasakan oleh Direktur Umum dijelaskan langsung oleh
tokoh melalui dialog. Inti dari kekosongan hati yang melanda Direktur Umum
disebutkan secara langsung, yaitu ketika Direktur tidak bisa lagi berdoa. Ada
sisi religiusitas yang tergambar dari kalimat ini. Berdoa adalah salah satu
ritual dalam agama manapun yang digunakan oleh pemeluk agama manapun
untuk memohon sesuatu kepada tuhannya. Berdoa adalah salah satu ciri
seseorang menjalankan perintah agama. Allah swt berfirman di dalam Al
Qur‟an surat Al Baqarah ayat 186 yang artinya:
“dan apabila hambaku bertanya kepadamu(hai Muhammad) tentang
aku maka katakanlah kepada mereka bahwa aku adalah dekat
kepadanya dan aku memperkenankan doa orang yang berdoa
kepadaku (Al Baqarah : 186)”
Dalam ayat ini, selain Allah memerintahkan supaya sekalian orang
berdoa kepadanya, juga ia menerangkan bahwa Allah itu dekat kepada
mereka, dengan arti selalu mendengar doa mereka dan selalu akan
memperkenankan sekalian doa itu. Hal ini sekaligus memperjelas penyebab
Direktur mengalami kekosongan hati, yaitu karna Direktur tidak memiliki
kedekatan dengan Allah swt.
Naskah drama DBT ini secara keseluruhan mengungkap keadaan
sosial yang terjadi pada masa itu. Arifin selaku pembuat naskah memang
selalu menyelipkan feomena yang terjadi pada masanya, lalu dibuat jalan
ceritanya. Hal ini bisa dilihat secara keseluruhan di dalam tema, penokohan,
90
Ibid h. 34
96
latar, dan alur yang sudah dibahas pada analisis intrinsik di atas. Analisis
intrinsik yang sudah dilakukan bertujuan agar naskah ini dapat diketahui dari
berbagai sisi kehidupan.
B. Konflik Batin Tokoh Direktur Umum
Setiap manusia pasti pernah mengalami konflik. Konflik bermacam-macam
bentuk dan jenisnya, ada yang dinamakan konflik peristiwa, konflik watak, konflik
pribadi, dan konflik batin. Konflik batin artinya konflik pribadi yang disebabkan
oleh adanya dua atau lebih keinginan atau gagasan yang saling bertentangan dan
menguasai diri individu, sehingga mempengaruhi sikap, perilaku tindakan dan
keputusannya. Konflik batin ini pada umumnya melanda setiap orang dalam
hidupnya. Dalam kenyataannya tidak semua orang mampu mengatasi sendiri
konflik batin yang terjadi pada dirinya, sehingga memerlukan bantuan orang lain.
Seperti yang telah disinggung pada bab dua, Suyadi San mengatakan bahwa konflik
ibarat nyawa dan darah dalam sebuah drama. Tanpa adanya konflik, drama tidak
akan menarik ketika dibaca atau membosankan ketika dipentaskan.
Setelah melakukan pengkajian unsur intrinsik yang terkandung dalam naskah
drama DBT, selanjutnya akan dilakukan analisis konflik batin yang dialami oleh
Direktur Umum.Konflik batin yang merasuk pada diri Direktur Umum merupakan
konflik yang berpusat pada diri sendiri. Kegamangan yang dialami tokoh ini
bersumber dari masalah religiusitas akibat keksosongan hati yang menimpa tokoh
tersebut. Hal ini berujung pada ketidaknyamanan tokoh Direktur dalam menjalani
kehidupannya. Kegamangan yang dialami oleh Direktur Umum merupakan salah
satu sifat yang seringkali dialami oleh setiap manusia lintas zaman. Seolah menjadi
persoalan turun temurun, manusia tidak bisa dilepaskan dari konflik semacam ini.
Konflik yang terjadi pada diri Direktur masuk dalam konsep religiusitas. Konsep
religiusitas disini mengacu pada permasalahan horizontal antara manusia dengan
tuhannya. Direktur Umum termasuk orang yang tidak taat dalam melaksanakan
perintah ajaran agamanya. Hal ini dapat tercermin pada akhir babak kedua ketika
Direktur Umum berjalan menuju suatu sudut tepi. Ia merenungi mengapa hidupnya
97
ini yang seharusnya menurut orang-orang dikatakan bahagia, justru ia tidak
merasakan kebahagiaan. Hal yang justru diidam-idamkan oleh banyak orang dan
sudah berhasil dicapai olehnya, namun tidak memuaskan hatinya. Perasaan ini terus
menghantui dirinya, apalagi Direktur di dalam naskah DBT disandingkan dengan
tokoh Sandek yang tak lain adalah karyawannya sendiri dan cerminan dirinya.
Permasalahan batin inilah yang kemudian menghiasi perjalanan kisah Direktur
Umum dalam naskah DBT.
Apa yang dialami oleh tokoh Direktur Umum adalah pemikiran tentang
sebuah kebenaran. Ia menyadari bahwa dirinya selama ini telah salah tidak
menjalankan syariat agamanya. Berpikir tentang kebenaran adalah menjadikan
keputusan yang telah dikeluarkan akal sesuai secara sempurna dengan fakta yang
telah ditransfer ke dalam otak melalui perantara penginderaan. Kesesuaian inilah
yang akan menjadikan makna yang ditunjukkan oleh pemikiran sebagai suatu
kebenaran. Pemikiran tersebut adalah suatu kebenaran jika ia sesuai secara alamiah
dengan fitrah manusia. Hal ini secara tidak langsung dirasakan oleh tokoh Direktur
bagaimana kesepian yang merasuk dalam dirinya merupakan stimulus dari
penginderaannya.
Arti berpikir tentang kebenaran adalah mengkaji kesesuaian pemikiran dengan
fakta yang ditunjukkan pemikiran. Jika sesuai berarti merupakan kebenaran dan jika
tidak sesuai berarti bukan kebenaran. Maka tidaklah benar mengambil sembarang
pemikiran sebagai suatu kebenaran. Pemikiran itu hendaknya diambil hanya sebagai
pemikiran saja. Baru setelah itu dikaji kesesuaiannya dengan fakta yang ditunjukkan
oleh pemikiran tersebut. jika sesuai maka ia adalah kebenaran, dan jika tidak sesuai
maka ia bukanlah kebenaran. Berpikir tentang kebenaran dapat merupakan proses
berpikir kreatif (menggagas pemikiran baru), misalnya melangsungkan aktivitas
berfikir untuk menghasilkan sebuah pemikiran baru, kemudian mengkaji
kesesuaiannya dengan fakta hingga pemikiran itu sesuai dengan fakta yang
98
ditunjukannya.91
Karena itu,harus ada sikap waspada terhadap distorsi-distorsi
tersebut. kebenaran harus dipegang teguh dan digenggam sekuat-kuatnya. Harus ada
pula kedalaman berpikir dan keikhlasan ketika berpikir untuk mencapai kebenaran.
Arifin C Noer di dalam karyanya ini memberi kesan ia melakukan berbagai
pencarian terus menerus terhadap nilai-nilai kehidupan. Usaha itu tidak hanya
berdimensi vertikal hubungan antara manusia dan Tuhan, tetapi juga horizontal,
hubungan antarsesama manusia. Unsur religiusitas terasa dominan pada naskah
DBT ini. Untuk memberikan signifikasi hubungannya dengan Tuhan, Arifin
menunjukannya melalui dialog antartokoh yang ditampilkannya.
Di dalam naskah DBT, tokoh Direktur Umum dilukiskan sebagai sosok yang
bergelimang harta, necis, idealis, dan penuh dengan kemewahan. Direktur Umum
memiliki sifat yang keras dalam menjalani kehidupan. Dia terkenal memiliki
kemauan yang kuat, ambisius dan tegas. Secara langsung, dengan kondisi yang
serba wah seperti itu seharusnya seorang manusia merasakan kesenangan di dalam
hidupnya. Namun Arifin C Noer, hendak menunjukkan bahwa tidak semua
kebahagiaan dapat dibeli dengan uang dan kekuasaan. Maka Arifin menghadirkan
sosok Direktur Umum untuk menyampaikan maksud tersebut, karena setiap penulis
pasti ingin pembaca menangkap pesan tersirat yang diselipkan di dalam naskahnya.
Direktur Umum : Apa sebetulnya yang saya fikirkan? Saya
kesepian. Merasa kesepian. Di tengah kesibukan saya dan jumlah
penduduk dunia yang membludak saya merasa tidak punya teman.
Terus terang saya sedang menyesali sesuatu yang tidak jelas dalam
hidup saya. Boleh dikatakan sering sekali saya merasa seperti ini.
Terutama semenjak saya tidak lagi bisa berdoa. Hidup saya seperti
rumah jompo, kosong.92
Pada dialog di atas, Direktur Umum mengalami konflik batin yang
berkecamuk dalam dirinya. Walaupun dia bergelimang harta dan jumlah penduduk
dunia yang begitu membludak, ia tetap merasa kesepian, seperti tidak memiliki
91
Taqiyuddin an Nabhani, Hakekat Berpikir, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah,2006), h 99-100 92
Op.Cit h 34
99
teman. Ada sesuatu yang membuat hidupnya begitu hampa. Disini, Arifin C Noer
seperti menyelipkan sebuah pesan moral bagi para pembacanya. Hal tersebut bisa
dilihat dari bagian akhir dialog tersebut. Semenjak Direktur Umum tidak bisa
berdoa, hidupnya seperti rumah jompo, kosong. Hal ini senada seperti yang
dilontarkan oleh Eko Khotib, pendiri teater El Na‟ma. Ketika penulis
mewawancarai om eko, beliau mengatakan bahwa jika pembaca menyadari, dalam
setiap karyanya Arifin selalu menunjukkan sisi religiusitasnya, walau sekecil
apapun itu. Ini menjadi satu ciri khas yang ditonjolkan oleh Arifin pada setiap
karyanya. Karena di dalam agama islam, berdoa adalah salah satu ritual atau cara
yang dilakukan oleh manusia untuk memohon pertolongan atau meminta sesuatu
pada tuhannya.
Namun pada naskah DBT ini, sisi religiusitas yang diangkat oleh Arifin
dijadikan sebagai salah satu sumber masalah pada tokoh utama. Masalah ini yang
kemudian menjadi warna tersendiri bagi naskah DBT karena perihal konflik batin
masih relevan hingga sekarang. Arifin menyadari bahwa potensi masalah yang dia
angkat di dalam naskah DBT ini akan bertahan lama, dan hal tersebut terbukti pada
masa kini seperti yang telah diuraikan oleh penulis pada latar belakang penelitian
ini. Konflik batin memang lazim dialami oleh manusia yang „jauh‟ dengan
tuhannya. Kekosongan hati yang dirasakan membuat orang berfikir kehidupan ini
tidak ada maknanya.
Bagi sebagian orang yang nalarnya tidak sampai, orang tersebut tidak akan
mampu mengatasi masalah ini sehingga akan timbul depresi hebat bahkan sampai
yang terparah mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri. Tentu hal ini tidak dapat
dibenarkan dari segi apapun. Arifin dengan tokoh Direktur Umumnya tidak
mengakhiri cerita dengan kisah konyol seperti itu. Arifin justru meramu masalah
konflik batin ini dan membenturkannya dengan kasih sayang yang ditunjukkan oleh
tokoh Ibu Tua. Kontradiksi yaang terjadi inilah yang menimbulkan keresahan baru
dalam diri Direktur hingga ia akhirnya tega mengutuk balik ibunya sendiri.
100
Mengatasi konflik sebenarnya tidak terlalu sulit jika sudah mengetahui teknik
atau caranya. Cara yang sederhana dalam mengatasi konflik yaitu lakukan
introspeksi diri kemudian gunakan kekuatan daya pikir. Proses ini sudah dilakukan
oleh Direktur Umum yaitu ketika ia merasakan kehampaan di dalam hidupnya, apa
yang ia lakukan selama ini seperti tidak ada artinya, kemewahannya tidak bisa
membeli kebahagiaannya, proses berpikir ini sudah dilakukan oleh Direktur. Akan
tetapi semua itu menjadi sia-sia saja karena tokoh Direktur tetap menunjukkan
keangkuhannya.
Kehampaan hidup yang dirasakan oleh tokoh Direktur mendorong dirinya
untuk menemui Sandek yang sedang terbaring lemah di meja operasi. Direktur
berusaha membujuk dokter untuk menyembuhkan Sandek yang sedang mengidap
penyakit misterius. Hal ini dilakukan lantaran Direktur memerlukan teman.
DIREKTUR UMUM: Saya tidak sedang memerlukan analisa saat ini. Saya
memerlukan orang ini bicara. Adalah tidak adil membiarkan wajah orang ini
terus-menerus memandang dengan penuh dakwaan sementara mulutnya
samasekali rapat seolah seluruh giginya menyatu. Sorot matanya. Air-
mukanya. Oh, rahasia apa yang dia simpan? Tidak, dokter. Dia harus bicara.
Kerahkan seluruh ilmu dan bikin saudara saya bicara. Terus terang saya
memerlukan teman. 93
Pada petikan dialog di atas, yang terjadi pada Direktur Umum adalah
Rasionalisasi. Rasionalisasi yang dilakukan oleh Direktur disebabkan
kekecewaannya karena tidak memiliki teman sebab Sandek sedang terbaring sakit.
Direktur menghampiri Sandek di ruang operasi. Ia memaksa dokter untuk
menyembuhkan Sandek agar ia memiliki teman. Hal itu dikatakan langsung oleh
Direktur Umum kepada dokter Kepala. Lagi-lagi dalam dialog diatas, Direktur
dilanda kesunyian yang membuatnya membutuhkan teman dalam kehidupannya.
Sandek di dalam naskah DBT ini sebenarnya menjadi seteru Direktur, namun karena
memiliki beberapa kesamaan diantara mereka berdua membuat Direktur seperti
memiliki ikatan batin dengan Sandek. Arifin pada naskah ini memang sejatinya
93
Ibid h 64
101
seperti membelah satu orang menjadi dua tokoh dengan dua karakter yang bertolak
belakang. Dari sini sebenarnya bisa dilihat kejelian Arifin dalam menciptakan tokoh
untuk membuat konflik baru dalam sebuah naskah drama. Dalam dua tokoh ini,
Arifin membuat dua wajah yang berbeda untuk kemudian dibenturkan dalam satu
adegan. Inilah salah satu yang membuat naskah DBT menarik dari segi penyajian
konflik.
DIREKTUR UMUM : Kami bukan saja sama. Tapi yang paling penting kami
sama-sama mempunyai keluarga yang kami cintai. Juga kami mempunyai
cita-cita yang sama, yaitu membahagiakan keluarga kami.94
Petikan dialog di atas terjadi pada akhir babak pertama sesaat setelah Sandek
terkena serangan jantung. Jika dilihat secara seksama dari mulai kalimat pertama,
kedua dan ketiga, semuanya memperkuat argumen yang dilontarkan oleh tokoh
Direktur bahwa Direktur dengan Sandek bagaikan pinang dibelah dua. Petikan dialog
ini memperkuat sekaligus menegaskan bahwasanya tokoh Direktur Umum dan
Sandek adalah satu orang yang memiliki dua wajah. Petikan dialog diatas sekaligus
curahan hati Direktur Umum tentang hasratnya yang selama ini tertutupi oleh
hartanya sendiri. hal ini terkait dengan adegan di babak kedua dimana ketika tokoh
Direktur Umum dihadapkan dengan tokoh Ibu Tua yang mengaku sebagai ibunya.
Namun Direktur enggan mengakui ibunya tersebut lantaran perubahan „kondisi‟ yang
dialaminya sekarang. Hal inilah yang menjadi konflik batin pada diri Direktur Umum
yang pada awalnya mengakui ingin membahagiakan keluarganya, namun berbalik
menjadi lupa karena telah mendapatkan kekayaan.
Terus terang saya sama sekali tidak sedang memikirkan nasib dan perkara
Sandek. Ia hanyalah salah satu angka di antara angka-angka dalam
pembukuan perusahaan. Menurut laporan, sandek sekarang kembali menjadi
pengangguran. Tempatnya sudah direbut oleh seorang pekerja yang lain
setelah lolos dari persaingan hebat calon-calon pekerja yang fantastik
jumlahnya. Dia terlalu polos. Dan ia bodoh sekali karena tidak menyadari
94
Ibid h 20
102
kedudukan yang lemah. Di tengah arus tenaga kerja yang membanjir
suaranya tak akan didengar siapa-siapa.95
Petikan dialog di atas terjadi pada akhir babak kedua ketika Direktur selesai
memberikan patung ibunya yang dia kutuk ke museum nasional. Suasana yang
tergambar pada dialog tersebut adalah kesunyian. Kesunyian yang membuat Direktur
Umum merenungi tentang nasib Sandek saat ini yang posisinya sebagai buruh
tergeser oleh calon pekerja lainnya. Walau pada awal kalimat Direktur mengatakan
bahwa ia tidak peduli dengan nasib Sandek, namun pada kalimat selanjutnya justru
menggambarkan hal yang berkebalikannya. Direktur nampak tau betul apa yang
menimpa Sandek saat ini. Ia merenungi nasib Sandek yaang saat ini tidak jelas entah
bagaimana setelah posisinya tergeser. Suara Sandek dahulu ketika berani menentang
Direktur Umum kini tidak terdengar lagi. Menurut analisa Direktur Umum selaku
bosnya, hal ini dikarenakan arus tenaga kerja yang membanjir sehingga protes-protes
yang dilayangkan oleh Sandek tidak akan akan digubris. Konflik yang terjadi pada
Direktur ini bersumber dari dalam dirinya sendiri. Ia secara tidak sadar memikirkan
nasib Sandek yang sekarang tidak jelas. Konflik ini mengakibatkan Direktur merasa
kesepian dan awal dari kegundahan hati yang dirasakannya akibat tidak memiliki
teman. Walaupun ditengah keramaian ia masih merasa kesepian.
Saya pekerja yang keras tapi terus terang saya tidak bisa ingat lagi buat apa
semua ini. Samar-samar saya masih bisa membayangkan tampang saya ketika
saya masih bocah yang berjalan menuju ke sekolah. Tapi sulit saya ingat-ingat
wajah saya ketika bayi.96
Petikan dialog di atas menjadi representasi yang nyata dari kegundahan batin
yang dirasakan oleh Direktur Umum. Pada kalimat pertama kita bisa merasakan
kegamangan yang dirasakan oleh tokoh Direktur. Pada kalimat tersebut, Direktur
mengakui bahwa dirinya memang pekerja keras, namun dia tidak tau kerja kerasnya
selama ini untuk apa dan apa yang sedang dia kejar. Direktur Umum merasa apa yang
95
Ibid h 33 96
Ibid h 34
103
dia lakukan selama ini tidak ada tujuan akhirnya, walaupun ia bergelimang harta,
namun ia tidak menemukan kebahagiaan di dalamnya. Kerja kerasnya selama ini
hanyalah menghasilkan harta dan jabatan, namun tidak menghasilkan kebahagiaan.
Konflik batin yang dirasakannya ini membuatnya gundah dan merasakan kesepian.
Pada kalimat kedua, dia mulai berhalusinasi membayangkan masa kecilnya dulu.
Peristiwa ini di dalam teori pada bab dua disebut Fantasi/Stereotype. Peristiwa i ni
terjadi karena ketika kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang
kala kita mencari „solusi‟ dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan
fantasi ketimbang realitas. Dalam kaitannya dengan teori, Direktur Umum masuk ke
dalam dunia khayalnya. Ia membayangkan ketika ia masih sekolah. Ini bisa menjadi
pertanda bahwa dia rindu dengan masa-masa kecilnya. Sebagaimana kita ketahui,
masa kecil adalah masa-masa yang paling menyenangkan, karena kita tidak
memikirkan hal lain selain bermain.
DIREKTUR UMUM : Sekali lagi saya tegaskan. Saya tidak mengenal
perempuan tua yang compang-camping itu. Bagaimana mungkin saya tidak
mengenal ibu saya?
DIREKTUR UMUM : Jadi jelas dia bukan ibu saya97
Pada petikan dialog diatas, peristiwa yang dialami oleh Direktur Umum
adalah Agresi. Agresi adalah perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan
kegelisahan yang dapat menjurus pada perusakan dan penyerangan. Agresi dapat
berbentuk langsung dan pengalihan (direct aggression dan displaced aggression).
Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang
atau objek yang merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini
biasanya dalam bentuk verbal ketimbang fisik. Si korban yang tersinggung biasanya
akan merespon. Dialog diatas adalah akibat dari tokoh ibu yang terus terusan
mengakui Direktur sebagai anaknya. Hal ini menimbulkan rasa ketidaknyamanan
pada diri Direktur Umum sehingga ia melakukan agresi kepada Ibu Tua.
97
Ibid h 29
104
Selain itu, Direktur Umum juga mengalami proyeksi di dalam naskah drama
DBT. Proyeksi adalah situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat kita
terima dengan melimpahkannya dengan alasan lain. Proyeksi yang dialami oleh
Direktur Umum terjadi pada babak pertama ketika Direktur Umum berhadapan
dengan Sandek. Sikap kritis yang ditunjukkan Sandek ditanggapi dengan tenang oleh
Direktur Umum. Padahal bisa saja seorang bos perusahaan mengusir bawahannya
tersebut karena bersikap tidak sopan padanya. Namun Direktur tidak bertindak
demikian. ia merasa bahwa Sandek tidak perlu diperlakukan demikian.
Tokoh antagonis yang diemban oleh Direktur Umum di dalam naskah DBT
ini membuat konflik batin yang terjadi semakin terasa konfliknya. Arifin
menempatkan Sandek sebagai tokoh protagonis dan Direktur Umum sebagai tokoh
antagonis. hal seperti ini jarang ditemukan dimana tokoh antagonis dijadikan sebagai
tokoh utama. Ini menunjukan bahwa naskah DBT mengusung antihero. Lazimnya di
dalam sebuah cerita yang berperan sebagai tokoh utama adalah tokoh protagonis. Dan
tokoh antagonis adalah tokoh yang biasanya selalu termarjinalkan. Amanat di dalam
sebuah ceritapun tentu berpihak kepada tokoh protagonis dalam hal ini Sandek. Tentu
hal ini berbeda jika Direktur Umum adalah seorang tokoh yang protagonis, maka
akan cukup sulit bagi pengarang untuk membuat konflik batin bagi Direktur Umum
karena lebih mudah membuat konflik batin dengan tokoh antagonis dibanding
protagonis. Jika seorang pengarang ingin membuat konflik batin dengan medium
tokoh protagonis, konflik batin yang kemungkinan terjadi pada tokoh mungkin
hanyalah memilih diantara dua pilihan yang yang baik. Lain halnya jika konflik batin
terjadi pada tokoh antagonis, maka konflik yang terjadi lebih bervariasi. Selain bisa
dibenturkan dengan kebenaran, bisa pula dibenturkan dengan perasaan seperti halnya
yang dirasakan oleh Direktur Umum.
105
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Naskah drama DBT karya Arifin C Noer berisi tentang potret kesenjangan
yang terjadi antara seorang buruh dengan bosnya. Persoalan ini membuat tokoh
Direktur Umum, bos dari Sandek, mengalami konflik dengan dirinya sendiri. salah
satu permasalahan menarik yang diangkat pada naskah ini adalah mengenai konflik
batin sang tokoh. Konflik batin yang menyerang tokoh Direktur Umum sejatinya
terkait dengan religiusitas yang ingin ditampilkan oleh Arifin melalui tokoh
Direktur Umum.
Analisis konflik batin pada tokoh Direktur Umum dalam naskah drama DBT
karya Arifin C Noer dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah
melalui materi unsur intrinsik drama. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
tingkat sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tidak menitikberatkan pada aspek pengetahuan semata,
melainkan juga memerhatikan dan menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai
yang terdapat pada pengetahuan.
Agus R. Sarjono dalam bukunya Sastra dalam Empat Orba mengungkapkan
bahwa sebenarnya pengajaran sastra di sekolah memiliki peluang besar untuk
meningkatkan kemampuan apresiasi dan minat siswa terhadap sastra. Dari
penelitian-penelitian terhadap minat sastra di sekolah menengah sebagaimana
dilakukan oleh peneliti-peneliti diatas, dapat disimpulkan beberapa kesimpulan
pokok sebagai berikut:
1) Pada dasarnya pengajaran sastra berpengaruh pada minat siswa
terhadap sastra, namun ternyata tidak terdapat hubungan antara teori
yang diajarkan dengan kemampuan apresiasi siswa.
2) Guru tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana caranya
mengikuti perkembangan sastra di luar buku teks.
106
3) Siswa tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai
etis/moral budaya dalam kehidupan.98
Pembelajaran sastra dengan mengapresiasikan karya sastra dapat
mengembangkan kompetensi siswa untuk memahami setiap unsur dalam karya
sastra. Dengan menghargai keindahan yang tercermin dalam setiap unsur drama,
baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik, siswa akan mengetahui apa pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang. Siswa juga tidak hanya diajak untuk
membaca dan menganalisis karya sastra saja, akan tetapi siswa diajak untuk
menanamkan sikap positif terhadap karya sastra sehingga dapat mengembangkan
kemampuan berpikir, sikap dan keterampilan siswa.
Melalui pembelajaran sastra, siswa akan belajar percaya diri untuk tampil di
muka umum dan akan mengasah kemampuan dari berbagai aspek, baik dari segi
kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Guru juga dapat memosisikan dirinya
sebagai guru Bahasa Indonesia yang dapat mentransfer ilmu melalui pengalaman
dan pendekatan yang menyenangkan terhadap siswa. Guru pun dapat membantu
siswa menggali potensi yang dimilikinya, sehingga siswa dapat lebih bijaksana
menghargai dirinya sendiri dan lingkungan. Selain itu, siswa juga dapat
menanamkan nilai-nilai positif dalam hubungan bermasyarakat dan menjadi insan
yang saling menghargai serta memiliki semangat untuk memperjuangkan hidup
sejahtera.
Di dalam pembelajaran sastra di sekolah standar kompetensi yang digunakan
adalah menganalisis unsur intrinsik naskah drama. Jika dikaitkan dengan
kompetensi dasar yaitu menerangkan sifat-sifat tokoh dari kutipan naskah drama,
drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer dapat dijadikan bahan untuk
mengetahui permasalahan konflik batin pada manusia. Terlebih tujuan pembelajaran
pada materi tersebut adalah agar siswa mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik
dari naskah drama yang dibaca dan mampu menjelaskan sifat dan karakter tokoh.
98
Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2001), h 208
107
Jika mengacu pada tujuan pembelajaran, maka guru diharapkan mampu
memberikan pengarahan kepada siswa bagaimana caranya menanggulangi masalah
yang dihadapi oleh siswa. Setiap manusia pasti memiliki masalah, dan bagaimana
manusia tersebut mampu menelusuri akar dari penyebab permasalahan tersebut agar
kita tahu bagaimana cara atau tindakan apa yang harus diambil untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Ketika di dalam kelas, guru harus menggunakan metode pembelajaran yang
variatif agar siswa tidak merasa bosan dalam tiap pertemuan. Variasi metode bisa
berupa bermain peran di dalam kelas, dimana setiap siswa dituntut untuk memilih
karakter yang disukai dan kemudian memerankannya. Ketika sudah selesai, maka
seluruh siswa kembali diperintahkan untuk memilih karakter yang tidak disukai
kemudian memerankannya. Metode seperti ini melatih siswa agar mampu
merasakan menjadi orang lain. Dengan adanya variasi metode, siswa diharapkan
lebih nyaman dan antusias dalam menerima pelajaran sehingga pesan yang
disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran dapat ditangkap dengan baik
oleh siswa. Inilah yang menjadi indikasi tercapainya pembelajaran yang diharapkan
oleh guru maupun siswa.
Selain unsur intrinsik, naskah drama Dalam Bayangan Tuhan pun bisa
dijadikan sebagai sumber bagi guru kelas IX semester ganjil dalam materi unsur
intrinsik bagian penokohan/perwatakan dimana terdapat persoalan konflik batin.
Guru juga dapat mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya tanpa menyalahkan orang-orang di sekelilingnya.
Hal ini penting karena biasanya orang yang mengalami konflik batin dan orang
tersebut tidak dapat mengatasinya, maka orang-orang yang ada di sekitarnya
terkena dampaknya, entah itu berupa kemarahan atau bahkan tindakan yang tidak
mengenakkan. Hal inilah yang perlu ditanampak oleh guru kepada siswanya, yakni
menyelesaikan permasalahannya sendiri.
108
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap naskah drama Dalam Bayangan
Tuhan karya Arifin C Noer mengenai konflik batin serta implikasinya
terhadap pembelajaran sastra di sekolah, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Konflik batin yang terjadi pada tokoh Direktur Umum dalam naskah
drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer merupakan akibat
dari kurangnya kedekatan tokoh terhadap tuhannya. Hal tersebut dapat
diidentifikasi dari dialog tokoh Direktur Umum yang menyatakan
bahwa dirinya merasa kesepian terutama semenjak ia tidak lagi bisa
berdoa. Pernyataan ini menjadi benang merah bagi konflik batin yang
dialami oleh tokoh Direktur Umum. Aspek religiusitas dalam diri
Direktur Umum tergali, bahwa ia sedang merasakan teguran dari Allah
swt atas kelalaiannya sebagai manusia. Konflik ini menyebabkan
kekacauan pada diri Direktur Umum hingga pada puncaknya, ia tidak
mau mengakui ibunya sendiri karena dibutakan oleh kesuksesan yang
diraihnya. Pada akhirnya, Direktur Umum mengharapkan kehadiran
Sandek yang saat itu terbaring di meja operasi, dimana sepanjang
jalannya cerita menjadi lawan debatnya. Hal ini dikarenakan Direktur
Umum merasa kesepian dan membutuhkan teman seperti Sandek.
2. Implikasi pembelajaran sastra di sekolah melalui drama Dalam
Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer berkaitan dengan kompetensi
dasar untuk mendeskripsikan perwatakan dalam unsur intrinsik drama.
Melalui naskah DBT, siswa dapat mengidentifikasi dan mengetahui
bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh dalam sebuah naskah
drama. Melalui naskah DBT pula, siswa diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahannya ketika berkonflik dengan diri sendiri
karena hal ini sering dialami oleh siswa. Selain itu, dalam dimensi
109
religiusitas, siswa diharapkan agar dekat dengan tuhannya dengan
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya,
sebab hal ini merupakan hubungan horizontal yang harus dibangun oleh
seorang manusia terhadap tuhannya, sebagai salah satu bentuk
kepatuhan manusia agar mendapat ketenangan dalam menjalani
kehidupannya.
B. SARAN
1. Naskah drama Dalam Bayangan Tuhan dapat digunakan sebagai bahan
untuk pembelajaran sastra di sekolah oleh guru, baik dalam materi
unsur intrinsik drama, maupun pementasan drama.
2. Melalui pembelajaran sastra, siswa dapat menanamkan sikap positif
terhadap karya sastra dan mengambil intisari yang terkandung di
dalamnya sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir, sikap,
dan keterampilan siswa dalam kehidupannya.
3. Melalui pembelajaran konflik batin yang telah dipelajari di dalam
naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer, diharapkan
peserta didik dapat belajar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
pada dirinya sendiri tanpa harus menyalahkan orang lain akibat
ketidakmampuan mengatasi permasalahannya sendiri.
110
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra. (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1990)
B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988)
Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi, (Magelang:Indonesia Tera, 2006)
Endraswara, Suwardi. Teori Kritik Sastra (Yogyakarta:CAPS, 2013)
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : CAPS, 2011)
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori, (Bandung : Angkasa, 2013)
Hasanuddin WS. Drama Karya dalam Dua Dimensi (Bandung: Angkasa, 1996)
Irwanto. Psikologi Umum, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Khotib Eko, Wawancara, teater El Na’ma pada hari sabtu, 24 Juni 2017 pkl. 19.00
WIB
Kusmawati, Magdalena. Gambaran Resiliensi dan Dukungan Sosial pada Anak
berusia 7-12, (Jakarta: Fakultas Psikologi Atma Jaya, 2003)
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005)
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra ( Jakarta : Pustaka Obor Indonesia, 2016)
Nabhani, Taqiyuddin An. Hakekat Berpikir, (Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah,2006)
Noer, Arifin C. Dalam Bayangan Tuhan, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,
1984)
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2013)
Priyatna, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010)
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Dari Konsep ke Panggung Arifin,
(Semarang: Harian Suara Merdeka, 2005)
111
Ratna, Nyoman Kutha, S.U. Sastra dan Cultural Studies. (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007)
Rendra. Seni Drama untuk Remaja, (Jakarta: Burung Merak Press)
San, Suyadi. Drama, Konsep Teori dan Kajian. (Medan : Partama Mitra Sari,
2013)
Sardjono, Agus R. Sastra dalam Empat Orba. (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2001)
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. (Padang : Angkasa Raya, 1988)
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta : Grasindo, 2008)
Sobur, Alex. Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Utama, 2009)
Sentosa, Puji. “Biografi Arifin C.Noer”, http://pujies
pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-cnoer. html.
Stanton, Robert. Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Waluyo, Herman J, Drama Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita
Graha Widia, 2011)
Wellek, Renne dan Austin Warren, Teori Kesusastraan. (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995)
SINOPSIS
Naskah drama Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin C Noer adalah
sebuah naskah drama yang bercerita tentang pertikaian sepasang tokoh utama
yang memiliki kepribadian serupa. Tokoh tersebut adalah Sandek dan Direktur
Umum. Pada awal cerita, Sandek dan Direktur Umum saling berhadapan untuk
beradu argumentasi. Dengan latar tempat ruang kerja Direktur Umum dan suasana
mewah yang digambarkan oleh Arifin melalui tokoh Sandek, mereka saling
melontarkan argumen nyinyir untuk menjatuhkan lawannya. Sampai pada
akhirnya ketika Direktur Umum bertanya tentang nama istri Sandek, mereka
berdua terkejut karena memiliki nama istri yang sama yaitu Oni. Selanjutnya
mereka terus saling menyebutkan nama keluarganya dan anehnya selalu sama.
Direktur umum pun terkena serangan jantung akan tetapi itu mampu diatasinya
karena ia selalu membawa obat serangan jantung. Setelah itu gantian Sandek yang
terkena serangan jantung. Serangan jantung yang menyerang Sandek membuatnya
pingsan di tempat. Hal tersebut karena Sandek tidak diberi obat serangan jantung
oleh Direktur Umum.
Pada pergantian babak yang kedua, adegan dimulai ketika Direktur Umum
berorasi di hadapan para hadirin dan wartawan untuk meresmikan sebuah pabrik
baru miliknya. Pada acara yang dihelat di pabrik barunya itu, muncul sesosok
wanita tua yang mengaku sebagai ibu Direktur Umum. Ibu tersebut pada awalnya
tidak nampa oleh para hadirin sampai pada akhirnya ia berdoa kepada tuhan agar
orang-orang dapat melihatnya dan tuhanpun langsung mengabulkan doa ibu
tersebut. Sang ibu kemudian berusaha untuk menghampiri Direktur Umum yang
ia panggil dengan sebutan malin. Tetapi petugas keamanan mencoba menghalangi
ibu tersebut. Namun dengan kekuatan supranaturalnya ibu tersebut menyihir
petugas keamanan yang mencoba menghalanginya untuk bertemu dengan
anaknya. Ibu tersebut mendekati Direktur umum yang sedang diwawancarai oleh
para wartawan. Direktur Umum yang sedang diwawancarai sontak kaget karena
ada wanita tua yang tiba-tiba datang dan memanggil dirinya malin. Sang ibu
mulai bercerita bagaimana ia mencari-cari anaknya ke pelosok dunia sampai ke
tempat ini dan akhirnya bertemu dengan anaknya yang selama bertahun-tahun
tidak pulang ke rumah. Akan tetapi Direktur Umum enggan mengakui bahwa itu
ibunya. Dengan keangkuhannya ia berusaha untuk mengusir ibunya sendiri. sang
ibu yang sakit hati mulai mengeluarkan kata-kata kutukan kepada anaknya seperti
halnya pada cerita rakyat malin kundang. Perlahan langit mulai mendung dan
kutukan tersebut mulai bekerja menyerang Direktur Umum. Direktur Umum
mulai gelagapan karena berusahan menangkal kutukan yang mulai turun
menyerangnya. Akan tetapi anomali terjadi. Penyimpangan sejarah terjadi pada
naskah drama ini. Tidak seperti kisah malin kundang yang dikutuk oleh ibunya
menjadi batu, Direktur Umum yang dikutuk oleh ibunya tidak berubah menjadi
batu. Justru ibu malin lah yang menjadi patung karena dikutuk oleh anaknya
sendiri yaitu Direktur Umum atau malin.
Di babak ketiga, semua adegan berlatar di rumah sakit dengan Sandek dan
Oni sebagai pemeran utamanya. Adegan dimulai ketika dokter bersama
rombongannya melakukan visit ke dalam kamar untuk mengecek pasien satu
persatu. Pada awal babak ketiga ini sempat terjadi insiden antaran seorang mayat
dengan dokter kepala. Sang mayat menyerang dokter kepala karena merasa
ditelantarkan. Hidup ditelantarkan, matipun ditelantarkan. Namun insiden ini bisa
diatasi oleh para perawat yang berhasil menghentikan serangan sang mayat
kepada dokter kepala. Selanjutnya dokter kepala terus memeriksa pasien satu
persatu. Namun permasalahan pasien rata-rata pada masalah administrasi. Mereka
tidak mampu membayar biaya perawatan sehingga terpaksa tinggal di rumah sakit
selama bertahun-tahun lamanya. Adegan pada babak ketiga ditutup dengan
ditangkapnya sandek oleh polisi karena masuk ke dalam rumah sakit secara diam-
diam. Para perawat berusaha untuk tetap mempertahankan Sandek dan Oni,
namun para polisi bersikukuh untuk tetap membawa Sandek keluar dari rumah
sakit.
Di babak keempat, adegan diawali dengan munculnya tokoh Sutradara
untuk menjelaskan mengenai persiapan babak keempat. Adegan dimulai dengan
berlatar rumah Sandek dan Oni sedang mengeroki Sandek. Mereka berdua
berdiskusi mengenai kehidupan mereka yang terus-terusan terpinggirkan. Lalu
muncullah kedua anak Sandek yang datang dalam keadaan menangis. Melihat
kedatangan kedua anaknya, Oni segera menghapus linangan air mata yang sedari
tadi mengalir di pipinya. Kesedihan yang melanda rumah tangga Oni membuat
para tetangga berdatangan ke rumahnya. Mereka mencoba memberikan saran
kepada Sandek. Adegan selanjutnya adalah Sandek berada di ruang operasi karena
penyakit yang dideritanya. Ketika Dokter Kepala melakukan operasi terhadap
Sandek, tiba-tiba Direktur Umum datang dengan rasa kasihan kepada Sandek. Ia
menyesali apa yang menimpa Sandek karena saat ini Direktur sangat
membutuhkan temannya yaitu Sandek. Namun sayangnya, Sandek sedang
terbaring lemah di meja operasi. Adegan pada babak keempat ini ditutup dengan
Sandek yang sulit berbicara karena wabah yang terjadi di rumah sakit tersebut.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Nama Sekolah : SMP AL HIDAYAH
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : IX/I
Alokasi Waktu : 2x45 Menit
Standar Kompetensi : menganalisis unsur intrinsik naskah drama
Kompetensi Dasar : menerangkan sifat-sifat tokoh dari kutipan naskah drama
I. Tujuan Pembelajaran
- Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari naskah drama yang dibaca
- Siswa mampu menjelaskan sifat dan karakter tokoh
II. Indikator
- Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
- Mampu mengidentifikasi sifat dan karakter tokoh
III. Materi Pembelajaran
- Naskah Drama Dalam Bayangan Tuhan
- Unsur-unsur Intrinsik novel
IV. Metode Pembelajaran
- Presentasi
- Diskusi Kelompok
- Tanya Jawab
V. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
A. Kegiatan Awal Pembelajaran
- Guru memberikan salam kepada siswa kemudian berdoa bersama untuk memulai
kegiatan pembelajaran.
- Guru melakukan presensi kepada siswa.
- Guru menyampaikan kompetensi dasar yang akan dicapai melalui kegiatan
pembelajaran.
- Guru melakukan apresiasi dengan cara memberi pertanyaan kepada peserta didik
tentang materi yang akan dibahas.
B. Kegiatan Inti
1. Eksplorasi
- Guru meminta peserta didik mencari naskah drama di perpustakaan.
- Guru meminta peserta didik dengan demokratis menentukan bersama salah
satu naskah drama yang ingin dicari unsur intrinsik.
- Guru meminta kepada peserta didik untuk membaca dan memahami naskah
drama yang dipilih.
2. Elaborasi
- Guru meminta kepada peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi yang
terdiri atas 3-4 orang peserta didik.
- Guru menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan yang terdapat dalam naskah
drama.
- Peserta didik berdiskusi untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik.
- Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema
,penokohan ,alur, sudut pandang, latar, dan amanat).
- Peserta didik berdiskusi untuk membandingkan unsur intrinsik.
- Salah satu peserta didik mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
- Peserta didik yang lain menanggapi presentasi hasil diskusi kelompok yang
lain.
3. Konfirmasi
- Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan
tentang hal-hal yang belum diketahui.
- Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
C. Kegiatan Akhir
- Guru dan peserta didik bersama-sama untuk membuat kesimpulan terhadap
materi pembelajaran yang telah dilakukan.
- Guru memberikan tugas di rumah kepada peserta didik agar mencari naskah
drama lain untuk menganalisis unsur intrinsik.
- Guru menutup kegiatan dan menutup salam.
VI. Sumber Pembelajaran
- Kutipan naskah drama Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer
- Biografi Arifin C Noer
- Buku bahasa indonesia untuk SMP/MTs kelas IX
VII. Penilaian hasil belajar
1. Teknik
- Tes (PG,isian,dan uraian)
- Penugasan menjelaskan unsur intrinsik.
2. Instrumen soal
a. Apa pengertian dari unsur intrinsik?
b. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur intrinsik?
c. Sebutkan dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam naskah drama Dalam Bayangan
Tuhan ?
UNSUR INTRINSIK DRAMA MATERI BAHASA INDONESIA
Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur
intrinsik sebuah drama adalah unsur-unsur yang turut serta membangun sebuah cerita. Di
bawah ini akan dipaparkan unsur intrinsik yang terdapat pada drama.
UNSUR INTRINSIK DRAMA
1. Tema
Tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon drama. Pikiran pokok ini
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang lebih menarik. Tema
dikembangkan melalui alur dramatik melalui dialog tokoh-tokohnya. Tema adalah ide
yang mendasari cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema merupakan ide pusat atau pikiran
pusat, arti dan tujuan cerita, pokok pikiran dalam karya sastra, gagasan sentral yang
menjadi dasar cerita dan dapat menjadi sumber konflik-konflik.
2. Amanat
Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah
atau penonton drama. Pesan ini tidak disampaikan secara langsung, tapi lewat naskah
drama yang ditulisnya atau lakon drama itu sendiri. Penonton atau pembaca harus
menyimpulkan sendiri pesan moral apa yang diperoleh dari membaca naskah atau
menonton drama tersebut.
3. Perwatakan/Karakter Tokoh
Perwatakan atau karakter tokoh adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh
dalam lakon drama. Karakter ini diciptakan oleh penulis lakon untuk diwujudkan oleh
para pemain drama. Tokoh-tokoh drama disertai penjelasan mengenai nama, umur, jenis
kelamin, ciri-ciri fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya. 3 macam perwatakan yakni:
a. Antagonis, tokoh utama berprilaku jahat
b. Protagonis, tokoh utama berprilaku baik
c. Tritagonis, tokoh yang berperanan sebagai tokoh pembantu
4. Dialog
Ciri khas suatu drama adalah naskah tersebut berbentuk percakapan atau dialog.
Penulis naskah drama harus memerhatikan pembicaraan yang akan diucapkan. Ragam
bahasa dalam dialog antartokoh merupakan ragam lisan yang komunikatif. Dialog
melancarkan cerita atau lakon. Dialog mencerminkan pikiran tokoh cerita. Dialog
mengungkapkan watak para tokoh cerita. Dialog merupakan hubungan tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain. Dialog berfungsi menghubungkan tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain. Dialog juga berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian
tokoh cerita.
Ada dua macam teknik dialog, yaitu monolog dan konversi (percakapan). Ada juga
teknik dialog dalam bentuk prolog dan epilog. Prolog berarti pembukaan atau peristiwa
pendahuluan yang diucapkan pemeran utama dalam sandiwara. Epilog berarti bagian
penutup pada karya drama untuk menyampaikan atau menafsirkan maksud karya drama
tersebut.
5. Alur/Plot
Alur/plot cerita atau jalan cerita. Dalam drama juga mengenal tahapan plot yang
dimulai dari tahapan permulaan, tahapan pertikaian, tahapan perumitan, tahapan
puncak, tahapan peleraian, dan tahapan akhir.
Alur dalam drama dibagi menjadi babak-babak dan adegan-adegan. Babak adalah
bagian dari plot atau alur dalam sebuah drama yang ditandai oleh perubahan setting atau
latar. Sedangkan adegan merupakan babak yang ditandai oleh perubahan jumlah tokoh
ataupun perubahan yang dibicarakan. Alur cerita ini dapat dibagi menjadi beberapa,
pengenalan, pertikaian/konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan, penyelesaian.
1. Pengenalan/Eksposisi. Pengenalan adalah bagian yang mengantarkan atau
memaparkan tokoh, menjelaskan latar cerita, dan gambaran peristiwa yang akan
terjadi. Pada tahap ini penonton diperkenalkan dengan tokoh-tokoh drama beserta
wataknya, dan fakta-fakta tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit.
2. Konflik. Konflik adalah persoalan-persoalan pokok yang mulai melibatkan para
pemain drama. Dalam tahap ini mulai ada kejadian (insiden) atau peristiwa yang
merupakan dasar dari drama tersebut.
3. Komplikasi. Komplikasi merupakan tahap dimana insiden yang terjadi mulai
berkembang dan menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet.
Banyak persoalan yang kait-mengait, tetapi semuanya masih menimbulkan tanda
tanya.
4. Klimaks. Klimaks adalah tahapan puncak dari berbagai konflik yang terjadi dalam
drama tersebut. Bila dilihat dari sudut pembaca naskah atau penonton drama maka
klimaks adalah puncak ketegangan. Bila dilihat dari sudut konflik maka klimaks
adalah titik pertikaian paling ujung antar pemain drama.
5. Resolusi/Peleraian. Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian konflik. Jalan keluar
penyelesaian konflik-konflik yang terjadi sudah mulai tampak jelas.
6. Penyelesaian. Penyelesaian merupakan tahap terakhir dari sebuah drama. Dalam tahap
terakhir ini semua konflik berakhir dan cerita selesai.
6. Latar/Setting
Latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah drama. Latar
tidak hanya merujuk kepada tempat, tetapi juga ruang, waktu, alat-alat, benda-benda,
pakaian, sistem pekerjaan, dan sistem kehidupan yang berhubungan dengan tempat
terjadinya peristiwa yang menjadi latar ceritanya.
7. Bahasa
Setiap penulis drama mempunyai gaya sendiri dalam mengolah kosa kata sebagai
sarana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain berkaitan dengan
pemilihan kosa kata, bahasa juga berkaitan dengan pemilihan gaya bahasa (style). Bahasa
yang dipilih pengarang untuk kemudian dipakai dalam naskah drama tulisannya pada
umumnya adalah bahasa yang mudah dimengerti (bersifat komunikatif), yakni ragam
bahasa yang dipakai dalam kehidupan keseharian. Bahasa yang berkaitan dengan situasi
lingkungan, sosial budaya, dan pendidikan. Bahasa yang dipakai dipilih sedemikian rupa
dengan tujuan untuk menghidupkan cerita drama, dan menghidupkan dialog-dialog yang
terjadi di antara para tokoh ceritanya. Demi pertimbangan komunikatif ini seorang
pengarang drama tidak jarang sengaja mengabaikan aturan aturan yang ada dalam tata
bahasa baku.
MENGEKSPRESIKAN PERILAKU TOKOH DRAMA
Macam - Macam Penokohan / Perwatakan Tokoh Drama
Sebuah pementasan drama tidak bisa dikatakan berhasil jika para pemainnya tidak
bisa memerankan tokoh yang dimainkannya sesuai dengan watak yang telah ditentukan. Jadi
para pemain drama harus bisa mengekspresikan Perilaku Tokoh dalam Drama. Agar
pengetahuan dan pemahaman kalian tentang tokoh dan perwatakannya dalam sebuah drama
maka pada kesempatan ini saya akan memberikan Macam - Macam Penokohan / Perwatakan
Tokoh Drama. Dengan mempelajari berbagai macam bentuk watak tokoh-tokoh dalam
drama, maka kalian diharapkan mampu secara maksimal dalam memerankan tokoh ketika
bermain drama nanti.
Sebuah naskah drama terasa belum menarik bila belum dipentaskan. Melalui
pementasan drama, kamu dapat lebih menghayati dan menemukan isi ceritanya. Untuk dapat
mementaskan drama dengan baik, kamu harus benar-benar mengenal watak/karakter tokoh-
tokohnya. Penokohan adalah cara pemain drama mengembangkan dan menggambarkan
karakter tokoh dalam cerita. Penokohan ada tiga macam, yaitu tokoh protagonis, antagonis,
dan tritagonis.
a. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang memiliki karakter baik, ramah, sopan disukai, dan
diidolakan penonton.
b. Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang memiliki perwatakan tidak baik, dibenci oleh
penonton, dan pemicu adanya konflik/permasalahan.
c. Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu yang bersifat netral, baik bagi tokoh
antagonis maupun protagonis.
Sementara itu, teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi tokoh ada dua macam, yaitu
teknik analitik dan dramatik.
a. Teknik analitik, yaitu karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh sutradara.
Tokoh digambarkan secara utuh dari segi fisik/jasmani, sikap, watak, dan karakternya.
Semua diuraikan secara lengkap oleh sutradara.
b. Teknik dramatik, yaitu karakter tokoh diungkapkan melalui penggambaran fisik,
lingkungan, dialek/bahasa, pola pikir, dan sikap terhadap tokoh lain.
BIOGRAFI PENULIS
Mohammad Idham Chaled, lahir di Jakarta, 27 Maret 1994. Anak pertama dari tiga
bersaudara ini menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 01 Pondok Cabe pada tahun
2006, MTSN 19 Jakarta pada tahun 2009, dan MAN 11 Jakarta pada tahun 2012. Di tahun
yang sama, ia melanjutkan studinya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Seja kecil, idham gemar bermain bola dan futsal. Ia pernah berlatih di SSB Jayakarta
Ragunan pada tahun 2011. Sampai sekarang, idham masih melanjutkan hobinya tersebut
dengan membentuk tim futsal SASTRANESIA yang beranggotakan mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Kegemarannya ini telah menghasilkan berbagai macam
piala di ranah kampus, mulai dari MP EXPO, Tarbiyah EXPO, SOSIAL CUP, GANN CUP,
PBSI CUP, TROFEO PBSI, dan lain-lain. Selain hobinya di bidang olahraga, ia juga gemar
membaca novel terutama karya penulis idolanya, Habiburrahman El Shirazy. Beberapa novel
karya kang abik yang telah ia habiskan adalah Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2, Api Tauhid dan lain-
lain.
Anak dari pasangan Drs. Abidin Ahmad, M. Pd dan Aifitri Susilowati ini juga aktif di
komunitas sastra yaitu Oretan Liar. Di komunitas ini, ia banyak belajar tentang sastra,
terutama sastra Indonesia. kecintaannya dalam dunia sastra membawanya pernah
mementaskan naskah drama Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin C Noer di Hall Student
Center, dan naskah Savage Oddisey bersama Lingkar Sastra Tarbiyah di Grand Indonesia.
Selain itu, idham pernah menjadi pengurus HMJ PBSI periode 2013-2014 dan menjadi ketua
departemen bidang Keagamaan pada periode 2014-2015. Dalam lingkungan rumah,
mahasiswa yang bertempat tinggal di pasar jumat, lebak bulus ini pernah menjabat sebagai
sekretaris Musholla Ar Rahman dan menjadi anggota remaja Lima Mandiri.