lapkas anestesi.doc

60
LAPORAN KASUS TATALAKSANA ANESTESI PADA APENDEKTOMI APENDISITIS AKUT Oleh: Allan H Posumah Debora V.V Mandagi Fransiska Sepang Gladys Lydia Monica Mita Muabuay Wayan Erawan Pembimbing:

Upload: anonymous-q8jiwws

Post on 05-Jan-2016

181 views

Category:

Documents


53 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA ANESTESIPADA APENDEKTOMI APENDISITIS AKUT

Oleh: Allan H Posumah

Debora V.V MandagiFransiska Sepang

Gladys Lydia MonicaMita MuabuayWayan Erawan

Pembimbing:

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGIMANADO

2015

DAFTAR ISI

Judul ......................................................................................................................... i

Daftar Isi .................................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan ................................................................................................... 1

Bab II Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 3

Bab III Laporan Kasus ............................................................................................. 21

Bab IV Pembahasan ................................................................................................. 29

Bab V Penutup ......................................................................................................... 36

Daftar Pustaka .......................................................................................................... 37

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan

membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50

tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-

20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering

pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua1.

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di

Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika

Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit

tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio

laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu

pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan1.

Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens

apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218

dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami

peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi ‘junk food’

daripada makanan berserat.

Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan

tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis

dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis

apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah

pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik

perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi

dan pembentukan abses intraabdominal2.

Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,

termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut. Berdasarkan latar

belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada

apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian

ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif

2.1.1 Penilaian Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum

pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang

akan dioperasi.

Tujuannya adalah:

- Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

- Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya

riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa

dyspneu maupun urtikaria).

- Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

- Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status

praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

- Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed

consent) kepada pasien.

- Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat

induksi3.

Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan

anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio

cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter

anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.

Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah

identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,

foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan

kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin

dalam inform consent3.

2.1.1.1 History Taking

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi

terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin

rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).

Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat

pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat

dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa

menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem

organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang

belum terdiagnosis.

2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya

meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan

pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.

Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga

bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi

geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada

pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek

antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,

Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae

servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk

dilakukan intubasi trakeal.

Skoring Mallampati:

- Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

- Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

- Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

- Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena

efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.

Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya

ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA

secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena

underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap

komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak

sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam

perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.

Tabel 2.1 Klasifikasi ASA

Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi

aktivitas sehari-hari.

Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun

tanpa operasi.

Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan

operasi sebagai upaya resusitasi.

Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil

untuk tujuan donor

E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur

pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari

prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

Pemeriksaan rutin Indikasi

Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi

glukosa darah jika glukosa urine positif)

FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua

bedah mayor

Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor

ECG Umur > 50 tahun

Foto Torak Umur > 60 tahun

Tes fungsi hati (Liver Function

Test)

Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:

No Test Indikasi

1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya

Penyakit ginjal

Pasien yang menjalani kemoterapi

2 Ureum, creatinin dan

konsentrasi elektrolit

Penyakit ginjal

Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus

Nutrisi abnormal

Riwayat diare, muntah

Obat-obatan yang merubah keseimbangan

elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari

adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,

diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,

hipoglikemik agent.

3 Konsentrasi glukosa

darah

Diabetes Mellitus

Penyakit hati yang berat

4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru

kronik

Diabetes Mellitus

5 Chest X-ray Penyakit respirasi

Penyakit kardiovaskuler

6 Arterial blood gases Pasien sepsis

Penyakit paru

Pasien dengan kesulitan respirasi

Pasien obesitas

Pasien yang akan thorakotomi

7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi

Penyakit paru sedang sampai berat seperti

COPD, bronchiectasis

8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic

Penyakit hati yang berat

Koagulopati

Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral

(warfarin) atau heparin

9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier

Riwayat penyahgunaan alcohol

Tumor dengan metastase ke hepar

10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid

Riwayat penyakit thyroid

Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor

pituitary

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari

yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1

bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam

keadaan berikut;

- Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

- Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk

hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien

dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

2.1.1.4 Informed Consent

Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.

Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi

dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien

mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan

resikonya.

2.1.2 Masukan Oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama

pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua

pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan

dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)5

Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) ∑ puasa yg diberikan

< 6 bln Clear fluid

Breast milk

Formula milk

2

3

4

20 cc/kg

6 bln – 5 thn Clear fluid

Formula milk

Solid

2

4

6

10 cc/kg

>5 thn Clear fluid 2 10 cc/kg

Solid 6

Adult, op.

pagi

Clear fuid

Solid

2

Puasa mulai jam

12 mlm

Adult, op.

siang

Clear fluid

Solid

2

Puasa mulai jam 8

pagi

2.1.3 Terapi Cairan

Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya

pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang

terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat

diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)6

Berat Badan Jumlah

10kg pertama 4 mL/kg/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit

cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan

cairan maintenance dengan waktu puasa.

2.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia

diantaranya:

- Meredakan kecemasan dan ketakutan

- Memperlancar induksi anesthesia

- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

- Meminimalkan jumlah obat anestetik

- Mengurangi mual muntah pasca bedah

- Menciptakan amnesia

- Mengurangi isi cairan lambung

- Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi

No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)

1 Sedatif:

Diazepam

Difenhidramin

Promethazin

Midazolam

5-10 mg

1 mg/kgBB

1 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

2 Analgetik Opiat

Petidin

Morfin

Fentanil

Analgetik non opiate

1-2 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

1-2 µg/kgBB

Disesuaikan

3 Antikholinergik:

Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB

4 Antiemetik:

Ondansetron

Metoklopramid

4-8 mg (iv) dewasa

10 mg (iv) dewasa

5 Profilaksis aspirasi

Cimetidin

Ranitidine

Antasid

Dosis disesuaikan

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,

diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan

5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi

yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan

masalah yang dijumpai pada pasien7.

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

- Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

- Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

- Alat-alat resusitasi (STATICS)

- Obat-obat anestesia yang diperlukan.

- Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.

- Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

- Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

- Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;

“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.

- Kartu catatan medic anestesia

- Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan

jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang

sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa

balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau

pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini

menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau

tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic

(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu

supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi

Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan

keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam hal ini adalah:

1. Usia pasien

Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada

pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan

teknik anestesi lokal atau umum.

2. Status fisik pasien

a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui

apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah

ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.

Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada

tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum

alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien

memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai

adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia

gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan

neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah

ada.

b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari

penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal

atau regional.

c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan

jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul

gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,

spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.

3. Posisi pembedahan

Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi

umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga

dengan pembedahan yang berlangsung lama.

4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan

kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi

perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah

plastik, dna lain-lain.

5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat

menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik

anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.

6. Keinginan pasien

Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan

dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak

membahayakan keberhasilan operasi.

7. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah

pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.

8. Pendidikan

Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama

karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau

perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan

anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.

Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block

Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh

August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas

untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah

umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan,

peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga

level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan

menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia

yang minimal8.

Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok

spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus

brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah

pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal

diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang

subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,

radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan

hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.

Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal

Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi Keterangan

Indikasi

Transurethral prostatectomy (blok pada T10

diperlukan karena terdapat inervasi pada

buli buli kencing)

Hysterectomy

Caesarean section (T6)

Evakuasi alat KB yang tertinggal

Semua prosedur yang melibatkan

ekstrimitas bagian bawah seperti

arthroplasty

Prosedur yang melibatkan pelvis dan

perianal

Indikasi Kontra Absolut

Pasien menolak

Deformitas pada lokasi injeksi

Hipovolemia berat

Sedang dalam terapi antikoagulan

Cardiac ouput yang terbatas; seperti

stenosis aorta

Peningkatan tekana intrakranial.

Indikasi Kontra Relatif Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)

Infeksi sekitar tempat penyuntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Bedah lama

Penyakit jantung

Hipovolemia ringan

Nyeri punggung kronis

Komplikasi Tindakan

Hipotensi berat

Bradikardia

Hipoventilasi

Trauma pembuluh darah

Trauma saraf

Mual muntah

Gangguan pendengaran

Blok spinal tinggi, atau spinal total

Komplikasi Pasca Tindakan

Nyeri tempat suntikan

Nyeri punggung

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

Retensio urine

Meningitis

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada

anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent

dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan

spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga

sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium

anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.

Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan

monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan

resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo

runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,

Whitecare).

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau

posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan

posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.

Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus

mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2.2 Posisi anestesi spinal

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan

tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya,

misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya

berisiko trauma medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%

2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,

23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27

G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu

jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2

cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut

mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,

mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat

dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi

sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003-1,008.

Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik

lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal

dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang

sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik

lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain

diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi3. Ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut

antara lain barisitas, posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis

obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi

akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi supine head down, cairan

hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik menyebar ke

kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan

spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik

akan mencapai daerah yang lebih tinggi6.

Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine

hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan

lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan

lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)

dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena

seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine

sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada

anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu

penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6.

2.3 Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer

besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian

besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan

dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut

cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan

sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium

serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit

pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling

fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi

biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah

volume darah yang hilang6.

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan

estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya

ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu

yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi

yang dilakukan.

Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit

ke 30% dihitung seperti berikut:

1. Estimate Blood Volume

Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada

sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB

dan wanita 65 cc/kgBB.

2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi

3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume

darah normal telah dicapai.

4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan

cara RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%.

5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.

Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah

ringan, sedang atau berat6.

Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma

Derajat Trauma Kebutuhan cairan tambahan

Ringan (herniorrhaphy) 0-2 ml/kg

Sedang (cholecystectomy) 2-4 ml/kg

Berat (bowel resection) 4-8 ml/kg

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi

selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam

mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring

intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic

Monitoring.

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi

emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan

hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen

perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)

beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)

penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi

perkembangan klinis selanjutnya.

Standard I

Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general

anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature

pasien harus dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:

Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

Heart rate, nadi, dan kualitasnya

Warna membran mukosa, dan capillary refill time

Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi

2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi

Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery

dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi

sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih

minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,

nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler

harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian

nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan

output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.

2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan

criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.

Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care

Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.Tabel 2.10 Aldrete Skor9

Obyek Kriteria Nilai

Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas

2

1

0

Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk

Sesak atau pernafasan terbatas

Henti nafas

2

1

0

Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah

Berubah 20-50% dari pra bedah

Berubah > 50% dari pra bedah

2

1

0

Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik

Sadar setelah dipanggil

Tak ada tanggapan terhadap rangsang

2

1

0

Warna kulit Kemerahan

Pucat agak suram

Sianosis

2

1

0

Nilai Total

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0

pada kriteria penilaian objektif.

2.5.3 Kunjungan Post-Operatif

Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24–48 jam setelah operasi dan

dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari

rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan

pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan

komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera

okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus

dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Nn. KL

Usia : 56 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Manado

Agama : Kristen Protestan

Suku : Minahasa

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Pembantu Rumah Tangga

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal MRS : 22 Mei 2015

No. RM : 44.71.xx

Berat Badan : 45 kg

Tinggi Badan : 154 cm

3.2 Pre-Operasi

3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (22 Mei 2015 )

A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan,

maupun asma.

M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun.

P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,

mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan

tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak

lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya

belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami

pembedahan anastesi. Merokok (-), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan

psikis: kesan tenang.

L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 07.00

E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari. Nyeri perut

kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien mengeluhkan perut

sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 3 hari

yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas

normal.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi

B1-Breathing

- Airway paten, nafas spontan, RR 20 kali/menit

- Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut

lebih dari 3 jari, mallampati 1, gigi utuh dan baik, kebersihan rongga

mulut baik.

- Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), polip (-), PCH (-)

- Leher: leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa regio

colli (-)

- Paru: suara paru vesikuler, rhonki ≡|≡, wheezing ≡|≡

B2-Blood

- Akral hangat, merah, dan kering. Nadi 88 kali/menit, regular, dan kuat. TD

130/80 mmHg, JVP tidak meningkat, ictus kordis tidak terlihat, ictus

kordis teraba pada ICS V MCL sinistra, batas jantung kanan atas ICS II

PSL dextra, batas jantung kanan bawah ICS IV PSL dextra, batas jantung

kiri atas ICS II PSL sinistra, batas jantung kiri bawah ICS IV MCL

sinistra, S1S2 tunggal, murmur negatif, gallop negatif.

B3-Brain

- Compos mentis, GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks

cahaya +|+.

B4-Bladder

- BAK menggunakan kateter, produksi urin ditampung +40cc/jam, kuning

jernih.

B5-Bowel

- Flat, soefl, bising usus (+) menurun, nyeri tekan (+) McBurney

B6-Bone/Body

- Mobilitas (+), edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT <2

detik, skoliosis (-), lordosis (-), hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik

dan sensorik normal.

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operasi

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan tanggal 22 Mei 2015

Nilai Satuan Nilai Rujukan Kesan

Darah Lengkap

Hemoglobin 12.70 g/dL 11.4-15.1 Normal

Eritrosit 4.82106/

mm34.0 – 5.0 Normal

Leukosit 6.64103/

mm34,7-11,3 Normal

Hematokrit 37.80 % 38 - 42 Normal

Trombosit 164103/

mm3142 – 424 Normal

MCV 78.40 fL 80 – 93 Normal

MCH 26.80 Pg 27 – 31 Normal

MCHC 34.10 gr% 32 – 36 Normal

RDW 14.00 % 11,5 - 14,5 Normal

Faal Hemostasis

PPT 11.4 Detik 11.8 Normal

INR 0.98

APTT 26.4 Detik 28.2 Normal

Elektrolit Serum

Natrium (Na) 138 Mmol/L 136 – 145 Normal

Kalium (K) 3.51 Mmol/L 3.5 – 5.0 Normal

Klorida (Cl) 108 Mmol/L 98 - 106 Normal

Urinalisis

Kekeruhan Jernih

Warna Kuning

pH 8.0 4.5 - 8.0 Normal

Glukosa Negatif Negatif Normal

Protein Negatif Negatif Normal

Lekosit Trace Negatif Normal

Darah +1 Negatif Normal

Bakteri 63.9 103/mL ≤ 93x103/mL Normal

Pregnancy Test

Test Kehamilan Negatif

3.2.4 Planning

Tanggal dilakukan anestesi : 22 Mei 2015

Jenis anastesi : Regional Anastesia-Subarachnoid Block

Jenis pembedahan : Appendiktomi

3.2.5 Persiapan Pre-Operasi

Surat persetujuan operasi dan anastesi

Puasa mulai jam 15.00

IVFD RL 1500 cc

Premedikasi: Inj. Ceftriaxone 1 g, Inj. Ranitidine 50 mg iv, Inj.

Metoclopramid 10 mg iv

3.3 Durante Operasi

Lama operasi : 22.30-23.30

Lama anastesi : 22.00-01.00

Medikasi :

- Inj. Midazolam 2,5 mg

- Inj. Metocloperamide 1x10mg

- Inj. Tramadol 50 mg dalam 50 cc NS

Langkah Tindakan Anastesi:

Persiapan:

1. Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya

2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi

3. Menyiapkan komponen STATICS:

a. Scope: stetoskop, laringoskop

b. Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix

c. Airway: orotracheal airway

d. Tape: plester untuk fiksasi

e. Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

f. Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi

g. Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

4. Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan.

5. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat, dan lain-lainnya.

6. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya.

7. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan EKG

Teknik Anastesi:

1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi miring ke kanan

dan membungkuk.

2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan

kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4 atau L4-L5.

3. Mensterilkan tempat tusukan dengan savlon dan memasang doek steril.

4. Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain

2% secukupnya.

5. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada

bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah

cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,

ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter, dan

lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan

serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 0.5% H 15 mg +

morfin 0.1 mg) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang

subarachnoid.

6. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.

7. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya

apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan

ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak.

8. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.

Monitoring

o Pernafasan: O2 nasal canule, 3 lpm

o Cairan Masuk:

- Pre operasi : RL 1500cc

- Durante operasi : NS 450cc

- Cairan Keluar:

- Pre operasi : urin 200 cc (dibuang)

- Durante operasi :

- Perdarahan: Kassa 100 cc

- Urin: 100 cc

o Estimate Blood Volume: 2925 cc

o Allowed Blood Loss: 1082 cc

o Maintenance: 85 cc/jam

o O4: 180cc

3.4 Laporan Anastesi Post-Operasi

3.4.1 Laporan Anastesi Post-Operasi di Post Anesthesi Care Unit (PACU) (23

Mei 2015)

Pasien masuk pukul 00.00

Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

- B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit, rhonki ≡|≡, wheezing ≡|≡

- B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg,

S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

- B3: GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+

- B4: terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin

100 cc.

- B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.

- B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara

spontan, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik.

Aldrete score: 10 pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

Terapi Pasca Bedah:

- O2 nasal canul 2 lpm

- Infus RL/NS 95 cc/jam

- Antibiotika: sesuai TS bedah

- Inj. Ranitidin 2x50 mg

- Inj. Ketorolac 3x30 mg

- Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj.

Ondansentron 4 mg

- Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg

- Minum makan: bila tidak ada mual/muntah

Monitoring:

- Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam

- Bila RR <10x/menit, berikan O2 NRBM 10 lpm

- Bila nadi <50x/menit, berikan sulfas atropine 0.5 mg iv

- Jika tekanan darah systole <90mmHg, berikan RL 500 cc dalam 30 menit

- Pindah ruangan jika aldrete score >8

- Makan dan minum, bertahap bila pasien tidak mual dan muntah.

3.4.2 Laporan Anastesi Post-Operasi di Ruang 18 (23 Mei 2015)

Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

- B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki ≡|≡, wheezing

≡|≡.

- B2 : akral hangat, kering, kemerahan, nadi 88x/menit, TD 120/80, S1S2

reguler, murmur (-), gallop (-)

- B3 : GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya + | +

- B4 : terpasang kateter 16 fr, urin warna kuning jernih (+), produksi

urin 1000cc.

- B5 : flat, BU (+), luka operasi bersih.

- B6 : edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik.

Terapi:

- IVFD RL/D5 : Aminofusin= 2:1

- Inf. Ciprofloxacin 2x450 mg iv

- Inj. Ranitidin 2x50 mg iv

- Inj. Ketorolac 3x30 mg iv

- Bila mual kepala head up lapor PPDS anestesi.

- Bila muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p suction aktif

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Preoperatif

4.1.1 Penilaian Preoperatif

4.1.1.1 History Taking

Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan

preoperative tanggal 22 Mei 2015, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi

terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak

sedang menjalani pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi,

diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas

akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki

riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi

sebelumnya tidak ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien

mengalami pembedahan anastesi. Pasien tidak merokok, tidak konsumsi minuman

beralkohol. Pasien terakhir makan pukul 07.00 dan sedang berpuasa.

4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

B1 – Breathing

Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak

ditemukan dan dalam batas normal.

B2 – Blood

Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak

ditemukan. Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi

baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem

sirkulasi.

B3 – Brain

Dalam batas normal.

B4 – Bladder

BAK dengan kateter, produksi urin ditampung +40 cc/jam ~ +0.88

cc/kgBB/ jam, kuning jernih. Berdasarkan rata-rata produksi urin yang

dapat diperiksa, didapatkan bahwa jumlah dan kejernihan produksi urin

dalam batas normal.

B5 – Bowel

Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak

ditemukan.

B6 – Bone/Body

Dalam batas normal.

4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan

kebuthan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang

direncanakan.

Hasil pemeriksaan masih dianggap valid sesuai periode waktu untuk

masing-masing jenis pemeriksaan tambahan, yakni rentang 1 minggu untuk FBC,

ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah; pada pasien ini dalam

rentang beberapa jam sebelum operasi, sampai 6 bulan chest X-ray, USG color

doppler, dan BNO IVP; pada pasien ini rentang 1 hari sebelum hari operasi. Dapat

disimpulkan hasil pemeriksaan dalam batas normal.

4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari,

sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut.

4.1.2 Masukan Oral

Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama

anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah

menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa

pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American

Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,

makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam

preoperasi, dimana pasien terakhir makan dan minum Pkl. 15.00 WITA.

4.1.3 Terapi Cairan

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan

+45 kg):

Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk

pasien ini

10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam

Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam + 25 mL/jam

Total kebutuhan cairan maintenance pasien ini: 85 mL/jam

Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance

dengan waktu puasa. Pada pasien ini untuk operasi tanggal 10 April 2013 pukul

22.30 (7,5 jam puasa) maka kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit cairan

sebelum operasi: 7,5 x 85 ml/jam = 637,5 ml. Pada pasien diberikan RL sebagai

cairan maintenance sebanyak 750 cc sampai dengan operasi.

4.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

- Meredakan kecemasan dan ketakutan

- Memperlancar induksi anestesi

- Mengontrol nyeri post operasi

- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

- Meminimalkan jumlah obat anestesi

- Mengurangi mual muntah pasca operasi

- Menciptakan amnesia

- Mengurangi resiko aspirasi isi lambung

Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi

berupa inj. Ranitidine 50 mg. Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV

(post operatif nausea vomiting). Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini

mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi

asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi.

4.2 Manajemen Anastesi Durante Operasi

4.2.1 Pemilihan Teknik Anastesi

Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional

sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa pasien

akan menjalani operasi appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada

regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi.

Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.

Saat sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya

pasien diberi Ranitidine yang merupakan H2 receptor antagonist yang berfungsi

mengurangi produksi asam lambung sehingga mencegah stress ulcer akibat

penigkatan asam lambung yang berlebihan pre operasi. Sedangkan

metoclopramide digunakan sebagai anti emetic untuk mencegah pasien mual.

Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area lumbal

yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1, kemudian

tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan betadin

atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat

tusukan.

Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G

dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan

sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut

mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,

mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu

keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang

semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas

bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain

lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi

kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).

Selain itu diberikan morphine (fentanyl) 0,1 mg dengan tujuan untuk

memperpanjang waktu kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun

demikian, perlu diwaspadai efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.

4.2.2 Terapi Cairan Durante Operasi

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer

besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian

besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan

dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut

cairan jenis replacement6.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan

sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium

serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit

pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling

fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi

biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume

darah yang hilang6.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan

darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon

ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap

100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap

tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi

pasien ini tidak dilakukan. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan

dari kassa 100 cc.

Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat penting

dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung. Dengan

menghitung estimated blood volume (EBV) = berat badan x average blood

volume = 45 kg x 65 ml/kgBB = 2925 ml, allowed blood loss (ABL) = x

EBV, = hemoglobin inisial (hi) – hemoglobin terendah yang diperbolehkan.

Pada kasus kegananasan hemoglobin terendah yang diperbolehkan adalah 10

g/dL. Maka ABL pasien ini adalah = x 2925 = 1082,48 ~ 1082 ml,

kebutuhan cairan maintenance = 85 cc/jam, maka dapat diperkirakan jumlah

cairan yang masuk tiap jamnya demi mempertahankan keseimbangan

hemodinamik cairan selama operasi berlangsung.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke

ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya

pembedahan , yaitu :

• 6-8 ml/kg untuk bedah besar

• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang

• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Operasi ini termasuk bedah kecil sehingga menggunakan rumus cairan 4

ml/kg. Sehingga O4 x berat badan pasien adalah 180 cc. Jadi setiap jam nya

selama operasi pasien mendapat cairan 265 cc/jam (M+O4 = 85 cc + 180 cc = 265

cc).

Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan

selama operasi adalah:

Kebutuhan cairan rumatan/maintanance : 85 cc/jam x 1 jam = 85 cc

Jumlah produksi urine durante operasi : = 100 cc

Jumlah darah yang hilang : = 100 cc +

285 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:

NS : 400 cc

4.2.3 Monitoring

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen peaien tidak pernah <95%,

tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120, D: 70-80), nadi

antara 60-80x/menit. RR: 14-18x/menit.

4.3 Manajemen Anastesi Post Operasi

4.3.1 Recovery dari Regional Anastesi

Pada pasien ini, rencana operasi berjalan sesuai rencana dari pukul 22.30 - 23.30.

Dengan berjalannya operasi sesuai rencana maka recovery pada pasien ini juga

cepat karena pasien menggunakan teknik anestesi regional.

4.3.2 Kriteria Discharge dari PACU

Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum

dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini

didapatkan:

Obyek Kriteria Nilai

Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2

Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2

Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2

Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2

Warna kulit Kemerahan 2

Nilai Total 10

Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang

rawat inap dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai

kebutuhan pasien.

4.3.3 Kunjungan Postoperatif

Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 setelah operasi dan telah dicatat

dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis,

anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan

fisik serta penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap post operasi. Pada

kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan

pada pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal.

Terapi PONV dan management nyeri dilakukan dengan baik.

BAB V

PENUTUP

Pasien adalah perempuan usia 46 tahun dengan apendisitis akut, yang

dilakukan operasi apendiktomi pada tanggal 22 Mei 2015. Tindakan anestesi

yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih

karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan

kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.

Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif

stabil sampai operasi selesai.

Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak

didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup

stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien

dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (Irina A Bawah)

DAFTAR PUSTAKA

Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based

Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13

Number 10. 2011:1-32

Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi.

Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.

Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams &

Wilkins.

American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative

Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application

to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The

American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice

parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th

Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s

Anesthesia 7th ed. US : Elsevier

Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.

Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00

Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg

1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin

Anesth 1995;7:89.

Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean

Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The

Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &

Wilkins.