konversi fasilitas kredit pinjaman …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-t32562-rahma...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH
(STUDI KASUS PADA BANK X)
TESIS
RAHMA ADHYATMIKA 1006829044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBAJANUARI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH
(STUDI KASUS PADA BANK X)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
RAHMA ADHYATMIKA 1006829044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBAJANUARI, 2013
iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Konversi Fasilitas
Kredit Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi
Kasus Pada Bank X)”. Penelitian tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia.
2. Ibu Dr. Yeni Salma Barlinti, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing, yang telah
meluangkan waktu dan pikiran di tengah kesibukan beliau untuk memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
3. Kedua orang tua dan mertua tercinta, yang tiada hentinya selalu mengirimkan
doa dan memberikan dukungan moril kepada penulis selama penulisan ini.
4. Suami tercinta, Prasetiyo, yang selalu memberikan support tiada hentinya
kepada penulis.
5. Kakak, kakak ipar dan adik-adik ipar serta para keponakan penulis, terima
kasih atas doanya.
6. Teman-teman penulis di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia 2010,
kelas Salemba, yang sudah bersedia menemani dan membantu penulis dalam
menyelesaikan penyusunan tesis ini.
Jakarta, 11 Januari 2013
Penulis
vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Rahma Adhyatmika
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Konversi Fasilitas Kredit Pinjaman Berjangka
Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi Kasus
Bank X)
Tesis ini membahas tentang pelaksanaan konversi fasilitas kredit Pinjaman
Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada Bank X. Penerapan
konversi ini terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-
undangan termasuk fatwa-fatwa DSN serta tumpang tindih dengan akad-
akad lainnya. Status hukum atas jaminan kredit/agunan berkaitan dengan
konversi tersebut tidak disesuaikan dengan prinsip syariah. Melalui
penelitian normatif dengan tipe penelitian evaluatif, diketahui tanggapan
mengenai ketidaksesuaian atas pelaksanaan konversi fasilitas kredit
Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah tersebut.
Selanjutnya, diharapkan para pelaku perbankan syariah dan notaris
memahami pelaksanaan pengalihan fasilitas kredit konvensional menjadi
fasilitas pembiayaan syariah.
Kata Kunci :
Konversi Syariah, Kredit Pinjaman Berjangka, Pembiayaan Syariah, Pengalihan
Utang
vii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Rahma Adhyatmika
Study Program : Magister of Notary
Title : The Conversion of Term Loan Credit Facility
Into Sharia Financing Facility
(Case Study in Bank X)
The thesis discusses about the implementation of conversion from Term
Loan credit facility into sharia financing facility in Bank X. There is an
inappropriate implementation toward such conversion in connection with
the prevailing laws and regulation including Fatwa-Fatwa of National
Board of Sharia (DSN) and there is an overlap between its aqad with
others. Legal status of credit collateral related to such conversion is not in
accordance with the sharia principle. Through normative research method
with evaluative research type, it resulted in the inappropriate of
implementation of such conversion from Term Loan credit facility into
sharia financing facility. Furthermore, the sharia banking perpetrators and
notary are expected to understand the implementation of conversion of
conventional credit facility into sharia financing facility.
Key words :
Sharia Conversion, Term Loan, Sharia Financing, Loan Take Over
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL iLEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS iiLEMBAR PENGESAHAN iiiKATA PENGANTAR ivLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vABSTRAK viABSTRACT viiDAFTAR ISIviiiDAFTAR GAMBAR xDAFTAR LAMPIRAN xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Pokok Permasalahan 8
1.3. Metode Penelitian 9
1.4. Sistemika Penulisan 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 12
2.1. Tinjauan Umum Perkreditan 12
2.1.1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
12
2.1.2. Perjanjian Kredit Bank 14
2.1.3. Jenis Kredit 17
2.1.4. Jaminan Kredit Bank 19
2.1.5. Jaminan Kebendaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut 21
2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia 22
2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 24
2.1.6. Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) 27
2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah 28
2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah 28
2.2.1. Tinjauan Mengenai Riba 29
2.2.2. Tinjauan Mengenai Akad 30
2.2.3. Akad Perbankan Syariah 37
2.2.4. Produk Perbankan Syariah di Indonesia 40
2.2.4.1. Penghimpunan Dana 41
2.2.4.2. Penyaluran Dana 42
2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan 49
2.2.5. Rahn atau Gadai 53
2.3. Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah) 55
2.4. Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah 57
2.4.1. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia
57
2.4.2. Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang 59
2.4.3. Pinjaman Qardh 63
2.5. Notaris Sebagai Pejabat Umum 65
2.6. Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman
Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah
68
2.6.1. Kasus Posisi 68
2.6.2. Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X 70
2.7. Analisis Mengenai Kesesuaian Pelaksanaan Konversi Kredit
Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa
DSN
73
2.7.1. Tentang Hawalah 73
2.7.2. Tentang Qardh 76
2.7.3. Tentang Pengalihan Utang 78
2.7.4. Tentang Murabahah 79
2.7.5. Tentang Akta Notariil dan Peran Notaris 80
2.8. Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah
Diberikan Debitur PT ABC
82
2.8.1. Lembaga Jaminan Fidusia 82
2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 84
2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 84
BAB 3 PENUTUP 89
3.1 Simpulan 89
3.2 Saran 90
DAFTAR PUSTAKA 92
x Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pengalihan Utang Alternatif Pertama 61
Gambar 2.2. Pengalihan Utang Alternatif Kedua 62
Gambar 2.3. Pengalihan Utang Alternatif Ketiga 63
Gambar 2.4. Pengalihan Utang Alternatif Keempat 63
xi Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Persetujuan Hawalah;
2. Akta Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan
Murabahah.
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan take over fasilitas kredit dari produk perbankan konvensional
ke produk perbankan syariah terkadang belum dipahami oleh para pelaksana
perbankan konvensional maupun perbankan syariah serta belum diakomodir
dengan kesiapan akta notaris yang bersangkutan sehingga dapat menimbulkan
loop hole atas implementasi take over fasilitas kredit tersebut.
Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk
perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Di negara-negara
berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank dalam pemberian kredit
merupakan kegiatan bank yang sangat penting dimana sumber dana yang
disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan dana milik bank sendiri
tetapi dana yang berasal dari masyarakat.1
Kredit sendiri berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya atau
credo atau creditum yang berarti saya percaya. Dalam Black’s Law Dictionary
memberikan bahwa kredit adalah :
The ability of a business man to borrow money, or obtain goods ontime,
inconsequences of the favourable opinion held by particular lender, as to his
solvency and reliability.2
1 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, cet. 2, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 2.
2 Henry Campbell Black‟s, Black Law Dictionary, 6
th ed, (St. Paul Minn : West Publishing
Co, 1990), page 367.
2
Universitas Indonesia
Mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11
mendefinisikan kredit adalah :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.3
Di dalam pemberian kredit oleh suatu bank, sebelumnya dilakukan penilaian
atas permohonan kredit tersebut. Maksud penilaian terhadap permohonan kredit
tersebut adalah untuk meletakkan kepercayaan dan menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari bila kredit ternyata disetujui untuk diberikan.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam penilaian kredit terdiri atas :
1. Character (watak)
Bank harus meyakini bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik,
artinya menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan
kriminalitas.
2. Capital (modal)
Bank harus meneliti modal calon debitur selain besarnya juga
strukturnya untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitasnya.
3. Capacity (kemampuan)
Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur
dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.
4. Condition of Economic (kondisi ekonomi)
Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan bagi bank karena akan
berdampak baik secara positif atau negatif terhadap usaha calon debitur.
5. Collateral (jaminan)
Jaminan yang diberikan oleh calon debitur akan diikat suatu hak atas
jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.4
3 Indonesia, Undang-undang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998,
TLN No.3790, Ps. 1 angka 11.
4 Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian
Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), (Bandung : Mandar Maju, 2004), hal.16.
3
Universitas Indonesia
Dalam perkembangan perbankan di dunia, khususnya pada negara-negara
Islam di Timur Tengah, maka hal tersebut berdampak positif pada perkembangan
dunia perbankan di Indonesia tentunya.5 Falsafah dasar perbankan syariah
mengacu kepada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, al-Hadits/as-
Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah
terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi
hasil secara adil sesuai prinsip syariah.7 Memenuhi rasa keadilan bagi semua
pihak dan memberikan mashlahat bagi masyarakat luas adalah misi utama
perbankan Islam. Dengan visi dan misi tersebut, maka setiap kelembagaan
keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Menjauhkan diri dari kemungkinan adanya unsur riba;
Penerapan dari ketentuan ini adalah dengan melakukan hal-hal sebagai
berikut pada setiap transaksi, yaitu :
i. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka suatu
hasil usaha.
ii. Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang
atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur
melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya
karena berjalannya waktu.
iii. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya.
iv. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan
atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara
sukarela.
2. Menerapkan prinsip sistem bagi hasil dan jual-beli;
Pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam menyediakan
sarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada
5 Karnaen Perwaatmadja et al, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana,
2005), hal. 17.
6 Ibid.
7 Ibid., hal. 18.
4
Universitas Indonesia
sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan investasi
dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.8
Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, dan syarat-syarat umum memperoleh
pembiayaan. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar antara bank
konvensional dan bank syariah. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu mengenai :
1. Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi,
sebagai perjanjian antara sesama dalam hubungan muamalah, dan ukhrawi,
sebagai bentuk ketaatan serta kepatuhan kepada Allah SWT oleh para pihak
dalam pelaksanaan akad, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang
telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka.
Setiap akad dalam perbankan syariah haruslah memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat dalam akad.
2. Lembaga penyelesaian sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat perselisihan antara bank dengan
nasabahnya, maka para pihak akan menyelesaikannya sesuai tata cara dan
hukum materi syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS). Sedangkan untuk perbankan konvensional pada
umumnya setiap permasalahan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.
3. Struktur organisasi
Unsur organisasi yang cukup membedakan antara bank konvensional dan
bank syariah adalah keharusan ditambahkan adanya Dewan Pengawas
Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya
agar sesuai dengan prinsip syariah dimana levelnya sejajar dengan Dewan
Komisaris. Penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh
Rapat Umum Pemegang Saham setelah para anggota Dewan Pengawas
Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
8 Ibid., hal. 19.
5
Universitas Indonesia
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah.
Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang
terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan, yaitu apakah objek
pembiayaan halal atau haram, menimbulkan kemudharatan untuk
masyarakat, melanggar asusila, berkaitan dengan perjudian, berkaitan
dengan industri senjata illegal, atau proyek tersebut dapat merugikan syiar.
5. Lingkungan kerja dan corporate culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan
dengan syariah, baik dalam hal etika, skillfull, reward and punishment, dan
cara berpakaian.yang merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam
lembaga keuangan syariah.9
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam
kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam
kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan
alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat
Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan
perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana
masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan
pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik
sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil
memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan
bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam
bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari
kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan adanya kedua
jenis perbankan tersebut di Indonesia diharapkan dapat menyediakan
beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan
skema keuangan yang lebih bervariatif. perbankan syariah menjadi
alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh
seluruh golongan masyarakat Indonesia. 10
Dengan melihat karakteristik perbankan syariah tersebut dan perbedaan-
perbedaan yang mendasar antara perbankan konvensional dengan perbankan
9 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, cet.1, (Jakarta : Gema
Insani Press, 2001), hal. 29 – 34.
10
“Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia,”
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/, 03 Juli 2012.
6
Universitas Indonesia
syariah, maka dalam perkembangannya sekarang ini banyak kalangan masyarakat
yang mengerti hal tersebut justru lebih memilih sistem perbankan syariah untuk
kegiatan investasi maupun kegiatan pembiayaannya. Namun adakalanya nasabah
yang telah menjadi debitur dari sistem riba pada bank konvensional beralih untuk
memilih menjadi debitur dari Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank konvensional
yang bersangkutan. Hal demikian dilakukan oleh debitur setelah
mempertimbangkan banyaknya keuntungan dari sisi ekonomi pada sistem
perbankan syariah terlepas dari permasalahan agama.
Dalam kerangka kredit tentu tidak terlepas dari perjanjian kredit atasnya.
Pada praktiknya, bentuk dan materi perjanjian kredit antara bank yang satu
dengan bank lainnya tidaklah sama, tetapi disesuaikan dengan kebutuhannya
masing-masing. Apabila berbicara mengenai perjanjian kredit tersebut, tidak
terlepas dari syarat sahnya kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
a. sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu kontrak;
c. adanya suatu hal tertentu (objek tertentu); dan
d. adanya suatu sebab yang halal.
Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka perjanjian atau kontrak itu akan
berfungsi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya
serta untuk mengamankan transaksi bisnis yang tertuang dalam kontrak atau
perjanjian tersebut. Sehingga, perjanjian kredit tersebut haruslah memenuhi syarat
sahnya kontrak tersebut agar fungsi kontrak tersebut dapat tercapai.
Apabila dikaitkan dengan perbankan syariah, maka dalam konteks kontrak
yang dikenal adalah adanya akad/aqad. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, aqad adalah
kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip
syariah. Dalam hukum Islam untuk terbentuknya aqad yang sah dan mengikat
harus memenuhi rukun dan syarat akad. Dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah11
, rukun dan syarat akad hampir sama dengan syarat sahnya
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut di atas. Rukun akad
11
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah, PERMA Nomor 2 Tahun 2008.
7
Universitas Indonesia
merupakan syarat penting yang harus ada dalam setiap akad. Tidak adanya salah
satu unsur dalam rukun akad dapat mengakibatkan batalnya suatu akad. Rukun
akad yang harus ada tersebut adalah : subjek akad (aqid), objek yang
diperjanjikan (al-ma’qud), dan sepakat yang dinyatakan (shighatul aqad atau ijab
qabul). Sedangkan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu akad meliputi :
a. syarat subjektif
subjek akad harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan sepakat
untuk membuat suatu akad.
b. syarat objektif
objek akad harus amwal atau halal dan harus merupakan barang yang secara
prinsip sudah dimiliki oleh pihak yang akan menyerahkan/menjualnya.12
Pada akad perbankan syariah tersebut juga dikenal dan menganut asas kebebasan
berkontrak seperti pada KUHPerdata, namun terdapat hal yang membedakannya
bahwa dalam akad tersebut tidak boleh mengandung unsur Maisir (spekulasi atau
judi), Gharar (tipu muslihat), Riba (bunga), dan Bathil (kejahatan). Dalam
perbankan syariah di Indonesia akad-akad yang digunakan telah disepakati oleh
sebagian besar ulama dan sesuai dengan ketentuan syariah untuk diterapkan dalam
produk dan instrument keuangan syariah yang ditawarkan kepada nasabah yang
meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional
dan jasa investasi. Dengan demikian dalam praktek perbankan dikenal berbagai
macam akad syariah sesuai dengan kebutuhannya pada kegiatan perbankan
syariah.
Banyaknya peralihan kredit atau yang dalam praktek perbankan dikenal
dengan istilah ”take over” atau konversi dari fasilitas kredit yang merupakan
produk perbankan konvensional menjadi fasilitas pembiayaan yang berbasis
perbankan syariah haruslah didukung dengan sumber daya manusia yang tentunya
mengerti hal-hal tersebut. Sumber daya manusia ini salah satunya adalah notaris
yang seyogyanya memahami skema take over atau konversi kredit tersebut dalam
bingkai produk perbankan konvensional dan produk perbankan syariah.
12
Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung : Kaifa, 2011), hal.8-
9.
8
Universitas Indonesia
Salah satu debitur yang melakukan take over atau konversi kredit tersebut
adalah PT ABC yang bergerak di bidang usaha moda transportasi laut untuk
pengangkutan hasil tambang. Adapun terhitung sejak bulan Maret 2008, PT ABC
sebenarnya telah memperoleh fasilitas kredit dengan jenis fasilitas berupa
Pinjaman Berjangka I dan Pinjaman Berjangka II dari Bank X konvensional.
Namun demikian pada tahun 2010, PT ABC mengajukan permohonan kepada
Bank X konvensional dan Unit Usaha Syariah (“UUS”) Bank X untuk
mengkonversi kredit/take over fasilitas kredit dari BII konvensional ke UUS
BANK X. Dalam proses konversi kredit tersebut tentunya harus mengacu pada
prinsip-prinsip perbankan syariah baik yang tertuang dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku maupun fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), namun dalam prakteknya
proses konversi kredit PT ABC ini menurut penulis masih terdapat beberapa hal
yang kurang tepat dalam penggunaan prinsip-prinsip perbankan syariah. Pada
akhirnya, kekurangtepatan ini berpotensi menciptakan loop hole yang dapat
mengakibatkan cacat hukum pada akad-akad dan dokumentasi konversi kredit
tersebut serta berpotensi mempengaruhi kekuatan hukum pengikatan agunan PT
ABC.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas kredit
pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS
BANK X pada kasus debitur PT ABC?
2. Apakah pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada
Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X
pada kasus debitur PT ABC tersebut telah sesuai dengan implementasi
peraturan perundang-undangan yang terkait termasuk implementasi
Fatwa–Fatwa DSN?
3. Bagaimanakah status hukum atas jaminan kredit atau agunan yang telah
diberikan debitur PT ABC setelah terjadinya konversi/peralihan dari
9
Universitas Indonesia
fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan
pada UUS BANK X?
1.3. Metode Penelitian
Guna memperoleh informasi dalam menunjang penelitian ini, maka metode
penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif. Dalam
penelitian yuridis normatif ini peneliti bermaksud untuk melakukan sinkronisasi
peraturan perundang-undangan secara horizontal atas pelaksanaan konversi/take
over kredit sebagaimana pada pokok permasalahan di atas dengan mengacu pada
Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2022 tentang Pengalihan Utang dan Fatwa
DSN Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah atas proses konversi/take
over kredit tersebut yang telah berjalan.
Tipologi penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini ditinjau dari
segi bentuknya adalah tipe penelitian evaluatif yang bertujuan untuk
mengevaluasi atas pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada
Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS Bank X yang telah
berjalan.
Karena penulisan tesis ini adalah suatu penelitian kepustakaan, maka data
yang digunakan adalah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, buku
dan disertasi mengenai hukum jaminan, hukum perdata, hukum perbankan dan
perbankan syariah khususnya yang bekaitan dengan konversi/take over dari
fasilitas kredit ke fasilitas syariah.
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan meliputi bahan hukum
primer, sekunder dan tertier, yaitu sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer adalah sumber hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor
42 tahun 1999, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
KUHPerdata, Peraturan Bank Indonesia terkait dengan produk perbankan
10
Universitas Indonesia
syariah, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam serta Fatwa DSN Nomor
31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang, Fatwa DSN Nomor
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN Nomor 19/DSN-
MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh, Fatwa DSN Nomor 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN Nomor 11/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Kafalah, Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008
tentang Rahn Tasjily dan Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan untuk
mengetahui informasi dan penerapan dari bahan hukum primer yang
diantaranya bertujuan untuk mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin dan
pendapat para ahli, terdiri dari :
a. Hasil-hasil penulisan yang telah ada sebelumnya mengenai fasilitas
kredit di bank konvensional dan fasilitas pembiayaan syariah di bank
syariah.
b. Kepustakaan (termasuk bahan dan hasil seminar atau diskusi) yang
berkaitan seputar fasilitas kredit di bank dan permasalahannya.
3. Bahan hukum tertier yang digunakan adalah kamus hukum yaitu Black’s
Law Dictionary serta kamus bahasa Inggris – Indonesia.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen yakni mencari dan mengumpulkan data sekunder berkaitan dengan
konversi/take over dari fasilitas kredit ke fasilitas syariah serta wawancara dengan
Legal Manager pada Bank X konvensional dan Legal Officer dari UUS Bank X
tersebut.
1.4. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan serta pemahaman pembaca terhadap tesis
ini maka penulis membaginya dalam tiga bab yang terdiri dari pendahuluan,
analisis hukum serta penutup.
Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diuraikan latar belakang masalah yang
menjadi dasar penelitian. Selanjutnya, berdasarkan latar belakang masalah
11
Universitas Indonesia
tersebut dibuat pokok permasalahannya. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai
metode penelitian dan sistematika penulisan ini.
Pada bab kedua yaitu analisis hukum adalah membahas dari segi teori
dengan dikaitkan pada peraturan perundang-undangan serta fatwa-fatwa Dewan
Syariah Nasional, penelitian yang dilakukan dan analisis hukum itu sendiri terkait
dengan tema tesis ini yaitu mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas
kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK
X beserta pengikatan agunan kredit dalam kerangka pengalihan kredit tersebut.
Pada bab tiga yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab dua
sebelumnya. Sedangkan saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang
dibahas.
12
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Perkreditan
Perjanjian kredit termasuk dalam bentuk salah satu jenis perjanjian yang
dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur. Dengan
demikian erat kaitannya perjanjian kredit ini dengan pembahasan mengenai
perjanjian itu sendiri serta pemahaman mengenai jenis-jenis fasilitas kredit.
2.1.1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir dari
persetujuan/perjanjian dan undang-undang. Perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sumber perjanjian
dari undang-undang ini masih terbagi menjadi undang-undang saja dan undang-
undang karena perbuatan manusia, baik perbuatan yang halal maupun perbuatan
melawan hukum.
Terhadap perikatan yang bersumber perjanjian dari undang-undang tidak
perlu dibahas lebih lanjut. Hal ini mengingat undang-undang tidak mensyaratkan
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata karena jenis perikatan ini terlepas dari keinginan dan kesepakatan
para pihak.
Menurut Prof. R. Subekti, SH., mengenai definisi perjanjian :
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.13
13
Subekti (1), Hukum Perjanjian, cet.10, (Jakarta : Intermaasa, 1986), hal.1.
13
Universitas Indonesia
Dari rumusan definisi tersebut terdapat hubungan hukum diantara dua pihak yang
dikenal dengan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian berupa rangkaian
perkataan atau kalimat yang mengandung janji atau kesanggupan yang dibuat
dalam tulisan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah
suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau
suatu peristiwa.14
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
dimana unsur-unsur syarat tersebut yaitu :
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.15
Syarat pertama dan syarat kedua dari pasal tersebut dinamakan syarat-syarat
subyektif dimana apabila salah satu atau kedua dari syarat subyektif tersebut tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam
perjanjian dimaksud. Untuk syarat ketiga dan syarat keempat tersebut dinamakan
syarat-syarat obyektif. Syarat obyektif disini diartikan bahwa jika salah satu atau
kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi
hukum.16
Apabila syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata, perjanjian tersebut dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.17
14
Sutarno, op.Cit., hal.74.
15
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH., dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradya Paramita, 2001), pasal 1320.
16
Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.25.
17
Ibid.
14
Universitas Indonesia
2.1.2. Perjanjian Kredit Bank
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Pasal 1 butir
11 mendefinisikan kredit adalah :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18
Namun dalam undang-undang tersebut tidak merumuskan pengertian perjanjian
kredit itu sendiri. Oleh karenanya perlu dijabarkan pengertian perjanjian kredit
yang diutarakan oleh Prof. R. Subekti yang berpendapat :
Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya
itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam
sebagaimana diatur oleh KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1769.19
Namun pendapat berlainan disampaikan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa
perjanjian kredit memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam-
meminjam, dimana perbedaan tersebut terletak pada :
a. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama
yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian
kredit yang dengan jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak
dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang
konsensual sifatnya.
b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat
digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh
nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang pada
perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus
digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan
pemakaian yang menyimpang daari tujuan itu menimbulkan hak bank
untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak dan seketika
itu juga menagih seluruh outstanding kredit.
18
Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit.
19
Subekti (2), Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), hal.13.
15
Universitas Indonesia
c. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman
uang biasa adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank
hanya dapat digunakan menurut cara tertentu. Pada perjanjian
peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya
oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan
bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu.20
Namun sarjana hukum lain berpendapat bahwa perjanjian kredit itu memiliki
identitas dan karakteristik sendiri dimana sebagian dikuasai atau mirip dengan
perjanjian peminjaman uang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan sebagian
lain tunduk pada peraturan perbankan.21
Mengenai definisi perjanjian kredit, dalam Undang-Undang Perbankan tidak
terdapat ketentuan mengenai definisi perjanjian kredit maupun bentuk bakunya.
Namun praktek perbankan berpedoman pada ketentuan-ketentuan berikut :
1. Instruksi Presidium Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di
Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat Edaran Bank
Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober
1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6
Februari 1967 yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan
pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit
yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank
lainnya.
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB masing-masing tanggal
31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit
yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam
perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.22
20
Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.31.
21
Sutarno, op.Cit., hal. 96.
22
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hal.263-264.
16
Universitas Indonesia
Dengan mengacu pada definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik
dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil.
Perjanjian kredit bank sebaiknya memuat klausula-klausula sebagai berikut :
1. ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, di antaranya tentang
jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit
dan batas izin tarik;
2. suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian
kredit;
3. kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau
rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan
bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk
pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima kredit;
4. representation dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas
pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna
pelunasan kredit;
5. condition precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus
dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit
untuk pertama kalinya;
6. agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan;
7. affirmative dan negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan
pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian
kredit;
8. tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelematan
kredit;
9. event of default/wanprestasi/cidera janji, yaitu tindakan-tindakan bank
sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan
menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul;
10. pilihan domisili/forum/hukum apabila terjadi pertikaian di dalam
penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit;
17
Universitas Indonesia
11. ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan
perjanjian kredit.23
Akan tetapi dalam praktik perbankan saat ini, terkadang bentuk dan materi
perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank yang lainnya tidaklah sama.
Hal tersebut mengingat adanya perbedaan kebutuhan dan pertimbangan dari
masing-masing bank.
2.1.3. Jenis Kredit
Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu pada kriteria
tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis kredit bermula dari klasifikasi yang
dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara
efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis
kredit yang didasarkan pada :
1. Jenis Kredit Menurut Kelembagaan
Kelembagaan disini dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan
pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana
kredit itu sendiri, yang terbagi :
a. Kredit perbankan
Jenis kredit ini diberikan oleh bank milik negara atau bank swasta
kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan untuk konsumsi.
b. Kredit likuiditas
Kredit ini diberikan oleh bank sentral kepada bank yang beroperasi di
Indonesia untuk membiayai kegiatan perkreditannya.
c. Kredit langsung
Kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah
atau semi pemerintah namun saat ini sudah tidak dapat dilakukan lagi
sejak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
d. Kredit (pinjaman antarbank)
Kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang
kekurangan dana.
23
Ibid., hal.273.
18
Universitas Indonesia
2. Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu
a. Kredit jangka pendek (short term loan)
Kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuk kredit ini
dapat berupaa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli
dan kredit wesel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja.
b. Kredit jangka menengah (medium term loan)
Kredit yang berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun yang
bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
c. Kredit jangka panjang
Kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun yang bertujuan
menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan
rehabilitasi, ekspansi usaha dan pendirian proyek baru.
Sedangkan fasilitas kredit pinjaman berjangka yang menjadi studi kasus dalam
penulisan ini didefinisikan sebagai pinjaman benjangka menengah atau panjang
yang diberikan kepada debitur untuk membiayai investasi dan atau modal kerja
(term loan).24
3. Jenis Kredit Menurut Penggunaan Kredit
a. Kredit konsumtif
Kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang
diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan
konsumsinya untuk keperluan sehari-hari.
b. Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi
Kredit yang digunakan untuk pembiayaan modal tetap serta membiayai
rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru.
c. Perpaduan kedua jenis kredit diatas.
4. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen
a. Kredit ekspor
24
Kamus Bank Indonesia,
http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search=False&rule=last,
diakses tanggal 10 November 2012.
19
Universitas Indonesia
Kredit untuk membiayai kegiatan investasi dan modal kerja yang
diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada eksportir dan atau
pemasok.
b. Kredit impor
Unsur dan ruang lingkup dari kredit impor pada prinsipnya sama dengan
kredit impor.
5. Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha
a. kredit kecil
kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai
pengusaha kecil.
b. kredit menengah
kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar
daripada pengusaha kecil.
c. kredit besar
dalam pelaksanaan pemberian kredit besar ini bank dengan melihat
risiko yang besar juga sehingga dikucurkan dalam kredit sindikasi atau
konsorsium.
6. Jenis Kredit Menurut Jaminannya
a. Kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan)
Pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik).
b. Kredit dengan jaminan (secured loan)
Pemberian kredit yang menyertakan jaminan tambahan atau agunan
misalnya berupa tanah, bangunan atau alat-alat produksi.25
2.1.4. Jaminan Kredit Bank
Dalam Undang-undang Perbankan tidak mengenal definisi jaminan kredit
seperti yang umumnya kita kenal. Pada Pasal 1 angka 23 Undang-undang
Perbankan mendefinisikan Agunan sebagai :
Jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.26
25
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.5, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2006), hal.482 – 489.
20
Universitas Indonesia
Dalam Pasal 1 angka 26 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(UU Perbankan Syariah) mengartikan Agunan yang bermakna sama dengan
definisi tersebut di atas, yaitu :
Jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah
dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima
Fasilitas.27
Sedangkan jaminan itu sendiri dalam Penjelasan pasal 8 ayat 1 UU Perbankan
dijabarkan sebagai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan si nasabah
penerima kredit untuk melunasi kewajibannya sesuai yang telah ditentukan. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka bank akan menilai calon nasabah penerima
kredit terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon
nasabah penerima kredit. Namun dalam penulisan ini tidak terdapat perbedaan
istilah yang akan digunakan karena hanya bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
Kegunaan jaminan kredit adalah untuk :
a. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari
agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar
kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit;
b. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai
usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya
dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah;
c. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya
mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disetujui.28
Dengan demikian bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk menjamin
pelunasan utang debitur apabila debitur cidera janji atau pailit.
Jaminan kredit bank dapat digolongkan menjadi sebagai berikut :
1. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
26
Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit., Pasal 1 angka 23.
27
Indonesia, Undang-undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun
2008, TLN No. 4867, Pasal 1 angka 26. 28
Rachmadi Usman, op.cit., hal.286.
21
Universitas Indonesia
Jaminan jenis ini dilihat dari lahirnya jaminan apakah dari undang-undang
atau perjanjian. Contoh jaminan dari undang-undang adalah hak priviledge
dan hak retensi. Sedangkan contoh jaminan dari perjanjian adalah gadai,
Hipotek, hak tanggungan dan fidusia.
2. Jaminan umum dan jaminan khusus
Dalam jaminan umum semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama
dimana pelunasan utangnya dibagi secara seimbang berdasarkan besar
kecilnya jumlah tagihan masing-masing kreditur dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan utang debitur dimana adanya jaminan ini ditentukan dan
ditunjuk oleh undang-undang berdasar pada pasal 1131 KUHPerdata.
Namun bentuk jaminan umum ini tidak menguntungkan kreditur. Hal
demikian diperlukan adanya penyerahan harta kekayaan tertentu milik
debitur untuk diikat secara khusus sebagai pelunasan utang debitur. Bentuk
jaminan tersebut adalah jaminan khusus dimana kreditur memiliki
kedudukan yang diistimewakan atau didahulukan dari kreditur lainnya.
3. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu
benda, selalu mengikuti benda yang menjadi objek jaminan tersebut, dapat
dialihkan serta dapat dipertahankan terhadap siapapun. Pengikatan jaminan
kebendaan ini dapat melalui lembaga gadai, fidusia, Hipotek dan hak
tanggungan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu dan hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu. Contoh dari jaminan perorangan
adalah personal guarantee, corporate guarantee dan bank guarantee.
4. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Penggolongan jaminan ini didasarkan pada objek bendanya.
5. Saham sebagai agunan tambahan.29
2.1.5. Jaminan Kebendaaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut
Dalam penulisan ini lembaga jaminan yang dititikberatkan adalah lembaga
jaminan Fidusia dan Hipotek atas kapal laut. Hal ini dikaitkan dengan kasus yang
29
Ibid, hal. 287-289.
22
Universitas Indonesia
ada dimana jaminan yang diberikan debitur sebagian besar adalah kapal-kapal dan
piutang/account receivables.
2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia
Mengacu pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF) pada Pasal 1 angka 1 didefinisikan pengertian dari Fidusia
sebagai :
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.30
Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2 UUJF yang dinamakan Jaminan Fidusia
adalah :
Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya.31
Melihat dari definisi Jaminan Fidusia maka yang dijadikan objek
jaminannya adalah benda berwujud maupun benda tidak berwujud, terdaftar
maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak dimana benda-benda
dimaksud dapat dimiliki dan hak kepemilikannya dapat dialihkan. Dikaitkan
dengan perkembangan saat ini maka banyak kreditur yang menjadikan piutang
dagangnya dijadikan jaminan pelunasan kreditnya. Dalam Pasal 9 UUJF
memberikan kemudahan mengenai hal tersebut bahwa Jaminan Fidusia dapat
diberikan terhadap satu atau lebih jenis benda termasuk piutang, baik yang telah
ada pada saat jaminan diberikan atau piutang yang diperoleh kemudian.
30
Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LN No. 168 Tahun
1999, pasal 1 angka 1.
31
Ibid., pasal 1 angka 2.
23
Universitas Indonesia
Selanjutnya, terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang
diperoleh kemudian tersebut tidak diperlukan perjanjian jaminan tersendiri
mengingat sudah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut. Hal ini
menegaskan bahwa UUJF menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal
ihwal benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang.32
Hak Jaminan Fidusia ini dapat terjadi melalui proses sebagai berikut :
a. Adanya janji antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia untuk serah
terima benda yang menjadi Jaminan Fidusia yang dicantumkan dalam
perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya.
b. Dilanjutkan dengan perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang dibuat
notariil yang merupakan Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud
pasal 5 ayat 1 UUJF.
c. Setelah adanya Akta Jaminan Fidusia tersebut, maka tahap terakhirnya
adalah dilakukan Pendaftaran atas benda Jaminan Fidusia tersebut di
Kantor Pendaftaran Fidusia untuk dicatat dalam Buku Daftar Fidusia.
Lahirnya Jaminan Fidusia tersebut adalah pada saat dicatat di Buku Daftar
Fidusia dengan diterbitkannya pula Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan
pendaftaran tersebut maka memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi pemberi dan penerima Fidusia serta pihak ketiga yang
berkepentingan termasuk hak yang didahulukan terhadap kreditur lain bagi
penerima Fidusia.33
Pada Pasal 17 UUJF ditegaskan larangan diadakannya Fidusia ulang
terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Tidak
dimungkinkannya Fidusia ulang baik oleh debitur maupun pemilik jaminan pihak
ketiga mengingat hak milik atas benda tersebut telah beralih kepada Penerima
Fidusia.
Oleh karena Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari
perjanjian pokoknya sebagaimana diatur Pasal 4 UUJF, maka hapusnya Jaminan
Fidusia menurut Pasal 25 UUJF adalah karena :
32
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid 2,
cet. 3, (Jakarta : CV Indhill Co, 2009), hal. 71-72.
33
Ibid., hal. 86.
24
Universitas Indonesia
a. pada saat hapusnya hutang pokok dikarenakan pelunasan dengan bukti
keterangan yang dibuat kreditur;
b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia;
c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, namun dengan
musnahnya barang ini tidak menghapuskan klaim asuransi atas barang
tersebut sebagai pengganti objek Jaminan Fidusia.34
Setelah hapusnya Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka Penerima Fidusia
memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan
pernyataan mengenai hapusnya Jaminan Fidusia tersebut. Atas pemberitahuan
tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari
Buku Daftar Fidusia kemudian menerbitkan surat keterangan yang menyatakan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.
2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut
Hipotek pada awalnya diatur dalam KUHPerdata pada Buku II Bab XXI
Pasal 1162 sampai 1232. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang
Pelayaran Nomor 21 Tahun 1992 dan yang terakhir diubah dengan Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Kapal Laut dengan bobot 20 m3
(dua puluh meter kubik) keatas dapat dijadikan jaminan Hipotek.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 (UU Pelayaran) yang
dimaksud dengan Hipotek Kapal adalah
Hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan
uttang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur lain.35
Umumnya lembaga jaminan lainnya, Hipotek mempunyai sifat dari hak
kebendaan pada umumnya antara lain :
1. Accessoir, bahwa Hipotek ini merupakan perjanjian tambahan yang
tergantung pada perjanjian pokok hutang-piutangnya.
34
Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, op.cit., pasal 25. 35
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, UU No. 17 tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, pasal
1 angka 12.
25
Universitas Indonesia
2. Absolut, hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun.
3. Droit de suite, hak tersebut senantiasa mengikuti bendanya di tangan
siapapun benda tersebut berada.
4. Droit de Preference, seseorang mempunyai hak untuk didahulukan
pemenuhan piutangnya diantara orang berpiutang lainnya.36
Namun terhadap penerapan sifat Hipotek Droit de Preference ini dalam UU
Pelayaran dibatasi oleh Piutang Pelayaran yang Didahulukan dimana Piutang
Pelayaran ini wajib dilunasi lebih dahulu dari eksekusi kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 UU Pelayaran. Dalam Pasal 1 angka 13 UU Pelayaran
mendefinisikan Piutang Pelayaran yang Didahulukan sebagai :
Tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal
mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.37
Kapal yang dapat dijadikan jaminan utang melalui lembaga Hipotek adalah
kapal yang telah terdaftar dalam Daftar Kapal Indonesia. Pembebanan Hipotek ini
dilakukan dengan pembuatan akta hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan
Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar
Induk Pendaftaran Kapal. Atas 1 (satu) akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse
Akta Hipotek untuk penerima hipotek. Grosse akta hipotek ini mempunyai
kekuatan eksekutorial dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hipotek.38
UU Pelayaran membolehkan pembebanan 1 (satu) kapal untuk lebih dari 1
(satu) hipotek. Dengan demikian, pemeringkatan masing-masing hipotek ini
ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipoteknya.39
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran
Dan Kebangsaan Kapal (Permenhub Pelayaran) mengatur secara teknis UU
Pelayaran secara khusus mengenai penghapusan (roya) Hipotek dan pengalihan
hipotek atas kapal. Dalam Pasal 29 Permenhub Pelayaran diatur bahwa untuk
36
Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 95 -96.
37
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 1 angka 13.
38
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 60.
39
Ibid., pasal 61.
26
Universitas Indonesia
dilakukan pembebanan hipotek atas kapal, maka pemilik kapal atau penerima
hipotek kapal atas kuasa dari pemilik kapal mengajukan permohonan kepada
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan disertai perjanjian kredit
dan asli grosse akta pendaftaran kapal / grosse akta baliknama kapal. Selanjutnya,
apabila kelengkapan persyaratan pembebanan hipotek kapal telah terpenuhi maka
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta hipotek kapal.40
Dalam UU Pelayaran dan peraturan pelaksananya, khususnya pasal 33
Permenhub Pelayaran diatur mengenai adanya pengalihan hipotek atas kapal.
Setiap pengalihan hipotek atas kapal tersebut harus dilakukan dengan pembuatan
akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama
Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal.
Permohonan pengalihan tersebut dengan disertakan bukti pengalihan hipotek,
grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal serta grosse akta
hipotek kapal. Apabila persyaratan untuk pengalihan tersebut terpenuhi, maka
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta pengalihan
hipotek kapal.41
Apabila perjanjian hutang-piutang tersebut telah lunas, maka atas kapal yang
dijaminkan tersebut dapat dilakukan pencoretan hipotek (roya) oleh Pejabat
Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dimana permintaan tertulisnya dari
penerima hipotek. Namun bila permintaan roya tersebut diajukan oleh pemberi
hipotek, maka permintaan pencoretan dengan melampirkan surat persetujuan
pencoretan dari penerima hipotek.42
Berdasarkan pasal 38 ayat 1 Permenhub Pelayaran, pencoretan hipotek
(roya) tersebut dapat dilakukan berdasarkan :
a. Permohonan penerima hipotek atas kapal atau penerima pengalihan
hipotek atas kapal;
b. Permohonan pemberi hipotek atas kapal;
40
Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran dan
Kebangsaan Kapal, Permenhub No. 13 tahun 2012 pasal 29.
41
Ibid., pasal 33.
42
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 63.
27
Universitas Indonesia
c. Penetapan Pengadilan Negeri atau putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pencoretan hipotek tersebut dilakukan dengan membuat catatan mengenai
berakhirnya pembebanan atas hipotek kapal dimaksud yang selanjutnya catatan
tersebut disalin ke grosse akta hipotek kapal. Grosse akta hipotek kapal tersebut
dikembalikan kepada pemilik kapal bersama dengan grosse akta pendaftaran
kapal atau grosse akta baliknama kapal. Hal mengenai pencoretan hipotek ini
mengacu pada pasal 39 Permenhub Pelayaran.43
2.1.6. Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)
Jaminan perorangan merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak
untuk didahulukan pada benda-benda tertentu, karena harta kekayaan pihak ketiga
tersebut hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan
borgtocht. Penanggungan menurut Pasal 1820 KUHPerdata adalah :
Suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini
sendiri tidak memenuhinya.44
Selanjutnya Pasal 1822 KUHPerdata menyatakan :
1. Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun
dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatan si berutang.
2. Penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya
atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk
lebih dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka
perikatan itu tidak sama sekali batal melainkan ia adalah hanya untuk apa
yang diliputi oleh perikatan pokoknya.45
43
Kementerian Perhubungan, Permenhub Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, pasal 39.
44
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, op.cit., pasal 1820.
45
Ibid., pasal 1822.
28
Universitas Indonesia
Dengan demikian, untuk jumlah yang kurang, maka perikatan dapat
dilangsungkan. Sedangkan apabila lebih besar dari jumlah yang ditentukan maka
tidak mengakibatkan batalnya perikatan karena perikatan itu tetap sah hanya saja
terbatas pada jumlah yang telah disyaratkan dalam perjanjian pokok. Jika debitur
wanprestasi, maka kewajiban memenuhi prestasi dari si penanggung dicantumkan
dalam perjanjian tambahannya (perjanjian accessoir) bukan dalam perjanjian
pokok sebab tujuan dan isi penanggungan adalah memberikan jaminan pokok,
artinya adanya penanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya.46
Dengan demikian, ciri-ciri jaminan perorangan adalah :
a. Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;
b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
c. Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan utang, misalnya
borgtocht;
d. Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau
keseimbangan (konkuren);
e. Apabila terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan
dibagi di antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-
masing.47
2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiaan usaha berdasarkan
prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam menjalankan
usahanya bank syariah menggunakan pola bagi hasil yang merupakan landasan
utama dalam kegiatan dan produk perbankannya. Produk-produk bank syariah
mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena
adanya pelarangan riba, gharar dan maysir yang harus dihindarinya.
46
Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 14.
47
Ibid., hal. 17 – 18.
29
Universitas Indonesia
Sistem perbankan di Indonesia diatur dalam UU Perbankan yang
menjelaskan bahwa perbankan di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu bank umum
dan bank perkreditan rakyat. Kedua jenis bank tersebut melaksanakan kegiatan
konvensional atau syariah. Hal ini berarti bahwa Indonesia menganut sistem
perbankan ganda (dual banking system). Semenjak itu bank syariah mulai tumbuh
pesat di Indonesia dalam bentuk bank umum syariah atau unit usaha syariah. Bank
syariah adalah bank yang menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya
dengan menggunakan pola bagi hasil sebagai landasan utamanya.
2.2.1. Tinjauan Mengenai Riba
Dalam ekonomi Islam, Allah SWT. telah mengatur dalam Al-Quran
tentang pengharaman riba, yaitu dalam Al-Baqarah : 275 yang artinya :
Dan Aku halalkan bagimu jual beli, dan Aku haramkan bagimu riba…
Allah SWT. juga telah memberikan isyarat buruknya riba di dalam surat Ar-Rum :
39 yang artinya :
Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).
Riba yang disebut di atas merupakan kata yang terdeviasi dari kata raba yang
berarti zada, bertambah. Menurut syara‟ riba berarti kelebihan dari nilai tukar
yang disyaratkan kepada salah seorang dari dua orang yang bertransaksi. Keadaan
pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi membedakan antara
yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dan mudarat, antara yang
dibolehkan Allah SWT dan yang dilarang sehingga mereka mengatakan jual beli
itu sama dengan riba. Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa Dia
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.48
48
H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal. 2 dan 5.
30
Universitas Indonesia
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang
memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan
beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Adapun makna orang
yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang
yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam
Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua
orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga
pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan.49
Riba ini dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul
dari perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis yaitu riba karena
pertukaran barang sejenis tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl) dan riba
karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan
jangka waktu (riba nasiah).50
Riba dayn berarti tambahan, yaitu pembayaran premi atas setiap jenis
pinjaman dalam transaksi utang-piutang maupun perdagangan yang harus
dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian
pokok yang ditetapkan sebelumnya. Secara teknis riba berarti pengabilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil karena pemilik dana
mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yan dipinjam tanpa
memperhatikan apakah peinjam mendapat keuntungan atau mengalami
kerugian.51
2.2.2. Tinjauan Mengenai Akad
Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan
perjanjian yaitu al-aqdu (artinya akad) dan al-’ahdu (artinya janji). Pengertian
akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Kata ikatan (al-rabth) maksudnya
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah
satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali
49
Hadist Riba, http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-riba.htm#.UNxkXm83aQM,
diakses tanggal 27 Desember 2012. 50
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 13.
51
Ibid.
31
Universitas Indonesia
yang satu. Kata al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam
KUHPerdata. Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah
perjanjian atau overkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan sesuatu yang tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan
orang lain.52
Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., bahwa akad adalah :
1. keterkaitan atau pertemuan ijab dan Kabul yang berakibat timbulnya
akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak dan Kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra
akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak
tidak terkait satu sama lain;
2. pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan
kabul yang menyatakan kehendak pihak lain;
3. tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Akibat
hukum akad dalam hukum Islam disebut hukum akad.53
Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) saat ini digunakan oleh para
hakim sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah.
Berdasarkan Buku II Tentang Akad dalam KHES, Akad diartikan sebagai
Kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.54
Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 pasal 1 angka 7 didefinisikan akad sebagai :
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang
memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.55
52
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2005), hal. 3.
53
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal.68-69.
54
Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 20 angka 1.
55
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, PBI
No. 9/19/PBI/2007, LN No.165 Tahun 2007, pasal 1 angka 7.
32
Universitas Indonesia
Seperti dalam hukum perikatan dalam KUHPerdata mengenal beberapa
asas, maka dalam hukum perikatan Islam ini untuk melaksanakan suatu akad
haruslah didasarkan oleh asas-asas berikut :
a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak,
terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak
lain.
b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan
pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.
c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d. luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau
maisir.
e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan
merugikan salah satu pihak.
f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihak secara terbuka.
h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para
pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.
i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya
sesuai dengan kesepakatan.
j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan,
tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh
hukum dan tidak haram.56
Selanjutnya, KHES menentukan bahwa rukun-rukun akad terdiri dari :
a. pihak-pihak yang berakad
Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan
usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum;
b. obyek akad
56
Ibid., pasal 21.
33
Universitas Indonesia
amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-
masing pihak;
c. tujuan-pokok akad
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-
masing pihak yang mengadakan akad;
d. kesepakatan.57
Sedangkan syarat dalam akad ada 4 (empat), yaitu :
1. syarat berlakunya akad (In’iqod), syarat ini terbagi dari yang umum dan yang
khusus. Syarat In’iqod umum berarti syarat yang harus ada dalam setiap akad,
seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shighat akad.
Sedangkan syarat In’iqod khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-
akad tertentu, misalnya 2 orang saksi.
2. syarat sahnya akad (Shihah), yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar
akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan syariat
Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
3. syarat terealisasikannya akad (Nafadz), yang terdiri dari 2 (dua) yaitu
kepemilikan barang atas hak penggunaannya dan wilayah.
4. syarat Lazim, dimana akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.58
Dalam pelaksanaan setiap akad maka wajiblah tidak boleh mengandung unsur
gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan maksiat.
Terdapat 2 (dua) prinsip dasar dalam ajaran Islam, yang pertama mengenai
ibadah bahwa segala sesuatu adalah dilarang sepanjang hal-hal yang telah
diperbolehkan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi mengenai bidang muamalat
diatur bahwa segala sesuatu adalah diperbolehkan sepanjang hal-hal yang dilarang
dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karenanya dalam kenyataan bermuamalat bahwa
segala transaksi adalah diperbolehkan kecuali transaksi yang dianggap melanggar
hukum.
Transaksi yang melanggar hukum disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1. Melanggar hukum dikarenakan objek yang ditransaksikan adalah terlarang
Suatu transaksi dikategorikan melanggar hukum dikarenakan objek yang
ditransaksikan, baik barang atau jasa, adalah terlarang. Contoh objek yang
57
Ibid., pasal 22 – pasal 25.
58
Ascarya, op.cit., hal. 35.
34
Universitas Indonesia
terlarang adalah minuman beralkohol, babi atau bangkai. Walaupun suatu akad
untuk pembelian minuman alkohol tersebut sah, namun tetap transaksi tersebut
merupakan tranksaksi yang melanggar hukum.
2. Melanggar hukum dikarenakan alasan external
a. Tadlis
Dalam Islam, setiap tranksasi harus berdasarkan keridhoan dari kedua
belah pihak dimana kedua belah pihak memiliki informasi yang lengkap
atas transaksi yang akan dilakukan. Oleh karenanya, tidak ada salah satu
pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain menyembunyikan
informasi yang seharusnya diberitahu kepada pihak lain tersebut. Keadaan
menyembunyikan informasi tersebut dinamakan Tadlis. Tadlis ini terdiri
dari 4 (empat) dimensi, yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu.
b. Taghrir (Gharar)
Gharar disini adalah situasi dimana adanya ketidakjelasan dalam
transaksi yang dilakukan diantara para pihaknya. Gharar disini hampir
sama dengan Tadlis namun perbedaannya dalam Gharar para pihak yang
bertransaksi dalam posisi ketidakjelasan sehingga dapat merugikan para
pihak, sedangkan Tadlis hanya satu pihak yang dirugikan. Gharar ini
dapat terjadi dalam 4 (empat) dimensi seperti pada Tadlis yaitu kuantitas,
kualitas, harga dan waktu.
c. Ikhtikar
Ikhtikar ini umumnya hampir dipersamakan dengan bentuk monopoli
dalam suatu persaingan usaha dengan menciptakan penghalang bagi
pemain baru sehingga pasar tersebut tetap dikuasai oleh pemain lama.
Ikhtikar ini dapat terjadi apabila salah satu atau lebih hal-hal berikut
terpenuhi, yaitu :
a) menciptakan kelangkaan atas suatu barang, baik melalui
penyimpanan maupun dipersulit untuk masuknya barang tersebut;
b) menjual dengan harga yang lebih tinggi atas barang yang langka
tersebut dari harga normalnya;
c) mengambil keuntungan berlipat (pencatutan) apabila kedua hal di
atas tidak tercapai.
35
Universitas Indonesia
d. Bai’ Najasy
Pelanggaran disini terjadi ketika pembeli atau produsen melakukan
permainan harga dengan membuat permintaan palsu atas suatu barang
sehingga tercipta harga baru yang lebih tinggi dari harga normal.
Pelanggaran disini umumnya terlihat pada pasar bursa yang sering terjadi
“goreng saham” oleh para pemain bursa untuk menciptakan harga yang
lebih tinggi agar menguntungkan pihak-pihak tertentu.
e. Riba
Riba ini terbagi atas Riba Fadl, Riba Nasi’ah dan Riba Jahiliyah. Riba
Fadl dapat dijumpai dalam transaksi jual beli mata uang yang tidak
dilakukan secara tunai. Untuk Riba Nasi’ah umumnya terjadi pada
pembayaran bunga atas kredit yang kita miliki atau juga pendapatan
bunga dari tabungan, deposito atau giro. Sedangkan untuk Riba Jahiliyah
terjadi pada pengenaan bunga dari kartu kredit dikarenakan tidak
dilakukan pembayaran penuh atas tagihan tersebut.
f. Maysir (Penjudian)
Secara singkat Maysir disini adalah permainan yang hasilnya dimana
salah satu pihak terbebani oleh tanggung jawab pihak lainnya.
g. Risywah (penyuapan)
Pelanggaran disini terjadi karena tindakan salah satu pihak yang
memberikan sesuatu yang bernilai yang bertujuan si pihak pemberi
tersebut memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
3. Kontrak yang tidak sah
Penyebab lain yang dapat membatalkan akad adalah hal-hal berikut :
a. tidak terpenuhinya Rukun dan Syarat akad;
Rukun adalah hal yang penting untuk dipenuhi agar suatu transaksi dapat
berjalan. Apabila dalam kontrak tidak memenuhi Rukun, maka kontrak
tersebut dapat dibatalkan. Disamping Rukun, faktor yang harus ada
dalam kontrak adalah Syarat. Syarat ini untuk melengkapi dari Rukun itu
sendiri. Dalam suatu kasus, suatu Rukun terpenuhi namun Syarat untuk
pelaksanaan akad tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi atas akad
tersebut adalah fasad (cacat). Hal tersebut sesuai dengan Mazhab Hanafi.
36
Universitas Indonesia
Dalam pelaksanaannya, Syarat harus dibedakan dengan Rukun, hal
tersebut dengan tidak melakukan hal-hal berikut :
1. mengubah sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram;
2. mengubah sesuatu yang haram menjadi sesuatu yang halal;
3. meniadakan Rukun;
4. bertentangan dengan Rukun;
5. mengelakkan penerapan Rukun.
b. adanya Ta’alluq;
Ta’alluq adalah keadaan dimana pelaksanaan suatu transaksi dihadapkan
dengan 2 (dua) kontrak yang saling terkait, yaitu suatu kontrak yang akan
berjalan digantungkan dengan kontrak lainnya. Pelaksanaan keadaan
tersebut dapat melanggar Rukun akad.
c. Two in One.
Two in One disini adalah kondisi dimana satu transaksi dilakukan dengan
dua kontrak secara bersamaan sehingga menimbulkan ketidakjelasan
kontrak mana yang harus dipenuhi.59
Berpedoman pada KHES, maka yang dinamakan akad tidak sah apabila
bertentangan dengan hal-hal yang diatur dalam pasal 26, yaitu :
a. Syariat Islam;
b. Peraturan perundang-undangan;
c. Ketertiban umum; dan/atau
d. Kesusilaan.60
Terhadap hukum keberlakuan dan kebatalan suatu akad, KHES membagi dalam 3
(tiga) kategori, yang kurang lebih sama dengan penjabaran mengenai kontrak yang
tidak sah tersebut di atas, yaitu :
a. Akad yang sah
Dalam akad ini telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan
59
Adiwarman A. Karim, Islamic Banking : Fiqh and Financial Analysis, 3rd
Edition, (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 28 – 46.
60
Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 26.
37
Universitas Indonesia
Akad ini terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal
lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan mashlahat.
c. Akad yang batal/batal demi hukum
Akad ini batal karena kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya.61
2.2.3. Akad Perbankan Syariah
Dalam kaitannya dengan pembahasan perbankan syariah ini, akad yang
digunakan adalah turunan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian
kegiatan tolong-menolong/tidak mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk
mencari keuntungan ini dibagi menjadi transaksi yang mengandung kepastian,
dengan prinsip nonbagi hasil, dan transaksi yang mengandung ketidakpastian, dengan
prinsip bagi hasil. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam
pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan transaksi untuk tidak mencari keuntungan
tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial.
Dalam berbagai bentuk akad yang ada dalam praktik perbankan syariah,
terdapat klausul yang selalu ada dalam dalam akad tersebut, yaitu :
1. Klausul Jaminan
Pada dasarnya pemberian jaminan dalam konsep syariah tidaklah wajib.
Namun agar nasabah memenuhi janjinya, pihak bank syariah dapat meminta
ditetapkannya suatu jaminan tertentu dalam akad pembiayaannya. Jaminan
tersebut digunakan dalam skema jual beli (Murabahah, Salam, Istishna) dan
skema kerjasama (Mudharabah dan Murabahah). Dalam skema jual beli,
yang digunakan sebagai jaminan adalah barang yang diperjualbelikan itu
sendiri atau barang lain yang dapat diikat berdasarkan hukum jaminan dalam
hukum positif. Sedangkan dalam skema kerjasama, penetapan jaminan bukan
bertujuan menjamin modal yang dimasukkan oleh bank namun penempatan
jaminan ini untuk menjaga bank atas kerugian di masa depan apabila si
pengelola dana/nasabah lalai atau melanggar akad.
2. Ingkar Janji (Wanprestasi)
Ingkar janji (wanprestasi) diatur dalam Pasal 36 KHES yaitu dengan kriteria
berikut :
61
Ibid., pasal 27 - pasal 28.
38
Universitas Indonesia
a. tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukannya; atau
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikaannya; atau
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; atau
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dalam akadnya ditetapkan bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar
janji dengan lewatnya batas waktu yang ditentukan.
3. Sanksi
Sanksi terhadap peristiwa ingkar janji hanya dapat dikenakan apabila :
a. pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji,
tetap melakukan ingkar janji;
b. sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya;
c. pihak yang ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan
ingkar janji itu terjadi karena keadaan memaksa yang berada di luar
kuasanya (force majeur).
4. Ganti Rugi dan Denda
Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 juncto Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)
No.10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 dinyatakan bahwa apabila terjadi
wanprestasi atau kelalaian dari nasabah, bank syariah berhak untuk
mengenakan ganti rugi. Pembatasan ganti rugi dibatasi oleh beberapa
ketentuan yaitu :
a. Ganti rugi dikenakan kepada nasabah yang memang sengaja atau
karena lalai melakukan sesuatu yang menyimpang dari akad dan
mengakibatkan kerugian pada bank.
b. Klausul ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan
dipahami oleh nasabah.
c. Penetapan ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara bank dan nasabah.
d. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah
sesuai dengan kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya
bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian
39
Universitas Indonesia
yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) kkarena adanya peluang
yang hilang (opportunity loss).
e. Ganti rugi hanya dapat dibebankan pada akad Ijarah dan akad yang
menimbulkan utang-piutang, seperti Salam, Istishna serta Murabahah
yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai.
f. Untuk akad Mudharabah dan Musyarakah, bank sebagai shahibul mal
hanya dapat mengenakan ganti rugi pada bagian keuntungan bank
yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib.
5. Pilihan Hukum (Choice of Law)
Pilihan hukum disini adalah syariat Islam mengingat ketentuan yang
digunakan mengacu pada hukum Islam.
6. Penyelesaian Sengketa
Pada dasarnya penyelesaian sengketa harus menggunakan prinsip
musyawarah mufakat, namun apabila tidak tercapai maka para pihak dapat
melalui mediasi perbankan. Apabila melalui mediasi perbankan belum
tercapai, maka dapat melalui Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas). Dalam
akad syariah, seringkali langsung ditetapkan bahwa apabila terjadi
sengketa akan diselesaikan melalui Basyarnas. Sementara itu untuk
pelaksanaan putusan arbitrase syariah, bank akan memilih apakah
dilanjutkan dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau Pengadilan
Negeri saja.62
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian antara bank syariah dan
nasabah mengenai penggunaan jasa tertentu berdasarkan Prinsip Syariah,
hendaknya diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas mengenai ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh para pihak agar berlaku
hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah berkenaan dengan transaksi
tersebut. Dalam hubungan itu, beliau menyarankan sebaiknya Bank Indonesia
dengan bantuan DSN dapat melakukan penyeragaman terhadap perjanjian-
perjanjian baku yang digunakan oleh bank-bank syariah di Indonesia. Dengan
penyeragaman perjanjian-perjanjian baku perbankan syariah, akan dicapai hal-hal
berikut :
62
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 13-18.
40
Universitas Indonesia
1. lingkup dan isi perjanjian transaksi syariah antara bank syariah yang satu
dan bank syariah yang lain tidak menjadi berbeda-beda.
2. penyeragaman perjanjian baku perbankan syariah agar substansi dari
perjanjian dapat dibuat jelas dan rinci yang digunakan sebagai acuan apabila
terjadi perbedaan pendapat antara nasabah dan bank.
3. untuk menghindarkan terjadinya pembuatan perjanjian yang berat sebelah
oleh pihak bank.63
2.2.4. Produk Perbankan Syariah di Indonesia
Secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah terbagi dalam
penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa perbankan diatur dalam
Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah sebagaimana ditetapkan dalam SEBI
No.10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal produk bank syariah dan unit
usaha syariah. Dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut, maka bank syariah
dan UUS wajib memenuhi prinsip syariah. Kewajiban pemenuhan prinsip syariah
disini bahwa bank syariah dan UUS dalam kegiatannya wajib berpedoman pada
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atas hal tersebut
serta memenuhi prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun),
kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung
gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram.64
Dalam PBI No.10/17/PBI/2008 diatur bahwa terdapat kewajiban bank
syariah atau UUS untuk melaporkan rencana pengeluaran produk bank yang baru
sepanjang produk tersebut telah diatur oleh Bank Indonesia. Namun apabila
produk baru tersebut tidak termasuk yang sudah diatur oleh Bank Indonesia, maka
bank syariah atau UUS tersebut wajib untuk mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia. Terkait dengan penerbitan dan pelaksanaan suatu produk bank tersebut,
maka bank syariah atau UUS wajib menghentikan kegiatan produk bank tersebut
apabila produk bank tersebut tidak sesuai prinsip syariah dan peraturan
63
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,
cet.1, (Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010), hal. 143.
64
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.
41
Universitas Indonesia
perundang-undangan yang berlaku serta tidak melaporkan atau meminta
persetujuan kepada Bank Indonesia atas rencana pengeluaran produk bank yang
baru.65
2.2.4.1. Penghimpunan Dana
Pada produk penghimpunan dana ini terbagi menjadi sebagai berikut :
a. Giro Syariah
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek/bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan pemindahbukuan. Akad yang digunakan adalah
Wadi’ah atau Mudharabah. Giro Syariah atas dasar akad Mudharabah
maka bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai
pemilik dana dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk
nisbah yang disepakati. Produk perbankan syariah ini mengacu pada
Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.
b. Tabungan Syariah
Akad yang digunakan adalah Wadi’ah atau Mudharabah. Apabila
Tabungan Syariah atas dasar Wadi’ah maka bank sebagai penerima dana
titipan dimana tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan
tetapi bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi.
Nasabah selaku penitip dana dapat mengambil dananya setiap saat.
Sedangkan Tabungan Syariah atas dasar akad Mudharabah maka bank
bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai pemilik dana
dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang
disepakati. Nasabah hanya dapat menarik dananya sesuai waktu yang
disepakati. Produk Tabungan Syariah ini mengacu paada Fatwa DSN
No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
c. Deposito Syariah
Mekanismenya bank sebagai pengelola dana dan nasabah selaku pemilik
dana dimana pengelolaan dananya dapat dilakukan sesuai batasan-
65
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha
Syariah, PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008, LN No. 137 Tahun 2008, pasal 2
dan pasal 7.
42
Universitas Indonesia
batasan yang ditetapkan pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau
dilakukan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah
mutlaqah). Pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang disepakati.
Nasabah hanya dapat melakukan penarikan dana sesuai waktu yang
disepakati. Deposito Syariah ini sesuai dengan Fatwa DSN No.03/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Deposito.
2.2.4.2. Penyaluran Dana
a. Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah
Akad dalam pembiayaan ini mengacu pada Fatwa DSN No: 07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) terbagi atas :
i). Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha
antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya
ii). Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai
permintaan pemilik dana
iii). Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan
pemilik dana
b. Pembiayaan Atas Dasar Akad Musyarakah
Fatwa DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah merupakan fatwa yang digunakan dalam pembiayaan ini.
Dalam akad Musyarakah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih
pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai
syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak
43
Universitas Indonesia
berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian
berdasarkan proporsi modal masing-masing.
c. Pembiayaan Atas Dasar Akad Murabahah
Berdasarkan Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi
hasil. Mengingat dalam pembiayaan ini menggunakan akad-akad yang
lain, maka fatwa-fatwa yang digunakan antara lain :
i. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah
ii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 10/DSN-MUI/IV/2000
tentang Wakalah
iii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 13/DSN-MUI/IX/2000
tentang Uang Muka Dalam Murabahah
iv. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 16/DSN-MUI/IX/2000
tentang Diskon Dalam Murabahah
v. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 23/DSN-MUI/III/2002
tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
vi. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang
Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah)
44
Universitas Indonesia
vii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu
Membayar
viii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
ix. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang
Konversi Akad Murabahah
Berkaitan dengan akad Murabahah, Rukun dan Syarat Akad Murabahah
adalah sebagai berikut :
a. Subjek Perjanjian
Syarat subjek dalam prinsip jual beli ini adalah sama dengan syarat
subjek akad seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Dalam praktik
perbankan, terkadang bank bertindak selaku penjual , dalam akad
murabahah, atau bisa juga sebagai pembeli, dalam akad istishna.
Adakalanya sering terjadi dalam praktik perbankan syariah bank
diperbolehkan member kuasa kepada nasabah (dengan akad wakalah)
untuk membeli barang atas nama bank.
b. Objek
Kriteria mengenai objek dalam jual beli ini adalah :
i. Barang yang diperjualbelikan harus tertentu jenisnya
ii. Harga barang yang diperjualbelikan harus jelas
iii. Barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih
kepemilikannya ke tangan penjual
Namun terdapat hal menarik dalam prinsip jual beli syariah bahwa saat
ini yang terjadi barang yang dibutuhkan nasabah spesifikasinya
diajukan oleh nasabah sendiri (selaku pembeli) kepada bank (selaku
penjual).
c. Akad (shigat)
Kata sepakat melalui ijab qabul harus dinyatakan secara tegas dalam
akad.66
66
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 44-45.
45
Universitas Indonesia
Pada prinsipnya jaminan dalam murabahah diperbolehkan untuk mengikat
nasabah serius dengan pesanannya. Dalam setiap akad murabahah pada praktik
perbankan syariah memang ditetapkan suatu jaminan. Pada skema murabahah
yang sederhana (dalam skema pembelian suatu barang dimana barang yang dijual
oleh bank dengan margin tertentu), barang yang dijadikan jaminan pembayaran
cicilan nasabah kepada bank adalah barang yang dijual tersebut dengan tidak
menutup kemungkinan adanya jaminan tambahan yang diminta oleh bank. Pada
skema murabahah yang kompleks (dengan skema murabahah tersebut dijadikan
sebagai sarana pembiayaan suatu proyek, misalnya proyek konstruksi), maka
biasanya yang dijadikan sebagai jaminan tidak hanya objek yang diperjanjikan
melainkan bisa juga melibatkan berbagai macam jaminan lain yang dapat diterima
oleh hukum positif, seperti hak tanggungan atas fixed asset milik nasabah, fidusia
atas tagihan, personal guarantee atau jaminan apapun yang dapat diterima oleh
bank syariah.67
Dalam jual beli selain adanya jual beli dengan prinsip murabahah yang halal, ada
pula dikenal dengan jual beli secara al inah (bai’ al inah). Bai’ al inah dapat
didefinisikan sebagai penjualan dengan pembelian kembali dimana penjual
menjual barangnya kepada pembeli dengan harga yang disepakati (dengan
kenaikan harga tertentu) yang dibayar oleh pembeli di kemudian hari. Selanjutnya
pembeli tersebut menjual kembali barang tersebut kepada penjual secara kontan
dengan harga yang lebih rendah dari harga sebelumnya. Secara teknis,
pelaksanaan bai’ al inah meliputi 2 (dua) transaksi yaitu (i) al-bay’ al-mutlaq
(penjualan dengan cash) dan (ii) murabahah (penjualan kemudian) yang
dilaksanakan saling berurutan dimana patut diperhatikan bahwa akad murabahah
yang terjadi tersebut merupakan instrument terjadinya bai’ al inah. Dalam praktik
institusi perbankan, kontrak penjualan dan penjualan kembali (sale and resale
contract) dilakukan baik oleh bank maupun nasabahnya dengan tidak melihat
adanya asumsi risiko dan nilai tambah pada keuntungan/profit yang akan
diperoleh. Pada kedua transaksi tersebut masing-masing pihak telah memberikan
jaminan di awal bahwa pada setiap transaksi penjualan pasti akan ada transaksi
penjualan kembali secara otomatis. Bai’ al inah hanya berfungsi sebagai sarana
67
Ibid., hal. 54-55.
46
Universitas Indonesia
yang menggunakan hukum bisnis syariah (dalam hal ini melalui perdagangan dan
bisnis) untuk memperoleh uang tunai tampa berimplikasi pada riba; untuk
membuat hal yang haram menjadi halal. Objek yang diperjualbelikan hanya
merupakan alat untuk mengaburkan penerimaan dan pembayaran bunga. Secara
implisit bai’ al inah dapat menciptakan “pintu belakang” untuk bunga. 68
Bai’ al
inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama. Hal tersebut
diriwayatkan dari „Aisyah, Ibnu „Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya‟by,
An-Nakh‟iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza‟iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah,
Malik, Ahmad dan Ishaq. Di sisi lain, Imam Asy-Syafii dan pengikutnya
membolehkan bai’ al inah ini.69
d. Pembiayaan Atas Dasar Akad Salam
Dalam akad Salam transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan
dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu
secara penuh. Fatwa DSN yang digunakan Nomor 05/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
e. Pembiayaan Atas Dasar Akad Istishna’
Transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Fatwa DSN yang digunakan
adalah
i. Fatwa DSN No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna‟.
ii. Fatwa DSN No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna‟
Paralel.
f. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah
Pembiayaan Ijarah ini terdiri dari :
1) Ijarah
Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara
pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa
68
Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts Available In
Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In Contemporary Islamic Finance,
http://arzim.blogspot.com/2010/02/issues-in-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html, diakses tanggal 29
Desember 2012.
69
Bay Al Inah : Pengenalan Ringkas, http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/04/bay-al-inah-
pengenalan-ringkas.html, diakses tanggal 29 Desember 2012.
47
Universitas Indonesia
dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang
disewakan.
2) Ijarah Muntahiya Bittamlik
Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya
dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa.
Fatwa DSN yang digunakan dalam pembiayaan ini adalah :
- Fatwa DSN No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
- Fatwa DSN No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al
Muntahiyah bi al-Tamlik.
g. Pembiayaan Atas Dasar Akad Qardh
Dalam pembiayaan ini bank bertindak sebagai penyedia dana untuk
memberikan pinjaman (Qardh) kepada nasabah berdasarkan
kesepakatan. Oleh karenanya, bank dilarang dengan alasan apapun untuk
meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang
sesuai Akad serta membebankan biaya apapun atas penyaluran
Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas
kewajaran. Terhadap pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar
Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati.
Namun bila nasabah digolongkan mampu tapi tidak mengembalikan
sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati,
maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka
pembinaan nasabah. Fatwa DSN yang digunakan sebagai referensi
adalah Fatwa DSN No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh.
h. Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan ini dengan menggunakan akad Ijarah atau akad Kafalah.
a. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah
Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk merealisasikan
penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah. Pengembalian dana
yang telah dikeluarkan bank tersebut dapat dilakukan dengan
angsuran maupun sekaligus, namun tidak dapat dilakukan dalam
bentuk piutang atau pembebasan utang.
48
Universitas Indonesia
b. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Kafalah
Bank sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah
terhadap pihak ketiga. Obyek penjaminan tersebut harus merupakan
kewajiban orang yang meminta jaminan; jelas nilai, jumlah dan
spesifikasinya; tidak bertentangan dengan syariah (tidak
diharamkan). Bank dapat memperoleh imbalan yang disepakati yang
ditetapkan dalam nominal yang tetap serta dapat meminta jaminan.
Apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga,
maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak
ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai pembiayaan atas
dasar akad Qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah. Fatwa DSN
yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/VII/2004
tentang Pembiayaan Multijasa.
Perlu ditambahkan bahwa Kafalah disini adalah dalam posisi bank
sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap
pihak ketiga atau Garansi Bank sebagai bentuk layanan jasa perbankan.
Terkait dengan analisis kasus dalam penulisan ini maka Kafalah
dikaitkan dengan pemberi jaminan adalah non bank, yaitu personal
(Personal Guarantee) dimana jenis kafalah tersebut yaitu Al-Kafalah bin
Nafs. Kafalah yang diatur dalam konsep syariah ini bisa dikatakan sama
persis dengan konsep pemberian jaminan (borg) yang diatur dalam
hukum positif yang diatur dalam Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000
tentang Kafalah sebagai pedomannya.
Rukun dan Syarat Kafalah adalah sebagai berikut :
1. Pihak Penjamin (Kafil)
i. Baligh (dewasa) dan berakal sehat
ii. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam
urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan
kafalah tersebut
2. Pihak orang yang berutang (Makful anhu ashil)
a) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada
penjamin
49
Universitas Indonesia
b) Dikenal oleh penjamin
3. Pihak orang yang berpiutang (Makful lahu)
a) Diketahui identitasnya
b) Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa
c) Berakal sehat
4. Objek penjaminan (Makful bihi)
a) Merupakan tanggungan pihak yang berutang, baik berupa
uang, benda, maupun pekerjaan
b) Bisa dilaksanakan oleh penjamin
c) Harus merupakan piutang mengikat (lazim) yang tidak
mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
d) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
e) Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).70
2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan
a. Letter of Credit (L/C) Impor Syariah
Akad yang digunakan dalam L/C ini adalah Wakalah bil Ujroh dan
Kafalah. Dalam mekanisme ini bank dapat bertindak sebagai wakil dan
pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban importer terhadap
eksportir dalam melakukan pembayaran. Atas pelayanan jasa tersebut,
bank dapat memperoleh imbalan/fee/ujroh yang disepakati di awal
serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap, tidak dalam
prosentase. Nasabah yang menjalankan usaha importer tersebut harus
memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang
diimpor (akad wakalah bil ujroh). Apabila importer tidak memiliki
dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor,
maka bank dapat memberikan dana talangan (qardh) dan bank dapat
bertindak sebagai shahibul maal bagi importer sebesar harga yang
diimpor. Apabila importer tidak memiliki cukup dana pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor dan pembayaran belum
dilakukan, maka utang kepada eksportir dialihkan oleh importir
70
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 140-141.
50
Universitas Indonesia
menjadi hutang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada
eksportir senilai barang yang diimpor (akad Wakalah bil Ujroh dan
Wakalah). Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 34/DSN-
MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah.
b. Bank Garansi Syariah
Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban
nasabah terhadap pihak ketiga. Kontrak (akad) jaminan memuat
kesepakatan antara pihak bank dan pihak kedua yang dijamin dan
dilengkapi dengan persaksian pihak penerima jaminan. Bank dapat
memperoleh imbalan yang disepakati di awal dalam jumlah nominal
yang tetap. Bank dapat meminta jaminan atas nilai penjaminan.
Apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak
ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada
pihak ketiga dengan memberikan dana talangan (qardh). Fatwa DSN
yang digunakaan adalah Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000
tentang Kafalah.
c. Penukaran Valuta Asing (Sharf)
Bank dapat bertindak, baik sebagai pihak yang menerima penukaran
maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah.
Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta
asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi spot. Dalam hal
transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang berlainan
jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan
secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi
dilakukan. Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 28/DSN-
MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf).
Pelayanan jasa bank syariah dan UUS juga mengenal Hawalah
sebagaimana dalam SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Dua ulama fiqih Mazhab
Hanafi mengemukakan definisi Hawalah yang berbeda : Ibnu Abidin mengatakan
bahwa hawalah ialah pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang
51
Universitas Indonesia
berutang (muhil) kepada orang yang berutang lainnya, (muhil ‘alaih); sedangkan
Kamal bin Hummam mengatakan bahwa Hawalah pengalihan kewajiban
membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang
kepadanya atas dasar saling mempercayai. Menurut Mazhab Maliki, Hambali dan
Syafi‟I bahwa Hawalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut
pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak lain. Perbedaan definisi-definisi
tersebut terletak pada kenyataan bahwa Mazhab Hanafi menekankan pada segi
kewajiban membayar utang, sedangkan ketiga mazhab lainnya menekankan pada
segi hak menerima pembayaran utang.71
Dalam SEBI tersebut dijelaskan bahwa dalam kegiatan pelayanan jasa
dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah terdiri
dari :
a. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang
para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank;
b. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off
utang piutang diantara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat
(utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan
adanya dana keluar (cash out).
Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang
atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang
nasabah kepada pihak ketiga;
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian
jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah, serta hak dan kewajiban
nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang
atas dasar Akad Hawalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek
personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara
71
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 345.
52
Universitas Indonesia
lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan
prospek usaha (Condition);
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian
tertulis berupa Akad pengalihan utang atas dasar Hawalah;
e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal;
f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang
nasabah kepada pihak ketiga;
g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada
nasabah; dan
h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada
nasabah.
Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang
atas dasar Akad Hawalah Muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan
utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah sebagaimana dimaksud di atas,
kecuali huruf a, huruf f dan huruf g;
b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang
nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki utang
kepada nasabah; dan
c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil-alih oleh Bank,
paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada nasabah.
Menurut Mazhab Hanafi, dalam Hawalah ini terdapat rukun-rukunnya
yang terdiri dari :
i. adanya ijab (pernyataan melakukan Hawalah) dari pihak pertama;
ii. adanya qabul (pernyataan menerima Hawalah) dari pihak kedua
dan pihak ketiga.72
Sedangkan Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali menjelaskan bahwa rukun
Hawalah ini terdiri dari 6, yaitu :
i. adanya muhil;
ii. pihak muhal;
72
Ibid., hal. 347.
53
Universitas Indonesia
iii. pihak muhal ‘alaih;
iv. adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah
utangnya;
v. adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan
jumlah utangnya;
vi. adanya sigah (pernyataan Hawalah).73
Namun dalam praktik perbankan, penggunaan akad Hawalah ini sulit
untuk diterapkan mengingat bank jarang sekali dalam posisi yang memiliki utang
kepada nasabah. Untuk selanjutnya, sangat jarang terjadi bank diminta oleh
nasabahnya untuk membayarkan utang bank kepada nasabah tersebut ke pihak
ketiga yang ditunjuk nasabah.
2.2.5. Rahn atau Gadai
Dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah memang tidak diatur
mengenai Rahn walaupun Rahn ini juga merupakan salah satu pembiayaan
syariah. Rahn atau Gadai ini pada prinsip secara syariah sama dengan gadai biasa
yang diatur dalam hukum adat dan hukum positif.
Pengaturan Rahn ini dalam Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002
dimana prinsip Rahn yaitu :
a. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai.
b. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian
dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai
berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang
sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
c. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan, kecuali atas seizin pemilik barang.
d. Jika penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan dengan seizin
pemilik barang, penerima gadai berkewajiban menanggung biaya
penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang
digadaikan.74
73
Ibid.
74
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal.130.
54
Universitas Indonesia
Sistematika akad Rahn terdiri dari :
1. Tanggal dan nomor akad
Jika dibuat secara dibawah tangan antara kedua pihak, nomor akad adalah
nomor yang diberikan oleh bank syariah, sedangkan jika dibuat dihadapan
notaris, nomor tersebut adalah nomor akta notaris yang bersangkutan.
2. Para pihak atau subjek akad
a) Pihak yang menggadaikan (Rahn atau Rahin)
b) Pihak yang menerima gadai (Murtahin atau bank syariah)
3. Isi perjanjian
a) Kesepakatan para pihak , yaitu bank selaku kreditur sebagai
penerima gadai (Murtahin) setuju untuk memberikan
pembiayaan dengan jumlah tertentu dan nasabah (Rahin)
menerima pembiayaan tersebut.
b) Murtahin menerima barang yang digadaikan dengan
memberikan sejumlah dana tertentu dan Rahin berkewajiban
untuk membayar biaya sewa tempat penitipan dan asuransi atas
barang yang digadaikan.
c) Jaminan dari pihak Rahin bahwa objek yang digadaikan adalah
benar-benar miliknya, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau
sengketa dan bebas dari sitaan.
d) Kuasa untuk melakukan debit rekening Rahin jika pembayaran
dilakukan oleh Rahin melalui suatu rekening tertentu (tidak
langsung).
e) Kuasa untuk menjual atau melelang barang yang digadaikan
apabila sampai tiba jangka waktunya, Rahin tidak dapat
mengembalikan dana yang diterimanya dari Murtahin.
4. Penutup
Lokasi dibuatnya perjanjian dan diakhiri dengan ditandatanganinya oleh
para pihak.75
75
Ibid., hal. 131.
55
Universitas Indonesia
Rahn yang diatur menurut prinsip syariah ini dibedakan atas 2 (dua)
macam, yaitu :
1. Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn ini yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam
hukum adat maupun dalam hukum positif. Pada Rahn Hiyazi ini barang
yang akan digadaikan dikuasai oleh kreditur, apabila utang debitur sudah
lunas barulah barang yang digadaikan bisa diambil kembali.
2. Rahn Tasjily
Merupakan bentuk Rahn dengan barang yang digadaikan hanya
dipindahkan kepemilikannya namun barangnya sendiri masih tetap
dikuasai dan digunakan oleh pemberi gadai. Konsep ini dalam hukum
positif mirip dengan konsep lembaga jaminan fidusia seperti diuraikan
sebelumnya.76
Rahn Tasjily ini diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada Murtahin.
b. Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan
atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke
Murtahin.
c. Rahin memberikan wewenang kepada Murtahin untuk mengeksekusi
barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi
utangnya.
d. Pemanfaatan barang Marhun oleh Rahin harus dalam batas
kewajaran sesuai kesepakatan.
e. Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan
barang Marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang
ditanggung oleh Rahin.
2.3. Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah)
Bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain
wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga diwajibkan membentuk
UUS. UUS ini merupakan satuan kerja di kantor pusat bank umum yang berfungsi
76
Ibid., hal. 127-128.
56
Universitas Indonesia
sebagai kantor induk atau koordinator bagi kantor-kantor cabang syariah, yang
kedudukannya satu tingkat dibawah Direksi sehingga bertanggung jawab
langsung ke Direksi.
Kantor cabang syariah bertanggung jawab dan koordinasi dengan UUS
dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, mengikuti ketentuan
dan peraturan perbankan syariah dan mengikuti ketentuan akuntanasi syariah.
UUS dan kantor cabang syariah tidak diperkenankan menginduk pada kantor
cabang bank konvensional. Mengingat Divisi/Urusan dan kantor cabang bank
konvensional mengikuti ketentuan dan peraturan perbankan konvensional serta
ketentuan akuntansi perbankan konvensional. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian syariah dari pelaksanannya.77
Berdasarkan Pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah, Kegiatan usaha UUS
meliputi sebagai berikut :
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan Akad mudharabah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah,
Akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad
salam, Akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa
beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah;
77
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT Sardo Sarana
Media, 2009), 52 – 54.
57
Universitas Indonesia
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain,
seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah,
atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga
berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan
dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.4. Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah
Pengalihan utang merupakan pengalihan perjanjian utang antara nasabah
bank konvensional menjadi perjanjian utang antara nasabah dengan bank syariah
atau unit usaha syariah suatu bank konvensional. Pengaturan pengalihan utang
dalam perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari peranan DSN yang
memberikan pengaturannya dalam bentuk fatwa.
2.4.1. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
Fatwa merupakan cermin dari respons para ulama terhadap suatu masalah
yang memerlukan jawaban dari aspek agama Islam sehingga ia bersifat dinamis
dan juga merupakan cermin refleksi dari pemikiran intelektual masyarakat
tertentu.78
Kehadiran Dewan Syariah Nasional (DSN) yang baru dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 memberi pengaruh terhadap
peraturan perbankan syariah. Adanya fatwa-fatwa DSN yang baru ditetapkan pada
78
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 2011), hal.105.
58
Universitas Indonesia
tahun 2000 menjadi satu-satunya pedoman sebagai pegangan dalam melakukan
kegiatan perekonomian syariah pada saat itu.79
Pengaruh fatwa DSN terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan syariah memberi pengaruh yang sangat besar. Diawali dengan
pengaturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia, kemudian meningkat ke
dalam Undang-undang. Diawali dengan ketentuan yang secara implisit atas
pengakuan terhadap fatwa DSN, kemudian meningkat secara yuridis formal
dengan ketentuan secara eksplisit yang mengakui fatwa DSN sebagai suatu
hukum syariah yang berlaku.80
Dalam Pasal 35 PBI No.11/3/PBI/2009 tersebut diatas dinyatakan bahwa
untuk melakukan usahanya, Bank Umum Syariah diwajibkan merujuk pada fatwa
DSN serta meminta fatwa terlebih dahulu untuk produk baru bank yang belum ada
fatwanya. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan kedudukan fatwa DSN dalam
sistem hukum nasional bahwa :
1. Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN adalah untuk
menghindari adanya perbedaan keterangan yang dibuat olehh DPS
masing-masing Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dibuat dalam
fatwa karena tidak ada peraturan yang mengatur kegiatan ini untuk
semua pelaku ekonomi syariah.
2. Kedudukan fatwa DSN dalam sistem perundang-undangan dilihat pada
4 (empat) komponen :
a. fatwa DSN sebagai prinsip syariah yang merupakan pedoman
pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah yang harus ditaati;
b. Fatwa DSN menjadi pedoman bagi DPS dalam mengawasi
kegiatan usaha LKS;
c. Isi ketentuan dalam fatwa DSN diserap ke dalam peraturan
perundang-undangan.
d. Fatwa DSN menjadi landasan hukum bagi LKS dalam
menjalankan produk kegiatan usahanya.
3. Hakim akan menggunakan fatwa DSN karena ketentuan ekonomi
syariah merupakan hal yang baru yang tidak ditemukan pada fatwa
terdahulu dan telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim tetap tidak memandang fatwa sebagai ketentuan hukum yang
harus diikuti karena bukan sumber hukum Islam yang utama dan tidak
79
Yeni Salma Barlinti, ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia,” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010),
hal.255.
80
Ibid., hal. 258.
59
Universitas Indonesia
termasuk peraturan perundang-undangan. Hakim dan arbiter harus
mengutamakan fatwa DSN sebagai pertimbangan hukum dalam
memutuskan perkaranya karena fatwa DSN adalah hukum yang
mengikat secara yuridis.81
2.4.2. Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang
Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/IV/2002 tentang Pengalihan Utang
Pelunasan/pembayaran utang adalah fatwa yang dipakai sebagai pedoman dalam
penyelesaian kasus ini. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa pengalihan utang
adalah proses transaksi keuangan dari transaksi keuangan non syariah menjadi
berpindah ke transaksi syariah.
Guna memenuhi karakteristik tujuan dari transaksi ini, maka dalam fatwa
ini diberikan 4 (empat) alternatif metode pengalihan utang tersebut agar dapat
disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan ekonomi syariah tersebut, yaitu :
Alternatif 1
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah
melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud pada angka 1 kepada LKS dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh dan Fatwa
DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula
dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana dimaksud
dalam alternatif 1 ini.
81
Ibid., hal. 469-470.
60
Universitas Indonesia
Gambar 2.1 : Pengalihan Utang Alternatif Pertama
(5) menjual barang ke nasabah dengan
akad murabahah
(1) memberi qardh (2) membayar kewajiban
(4) menjual barang agunan dan
melunasi qardh (3) menerima agunan
Alternatif 2
1. LKS membeli sebagian aset nasabah dengan seizin Lembaga Keuangan
Konvensional (LKK) sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk
antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana angka 1 adalah bagian aset
yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku
pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana
dimaksud dalam alternatif 2 ini.
Bank
Syariah
Bank
Konven
Nasabah
61
Universitas Indonesia
Gambar 2.2 : Pengalihan Utang Alternatif Kedua
(2) menjual barang secara murabahah
(1) membeli sebagian aset nasabah dengan ijin LKK (syirkah al milk)
Alternatif 3
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah
dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI
nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah
dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan
dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksud
angka 2 di atas.
4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh
didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah
sebagaimana dimaksudkan angka di atas.
Bank
Syariah
Bank
Konven Nasabah
62
Universitas Indonesia
Gambar 2.3: Pengalihan Utang Alternatif Ketiga
(2) dapat membantu menalangi kewajiban nasabah (jika perlu)
(3) Imbalan Ijarah
(1) Ijarah atas pengurusan
kepemilikan asset penuh
Alternatif 4
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah
melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada
nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4. Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/III/2012 tentang al-Qardh dan Fatwa
DSN nomor : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang
sebagaimana dimaksud dalam alternatif 4 ini.
Bank
Syariah
Bank
Konven
Nasabah
63
Universitas Indonesia
Gambar 2.4: Pengalihan Utang Alternatif Keempat
(5) menyewakan ke nasabah dengan
akad IMBT
(1) memberi qardh (2) membayar kewajiban
(4) menjual barang agunan dan (3) asset yang dibeli dengan
melunasi qardh kredit milik nasabah
2.4.3. Pinjaman Qardh
Sesuai dengan fungsi bank syariah harus melaksanakan fungsi sosial yaitu
melaksanakan transaksi yang sifatnya tolong-menolong melalui pinjaman Qardh.
Pinjaman Qardh ini dilakukan bank syariah dalam transaksi talangan haji,
talangan cerukan atau overdraft dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah
dan sejenisnya.
Al-Qardh adalah akad pinjaman kepada nasabah tertentu dengan ketentuan
bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada
waktu yang disepakati antara nasabah dan LKS.
Rukun Al-Qardh adalah sebagai berikut :
a. Peminjam/Muqtaridh
b. Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh
c. Jumlah dana/Qardh
d. Ijab Kabul/Shighat.82
Dan untuk Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut :
a. Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan
b. Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal.83
82
Wiroso, op.cit., hal. 322.
83
Ibid., hal. 323.
Bank
Syariah
Bank
Konven
Nasabah
64
Universitas Indonesia
DSN menetapkan aturan tentang Al-Qardh sebagaimana dalam fatwa DSN
nomor 19/DSN-MUI/IX/2000 yang substansinya adalah :
1. Ketentuan umum Al-Qardh
a. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)
yang memerlukan.
b. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima
pada waktu yang telah disepakati bersama.
c. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
d. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
e. Nasabah Al-Qardh dapat memberikan sumbangan sukarela kepada LKS
selama tidak diperjanjikan dalam akad.
f. Jika nasabah tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya
pada saat yang telah disepakati dan LKS memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat :
a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian; atau
b) Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
2. Sanksi
a. Apabila nasabah tidak menunjukan keinginan mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada
nasabah.
b. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah tersebut dapat berupa, tidak
terbatas pada, penjualan barang jaminan.
c. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
3. Sumber dana Al-Qardh
a. Bagian modal LKS;
b. Keuntungan LKS yang disisihkan;
c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya
kepada LKS.
65
Universitas Indonesia
2.5. Notaris Sebagai Pejabat Umum
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang dinamakan Notaris adalah
Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.84
Dalam Penjelasan UUJN diterangkan mengenai kewajiban Notaris yang
berbunyi bahwa :
Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang
termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga
menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi,
termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi
para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi
Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.85
Penjabaran kewajiban Notaris tersebut di atas juga dikaitkan dengan kewajiban
dalam bersikap dan bertindak seorang Notaris. Kewajiban dalam bersikap dan
bertindak tersebut diatur sebagaimana dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UUJN
bahwa Notaris berkewajiban :
Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.86
Apabila dikaitkan dengan hubungan hukum antara bank syariah dengan
para nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Setiap perjanjian di bank syariah
diwujudkan dalam bentuk tertulis (akad) yang dibuat antara bank dan nasabahnya.
Terdapat pertimbangan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 mengapa akad
84
Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004, pasal 1 angka 1.
85
Ibid., penjelasan paragraf 5.
86
Ibid., pasal 16 ayat 1 huruf (a).
66
Universitas Indonesia
bank syariah yang dilaksanakan harus dibuat secara tertulis dengan akta notarial,
yaitu :
Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskannya.
Kutipan ayat tersebut berbicara tentang anjuran kewajiban menulis utang-piutang
dan disaksikan di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil
menekankan perlunya menulis utang disertai dengan jumlah dan ketetapan
waktunya. Menurut M. Quraish Shihab dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis
(notaris), yaitu (1) kemampuan menulis; (2) pengetahuan tentang aturan serta tata
cara menulis perjanjian; (3) kejujuran.87
Mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata bahwa sumber otentisitas akta
Notaris yang merupakan juga dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan
syarat-syarat sebagai berikut :
a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Pejabat umum, dimana akta tersebut dibuat, haruslah mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.88
Mengingat produk notaris berupa akta otentik, maka dapat dilihat
mengenai anatomi suatu akta notariil tersebut dengan memperhatikan Pasal 38
UUJN yaitu terdiri dari :
1. awal akta atau kepala akta, yang memuat :
a. judul akta
b. nomor akta
c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris
87
H.R. Daeng Naja, op.cit., hal. 61.
88
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, cet.1, (Bandung : PT Refika Aditama,
2011), hal. 9.
67
Universitas Indonesia
2. badan akta, yang memuat :
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak
yang berkepentingan;
d. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
3. akhir atau penutup akta, yang memuat :
a. uraian tentang pembacaan akta;
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan akta bila ada;
c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;
d. uraian tentang ada tidaknya perubahan dalam pembuatan akta
yang berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.89
Apabila melihat anatomi akta sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN
tersebut, maka skema akad syariah secara umum kurang lebih sama yang
berisikan hal-hal berikut :
1. Pembuka
Terkadang ditulis Basmalah namun tidak mutlak tergantung kebijakan
masing-masing bank.
2. Kepala akta
Judul akta (akad pembiayaan) dan nomor akta serta hari dan tanggal
pelaksanaan akad dan nama notaris.
3. Komparisi
Pada bagian komparisi ini menyebutkan para pihak yang berakad beserta
kecakapan bertindak masing-masing.
4. Premis
Premis ini berisikan latar belakang dibuatnya akad.
5. Isi akad
Dalam bagian isi, menjabarkan mengenai Definisi (apabila perlu), nilai
pembiayaan, tujuan pembiayaan, margin keuntungan dari bank, pernyataan
nasabah, klausula jaminan serta peristiwa kelalaian nasabah yang dapat
memutuskan perjanjian.
89
Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, op.cit., pasal 38.
68
Universitas Indonesia
6. Penyelesaian sengketa
Dapat diatur bahwa dalam hal terjadi sengketa, akan diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak ada jalan keluar, maka dapat
dipilih arbitrase penyelesaian sengketa melalui Basyarnas.
7. Klausul tambahan
Dapat disebut sebagai Ketentuan Peralihan
8. Akhir Akta
Disebutkan mengenai penyelesaian dan pelaksanaan penandatanganan akad
dan saksi-saksi.90
2.6. Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman Berjangka
Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah
2.6.1. Kasus Posisi
Dalam kasus ini PT ABC telah menerima fasilitas kredit dari Divisi
Komersial Bank X (konvensional) berupa Pinjaman Berjangka (“PB”)
berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 12 tanggal 11 Juni 2008 yang telah
dilegalisasi oleh Notaris AA, SH pada tanggal 11 Juni 2008 dibawah nomor
26/Legalisasi/2008 dan Syarat Dan Ketentuan Umum Perjanjian Kredit tanggal 11
Juni 2008 Nomor 274/SKU/SCBC-Thamrin/2008 yang telah dilegalisasi oleh
Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit Nomor 07 tanggal 11 Agustus
2009 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit
Nomor 13 tanggal 14 Juni 2010 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH, yaitu
sebagai berikut :
1. PB II yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok
utang tanpa bunga) sebesar Rp.32.545.407.994,- dengan jaminan sebagai
berikut :
a. 1 (satu) unit Kapal Tug Boat yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek;
b. 4 (empat) unit kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek;
c. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT KSM yang dijaminkan
dengan lembaga Fidusia;
d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE.
90
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 19.
69
Universitas Indonesia
2. PB III yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya
(pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp.36.354.449.333,- dengan jaminan
sebagai berikut :
a. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT SSDK yang
dijaminkan dengan lembaga Fidusia;
b. Barang-barang inventory berupa bahan baku, bahan setengah jadi dan
bahan jadi yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia;
c. 3 (tiga) unit kapal tongkang yang pengikatan Hipoteknya dilaksanakan
setelah tanggal 30 Juni 2010;
d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE.
3. PB IV yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya
(pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp. 11.055.673.826,38,- dengan jaminan 1
(satu) unit Kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek.
4. PB V yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok
utang tanpa bunga) sebesar Rp. 18.838.942.453,77 dengan jaminan sebagai
berikut :
a. Mesin-mesin yang dibiayai dengan PB V yang dijaminkan dengan
lembaga Fidusia;
b. Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya
kepada PT GM yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia.
Setelah berjalannya pengucuran dan penggunaan fasilitas kredit PB
tersebut dari tahun 2008, pada tahun 2010 PT ABC bermaksud untuk
mengkonversi atau take over kredit PB tersebut menjadi fasilitas pembiayaan
syariah yang menurut penghitungan keuangan PT ABC dirasa menguntungkan
untuk menggunakan fasilitas pembiayaan syariah dibandingkan dengan
menggunakan fasilitas kredit PB konvensional. Atas hal tersebut, maka UUS
Bank X menyampaikan surat perihal Persetujuan Hawalah tanggal 30 Juni 2010
kepada PT ABC yang ditandatangani antara PT ABC dan UUS Bank X dimana
substansi yang disampaikan yaitu :
a. mengalihkan utang dari fasilitas kredit PB PT ABC atau meng-Hawalah-
kan piutang Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X
tersebut;
70
Universitas Indonesia
b. UUS Bank X memberikan dana talangan atau Qardh sebesar Rp.
658.292.778,67 yang digunakan oleh PT ABC untuk pembayaran bunga
berjalan bulan Juni 2010 atas fasilitas kredit PB PT ABC;
c. Jaminan-jaminan yang diikat berdasarkan perjanjian kredit sebelumnya
tetap melekat, mengikat dan menjamin pinjaman yang diperoleh PT ABC
melalui fasilitas pembiayaan syariah.
Selanjutnya, pada tanggal yang sama dengan Surat Persetujuan Hawalah
tersebut yaitu 30 Juni 2010, dibuat dan ditandatangani Addendum Perjanjian
Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah Nomor 94 tanggal 30 Juni
2010 yang dibuat dihadapan Notaris OHCU, SH (“Addendum PK Murabahah”)
yang menuangkan konversi kredit PT ABC menjadi sebagai berikut :
a. PB II menjadi Murabahah II;
b. PB III menjadi Murabahah III;
c. PB IV menjadi Murabahah IV;
d. PB V menjadi Murabahah V;
serta seluruh jaminan yang diikat berdasarkan perjanjian kredit terdahulu,
sebagaimana jaminan-jaminan yang sudah disebutkan di atas, tetap melekat,
mengikat dan menjamin untuk fasilitas pembiayaan Murabahah.
2.6.2. Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X
Untuk melakukan konversi fasilitas kredit PB II – PB V PT ABC tersebut,
UUS Bank X melakukan metode pengalihan utang dengan cara Hawalah melalui
Surat Persetujuan Hawalah. Adapun dalam Hawalah tersebut dimasukkan pula
metode Qardh serta pernyataan bahwa seluruh jaminan-jaminan PT ABC yang
menjamin seluruh fasilitas kredit PB II – PB V terdahulu dinyatakan tidak hapus
dengan konversi melalui metode Hawalah.
Setelah dilakukannya Hawalah dan Qardh tersebut, maka transaksi
konversi dimaksud dilanjutkan dengan metode Murabahah atas barang-barang
milik PT ABC yang sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit dan merupakan
barang-barang jaminan atas PB II – PB V PT ABC. Hal ini terlihat pada Pasal 2
Addendum PK Murabahah yang menyebutkan :
71
Universitas Indonesia
Pasal 2
Objek Akad
Objek akad ini adalah Barang yang dibiayai oleh Bank dan atau menurut
pengakuan NASABAH adalah yang dibiayai dari fasilitas kredit yang
diperoleh NASABAH berdasarkan Perjanjian Kredit terdahulu dengan
spesifikasi sebagaimana diuraikan dalam Lampiran I Akad ini yang
merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad
ini.
Untuk pembelian barang-barang tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas
pembiayaan Murabahah yang jumlahnya sesuai dengan sisa utang pokok PT ABC
yang diperoleh dalam fasilitas kredit PB masing-masing ditambah dengan margin
keuntungan UUS Bank X sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Addendum PK
Murabahah. Dalam pasal 3 tersebut dijelaskan bahwa dalam fasilitas pembiayaan
Murabahah tersebut diawali dengan kesepakatan jual beli dimana UUS Bank X
menjual kepada PT ABC barang sebagaimana dimaksud pasal 2 di atas dan PT
ABC sepakat membeli barang tersebut dari UUS Bank X. Setelah melakukan jual
beli tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas pembiayaan Murabahah
(Murabahah II – Murabahah V) kepada PT ABC untuk pembelian barang
tersebut dengan komposisi harga jual terdiri dari harga beli ditambah margin
keuntungan bagi bank.
72
Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Kasus Posisi
Bank X
PT ABC
Debitur
Konvensional Unit Usaha Syariah
Perjanjian Kredit
PB II
PB III
PB IV
PB V
Surat Persetujuan Hawalah
(Utang Pokok PB II, PB
III, PB IV, PB V)
Qardh
(Bunga PB II,
PB III, PB IV,
PB V)
Addendum Perjanjian Kredit
Berdasarkan Pembiayaan
Murabahah
Murabahah III
Murabahah II
Murabahah IV
Murabahah V
Take Over / Konversi
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
Agunan
A
73
Universitas Indonesia
2.7. Analisis Mengenai Kesesuaian Pelaksanaan Konversi Kredit
Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah Berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa DSN
Bank yang menjadi pembahasan ini adalah Bank X dimana merupakan
bank umum konvensional yang memiliki UUS untuk menjalankan kegiatan usaha
perbankan syariahnya berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah.
2.7.1. Tentang Hawalah
Mengacu pada Fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah
dijelaskan bahwa pertimbangan adanya Hawalah ini bertujuan untuk pemindahan
penagihan utang seseorang kreditur kepada pihak lain yang dirasa mampu untuk
menanggung (membayar) utangnya si berutang. Berdasarkan Fatwa DSN tersebut,
maka Rukun Hawalah adalah sebagai berikut :
a. adanya muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang;
b. adanya muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil;
c. muhal ‘alaih yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib
membayar utang kepada muhal
d. muhal bih yaitu utang muhil kepada muhtal; dan
e. sighat atau ijab qabul.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali dapat ditambahkan Rukun
Hawalah sebagai berikut :
a. adanya muhil;
b. pihak muhal;
c. pihak muhal ‘alaih;
d. adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah utangnya;
e. adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan jumlah
utangnya;
f. adanya sigah (pernyataan Hawalah).
Hawalah tersebut dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal dan muhal
‘alaih yang dituangkan dalam akad dengan menyatakan secara tegas kedudukan
dan kewajiban para pihak.
74
Universitas Indonesia
Dengan berpatokan pada surat Persetujuan Hawalah tersebut dan Fatwa
DSN tentang Hawalah dapat dikatakan bahwa mekanisme konversi utang PT
ABC tidak tepat menggunakan akad Hawalah mengingat akad Hawalah
diperuntukan bagi nasabah debitur dan kreditur (bank) dalam posisi yang sama-
sama saling memiliki utang dan bukan untuk pengalihan utang oleh nasabah
debitur. Hal ini didasari bahwa pada kenyataannya, sangat jarang terjadi suatu
bank memiliki utang kepada nasabah debiturnya. Adapun akad Hawalah ini jika
dianalogikan ke dalam hukum positif secara prinsipnya hampir mirip dengan
mekanisme Set Off atau Perjumpaan Utang/Kompensasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 1425 KUHPerdata91
yang mensyaratkan adanya 2 (dua) pihak yang
saling berutang satu sama lain, hanya saja perbedaannya mekanisme di
KUHPerdata tidak mensyaratkan 3 (tiga) pihak sebagaimana halnya Fatwa DSN
tentang Hawalah.
Melihat pada surat Persetujuan Hawalah tersebut, dapat dikatakan surat
tersebut tidak memenuhi unsur-unsur akad Hawalah sebagaimana diatur dalam
Fatwa DSN mengenai Hawalah karena tidak menyatakan secara tegas kedudukan
dan kewajiban para pihak (tidak diuraikan apa saja kewajiban muhil, kewajiban
muhal dan kewajiban muhal ‘alaih). Selanjutnya, untuk keberlakuan Hawalah
tersebut harus dengan persetujuan 3 (tiga) pihak yaitu muhil, muhal dan muhal
‘alaih, sedangkan surat Persetujuan Hawalah UUS Bank X hanya ditandatangani
oleh 2 (dua) pihak yaitu PT ABC dengan UUS Bank X (dalam surat tersebut
Divisi Komersial Bank X (konvensional) tidak ikut tanda tangan sebagai tanda
persetujuannya) sehingga menjadi tidak jelas mana pihak yang berposisi sebagai
muhil, muhal dan muhal ‘alaih dalam surat Persetujuan Hawalah dimaksud.
Berdasarkan pembahasan teori sebelumnya mengenai bentuk akad syariah
secara umum atau anatomi suatu akta, maka dapat dikatakan surat Persetujuan
Hawalah bukanlah bentuk suatu akta akad yang dimaksud dalam pembahasan
sebelumnya atau bentuk yang dapat dipersamakan dengan suatu bentuk akad
mengingat hal-hal berikut :
91
Pasal 1425 KUHPerdata berbunyi : “Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka
terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, dengan cara dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini”.
75
Universitas Indonesia
1. tidak adanya kepala akta yang menyebut judul dan nomor akta
serta hari dan tanggal pelaksanaan akad Hawalah;
2. tidak adanya komparisi dari para pihak serta kecakapan bertindak
para pihak tersebut yang membuat akad Hawalah;
3. tidak ada latar belakang dibuatnya akad;
4. tidak jelasnya isi akad mengenai pelaksanaan Hawalah tersebut;
5. tidak diaturnya mengenai penyelesaian sengketa.
Berdasarkan pada SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan pada bagian
2.2.3.3, dapat dikatakan bahwa surat Persetujuan Hawalah tersebut tidak dapat
juga dikategorikan memenuhi unsur Hawalah Mutlaqah dimana salah satu syarat
Hawalah Mutlaqah adalah nilai pengalihan utang yang tertera di akad haruslah
sebesar nilai nominal seluruh utangnya, sedangkan dalam surat Persetujuan
Hawalah tersebut yang dialihkan hanyalah outstanding pokok hutang PT ABC
saja, adapun hutang bunga PT ABC ditalangi dengan Qardh (dengan kata lain,
Qardh hanya digunakan untuk melunasi hutang bunga PT ABC kepada Divisi
Komersial Bank X (konvensional), padahal semestinya Qardh tersebut digunakan
untuk melunasi seluruh outstanding pokok hutang berikut bunganya sekaligus).
Melihat mekanisme pengalihan utang dengan menggunakan Hawalah
tersebut juga terdapat keganjilan mengingat pelaksanaan hawalah tersebut
dikombinasikan dengan pelaksanaan Qardh untuk pelunasan utang bunga PT
ABC. Atas hal tersebut dan dikaitkan dengan Fatwa DSN No.12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Hawalah, maka terdapat kesalahan penerapan Hawalah. Ini
dikarenakan tidak ada dalam praktik perbankan syariah dimana Hawalah
dikombinasikan dengan akad Qardh.
Perlu disampaikan bahwa sampai dengan penulisan ini, akad Hawalah
yang memenuhi unsur-unsur pembuatan akad yang baik (dari sisi rukun dan
syaratnya) tidak pernah dibuat oleh pihak UUS Bank X. Informasi yang diperoleh
penulis dari internal pihak Bank X menyampaikan bahwa surat Persetujuan
Hawalah tersebut mereka persamakan dengan akad Hawalah dan mereka
menganggap surat Persetujuan Hawalah dimaksud sudah benar sehingga tidak
perlu dibuat lagi suatu akad Hawalah tersendiri yang terpisah dari surat
Persetujuan Hawalah.
76
Universitas Indonesia
Dalam praktik perbankan syariah, konsep Hawalah ini ada yang
menerjemahkannya sebagai konsep Take Over Pembiayaan dengan tidak
menggunakan akad Hawalah itu sendiri. Sedangkan apabila menggunakan akad
Hawalah, akad yang digunakan haruslah akad tabarru’ yang pada prinsipnya
merupakan akad tolong-menolong yang murni bersifat sosial dan tidak boleh
mengambil keuntungan dari peristiwa akad tersebut. Dengan demikian,
mekanisme konversi utang disini juga tidak sesuai dengan yang diatur dalam
SEBI 10/14/DPbS tersebut. Disamping itu, dalam pelaksanaan Hawalah tersebut
dapat menimbulkan pelanggaran hukum atas akad Hawalah dikarenakan dapat
terjadi Two in One atas suatu tindakan, yaitu Hawalah untuk pelunasan
outstanding hutang pokok fasilitas kredit dan Qardh untuk pelunasan bunga
berjalan yang dijadikan dalam satu akad.
2.7.2. Tentang Qardh
SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan di atas mengatur adanya dana
talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang untuk terjadinya akad Hawalah
tersebut dari Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X.
Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa Rukun Al-Qardh adalah
sebagai berikut :
a. Peminjam/Muqtaridh
b. Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh
c. Jumlah dana/Qardh
d. Ijab Kabul/Shighat.
Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut :
a. Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan
b. Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal.
Pemberian qardh pada kasus ini dapat dikatakan memenuhi Rukun Al-
Qardh tetapi tidak dapat dikatakan telah memenuhi Syarat Al-Qardh karena dana
yang digunakan belum dapat dikatakan memberikan manfaat secara maksimal
mengingat dana talangan qardh tersebut hanya diberikan untuk pembayaran
bunga berjalan saja, tidak diberikan juga untuk pembayaran outstanding utang
pokoknya. Hal ini bertentangan dengan tujuan dana talangan (qardh) yang
77
Universitas Indonesia
sebenarnya diberikan bahwa dana talangan adalah digunakan untuk memberikan
pelunasan bagi nasabah atas seluruh utang-utangnya di bank konvensional. Di lain
sisi terdapat keganjilan dalam pemberian qardh tersebut karena pelaksanaan akad
qardh tersebut dicampur dengan pelaksanaan akad Hawalah.
Dalam pemberian dana talangan tersebut, ternyata tidak di-cover dengan
adanya akad Qardh antara UUS Bank X dan PT ABC untuk melunasi utang
kepada Divisi Komersial Bank X (konvensional). Hal tersebut dapat menimbulkan
celah bagi nasabah untuk tidak berlaku jujur atas jumlah dana qardh yang
diperolehnya mengingat dalam Fatwa DSN no. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-
Qardh menjelaskan bahwa nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang
diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, seharusnya
UUS Bank X membuat akad Qardh tersendiri untuk pemberian dana talangan
tersebut bagi PT ABC. Pembuatan akad tersebut bertujuan guna melindungi
kepentingan UUS Bank X mengingat dalam pemberian dana talangan tersebut,
bank dapat meminta jaminan kepada nasabah guna menjaga kepentingan bank
apabila nasabah wanprestasi untuk pengembalian dana talangan tersebut.
Pelaksanaan Qardh tersebut terdapat kesalahan yaitu dengan pemberian
dana talangan dari UUS Bank X kepada PT ABC untuk pembayaran bunga
berjalan sampai dengan tanggal dilakukannya konversi fasilitas kredit menjadi
fasilitas pembiayaan Murabahah. Dalam pembahasan di sub bab sebelumnya
terdapat hadist dari Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang
memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan
beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Apabila dikaitkan
dengan pemberian qardh oleh UUS Bank X, maka berdasarkan hadis tersebut
UUS Bank X dapat dikategorikan sebagai pihak yang memberikan riba kepada PT
ABC untuk melakukan pembayaran bunga berjalan tersebut dimana bunga dalam
konteks prinsip syariah adalah termasuk riba. Dengan demikian adalah suatu
tindakan yang tidak tepat dan diharamkan secara syariah pemberian qardh oleh
UUS Bank X untuk pembayaran bunga berjalan.
Sehingga, dalam pemberian dana talangan ini terjadi suatu bentuk
penyelundupan hukum yang berupa jumlah dana talangan yang tidak dapat
digunakan untuk melunasi seluruh utang PT ABC. Hal ini berdampak pada objek-
78
Universitas Indonesia
objek jaminan yang diberikan PT ABC tetap mengacu pada perjanjian kredit PB
sebagai perjanjian pokoknya, padahal di lain sisi, fasilitas kredit PB tersebut telah
beralih menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah.
2.7.3. Tentang Pengalihan Utang
Apabila dikaitkan dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002
tentang Pengalihan Utang dalam pertimbangannya bahwa salah satu jasa
pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini adalah
membantu pengalihan transaksi non syariah (konvensional) yang telah berjalan
menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Dalam pembahasan fatwa
pengalihan utang pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa pengalihan utang
dapat dilakukan melalui 4 (empat) alternatif yang dapat dipilih. Terhadap keempat
alternatif yang diberikan dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa tidak terdapat
akad atau skema Hawalah yang digunakan sebagai pengalihan utang dari
transaksi non syariah (konvensional) ke transaksi syariah. Jadi, dapat disimpulkan
keberadaan akad Hawalah tersebut pada kasus yang diangkat, adalah tidak tepat
mengingat untuk maksud pengalihan utang sebagaimana yang dilakukan PT ABC
lebih tepat jika menggunakan salah satu dari 4 (empat) alternatif yang diatur
dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang tersebut.
Skema alternatif pengalihan utang berdasarkan Fatwa DSN Nomor
31/DSN-MUI/VI/2002 yang juga dijelaskan dalam Gambar 1 Pengalihan Utang
Alternatif Pertama tersebut diatas, salah satunya adalah dengan menggunakan
akad Qardh terlebih dahulu dari LKS sebagai pinjaman untuk melunasi utang
nasabah ke bank konvensional kemudian dilanjutkan dengan fasilitas pembiayaan
Murabahah antara nasabah dengan LKS. Melihat pada Addendum PK
Murabahah tersebut, maka fasilitas kredit PB yang diperoleh PT ABC dikonversi
menjadi pembiayaan Murabahah dengan sebelumnya UUS Bank X mengucurkan
pinjaman dengan akad Qardh yang digunakan hanya untuk pembayaran bunga
dari kredit PB tersebut. Namun dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang, LKS
memberikan Qardh untuk melunasi utang/kreditnya sehingga aset nasabah yang
dibeli dengan kredit dari LKK yang belum lunas tersebut, menjadi aset LKS.
Dengan demikian terjadi kesalahan penerapan Qardh atau tidak sesuai fatwa
79
Universitas Indonesia
tersebut mengingat yang dinamakan utang disini adalah sejumlah pokok ditambah
bunga yang wajib diberikan pinjaman Qardh, sedangkan Qardh yang didapat oleh
PT ABC hanya untuk pembayaran bunga tanpa pokok utangnya sehingga tidak
melunasi seluruh utang PT ABC. Terhadap skema Murabahah dalam kasus
tersebut yang digunakan untuk pembiayaan atas barang-barang yang telah dibeli
PT ABC melalui fasilitas kredit sebelumnya, telah sesuai dengan maksud dari
Fatwa DSN tentang Pengalihan Utang tersebut. Hal ini dapat disimpulkan pada
Pasal 2 Addendum tersebut bahwa yang menjadi objek akad di Addendum adalah
barang yang dibiayai oleh bank (dalam hal ini Divisi Komersial Bank X) melalui
fasilitas kredit PB berdasarkan perjanjian kredit terdahulu. Dalam Pasal 3
Addendum tersebut juga dijelaskan bahwa bank (dalam hal ini UUS Bank X)
menjual barang kepada nasabah (PT ABC) dan nasabah sepakat untuk membeli
barang dimaksud dimana dijelaskan oleh bank nilai harga barang dimaksud dan
margin/keuntungan yang diminta oleh bank dari Murabahah II sampai dengan
Murabahah V.
Melihat pada kasus bahwa pelaksanaan pengalihan utang tersebut tidak
sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan
Utang dengan merujuk pada alternatif-alternatif yang ada, maka dapat
disimpulkan akad tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya akad (Shihah).
Dalam pembahasan di atas dijelaskan bahwa syarat sahnya akad (Shihah), yaitu
syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah
apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum dan kesusilaan. Hal ini berdampak juga terhadap akad Murabahah yang telah
dibuat dimana dapat menjadi tidak sah sebagaimana pada pembahasan pelanggaran
hukum dalam kontrak di atas. Dengan demikian, akad pengalihan utang ini dapat
dianggap bertentangan dengan Fatwa DSN tersebut.
2.7.4. Tentang Murabahah
Sesuai Fatwa Murabahah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 bahwa dalam
mekanisme Murabahah, bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama
bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank kemudian menjual
barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus
80
Universitas Indonesia
keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Apabila skema murabahah di atas dihubungkan dengan transaksi murabahah
antara UUS Bank X dengan PT ABC, maka dapat diuraikan 2 (dua) tahapan sebagai
berikut :
a. Jual beli 1
Dalam tahap ini, PT ABC menjual secara prinsip kapal-kapal tersebut kepada
UUS Bank X. Adapun nilai kapal-kapal yang dijual secara prinsip tersebut
jumlahnya setara dengan nilai outstanding hutang pokok yang berasal dari
fasilitas kredit PB. Transaksi tersebut seolah-olah dilakukan secara sah namun
tidak demikian kenyataannya. Kapal – kapal milik PT ABC tersebut
sebenarnya tidak pernah berpindah secara prinsip dari PT ABC kepada UUS
Bank X. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk bai’ al inah. Dalam
pembahasan sebelumnya dijelaskan bai’ al inah dikategorikan oleh sebagian
besar jumhur ulama sebagai tindakan riba. Dengan demikian, jual beli 1 ini
dapat dikategorikan sebagai jual beli bai’ al inah.
b. Jual beli 2
Untuk “menghalalkan” transaksi jual beli 1 tersebut, maka UUS Bank X
menjual kembali kapal-kapal tersebut secara prinsip kepada PT ABC. Dalam
kenyataannya, objek yang sebenarnya “diperjualbelikan” adalah nilai utang
pokok PT ABC yang telah ditambah sejumlah margin, bukan nilai kapalnya
tersebut. Hal tersebut dilakukan agar seolah-olah terjadi jual beli kapal-kapal
secara prinsip.
Dengan demikian terdapat kesalahan penerapan akad murabahah dalam kasus
tersebut yang menimbulkan bai’ al inah sebagai bentuk salah satu riba.
2.7.5. Tentang Akta Notariil dan Peranan Notaris
Memperhatikan akta Addendum PK Murabahah, maka dapat dijelaskan
bahwa secara anatomi akta sebagaimana dimaksud pasal 38 UUJN yang terdiri
dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta Addendum PK Murabahah tersebut
telah sesuai dengan bentuk anatomi suatu akta notariil. Hanya saja sekilas terdapat
keganjilan pada bagian judul akta Addendum PK Murabahah tersebut judul akta
81
Universitas Indonesia
tertulis “Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan
Murabahah”. Namun hal ini dapat dipahami bahwa subjek dalam perjanjian kredit
dan akad murabahah adalah pihak yang sama yaitu Bank X dan debitur PT ABC
walaupun pada kenyataannya terjadi peralihan piutang dalam institusi Bank X dari
Divisi Komersial yang notabene berdasarkan prinsip perbankan konvensional
kepada UUS Bank X yang menjalankan operasional perbankan berdasarkan
prinsip syariah, tetapi masih dalam 1 (satu) institusi perbankan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk memuat akta otentik
sejauh mana pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat
umum lainnya. Pembuatan akta otentik tersebut selain diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan, juga karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus
diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Berkaitan dengan kewajiban
Notaris sebagai pejabat umum tersebut, maka dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a)
UUJN dijelaskan bahwa salah satu kewajiban Notaris harus bertindak jujur,
seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum. Ditambahkan pula dalam Penjelasan UUJN bahwa
Notaris juga mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat
dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan
kehendak para pihak yang salah satu caranya dengan memberikan informasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perbuatan hukum
yang dituangkan dalam akta tersebut.
Dengan berlandaskan pada kewajiban-kewajiban seorang Notaris, maka
seharusnya Notaris OHCU tersebut bertindak secara seksama, mandiri, tidak berat
kepada salah satu pihak saja guna menjaga kepentingan para pihak yaitu PT ABC
dan Bank X sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau membuat salah satu
pihak memiliki posisi tawar yang lebih besar dibanding pihak lainnya. Apabila
dikaitkan dengan kesalahan mekanisme konversi fasilitas kredit PB menjadi
fasilitas pembiayaan Murabahah, maka seorang Notaris juga dituntut berperan
mengetahui segala informasi peraturan perundang-undangan termasuk Fatwa-
fatwa DSN yang terkait dengan transaksi yang akan dilakukan PT ABC dan Bank
82
Universitas Indonesia
X tersebut guna menghindari kesalahan penerapan Fatwa Pengalihan Utang.
Dengan mengerti dan memahami seorang Notaris terhadap peraturan perundang-
undangan yang digunakan dalam suatu transaksi, maka peran edukasi hukum
seorang Notaris pun berjalan dengan baik sehingga pada akhirnya dapat
meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.
2.8. Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah
Diberikan Debitur PT ABC
Perlu disampaikan bahwa dalam kasus tersebut, jaminan kredit atau
agunan yang diberikan oleh PT ABC dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga)
kelompok lembaga jaminan. Lembaga jaminan tersebut yaitu Fidusia atas Piutang
PT ABC, Hipotek atas Kapal Laut serta Jaminan Perorangan berupa Personal
Guarantee.
2.8.1. Lembaga Jaminan Fidusia
Pada kasus tersebut PT ABC memberikan jaminan kepada Bank X Divisi
Komersial (konvensional) berupa Account Receivables (AR) atau Piutang kepada
PT KSM atas fasilitas kredit PB II, Account Receivables (AR) atau Piutang
kepada PT SSDK serta barang-barang inventory atas fasilitas kredit PB III, serta
Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya kepada PT
GM atas fasilitas kredit PB V yang kesemuanya telah didaftarkan dengan adanya
Sertifikat Fidusia.
Pada Pasal 4 UUJF disebutkan bahwa Jaminan Fidusia merupakan
perjanjian accessoir atas perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi
para pihak. Mengacu pada pasal 4 UUJF tersebut, dapat dikatakan piutang-piutang
tersebut merupakan accessoir atas perjanjian pokoknya yang berupa Perjanjian
Kredit PB II, Perjanjian Kredit PB III dan Perjanjian Kredit PB V. Namun
fasilitas-fasilitas kredit tersebut telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan
Murabahah II, fasilitas pembiayaan Murabahah III dan fasilitas pembiayaan
Murabahah V yang menggunakan mekanime dana talangan (qardh) atas bunga
berjalan. Mengacu pada analisis 2.6 di atas mengenai dana talangan (qardh)
bahwa dana talangan hanya diberikan untuk pembayaran bunga berjalan tidak
83
Universitas Indonesia
termasuk pembayaran utang pokoknya (pelunasan seluruh utang), maka hal
tersebut dapat menimbulkan penyelundupan hukum atas pelaksanaan Jaminan
Fidusia.
Penyelundupan hukum dalam pelaksanaan Fidusia dilakukan dengan
mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan seluruh utang
debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga diharapkan dana
talangan dapat melunaskan utang PT ABC berupa PB II sampai PB V, selanjutnya
fidusia atas piutang-piutang, barang inventory dan mesin-mesin tersebut menjadi
hapus. Namun kenyataannya dalam kasus tersebut tidak demikian dimana Fidusia
yang digunakan untuk pembebanan atas piutang-piutang dari PB II sampai PB V
tetap berjalan walaupun PB II sampai PB V tersebut telah dikonversi menjadi
fasilitas pembiayaan Murabahah.
Mengacu pada pasal 25 UUJF bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-
hal berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Seharusnya agar sesuai dengan penerapan pasal 25 UUJF tersebut, Bank X
melakukan penghapusan/roya atas piutang-piutang, barang-barang inventory dan
mesin-mesin yang masih dibebankan dengan mengacu pada perjanjian kredit
untuk selanjutnya dilakukan pembebanan fidusia yang baru untuk menjamin
fasilitas pembiayaan Murabahah hasil konversi dari fasilitas PB tersebut.
Pembebanan Fidusia yang baru tersebut adalah dengan melaksanakan akad
Rahn Tasjily sebagaimana telah dibahas pada sub bab 2.2.5. sebelumnya. Rahn
Tasjily adalah pemberian jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang
jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin
(atau pemberi fidusia) dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada Murtahin
(atau penerima fidusia) sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSN-
MUI/III/2008. Dalam konteks pelaksanaan konversi fasilitas kredit PB menjadi
fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut, maka terdapat kesalahan pelaksanaan
pembebanan jaminan-jaminan yang terkait dengan fidusia tersebut dimana
jaminan-jaminan tersebut tetap menggunakan akta pembebanan fidusia untuk
84
Universitas Indonesia
fasilitas kredit PB – PB tersebut. Akad Rahn Tasjily, yang dilakukan antara UUS
Bank X dengan PT ABC, merupakan accessoir dengan akad Murabahah dimana
PT ABC menyerahkan bukti-bukti kepemilikan barang/mesin-mesin yang
dijadikan jaminan serta daftar piutang dagang beserta kontrak dagang – kontrak
dagang PT ABC dengan pihak ketiga. Guna mengikatkan jaminan-jaminan
tersebut maka setelah pelaksanaan akad Rahn Tasjily tersebut, dilanjutkan dengan
akta notaris tentang pembebanan Jaminan Fidusia serta mendaftarkannya ke
Kantor Fidusia. Dengan seharusnya dilaksanakan akad Rahn Tasjily tersebut maka
seharusnya dapat terlaksana penerapan prinsip syariah, baik terhadap fasilitas
pembiayaan Murabahah juga terhadap pembebanan jaminan atas fasilitas
pembiayaan Murabahah-nya.
2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut
Dalam kasus tersebut pada PB II PT ABC memberikan jaminan Hipotek
berupa 1 (satu) unit Kapal Tug Boat dan 4 (empat) unit kapal Tongkang, 3 (tiga)
unit kapal tongkang untuk jaminan Hipotek pada PB III dan 1 (satu) unit Kapal
Tongkang atas jaminan kredit fasilitas PB IV.
Berdasarkan pasal 60 ayat 1 dan ayat 2 UU Pelayaran bahwa kapal yang
yang telah terdaftar Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan
pembebanan Hipotek yang dibuat dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik
Nama Kapal ditempat kapal didaftar dan dicatatkan dan sebagai bukti kapal
tersebut telah dibebani Hipotek dengan adanya Grosse Akta Hipotek Kapal. Atas
suatu kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) Hipotek dimana peringkatnya
tergantung dari tanggal dan nomor urut akta Hipotek tersebut.
Dalam peraturan pelaksana UU Pelayaran yaitu Permenhub Pelayaran
pada Pasal 37 dan Pasal 38 dijelaskan bahwa kapal yang tidak lagi dibebankan
Hipotek, maka dilakukan pencoretan Hipotek (roya) yang dilakukan oleh Pejabat
Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal. Permohonan roya ini dapat dilakukan
baik oleh pemberi maupun penerima hipotek atau karena adanya putusan
Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap.
Lembaga jaminan Hipotek Kapal ini juga mengenal adanya pengalihan
Hipotek kapal dengan pembuatan akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat
85
Universitas Indonesia
Pendaftar Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar
induk kapal yang bersangkutan. Pengalihan Hipotek ini dimohonkan oleh si calon
penerima pengalihan hipotek dengan mengajukan kepada Pejabat Pendaftar
Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dengan buktinya diterbitkan Grosse
Akta Pengalihan Hipotek Kapal sebagaimana diatur alam Permenhub Pelayaran
tersebut.
Apabila dikaitkan dengan kasus konversi utang PT ABC dan
memperhatikan bahwa Hipotek adalah accessoir dengan perjanjian pokoknya,
maka Hipotek tersebut tidak hapus dikarenakan konversi tersebut. Hal ini
mengingat adanya penyelundupan hukum dalam pemberian dana talangan.
Seharusnya dengan dilakukan konversi utang tersebut, maka jaminan kredit atas
kapal melalui Hipotek ikut dialihkan atau dilakukan roya untuk diubah menjadi
nama pemegang Hipotek baru.
Jaminan kredit atas kapal tersebut seharusnya dapat dilakukan pengubahan
nama pemegang Hipotek, baik dengan roya atau dengan pengalihan hipotek kapal.
Pelaksanaan roya dapat dilakukan dengan permohonan yang diajukan, baik oleh
UUS Bank X atau Divisi Komersial Bank X. Untuk selanjutnya dilakukan
pembebanan Hipotek kembali atas nama UUS Bank X yang dilakukan dihadapan
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.
Mekanisme lain untuk pengubahan nama pemegang Hipotek adalah
dengan pengalihan hipotek kapal tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk
mengubah status jaminan kredit tersebut dari pemegang Hipotek awal Bank X
Divisi Komersial menjadi pemegang Hipotek yang sesuai dengan akta fasilitas
pembiayaan Murabahah yaitu UUS Bank X.
Mengingat fasilitas pembiayaan yang diperoleh PT ABC setelah konversi
utang adalah fasilitas pembiayaan Murabahah, maka perlu dilakukan pengikatan
akad Rahn terlebih dahulu. Akad Rahn, sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN
Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, sebaiknya yang dilakukan oleh UUS Bank X
dengan PT ABC untuk memperbaiki kesalahan pada penerapan konversi fasilitas
kredit PB – PB menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Akad ini bersifat
accessoir dengan akad fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut. Oleh karenanya
guna menjamin atas kapal-kapal milik PT ABC tersebut, PT ABC dan UUS Bank
86
Universitas Indonesia
X mengadakan akad Rahn tersebut dengan dilanjutkan pembuatan pembuatan akta
hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat
kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
2.8.3. Lembaga Jaminan Personal Guarantee (PG)
PG dalam kasus tersebut digunakan sebagai jaminan kredit tambahan
selain dari Fidusia atas piutang, inventory dan mesin-mesin serta Hipotek atas
kapal-kapal. PG ini diberikan oleh Tuan KL dan Tuan HE sebagai jaminan kredit
PB II dan PB III yang pembebanannya melalui akta notariil PG.
PG merupakan jenis jaminan yang menimbulkan hubungan langsung
dengan orang tertentu yang memberikan PG tersebut, tidak memberikan hak
untuk didahulukan pada benda-benda tertentu. Berdasarkan pasal 1822
KUHPerdata bahwa penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk syarat yang
lebih berat dari perikatan si berutang, namun penanggungan hanya boleh diadakan
hanya untuk sebagian saja dari utangnya si debitur. Perjanjian penanggungan ini
adalah perjanjian accessoir atas perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian
pokoknya batal maka perjanjian penanggungan ini juga batal, hal tersebut
tercantum dalam pasal 1821 KUHPerdata.
Mengacu pada kasus bahwa terjadinya konversi utang yang salah satu
caranya dengan mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan
seluruh utang debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga
diharapkan dana talangan dapat melunasi utang PT ABC berupa PB II sampai PB
V, selanjutnya PG yang melekat menjadi hapus. Namun kenyataannya dalam
kasus tersebut tidak demikian, dimana PG-PG yang diberikan sebagai jaminan
kredit untuk PB II sampai PB V tetap berjalan walaupun PB II – PB V tersebut
telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah.
Berdasarkan pasal 1821 KUHPerdata tersebut di atas dan dikaitkan dengan
kasus PT ABC tersebut, maka seharusnya PG – PG tersebut diikat kembali
dengan akta notariil dengan merujuk pada akad fasilitas pembiayaan Murabahah
untuk menggantikan akta notariil pengikatan PG yang masih merujuk kepada
perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya.
87
Universitas Indonesia
Pengikatan PG – PG tersebut tentunya dengan menggunakan prinsip
syariah yaitu akad Kafalah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor
11/DSN-MUI/IV/2000. Sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya
yaitu 2.2.4.2 butir (h) mengenai Kafalah, dengan Rukun dan Syaratnya sebagai
berikut :
1. Pihak Penjamin (Kafil)
Pihak penjamin dalam kasus ini adalah Tuan KL dan Tuan HE.
2. Pihak Orang Yang Berutang (Makful ‘anhu ashil)
Debitur atau orang yang berutang adalah PT ABC.
3. Pihak Orang Yang Berpiutang (Makful lahu)
Kreditur atau orang yang berpiutang adalah UUS Bank X
4. Objek Penjaminan (Makful bihi)
Dalam hal ini objek penjaminan adalah kapal-kapal yang dimiliki PT
ABC yang diperoleh dari fasilitas kredit sebelumnya.
Mengingat telah dilakukannya konversi/take over atas fasilitas kredit PB menjadi
fasilitas pembiayaan muarabahah, maka konsekuensi hukumnya adalah jaminan-
jaminan yang melekat pada fasilitas kredit agar disesuaikan juga dengan prinsip
syariah, salah satunya PG – PG tersebut. Penyesuaian dengan prinsip syariah
tersebut adalah dengan dilakukannya akad Kafalah sebagai pengganti konsep
penjaminan personal guarantee yang melekat di fasilitas kredit konvensional
tersebut.
Dalam kasus ini PG – PG tersebut tetap dilakukan dengan akta penjaminan
tanpa diubah dengan akad Kafalah atas penjaminan yang dilakukan oleh Tuan KL
dan Tuan HE selaku Kafil dalam fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut.
Seharusnya, agar PG – PG tersebut tetap melekat sebagai jaminan dalam fasilitas
pembiayaan Murabahah tersebut maka Tuan KL dan Tuan HE tersebut
melaksanakan akad Kafalah sebagai bentuk penjaminan pribadi sesuai dengan
prinsip syariah. Hal tersebut perlu dilaksanakan mengingat dalam akta penjaminan
PG – PG tersebut menuangkan penjaminan atas fasilitas kredit PT ABC, yang
tentunya fasilitas kredit dari Divisi Komersial (konvensional). Dengan demikian
jaminan PG – PG dalam pelaksanaan konversi/take over ini dapat mengakibatkan
88
Universitas Indonesia
percampuran antara pelaksanaan perbankan konvensional yang haram dengan
prinsip syariah yang halal.
89
Universitas Indonesia
BAB 3
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Berdasarkan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Mekanisme konversi/take over kredit atas debitur PT ABC dari fasilitas
kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada
UUS Bank X dimulai saat tahun 2010 dimana PT ABC melakukan take over
fasilitas kredit yang telah diperoleh yaitu Pinjaman Berjangka II sampai
Pinjaman Berjangka V melalui Divisi Komersial Bank X menjadi fasilitas
pembiayaan Murabahah II sampai Murabahah V melalui UUS Bank X.
Pelaksanaan take over atau konversi tersebut dengan metode hawalah yang
di dalamnya dikombinasi dengan akad qardh untuk menalangi atas bunga
berjalan. Setelah pelaksanaan hawalah tersebut dilanjutkan dengan metode
murabahah yaitu pembelian atas barang-barang milik PT ABC yang
sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit tersebut.
2. Terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau kesalahan dalam pelaksanaan
konversi fasilitas kredit Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan
syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk Fatwa DSN.
Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
- Ketidaksesuaian menggunakan akad hawalah untuk melaksanakan
konversi utang PT ABC tersebut;
- Kesalahan penggunaan akad qardh untuk menalangi bunga berjalan
karena mengakibatkan riba;
90
Universitas Indonesia
- Pelaksanaan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan
syariah tersebut tidak sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-
MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang;
- Kesalahan penerapan akad murabahah yang menimbulkan bai’ al
inah;
- Peran edukasi hukum seorang Notaris belum berjalan dengan baik
guna meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.
3. Terkait status hukum jaminan kredit atau agunan yang telah diberikan
debitur PT ABC, terdapat kesalahan pembebanan jaminan-jaminan yang
diberikan PT ABC yaitu sebagai berikut :
a. Atas barang-barang yang dibebankan melalui lembaga jaminan fidusia
tidak didahului dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily.
b. Pengikatan Hipotek atas kapal-kapal jaminan PT ABC tidak dilakukan
dengan pelaksanaan akad Rahn.
c. Terhadap jaminan Personal Guarantee tidak dilakukan penyesuaian
dengan prinsip syariah tersebut yaitu dengan dilakukannya akad
Kafalah sebagai pengganti konsep penjaminan personal guarantee yang
melekat di fasilitas kredit konvensional tersebut.
3.2. SARAN
Dengan memperhatikan teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang
telah dibahas dan diuraikan dalam bab sebelumnya, maka Penulis menyarankan
sebagai berikut :
1. Para pelaksana kegiatan perbankan syariah dan Notaris pembuat akta
fasilitas pembiayaan syariah hendaknya mengetahui, memahami dan
menerapkan fatwa-fatwa DSN mengenai kegiatan ekonomi perbankan
syariah secara tepat dan dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan
kegiatan perbankan syariah. Khususnya pihak bank tersebut seharusnya
menjelaskan secara detail bisa atau tidaknya pelaksanaan pengalihan utang
di Bank X tersebut guna meminimalisir risiko cacatnya pelaksanaan akad
perbankan syariah tersebut.
91
Universitas Indonesia
2. Dewan Pengawas Syariah, selaku pengawas kegiatan syariah di UUS Bank
X, hendaknya dapat memberikan saran dan pendapat yang jelas atas
pelaksanaan kegiatan perbankan syariah terutama terkait dengan
permasalahan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan syariah.
3. Pemerintah seharusnya memberikan jalan keluar berupa produk-produk
perundang-undangan dan/atau kebijakan-kebijakan dalam perbankan syariah
guna mendorong pertumbuhan kegiatan perbankan syariah.
3. Lembaga keuangan khususnya perbankan syariah, baik yang berupa unit
usaha syariah maupun bank syariah, hendaknya menelaah kembali substansi
standar akad-akadnya terutama mengenai pelaksanaan konversi/take over
utang dari fasilitas kredit konvensional menjadi fasilitas pembiayaan
syariah. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih antara akad satu
dengan akad lainnya yang pada prinsipnya bertentangan.
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
I. Buku
Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Cet.1. Bandung : PT
Refika Aditama, 2011.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta :
Gema Insani Press, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Black’s, Henry Campbell. Black Law Dictionary. St. Paul Minn : West Publishing
Co. 1990.
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2005.
Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan Indonesia. Cet.5. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2006.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan Jilid 2. Cet. 3. Jakarta : CV Indhill Co, 2009.
Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam
Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi). Bandung :
Mandar Maju, 2004.
Karim, Adiwarman A. Islamic Banking. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Universitas Indonesia
Lestari, Ahdiana Yuni dan Endang Heriyani. Dasar-Dasar Pembuatan Kontrak
dan Aqad. Yogyakarta : MocoMedia, 2009.
Nafis, M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). 2011.
Naja, H. R. Daeng. Akad Bank Syariah. Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.
Perwaatmadja, Karnaen et al. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta :
Kencana, 2005.
Purnamasari, Irma Devita dan Suswinarno. Akad Syariah. Bandung : Kaifa, 2011.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya. Cet.1. Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010.
Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank. Bandung : Alfabeta, 2004.
Subekti (1). Hukum Perjanjian. Cet.10. Jakarta : Intermaasa, 1986.
Subekti (2). Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia. Bandung : Alumni, 1982.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wiroso. Produk Perbankan Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT
Sardo Sarana Media, 2009.
II. Peraturan
Indonesia. Undang-undang Perbankan. UU No. 10 tahun 1998. LN No. 182
Tahun 1998. TLN No.3790.
Universitas Indonesia
________. Undang-undang Perbankan Syariah. UU No. 21 Tahun 2008. LN No.
94 Tahun 2008 TLN No. 4867.
____________. Undang-Undang Jaminan Fidusia. UU No. 42 Tahun 1999. LN
No. 168 Tahun 1999.
____________. Undang-undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64
Tahun 2008.
____________. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah. PBI No. 9/19/PBI/2007. LN No.165 Tahun
2007.
____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah. No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.
____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan
Unit Usaha Syariah. PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008.
LN No. 137 Tahun 2008.
Kementerian Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran
dan Kebangsaan Kapal. Permenhub No. 13 Tahun 2012.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH.,
dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradya Paramita, 2001.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. PERMA No. 2 tahun 2008.
Universitas Indonesia
III. Disertasi
Barlinti, Yeni Salma. ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia”. Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta, 2010.
IV. Internet
Kamus Bank Indonesia.
http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search
=False&rule=last. diakses tanggal 10 November 2012.
Hadist Riba. http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-
riba.htm#.UNxkXm83aQM. diakses tanggal 27 Desember 2012.
Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts
Available In Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In
Contemporary Islamic Finance. http://arzim.blogspot.com/2010/02/issues-
in-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html. diakses tanggal 29 Desember 2012.
LAMPIRAN
Lampiran 1 :Surat Persetujuan Hawalah
Lampiran 2 :
Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah