sebuah ijtihad

Upload: de-ewo-asmoro

Post on 12-Jul-2015

928 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Review buku ini dapat dilihat pada alamat berikut: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2236932-sebuah-ijtihad-islam-kristen-dan/

TRANSCRIPT

H.E. SEMEDI

SEBUAH IJTIHAD

1984

Dicetak oleh Percetakan Sabdodadi, Jakarta.

Kata PendahuluanBISMILLAAHIRRAAMAANIRRAHIM Seorang ulama besar Islam, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, yang lahir di Afghanistan tahun 1839 dan meninggal di Turki tahun 1897 Masehi, pernah menulis: Sebenarnya Al-Quran ini masih perawan! Para ahli tafsir belum lagi meresapi serta menyelami lubuknya yang unik serta maha dalam. Mereka hanya baru menjamah dan menyentuh-nyentuh tubuh bagian luar dari Al-Quran. Selain itu, dalam Al-Quran banyak ayat yang mewajibkan umat manusia merenungkan isi Al-Quran, seperti misalnya ayat Q. 38:29 (= Surat 38 ayat 29), yang berbunyi:

Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran. Juga para pemimpin agama negara kita sejak dahulu sampai sekarang sering menyerukan agar umat Islam suka mempelajari isi Al-Quran untuk menggali ajaran-ajaran dan rahasia-rahasia yang masih terpendam dalamnya. (Bahkan dalam Surat Kabar BERITA BUANA tertanggal 11 Agustus 1983 diberitakan bahwa Bapak Menteri Agama RI pada Dies Natalis IAIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, tanggal 9 Agustus 1983 menyerukan agar para sarjana Islam selalu berbuat ijtihad, berpikir untuk menemukan gagasan-gagasan dan pandangan baru tentang perincian dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Quran.) Sehubungan dengan hal-hal di atas, saya, seorang Muslim, telah berusaha mempelajari pelbagai buku terjemahan Al-Quran sambil berijtihad, dan, di luar dugaan, menemukan suatu ajaran mendasar yang menurut penafsiran dan penalaran saya bertentangan dengan pandangan umum umat Islam sekarang. Adapun penemuan yang saya maksud adalah paham reinkarnasi dalam arti bahwa setelah bangkit di alam gaib tak lama setelah meninggal dan hidup di sana selama suatu masa waktu (hidup akhirat), manusia akan dilahirkan atau diciptakan kembali ke dunia - sebagai bayi manusia, melalui rahim seorang ibu tanpa harus menunggu dahulu tibanya apa yang dinamakan akhir dunia, akhir zaman, atau hari kiamat. (Reinkarnasi berarti ulangan inkarnasi, dan inkarnasi berasal dari kata Latin incarnatio, dan berarti penjelmaan atau hal menjadi manusia. Kata kerjanya adalah incarnare atau incarno, yang terdiri dari unsur kata in (dalam) dan caro atau carnis (daging), dan berarti menjadi daging, menjelma, atau, dengan terjemahan bebas, dilahirkan.) Kata daging di atas terdapat pula sehubungan dengan penciptaan atau kelahiran manusia dalam Kitab Injil, Yohanes 3:6, yang berbunyi: Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah Roh. dan dalam Al-Quran ayat Q. 23:14:

Kemudian Kami jadikan tetes (mani) itu suatu bekuan; kemudian Kami jadikan bekuan itu gumpalan; kemudian Kami jadikan gumpalan itu tulang-belulang; kemudian Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging; dan kemudian Kami keluarkan dia sebagai ciptaan lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Terbaik. (Catatan: Reinkarnasi harus dibedakan dari metempsychosis atau transmigration, suatu kepercayaan dalam agama Hindu yang mengatakan bahwa ruh manusia yang telah meninggal dapat bereinkarnasi dalam tubuh binatang.) Pernyataan saya bahwa Al-Quran pun mengajarkan paham reinkarnasi pasti merupakan suatu hal yang baru bagi kebanyakan orang, baik mereka orang Muslim, orang Kristen, orang Budha, ataupun Hindu, sebab belum pernah ada seorang Muslim Indonesia yang berhasil mempermasalahkan hal reinkarnasi secara meluas dan terbuka, meskipun usaha ke arah itu pernah ada. Konon, dalam tahun 1973, pernah diterbitkan sebuah terjemahan Al-Quran dengan nama Quraan Agung yang disusun oleh Bapak S. Suryohudoyo dari kota Yogyakarta. Di dalamnya diterangkan berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 28 bahwa reinkarnasi itu ajaran Islam juga. Sayang sekali, buku itu tidak dapat beredar terus. Karena itu, jika sekarang muncul lagi seorang Muslim - penulis adalah seorang Muslim Indonesia sejak lahir, dan pernah naik haji - yang mengumumkan secara tegas bahwa Al-Quran benar-benar mengandung ajaran reinkarnasi dalam arti yang saya singgung di atas, maka kelancangan itu mudah dianggap sebagai suatu khurafat atau tindakan bidah yang tiada taranya. Atas kelancangan yang terpaksa itu saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada anda sekalian, khususnya kepada para alim ulama. Penemuan di atas telah saya sampaikan kepada Pemerintah Indonesia c.q. Bapak Presiden dan Bapak Menteri Agama dalam tahun 1974 (dan juga kepada kedua Menteri Agama berikutnya dalam tahun 1982 dan 1983) dan kepada pelbagai badan keagamaan Islam dalam negeri maupun luar negeri, seperti misalnya MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Jakarta dan Bandung, Pusat Dewan Mesjid Asia dan Pasifik di Jakarta, Al Azhar University di Mesir, Rabithah Alam Islamy di Mekkah dan Jakarta, pelbagai IAIN di Indonesia, dan berpuluh-puluh badan dan tokoh Islam lainnya, dengan permohonan kesediaan beliau-beliau untuk memeriksa atau memeriksakan kebenaran penemuan itu. Sekarang saya menganggap perlu untuk menyampaikannya kepada khalayak ramai dalam bentuk buku, dengan harapan mudah-mudahan para pembaca berkenan ikut menelitinya. Keputusan untuk menerbitkan buku ini saya ambil setelah saya mempertimbangkan pelbagai faktor secara mendalam, karena penemuan reinkarnasi ini benar-benar memberatkan hati saya. Meskipun saya merasa amat bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah mengizinkan saya menemukan ajaran itu dalam Al-Quran, dalam menghadapi khalayak ramai saya tidak merasa bangga. Bahkan sebaliknya, saya merasa sedih, merasa bersalah, dan merasa cemas, karena dalam hal ini saya harus berlainan pendapat dengan para alim ulama yang saya segani, sedangkan saya hanyalah orang biasa. Tapi apa daya, Al-Quranlah yang seakan-akan mendorong saya mengumumkan penemuan itu, dengan segala risikonya. Saya telah berusaha keras meneliti ayat-ayat Al-Quran yang bersangkutan secara ilmiah ilmiah dalam arti berpegang teguh pada kejujuran intelektual, memperhatikan arti kata normal dari kata-kata setiap ayat yang saya teliti, tidak berplagiat, dan tidak pula membelok-belokkan arti kata, dengan iman kepada ayat-ayat Al-Quran sebagai dasar.

Seandainya ternyata saya mengada-ada, mereka-reka, membelok-belokkan arti kata dan makna ayat-ayat Al-Quran, tidak apalah anda menolak keterangan-keterangan dan pendapatpendapat yang bersangkutan itu. Tetapi, seandainya sebaliknya yang ternyata, yaitu seandainya saya tidak mengada-ada, tidak membelok-belokkan arti kata dan makna ayat-ayat Al-Quran yang saya bahas - sekalipun bertentangan dengan pendapat tradisional - maka saya harap agar keteranganketerangan dan pendapat-pendapat itu anda terima secara sportif dan ikhlas, setidak-tidaknya anda anggap sebagai hal yang mungkin benar. Ada baiknya bilamana sehubungan dengan itu saya meminjam kata-kata seorang Muslim besar, yaitu Imam Maliki, yang berkata: Saya hanyalah manusia. Saya dapat bersalah, tetapi saya dapat juga benar. Telitilah uraianuraian saya. Jika ternyata sesuai dengan Al-Quran dan perkataan Nabi, terimalah. Jika tidak, tolaklah. Saya amat sadar bahwa tulisan kontroversial ini akan mengundang pelbagai tantangan di kalangan umat Islam yang telah berabad-abad dibiasakan berpikir bahwa reinkarnasi itu bukan ajaran Islam, melainkan semata-mata Hindu dan Budha. Karena itu, mungkin sekali saya akan menghadapi banyak kesulitan dan tantangan hebat dari pelbagai pihak yang tidak setuju dengan gagasan saya ini dan menuding saya berusaha memasukkan ajaran asing ke dalam agama Islam. Tetapi kemungkinan itu merupakan suatu risiko yang harus saya hadapi dengan ikhlas dan pasrah, karena pengutaraan apa yang akan saya sajikan padu halaman-halaman berikut ini saya anggap sebagai suatu ibadah atau pengabdian diri kepada Allah s.w.t., suatu pengamalan pengetahuan, dan suatu usaha menegakkan kembali apa yang menurut keyakinan saya merupakan suatu Kebenaran Universal yang terkandung dalam Al-Quran. Terjemahan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang terdapat dalam buku ini sebagian besar saya susun sendiri berdasarkan pelbagai terjemahan Al-Quran, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris dan Belanda. Kepada para penyusun terjemahanterjemahan itu saya merasa amat berhutang budi, karena tanpa karya-karya mereka tidak mungkin saya berhasil menyusun tulisan ini. Saya harap semoga penerbitan buku ini, meskipun kontroversial, akhirnya dapat memberikan sumbangan kepada kita sekalian dalam memupuk saling-pengertian dan kerukunan agama di antara suku-suku bangsa di dalam negeri - yang berarti pula penghayatan yang lebih mendalam mengenai Pancasila sebagai dasar negara - dan di antara bangsa-bangsa dengan agama-agamanya yang beraneka ragam di seluruh dunia. Amiin, ya Robbal alamin. Jakarta, April 1984 Rajab 1404 H

H.E. Semedi Catatan: Seperti lazim dilakukan dalam buku-buku agama Islam lainnya, dalam buku ini pun ayat-ayat Al-Quran kadang-kadang tidak dikutip dalam keseluruhannya, oleh karena kalimat atau anak kalimat yang tidak dikutip itu saya anggap tidak dibutuhkan dalam hubungan pokok yang sedang dibahas, atau demi efisiensi, agar para pembaca dapat lebih baik memusatkan perhatiannya kepada apa yang mereka baca; jadi bukan untuk menyembunyikan/membelokkan suatu makna atau mengelabui pembaca. Tetapi, dalam hal demikian, saya akan selalu memberi tanda ..., agar para pembaca dapat mengeceknya lebih lanjut dalam Al-Quran.

DAFTAR ISI Bab Kata Pendahuluan I. Dilemma Seorang Muslim II. Penafsiran Al-Quran III. Ayat-ayat mengenai Reinkarnasi IV. Tentang Kata Ajal V. Ayat-ayat Lain yang Mengandung Ajaran Reinkarnasi VI. Penghisaban VII. Tentang Kata Kiamat VIII. Tentang Alam Barzakh IX. Serba-serbi A. Mungkinkah Komunikasi dengan Orang-orang yang Telah Meninggal ? B. Perubahan Identitas C. Perihal Kata Arab Nafs D. Tentang Kematian dan Alam Akhirat E. Kelahiran Kita bukan atas Kehendak Kita? F. Kesucian Anak yang Baru Lahir X. Sanggahan-sanggahan terhadap Reinkarnasi Sanggahan Pertama : Jika Benar ada Reinkarnasi, Mengapa kita tidak Ingat akan Masa Hidup Yang Lampau ? Sanggahan Kedua : Jika Tiap Orang merupakan Reinkarnasi dari Dirinya Sendiri, Mengapa Jumlah Penduduk Dunia Terus Bertambah ? Sanggahan Ketiga : Menurut buku Hidup Setelah Mati, Reinkarnasi tidak Ada Sanggahan Keempat : Reinkarnasi tidak Disebut-sebut dalam Al-Quran Sanggahan Kelima : Tiada Hadits yang Mengajarkan Reinkarnasi Sanggahan Keenam : Sanggahan tak Langsung : Penulis bukan Ulama XI. Sanggahan-sanggahan Pihak Resmi terhadap Reinkarnasi XII. Suatu Keraguan XIII. Falsafah Barat tentang Takdir XIV. Cintailah Sesama Manusia XV. Tuhan Yang Maha Pengampun XVI. Doktrin Reinkarnasi dalam Agama Kristen dan Yahudi XVII.Bukti-bukti Penunjang Bacaan Biodata

I Dilemma Seorang MuslimAl-Baqarah ayat 42:

Dan janganlah kamu campur adukkan yang benar dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang benar itu, sedang kamu mengetahuinya.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa di negeri kita ini Al-Quran dalam bentuk aslinya (dalam bahasa Arab) merupakan salah satu kitab yang paling banyak dimiliki, yang paling sangat dimuliakan, yang paling sering dihafal, akan tetapi yang bacaannya paling sedikit dipahami. Gejala terakhir ini bukan disebabkan oleh karena kurangnya minat di kalangan Islam untuk mempelajari agamanya, melainkan oleh karena sukar sekali untuk memahami bahasa Arab setidak-tidaknya bagi kita, orang awam Indonesia yang belum pernah mempelajari bahasa Arab, seperti penulis misalnya. Memang benar terjemahan-terjemahan Al-Quran sangat menolong kita dalam usaha memahami isinya, akan tetapi oleh karena kalimat-kalimatnya umumnya sangat musykil dan sering kali sulit dipahami, maka kebanyakan orang Muslim - saya tidak berbicara tentang para ulama Muslimin dan para alumni Perguruan Tinggi Islam yang pandai berbahasa Arab - lebih suka mempelajari agama dari tangan kedua, misalnya dari guru-guru agama atau buku-buku pelajaran agama, daripada mempelajarinya sendiri dari terjemahan Al-Quran secara langsung. Kebanyakan orang mempergunakan terjemahan Al-Quran hanya sebagai referensi saja, untuk mencari ayat-ayat tertentu yang ingin mereka teliti lebih lanjut. Ketika masih muda, saya, selaku seorang Muslim, amat berhasrat untuk mempelajari agama Islam langsung dari sumbernya, yaitu Al-Quran. Untuk maksud itu, saya pergunakan terjemahan Al-Quran yang berbahasa Indonesia. Sayang sekali, saya selalu gagal dalam melaksanakan iktikad baik saya itu. Tiap kali saya mulai dengan usaha itu, setiap kali itu pula saya terpaksa menghentikannya karena terbentur kepada kesulitan-kesulitan yang saya temui bila saya mencoba memahami isinya. Menurut hemat saya ketika itu, bahasa Indonesia yang dipergunakan untuk menerjemahkan Al-Quran sangat kaku karena terpengaruhi oleh gaya bahasa Arab. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut para ahli bahasa pun, Al-Quran asli tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun tanpa kehilangan simfoninya, yang dapat membuat orang menangis dan bergembira. Ketika meningkat dewasa, saya mulai lagi dengan usaha mempelajari Al-Quran. Kali ini saya mencobanya dengan mempergunakan sebuah terjemahan Indonesia yang dibubuhi anotasi atau catatan. Tetapi, dengan perasaan sedih, kali ini pun harus saya akui bahwa saya tidak mampu meneruskan usaha baik itu. Kemudian saya pergunakan buku terjemahan lain. Kali ini pun saya gagal. Akhirnya terpaksalah saya tinggalkan usaha mulia itu. Usaha mempelajari agama Islam secara langsung dari sumbernya, terjemahan Al-Quran, saya mulai lagi dalam tahun 1957 ketika saya membeli buku terjemahan Al-Quran berbahasa Inggris, The Glorious Koran, susunan Mohammed Marmaduke Pickthall, seorang Muslim berkebangsaan Inggris, yang dalam prakatanya menyatakan bahwa terjemahannya dibuatnya seharfiah dan seteliti mungkin.

Anehnya, meskipun praktis tidak beranotasi, buku itu sangat menarik bagi saya, sebab baru kali itulah saya dapat menangkap makna ayat-ayat Al-Quran secara agak memuaskan, jauh lebih memuaskan daripada bila membaca terjemahan yang berbahasa Indonesia. Pernyataan ini mungkin agak sombong kedengarannya, tetapi demikianlah adanya; saya hanya ingin menceriterakan keadaan sebenarnya. Saya tahu bahwa terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris pun tidak mungkin dapat dianggap seluruhnya tepat, tetapi bagaimana pun juga, dengan tata bahasanya yang konsisten dan teratur, buku yang baru saya beli itu sangat membantu saya dalam memahami isi Al-Quran. Sejak saat itu, buku terjemahan termaksud menjadi teman saya yang setia dalam setiap saat senggang. Makin banyak saya pelajari, makin menariklah buku itu. Baru ketika itulah saya mempelajari Al-Quran secara sungguh-sungguh. Tiap kali saya membacanya, saya selalu merasakannya sebagai sumber inspirasi baru. Tidak ada bosan-bosannya. Pada suatu hari, ketika meneliti sebuah ayat mengenai hidup dan mati, saya agak tertegun, sebab ketika itu saya merasa menemukan sesuatu yang saya anggap sebagai reinkarnasi, meskipun hal itu tidak dinyatakan dengan jelas. Saya baca ayat itu beberapa kali, sekarang lebih teliti dan lebih kritis. Ayat yang bersangkutan tetap memberikan konotasi (pengertian) yang sama. Menurut pengertian saya, kata-kata yang saya baca ketika itu jelas dan terang menunjukkan ajaran reinkarnasi. Terheran-heran, saya ambil Al-Quran terjemahan Indonesia, lalu membaca ayat yang sama. Baik ayat yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Indonesia sekarang ternyata memberikan pengertian yang sama, yaitu menunjukkan reinkarnasi. Tiada keraguan dalam hal itu. Tetapi ..., protes saya dalam hati, bagaimana mungkin Al-Quran berisikan ajaran reinkarnasi, sedangkan para ulama Muslimin dan guru-guru agama saya selalu mengatakan bahwa reinkarnasi bukan ajaran Islam? Secara jujur dan taat, saya selalu percaya kepada apa yang mereka ajarkan kepada saya: bahwa reinkarnasi bukan ajaran Islam. Tetapi, apa yang saya baca sekarang? Apa saya tidak salah lihat? tanya saya dalam hati, berkali-kali, penuh keheranan. Dalam buku-buku pelajaran mengenai agama Islam, belum pernah saya temukan ajaran yang mengatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran mengenai reinkarnasi. Justru sebaliknya yang sering terjadi. Para ulama Islam selalu mengajarkan bahwa reinkarnasi dalam arti kelahiran kembali secara fisik ke dunia bukanlah ajaran Islam, melainkan ajaran Hindu dan Budha. Memang sering mereka menyinggung soal kelahiran kembali, tetapi selalu dalam arti kelahiran kembali di akhirat untuk tinggal di sana selama-lamanya, atau dalam arti kebangkitan kembali secara mental atau rohani. Karena saya sendiri hanyalah seorang awam dalam bidang agama, yang belajar agama hanya dari ceramah-ceramah agama dan buku-buku pelajaran agama, saya dengan sendirinya percaya begitu saja kepada apa yang mereka katakan. Para alim ulama tentu tidak akan membuat kesalahan yang fundamental demikian, pikir saya, karena itu pasti sayalah yang salah tafsir. Dan sebagaimana layaknya bagi seorang Muslim yang berusaha taat, saya ketika itu pun berhasil meyakinkan diri bahwa karena kebodohan saya salah tafsir. Memang benar saya sering menganggap diri sendiri sangat kritis itu pun hanya dalam hati saja, tanpa menyatakan kritikan itu dengan kata-kata atau sikap - dan memang benar saya tidak selalu setuju dengan apa yang dikhotbahkan dalam mesjid-mesjid dan diceramahkan dalam pengajian-pengajian; tetapi untuk mengakui reinkarnasi? Wah, tunggu dulu, itu tidak! Itu di luar batas! Itu akan terlalu bertentangan dengan akidah dan kaidah Islam! Pasti saya akan dicap sebagai seorang bid'ah, sebagai seorang munafik, sebagai seorang zindik, bahkan mungkin sebagai seorang murtad, bila diketahui orang bahwa saya, seorang Muslim, percaya akan reinkarnasi. Tetapi, tersebar di seluruh Al-Quran, saya dapati lagi banyak ayat yang menurut hemat. saya menunjukkan reinkarnasi, dengan kata-kata yang jelas maupun yang samar-samar. Tiap kali saya menjumpai ayat demikian, selalu timbul pikiran dalam hati saya, Wah, reinkarnasi lagi! Tetapi tiap kali saya selalu berhasil meyakinkan diri bahwa saya salah tafsir.

Pertentangan batin demikian berlangsung berulang-ulang selama beberapa tahun. Di satu pihak, saya ingin berkeyakinan lebih dalam mengenai agama Islam, ingin memperoleh pengertian lebih baik mengenai eksistensi hidup; di pihak lain, saya terus-menerus diganggu oleh perasaan bersalah karena mulai tumbuhnya kepercayaan dalam diri saya akan suatu doktrin yang konon bertentangan dengan akidah dan kaidah Islam, dan dengan demikian saya merasa kurang patuh kepada pimpinan para ulama yang saya hormati. Menurut pengertian saya, terdapat banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang secara positif memperkuat dugaan saya mengenai adanya reinkarnasi dalam Islam, sehingga saya tidak dapat bersikap acuh tak acuh lagi. Cerita-cerita pendek dalam majalah-majalah yang bertemakan reinkarnasi dan pengetahuan saya bahwa agama Budha dan agama Hindu mengajarkan doktrin itu membuat saya bertanya-tanya, apakah mungkin reinkarnasi itu merupakan suatu ajaran universal yang direstui Tuhan? Bukankah Al-Quran sendiri menyatakan bahwa ia mengukuhkan apa yang telah disampaikan oleh Tuhan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.? Terdorong oleh pemikiran demikian dan oleh mulai tumbuhnya keinginan untuk ikut mempertahankan Kebenaran-kebenaran Tuhan, saya lebih sungguh-sungguh lagi mempelajari Al-Quran. Semua ayat yang saya anggap berkenaan dengan ajaran reinkarnasi saya kumpulkan, saya analisa, dan saya renungkan. Selama berbuat demikian, kepercayaan saya akan keotentikan doktrin itu makin bertambah, dan dengan bertambahnya kepercayaan itu, bertambahlah pula kebimbangan saya. Saya merasa bahwa kepatuhan saya kepada akidah Islam yang sudah umum diterima oleh seluruh umat Islam berkurang, yaitu akidah yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran reinkarnasi dalam arti kelahiran kembali secara fisik ke dunia. Apapun yang saya usahakan untuk menekan bertambahnya kepercayaan baru itu dan mencari kelemahan-kelemahan di dalamnya, saya selalu kembali kepada kesimpulan bahwa doktrin reinkarnasi benar-benar merupakan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran. Suatu ajaran yang bukan saja merupakan ajaran agama Budha atau agama Hindu, melainkan ajaran semua agama di seluruh dunia: suatu ajaran yang universal. Ketika itu, timbul perasaan bahwa tidak mengindahkannya berarti menutup mata terhadap suatu ajaran Ilahi yang pokok. Dan berbuat demikian amat bertentangan dengan hati nurani saya. Kepercayaan saya akan benarnya penafsiran para fakih dan ulama Islam tentang ayat-ayat yang bersangkutan mengalami erosi, dan kepercayaan saya akan Al-Quran sebagai pengukuhan ajaran agama-agama terdahulu makin bertambah. Lalu timbullah suatu pikiran yang agak bersifat memberontak. Tidakkah mungkin bahwa para ulama dan para fakih kitalah yang menyalah-tafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang bersangkutan? Betapa pun cerdas mereka, dan betapa pun luasnya pengetahuan mereka mengenai agama Islam, mereka hanyalah manusia biasa belaka, manusia yang tidak maha tahu dan tidak sempurna. Mereka bukanlah nabi. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri dengan jelas dan gamblang menyampaikan kepada para pengikutnya wahyu-wahyu Tuhan yang berbunyi, Allah menghidupkan kamu; kemudian Ia akan mematikanmu, kemudian menghidupkanmu kembali. Setelah kamu dikembalikan ke dalam tanah, Ia akan menghidupkanmu lagi, suatu penciptaan baru; dan banyak ajaran lain lagi yang senada, yang semuanya, jika ditafsirkan secara normal, tanpa dibelok-belokkan artinya, mau tak mau menunjukkan penciptaan atau kelahiran kembali manusia ke dunia. Saya protes dalam hati, mengapa kita harus menafsirkan kalimat-kalimat itu dengan makna yang menyimpang dari biasa? Bukankah kalimat-kalimat itu secara gamblang menunjukkan adanya kelahiran kembali atau apa yang dinamakan orang sekarang reinkarnasi? Salahkah jika saya lebih percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang menyampaikan ajaran-ajaran tadi, daripada kepada guru-guru agama dan para ulama lainnya yang mengajarkan bahwa kita hidup di dunia ini hanya satu kali saja? ... Tidak, pikir saya, saya tidak salah. Saya tidak menentang salah satu pasal dari Arkanul Iman, jika saya juga percaya akan reinkarnasi. Tidak ada ayat dalam Al-Quran sebuah pun yang menyatakan bahwa kita harus percaya kepada hanya keenam pasal Arkanul Iman itu, atau kepada

ajaran para ulama yang menyatakan bahwa manusia hidup di dunia hanya sekali saja. Tidak pula percaya kepada reinkarnasi itu berarti bahwa saya secara otomatis pindah ke agama lain. Saya tetap orang Muslim. Saya hanya ingin mempergunakan akal pikiran saya sendiri tanpa bertaklid; ingin taat kepada hati nurani saya; ingin menerima apa yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran tanpa mencoba-coba menyesuaikan maknanya dengan konsepsi-konsepsi tradisional. Saya hanya mengakui apa yang disampaikan Tuhan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad s.a.w. dan para nabi lainnya, tanpa membelok-belokkan artinya atau memanipulasikan kata-kata. Nabi Muhammad s.a.w, sendiri pernah bersabda: Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun orang lain telah memberimu fatwa, meskipun orang lain telah memberimu fatwa, meskipun orang lain telah memberimu fatwa. Bukankah perkataan berulang-ulang itu merupakan anjuran sangat dari Nabi kita agar kita mempergunakan akal pikiran sendiri bila menemukan fatwa atau ijtihad yang kebenarannya kita sangsikan? Demikianlah protes mental saya. Keyakinan yang tadinya goyah pulih. Mungkin saya benar, pikir saya. Nabi Muhammad s.a.w. tidak melarang kita mempergunakan akal pikiran sendiri, sekalipun di bidang agama, bila ada alasan untuk meragukan kebenaran suatu ajaran. Beliau menjamin hak perbedaan pendapat dalam soal-soal agama. Meskipun sudah bulat hati demikian, sering saya bertanya-tanya kepada diri sendiri apakah saya tidak berlebih-lebihan dalam keyakinan saya ini. Para ulama sering mengkhotbahkan bahwa syaitan mempunyai pelbagai cara untuk mengelabui atau mengorbankan mangsa-mangsanya. Bunyi ayat Q. 35:8:

Apakah orang yang perbuatan jahatnya dibuat nampak baik - sehingga ia mengiranya baik (bukan korban syaitan)? ... Itukah yang sedang kualami sekarang? Yaitu syaitan sedang mengelabuiku? tanya saya dalam batin. Ingatan kepada syaitan demikian membuat saya lebih banyak mohon ampun dan perlindungan Tuhan dalam shalat saya. Keragu-raguan dan perjuangan batin yang saya gambarkan tadi berubah lagi menjadi keyakinan ketika dalam bulan September 1973 saya membaca sebuah buku yang berjudul A World Beyond, tulisan seorang wartawati Amerika, Mrs. Ruth Montgomery, yang menceritakan bahwa melalui sance (pertemuan untuk mencoba berhubungan dengan ruh orang yang telah meninggal) secara tulisan otomatis paranormal ia dihubungi oleh seorang temannya, Arthur Ford, yang baru saja meninggal dunia. Ketika masih hidup, temannya itu seorang rohaniawan Kristen yang, karena ternyata memiliki bakat atau kemampuan paranormal, kemudian menjadi seorang medium dan psychometrics (orang yang secara paranormal dapat mengetahui di mana seseorang berada, hanya dengan memegang benda milik orang tersebut belakangan itu). Melalui tangan Nyonya Montgomery, bekas-pendeta itu menulis dengan mesin tik bahwa setibanya di alam ruh, ia memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai keadaan lingkungannya yang baru itu, dan ia ingin sekali menyampaikan pengalaman dan pengetahuannya itu kepada orang-orang yang masih hidup, agar mereka pun dapat menarik manfaat daripadanya. Antara lain, ia menegaskan bahwa reinkarnasi itu merupakan hukum universal yang berlaku untuk setiap orang, terlepas daripada apakah kita percaya atau tidak. Seperti kita maklum, doktrin reinkarnasi itu sebenarnya tidak diakui oleh Gereja Kristen. Tetapi bekas-pendeta ini percaya!

Meskipun demikian, sewaktu-waktu timbul saat di mana saya merasa diri dihadapkan kepada suatu dilemma. Rasa tak mampu dan rasa kurang percaya kepada diri sendiri di satu pihak, dan keinginan ikut serta dalam pembangunan spiritual di pihak lain, membuat saya ragu-ragu dan cemas. Di samping itu, saya merasa takut disangka sok tahu dan mau mengungguli para ahli agama. Saya yakin penemuan saya itu benar, dapat dipertanggungjawabkan, bukan hal yang diilhami syaitan, dan sama sekali tidak bertentangan dengan isi Al-Quran; tetapi saya tidak yakin saya akan dapat meyakinkan orang lain akan kebenaran pendapat saya itu. Beberapa hari sebelum saya mulai menulis buku ini, ketika berada di lapangan tenis, dengan ragu-ragu saya secara iseng bertanya kepada seseorang yang agak lebih tua daripada saya dan saya tahu amat rajin mengikuti pengajian-pengajian, Mas, bagaimana pendapat Mas ... mengenai reinkarnasi? Agaknya hari itu hatinya tidak dalam keadaan tenang, karena dengan singkat ia menyahut, Kalau you orang Muslim, you tidak akan bertanya tentang itu. Reinkarnasi? Nonsens! Seorang lagi yang pada kesempatan lain saya tanyai, juga seorang yang amat saleh, menjawab, Tidak, Islam tidak mengakui adanya reinkarnasi. Lalu ia memberikan uraian singkat tentang proses hidup dan mati yang saya sendiri telah hafal sejak kecil, yaitu: lahir - mendewasa menua - mati - dikumpulkan di padang mahsyar - dan akhirnya neraka atau surga yang kekal dan abadi. Orang-orang lain yang juga saya tanyai mengenai hal yang sama menasihati saya supaya soalsoal agama saya serahkan saja kepada para ulama, yang dengan sendirinya tentu lebih ahli daripada kita orang awam. Seandainya saya tidak mempelajari Al-Quran selama belasan tahun belakangan itu meskipun secara independen (tanpa guru) dan tidak sistematis - penemuan reinkarnasi itu tidak akan begitu memusingkan saya; dengan mudah saya akan dapat menyimpannya dalam hati sanubari untuk kepentingan dan pengetahuan pribadi. Tetapi dengan telah meningkatnya umur, saya berkeyakinan bahwa yang penting dalam hidup ini bukanlah ilmu pengetahuan belaka, melainkan apa yang kita amalkan dengan ilmu pengetahuan itu; bahwa ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak diamalkan untuk kepentingan orang lain. Bahkan, pikiran saya ketika itu, saya akan amat menyesal seandainya saya meninggal tanpa menyampaikan penemuan yang amat penting itu kepada saudarasaudara seagama terlebih dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang agamawan Muslim terkenal yang hidup dalam abad kesebelas tahun Masehi, Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: Barangsiapa berilmu, tetapi tidak mempergunakan ilmunya, akan mendapat siksaan yang hebat pada Hari Kiamat. Sebuah hadits lain berbunyi: Barangsiapa menyembunyikan ilmunya, akan dikekang dengan api neraka oleh Tuhan. Kutipan-kutipan di atas memperkuat pendirian saya dalam problema yang sedang saya resahi, meskipun pada saat-saat tertentu selama membuat naskah ini saya bertanya-tanya dalam hati, Apa? Saya memintari para ulama? Memintari Bapak ..., Bapak ..., Bapak ..., Bapak ... ? Dan terbayanglah beberapa wajah di depan mata saya; wajah para ulama terkenal di ibukota yang sering muncul di televisi, ulama-ulama yang selalu saya kagumi karena pengetahuannya yang amat luas mengenai Islam, bapak-bapak yang jauh lebih tinggi derajatnya daripada saya dalam soal ilmu dan kesalehan, dalam soal kefasihan lidah dan kepandaian meyakinkan - sifat-sifat berharga yang sama sekali tidak saya miliki. Saya bukanlah seorang pemberani; kemungkinan bahwa penyebaran gagasan saya ini dapat mengakibatkan saya berkonfrontasi dengan orang-orang atau badan-badan yang menghukum segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapat mereka sebagai bid'ah membuat jantung saya berdebardebar tak menentu. Saya merasa bukan apa-apa bila dibandingkan dengan para alim ulama. Mengoreksi pendapat mereka adalah menggelikan, melampaui batas kesopanan.

Meskipun bimbang demikian, saya merasa bahwa saya tidak dapat melepaskan diri dari rasa tanggung jawab saya tanpa menyesal untuk selama-lamanya, seandainya saya tidak berusaha mengumumkan penemuan saya ini. Kedua hadits di atas amat jelas artinya. Saya anggap ajaran reinkarnasi yang saya temukan (kembali) itu sebagai Kebenaran universal yang amat pokok, suatu Kebenaran yang patut diketahui oleh semua orang yang berpikir; suatu Kebenaran yang dapat dipakai sebagai pedoman hidup; suatu Kebenaran yang dapat merombak cara berpikir umat beragama secara revolusioner. Suatu soal yang merisaukan hati saya pula ialah apakah persoalan reinkarnasi ini tidak akan menjadi bahan pertikaian di antara saudara-saudara sesama Islam? Tidak semua Muslimin akan menyambut gagasan ini dengan baik, betapa pun jujurnya iktikad saya. Banyak di antara mereka yang akan gusar karena saya, seorang non-ulama, berani-berani campur tangan dalam suatu bidang yang bukan merupakan bidang saya. Sekali lagi, benar-benar saya merasa dihadapkan kepada suatu dilemma. Di satu pihak, saya merasa berkewajiban mempertahankan Kebenaran ini, demi Kebesaran Tuhan; di pihak lain, saya amat sadar bahwa mungkin saya disalahpahami, dan usaha saya untuk mempertahankan Kebenaran itu dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Mana yang akan saya pilih? Mengurungkan niat saya, lalu tetap jadi warganegara yang hidup tenang dan puas dengan diri sendiri, dan dengan demikian tidak memberi kesempatan kepada sesama manusia mengambil manfaat dari hasil jerih payah saya? Ataukah meneruskan usaha saya, tetapi dengan kemungkinan mempersulit diri sendiri dan menimbulkan perpecahan di dunia Islam? Saya tidak mengambil keputusan apa pun mengenai itu. Saya bekerja terus, menulis naskah ini, dengan susah payah - saya sama sekali bukan seorang yang berjiwa penulis atau berpengalaman menulis - dengan perasaan seolah-olah hidup tersendiri, tanpa seorang pun yang dapat saya mintai nasihat atau memberi saya nasihat. Saya tahu, tiada seorang pun yang akan bersedia mendengarkan gagasan seorang awam seperti saya ini; tetapi saya merasa, saya harus berbuat sesuatu untuk mengumumkan penemuan baru itu. Selama menyusun naskah, saya sadari saya sedang melakukan sesuatu yang boleh dikatakan mustahil; saya melawan arus; saya menentang pendapat berjuta-juta orang seagama. Di pihak lain, saya merasa bahwa dalam usaha saya, saya telah mencapai titik di mana tidak mungkin saya mundur. Saya merasa bahwa mengurungkan niat saya akan berarti saya meninggalkan tugas saya, sebagai manusia, terhadap Allah Maha Pencipta. Meskipun saya bukan seorang fanatik agama, saya ingin tetap taat kepada apa yang saya anggap sebagai tugas saya dalam masa hidup kali ini, dan kepada keyakinan bahwa saya sedang mengabdi kepada Tuhan. Pada suatu malam, ketika menghadiri suatu pengajian, Bapak Penceramah menyinggung soal reinkarnasi. Ia menamakannya suatu nonsens atau omong kosong yang menyesatkan, dan menyerukan agar kita membuangnya jauh-jauh. Beliau juga menyerukan agar para hadirin jangan mempermasalahkan takdir - untuk itu saya telah mempunyai konsepsi tersendiri yang lain daripada yang biasa dikhotbahkan orang - oleh karena, katanya, takdir itu di luar jangkauan akal pikiran manusia. Ketika itu, lebih-lebih saya sadari bahwa saya pasti akan mendapat tantangan hebat, terutama dari golongan agama. Lagi-lagi, semangat saya yang semula sudah tinggi itu mendadak menurun. Setelah itu, sulit sekali bagi saya untuk memulihkan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan susah payah saya berusaha meyakinkan diri bahwa jika saya ingin mengabdi kepada Tuhan s.w.t. secara jujur, segala sesuatu harus saya kerjakan tanpa pamrih dan tanpa rasa takut. Secara otomatis, saya teringat kepada para sarjana dan para perintis dahulu yang dicemoohkan, dicaci maki, dan dikejar-kejar karena pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinannya yang berbeda dengan apa yang ketika itu dianut oleh yang berkuasa. Saya teringat kepada para mujaddid Islam dahulu yang telah berani mengemukakan tafsiran-tafsiran dan konsepsi-konsepsi yang ketika itu dianggap bid'ah oleh rekan-rekannya yang berkuasa. Saya teringat kepada Mansur Al-Halajj, yang dalam tahun 922

Masehi dibunuh oleh sesama Muslimin karena pernyataannya yang berbunyi Ana al-Haqq. Saya teringat kepada beberapa biarawan dan uskup Nasrani yang dikufurkan, dikucilkan, dianiaya, atau dibuang karena mengemukakan pendapat-pendapat yang berbeda dengan apa yang dianut Gereja. Apa yang akan terjadi denganku? tanya saya dalam batin. Bijaksanakah aku jika aku menyebarluaskan keyakinanku dalam soal reinkarnasi ini? Saya tak tahu. Saya hanya dapat berkata, Hasbiyallaahu. (Cukup Allah bagiku.) KepadaNyalah aku beriman. Firman-firman-Nya yang kuimani. Dialah Maha Penilai. Aku bukan apa-apa di dunia ini. Aku hanyalah setitik noda debu di Alam Semesta. Pancasila adalah dasar negaraku. Dengan penuh kepercayaan kepada isi ayat Q. 22:40 yang berbunyi:

... Sesungguhnya Tuhan menolong siapa yang menolong-Nya ... saya susun buku ini.

II Penafsiran Al-QuranSeorang ulama Muslim terkenal di Indonesia, yang tidak akan saya sebutkan namanya, dalam salah satu artikelnya di surat kabar, pernah menulis, antara lain sebagai berikut:... Dalam pada itu semua kalangan yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah senantiasa waspada dan sangat berhati-hati di dalam memahami isi kandungan baik Al-Quran maupun As-Sunnah. Mereka sangat menghindari sejauh mungkin berbuat salah dalam mengartikan isi, makna, dan jiwa daripada Al-Quran. Beberapa sinyalemen harus diperhatikan, di antaranya: 1. Dalam Al-Quran berpuluh-puluh dijumpai kata iftiro yang arti maknanya: membuat kebohongan besar. Yang dimaksud dengannya ialah, orang-orang yang melakukan kesalahan dalam mengartikan makna Al-Quran baik karena kebodohan mereka, sok merasa pintar, mengarang-ngarang menurut sesuka hati mereka, apa lagi sengaja memutar-balik arti yang sebenarnya. Mereka itu dikategorikan sebagai pembuat iftiro yang mendapat ancaman yang sangat berat. 2. Sabda Nabi Besar Muhammad s.a.w. Jangan kamu tangisi tentang nasib Agama Islam jika masih diurus oleh ahlinya; tetapi menangislah kamu tentang nasib Agama Islam jika Islam diurus oleh orang yang bukan ahlinya (Riwayat Imam Ahmad dan Al-Hakim). 3. Sabda Nabi Besar Muhammad s.a.w.: Sesungguhnya di hari-hari zaman akhir akan muncul para pembohong (yang memalsu ajaran-ajaran Islam dari arti yang sebenamya). Hadits ini diberitahukan oleh seorang ahli Hadits terkenal ialah K.H. Hasyim Asy'ari dalam kitabnya Ihyaa-u 'Amalil Fudlala. 4. Sinyalemen Sayyidina 'Umar Ibnul Khath-thab Radliyallahu 'Anhu, yang artinya: Orang-orang munafik berusaha merobohkan Islam dengan jalan menggunakan ayat-ayat Al-Quran (untuk membuat interpretasi semaunya). Sumber pengambilan sama dengan sinyalemen no. 3 di atas. Mengingat hal-hal di atas ini, maka sepakatlah para ahli, bahwa memahami arti dan kandungan Al-Quran harus menempuh metode keilmuan tersendiri. Metode tersebut merupakan mata rantai dalam satu sanad (recline) yang berujung pada interpretasi yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dalam hubungan ini, Siti 'Aisyah Radliyallahu 'Anha berkata: Nabi Muhammad s.a.w, bersabda: Barang siapa mengada-ada kata-kataku padahal tidak pernah aku katakan, hal itu harus ditolak (hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Selanjutnya beliau menulis:Al-Qur-an tidak mungkin difahami oleh orang awam. Orang awam tidak mungkin bisa menyentuh arti makna Al-Qur-an menurut yang sebenarnya. Beberapa faktor dari rahasia Al-Quran tidak bisa dijamin oleh pemikiran awam, misalnya mengenai bagian-bagian daripada Al-Qur-an yang bersifat khusus, umum, mutlak (absolute), muqayyad (limited), mujmal (compendium), mubayyan (to be clear or evident), nasikh (one who abolishes), mansukh (abolished) dan lain-lain. Sebagaimana Al-Quran, As-Sunnah juga tidak mungkin bisa difahami oleh orang awam mengingat beberapa faktor jaminan mutlak dalam kandungan maknanya. Misalnya: karena faktor sanad (recline), rowi (relator-narrator), mutawattir (following in succession), ahad (rowi tunggal), muttashil (uninterrupted), dlaif, hasan, maudlu' (palsu), dan lain-lain ... Adalah menjadi suatu ethik dalam Dunia Islam, bahwa seseorang tidak boleh dihalang-halangi dalam kemerdekaan memilih madzhab mana pun yang disukainya. Dunia Islam juga sepakat, bahwa siapa pun boleh melakukan berijtihad setingkat dengan pekerjaan Mujtahidin asal memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana yang dimiliki oleh para Mujtahidin angkatan pertama (menggali norma hukum langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah tanpa menuruti jejak orang sebelumnya dan tanpa melakukan plagiat)...

Demikianlah kira-kira apa yang konon harus kita perhatikan selaku kaum Muslimin jika kita berusaha mempelajari dan menafsirkan sendiri ayat-ayat Al-Quran.

Apa yang telah diperinci dalam sub 1) di atas memang sering disinggung dalam Al-Quran, dan oleh karena itu saya sangat sependapat dengan Bapak Penulis, yang menyatakan: Kita tidak boleh beriftiro, yaitu membuat kebohongan besar, salah mengartikan makna Al-Quran, sok merasa pintar, mengarang-ngarang sesuka hati, dan memutarbalikkan arti yang sebenarnya. Juga apa yang diuraikan dalam sub 2), 3), dan 4) dengan ikhlas saya garis bawahi dan akan saya patuhi. Akan tetapi, apa yang ditegaskan oleh Bapak Penulis selain itu, yaitu yang menyatakan bahwa orang-orang awam sama sekali tidak mungkin dapat menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah secara benar dan yang seolah-olah menyarankan agar orang-orang awam jangan mencoba-coba menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah (tetapi harus menerima saja apa yang telah diolah oleh para ahli), terus terang saja tidak dapat saya setujui. Bukan saja saya anggap pandangan demikian bertentangan dengan apa yang sering diserukan oleh para pemimpin agama dan pembesar negara - yaitu agar kita ikut serta dalam usaha menggali ajaran-ajaran agama yang masih terpendam dalam Al-Quran - tetapi larangan demikian dapat pula mengecilkan hati para pencinta Al-Quran yang ingin berpikir intelektual dan yang secara spontan ingin mencoba mematuhi seruan para pemimpin progresif tadi. Selain itu, larangan demikian akan sangat mengurangi, bahkan menentang, arti seruan Tuhan yang termuat dalam ayat Q. 38:29, yang mengatakan: Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran. Dan janganlah kita lupa akan seruan Nabi Muhammad s.a.w. Yang telah saya kutip di muka dan berbunyi: Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun orang lain telah memberimu fatwa, meskipun orang lain telah memberimu fatwa, meskipun orang lain telah memberimu fatwa. Seruan-seruan di atas bukan ditujukan kepada para ahli atau alim ulama agama saja, melainkan juga kepada orang-orang awam. Nabi kita tidak menghendaki kadaverdiscipline (kata Belanda yang secara harfiah berarti disiplin bangkai) dari umatnya. Beliau tidak menginginkan kita bertaklid saja, menelan apa saja yang disuguhkan kepada kita. Beliau menginginkan agar kita, jika perlu, mendayagunakan akal pikiran sendiri, jika kita merasa bahwa ajaran-ajaran yang disajikan kepada kita tidak benar. Ya meskipun ajaran-ajaran atau fatwa-fatwa itu berasal dari para ahli. Ada sebuah pameo yang berbunyi, Di mana iman ikut berbicara, di situlah logika dan pengetahuan bungkam. Tetapi itu tidak benar, bukan? Dalam agama Islam, iman, logika, dan pengetahuan bekerja sama demi kemajuan agama. Ayat Q. 38:29 yang saya kutip di atas merupakan bukti kuat mengenai hal itu. Para ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab yang dipergunakan dalam Al-Quran sangat berlainan dengan bahasa modern mana pun. Hal itu mengakibatkan sangat sulitnya bagi siapa pun untuk menerjemahkan Al-Quran secara memuaskan. Meskipun demikian, dapat kita lihat bahwa Al-Quran itu memuat bukan saja ayat-ayat yang jelas dan terang, melainkan juga ayat-ayat yang artinya tidak segera kita pahami karena terselubung maknanya. Ayat Q. 3:7 berkata: Ialah yang menurunkan kepadamu Kitab yang dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamaat (jelas dan terang) - itulah pokok-pokok Kitab - dan yang mutasyabihaat (bersifat kiasan)... Ayat Q. 39:27:

Telah kami adakan untuk manusia dalam Al-Quran ini pelbagai perumpamaan (kiasan), agar mereka dapat merenungkannya. Berhubung dengan itu, amat saya sadari bahwa dalam menentukan mana yang dimaksudkan sebagai ayat muhkamaat dan mana yang mutasyabihaat, kita harus benar-benar dapat membedakan yang satu dari yang lain. Karena jika kita menganggap perumpamaan-perumpamaan sebagai hal yang muhkamaat, pasti banyak ayat yang akan nampak naif atau tak masuk akal, bahkan menggelikan. Sebaliknya, kita harus sangat berhati-hati jangan sampai kita menganggap ayat-ayat muhkamaat sebagai ayat mutasyabihaat, karena dengan demikian kita tidak akan dapat menarik manfaat dari ajaran-ajarannya. Selain itu, dalam mempelajari Al-Quran - sebagaimana juga dalam hal penyelidikanpenyelidikan ilmiah lainnya - akal dan logika yang sehat, kejujuran dalam penafsiran, kewaspadaan dan keberanian berpikir, merupakan syarat-syarat yang diperlukan, untuk menjaga agar kita jangan, seperti dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, tersumbat dengan hafalan-hafalan belaka dan tenggelam ke dalam taklid. Seorang mufassir atau profesional dalam bidang agama belum tentu selalu benar dalam penafsirannya mengenai ayat-ayat Al-Quran; seorang awam atau bukan-profesional belum tentu selalu salah dalam penafsiran Al-Quran. Yang berikhtilaf belum tentu orang yang khilaf. Untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan benar, diperlukan bukan saja pengetahuan yang luas dan kecermatan, melainkan juga intuisi. Dengan cara berpikir yang primitif atau yang didasari praduga dan keyakinan yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, agaknya sulit bagi siapapun untuk menganalisa secara obyektif ayat-ayat Al-Quran yang sering tersusun samar-samar dan penuh teka-teki itu. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyerukan agar kita merenungkan isi dan makna Al-Quran, seolah-olah dengan demikian ia ingin mengatakan bahwa kita jangan hanya mengandalkan iman atau hanya membaca-bacanya saja, melainkan juga harus membarenginya dengan akal pikiran, agar kita memperoleh keyakinan yang lebih rasional, mantap, tangguh, dan mendalam. Tetapi yang terpenting bagi saya dalam penafsiran Al-Quran ialah kejujuran intelektual, yaitu kejujuran dalam-arti tidak beriftiro, tidak mengada-ada, tidak memutarbalikkan arti kata ayatayatnya. Percuma saja akal pikiran dan pengetahuan tinggi, keahlian bahasa, takwa, dan iman, bilamana dalam penafsiran Al-Quran norma-norma kejujuran yang saya maksud tadi kita langgar. Berhubung dengan itu, dalam menyusun buku ini saya bersikap amat bebas. Di mana perlu, saya melepaskan diri dari keterangan-keterangan konvensional dan tradisional yang berasal baik dari para ulama sekarang maupun dari para ulama yang dahulu. Saya terpaksa berbuat demikian karena sering saya merasa bahwa beberapa hal yang diajarkan sekarang - bukan oleh Al-Quran, melainkan oleh para penganutnya - sukar diterima oleh akal orang dewasa yang berpikir. Saya pribadi ingin berpikir secara pragmatis dan dewasa, meskipun dengan demikian saya nampak tidak begitu taat kepada akidah dan kaidah agama yang berlaku. Sudah barang tentu, dalam mempelajari Al-Quran saya teliti juga komentar-komentar dan tafsiran-tafsiran yang dapat saya temukan dalam pelbagai buku tafsir Al-Quran; tetapi saya tidak menganggapnya definitif benar. Saya lebih banyak berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan akal pikiran sendiri, dan baru kemudian memperbandingkannya dengan tafsiran-tafsiran para mufassir. Saya yakin anda pun beranggapan bahwa akidah agama tidak boleh dogmatis, tetapi sedapat mungkin harus dapat diuji rasionalitasnya dengan akal sehat. Agama kita bukanlah sesuatu yang harus dibentengi dengan fatwa, ijma, dan iman terhadap usaha-usaha baik orang lain yang ingin memperoleh gambaran yang lebih rasional mengenai apa yang diajarkan kepadanya. Seperti lelah saya katakan di muka, iman, logika, dan pengetahuan harus bekerja sama untuk kemajuan agama. Tetapi sayang sekali, seperti anda pun dapat melihat sendiri, umumnya di bidang agama orang lebih banyak dididik dan dilatih untuk menerima saja daripada untuk mempergunakan daya pikir mereka sendiri. Bahkan yang mempunyai pendirian lain sering dianggap menyeleweng dari agama.

Berlawanan dengan sikap taklid atau hanya menerima saja, baik Nabi kita Muhammad s.a.w. maupun Al-Quran senantiasa menyerukan agar kita merenungkan, menelaah, dan meneliti ayat-ayat Al-Quran, berpikir secara kreatif, dan berani menyelidiki sendiri fatwa-fatwa dan ijtihad-ijtihad yang diragukan kebenaran dan rasionalitasnya. Demikian pentingnya keberanian untuk menggali kebenaran-kebenaran baru itu, sehingga Tuhan s.w.t. menjanjikan pahala kepada orang-orang yang berhasil dalam usaha itu, sebagaimana dapat anda lihat dari ayat Q. 39:33-35: 33. Dan barangsiapa membawa Kebenaran dan percaya kepadanya, mereka itulah yang takwa. 34. Mereka akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari sisi Allah. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik; 35. Bahwasanya Allah akan menutupi (mengampuni) perbuatan-perbuatan mereka yang paling buruk dan memberi mereka ganjaran sesuai dengan perbuatan yang terbaik mereka lakukan. Bahwasanya dalam agama sekalipun kita harus mendayagunakan ilmu atau akal pikiran, dapat pula kita simpulkan dari hadits berikut: Perbedaan derajat kemuliaan seseorang yang beramal ibadah berdasarkan ilmu dengan seseorang yang hanya sekedar beribadah saja (tanpa ilmu) sama dengan perbedaan derajat kemuliaanku (kata Nabi) dengan derajat seseorang yang paling hina dari antara kamu! Saya berpendapat bahwa untuk menarik kesimpulan atau mendalami makna suatu ayat Al-Quran tidaklah cukup bagi kita dengan hanya menyelidiki ayat yang bersangkutan saja, tetapi harus kita selidiki pula ayat-ayat lain yang kita anggap relevan (berkaitan) dengan ayat termaksud; itu pun, tentu saja, jika ada. Ayat-ayat lain itu biasanya dapat ditemukan di pelbagai surah, dalam Al-Quran. Saya anggap tidak ilmiah jika kita hanya mempergunakan ayat-ayat tertentu saja - hanya oleh karena ayat-ayat itu menunjang konsepsi kita - dan menutup mata terhadap ayat-ayat lainnya yang mungkin bertentangan dengan konsepsi itu. Untuk menarik kesimpulan, kita harus memperhatikan Al-Quran secara totalitas, sebagai suatu keseluruhan. Karena itu, seorang peneliti agama hendaknya berusaha mengumpulkan ayat-ayat yang relevan sebanyak mungkin untuk dipakainya sebagai bahan penelitian selanjutnya. Seorang peneliti Al-Quran seharusnya bersikap seperti seorang detektif: mengumpulkan data-data sebanyak mungkin, mengadakan deduksi dan induksi dari data-data itu, menghubungkan yang satu dengan yang lain, dan akhirnya menarik kesimpulan. Meskipun demikian, ia harus tetap terbuka hatinya terhadap kemungkinan-kemungkinan ia berbuat kesalahan. Dengan demikian, seperti telah saya katakan di muka, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran terdapat unsur matematika yang memerlukan penerapan akal pikiran secara konsekuen. Seperti juga halnya dengan Kitab-kitab Suci lainnya, Al-Quran bukanlah sebuah kitab yang mudah dapat dipahami oleh setiap orang. Tetapi itu bukan berarti bahwa Kitab Suci hanya boleh diteliti oleh suatu golongan atau elite para ahli. Siapa pun yang berkemampuan berpikir diharapkan mempelajarinya untuk menggali rahasia-rahasia yang masih terpendam di dalamnya. Hal demikian berulang-ulang diserukan dalam Al-Quran dan oleh hampir semua pemimpin Muslimin progresif di seluruh dunia. Karena itu, para pembaca yang budiman, pendapat-pendapat baru yang akan saya uraikan dalam buku ini - meskipun dalam beberapa hal memang bertentangan dengan apa yang biasa dikhotbahkan oleh para ulama - dapat dianggap sebagai jawaban terhadap seruan para pemimpin progresif itu, seruan agar kita ikut berusaha menggali kebenaran-kebenaran yang belum terungkap oleh orang lain, sebagai sumbangan seorang Muslim Indonesia kepada sesama manusia. Dalam hubungan ini, seorang ulama Muslimin besar, Muhammad Qutb namanya, menulis dalam bukunya, ISLAM the misunderstood Religion (halaman 287), yang diterbitkan oleh Darul Dayan Bookshop, Kuwait, sebagai berikut.

They (Muslim specialists in Islamic jurisprudence) are not entitled to any authority or class prestiges over people. They are just the jurisprudents and counsels of the state ... for Islam is not the monopoly of any individual or class. Only those persons are considered as an authority on questions of religion who in the light of their deep understanding of it apply it to practical life regardless of their own professions. Artinya: Mereka (para ahli Muslimin dalam ilmu hukum Islam) tidak berhak menyatakan dirinya lebih tinggi otoritas dan derajatnya daripada orang-orang lain. Mereka hanyalah ahli hukum dan penasihat negara ... sebab Islam bukanlah monopoli seseorang atau suatu golongan orang mana pun. Orangorang yang dianggap mempunyai otoritas dalam bidang agama hanyalah mereka yang, terlepas daripada profesinya masing-masing, mempergunakan pengertiannya yang mendalam mengenai agama dalam kehidupannya masing-masing.

Kembali kepada cara penafsiran Al-Quran. Tidaklah benar bila kita mendasarkan kesimpulan kita hanya kepada suatu ayat Al-Quran tertentu. Kebenaran-kebenaran sering bergantung satu kepada yang lain, sebab seringkali kita harus menemukan dahulu Kebenaran yang lain sebelum kita dapat menerima suatu ayat sebagai Kebenaran secara aman. Jika tidak, ayat yang dimaksud itu seolah-olah bertentangan dengan akal sehat. Ambillah sebagai misal ayat-ayat berikut. Ayat Q. 13:26: Allah meluaskan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya)... Ayat Q, 35:8. ... Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan memimpin siapa yang dikehendaki-Nya Jika seorang kritikus menafsirkan ayat-ayat di atas secara harfiah dan langsung, tanpa mengetahui latar belakang atau Kebenaran lain yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat itu, pastilah ia akan memperoleh kesan seolah-olah Tuhan pilih kasih terhadap makhluk-Nya, memberikan nikmat dan kecerdasan kepada orang-orang tertentu, kemiskinan dan kebodohan kepada orang-orang lain; atau seolah-olah ajaran-ajaran Islam itu irrasional. Sebab bagaimana mungkin Tuhan dapat berbuat begitu sewenang-wenang dan pilih kasih, membodohkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mencerdaskan siapa yang dikehendaki-Nya? Bukankah Tuhan itu Maha Adil, Maha Penyayang dan Rahman Rahim? Tetapi bila kita ketahui bahwa di belakang ayat-ayat tadi itu ada suatu Kebenaran lain, suatu motif yang menggarisbawahinya, maka kita akan memperoleh gambaran lain, suatu gambaran yang rasional dan dapat kita terima dengan tulus dan ikhlas. Hal itu akan saya perbincangkan kemudian dengan lebih terperinci dalam buku ini. Untuk sementara, saya berharap agar para pembaca yang budiman percaya bahwa dalam segala hal di mana Tuhan bertindak, berkehendak, atau menentukan sesuatu, ia senantiasa didorong oleh hukum-hukum universal yang telah diciptakan-Nya Sendiri; bukan oleh karena Tuhan berkehendak begitu saja, tanpa suatu alasan, atau oleh karena Tuhan Amat Berkuasa dan dapat berbuat sekehendak hati. Hal itu perlu saya tegaskan sekarang, agar para pembaca yang bukan Islam atau para Muslimin yang sekuler jangan berpikir bahwa Al-Quran mengajarkan hal-hal tentang Tuhan sebagai Tuhan yang sewenang-wenang, tidak keruan dan pilih kasih, dan bahwa doktrin Islam yang dinamakan takdir itu mengakibatkan semacam fatalisme yang pasif. Saya temukan bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran soal-soal kecil yang terdapat di dalamnya harus kita perhatikan secara cermat, sebab sering kali soal-soal kecil itulah - keteranganketerangan atau kata-kata yang seolah-olah tidak berarti - yang dapat memberikan kunci atau jawaban untuk suatu penafsiran yang benar. Al-Quran sering menempatkan kita dalam suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan yang seolah-olah bertentangan satu sama lain. Dalam hal demikian, selalu

ada pernyataan atau keterangan lain yang biasanya kurang kita perhatikan, tetapi yang sebenarnya dapat memberikan kunci atau petunjuk untuk memecahkan soal itu; yang mengisyaratkan kepada kita penafsiran mana yang harus kita pilih di antara dalil-dalil yang seolah-olah bertentangan itu. (Contoh untuk itu akan saya berikan dalam Bab XV buku ini, yang mempersoalkan kemahapengampunan Allah s.w.t.). Meskipun dalam buku ini saya sering menganjurkan pendayagunaan akal pikiran, harus saya tekankan di sini bahwa akal pikiran hanyalah salah suatu sarana yang dikaruniakan Tuhan kepada kita untuk meneliti dan menemukan kembali ajaran-ajaran yang sejak dahulu kala disampaikan oleh-Nya kepada manusia dengan pelbagai cara. Tanpa penggunaan akal pikiran atau tanpa keberanian mempergunakannya secara bebas, tidaklah mungkin kita dapat membedakan secara efektif yang benar dari yang salah; tidak dapat kita membeda-bedakan yang logis dari yang tak logis, yang rasional dari yang irrasional, kebenaran dari kebatilan, kiasan dari ajaran terang, ajaran muhkamaat dari ajaran mutasyabihaat. Tanpa keberanian mendayagunakannya, kita tidak dapat menekuni Al-Quran dan menggali hal-hal baru dari dalamnya. Akal pikiran manusia - meskipun memang terbatas kemampuannya - biasanya memungkinkan orang memperoleh pengertian yang lebih baik daripada bila ia menerima begitu saja apa yang disajikan orang lain sebagai kebenaran. Dengan mengajukan hal-hal tersebut di atas, bukanlah maksud saya menepuk dada seolaholah saya telah berhasil memperoleh pengertian tentang seluruh Al-Quran. Sebaliknyalah yang benar. Masih banyak, amat banyak, ayat Al-Quran yang belum saya pahami maknanya. Saya hanyalah seorang awam di bidang agama yang cinta kepada agamanya. Dengan menulis semuanya di atas itu, saya hanya ingin memujikan suatu sikap yang kritis dan ilmiah (scientific enquiry) dalam mempelajari Al-Quran, dan membuktikan kepada para pembaca bahwa sikap yang saya pujikan itu benar. Sikap itu telah memungkinkan saya menemukan beberapa hal yang sebelum ini belum pernah ditemukan - atau mungkin belum berani dikemukakan - oleh orang lain. Penemuanpenemuan itu ingin saya sajikan kepada khalayak ramai untuk diuji kebenarannya, dengan keyakinan bahwa Allah s.w.t. adalah Maha Pemurah dan Maha Pengampun terhadap makhlukmakhluk-Nya yang ingin berbakti kepada-Nya, apa pun hasil niat baiknya itu. Hendaknya dimaklumi bahwa saya tidak meng-claim penemuan-penemuan itu mutlak benar dan tidak dapat ditarik kembali, karena saya sadar bahwa pengertian manusia itu selalu berubahubah - dan mudah-mudahan berubah ke arah yang lebih baik. Tiada suatu teori atau hukum yang merupakan kebenaran mutlak. Ilmu agama sekalipun tidak luput dari kemungkinan berubah, meskipun Pokok-pokok Kebenarannya sendiri, menurut hemat saya, tetap kekal abadi. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah s.w.t. Meskipun demikian, hendaknya kita jangan menutup mata terhadap kenyataan bahwa setiap penemuan baru mungkin mendekatkan kita kepada Kebenaran itu. Saya berpendapat, hendaknya kita selalu bersedia merubah atau menyesuaikan konsepsi kita bilamana konsepsi kita yang lama tidak dapat kita pertahankan lagi. Amanat Tuhan dari masa ke masa selalu sama, walaupun bentuk dan manifestasinya dapat berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan darurat tiap-tiap zaman. Di samping itu, ada pula proses erosi kepercayaan dan perubahan (yang disebabkan oleh sifat manusia yang menurut ayat Q. 18:54 suka membantah) atau proses pelupaan dalam evolusi; tetapi semuanya itu bukan berarti bahwa asas-asas abadi (eternal principles), ajaran-ajaran pokok, dapat berubah. Asas-asas abadi akan tetapi abadi, meskipun kadang-kadang timbul dan tenggelam dalam lautan kesadaran manusia. Untuk sementara, pendapat-pendapat dan gagasan-gagasan yang saya ajukan dalam tulisan ini merupakan pendapat dan gagasan yang saya anggap terbaik.

III Ayat-ayat Mengenai ReinkarnasiSebelum saya mulai memberikan bukti tentang adanya ajaran reinkarnasi dalam Al-Quran, ada baiknya bila saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman anggapan umum yang kini dianut oleh umat Islam mengenai hidup sesudah mati. Kebetulan saya membaca sebuah buku yang berjudul Hidup Sesudah Mati karangan Bapak H. Bey Arifin, terbitan PT. Kinta, Jakarta. Untuk menghindari penyampaian salah mengenai apa yang dituliskan dalam buku itu, saya anggap lebih aman bila saya mengutip saja bab yang bersangkutan dalam keseluruhannya, dengan kata-kata yang dipergunakan oleh penulisnya. Saya tidak tahu bagaimana pendapat anda mengenai tulisan itu, tetapi menurut beliau apa yang dikemukakannya mengenai hidup sesudah mati itu sesuai dengan ajaran Islam Ahli Sunnah Wal Jama'ah.39. HIDUP SESUDAH MATI Setelah membaca semua keterangan yang berhubungan dengan roh manusia seperti di atas ini, yakinlah hendaknya seyakin-yakinnya bahwa memang ada hidup sesudah mati, hidup kekal dan abadi buat selama-lamanya. Itulah hidup yang sebenar-benarnya hidup, hidup yang tak berakhir dengan mati lagi. Bukan hidup bayangan, hidup berpura-pura hidup, hidup main-main, yang penuh dengan tipu dan kepalsuan. Hidup sesudah mati menurut agama Islam terbagi di dalam beberapa masa atau periode: I. Periode menunggu, yaitu masa sesudah meninggal dunia sampai terjadinya kiamat besar, yaitu kematian total yang serentak bagi seluruh makhluk hidup, baik manusia, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, malaikat, jin dan iblis. Periode menunggu ini dinamai ALAM BARZAKH atau ALAM KUBUR. II. Periode Peralihan, yaitu dimulai dengan terjadinya kiamat besar atau kematian total, yang boleh dikatakan pergantian dunia dengan akhirat, berakhirnya dunia ini, dan mulai kehidupan Akhirat. Diterangkan dalam banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits, bahwa bumi bergoncang sehebathebatnya, gunung-gunung berloncatan seperti belalang yang dikejar, manusia berlemparan seperti kapas yang berterbangan. Matahari, bulan, bintang-bintang berkacau-balau dan pecah belah berguguran. Semua makhluk hidup mati serentak. Kejadian ini dinamai KIAMAT BESAR. Sunyi sepi 40 tahun lamanya, tak ada bunyi, tak ada suara, tak ada yang bergerak, angin tak berembus, laut tak beriak. III. Periode Kebangkitan, di mana semua manusia, malaikat, jin dan iblis yang sudah mati itu dihidupkan kembali. Kebangkitan total. Berapa banyaknya seluruh manusia sejak dari Nabi Adam sampai kiamat besar itu, Allah saja yang mengetahuinya. Semua hidup kembali dan berdiri di tempat masing-masing lengkap dengan tubuh dan anggota badannya. Jadi bukan hanya kehidupan roh tetapi kehidupan roh dan jasad seperti sebelum math Periode ini dinamai KEBANGKITAN TOTAL, MAHSYAR, atau HARI KEGEMPARAN BESAR. Kira-kira 40 tahun pula lamanya semua makhluk hidup yang sudah dibangkitkan itu menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Masa menunggu yang amat panik, letih, lesu, lapar, dahaga, kecuali bagi beberapa golongan manusia yang istimewa, karena mendapat perlindungan dari Allah dengan lindungan-Nya. IV. Periode Perhisaban, di mana setiap manusia dan jin tanpa kecuali seorang pun akan dihisab, akan diperhitungkan semua perbuatan, perkataan, gerak-geriknya semasa hidup di dunia ini, akan diminta pertanggung-jawabnya, dari masalah yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya. Perhisaban atau Pengadilan Akhirat ini hampir sama caranya dengan pengadilan-pengadilan di dunia di zaman modern sekarang ini, di mana Allah s.w.t. sendiri bertindak sebagai Hakim, sendiri Ia, tanpa Hakim Anggota atau Pengganti. Seluruh manusia dan jin menjadi terdakwa. Sedang seluruh Malaikat menjadi Jaksa Penuntut. Sedang Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebagai Pembela. Perhisaban itu dimulai dengan soal jawab, lalu membaca buku catatan harian, lalu melihat foto-foto, mendengarkan rekaman lalu timbangan raksasa yang menimbang kebajikan dan kejahatan dari yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya.

Tak luput dari pertanggung-jawaban ini para Nabi dan Rasul, malah merekalah yang paling berat pertanggung-jawabannya. Dan yang paling berat pula ialah orang-orang yang semasa hidupnya memegang kekuasaan seperti Kepala-Kepala Negara, Menteri-Menteri, Pemimpin-Pemimpin Besar sampai kepada Pemimpin-Pemimpin Terkecil. Bahkan setiap manusia apa saja kedudukannya dianggap oleh Allah sebagai Pemimpin yang harus bertanggung jawab: Suami bertanggung jawab, isteri bertanggung jawab dan begitulah seterusnya. Inilah yang dinamai YAUMID DIN (HARI PERHISABAN). V. Periode Pembalasan, dimana setiap orang setelah dihisab atau diadili, akan mendapat pembalasan dari apa saja yang mereka pernah lakukan dalam hidupnya di dunia. Perbuatan yang baik akan dibalas Allah dengan kebaikan. Perbuatan jelek akan dibalas Allah dengan kejahatan Allah yang setimpal. Allah tidak akan aniaya sedikitpun. Allah Maha Adil. Sebagai konsekuensi dari keadilan itu diadakan pembalasan yang setimpal. Ada orang yang masuk SURGA dan ada pula yang masuk NERAKA. Yang masuk Surga senang, bahagia dengan kesenangan dan kebahagiaan yang sesempurna-sempurnanya buat selamalamanya. Sedang yang masuk Neraka akan sengsara dan menderita terus menerus dengan penderitaan yang sesungguh-sungguhnya pula. Demikianlah kesimpulan dari kehidupan sesudah mati yang akan ditempuh oleh setiap manusia tanpa kecualinya.

Selain kutipan di atas, ada baiknya bilamana saya kutip juga tulisan Bapak Haji Siradjuddin Abbas almarhum dalam bukunya, Iitiqad Ahlussunnah Waljama'ah. Dan juga untuk menghindarkan penyampaian salah tulisan orang lain, saya akan mengutip tulisannya kata demi kata sebagaimana tercetak dalam buku itu. Di halaman 82 beliau menulis:9. Setiap orang Islam wajib mempercayai hari akhirat. Permulaan hari akhirat itu bagi setiap manusia adalah sesudah mati, yaitu begini: a. Setiap orang akan mati apabila jangka waktu usianya habis. b. Setelah mati lalu dikubur. Dalam kubur ditanyai: siapa Tuhan, siapa Nabi, siapa Imam dan Lain-lain pertanyaan oleh Malaikat Munkar dan Nakir. c. Orang yang jahat akan disiksa di kubur. d. Kemudian pada suatu waktu akan terjadi kiamat besar, dunia akan hancur lebur dan semua makhluk yang ada di dunia akan mati e. Kemudian pada suatu waktu pula akan dibunyikan terompet sehingga seluruh orang yang mati bangun kembali, berkumpul di Padang Mahsyar. f. Akan diadakan hisab, yani perhitungan dosa dan pahala. g. Di Padang Mahsyar itu akan ada syafaat (bantuan) dari Nabi Muhammad s.a.w. dengan seizin Tuhan. h. Akan ada timbangan untuk menimbang dosa dan pahala. i. Akan ada titian Shirathalmustaqim, yang dibentangkan di atas neraka yang akan dilalui oleh sekalian manusia. j. Akan ada telaga Kautsar, kepunyaan Nabi Muhammad s.a.w. di dalam Surga, di mana orang-orang beriman akan dapat minum. k. Yang lulus ujian terus langsung selamat meniti dan masuk Surga Jannatun Na'im, tetapi yang kafir akan jatuh di neraka. l. Orang yang baik langsung masuk surga dan kekal selama-lamanya. m. Orang kafir langsung masuk neraka dan kekal selama-lamanya. n. Orang mu'min yang berdosa dan mati sebelum taubat, akan masuk ke dalam neraka buat sementara dan sehabis hukuman akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga buat selama-lamanya. o. Orang mumin yang baik-baik akan diberi ni'mat apa saja yang ia sukai, dan akan diberi lagi ni'mat tambahan yang paling besar dan paling lezat, yaitu melihat Allah Subhanahu wata'ala. Demikian secara ringkas tentang hari akhirat.

Mengutip tulisan-tulisan di atas bukanlah berarti bahwa saya sependapat dengan apa yang diuraikan di dalamnya atau para penulisnya. Maksud saya dengan pengutipan itu ialah agar para pembaca maklum bahwa bukan oleh karena saya tidak tahu akan adanya ajaran Islam demikian bila saya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara bertentangan dengan para ulama Islam, melainkan oleh karena dalam beberapa hal memang saya mempunyai cara penafsiran tersendiri, suatu cara

penafsiran yang menurut hemat saya lebih sesuai dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat Al-Quran yang bersangkutan. Sebagaimana telah diakui oleh kebanyakan orang, setelah mati, orang, atau lebih baik bila saya katakan ruhnya, akan dibangkitkan di alam gaib. Ia akan tinggal dan hidup di sana dengan badan halusnya, yang saya namakan badan astral, yang sifatnya tidak kita ketahui dengan pasti. Dunia yang tidak kelihatan oleh panca indera kita itu adalah apa yang untuk singkatnya, saya sebut alam gaib, alam akhirat, atau akhirat saja, (Karena alasan tertentu, yang akan saya jelaskan kelak, saya tidak menggunakan kata-kata alam barzakh atau alam kubur.) Kebangkitan ini - menurut hemat saya, dalam arti kebangkitan ruh yang telah melepaskan badan fisiknya tak lama setelah meninggal - disebut-sebut, antara lain, dalam ayat-ayat Al-Quran berikut: Ayat Q. 11:7:

Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan nanti setelah mati ... Ayat Q. 6:36:

Adapun mengenai orang-orang mati, Allah akan membangkitkan mereka; kemudian kepadaNya mereka akan dikembalikan. Ayat Q. 22:7:

Dan sesungguhnya saat itu akan tiba - tiada keraguan dalam hal itu - dan oleh karena Tuhan akan membangkitkan mereka di dalam kubur. Ayat Q. 64:7:

Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Memang, demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan; kemudian akan diberitahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Sehubungan dengan ayat-ayat itu, saya yakin anda setuju bila saya katakan bahwa tiada perbedaan pendapat di antara kita mengenai hal kebangkitan itu: Kita sama-sama percaya bahwa setelah mati kita (ruh-ruh kita) akan bangkit, lalu hidup di alam gaib atau akhirat. Tetapi apa yang mungkin menimbulkan perbedaan paham antara kita ialah, pertama, apakah kebangkitan orang mati itu terjadi segera sesudah saat kematian ataukah jauh di kemudian hari, yaitu bila akhir zaman atau apa yang biasa dinamakan Hari Kiamat tiba; dan kedua, apakah mungkin bahwa selain hidup di alam gaib itu ada pula reinkarnasi atau kelahiran kembali secara fisik ke dunia.

Oleh karena jawaban terhadap pertanyaan pertama sangat bergantung kepada jawaban terhadap pertanyaan terakhir, saya akan berusaha dahulu memberi jawaban terhadap pertanyaan terakhir. Setelah belasan tahun saya mempelajari Al-Quran dengan seksama, saya berkesimpulan bahwa dalam Kitab Suci kita itu banyak sekali ayat yang menunjukkan adanya reinkarnasi, dalam arti bahwa setelah hidup di akhirat selama masa tertentu - yang lamanya bagi setiap orang berbedabeda - ruh orang-orang yang telah meninggal akan diciptakan atau dilahirkan kembali secara fisik ke dunia, dalam bentuk manusia pula. Terlaksananya kelahiran atau penciptaan kembali itu tidak perlu menunggu sampai tibanya akhir zaman, tetapi sekarang pun dapat dan telah berlangsung. Mungkin sekali oleh karena ajaran itu amat penting, maka Tuhan berulang-ulang menyinggung hal itu dalam Al-Quran dengan pelbagai cara dan pelbagai perkataan, dengan katakata yang jelas ataupun yang samar-samar, seolah-olah dengan demikian Ia mengharapkan umat manusia mengenali atau menemukan kembali ajaran universal itu dan mempergunakannya sebagai dasar untuk memahami misteri hidup lebih lanjut. (Saya tadi memakai istilah kembali, oleh karena pada mulanya, ajaran itu merupakan ajaran Kristen juga, tetapi kemudian, kira-kira setengah abad sebelum datangnya agama Islam, tidak diakui oleh Gereja). Tetapi bagaimana kenyataannya? Empat belas abad telah berlalu, namun ajaran reinkarnasi masih tetap tidak dianggap sebagai ajaran Islam oleh dunia Islam (kecuali oleh sejumlah umat kecil orang Muslimin). Dengan banyaknya ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan adanya reinkarnasi (tetapi setiap kali disalahtafsirkan oleh kebanyakan orang) dan dengan jelasnya - setidak-tidaknya bagi saya kata-kata dalam Al-Quran mengenai ajaran itu, maka saya berkeyakinan bahwa paham reinkarnasi itu benar-benar harus dianggap sebagai salah satu ajaran pokok agama Islam. Pembuktian I Ayat Q. 32:10 berbunyi:

Dan mereka berkata: Bila kami telah hilang dalam tanah, bagaimana kami dapat diciptakan kembali? Tidak, mereka mengingkari pertemuan dengan Tuhan mereka. Ayat Q. 17:98:

Demikianlah ganjaran bagi mereka karena mereka mengingkari tanda-tanda Kami dan berkata: Bila kami telah menjadi tulang belulang dan debu bertebaran, apakah kami sungguh akan dibangkitkan kembali sebagai ciptaan baru? Ayat Q. 27:67:

Orang-orang yang ingkar (tak percaya) berkata: Bila kami telah menjadi debu seperti nenek moyang kami, apakah kami akan dihidupkan kembali?

Ayat Q. 34:7:

Dan orang-orang yang ingkar (tak percaya) berkata: Maukah kami tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang mengabarkan kepadamu bila badanmu telah cerai berai sama sekali kamu akan diciptakan kembali (dalam ciptaan baru)? Ayat Q. 13:5:

Jika kamu heran, maka yang (lebih) mengherankan ialah ucapan mereka: Bila kami telah menjadi debu, apakah kami sesungguhnya akan menjadi ciptaan baru? Begitulah orangorang yang mengingkari Tuhannya; orang-orang demikian dibelenggu lehernya; orang-orang demikian adalah (calon) penghuni neraka; mereka akan tinggal di dalamnya. Pertanyaan yang tertera dalam ayat-ayat di atas jelas diajukan oleh orang-orang yang ingkar, yang tidak percaya atau beriman, kepada (ajaran) Tuhan (kasarnya, yang kafir). Hal itu berarti bahwa kita, orang-orang mukmin, harus percaya bahwa bilamana kita telah lama mati - pengertian lama itu dinyatakan dengan perkataan apabila kami telah menjadi tanah, bilamana badanmu telah cerai-berai sama sekali, bila kami telah menjadi tulang-belulang dan debu bertebaran, dan sebagainya - kita akan diciptakan kembali. Perkataan-perkataan seperti misalnya dihidupkan kembali, diciptakan kembali, menjadi ciptaan baru, dan diciptakan kembali dalam ciptaan baru, semuanya menunjukkan suatu ulangan penciptaan, dalam hal ini, ulangan penciptaan atau kelahiran manusia. Dan bagaimana cara manusia diciptakan oleh Tuhan? Karena kita orang mukmin - dalam hal ini saya berbicara kepada saudara-saudara seagama Muslim - marilah kita mohon penjelasan kepada Al-Quran, sumber Islam yang terutama. Ayat Q. 77:20-22:

20. Bukankah Kami ciptakan kamu dari cairan hina. 21. Yang Kami tempatkan dalam wadah yang aman. 22. Selama waktu yang ditentukan?

Ayat Q. 23:12-14:

12. Dan sesungguhnya Kami ciptakan manusia dari saripati tanah basah, 13. Kemudian Kami menempatkannya sebagai setetes (mani) dalam wadah yang aman (yaitu rahim), 14. Kemudian kami jadikan tetes (mani) itu suatu bekuan; kemudian Kami jadikan bekuan itu gumpalan; kemudian Kami jadikan gumpalan itu tulang-belulang; kemudian Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging, dan kemudian Kami keluarkan dia sebagai ciptaan lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Terbaik. Ayat Q. 22:5:

Hai manusia! Jika kamu ragu-ragu tentang kebangkitan, (ketahuilah) bahwa Kami ciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari suatu gumpalan daging yang berbentuk dan tidak berbentuk, agar Kami dapat menjelaskan, kepadamu. Dan Kami tempatkan yang Kami kehendaki di dalam rahim untuk suatu masa tertentu, dan kemudian Kami keluarkan kamu sebagai anak, dan kamu menjadi dewasa . . . Untuk menyingkat waktu, saya tidak akan mengutip ayat-ayat Al-Quran lainnya yang senada. Cukuplah kiranya bila saya katakan di sini bahwa penciptaan manusia itu - saya tidak berbicara tentang penciptaan manusia pertama - selalu dimulai dalam rahim seorang ibu, dan kemudian disusul oleh kelahirannya sebagai bayi. Logika, kejujuran intelektual, dan akal sehat menuntut bahwa bila sekarang penciptaan manusia selalu dilakukan melalui rahim ibu, maka ulangan penciptaannya pun harus pula terjadi melalui rahim seorang ibu. Sebab bila seseorang berkata, lima tahun yang lalu, perusahaan itu menerbitkan buku Pak Adam. Tahun ini ia akan menerbitkannya kembali, maka pasti tiada seorang pun yang berakal sehat akan menafsirkan bahwa dengan ucapannya itu perusahaan tersebut akan menerbitkan majalah atau buku lain, atau akan minta Pak Adam membuat naskah lain untuk diterbitkan lagi. Sudahlah pasti bahwa yang dimaksudkan perusahaan itu penerbitan buku yang disebut-sebut sebelumnya, yaitu buku Pak Adam. Demikian pula, bila Tuhan s.w.t. berfirman, Kuciptakan kamu melalui rahim seorang ibu. Setelah kamu menjadi debu (yang berarti: setelah lama kamu mati), kamu akan Kuciptakan lagi, maka setiap orang yang jujur dan obyektif akan menafsirkan bahwa ulangan penciptaan itu akan terjadi melalui rahim seorang ibu pula, yaitu melalui suatu proses kelahiran. Tidaklah mungkin ia

akan berpikir bahwa ulangan penciptaan itu, akan terjadi di suatu tempat lain, atau melalui sarana atau proses lain. Dengan perkataan yang lebih jelas: Bila, menurut Al-Quran, proses penciptaan manusia mulai dalam rahim seorang ibu dan disusul dengan kelahirannya ke dunia sebagai bayi, maka, proses pengulangannya pun tentu berlangsung dengan cara yang sama, yaitu: melalui rahim seorang ibu dan kemudian disusul dengan kelahiran di dunia. Bukan di alam gaib, dan bukan pula dengan cara yang lain. (Itulah yang saya maksud dengan kejujuran intelektual.) Pembuktian II Ayat Al-Quran lain yang menurut hemat saya sangat meyakinkan mengenai reinkarnasi adalah ayat Q. 2:28. Tetapi sebelum kita membahasnya, saya anggap perlu menyinggung suatu ucapan yang sering kita jumpai dalam Al-Quran, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Yang saya maksud ialah ucapan kembali kepada Tuhan. Apa makna ucapan itu? Mudah-mudahan para pembaca yang budiman setuju bila saya katakan bahwa ucapan di atas hendaknya jangan diartikan secara harfiah, sebab, seperti pasti anda pun maklum, tiada seorang pun di dunia yang sekarang. cukup murni dan mulia untuk segera atau langsung bersatu dengan Tuhan s.w.t. setelah ia mati. Karena itu, saya lebih condong menarik kesimpulan bahwa ucapan kembali kepada Tuhan itu hendaknya diartikan sebagai meninggal, kembali ke alam gaib, sebab bukankah kita sering mempergunakan ucapan pulang ke Rahmatullah untuk kata meninggal? Dengan perkataan lain, kembali kepada Tuhan itu berarti mati, yaitu mati dalam arti ruh yang bersangkutan (dalam badan astralnya) kembali ke alam gaib, sedangkan badan fisiknya kembali ke bumi untuk kemudian hancur menjadi debu atau tanah. (Catatan: Ini bukan berarti bahwa saya meniadakan alternatif (pilihan) lain, sebab saya pun percaya bahwa akhirnya kita tokh akan kembali dan bersatu dengan Tuhan, yaitu setelah melalui siklus hidup dan mati yang berulang-ulang dan ruh kita cukup murni untuk itu). Dengan keputusan yang sudah terdahulu ini - yaitu asumsi bahwa kembali kepada Tuhan berarti kembali ke alam gaib atau meninggal - marilah kita teliti apa yang tersimpul dalam ayat Q. 2:28, yang berbunyi sebagai berikut :

Bagaimana kamu tidak beriman kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Ia menghidupkan kamu, kemudian Ia mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), kemudian kepada-Nya kamu akan kembali. Ajaran apa yang tersimpul dalam ayat itu? Makna apa yang disampaikan Tuhan kepada kita dengan ayat itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, sangatlah perlu bagi kita untuk menganalisa masing-masing anak kalimat ayat tadi dan mencari masing-masing maksudnya dengan benar. Adapun analisa yang saya buat, adalah sebagai berikut: (a) Padahal kamu tadinya mati menunjukkan hal mati (b) lalu Ia menghidupkan kamu menunjukkan hal lahir/hidup (c) kemudian Ia mematikan kamu menunjukkan hal mati (d) kemudian Ia menghidupkan kamu (lagi) menunjukkan hal lahir/hidup (e) kemudian kepada-Nyalah kamu akan kembali menunjukkan hal mati

Bagi para pembaca yang berpandangan terbuka dan terus terang, yang secara jujur dan wajar menafsirkan ucapan-ucapan tadi sebagaimana adanya (tanpa menyimpangkan arti kata biasa), pola reinkarnasi atau pola siklus hidup dan mati dalam ayat di atas sangatlah jelas: mati - hidup - mati hidup - mati. Orang-orang yang tidak percaya kepada reinkarnasi berpendapat bahwa ucapan tadinya kamu mati harus diartikan lain. Ada yang mengatakan bahwa ucapan itu menunjukkan masa ketika orang masih dalam rahim si ibu; Ada yang mengatakan bahwa ucapan itu harus diartikan segumpal darah; dan ada lagi yang mengatakan bahwa artinya ketika kamu belum ada. Semuanya itu, saya tahu, adalah ajaran yang sekarang secara umum diajarkan oleh para guru agama kita. Tetapi benarkah, atau jujurkah tafsiran itu? Menurut hemat saya tidak. Setelah saya meneliti sendiri ayat-ayat Al-Quran secara mendalam, harus saya katakan bahwa tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para pengingkar reinkarnasi mengenai ayat Q. 2:28 itu tidak dapat saya terima. Bagi saya - saya kira, juga bagi para pemikir lainnya yang berpikir secara wajar dan tidak berbelit-belit - mati berarti mati, yaitu keadaan setelah seseorang menghabiskan masa hidup fisiknya, keadaan sesudah mati, atau perpindahan dari dunia fisik ke dunia gaib atau akhirat. Sama sekali bukanlah mati itu berarti segumpal daging, masa dalam rahim, bukan pula ketika kamu belum ada, seperti acapkali ditafsirkan orang. Memang benar, sebagaimana dikatakan orang, kata-kata ayat Al-Quran kadang-kadang dapat diartikan berbeda-beda; tetapi saya kira anda setuju bila saya katakan bahwa setiap penafsiran ayat Al-Quran hendaknya dilakukan sedekat mungkin kepada makna ayat yang akan ditafsirkan, dan jangan dilakukan sekehendak hati. Dalam Al-Quran ada ayat yang mengisyaratkan bahwa bagi kita manusia hanya ada satu macam kematian, yaitu kematian di dunia, bila ruh kita meninggalkan badan fisik kita. Ayat itu, Q. 44:56, berbunyi:

Di sana (akhirat) mereka tidak akan merasakan kematian, kecuali kematian pertama (di dunia)... Karena itu, amatlah baik bila kita berpegang pada dalil tersebut, dan saya rasa amatlah tepat bilamana kita tafsirkan kata mati dalam anak kalimat padahal kamu tadinya mati dari ayat Q. 2:28 tadi sebagai ruh kamu dahulu telah meninggalkan badan fisik kamu (dan kemudian hidup di alam akhirat), bukan sebagai segumpal daging, masa dalam rahim, ketiadaan, atau sebagainya. Kebanyakan orang mudah terlupa bahwa Al-Quran sebenarnya merupakan sumber informasi yang terbaik dan terpercaya dalam soal-soal spiritual dan keagamaan. Ayat Q. 3:27 misalnya, mengajarkan, antara lain:

Kau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Kau keluarkan yang mati dari yang hidup Ayat itu dengan jelas mengajarkan kepada kita bahwa: Orang-orang hidup berasal dari orang-orang mati, dan orang-orang mati berasal dari orang-orang hidup. Memang bagi para pembaca yang belum kenal akan paham reinkarnasi amatlah janggal mendengar dalil bahwa orang hidup berasal dari orang mati. Tetapi itulah yang dinyatakan oleh ayat di atas: Tuhan mengeluarkan orang-orang hidup dari orang-orang mati. Saya rasa tidak ada keraguan dalam penafsiran secara demikian, meskipun anda mungkin meragukan kebenaran dalil itu. Tetapi sebagaimana kita beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, demikian pulalah hendaknya

kita percaya kepada apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad saw. Janganlah kita berkata bahwa tidak mungkin orang hidup berasal dari orang mati. Bagi Tuhan hal itu perkara mudah. Mari kita baca ayat Q. 46:33:

Tidakkah mereka lihat bahwa Allah, yang menciptakan langit dan bumi, dan tidak lelah menciptakan semua itu, berkuasa menghidupkan (kembali) orang yang mati? Ya, sungguh, Ia berkuasa berbuat segala sesuatu. Dengan mengenakan dalil yang tercantum dalam ayat Q. 3:27 kepada ayat Q. 2:28, kita dengan aman dapat menarik kesimpulan bahwa dahulu, sebelum mati, anda pernah hidup; dan sebelum masa hidup itu, anda pernah mati; dan sebelum anda mati ketika itu, anda pernah hidup pula; dan seterusnya, kembali kepada kehidupan anda secara fisik yang pertama. Demikian pula, setelah kamu kembali kepada Tuhan kelak - yang artinya sama dengan setelah anda mati kelak - anda akan dilahirkan lagi, mendewasa, menua, dan kemudian mati lagi; kemudian anda akan dilahirkan lagi, mendewasa, menua, dan kemudian mati lagi; dan seterusnya, ad infinitum, sampai saat anda tidak perlu dilahirkan kembali karena telah mencapai kesempurnaan. Saya tahu benar bahwa ayat Q. 2:28 oleh para guru agama kita biasa dipakai sebagai dasar untuk membenarkan pengertian mereka mengenai hidup dan mati yang konon sebagai berikut: (a) Kematian (ditafsirkan sebagai ketiadaan, sebagai segumpal darah, atau sebagai berada dalam rahim; dan mungkin ada tafsiran lain lagi?) (b) Kehidupan (ditafsirkan sebagai hidup kita sekarang. Hal itu seratus persen saya setujui). (c) Kematian (ditafsirkan sebagai apa yang akan datang setelah hidup kita sekarang. Juga hal yang seratus persen saya setujui). (d) Kehidupan (ditafsirkan sebagai kehidupan di alam barzakh atau akhirat sementara. Itu menurut hemat saya merupakan suatu pengada-adaan. Janganlah kita tambah-tambahi anak kalimat yang bersangkutan.) (e) Akhirnya: Kehidupan abadi (dianggap sebagai kehidupan sesudah akhir zaman, kehidupan abadi di surga atau di neraka setelah Pengadilan Besar atau Hari Kiamat.) Bagi saya, tafsiran-tafsiran (a), (d), dan (e) di atas itu merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan, karena merupakan suatu usaha manipulasi kata-kata dengan maksud menutupi otentisitas siklus hidup dan mati; hanya untuk membenarkan konsepsi yang sekarang berlaku di dunia Islam, yaitu konsepsi bahwa hidup kita di dunia ini hanya satu kali saja. Menurut hemat saya, kita seharusnya berpedoman kepada cara penafsiran yang telah digariskan dalam ayat Q. 21:104, yang menyatakan:

... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan semula, begitulah pula Kami akan mengulanginya . . . Jadi, bila anda sebelumnya mengartikan perkataan lalu Ia menghidupkan kamu dalam ayat Q.2:28 tadi sebagai lalu Ia melahirkan kamu ke dunia melalui rahim seorang ibu, maka anak kalimat kemudian (Ia) menghidupkan kamu (lagi) harus pula anda artikan sebagai kemudian (Ia) melahirkan kamu lagi ke dunia melalui rahim seorang ibu. Simpel, bukan?

Jika kita mempergunakan akal pikiran kita secara konsekuen dan dinamis dalam penafsiran ayat Q. 2:28, maka mau tak mau kita akan sampai kepada konsepsi sebagai berikut: ... (suatu rangkaian siklus hidup dan mati terdahulu) (a) Kematian (perpindahan ruh dari alam fisik ke alam gaib) (b) Kelahiran/kehidupan fisik (c) Kematian (perpindahan ruh dari alam fisik ke alam gaib) (d) Kelahiran/kehidupan fisik (e) Kematian (perpindahan ruh dari alam fisik ke alam gaib, disusul dengan rangkaian siklus hidup dan mati di atas). Mereka yang menuntut bahwa kata menghidupkan dalam bagian terakhir ayat Q. 2:28 (anak kalimat kemudian menghidupkan kamu lagi) harus diartikan sebagai kehidupan di alam barzakh, agaknya terpengaruh oleh kalimat kemudian kepada-Nya kamu akan kembali. Sehubungan dengan pendapat itu, saya ingin menyatakan di sini, bahwa saya pun berpendapat bahwa setelah mati dan bangkit di alam gaib kita akan hidup di sana. Hal itu telah saya uraikan dengan panjang lebar di muka. Tetapi, agaknya bukan itulah yang dimaksud dengan ayat itu. Dari penelitian Al-Quran yang saya lakukan, saya berkesimpulan bahwa kelahiran kembali ke alam fisik senantiasa dinyatakan dalam Al-Quran dengan perkataan menghidupkan kembali, menghidupkan untuk kedua kalinya, menciptakan kembali, dan sebagainya; sedangkan kebangkitan (kembali) di alam gaib, umumnya dengan kata membangkitkan. Seandainya Ilmu Tafsir tokh mengajarkan bahwa kata-kata yang saya kutip di atas harus ditafsirkan sebagai menghidupkan atau membangkitkan kembali di alam gaib, atau sebagai menghidupkan kembali secara rohaniah setelah kematian rohaniah, maka hal itu tidak perlu mengikat kita, karena ajaran demikian adalah buatan atau hasil pemikiran manusia biasa, bukan suatu hal yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w., bukan kalam Ilahi. Untuk membuktikan bahwa harus diadakan pembedaan antara ucapan menghidupkan (kembali) dan ucapan membangkitkan (kembali), saya akan mengutip sebuah ayat Al-Quran, yaitu ayat Q. 22:6-7, yang berbunyi:

6. Demikianlah adanya, karena Allah, Ia-lah Yang Hak, karena Ia-lah Yang menghidupkan orang mati, dan Ia-lah Yang berkuasa atas segala sesuatu. 7. Dan sesungguhnya saat itu akan tiba - tiada keraguan dalam hal itu - dan oleh karena Allah akan membangkitkan mereka di dalam kubur. Menurut pengertian saya, kutipan di atas menunjukkan dua perkara. Ayat Q. 22:6 menunjuk kepada perkara menghidupkan orang mati, atau apa yang saya tafsirkan sebagai melahirkan kembali ruh orang yang telah meninggal ke dunia melalui kandungan seorang ibu; sedangkan ayat berikutnya, ayat Q. 22:7, menunjuk kepada kebangkitan ruh orang mati di alam gaib atau akhirat, setelah ia menanggalkan badan kasarnya. Kedua pengertian itu sama sekali tidak boleh dipertukarkan. Setelah orang meninggal, ruh dalam badan halusnya (badan astralnya) akan dibangkitkan di alam gaib. Saat itulah yang dinamakan kiamat atau kebangkitan, sebab kata Arab qiyaamatu berarti kebangkitan. (Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam Bab VII). Kemudian ia mendapati diri dalam keadaan atau alam yang kita namakan neraka atau surga, (tanpa harus menunggu

datangnya akhir zaman atau akhir dunia, sebab menurut ayat Q. 6:62 dan Q. 6:165, Tuhan cepat dalam perhitungan-Nya) sedangkan badan fisiknya akan membusuk di dalam tanah dan akhirnya menjadi tanah kembali. Kemudian, menurut apa yang telah saya teliti dalam Al-Quran, setelah hidup di alam gaib atau akhirat selama beberapa waktu - yang lamanya tidak sama untuk setiap orang - ia akan dilahirkan kembali ke dunia dalam badan fisik yang baru. Tubuh fisik yang dengan itu ruh dilahirkan kembali bukanlah tubuh yang dihuninya dahulu, melainkan tubuh yang baru. Ruhnya sama. Sebelum dapat bereinkarnasi, ruh-ruh yang semula berada di neraka harus dipindahkan dahulu ke alam gaib yang lebih tinggi, yaitu apa yang biasa kita namakan surga atau alam-rohanihalus. Apa alasan yang memberanikan saya mengatakan demikian? Izinkanlah saya menerangkan lebih dahulu bahwa menurut pengertian saya apa yang disebut neraka (alam astral atau alam-rohani-kasar bagian rendah) hendaknya jangan kita artikan sebagai tempat hukuman atau penyiksaan semata-mata, melainkan juga sebagai alam kesadaran di mana ruh orang-orang yang telah meninggal mengalami penderitaan mental dan rohani sebagai penebusan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya di dunia fisik; sebagai tempat atau alam untuk menyesali diri, memperbaiki diri, bermawas diri, dan untuk membersihkan diri dari pikiranpikiran dan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Setelah di situ menyadari, menyesali, dan cukup menebus dosa-dosa dan kesalahankesalahannya dengan penderitaan mental dan rohani, dan bertaubat, ruh-ruh (dalam badan-rohani halusnya) akan dipindahkan ke alam surga, yang tingkatnya berbeda-beda, seperti secara alegoris dinyatakan dalam ayat Q. 2:29: Ialah yang menciptakan bagimu segala sesuatu yang ada di bumi. Kemudian Ia mengarahkan (perhatian-Nya) ke langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Tahu akan segala sesuatu. Di alam surga, ruh-ruh melanjutkan usahanya menambah pengetahuan dengan bimbingan para ruh yang lebih tinggi derajatnya, dan mungkin para malaikat. Akhirnya, setelah cukup mempersiapkan diri, mereka akan dilahirkan kembali ke dunia, sebagai ciptaan manusia baru, untuk sekali lagi menerima ujian hidup dan menerima pembalasan, buruk ataupun baik, sebagai kompensasi atas perbuatan-perbuatannya dalam masa atau masa-masa hidup yang lalu, seperti dinyatakan dalam ayat Q. 10:4:

KepadaNyalah kamu kembali semuanya. Janji Allah yang benar. Ialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya, supaya Ia dapat memberi pahala kepada mereka yang beriman dan melakukan kebaikan secara adil; sedangkan bagi mereka yang tidak percaya, (disediakan) minuman air mendidih dan siksaan pedih yang menyakitkan karena mereka tidak percaya. Bahwasanya ruh-ruh, setelah menyadari dosa-dosanya dan bertaubat, dapat pindah dari alam neraka ke alam surga, diisyaratkan oleh Tuhan dalam firman-Nya ayat Q. 3:185:

Setiap jiwa akan merasakan kematian. Dan pada hari kebangkitan akan dibayarkan kepada kamu ganjaranmu. Barangsiapa dipindahkan dari api (neraka) dan dimasukkan ke dalam surga, sesungguhnya ia beroleh kemenangan. Dan kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Ayat Q. 3:88-89:

88. Mereka menetap di dalamnya (dalam neraka). Tidak akan diringankan baginya s