kh ahmad rifa'i arief

14
Drs. KH. Ahmad Rifa’i Arief Annisa Utami Ramadhini, Tiedy Rinintasari, Zaidatul Farihah, Restie Maya Puspita Jurusan Teknik Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Jakarta Ciputat, Tangerang, Banten E-mail : [email protected] Biografi seorang entrepreneur dan kyai, Drs. KH. Ahmad Rifa’i Arief ini, ditulis berdasarkan buku yang berjudul Kiprah Kyai Entreupreneur Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren di Banten yang disusun oleh Drs. H. Soleh Rosyad, M.M. pada tahun 2005. Di dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci sejarah bagaimana beliau hidup, pendapat-pendapat para tokoh dan kerabat tentang kepribadian beliau, apa saja visi-

Upload: dhini-kyuloverz

Post on 03-Aug-2015

158 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: KH Ahmad Rifa'i Arief

Drs. KH. Ahmad Rifa’i Arief

Annisa Utami Ramadhini, Tiedy Rinintasari, Zaidatul Farihah,

Restie Maya Puspita

Jurusan Teknik Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Jakarta

Ciputat, Tangerang, Banten

E-mail : [email protected]

Biografi seorang entrepreneur dan kyai, Drs. KH. Ahmad Rifa’i Arief ini, ditulis berdasarkan

buku yang berjudul Kiprah Kyai Entreupreneur Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren di

Banten yang disusun oleh Drs. H. Soleh Rosyad, M.M. pada tahun 2005. Di dalam buku tersebut

dijelaskan secara rinci sejarah bagaimana beliau hidup, pendapat-pendapat para tokoh dan

kerabat tentang kepribadian beliau, apa saja visi-misi yang dilakukannya untuk mencapai

keberhasilannya, dan karya apa yang telah dia buat untuk masyarakat, khususnya di daerah

Banten.

Page 2: KH Ahmad Rifa'i Arief

Berikut ini adalah beberapa kutipan yang kami ambil dari buku tersebut, dan kami sesuaikan

dengan tujuan penulisan karya tulis ini.

I. Pendahuluan

Kata kyai entrepreneur mengesankan bahwa kyai sebagai pedagang (saudagar,

pengusaha, bussinessman, usahawan, wirausahawan) selaras kata arti entrepreneur diadopsi dari

bahasa inggris. Istilah inipun berkesan negatif bahkan pejoratif bahwa Kyai Rifa’i jualan agama

melalu ilmu dan ponpes-ponpesnya. Atau bisa juga “kyai entrepreneur” dimaksudkan Kyai Rifa’i

adalah seorang kyai dan pedagang, atau seorang pedagang tapi kyai. Bila pandangan dan makna-

makna seperti ini dituju oleh kata kyai entrepreneur dalam buku tersebut, penulis dan segenap

penyusunnya menganggap pandangan tersebut keliru, dan jauh sekali dari niat penulis. Apalagi

bila julukan itu disematkan untuk sebuah pesantren Daar El-Qolam atau seorang Kyai Rifa’i;

sebab pedagang ya pedagang bukan ulama. Terlebih Kyai Rifa’i bukan pedagang dalam makna

apapun. Beliau juga tidak punya track record pernah pedagang sejak usia muda hingga dewasa.

Bahkan dapat dikatakan sejatinya beliau tidak berbakat dagang. Riwayat lebih membuktikan

beliau adalah “penuntut ilmu gigih”. Sejarh hidupnya lebih menunjukkan keterlibatannya dalam

ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar, pengajar, pendiri lembaga pendidikan, pemikir visi misi

pendidikan, maupun peletak dasar falsafah pendidikan. Pendek kata beliau lebih tepat disebut

“Orang Pendidik” dalam makna apapaun. Di tingkat ini beliau dapat dikatakan telah mencapai

maqam (level) a philosopher, faylasuf.

Namun sebenarnya posisi Kyai Rifa’i teramat sulit dikatakan hanya dalam satu sisi saja,

sebagai filosof saja. Kehidupannya sungguh multi-dimensional dan multi-facet. Beliau bisa

dikatakan “pembaharu/pembaru”, sejak melakukan ide pencampuran santriwati-santriwan di

dalam kelas. Ide ini memperbaharui sistem belajar yang sempat ia nikmati di Gontor, karena

almamaternya hanya untuk pesantren putra saja. Sekalipun ada putri Gontor ternyata pesantren

tersebut terpisah, bukan seperti di Daar El-Qolam sejak 1991. Pembaharuan dilakukan Kyai

Rifa’i ini amat signifikan dan monumental. Terbukti cara tersebut diikuti dan ditiru abis oleh

alumni Gontor lain, kini menjadi kyai juga di ponpes-ponpes tersebar, semisal kyai Anang

Azhari, Sulaeman Efendi, Ikhwan Hadiyyin, dan lain-lain. Fakta ini kemudian membuat Kyai

Rifa’i kadang dijuluki “Kyai Kontroversial”.

Page 3: KH Ahmad Rifa'i Arief

Sebutan lain yang pas untuk beliau “Pelopor” (atau sinonimnya “pionir”), karena menjadi

orang yang mendirikan pesantren modern ala Gontor di Banten; kyai pertama mendirikan

pesantren dengan basis kurikulum SMP atau SMA di La Tansa; pendidik pertama yang

mendirikan pesantren rekreatif di La Lahwa.

Pada sisi lain sebagai “failasuf” (pemikir) dapat dilihat dari gagasan yang ditawarkan

dalam mengelola pendidikan responsif terhadap tuntutan zaman atau kemodernan, tanggap

terhadap kebutuhan masyarakat, serta cocok dan dapat dilakukan siapapun. Ciri-ciri falsafah

disana ialah pikirannya orisinal, memiliki bentuk dan karakter khas, berbeda dari para kyai

sebelumnya. Dengan kata lain, struktur dan muatan-muatan pikirannya sesuai kriteria seorang

filosof.

Kyai Rifa’i juga dapat dijuluki “intelektual” karena sanggup merealisasikan gagasan-

gagasannya. Ide besar dan berat beliau miliki (seperti membangun tiga visi dan proyeksi ponpes

dan satu perguruan tinggi) secara mudah saja beliau wujudkan hanya dengan rentang waktu satu

generasi. Dalam hal ini tidak memadai apabila beliau hanya dinamai “praktisi”, sejauh istilah

terakhir ini hanya cocok untuk pekerjaan artisan (tukang).

Dari penggambaran tadi tentu saja selain penamaan-penamaan tersebut masih ada

kemungkinan julukan dan sebutan lain bagi Kyai Rifa’i, mengingat keahlian dan kemampuannya

banyak sisi, demikian beragam; katakanlah, serba bisa. Kemungkinan ini amat terbuka lua dan

dibenarkan sejauh diiringi landasan serta alasan. Lalu argumen apakah yang patut dikemukakan

tatkala Kyai Rifa’i disebut seorang entrepreneur, tapi bukan dalam makna saudagar?

Penulis buku tersebut menangkap istilah tersebut dari kesan serta komentar keluarga,

sahabat dan muridnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Pak Tihami, kyai Manarul Hidayat

dan Nanang Tahqiq mengungkapkan istilah secara terang-terangan dan variasi alasan

mendukungnya. Pak Tihami melihat Kyai Rifa’i entrepreneur dari upayanya mendirikan La

Lahwa. Dititik ini Kyai Rifa’i melakukan penggabungan antara semangat belajar, tamasya, dan

usaha. Sisi usaha dapat dilihat dari penyewaan vila-vila La Lahwa selama week end, namun

diiringi pengisian muatan-muatan rohani melalui belajar keislaman. Sementara kyai Manarul

memandang ponpes La Tansa merupakan wujud dari pemikiran seorang entrepreneur. Ponpes La

Tansa dapat menyedot secara tak langsung kapital masyarakat; dengan menjual pemadangan

indah di area La Tansa dan sekitarnya. Dalam hal ini beliau sebagai seorang entrepreneur mampu

Page 4: KH Ahmad Rifa'i Arief

mengeksplorasi keindahan pemandangan alam sekitar La Tansa menjadi nilai jual dan daya tarik

tersendiri.

Adapun Nanan Tahqiq meyakini Kyai Rifa’i dapat dikatakan entrepreneur karena

karakteristik perilakunya menyamai seorang entrepreneur; seperti kemampuannya mengubah

desa terpencil Gintung menjadi area yang maju, membangun gedung lux tanpa biaya besar,

bahkan hanya berdasarkan iuran dan sumbangan kecil-kecil saja dari orang tua wali santri, bukan

pemerintah, konglomerat, atau dermawan besar.

II. Riwayat Hidup

Lilip adalah nama kesayangan untuk Kyai Rifa’i Arif. Beliau dilahirkan di Kampung

Gintung, Balaraja, Tangerang. Ia merupakan anak pertama dari delapan bersaudara dari

pasangan H.Qashad Mansur dan Hj.Hindud Mastufah. Kyai Rifa’i dan adik-adiknya dibesarkan

dalam suasana sederhana dan bersahaja, dididik secara perihatin dalam rangka menumbuhkan

jiwa juang, kemandirian,dan keistiqomahan.

Kyai Rifa’i tidak dilahirkan dari keluarga kaya atau priyai. Ayahnya seorang ustadz yang

hidup dari hasil pertanian dan persawahan. Akan tetapi keluarganya memiliki cita-cita besar

untuk menciptakan masyarakat berpendidikan dan berperadabaan dikampungannya dengan

kemajuan ilmu pengetahuan. Saat Kyai Rifa’i lahir, perbedaan antara masyarakat desa dan kota

sangat diametral. Kehidupan perkotaan terus mengalami kemajuan yang pesat, sementara

kehidupan pedesaan semakin terpuruk dan tertinggal. Desa idetik dengan ketertinggalan,

kebodohan, kekumuhan, kemiskinan dan kemelaratan. Akibatnya gelombang urbanisasi, terus

meningkat karena kehidupan kota begitu menjanjikan, sementara kehidupan desa amat

menyedihkan.

Meskipun berada di desa yang terbelakang akibat kebodohan dan kemiskinan, Qashad

Mansur tidak kecil hati. Ada semangat hidup dalam jiwanya. Dia memiliki kepedulian berupaya

membabat hutan rimba kebodohan yang gelap gulita dengan cahaya ilmu. Qashad Mansur

berusaha dengan susah payah, banting tulang untuk mendidik dan menyekolahkan anak-

anaknya, terutama Kyai Rifa’i putra pertamanya.

Tahun 1949-1952 Kyai Rifa’i belajar di Sekolah Rakyat, Sumur Bandung sampai kelas

tiga. Karena satu alasan, pentingnya pendidikan pesantren, kemudian ia dipindahkan ayahnya ke

Page 5: KH Ahmad Rifa'i Arief

Pesantren Caringin, sehingga menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Labuan

Pandeglang.

Pada tahun 1958 ayahnya memberangkatkan Kyai Rifa’i ke Gontor, Jawa Timur, karena

ketertarikannya pada sistem pengajaran Pondok Modern Gontor dari Ja’far Hadi, seorang santri

Pondok Gontor. Dipondok Gontor Kyai Rifa’i dikenal sebagai santri yang cerdas, Khattat

(kaligrafer) dan pandai berpidato, serta mampu membaca kitab kuning dengan baik. Beliau juga

memiliki keterampilan memimpin sejak di MMA Caringin. Kemampuan leadership –nya

mengantarkan beliau menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia cabang Gontor di tahun

1963-1964. Setamat dari KMI Gontor tahun 1965, beliau diberi kesempatan oleh K.H. Imam

Zakarsyi, pemimpin Pondok Gontor saat itu, untuk mengabdi di almamaternya dan bahkan

menjadi sekretaris pribadi sang Kyai.

Beliau lulus dari Pondok Gontor pada tahun 1965 dan mengabdi di almamaternya selama

dua tahun atas restu Kyainya. Sementara sang ayah menunggu dengan penuh kerinduan kapan

Kyai Rifa’i bisa berkumpul kembali bersamanya untuk melanjutkan cita-citanya.

Rifa’i melanjutkan studinya ke IAIN Serang fakultas syariah, saat itu cabang Yogyakarta.

Beliau mendapat gelar akademik secara bertahap, Bachelor of Arch (BA) pada tahun 1974 dan

mendapat gelar Doktorandus (Drs.) pada tahun 1985.

Kesibukan Kyai Rifa’i kuliah dan berbagai kegiatan pesantrennya, membuatnya semakin

dinamis. Kyai Rifa’i tetap sering bersilaturahmi dan menyempatan diri berkunjung ke

almamaternya MMA Caringin. Sambil silaturrahmi, Kyai Rifa’i sesuai dengan prinsipnya

bahwa hidup itu harus memberi. Memberi dalam pengertian mengerahkan seluruh potensi diri

untuk kemanfaatan masyarakat, “sebesar kemanfaatanmu sebesar itu pula keberuntunganmu”.

Kyai Rifa’i menjadi tumpuan masa depan orang tuanya, ia menjadi ujung tombak cita-

cita yang mulia, diharapkan menjadi cikal bakal untuk emmbangun desanya kelak. Sebuah cita-

cita yang jarang dimiliki orang desa pada saat itu. Karena pada umumnya orang desa suka pergi

ke kota untuk mengadu nasib dan nantinya setelah berhasil enggan kembali ke desanya.

Penyakit tersebut telah menjadi kecenderungan umum bagi masyarakat desa, sejak dulu sampai

sekarang. berhasil berarti dapat meraih cita-citanya di kota menjadi penjabat, konglomerat,

pengusaha, profesional, sementar kampung halamannya dilupakan.

Cita-cita tersebut tertancap dalam lubuk hati keluarga Qashad, tak tergoyahkan oleh

kesulitan hidup yang di hadapinya, tak berubah karena cercaan dan makian dan tak usang oleh

Page 6: KH Ahmad Rifa'i Arief

lamanya waktu menunggu. Beruntung keluarga ini memiliki dukungan penuh sang Uwa yakni

Hj. Pengki, (kakak dari Hj. Sujinah, ibunya Qashad) danbeliau sangat mendukung gerak

langkah Qashad.

Tidak sedikit tanah Hj. Pengki yang dipakai Qashad Mansur untuk pengembangan

dakwah dan syiar islam. Sebagian berbentuk wakaf dan sebagian lainnya berbentuk hibah.

Semua dipergunakan untuk membangun pondok pesantren di kampung Gintung yang kini

dikenal sebagai Pondok Pesantren Daar El-Qolam.

Selain Daar El-Qolam yang diakui sebagai pondok alumni Gontor, sejak tanggal 20

Januari 1968, beliau juga mendirikan pondok pesantren La Tansa pada tahun 1989, Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi La Tansa Mashiro pada tahun 1993, dan terakhir mendirikan wisata

sakinah La Lahwa pada tahun 1996. La Lahwa inilah bentuk nyata yang menunjukkan bahwa

Kyai Ahmad Rifa’i Arief juga seorang entrepreneur.

Beliau menikah dengan Hj. Nenah Hasanah dan dikaruniai 6 orang putra dan putri. 2

orang putra dan 2 orang putrinya meneruskan langkahnya untuk memimpin pesantren La Tansa.

Sedangkan 2 orang putra dan putrinya yang lainnya, meneruskan langkahnya untuk mengelola

pesantren Daar El-Qolam.

Beliau tutup usia dalam usia 55 tahun, pada Hari Ahad 10 Shafar 1418 H bertepatan

dengan 15 Juni 1997 M.

III. Wisata Sakinah La Lahwa

KH. Rifa’i Arief telah jauh berpikir maju ke depan, tentang bagaimana umat islam

Indonesia bisa maju, tidak terus tertinggal. Jauh ketika orang-orang masih berkiblat pada

pemikiran barat bahwa kecerdasan intelektual (IQ) adalah satu-satunya alat ukur kesuksesan

hidup seseorang, beliau sudah berpikir bagaimana meningkatkan kecerdasan emosional dan

kecerdasan spritual. Tesis pemikiran dunia barat yang sangat mengagungkan logika, menurut

kyai Rifa’i tidak tepat, karena terbukti hanya membawa arah kehidupan manusia menjadi

sekuler dan hedonis.

Seiring dengan perjalanan waktu ide terus mengalir, maka beliau melakukan

pengembangan baru lagi yaitu mendirikan pesantren wisata Sakinah di Pantai Kemuning,

Pandeglang. Pada tahun 1996 pembangunan fisiknya dimulai di atas sekitar 8.000 M persegi

tanah darat di pinggir Pantai Citeureup, pintu masuk daerah wisata Mega Cemara dan lokasi

Page 7: KH Ahmad Rifa'i Arief

wisata Tanjung Lesung. Banyak kawan-kawannya yang mengungkapkan rasa kagum kyai

Rifa’i, karena ia begitu inovatif, kreatif, dan dinamis. Profesor Tihami menyebutnya sebagai

seorang yang gagasannya melampaui kemampuan fisiknya dan Prof. Suparman Usman

menyatakan sebagai orang yang gigih dan berpandangan jauh ke depan. Beliau mendirikan vila

dengan kontruksi dan desain yang apik di bilangan Pantai Panimbang, Pandeglang. Vila itu

didirikan untuk pesantren wisata yang dinamakan La Lahwa.

Kyai Rifai’I memang cerdas dan kreatif dalam memilih nama, Daar El-Qolam, La Tansa,

dan La Lahwa. Semuanya tidak hanya enak didengar tapi mengandung filosofi yang dalam.

“La” artinya tidak atau bukan, “Lahwa” dari kata lahwun artinya permainan yang dapat

membuat orang terpedaya sehingga menjadi lalai dalam hidupnya. Beliau tidak mengambil kata

“La’bun” artinya permainan tapi cenderung berkonotasi positif seperti seorang anak sedang

bermain bola. Jadi, maka filosofi penggunaan kata “La Lahwa” adalah bahwa di tempat

tersebut seseorang tidak boleh melakukan permainan yang melalaikan atau memperdayakan

diri, tapi boleh bermain yang mendatangkan manfaat.

Sehingga La Lahwa artinya bukan sekedar bermain. Maksudnya, di pesantren wisata

Sakinah “La Lahwa” bukan sekedar bermain, berekreasi, tetapi ada sesuatu yang amat penting

yang disediakan dan dirasakan disini, tidak di tempat lain, yaitu rihlah spritual melalui kajian

ilmu-ilmu keislaman dan bimbingan pengalaman-pengalamannya.

Untuk merealisasikan program-program pesantren wisata ini, pada saat proses

pembangunan fisik, pemagaran, dan pembangunan beberapa unit vila berlangsung Pak Kyai

Rifa’i mengundang kawan-kawannya untuk sosialisasi ide dan gagasannya serta bermusyawarah

di vila yang sedang dibangunnya. Pak Kyai Rifa’i memaparkan program-programnya ke depan

lagi-lagi teman-temannya ditugasi menyusun kurikulum kajian keislaman dengan para

pembimbing mulai dari Prof. Quraysh Shihab, Dr. Nurkholis Majid, KH. Ali Yafi, KH. Miftah

Farid, Dr. Imaduddin, Prof. KH. Abdul Wahab Afif, M.A, dan Prof. Dr. H. MA Tihami, M.A

Demikian pula disusun menu kegiatan malam, mulai dari qiyamul lail, munajat, dan

membaca al-qur’an, sampai dengan tafakkur dan tadabbur alam. Program-pragram tersebut

disusun sedemikian rupa termasuk penjadwalan untuk hari-hari biasa, libur dan weekend.

Program-program dan menu kegiatan itu seluruhnya hendak dituangkan dalam brosur untuk

ditawarkan pada masyarakat dalam bentuk kegiatan promosi. Adapun kegiatan dan menu fisik

berupa makanan dan kegiatannya disusun oleh ahli tata boga yang disesuaikan dengan

Page 8: KH Ahmad Rifa'i Arief

programprogram kegiataqn sepiritual tersebut. Menu fisik ini juga menyediakan tempat bagi

tamu yang ingin masak sendiri, bakar ikan, dan sebagainya.

Program yang demikian baik, realistik, dan tidak muluk-muluk itu bahkan terhitung baru

dan inovatif, dengan sasaran pasar untuk konsumen kelas menengah ke atas, suatu gagasan

cerdas dan dinamis menjemput bola. Pelayanan terpadu bagi pelanggan yang menginginkan

ketenteraman (sakinah) terpadu, antara jasmani dan rahani, fisik dan spirit, lahir dan batin,

membutuhkan manajemen yang amat modern. Apalagi dalam aktifitasnya nampak terintegrasi

antara pendidikan, dakwah, dan wisata. Itulah sebabnya kiyai Rifa’i bersikap dan bertindak

terbuka untuk para ahli bergabung adan berperan di dalamnya. Bekerja dengan prinsip

musyawarah, kebersamaan, dan silaturrahim, adalah perangai sang kiyai. Prof. Tihami

mengatakan, “Selamat buat Kyai Rifa’i yang kreatif dalam bertindak, cerdas dalam ide, dan

gagasan-gagasannya, serta luhur dalam cita-citanya”.

Wisata Sakinah La Lahwa

IV. Kehidupan Spiritual

Konsep ibadah membuat seseorang memiliki etos kerja yang dinamis, ikhlas, tanpa

pamrih, hanya mengharapkan ridho dan barokahnya, istiqomah dan itqon dalam berbuat serta

senantiasa menuju satu tujuan, yaitu Allah SWT. Dalam hubungan vertikal dengan yang Maha

Khaliq, ibadah menciptakan suasana itha’ah, taat kepadanya secara total. Dan dalam hubungan

horizontal sesama manusia dan alam, ibadah menumbuhkan dan menimbulkan berbagai manfa’at

Page 9: KH Ahmad Rifa'i Arief

dan maslahat bagi kehidupan. Manfaat akan berbuah manfaat. Semakin besar dan banyak

manfaat yang kita berikan semakin besar pula manfaat yang akan kita terima, sebagai

konsekuensi logis, dari amal kita.

Kyai Rifa’i merupakan sosok santri yang meyakini kebenaran aksiomatis tersebut dan ia

menjadikannya sebagai jalan hidupnya menuju Allah. Sehingga dia bekerja, berbuat tiada henti,

tidak mengenal lelah, tidak mengenal waktu, tidak pernah membiarkan waktunya berlalu dengan

kosong, istiqomah dalam mencapai cita-citanya, dan terus berdoa mengharap pertolongan ridho-

Nya.

Beliau mengelola empat lembaga sekaligus (Daar El-Qolam, La Tansa, La Lahwa, dan

STIE La Tansa Mashiro) yang tentu saja menguras tenaga, karena beliau mengendalikan

keempatnya selalu menggunakan radio panggil setiap hari. Atau mengunjungi keempatnya dalam

waktu satu bulan atau perdua minggu.

Suatu upaya yang sangat melelahkan tentunya, nasehat dokter untuk banyak istirahat

diabaikannya, beliau memberi alasan saat itu “mumpung saya masih diberi waktu oleh Allah”.

Jawaban dan perilaku tersebut adalah gambaran hatinya dan gaya berfikirnya. Rifa’i telah dapat

menyerap nilai-nilai almamaternya yang secara sistematik mengakar pada lingkungan Pondok

Gontor dan figur Kyainya. Dan diperkuat oleh nasehat dan do’a gurunya ketika beliau

berkunjung ke Gintung.

Referensi

Page 10: KH Ahmad Rifa'i Arief

Rosyad, Soleh.2005. Kiprah Kyai Entreupreneur Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren di Banten.Rangkas Bitung: LPPM La Tansa Mashiro