minuman berasam tinggi

27
4 TINJAUAN PUSTAKA Minuman Ready to Drink Berasam Tinggi Ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk produk minuman dalam kemasan yang dijual dalam bentuk siap minum. Tergantung proses produksi dan jenis produknya, kemasan produk RTD ini bermacam-macam. Kemasan yang biasa dijumpai di pasar untuk produk RTD antara lain botol kaca, botol plastik, pouch, kaleng dan lain-lain. Proses produksi minuman RTD dapat dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh produk dalam kondisi steril komersial sehingga aman untuk dikonsumsi (Hariyadi P 2000). Berdasarkan situs resmi USFDA (United States Food and Drugs Administration) (www.cfsan.fda.gov ), Codes of Federal Regulations (CFR) Titel 21, Vol. 2, bagian 114 produk yang dikaji dalam penelitian ini tergolong makanan yang diasamkan (acidified foods). Pengertian makanan yang diasamkan (acidified foods) sendiri adalah makanan berasam rendah yang ditambah dengan asam atau makanan bersaman tinggi (acid foods). Makanan berasam tinggi (acid foods) adalah makanan yang memiliki pH alami 4.6 atau kurang (USFDA 2008b). Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH di bawah 4.6 (Fardiaz 1992). Holdsworth (1997) menyatakan bahwa derajat keasaman suatu bahan dimana mikroorganisme mungkin tumbuh adalah faktor penting dalam menentukan proses thermal yang akan digunakan. Mikroorganisme menjadi lebih sensitif terhadap proses pemanasan dengan semakin rendahnya pH medium pemanasan. Dengan kata lain sterilisasi komersial dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih pendek jika pH produk semakin rendah. Sebagai perbandingan, jika sterilisasi komersial terhadap makanan berasam rendah harus dilakukan pada suhu 135- 150°C selama beberapa detik, maka pada makanan berasam tinggi hanya

Upload: furi-andoyo

Post on 21-Nov-2015

70 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Proses Pembuatan Minuman Berasam tinggi dari IPB

TRANSCRIPT

  • 4

    TINJAUAN PUSTAKA

    Minuman Ready to Drink Berasam Tinggi

    Ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk produk minuman

    dalam kemasan yang dijual dalam bentuk siap minum. Tergantung proses

    produksi dan jenis produknya, kemasan produk RTD ini bermacam-macam.

    Kemasan yang biasa dijumpai di pasar untuk produk RTD antara lain botol kaca,

    botol plastik, pouch, kaleng dan lain-lain. Proses produksi minuman RTD dapat

    dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort

    atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan

    secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk

    memperoleh produk dalam kondisi steril komersial sehingga aman untuk

    dikonsumsi (Hariyadi P 2000).

    Berdasarkan situs resmi USFDA (United States Food and Drugs

    Administration) (www.cfsan.fda.gov), Codes of Federal Regulations (CFR) Titel

    21, Vol. 2, bagian 114 produk yang dikaji dalam penelitian ini tergolong makanan

    yang diasamkan (acidified foods). Pengertian makanan yang diasamkan

    (acidified foods) sendiri adalah makanan berasam rendah yang ditambah dengan

    asam atau makanan bersaman tinggi (acid foods). Makanan berasam tinggi (acid

    foods) adalah makanan yang memiliki pH alami 4.6 atau kurang (USFDA 2008b).

    Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan

    karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian

    pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan

    semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH di

    bawah 4.6 (Fardiaz 1992). Holdsworth (1997) menyatakan bahwa derajat

    keasaman suatu bahan dimana mikroorganisme mungkin tumbuh adalah faktor

    penting dalam menentukan proses thermal yang akan digunakan.

    Mikroorganisme menjadi lebih sensitif terhadap proses pemanasan dengan

    semakin rendahnya pH medium pemanasan. Dengan kata lain sterilisasi

    komersial dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih

    pendek jika pH produk semakin rendah. Sebagai perbandingan, jika sterilisasi

    komersial terhadap makanan berasam rendah harus dilakukan pada suhu 135-

    150C selama beberapa detik, maka pada makanan berasam tinggi hanya

  • 5

    dibutuhkan suhu 85-95C selama 15-30 detik untuk mencapai keadaan steril komersial (Fardiaz 1992).

    Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH < 4.5), proses pasteurisasi

    sudah cukup untuk memperpanjang umur simpan. Proses pasteurisasi juga

    bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan

    kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan

    tersebut (Fellow 1992).

    Proses Produksi Minuman Ready to Drink Secara Aseptik

    Meskipun pengolahan aseptik bukan merupakan konsep baru, namun hal

    ini menjadi hal yang sangat menarik pihak industri beberapa tahun terakhir.

    Setelah sukses di Eropa dan Jepang selama beberapa tahun, pengemasan

    aseptik bertambah populer di Amerika Utara sejak 1981 ketika hidrogen

    peroksida disetujui penggunaannya sebagai sterilan kemasan. Proses aseptik

    telah menjadi kisah sukses untuk produk minuman buah, konsentrat dan jus yang

    mengandung partikel kecil. Dalam proses aseptik, produk dan bahan kemas

    disterilkan terpisah kemudian produk dikemas dalam kondisi steril (Ramaswamy

    dan Marcotte 2006).

    Untuk mempermudah pengertian tentang sistem pengolahan dan

    pengemasan secara aseptik, maka diperlukan beberapa definisi, terutama yang

    berhubungan dengan sistem-sistem aseptik (Anjaya 2000).

    1. Aseptik : menggambarkan suatu kondisi dimana tidak terdapat

    mikroorganisme termasuk spora hidup pada tempat tersebut.

    2. Sistem aseptik : menunjukkan keseluruhan sistem yang diperlukan untuk

    menghasilkan produk yang steril komersial dalam suatu wadah yang

    ditutup secara hermetis

    3. Sistem pengolahan aseptik : menunjukkan suatu sistem hanya pada tingkat

    pengolahan produk secara aseptik dan mengirimkan produk tersebut pada

    suatu sistem pengemasan

    4. Sistem pengemasan aseptik : menunjukkan suatu sistem pengemasan,

    yaitu kemasan steril diisi dengan produk steril kemudian dilakukan

    penutupan wadah secara hermetis dalam kondisi atau ruang steril. Pada

    sistem ini dapat pula dilakukan pembentukan kemasan sekaligus proses

    sterilisasi kemasannya

  • 6

    Sistem Pengolahan secara Aseptik

    Pada proses pengolahan aseptik, produk dipanaskan dengan melewatkan

    pada alat pemindah panas dan ditahan untuk beberapa waktu pada holding tube

    sesuai dengan proses panas yang didesain. Setelah melalui proses pemanasan,

    produk dilewatkan kembali melalui alat pemindah panas untuk didinginkan.

    Proses pengisian produk ke dalam kemasan yang sudah disterilkan sebelumnya

    kemudia di tutup dilakukan dalam kondisi aseptik (Ramaswamy dan Marcotte

    2006).

    Pada alat pemindah panas tipe pelat terdiri dari piringan atau pelat baja

    tahan karat yang tipis dan dirangkai secara ketat dalam kerangka. Jumlah

    piringan dapat diatur sesuai dengan keperluan. Produk mengalir pada satu sisi

    dan medium pemanas mengalir pada sisi sebelahnya secara berselang-seling.

    Alat pemanas ini digunakan untuk produk cair yang homogen (misalnya susu,

    sari buah).

    Setiap kali produk dialirkan ke alat pemanas untuk mencapai suhu

    sterilisasi maka produk segera dialirkan ke tabung penampung (holding tube)

    dengan tetap mempertahankan suhu produk tersebut. Waktu yang diperlukan

    oleh produk oleh produk panas untuk mengalir dalam waktu tersebut

    diasumsikan sebagai waktu tinggal (holding time), yang harus dispesifikasikan

    dalam jadwal proses. Besarnya volume tabung penampung (tercermin dalam

    ukuran panjang dan diameter tabung) dikombinasikan dengan karakteristik dan

    laju aliran produk menunjukkan waktu tinggal produk yang sebenarnya dalam

    tabung penampung (Anjaya 2000).

    Pendinginan produk bertujuan untuk mengurangi atau menurunkan suhu

    produk sebelum dilakukan proses pengisian. Dalam sistem yang menggunakan

    pemanasan tidak langsung seperti alat pemindah panas tipe pelat, maka alat

    pendingin akan mendinginkan produk steril dan sebaliknya memanaskan bahan

    baku atau bahan yang akan disterilkan.

    Suatu hal yang penting diingat bahwa sebelum dilakukan proses sterilisasi

    produk, maka seluruh peralatan, bahan kemas dan lingkungan yang

    berhubungan dengan proses tersebut harus dibersihkan dan disterilkan terlebih

    dahulu (Sandeep et al. 2004).

    Sterilisasi peralatan dapat dilakukan dengan menggunakan uap jenuh

    ataupun air panas. Pada umumnya peralatan tersebut disterilkan dengan air

  • 7

    panas yang disirkulasikan sercara bersinambung ke seluruh permukaan bagian

    dalamnya dengan waktu kontak yang cukup sehingga tercapai kondisi steril.

    Untuk tangki penampungan biasanya disterilkan dengan uap panas jenuh,

    bukannya menggunakan air panas karena ukuran tangki yang cukup besar.

    Walaupun tangki penampungan produk disterilkan secara terpisah, yaitu dengan

    uap panas, namun pelaksanaannya dilakukan secara simultan dengan sterilisasi

    peralatan yang menggunakan air panas (Anjaya 2000).

    Proses Thermal dalam Pengolahan Pangan

    Pengolahan pangan dengan suhu tinggi merupakan metode pengolahan

    yang telah lama digunakan orang dan sampai saat ini masih merupakan metode

    pengolahan pangan yang paling popular digunakan di industri pangan.

    Penggunaan panas pada pangan dimulai sejak manusia memasak makanannya.

    Meskipun sudah lama cara pemasakan dengan api digunakan, baru pada tahun

    1804 panas digunakan untuk pengawetan. Pada waktu itu Nicholas Apert

    berhasil mengawetkan makanan dengan cara memanaskan makanan dengan

    tahapan yang sangat sederhana. Pada saat itu belum dapat dijelaskan

    mekanisme pengawetan yang terjadi yang menyebabkan makanan tersebut

    dapat menjadi awet (Hariyadi P 2000).

    Lima puluh tahun kemudian, seorang ahli mikrobiologi yang bernama Louis

    Pasteur dapat memberikan jawaban tentang mekanisme pengawetan dengan

    menggunakan panas ini. Menurut hasil penelitiannya, proses pemananasan

    dapat mengawetkan makanan karena panas dapat membunuh atau

    memusnahkan mikroba pembusuk. Sejak saat itu teknologi pengawetan dengan

    panas berkembang dengan pesat, fokus penelitian 5 dekade setelah itu adalah

    mikrobiologi dan dekomposisi atau kerusakan produk (Ramaswamy dan Marcotte

    2006).

    Penggunaan panas dalam pengolahan makanan dapat diklasifikasikan

    berdasarkan tujuan pemanasan itu. Beberapa bentuk pemanasan antara lain

    pemasakan, blansir, pasteurisasi, sterilisasi, evaporasi, ekstrusi, pemanggangan,

    pengeringan, penggorengan, energi iradiasi (microwave, radiasi inframerah) dan

    lain-lain (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

    Beberapa keuntungan dari pengolahan dengan panas antara lain :

    - terbentuknya tekstur dan cita rasa khas yang disukai

  • 8

    - rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor

    tripsin pada produk leguminosa)

    - peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya

    cerna protein dan karbohidrat

    - terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan

    keawetan pangan

    - menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih

    stabil selama penyimpanan

    Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain : adanya kemungkinan rusaknya

    beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik

    seperti warna, tekstur, rasa dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak

    terkontrol dengan baik (Fellow 1997).

    Pasteurisasi

    Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu

    suhu di bawah 100C akan tetapi dengan waktu yang bervariasi dari mulai beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut.

    Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya.

    Pasteurisasi umumnya dikombinasikan dengan proses pengawetan lainnya

    seperti fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah. Pada bahan pangan

    yang tergolong asam (pH < 4.5), pasteurisasi bertujuan untuk memperpanjang

    umur simpan dan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir

    dan kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan

    pangan tersebut (Fellow 1992).

    Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu

    yang relatif lama, yaitu suhu 65C selama 30 menit atau pada suhu tinggi dalam waktu singkat yaitu suhu 72C selama 15 detik. Semain tinggi suhu pasteurisasi, semakin singkat proses pemanasannya. Beberapa bakteri vegetatif yang tahan

    panas (termofilik) dan spora tahan terhadap proses fermentasi. Setelah

    pasteurisasi, produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah

    pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1992). Dalam pasteurisasi,

    konsep yang umum digunakan adalah konsep 5D. Menurut Fellow (1992) konsep

    ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanan pangan.

    Keberhasilan penuh dari pengolahan dengan panas pada produk pangan

    adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang

  • 9

    menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana

    ketahanan mikroba terhadap panas hingga proses dapat tercapai pada

    kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).

    Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan

    besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin

    tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5 - 4.6 bakteri pembusuk

    anaerobik dan pembentuk spora seperti C. botulinum dapat tumbuh. Beberapa

    spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira ph 3.7 seperti B. thermoacidurans

    atau B. coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak dirusak

    oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992).

    Tinggi suhu dan lama pemanasan dalam pasteurisasi tergantung pada

    ketahanan panas mikroba yang akan dibunuh dan sensitivitas mutu makanan

    terhadap pemanasan. Penggunaan metode HTST (High Temperature Short

    Time) biasanya menghasilkan produk dengan mutu yang lebih baik dibanding

    metode LTLT (Low Temperature Low Time) (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

    Ketahanan Panas Mikroorganisme

    Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah

    waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada

    suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log,

    atau waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk membinasakan organisme

    atau sporanya yang disebut nilai D. Sedangkan nilai z suatu organisme atau

    spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh

    kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau

    pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh 2001).

    Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang dan

    khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar antara 0.5 sampai 3 menit pada

    suhu 65C. Sedangkan nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang dan khamir berkisar antara 6 sampai 16C dan biasanya adalah 10C (Garbutt 1997).

    Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain :

    (a) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (b) komposisi medium

    bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat

    pengawet, lemak dan minyak dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora

    yang masih terdapat setelah pemanasan, (c) pH dan Aw medium waktu

    pemanasan dan (d) suhu pemanasan.

  • 10

    Menurut Hadgson dan Hodgson (1993) sejumlah kapang dan khamir

    terdapat pada sari buah nanas yang dibuat dari konsentrat (aw rendah). Kapang

    lebih dominan pada jenis konsentrat, tetapi pada buah dan sayuran dengan Aw

    tinggi, bakteri umumnya memegang peran pertama merusak dalam fermentasi,

    kemudian diikuti kapang dan khamir (Gilliland 1986). Khamir beserta sporanya

    dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi tetapi kapang yang

    berspora perlu pemanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat (Frazier dan

    Westhoff 1978).

    Ketahanan Panas Zat Gizi

    Proses thermal tidak hanya menginaktifkan organisme perusak makanan,

    namun juga mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Proses ini akan sedikit

    mempengaruhi karakteristik sensori dan gizi dari produk. Umur simpan produk

    sangat dipengaruhi oleh kondisi kemasan setelah proses thermal dan juga

    kondisi penyimpanan produk. (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

    Ramaswamy dan Marcotte (2006) menyatakan bahwa vitamin larut lemak

    seperti vitamin A, D, E dan K relatif tidak sensitif terhadap panas dan pada

    umumya tidak ada loss selama proses pasteurisasi. Untuk vitamin B1, B6, B12

    dan asam folat berkurang maksimum 10%, sedangkan untuk vitamin C

    berkurang hingga 25%.

    Kecukupan Proses Panas

    Kemampuan sterilisasi dan proses pemanasan bergantung pada

    karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu sterilisasi. Simbol F biasanya

    digunakan untuk menunjukkan nilai sterilisasi. Nilai F dengan z = 18F biasa disebut Fo, karena nilai z = 18F sangat umum digunakan untuk spora khususnya C. botulinum. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika

    untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaan :

    F = Lr. dt Dimana :

    Lr = 10 (T-Tr)/z Suhu makanan (To) dapat ditentukan melalui eksperimen, empiris dan teori

    (Heldman dan Singh 2001).

    Sama halnya dengan pasteurisasi, Tucker et al. (2003) menyatakan bahwa

    nilai pasteurisasi dinyatakan dengan simbol P. Nilai P dapat dihitung dengan

  • 11

    integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan suhu sebagai

    berikut :

    t P = 10 (T(t) Tref)/z. dt

    0 Dimana :

    T(t) : suhu produk (C) Tref : suhu referen pada nilai DT (menit)

    z : faktor kinetic

    Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung kecukupan proses

    pasteurisasi yang disebut nilai P adalah dengan persamaan berikut :

    P = DT. log (Ninitial/Nfinal)

    Dimana :

    P : nilai pasteurisasi (menit)

    Ninitial : jumlah mikroba awal sebelum dipasteurisasi (CFU/ml) pada suhu tertentu

    Nfinal : jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi (CFU/ml)

    DT : decimal reduction time pada suhu tertentu untuk mereduksi jumlah

    mikroba dengan faktor 10 menit

    Sistem Pengemasan secara Aseptik

    Proses pengemasan aseptik dari sistem aseptik merupakan bagian integral

    dan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses. Namun, bagian ini juga

    merupakan bagian yang paling lemah. Dalam beberapa kasus, penyebab

    kontaminasi produk umumnya disebabkan karena kurang baiknya proses

    pengemasan aseptic ini sehingga menyebabkan kontaminasi (Reuter 1988).

    Unit-unit pengemasan aseptik didesain untuk menggabungkan produk

    steril dalam kemasan yang sudah steril sehingga dihasilkan produk yang telah

    dikemas secara hermetis. Menurut Anjaya (2000) dalam sistem pengemasan

    secara aseptik dituntut hal-hal penting berikut ini :

    1. Lingkungan steril yang akan digunakan untuk proses pengemasan produk

    steril dalam kemasan steril

    2. Sterilisasi kemasan yang kontak langsung dengan produk

    3. Pengisian produk steril ke dalam kemasan steril harus dilakukan secara

    aseptik

    4. Produk dalam kemasan harus ditutup secara hermetis

  • 12

    5. Memonitor dan mengawasi faktor-faktor kritis selama proses pengemasan

    Sterilan (sterilizing agents) digunakan di dalam unit pengemasan secara

    aseptik untuk mensterilkan bahan-bahan kemasan dan juga permukaan dalam

    peralatan pengemasan sehingga diperoleh kondisi pengemasan yang steril.

    Dalam pengemasan aseptik, sterilisasi terhadap wadah pengemas mungkin

    dapat dicapai tanpa keharusan untuk menghilangkan semua spora bakteri,

    karena spora bakteri tersebut tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH

    rendah. Tetapi jika produk tergolong pada minuman berasam rendah (pH > 4.5),

    maka sterilisasi terhadap wadah pengemas harus dapat menghilangkan sel

    vegetatif maupun spora (Fardiaz 1992).

    Zona aseptik adalah daerah tempat mesin pengemasan aseptik telah

    disterilkan dan kondisinya dijaga tetap steril selama proses produksi. Di daerah

    atau lingkungan inilah produk steril diisikan dalam kondisi aseptik ke dalam

    kemasan steril dan selanjutnya ditutup secara hermetis. Sehubungan dengan

    proses produksi, maka zona aseptik diterapkan dalam kondisi steril komersial.

    Pada daerah ini mungkin terdapat berbagai macam permukaan alat atau

    lingkungan. Maka sterilan yang digunakan pada peralatan harus seragam

    efektivitasnya dan penerapannya dapat diawasi sepanjang zona aseptik, serta

    tetap dapat terjaga kondisinya dengan baik (Anjaya 2000).

    Tingkat sterilitas dari zona aseptik dapat dicegah dari kemungkinan

    sterilisasi yaitu dengan menyemprotkan udara steril atau gas lainnya. Pada tahap

    akhir dimana kemasan meninggalkan area steril maka dapat juga disemprotkan

    udara steril ke arah kemasan tersebut untuk mencegah terjadinya rekontaminasi

    (Anjaya 2000).

    Sistem Pengendalian Keamanan Pangan

    Berbagai metode serta sistem pengendalian keamanan pangan sebagai

    jaminan mutu dan keamanan pangan (food safely assurance) telah banyak

    digunakan dan dikembangkan oleh industri pengolahan makanan. Salah satu

    metode yang banyak dikembangkan dewasa ini adalah penerapan sistem

    HACCP yang merupakan suatu sistem manajemen yang menjamin mutu dan

    keamanan pangan berdasarkan konsep pendekatan yang rasional, sistematis

    dan komprehensif dalam mengidentifikasi dan mengontrol setiap bahaya yang

    berisiko terhadap mutu dan keamanan produk pangan.

  • 13

    Hal ini senada dengan yang dikemukakan Thaheer (2005) bahwa sistem

    HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal

    atau titik dalam sistem pangan yang mungkin bekontribusi terhadap suatu kondisi

    bahaya, baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap

    bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun

    kondisi penyimpanan. Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan

    sebelum mengaplikasikan HACCP adalah diterapkannya GMP (Good

    Manufacturing Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure).

    Gambar 1. Piramida hubungan GMP, SSOP dan manajemen mutu atau

    keamanan pangan

    Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa sistem HACCP harus

    dibangun di atas dasar landasan yang kokoh untuk melaksanakan dan tertibnya

    Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan Sanitation Standard

    Operating Procedure (SSOP). Dua aspek tersebut merupakan pondasi

    terbentuknya rencana HACCP yang baik. Secara umum perbedaan GMP dan

    SSOP adalah sebagai berikut, GMP secara luas terfokus dan berakibat pada

    banyak aspek baik aspek operasi pelaksanaan tugas yang terjadi di dalam pabrik

    serta operasi personel. SSOP merupakan prosedur atau tata cara yang

    digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran

    keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang bermutu

  • 14

    tinggi aman, dan tertib. Piramida hubungan antara HACCP, SSOP dan GMP

    dapat dilihat pada Gambar 1.

    Good Manufacturing Practices (GMP)

    Good Manufacturing Practices (GMP) didefinisikan sebagai suatu prosedur

    dalam industri pangan dimana konsistensi produk akhir dari kualitas keamanan

    mikrobiologi dimonitor dengan tes laboratorium atau saat proses berlangsung

    (Adams dan Moss 1995). United States Food and Drug Administration (USFDA)

    telah mengeluarkan peraturan dan pedoman yang berkenaan dengan penerapan

    GMP di dalam industri pangan. Pengembangan peraturan dan pedoman tersebut

    dilakukan berdasarkan jenis makanan yang diolah oleh suatu industri pangan,

    diantaranya acidified foods (makanan yang diasamkan), low acid canned foods

    (makanan kaleng berasam rendah) dan bottled water (air minum dalam

    kemasan).

    Produk minuman RTD berasam tinggi yang akan diproduksi perusahaan,

    tergolong ke dalam produk yang diasamkan, yaitu makanan berasam rendah

    yang ditambah dengan asam atau makanan berasam tinggi serta memiliki aw

    lebih besar dari 0.85 dan pH produk akhir 4.6 atau kurang. Berdasarkan situs

    resmi United States Food and Drugs Administration (USFDA), peraturan dan

    penerapan GMP untuk makanan yang diasamkan (acidified foods) tercantum di

    dalam Codes of Federal Regulations (CFR) yaitu Titel 21, Bagian 110 (untuk

    CGMP, Current Good Manufacturing Practices) dan TItel 21, Bagian 114 (untuk

    makanan yang diasamkan, acidified foods) (USFDA 2008a, 2008b).

    CGMP yang tercantum dalam CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 110 berisi

    antara lain tentang persyaratan untuk personalia, bangunan dan fasilitas pabrik,

    operasi sanitasi, pengendalian hama, fasilitas sanitasi, peralatan dan

    perlengkapan, produksi dan pengendalian proses serta penyimpanan dan

    distribusi (USFDA 2008a). Sedangkan CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 114

    mencantumkan beberapa penambahan yang berkaitan dengan persyaratan

    CGMP di pabrik yang menghasilkan makanan yang diasamkan, antara lain

    persyaratan untuk personalia (114.10), proses pengolahan dan pengendalian

    (114.80), penjadwalan proses (114.83), tindakan koreksi (114.89), metode

    pengukuran pH (114.90), serta rekaman dan laporan (114.100) (USFDA 2008b).

  • 15

    GMP yang telah dikenal luas dan dikembangkan oleh USFDA juga dikenal

    di Indonesia, yang tertuang dalam buku Pedoman Cara Produksi Makanan yang

    Baik CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan

    dan Minuman, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan penjelasan mengenai

    cara produksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari

    produksi primer sampai konsumen akhir, menekankan pengawasan terhadap

    higiene pada setiap tahap dan menyarankan pendekatan HACCP bilamana

    memungkinkan untuk meningkatkan keamanan pangan (Depkes 1996).

    Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi

    Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat

    Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang

    dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis

    produk tertentu. USFDA telah mengeluarkan pedoman CFR Titel 21, Bagian 110

    untuk CGMP dan Bagian 114 untuk makanan yang diasamkan. Dari keseluruhan

    persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan

    produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan

    prosedur operasi standar (SOP)-nya.

    Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)

    Peran GMP dalam menjaga keamanan pangan sangat selaras dengan pre-

    requisite (persyaratan dasar) penerapan HACCP. Secara umum persyaratan

    dasar adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan

    suatu proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal juga dengan GMP

    (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan lain-lain.

    Penerapan program persyaratan dasar ini harus didokumentasikan dalam

    Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPO Sanitasi) atau Sanitation Standard

    Operating Procedure (SSOP). Sedangkan dalam rangka monitoring dilakukan

    khusus audit terhadap persyaratan dasar ini baik internal maupun eksternal

    (Winarno dan Surono 2002).

    Berdasarkan situs resmi USFDA, kondisi dan penerapan sanitasi sebelum,

    selama dan setelah proses dalam penerapan SSOP tercantum di dalam United

    States Food and Drugs Administration (USFDA) Codes of Federal Regulations

  • 16

    (CFR) Titel 21, Bagian 120 (Hazard Analysis and Critical Control Point) Sub-

    Bagian 120.6 (Sanitation Standard Operating Procedures) (USFDA 2008c).

    SSOP yang dijabarkan dalam CFR Titel 21, Sub-Bagian 120.6

    dikelompokan menjadi 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2)

    kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3)

    pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi

    dan toilet, (5) proteksi dari bahan-bahan kontaminan, (6) pelabelan,

    penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, (7) pengawasan

    kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dan (8)

    menghilangkan hama dari unit pengolahan. Dalam dokumentasinya, kunci-kunci

    sanitasi tersebut seharusnya mencakup masalah monitoring yang mampu

    menjawab apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukan, dimana melakukan,

    kapan dan siapa yang melakukan serta koreksi dan rekaman (USFDA 2008c).

    Sistem pengendalian keamanan pangan yang telah diterapkan perusahaan

    baru mencakup produk yang sudah ada, sehingga untuk produk baru minuman

    RTD berasam tinggi perlu penyesuaian. Dari kedelapan SSOP yang telah

    disebutkan di atas dan telah diterapkan perusahaan, akan dikaji 3 SSOP yang

    perlu disiapkan terkait dengan produksi produk baru minuman RTD berasam

    tinggi. Ketiga SSOP ini adalah (1) SSOP keamanan air, (2) SSOP kondisi dan

    kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dan (3) SSOP

    pencegahan kontaminasi silang.

    SSOP akan memberikan beberapa manfaat bagi unit usaha dalam

    menjamin sistem keamanan produksi pangannya, antara lain : (1) memberikan

    jadwal berkesinambungan, (2) mendorong perencanaan yang menjamin

    dilakukan koreksi bila diperlukan, (3) mengidentifikasi kecenderungan dan

    mencegah kembali terjadinya masalah, (4) menjamin setiap personil mengerti

    sanitasi, (5) memberikan sarana pelatihan yang konsisten bagi personil, (6)

    mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor dan (7)

    meningkatkan praktek sanitasi di unit usaha (Winarno dan Surono 2002).

    Sanitasi dalam Pengolahan Pangan

    Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa sanitasi adalah aspek penting yang

    harus diperhatikan selama proses pengolahan pangan. Sanitasi didefinisikan

    sebagai pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-

  • 17

    faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut.

    Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam

    persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan

    sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja (Jenie 1998).

    Tujuan utama penerapan sanitasi pada industri pangan adalah untuk

    menjamin agar makanan olahan yang dihasilkan, layak dikonsumsi oleh manusia

    sehingga terhindar dari terjadinya kecelakaan atau penyakit yang disebabkan

    karena mengkonsumsi makanan olahan tersebut (Hariyadi R 2000).

    Dari delapan Kunci Persyaratan Sanitasi yang ditetapkan USFDA (2008c),

    yang harus menjadi prioritas utama dalam memproduksi minuman RTD berasam

    tinggi adalah (1) sanitasi air, (2) sanitasi peralatan dan ruangan dan (3) sanitasi

    pekerja.

    Sanitasi Air

    Air merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam industri

    pangan, karena air digunakan dalam berbagai kegiatan, baik untuk sanitasi,

    boiler dan medium penghantar panas maupun proses pengolahannya sendiri. Air

    juga dapat menjadi bagian yang terpadu dari produk akhir, seperti pada soft drink

    dan bir, berbagai sari buah, sirup dan minuman-minuman tradisional serta jenis

    minuman yang baru. Mutu makanan yang diolah sangat dipengaruhi oleh mutu

    air yang digunakan dalam pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan

    harus bebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan

    makanan.

    Sebagian besar dari penggunaan-penggunaan air tersebut memerlukan

    persyaratan atau standar mutu tersendiri. Pada umumnya, air yang memenuhi

    persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi persyaratan untuk industri.

    Beberapa jenis industri pangan tertentu bahkan memerlukan persyaratan mutu

    yang lebih berat dan mendetil daripada standar air minum. Persyaratan mutu air

    minum dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Dalam industri minuman ringan, mutu air harus dikendalikan dengan

    memperhatikan faktor-faktor berikut dalam proses produksinya. Kesadahan

    karbonat atau alkalinitas akan meningkatkan pH dari minuman yang seharusnya

    asam. Hal ini akan menimbulkan perubahan rasa. Jika air bahan sudah

    mengandung bau dan rasa tersendiri, maka hal ini sudah tentu akan mengubah

  • 18

    rasa dan bau produk minuman. Kekeruhan air juga akan mempengaruhi

    penampilan produk. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan termasuk total padatan,

    besi, mangan, sisa klorin dan jumlah mikroorganisme.

    Tabel 1. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006, BSN 2006a)

    No. Kriteria Mutu Satuan Persyaratan 1. Keadaan :

    a. bau b. rasa c. warna

    - -

    Unit PtCo

    Tidak berbau

    Normal Maks. 5

    2. pH - 6.0 - 8.5 3. Kekeruhan NTU Maks 1.5 4. Zat yang terlarut mg/l Maks 500 5. Zat organik (sebagai KMnO4) mg/l Maks 1.0 6. Total organik karbon mg/l - 7. Nitrat (sebagai NO3) mg/l Maks 45 8. Nitrit (sebagai NO2) mg/l Maks 0.005 9. Amonium (NH4) mg/l Mkas 0.15

    10. Sulfat (SO4) mg/l Maks 200 11. Klorida (Cl) mg/l Maks 250 12. Fluorida (F) mg/l Maks 1.0 13. Sianida (CN) mg/l Maks 0.05 14. Besi (Fe) mg/l Maks 0.1 15. Mangan (Mn) mg/l Maks 0.05 16. Klor bebas (Cl2) mg/l Maks 0.1 17. Kromium (Cr) mg/l Maks 0.05 18. Barium (B) mg/l Maks 0.7 19. Boron (Bo) mg/l Maks. 0.3 20. Selenium (Se) mg/l Maks 0.01 21. Cemaran logam

    a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Cadmium (Cd) d. Raksa (Hg) e. Perak (Ag) f. Kobalt (Co)

    mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

    Maks 0.005 Maks 0.5

    Maks 0.003 Maks 0.01

    - -

    22. Cemaran arsen (As) mg/l Maks 0.01 23. Cemaran mikroba

    a. Angka lempeng total awal*) b. Angka lempeng total akhir**) c. Bakteri bentuk koli d. Salmonella e. Pseudomonas aeruginosa

    Koloni/ml Koloni/ml

    APM/100 ml -

    Koloni/ml

    Maks 1 x 102 Maks 1 x 105

    < 2 negatif/100 ml

    Nol Keterangan : *) Di pabrik; **)Di Pasaran

    Salah satu uji yang biasa dilakukan untuk menganalisa kebutuhan

    kebersihan air adalah uji koliform. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang

    digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran di dalam air, karena salah

    satu jenis bakteri koliform, yaitu Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal

  • 19

    dari kotoran hewan maupun manusia. Adanya bakteri koliform dalam air

    menunjukkan adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan.

    Air umumnya mendapatkan perlakuan sanitasi secara bertahap agar dapat

    digunakan dalam proses produksi. Tahap-tahap tersebut meliputi filtrasi awal dan

    pengendapan, penyaringan, penghilangan mikroba/disinfeksi, penghilangan

    mineral terlarut dan control terhadap karat, bau dan rasa (Hariyadi R 2000).

    Penyaringan awal dan Sedimentasi

    Tujuannya adalah untuk menghilangkan benda-benda tersuspensi dengan

    ukuran yang berbeda-beda termasuk tangkai, cabang, daun, padatan lain yang

    besar dan mudah mengendap, serta partikel-partikel halus (koloidal) yang tidak

    mengendap dan menyebabkan kekeruhan (Hariyadi R 2000).

    Cara penghilangan benda-benda tersuspensi ini dapat dilakukan dengan

    dua tahap, yaitu : tahap pertama adalah memisahkan padatan-padatan

    berukuran besar dengan menggunakan saringan (kasar maupun halus).

    Saringan terbuat dari bahan tahan karat, didesain dengan pengambilan yang

    tepat untuk menarik air dari danau atau sungai. Luas areal yang terbuka

    biasanya sekitar 150-200% luas pipa atau saluran yang dilindungi oleh saringan.

    Kecepatan melalui saringan tidak melebihi 2 fps (feet per second).

    Selanjutnya pada tahap kedua dengan menggumpalkan atau sedimentasi

    partikel-partikel yang belum terendapkan dengan bantuan koagulan. Bahan-

    bahan kimia yang banyak digunakan sebagai koagulan antara lain alumunium

    sulfat, ferro sulfat, ferri klorida, ferri sulfat (copperas) dan copperas terklorinasi.

    Kapur dalam bentuk Ca(OH)2 kadang-kadang dicampur dengan ferro sulfat atau

    tidak dicampur, juga dibutuhkan dalam air yang kurang kesadahannya untuk

    bereaksi dengan alumunium sulfat (Jenie 1998).

    Penyaringan

    Setelah proses penyaringan awal dan sedimentasi, air sudah tidak

    mengandung benda-benda padatan tersuspensi ukuran besar, tetapi masih ada

    partikel-partikel flok halus yang tertinggal dan dan benda-benda tersuspensi lain

    yang berukuran sangat halus. Untuk menghilangkannya digunakan filter (Hariyadi

    P 2000).

    Filter terdiri dari suatu alas penyangga dari benda-benda granular untuk

    menghilangkan benda-benda padatan tersuspensi dari air, dan dilengkapi

  • 20

    dengan alat untuk mempertahankan kecepatan aliran yang seragam melalui alas

    tersebut, serta pembalikan arah aliran air secara periodik untuk mencuci

    padatan-padatan yang terakumulasi dari medium filter. Sebagai filter umumnya

    digunakan filter pasir atau arang aktif, dan filter multimedia menggunakan pasir,

    granit, antrasit atau resin (Jenie 1998).

    Filter pasir menggunakan butiran-butiran berukuran 0.3 dan 0.5 mm,

    sehingga persentase bakteri dan virus dalam air yang terpisahkan cukup banyak.

    Pasir untuk filter cepat harus mempunyai ukuran efektif 0.35-0.55 mm,

    sedangkan filter lambat 0.20-0.40 mm. Dalam filter cepat ada kecenderungan

    menggunakan klorinasi untuk penghilangan bakteri tahap terakhir (Jenie 1998).

    Filter arang aktif menggunakan arang yang sudah diaktifkan atau

    dibersihkan dari bahan-bahan organik yang terabsobsi. Filter arang aktif dapat

    digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, klorin dan warna dari air (Hariyadi R

    2000).

    Filter ini pada dasarnya merupakan multimedia yang terdiri dari lapisan

    karbon aktif, silika, hancuran kerikil dan kerikil. Ukuran efektif arang adalah 0.4-

    1.6 mm dengan koefisien keragaman 1.4-1.6. Karbon biasanya diregenerasi

    dengan pemanasan hingga 800C (Jenie 1998).

    Disinfeksi Air

    Tujuan dari disinfeksi air adalah untuk menginaktifkan bakteri dan virus

    patogenik yang dapat dipindahkan melalui air. (Hariyadi R 2000). Patogen utama

    dalam air adalah yang berasal dari kotoran manusia seperti Salmonella typhii,

    Salmonella paratyphii, Shigella dan Vibrio cholerae. Organisme lain yang lebih

    resisten adalah E. hystolytica yang dapat dihilangkan dengan filtrasi diatomoe

    (Jenie 1998).

    Klorin telah digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896.

    Oleh karena itu proses disinfeksi air disebut klorinasi. Jumlah klorin yang

    digunakan tidak boleh terlalu sedikit karena tidak efektif, sedangkan jika terlalu

    banyak akan timbul rasa atau bau yang tidak disukai. Waktu kontak dengan

    klorin : 20-30 menit sebelum dikonsumsi. Fungsi klorin dalam penanganan air

    tidak hanya untuk disinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti : kontrol

    terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap

    pertumbuhan bakteri pembentuk lendir pengikat besi (Jenie 1998).

  • 21

    Berbagai jenis senyawa yang ada di dalam air yang bereaksi dengan klorin

    akan dapat menginaktifkan klorin. Selama masih banyak terkandung senyawa-

    senyawa tersebut, klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai

    desinfektan terhadap mikroorganisme. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa

    organik lainnya tidak dikehendaki keberadaannya di dalam air. Hanya setelah

    kebutuhan klorin (chlorine demand) telah cukup banyak untuk bereaksi dengan

    senyawa-senyawa tersebut, baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi

    dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat ini muncul

    konsep Break Point Chlorination (Winarno 1986).

    Bila air tidak mengandung senyawa yang dapat bereaksi dengan klorin,

    maka semua klorin yang ditambahkan akan menjadi klorin bebas, berbanding

    lurus dengan konsentrasi yang ditambahkan. Air tersebut dinamakan memiliki

    chlorine demand nol (zero). Jika air mengandung bahan organik atau amonia

    atau senyawa pengganggu lain dalam jumlah tinggi, residu klorin akan efektif

    setelah chlorine demand tercukupi. Air ini memiliki chlorine demand yang tinggi

    (Winarno 1986). Tahap-tahap reaksi yang terjadi bila klorin ditambahkan dalam

    air dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Tahapan reaksi penambahan klorin dalam air

    Tahapan Reaksi Deskripsi

    Reaksi 1 terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, tidak ada disinfeksi

    Reaksi 2 bila klorin ditambahkan lagi, terbentuk senyawa-senyawa klorin organik dan ammonia-klorin yang mempunyai disinfeksi lambat

    Reaksi 3 penambahan klorin lebih lanjut, menyebabkan senyawa-senyawa di atas dihancurkan

    Reaksi 4 klorin bebas terdapat dalam rasio tertentu dengan kelebihan klorin yang ditambahkan, klorin bebas ini mempunyai kerja disinfeksi yang cepat

    Sumber : Jenie (1998)

    Disinfeksi efektif membutuhkan residu klorin bebas : 0.2 mg/l pada kondisi-

    kondisi yang paling cocok atau 0.4-0.8 mg/l. Air dengan pH tidak lebih dari 7.0

    residu bebas 0.2 mg/l setelah 10 menit, atau residu terikat 1.0-1.5 mg/l, 60 menit.

    Air dengan pH = 8 residu klorin bebas 0.4 mg/l, residu terikat 1.8 mg/l. Air

    dengan pH 9.0 residu klorin bebas 0.8 mg/l, agar residu klorin bebas efektif maka

    pH harus lebih kecil dari 9.0 (Jenie 1998).

  • 22

    Dengan residu klorin bebas, warna air menjadi lebih bersih; besi, mangan

    serta bahan organik lainnya digumpalkan dan diendapkan oleh klorin. Terutama

    jika air tersebut disimpan dalam tangki penyimpanan minimal 2 jam. Sebagian

    besar dari senyawa-senyawa penyebab rasa dan bau dihancurkan atau dirusak.

    Rasa yang timbul dari reduksi sulfat menjadi sulfida juga tercegah oleh klorin.

    Pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki juga dapat dihindarkan,

    asalkan jumlah residu klorin yang bebas selalu dijaga agar konsentrasinya dalam

    air selalu cukup.

    Disamping klorin, ozon juga sering digunakan dalam tahap disinfeksi

    karena senyawa ini dapat membunuh bakteri, virus, sekaligus parasit. Sinar

    ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 240-280 nm juga digunakan untuk

    disinfeksi air. Namun penggunaan sinar UV ini tidak efektif untuk spora,

    memerlukan dosis tinggi untuk virus dan tidak efektif untuk protozoa. Senyawa

    yodium juga dapat digunakan dalam proses disinfeksi, akan tetapi kurang reaktif

    dan biayanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan klorin (Hariyadi R 2000).

    Penghilangan Mineral Terlarut dalam Air

    Mineral-mineral yang terdapat dalam air seperti garam-garam Ca, Mg, F,

    Fe dan Mn menyebabkan air menjadi sadah. Dalam air juga terdapat garam-

    garam Na dan K serta limbah radioaktif. Kesadahan sulfat disebabkan oleh

    adanya senyawa-senyawa Ca dan Mg karbonat, sulfat dan lain-lain. Kesadahan

    dapat digolongkan menjadi kesadahan karbonat dan non-karbonat. Pelunakan air

    dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu ; (1) proses kapur-soda, menggunakan

    kapur dan soda abu dan (2) proses pertukaran kation (cation-exchanger) atau

    zeolit (Hariyadi R 2000).

    Bila Flourin (F) terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada gigi

    anak-anak. Jumlah F sebanyak lebih dari 1.5 mg/l umumnya ditolak. Pada

    konsentrasi 1 mg/l NaF akan mencegah pengapuran gigi (dental caries). Cara

    penghilangan flourin sulit, tetapi dapat dilakukan dengan beberapa cara : (1) air

    kontak dengan Ca3(PO4)2; (2) pelunakan air dengan kapur dan soda abu

    ditambah Mg; (3) pertukaran ion dan (4) penggunaan hidroksi apatat 3Ca3(PO)4

    dan Ca(OH)2 (Jenie 1998).

    Kandungan Fe dan Mn lebih dari 0.2-0.3 mg/l umumnya ditolak karena

    menyebabkan timbulnya rasa, karat, warna dan deposit pada pipa. Kedua

    mineral ini terdapat dalam benntuk Fe(HCO3)2, Mn(HCO3)2. Cara penghilangan

  • 23

    dengan kapur dan koagulan atau pertukaran kation pada pH 8.0-8.5 (Jenie

    1998).

    Zat radioaktif dalam air berasal dari instalasi energi atom dari industri,

    lembaga-lembaga penelitian atau industri obat-obatan. Untuk menghilangkannya

    dapat dilakukan dengan resin penukar kation, resin penukar anion, koagulasi

    fosfat dan dengan penyulingan (mahal) (Jenie 1998).

    Pengawasan terhadap Karat, Rasa dan Bau

    Karat atau korosi dari air terutama tergantung pada hubungan kandungan

    CO2 bebas dan alkalinitas, serta hubungan antara pH dan alkalinitas. Hubungan

    antara pH dan alkalinitas air harus dipertahankan sedemikian rupa agar

    terbentuk lapisan kalsium karbonat pada bagian dalam pipa saluran air, sehingga

    karat tidak terjadi. Demikian pula hubungan antara kandungan CO2 dan

    alkalinitas perlu diatur agar lapisan tersebut tidak terlarut (Jenie 1998).

    Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa korosi dapat dicegah antara lain

    dengan aerasi atau penambahan kapur (soda abu). Kadar CO2 bebas

    dihilangkan, sedangkan alkalinitas dan pH ditingkatkan. Bila dilakukan aerasi,

    CO2 bebas sebanyak 3-5 mg/l tetap ada. Air dengan CO2 bebas 3 mg/l bersifat

    korosif kecuali bila alkalinitas tinggi lebih dari 85 mg/l. Bila CO2 bebas 5 mg/l,

    alkalinitas harus 105 mg/l agar tidak terjadi korosi.

    Penambahan kapur (soda abu) diperlukan untuk meningkatkan alkalinitas.

    Bila kesadahan kurang dari 3.5 mg/l, air defisien dalam garam-garam Ca, oleh

    karena itu perlu ditambah kapur. Bila kesadahan lebih besar dari 35 mg/l, lebih

    baik ditambah soda abu. Cara kontrol lain adalah dengan deaerasi dan

    penambahan natrium metafosfat kira-kira 0.5-2.0 mg/l akan mengurangi korosi

    oleh Fe (Jenie 1998).

    Biasanya air yang rasanya tidak enak, baunya juga tidak enak karena

    keduanya berasal dari sumber yang sama. Mineral-mineral seperti Fe, Mg, sulfat,

    Na Sulfat dan NaCl secara normal hanya menimbukan rasa. Timbulnya bau dan

    rasa dapat disebabkan oleh penghancuran tanaman dari jenis ganggang,

    senyawa-senyawa klorofenol, limbah industri (pengalengan, pabrik susu), bahan

    organik dan gas. Menurut Hariyadi R (2000) beberapa cara yang dapat

    dilakukan untuk mengendalikan rasa dan bau diantaranya penambahan CuSO4,

    klorin dan ammonia 1-25 ppm.

  • 24

    Sanitasi Peralatan dan Ruangan

    Menurut Jenie dan Fardiaz (1989) salah satu sumber kontaminasi utama

    dalam pengolahan pangan berasal dari penggunaan wadah dan alat-alat

    pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah cukup tinggi.

    Udara di dalam suatu ruangan juga dapat merupakan sumber kontaminasi dalam

    pengolahan pangan. Udara tidak mengandung mikroflora secara alami, tetapi

    kontaminasi dari lingkungan di sekitarnya mengakibatkan udara mengandung

    berbagai mikroorganisme, misalnya dari debu, air, proses aerasi, dari penderita

    yang mengalami infeksi saluran pencernaan, dari ruangan yang digunakan dalam

    proses fermentasi dan sebagainya (Jenie dan Fardiaz 1989).

    Meskipun kesehatan masyarakat adalah alasan utama dilakukannya

    sanitasi, sesungguhnya bagi industri sanitasi dapat mengurangi kerugian

    ekonomi yang disebabkan oleh kebusukan atau keluhan konsumen. Pada

    umumnya sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan dengan cara pembersihan

    (cleaning) yang dilanjutkan dengan sanitasi (sanitizing) (Hariyadi R 2000).

    Pembersihan dan Metode Pembersihan

    Proses pembersihan bertujuan untuk menghilangkan kotoran baik berupa

    sisa-sisa bahan pangan ataupun mikroorganisme pada peralatan atau ruangan

    pengolahan agar tidak menjadi sumber gizi bagi pertumbuhan mikroba. Untuk

    pembersihan diperlukan air dan bahan pembersih. Bahan-bahan pembersih yang

    umum digunakan meliputi bahan pembersih alkali, asam dan deterjen sintetis.

    Menurut Hariyadi R (2000) pemilihan jenis pembersih akan sangat tergantung

    pada jenis dan tingkat cemaran pada peralatan atau ruangan, sifat permukaan

    yang akan dibersihkan sifat fisik dan kimia pembersih yang diinginkan, metode

    pembersihan yang akan diaplikasikan, mutu air dan ketersediaan biaya.

    Menurut Holah (2003), allkali merupakan bahan pembersih yang berguna

    karena murah, mampu memecah protein karena kandungan ion hidroksil,

    safonifikasi lemak, dan pada konsentrasi tinggi dapat berfungsi sebagai

    bakterisidal. Pembersih alkali meliputi alkali kuat, sedang dan sabun. Pembersih

    asam digunakan untuk melarutkan karbonat, deposit mineral (termasuk garam air

    sadah) dan juga deposit protein dari permukaan alat (Holah 2003). Pembersih ini

    umumnya mengandung 0.5% asam dan pH < 2.5 (Hariyadi R 2000).

  • 25

    Deterjen sintetis, seperti halnya sabun, memiliki gugus polar yang dapat

    berikatan dengan air dan gugus non polar yang berikatan dengan senyawa non

    polar seperti lemak dan protein, yang dalam hal ini merupakan kotoran.

    Pembersih ini biasa dikenal juga dengan nama surfaktan (surfactant, surface

    active agent), yang dapat digolongkan menjadi deterjen anionik, nonionik dan

    kationik tergantung muatan ion yang terkandung dalam larutan (Holah 2003).

    Menurut Hariyadi R (2000), beberapa metode pembersihan yang biasa

    digunakan meliputi pembersihan manual, pembersihan dengan busa,

    pembersihan dengan jel, pembersihan dengan ultrasonic dan pembersihan di

    tempat (cleaning in place : CIP).

    Pembersihan manual dapat dilakukan untuk alat-alat kecil dan umumnya

    memerlukan bantuan seperti bahan penggosok mekanis, selang air, sikat, spons

    dan alat penggosok. Pembersihan dengan busa dilakukan dengan cara

    menyebarkan busa yang berasal dari deterjen pada permukaan alat atau area

    yang akan dibersihkan. Pembersihan dengan jel dilakukan dengan

    mengaplikasikan pembersih bentuk jel dan banyak digunakan untuk pembersihan

    alat pengemasan makanan. Pembersihan dengan ultrasonik memerlukan

    generator ultrasonik yang menghasilkan gelombang ultrasonik yang

    menghasilkan vibrasi. Vibrasi ini diteruskan kebagian wadah yang diisi dengan

    air dengan alat-alat yang dibersihkan direndam di dalamnya (Hariyadi R 2000).

    Pembersihan di tempat (clean in place : CIP) dilakukan untuk alat-alat yang

    sukar atau tidak bisa dipindahkan. Berbagai peralatan industri pangan

    dibersihkan dengan cara ini antara lain saluran pipa, heat exchanger (alat

    penukar panas), mesin sentrifugasi dan homogenaiser. Prinsip pembersihan ini

    adalah sirkulasi air secara bertahap, diikuti dengan sirkulasi deterjen, sanitaiser

    dan pembilas melalui saluran pipa peralatan yang tetap terpasang di tempatnya.

    Beberapa keuntungan sistem CIP antara lain : (1) menghemat biaya

    operasional, (2) meningkatkan utilisasi pabrik, (3) meminimalkan proses manual,

    (3) meningkatkan faktor keselamatan dan (4) meningkatkan higienitas.

    Sedangkan kerugiannya antara lain : (1) biaya investasi tinggi, (2) biaya

    perawatan bertambah dan (3) tidak fleksibel (Majoor 2003).

    Prinsip sistem CIP adalah mengkombinasikan kelebihan dari aktivitas kimia

    bahan pembersih dengan efek mekanis pembersihan kotoran. Larutan pembersih

    dikeluarkan untuk kontak dengan permukaan kotoran, dan pada waktu, suhu

  • 26

    yang tepat. Pada Tabel 3 dijabarkan siklus operasional yang umum untuk sistem

    CIP.

    Tabel 3. Siklus operasional CIP

    No Operasional Fungsi 1 Pembilasan awal (air panas/dingin) Menghilangkan kotoran kasar 2 Pembersihan dengan deterjen Menghilangkan kotoran yang

    masih tertinggal 3 Pembilasan Menghilangkan bahan pembersih4 Sanitasi Membunuh mikroorganisme 5 Pembilasan terakhir (pilihan,

    tergantung sanitaiser yang digunakan) Menghilangkan bahan CIP dan sanitaiser

    Sumber : Majoor (2003)

    Sanitasi dan Jenis Sanitaiser

    Menurut Hariyadi R (2000), tahap sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan

    setelah pembersihan selesai diaplikasikan untuk membunuh mikroba berbahaya

    yang masih tertinggal pada peralatan atau ruangan. Menurut Sandeep et al.

    (2004), untuk sterilisasi udara dapat menggunakan filter High Efficiency

    Particulate Arresting (HEPA) atau udara panas. Sedangkan senyawa yang

    digunakan dalam proses sanitasi atau sanitaiser meliputi panas, ultraviolet, serta

    senyawa kimia dari golongan halogen (klorin, yodium), peracetic acid, dan

    ammonium kuartener. Jika senyawa kimia digunakan pada sanitasi peralatan

    maka waktu kontak sedikitnya adalah 2 menit dan ada selang waktu 1 menit

    antara pemberian sanitaiser dan penggunaan peralatan tersebut.

    Beberapa syarat sanitaiser yang ideal diantaranya : mampu membunuh

    mikroba dengan cepat, aman dan tidak menimbulkan iritasi pada pekerja, aman

    untuk konsumen dan tidak melanggar peraturan perundangan, dapat dibilas tidak

    berpengaruh buruk pada makanan yang sedang diolah, ekonomis, stabil,

    compatible dengan senyawa lain yang digunakan dan mudah larut dalam air

    (Hariyadi R 2000).

    Menurut Winarno (1994) keefektifan sanitaiser tergantung pada jenis dan

    konsentrasi sanitaiser, waktu kontak antara zat kimia dan bahan yang disanitasi,

    suhu dan mutu air (pH dan kesadahan). Adanya kotoran tanah, residu zat

    pembersih pada permukaan air atau di dalam air akan mengurangi keefektifan

    daya bunuh sanitaiser terhadap mikroba. Pada prakteknya tidak ada gunanya

    menggunakan sanitaiser pada permukaan peralatan yang kotor oleh tanah.

  • 27

    Panas

    Menurut Hariyadi R (2000), panas adalah sanitaiser yang baik karena

    menembus celah, tidak korosif, tidak menimbulkan residu, membunuh

    mikroorganisme dan relatif ekonomis. Air panas dapat diaplikasikan pada

    peralatan sehingga suhu permukaan mencapai 82C atau lebih selama beberapa menit. Selain itu dapat juga digunakan uap air panas dengan suhu 76.6C selama 15 menit atau 93.3C selama 5 menit.

    Ultraviolet

    Mikroba mati dengan cepat jika terpapar sinar ultraviolet yang memiliki

    panjang 2537 amstrong. Akan tetapi gelas, bahkan lapisan film dari cairan yang

    keruh dapat melindungi mikroba dari sinar ultraviolet. Oleh karena itu,

    penggunaan sinar ultraviolet dalam industri pangan terbatas untuk sanitasi udara

    di atas ruang pengemasan, di dalam ruang pendingin dan pada headspace

    tangki penyimpanan sirup gula. Sinar ini juga jarang digunakan dalam sanitasi air

    karena daya bunuhnya terhadap mikroba sangat dipengaruhi oleh kekeruhan

    (Hariyadi R 2000).

    Klorin

    Menurut Holah (2003) klorin adalah disinfektan paling murah dan tersedia

    sebagai hipoklorit (atau gas klorin) atau dalam bentuk slow release (seperti

    kloramin). Senyawa klorin yang umum adalah hipoklorit dan kloramin. Senyawa

    ini memiliki aktivitas dengan kisaran yang luas termasuk spora, dan relatif tidak

    mahal. Namun, aktivitas klorin ini dapat dihambat oleh senyawa organic dan

    berpotensi memiliki efek samping pada lingkungan. Senyawa klorin dalam bentuk

    tidak terlarut sangat korosif terhadap peralatan, dapat membayakan kesehatan

    dan harus selalu ditangani hati-hati dan digunakan pada konsentrasi yang benar.

    Pemilihan senyawa klorin bagi tiap-tiap penggunaan sebaiknya dilakukan

    dengan baik, disamping peraturan yang harus diikuti, faktor penting dalam

    pemilihan klorin adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 99% dari

    mikroba yang ada. Faktor lainnya seperti ph air dan jumlah senyawa organik dan

    anorganik yang ada dalam air harus pula diperhitungnkan. Percobaan-percobaan

    di laboratorium menunjukkan bahwa gas klorin sama efektifnya dengan hipoklorit,

    sedangkan kloramin memerlukan waktu 12-15 kali lebih lama untuk

    memusnahkan 99% spora bakteri (Hariyadi R 2000).

  • 28

    Yodium

    Holah (2003) menyatakan bahwa senyawa yodium yang umum digunakan

    untuk disinfeksi adalah yodofor, laruran yodium alkohol dan larutan yodium.

    Dalam yodofor, yodium di dikombinasikan dengan surfaktan non ionik untuk

    menghasilkan produk yang berguna. Yodofor sering digunakan sebagai sterilan

    karena mengandung mengandung surfaktan jika dikombinasikan dengan asam.

    Yodofor aktif sebagai antibakteri pada pH 3.0 dan aktivitasnya rendah sekali

    pada pH 7.0.

    Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa beberapa keuntungan penggunaan

    yodium jika dibandingkan dengan klorin diantaranya (1) tidak mengiritasi kulit

    pada dosis yang direkomendasikan, (2) berwarna kemerahan (amber) jika aktif

    sehingga tidak diperlukan uji khusus, (3) kurang bereaksi dengan senyawa

    organik. Meskipun demikian, yodofor memiliki beberapa kelemahan seperti (1)

    menimbulkan noda pada epoksi, polivinil kkorida (PVC) dan permukaan lain, (2)

    menghilangkan warna pati, (3) efektivita srendah pada pH netral, (4) lebih mahal

    (5) tidak stabil pada suhu 49-60C.

    Peracetic acid

    Menurut Holah (2003), peracetic acid memiliki daya bunuh yang cepat dan

    spektrum yang luas, bekerja dengan prinsip oksidasi, bereaksi dengan

    komponen membran sel. Secara umum efektif melawan spora namun berbahaya

    untuk digunakan. Bahan ini merupakan disinfektan asam yang aman secara

    toksikologi dan aktif secara biologis. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam

    asetat, laktat, propionat dan format.

    Amonium kuartener

    Senyawa ammonium kuartener adalah senyawa yang ambipolar, termasuk

    deterjen kationik, yang diperoleh dari substitusi garam ammonium dengan anion

    klorin atau bromin. Meskipun memiliki efek yang kecil pada spora, senyawa ini

    relatif lebih ramah lingkungan dan mudah digunakan. Perlu diingat bahwa

    beberapa senyawa alkali dapat mengurangi sifat bakterisidal ammonium

    kuartener (Holah 2003).

    Disamping digunakan sebagai pembersih, senyawa amonium kuartener ini

    adalah sanitaiser yang efektif dan selekti. Senyawwa ini hanya memusnahkan

    kelompok bakteri tertentu seperti bakteri asam laktat tetapi tidak efektif terhadap

  • 29

    visrus dan bakteri gram negatif seperti E.coli atau Pseudomonas aeruginosa.

    Oleh karena itu, penggunaan senyawa ammonium kuartener ini seringkali

    disertai dengan penggunaan klorin secara berkala. Hariyadi R (2000)

    menyatakan bahwa beberapa sifat senyawa ini yang tidak dimiliki sanitaiser

    lainnya adalah : (1) meninggalkan residu non volatil yang menghambat kapang

    dan mikroba lainnya, (2) stabil terhadap pemanasan, (3) efektif pada pH yang

    luas terutama yang agak basa, (4) non korosif dan tidak menyebabkan iritasi, (5)

    tidak berasa atau berbau dan (6) kurang dipengaruhi oleh senyawa organik jika

    dibandingkan dengan klorin.

    Sanitasi Pekerja

    Pekerja pada industri pangan yang terlibat sejak persiapan bahan baku,

    pengolahan sampai dengan penyimpanan merupakan sumber potensial

    pencemaran mikroba. Menurut Holah dan Taylor (2003), kontaminasi mikroba

    secara langsung dari pekerja ke produk pangan adalah melalui kontak fisik.

    Kontaminasi pekerja ini dapat berasal dari saluran pencernaan, kulit, rambut,

    mulut, hidung, kuping dan mata.

    Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa pencegahan kontaminasi makanan

    yang diolah para pekerja dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan pekerja,

    penanganan makanan secara higienis dan memberi pendidikan kepada pekerja

    tentang pentingnya memakai perlengkapan-perlengkapan dan praktek-praktek

    untuk meminimalkan kontaminasi. Perlengkapan-perlengkapan tersebut antara

    lain : sarung tangan, antiseptik kulit, penutup kepala, pakaian yang sesuai dan

    praktek-praktek yang harus dikendalikan seperti mencuci tangan, makan,

    merokok, mengunyah, mengenakan perhiasan atau kosmetik berlebihan.

    Sarung tangan yang digunakan sebaiknya bersifat sekali pakai (disposable)

    atau jika tidak mungkin maka setiap hari dicuci bersih dan dibuang jika sudah

    berlubang atau robek. Sabun atau antiseptik seperti isopropil alkohol dan etanol,

    yodium dan deterjen, atau larutan hipoklorit 50 ppm sebaiknya disediakan bagi

    para pekerja. Penutup kepala terutama dapat menghindari jatuhnya rambut pada

    makanan yang dari segi estetika tidak disukai. Di samping itu, kadang-kadang

    rambut terkontaminasi oleh S.aureus yang dapat menyebabkan keracunan

    makanan (Holah dan Taylor 2003).

  • 30

    Pekerja harus mengenakan pakaian bersih dan tidak berkantong pada

    bagian atas agar tidak digunakan untuk menyimpan pensil, balpoin atau penjepit

    kertas yang mungkin terjatuh pada makanan yang ditanganinya. Makan,

    mengunyah dan merokok dapat menyebabkan kontaminasi dari mulut ke

    minuman yang sedang diolah. Perhiasan seperti cincin, kalung, anting dan jam

    tangan harus dilepas sebelum masuk ke ruang pengolahan. Pemakaian kosmetik

    yang berlebihan juga tidak diperkenankan.