masalah perpajakan pada leasing

16
Masalah-Masalah Perpajakan Seputar Leasing (Sewa Guna Usaha) Leasing (Sewa Guna Usaha/SGU) menurut KMK No. 1169/KMK.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna- usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep-1221MK/2/1974, No. 321MISKI 2/1974 dan No. 30/Kpb/l/74 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing” menyatakan: “Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”

Upload: perdana-bagoes-ramadhan

Post on 20-Jun-2015

2.038 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Masalah Perpajakan Pada Leasing

Masalah-Masalah Perpajakan Seputar Leasing (Sewa Guna Usaha)

Leasing (Sewa Guna Usaha/SGU) menurut KMK No.

1169/KMK.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan

barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease)

maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh

Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan

Menteri Perindustrian No. Kep-1221MK/2/1974, No. 321MISKI 2/1974 dan No.

30/Kpb/l/74 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing”

menyatakan:

“Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan

barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka

waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai

dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang

modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan

nilai sisa yang telah disepakati bersama.”

Berikut ini adalah masalah-masalah perpajakan seputar Leasing (SGU):

A. Perbedaan Leasing (SGU) dengan Penjualan Kredit dan Angsuran

Perbedaan Leasing dengan penjualan kredit dan angsuran biasa adalah

dalam penjualan kredit dan angsuran hanya terdapat 2 pihak yaitu penjual

(supplier) dan pembeli (yang mengangsur/mencicil pembayaran kepada supplier).

Maka konsuekensi pajaknya hanyalah antara 2 pihak tersebut. Atas barang modal

yang dijual terutang objek PPN, Sedangkan laba penjualan (harga jual – harga

pokok pembelian) masuk ke PPh badan supplier.

Sedangkan pada leasing (SGU) terdapat 3 pihak:

1. lessor (biasanya bank atau lembaga keuangan lain yang memberi dana

pada lessee untuk memperoleh aset/barang modal yang  di-leasing-kan)

2. lessee (yang menggunakan aset/barang modal yang  di-leasing-kan)

Page 2: Masalah Perpajakan Pada Leasing

3. supplier (yang menjual/menyediakan aset/barang modal)

Sehingga di sini terdapat 2 objek pajak yaitu:

1. Jasa pembiayaan, biasanya berupa imbalan bunga, dari lessor ke lessee

(objek pajak PPN dan PPh 23)

2. Barang modal yang dijual dari supplier ke lessse (objek pajak PPN

sedangkan laba penjualan masuk ke PPh badan supplier)

Terdapat dampak perpajakan yang lain yaitu siapakah yang berhak mendepresiasi

aset karena pada umumnya kepemilikan aset (dokumen legalnya) masih dimilki

oleh lessor. Karena perbedaan konsuekensi pajak inilah, maka merangsang

penyelundupan pajak (tax evasion). Misalnya leasing disamarkan menjadi

penjualan kredit agar lessor terhindar dari konsuekensi pemajakan. Atau penjualan

kredit agar penjual bisa membukukan pendapatan hanya sebesar imbalan bunga

saja.

B. Perbedaan Pengakuan Pendapatan dan Beban antara Standar Akuntansi dan

Peraturan Perpajakan

Secara garis besar, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

PSAK No. 30 (Revisi 2007)

tentang Sewa

KMK No.

1169/KMK.01/1991

Capital Lease

(Sewa Guna

Usaha dengan

Hak Opsi)

Persyaratan 1. Penyewa guna usaha

memiliki hak opsi untuk

membeli aktiva yang

disewagunausaha pada akhir

masa sewa guna usaha

dengan harga yang telah

disetujui bersama pada saat

dimulainya perjanjian sewa

guna usaha.

2. Seluruh pembayaran berkala

yang dilakukan oleh

penyewa guna usaha

1. jumlah pembayaran

sewa-guna-usaha

selama masa sewa-

guna-usaha pertama

ditambah dengan nilai

sisa barang modal,

harus dapat menutup

harga perolehan barang

modal dan keuntungan

lessor;

2. masa sewa-guna-usaha

ditetapkan sekurang-

Page 3: Masalah Perpajakan Pada Leasing

ditambah dengan nilai sisa

mencakup pengembalian

harga perolehan barang

modal yang disewa

gunausaha serta bunganya,

sebagai keuntungan

perusahaan sewa guna usaha

(full payout lease).

3. Masa sewa guna usaha

minimum 2 (dua) tahun.

kurangnya 2 (dua)

tahun untuk barang

modal Golongan I, 3

(tiga) tahun untuk

barang modal

Golongan II dan III,

dan 7 (tujuh) tahun

untuk Golongan

bangunan;

3. perjanjian sewa-guna-

usaha memuat

ketentuan mengenai

opsi bagi lessee.

Pendapatan

& Biaya

Lessor

a. Selisih antara piutang sewa

guna usaha ditambah nilai

sisa (harga opsi) dengan

harga perolehan aktiva yang

disewagunausahakan

diperlakukan sebagai

pendapatan sewa guna usaha

yang belum diakui (unearned

lease income).

b. Pendapatan sewa guna usaha

yang belum diakui harus

dialokasikan secara

konsisten sebagai

pendapatan tahun berjalan

berdasarkan suatu tingkat

pengembalian berkala

(periodic rate of return) atas

penanaman neto perusahaan

1. penghasilan lessor

yang dikenakan Pajak

Penghasilan adalah

sebagian dari

pembayaran sewa guna

usaha dengan hak opsi

yang berupa imbalan

jasa sewa guna usaha;

2. lessor tidak boleh

menyusutkan atas

barang modal yang

disewa-guna-usahakan

dengan hak opsi;

3. lessor dapat

membentuk cadangan

penghapusan piutang

ragu-ragu yang dapat

dikurangkan dari

Page 4: Masalah Perpajakan Pada Leasing

sewa guna usaha.

c. Apabila perusahaan sewa

guna usaha menjual barang

modal kepada penyewa guna

usaha sebelum berakhirnya

masa sewa guna usaha, maka

perbedaan antara harga jual

dengan penanaman neto

dalam sewa guna usaha pada

saat penjualan dilakukan

harus diakui dan dicatat

sebagai keuntungan atau

kerugian periode berjalan.

d. Pendapatan lain yang

diterima sehubungan dengan

transaksi Sewa Guna Usaha

harus diakui dan dicatat

sebagai pendapatan periode

berjalan.

penghasilan bruto,

setinggi-tingginya

sejumlah 2,5% (dua

setengah persen) dari

rata-rata saldo awal

dan saldo akhir piutang

sewa-guna-usaha

dengan hak opsi.

Biaya

Lessee

1. Pembayaran sewa guna

usaha (lease payments)

selama tahun berjalan yang

diperoleh dari penyewa guna

usaha diakui dan dicatat

sebagai pendapatan sewa.

Pendapatan sewa harus

diakui dan dicatat

berdasarkan metode garis

lurus sepanjang masa sewa

guna usaha, meskipun

pembayaran sewa guna

1. selama masa sewa-

guna-usaha, lessee

tidak boleh melakukan

penyusutan atas barang

modal yang disewa-

guna-usaha, sampai

saat lessee

menggunakan hak opsi

untuk membeli;

2. setelah lessee

menggunakan hak opsi

untuk membeli barang

Page 5: Masalah Perpajakan Pada Leasing

usaha mungkin dilakukan

dalam Jumlah yang tidak

sama setiap periode.

2. Penyusutan aktiva yang

disewagunausahakan harus

dilakukan dalam Jumlah

yang layak berdasarkan

taksiran masa manfaatnya.

modal tersebut, lessee

melakukan penyusutan

dan dasar

penyusutannya adalah

nilai sisa (residual

value) barang modal

yang bersangkutan;

3. pembayaran sewa-

guna-usaha yang

dibayar atau terutang

oleh lessee kecuali

pembebanan atas

tanah, merupakan

biaya yang dapat

dikurangkan dari

penghasilan bruto

lessee sepanjang

transaksi sewa-guna-

usaha tersebut

memenuhi ketentuan

Operating Lease

(Sewa Biasa)

Persyaratan Kalau salah satu kriteria capital

lease tidak terpenuhi maka

transaksi sewa guna usaha

dikelompokkan sebagai

transaksi sewa menyewa biasa

(operating lease).

1. jumlah pembayaran

sewa-guna-usaha

selama masa sewa-

guna-usaha pertama

tidak dapat menutupi

harga perolehan barang

modal yang disewa-

guna-usahakan

ditambah keuntungan

yang diperhitungkan

Page 6: Masalah Perpajakan Pada Leasing

oleh lessor;

2. perjanjian sewa-guna-

usaha tidak memuat

ketentuan mengenai

opsi bagi lessee.

Pendapatan

& Biaya

Lessor

1. Pembayaran sewa guna

usaha (lease payments)

selama tahun berjalan yang

diperoleh dari penyewa guna

usaha diakui dan dicatat

sebagai pendapatan sewa.

Pendapatan sewa harus

diakui dan dicatat

berdasarkan metode garis

lurus sepanjang masa sewa

guna usaha, meskipun

pembayaran sewa guna

usaha mungkin dilakukan

dalam Jumlah yang tidak

sama setiap periode.

2. Penyusutan aktiva yang

disewagunausahakan harus

dilakukan dalam Jumlah

yang layak berdasarkan

taksiran masa manfaatnya.

1. seluruh pembayaran

sewa-guna-usaha tanpa

hak opsi yang diterima

atau diperoleh lessor

merupakan obyek

Pajak Penghasilan.

2. lessor membebankan

biaya penyusutan atas

barang modal yang

disewa-guna-usahakan

tanpa hak opsi

Biaya

Lessee

Pembayaran sewa guna usaha

selama tahun berjalan

merupakan biaya sewa yang

diakui dan dicatat berdasarkan

metode garis lurus selama masa

sewa guna usaha, meskipun

Pembayaran sewa-guna-

usaha tanpa hak opsi yang

dibayar atau terutang oleh

lessee adalah biaya yang

dapat dikurangkan dari

Page 7: Masalah Perpajakan Pada Leasing

pembayaran sewa guna usaha

dilakukan dalam Jumlah yang

tidak sama setiap periode.

penghasilan bruto.

Perbedaan paling mendasar adalah tidak diperbolehkannya depresiasi

baik bagi lessor dan lessee dalam SGU dengan hak opsi dalam peraturan

perpajakn di Indonesia. Namun sebenarnya peraturan pajak memberi pembebanan

yang sama bagi lessee seperti pada PSAK dimana lessee diperbolehkan

mengurangkan jumlah angsuran pembayaran leasing. Angsuran ini jumlahnya

akan sama dengan biaya bunga dan biaya depresiasi karena jumlah utang leasing

adalah nilai aktiva ditambah dengan bunga leasing.

Utang Leasing = Harga Pembelian Aktiva + Bunga Leasing

—————————————————————- (Dibagi masa angsuran)

Angsuran Leasing per bulan = Depresiasi Aktiva per bulan + Bunga Lesaing per

bulan

C. Potensi Double Taxation atau Double Dipping dalam Perpajakan

Internasional

Double Taxation (pemajakan berganda) atas leasing dapat terjadi bila

negara lessor dan negara lessee sama-sama tidak boleh mendepresiasi aset leasing

sedangkan double Dipping (pembebanan berganda) atas leasing terjadi bila baik

lessor dan lessee diperbolehkan untuk mendepresiasi aset leasing. Hal ini dapat

dilakukan untuk penghindaran pajak (tax avoidance) berkala internasional untuk

leasing antara induk dan anak perusahaan.

D. Peraturan Perpajakan Mengenai Leasing (SGU) yang Saling Bersebrangan

Di Indonesia, perpajakan atas leasing diatur dalam KMK No.

1169/KMK.01/1991 bertentangan dengan UU PPh pasal 11 yang berlaku saat ini

(UU PPh No 36 tahun 2008): ”masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk

barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;

Page 8: Masalah Perpajakan Pada Leasing

Hal ini melandasi SE-10/PJ.42/1994 membuat pengelompokan harta untuk

depresiasi tidak sesaui UU PPh pasal 11 dimana:

Golongan I mempunyai manfaat 4 tahun

Golongan II mempunyai masa manfaat > 4 sd 8 tahun

Golongan III mempunyai manfaat > 8 tahun

Keputusan Menteri Keuangan yang menjadi dasar  dari Surat Edaran

tersebut adalah ”Keputusan Menteri Keuangan tahun 1991, jadi dasar hukumnya

adalah UU PPh sebelum diubah dengan UU Nomor 10 tahun 1994 dimana pasal

11 menyatkan pengelompokkan aset sebagai berikut:

Bukan bangunan

o Kelompok 1  mempunyai manfaat 4 tahun

o Kelompok 2  mempunyai manfaat 8 tahun

o Kelompok 3  mempunyai manfaat 16 tahun

o Kelompok 4 mempunyai manfaat 20 tahun

Bangunan

o Permanen  mempunyai manfaat 20 tahun

o Tidak Permanen mempunyai manfaat 10 tahun

E. Sales and lease back

Sepintas tipe leasing ini seperti pegadaian. Pada transaksi ini, lessee

menjual aktiva pada lessor lalu menyewanya kembali sampai akhir periode

leasing. PSAK No. 30 menyatakan: “Dalam hal dilakukan penjualan dan

penyewaan kembali (sales and leaseback) maka transaksi tersebut harus

diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan

transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang

dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang

ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan harus

dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang

disewagunausaha apabila leaseback merupakan capital lease atau secara

proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan operating lease.

KMK No. 1169/KMK.01/1991 tidak mengatur khusus masalah ini sehingga

Page 9: Masalah Perpajakan Pada Leasing

dalam prakteknya sering terjadi kesalahpahaman. Leasing ini dianggap sama

seperti pegadaian sehingga tidak terdapat PPN terutang saat aktiva leasing dijual

lessee ke lessor sebelum dileasing kembali. Berdasarkan UU PPN No. 42 tahun

2009 Pasal 1A ayat 2, tidak ada pembebasan PPN atas jenis penyerahan ini.

Namun dalam penjelasan UU PPN pasal 1A ayat 1-h, penyerahan Barang Kena

Pajak (BKP) dalam perjanjian leasing, penyerahannya dianggap langsung dari

Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak

dalam hal ini dari supplier ke lessee. Sehingga penyerahan BKP dari lesee ke

lessor dalam sales and leaseback tidak termasuk dalam positive list dan negative

list dalam UU PPN.

F. Muharabah vs Capital Lease (SGU dengan hak opsi)

Murahabah (transaksi pembiayaan bank syariah) sepintas mirip leasing

karena melibatkan 3 pihak yaitu pembeli, bank dan supplier. Yang membedakan

adalah jenis penghasilannya, leasing mengambil laba dari bunga atas uang yang

dipinjamkan lessor pada lessee sedangkan muharabah merupakan akad jual beli

biasa dengan margin profit dengan cicilan pembayaran. Sehingga seakan-akan

bank syariah merupakan agen penjual maka terjadilah pemajakan PPN berganda

karena terdapat PPN dari supplier ke pembeli lalu terdapat lagi PPN dari bank ke

pembeli. Semestinya yang dipajaki margin profitnya saja karena bank syariah

tidak bisa mengkreditkan PPN masukan dari supplier.

Namun untuk memenuhi asas netralitas, agar tidak ada diskriminasi

antara bank syariah dan bank komersil, baik bunga leasing maupun margin profit

muharabah dibebaskan dari PPN. Pada UU PPN 2009 pasal 1A menyebutkan:

”h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka

perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang

penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang

membutuhkan Barang Kena Pajak”

Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:

”Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia

dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A

Page 10: Masalah Perpajakan Pada Leasing

atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip

syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan

kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini,

penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh

Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.”

Dari pasal tersebut, dapat dinyatakan, penyerahan yang kena PPN dari

supplier ke pembeli, dari bank ke pembeli tidak ada PPN, sama seperti leasing

bank biasa. Hal ini dipertegas lagi Penjelasan Pasal 4a ayat 3 tentang jenis jasa yg

tidak dikenai PPN ”3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah, a) sewa guna usaha dengan hak opsi;”

Sumber:

http://natanedan.wordpress.com/2010/02/18/masalah-masalah-perpajakan-seputar-

leasing-sewa-guna-usaha-oleh-nany-ariany-se/