laptut skenario 2
DESCRIPTION
laptutTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan laporan ini tepat pada
waktunya.
Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas akhir dari berbagai rangkaian tutorial
pertama dan kedua kami pada blok XV ‘Endokrin’ untuk skenario 2. Secara keseluruhan, kami
melaporkan hasil yang kami peroleh pada step reporting, setelah belajar mandiri yang dilakukan
oleh masing-masing anggota kelompok.
Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
serta dukungan, hingga terselesaikannya laporan ini. Terutama bagi tutor kami untuk skenario
ini,dr. Lale Maulin Prihatna.
Kami dari kelompok 3, menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan serta saran yang
membangun, demi penyempurnaan laporan-laporan kami selanjutnya.
Mataram, 20 Desember 2015
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................3
1.1 Skenario............................................................................................................3
1.2 Learning Objective............................................................................................3
1.3 Mind Map..........................................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................5
2.1. Obesitas ...........................................................................................................5
2.2. Diabetes Mellitus Tipe 1..………………………………………….…............18
2.3. Diabetes Mellitus Tipe 2...............…………….…………..………..............24
2.4. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus ..........................................................32
2.5 Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes............................36
2.7. Analisis Skenario....................................................................................42
BAB III. PENUTUP .....................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...………………………………………………..…….........44
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Kaki Ngereneng
Seorang Wanita 37 Tahun Datang Ke Praktek Dokter Umum Dengan Keluhan Tangan
Dan Kaki Kesemutan. Keluhan Dirasakan Sejak 1 Bulan Yang Lalu. Selain Itu Juga Pasien
Merasa Berat Badan Menurun Dalam 2 Bulan Terakhir. Pasien Juga Merasa Cepat Lelah, Mudah
Lapar Dan Sering Terbangun Untuk Kencing Di Malam Hari. Dari Pemeriksaan Fisik
Didapatkan Td 140/90 Mmgh, Bb 82 Kg, Tb 166 Cm. Riwayat Pekerjaan Bagian Pemasaran Di
Hotel. Dokter Melakukan Poct Glukosa Dengan Hasil 190 Mg/Dl. Dokter Kemudian
Menyarankan Untuk Melakukan Pemeriksaan Penunjang Dan Memberikan Edukasi Terkait
Penyakit Ini.
1.2 Learning Objective
1. Obesitas
2. Diabetes Mellitus Tipe 1
3. Diabetes Mellitus Tipe 2
4. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
5. Komplikasi Kronik Dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes Mellitus
6. Analisis Skenario
3
1.3 Mind Map
4
Wanita, 37 tahun, keluhan tangan dan kaki kesemutan sejak 1 bulan, BB menurun, cepat lelah, mudah lapar dan sering kencing di malam hari.
Pemeriksaan Fisik: TD 140/90 mmhg, BB 82 Kg, TB 166 cm
Penatalaksanaan
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
DD :
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 1
BAB II
PEMBAHASAN
OBESITAS
Definisi
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang
dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan lemak
tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik
dan sedentary life style.
Epidemiologi
Hasil RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak
sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Sebelas propinsi, seperti D.I. Aceh (11,6%), Sumatera Utara
(10,5%), Sumatera Selatan (11,4%), Riau (10,9%), Lampung (11,6%), Kepulauan Riau (9,7%),
DKI Jakarta (12,8%), Jawa Tengah (10,9%), Jawa Timur (12,4%), Sulawesi Tenggara (14,7%),
Papua Barat (14,4%) berada di atas prevalensi nasional.
Hasil penelitian di beberapa kota menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
prevalensi kegemukan dan obesitas. Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun. Prevalensi kegemukan dan
obesitas pada anak sekolah di Yogyakarta pada tahun 1999 sebesar 8,0%, meningkat menjadi
12,3% pada tahun 2004.
5
Etiologi
Faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung
a. Genetik
Yang dimaksud factor genetik adalah faktor keturunan yang berasal dari orang
tuanya. Pengaruh faktor tersebut sebenarnya belum terlalu jelas sebagai penyebab
kegemukan . Namun demikian, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa factor
genetic merupakan factor penguat terjadinya kegemukan. Menurut penelitian , anak-anak
dari orang tua yang mempunyai berat badan normal ternyata mempunyai 10 % resiko
kegemukan. Bila salah satu orang tuanya menderita kegemukan , maka peluang itu
meningkat menjadi 40 – 50 %. Dan bila kedua orang tuanya menderita kegemukan maka
peluang factor keturunan menjadi 70–80%.
b. Hormonal
Pada wanita yang telah mengalami menopause, fungsi hormone tiroid didalam
tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk menggunakan energi akan
berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi penurunan metabolisme basal tubuh,
sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat badannya.
Selain hormon tiroid hormone insulin juga dapat menyebabkan kegemukan. Hal
ini dikarenakan hormone insulin mempunyai peranan dalam menyalurkan energi kedalam
sel-sel tubuh. Orang yang mengalami peningkatan hormone insulin, maka timbunan
lemak didalam tubuhnyapun akan meningkat. Hormon lainnya yang berpengaruh adalah
6
hormone leptin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary, sebab hormone ini berfungsi
sebagai pengatur metabolisme dan nafsu makan serta fungsi hipotalmus yang abnormal,
yang menyebabkan hiperfagia.
c. Obat-obatan
Saat ini sudah terdapat beberapa obat yang dapat merangsang pusat lapar didalam
tubuh. Dengan demikian orang yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut, nafsu
makannya akan meningkat, apalagi jika dikonsumsi dalam waktu yang relative lama,
seperti dalam keadaan penyembuhan suatu penyakit, maka hal ini akan memicu
terjadinya kegemukan.
d. Asupan makan
Asupan makanan adalah banyaknya makanan yang dikonsumsi seseorang.
Asupan Energi yang berlebih secara kronis akan menimbulkan kenaikan berat badan,
berat badan lebih (over weight), dan obesitas. Makanan dengan kepadatan Energi yang
tinggi (banyak mengandung lemak dan gula yang ditambahkan dan kurang mengandung
serat) turut menyebabkan sebagian besar keseimbangan energi yang positip ini.
Perlu diyakini bahwa obesitas hanya mungkin terjadi jika terdapat kelebihan
makanan dalam tubuh, terutama bahan makanan sumber energi. Dan kelebihan makanan
itu sering tidak disadari oleh penderita obesitas.
Ada tiga hal yang mempengaruhi asupan makan, yaitu kebiasaan makan,
pengetahuan, dan ketersediaan makanan dalam keluarga. Kebiasaan makan berkaitan
dengan makanan menurut tradisi setempat, meliputi hal-hal bagaimana makanan
diperoleh, apa yang dipilih, bagaimana menyiapkan, siapa yang memakan, dan seberapa
banyak yang dimakan.
Ketersediaan pangan juga mempengaruhi asupan makan, semakin baik
ketersediaan pangan suatu keluarga, memungkinkan terpenuhinya seluruh kebutuhan zat
gizi. Ketersediaan pangan sangat dipengaruhi oleh pemberdayaan keluarga dan
pemanfaatan sumberdaya masyarakat. Sedangkan kedua hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan.
Kecukupan gizi menurut Recommended dietary Allowanie (RDA) adalah
banyaknya zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang
sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan, tinggi
7
badan, genetic, dan keadaan hamil dan menyusui. Kecukupan gizi yang dianjurkan
berbeda dengan kebutuhan gizi.
Kebutuhan energi total untuk orang dewasa diperlukan untuk metabolisme basal,
aktivitas fisik, dan efek makanan atau pengaruh dinamik khusus (SDA). Kebutuhan
energi terbesar diperlukan untuk metabolisme basal.
Angka kecukupan protein (AKP) orang dewasa menurut hasil penelitian
keseimbangan nitrogen yaitu 0,75 gr/kg berat badan, berupa protein patokan tinggi yaitu
protein telur. Angka ini dinamakan safe level of intake atau taraf asupan terjamin.
e. Aktivitas Fisik
Obesitas juga dapat terjadi bukan hanya karena makan yang berlebihan, tetapi
juga dikarenakan aktivitas fisik yang berkurang sehingga terjadi kelebihan energi.
Beberapa hal yang mempengaruhi berkurangnya aktivitas fisik antara lain adanya
berbagai fasilitas yang memberikan berbagai kemudahan yang menyebabkan aktivitas
fisik menurun. Faktor lainnya adalah adanya kemajuan teknologi diberbagai bidang
kehidupan yang mendorong masyarakat untuk menempuh kehidupan yang tidak
memerlukan kerja fisik yang berat. Hal ini menjadikan jumlah penduduk yang melakukan
pekerjaan fisik sangat terbatas menjadi semakin banyak, sehingga obesitas menjadi lebih
merupakan masalah kesehatan
f. Kerusakan Pada Salah satu Bagian Otak
Sistern pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak
yang disebut hipotalamus sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung
berhubungan dengan bagian bagian lain dan otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus
mengandung lebih banyak pembuluh darah dan daerah lain pada otak, sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dan darah.
Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu
hipotalamus lateral (HL) yang menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan);
hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas menintangi nafsu makan
(pemberhentian atau pusat kenyang). Dan hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL
rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau minum, dan akan mati kecuali
bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi
pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.
8
Faktor yang menyebabkan obesitas secara tidak langsung
a. Pengetahuan gizi
Pengetahuan gizi memegang peranan penting dalam menggunakan pangan dengan
baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang cukup Pengetahuan ibu dipengaruhi
oleh pendidikannya.Tingkat pendidikan , pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki
sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Dengan berbekal pendidikan yang cukup,
seseorang akan lebih banyak memperoleh informasi dalam menentukan pola makan bagi
dirinya maupun keluarganya.
b. Pengaturan Makan
Hidangan gizi seimbang adalah makanan yang mengandung zat gizi tenaga, zat
pembangun , dan zat pengatur yang dikonsumsi seseorang dalam waktu satu hari sesuai
dengan kecukupan tubuhnya Makanan sumber karbohidrat kompleks merupakan sumber
energi utama. Bahan makanan sumber karbohidrat kompleks adalah padi-padian (beras,
jagung, gandum), umbi-umbian (singkong ubi jalar dan kentang), dan bahan makanan
lain yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan sagu. Gula tidak
mengenyangkan tetapi cenderung dikonsumsi berlebih, konsumsi gula berlebihan
menyebabkan kegemukan. Oleh karena itu konsumsi gula sebaiknya dibatasi sampai 5%
dari jumlah kecukupan energi atau 3-4 sendok makan setiap harinya. Konsumsi zat
tenaga yang melebihi kecukupan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan, bila
keadaan ini berlanjut akan menyebabkan obesitas yang biasanya disertai dengan
gangguan kesehatan lainnya. Berat badan merupakan petunjuk utama apakah seseorang
kekurangan atau kelebihan energi dari makanan. Obesitas dapat terjadi jika konsumsi
makanan dalam tubuh melebihi kebutuhan, dan penggunaan energi yang rendah.
Beberapa penyebab yang menjadikan seseorang makan melebihi kebutuhan adalah:
Makan berlebih
Tidak bisa mengendalikan nafsu makan merupakan kebiasaan merupakan
kebiasaan buruk, baik dilakukan dirumah, restoran, saat pesta, maupun pada pertemuan-
pertemuan. Apabila sudah merasa kenyang, janganlah sekali-kali menambah porsi
makanan meskipun makanan yang tersedia sangat lezat.
9
Faktor ini sangat berhubungan erat dengan rasa lapar dan nafsu makan. Begitu
juga saat terjadi stress (rasa takut, cemas), beberapa orang dalam menghadapinya akan
mengalihkan perhatiaannya pada makanan.
Kebiasaan mengemil makanan ringan
Mengemil adalah kebiasaan makan yang dilakukan di luar waktu makan, dan
makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil yang rasanya gurih, manis manis dan
biasanya digoreng. Bila kebiasaan ini tidak dikontrol akan dapat menyebabkan
kegemukan, karena jenis makanan tersebut termasuk tinggi kalori. Namun jika rasa lapar
sulit untuk ditahan, maka makanlah makanan yang rendah kalori dan tinggi serat seperti
sayuran dan buah-buahan.
Suka makan tergesa-gesa
Makan secara terburu-buru akan menyebabkan efek kurang menguntungkan bagi
pencernaan, selain dapat mengakibatkan rasa lapar kembali. Begitu pula dengan
kebiasaan mengunyah makanan yang kurang halus. Padahal makan dengan tidak terburu-
buru dan mengunyah makanan yang halus akan memelihara kesehatan gigi dan gusi.
Salah memilih dan mengolah makanan
Faktor ini biasanya disebabkan karena ketidaktahuan. Tetapi banyak juga orang
yang memilih makanan hanya karena prestise semata. Misalnya, banyak orang yang lebih
memilih makanan yang cepat saji, padahal makanan tersebut banyak mengandung lemak,
kalori dan gula yang berlebih, sedangkan kandungan seratnya rendah. Selain makanan
tersebut, masyarakat juga menyukai makanan goreng-gorengan ataupun yang bersantan.
Padahal minyak dan santan selain tinggi kalori, juga merupakan lemak yang mengandung
ikatan jenuh sehingga sulit untuk dipecah menjadi bahan bakar. Oleh karena itu,
biasakanlah memasak dengan cara membakar, merebus, mengukus, memanggang dan
mengetim.
Penentuan Obesitas
Untuk mengetahui tingkat kegemukan seseorang, umumnya dilakukan pengukuran lermak tubuh
dengan berbagai cara antara lain:
1. Pinch Test
Pengukuran lernak dilakukan dengan mencubit lipatan lemak dibawah kulit pada
lengan belakang (triceps) menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, selanjutnya mintalah
10
orang lain mengukur ketebalan lemak pada cubitan tersebut menggunakan mistar, atau
menggunakan alat yang berupa Skin Fold calipers. Apabila ketebalan lemak mencapai 3
cm, atau lebih berarti yang bersangkutan termasuk kategori gemuk.
2. Rasio Pinggang panggul
Pengukuran ini dilakukan dengan membandingkan lingkar pinggang dengan
lingkar panggul, jika diperoleh angka 0,6 berarti ukuran tubuh sangat ideal, namun jika
diperoleh angka 0,8 atau lebih, berarti kegemukan dan berpotensi terkena gangguan
kesehatan, misalnya hipertensi, sakit jantung dll.
3. Mengukur ketebalan lemak
Pengukuran obesitas secara lebih akurat dapat dilakukan dengan mengukur
ketebalan lemak di beberapa bagian tubuh mengggunakan fat kalipers (Skin Fold
calipers), pada urnumnya 4 tempat yakni biceps, triceps, subscapula dan suprailliaca.
4. Mengukur Index Massa Tubuh (IMT)
Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan rumus matematis
yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan
dalam kilogram dibagi dengan kwadrat tinggi badan dalam ukuran meter.
Rumus menentukan IMT
IMT= BBTB(M 2)
11
Bentuk-bentuk obesitas
Bentuk obesitas seseorang di bedakan menjadi dua berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh
yaitu:
1. Tipe android (buah apel)
Tipe android biasanya dialami oleh pria atau wanita yang sudah menopause (henti
haih), Penumpukan lemak terjadi pada bagian tubuh atas, sekitar dada, pundak, leher dan
muka.
2. Tipe Ginoid (buah pear)
Tipe ginoid umumnya diderita oleh wanita dengan timbunan lemak pada bagian
tubuh bawah, sekitar perut, pinggul, paha, pantat. Tipe ini relative lebih aman dibanding
tipe android sebab timbunan lemak umumnya bersifat tak jenuh, namun sulit untuk
menurunkan lemak badan.
Berdasarkan kondisi selnya, kegemukan dapat digolongkan Dalam beberapa tipe yaitu :
1. Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak
dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal
terjadi pada masa anak-anak.Upaya menurunkan berat badan ke kondisi normal pada
masa anak-anak akan lebih sulit.
2. Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan
ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan upaya untuk
menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengan tipe hiperplastik.
12
3. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran
sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak - anak dan terus
berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini
merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit,
seperti penyakit degeneratif.
Resiko Obesitas
Dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan mengalami rendah diri dan merasa
kurang percaya diri. Sehingga seringkali akan mengalami tekanan, baik dari dirinya sendiri
maupun dari lingkungannya. Kelebihan penimbunan lemak diatas 20% berat badan idial, akan
menimbulkan permasalahan kesehatan hingga terjadi gangguan fungsi organ tubuh.
Orang dengan obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif. Penyakit – penyakit
tersebut antara lain :
Hipertensi
Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap penyakit
hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20 – 39 tahun orang
obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang hipertensi dibandingkan dengan
orang yang mempunyai berat badan normal.
Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan
pembuluh darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500 penderita
kegemukan, sekitar 88 % mendapat resiko terserang penyakit jantung koroner.
Meningkatnya factor resiko penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya
penambahan berat badan seseorang. Penelitian lain juga menunjukkan kegemukan yang
terjadi pada usia 20 – 40 tahun ternyata berpengaruh lebih besar terjadinya penyakit
jantung dibandingkan kegemukan yang terjadi pada usia yang lebih tua.
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi tersebut tidak
selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari 90 % penderita
diabetes mellitus tipe serangan dewasa adalah penderita kegemukan. Pada umumnya
penderita diabetes mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah. Maka,
dianjurkan bagi penderita diabetes yang ingin menurunkan berat badan sebaiknya
13
dilakukan dengan mengurangi konsumsi bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak
mengkonsumsi makanan tinggi serat.
Gout
Penderita obesitas mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit radang sendi yang
lebih serius jika dibandingkan dengan orang yang berat badannya ideal. Penderita
obesitas yang juga menderita gout harus menurunkan berat badannya secara perlahan-
lahan.
Batu Empedu
Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih tinggi karena
ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak tubuh, cairan empedu
lebih banyak diproduksi didalam hati dan disimpan dalam kantong empedu. Penyakit
batu empedu lebih sering terjadi pada penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat
badan tidak akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu dalam
pencegahannya. Sedangkan untuk mengobati batu empedu harus menggunakan sinar
ultrasonic maupun melalui pembedahan.
Kanker
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki dengan obesitas akan
beresiko terkena kanker usus besar, rectum, dan kelenjar prostate. Sedangkan pada wanita
akan beresiko terkena kanker rahim dan kanker payudara. Untuk mengurangi resiko
tersebut konsumsi lemak total harus dikurangi. Pengurangan lemak dalam makanan
sebanyak 20 – 25 % perkilo kalori merupakan pencegahan terhadap resiko penyakit
kanker payudara.
14
Penanganan pada Penderita Obesitas
Terapi fisik
1. Diet Perampingan
Pengaturan makan (diet) untuk merampingkan tubuh yang aman adalah dengan cara
mengurangi asupan makan 25 % dan kebutuhan energi seharihari (calori expenditure).
Besarnya kebutuhan energi/hari dapat dihitung dengan menambahkan BMR (Basal Metalik
Rate) dengan faktor aktivitas. BMR adalah energy minimal yang diperlukan seseorang/hari,
untuk orang dewasa besarnya BMR = Bearat badan (KG) X 1 Kalori X 24 Jam.
15
Contoh, Indah berat badannya 60 kg dengan aktivitas ringan, maka BMRnya sebesar = 60
x 1 x24 = 1440 Kalori, sehingga kebutuhan kalori/hari adalah 1440 + (50 % x 1440) = 1440
+ 72 = 2160 Kalori. Sehingga menu makan seharí-hari yang harus disediakan untuk tujuan
perampingan tubuh adalah senilai 2160 Kalori - (25 % x 2160) = 2160 kalori - 540 Kalori =
1620 kalori, dengan tetap mempertahankan proporsi makan sehat berimbang dan frekuensi
penyajian 3 kali (pagi-siang-malam), akan lebih baik lagi jika makan malam disajikan
sebelum pukul 7 malam, untuk menghindari timbunan lemak tubuh yang berlebihan. Untuk
mengurangi perasaan laparnya, dapat di kompensasi dengan makan buah atau sayuran,
namun hindarkan yang menggandung lemak seperti kelapa dan apokat, hindarkan pula
makan sayur dengan bumbu kelapa, mentega dan keju, disamping itu masakan rebus lebih
dianjurkan dan pada makanan goreng. Selain cara tersebut, untuk menurunkan berat badan,
anjuran untuk menerapkan diet rendah kalori gizi seimbang, dengan proporsi Karbonhidrat :
Lemak : Protein = 60 : 20 : 20, utamakan karbonhidrat kompleks, pemakaian lemak jenuh
tidak melebihi 10 % dan total kalori dan asupan serat sekitar 35 Gram/hari.
2. Olahraga
Olahraga merupakan latihan yang paling efektif untuk mengurangi obesitas yang
berfungsi membakar lemak tubuh, untuk itu ciri-ciri, takaran, jenis dan model latihan
olahraganya adalah sebagai berikut :
Ciri-ciri gerak melibatkan otot besar, dilakukan secara kontinyu dengan gerakan ritmis.
Takaran latihan : intensitasnya 65 % - 75 % detak jantung maksimal, durasi 20-60 menit,
Frekuensi 3-5 kali/minggu. Dengan intensitas 65%-75% akan terjadi penurunan berat
badan secara optimal, sebab lebih dan 50 energi yang diperlukan untuk aktivitas berasal
dan pembakaran lemak tubuh dan setiap berlatih pembakaran lemak yang aman adalah
500-1000 kalori.
Jenis latihannya adalah latihan aerobik.
Model Iatihannya dapat dipilih antara lain jalan, jogging, bersepeda, renang, dan semam
aerobic. Berbagai model latihan tersebut dapat di kerjakan di alam terbuka atau di pusat-
pusat kebugaran.
Agar Penurunan berat badan untuk mengatasi obesitas dapat optimal, selain latihan diatas
perlu dilengkapi dengan latihan beban untuk mengencangkan otot-otot tubuh dengan
16
takaran 15 repetisi, di kerjakan sebanyak 2-3 set untuk setiap otot recovery 30 detik antar
set.
3. Terapi Psikologis
Dengan menggunakan CBT (Cognitif Behavioral Treatment)
Terapi ini dapat digunakan seperti halnya dalam mengatasi bulimia nervosa.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) merupakan terapi yang mendasarkan pada teori kognitif
perilaku yang menekankan pada kesaling terkaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku,
Menurut teori ini psikopatologi terjadi bila terdapat ketidak sesuaian antara tuntutan-
tuntutan lingkungan dengan kapasitas adaptif individu.
Self Monitoring
Self monitoring ini berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya dalam hal ini
adalah keluarga dan terapis. Keluarga berhubungan dengan pengaturan segala jenis
makanan yang dikonsumsi, pengatur waktu makan dan aktivitas diri. serta keluarga
berperan dalam meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri. Sedangkan terapis berperan
dalam mengontrol kemajuan-kemajuan selama perlakuan diberikan dan target-target yang
harus dicapai oleh penderita.
17
DIABETES MELLITUS TIPE 1
Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam
etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau
gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih
diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yang
didasari proses autoimun.
Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti “sypon”
menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal dari kata “meli” yang
berarti madu.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes pada orang berusia < 20 tahun adalah
sekitar 2/1.000 populasi. Secara umum untuk DM tipe 1, insidensi totalnya tiap tahun adalah
20/100.000 populasi. DM tipe 1 juga terjadi pada orang dewasa, dengan insidensi
8,2/100.000 populasi tiap tahun. Insidensi puncaknya pada usia < 20 tahun.
Etiologi
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena paparan agen
infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan
cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan susu sapi).
18
Patogenesis
a. DM tipe 1A (autoimun)
Diabetes bentuk ini terjadi akibat destruksi autoimun sel beta. Terdapat tiga
mekanisme terkait yang berperan dalam destruksi sel islet yaitu
Kerentanan genetik
- DM tipe 1A paling sering terjadi pada ketururnan Eropa Utara.
- Berdasarkan penelitian diketaui bahwa banyak regio kromosom yang
mengatur kerentanan terhadap DM tipa 1A. Dari lokus ini, yang paling
banyak diketahui adalah keterkaitan denga kromosom 6p21 yang gen MHC
kelas II-nya (HLA-DP, -DQ, -DR) terpetakan -> lokus ini disebut IDDM1.
- Seperti telah diketahui bahwa reseptor sel T di limfosit T CD4+ mengenali
antigen hanya setelah fragmen peptida antigen berikatan dengan molekul
MHC kelas II yang mempengaruhi celah pengikatan antigen sehingga
memungkinkan penyajian self-antigen ke sel T CD4+ autoreaktif. Oleh
karena itu, kelaina pada MHC kelas II dapat mempengaruhi responsivitas
19
DM tipe 1
Destruksi sel beta
Autoimun
Respon imun abnormal
Gangguan lingkungan
Respon imun terhadap sel betaPredisposisi genetik
utoimun terhadap semua antigen termasuk self-antigen dan merangsang
proses imun yang abnormal.
Autoimunitas
Walaupun onset klinis DM tipe 2 bersifat mendadak namun penyakit ini terjadi
akibat serangan autoimun kronis terhadap sel beta yang biasnaya berlangsung
bertahun-tahun sebelum onset klinis penyakit. Bukti keterlibatan proses autoimun:
- Infiltrat peradangan penuh limfosit yang terutama terdiri dari limfosit T
CD8+ (jumlah CD4+ dan makrofag bervariasi) pada islet pasien di awal
perjalanan klinis penyakit.
- Kerusakan terjadi secara selektif hanya pada sel beta islet. Diduga kerusakan
terjadi akibat CD8+ mengeluarkan granula sitotoksik atau dnegan memicu
apoptosis yang diperantarai oleh fas.
- Sekitar 10-20% orang yang mengidap DM tipe 1A menderita penyakit
autoimun spesifik-organ lain seperti tiroiditis Hashimoto, celiac diseases,
grave’s disease, addison’s disease, anemia pernisiosa.
Autoantibodi sel islet muncul pada usia 9 bulan dan terdapat pada apsien DM
onset awal. Antigen yang menjadi sasaran autoantibodi adalah asam glutamat
dekarboksilase (GAD), insulin, dan beberapa protein sitoplasma lainnya.
Anggota keluarga asimptomatik dari pasien DM tipe 1A (yang beresiko tinggi)
membentuk autoantibodi sel islet beberapa tahun sebelum mereka
memperlihatkan gejala klinis DM.
Faktor lingkungan
Serangan atau gangguan dari lingkungan seperti infeksi virus dapat memicu
autoimunitas dengan merusak sel beta.
- Teori A
virus diduga memicu penyakit melalui “mimikri molekular” (timbul respon
imun terhadap suatu protein virus yang memiliki sekuensi asam amino yang
sama dengan protein sel beta). Contohnya sel T reaktif terhadap peptida GAD
yang memiliki sekuensi asam amino yang sama dengan protein coxsackie
virus.
- Teori B
20
Virus tidak memicu autoimunitas tapi memeprkuat kumpulan sel T reaktif
yang sudah ada. Infeksi virus pada sel islet memicu respon peradangan lokal
yang menghasilkan sitokin -> sitokin mengaktifkan atau memperbanyak sel T
autoreaktif (bystander effect)
Gejala Klinis
Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang
disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik.
Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium : Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200
mg/dl. Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral
(oral glucosa tolerance test).
Kadar C-peptide.
Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti
GAD (Glutamic decarboxylase auto-antibody).
Penatalaksanaan
Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap
Insulin. Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala
hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada
keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi
sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
21
Diet
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat
juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x 100)
= ....... Kalori/hari
Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-
15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan
kecil sebagai berikut :
o 20% berupa makan pagi.
o 10% berupa makanan kecil.
o 25% berupa makan siang.
o 10% berupa makanan kecil.
o 25% berupa makan malam.
o 10% berupa makanan kecil.
Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati, dan
retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang umur penderita
Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi
penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai terjadinya
nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
22
Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik
dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :
keadaan umum, tanda vital.
Kemungkinan infeksi.
- kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer)
- setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
- kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
- pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).
- mikroalbuminuria (setiap 1 tahun). fungsi ginjal.
- funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun
menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
- tumbuh kembang.
23
DIABETES MELLITUS TIPE 2
Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolisme dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan ekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.
Epidemiologi
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbidtas dan
mortalitas dini pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan
adanya rbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karen terjadi perubahan
perilaku rural-tradisional menjadi urban.
Diantara penyakit degenerative, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Meningkatnya prevalensi diabetes
mellitus di beberapa Negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di Negara
bersangkutan, meningkatnya pasien obesitas dan aktivitas fisik yang kurang. WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun
mendatang.
Menurut penelitian epidemiologi di Indonesia, angka prevalensi diabetes berkisar antara
1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan 2,3% (desa dekat Semarang) , dan
di Manado 6%. Tingginya prevalensi di Pekajangan ini disebabkan di daerah itu banyak
perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, tingginya angka tersebut disebabkan oleh
populasinya terdiri dari orang – orang yang datang dengan sukarela, jadi agaknya lebih selektif.
Diperkirakan kira–kira 30 tahun lagi angka kejadian diabetes pada penduduk Indonesia
akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu
86 – 138% yang disebabkan oleh :
1. Factor demografi
- Jumlah penduduk menigkat
- Penduduk usia lanjut bertambah banyak
- Urbanisasi makin tak terkendali
24
2. Gaya hidup yang kebarat – baratan
- Penghasilan per kapita tinggi
- Restoran siap saji
- Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
3. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
4. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.
Faktor resiko :
Faktor resiko
Usia > 45 tahun
Riwayat keluarga dengan diabetes
Ras/etnik
Riwayat melahirkan Bayi dengan berat > 4Kg
Riwayat pernah menderita DM gestasional
Obesitas
Kurang aktifitas fisik
Hipertensi ( >140/90 mmHg)
Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dl)
Trigliserida ( > 250 mg/dl)
Diet tinggi gula rendah serat
Patogenesis
Patogenesis DM tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui, walaupun tipe ini merupakan yang
tersering. Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan DM tipe
1. Tetapi, bagaimana factor ini secara pasti bekerja, masih belum diketahui. Karakteristik
DM tipe 2 ialah :
Inadekuat sekresi insulin.
Resistensi insulin : ialah penurunan kemampuan insulin untuk nerefek pada jaringan
target.
25
Peningkatan produksi glukosa hepatic (pembebasan glukosa dari hepar).
Metabolisme lemak yang abnormal
Diagnosis
Diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, sedangkan gejala yang tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
diteemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan
dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dpat ditegakkan melalui cara
dibawah ini.
Kriteria diagnosis DM berdasarkan WHO dan The National Diabetes Data Group:
26
1. gejala diabetes (poliuria, polidipsia, BB turun) + konsentrasi glukosa darah
random/sewaktu (tanpa memperhatikan waktu makan terakhir) ≥200 mg/dL (≥11.1
mmol/L) atau
2. kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (≥7 mmol/L) atau
3. kadar glukosa plasma dua jam ≥200 mg/dL (≥11.1 mmol/L) saat test toleransi
glukosa oral (OGTT/oral glucosa tolerance test)
Beberapa peneliti mengemukakan pemeriksaan AIC hemoglobin sebagai tes diagnostik
DM. Walaupun terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan glukosa plasma dan AIC,
namun hubungan antara FPG dan AIC pada individu dengan toleransi glukosa normal
atau intoleransi glukosa ringan masih belum jelas sehingga pemeriksaan AIC sebagai
diagnosis diabetes tidak direkomendasikan.
Screening
Tes screening yang direkomendasikan untuk DM tipe 2 adalah pemeriksaan kadar fasting
plasma glucose (FPG), karena:
- Sebagian besar penduduk yang masuk dalam kriteria DM asimptomatik dan tidak
menyadari bahwa terdapat kelainan pada dirinya
- Studi epidemiologi menunjukkan DM tipe 2 dapat muncul satu dekade sebelum
diagnosis
- ±50% individu dengan DM memiliki 1-2 komplikasi spesifik diabetes pada waktu
diagnosis
- Terapi DM tipe 2 dapat mengubah natural history DM
*ADA (American Diabetes Association) merekomendasikan screening bagi semua
individu >45 tahun tiap 3 tahun sekali dan pada individu yang lebih muda apabila
memiliki obesitas + 1 faktor resiko
Tatalaksana
Dalam melakukan penatalaksanaan pada pasien dengan diabetes mellitus, memiliki
beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
27
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
DM tipe II sangat terkait dengan pola hidup yang mapan. Untuk itu, perlu memberikan pemahaman kepada pasien mengenai penyakitnya. Hal ini guna menanamkan kesadaran pada pasien sehingga mendorong pasien untuk berperilaku yang sesuai untuk kesehatannya. Edukasi yang perlu diberikan adalah mengenai:
Perjalanan penyakit DM
Pentingnya pengendalian dan pemantauan DM dan cara-cara yang dapat
dilakukan
Penyulit DM dan resikonya cara mengatasi sementara keadaan gawat darurat
Permasalahan khusus yang dihadapi, misalnya hiperglikemi saat kehamilan, dll
2. Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya
adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi medis :
Kadar glukosa darah mendekati normal
a. Glukosa puasa berkisar 90 – 130 mg/dl
b. Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
c. Kadar A1c < 7 %
Tekanan darah < 130 / 80 mmHg
Memperbaiki profil lipid
a. Kolesterol LDL < 100 mg/dl
b. Kolesterol HDL > 40 mg/dl
28
c. Trigliserida < 150 mg/dl
Berat badan senormal mungkin
3. Latihan Jasmani
Prinsip latihan jasmani bagi penderita diabetes, persis sama dengan prinsup latihan
jasmani secara umum, yaitu :
Frekuensi jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3–5
kali perminggu
Intensitas ringan dan sedang (60 – 70 % maximum heart rate)
Durasi 30 – 60 menit
Jenis latihan jasmani yang bersifat aerobic dan mempergunakan otot–otot
besar untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi.
Latihan jasmani yang teratur penting bagi kesehatan setiap orang karena akan :
Memberikan lebih banyak tenaga
Membuat jantung lebih kuat
Meningkatkan sirkulasi
Memperkuat otot
Meningkatkan kelenturan
Meningkatkan kemampuan bernapas
Membantu mengatur berat badan
Memperlambat proses penuaan
Memperbaiki tekanan darah
Memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain
Mengurangi stress
Melawan akibat-akibat kekurangan aktivitas
Berikut adalah beberapa contoh aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh pasien
DM :
29
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Intervensi tersebut dapat berupa
pemberian obat hipoglikemi oral (OHO) maupun terapi insulin (prinsipnya sama dengan
terapi insulin pada DM tipe 1). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan :
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonylurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
30
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
d. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
Komplikasi
31
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS AKUT
Diabetic ketoacidosis (DKA) dan hiperosmolar hiperglikemik state (HHS) adalah
komplikasi akut diabetes. HHS terutama terlihat pada individu dengan DM tipe 2. Kedua
gangguan tersebut berhubungan dengan defisiensi insulin baik yang mutlak atau relatif,
penurunan volume cairan tubuh, dan kelainan asam-basa tubuh.
Diabetic ketoacidosis (DKA)
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda-tanda fisik dari DKA tercantum dalam tabel di bawah ini dan biasanya
berkembang dalam waktu 24 jam. DKA biasanya merupakan gejala awal komplikasi yang
mengarah ke diagnosis DM tipe 1. Mual dan muntah sering ditemukan. Nyeri abdomen bisa
berat dan dapat menyerupai pankreatitis akut atau perforasi apendisitis. Hiperglikemia
menyebabkan glukosuria, penurunan volume, dan takikardia. Hipotensi dapat terjadi karena
penurunan volume dalam kombinasi dengan vasodilatasi perifer. Respirasi Kussmaul dan bau
buah pada napas pasien (sekunder untuk asidosis metabolik dan peningkatan aseton) adalah
tanda-tanda klasik dari gangguan tersebut.
32
Tabel: Manifestasi klinis diabetic ketoacidosis
Patofisiologi
Depresi sistem saraf pusat dapat berkembang menjadi koma pada kasus DKA parah tetapi
juga harus dievaluasi dengan cepat untuk penyebab lain perubahan status mental (infeksi,
hipoksia). Edema serebral merupakan komplikasi yang sangat serius dari DKA, terlihat paling
sering pada anak-anak. Patofisiologi DKA merupakan hasil dari defisiensi insulin baik relatif
atau absolut dikombinasikan dengan kelebihan counterregulatory hormonnya (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Kekurangan insulin dan glukagon yang
berlebihan dapat menyebabkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan keton di hati,
serta peningkatan pengiriman substrat dari lemak dan otot (asam lemak bebas, asam amino) ke
hati. Defisiensi insulin juga mengurangi kadar glukosa transporter GLUT4, yang mengganggu
penyerapan glukosa ke dalam otot rangka dan lemak dan mengurangi metabolisme glukosa
intraseluler. Ketosis merupakan hasil dari peningkatan asam lemak bebas dari adiposit. Kadar
insulin berkurang, dalam kombinasi dengan ketinggian di katekolamin dan hormon
pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas.
Diagnosis
Kelainan laboratorium dan diagnosis yang tepat dari DKA sangat penting dan
memungkinkan untuk inisiasi terapi. DKA ditandai dengan hiperglikemia, ketosis, dan asidosis
metabolik (peningkatan anion gap) bersama dengan sejumlah gangguan metabolik sekunder.
Terkadang hanya glukosa serum yang minimal meningkat. Serum bikarbonat sering dan pH
arteri tergantung pada beratnya asidosis. Kadar natrium, klorida, fosfor dan magnesium juga
berkurang di DKA tetapi tidak akurat tercermin dalam serum karena adanya dehidrasi dan
33
hiperglikemia. BUN dan kadar kreatinin serum mencerminkan adanya penurunan volume
intravaskular.Leukositosis, hipertrigliseridemia, dan hyperlipoproteinemia biasanya ditemukan
juga. Osmolalitas sedikit cukup tinggi pada DKA, meskipun tingkatnya lebih rendah daripada
yang ditemukan di HHS. Gangguan metabolik dari DKA ada di sepanjang spektrum, dimulai
dengan asidosis ringan dengan hiperglikemia sedang yang dapat berkembang menjadi parah.
Tabel: Perbedaan temuan laboratorium DKA dan HHS
Tatalaksana
Tatalaksana DKA dapat diuraikan pada tabel di bawah. Setelah memulai penggantian
cairan intravena dan terapi insulin, agen penyebab DKA harus dicari dan diobati secara agresif.
Jika pasien muntah, tabung nasogastrik (NGT) dapat dimasukkan untuk mencegah aspirasi isi
lambung. Prinsip pengobatan DKA adalah pemantauan secara hati-hati dan sering terhadap
perkembangan kondisi pasien, seperti tanda vital, asupan cairan dan output, dan nilai-nilai
laboratorium.
Setelah pemberian bolus awal normal saline, penggantian natrium dan defisit air bebas
dilakukan selama 24 jam berikutnya (defisit cairan sering 3-5 L). Penggunaan awal dari
intravena ringer laktat dapat mengurangi resiko hyperchloremia yang umum terjadi dengan
penggunaan normal saline. Sebuah bolus intravena (0,15 unit/kg) atau intramuskular (0,4
unit/kg) insulin reguler harus diberikan segera, dan pengobatan selanjutnya harus menyediakan
tingkat yang berkesinambungan dan memadai. Pemberian intravena lebih disukai (0,1 unit/kg per
jam), karena menjamin distribusi yang cepat dan memungkinkan penyesuaian tingkat infus saat
pasien merespon terhadap terapi. Insulin reguler intravena harus dilanjutkan sampai asidosis
34
tertangani dan metabolik pasien stabil. Jika asidosis dan resistensi insulin terkait dengan DKA
mulai menurun, laju infus insulin dapat diturunkan (untuk 0,05-0,1 unit /kg per jam).
Insulin menengah atau long-acting, dalam kombinasi dengan insulin reguler subkutan,
harus diberikan segera setelah pasien dapat makan. Hal ini penting untuk melanjutkan infus
insulin sampai tingkat insulin yang memadai yang dicapai melalui rute subkutan. Hiperglikemia
biasanya membaik pada tingkat insulin 4,2-5,6 mmol/L (75 sampai 100 mg/dL) per jam. Ketika
glukosa plasma mencapai 13,9 mmol/L (250 mg/dL), glukosa harus ditambahkan ke infus saline
untuk mempertahankan glukosa plasma di 11,1-13,9 mmol / L (200-250 mg / dL). Membaiknya
asidosis dan anion gap tercermin oleh kenaikan tingkat bikarbonat serum dan pH arteri.
Selama pengobatan dengan insulin dan cairan, berbagai faktor berkontribusi untuk
terjadinya hipokalemia. Ini termasuk transportasi kalium insulin-mediated ke dalam sel, resolusi
asidosis dan hilangnya kalium lewat urin. Dengan demikian, pemberian kalium harus dimulai
sesegera urin output memadai, melalui cairan intravena atau dengan suplemen kalium tambahan
juga mungkin diperlukan.
Tabel: Tatalaksana DKA
Hiperosmolar Hiperglikemik State (HHS)
35
Manifestasi Klinis
Pasien dengan HHS adalah seorang individu lanjut usia dengan DM tipe 2, dengan
riwayat beberapa minggu poliuria, penurunan berat badan, dan asupan oral berkurang yang
berpuncak pada kebingungan mental, lesu, atau koma. Pemeriksaan fisik mencerminkan
dehidrasi mendalam dan hiperosmolalitas, hipotensi, takikardia, dan perubahan status mental.
Gejala yang tidak muncul adalah gejala mual, muntah, dan sakit perut dan pernapasan Kussmaul
yang merupakan karakteristik DKA.
Patofisiologi
Defisiensi insulin relatif dan asupan cairan yang tidak memadai adalah penyebab HHS.
Kekurangan insulin meningkatkan produksi glukosa hepatik (melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis) dan merusak pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet. Hiperglikemia
menginduksi diuresis osmotik yang mengarah ke penurunan volume intravaskular, yang
diperburuk oleh penggantian cairan yang tidak memadai. Tidak adanya ketosis di HHS tidak
sepenuhnya dipahami. Kekurangan insulin hanya relatif dan kurang parah daripada di DKA.
Diagnosis
Temuan laboratorium yang paling penting adalah hiperglikemia, hiperosmolalitas (>350
mmol/L), dan azotemia prerenal. Natrium serum diukur mungkin normal atau sedikit rendah.
Berbeda dengan DKA, asidosis dan ketonemia tidak ada atau ringan. Sebuah gap anion asidosis
metabolik kecil dapat ditemukan untuk peningkatan asam laktat.
KOMPLIKASI KRONIK DAN PENYAKIT PENYERTA PADA DIABETES
Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan factor yang
terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar.Menurut estimasi data WHO
maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 5,6 juta
penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini
sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan secara
komprehensif di setiap sektor terkait. Diabetes sendiri merupakan penyakit kronis yang akan
diderita seumur
36
hidup sehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat menimbulkan
komplikasi. Diabetes Mellitus (DM) biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan
sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.
Dengan demikian Diabetes bukan lah suatu penyakit yang ringan. Menurut beberapa review,
Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan pada usia dewasa muda, kematian akibat
penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-4 kali lebih besar , Nefropati diabetic, sebagai
penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes meninggal akibat
kejadian kardiovaskuler dan neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non traumatic pada
usia dewasa muda.
Insidensi komplikasi
Menurut laporan UKPDS, Komplikasi kronis paling utama adalah Penyakit
kardiovaskuler dan strone, Diabeteic foot, Retinopati, srta nefropati diabetika, Dengan demikian
sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak secara Iangsung akibat hiperglikemianya, tetapi
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka
penderita DM 5 x Iebih besar untuk timbul gangren, 17 x Iebih besar untuk menderita kelainan
ginjal dan 25 x Iebih besar untuk terjadinya kebutaan.
Selain komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga memiliki
risiko penyakit kardio-sebrovaskular seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh
Iebih tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita diabetes perlu diobati agar dapat
terhindar dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka harapan hidup menurun.
Kadar gula darah yang tinggi dan terus menerus dapat menyebabkan suatu keadaan gangguan
pada berbagai organ tubuh. Akibat keracunan yang menetap ini, timbul perubahan-perubahan
pada organ-organ tubuh sehingga timbul berbagai komplikasi. Jadi komplikasi umumnya timbul
pada semua penderita baik dalam derajat ringan atau berat setelah penyakit berjalan 10-15 tahun.
Faktor risiko tradisional
Seperti telah diketahui, bahwa faktor risiko tradisional, yang berkaitan dengan penyakit
kardiovaskuler dibagi dalam 2 kategori, yatitu : dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.
Faktor yang dapat dimodifikasi adalah: Merokok, Dislipidemia, Hipertensi, Diabetes mellitus,
Obesitas, factor diet, factor thrambogenic, rendahnya aktifitas fisik, dan konsumsi alcohol
berlebihan, Sedang yang tidak dapat dikoreksi adalah Adanya riwayat penyakit jantung, usia dan
gender.
37
Diabetes semdiri dimasukkan kedalam factor yang dapat dikoreksi, tetapi akhir akhir ini
diabetes disepakati sebagai kondisi yang sama dengan Penyakit kardiovaskuler ( Risk
equivalent). Dengan demikian semua target terapi disamakan dengan penderita penyakit
kardiovaskuler, walaupun belum terjadi pada penderita itu sendiri.
Komplikasi Kronis dan Penyakit penyerta Pada DM
Angka kesakitan dan kematian pada DM meningkat diberbagai negara, hal ini selain
dikaitkan dengan insidensi yang sangat cepat meningkat dan progresivitas penyakitnya juga
disebabkan faktor ketidaktahuan baik penderita maupun dokter sendiri, atau penderita pada
umumnya datang sudah disertai dengan komlikasi yang lanjut dan berat.
Kalau ditinjau lebih dalam lagi, ternyata hiperglikemia ini merupakan awal bencana bagi
penderita Diabetes, hal ini terbukti dan terjadi juga pada penderita dengan gangguan toleransi
glukosa yang sudah terjadi kelainan komplikasi vaskuler, walaupun belum diabetes.
Hiperglikemia ini dihubungkan dengan kelainan pada disfunsi endothe, sebagai cikal bakalnya
terjadi mikro maupun makroangiopati. Dengan demikian, apablia hiperglikemia terkendali dan
terkontrol dengan baik, yang ditandai dengan HbA1c yang normal dapat menurunkan angka
kejadian komplikasi pada DM.
KOMPLIKASI KRONIK
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadikomplikasi
pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan
pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik
vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu:
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis
1. Komplikasi Mikrovaskular
Nefropati
Retinopati
Neuropati
38
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi mi
spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman
penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati
diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferative dan Proliferatif. Retinopati
non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat
dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik,
sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula
darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang
terlalu singkat.
Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagi penyebab
terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke
dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam),
terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah
kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.
2. Komplikasi Makrovaskular
Penyakit kardiovaskuler/ Stroke/ Dislipidemia Penyakit pembuluh darah perifer,
Hipertensi Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri
akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM
timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan control kadar gula
darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan
suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan
39
risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan
risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.
Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner.
Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada
koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pectoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih
benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang
timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda seetlah beristirahat atau mendapat nitrat
sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih
hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak timbul
pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita
diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul
dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran
atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:-
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi
pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung. Kematian
dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan
meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau
merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita
diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh
40
darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor factor
neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama
terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi,
sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian.
.3. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita
DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi
serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya
adalah serabut saraf tungkai atau lengan.
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya
peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase,
sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
41
ANALISIS SKENARIO
Usia 37 tahun:
Usia di atas 30 tahun merupakan faktor resiko dari diabetes mellitus tipe 2, sedangkan
diabetes mellitus tipe 1 biasanya lebih sering menyerang anak berusia di bawah 20 tahun.
Berat badan menurun, cepat lelah, mudah lapar, dan nokturia:
Gejala di atas merupakan tanda khas klasik dari diabetes mellitus.
Berat Badan 82 kg dan Tinggi Badan 166 cm:
Berdasarkan penghitungan BMI, BMI pasien adalah 29,8 sehingga pasien telah masuk ke
dalam kategori obesitas, di mana obesitas merupakan faktor resiko penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus, sindrom metabolik, serta hipertensi.
Tekanan Darah 140/90:
Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi grade 1, di mana hipertensi
merupakan salah satu komplikasi yang dapat disebabkan oleh diabetes mellitus karena
adanya angiopati. Selain itu, tekanan darah yang tinggi juga menjadi faktor penyulit pada
penyakit diabetes mellitus.
POCT (gula darah sewaktu) 190 mg/dl:
Hal ini menunjukkan kondisi pre-diabetik, di mana kadar glukosa darah sewaktu pasien
berada dalam range 110-200 mg/dl. Namun, berdasarkan gejala klinis dan anamnesis
pasien dapat didiagnosis sementara dengan penyakit diabetes mellitus tipe 2.
Diagnosis Sementara: Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hipertensi Grade 1
Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang:
Perlu dilakukan pemeriksaan gula darah puasa dan post-prandial serta profil lipid untuk
mengeksklusi kemungkinan dislipidemia yang mengarah ke penyakit sindrom metabolik.
Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik terkait beberapa sistem untuk
mengetahui apakah ada komplikasi-komplikasi yang timbul.
Edukasi:
Edukasi perlu dilakukan terkait pola hidup sehat yang terdiri dari diet yang sehat dan
peningkatan aktivitas fisik untuk mengurangi BMI pasien.
42
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Seorang wanita 37 tahun datang dengan keluhan tangan dan kaki kesemutan. Keluhan
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Selain itu juga pasien merasa berat badan menurun dalam 2
bulan terakhir. Pasien juga merasa cepat lelah, mudah lapar dan sering terbangun untuk kencing
di malam hari.
Dengan keluhan-keluhan tadi kita sudah bisa curiga adanya tanda tanda klasik Diabetes
mellitus, sehingga dokter perlu kita anamnesis lebih dalam lagi berkaitan dengan keluhan pasien,
riwayat penyakit sebelumnya, penyakit keluarganya pasien, pola makan dan aktivitas serta
kebiasaan olahraga pasiennya bagaimana. Untuk diagnosis pastinya perlu kita lakukan
pemeriksaan dengan 3 cara sesuai kriteria dari ADA atau kriteria Perkeni.
Pada pasien diabetes mellitus terapinya meliputi edukasi, terapi non farmakologis
(pengaturan pola makan, pengaturan jadwal olahraga teratur yang sifatnya endurance), terapi
farmakologis menggunakan obat-obatan maupun terapi insulin. Disini peran pasien keluarga
serta peran dokter dan ahli gizi sangat membantu pengelolaan pasien diabetes dengan tujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien karena penyakit ini hanya bisa dikontrol dan tidak bisa
disembuhkan secara sempurna.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsesus Pencegahan dan Pengelolaan Nasional Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe
2 di Indonesia, Perkeni, 2006.
2. ADA, Standards of Medical Care in Diabetes—2007. Diabetes Care 30:S4-S41, 2007.
3. Zimmet PZ. The pathogenesis and prevention of diabetes in adults: Genes,autoimmunity
and demography. Diabetes Care; 18:1050-71, 1995.
4. Mahler RJ and Adler ML. Type 2 diabetes mellitus: Update on
diagnosis,pathophysiology and treatment. J Clin Endocrinol Metab 1999; 84 (4):1165-71.
5. Ostenson CG. The pathophysiology of type 2 diabetes mellitus: an overview. Acta
Physiol Scand 171:241-7, 2001.
6. ADA, Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus, Diabetes Care
25:213-229, 2002
44