laporan kasus sinusitis dentogen

50
LAPORAN KASUS SINUSITIS MAKSILARIS KRONIS SINISTRA ET CAUSA INFEKSI GIGI (SINUSITIS DENTOGEN) HIPERTENSI GRADE I Oleh: Faradila Khoirun Nisa Hakim H1A 010 007 Pembimbing: dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL, M.Kes. DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

Upload: faradila-hakim

Post on 10-Jul-2016

329 views

Category:

Documents


63 download

DESCRIPTION

Laporan Kasus sinusitis dentogen

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

SINUSITIS MAKSILARIS KRONIS SINISTRA ET CAUSA INFEKSI GIGI

(SINUSITIS DENTOGEN)

HIPERTENSI GRADE I

Oleh:

Faradila Khoirun Nisa Hakim

H1A 010 007

Pembimbing:

dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL, M.Kes.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

2016

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

kavum nasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,

dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus

sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.1 Semua sinus mempunyai muara

(ostium) ke dalam rongga hidung.2

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter

sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan

tersering di seluruh dunia. Sinusitis didefiniskan sebagai inflamasi mukosa sinus

paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut

(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh

infeksi bakteri .1,2

Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia.

Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan

pemberian antibiotik dan jenis sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah

sinusitis maksilaris.3

Kasus sinusitis dengan sumber dentogen terhitung 10% dari semua kasus

sinus maksilaris. Pada beberapa penelitian, insidensi sinusitis dentogen lebih

tinggi terjadi pada wanita dan individu dengan usia yang lebih muda (dekade

ketiga dan keempat) tampak menjadi lebih rentan terkena. Sinusitis dentogen

terjadi ketika membran Schneidarian mengalami perforasi. Hal ini dapat terjadi

pada pasien dengan karies gigi maksilaris dan trauma gigi maksilaris. Terdapat

juga penyebab-penyebab iatrogenik, seperti perpindahan implan gigi dan ekstraksi

gigi. Sehingga, diperlukan suatu penatalaksanaan yang tepat dari berbagai bagian

untuk dapat mengatasi penyakit ini dengan tuntas.2

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIDUNG

2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga

hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar

berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:3,4

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung

Gambar 2.1 Hidung bagian luar 5

2

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:3,4

1. Tulang hidung (os nasalis)

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontalis

Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang

rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:3,4

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)

3. Kartilago alar minor

4. Tepi anterior kartilago septum

Gambar 2.2. Kerangka hidung3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

3

Prosesus nasalis os frontalis

letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan

rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.3,4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior.3,4,5 Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina

perpendikularis os ethmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) &

kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa

hidung.3,4

Gambar 2.3 Dinding medial hidung

Bagian depan hidung sisi lateral memiliki permukaan licin, yang disebut

agar nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar

dinding lateral hidung.3,4 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka

superior, konka media, konka inferior dan konka suprema. Yang terbesar dan

letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah

konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah

konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. 3,4

4

Gambar 2.4 Dinding lateral rongga hidung

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid.3 Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus

yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di anatara

konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.3,4

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus

semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah

sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus

etmoid anterior.3

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan

konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding

inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

5

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis yang memisahkan rongga terngkorak dan rongga hidung.3

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior

dan posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna).

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris

interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang

ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari

cabang-cabang arteri fasialis.3

Gambar 2.5 Perdarahan hidung

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina major, yang

disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epitaksis, terutama anak-anak.3

6

Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di

vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan

dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai

intrakranial. 3

2.1.2 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung adalah 3:

1. Sebagai Jalan Napas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga

aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan

yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara

memeceah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke

belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran nasofaring.

2. Pengatur Kondisi Udara

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk

mempersiapakan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini

dilakukan dengan cara mengatur kelembaban dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh

darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang

luas, sehingga radiasi berlangsung optimal. Dengan demikian suhu udara

setelah melalui hidung kurang lebih 370C.

3. Penyaring dan Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri

dan dilakukan oleh:

a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b) Silia

c) Palut lendir

7

d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut

lysozyme.

Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang

besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir akan dialirkan ke

nasofaring oleh gerakan silia.

4. Indra Penghidu

Hidung memiliki fungsi sebagai alat penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan

palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi Suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menebabkan resonansi berkurang atau

hilang sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).

6. Membantu Proses Bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,

bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga

mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

7. Refleks Nasal

Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa hidung

menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

8

2.2 SINUS PARANASAL

2.2.1 Anatomi

Sinus paranasal adalah perluasan bagian respiratorik cavitas nasi yang

berisi udara ke dalam ossa cranii berikut: os frontal, os etmoid, os sfenoid, dan os

maxilla. Sinus paranasal mulai terbentuk pada fetus usia 3 sampai 4 bulan. Nama

sinus-sinus tersebut bersesuaian dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya.

Seluruh sinus paranasal memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

Drainase yang berasal dari sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid anterior

bermuara di meatus media sementara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid

bermuara di meatus superior. 1,2

Gambar 2.6 Sinus Paranasal. A. Tampak anterior. B. Tampak lateral

Gambar 2.7 Meatus tempat muara sinus paranasalis.

9

a) Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus

maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila

berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila

yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus

alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior

dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid.1

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam

sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan

sinusitis

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga

drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus

melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus

etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah

ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya

menyebabkan sinusitis.

b) Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan

keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel

infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada

usia 6-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada

10

lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih

15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%

sinus frontalisnya tidak berkembang.1

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan

dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-

lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus

pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal

dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,

sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang

berhubungan dengan infundibulum etmoid.1

c) Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan

dianggap paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-

sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan

dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,

tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian

posterior.1

Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus

etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius

dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian

terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal,

yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat

suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium

sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat

menyebabkan sinusitis maksila.1

11

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat

tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus

etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior

berbatasan dengan sinus sfenoid.1

d) Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah

superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya

atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan

a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya

berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1

Kompleks Osteomeatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.

Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri

dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus usinatus, resesus

frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium

sinus maksila.1

12

2.2.2 Fisiologi

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai

fungsi apa- apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain1:

1) Sebagai Pengatur Kondisi Udara

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata

tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume

sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

2) Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita

dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah- ubah. Akan tetapi

kenyataannya sinus- sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan

organ-organ yang dilindungi.

3) Membantu Keseimbangan Kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.

Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori

ini dianggap tidak bermakna.

4) Membantu Resonasi Suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator

yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya

sinus pada hewan- hewan tingkat rendah.

13

5) Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara

Fungsi ini berjalan bila tidak ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

6) Membantu Produksi Mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan mukus yang dihasilkan oleh rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus

ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.3 SINUSITIS

2.3.1 Definisi

Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal, yang umumnya

disertai atau dipicu oleh peradangan pada cavum nasi (rhinitis), sehingga sering

disebut sebagai rhinosinusitis.1

2.3.2 Etiologi

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis

akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus influenzae (20-

40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak

ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi

umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan

anaerob.1

2.3.3 Faktor Presdiposisi

Faktor predisposisi sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam

rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,

kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan

kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia

silia pada sindrom Kartagener, dan fibrosis kistik. Pada anak-anak sering terkait

dengan hipertrofi adenoid.1

Faktor yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara

dingin dan kering serta kebiasaan merokok, yang menyebabkan perubahan

14

mukosa dan kerusakan silia. Selain itu juga faktor geografis dan sosioekonomi,

terutama terhadap kejadian sinusitis jamur. Rhinosinusitis kronis juga diduga

berkaitan dengan gastroesophageal reflux disease (GERD), laryngopharyngeal

reflux (LPR), serta adanya biofilm yang dihasilkan oleh mikroorganisme

penyebab rhinosinusitis.1

Bakteri yang banyak ditemukan sebagai penyebab sinusitis antara lain

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri anaerob, Branhamella

catarrhalis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes. Pada sinusitis

kronis, agen infeksi yang cenderung terlibat adalah bakteri anaerob. Tidak jarang

pula terjadi infeksi campuran antara bakteri aerob dan anaerob.1 Bakteri anaerob

juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan

infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab

sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi

invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain

adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella,

Aspergillus, dan Fusarium.6

2.3.4 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosilier di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga

mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai

mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernapasan.1

Organ-organ yang membentuk KOM terletak berdekatan dan bila terjadi

edema maka mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak

bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga

sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula bersifat serosa.

Kondisi ini dapat dianggap sebagai rhinosinusitis non bacterial, dan biasanya

sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1

Bila kondisi ini menetap, maka sekret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri. Sekret

15

menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan

membutuhkan terapi antibiotik.1

Jika terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut, maka akan terjadi

hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini

merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa

menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada

keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.1

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena

infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga

jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka kuman akan masuk

dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa.

Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis

dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini

kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses

alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu

inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas

sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya

sinusitis maksila.3

2.3.5 Sinusitis Dentogen

Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi

rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Sehingga, disebut

sinusitis dentogen.1 Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting

sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi

rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis

dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi

rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal

mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan

limfe.1 Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik

yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk

mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan

16

pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu

dilakukan irigasi sinus maksila.1

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

1. Perjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari

gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi

pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang

tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang

dipisahkan oleh tulang yang tebal.

2. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya

dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi

3. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari

membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus

4. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan

sinus maksila

5. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan

tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan

6. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis

7. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler

dan folikuler

8. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat

menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis. 3

17

2.3.6 Gejala dan Tanda

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri

kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti

aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala

mendadak, seperti sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi

khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret

mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk inisiatif

non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.7

Keluhan sinusitis kronis tidak khas, dapat berupa salah satu dari sakit

kepala kronis, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan

telinga akibat sumbatan kronik tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti

bronchitis (sino-bronkitis) dan yang paling penting adalah serangan asma yang

sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan

gastroenteritis.1

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan

naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.

Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid

anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan

sfenoid).1

Pada rhinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering

ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. Pemeriksaan

pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters,

PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti

sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-

cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1

18

2.3.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.1 Sinusitis juga dapat ditegakkan dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada tahun 1997, American Academy of Otolaryngology-Head

and Neck Surgery (AAO-HNS), menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala

dan tanda sinonasal, yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Terdapatnya 2

atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor dan 2 minor, maka dikatakan sugestif

sinusitis.

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis sinusitis

Mayor Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sekret nasal purulen

Demam

Kongesti nasal

Obstruksi nasal

Hiposmia atau anosmia

Sakit kepala

Batuk

Rasa lelah

Halitosis

Nyeri gigi

Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor

dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

2.3.8 Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsipnya adalah dengan

membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih

secara alami.1

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan

penisilin seperti amoksisilin, dan jika diperkirakan kuman telah resisten atau

memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin – asam

klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik

19

diberikan selama 10 – 14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis

kronis diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob.1

Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat diberikan jika

diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga

hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin

diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih

kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua.

Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi

tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan pada kelainan

alergi yang berat.1

Tindakan bedah dilakukan bila terdapat indikasi berupa: sinusitis kronik

yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau

kelainan ireversibel; polip ekstentensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis

jamur.1

2.3.9 Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah banyak menurun sejak ditemukannya antibiotic.

Komplikasi biasana terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis eksaserbasi

akut, antara lain:1

a. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinusitis yang lokasinya berdekatan dengan mata, yang

paling sering adalah sinusitis etmoid, dan selanjutnya oleh sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui trombflebitis dan

perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis

orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi

thrombosis sinus kavernosus.1

b. Kelainan Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan

thrombosis sinus kavernosus.1

c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

20

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada oseteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral

atau fistula di pipi.1

d. Kelainan Paru

Kelainan para yang terjadi antara lain bronchitis kronis dan bronkiektasis.

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut

sebagai sino-bronkhial. Selain itu sinusitis dapat juga menyebabkan

kambuhnya asma bronkial yang sulit dihilangkan sebelum sinusitisnya

disembuhkan.1

21

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K

Umur : 43 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Sepakek, Pringgarata, Lombok Tengah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. RM : 127486

Tanggal Pemeriksaan : 20 April 2016

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama:

Kedua hidung tersumbat

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang dengan keluhan hidung kanan dan kiri tersumbat. Keluhan tersebut

sudah dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu dan dirasakan lebih berat pada hidung

sebelah kiri. Keluhan hidung tersumbat ini awalnya dirasakan muncul perlahan

yang semakin lama keluhan tersebut semakin bertambah berat hingga pasien

merasa sulit bernapas. Pasien juga mengeluh kadang hidungnya keluar ingus

berwarna kuning kehijauan disertai bau busuk. Mencium bau busuk ini awalnya

dirasakan hilang timbul, namun sejak 2 bulan terakhir seolah menetap. Selain

hidung yang dirasakan bau, pasien juga merasa mulut terus-menerus terasa bau.

Sejak 1 tahun terakhir, pasien juga mengeluhkan rasa penuh di pipi yang

hilang timbul, terutama dirasakan pada pipi sebelah kiri terasa seperti ada tekanan

pada pipi dan diperberat jika posisi kepala pasien menghadap kebawah.

22

Keluhan lain yang juga dirasakan adalah kepala terasa berat sejak 1 tahun

terakhir. Kepala terasa berat ini muncul hilang timbul. Kadang sampai sangat

mengganggu aktifitas. Nyeri pada belakang mata dan pangkal hidung disangkal,

nyeri bagian atas kepala disangkal, nyeri belakang telinga disangkal. Keluhan

gangguan tenggorok disangkal, gangguan telinga disangkal, demam dan lesu

disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien memiliki riwayat sakit gigi pada rahang atas sebelah kiri sejak

sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien pernah memeriksakan ke dokter gigi.

Namun, pasien berhenti kontrol sebelum pengobatan selesai.

Berdasarkan keterangan pasien, keluhan utama saat ini didahului dengan

hidung tersumbat, keluar cairan berwarna kehijauan yang berbau seperti

saat ini, dan nyeri kepala yang memberat saat pasien menunduk.

Riwayat hipertensi (+). Namun, pasien tidak rutin mengkonsumsi obat anti

hipertensi.

Riwayat kencing manis (-), riwayat asma (-).

Pasien mengatakan sering pilek dan sembuh sendiri dengan istirahat,

pasien sering mengalami bersin-bersin terutama di pagi hari, saat suhu

dingin dan bila terkena debu.

Riwayat penyakit keluarga:

Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan hidung tersumbat

berkepanjangan dan keluar cairan hidung berbau seperti pasien. Riwayat asma

pada keluarga pasien disangkal.

Riwayat pengobatan:

Pasien sebelumnya hanya mengkonsumsi obat batuk dan pilek yang dijual

bebas di warung. Keluhan umumnya berkurang tetapi tidak pernah benar-benar

sembuh.

23

Pasien pertama kali berobat ke dokter spesialis THT sekitar 1 bulan yang

lalu dan diberikan obat cefixime dan demacoline. Keluhan berkurang namun tidak

pernah benar-benar sembuh.

Riwayat alergi:

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-

obatan.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Status Generalis :

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : - TD : 130/90 mmHg

- Nadi : 86 x/menit

- Respirasi : 18 x/menit

- Suhu : 36,6 C⁰Status Lokalis

Pemeriksaan telinga

No. Area Telinga Kiri Telinga Kanan

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri tarik

aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri tarik

aurikula (-)

3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), sekret (-)

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), sekret(-)

24

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), hiperemi

(-), edema (-), perforasi (-),

kolesteatom (-), cone of light (+)

MT intak

Cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-), hiperemi

(-), edema (-), perforasi (-),

kolesteatom (-), cone of light (+)

MT intak

Cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan

HidungHidung Kiri Hidung Kanan

Hidung luar Bentuk normal, hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Bentuk normal, hiperemi (-), nyeri

tekan (-)

Rinoskopi Anterior

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia (-) Bentuk (normal), hiperemia (-)

Meatus nasi media Mukosa hiperemis (+), sekret

(+), massa berwarna putih

mengkilat (-).

Mukosa hiperemis (+), sekret (+),

massa berwarna putih mengkilat (-).

Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi

(+)

Edema (+) tampak lebih berat

disbanding konka nasi inferior

dextra, mukosa hiperemi (+)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-),

ulkus (-)

Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

25

Konka nasi inferior sinistra tampak lebih oedema (+),

mukosa hiperemi (+)

Bibir & mulut Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda

Geligi Warna mukosa gusi merah muda, hiperemi (-), gigi berlubang (+)

pada molar 2 kiri atas

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-)

Tonsila palatina Kanan: T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-)

Kiri: T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-)

Pemeriksaan Transiluminasi

- Sinus frontalis : kedua sinus frontalis tampak terang

- Sinus maksilaris : sinus maksilaris sinistra tampak redup

26

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen Water’s (13 April 2016)

- Tampak adanya gambaran air fluid level pada sinus maksilaris sinistra

- Kesan: Sinusitis maxilaris sinistra

3.5 ASSESSMENT

Sinusitis Maksilaris Kronis Sinistra et causa Infeksi Gigi (Sinusitis

Dentogen)

Hipertensi Grade I

27

3.6 PLANNING

Terapeutik

o Antibiotik : Klindamisin 2 x 500 mg, selama 14 hari

o Nasal dekongestan: Fenilpropanolamin HCl 3 x 15 mg

o Mukolitik : Ambroksol 3 x 30 mg

o Analgetik : Paracetamol 3 x 500 mg

o Pro irigasi sinus maksilaris sinistra

o Konsultasi ke bagian Penyakit Dalam untuk penanganan hipertensi.

o Konsultasi ke bagian Gigi dan Bedah Mulut untuk penanganan gigi

berlubang sebagai causa primer sinusitis.

3.7 EDUKASI

o Edukasi bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan infeksi

kuman pada suatu ruangan di bagian wajah. Penyakit ini bisa di

sembuhkan.

o Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi keluhan,

membunuh kuman, dan membersihkan daerah yang terinfeksi.

o Menjelaskan prosedur dan manfaat dari irigasi sinus.

o Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup agar kondisi tubuh dapat

prima sehingga proses penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan.

o Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.

o Antibiotik harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang

agar penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi komplikasi.

o Menghindari hal-hal yang dapat mencetuskan pilek dan batuk dengan

cara menjaga kebersihan diri serta segera berobat jika mengalami

batuk dan pilek.

o Melakukan pemeriksaan gigi secara berkala dan mengedukasi pasien

untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut.

3.8 PROGNOSIS

28

Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini telah dilaporkan seorang perempuan usia 43 tahun

dengan keluhan hidung tersumbat, sekret hidung purulen, hidung dan mulut

berbau (halitosis), rasa penuh dan tekanan pada pipi kiri, nyeri kepala. Untuk

menegakkan diagnosis sugestif sinusitis dapat dipakai suatu kriteria dari American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) berdasarkan

gejala dan tanda sinonasal yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor.

Mayor Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sekret nasal purulen

Demam

Kongesti nasal

Obstruksi nasal

Hiposmia atau anosmia

Sakit kepala

Batuk

Rasa lelah

Halitosis

Nyeri gigi

Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor

dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Berdasarkan kriteria diagnosis menurut AAOA dan ARS, pasien ini memiliki 3

gejala mayor dan 2 gejala minor, sehingga memenuhi kriteria sinusitis.

Pada pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum baik,

kesadaran komposmentis. Namun, pada tanda vital didapatkan tekanan darah

tinggi pada pasien yakni 130/190 mmHg. Sehingga, pada pasien juga didapatkan

adanya hipertensi grade I.

Pada pemeriksaan status lokalis THT, didapatkan temuan pada

pemeriksaan rinoskopi anterior berupa adanya edema dan hiperemi mukosa

hidung terutama pada nasi sinistra, adanya gambaran sinus maksilaris sinistra

yang tampak redup pada pemeriksaan transiluminasi. Pada pemeriksaan gigi,

didapatkan gigi berlubang pada gigi molar 2 kiri atas. Pada pemeriksaan foto

29

waters sinus paranasal didapatkan gambaran air fluid level pada sinus maksilaris

sinistra yang menandakan adanya sinusitis maksilaris sinistra. Sehingga merujuk

pada temuan klinis yang didukung oleh adanya pemeriksaan penunjang, maka

diagnosis sinusitis maxillaris sinistra pada pasien sudah dapat ditegakkan. Karena

gejala pada pasien sudah berlangsung selama ±1 tahun, yang berarti lebih dari 3

bulan, maka sinusitis pada pasien dapat dikategorikan sebagai sinusitis maxillaris

kronik sinistra et causa infeksi gigi (sinusitis dentogen).

Atrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi

premolar dan molar terutama molar 1 dan molar 2. Hubungan ini dapat

menimbulkan masalah klinis yaitu infeksi yang berasal dari gigi molar yang dapat

menyebar naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila seperti yang terjadi

pada pasien saat ini.

Penanganan yang dilakukan pada pasien ini bertujuan untuk mempercepat

penyembuhan dan mencegah komplikasi. Penanganan yang diberikan yaitu

antibiotik spektrum luas, dekongestan, dan analgetik. Selain itu dilakukan upaya

untuk mengeluarkan sekret dari sinus maksilaris sinistra dengan cara irigasi sinus.

Selain terapi dari sinusitis, pasien juga dikonsulkan ke bagian penyakit dalam

untuk tatalaksana hipertensi pasien. Pasien juga direncanakan untuk dikonsulkan

ke bagian Gigi dan Bedah Mulut untuk penanganan kemungkinan infeksi gigi

yang dialami pasien, sehingga penyebab primer dari sinusitis maksilaris dapat

ditanggulangi untuk mencegah rekurensi.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.

2. Moore, Keith L. Head. Dalam: Clinically Oriented Anatomy. 5th ed.

Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.

3. Mangunkusumo E & Wardani RS. Sumbatan Hidung. Dalam: Soepardi EA,

Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.

4. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Adams GL, Boies

LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam. Jakarta:

EGC; 1997.

5. Saladin. Anatomy and Physiology : The Unity and Form and Function. 3rd ed.

New York: The McGrawHill Companies; 2003.

6. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory

Tract. Dalam: Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Harrison’s Principle of

Internal Medicine. 16th ed. New York: The McGrawHill Companies; 2005.

7. Lane, Andrew P, Kennedy DW. Sinusitis dan Polip, dalam Ballenger:

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan Leher. Jakarta: Bina Rupa Aksara;

1997.

31