konversi fasilitas kredit pinjaman …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-t32562-rahma...

117
UNIVERSITAS INDONESIA KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BANK X) TESIS RAHMA ADHYATMIKA 1006829044 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI, 2013

Upload: votuyen

Post on 30-Jul-2018

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

UNIVERSITAS INDONESIA

KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH

(STUDI KASUS PADA BANK X)

TESIS

RAHMA ADHYATMIKA 1006829044

FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

SALEMBAJANUARI, 2013

Page 2: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

UNIVERSITAS INDONESIA

KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH

(STUDI KASUS PADA BANK X)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

RAHMA ADHYATMIKA 1006829044

FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

SALEMBAJANUARI, 2013

Page 3: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 4: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 5: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

iv Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Konversi Fasilitas

Kredit Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi

Kasus Pada Bank X)”. Penelitian tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program

Magister Kenotariatan Universitas Indonesia.

2. Ibu Dr. Yeni Salma Barlinti, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing, yang telah

meluangkan waktu dan pikiran di tengah kesibukan beliau untuk memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

3. Kedua orang tua dan mertua tercinta, yang tiada hentinya selalu mengirimkan

doa dan memberikan dukungan moril kepada penulis selama penulisan ini.

4. Suami tercinta, Prasetiyo, yang selalu memberikan support tiada hentinya

kepada penulis.

5. Kakak, kakak ipar dan adik-adik ipar serta para keponakan penulis, terima

kasih atas doanya.

6. Teman-teman penulis di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia 2010,

kelas Salemba, yang sudah bersedia menemani dan membantu penulis dalam

menyelesaikan penyusunan tesis ini.

Jakarta, 11 Januari 2013

Penulis

Page 6: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 7: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

vi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Rahma Adhyatmika

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul : Konversi Fasilitas Kredit Pinjaman Berjangka

Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi Kasus

Bank X)

Tesis ini membahas tentang pelaksanaan konversi fasilitas kredit Pinjaman

Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada Bank X. Penerapan

konversi ini terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-

undangan termasuk fatwa-fatwa DSN serta tumpang tindih dengan akad-

akad lainnya. Status hukum atas jaminan kredit/agunan berkaitan dengan

konversi tersebut tidak disesuaikan dengan prinsip syariah. Melalui

penelitian normatif dengan tipe penelitian evaluatif, diketahui tanggapan

mengenai ketidaksesuaian atas pelaksanaan konversi fasilitas kredit

Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah tersebut.

Selanjutnya, diharapkan para pelaku perbankan syariah dan notaris

memahami pelaksanaan pengalihan fasilitas kredit konvensional menjadi

fasilitas pembiayaan syariah.

Kata Kunci :

Konversi Syariah, Kredit Pinjaman Berjangka, Pembiayaan Syariah, Pengalihan

Utang

Page 8: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

vii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Rahma Adhyatmika

Study Program : Magister of Notary

Title : The Conversion of Term Loan Credit Facility

Into Sharia Financing Facility

(Case Study in Bank X)

The thesis discusses about the implementation of conversion from Term

Loan credit facility into sharia financing facility in Bank X. There is an

inappropriate implementation toward such conversion in connection with

the prevailing laws and regulation including Fatwa-Fatwa of National

Board of Sharia (DSN) and there is an overlap between its aqad with

others. Legal status of credit collateral related to such conversion is not in

accordance with the sharia principle. Through normative research method

with evaluative research type, it resulted in the inappropriate of

implementation of such conversion from Term Loan credit facility into

sharia financing facility. Furthermore, the sharia banking perpetrators and

notary are expected to understand the implementation of conversion of

conventional credit facility into sharia financing facility.

Key words :

Sharia Conversion, Term Loan, Sharia Financing, Loan Take Over

Page 9: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL iLEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS iiLEMBAR PENGESAHAN iiiKATA PENGANTAR ivLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vABSTRAK viABSTRACT viiDAFTAR ISIviiiDAFTAR GAMBAR xDAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Pokok Permasalahan 8

1.3. Metode Penelitian 9

1.4. Sistemika Penulisan 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 12

2.1. Tinjauan Umum Perkreditan 12

2.1.1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum

Perdata

12

2.1.2. Perjanjian Kredit Bank 14

2.1.3. Jenis Kredit 17

2.1.4. Jaminan Kredit Bank 19

2.1.5. Jaminan Kebendaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut 21

2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia 22

2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 24

2.1.6. Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) 27

2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah 28

Page 10: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah 28

2.2.1. Tinjauan Mengenai Riba 29

2.2.2. Tinjauan Mengenai Akad 30

2.2.3. Akad Perbankan Syariah 37

2.2.4. Produk Perbankan Syariah di Indonesia 40

2.2.4.1. Penghimpunan Dana 41

2.2.4.2. Penyaluran Dana 42

2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan 49

2.2.5. Rahn atau Gadai 53

2.3. Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah) 55

2.4. Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah 57

2.4.1. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama

Indonesia

57

2.4.2. Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang 59

2.4.3. Pinjaman Qardh 63

2.5. Notaris Sebagai Pejabat Umum 65

2.6. Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman

Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah

68

2.6.1. Kasus Posisi 68

2.6.2. Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X 70

2.7. Analisis Mengenai Kesesuaian Pelaksanaan Konversi Kredit

Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa

DSN

73

2.7.1. Tentang Hawalah 73

2.7.2. Tentang Qardh 76

2.7.3. Tentang Pengalihan Utang 78

2.7.4. Tentang Murabahah 79

2.7.5. Tentang Akta Notariil dan Peran Notaris 80

2.8. Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah

Diberikan Debitur PT ABC

82

Page 11: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

2.8.1. Lembaga Jaminan Fidusia 82

2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 84

2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut 84

BAB 3 PENUTUP 89

3.1 Simpulan 89

3.2 Saran 90

DAFTAR PUSTAKA 92

Page 12: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

x Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pengalihan Utang Alternatif Pertama 61

Gambar 2.2. Pengalihan Utang Alternatif Kedua 62

Gambar 2.3. Pengalihan Utang Alternatif Ketiga 63

Gambar 2.4. Pengalihan Utang Alternatif Keempat 63

Page 13: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

xi Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Persetujuan Hawalah;

2. Akta Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan

Murabahah.

Page 14: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelaksanaan take over fasilitas kredit dari produk perbankan konvensional

ke produk perbankan syariah terkadang belum dipahami oleh para pelaksana

perbankan konvensional maupun perbankan syariah serta belum diakomodir

dengan kesiapan akta notaris yang bersangkutan sehingga dapat menimbulkan

loop hole atas implementasi take over fasilitas kredit tersebut.

Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk

perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi

kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Di negara-negara

berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank dalam pemberian kredit

merupakan kegiatan bank yang sangat penting dimana sumber dana yang

disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan dana milik bank sendiri

tetapi dana yang berasal dari masyarakat.1

Kredit sendiri berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya atau

credo atau creditum yang berarti saya percaya. Dalam Black’s Law Dictionary

memberikan bahwa kredit adalah :

The ability of a business man to borrow money, or obtain goods ontime,

inconsequences of the favourable opinion held by particular lender, as to his

solvency and reliability.2

1 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, cet. 2, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 2.

2 Henry Campbell Black‟s, Black Law Dictionary, 6

th ed, (St. Paul Minn : West Publishing

Co, 1990), page 367.

Page 15: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

2

Universitas Indonesia

Mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11

mendefinisikan kredit adalah :

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.3

Di dalam pemberian kredit oleh suatu bank, sebelumnya dilakukan penilaian

atas permohonan kredit tersebut. Maksud penilaian terhadap permohonan kredit

tersebut adalah untuk meletakkan kepercayaan dan menghindari hal-hal yang

tidak diinginkan di kemudian hari bila kredit ternyata disetujui untuk diberikan.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam penilaian kredit terdiri atas :

1. Character (watak)

Bank harus meyakini bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik,

artinya menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan

kriminalitas.

2. Capital (modal)

Bank harus meneliti modal calon debitur selain besarnya juga

strukturnya untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitasnya.

3. Capacity (kemampuan)

Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur

dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.

4. Condition of Economic (kondisi ekonomi)

Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan bagi bank karena akan

berdampak baik secara positif atau negatif terhadap usaha calon debitur.

5. Collateral (jaminan)

Jaminan yang diberikan oleh calon debitur akan diikat suatu hak atas

jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.4

3 Indonesia, Undang-undang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998,

TLN No.3790, Ps. 1 angka 11.

4 Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian

Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), (Bandung : Mandar Maju, 2004), hal.16.

Page 16: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

3

Universitas Indonesia

Dalam perkembangan perbankan di dunia, khususnya pada negara-negara

Islam di Timur Tengah, maka hal tersebut berdampak positif pada perkembangan

dunia perbankan di Indonesia tentunya.5 Falsafah dasar perbankan syariah

mengacu kepada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, al-Hadits/as-

Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah

terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi

hasil secara adil sesuai prinsip syariah.7 Memenuhi rasa keadilan bagi semua

pihak dan memberikan mashlahat bagi masyarakat luas adalah misi utama

perbankan Islam. Dengan visi dan misi tersebut, maka setiap kelembagaan

keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Menjauhkan diri dari kemungkinan adanya unsur riba;

Penerapan dari ketentuan ini adalah dengan melakukan hal-hal sebagai

berikut pada setiap transaksi, yaitu :

i. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka suatu

hasil usaha.

ii. Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang

atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur

melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya

karena berjalannya waktu.

iii. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang

ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya.

iv. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan

atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara

sukarela.

2. Menerapkan prinsip sistem bagi hasil dan jual-beli;

Pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam menyediakan

sarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada

5 Karnaen Perwaatmadja et al, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana,

2005), hal. 17.

6 Ibid.

7 Ibid., hal. 18.

Page 17: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

4

Universitas Indonesia

sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan investasi

dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.8

Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki

persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,

teknologi komputer yang digunakan, dan syarat-syarat umum memperoleh

pembiayaan. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar antara bank

konvensional dan bank syariah. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu mengenai :

1. Akad dan aspek legalitas

Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi,

sebagai perjanjian antara sesama dalam hubungan muamalah, dan ukhrawi,

sebagai bentuk ketaatan serta kepatuhan kepada Allah SWT oleh para pihak

dalam pelaksanaan akad, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang

telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka.

Setiap akad dalam perbankan syariah haruslah memenuhi rukun-rukun dan

syarat-syarat dalam akad.

2. Lembaga penyelesaian sengketa

Jika pada perbankan syariah terdapat perselisihan antara bank dengan

nasabahnya, maka para pihak akan menyelesaikannya sesuai tata cara dan

hukum materi syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS). Sedangkan untuk perbankan konvensional pada

umumnya setiap permasalahan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

3. Struktur organisasi

Unsur organisasi yang cukup membedakan antara bank konvensional dan

bank syariah adalah keharusan ditambahkan adanya Dewan Pengawas

Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya

agar sesuai dengan prinsip syariah dimana levelnya sejajar dengan Dewan

Komisaris. Penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh

Rapat Umum Pemegang Saham setelah para anggota Dewan Pengawas

Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.

8 Ibid., hal. 19.

Page 18: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

5

Universitas Indonesia

4. Bisnis dan usaha yang dibiayai

Bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah.

Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang

terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan, yaitu apakah objek

pembiayaan halal atau haram, menimbulkan kemudharatan untuk

masyarakat, melanggar asusila, berkaitan dengan perjudian, berkaitan

dengan industri senjata illegal, atau proyek tersebut dapat merugikan syiar.

5. Lingkungan kerja dan corporate culture

Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan

dengan syariah, baik dalam hal etika, skillfull, reward and punishment, dan

cara berpakaian.yang merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam

lembaga keuangan syariah.9

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam

kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam

kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan

alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat

Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan

perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana

masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan

pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik

sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil

memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan

bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam

bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai

kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari

kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan adanya kedua

jenis perbankan tersebut di Indonesia diharapkan dapat menyediakan

beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan

skema keuangan yang lebih bervariatif. perbankan syariah menjadi

alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh

seluruh golongan masyarakat Indonesia. 10

Dengan melihat karakteristik perbankan syariah tersebut dan perbedaan-

perbedaan yang mendasar antara perbankan konvensional dengan perbankan

9 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, cet.1, (Jakarta : Gema

Insani Press, 2001), hal. 29 – 34.

10

“Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia,”

http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/, 03 Juli 2012.

Page 19: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

6

Universitas Indonesia

syariah, maka dalam perkembangannya sekarang ini banyak kalangan masyarakat

yang mengerti hal tersebut justru lebih memilih sistem perbankan syariah untuk

kegiatan investasi maupun kegiatan pembiayaannya. Namun adakalanya nasabah

yang telah menjadi debitur dari sistem riba pada bank konvensional beralih untuk

memilih menjadi debitur dari Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank konvensional

yang bersangkutan. Hal demikian dilakukan oleh debitur setelah

mempertimbangkan banyaknya keuntungan dari sisi ekonomi pada sistem

perbankan syariah terlepas dari permasalahan agama.

Dalam kerangka kredit tentu tidak terlepas dari perjanjian kredit atasnya.

Pada praktiknya, bentuk dan materi perjanjian kredit antara bank yang satu

dengan bank lainnya tidaklah sama, tetapi disesuaikan dengan kebutuhannya

masing-masing. Apabila berbicara mengenai perjanjian kredit tersebut, tidak

terlepas dari syarat sahnya kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a. sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri;

b. kecakapan untuk membuat suatu kontrak;

c. adanya suatu hal tertentu (objek tertentu); dan

d. adanya suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka perjanjian atau kontrak itu akan

berfungsi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya

serta untuk mengamankan transaksi bisnis yang tertuang dalam kontrak atau

perjanjian tersebut. Sehingga, perjanjian kredit tersebut haruslah memenuhi syarat

sahnya kontrak tersebut agar fungsi kontrak tersebut dapat tercapai.

Apabila dikaitkan dengan perbankan syariah, maka dalam konteks kontrak

yang dikenal adalah adanya akad/aqad. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, aqad adalah

kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat

adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip

syariah. Dalam hukum Islam untuk terbentuknya aqad yang sah dan mengikat

harus memenuhi rukun dan syarat akad. Dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah11

, rukun dan syarat akad hampir sama dengan syarat sahnya

perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut di atas. Rukun akad

11

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum Ekonomi

Syari’ah, PERMA Nomor 2 Tahun 2008.

Page 20: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

7

Universitas Indonesia

merupakan syarat penting yang harus ada dalam setiap akad. Tidak adanya salah

satu unsur dalam rukun akad dapat mengakibatkan batalnya suatu akad. Rukun

akad yang harus ada tersebut adalah : subjek akad (aqid), objek yang

diperjanjikan (al-ma’qud), dan sepakat yang dinyatakan (shighatul aqad atau ijab

qabul). Sedangkan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu akad meliputi :

a. syarat subjektif

subjek akad harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan sepakat

untuk membuat suatu akad.

b. syarat objektif

objek akad harus amwal atau halal dan harus merupakan barang yang secara

prinsip sudah dimiliki oleh pihak yang akan menyerahkan/menjualnya.12

Pada akad perbankan syariah tersebut juga dikenal dan menganut asas kebebasan

berkontrak seperti pada KUHPerdata, namun terdapat hal yang membedakannya

bahwa dalam akad tersebut tidak boleh mengandung unsur Maisir (spekulasi atau

judi), Gharar (tipu muslihat), Riba (bunga), dan Bathil (kejahatan). Dalam

perbankan syariah di Indonesia akad-akad yang digunakan telah disepakati oleh

sebagian besar ulama dan sesuai dengan ketentuan syariah untuk diterapkan dalam

produk dan instrument keuangan syariah yang ditawarkan kepada nasabah yang

meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional

dan jasa investasi. Dengan demikian dalam praktek perbankan dikenal berbagai

macam akad syariah sesuai dengan kebutuhannya pada kegiatan perbankan

syariah.

Banyaknya peralihan kredit atau yang dalam praktek perbankan dikenal

dengan istilah ”take over” atau konversi dari fasilitas kredit yang merupakan

produk perbankan konvensional menjadi fasilitas pembiayaan yang berbasis

perbankan syariah haruslah didukung dengan sumber daya manusia yang tentunya

mengerti hal-hal tersebut. Sumber daya manusia ini salah satunya adalah notaris

yang seyogyanya memahami skema take over atau konversi kredit tersebut dalam

bingkai produk perbankan konvensional dan produk perbankan syariah.

12

Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung : Kaifa, 2011), hal.8-

9.

Page 21: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

8

Universitas Indonesia

Salah satu debitur yang melakukan take over atau konversi kredit tersebut

adalah PT ABC yang bergerak di bidang usaha moda transportasi laut untuk

pengangkutan hasil tambang. Adapun terhitung sejak bulan Maret 2008, PT ABC

sebenarnya telah memperoleh fasilitas kredit dengan jenis fasilitas berupa

Pinjaman Berjangka I dan Pinjaman Berjangka II dari Bank X konvensional.

Namun demikian pada tahun 2010, PT ABC mengajukan permohonan kepada

Bank X konvensional dan Unit Usaha Syariah (“UUS”) Bank X untuk

mengkonversi kredit/take over fasilitas kredit dari BII konvensional ke UUS

BANK X. Dalam proses konversi kredit tersebut tentunya harus mengacu pada

prinsip-prinsip perbankan syariah baik yang tertuang dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku maupun fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan

Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), namun dalam prakteknya

proses konversi kredit PT ABC ini menurut penulis masih terdapat beberapa hal

yang kurang tepat dalam penggunaan prinsip-prinsip perbankan syariah. Pada

akhirnya, kekurangtepatan ini berpotensi menciptakan loop hole yang dapat

mengakibatkan cacat hukum pada akad-akad dan dokumentasi konversi kredit

tersebut serta berpotensi mempengaruhi kekuatan hukum pengikatan agunan PT

ABC.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat dirumuskan

pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas kredit

pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS

BANK X pada kasus debitur PT ABC?

2. Apakah pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada

Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X

pada kasus debitur PT ABC tersebut telah sesuai dengan implementasi

peraturan perundang-undangan yang terkait termasuk implementasi

Fatwa–Fatwa DSN?

3. Bagaimanakah status hukum atas jaminan kredit atau agunan yang telah

diberikan debitur PT ABC setelah terjadinya konversi/peralihan dari

Page 22: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

9

Universitas Indonesia

fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan

pada UUS BANK X?

1.3. Metode Penelitian

Guna memperoleh informasi dalam menunjang penelitian ini, maka metode

penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif. Dalam

penelitian yuridis normatif ini peneliti bermaksud untuk melakukan sinkronisasi

peraturan perundang-undangan secara horizontal atas pelaksanaan konversi/take

over kredit sebagaimana pada pokok permasalahan di atas dengan mengacu pada

Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2022 tentang Pengalihan Utang dan Fatwa

DSN Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah atas proses konversi/take

over kredit tersebut yang telah berjalan.

Tipologi penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini ditinjau dari

segi bentuknya adalah tipe penelitian evaluatif yang bertujuan untuk

mengevaluasi atas pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada

Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS Bank X yang telah

berjalan.

Karena penulisan tesis ini adalah suatu penelitian kepustakaan, maka data

yang digunakan adalah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, buku

dan disertasi mengenai hukum jaminan, hukum perdata, hukum perbankan dan

perbankan syariah khususnya yang bekaitan dengan konversi/take over dari

fasilitas kredit ke fasilitas syariah.

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan meliputi bahan hukum

primer, sekunder dan tertier, yaitu sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer adalah sumber hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan

adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor

42 tahun 1999, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,

KUHPerdata, Peraturan Bank Indonesia terkait dengan produk perbankan

Page 23: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

10

Universitas Indonesia

syariah, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam serta Fatwa DSN Nomor

31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang, Fatwa DSN Nomor

12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN Nomor 19/DSN-

MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh, Fatwa DSN Nomor 04/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN Nomor 11/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Kafalah, Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008

tentang Rahn Tasjily dan Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002

tentang Rahn.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan untuk

mengetahui informasi dan penerapan dari bahan hukum primer yang

diantaranya bertujuan untuk mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin dan

pendapat para ahli, terdiri dari :

a. Hasil-hasil penulisan yang telah ada sebelumnya mengenai fasilitas

kredit di bank konvensional dan fasilitas pembiayaan syariah di bank

syariah.

b. Kepustakaan (termasuk bahan dan hasil seminar atau diskusi) yang

berkaitan seputar fasilitas kredit di bank dan permasalahannya.

3. Bahan hukum tertier yang digunakan adalah kamus hukum yaitu Black’s

Law Dictionary serta kamus bahasa Inggris – Indonesia.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

dokumen yakni mencari dan mengumpulkan data sekunder berkaitan dengan

konversi/take over dari fasilitas kredit ke fasilitas syariah serta wawancara dengan

Legal Manager pada Bank X konvensional dan Legal Officer dari UUS Bank X

tersebut.

1.4. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan serta pemahaman pembaca terhadap tesis

ini maka penulis membaginya dalam tiga bab yang terdiri dari pendahuluan,

analisis hukum serta penutup.

Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diuraikan latar belakang masalah yang

menjadi dasar penelitian. Selanjutnya, berdasarkan latar belakang masalah

Page 24: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

11

Universitas Indonesia

tersebut dibuat pokok permasalahannya. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai

metode penelitian dan sistematika penulisan ini.

Pada bab kedua yaitu analisis hukum adalah membahas dari segi teori

dengan dikaitkan pada peraturan perundang-undangan serta fatwa-fatwa Dewan

Syariah Nasional, penelitian yang dilakukan dan analisis hukum itu sendiri terkait

dengan tema tesis ini yaitu mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas

kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK

X beserta pengikatan agunan kredit dalam kerangka pengalihan kredit tersebut.

Pada bab tiga yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan

diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab dua

sebelumnya. Sedangkan saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang

dibahas.

Page 25: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

12

Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Perkreditan

Perjanjian kredit termasuk dalam bentuk salah satu jenis perjanjian yang

dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur. Dengan

demikian erat kaitannya perjanjian kredit ini dengan pembahasan mengenai

perjanjian itu sendiri serta pemahaman mengenai jenis-jenis fasilitas kredit.

2.1.1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir dari

persetujuan/perjanjian dan undang-undang. Perjanjian merupakan salah satu

sumber perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sumber perjanjian

dari undang-undang ini masih terbagi menjadi undang-undang saja dan undang-

undang karena perbuatan manusia, baik perbuatan yang halal maupun perbuatan

melawan hukum.

Terhadap perikatan yang bersumber perjanjian dari undang-undang tidak

perlu dibahas lebih lanjut. Hal ini mengingat undang-undang tidak mensyaratkan

terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata karena jenis perikatan ini terlepas dari keinginan dan kesepakatan

para pihak.

Menurut Prof. R. Subekti, SH., mengenai definisi perjanjian :

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.13

13

Subekti (1), Hukum Perjanjian, cet.10, (Jakarta : Intermaasa, 1986), hal.1.

Page 26: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

13

Universitas Indonesia

Dari rumusan definisi tersebut terdapat hubungan hukum diantara dua pihak yang

dikenal dengan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian berupa rangkaian

perkataan atau kalimat yang mengandung janji atau kesanggupan yang dibuat

dalam tulisan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah

suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau

suatu peristiwa.14

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

dimana unsur-unsur syarat tersebut yaitu :

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.15

Syarat pertama dan syarat kedua dari pasal tersebut dinamakan syarat-syarat

subyektif dimana apabila salah satu atau kedua dari syarat subyektif tersebut tidak

terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam

perjanjian dimaksud. Untuk syarat ketiga dan syarat keempat tersebut dinamakan

syarat-syarat obyektif. Syarat obyektif disini diartikan bahwa jika salah satu atau

kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi

hukum.16

Apabila syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam

pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat 1

KUHPerdata, perjanjian tersebut dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum

yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.17

14

Sutarno, op.Cit., hal.74.

15

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH., dan R.

Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradya Paramita, 2001), pasal 1320.

16

Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.25.

17

Ibid.

Page 27: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

14

Universitas Indonesia

2.1.2. Perjanjian Kredit Bank

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Pasal 1 butir

11 mendefinisikan kredit adalah :

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18

Namun dalam undang-undang tersebut tidak merumuskan pengertian perjanjian

kredit itu sendiri. Oleh karenanya perlu dijabarkan pengertian perjanjian kredit

yang diutarakan oleh Prof. R. Subekti yang berpendapat :

Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya

itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam

sebagaimana diatur oleh KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal

1769.19

Namun pendapat berlainan disampaikan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa

perjanjian kredit memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam-

meminjam, dimana perbedaan tersebut terletak pada :

a. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama

yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian

kredit yang dengan jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak

dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang

konsensual sifatnya.

b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat

digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh

nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang pada

perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus

digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan

pemakaian yang menyimpang daari tujuan itu menimbulkan hak bank

untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak dan seketika

itu juga menagih seluruh outstanding kredit.

18

Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit.

19

Subekti (2), Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung:

Alumni, 1982), hal.13.

Page 28: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

15

Universitas Indonesia

c. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman

uang biasa adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank

hanya dapat digunakan menurut cara tertentu. Pada perjanjian

peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya

oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan

bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu.20

Namun sarjana hukum lain berpendapat bahwa perjanjian kredit itu memiliki

identitas dan karakteristik sendiri dimana sebagian dikuasai atau mirip dengan

perjanjian peminjaman uang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan sebagian

lain tunduk pada peraturan perbankan.21

Mengenai definisi perjanjian kredit, dalam Undang-Undang Perbankan tidak

terdapat ketentuan mengenai definisi perjanjian kredit maupun bentuk bakunya.

Namun praktek perbankan berpedoman pada ketentuan-ketentuan berikut :

1. Instruksi Presidium Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di

Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat Edaran Bank

Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober

1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6

Februari 1967 yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan

pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit

yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank

lainnya.

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB masing-masing tanggal

31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan

Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit

yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam

perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.22

20

Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.31.

21

Sutarno, op.Cit., hal. 96.

22

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003), hal.263-264.

Page 29: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

16

Universitas Indonesia

Dengan mengacu pada definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik

dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil.

Perjanjian kredit bank sebaiknya memuat klausula-klausula sebagai berikut :

1. ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, di antaranya tentang

jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit

dan batas izin tarik;

2. suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian

kredit;

3. kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau

rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan

bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk

pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima kredit;

4. representation dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas

pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna

pelunasan kredit;

5. condition precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus

dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit

untuk pertama kalinya;

6. agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan;

7. affirmative dan negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan

pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian

kredit;

8. tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelematan

kredit;

9. event of default/wanprestasi/cidera janji, yaitu tindakan-tindakan bank

sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan

menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul;

10. pilihan domisili/forum/hukum apabila terjadi pertikaian di dalam

penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit;

Page 30: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

17

Universitas Indonesia

11. ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan

perjanjian kredit.23

Akan tetapi dalam praktik perbankan saat ini, terkadang bentuk dan materi

perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank yang lainnya tidaklah sama.

Hal tersebut mengingat adanya perbedaan kebutuhan dan pertimbangan dari

masing-masing bank.

2.1.3. Jenis Kredit

Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu pada kriteria

tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis kredit bermula dari klasifikasi yang

dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara

efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis

kredit yang didasarkan pada :

1. Jenis Kredit Menurut Kelembagaan

Kelembagaan disini dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan

pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana

kredit itu sendiri, yang terbagi :

a. Kredit perbankan

Jenis kredit ini diberikan oleh bank milik negara atau bank swasta

kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan untuk konsumsi.

b. Kredit likuiditas

Kredit ini diberikan oleh bank sentral kepada bank yang beroperasi di

Indonesia untuk membiayai kegiatan perkreditannya.

c. Kredit langsung

Kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah

atau semi pemerintah namun saat ini sudah tidak dapat dilakukan lagi

sejak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia.

d. Kredit (pinjaman antarbank)

Kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang

kekurangan dana.

23

Ibid., hal.273.

Page 31: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

18

Universitas Indonesia

2. Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu

a. Kredit jangka pendek (short term loan)

Kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuk kredit ini

dapat berupaa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli

dan kredit wesel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja.

b. Kredit jangka menengah (medium term loan)

Kredit yang berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun yang

bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.

c. Kredit jangka panjang

Kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun yang bertujuan

menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan

rehabilitasi, ekspansi usaha dan pendirian proyek baru.

Sedangkan fasilitas kredit pinjaman berjangka yang menjadi studi kasus dalam

penulisan ini didefinisikan sebagai pinjaman benjangka menengah atau panjang

yang diberikan kepada debitur untuk membiayai investasi dan atau modal kerja

(term loan).24

3. Jenis Kredit Menurut Penggunaan Kredit

a. Kredit konsumtif

Kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang

diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan

konsumsinya untuk keperluan sehari-hari.

b. Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi

Kredit yang digunakan untuk pembiayaan modal tetap serta membiayai

rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru.

c. Perpaduan kedua jenis kredit diatas.

4. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen

a. Kredit ekspor

24

Kamus Bank Indonesia,

http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search=False&rule=last,

diakses tanggal 10 November 2012.

Page 32: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

19

Universitas Indonesia

Kredit untuk membiayai kegiatan investasi dan modal kerja yang

diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada eksportir dan atau

pemasok.

b. Kredit impor

Unsur dan ruang lingkup dari kredit impor pada prinsipnya sama dengan

kredit impor.

5. Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha

a. kredit kecil

kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai

pengusaha kecil.

b. kredit menengah

kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar

daripada pengusaha kecil.

c. kredit besar

dalam pelaksanaan pemberian kredit besar ini bank dengan melihat

risiko yang besar juga sehingga dikucurkan dalam kredit sindikasi atau

konsorsium.

6. Jenis Kredit Menurut Jaminannya

a. Kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan)

Pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik).

b. Kredit dengan jaminan (secured loan)

Pemberian kredit yang menyertakan jaminan tambahan atau agunan

misalnya berupa tanah, bangunan atau alat-alat produksi.25

2.1.4. Jaminan Kredit Bank

Dalam Undang-undang Perbankan tidak mengenal definisi jaminan kredit

seperti yang umumnya kita kenal. Pada Pasal 1 angka 23 Undang-undang

Perbankan mendefinisikan Agunan sebagai :

Jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam

rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah.26

25

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.5, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,

2006), hal.482 – 489.

Page 33: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

20

Universitas Indonesia

Dalam Pasal 1 angka 26 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

(UU Perbankan Syariah) mengartikan Agunan yang bermakna sama dengan

definisi tersebut di atas, yaitu :

Jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah

dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima

Fasilitas.27

Sedangkan jaminan itu sendiri dalam Penjelasan pasal 8 ayat 1 UU Perbankan

dijabarkan sebagai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan si nasabah

penerima kredit untuk melunasi kewajibannya sesuai yang telah ditentukan. Untuk

memperoleh keyakinan tersebut, maka bank akan menilai calon nasabah penerima

kredit terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon

nasabah penerima kredit. Namun dalam penulisan ini tidak terdapat perbedaan

istilah yang akan digunakan karena hanya bertujuan untuk mempermudah

pemahaman.

Kegunaan jaminan kredit adalah untuk :

a. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari

agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar

kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit;

b. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai

usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya

dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah;

c. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah

disetujui.28

Dengan demikian bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk menjamin

pelunasan utang debitur apabila debitur cidera janji atau pailit.

Jaminan kredit bank dapat digolongkan menjadi sebagai berikut :

1. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian

26

Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit., Pasal 1 angka 23.

27

Indonesia, Undang-undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun

2008, TLN No. 4867, Pasal 1 angka 26. 28

Rachmadi Usman, op.cit., hal.286.

Page 34: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

21

Universitas Indonesia

Jaminan jenis ini dilihat dari lahirnya jaminan apakah dari undang-undang

atau perjanjian. Contoh jaminan dari undang-undang adalah hak priviledge

dan hak retensi. Sedangkan contoh jaminan dari perjanjian adalah gadai,

Hipotek, hak tanggungan dan fidusia.

2. Jaminan umum dan jaminan khusus

Dalam jaminan umum semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama

dimana pelunasan utangnya dibagi secara seimbang berdasarkan besar

kecilnya jumlah tagihan masing-masing kreditur dibandingkan dengan

jumlah keseluruhan utang debitur dimana adanya jaminan ini ditentukan dan

ditunjuk oleh undang-undang berdasar pada pasal 1131 KUHPerdata.

Namun bentuk jaminan umum ini tidak menguntungkan kreditur. Hal

demikian diperlukan adanya penyerahan harta kekayaan tertentu milik

debitur untuk diikat secara khusus sebagai pelunasan utang debitur. Bentuk

jaminan tersebut adalah jaminan khusus dimana kreditur memiliki

kedudukan yang diistimewakan atau didahulukan dari kreditur lainnya.

3. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu

benda, selalu mengikuti benda yang menjadi objek jaminan tersebut, dapat

dialihkan serta dapat dipertahankan terhadap siapapun. Pengikatan jaminan

kebendaan ini dapat melalui lembaga gadai, fidusia, Hipotek dan hak

tanggungan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang

menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu dan hanya dapat

dipertahankan terhadap debitur tertentu. Contoh dari jaminan perorangan

adalah personal guarantee, corporate guarantee dan bank guarantee.

4. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak

Penggolongan jaminan ini didasarkan pada objek bendanya.

5. Saham sebagai agunan tambahan.29

2.1.5. Jaminan Kebendaaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut

Dalam penulisan ini lembaga jaminan yang dititikberatkan adalah lembaga

jaminan Fidusia dan Hipotek atas kapal laut. Hal ini dikaitkan dengan kasus yang

29

Ibid, hal. 287-289.

Page 35: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

22

Universitas Indonesia

ada dimana jaminan yang diberikan debitur sebagian besar adalah kapal-kapal dan

piutang/account receivables.

2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia

Mengacu pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia (UUJF) pada Pasal 1 angka 1 didefinisikan pengertian dari Fidusia

sebagai :

Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

dalam penguasaan pemilik benda.30

Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2 UUJF yang dinamakan Jaminan Fidusia

adalah :

Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam

penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia

terhadap kreditur lainnya.31

Melihat dari definisi Jaminan Fidusia maka yang dijadikan objek

jaminannya adalah benda berwujud maupun benda tidak berwujud, terdaftar

maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak dimana benda-benda

dimaksud dapat dimiliki dan hak kepemilikannya dapat dialihkan. Dikaitkan

dengan perkembangan saat ini maka banyak kreditur yang menjadikan piutang

dagangnya dijadikan jaminan pelunasan kreditnya. Dalam Pasal 9 UUJF

memberikan kemudahan mengenai hal tersebut bahwa Jaminan Fidusia dapat

diberikan terhadap satu atau lebih jenis benda termasuk piutang, baik yang telah

ada pada saat jaminan diberikan atau piutang yang diperoleh kemudian.

30

Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LN No. 168 Tahun

1999, pasal 1 angka 1.

31

Ibid., pasal 1 angka 2.

Page 36: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

23

Universitas Indonesia

Selanjutnya, terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang

diperoleh kemudian tersebut tidak diperlukan perjanjian jaminan tersendiri

mengingat sudah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut. Hal ini

menegaskan bahwa UUJF menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal

ihwal benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang.32

Hak Jaminan Fidusia ini dapat terjadi melalui proses sebagai berikut :

a. Adanya janji antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia untuk serah

terima benda yang menjadi Jaminan Fidusia yang dicantumkan dalam

perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya.

b. Dilanjutkan dengan perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang dibuat

notariil yang merupakan Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud

pasal 5 ayat 1 UUJF.

c. Setelah adanya Akta Jaminan Fidusia tersebut, maka tahap terakhirnya

adalah dilakukan Pendaftaran atas benda Jaminan Fidusia tersebut di

Kantor Pendaftaran Fidusia untuk dicatat dalam Buku Daftar Fidusia.

Lahirnya Jaminan Fidusia tersebut adalah pada saat dicatat di Buku Daftar

Fidusia dengan diterbitkannya pula Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan

pendaftaran tersebut maka memberikan perlindungan dan kepastian

hukum bagi pemberi dan penerima Fidusia serta pihak ketiga yang

berkepentingan termasuk hak yang didahulukan terhadap kreditur lain bagi

penerima Fidusia.33

Pada Pasal 17 UUJF ditegaskan larangan diadakannya Fidusia ulang

terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Tidak

dimungkinkannya Fidusia ulang baik oleh debitur maupun pemilik jaminan pihak

ketiga mengingat hak milik atas benda tersebut telah beralih kepada Penerima

Fidusia.

Oleh karena Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari

perjanjian pokoknya sebagaimana diatur Pasal 4 UUJF, maka hapusnya Jaminan

Fidusia menurut Pasal 25 UUJF adalah karena :

32

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid 2,

cet. 3, (Jakarta : CV Indhill Co, 2009), hal. 71-72.

33

Ibid., hal. 86.

Page 37: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

24

Universitas Indonesia

a. pada saat hapusnya hutang pokok dikarenakan pelunasan dengan bukti

keterangan yang dibuat kreditur;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia;

c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, namun dengan

musnahnya barang ini tidak menghapuskan klaim asuransi atas barang

tersebut sebagai pengganti objek Jaminan Fidusia.34

Setelah hapusnya Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka Penerima Fidusia

memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan

pernyataan mengenai hapusnya Jaminan Fidusia tersebut. Atas pemberitahuan

tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari

Buku Daftar Fidusia kemudian menerbitkan surat keterangan yang menyatakan

Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut

Hipotek pada awalnya diatur dalam KUHPerdata pada Buku II Bab XXI

Pasal 1162 sampai 1232. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang

Pelayaran Nomor 21 Tahun 1992 dan yang terakhir diubah dengan Undang-

undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Kapal Laut dengan bobot 20 m3

(dua puluh meter kubik) keatas dapat dijadikan jaminan Hipotek.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 (UU Pelayaran) yang

dimaksud dengan Hipotek Kapal adalah

Hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan

uttang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur tertentu terhadap kreditur lain.35

Umumnya lembaga jaminan lainnya, Hipotek mempunyai sifat dari hak

kebendaan pada umumnya antara lain :

1. Accessoir, bahwa Hipotek ini merupakan perjanjian tambahan yang

tergantung pada perjanjian pokok hutang-piutangnya.

34

Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, op.cit., pasal 25. 35

Indonesia, Undang-undang Pelayaran, UU No. 17 tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, pasal

1 angka 12.

Page 38: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

25

Universitas Indonesia

2. Absolut, hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun.

3. Droit de suite, hak tersebut senantiasa mengikuti bendanya di tangan

siapapun benda tersebut berada.

4. Droit de Preference, seseorang mempunyai hak untuk didahulukan

pemenuhan piutangnya diantara orang berpiutang lainnya.36

Namun terhadap penerapan sifat Hipotek Droit de Preference ini dalam UU

Pelayaran dibatasi oleh Piutang Pelayaran yang Didahulukan dimana Piutang

Pelayaran ini wajib dilunasi lebih dahulu dari eksekusi kapal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 65 UU Pelayaran. Dalam Pasal 1 angka 13 UU Pelayaran

mendefinisikan Piutang Pelayaran yang Didahulukan sebagai :

Tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal

mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.37

Kapal yang dapat dijadikan jaminan utang melalui lembaga Hipotek adalah

kapal yang telah terdaftar dalam Daftar Kapal Indonesia. Pembebanan Hipotek ini

dilakukan dengan pembuatan akta hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar

Induk Pendaftaran Kapal. Atas 1 (satu) akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse

Akta Hipotek untuk penerima hipotek. Grosse akta hipotek ini mempunyai

kekuatan eksekutorial dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hipotek.38

UU Pelayaran membolehkan pembebanan 1 (satu) kapal untuk lebih dari 1

(satu) hipotek. Dengan demikian, pemeringkatan masing-masing hipotek ini

ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipoteknya.39

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran

Dan Kebangsaan Kapal (Permenhub Pelayaran) mengatur secara teknis UU

Pelayaran secara khusus mengenai penghapusan (roya) Hipotek dan pengalihan

hipotek atas kapal. Dalam Pasal 29 Permenhub Pelayaran diatur bahwa untuk

36

Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 95 -96.

37

Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 1 angka 13.

38

Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 60.

39

Ibid., pasal 61.

Page 39: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

26

Universitas Indonesia

dilakukan pembebanan hipotek atas kapal, maka pemilik kapal atau penerima

hipotek kapal atas kuasa dari pemilik kapal mengajukan permohonan kepada

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan disertai perjanjian kredit

dan asli grosse akta pendaftaran kapal / grosse akta baliknama kapal. Selanjutnya,

apabila kelengkapan persyaratan pembebanan hipotek kapal telah terpenuhi maka

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta hipotek kapal.40

Dalam UU Pelayaran dan peraturan pelaksananya, khususnya pasal 33

Permenhub Pelayaran diatur mengenai adanya pengalihan hipotek atas kapal.

Setiap pengalihan hipotek atas kapal tersebut harus dilakukan dengan pembuatan

akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama

Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal.

Permohonan pengalihan tersebut dengan disertakan bukti pengalihan hipotek,

grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal serta grosse akta

hipotek kapal. Apabila persyaratan untuk pengalihan tersebut terpenuhi, maka

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta pengalihan

hipotek kapal.41

Apabila perjanjian hutang-piutang tersebut telah lunas, maka atas kapal yang

dijaminkan tersebut dapat dilakukan pencoretan hipotek (roya) oleh Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dimana permintaan tertulisnya dari

penerima hipotek. Namun bila permintaan roya tersebut diajukan oleh pemberi

hipotek, maka permintaan pencoretan dengan melampirkan surat persetujuan

pencoretan dari penerima hipotek.42

Berdasarkan pasal 38 ayat 1 Permenhub Pelayaran, pencoretan hipotek

(roya) tersebut dapat dilakukan berdasarkan :

a. Permohonan penerima hipotek atas kapal atau penerima pengalihan

hipotek atas kapal;

b. Permohonan pemberi hipotek atas kapal;

40

Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran dan

Kebangsaan Kapal, Permenhub No. 13 tahun 2012 pasal 29.

41

Ibid., pasal 33.

42

Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 63.

Page 40: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

27

Universitas Indonesia

c. Penetapan Pengadilan Negeri atau putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pencoretan hipotek tersebut dilakukan dengan membuat catatan mengenai

berakhirnya pembebanan atas hipotek kapal dimaksud yang selanjutnya catatan

tersebut disalin ke grosse akta hipotek kapal. Grosse akta hipotek kapal tersebut

dikembalikan kepada pemilik kapal bersama dengan grosse akta pendaftaran

kapal atau grosse akta baliknama kapal. Hal mengenai pencoretan hipotek ini

mengacu pada pasal 39 Permenhub Pelayaran.43

2.1.6. Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)

Jaminan perorangan merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan

langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak

untuk didahulukan pada benda-benda tertentu, karena harta kekayaan pihak ketiga

tersebut hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan

borgtocht. Penanggungan menurut Pasal 1820 KUHPerdata adalah :

Suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan si berhutang

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini

sendiri tidak memenuhinya.44

Selanjutnya Pasal 1822 KUHPerdata menyatakan :

1. Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun

dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatan si berutang.

2. Penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya

atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk

lebih dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka

perikatan itu tidak sama sekali batal melainkan ia adalah hanya untuk apa

yang diliputi oleh perikatan pokoknya.45

43

Kementerian Perhubungan, Permenhub Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, pasal 39.

44

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, op.cit., pasal 1820.

45

Ibid., pasal 1822.

Page 41: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

28

Universitas Indonesia

Dengan demikian, untuk jumlah yang kurang, maka perikatan dapat

dilangsungkan. Sedangkan apabila lebih besar dari jumlah yang ditentukan maka

tidak mengakibatkan batalnya perikatan karena perikatan itu tetap sah hanya saja

terbatas pada jumlah yang telah disyaratkan dalam perjanjian pokok. Jika debitur

wanprestasi, maka kewajiban memenuhi prestasi dari si penanggung dicantumkan

dalam perjanjian tambahannya (perjanjian accessoir) bukan dalam perjanjian

pokok sebab tujuan dan isi penanggungan adalah memberikan jaminan pokok,

artinya adanya penanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya.46

Dengan demikian, ciri-ciri jaminan perorangan adalah :

a. Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;

b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

c. Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan utang, misalnya

borgtocht;

d. Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau

keseimbangan (konkuren);

e. Apabila terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan

dibagi di antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-

masing.47

2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah

Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiaan usaha berdasarkan

prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan

pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau

kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam menjalankan

usahanya bank syariah menggunakan pola bagi hasil yang merupakan landasan

utama dalam kegiatan dan produk perbankannya. Produk-produk bank syariah

mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena

adanya pelarangan riba, gharar dan maysir yang harus dihindarinya.

46

Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 14.

47

Ibid., hal. 17 – 18.

Page 42: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

29

Universitas Indonesia

Sistem perbankan di Indonesia diatur dalam UU Perbankan yang

menjelaskan bahwa perbankan di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu bank umum

dan bank perkreditan rakyat. Kedua jenis bank tersebut melaksanakan kegiatan

konvensional atau syariah. Hal ini berarti bahwa Indonesia menganut sistem

perbankan ganda (dual banking system). Semenjak itu bank syariah mulai tumbuh

pesat di Indonesia dalam bentuk bank umum syariah atau unit usaha syariah. Bank

syariah adalah bank yang menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya

dengan menggunakan pola bagi hasil sebagai landasan utamanya.

2.2.1. Tinjauan Mengenai Riba

Dalam ekonomi Islam, Allah SWT. telah mengatur dalam Al-Quran

tentang pengharaman riba, yaitu dalam Al-Baqarah : 275 yang artinya :

Dan Aku halalkan bagimu jual beli, dan Aku haramkan bagimu riba…

Allah SWT. juga telah memberikan isyarat buruknya riba di dalam surat Ar-Rum :

39 yang artinya :

Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta

manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang

kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang

melipatgandakan (pahalanya).

Riba yang disebut di atas merupakan kata yang terdeviasi dari kata raba yang

berarti zada, bertambah. Menurut syara‟ riba berarti kelebihan dari nilai tukar

yang disyaratkan kepada salah seorang dari dua orang yang bertransaksi. Keadaan

pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi membedakan antara

yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dan mudarat, antara yang

dibolehkan Allah SWT dan yang dilarang sehingga mereka mengatakan jual beli

itu sama dengan riba. Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa Dia

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.48

48

H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal. 2 dan 5.

Page 43: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

30

Universitas Indonesia

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang

memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan

beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Adapun makna orang

yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang

yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam

Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua

orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga

pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan.49

Riba ini dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul

dari perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis yaitu riba karena

pertukaran barang sejenis tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl) dan riba

karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan

jangka waktu (riba nasiah).50

Riba dayn berarti tambahan, yaitu pembayaran premi atas setiap jenis

pinjaman dalam transaksi utang-piutang maupun perdagangan yang harus

dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian

pokok yang ditetapkan sebelumnya. Secara teknis riba berarti pengabilan

tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil karena pemilik dana

mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yan dipinjam tanpa

memperhatikan apakah peinjam mendapat keuntungan atau mengalami

kerugian.51

2.2.2. Tinjauan Mengenai Akad

Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan

perjanjian yaitu al-aqdu (artinya akad) dan al-’ahdu (artinya janji). Pengertian

akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Kata ikatan (al-rabth) maksudnya

adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah

satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali

49

Hadist Riba, http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-riba.htm#.UNxkXm83aQM,

diakses tanggal 27 Desember 2012. 50

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 13.

51

Ibid.

Page 44: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

31

Universitas Indonesia

yang satu. Kata al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam

KUHPerdata. Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah

perjanjian atau overkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk

mengerjakan sesuatu yang tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan

orang lain.52

Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., bahwa akad adalah :

1. keterkaitan atau pertemuan ijab dan Kabul yang berakibat timbulnya

akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu

pihak dan Kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra

akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.

Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak

tidak terkait satu sama lain;

2. pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan

kabul yang menyatakan kehendak pihak lain;

3. tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Akibat

hukum akad dalam hukum Islam disebut hukum akad.53

Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) saat ini digunakan oleh para

hakim sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah.

Berdasarkan Buku II Tentang Akad dalam KHES, Akad diartikan sebagai

Kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk

melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.54

Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 pasal 1 angka 7 didefinisikan akad sebagai :

kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang

memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai

dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.55

52

Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta :

Kencana, 2005), hal. 3.

53

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih

Muamalat, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal.68-69.

54

Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 20 angka 1.

55

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam

Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, PBI

No. 9/19/PBI/2007, LN No.165 Tahun 2007, pasal 1 angka 7.

Page 45: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

32

Universitas Indonesia

Seperti dalam hukum perikatan dalam KUHPerdata mengenal beberapa

asas, maka dalam hukum perikatan Islam ini untuk melaksanakan suatu akad

haruslah didasarkan oleh asas-asas berikut :

a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak,

terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak

lain.

b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak

sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan

pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.

c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang

matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

d. luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan

perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau

maisir.

e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi

kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan

merugikan salah satu pihak.

f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan

yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para

pihak secara terbuka.

h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para

pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang

bersangkutan.

i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi

kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya

sesuai dengan kesepakatan.

j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan,

tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh

hukum dan tidak haram.56

Selanjutnya, KHES menentukan bahwa rukun-rukun akad terdiri dari :

a. pihak-pihak yang berakad

Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan

usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum;

b. obyek akad

56

Ibid., pasal 21.

Page 46: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

33

Universitas Indonesia

amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-

masing pihak;

c. tujuan-pokok akad

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-

masing pihak yang mengadakan akad;

d. kesepakatan.57

Sedangkan syarat dalam akad ada 4 (empat), yaitu :

1. syarat berlakunya akad (In’iqod), syarat ini terbagi dari yang umum dan yang

khusus. Syarat In’iqod umum berarti syarat yang harus ada dalam setiap akad,

seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shighat akad.

Sedangkan syarat In’iqod khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-

akad tertentu, misalnya 2 orang saksi.

2. syarat sahnya akad (Shihah), yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar

akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan syariat

Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

3. syarat terealisasikannya akad (Nafadz), yang terdiri dari 2 (dua) yaitu

kepemilikan barang atas hak penggunaannya dan wilayah.

4. syarat Lazim, dimana akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.58

Dalam pelaksanaan setiap akad maka wajiblah tidak boleh mengandung unsur

gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan maksiat.

Terdapat 2 (dua) prinsip dasar dalam ajaran Islam, yang pertama mengenai

ibadah bahwa segala sesuatu adalah dilarang sepanjang hal-hal yang telah

diperbolehkan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi mengenai bidang muamalat

diatur bahwa segala sesuatu adalah diperbolehkan sepanjang hal-hal yang dilarang

dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karenanya dalam kenyataan bermuamalat bahwa

segala transaksi adalah diperbolehkan kecuali transaksi yang dianggap melanggar

hukum.

Transaksi yang melanggar hukum disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

1. Melanggar hukum dikarenakan objek yang ditransaksikan adalah terlarang

Suatu transaksi dikategorikan melanggar hukum dikarenakan objek yang

ditransaksikan, baik barang atau jasa, adalah terlarang. Contoh objek yang

57

Ibid., pasal 22 – pasal 25.

58

Ascarya, op.cit., hal. 35.

Page 47: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

34

Universitas Indonesia

terlarang adalah minuman beralkohol, babi atau bangkai. Walaupun suatu akad

untuk pembelian minuman alkohol tersebut sah, namun tetap transaksi tersebut

merupakan tranksaksi yang melanggar hukum.

2. Melanggar hukum dikarenakan alasan external

a. Tadlis

Dalam Islam, setiap tranksasi harus berdasarkan keridhoan dari kedua

belah pihak dimana kedua belah pihak memiliki informasi yang lengkap

atas transaksi yang akan dilakukan. Oleh karenanya, tidak ada salah satu

pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain menyembunyikan

informasi yang seharusnya diberitahu kepada pihak lain tersebut. Keadaan

menyembunyikan informasi tersebut dinamakan Tadlis. Tadlis ini terdiri

dari 4 (empat) dimensi, yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu.

b. Taghrir (Gharar)

Gharar disini adalah situasi dimana adanya ketidakjelasan dalam

transaksi yang dilakukan diantara para pihaknya. Gharar disini hampir

sama dengan Tadlis namun perbedaannya dalam Gharar para pihak yang

bertransaksi dalam posisi ketidakjelasan sehingga dapat merugikan para

pihak, sedangkan Tadlis hanya satu pihak yang dirugikan. Gharar ini

dapat terjadi dalam 4 (empat) dimensi seperti pada Tadlis yaitu kuantitas,

kualitas, harga dan waktu.

c. Ikhtikar

Ikhtikar ini umumnya hampir dipersamakan dengan bentuk monopoli

dalam suatu persaingan usaha dengan menciptakan penghalang bagi

pemain baru sehingga pasar tersebut tetap dikuasai oleh pemain lama.

Ikhtikar ini dapat terjadi apabila salah satu atau lebih hal-hal berikut

terpenuhi, yaitu :

a) menciptakan kelangkaan atas suatu barang, baik melalui

penyimpanan maupun dipersulit untuk masuknya barang tersebut;

b) menjual dengan harga yang lebih tinggi atas barang yang langka

tersebut dari harga normalnya;

c) mengambil keuntungan berlipat (pencatutan) apabila kedua hal di

atas tidak tercapai.

Page 48: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

35

Universitas Indonesia

d. Bai’ Najasy

Pelanggaran disini terjadi ketika pembeli atau produsen melakukan

permainan harga dengan membuat permintaan palsu atas suatu barang

sehingga tercipta harga baru yang lebih tinggi dari harga normal.

Pelanggaran disini umumnya terlihat pada pasar bursa yang sering terjadi

“goreng saham” oleh para pemain bursa untuk menciptakan harga yang

lebih tinggi agar menguntungkan pihak-pihak tertentu.

e. Riba

Riba ini terbagi atas Riba Fadl, Riba Nasi’ah dan Riba Jahiliyah. Riba

Fadl dapat dijumpai dalam transaksi jual beli mata uang yang tidak

dilakukan secara tunai. Untuk Riba Nasi’ah umumnya terjadi pada

pembayaran bunga atas kredit yang kita miliki atau juga pendapatan

bunga dari tabungan, deposito atau giro. Sedangkan untuk Riba Jahiliyah

terjadi pada pengenaan bunga dari kartu kredit dikarenakan tidak

dilakukan pembayaran penuh atas tagihan tersebut.

f. Maysir (Penjudian)

Secara singkat Maysir disini adalah permainan yang hasilnya dimana

salah satu pihak terbebani oleh tanggung jawab pihak lainnya.

g. Risywah (penyuapan)

Pelanggaran disini terjadi karena tindakan salah satu pihak yang

memberikan sesuatu yang bernilai yang bertujuan si pihak pemberi

tersebut memperoleh sesuatu yang bukan haknya.

3. Kontrak yang tidak sah

Penyebab lain yang dapat membatalkan akad adalah hal-hal berikut :

a. tidak terpenuhinya Rukun dan Syarat akad;

Rukun adalah hal yang penting untuk dipenuhi agar suatu transaksi dapat

berjalan. Apabila dalam kontrak tidak memenuhi Rukun, maka kontrak

tersebut dapat dibatalkan. Disamping Rukun, faktor yang harus ada

dalam kontrak adalah Syarat. Syarat ini untuk melengkapi dari Rukun itu

sendiri. Dalam suatu kasus, suatu Rukun terpenuhi namun Syarat untuk

pelaksanaan akad tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi atas akad

tersebut adalah fasad (cacat). Hal tersebut sesuai dengan Mazhab Hanafi.

Page 49: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

36

Universitas Indonesia

Dalam pelaksanaannya, Syarat harus dibedakan dengan Rukun, hal

tersebut dengan tidak melakukan hal-hal berikut :

1. mengubah sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram;

2. mengubah sesuatu yang haram menjadi sesuatu yang halal;

3. meniadakan Rukun;

4. bertentangan dengan Rukun;

5. mengelakkan penerapan Rukun.

b. adanya Ta’alluq;

Ta’alluq adalah keadaan dimana pelaksanaan suatu transaksi dihadapkan

dengan 2 (dua) kontrak yang saling terkait, yaitu suatu kontrak yang akan

berjalan digantungkan dengan kontrak lainnya. Pelaksanaan keadaan

tersebut dapat melanggar Rukun akad.

c. Two in One.

Two in One disini adalah kondisi dimana satu transaksi dilakukan dengan

dua kontrak secara bersamaan sehingga menimbulkan ketidakjelasan

kontrak mana yang harus dipenuhi.59

Berpedoman pada KHES, maka yang dinamakan akad tidak sah apabila

bertentangan dengan hal-hal yang diatur dalam pasal 26, yaitu :

a. Syariat Islam;

b. Peraturan perundang-undangan;

c. Ketertiban umum; dan/atau

d. Kesusilaan.60

Terhadap hukum keberlakuan dan kebatalan suatu akad, KHES membagi dalam 3

(tiga) kategori, yang kurang lebih sama dengan penjabaran mengenai kontrak yang

tidak sah tersebut di atas, yaitu :

a. Akad yang sah

Dalam akad ini telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan

59

Adiwarman A. Karim, Islamic Banking : Fiqh and Financial Analysis, 3rd

Edition, (Jakarta :

PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 28 – 46.

60

Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 26.

Page 50: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

37

Universitas Indonesia

Akad ini terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal

lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan mashlahat.

c. Akad yang batal/batal demi hukum

Akad ini batal karena kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya.61

2.2.3. Akad Perbankan Syariah

Dalam kaitannya dengan pembahasan perbankan syariah ini, akad yang

digunakan adalah turunan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian

kegiatan tolong-menolong/tidak mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk

mencari keuntungan ini dibagi menjadi transaksi yang mengandung kepastian,

dengan prinsip nonbagi hasil, dan transaksi yang mengandung ketidakpastian, dengan

prinsip bagi hasil. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam

pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan transaksi untuk tidak mencari keuntungan

tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial.

Dalam berbagai bentuk akad yang ada dalam praktik perbankan syariah,

terdapat klausul yang selalu ada dalam dalam akad tersebut, yaitu :

1. Klausul Jaminan

Pada dasarnya pemberian jaminan dalam konsep syariah tidaklah wajib.

Namun agar nasabah memenuhi janjinya, pihak bank syariah dapat meminta

ditetapkannya suatu jaminan tertentu dalam akad pembiayaannya. Jaminan

tersebut digunakan dalam skema jual beli (Murabahah, Salam, Istishna) dan

skema kerjasama (Mudharabah dan Murabahah). Dalam skema jual beli,

yang digunakan sebagai jaminan adalah barang yang diperjualbelikan itu

sendiri atau barang lain yang dapat diikat berdasarkan hukum jaminan dalam

hukum positif. Sedangkan dalam skema kerjasama, penetapan jaminan bukan

bertujuan menjamin modal yang dimasukkan oleh bank namun penempatan

jaminan ini untuk menjaga bank atas kerugian di masa depan apabila si

pengelola dana/nasabah lalai atau melanggar akad.

2. Ingkar Janji (Wanprestasi)

Ingkar janji (wanprestasi) diatur dalam Pasal 36 KHES yaitu dengan kriteria

berikut :

61

Ibid., pasal 27 - pasal 28.

Page 51: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

38

Universitas Indonesia

a. tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukannya; atau

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang

dijanjikaannya; atau

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; atau

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam akadnya ditetapkan bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar

janji dengan lewatnya batas waktu yang ditentukan.

3. Sanksi

Sanksi terhadap peristiwa ingkar janji hanya dapat dikenakan apabila :

a. pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji,

tetap melakukan ingkar janji;

b. sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan

atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya;

c. pihak yang ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan

ingkar janji itu terjadi karena keadaan memaksa yang berada di luar

kuasanya (force majeur).

4. Ganti Rugi dan Denda

Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 juncto Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)

No.10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 dinyatakan bahwa apabila terjadi

wanprestasi atau kelalaian dari nasabah, bank syariah berhak untuk

mengenakan ganti rugi. Pembatasan ganti rugi dibatasi oleh beberapa

ketentuan yaitu :

a. Ganti rugi dikenakan kepada nasabah yang memang sengaja atau

karena lalai melakukan sesuatu yang menyimpang dari akad dan

mengakibatkan kerugian pada bank.

b. Klausul ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan

dipahami oleh nasabah.

c. Penetapan ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan

kesepakatan antara bank dan nasabah.

d. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah

sesuai dengan kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya

bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian

Page 52: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

39

Universitas Indonesia

yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) kkarena adanya peluang

yang hilang (opportunity loss).

e. Ganti rugi hanya dapat dibebankan pada akad Ijarah dan akad yang

menimbulkan utang-piutang, seperti Salam, Istishna serta Murabahah

yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai.

f. Untuk akad Mudharabah dan Musyarakah, bank sebagai shahibul mal

hanya dapat mengenakan ganti rugi pada bagian keuntungan bank

yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib.

5. Pilihan Hukum (Choice of Law)

Pilihan hukum disini adalah syariat Islam mengingat ketentuan yang

digunakan mengacu pada hukum Islam.

6. Penyelesaian Sengketa

Pada dasarnya penyelesaian sengketa harus menggunakan prinsip

musyawarah mufakat, namun apabila tidak tercapai maka para pihak dapat

melalui mediasi perbankan. Apabila melalui mediasi perbankan belum

tercapai, maka dapat melalui Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas). Dalam

akad syariah, seringkali langsung ditetapkan bahwa apabila terjadi

sengketa akan diselesaikan melalui Basyarnas. Sementara itu untuk

pelaksanaan putusan arbitrase syariah, bank akan memilih apakah

dilanjutkan dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau Pengadilan

Negeri saja.62

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian antara bank syariah dan

nasabah mengenai penggunaan jasa tertentu berdasarkan Prinsip Syariah,

hendaknya diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas mengenai ketentuan-

ketentuan dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh para pihak agar berlaku

hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah berkenaan dengan transaksi

tersebut. Dalam hubungan itu, beliau menyarankan sebaiknya Bank Indonesia

dengan bantuan DSN dapat melakukan penyeragaman terhadap perjanjian-

perjanjian baku yang digunakan oleh bank-bank syariah di Indonesia. Dengan

penyeragaman perjanjian-perjanjian baku perbankan syariah, akan dicapai hal-hal

berikut :

62

Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 13-18.

Page 53: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

40

Universitas Indonesia

1. lingkup dan isi perjanjian transaksi syariah antara bank syariah yang satu

dan bank syariah yang lain tidak menjadi berbeda-beda.

2. penyeragaman perjanjian baku perbankan syariah agar substansi dari

perjanjian dapat dibuat jelas dan rinci yang digunakan sebagai acuan apabila

terjadi perbedaan pendapat antara nasabah dan bank.

3. untuk menghindarkan terjadinya pembuatan perjanjian yang berat sebelah

oleh pihak bank.63

2.2.4. Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah terbagi dalam

penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa perbankan diatur dalam

Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah sebagaimana ditetapkan dalam SEBI

No.10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal produk bank syariah dan unit

usaha syariah. Dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut, maka bank syariah

dan UUS wajib memenuhi prinsip syariah. Kewajiban pemenuhan prinsip syariah

disini bahwa bank syariah dan UUS dalam kegiatannya wajib berpedoman pada

fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atas hal tersebut

serta memenuhi prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun),

kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung

gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram.64

Dalam PBI No.10/17/PBI/2008 diatur bahwa terdapat kewajiban bank

syariah atau UUS untuk melaporkan rencana pengeluaran produk bank yang baru

sepanjang produk tersebut telah diatur oleh Bank Indonesia. Namun apabila

produk baru tersebut tidak termasuk yang sudah diatur oleh Bank Indonesia, maka

bank syariah atau UUS tersebut wajib untuk mendapat persetujuan dari Bank

Indonesia. Terkait dengan penerbitan dan pelaksanaan suatu produk bank tersebut,

maka bank syariah atau UUS wajib menghentikan kegiatan produk bank tersebut

apabila produk bank tersebut tidak sesuai prinsip syariah dan peraturan

63

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,

cet.1, (Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010), hal. 143.

64

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah, No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.

Page 54: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

41

Universitas Indonesia

perundang-undangan yang berlaku serta tidak melaporkan atau meminta

persetujuan kepada Bank Indonesia atas rencana pengeluaran produk bank yang

baru.65

2.2.4.1. Penghimpunan Dana

Pada produk penghimpunan dana ini terbagi menjadi sebagai berikut :

a. Giro Syariah

Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat

dengan menggunakan cek/bilyet giro, sarana perintah pembayaran

lainnya atau dengan pemindahbukuan. Akad yang digunakan adalah

Wadi’ah atau Mudharabah. Giro Syariah atas dasar akad Mudharabah

maka bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai

pemilik dana dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk

nisbah yang disepakati. Produk perbankan syariah ini mengacu pada

Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.

b. Tabungan Syariah

Akad yang digunakan adalah Wadi’ah atau Mudharabah. Apabila

Tabungan Syariah atas dasar Wadi’ah maka bank sebagai penerima dana

titipan dimana tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan

tetapi bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi.

Nasabah selaku penitip dana dapat mengambil dananya setiap saat.

Sedangkan Tabungan Syariah atas dasar akad Mudharabah maka bank

bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai pemilik dana

dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang

disepakati. Nasabah hanya dapat menarik dananya sesuai waktu yang

disepakati. Produk Tabungan Syariah ini mengacu paada Fatwa DSN

No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

c. Deposito Syariah

Mekanismenya bank sebagai pengelola dana dan nasabah selaku pemilik

dana dimana pengelolaan dananya dapat dilakukan sesuai batasan-

65

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha

Syariah, PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008, LN No. 137 Tahun 2008, pasal 2

dan pasal 7.

Page 55: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

42

Universitas Indonesia

batasan yang ditetapkan pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau

dilakukan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah

mutlaqah). Pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang disepakati.

Nasabah hanya dapat melakukan penarikan dana sesuai waktu yang

disepakati. Deposito Syariah ini sesuai dengan Fatwa DSN No.03/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Deposito.

2.2.4.2. Penyaluran Dana

a. Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah

Akad dalam pembiayaan ini mengacu pada Fatwa DSN No: 07/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) terbagi atas :

i). Mudharabah

Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)

kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan

usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha

antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati

sebelumnya

ii). Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi

oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai

permintaan pemilik dana

iii). Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh

spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan

pemilik dana

b. Pembiayaan Atas Dasar Akad Musyarakah

Fatwa DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan

Musyarakah merupakan fatwa yang digunakan dalam pembiayaan ini.

Dalam akad Musyarakah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih

pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai

syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak

Page 56: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

43

Universitas Indonesia

berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian

berdasarkan proporsi modal masing-masing.

c. Pembiayaan Atas Dasar Akad Murabahah

Berdasarkan Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, pembiayaan

adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu

berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multijasa.

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau

Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai

dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah

jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi

hasil. Mengingat dalam pembiayaan ini menggunakan akad-akad yang

lain, maka fatwa-fatwa yang digunakan antara lain :

i. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000

tentang Murabahah

ii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 10/DSN-MUI/IV/2000

tentang Wakalah

iii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 13/DSN-MUI/IX/2000

tentang Uang Muka Dalam Murabahah

iv. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 16/DSN-MUI/IX/2000

tentang Diskon Dalam Murabahah

v. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 23/DSN-MUI/III/2002

tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah

vi. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang

Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah)

Page 57: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

44

Universitas Indonesia

vii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang

Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu

Membayar

viii. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang

Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

ix. Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang

Konversi Akad Murabahah

Berkaitan dengan akad Murabahah, Rukun dan Syarat Akad Murabahah

adalah sebagai berikut :

a. Subjek Perjanjian

Syarat subjek dalam prinsip jual beli ini adalah sama dengan syarat

subjek akad seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Dalam praktik

perbankan, terkadang bank bertindak selaku penjual , dalam akad

murabahah, atau bisa juga sebagai pembeli, dalam akad istishna.

Adakalanya sering terjadi dalam praktik perbankan syariah bank

diperbolehkan member kuasa kepada nasabah (dengan akad wakalah)

untuk membeli barang atas nama bank.

b. Objek

Kriteria mengenai objek dalam jual beli ini adalah :

i. Barang yang diperjualbelikan harus tertentu jenisnya

ii. Harga barang yang diperjualbelikan harus jelas

iii. Barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih

kepemilikannya ke tangan penjual

Namun terdapat hal menarik dalam prinsip jual beli syariah bahwa saat

ini yang terjadi barang yang dibutuhkan nasabah spesifikasinya

diajukan oleh nasabah sendiri (selaku pembeli) kepada bank (selaku

penjual).

c. Akad (shigat)

Kata sepakat melalui ijab qabul harus dinyatakan secara tegas dalam

akad.66

66

Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 44-45.

Page 58: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

45

Universitas Indonesia

Pada prinsipnya jaminan dalam murabahah diperbolehkan untuk mengikat

nasabah serius dengan pesanannya. Dalam setiap akad murabahah pada praktik

perbankan syariah memang ditetapkan suatu jaminan. Pada skema murabahah

yang sederhana (dalam skema pembelian suatu barang dimana barang yang dijual

oleh bank dengan margin tertentu), barang yang dijadikan jaminan pembayaran

cicilan nasabah kepada bank adalah barang yang dijual tersebut dengan tidak

menutup kemungkinan adanya jaminan tambahan yang diminta oleh bank. Pada

skema murabahah yang kompleks (dengan skema murabahah tersebut dijadikan

sebagai sarana pembiayaan suatu proyek, misalnya proyek konstruksi), maka

biasanya yang dijadikan sebagai jaminan tidak hanya objek yang diperjanjikan

melainkan bisa juga melibatkan berbagai macam jaminan lain yang dapat diterima

oleh hukum positif, seperti hak tanggungan atas fixed asset milik nasabah, fidusia

atas tagihan, personal guarantee atau jaminan apapun yang dapat diterima oleh

bank syariah.67

Dalam jual beli selain adanya jual beli dengan prinsip murabahah yang halal, ada

pula dikenal dengan jual beli secara al inah (bai’ al inah). Bai’ al inah dapat

didefinisikan sebagai penjualan dengan pembelian kembali dimana penjual

menjual barangnya kepada pembeli dengan harga yang disepakati (dengan

kenaikan harga tertentu) yang dibayar oleh pembeli di kemudian hari. Selanjutnya

pembeli tersebut menjual kembali barang tersebut kepada penjual secara kontan

dengan harga yang lebih rendah dari harga sebelumnya. Secara teknis,

pelaksanaan bai’ al inah meliputi 2 (dua) transaksi yaitu (i) al-bay’ al-mutlaq

(penjualan dengan cash) dan (ii) murabahah (penjualan kemudian) yang

dilaksanakan saling berurutan dimana patut diperhatikan bahwa akad murabahah

yang terjadi tersebut merupakan instrument terjadinya bai’ al inah. Dalam praktik

institusi perbankan, kontrak penjualan dan penjualan kembali (sale and resale

contract) dilakukan baik oleh bank maupun nasabahnya dengan tidak melihat

adanya asumsi risiko dan nilai tambah pada keuntungan/profit yang akan

diperoleh. Pada kedua transaksi tersebut masing-masing pihak telah memberikan

jaminan di awal bahwa pada setiap transaksi penjualan pasti akan ada transaksi

penjualan kembali secara otomatis. Bai’ al inah hanya berfungsi sebagai sarana

67

Ibid., hal. 54-55.

Page 59: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

46

Universitas Indonesia

yang menggunakan hukum bisnis syariah (dalam hal ini melalui perdagangan dan

bisnis) untuk memperoleh uang tunai tampa berimplikasi pada riba; untuk

membuat hal yang haram menjadi halal. Objek yang diperjualbelikan hanya

merupakan alat untuk mengaburkan penerimaan dan pembayaran bunga. Secara

implisit bai’ al inah dapat menciptakan “pintu belakang” untuk bunga. 68

Bai’ al

inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama. Hal tersebut

diriwayatkan dari „Aisyah, Ibnu „Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya‟by,

An-Nakh‟iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza‟iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah,

Malik, Ahmad dan Ishaq. Di sisi lain, Imam Asy-Syafii dan pengikutnya

membolehkan bai’ al inah ini.69

d. Pembiayaan Atas Dasar Akad Salam

Dalam akad Salam transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan

dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu

secara penuh. Fatwa DSN yang digunakan Nomor 05/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.

e. Pembiayaan Atas Dasar Akad Istishna’

Transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang

dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan

pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Fatwa DSN yang digunakan

adalah

i. Fatwa DSN No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna‟.

ii. Fatwa DSN No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna‟

Paralel.

f. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah

Pembiayaan Ijarah ini terdiri dari :

1) Ijarah

Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara

pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa

68

Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts Available In

Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In Contemporary Islamic Finance,

http://arzim.blogspot.com/2010/02/issues-in-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html, diakses tanggal 29

Desember 2012.

69

Bay Al Inah : Pengenalan Ringkas, http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/04/bay-al-inah-

pengenalan-ringkas.html, diakses tanggal 29 Desember 2012.

Page 60: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

47

Universitas Indonesia

dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang

disewakan.

2) Ijarah Muntahiya Bittamlik

Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa

untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya

dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa.

Fatwa DSN yang digunakan dalam pembiayaan ini adalah :

- Fatwa DSN No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

- Fatwa DSN No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al

Muntahiyah bi al-Tamlik.

g. Pembiayaan Atas Dasar Akad Qardh

Dalam pembiayaan ini bank bertindak sebagai penyedia dana untuk

memberikan pinjaman (Qardh) kepada nasabah berdasarkan

kesepakatan. Oleh karenanya, bank dilarang dengan alasan apapun untuk

meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang

sesuai Akad serta membebankan biaya apapun atas penyaluran

Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas

kewajaran. Terhadap pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar

Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati.

Namun bila nasabah digolongkan mampu tapi tidak mengembalikan

sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati,

maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka

pembinaan nasabah. Fatwa DSN yang digunakan sebagai referensi

adalah Fatwa DSN No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh.

h. Pembiayaan Multijasa

Pembiayaan ini dengan menggunakan akad Ijarah atau akad Kafalah.

a. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah

Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk merealisasikan

penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah. Pengembalian dana

yang telah dikeluarkan bank tersebut dapat dilakukan dengan

angsuran maupun sekaligus, namun tidak dapat dilakukan dalam

bentuk piutang atau pembebasan utang.

Page 61: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

48

Universitas Indonesia

b. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Kafalah

Bank sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah

terhadap pihak ketiga. Obyek penjaminan tersebut harus merupakan

kewajiban orang yang meminta jaminan; jelas nilai, jumlah dan

spesifikasinya; tidak bertentangan dengan syariah (tidak

diharamkan). Bank dapat memperoleh imbalan yang disepakati yang

ditetapkan dalam nominal yang tetap serta dapat meminta jaminan.

Apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga,

maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak

ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai pembiayaan atas

dasar akad Qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah. Fatwa DSN

yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/VII/2004

tentang Pembiayaan Multijasa.

Perlu ditambahkan bahwa Kafalah disini adalah dalam posisi bank

sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap

pihak ketiga atau Garansi Bank sebagai bentuk layanan jasa perbankan.

Terkait dengan analisis kasus dalam penulisan ini maka Kafalah

dikaitkan dengan pemberi jaminan adalah non bank, yaitu personal

(Personal Guarantee) dimana jenis kafalah tersebut yaitu Al-Kafalah bin

Nafs. Kafalah yang diatur dalam konsep syariah ini bisa dikatakan sama

persis dengan konsep pemberian jaminan (borg) yang diatur dalam

hukum positif yang diatur dalam Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000

tentang Kafalah sebagai pedomannya.

Rukun dan Syarat Kafalah adalah sebagai berikut :

1. Pihak Penjamin (Kafil)

i. Baligh (dewasa) dan berakal sehat

ii. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam

urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan

kafalah tersebut

2. Pihak orang yang berutang (Makful anhu ashil)

a) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada

penjamin

Page 62: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

49

Universitas Indonesia

b) Dikenal oleh penjamin

3. Pihak orang yang berpiutang (Makful lahu)

a) Diketahui identitasnya

b) Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa

c) Berakal sehat

4. Objek penjaminan (Makful bihi)

a) Merupakan tanggungan pihak yang berutang, baik berupa

uang, benda, maupun pekerjaan

b) Bisa dilaksanakan oleh penjamin

c) Harus merupakan piutang mengikat (lazim) yang tidak

mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan

d) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya

e) Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).70

2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan

a. Letter of Credit (L/C) Impor Syariah

Akad yang digunakan dalam L/C ini adalah Wakalah bil Ujroh dan

Kafalah. Dalam mekanisme ini bank dapat bertindak sebagai wakil dan

pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban importer terhadap

eksportir dalam melakukan pembayaran. Atas pelayanan jasa tersebut,

bank dapat memperoleh imbalan/fee/ujroh yang disepakati di awal

serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap, tidak dalam

prosentase. Nasabah yang menjalankan usaha importer tersebut harus

memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang

diimpor (akad wakalah bil ujroh). Apabila importer tidak memiliki

dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor,

maka bank dapat memberikan dana talangan (qardh) dan bank dapat

bertindak sebagai shahibul maal bagi importer sebesar harga yang

diimpor. Apabila importer tidak memiliki cukup dana pada bank untuk

pembayaran harga barang yang diimpor dan pembayaran belum

dilakukan, maka utang kepada eksportir dialihkan oleh importir

70

Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 140-141.

Page 63: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

50

Universitas Indonesia

menjadi hutang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada

eksportir senilai barang yang diimpor (akad Wakalah bil Ujroh dan

Wakalah). Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 34/DSN-

MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah.

b. Bank Garansi Syariah

Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban

nasabah terhadap pihak ketiga. Kontrak (akad) jaminan memuat

kesepakatan antara pihak bank dan pihak kedua yang dijamin dan

dilengkapi dengan persaksian pihak penerima jaminan. Bank dapat

memperoleh imbalan yang disepakati di awal dalam jumlah nominal

yang tetap. Bank dapat meminta jaminan atas nilai penjaminan.

Apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak

ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada

pihak ketiga dengan memberikan dana talangan (qardh). Fatwa DSN

yang digunakaan adalah Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000

tentang Kafalah.

c. Penukaran Valuta Asing (Sharf)

Bank dapat bertindak, baik sebagai pihak yang menerima penukaran

maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah.

Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta

asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi spot. Dalam hal

transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang berlainan

jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan

secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi

dilakukan. Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 28/DSN-

MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf).

Pelayanan jasa bank syariah dan UUS juga mengenal Hawalah

sebagaimana dalam SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal

Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan

Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Dua ulama fiqih Mazhab

Hanafi mengemukakan definisi Hawalah yang berbeda : Ibnu Abidin mengatakan

bahwa hawalah ialah pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang

Page 64: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

51

Universitas Indonesia

berutang (muhil) kepada orang yang berutang lainnya, (muhil ‘alaih); sedangkan

Kamal bin Hummam mengatakan bahwa Hawalah pengalihan kewajiban

membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang

kepadanya atas dasar saling mempercayai. Menurut Mazhab Maliki, Hambali dan

Syafi‟I bahwa Hawalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut

pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak lain. Perbedaan definisi-definisi

tersebut terletak pada kenyataan bahwa Mazhab Hanafi menekankan pada segi

kewajiban membayar utang, sedangkan ketiga mazhab lainnya menekankan pada

segi hak menerima pembayaran utang.71

Dalam SEBI tersebut dijelaskan bahwa dalam kegiatan pelayanan jasa

dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah terdiri

dari :

a. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang

para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank;

b. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off

utang piutang diantara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat

(utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan

adanya dana keluar (cash out).

Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang

atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai

berikut :

a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang

nasabah kepada pihak ketiga;

b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian

jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah, serta hak dan kewajiban

nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai

transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang

atas dasar Akad Hawalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek

personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara

71

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 345.

Page 65: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

52

Universitas Indonesia

lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan

prospek usaha (Condition);

d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian

tertulis berupa Akad pengalihan utang atas dasar Hawalah;

e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal;

f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang

nasabah kepada pihak ketiga;

g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada

nasabah; dan

h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada

nasabah.

Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang

atas dasar Akad Hawalah Muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai

berikut :

a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan

utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah sebagaimana dimaksud di atas,

kecuali huruf a, huruf f dan huruf g;

b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang

nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki utang

kepada nasabah; dan

c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil-alih oleh Bank,

paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada nasabah.

Menurut Mazhab Hanafi, dalam Hawalah ini terdapat rukun-rukunnya

yang terdiri dari :

i. adanya ijab (pernyataan melakukan Hawalah) dari pihak pertama;

ii. adanya qabul (pernyataan menerima Hawalah) dari pihak kedua

dan pihak ketiga.72

Sedangkan Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali menjelaskan bahwa rukun

Hawalah ini terdiri dari 6, yaitu :

i. adanya muhil;

ii. pihak muhal;

72

Ibid., hal. 347.

Page 66: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

53

Universitas Indonesia

iii. pihak muhal ‘alaih;

iv. adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah

utangnya;

v. adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan

jumlah utangnya;

vi. adanya sigah (pernyataan Hawalah).73

Namun dalam praktik perbankan, penggunaan akad Hawalah ini sulit

untuk diterapkan mengingat bank jarang sekali dalam posisi yang memiliki utang

kepada nasabah. Untuk selanjutnya, sangat jarang terjadi bank diminta oleh

nasabahnya untuk membayarkan utang bank kepada nasabah tersebut ke pihak

ketiga yang ditunjuk nasabah.

2.2.5. Rahn atau Gadai

Dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah memang tidak diatur

mengenai Rahn walaupun Rahn ini juga merupakan salah satu pembiayaan

syariah. Rahn atau Gadai ini pada prinsip secara syariah sama dengan gadai biasa

yang diatur dalam hukum adat dan hukum positif.

Pengaturan Rahn ini dalam Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002

dimana prinsip Rahn yaitu :

a. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai.

b. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian

dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai

berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang

sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.

c. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang

digadaikan, kecuali atas seizin pemilik barang.

d. Jika penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan dengan seizin

pemilik barang, penerima gadai berkewajiban menanggung biaya

penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang

digadaikan.74

73

Ibid.

74

Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal.130.

Page 67: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

54

Universitas Indonesia

Sistematika akad Rahn terdiri dari :

1. Tanggal dan nomor akad

Jika dibuat secara dibawah tangan antara kedua pihak, nomor akad adalah

nomor yang diberikan oleh bank syariah, sedangkan jika dibuat dihadapan

notaris, nomor tersebut adalah nomor akta notaris yang bersangkutan.

2. Para pihak atau subjek akad

a) Pihak yang menggadaikan (Rahn atau Rahin)

b) Pihak yang menerima gadai (Murtahin atau bank syariah)

3. Isi perjanjian

a) Kesepakatan para pihak , yaitu bank selaku kreditur sebagai

penerima gadai (Murtahin) setuju untuk memberikan

pembiayaan dengan jumlah tertentu dan nasabah (Rahin)

menerima pembiayaan tersebut.

b) Murtahin menerima barang yang digadaikan dengan

memberikan sejumlah dana tertentu dan Rahin berkewajiban

untuk membayar biaya sewa tempat penitipan dan asuransi atas

barang yang digadaikan.

c) Jaminan dari pihak Rahin bahwa objek yang digadaikan adalah

benar-benar miliknya, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau

sengketa dan bebas dari sitaan.

d) Kuasa untuk melakukan debit rekening Rahin jika pembayaran

dilakukan oleh Rahin melalui suatu rekening tertentu (tidak

langsung).

e) Kuasa untuk menjual atau melelang barang yang digadaikan

apabila sampai tiba jangka waktunya, Rahin tidak dapat

mengembalikan dana yang diterimanya dari Murtahin.

4. Penutup

Lokasi dibuatnya perjanjian dan diakhiri dengan ditandatanganinya oleh

para pihak.75

75

Ibid., hal. 131.

Page 68: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

55

Universitas Indonesia

Rahn yang diatur menurut prinsip syariah ini dibedakan atas 2 (dua)

macam, yaitu :

1. Rahn Hiyazi

Bentuk Rahn ini yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam

hukum adat maupun dalam hukum positif. Pada Rahn Hiyazi ini barang

yang akan digadaikan dikuasai oleh kreditur, apabila utang debitur sudah

lunas barulah barang yang digadaikan bisa diambil kembali.

2. Rahn Tasjily

Merupakan bentuk Rahn dengan barang yang digadaikan hanya

dipindahkan kepemilikannya namun barangnya sendiri masih tetap

dikuasai dan digunakan oleh pemberi gadai. Konsep ini dalam hukum

positif mirip dengan konsep lembaga jaminan fidusia seperti diuraikan

sebelumnya.76

Rahn Tasjily ini diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008

dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada Murtahin.

b. Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan

atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke

Murtahin.

c. Rahin memberikan wewenang kepada Murtahin untuk mengeksekusi

barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi

utangnya.

d. Pemanfaatan barang Marhun oleh Rahin harus dalam batas

kewajaran sesuai kesepakatan.

e. Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan

barang Marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang

ditanggung oleh Rahin.

2.3. Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah)

Bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain

wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga diwajibkan membentuk

UUS. UUS ini merupakan satuan kerja di kantor pusat bank umum yang berfungsi

76

Ibid., hal. 127-128.

Page 69: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

56

Universitas Indonesia

sebagai kantor induk atau koordinator bagi kantor-kantor cabang syariah, yang

kedudukannya satu tingkat dibawah Direksi sehingga bertanggung jawab

langsung ke Direksi.

Kantor cabang syariah bertanggung jawab dan koordinasi dengan UUS

dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, mengikuti ketentuan

dan peraturan perbankan syariah dan mengikuti ketentuan akuntanasi syariah.

UUS dan kantor cabang syariah tidak diperkenankan menginduk pada kantor

cabang bank konvensional. Mengingat Divisi/Urusan dan kantor cabang bank

konvensional mengikuti ketentuan dan peraturan perbankan konvensional serta

ketentuan akuntansi perbankan konvensional. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

kemurnian syariah dari pelaksanannya.77

Berdasarkan Pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah, Kegiatan usaha UUS

meliputi sebagai berikut :

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan,

atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad

wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,

Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan Akad mudharabah atau akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah,

Akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad

salam, Akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak

bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa

beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau

akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah;

77

Wiroso, Produk Perbankan Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT Sardo Sarana

Media, 2009), 52 – 54.

Page 70: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

57

Universitas Indonesia

i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan

atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain,

seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah,

atau hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan

oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan

melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga

berdasarkan Prinsip Syariah;

l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga

berdasarkan Prinsip Syariah;

m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk

kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan

Prinsip Syariah; dan

o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan

dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.4. Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah

Pengalihan utang merupakan pengalihan perjanjian utang antara nasabah

bank konvensional menjadi perjanjian utang antara nasabah dengan bank syariah

atau unit usaha syariah suatu bank konvensional. Pengaturan pengalihan utang

dalam perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari peranan DSN yang

memberikan pengaturannya dalam bentuk fatwa.

2.4.1. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia

Fatwa merupakan cermin dari respons para ulama terhadap suatu masalah

yang memerlukan jawaban dari aspek agama Islam sehingga ia bersifat dinamis

dan juga merupakan cermin refleksi dari pemikiran intelektual masyarakat

tertentu.78

Kehadiran Dewan Syariah Nasional (DSN) yang baru dibentuk oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 memberi pengaruh terhadap

peraturan perbankan syariah. Adanya fatwa-fatwa DSN yang baru ditetapkan pada

78

M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit Universitas

Indonesia (UI-Press), 2011), hal.105.

Page 71: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

58

Universitas Indonesia

tahun 2000 menjadi satu-satunya pedoman sebagai pegangan dalam melakukan

kegiatan perekonomian syariah pada saat itu.79

Pengaruh fatwa DSN terhadap peraturan perundang-undangan di bidang

perbankan syariah memberi pengaruh yang sangat besar. Diawali dengan

pengaturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia, kemudian meningkat ke

dalam Undang-undang. Diawali dengan ketentuan yang secara implisit atas

pengakuan terhadap fatwa DSN, kemudian meningkat secara yuridis formal

dengan ketentuan secara eksplisit yang mengakui fatwa DSN sebagai suatu

hukum syariah yang berlaku.80

Dalam Pasal 35 PBI No.11/3/PBI/2009 tersebut diatas dinyatakan bahwa

untuk melakukan usahanya, Bank Umum Syariah diwajibkan merujuk pada fatwa

DSN serta meminta fatwa terlebih dahulu untuk produk baru bank yang belum ada

fatwanya. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan kedudukan fatwa DSN dalam

sistem hukum nasional bahwa :

1. Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN adalah untuk

menghindari adanya perbedaan keterangan yang dibuat olehh DPS

masing-masing Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dibuat dalam

fatwa karena tidak ada peraturan yang mengatur kegiatan ini untuk

semua pelaku ekonomi syariah.

2. Kedudukan fatwa DSN dalam sistem perundang-undangan dilihat pada

4 (empat) komponen :

a. fatwa DSN sebagai prinsip syariah yang merupakan pedoman

pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah yang harus ditaati;

b. Fatwa DSN menjadi pedoman bagi DPS dalam mengawasi

kegiatan usaha LKS;

c. Isi ketentuan dalam fatwa DSN diserap ke dalam peraturan

perundang-undangan.

d. Fatwa DSN menjadi landasan hukum bagi LKS dalam

menjalankan produk kegiatan usahanya.

3. Hakim akan menggunakan fatwa DSN karena ketentuan ekonomi

syariah merupakan hal yang baru yang tidak ditemukan pada fatwa

terdahulu dan telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Hakim tetap tidak memandang fatwa sebagai ketentuan hukum yang

harus diikuti karena bukan sumber hukum Islam yang utama dan tidak

79

Yeni Salma Barlinti, ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum

Nasional di Indonesia,” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010),

hal.255.

80

Ibid., hal. 258.

Page 72: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

59

Universitas Indonesia

termasuk peraturan perundang-undangan. Hakim dan arbiter harus

mengutamakan fatwa DSN sebagai pertimbangan hukum dalam

memutuskan perkaranya karena fatwa DSN adalah hukum yang

mengikat secara yuridis.81

2.4.2. Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang

Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/IV/2002 tentang Pengalihan Utang

Pelunasan/pembayaran utang adalah fatwa yang dipakai sebagai pedoman dalam

penyelesaian kasus ini. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa pengalihan utang

adalah proses transaksi keuangan dari transaksi keuangan non syariah menjadi

berpindah ke transaksi syariah.

Guna memenuhi karakteristik tujuan dari transaksi ini, maka dalam fatwa

ini diberikan 4 (empat) alternatif metode pengalihan utang tersebut agar dapat

disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan ekonomi syariah tersebut, yaitu :

Alternatif 1

1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah

melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan

kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.

2. Nasabah menjual aset dimaksud pada angka 1 kepada LKS dan dengan hasil

penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.

3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut

kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.

4. Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh dan Fatwa

DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula

dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana dimaksud

dalam alternatif 1 ini.

81

Ibid., hal. 469-470.

Page 73: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

60

Universitas Indonesia

Gambar 2.1 : Pengalihan Utang Alternatif Pertama

(5) menjual barang ke nasabah dengan

akad murabahah

(1) memberi qardh (2) membayar kewajiban

(4) menjual barang agunan dan

melunasi qardh (3) menerima agunan

Alternatif 2

1. LKS membeli sebagian aset nasabah dengan seizin Lembaga Keuangan

Konvensional (LKK) sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk

antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.

2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana angka 1 adalah bagian aset

yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.

3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut

kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.

4. Fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku

pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana

dimaksud dalam alternatif 2 ini.

Bank

Syariah

Bank

Konven

Nasabah

Page 74: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

61

Universitas Indonesia

Gambar 2.2 : Pengalihan Utang Alternatif Kedua

(2) menjual barang secara murabahah

(1) membeli sebagian aset nasabah dengan ijin LKK (syirkah al milk)

Alternatif 3

1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah

dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI

nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.

2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah

dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor

19/DSN-MUI/IV/2001.

3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan

dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksud

angka 2 di atas.

4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh

didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah

sebagaimana dimaksudkan angka di atas.

Bank

Syariah

Bank

Konven Nasabah

Page 75: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

62

Universitas Indonesia

Gambar 2.3: Pengalihan Utang Alternatif Ketiga

(2) dapat membantu menalangi kewajiban nasabah (jika perlu)

(3) Imbalan Ijarah

(1) Ijarah atas pengurusan

kepemilikan asset penuh

Alternatif 4

1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah

melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan

kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.

2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS dan dengan hasil

penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.

3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada

nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

4. Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/III/2012 tentang al-Qardh dan Fatwa

DSN nomor : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-

Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang

sebagaimana dimaksud dalam alternatif 4 ini.

Bank

Syariah

Bank

Konven

Nasabah

Page 76: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

63

Universitas Indonesia

Gambar 2.4: Pengalihan Utang Alternatif Keempat

(5) menyewakan ke nasabah dengan

akad IMBT

(1) memberi qardh (2) membayar kewajiban

(4) menjual barang agunan dan (3) asset yang dibeli dengan

melunasi qardh kredit milik nasabah

2.4.3. Pinjaman Qardh

Sesuai dengan fungsi bank syariah harus melaksanakan fungsi sosial yaitu

melaksanakan transaksi yang sifatnya tolong-menolong melalui pinjaman Qardh.

Pinjaman Qardh ini dilakukan bank syariah dalam transaksi talangan haji,

talangan cerukan atau overdraft dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah

dan sejenisnya.

Al-Qardh adalah akad pinjaman kepada nasabah tertentu dengan ketentuan

bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada

waktu yang disepakati antara nasabah dan LKS.

Rukun Al-Qardh adalah sebagai berikut :

a. Peminjam/Muqtaridh

b. Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh

c. Jumlah dana/Qardh

d. Ijab Kabul/Shighat.82

Dan untuk Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut :

a. Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan

b. Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal.83

82

Wiroso, op.cit., hal. 322.

83

Ibid., hal. 323.

Bank

Syariah

Bank

Konven

Nasabah

Page 77: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

64

Universitas Indonesia

DSN menetapkan aturan tentang Al-Qardh sebagaimana dalam fatwa DSN

nomor 19/DSN-MUI/IX/2000 yang substansinya adalah :

1. Ketentuan umum Al-Qardh

a. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)

yang memerlukan.

b. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima

pada waktu yang telah disepakati bersama.

c. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

d. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

e. Nasabah Al-Qardh dapat memberikan sumbangan sukarela kepada LKS

selama tidak diperjanjikan dalam akad.

f. Jika nasabah tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya

pada saat yang telah disepakati dan LKS memastikan

ketidakmampuannya, LKS dapat :

a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian; atau

b) Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

2. Sanksi

a. Apabila nasabah tidak menunjukan keinginan mengembalikan sebagian

atau seluruh kewajibannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada

nasabah.

b. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah tersebut dapat berupa, tidak

terbatas pada, penjualan barang jaminan.

c. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi

kewajibannya secara penuh.

3. Sumber dana Al-Qardh

a. Bagian modal LKS;

b. Keuntungan LKS yang disisihkan;

c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya

kepada LKS.

Page 78: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

65

Universitas Indonesia

2.5. Notaris Sebagai Pejabat Umum

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang dinamakan Notaris adalah

Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.84

Dalam Penjelasan UUJN diterangkan mengenai kewajiban Notaris yang

berbunyi bahwa :

Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang

termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai

dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga

menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi,

termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi

para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat

menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi

Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.85

Penjabaran kewajiban Notaris tersebut di atas juga dikaitkan dengan kewajiban

dalam bersikap dan bertindak seorang Notaris. Kewajiban dalam bersikap dan

bertindak tersebut diatur sebagaimana dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UUJN

bahwa Notaris berkewajiban :

Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.86

Apabila dikaitkan dengan hubungan hukum antara bank syariah dengan

para nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Setiap perjanjian di bank syariah

diwujudkan dalam bentuk tertulis (akad) yang dibuat antara bank dan nasabahnya.

Terdapat pertimbangan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 mengapa akad

84

Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004, pasal 1 angka 1.

85

Ibid., penjelasan paragraf 5.

86

Ibid., pasal 16 ayat 1 huruf (a).

Page 79: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

66

Universitas Indonesia

bank syariah yang dilaksanakan harus dibuat secara tertulis dengan akta notarial,

yaitu :

Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah

mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskannya.

Kutipan ayat tersebut berbicara tentang anjuran kewajiban menulis utang-piutang

dan disaksikan di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil

menekankan perlunya menulis utang disertai dengan jumlah dan ketetapan

waktunya. Menurut M. Quraish Shihab dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis

(notaris), yaitu (1) kemampuan menulis; (2) pengetahuan tentang aturan serta tata

cara menulis perjanjian; (3) kejujuran.87

Mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata bahwa sumber otentisitas akta

Notaris yang merupakan juga dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan

syarat-syarat sebagai berikut :

a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

c. Pejabat umum, dimana akta tersebut dibuat, haruslah mempunyai

wewenang untuk membuat akta tersebut.88

Mengingat produk notaris berupa akta otentik, maka dapat dilihat

mengenai anatomi suatu akta notariil tersebut dengan memperhatikan Pasal 38

UUJN yaitu terdiri dari :

1. awal akta atau kepala akta, yang memuat :

a. judul akta

b. nomor akta

c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris

87

H.R. Daeng Naja, op.cit., hal. 61.

88

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, cet.1, (Bandung : PT Refika Aditama,

2011), hal. 9.

Page 80: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

67

Universitas Indonesia

2. badan akta, yang memuat :

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,

pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap

dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;

c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak

yang berkepentingan;

d. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

3. akhir atau penutup akta, yang memuat :

a. uraian tentang pembacaan akta;

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan

atau penerjemahan akta bila ada;

c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;

d. uraian tentang ada tidaknya perubahan dalam pembuatan akta

yang berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.89

Apabila melihat anatomi akta sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN

tersebut, maka skema akad syariah secara umum kurang lebih sama yang

berisikan hal-hal berikut :

1. Pembuka

Terkadang ditulis Basmalah namun tidak mutlak tergantung kebijakan

masing-masing bank.

2. Kepala akta

Judul akta (akad pembiayaan) dan nomor akta serta hari dan tanggal

pelaksanaan akad dan nama notaris.

3. Komparisi

Pada bagian komparisi ini menyebutkan para pihak yang berakad beserta

kecakapan bertindak masing-masing.

4. Premis

Premis ini berisikan latar belakang dibuatnya akad.

5. Isi akad

Dalam bagian isi, menjabarkan mengenai Definisi (apabila perlu), nilai

pembiayaan, tujuan pembiayaan, margin keuntungan dari bank, pernyataan

nasabah, klausula jaminan serta peristiwa kelalaian nasabah yang dapat

memutuskan perjanjian.

89

Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, op.cit., pasal 38.

Page 81: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

68

Universitas Indonesia

6. Penyelesaian sengketa

Dapat diatur bahwa dalam hal terjadi sengketa, akan diselesaikan secara

musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak ada jalan keluar, maka dapat

dipilih arbitrase penyelesaian sengketa melalui Basyarnas.

7. Klausul tambahan

Dapat disebut sebagai Ketentuan Peralihan

8. Akhir Akta

Disebutkan mengenai penyelesaian dan pelaksanaan penandatanganan akad

dan saksi-saksi.90

2.6. Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman Berjangka

Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah

2.6.1. Kasus Posisi

Dalam kasus ini PT ABC telah menerima fasilitas kredit dari Divisi

Komersial Bank X (konvensional) berupa Pinjaman Berjangka (“PB”)

berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 12 tanggal 11 Juni 2008 yang telah

dilegalisasi oleh Notaris AA, SH pada tanggal 11 Juni 2008 dibawah nomor

26/Legalisasi/2008 dan Syarat Dan Ketentuan Umum Perjanjian Kredit tanggal 11

Juni 2008 Nomor 274/SKU/SCBC-Thamrin/2008 yang telah dilegalisasi oleh

Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit Nomor 07 tanggal 11 Agustus

2009 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit

Nomor 13 tanggal 14 Juni 2010 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH, yaitu

sebagai berikut :

1. PB II yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok

utang tanpa bunga) sebesar Rp.32.545.407.994,- dengan jaminan sebagai

berikut :

a. 1 (satu) unit Kapal Tug Boat yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek;

b. 4 (empat) unit kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek;

c. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT KSM yang dijaminkan

dengan lembaga Fidusia;

d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE.

90

Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 19.

Page 82: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

69

Universitas Indonesia

2. PB III yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya

(pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp.36.354.449.333,- dengan jaminan

sebagai berikut :

a. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT SSDK yang

dijaminkan dengan lembaga Fidusia;

b. Barang-barang inventory berupa bahan baku, bahan setengah jadi dan

bahan jadi yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia;

c. 3 (tiga) unit kapal tongkang yang pengikatan Hipoteknya dilaksanakan

setelah tanggal 30 Juni 2010;

d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE.

3. PB IV yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya

(pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp. 11.055.673.826,38,- dengan jaminan 1

(satu) unit Kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek.

4. PB V yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok

utang tanpa bunga) sebesar Rp. 18.838.942.453,77 dengan jaminan sebagai

berikut :

a. Mesin-mesin yang dibiayai dengan PB V yang dijaminkan dengan

lembaga Fidusia;

b. Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya

kepada PT GM yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia.

Setelah berjalannya pengucuran dan penggunaan fasilitas kredit PB

tersebut dari tahun 2008, pada tahun 2010 PT ABC bermaksud untuk

mengkonversi atau take over kredit PB tersebut menjadi fasilitas pembiayaan

syariah yang menurut penghitungan keuangan PT ABC dirasa menguntungkan

untuk menggunakan fasilitas pembiayaan syariah dibandingkan dengan

menggunakan fasilitas kredit PB konvensional. Atas hal tersebut, maka UUS

Bank X menyampaikan surat perihal Persetujuan Hawalah tanggal 30 Juni 2010

kepada PT ABC yang ditandatangani antara PT ABC dan UUS Bank X dimana

substansi yang disampaikan yaitu :

a. mengalihkan utang dari fasilitas kredit PB PT ABC atau meng-Hawalah-

kan piutang Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X

tersebut;

Page 83: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

70

Universitas Indonesia

b. UUS Bank X memberikan dana talangan atau Qardh sebesar Rp.

658.292.778,67 yang digunakan oleh PT ABC untuk pembayaran bunga

berjalan bulan Juni 2010 atas fasilitas kredit PB PT ABC;

c. Jaminan-jaminan yang diikat berdasarkan perjanjian kredit sebelumnya

tetap melekat, mengikat dan menjamin pinjaman yang diperoleh PT ABC

melalui fasilitas pembiayaan syariah.

Selanjutnya, pada tanggal yang sama dengan Surat Persetujuan Hawalah

tersebut yaitu 30 Juni 2010, dibuat dan ditandatangani Addendum Perjanjian

Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah Nomor 94 tanggal 30 Juni

2010 yang dibuat dihadapan Notaris OHCU, SH (“Addendum PK Murabahah”)

yang menuangkan konversi kredit PT ABC menjadi sebagai berikut :

a. PB II menjadi Murabahah II;

b. PB III menjadi Murabahah III;

c. PB IV menjadi Murabahah IV;

d. PB V menjadi Murabahah V;

serta seluruh jaminan yang diikat berdasarkan perjanjian kredit terdahulu,

sebagaimana jaminan-jaminan yang sudah disebutkan di atas, tetap melekat,

mengikat dan menjamin untuk fasilitas pembiayaan Murabahah.

2.6.2. Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X

Untuk melakukan konversi fasilitas kredit PB II – PB V PT ABC tersebut,

UUS Bank X melakukan metode pengalihan utang dengan cara Hawalah melalui

Surat Persetujuan Hawalah. Adapun dalam Hawalah tersebut dimasukkan pula

metode Qardh serta pernyataan bahwa seluruh jaminan-jaminan PT ABC yang

menjamin seluruh fasilitas kredit PB II – PB V terdahulu dinyatakan tidak hapus

dengan konversi melalui metode Hawalah.

Setelah dilakukannya Hawalah dan Qardh tersebut, maka transaksi

konversi dimaksud dilanjutkan dengan metode Murabahah atas barang-barang

milik PT ABC yang sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit dan merupakan

barang-barang jaminan atas PB II – PB V PT ABC. Hal ini terlihat pada Pasal 2

Addendum PK Murabahah yang menyebutkan :

Page 84: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

71

Universitas Indonesia

Pasal 2

Objek Akad

Objek akad ini adalah Barang yang dibiayai oleh Bank dan atau menurut

pengakuan NASABAH adalah yang dibiayai dari fasilitas kredit yang

diperoleh NASABAH berdasarkan Perjanjian Kredit terdahulu dengan

spesifikasi sebagaimana diuraikan dalam Lampiran I Akad ini yang

merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad

ini.

Untuk pembelian barang-barang tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas

pembiayaan Murabahah yang jumlahnya sesuai dengan sisa utang pokok PT ABC

yang diperoleh dalam fasilitas kredit PB masing-masing ditambah dengan margin

keuntungan UUS Bank X sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Addendum PK

Murabahah. Dalam pasal 3 tersebut dijelaskan bahwa dalam fasilitas pembiayaan

Murabahah tersebut diawali dengan kesepakatan jual beli dimana UUS Bank X

menjual kepada PT ABC barang sebagaimana dimaksud pasal 2 di atas dan PT

ABC sepakat membeli barang tersebut dari UUS Bank X. Setelah melakukan jual

beli tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas pembiayaan Murabahah

(Murabahah II – Murabahah V) kepada PT ABC untuk pembelian barang

tersebut dengan komposisi harga jual terdiri dari harga beli ditambah margin

keuntungan bagi bank.

Page 85: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

72

Universitas Indonesia

Gambar 2.5. Kasus Posisi

Bank X

PT ABC

Debitur

Konvensional Unit Usaha Syariah

Perjanjian Kredit

PB II

PB III

PB IV

PB V

Surat Persetujuan Hawalah

(Utang Pokok PB II, PB

III, PB IV, PB V)

Qardh

(Bunga PB II,

PB III, PB IV,

PB V)

Addendum Perjanjian Kredit

Berdasarkan Pembiayaan

Murabahah

Murabahah III

Murabahah II

Murabahah IV

Murabahah V

Take Over / Konversi

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Agunan

A

Page 86: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

73

Universitas Indonesia

2.7. Analisis Mengenai Kesesuaian Pelaksanaan Konversi Kredit

Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah Berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa DSN

Bank yang menjadi pembahasan ini adalah Bank X dimana merupakan

bank umum konvensional yang memiliki UUS untuk menjalankan kegiatan usaha

perbankan syariahnya berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah.

2.7.1. Tentang Hawalah

Mengacu pada Fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah

dijelaskan bahwa pertimbangan adanya Hawalah ini bertujuan untuk pemindahan

penagihan utang seseorang kreditur kepada pihak lain yang dirasa mampu untuk

menanggung (membayar) utangnya si berutang. Berdasarkan Fatwa DSN tersebut,

maka Rukun Hawalah adalah sebagai berikut :

a. adanya muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang;

b. adanya muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil;

c. muhal ‘alaih yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib

membayar utang kepada muhal

d. muhal bih yaitu utang muhil kepada muhtal; dan

e. sighat atau ijab qabul.

Menurut Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali dapat ditambahkan Rukun

Hawalah sebagai berikut :

a. adanya muhil;

b. pihak muhal;

c. pihak muhal ‘alaih;

d. adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah utangnya;

e. adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan jumlah

utangnya;

f. adanya sigah (pernyataan Hawalah).

Hawalah tersebut dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal dan muhal

‘alaih yang dituangkan dalam akad dengan menyatakan secara tegas kedudukan

dan kewajiban para pihak.

Page 87: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

74

Universitas Indonesia

Dengan berpatokan pada surat Persetujuan Hawalah tersebut dan Fatwa

DSN tentang Hawalah dapat dikatakan bahwa mekanisme konversi utang PT

ABC tidak tepat menggunakan akad Hawalah mengingat akad Hawalah

diperuntukan bagi nasabah debitur dan kreditur (bank) dalam posisi yang sama-

sama saling memiliki utang dan bukan untuk pengalihan utang oleh nasabah

debitur. Hal ini didasari bahwa pada kenyataannya, sangat jarang terjadi suatu

bank memiliki utang kepada nasabah debiturnya. Adapun akad Hawalah ini jika

dianalogikan ke dalam hukum positif secara prinsipnya hampir mirip dengan

mekanisme Set Off atau Perjumpaan Utang/Kompensasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 1425 KUHPerdata91

yang mensyaratkan adanya 2 (dua) pihak yang

saling berutang satu sama lain, hanya saja perbedaannya mekanisme di

KUHPerdata tidak mensyaratkan 3 (tiga) pihak sebagaimana halnya Fatwa DSN

tentang Hawalah.

Melihat pada surat Persetujuan Hawalah tersebut, dapat dikatakan surat

tersebut tidak memenuhi unsur-unsur akad Hawalah sebagaimana diatur dalam

Fatwa DSN mengenai Hawalah karena tidak menyatakan secara tegas kedudukan

dan kewajiban para pihak (tidak diuraikan apa saja kewajiban muhil, kewajiban

muhal dan kewajiban muhal ‘alaih). Selanjutnya, untuk keberlakuan Hawalah

tersebut harus dengan persetujuan 3 (tiga) pihak yaitu muhil, muhal dan muhal

‘alaih, sedangkan surat Persetujuan Hawalah UUS Bank X hanya ditandatangani

oleh 2 (dua) pihak yaitu PT ABC dengan UUS Bank X (dalam surat tersebut

Divisi Komersial Bank X (konvensional) tidak ikut tanda tangan sebagai tanda

persetujuannya) sehingga menjadi tidak jelas mana pihak yang berposisi sebagai

muhil, muhal dan muhal ‘alaih dalam surat Persetujuan Hawalah dimaksud.

Berdasarkan pembahasan teori sebelumnya mengenai bentuk akad syariah

secara umum atau anatomi suatu akta, maka dapat dikatakan surat Persetujuan

Hawalah bukanlah bentuk suatu akta akad yang dimaksud dalam pembahasan

sebelumnya atau bentuk yang dapat dipersamakan dengan suatu bentuk akad

mengingat hal-hal berikut :

91

Pasal 1425 KUHPerdata berbunyi : “Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka

terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut

dihapuskan, dengan cara dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini”.

Page 88: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

75

Universitas Indonesia

1. tidak adanya kepala akta yang menyebut judul dan nomor akta

serta hari dan tanggal pelaksanaan akad Hawalah;

2. tidak adanya komparisi dari para pihak serta kecakapan bertindak

para pihak tersebut yang membuat akad Hawalah;

3. tidak ada latar belakang dibuatnya akad;

4. tidak jelasnya isi akad mengenai pelaksanaan Hawalah tersebut;

5. tidak diaturnya mengenai penyelesaian sengketa.

Berdasarkan pada SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan pada bagian

2.2.3.3, dapat dikatakan bahwa surat Persetujuan Hawalah tersebut tidak dapat

juga dikategorikan memenuhi unsur Hawalah Mutlaqah dimana salah satu syarat

Hawalah Mutlaqah adalah nilai pengalihan utang yang tertera di akad haruslah

sebesar nilai nominal seluruh utangnya, sedangkan dalam surat Persetujuan

Hawalah tersebut yang dialihkan hanyalah outstanding pokok hutang PT ABC

saja, adapun hutang bunga PT ABC ditalangi dengan Qardh (dengan kata lain,

Qardh hanya digunakan untuk melunasi hutang bunga PT ABC kepada Divisi

Komersial Bank X (konvensional), padahal semestinya Qardh tersebut digunakan

untuk melunasi seluruh outstanding pokok hutang berikut bunganya sekaligus).

Melihat mekanisme pengalihan utang dengan menggunakan Hawalah

tersebut juga terdapat keganjilan mengingat pelaksanaan hawalah tersebut

dikombinasikan dengan pelaksanaan Qardh untuk pelunasan utang bunga PT

ABC. Atas hal tersebut dan dikaitkan dengan Fatwa DSN No.12/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Hawalah, maka terdapat kesalahan penerapan Hawalah. Ini

dikarenakan tidak ada dalam praktik perbankan syariah dimana Hawalah

dikombinasikan dengan akad Qardh.

Perlu disampaikan bahwa sampai dengan penulisan ini, akad Hawalah

yang memenuhi unsur-unsur pembuatan akad yang baik (dari sisi rukun dan

syaratnya) tidak pernah dibuat oleh pihak UUS Bank X. Informasi yang diperoleh

penulis dari internal pihak Bank X menyampaikan bahwa surat Persetujuan

Hawalah tersebut mereka persamakan dengan akad Hawalah dan mereka

menganggap surat Persetujuan Hawalah dimaksud sudah benar sehingga tidak

perlu dibuat lagi suatu akad Hawalah tersendiri yang terpisah dari surat

Persetujuan Hawalah.

Page 89: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

76

Universitas Indonesia

Dalam praktik perbankan syariah, konsep Hawalah ini ada yang

menerjemahkannya sebagai konsep Take Over Pembiayaan dengan tidak

menggunakan akad Hawalah itu sendiri. Sedangkan apabila menggunakan akad

Hawalah, akad yang digunakan haruslah akad tabarru’ yang pada prinsipnya

merupakan akad tolong-menolong yang murni bersifat sosial dan tidak boleh

mengambil keuntungan dari peristiwa akad tersebut. Dengan demikian,

mekanisme konversi utang disini juga tidak sesuai dengan yang diatur dalam

SEBI 10/14/DPbS tersebut. Disamping itu, dalam pelaksanaan Hawalah tersebut

dapat menimbulkan pelanggaran hukum atas akad Hawalah dikarenakan dapat

terjadi Two in One atas suatu tindakan, yaitu Hawalah untuk pelunasan

outstanding hutang pokok fasilitas kredit dan Qardh untuk pelunasan bunga

berjalan yang dijadikan dalam satu akad.

2.7.2. Tentang Qardh

SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan di atas mengatur adanya dana

talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang untuk terjadinya akad Hawalah

tersebut dari Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X.

Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa Rukun Al-Qardh adalah

sebagai berikut :

a. Peminjam/Muqtaridh

b. Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh

c. Jumlah dana/Qardh

d. Ijab Kabul/Shighat.

Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut :

a. Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan

b. Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal.

Pemberian qardh pada kasus ini dapat dikatakan memenuhi Rukun Al-

Qardh tetapi tidak dapat dikatakan telah memenuhi Syarat Al-Qardh karena dana

yang digunakan belum dapat dikatakan memberikan manfaat secara maksimal

mengingat dana talangan qardh tersebut hanya diberikan untuk pembayaran

bunga berjalan saja, tidak diberikan juga untuk pembayaran outstanding utang

pokoknya. Hal ini bertentangan dengan tujuan dana talangan (qardh) yang

Page 90: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

77

Universitas Indonesia

sebenarnya diberikan bahwa dana talangan adalah digunakan untuk memberikan

pelunasan bagi nasabah atas seluruh utang-utangnya di bank konvensional. Di lain

sisi terdapat keganjilan dalam pemberian qardh tersebut karena pelaksanaan akad

qardh tersebut dicampur dengan pelaksanaan akad Hawalah.

Dalam pemberian dana talangan tersebut, ternyata tidak di-cover dengan

adanya akad Qardh antara UUS Bank X dan PT ABC untuk melunasi utang

kepada Divisi Komersial Bank X (konvensional). Hal tersebut dapat menimbulkan

celah bagi nasabah untuk tidak berlaku jujur atas jumlah dana qardh yang

diperolehnya mengingat dalam Fatwa DSN no. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-

Qardh menjelaskan bahwa nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang

diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, seharusnya

UUS Bank X membuat akad Qardh tersendiri untuk pemberian dana talangan

tersebut bagi PT ABC. Pembuatan akad tersebut bertujuan guna melindungi

kepentingan UUS Bank X mengingat dalam pemberian dana talangan tersebut,

bank dapat meminta jaminan kepada nasabah guna menjaga kepentingan bank

apabila nasabah wanprestasi untuk pengembalian dana talangan tersebut.

Pelaksanaan Qardh tersebut terdapat kesalahan yaitu dengan pemberian

dana talangan dari UUS Bank X kepada PT ABC untuk pembayaran bunga

berjalan sampai dengan tanggal dilakukannya konversi fasilitas kredit menjadi

fasilitas pembiayaan Murabahah. Dalam pembahasan di sub bab sebelumnya

terdapat hadist dari Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang

memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan

beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Apabila dikaitkan

dengan pemberian qardh oleh UUS Bank X, maka berdasarkan hadis tersebut

UUS Bank X dapat dikategorikan sebagai pihak yang memberikan riba kepada PT

ABC untuk melakukan pembayaran bunga berjalan tersebut dimana bunga dalam

konteks prinsip syariah adalah termasuk riba. Dengan demikian adalah suatu

tindakan yang tidak tepat dan diharamkan secara syariah pemberian qardh oleh

UUS Bank X untuk pembayaran bunga berjalan.

Sehingga, dalam pemberian dana talangan ini terjadi suatu bentuk

penyelundupan hukum yang berupa jumlah dana talangan yang tidak dapat

digunakan untuk melunasi seluruh utang PT ABC. Hal ini berdampak pada objek-

Page 91: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

78

Universitas Indonesia

objek jaminan yang diberikan PT ABC tetap mengacu pada perjanjian kredit PB

sebagai perjanjian pokoknya, padahal di lain sisi, fasilitas kredit PB tersebut telah

beralih menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah.

2.7.3. Tentang Pengalihan Utang

Apabila dikaitkan dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002

tentang Pengalihan Utang dalam pertimbangannya bahwa salah satu jasa

pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini adalah

membantu pengalihan transaksi non syariah (konvensional) yang telah berjalan

menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Dalam pembahasan fatwa

pengalihan utang pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa pengalihan utang

dapat dilakukan melalui 4 (empat) alternatif yang dapat dipilih. Terhadap keempat

alternatif yang diberikan dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa tidak terdapat

akad atau skema Hawalah yang digunakan sebagai pengalihan utang dari

transaksi non syariah (konvensional) ke transaksi syariah. Jadi, dapat disimpulkan

keberadaan akad Hawalah tersebut pada kasus yang diangkat, adalah tidak tepat

mengingat untuk maksud pengalihan utang sebagaimana yang dilakukan PT ABC

lebih tepat jika menggunakan salah satu dari 4 (empat) alternatif yang diatur

dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang tersebut.

Skema alternatif pengalihan utang berdasarkan Fatwa DSN Nomor

31/DSN-MUI/VI/2002 yang juga dijelaskan dalam Gambar 1 Pengalihan Utang

Alternatif Pertama tersebut diatas, salah satunya adalah dengan menggunakan

akad Qardh terlebih dahulu dari LKS sebagai pinjaman untuk melunasi utang

nasabah ke bank konvensional kemudian dilanjutkan dengan fasilitas pembiayaan

Murabahah antara nasabah dengan LKS. Melihat pada Addendum PK

Murabahah tersebut, maka fasilitas kredit PB yang diperoleh PT ABC dikonversi

menjadi pembiayaan Murabahah dengan sebelumnya UUS Bank X mengucurkan

pinjaman dengan akad Qardh yang digunakan hanya untuk pembayaran bunga

dari kredit PB tersebut. Namun dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang, LKS

memberikan Qardh untuk melunasi utang/kreditnya sehingga aset nasabah yang

dibeli dengan kredit dari LKK yang belum lunas tersebut, menjadi aset LKS.

Dengan demikian terjadi kesalahan penerapan Qardh atau tidak sesuai fatwa

Page 92: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

79

Universitas Indonesia

tersebut mengingat yang dinamakan utang disini adalah sejumlah pokok ditambah

bunga yang wajib diberikan pinjaman Qardh, sedangkan Qardh yang didapat oleh

PT ABC hanya untuk pembayaran bunga tanpa pokok utangnya sehingga tidak

melunasi seluruh utang PT ABC. Terhadap skema Murabahah dalam kasus

tersebut yang digunakan untuk pembiayaan atas barang-barang yang telah dibeli

PT ABC melalui fasilitas kredit sebelumnya, telah sesuai dengan maksud dari

Fatwa DSN tentang Pengalihan Utang tersebut. Hal ini dapat disimpulkan pada

Pasal 2 Addendum tersebut bahwa yang menjadi objek akad di Addendum adalah

barang yang dibiayai oleh bank (dalam hal ini Divisi Komersial Bank X) melalui

fasilitas kredit PB berdasarkan perjanjian kredit terdahulu. Dalam Pasal 3

Addendum tersebut juga dijelaskan bahwa bank (dalam hal ini UUS Bank X)

menjual barang kepada nasabah (PT ABC) dan nasabah sepakat untuk membeli

barang dimaksud dimana dijelaskan oleh bank nilai harga barang dimaksud dan

margin/keuntungan yang diminta oleh bank dari Murabahah II sampai dengan

Murabahah V.

Melihat pada kasus bahwa pelaksanaan pengalihan utang tersebut tidak

sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan

Utang dengan merujuk pada alternatif-alternatif yang ada, maka dapat

disimpulkan akad tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya akad (Shihah).

Dalam pembahasan di atas dijelaskan bahwa syarat sahnya akad (Shihah), yaitu

syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah

apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban

umum dan kesusilaan. Hal ini berdampak juga terhadap akad Murabahah yang telah

dibuat dimana dapat menjadi tidak sah sebagaimana pada pembahasan pelanggaran

hukum dalam kontrak di atas. Dengan demikian, akad pengalihan utang ini dapat

dianggap bertentangan dengan Fatwa DSN tersebut.

2.7.4. Tentang Murabahah

Sesuai Fatwa Murabahah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 bahwa dalam

mekanisme Murabahah, bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama

bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank kemudian menjual

barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus

Page 93: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

80

Universitas Indonesia

keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok

barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

Apabila skema murabahah di atas dihubungkan dengan transaksi murabahah

antara UUS Bank X dengan PT ABC, maka dapat diuraikan 2 (dua) tahapan sebagai

berikut :

a. Jual beli 1

Dalam tahap ini, PT ABC menjual secara prinsip kapal-kapal tersebut kepada

UUS Bank X. Adapun nilai kapal-kapal yang dijual secara prinsip tersebut

jumlahnya setara dengan nilai outstanding hutang pokok yang berasal dari

fasilitas kredit PB. Transaksi tersebut seolah-olah dilakukan secara sah namun

tidak demikian kenyataannya. Kapal – kapal milik PT ABC tersebut

sebenarnya tidak pernah berpindah secara prinsip dari PT ABC kepada UUS

Bank X. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk bai’ al inah. Dalam

pembahasan sebelumnya dijelaskan bai’ al inah dikategorikan oleh sebagian

besar jumhur ulama sebagai tindakan riba. Dengan demikian, jual beli 1 ini

dapat dikategorikan sebagai jual beli bai’ al inah.

b. Jual beli 2

Untuk “menghalalkan” transaksi jual beli 1 tersebut, maka UUS Bank X

menjual kembali kapal-kapal tersebut secara prinsip kepada PT ABC. Dalam

kenyataannya, objek yang sebenarnya “diperjualbelikan” adalah nilai utang

pokok PT ABC yang telah ditambah sejumlah margin, bukan nilai kapalnya

tersebut. Hal tersebut dilakukan agar seolah-olah terjadi jual beli kapal-kapal

secara prinsip.

Dengan demikian terdapat kesalahan penerapan akad murabahah dalam kasus

tersebut yang menimbulkan bai’ al inah sebagai bentuk salah satu riba.

2.7.5. Tentang Akta Notariil dan Peranan Notaris

Memperhatikan akta Addendum PK Murabahah, maka dapat dijelaskan

bahwa secara anatomi akta sebagaimana dimaksud pasal 38 UUJN yang terdiri

dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta Addendum PK Murabahah tersebut

telah sesuai dengan bentuk anatomi suatu akta notariil. Hanya saja sekilas terdapat

keganjilan pada bagian judul akta Addendum PK Murabahah tersebut judul akta

Page 94: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

81

Universitas Indonesia

tertulis “Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan

Murabahah”. Namun hal ini dapat dipahami bahwa subjek dalam perjanjian kredit

dan akad murabahah adalah pihak yang sama yaitu Bank X dan debitur PT ABC

walaupun pada kenyataannya terjadi peralihan piutang dalam institusi Bank X dari

Divisi Komersial yang notabene berdasarkan prinsip perbankan konvensional

kepada UUS Bank X yang menjalankan operasional perbankan berdasarkan

prinsip syariah, tetapi masih dalam 1 (satu) institusi perbankan.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk memuat akta otentik

sejauh mana pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat

umum lainnya. Pembuatan akta otentik tersebut selain diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan, juga karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang

berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus

diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Berkaitan dengan kewajiban

Notaris sebagai pejabat umum tersebut, maka dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a)

UUJN dijelaskan bahwa salah satu kewajiban Notaris harus bertindak jujur,

seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait

dalam perbuatan hukum. Ditambahkan pula dalam Penjelasan UUJN bahwa

Notaris juga mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat

dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan

kehendak para pihak yang salah satu caranya dengan memberikan informasi

terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perbuatan hukum

yang dituangkan dalam akta tersebut.

Dengan berlandaskan pada kewajiban-kewajiban seorang Notaris, maka

seharusnya Notaris OHCU tersebut bertindak secara seksama, mandiri, tidak berat

kepada salah satu pihak saja guna menjaga kepentingan para pihak yaitu PT ABC

dan Bank X sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau membuat salah satu

pihak memiliki posisi tawar yang lebih besar dibanding pihak lainnya. Apabila

dikaitkan dengan kesalahan mekanisme konversi fasilitas kredit PB menjadi

fasilitas pembiayaan Murabahah, maka seorang Notaris juga dituntut berperan

mengetahui segala informasi peraturan perundang-undangan termasuk Fatwa-

fatwa DSN yang terkait dengan transaksi yang akan dilakukan PT ABC dan Bank

Page 95: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

82

Universitas Indonesia

X tersebut guna menghindari kesalahan penerapan Fatwa Pengalihan Utang.

Dengan mengerti dan memahami seorang Notaris terhadap peraturan perundang-

undangan yang digunakan dalam suatu transaksi, maka peran edukasi hukum

seorang Notaris pun berjalan dengan baik sehingga pada akhirnya dapat

meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.

2.8. Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah

Diberikan Debitur PT ABC

Perlu disampaikan bahwa dalam kasus tersebut, jaminan kredit atau

agunan yang diberikan oleh PT ABC dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga)

kelompok lembaga jaminan. Lembaga jaminan tersebut yaitu Fidusia atas Piutang

PT ABC, Hipotek atas Kapal Laut serta Jaminan Perorangan berupa Personal

Guarantee.

2.8.1. Lembaga Jaminan Fidusia

Pada kasus tersebut PT ABC memberikan jaminan kepada Bank X Divisi

Komersial (konvensional) berupa Account Receivables (AR) atau Piutang kepada

PT KSM atas fasilitas kredit PB II, Account Receivables (AR) atau Piutang

kepada PT SSDK serta barang-barang inventory atas fasilitas kredit PB III, serta

Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya kepada PT

GM atas fasilitas kredit PB V yang kesemuanya telah didaftarkan dengan adanya

Sertifikat Fidusia.

Pada Pasal 4 UUJF disebutkan bahwa Jaminan Fidusia merupakan

perjanjian accessoir atas perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi

para pihak. Mengacu pada pasal 4 UUJF tersebut, dapat dikatakan piutang-piutang

tersebut merupakan accessoir atas perjanjian pokoknya yang berupa Perjanjian

Kredit PB II, Perjanjian Kredit PB III dan Perjanjian Kredit PB V. Namun

fasilitas-fasilitas kredit tersebut telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan

Murabahah II, fasilitas pembiayaan Murabahah III dan fasilitas pembiayaan

Murabahah V yang menggunakan mekanime dana talangan (qardh) atas bunga

berjalan. Mengacu pada analisis 2.6 di atas mengenai dana talangan (qardh)

bahwa dana talangan hanya diberikan untuk pembayaran bunga berjalan tidak

Page 96: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

83

Universitas Indonesia

termasuk pembayaran utang pokoknya (pelunasan seluruh utang), maka hal

tersebut dapat menimbulkan penyelundupan hukum atas pelaksanaan Jaminan

Fidusia.

Penyelundupan hukum dalam pelaksanaan Fidusia dilakukan dengan

mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan seluruh utang

debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga diharapkan dana

talangan dapat melunaskan utang PT ABC berupa PB II sampai PB V, selanjutnya

fidusia atas piutang-piutang, barang inventory dan mesin-mesin tersebut menjadi

hapus. Namun kenyataannya dalam kasus tersebut tidak demikian dimana Fidusia

yang digunakan untuk pembebanan atas piutang-piutang dari PB II sampai PB V

tetap berjalan walaupun PB II sampai PB V tersebut telah dikonversi menjadi

fasilitas pembiayaan Murabahah.

Mengacu pada pasal 25 UUJF bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-

hal berikut :

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Seharusnya agar sesuai dengan penerapan pasal 25 UUJF tersebut, Bank X

melakukan penghapusan/roya atas piutang-piutang, barang-barang inventory dan

mesin-mesin yang masih dibebankan dengan mengacu pada perjanjian kredit

untuk selanjutnya dilakukan pembebanan fidusia yang baru untuk menjamin

fasilitas pembiayaan Murabahah hasil konversi dari fasilitas PB tersebut.

Pembebanan Fidusia yang baru tersebut adalah dengan melaksanakan akad

Rahn Tasjily sebagaimana telah dibahas pada sub bab 2.2.5. sebelumnya. Rahn

Tasjily adalah pemberian jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang

jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin

(atau pemberi fidusia) dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada Murtahin

(atau penerima fidusia) sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSN-

MUI/III/2008. Dalam konteks pelaksanaan konversi fasilitas kredit PB menjadi

fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut, maka terdapat kesalahan pelaksanaan

pembebanan jaminan-jaminan yang terkait dengan fidusia tersebut dimana

jaminan-jaminan tersebut tetap menggunakan akta pembebanan fidusia untuk

Page 97: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

84

Universitas Indonesia

fasilitas kredit PB – PB tersebut. Akad Rahn Tasjily, yang dilakukan antara UUS

Bank X dengan PT ABC, merupakan accessoir dengan akad Murabahah dimana

PT ABC menyerahkan bukti-bukti kepemilikan barang/mesin-mesin yang

dijadikan jaminan serta daftar piutang dagang beserta kontrak dagang – kontrak

dagang PT ABC dengan pihak ketiga. Guna mengikatkan jaminan-jaminan

tersebut maka setelah pelaksanaan akad Rahn Tasjily tersebut, dilanjutkan dengan

akta notaris tentang pembebanan Jaminan Fidusia serta mendaftarkannya ke

Kantor Fidusia. Dengan seharusnya dilaksanakan akad Rahn Tasjily tersebut maka

seharusnya dapat terlaksana penerapan prinsip syariah, baik terhadap fasilitas

pembiayaan Murabahah juga terhadap pembebanan jaminan atas fasilitas

pembiayaan Murabahah-nya.

2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut

Dalam kasus tersebut pada PB II PT ABC memberikan jaminan Hipotek

berupa 1 (satu) unit Kapal Tug Boat dan 4 (empat) unit kapal Tongkang, 3 (tiga)

unit kapal tongkang untuk jaminan Hipotek pada PB III dan 1 (satu) unit Kapal

Tongkang atas jaminan kredit fasilitas PB IV.

Berdasarkan pasal 60 ayat 1 dan ayat 2 UU Pelayaran bahwa kapal yang

yang telah terdaftar Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan

pembebanan Hipotek yang dibuat dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik

Nama Kapal ditempat kapal didaftar dan dicatatkan dan sebagai bukti kapal

tersebut telah dibebani Hipotek dengan adanya Grosse Akta Hipotek Kapal. Atas

suatu kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) Hipotek dimana peringkatnya

tergantung dari tanggal dan nomor urut akta Hipotek tersebut.

Dalam peraturan pelaksana UU Pelayaran yaitu Permenhub Pelayaran

pada Pasal 37 dan Pasal 38 dijelaskan bahwa kapal yang tidak lagi dibebankan

Hipotek, maka dilakukan pencoretan Hipotek (roya) yang dilakukan oleh Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal. Permohonan roya ini dapat dilakukan

baik oleh pemberi maupun penerima hipotek atau karena adanya putusan

Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap.

Lembaga jaminan Hipotek Kapal ini juga mengenal adanya pengalihan

Hipotek kapal dengan pembuatan akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat

Page 98: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

85

Universitas Indonesia

Pendaftar Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar

induk kapal yang bersangkutan. Pengalihan Hipotek ini dimohonkan oleh si calon

penerima pengalihan hipotek dengan mengajukan kepada Pejabat Pendaftar

Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dengan buktinya diterbitkan Grosse

Akta Pengalihan Hipotek Kapal sebagaimana diatur alam Permenhub Pelayaran

tersebut.

Apabila dikaitkan dengan kasus konversi utang PT ABC dan

memperhatikan bahwa Hipotek adalah accessoir dengan perjanjian pokoknya,

maka Hipotek tersebut tidak hapus dikarenakan konversi tersebut. Hal ini

mengingat adanya penyelundupan hukum dalam pemberian dana talangan.

Seharusnya dengan dilakukan konversi utang tersebut, maka jaminan kredit atas

kapal melalui Hipotek ikut dialihkan atau dilakukan roya untuk diubah menjadi

nama pemegang Hipotek baru.

Jaminan kredit atas kapal tersebut seharusnya dapat dilakukan pengubahan

nama pemegang Hipotek, baik dengan roya atau dengan pengalihan hipotek kapal.

Pelaksanaan roya dapat dilakukan dengan permohonan yang diajukan, baik oleh

UUS Bank X atau Divisi Komersial Bank X. Untuk selanjutnya dilakukan

pembebanan Hipotek kembali atas nama UUS Bank X yang dilakukan dihadapan

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.

Mekanisme lain untuk pengubahan nama pemegang Hipotek adalah

dengan pengalihan hipotek kapal tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk

mengubah status jaminan kredit tersebut dari pemegang Hipotek awal Bank X

Divisi Komersial menjadi pemegang Hipotek yang sesuai dengan akta fasilitas

pembiayaan Murabahah yaitu UUS Bank X.

Mengingat fasilitas pembiayaan yang diperoleh PT ABC setelah konversi

utang adalah fasilitas pembiayaan Murabahah, maka perlu dilakukan pengikatan

akad Rahn terlebih dahulu. Akad Rahn, sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN

Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, sebaiknya yang dilakukan oleh UUS Bank X

dengan PT ABC untuk memperbaiki kesalahan pada penerapan konversi fasilitas

kredit PB – PB menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Akad ini bersifat

accessoir dengan akad fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut. Oleh karenanya

guna menjamin atas kapal-kapal milik PT ABC tersebut, PT ABC dan UUS Bank

Page 99: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

86

Universitas Indonesia

X mengadakan akad Rahn tersebut dengan dilanjutkan pembuatan pembuatan akta

hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat

kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

2.8.3. Lembaga Jaminan Personal Guarantee (PG)

PG dalam kasus tersebut digunakan sebagai jaminan kredit tambahan

selain dari Fidusia atas piutang, inventory dan mesin-mesin serta Hipotek atas

kapal-kapal. PG ini diberikan oleh Tuan KL dan Tuan HE sebagai jaminan kredit

PB II dan PB III yang pembebanannya melalui akta notariil PG.

PG merupakan jenis jaminan yang menimbulkan hubungan langsung

dengan orang tertentu yang memberikan PG tersebut, tidak memberikan hak

untuk didahulukan pada benda-benda tertentu. Berdasarkan pasal 1822

KUHPerdata bahwa penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk syarat yang

lebih berat dari perikatan si berutang, namun penanggungan hanya boleh diadakan

hanya untuk sebagian saja dari utangnya si debitur. Perjanjian penanggungan ini

adalah perjanjian accessoir atas perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian

pokoknya batal maka perjanjian penanggungan ini juga batal, hal tersebut

tercantum dalam pasal 1821 KUHPerdata.

Mengacu pada kasus bahwa terjadinya konversi utang yang salah satu

caranya dengan mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan

seluruh utang debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga

diharapkan dana talangan dapat melunasi utang PT ABC berupa PB II sampai PB

V, selanjutnya PG yang melekat menjadi hapus. Namun kenyataannya dalam

kasus tersebut tidak demikian, dimana PG-PG yang diberikan sebagai jaminan

kredit untuk PB II sampai PB V tetap berjalan walaupun PB II – PB V tersebut

telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah.

Berdasarkan pasal 1821 KUHPerdata tersebut di atas dan dikaitkan dengan

kasus PT ABC tersebut, maka seharusnya PG – PG tersebut diikat kembali

dengan akta notariil dengan merujuk pada akad fasilitas pembiayaan Murabahah

untuk menggantikan akta notariil pengikatan PG yang masih merujuk kepada

perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya.

Page 100: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

87

Universitas Indonesia

Pengikatan PG – PG tersebut tentunya dengan menggunakan prinsip

syariah yaitu akad Kafalah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor

11/DSN-MUI/IV/2000. Sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya

yaitu 2.2.4.2 butir (h) mengenai Kafalah, dengan Rukun dan Syaratnya sebagai

berikut :

1. Pihak Penjamin (Kafil)

Pihak penjamin dalam kasus ini adalah Tuan KL dan Tuan HE.

2. Pihak Orang Yang Berutang (Makful ‘anhu ashil)

Debitur atau orang yang berutang adalah PT ABC.

3. Pihak Orang Yang Berpiutang (Makful lahu)

Kreditur atau orang yang berpiutang adalah UUS Bank X

4. Objek Penjaminan (Makful bihi)

Dalam hal ini objek penjaminan adalah kapal-kapal yang dimiliki PT

ABC yang diperoleh dari fasilitas kredit sebelumnya.

Mengingat telah dilakukannya konversi/take over atas fasilitas kredit PB menjadi

fasilitas pembiayaan muarabahah, maka konsekuensi hukumnya adalah jaminan-

jaminan yang melekat pada fasilitas kredit agar disesuaikan juga dengan prinsip

syariah, salah satunya PG – PG tersebut. Penyesuaian dengan prinsip syariah

tersebut adalah dengan dilakukannya akad Kafalah sebagai pengganti konsep

penjaminan personal guarantee yang melekat di fasilitas kredit konvensional

tersebut.

Dalam kasus ini PG – PG tersebut tetap dilakukan dengan akta penjaminan

tanpa diubah dengan akad Kafalah atas penjaminan yang dilakukan oleh Tuan KL

dan Tuan HE selaku Kafil dalam fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut.

Seharusnya, agar PG – PG tersebut tetap melekat sebagai jaminan dalam fasilitas

pembiayaan Murabahah tersebut maka Tuan KL dan Tuan HE tersebut

melaksanakan akad Kafalah sebagai bentuk penjaminan pribadi sesuai dengan

prinsip syariah. Hal tersebut perlu dilaksanakan mengingat dalam akta penjaminan

PG – PG tersebut menuangkan penjaminan atas fasilitas kredit PT ABC, yang

tentunya fasilitas kredit dari Divisi Komersial (konvensional). Dengan demikian

jaminan PG – PG dalam pelaksanaan konversi/take over ini dapat mengakibatkan

Page 101: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

88

Universitas Indonesia

percampuran antara pelaksanaan perbankan konvensional yang haram dengan

prinsip syariah yang halal.

Page 102: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

89

Universitas Indonesia

BAB 3

PENUTUP

3.1. SIMPULAN

Berdasarkan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Mekanisme konversi/take over kredit atas debitur PT ABC dari fasilitas

kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada

UUS Bank X dimulai saat tahun 2010 dimana PT ABC melakukan take over

fasilitas kredit yang telah diperoleh yaitu Pinjaman Berjangka II sampai

Pinjaman Berjangka V melalui Divisi Komersial Bank X menjadi fasilitas

pembiayaan Murabahah II sampai Murabahah V melalui UUS Bank X.

Pelaksanaan take over atau konversi tersebut dengan metode hawalah yang

di dalamnya dikombinasi dengan akad qardh untuk menalangi atas bunga

berjalan. Setelah pelaksanaan hawalah tersebut dilanjutkan dengan metode

murabahah yaitu pembelian atas barang-barang milik PT ABC yang

sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit tersebut.

2. Terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau kesalahan dalam pelaksanaan

konversi fasilitas kredit Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan

syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk Fatwa DSN.

Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

- Ketidaksesuaian menggunakan akad hawalah untuk melaksanakan

konversi utang PT ABC tersebut;

- Kesalahan penggunaan akad qardh untuk menalangi bunga berjalan

karena mengakibatkan riba;

Page 103: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

90

Universitas Indonesia

- Pelaksanaan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan

syariah tersebut tidak sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-

MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang;

- Kesalahan penerapan akad murabahah yang menimbulkan bai’ al

inah;

- Peran edukasi hukum seorang Notaris belum berjalan dengan baik

guna meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.

3. Terkait status hukum jaminan kredit atau agunan yang telah diberikan

debitur PT ABC, terdapat kesalahan pembebanan jaminan-jaminan yang

diberikan PT ABC yaitu sebagai berikut :

a. Atas barang-barang yang dibebankan melalui lembaga jaminan fidusia

tidak didahului dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily.

b. Pengikatan Hipotek atas kapal-kapal jaminan PT ABC tidak dilakukan

dengan pelaksanaan akad Rahn.

c. Terhadap jaminan Personal Guarantee tidak dilakukan penyesuaian

dengan prinsip syariah tersebut yaitu dengan dilakukannya akad

Kafalah sebagai pengganti konsep penjaminan personal guarantee yang

melekat di fasilitas kredit konvensional tersebut.

3.2. SARAN

Dengan memperhatikan teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang

telah dibahas dan diuraikan dalam bab sebelumnya, maka Penulis menyarankan

sebagai berikut :

1. Para pelaksana kegiatan perbankan syariah dan Notaris pembuat akta

fasilitas pembiayaan syariah hendaknya mengetahui, memahami dan

menerapkan fatwa-fatwa DSN mengenai kegiatan ekonomi perbankan

syariah secara tepat dan dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan

kegiatan perbankan syariah. Khususnya pihak bank tersebut seharusnya

menjelaskan secara detail bisa atau tidaknya pelaksanaan pengalihan utang

di Bank X tersebut guna meminimalisir risiko cacatnya pelaksanaan akad

perbankan syariah tersebut.

Page 104: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

91

Universitas Indonesia

2. Dewan Pengawas Syariah, selaku pengawas kegiatan syariah di UUS Bank

X, hendaknya dapat memberikan saran dan pendapat yang jelas atas

pelaksanaan kegiatan perbankan syariah terutama terkait dengan

permasalahan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan syariah.

3. Pemerintah seharusnya memberikan jalan keluar berupa produk-produk

perundang-undangan dan/atau kebijakan-kebijakan dalam perbankan syariah

guna mendorong pertumbuhan kegiatan perbankan syariah.

3. Lembaga keuangan khususnya perbankan syariah, baik yang berupa unit

usaha syariah maupun bank syariah, hendaknya menelaah kembali substansi

standar akad-akadnya terutama mengenai pelaksanaan konversi/take over

utang dari fasilitas kredit konvensional menjadi fasilitas pembiayaan

syariah. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih antara akad satu

dengan akad lainnya yang pada prinsipnya bertentangan.

Page 105: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

I. Buku

Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Cet.1. Bandung : PT

Refika Aditama, 2011.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta :

Gema Insani Press, 2001.

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam

Fikih Muamalat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Black’s, Henry Campbell. Black Law Dictionary. St. Paul Minn : West Publishing

Co. 1990.

Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.

Jakarta: Kencana, 2005.

Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan Indonesia. Cet.5. Bandung : PT Citra

Aditya Bakti, 2006.

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Jaminan Jilid 2. Cet. 3. Jakarta : CV Indhill Co, 2009.

Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam

Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi). Bandung :

Mandar Maju, 2004.

Karim, Adiwarman A. Islamic Banking. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Page 106: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Universitas Indonesia

Lestari, Ahdiana Yuni dan Endang Heriyani. Dasar-Dasar Pembuatan Kontrak

dan Aqad. Yogyakarta : MocoMedia, 2009.

Nafis, M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press). 2011.

Naja, H. R. Daeng. Akad Bank Syariah. Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.

Perwaatmadja, Karnaen et al. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta :

Kencana, 2005.

Purnamasari, Irma Devita dan Suswinarno. Akad Syariah. Bandung : Kaifa, 2011.

Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek

Hukumnya. Cet.1. Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010.

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank. Bandung : Alfabeta, 2004.

Subekti (1). Hukum Perjanjian. Cet.10. Jakarta : Intermaasa, 1986.

Subekti (2). Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia. Bandung : Alumni, 1982.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT

Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Wiroso. Produk Perbankan Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT

Sardo Sarana Media, 2009.

II. Peraturan

Indonesia. Undang-undang Perbankan. UU No. 10 tahun 1998. LN No. 182

Tahun 1998. TLN No.3790.

Page 107: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Universitas Indonesia

________. Undang-undang Perbankan Syariah. UU No. 21 Tahun 2008. LN No.

94 Tahun 2008 TLN No. 4867.

____________. Undang-Undang Jaminan Fidusia. UU No. 42 Tahun 1999. LN

No. 168 Tahun 1999.

____________. Undang-undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64

Tahun 2008.

____________. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004.

Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah

Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta

Pelayanan Jasa Bank Syariah. PBI No. 9/19/PBI/2007. LN No.165 Tahun

2007.

____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit

Usaha Syariah. No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.

____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan

Unit Usaha Syariah. PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008.

LN No. 137 Tahun 2008.

Kementerian Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran

dan Kebangsaan Kapal. Permenhub No. 13 Tahun 2012.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH.,

dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradya Paramita, 2001.

Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah. PERMA No. 2 tahun 2008.

Page 108: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Universitas Indonesia

III. Disertasi

Barlinti, Yeni Salma. ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem

Hukum Nasional di Indonesia”. Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. Jakarta, 2010.

IV. Internet

Kamus Bank Indonesia.

http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search

=False&rule=last. diakses tanggal 10 November 2012.

Hadist Riba. http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-

riba.htm#.UNxkXm83aQM. diakses tanggal 27 Desember 2012.

Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts

Available In Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In

Contemporary Islamic Finance. http://arzim.blogspot.com/2010/02/issues-

in-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html. diakses tanggal 29 Desember 2012.

Page 109: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

LAMPIRAN

Page 110: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Lampiran 1 :Surat Persetujuan Hawalah

Lampiran 2 :

Page 111: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 112: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 113: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 114: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam

Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah

Page 115: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 116: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam
Page 117: KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334172-T32562-Rahma Adhyatmika.pdf · Metode Penelitian 9 ... Sunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam