leukemia akut venabob
TRANSCRIPT
REFERAT
LEUKEMIA AKUT
Pembimbing :dr. Etty C Sp. A
Penyusun :Ivena Iranny
11 2012 289
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
KRIDA WACANARUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
JAKARTA 2013
Pendahuluan
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel sel abnormal
dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit
dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan tunj menjadi
tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga
terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Lcukcm
akut dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut
(LMA)
Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens
rata-rata 4 - 4,5 kasus/tahun/l00.000 anak dibawh 15 tahun. Di negara berkembang
83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di
Asia kejadian leuke-mia pada anak lebih tinggi dari pada anak kulit putih. Di Jepang
mencapai 4/100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru.
Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia
1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun
2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan
terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA)82% dan leukemia
mieloblastik akut (LMA) 18%.Leukemia kronik mencapai 3 % dari seluruh leukemia
pada anak. Di RSU Dr. Sardjito LLA 79%,LMA 9% dan sisanya leukemia kronik,
sementara itu di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%,LMA8 % dan 4 %
leukemia kronik
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk
LMA.Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan
ALL» hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian
ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh
faktor-faktor lingkungan di negara industri yang belum diketahui.
Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik
21, sindrom "Bloom's, anemia "Fanconi's dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih
tin untuk menderita leukemia dan kembar monozigot. Studi faktor lingkungan
difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow melakukan studi kasus
kelola pada 204 |pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.
Penggunaan marijuana maternal Juga menunjukkan hubungan yang signifikan.
Radiasi dosis tinggi merupakan Icukemogcnik, seperti dilaporkan di
Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan
radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan
insidens leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini
masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdo-men selama trimester I
kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali. Selama 40 tahunan
metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat: ini pemeriksaan tersebut arnar jarang
dan hanya sedikit kasus yang bisa dijelaskan hubungannya dengan faktor ini.
Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada.
Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan
peningkatan 2X diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi,
namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak
peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves (Greaves,
Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama
selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan
sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada umumnya.
Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder
setelah kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan
oleh obat pengalkilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan
kromosom nomer 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M1 /M2. Terdapat pula hubungan
antara penggunaan epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. Diperkirakan bahwa
anak-anak dengan LLA yang mendapat terapi epipodofilotoksin dosisi tinggi (VP-16
dan, atau VM 26) memiliki risiko kumulatif 5-12% menjadi LMA sekunder. LM A-
nya berbeda dengan yang mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode
laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom llq23 dan
sebagian FAB tipe M4/M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga meningkat pada
pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada
anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk (1995). Faktor-faktor tersebut
adalah penyakit ginjal pada ibu,penggunaan suplemen oksigen,asfiksia,berat badan
lahir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan
bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya
leukemia pada bayi, terutama LMA.
Patofisiologi dan klasifikasi morfologik
Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis penyakit yang
berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang berat
dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti pada leukemia akut sampai
kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala ringan (indolent) seperti pada
leukemia kronik. Pada dasarnya efek patofisiologi berbagai macam leukemia akut
mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda dengan leukemia kronik.
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal mula
"gugus* sel (clonal), kelainan proliferasi,kelainan sitogenetik dan
morfologi,kegagalan diferensiasi,petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel
normal.
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi pada
penelitian mengenai proses feu- kemogenesis pada binatang percobaan ditemukan
bahwa penyebab (agent)nya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus
DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu
kelainan) genetik tertentu seperti translokasi,amplifikasi dan mutasi onkogen seluler.
Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi
somatik yang mengakibatkan terbentuknya "gugus* (clone) abnormal.
Dari analisis mengenai sitogenetik,isoensim dan fenotip sel,dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi di berbagai tempat pada
jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa perkembangan
gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi berbagai jenis sel leukemia.
Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk pluripoten, yang akan mengenai
eritrosit dan trombosit, atau terjadi pada gugus sel induk yang telah dijuruskan untuk
granulositopoisis atau monositopoisis.
Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk
golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif tua (mature)
dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Perbedaan ini mudah dikenal oleh para ahli
dan berdasarkan hal ini dibuatlah klasifikasi jenis leukemia yang termasuk golongan
LMA dan yang sekarang dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut FAB(Perancis
,Amerika,British) seperti berikut:
M-0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal
M-l leukemia mielositik akut tanpa maturasi
M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi
M-3 leukemia promielositik hipergranuler
M-4 leukemia mielomonositik akut
M-5 leukemia monositik akut
M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)
M-7 leukemia megakariositik akut
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa
sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel bias dari
setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel
tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik
untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:
L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen,anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
L-2pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi kromatin
lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun
dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.
Kegagalan hematopoisis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi leuke-mia
akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak
selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat
pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang
justru hiposeluler.
Kematian pada pasien leukimia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum
tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia.
Imunofenotip
Seperti disebutkan diatas sel-sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada
tahap perkembangan awal hemopoitik. Klasifikasi imunofenotip sangat
berguna dalam mengklasifikasikan leuke-mia sesuai tahap-tahap maturasi
normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini
mengklasifikasikan LLA dalam prekursor sel-B atau leukemia sel-T Prekusor sel-B
termasuk CD 19, CD 20, CD 22 dan CD 79.
Karekteristik sel-B matur adalah imunoglobin pada permukaan, sementara sel-T
membawa imunofenotip CD 3, CD7, CD 5 atau CD 2. Petanda mieloid spesifik termasuk
CD 13, CD 14 dan CD 33. Petanda sel-B dan atau petanda sel T kadang-kadang dapat
dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia dapat menunjukkan antigen mieloid dan
limfoid pada saat yang bersamaan, leukemia tersebut dianggap bifenotip.
Gambaran Genetik
Ketidak normalan klon kromosom sekarang dapat diidentifikasikan pada sebagian besar
kasus leukemia anak. Jumlah kromosom (DNA content) per sel leukemia dikenali sebagai
parameter Prognostik yang penting. Pada penyakit leukemia dengan hiperdiploid (>50
kromosom/sel) Prognosisnya sangat baik, sebaliknya prognosis buruk pada hipodiploid
(<45 kromosom/ sel).
dite r?ns^°kasi t(9;22) dikenal sebagai suatu petanda prognosis yang amat buruk, dan u n pada
5% kasus LLA anak dan 25% kasus dewasa. Translokasi lain yang penting
pada LLA yaitu [ t(8;21)J hampir secara ekslusif ditemukan pada Ml dan M2. Semua
kasus M3 membawa translokasi t(15; 17) dan M5 berhubungan dengan t(9;ll).
Kromosom 16 abnormal terlihat dominan pada M4 dan sebagai berhubungan dengan
peningkatan eosinofil di sumsum tulang. Pada bayi, umumnya perubahan kromosom
melibatkan llq23. Banyak kromosom berperan dalam translokasi yang melibatkan
lokus ini. Gen pada kromosom 11 (MLL, HRX atau ALL-1) berhubungan dengan
sebuah gen homebox pada Drosophila yang bila bermutasi meningkatkan malformasi
morfologi pada dada dan perut pasien. Translokasi yang terlihat pada leukemia
promielositik (FAB M3) [t(15;17)], break point pada kromosom 17 adalah gen
encoding dari retinoic acid nuclear receptor alpha (RAR-a) dan kromosom 15 pada
gen yang awalnya disebut mye kemudian dinamakan PML (Warrell, dkk 1993). Leuke-
mia bereaksi pada semua trans retinoic acid.
Produk gen dari translokassi t(8;21) (q22;q22) sudah terdeteksi. Break point pada
kromosom 21 melibatkan gen LMA-1 dan kemungkinan merupakan kandidat
kromosom 8 yang disebut EOT. Translokasi ini hasil produksi gen chimerik dan sebuah
pesan yang kadang- kadang mengarah pada keganasan. Gen supresor tumor WTI yang
diimplikasikan pada tu-mor Wilm's dapat dideteksi pada 45 pasien LMA yang diperiksa
(Inoue, dkk 1994) dan terlihat bahwa ekspresi tinggi berhubungan dengan prognosis
yang buruk.
Faktor prognostik
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam kelompok
risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan
faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance
Faktor prognostik LLA, sbb :
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat dignosis ditegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi.Ditemukan adanya hubungan linier antara
jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien
dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara
itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis pal-ing buruk. Hal ini dikatakan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan
gene re-arrangement pada kromosom 1 lq23 seperti t (4; 11) atau t (11; 19) dan
jumlah leukosit yang tinggi.
3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfloblas saat diagnosis juga
mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan
antibodi "kappa" dan "lambda pada permukaan bias diketahui mempunyai
prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B,
prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prog-nosis
yang jelek, dan diperlakukan sebagi risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel-T
leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis
yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol risiko
tinggi.
4. Nilai Prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai
penelitian,sebagian F W menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai
prognosis yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya
relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi , hiperleukositosis dan
organomegali serta massa mediatinum pada anak laki>laki. Penyebab pastinya
belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme merkaptopurin
dan metotreksat.
5. Respons terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel bias di darah tepi sesudah 1
minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel bias pada sumsum tulang pada
induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (> 50
kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang
baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t (1;19).
Translokasi t (9;22) pada 5% anak atau t (4; 11) pada bayi berhubungan dengan
prognosis buruk.
Faktor risiko LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman
beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih baik.
2. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.
3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya
diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.
4. Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar
merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dengan kemoterapi. Translokasi
kromosom adalah taktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;21), t(15;17)
dan inversi 16. Ptoidi juga mempengaruhi prognosis.
5. Respons awal terhadap terapi.
Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi
sumsum rolang.dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada,cairan
serebrospinal,dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat
mendiagnosis sekitar 90% kasus,sedangkan ssanva memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut,yaitu sitokimia,imunologi,sitogenetika,dan ^wiogi molekuler.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia,kelainan jumlah hitung jenis
leukosit trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat
apus darah tepi didapatkan sel-sel bias. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol
Nasional (protokol B|| pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah
leukosit >50.000 il, ^ massa mediastinum,ditemukan leukemia susunan saraf
pusat(SSP) serta jumlah sel bias m setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason
lebih dari 1000/mm3. Massa mediasti- ^»Pak pada radiografi dada. Untuk
menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan ^cairan serebrospinal (pungsi
lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.
Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum
tulang (BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat
menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungssi
organ yang terjadi secara sebagai akibat leukostasis.
Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged preleukemia,
biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga
terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopeni. Pemeriksaan sumsum tulang
tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi yang jelas. Kondisi ini
sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB
sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang menunjukkan hiperseluler, kadang-
kadang hipoplastik yang kemudian berkembang menjadi leukemia akut
Diagnosis,evaluasi,dan terapi anak yang menderita LMA belum memuaskan bila
dibandingkan dengan LLA. Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya
anemia,trombositopenia ,dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/
di,jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul.
Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.
Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa
permasalahan, baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua
atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat dapat menimbulkan
nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu
penjelasan dan edukasi,pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi. Tindakan
tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan
penyakit/kemajuan pengobatan,sesuai jadual yang sudah ditentukan. Edukasi dan
pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan
pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan rasa percaya diri pasien.
Diagnosis banding
Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain anemia
aplastik, gangguan mieloproliferatif,PTI,keganasan lain, penyakit reumatologi atau
penyakit kolagen vaskular,sindrom hemofagosit familial atau induksi virus,infeksi
virus Ebstein-Barr, infeksi mononukleosis,reaksi leukemoid, dan sepsis.
Pengobatan
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara
lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit,pemberian antibiotik ,pemberian obat
untuk meningkatkan granulosit,obat anti jamur,pemberian nutrisi yang baik, dan
pendekatan aspek psikososial.
Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa
kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf
pusat dan rumatan. Perawatan intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk
profilaksi leukemia pada susunan sarat pusat. Hasil yang diharapkan adalah
tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko
sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih
dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara
langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering
dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis
tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >
5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy)
disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari
dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama
perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah
2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis
sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor
konsentrasi obat selama terapi rumatan.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala
klinis leu-kemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel bias < 5% dari
sel berinti, hemo-globin >12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan
hitung jenis leukosit normal,jumlah granulosit > 2000/ul, jumlah trombosit >
100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3%
dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission) dan 25-
30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit.
Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis)
memperburuk prognosis (10-20% long-term sur-vival) sementara relap yang terjadi
kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prog-nosis lebih baik, khususnya
relap testis dimana long-term survival 50-60% . Terapi relaps harus lebih agresif untuk
mengatasi resistensi obat.
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk
sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang
berbeda. Sur-vival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)
sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah
lebih intensifnya terapi untuk ^mua kelompok risiko.
Terapi LMA
Tiga puluh tahun yang lalu, hampir setiap anak dengan AML, meninggal dan tidak ada
kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih dari 40%
dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 70-an dengan dikenalnya
sitarabin (Arai C) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda, remisi bisa
berpengaruh pada 75' 85% anak, namun tanpa terapi lebih lanjut kebanyakan anak-anak
relaps dalam 1 tahun.
Perhatian psikologis dan kebutuhan untuk menangani pasien dan seluruh
keluarga pada suatu lingkungan adalah suatu keharusan.
Kualitas remisi harus diperbaiki dengan terapi konsolidasi intensif, namun
intensi® remisi juga bisa mempengaruhi hasil yang tidak berharga dari tipe terapi
konsolidasi ya11 digunakan.
Tiga metode terapi konsolidasi adalah kemoterapi sendiri, transplantasi
sumsum tu a autologus, atau transplantasi alogenik dari donor dengan HLA yang
identik.
Leukemia Promieiositik Akut (M3)
M3 berjumlah sekitar 10-15% . Penyakit ini dikarakteristikan dengan t ( 1 5 ; 1 7 )
dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinoik pada kromosom 17 dan
PML (promyelocyte leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun 1998 ilmuwan Cina
melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada M3 dengan
menggunakan asam retinoik (ATRA) sebagai agen tunggal. Tentu saja keterlibatan
reseptor inti untuk asam retinoik mempengaruhi sensitivitas leukemia terhadap
vitamin ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui. Kerugian terbesar
dari terapi retinoik ATRA adalah komplikasi perdarahan yang tidak bisa dihindari.
Daftar Pustaka
1. Baruchel A, Leblanc T and Schaison G. Pathology of Acute Lymphoblastic
Leukemia in Pediatric Hematology edited Lilleyman J, Han Ian and Blanchette V
2nd ed. Churchill Livingstone 2000: 519-535.
2. Greaves MF. Speculation on The Cause of Childhood Acute Lymphoid Leul^
Leukemia 1988; 2: 120-125.
3. Margolin JF, Steuber CP Poplack DG. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle»
and Practice of Pediatric Oncology 4th eds. Pizzo PA, Poplack DG eds. Lipincot
William & Wilkins Philadelphia 2002. h. 489-544.