mazhab dan aliran dalam psikologi
DESCRIPTION
mau ikut yg mna?TRANSCRIPT
Mazhab dan Aliran dalam Psikologi (Psikoanalisa, Behaviorism, Humanistik, Gestalt, Psikologi Positif, Psikologi Transpersonal & Psikologi Lintas Budaya)
Psikologi sebagai sebuah ilmu akan selalu berkembang, seiring dengan
berkembangnya mazhab-mashab dan teori-teori baru yang bermunculan. Teori-teori
yang muncul biasanya merupakan kritik dari teori-teori sebelumnya. Memang, patut
diakui bahwa titik pandang (teori) dalam psikologi tidak ada yang sempurna, sehingga
terbuka kesempatan bagi ilmuwan untuk memberikan kritik dan masukan ataupun
penyempurnaan dari teori yang sudah ada.
Kali ini, kita akan membahas beberapa teori-teori psikologi. Psikoanalisa,
Behaviorisme, Humanistik (Holistik), Psikologi Gestalt, Psikologi Positif,
Psikologi Transpersonal dan Psikologi lintas Budaya (Cross Culture Psychology)
1. Psikoanalisis
Salah satunya tokoh psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939). Nama
asli Freud adalah Sigismund Scholomo. Namun sejak menjadi mahasiswa Freud tidak
mau menggunakan nama itu karena kata Sigismund adalah bentukan kata Sigmund.
Freud lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia. Saat itu Moravia merupakan bagian
dari kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang Cekoslowakia). Pada usia empat tahun
Freud dibawa hijrah ke Wina, Austria (Berry, 2001:3). Kedatangan Freud berbarengan
dengan ramainya teori The Origin of Species karya Charles Darwin (Hall, 2000:1).
Psikoanalisis bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu
kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang
sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin Charcot,
neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang menyebabkan histeria
mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak itu Freud
dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang menjadi subjek
penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan
keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian
Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur
psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada
manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan
yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi keinginan-
keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka keinginan itu
mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego lemah.
Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan
otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental
sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun
bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar
(unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung
es dari kepribadian kita, yaitu:
a. Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b. Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari
lingkungannya.
c. Ego, adalah pengawas realitas.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang
diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda:
“Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek
dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan
lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap
ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari
pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan
mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua
dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking.
Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih
tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang
dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas
keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di
kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient),
sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ
(spiritual quotient).
2. Behaviourisme
Aliran ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa.
Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang
mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan
sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat
dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke
dalam psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat
dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan
dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau perilaku
menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap
seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu.
Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh
dihadapannya dan anjing tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali
lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan,
sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski
daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response dan
cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11
bulan dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka
dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu
percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan
menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi
takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng
Sinterklas.
Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa
yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).
3. Psikologi Humanistis
Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis.
Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk
yang rendah. Aliran ini biasa disebut mazhab ketiga setelah Psikoanalisa dan
Behaviorisme.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan
mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya
meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah satu bagian dari humanistic adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang
mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna).
Pandangan ini berprinsip:
a. Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b. Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c. Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita
alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp
konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan
penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu
para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa
serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang
memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan
berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a. Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari
Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di
Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang
penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya
bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan,
bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa
tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika
seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran
kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari
Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun
di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia
menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga
akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu
luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat
jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu
makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun.
Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita
dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d. Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang
bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan
berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk
memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang
luar biasa dalam hidupnya.
e. Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar
dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi
adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.
4. Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berarti menggambarkan
konfigurasi atau bentuk yang utuh. Suatu gestalt dapat berupa objek yang berbeda dari
jumlah bagian-bagiannya. Semua penjelasan tentang bagian-bagian objek akan
mengakibatkan hilangnya gestalt itu sendiri. Sebagai contoh, ketika melihat sebuah
persegi panjang maka hal ini dapat dipahami dan dijelaskan sebagai persegi panjang
berdasarkan keutuhannya atau keseluruhannya dan identitas ini tidak bisa dijelaskan
sebagai empat garis yang saling tegak lurus dan berhubungan.
Sejalan dengan itu, gestalt menunjukkan premis dasar sistem psikologi yang
mengonseptualisasi berbagai peristiwa psikologis sebagai fenomena yang
terorganisasi, utuh dan logis. Pandangan ini menjelaskan integritas psikologis aktivitas
manusia yang jelas. Menurut para gestaltis, pada waktu itu psikologi menjadi
kehilangan identitas jika dianalisis menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian
yang telah ada sebelumnya.
Psikologi gestalt adalah gerakan jerman yang secara langsung menantang
psikologi strukturalisme Wundt. Para gestaltis mewarisi tradisi psikologi aksi dari
Brentano, Stumpf dan akademi Wurzburg di jerman, yang berupaya mengembangkan
alternatif bagi model psikologi yang diajukan oleh model ilmu pengetahuan alam
reduksionistik dan analitik dari Wundt.
Gerakan gestalt lebih konsisten dengan tema utama dalam filsafat jerman yakni
aktivitas mental dari pada sistem Wundt. Psikologi gestalt didasari oleh pemikiran Kant
tentang teori nativistik yang mengatakan bahwa organisasi aktivitas mental membuat
individu berinteraksi dengan lingkungannya melalui cara-cara yang khas. Sehingga
tujuan psikologi gestalt adalah menyelidiki organisasi aktivitas mental dan mengetahui
secara tepat karakteristik interaksi manusia-lingkungan.
Hingga pada tahun 1930, gerakan gestalt telah berhasil menggantikan model
wunditian dalam psikologi Jerman. Namun, keberhasilan gerakan tersebut tidak
berlangsung lama kerena munculnya hitlerisme. Sehingga para pemimpin gerakan
tersebut hijrah ke Amerika.
Psikologi gestalt diawali dan dikembangakan melalui tulisan-tulisan tiga tokoh
penting, yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Ketiganya dididik
dalam atmosfer intelektual yang menggairahkan pada awal abad 20 di Jerman, dan
ketiganya melarikan diri dari kejaran nazi dan bermigrasi ke Amerika.
Tetapi di Amerika psikologi gestalt tidak memperoleh dominasi seperti di Jerman.
Hal ini dikarenakan psikologi Amerika telah berkembang melalui periode fungsionalisme
dan pada tahun 1930-an didominasi oleh behaviorisme. Oleh karena itu, kerangka
psikologi gestalt tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan di Amerika.
5. Psikologi Transpersonal
Kata transpersonal berasal dari kata trans yang berarti melampaui dan persona
berarti topeng. Secara etimologis, transpersonal berarti melampaui gambaran manusia
yang kelihatan. Dengan kata lain, transpersonal berarti melampaui macam-macam
topeng yang digunakan manusia.
Menurut John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang
menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi transpersonal merupakan
salah satu bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode psikologi
dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-macam budaya dan agama.
Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu
pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari
keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang
sebagai satu kesatuan.
Perintisan psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang
psikologi kesehatan pada tahun 1960-an yang dilakukan oleh Abraham Maslow
(Kaszaniak,2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah
terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 dimasa disiplin ilmu
psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian
mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy,
keadaran ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi dan pengalaman
transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada
kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan
memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, behaviourisme dan
humanistic. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran
manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (Altered States of Consciosness). Sejak
1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertamakalinya,
psikology mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian
yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience,
pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman
spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar,2000).
Aliran psikologi Transpersonal ini dikembangkan oleh tokoh psikologi humanistic
antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh
dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistic. Sebuah
definisi kekemukakan oleh Shapiro yang merupakan gabungan dari pendapat tentang
psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang poitensi tertinggi
yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari
kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan
farthes reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum
memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis
(dalam Zohar, 2000). "I should say also that I consider Humanistic, Third Force
psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a
transpersonal, transhuman centered in the cosmos rather than in human needs and
interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like".
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau
transcendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara
psikologi humanistic dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan,
2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran
mewakili satu tingkat berfungsinya menusia dan tingkat kesadaran diri manusia.
Tiap tingkat dari bagian diatas menunjukan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran
manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 yang berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek
emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4
menggambarkan pengintegrasian dari lingkaran 1, 2 dan 3 yang memungkinkan
individu berfungsi secara harminis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk
dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia.
Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini mulai samara-samar menyadari
bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indra (extra sensory perception).
Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara
jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransedir/melewati kesadaran sensoris dan
pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi
yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat
kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis
atau pencerahan, dimana diri seseorang mentransendir dualintas dan menyatu dengan
segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan lagi tingkat
pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai
kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam
bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari
fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipresepsi secara empiris yang langsung melalui
pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti
pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagaian
pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi. Jika seseorang memperdalam
cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya
yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang indrawi menuju
rasa kekaguman ( tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya
perasaan, disini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater
yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktiitas kognitif seseorang
muali delibtkan, disinilah tafakur sangat berperan dalam proses pengintegrasian ketiga
komponen tadi yaitu fisik, dmosi dan intelektual.
Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada
Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju
transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap
transpersonal ini "perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan
penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan
merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat
semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta,
merasakan khusuk terhada-Nya, dan dapat menyembah-Nya. Baik karena takut atau
karena cinta". Dari ungkapan tersebut dapat dita lihat bahwa seseorang yang mengakui
bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia
transpersonal.
6. Psikologi Positif
Psikologi yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif,
karena berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling banter hanya
menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal, manusia tidak hanya
ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan. Adakah psikologi
jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi
dalam bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan psikologi
negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia,
mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan
kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dalam buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman
memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang
autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis yang
dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains
kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun
2000 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi "Kami percaya bahwa psikologi
positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk
membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif
mencari" untuk mencari dan membina jenius dan bakat ", dan" untuk membuat
kehidupan normal lebih memuaskan ", tidak hanya untuk mengobati penyakit mental.
Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan pada tahun
2006 studi di Universitas Harvard yang berjudul "Psikologi Positif" menjadi kursus
semester yang paling populer semester.
Beberapa Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick
Fromm mengembangnak teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan manusia.
Baru-baru ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog humanistik ini telah
menemukan dukungan empiris dari studi oleh para psikolog positif, meskipun penelitian
ini telah banyak dikritik. Teori ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber
filosofismenya keagamaan dan psikologi humanistic.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang psikologi selalu
menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seseorang, misalnya penyebab
orang mengalami gangguan jiwa, mengapa orang bisa mengalami stress, dan lain-lain.
Yang selalu berhubungan dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi selami ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih
menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang
salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah pada
manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain lain.
Itulah sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai
psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang
kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan
kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga
berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.” Misi Seligman
ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkutat
pada kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia
psikologi. Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah.
Sejak awal mula munculnya aliran psikologi (mashab behaviorisme), manusia
dipandang sebagai suatu mekanik yang penuh dengan banyak masalah. Mashab ini
kemudian melihat masalah yang ada pada manusia, belum lagi dengan mashab
psikoanalisis yang melihat kenangan masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang
ada saat ini. Apapun itu, psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya
lebih memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah
sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai psikologi
negatif.
Psikologi positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia,
kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih
banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi negatif,
seperti marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus,
disebutkan bahwa emosi positif biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak
jelas kenapa demikian. Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih
tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman yang
subyektif dibanding melakukan emosi positif. Contohnya, pada saat kita marah, maka
ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior, dan sebagainya. Ada suatu
penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi yang dipelajari, sehingga dia akan
cenderung untuk mengulangi hal yang dirasa nyaman.
Psikologi positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan,
kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau
memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.
Jadi intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif, ada
baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin kita lebih
mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif kita. Maka hasilnya pun
akan positif.
7. Psikologi Lintas Budaya (Cross Culture Psychology)
Kata budaya sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling
sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Kata budaya juga
kadang dikaitkan dengan seni, musik, tradisi-ritual, atau peninggalan-peninggalan masa
lalu. Sebagai sebuah entitas teoritis dan konseptual, budaya membantu memahami
bagaimana kita berperilaku tertentu dan menjelaskan perbedaan sekelompok orang.
Sebagai sebuah konsep abstrak, lebih dari sekedar label, budaya memiliki kehidupan
sendiri, ia terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuan-pertemuan dengan budaya
lain, perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Budaya adalah produk yang
dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam sebuah kelompok. Budaya
menjadi pengikat dan diinternalisasi individu-individu yang menjadi anggota suatu
kelompok, baik disadari maupun tidak disadari. Pada awal perkembangannya, ilmu
psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya
memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar
memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan
penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi
yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002)
misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan
lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimana hubungan antara psikologi dan budaya? Secara
sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara
budaya dan perilaku sosial, Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian – perilaku.
Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah
kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis
terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri
dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama
dengan kondisi lingkungan sosial-politik dan adaptasi biologis dan adaptasi kultural
merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal
tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan
pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan
karakter psikologis tertentu.
Pada umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau
lintas etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan sebagai satu
kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna. Meskipun hal tersebut juga
menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara bisa diperlakukan sebagai satu
kelompok budaya bila didalamnya ada ratusan etnik seperti halnya indonesia? Dalam
posisi seperti itu, penggunaan bahasa nasional yakni bahasa indonesia menjadi dasar
untuk menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam satu kelompok budaya. Pada
akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk melakukan
pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai dengan ras, etnis,
bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang tindih satu sama lain atau
malah kurang relevan.
Sebuah definisi mengenai budaya dalam konteks psikologi lintas budaya
diperlukan guna pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud budaya dalam
psikologi lintas budaya. Culture as the set of attitudes, values, belifs, and behaviors
shared by a group of people, but different for each individual, communicated from one
generation to the next (Matsumoto, 1996). Definisi Matsumoto dapat diterima karena
definisi ini memenuhi semua perdebatan sebelumnya; budaya sebagai gagasan, baik
yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan keyakinan, sekaligus
sebagai material, budaya sebagai produk (masif) maupun sesuatu (things) yang hidup
(aktif dan menjadi panduan bagi individu anggota kelompok. Selain itu, definisi tersebut
menggambarkan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk
individu.
Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh
perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan
mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Dalam arti sempit,
penelitian lintas budaya secara sederhana hanya berarti dilibatkannya partisipasian dari
latar belakang kultural yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan-
kemungkinan adanya perbedaan antara para partisipan tersebut.
Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah
kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di
semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang
tertentu di budaya-budaya tertentu) (Matsumoto, 2004).
Menurut Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) psikologi lintas budaya adalah
kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus
memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
sosial dan budaya. Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu
keragaman perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan
konteks budaya, tempat perilaku terjadi. Terdapat beberapa definisi lain (menekankan
beberapa kompleksitas), antara lain:
a. Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya mencakup
kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya atau lebih, dengan
menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas
yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang
diperlukan agar menjadi universal.
b. Menurut Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa psikologi lintas
budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah
memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke arah perbedaan perilaku
yang dapat diramalkan dan signifikan.
c. Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian
sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi
dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan
perubahan-perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Setiap definisi dari masing-masing ahli di atas, menitikberatkan ciri tertentu,
seperti misalnya pertama, gagasan kunci yang ditonjolkan ialah cara mengenali
hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. Kedua, berpusat pada peluang
rampat (generalizabiliti) dari pengetahuan psikologi yang dianut. Ketiga lebih
menitikberatkan pengenalan berbagai jenis pengalaman budaya. Kempat,
mengedepankan persoalan perubahan budaya dan hubungannya dengan perilaku
individual. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa psikologi lintas budaya adalah psikologi yang memperhatikan faktor-
faktor budaya, dalam teori, metode dan aplikasinya.
Sumber:
Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Mizan, Jakarta, 2000.
Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Purwanto, Setyo. 2004. Tafakur Sebagai Sarana Transendensi. (materi kuliah PI) tidak diterbitkan
Misiak, Henryk and Virginia Staudt Sexton, Ph.D. 1988 .Psikologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanistik : Suatu Survai Historis. Bandung : PT Eresco
Purwanto, Setyo.2004. Hank Out PI : Metode-metode Perumusan Psikologi islami.(Materi Kuliah) tidak diterbitkan
http://jebhy.blogspot.com/2008/11/psikologi-lintas-budaya.html