kebijakan pemerintah provinsi dki jakarta dalam...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA
(Relevansinya dengan Mashlahah)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
RISKI ADE PUTRA UTAMA
11140440000010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Riski Ade Putra Utama. NIM 11140440000010. KEBIJAKAN PEMERINTAH
PROVINSI DKI JAKARTA DALAM MEMBANGUN KETAHANAN
KELUARGA (Relevansinya dengan Mashlahah). Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta,
1440H/2018M. ix + 73 halaman + 28 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui apa saja kebijakan pemerintah
provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, mengetahui persfektif
perundang-undangan terhadap kebijakan tersebut dan mengetahui implementasi
kebijakan pemerintah DKI Jakarta tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini
menggunakan metode deduktif dengan pendekatan normatif empiris. Data
diperoleh melalui buku atau literatur kepustakaan dan wawancara. Wawancara
dilakukan dengan beberapa pihak pemerintahan terkait kebijakan yang menjadi
objek penelitian mengenai latar belakang dan sejauh mana implementasi kebijakan
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kebijakan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga
diantaranya Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur
Nomor 185 Tahun 2017. Kedua kebijakan tersebut telah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga. Implementasi dari kebijakan tersebut cukup baik namun
belum sepenuhnya tercapai karena ada berbagai faktor penghambat.
Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ketahanan
Keluarga, Calon Pengantin
Pembimbing : Ali Mansur, M.A
Daftar pustaka : 1985 s.d 2017
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Swt, yang
telah memberikan. Atas segala nikmatNya, nikmat kesehatan, kekuatan,
kesempatan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan dalam
skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw yang telah membimbing umatnya untuk menempuh kepada
agama yang diridhai oleh Allah Swt. dan kepada jalan yang benar, guna meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI, MH
yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
3. Ali Mansur, MA, Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan
terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
vi
4. Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA. Dosen penasehat akademik penulis, yang telah
sabar mendampingi hingga akhir perkuliahan dan telah membantu penulis
dalam menyusun proposal penelitian skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan sivitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis
selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa
mengurangi rasa hormat dan cinta penulis.
6. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Staf Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Imam Heykal, MH, Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta dan M.
Husnul Fauji, MT, Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah DKI Jakarta
serta drg. Chandrawati, MARS, Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas
Kesehatan DKI Jakarta yang telah bersedia diwawancarai penulis dalam
rangka penelitian sehingga dapat mempermudah penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada kakek H. M. Ya’kub Marzuki, nenek Hj. Maisuroh dan
mamah Yuliyani serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan
pendidikan terbaik selama 6 tahun di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok
hingga menyelesaikan studi strata satu di UIN Jakarta walaupun tanpa
kehadiran ayahanda Umar Fahmi, yang meninggal sejak 3 bulan pasca
kelahiran penulis.
9. Terima kasih kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok
terkhusus seluruh guru-guru yang telah memberikan pendidikan terbaik
selama 6 tahun penulis mencari ilmu dan keberkahan.
10. Teman-teman seperjuangan penulis selama di Pondok Pesantren Al-
Hamidiyah Depok M. Fahmi Fahrurrodzi, M. Mufid Hibatullah, M. Luthfie
Aziz, Thias Anugrah Bintang P, Faris Hilmawan, M. Haikal Munzami, Rizky
Ramadhana dan kawan-kawan (markas betmen) yang telah memberikan
semangat dalam menjalani perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.
vii
11. Teman-teman seperjuangan penulis Dhiya Adlianto, M. Arief Perdana, M.
Alfi Ridho, M. Fajar A, Fabian HS dan kawan-kawan (kontrakan pocong)
yang telah memberikan dorongan semangat dalam menjalani masa
perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.
12. Teman-Teman Hukum Keluarga A 2014 (Ahmad Syarkowi, Fajri Ilhami, M.
Kurnia Putra, Alkautsar Anhar D, Zaki Hidayatullah, Putri Permata R,
Luthfah Alifia, Sayyidah Luthfiyah, dkk) dan Hukum Keluarga 2014 (M.
Ilham R, Rifqi Akbari, M. Lutfi, Taufik Hidayat, Ahmad Khoerul Muna, dkk)
13. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Syariah
dan Hukum (Komfaksyahum) Cabang Ciputat (Ketum Fahmi Dzakky dan
Ketum Arif Fadhillah beserta anggota dan kadernya) dan Keluarga PMII SAS
yang telah memberikan ruang dan waktu kepada penulis untuk berproses.
14. Teman-teman KKN LENSA 045 (Ahmad Fairuz, Heru, Danang, Fajar, Ilham,
M. Yusup, Siti Sarah, Fitri, Zenna dan kawan-kawan) yang telah bekerjasama
menyelesaikan tugas selama KKN Agustus 2017 di Desa Paku Alam,
Kabupaten Tangerang.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 20 September 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 6
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 6
E. Metode Penelitian.............................................................. 7
1. Jenis Penelitian ............................................................ 8
2. Pendekatan Penelitian ................................................. 8
3. Data Penelitian ............................................................ 8
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...................... 9
5. Metode Analisa Data ................................................... 10
6. Teknik Penulisan ......................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN
PEMERINTAH DAN KETAHANAN KELUARGA .......... 12
A. Teori Kebijakan Pemerintah ............................................... 12
1. Kebijakan Publik ........................................................ 12
2. Otonomi dan Pemerintah Daerah ............................... 15
3. Kedudukan Kebijakan Menurut Perundang-Undangan 18
B. Konsep Ketahanan Keluarga ............................................... 19
1. Ketahanan dan Pembangunan Nasional ..................... 19
2. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Perundang-
Undangan ................................................................... 22
ix
3. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam .............. 27
C. Mashlahah sebagai Dalil Hukum ...................................... 29
BAB III GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA .......... 32
A. Geografi dan Iklim ............................................................ 32
B. Sejarah dan Perkembangannya ......................................... 34
C. Pemerintahan ..................................................................... 36
1. Pemilihan Kepala Daerah 2017 .................................... 37
2. DPRD Provinsi DKI JAKARTA, 2014-2019 .............. 38
D. Kondisi Masyarakat .......................................................... 39
E. Visi dan Misi DKI Jakarta................................................. 43
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI
JAKARTA ............................................................................... 45
A. Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun
Ketahanan Keluarga .......................................................... 45
1. Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang
Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga .... 45
2. Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang
Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon
Pengantin ...................................................................... 48
B. Persfektif Perundang-Undangan terhadap Kebijakan ....... 55
C. Implementasi Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam
Membangun Ketahanan Keluarga ..................................... 59
D. Analisis Terhadap Kebijakan ............................................ 64
E. Relevansi Mashlahah dengan Ketahanan Keluarga .......... 66
BAB V PENUTUP ............................................................................... 68
A. Kesimpulan ....................................................................... 68
B. Saran .................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan publik dapat diartikan menjadi dua kelompok: pertama,
bahwa semua tindakan pemerintah adalah kebijakan publik. Kedua, bahwa
kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan
maksud tertentu dan memiliki akibat yang dapat diramalkan1. Termasuk di
dalamnya kebijakan pemerintah daerah sebagai kebijakan publik. Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015, Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara berdasarkan Pasal 1
angka 4 Undang-Undang tersebut yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah
Gubernur, Bupati, atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Memperhatikan definisi pemerintah daerah seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah
kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom, bisa gubernur untuk provinsi dan bupati atau walikota untuk
kabupaten atau kota.
Melalui UU No. 23 Tahun 2014 juga disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1,
pemerintahan pusat hanya memiliki kewenangan dalam 6 hal, antara lain
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta
agama. Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan 6
bidang urusan pemerintahan. Sedangkan kewenangan selain 6 bidang yang
1 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012) h. 2.
2
telah disebutkan tersebut menjadi kewenangan daerah: Provinsi dan
kabupaten/kota2. Otonomi daerah ini membuka peluang yang lebih luas kepada
daerah Provinsi dan Kabupaten/kota dalam melaksanakan pemerintahannya
secara mandiri. Diperkuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007, Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
tentunya membuat DKI Jakarta menjadi sebuah contoh dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah DKI Jakarta
tetap harus mementingkan kepentingan pemerintah pusat diantaranya dalam
hal ketahanan nasional dan pembangunan nasional.
Istilah “ketahanan nasional” berarti: kekuatan, kemampuan, daya
tahan, dan keuletan, yang menjadi tujuan suatu bangsa untuk menghadapi
tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang dating dari luar ataupun
dalam, yang secara langsung atau tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup bangsa dan negara.3 Sedangkan Hakekat pembangunan
nasional Indonesia adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berkedaulatan
rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan
dinamis serta lingkungan pergaulan dunia yang merdeka bersahabat tertib dan
damai4.
Pembangunan keluarga menjadi salah satu isu pembangunan nasional
dengan penekanan pada pentingnya penguatan ketahanan keluarga. Hal
tersebut dinyatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), DR. KH.
Ma’ruf Amin bahwa keadaan keluarga yang kuat, sejahtera dan maju serta
memiliki dasar keagamaan yang kokoh agar mampu menghadapi segala
2 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta:
PT. Grasindo, 2005) h. 80. 3 Daoed Joesoef, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional
(Jakarta: PT. Kompas, 2014) h. 19. 4Thahir Abdullah, Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada
ketahanan pribadi (Jakarta: Lembaga Pertahanan Nasional, 1991) h. 6.
3
godaan dan serangan dari luar yang berpotensi merusak ketahanan keluarga5.
Berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketahanan keluarga6:
ظ غل يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملئكة
ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون شداد ل يعصون للا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan” (QS. At-Tahrim 66: 6)
Dengan memahami ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Islam pun
memiliki penekanan terhadap ketahanan keluarga dalam menjaga diri pribadi
dan keluarga dari perbuatan yang mengakibatkan seseorang masuk ke dalam
neraka. Keluargalah yang membentuk karakter, akhlak dan kepribadian
individu yang ditampilkan dalam sikap atau perilaku keagamaan baik dalam
wujud keshalehan spiritual maupun keshalehan sosial.
Dalam pendapat lain, menurut Frankenberger dalam buku Pedoman
Ketahanan Keluarga 2016, ketahanan keluarga (family strength atau family
resilience) merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap
pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar
antara lain: pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan,
perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial7.
Secara yuridis, Undang- Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
menyebutkan bahwa “Ketahanan keluarga berfungsi sebagai alat untuk
mengukur seberapa jauh keluarga telah melaksanakan peranan, fungsi, tugas-
tugas, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggotanya”.
5 Ma’ruf Amin dalam Pendahuluan Buku Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif
Islam.
6 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds.,
Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 18. 7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016 (Jakarta: KPPPA, 2016) h. 6.
4
Upaya peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting untuk dilaksanakan
dalam rangka mengurangi atau mengatasi berbagai masalah yang menghambat
pembangunan nasional.
Dalam beberapa media cetak, online dan lainnya membahas ketahanan
keluarga. Pertama, Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf
Kalla menyatakan, ketahanan keluarga sangat penting bagi ketahanan bangsa
dan negara, jika ketahanan keluarga kuat maka ketahanan bangsa dan negara
akan kuat begitupula sebaliknya8. Kedua, Menteri PPPA, Yohana Yembise,
menyampaikan bahwa peningkatan ketahanan keluarga agar terciptanya
keluarga yang sejahtera dan tantangan era globalisasi9. Demikian masih banyak
lagi berita tentang pentingnya ketahanan keluarga di masa kini dan masa yang
akan datang.
Berbagai kebijakan pemerintah yang muncul dalam membangun
ketahanan keluarga tentunya menjadi semangat baru bagi upaya ketahanan
keluarga Maka dari itu setelah mempertimbangkan latar belakang tersebut
penulis merasa perlu adanya penelitian yang lebih mendalam terhadap
kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga.
Dalam skripsi ini penulis membahas kebijakan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Tentu hal seperti ini perlu
dianalisis lebih lanjut terkait bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut dan
pandangan perundang-undangan terhadap kebijakan serta tentunya
implementasi kebijakan tersebut. Maka penulis tertarik ingin membahasnya
menjadi skripsi dengan judul “Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Dalam Membangun Ketahanan Keluarga”
8Wapres: Penting Ketahanan Keluarga untuk Ketahanan Bangsa, koran
kompas.com,https://nasional.kompas.com/read/2009/06/13/00014890/Wapres.Nilai.Penti
ng. Ketahanan.Keluarga 9 Menteri Yohana: Pentingnya Peningkatan Ketahanan Keluarga Menuju Keluarga
Sejahtera, koran tribunnews.com, http://www.tribunnews.com/regional/2017/07/14/
menteri-yohana-pentingnya-peningkatan-ketahanan-keluarga-menuju-keluarga-sejahtera
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan
muncul dalam latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa
diantaranya, yaitu:
a. Apa saja kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun
ketahanan keluarga?
b. Bagaimana latar belakang diterbitkan kebijakan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga?
c. Apa tujuan diterbitkannya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam membangun ketahanan keluarga?
d. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga perfektif Perundang-Undangan?
e. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam membangun ketahanan keluarga?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan luasnya masalah di atas dan mempermudah
pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah skripsi
ini sebagai berikut:
a. Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ialah kebijakan yang
berkaitan dalam membangun ketahanan keluarga.
b. Kebijakan tersebut dapat berbentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi,
Peraturan Gubernur (Pergub) dan peraturan lainnya yang di bawahnya.
c. Peraturan perundang-undangan ialah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
d. Implementasi dinilai melalui instansi terkait kebijakan.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam skripsi ini adalah bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, Selanjutnya penulis rinci
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
6
a. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga?
b. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga persfektif perundang-undangan?
c. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam membangun ketahanan keluarga?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga.
b. Untuk mengetahui persfektif perundang-undangan terhadap kebijakan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga.
c. Untuk mengetahui implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini
sebagai berikut:
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah keilmuan untuk
kepentingan akademik;
b. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk
mengembangkan teori dari peraturan perundangan-undangan;
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi masyarakat umum;
d. Dapat juga dijadikan bahan acuan pada penelitian selanjutnya berkenaan
dalam masalah yang terkait.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian sebuah hal yang kontemporer dan menarik
untuk dikaji tentunya akan menemukan karya ilmiah yang berkaitan dengan
penelitian ini, antara lain:
7
1. Tesis yang berjudul, “Dampak Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG
Terhadap Ketahanan Keluarga (Studi Kasus di Kota Administrasi Jakarta
Timur)” oleh Agung Karyanto, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Indonesia tahun 2009 Jurusan Kajian Stratejik Ketahanan Nasional. Dalam
tesisnya, terdapat perbedaan pembahasan olehnya yang membahas tentang
dampak kebijakan konversi minyak tanah ke LPG terhadap ketahanan
keluarga.
2. Tesis yang berjudul, “Peranan Program Siaran Televisi dalam Pembinaan
Ketahanan Keluarga Masyarakat Pedesaan di Banten” oleh Andi Fachrudin
M, mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2002 Jurusan
Pengkajian Ketahanan Nasional. Dalam tesisnya, terdapat perbedaan
pembahasan olehnya yang membahas tentang peranan program siaran
televisi menjadi objeknya.
Peneliti rasa belum banyak mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
khususnya program studi Hukum Keluarga yang melakukan penelitian ini. Dari
kedua review studi terdahulu, keduanya memiliki pembahasan dan objek yang
berbeda dengan penelitian ini. Objek penelitian peneliti ialah kebijakan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga.
Dalam karya ini, penulis mencoba memaparkan topik yang terkini sebagai
jawaban atas permasalahan/isu hukum baru di tengah masyarakat DKI Jakarta
khususnya dan umumnya untuk Indonesia.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Oleh
karena itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet.
III, h. 3.
8
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah penelitian hukum kualitatif yaitu dinyatakan dengan pernyataan dan
tentu tidak dinyatakan dengan angka. Penelitian kualitatif merupakan
strategi inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep,
karakteristik, gejala, simbol maupun deskripsi tentang suatu fenomena.11
2. Pendekatan Penelitian
Penulis dalam hal ini akan menggunakan pendekatan hukum
normatif-empiris (terapan). Menurut penelitian hukum normatif-empiris
mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif
(perundang- undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang
telah ditentukan12. Penggunaan pendekatan secara normatif empiris ini pada
dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif
dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian
hukum normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif
dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu dalam suatu
masyarakat13.
3. Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Data Primer adalah sumber data yang didapat langsung dari sumber asli.
Dengan demikian, data primer merupakan data yang diperoleh dari
lokasi penelitian yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan.
Peneliti akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari
hasil penelitian, dengan cara mengumpulkan secara langsung
keterangan pihak-pihak yang terkait.
11 A. Muri Yusuf. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan (Jakarta: Kencana, 2014) h. 329. 12 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Peneletian Hukum (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004) h. 53. 13 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Peneletian Hukum. h. 54.
9
b. Data sekunder adalah data yang mencakup peraturan perundang-
undangan dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber
aslinya yang berupa peraturan perundang-undang yang memiliki
otoritas tinggi yang bersifat mengikat yang berkaitan dengan
penelitian.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu merupakan bahan hukum
yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer yang
diperoleh dari literatur-literatur yang mencakup dokumen-dokumen
resmi, buku - buku, laporan - laporan hasil penelitian,
perundangundangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada14. Bahan Hukum Sekunder yang
digunakan oleh penulis pada penelitian ini diperoleh dari studi
kepustakaan yang terdiri dari studi kepustakaan yang terdiri dari
buku-buku yang berhubungan dengan kebijakan publik, perundang-
undangan, otonomi daerah dan ketahanan keluarga.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang bersumber
dari kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum
dan bahan-bahan diluar bidang hukum, seperti majalah, surat kabar,
serta bahan-bahan hasil pencarian melalui internet yang berkaitan
dengan masalah yang ingin diteliti.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini
ditempuh prosedur sebagai berikut:
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016) Cet. VI, h.
196.
10
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi ini dilakukan dengan cara mempelajari, menelaah dan
mengutip data dari berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, buku-buku tentang kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi
DKI Jakarta, ketahanan keluarga, makalah, internet, maupun sumber
ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini.
b. Wawancara (Interview)
Studi ini dilakukan dengan cara datang langsung ke Biro Hukum
dan Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta
serta Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dengan tujuan untuk
memperoleh data primer yang akurat, lengkap, dan valid dengan
melakukan wawancara (Interview). Wawancara yang dilakukan adalah
wawancara langsung yang terpimpin, terarah, dan mendalam sesuai
dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil
berupa data dan informasi yang lengkap terkait dengan kebijakan
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga. Wawancara dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan
terbuka menggunakan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan dan
akan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung.
5. Metode Analisa Data
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel yang terkait dengan
penelitian ini penulis uraikan dan gabungkan sedemikian rupa, sehingga
disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan disertai wawancara dengan sumber
terkait dalam memenuhi topik bahasan. Bahwa pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu
11
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.15
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini merujuk pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan
penulisan skripsi, oleh karena itu penulis menyusun suatu sistematika
penulisan seperti yang dijelaskan dibawah ini.
Pada Bab I membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada Bab II akan membahas tentang tinjauan umum tentang konsep
kebijakan pemerintah, konsep ketahanan keluarga dan review kajian terdahulu.
Pada Bab III akan memuat tentang Gambaran Umum tentang daerah
penelitian yaitu Provinsi DKI Jakarta.
Pada Bab IV akan membahas tentang kebijakan Pemerintah DKI
Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, persfektif perundang-
undangan terhadap kebijakan, dan implementasi kebijakan menurut pihak
terkait kemudian penulis memberikan interpretasi/analisis terhadap hasil
penelitian.
Pada Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan hasil
penelitian dan rekomendasi penulis mengenai masalah yang dibahas dalam
penulisan skripsi ini.
15 Johnny Ibrahim, Teori Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006) Cet. II, h. 393.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN
KETAHANAN KELUARGA
A. Teori Kebijakan Pemerintah
1. Kebijakan Publik
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari
Bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau
pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu
pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai
pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis1.
Pengertian ini memiliki arti kebijakan adalah mengenai suatu rencana,
pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain.
Menurut Eystine dalam Abdul Wahab, merumuskan dengan pendek
bahwa kebijakan publik ialah “the relationship of governmental unit to its
environment” (antar hubungan yang berlangsung di antara unit/satuan
pemerintahan dengan lingkungannya). Demikian pula didefinisi yang pernah
disodorkan oleh Wilson yang merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:
“the actions, objectives, and pronouncements of governments on pasticular
matters, the steps they take (or fail to take) to implement them and the
explanations they give for what happens (or does not happen)” (tindakan-
tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai
masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau
gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan-penjelasan yang
diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi ))2.
1 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 1. 2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) h. 13.
13
Dalam definisi lain Thomas R. Dye dalam Abdul Wahab, menyatakan
bahwa kebiajakan publik ialah “whatever goverments choose to do or not to do”
(pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah)3.
Dari perbincangan tentang definisi kebijakan publik di atas, kini disadari
bahwa semua pembuatan kebijakan publik (public policymaking) itu akan selalu
melibatkan pemerintah, dengan cara tertentu. Itulah sebabnya dalam buku kecil
ini “kebijakan”, dalam bidang apapun dan untuk merealisasikan tujuan apapun,
akan diberi makna sebagai “kebijakan publik” jika sebagian atau seluruhnya
digagas, dikembangkan, dirumuskan, atau dibuat oleh instansi-instansi, serta
melibatkan (langsung atau tak lansung) pejabat-pejabat pemerintah4. Dalam
definisi lain, Rahardjo Adisasmita berpendapat bahwa kebijakan publik adalah
kebijakan atau cara bagaimana yang dilakukan pemerintah untuk mencapai
tujuan dan sasaran pembangunan publik/masyarakat, yaitu peningkatan
kesejahteraan masyarakat5.
Kebijakan publik itu pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas yang
khas (a unique activity), dalam artian ia mempunyai ciri-ciri tertentu yang
agaknya tidak dimiliki oleh kebijakan jenis lain. Ciri-ciri khusus yang melekat
pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu
lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh mereka yang
oleh David Easton disebut sebagai orang-orang yang memiliki otoritas (public
authotiries) dalam sistem politik. Konsep kebijakan publik yang secara rinci
dijelaskan sebagai berikut6:
Pertama, kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja
dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu, daripada sekadar sebagai bentuk
perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak (at random), asal-asalan,
dan serba kebetulan. Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-
3 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 14. 4 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 16. 5 Rahardjo Adisasmita, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015)
h. 1. 6 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 24.
14
tindakan yang saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang
saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah, dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri
sendiri. Ketiga, kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemerintah
dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan publik mungkin berbentuk
positif, mungkin pula negatif.
Hakikat kebijakan publik sebagai jenis tindakan yang mengarah pada
tujuan tersebut, akan dapat dipahami dengan lebih baik lagi, apabila kebijakan
itu kita perinci lebih lanjut ke dalam beberapa kategori antara lain adalah Policy
demands (tuntutan kebijakan), Policy decisions (keputusan kebijakan), Policy
statements (pernyataan kebijakan), Policy outputs (keluaran kebijakan), dan
Policy outcomes (hasil akhir kebijakan)7.
Terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat
disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai
sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap
penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang
baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan
tersebut yaitu8 penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan.
Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses
kebijakan. Dalam bukunya Wayne Parsons mengutip pendapat Gordon secara
definitif menetapkan variasi dalam analasis kebijakan terbagi menjadi tiga,
analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis untuk
kebijakan9.
7 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 24.
8 Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: TP, 2009) h.
20. 9 Wayne Parsons. Edward Elgar Publishing, Ltd. Penerjemah Tri Wibowo Budi
Santoso. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana,
2006, h. 56-57.
15
2. Otonomi dan Pemerintah Daerah
Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi
pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektivitas dalam
pelayanan kepada masyarakat10. Dengan demikian, dampak pemberian
otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administratif pemerintahan
daerah, tetapi berlaku pula pada masyarakat (publik) dan badan atau lembaga
swasta dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan otonomi ini terbuka
kesempatan bagi pemerintah daerah secara langsung membangun kemitraan
dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan11.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat seusia dengan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentuberwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada 3 asas dalam otonomi daerah, antara lain, asas desentralisasi adalah
asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari
pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada
pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah
tangga daerah itu. Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam
pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
10 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005) h. 17. 11 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, h. 18.
16
dengan kewajiban mempertanggung jawabkannya kepada yang memberi
tugas12.
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi
kewenangan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan
(mutlak) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional dan agama13.
Tujuan otonomi daerah dapat diperinci, antara lain sebagai berikut.
Pertama, tesebarnya demokraktisasi ke tingkat lokal (spread of democracy).
Konsekuensi dari otonomi daerah adalah distribusi hierarki kekuasaan dari
pusat ke daerah. Kedua, akibat dari tujuan yang pertama adalah masyarakat
dapat melaksanakan proses pembelajaran politik dan latihan kepemimpinan
politik. Ketiga, otonomi daerah mendorong terciptanya stabilitas politik.
Keempat, cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah dan
akuntabilitas pemerintah dihadapan masyarakat. Kelima, fungsi pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik lebih efektif dan efisien14.
Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem
dekonsentrasi ke sistem desentralisasi15. Dalam bingkai otonomi,
penyelenggaraan pemerintah daerah adalah subsitem dari pemerintah nasional.
Demikian juga penyelenggaraan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
adalah subsistem dari penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan.
Diantara mereka ada hubungan fungsional yang terbungkus sebuah sistem
(negara kesatuan). Tidak ada otonomi tanpa batas dan tanpa pengawasan
12 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintah Daerah di Indonesia:
Hukum Administrasi Daerah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 3-4. 13 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, h. 161. 14 Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati: pokok-pokok pikiran untuk perbaikan
implementasi otonomi daerah (Jakarta: Al-I’tishom, 2007) h. 9-10. 15 HAW Wijaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002) h. 76.
17
pemerintah. Namun demikian, pengawasan bukan untuk mengekang, tapi
untuk meningkatkan16.
Selain distribusi kewenangan dari pusat ke daerah, salah satu
konsekuensi penting dari implementasi otonomi daerah adalah tersedianya
sumber-sumber keuangan yang memadai, termasuk di dalamnya adanya dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelengaraan urusan pemerintah
yang menjadi kewenangan daerah didanai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, penyelenggaraan urusan pemerintah
yang menjadi kewenangan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat di daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN)17. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan
kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Hal ini
termasuk kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah
kabupaten dan daerah kota18.
Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 15 dan No. 16 tahun
2006, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006, jenis produk
hukum daerah terdiri atas sebagai berikut Peraturan Daerah, Peraturan Kepala
Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan
Instruksi Kepala Daerah.
Semua produk hukum daerah tersebut dapat dibagi dua, yaitu produk
hukum bersifat pengaturan dan penetapan. Produk hukum yang bersifat
pengaturan adalah Peraturan Daerah atau sebutan lain, Peraturan Kepala
Daerah dan Peraturan Bersama Kepala Daerah. Sedangkan produk hukum yang
bersifat penetapan adalah Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala
Daerah19.
16 HAW Wijaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, h. 11. 17 Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati, h. 13. 18 HRT Sti Soemantri M, Otonomi Daerah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014)
h. 26. 19 Oyo Sunaryo Mukhlas. Ilmu Perundang-Undangan (Bandung: Pustaka Setia,
2012) h. 253.
18
3. Kedudukan Kebijakan Menurut Perundang-Undangan
Dalam bukunya Maria Farida menyatakan, setelah selesainya
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan
MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan
Tahun 2002, maka Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan Rancangan
Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang
tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan20. Adapun
undang-undang tersebut sudah digantikan dengan Undang-Undang No. 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Diatur
dalam Pasal 7 tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri
atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”
Selanjutnya dalam Pasal 8 Ayat (1) berbunyi: “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
20 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan 1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 97.
19
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.”
Dalam penjelasan undang-undang tersebut Peraturan Daerah dan
Peraturan Gubernur termasuk dalam hierarki perundang-undangan. Maka
kedua peraturan tersebut memiliki kedudukan hukum dalam perundang-
undangan yang berlaku. Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan
yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 194521.
Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, menggunakan
asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih
tinggi22. Artinya kedudukan peraturan daerah lebih tinggi daripada kedudukan
peraturan gubernur, maka peraturan gubernur tidak boleh bertolak belakang.
Begitu pula peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya, seperti undang-undang.
B. Konsep Ketahanan Keluarga
1. Ketahanan dan Pembangunan Nasional
Membahas tentang konsep ketahanan keluarga maka harus dimulai dari
konsep paling umum yakni ketahanan nasional. Menurut S. Pamudji, sebagai
konsepsi ketahanan nasional merupakan kondisi dinamik suatu bangsa, berisi
keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan,
ancaman, hambatan dan gangguan baik yang dating dari dalam maupun dari
luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,
21 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Panduan
Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah (Jakarta: Kemenkumham RI, 2010) h.
7. 22 Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013) h. 30.
20
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar
tujuan perjuangan nasionalnya23. Ketahanan nasional pada hakikatnya
merupakan suatu konsepsi dalam pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan kemakmuran serta pertahanan dan keamanan dalam
kehidupan nasional. Dengan demikian jelaslah bahwa ketahanan nasioanl harus
diwujudkan dengan mempergunakan baik pendekatan kesejahteraaan
(prosperity approach) maupun pendekatan keamanan (security approach)24.
Menurut Sutami, kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus dimiliki
bangsa dan negara Indonesia agar dapat menghadapi tantangan pembangunan
yang akan dating baik di lingkungan nasional, regional maupun internasional
dinamakan ketahanan nasional25.
Sejalan dengan itu Lemhanas dalam bukunya menyatakan, dalam
pembangunan nasional, khususnya pada GBHN, ketahanan nasional telah
ditetapkan sebagai pola dasar pembangunan nasional dalam memelihara
kelangsungan hidup bangsa dan negara guna menghadapi ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam negeri26.
Menurut S. Pramudji juga menyatakan bahwa ketahanan nasional dapat
juga dipandang sebagai suatu kondisi dan suatu strategi. Ketahanan nasional
sebagai kondisi akan nampak apabila diajukan pertanyaan “bagaimana
ketahanan nasional kita dewasa ini?” jelaslah bahwa yang ditanyakan bukan
konsepsi, melainkan kondisi bangsa dan negara Indonesia. Ketahanan nasional
sebagai strategi berpokok pangkal pada masalah kelangsungan hidup (survival)
dari sesuatu bangsa27.
23 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional (Jakarta: Bina
Aksara, 1985) h. 63. 24 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, h. 64. 25 Sutami, Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: T.P,
1978) h. 9. 26 Lembaga Pertahanan Nasional, Disiplin Nasional Mendukung Pembangunan
Nasional (Jakarta: Lemhanas, 1989) h. 8-9. 27 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, h. 65.
21
Mantan Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro dalam kata
pengantar buku Bambang Pranowo menyatakan bangsa Indonesia masih
menghadapi ancaman ketahanan nasional, ancaman itu dapat dikategorikan
dalam beberapa hal, yaitu28 ancaman terhadap ketahanan nasional karena
bahaya alam seperti pemanasan global, banjir, tsunami dan lain sebagainya,
ancaman terhadap ketahanan nasional karena penyakit seperti virus HIV/AIDS,
flu burung, dan penyakit epidemik lainnya, ancaman terhadap ketahanan
nasional karena kemiskinan dan pengangguran, ancaman terhadap ketahanan
nasional karena narkotika dan zak adiktif lainnya, ancaman terhadap ketahanan
nasional karena faktor sosial politik dan ancaman terhadap ketahanan nasional
karena faktor militer
Sedangkan hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia,
serta bangsa Indonesia Bersama-sama bangsa lain di dunia mengupayakan
lingkungan pergaulan dunia yang bersahabat, tertib dan damai29. Hanya dengan
pembangunan nasional yang berhasilah akan dapat menghasilkan ketahanan
nasional yang dinamis. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan nasional adalah sumber daya manusia.
Sasaran ini dicapai melalui kebijaksanaan dan strategi pembangunan
sumberdaya manusia. Oleh karenanya dalam Repelita V berbagai program,
antara lain: kesehatan, pendidikan, gizi kesehatan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, hukum, agama dan kebudayaan nasional30. Dengan demikian maka
hubungan antara ketahanan nasional dengan pembangunan nasional bagaikan
dua sisi mata uang yang saling menunjang dan tak dapat dipisahkan, dan harus
dibangun dan dikembangkan secara bersama-sama, seimbang dan serasi31.
28 Bambang Pranowo, Multidimensi Ketahanan Nasional (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2010) h. XII. 29 Bambang Pranowo, Multidimensi Ketahanan Nasional, h. 6. 30 Thahir Abdullah, Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada
Ketahanan Pribadi (Jakarta: Lembaga Pertahanan Nasional, 1991) h. 63. 31 Sutami, Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional, h. 8.
22
2. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Perundang-Undangan
Ketahanan keluarga adalah bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan
nasional menjadi kuat bila ketahanan keluarga yang mendukungnya terjaga
dengan baik. Ketahanan keluarga dapat diwujudkan melalui fungsi keluarga
yaitu agama, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial, ekonomi
dan pelestarian lingkungan.
Definisi ketahanan keluarga menurut KBBI, arti kata ketahanan adalah
perihal tahan (kuat), kekuatan (hati, fisik), daya tahan, sedangkan arti kata
keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah. Jadi menurut
KBBI, ketahanan keluarga adalah daya tahan sebuah keluarga yang terdiri dari
ibu, bapak dan anak-anaknya.
Definisi ketahanan keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, yaitu pada Pasal 1 angka 11. Pada ayat tersebut dituliskan ketahanan
dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan
dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup
mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis
dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Menurut Frankenberger dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga
2016, ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan
kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber
daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih,
pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk
berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial32. Pandangan lain
mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai suatu kondisi dinamik keluarga
yang memiliki keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materil, dan
mental untuk hidup secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 1994). Ketahanan keluarga juga mengandung maksud
32 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016 (Jakarta: KPPPA, 2016) h. 6.
23
sebagai kemampuan keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup
secara harmonis, sejahtera dan bahagia lahir dan batin.
Konsep ketahanan keluarga memiliki makna yang berbeda dengan
konsep kesejahteraan keluarga, namun keduanya saling berkaitan erat.
Keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berpotensi lebih besar
untuk dapat memiliki ketahanan keluarga yang lebih tangguh33. Kedua konsep
tersebut dirumuskan menjadi satu kesatuan konsep dalam Undang-Undang
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga.
Menurut Euis Sunarti dalam desertasinya, ketahanan keluarga
merupakan kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya,
berdasarkan sumberdaya yang dimiliki, untuk memenuhi kebutuhan
anggotanya. Diukur dengan menggunakan pendekatan sistem yang meliputi
komponen input (sumberdaya fisik dan non fisik), proses (manajemen
keluarga, salah keluarga, mekanisme penanggulangan) dan output
(terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial). Jadi keluarga mempunyai
tingkat ketahanan keluarga yang tinggi apabila memenuhi beberapa aspek
yaitu: (1) ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang,
perumahan, pendidikan dan kesehatan; (2) ketahanan sosial yaitu berorientasi
pada nilai agama, komunikasi yang efektif, dan komitmen keluarga tinggi; (3)
ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah nonfisik,
pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, dan kepedulian suami
terhadap istri34.
Dalam perumusan ukuran ketahanan keluarga oleh Euis Sunarti dkk ada
dua hal yaitu, antara lain35:
33 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan
Ketahanan Keluarga 2016, h. 8. 34 Euis Sunarti, “Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus
Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan” (Bogor: disertasi Institut Pertanian Bogor,
2001) h. 53. 35 Euis Sunarti dkk, Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Bogor: Intitut
Pertanian Bogor, 2003) h. 11.
24
a. Ukuran ketahanan keluarga yang dikembangkan melalui pendekatan
sistem (input-proses-output) dengan 10 indikator fisik dan non fisik
(sumberdaya fisik, sumberdaya non fisik, masalah keluarga fisik, masalah
keluarga non fisik, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial fisik,
kesejahteraan sosial non fisik, serta kesejahteraan psikologi) cukup
reliabel dan valid dengan dihasilakn tiga ketahanan laten: ketahanan fisik,
ketahanan psikologis, dan ketahanan sosial.
b. Kajian terhadap indikator dari ketahanan fisik, ketahanan sosial dan
ketahanan psikologis, serta syarat tercapainya indikator ketahanan
keluarga tersebut menunjukkan bahwa inti dari peningkatan ketahanan
keluarga adalah pembangunan Pendidikan, pembangunan ekonomi dan
pembangunanan keluarga sejahtera melalui optimalisasi fungsi keluarga,
terutama fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan Pendidikan, fungsi cinta
kasih, dan fungsi reproduksi.
Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa konsep ketahanan dan
kesejahteraan keluarga mencakup: (1) Landasan Legalitas dan Keutuhan
Keluarga, (2) Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi, (4) Ketahanan Sosial
Psikologi, dan (5) Ketahanan Sosial Budaya. Oleh karena itu, pengukuran
tingkat ketahanan keluarga akan mencakup kelima hal tersebut di atas, yang
selanjutnya disebut sebagai dimensi pengukur ketahanan keluarga. KPPPA
telah merumuskan 24 (dua puluh empat) ciri-ciri yang merepresentasikan
tingkat ketahanan keluarga dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016,
sebagai berikut:
a. Dimensi 1: Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga.
Dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga dijabarkan
melalui 3 (tiga) variabel dan 7 (tujuh) indikator yaitu:
1) Variabel landasan legalitas diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu:
legalitas perkawinan, dan legalitas kelahiran.
25
2) Variabel keutuhan keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
keberadaan pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam satu
rumah.
3) Variabel kemitraan gender diukur berdasarkan 4 (empat) indikator, yaitu:
kebersamaan dalam keluarga; kemitraan suami-istri; keterbukaan
pengelolaan keuangan; dan pengambilan keputusan keluarga.
b. Dimensi 2: Ketahanan Fisik.
Dimensi ketahanan fisik dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 4
(empat) indikator yaitu:
1) Variabel kecukupan pangan dan gizi diukur berdasarkan 2 (dua)
indikator, yaitu: kecukupan pangan, dan kecukupan gizi.
2) Variabel kesehatan keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
keterbebasan dari penyakit kronis dan disabilitas.
3) Variabel ketersediaan tempat/lokasi tetap untuk tidur diukur berdasarkan
1 (satu) indikator yaitu: ketersediaan lokasi tetap untuk tidur.
c. Dimensi 3: Ketahanan Ekonomi.
Dimensi ketahanan ekonomi dijabarkan melalui 4 (empat) variabel
dan 7 (tujuh) indikator, yaitu:
1) Variabel tempat tinggal keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator
yaitu: kepemilikan rumah.
2) Variabel pendapatan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu:
pendapatan perkapita keluarga, dan kecukupan pendapatan keluarga.
3) Variabel pembiayaan pendidikan anak diukur berdasarkan 2 (dua)
indicator yaitu: kemampuan pembiayaan pendidikan anak, dan
keberlangsungan pendidikan anak.
4) Variabel jaminan keuangan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua)
indicator yaitu: tabungan keluarga, dan jaminan kesehatan keluarga.
d. Dimensi 4: Ketahanan Sosial Psikologis.
Dimensi ketahanan sosial psikologis dijabarkan melalui 2 (dua)
variabel dan 3 (tiga) indikator yaitu:
26
1) Variabel keharmonisan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator
yaitu: sikap anti kekerasan terhadap perempuan, dan perilaku anti
kekerasan terhadap anak.
2) Variabel kepatuhan terhadap hukum diukur berdasarkan 1 (satu)
indikator yaitu: penghormatan terhadap hukum.
e. Dimensi 5: Ketahanan Sosial Budaya.
Dimensi ketahanan sosial budaya dijabarkan melalui 3 (tiga)
variabel dan 3 (tiga) indikator yaitu:
1) Variabel kepedulian sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
penghormatan terhadap lansia.
2) Variabel keeratan sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan
3) Variabel ketaatan beragama diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu:
partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan.
Penjelasan terkait dimensi, variabel, dan indikator ketahanan keluarga
yang digunakan dijabarkan secara ringkas dalam gambar berikut ini.
Dimensi dan Variabel Pengukur Tingkat Ketahanan Keluarga
27
3. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam
Berbicara ketahanan keluarga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
individu-individu manusia dalam mempertahankan eksistesinya. Keluarga
adalah kesatuan individu dalam masyarakat. Keluarga yang baik dan hidup di
lingkungan yang baik akan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia itu
sendiri. Keluarga merupakan institusi terkecil dari masyarakat atau bangsa,
keluarga sekaligus menjadi pusat pendidikan paling pendting dalam
pembangunan manusia seutuhnya. Keluargalah yang membentuk karakter,
akhlak dan kepribadian individu yang ditampilkan dalam sikap atau perilaku
keagamaan baik dalam wujud keshalehan spiritual maupun keshalehan sosial36.
Adapun fungsi keluarga dalam perspektif Islam37:
a. Fungsi Psikologis
Maksud dari fungsi ini adalah bagaimana kita memberlakukan
semua anggota keluarga secara wajar, apa adanya dan
mereka mendapatkan kenyamanan serta dukungan untuk berkembang
secara psikologis.
b. Fungsi Sosiologis
Maksudnya adalah bagaimana keluarga harus difungsikan untuk
tempat semua anggota keluarga mendapatkan lingkungan yang terbaik dan
sekaligus menjadi jembatan interaksi positif di antara mereka.
c. Fungsi Fisiologis
Fungsi ini memerankan bagaimana agar semua anggota keluarga
mendapatkan tepat berteduh yang baik dan nyaman.
d. Fungsi Tarbiyah dan Da’wah
Maksudnya adalah keluarga merupakan obyek pertama yang harus
menerima nilai-nilai da’wah untuk kemudian dijadikan sebagai model
keluarga ideal bagi masyarakatnya dan memberikan kontrinusi da’wah
secara aktif dan maksimal.
36 Ma’ruf Amin dalam Pendahuluan Buku Ketahanan Keluarga dalam Persfektif
Islam. 37 http://almanar.co.id/keluarga/membangun-ketahanan-keluarga.html
28
Agama telah memberikan tuntunan untuk kemaslahatan hidup manusia.
Dalam Islam tuntunan tersebut berada pada ruang lingkup yang luas yang
disebut syariat38. Syariat juga mengandung pengertian seperangkat peraturan-
peraturan Allah, yang mencakup ahkam al-amaliyah, ahkam al-I’tiqadiyah dan
ahkam al-khuluqiyah, yang diturunkan kepada Rasul-Nya untuk hamba yang
mukallaf (baligh dan berakal), agar mengimani dan mempraktekkannya.
Dengan demikian syariat dalam pengertian luas mencakup aqidah, hukum dan
akhlak39. Berikut ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketahanan
keluarga:
غلظ يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملئكة
ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون شداد ل يعصون للا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan” (QS. At-Tahrim 66: 6)
ية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا للا وليقولوا قول وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذر
سديدا
Artinya:“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya
mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka
khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (QS.
An-Nisa’, 4: 9)
Dari kedua ayat Al-Qur’an tersebut memberikan penekanan pada
menjaga ketahanan keluarga dengan membangun keluarga yang kuat, sejahtera
dan maju serta memiliki dasar keagamaan yang kokoh agar mampu
menghadapi segala godaan dan serangan dari luar yang berpotensi merusak
ketahanan keluarga. Dari ayat pertama, menekankan agar keluarga selalu
38 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis,
eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016,
h. 1. 39 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 5.
29
terpelihara dan terhindar dari siksaan di neraka kelak sedangkan dalam ayat
kedua dijelaskan bahwa ketahanan keluarga dalam bentuk kesejahteraan
keluarga dibutukan agar menjadikan keturunannya dalm keadaannya yang
kuat.
Islam sangat mementingkan keutuhan keluarga. Di dalam ajarannya
jelaslah bahwa seorang ayah adalah pemimpin di dalam keluarga, yang selain
wajib mencari nafkah, juga diperintahkan untuk berlaku sebaik-baiknya
terhadap keluarganya. Artinya para ayah diperintahkan Allah SWT untuk
peduli terhadap anak dan istrinya. Sebagaimana Rasulullah saw. Bersabda40:
لي له، وأان خيركم ألهر خيركمر خيركمر ألهر
Artinya: sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dengan keluarganya
dan aku adalah orang yang paling baik dengan keluargaku (HR. At-Tirmidzi
(no. 3895) dan Ibnu Hibban (no.1447).
Berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an dan hadist tersebut, secara umum
Islam mengatur bagaimana menata diri dan keluarga agar bisa menjadi
keluarga yang kuat, sejahtera dan maju dalam urusan dunia dan akhirat. Maka
dari itu, pentingnya membangun ketahanan keluarga pun dibutuhkan untuk
mewujudkan tujuan dibentuknya keluarga.
C. Mashlahah sebagai Dalil Hukum
Kata al-mashlahah adalah kata bahasa arab, dari akar al-shalah yang
berarti kebaikan dan manfaat (guna). Kata al-mashlahah adalah bentuk mufrad
(tunggal). Sedangkan bentuk jamaknya al-mashalih. Sedangkan lawan dari
kata al-mashlahah adalah kata al-mafsadah yaitu sesuatu yang banyak
keburukannya41.
Menurut ‘Izz ad-Din bin ‘Abdul-Salam sebagaimana dikutip oleh
Abdul Manan42 menjelaskan mashlahah dan mafsadah sering dimaksudkan
40 Amany Lubis, “Ketahanan Keluarga Dalam Legislasi Nasional dan Konvensi
Internasional” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam.
Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 229.
41 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 10.
42 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013) h. 261.
30
dengan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, bagus dan jelek, bermanfaat
dan bagus sebab semua mashlahah itu baik, sedangkan mafsadah itu semuanya
buruk, membahayakan dan tidak baik untuk manusia. Dalam Al-Qur’an kata
al-hasanat (kebaikan) sering digunakan untuk pengertian al-mashalih
(kebaikan) dan kata al-sayyi’at (keburukan) dipergunakan untuk pengertianal-
mafasid (kerusakan-kerusakan).
Menurut Sa’id Ramadan al-Buti sebagaimana dikutip oleh Azizah43
menjelaskan pengertian al-mashlahah sebagaimana diistilahkan ulama hukum
Islam dapat didefinisikan menjadi manfaat yang dimaksudkan al-Syar’i untuk
kepentingan hamba-hambaNya, baik berupa pemeliharaan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan maupun harta benda mereka sedangkan urutan tertentu
yang terdapat di dalam kategori pemeliharaan tersebut. Hal tersebut sejala
dengan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Asmawi44 dijelaskan bawah al-
mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hamba-
hambaNya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri
mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan
akal budi mereka, maupun berupa harta kekayaan mereka.
Imam al-Syatibi menjelaskan, seluruh ulama sepakat menyimpulkan
bahwa Allah SWT menetapkan berbagai ketentuan syari’at dengan tujuan
memelihara lima unsur pokok manusia (al-dururiyyat al-khams). Kelima unsur
itu ialah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan dan memelihara harta mereka. Kelima unsur pokok tersebut disebut
juga dengan tujuan syara’ (al-mawasid al-syar’i)45.
Upaya muwujudkan pemeliharaan kelima unsur pokok tersebur,
ulamam membaginya kepada tiga kategori dan tingkat kekuatan, yaitu:
mashlahah daruriyyah (kemaslahatan primer), mashlahah hajiyyah
(kemaslahatan sekunder) dan mashlahah tahsiniyyah (kemaslahatan tersier)46.
43 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 11.
44 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011) h. 128.
45 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 11.
46 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 12.
31
Al-mashlahah al-daruriyyah ialah kemaslahatan memelihara kelima
unsur pokok yang keberadaannya bersifat mutlak dan tidak bisa diabaikan.
Tercapainya pemeliharaan kelima unsur pokok tersebut akan melahirkan
keseimbangan dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan. Jika kemaslahatan
ini tidak ada, maka akan timbul kekacauan dalam hidup kegamaan dan
keduniaan manusia47.
Tingkatan al-mashlahah yang kedua adalah al-mashlahah al-hajiyyah
(kemaslahatan sekunder) yaitu sesuatu yang diperlukan seseorang untuk
memudahkannya menjalani hidup dan menghilangkan kesuliatn dalam rangka
memelihara lima unsur pokok di atas. Dengan kata lain, jika tingkat
kemaslahatan sekunder ini tidak tercapai, manusia akan mengalami kesulitan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Contoh al-
mashlahah al-hajiyyah ialah adanya ketentuan rukhsah (keringanan) dalam
ibadat, seperti rukhsah salat dan puasa bagi orang yang sedang sakit atau
sedang bepergian (musafir)48.
Tingkatan ketiga ialah al-mashlahah al-tahsiniyyah (kemaslahatan
tersier) yaitu memelihara kelima unsur pokok dengan cara meraih dan
menetapkan hal-hal yang pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup
yang baik, serta menghindarkan sesuatu yang dipandang sebaliknya oleh akal
yang sehat. Apabila kemaslahatan tersier tidak tercapai, manusia tidak sampai
mengalami kesulitan dalam memelihara kelima unsur pokoknya, tetapi mereka
dipandang menyalahi aturan-aturan kepatutan dan tidak mencapai taraf “hidup
bermartabat”. Contoh mashlahah tahsiniyyah di dalam ibadah ialah adanya
syariat menghilangkan najis, bersuci, menutup aurat, mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub) dengan bersedekah dan melaksanakan perbuatan-perbuatan
sunnat lainnya49.
47 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 12.
48 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 14.
49 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 15.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA
A. Geografi dan Iklim
DKI Jakarta terdiri dari lima wilayah Secara administrasi, Provinsi
DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan 1 kabupaten
administrasi yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur,
Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Wilayah administrasi di
bawahnya terbagi menjadi 44 kecamatan dan 267 kelurahan dengan jumlah
penduduk pada tahun 2017 sebesar 10,37 juta jiwa. Pada gambar ditampilkan
Peta DKI Jakarta.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terletak pada posisi
6°12’ LS dan 106°48’ BT serta terbentang pada hamparan tanah seluas
662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Dengan luas wilayah
kurang dari 0,04% dari total luas wilayah daratan Indonesia namun dihuni
oleh 4% dari total penduduk Indonesia. DKI Jakarta juga memiliki 218 pulau
yang terletak di Kabupaten Kepulauan Seribu, namun hanya sekitar
setengahnya saja yang berpenghuni1. Secara geografis batas-batas Jakarta
antara lain:
1. Sebelah Utara : Laut Jawa
2. Sebelah Timur : Provinsi Jawa Barat (Bekasi)
3. Sebelah Selatan : Provinsi Jawa Barat (Depok)
4. Sebelah Barat : Provinsi Banten (Tangerang)
Di bagian utara terbentang pantai sepanjang ± 35 km tempat bermuaranya
13 sungai dan 2 kanal. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata +7 meter diatas permukaan laut. Data dari Dinas
Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa 73% kelurahan di
1 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017 (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 3.
33
DKI Jakarta dilalui aliran sungai. Hal ini mengakibatkan tingginya potensi
terjadinya bencana banjir khususnya pada musim penghujan2.
Peta Provinsi DKI Jakarta
Secara jumlah wilayah administrasi DKI Jakarta memiliki 267
kelurahan dan 44 kecamatan. Pembagian wilayah administratif dapat dilihat
pada tabel.
2 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 3.
34
No. Wilayah Jumlah Kecamatan Jumlah Kelurahan
1. Kepulauan Seribu 2 6
2. Jakarta Selatan 10 65
3. Jakarta Timur 10 65
4. Jakarta Pusat 8 44
5. Jakarta Barat 8 56
6. Jakarta Utara 6 31
DKI Jakarta 44 267
Suhu udara yang cukup menyengat terjadi pada sepanjang bulan Juli
dan Agustus tahun 2017. Demikian halnya dengan curah hujan yang hanya
turun sesekali dengan lokasi area yang tidak merata. Intensitas hujan di DKI
Jakarta pada periode bulan Juli-Agustus 2017 menunjukkan penurunan yang
signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu yaitu rata-rata hanya 70
mm. Tetapi perbedaan rata-rata suhu tidak sebesar tahun 20153.
Menurut data BMKG, sepanjang tahun 2016, rata-rata suhu udara DKI
Jakarta adalah sebesar 280C. Suhu yang relatif sedang untuk daerah tropis.
Arah angin di DKI Jakarta rata-rata bertiup dari Utara. Sementara rata-rata
kecepatan angin sepanjang tahun 2016 berkisar antara 1,4 sampai dengan 3
m/s. Temperatur Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016 tertinggi di bulan Mei
dan September (35,2OC) dan terendah di bulan Juni (23,4 OC), dengan
kelembaban 59 sampai 93 persen. Curah hujan tertinggi di bulan Februari
(451,75 mm2) dan terendah di bulan Desember (41,7 mm2)4.
B. Sejarah dan Perkembangannya
Nama-nama yang pernah diberi untuk kota Jakarta antara lain Sunda
Kelapa (397–1527), Jayakarta (1527–1619), Batavia (1619–1942), Djakarta
3 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 3.
4 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017
(Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 4.
35
(1942-1945), Jakarta (1945-sekarang), Ibukota DKI Jakarta (1998-sekarang),
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1998-sekarang)5.
1. Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung.
Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Padjadjaran
atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda
Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda
Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda
selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda
Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang
terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut
dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti
"ibu kota") dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga
pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan
merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura (bahasa
Sansekerta yang berarti "Kota Sunda").
2. Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke
Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan
Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa
sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan
memisahkan diri
dari Kerajaan Sunda. Namun sebelum pendirian benteng tersebut
terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan
tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota
Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan
5 Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Laman Resmi Wikipedia Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta
36
Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama
kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan".
3. Batavia (1619–1942)
Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah
singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17
diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan
Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki
Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian
mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda,
Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.
4. Djakarta (Jakaruta Tokubetsu Shi) (1942–1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti
nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang
Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki
Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
5. Jakarta (1945-sekarang)
Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta
merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota
Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota
ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh
gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo,
seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan
langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah
dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan
gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
C. Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara, memiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 29 Tahun
2007. Dengan menyandang status khusus, seluruh kebijakan mengenai
pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi karena
37
lembaga legislatif hanya ada pada tingkat provinsi6. Dalam salah satu pasal
lainnya mengatur Pemprov DKI dipimpin gubernur dan wakil gubernur yang
dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala daerah, untuk masa berlaku
5 tahun.
1. Pemilihan Kepala Daerah 2017
Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2017 diselenggarakan dua putaran
yaitu pada Rabu, 15 Februari 2017 dan Rabu, 19 April 2017. Pilgub
tersebut diikuti oleh tiga calon pasangan gubernur dan wakil gubernur.
Kandidat pertama adalah Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni,
kandidat kedua adalah Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat,
dan kandidat yang ketiga adalah Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga
Salahuddin Uno. Pada putaran pertama perolehan suara nomor urut satu
mendapat suara 937.955 (17.05 %), nomor ururt dua mendapatkan suara
2.364.577 (42.99 %) dan nomor urut tiga mendapatkan suara 2.197.333
(39.95 %)7.
Berdasarkan Undang-undang no 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia pasal 11 Ayat (1): “Pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh
persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.” Ayat
(2): “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur
yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diadakan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada
putaran pertama”. Sehingga KPU Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan
putusan yang menetapkan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017 dilaksanakan dua putaran.
6 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 28.
7 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017
(Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 11.
38
Pada putaran kedua Pilgub, warga DKI Jakarta yang terdaftar
dalam DPT adalah sebanyak 7,3 juta jiwa yang telah memenuhi syarat
sebagai pemilih. Dari 7,3 juta jiwa yang terdaftar dalam DPT, 77 %
menggunakan hak pilihnya dalam pilgub, sedangkan sisanya tidak
menggunakan hak pilih mereka yaitu sebanyak 1,6 juta jiwa. Pilgub pada
putaran kedua yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2017 ini,
dimenangkan oleh pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga
Salahuddin Uno, dengan perolehan suara sebanyak 57,96 persen.
Berdasarkan rekapitulasi tersebut, KPU Provinsi DKI Jakarta
menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 95/Kpts/KPU-Prov-010/2017
tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Tahun 2017 Putaran Kedua tanggal 5 Mei 2017, ditetapkan
pasangan Calon nomor urut 3 (tiga) Anies Rasyid Baswedan, Ph.D –
Sandiaga Salahauddin Uno, MBA sebagai pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Terpilih periode 2017 – 20228.
2. DPRD Provinsi DKI JAKARTA, 2014-2019
Pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014
menghasilkan tiga partai yang memperoleh suara terbanyak untuk anggota
legislatif. Tiga partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta telah menetapkan perolehan
suara sah partai politik tersebut, serta menetapkan kursi untuk DPRD DKI
Jakarta berdasarkan perolehan suara. Berdasarkan penetapan tersebut,
jumlah suara sah tercatat sebanyak 4.537.227 suara. Jumlah kursi yang
diperebutkan adalah 106 kursi di DPRD DKI Jakarta yang berhasil diisi 10
partai politik. Secara rinci: PDIP (28 kursi), Partai Gerindra (15 kursi),
PPP (10 kursi), PKS (11) kursi, Partai Golkar (9 kursi), Partai Demokrat
8 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017,
h. 14.
39
(10 kursi), Partai Hanura (10 kursi), PKB (6 kursi), Partai Nasdem (5
kursi), dan PAN (2 kursi)9.
D. Kondisi Masyarakat
Dari sisi kependudukan, berdasarkan hasil Susenas, Penduduk DKI
Jakarta Tahun 2017 mencapai 10.350.023 jiwa. Bila dibandingkan dengan
tahun 2016, meningkat sebesar 0,95 persen atau sebesar 97.386 jiwa. Jumlah
penduduk terbesar terdapat di Kota administrasi Jakarta Timur sebanyak
2.886.804 jiwa (27,88 %), sedangkan penduduk terkecil terdapat di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebanyak 23.826 jiwa (0,23%)10.
Setiap tahunnya jumlah penduduk DKI Jakarta menunjukkan tren
yang terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk DKI Jakarta
mencapai 8,4 juta jiwa, tahun 2010 bertambah menjadi 9,6 juta jiwa dan pada
tahun 2017 mencapai 10,35 juta jiwa. Selama periode 2010-2017 laju
pertumbuhan penduduk mulai melandai dengan capaian 1,05 persen pada
tahun 2017, sehingga jumlah penduduk pada tahun 2017 mencapai 10,35 juta
jiwa atauselama tujuh tahun terakhir terjadi kenaikan penduduk sebesar 0,73
juta jiwa.
Dengan luas wilayah 662,33 km2 dan jumlah penduduk yang terus
meningkat dari tahun ke tahun, berakibat pada meningkatnya kepadatan
penduduk di DKI Jakarta. Pada Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI
Jakarta 2017 tahun 2000, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 12.603
jiwa/km2, meningkat menjadi 14.506 jiwa/km2 pada tahun 2010 dan pada
tahun 2017 menjadi 15.629 jiwa/km211.
Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan bahwa
pembangunan manusia di Provinsi DKI Jakarta telah membuahkan hasil.
Pada tahun 2016, IPM Provinsi DKI Jakarta telah mencapai level 79,60 atau
meningkat sebesar 0,77% dibandingkan tahun 2015. Peningkatan ini di atas
9 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017,
h. 21.
10 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat
Provinsi DKI Jakarta (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 17.
11 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat
Provinsi DKI Jakarta, h. 18.
40
rata–rata pertumbuhan IPM DKI Jakarta periode 2010 – 2016 yang mencapai
0,70% per tahun. Pada tahun 2016, pencapaian pembangunan manusia di
tingkat Kab/Kota cukup bervariasi. IPM pada level kabupaten/kota berkisar
antara 69,52 (Kepulauan Seribu) hingga 83,94 (Jakarta Selatan)12.
Dalam sisi ketenagakerjaan, profil ketenagakerjaan di Jakarta pada
tahun 2017, jumlah angkatan kerja mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan tahun 2016 yaitu sebesar 2,85 persen (Sakernas, Februari 2016-
2017). Jumlah angkatan kerja pada tahun 2017 sebesar 5,5 juta jiwa, dimana
94,64 persen nya bekerja.13
Nilai upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tidak pernah
mengalami penurunan dan terus menunjukkan tren meningkat. UMP DKI
Jakarta tahun 2010 hanya sebesar Rp 1,12 juta kemudian meningkat tiga kali
lipat menjadi Rp 3,36 juta pada tahun 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) terus mengalami penurunan. TPT di DKI Jakarta tahun 2017 sebesar
5,36 persen, menurun dari tahun 2016. Dapat diartikan bahwa diantara 1000
orang penduduk DKI Jakarta terdapat sekitar 54 orang yang menganggur.14
Dalam indikator kesehatan, hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010
yaitu angka kematian bayi berada pada kisaran 18 dari 1000 kelahiran. Pada
tahun 2015, angka kematian bayi laki-laki sebesar 22,40 lebih tinggi dari
kematian bayi perempuan sebesar 13,70. Angka harapan hidup (AHH)
Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 mencapai 72,49 tahun. Artinya setiap bayi
yang lahir akan mempunyai peluang hidup hingga umur 72-73 tahun15.
Indikator lain untuk melihat derajat kesehatan penduduk adalah
persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Selama tahun
2013-2015 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan menunjukkan tren
12 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 7.
13 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 8.
14 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 9.
15 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 10.
41
meningkat, namun pada tahun 2016 penduduk yang mengalami keluhan
kesehatan turun menjadi 30,45 persen. Penduduk DKI Jakarta yang
mempunyai keluhan kesehatan sekitar 2.799.444 jiwa (27,05 %). Dari jumlah
tersebut, sekitar 1.385.523 jiwa (49,49%) diantaranya adalah laki-laki dan
1.413.922 juta jiwa adalah penduduk perempuan (50,50 %). Persentase
penduduk yang mengalami keluhan kesehatan tertinggi berada di Jakarta
Utara, yaitu sebesar 29,60 persen. Sementara keluhan paling sedikit ada di
Jakarta Timur, sebesar 23,91 persen16.
Pemprov DKI Jakarta terus mengembangkan pelayanan kesehatan
prima bagi warganya antara lain menyediakan fasilitas kesehatan selevel
rumah sakit yaitu rumah sakit tipe D di 18 kecamatan dan puskesmas di setiap
kelurahan. Dari segi biaya, warga juga dapat menikmati pelayanan secara
gratis menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS mulai diterapkan di DKI
Jakarta pada November 2012, pemegang KJS bisa berobat di seluruh
Puskesmas dan 88 Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Pemprov DKI Jakarta).
Perkembangan fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun
2015 tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan
tahun 2014. Fasilitas rumah sakit tahun 2015 sebanyak 159 unit. Pada 2015,
jumlah dokter umum sebanyak 2.645 orang sedangkan dokter spesialis
sebanyak 5.726 orang. Jumlah peserta KB baru di DKI Jakarta pada tahun
2016 sebanyak 518.547 orang.17
Dalam bidang pendidikan, pada tahun 2015, jumlah Taman Kanak-
kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Mengah Kejuruan (SMK)
tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan tahun 2014.
Terjadi penurunan pada jumlah murid SMU dan SMK, sedangkan
jumlah murid TK, SD, dan SMP mengalami peningkatan. Rasio murid-
sekolah tiap tingkatan pada tahun 2015 adalah 43 (TK), 278 (SD), 349
16 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat
Provinsi DKI Jakarta, h. 24.
17 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 98.
42
(SMP), 288 (SMU) dan 252 (SMK). Sedangkan rasio murid guru masing-
masing 8 (TK), 20 (SD), 16 (SMP), 10 (SMU), dan 10 (SMK).
Jumlah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah di DKI Jakarta pada tahun 2015 berturut-turut adalah 469, 244 dan 91
unit dengan jumlah murid sebanyak 191 512 orang. Perguruan tinggi negeri
(PTN) tahun 2015/2016 di DKI Jakarta sebanyak 5 PTN dan terdapat 329
perguruan tinggi swasta. Mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi
sebanyak 272.441 dengan jumlah tenaga pengajar 26.903 orang18.
Rata-rata lama sekolah di Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 meningkat
menjadi 10,88 yang artinya penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata
telah menempuh pendidikan selama 11 tahun. Indikator pendidikan lainnya
yaitu harapan lama sekolah yang mencapai angka 12,7. Hal ini
mengindikasikan bahwa anak usia 7 tahun memiliki peluang bersekolah
hingga D-1. Rapor tersebut merupakan pencapaian yang memuaskan19.
Pada tahun 2017, jumlah murid yang bersekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah di DKI Jakarta (TK sampai dengan SLTA)
mencapai 1,5 juta siswa. Lebih dari setengahnya adalah murid SD yang
mencapai 779 ribu siswa. Diantara 1,5 juta siswa tersebut, sebagian besar
bersekolah pada sekolah negeri yaitu sebanyak 57,6 persen. Sementara
sisanya yaitu 42,4 persen mengenyam pendidikan pada sekolah swasta.
Indikator yang dapat menggambarkan ketersediaan dan kelayakan
sarana pendidikan antara lain rasio murid-guru. Menurut data dari Dinas
Pendidikan Pemprov DKI Jakarta pada Tahun 2017, tercatat rasio murid-guru
secara total adalah sebesar 1:14 yang artinya setiap satu guru di Jakarta
mengajar sekitar 14 orang siswa. Angka ini sekaligus mengindikasikan bahwa
ketersediaan atau kecukupan jumlah tenaga pendidik di DKI Jakarta cukup
baik. Rasio murid-guru paling banyak ada pada jenjang pendidikan Sekolah
Luar Biasa yaitu 1:4. Sementara, yang paling kecil rasionya adalah pada
18 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 98.
19 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 12.
43
jenjang SD yaitu sebesar 1:19. Bila dibedakan menurut status pengelolaan
sekolah, maka sekolah swasta memiliki rasio yang lebih baik yaitu 1 guru
mendampingi 11 orang siswa20.
Dalam permasalahan kemiskinan terjadi peningkatan angka Garis
Kemiskinan berdampak pada naiknya persentase penduduk miskin di DKI
Jakarta. Tercatat GK DKI Jakarta pada Maret 2017 sebesar Rp. 536 ribu per
kapita per bulan, lebih tinggi dibandingkan GK pada Maret 2016 sebesar Rp.
510 ribu per kapita per bulan. Peningkatan GK sebesar Rp. 26 ribu ini
menambah jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 5,39 ribu
orang21.
GK makanan menyumbang sebesar 64,7 persen dimana komoditi
beras, rokok kretek filter, daging ayam ras, dan telur ayam ras menyumbang
peranan terbesar. Sedangkan GK non-makanan menyumbang sebesar 35,3
persen dari total GK DKI Jakarta yang didominasi oleh komoditi perumahan.
Indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,488 meningkat 0,031 poin
dibandingkan Maret 2016. Sedangkan indeks keparahan meningkat sebesar
0,014 poin yaitu sebesar 0,097 pada Maret 2017. Penanggulangan kemiskinan
seharusnya juga harus dapat mengurangi kedua masalah tersebut.
E. Visi dan Misi DKI Jakarta
Visi Pemerintah DKI Jakarta seperti dilansir dalam laman resminya
adalah “Jakarta kota maju, lestari, dan berbudaya yang warganya terlibat
dalam mewujudkan keberadaban, keadilan dan kesejahteraan semua”.
Pemahaman lebih lanjut terhadap visi tersebut, dijabarkan dalam misi-misi
sebagai berikut22:
1. Menjadikan Jakarta kota yang aman, sehat, cerdas, berbudaya, dengan
memperkuat nilai-nilai keluarga dan memberikan ruang kreativitas
20 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 13.
21 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017, h. 15.
22 Visi dan Misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Laman Resmi Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, https://jakarta.go.id/pemimpin-daerah
44
melalui kepemimpinan yang melibatkan, menggerakkan dan
memanusiakan.
2. Menjadikan Jakarta kota yang memajukan kesejahteraan umum melalui
terciptanya lapangan kerja, kestabilan dan keterjangkauan kebutuhan
pokok, meningkatnya keadilan sosial, percepatan pembangunan
infrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta perbaikan
pengelolaan tata ruang.
3. Menjadikan Jakarta tempat wahana aparatur negara yang berkarya,
mengabdi, melayani, serta menyelesaikan berbagai permasalahan kota dan
warga, secara efektif, meritokratis dan beritegritas.
4. Menjadikan jakarta kota yang lestari, dengan pembangunan dan tata
kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial.
5. Menjadikan Jakarta ibukota yang dinamis sebagai simpul kemajuan
Indonesia yang bercirikan keadilan, kebangsaan dan kebhinekaan.
45
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA
A. Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan
Keluarga
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Sedangkan yang menjadi wewenang mutlak pemerintah pusat
meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional dan agama1. Adapun kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga merupakan di luar kebijakan yang menjadi
wewenang mutlak pemerintah pusat. Kebijakan tersebut dapat berupa
peraturan daerah dan peraturan gubernur atau yang setingkat sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Berikut kebijakan pemerintah provinsi DKI
Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga antara lain sebagai berikut:
1. Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga
Peraturan gubernur ini merupakan peraturan awal Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Maka dapat
diketahui bahwa maksud dari peraturan gubernur ini adalah untuk memberikan
pedoman operasional bagi pelaksana dalam pembinaan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga untuk menjamin kelangsungan kesertaan ber-KB
dengan mengoptimalkan penyelenggaraan kelompok kegiatan BKB, BKR,
1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
46
BKL dan UPPKS sebagai upaya pengendalian kependudukan dari segi kualitas
dan kuantitas2. Dalam pasal 4 dijelaskan tujuannya sebagai berikut:
a. Membantu kelancaran pelaksanaan pembinaan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga melalui kelompok BKB, BKR, BKL dan UPPKS;
b. Meningkatkan kesertaan, pembinaan dan kemandirian ber-KB bagi
pasangan usia subur anggota kelompok kegiatan; dan
c. Menetapkan prosedur pelaksanaan kegiatan pembinaan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga.
Adapun sasaran pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga yaitu
anggota kelompok BKB, BKR dan BKL yaitu:
a. Anggota kelompok BKB yaitu keluarga yang mempunyai anak berusia 0
(nol) sampai dengan 5 (lima) tahun;
b. Anggota kelompok BKR yaitu keluarga yang m~mpunyai remaja usia 10
(sepuluh) sampai dengan 24 (dua puluh empat) tahun dan/atau remaja itu
sendiri;
c. Anggota kelompok BKL yaitu keluarga yang mempunyai anggota
keluarga berusia lanjut dan/atau lansia itu sendiri; dan
Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) yang
berbunyi “Pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui kelompok
kegiatan BKB, BKR dan BKL”. Dijelaskan lebih detail dalam pasal
selanjutnya:
a. Kegiatan kelompok BKB diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan
oleh Kader BKB kepada anggota, materi penyuluhan yang disampaikan
meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana serta
pembinaan tumbuh kembang anak; dan dilaksanakan minimal sekali
dalam sebulan.
b. Kegiatan kelompok BKR diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan
oleh Kader BKR kepada anggota; materi penyuluhan yang disampaikan
meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana serta
2 Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012
47
pembinaan tumbuh kembang remaja; dan dilaksanakan minimal sekali
dalam sebulan.
c. Kegiatan kelompok BKL diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan
oleh Kader BKL kepada anggota; materi penyuluhan yang disampaikan
meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana, pembinaan
fisik dan mental bagi lansia serta pembinaan kesehatan reproduksi lansia;
dan dilaksanakan minimal sekali dalam sebulan;
Dalam pasal 9 dijelaskan kelompok kegiatan BKB, BKR dan BKL
dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki surat keputusan dari pemerintah setempat tentang pembentukan
kelompok beserta pengurus;
b. Memiliki pengurus dan/atau pengelola yang bertanggung jawab dalam
operasional kegiatan;
c. Memiliki ruangan untuk kegiatan pertemuan dan penyuluhan;
d. Memiliki kader-kader penyuluh;
e. Memiliki program kerja dan pengembangan kegiatan yang meliputi
program jangka pendek untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan program
jangka panjang minimal 3 (tiga) tahun berikutnya; dan
f. Memenuhi persyaratan administratif dan sarana.
Sebagai bentuk keterpaduan antara BKB, BKR dan BKL dengan
Lembaga yang sudah ada terlebih dahulu maka diatur sebagai berikut3:
a. Pelaksanaan kegiatan BKB dapat dipadukan dengan kegiatan Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) dan Posyandu.
b. Pelaksanaan kegiatan BKR dapat dipadukan dengan kegiatan Majelis
Taklim dan Karang Taruna.
c. Pelaksanaan kegiatan BKL dapat dipadukan dengan kegiatan Posyandu
Lansia.
Selain itu optimalisasi kegiatan BKB, BKR dan BKL dapat dimitrakan
dengan Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas
3 Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012
48
Sosial, Dinas Olahraga dan Pemuda, Perguruan Tinggi, Tim Penggerak PKK,
LSOM, CSR dan/atau sektor lain yang terkait.
Mengenai pembiayaan, biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan
kegiatan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui BKB, BKR,
BKL dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BPMPKB. Begitupula pengendalian
terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini dilakukan oleh Kepala
BPMPKB. Hasil pelaksanaan pengendalian dilaporkan kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah. Evaluasi kinerja kelompok kegiatan ketahanan
keluarga dilakukan oleh PPLKB di tingkat Kecamatan. Laporan
penyelenggaraan kelompok kegiatan ketahanan keluarga dilakukan oleh
pengelola kelompok dan disampaikan kepada BPMPKB melalui PPLKB
Kecamatan.
2. Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan
Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin
Peraturan gubernur ini merupakan peraturan terbaru Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan juga
sebagai peraturan lanjutan dari Peraturan Gubernur No.186 Tahun 2012.
Menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta bahwa naskah
akademik menjadi pengantar produk hukum daerah yang sifatnya harus
memerlukan persetujuan DPRD yaitu peraturan daerah sedangkan peraturan
gubernur yang menjadi kewenangan eksekutif daerah. Peraturan Gubernur
yang menjadi peraturan teknis tidak membutuhkan naskah akademik dan tidak
memiliki naskah akademik4.
Peraturan gubernur ini tidak didasari dengan naskah akademik namun
dalam Petunjuk Teknis No. 185 Tahun 2017 dijelaskan latar belakang
dibentuknya peraturan gubernur ini antara lain adalah dalam lingkup pelayanan
4 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan
dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli 2018.
49
kesehatan reproduksi, masalah kesehatan ibu selama kehamilan, persalinan dan
nifas menjadi masalah utama pada kesehatan reproduksi perempuan.
Data SDKI 2012 menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), dengan AKI sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. AKB sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup, dan angka
kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun (Age Specific Fertility Rate/ASFR)
sebesar 48 per 1000 perempuan usia 15-19 tahun.
Hasil kajian lanjut Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa 6,9%
kematian ibu terjadi pada perempuan usia kurang dari 20 tahun dan 92%
meninggal saat hamil atau melahirkan anak pertama pada rentang usia yang
sama (Kajian Lanjut Hasil SP 2010). Data rutin Direktorat Bina Kesehatan Ibu
mencatat sejumlah 4823 kematian ibu di tahun 2015, dengan penyebab
kematian yaitu perdarahan (30%), hipertensi pada kehamilan (25,5%), infeksi
(5,6%), gangguan sistem peredaran darah (6,6%), gangguan metabolik (1,1%),
dan penyebab lainnya (27,4%).
Masalah gizi juga menjadi masalah utama yang mempengaruhi
kesehatan ibu dan bayi, diantaranya adalah anemia dan Kurang Energi Kronis
(KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS). Perbandingan antara data Riskesdas
2007 dan 2013 menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi anemia pada
kelompok WUS dari 19,7% pada tahun 2007 menjadi 22,7% pada ahun 2013.
Tingginya kenaikan prevalensi anemia tersebut menunjukkan bahwa anemia
dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius jika tidak
ditanggulangi segera. Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi risiko KEK
pada WUS 15-49 tahun sebesar 20,8%, dengan prevalensi pada ibu hamil
sebesar 24,2%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok usia remaja (15-
19 tahun) sebesar 38,5% dan pada kelompok usia 20-24 tahun sebesar 30,1%5.
Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara penulis dengan Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, diantara latar belakang terbentuknya peraturan
gubernur ini adalah salah satu bagian dari continuum of care dalam
5 Lihat Petunjuk Teknis Pemberian Konseling Dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi
Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan Ketahanan Dan Kesejahteraan Keluarga.
50
mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs) generasi emas, dimulai
sejak masa subur bagi yang memasuki masa pra nikah. Memang harapan kami
dalam bentuk skrining awal, kemudian ada konseling, kemudian terakhir
apabila perlu dirujuk maka akan dirujuk tetapi juga dalam pelayanan ini bisa
dilihat dalam pengembangannya bisa bermacam-macam pasti ada perbaikan-
perbaikan. Pada saat membuat peraturan tersebut kita duduk bersama banyak
pihak di luar keilmuan kami. Perjalanan menjadi peraturan gubernur hampir 2
tahun karena pengkajiannya yang panjang yang melibatkan banyak orang dan
pihak berbeda-beda6. Prosesnya baru selesai setelah perubahan 3 gubernur,
karena saat itu prosesnya ternyata memiliki banyak kendala baik dari internal
maupun eksternal termasuk dari kalangan agama kemudian dari pihak SKPD
lain termasuk pencatatan kependudukan7.
Maksud dari peraturan gubernur ini adalah untuk memberikan pedoman
operasional bagi sektor terkait dalam pelaksanaan Pemberian Konseling dan
Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Sedangkan dalam Pasal 3 dijelaskan tujuan penyusunannya, antara
lain:
a. Memberikan acuan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan Pemberian
Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Dalam
Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta secara terintegrasi yang dilakukan melalui
perencanaan, pelaksanaan pemantauan dan pembinaan serta evaluasi atas
kebijakan/ program/kegiatan pada sektor terkait, termasuk
penganggararmya.
b. Meningkatkan keterpaduan pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi
terutama program kesehatan calon pengantin diseluruh sektor terkait.
6 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI
Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 7 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta,
Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018.
51
c. Menetapkan prosedur pelaksanaan program pemberian Konseling dan
Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin dalam Rangka Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dan kemandirian lembaga yang
menangani upaya kesehatan pelaksanaan Pemberian Konseling dan
Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Pemerintah DKI Jakarta sebagai penanggung jawab memiliki tanggung
jawab memfasilitasi ketersediaan pelayanan informasi dan pelaksanaan
pelayanan yang aman, bermutu dan terjangkau masyarakat. Selain itu
Pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Swasta dan orang tua turut bertanggung jawab dalam melakukan
edukasi dan informasi mengenai pelaksanaan peraturan gubernur ini8.
Dalam hal kebijakan Pemerintah DKI Jakarta merumuskan kebijakan,
strategi dan pedoman pelaksanaan dapat melibatkan unsur masyarakat dan
LSM serta sektor terkait lainnya. Pemerintah DKI Jakarta berwenang
menyelenggarakan kegiatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, monitoring dan evaluasi serta pengendalian kegiatan dalam
pelaksanaannya. Selain itu, berwenang menyelenggarakan komunikasi,
informasi, edukasi dan advokasi serta sosialisasi tentang pelaksanakannya.
Pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan dan masyarakat yang
terlibat, menjamin ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaannya.
Setiap anggota masyarakat yang akan menikah di wilayah Provinsi DKI Jakarta
termasuk di dalamnya masyarakat miskin yang ada dalam data BDT
termutakhir mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh
Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin yang
8 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017
52
berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan memperhatikan prinsip
keadilan dan kesetaraan gender.
Dalam Pasal 9 terkait strategi pemeriksaan dijelaskan sebagai berikut9:
a. Setiap calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan, yang
pencatatannya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, dapat
memeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan
yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik
milik pemerintah maupun swasta.
b. Puskesmas membentuk tim untuk pemeriksaan kesehatan calon pengantin
yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, analis gizi, pengelola program HIV,
IMS, Hepatitis dan lain-lain yang dianggap perlu.
c. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Tim setelah calon pengantin
menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau surat pengantar permohonan
pemeriksaan kesehatan dari Kelurahan yang dilengkapi data calon
pengantin dan surat validasi yang ditanda tangani oleh Lurah bagi penerima
rnanfaat kategori miskin berdasarkan data BDT termutakhir.
d. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tanggal perkawinan ataupun pencatatan pernikahan.
e. Dalam menyampaikan hasil pemeriksaan kesehatan calon pengantin tetap
dikedepankan hak kerahasiaan pasien.
f. Apabila calon pengantin yang berdasarkan hasil pemeriksaan dokter
sebagaimana dimaksud pada poin (d) dinyatakan tidak sehat atau
memerlukan penata laksanaan lanjutan dari segi medis kesehatan- diberikan
surat rujukan untuk melanjutkan proses pengobatan dan dianjurkan berobat
sampai sehat.
g. Hasil pemeriksaan di verifikasi oleh Ketua Tim pemeriksa untuk
selanjutnya diterbitkan surat keterangan pemeriksaan kesehatan calon
pengantin.
9 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017
53
h. Untuk pemeriksaan kesehatan yang dilakukan secara mandiri di fasilitas
kesehatan swasta maka hasil pemeriksaan wajib diserahkan kepada Ketua
Tim pemeriksaan untuk diverifikasi dan dilakukan konseling pemeriksaan
kesehatan pra nikah.
i. Biaya pengobatan sebagaimana dimaksud pada poin (f) diserahkan kepada
program kesehatan masing-masing.
j. Surat keterangan telah melakukan pemeriksaan kesehatan bagi calon
pengantin sebagaimana dimaksud pada poin (c) dan surat keterangan-
rujukan sebagaimana dimaksud pada poin (f) ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan.
k. Petunjuk Teknis Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi
Calon Pengantin tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Peran serta SKPD/UKPD terkait dalam peraturan Gubernur ini
dijelaskan dalam Bab V secara detail dan terperinci, adapun pihak-pihak terkait
antara lain, Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah DKI Jakarta, Dinas
Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, DPAPP, Lurah, UP PTSP Kelurahan dan
Puskesmas dan Fasilitas Layanan Kesehatan Pertama. Ada 6 pihak terkait yang
tercantum dalam peraturan gubernur ini dengan masing-masing tugas dan fungsi
masing-masing.
Dalam hal pembiayaan, biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
program bersumber dari BLUD, UKPD dan yang rnasuk dalam kategori
masyarakat miskin/BDT berdasarkan data yang selalu diperbaharui,
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta
sumber lain yang sah dan tidak mengikat yang dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan10.
Diatur dalam peraturan gubernur ini bahwa pembinaan dan pengawasan
pelaksanaannya kepada masyarakat dan jajaran yang ada di wilayah kerjanya
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD masing-masing serta
dilakukan secara terpadu melalui lintas program dan lintas sektor dengan
10 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017
54
melibatkan sektor swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan
kompetensi masing-masing sektor. Pengawasan dan monitoring terhadap
pelaksanaan pelaksanaannya dikoordinasikan melalui Biro Kesos selaku
koordinator bidang kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Terkait evaluasi penyelenggaraan pelaksanaannya dilakukan oleh
masing-masing sektor penyelenggara Program dengan dikoordinasikan oleh
Biro Kesos. Evaluasi dilakukan terhadap keseluruhan proses pelaksanaan
dalam rangka pencapaian tujuan penyelenggaraan untuk rnengetahui
perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan dilakukan setiap
akhir tahun. Hasil evaluasi tersebut digunakan sebagai bahan masukan bagi
penyusunan kebijakan dan program serta kegiatan untuk tahun berikutnya.
Terkait laporan penyelenggaraan program dan hasil evaluasi
pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh Dinas Kesehatan kepada Gubernur
melalui Biro Kesos. Pelaporan tersebut dilakukan secara berkala dan/atau
apabila sewaktu-waktu diperlukan11.
Setelah dijabarkan mengenai kedua peraturan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kedua peraturan tersebut memiliki perbedaan-perbedaan
diantaranya, sebagai berikut:
1. Kedua peraturan berbeda tahun dan masa kepala daerah diundangkannya.
Pergub No. 186 diundangkan pada tahun 2012, ketika dipimpin oleh
Gubernur Fauzi Bowo sedangkan Pergub No. 185 diundangkan pada tahun
2017, ketika dipimpin oleh Gubernur Anies Rasyid Baswedan.
2. Kedua peraturan memiliki muatan yang berbeda. Pergub No. 186 tahun
2012 mengatur tentang Pembinaan Ketahanan Keluarga dan menjadi
landasan awal bagi kebijakan ketahanan keluarga di DKI Jakarta,
sedangkan Pergub No. 185 tahun 2017 tentang pemberian konseling dan
pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang menjadi kebijakan
terkini dalam hal membangun ketahanan keluarga.
11 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017
55
3. Kedua peraturan memiliki fokus dan sasaran yang berbeda. Pergub No.
186 Tahun 2012 terfokus pada bidang kesehatan (tumbuh kembang) dan
kesejahteraan (ekonomi) dan sasarannya pada 3 kalangan (balita, remaja,
lansia) sedangkan Pergub No. 185 Tahun 2017 hanya fokus pada
kesehatan yang disasarkan pada calon pengantin (dalam masa subur/masa
keemasan dalam menciptakan keturunan/generasi emas).
4. Kedua peraturan memiliki instansi pelaksana yang berbeda. Pergub No.
186 tahun 2012 dilaksanakan di posyandu, karang taruna, dan posyandu
lansia sedangkan Pergub No. 185 Tahun 2017 dilaksanakan di Puskesmas
Kecamatan dengan Dinas Kesehatan sebagai pelaksananya.
B. Persfektif Perundang-Undangan terhadap Kebijakan
Berdasarkan kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta
yang telah diuraikan sebelumnya, dalam penulisan skripsi ini akan membahas
bagaimana persfektif perundang-undangan di atasnya yaitu Undang-Undang
Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi
DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga yang berbentuk peraturan
gubernur. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan gubernur
memiliki kedudukan dalam hierarki perundang-undangan, kedudukan peraturan
gubernur berada di bawah Undang-Undang. Artinya, peraturan gubernur tidak
boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, salah satunya ialah Undang-
Undang.
Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa dalam penyelenggaraan
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, setiap penduduk
mempunyai hak, diantaranya12:
1. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah
12 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009
56
2. Mendapatkan perlindungan, untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan,
dan kesejahteraan keluarga
3. Menetapkan keluarga ideal secara bertanggung jawab mengenai jumlah
anak, jarak kelahiran, dan umur melahirkan
4. Membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan
membimbing kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai
dengan dewasa
Diatur dalam Undang-Undang tersebut mengenai wewenang
pemerintah daerah menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan
jangka panjang yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing dan
harus mengacu pada kebijakan nasional. Dalam Pasal 13 dijelaskan Pemerintah
provinsi bertanggung jawab dalam13:
1. Menetapkan kebijakan daerah
2. Memfasilitasi terlaksananya pedoman meliputi norma, standar, prosedur,
dan kriteria
3. Memberikan pembinaan, bimbingan dan supervisi
4. Sosialisasi, advokasi, dan koordinasi
pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakat setempat.
Dalam Pasal 16 dijelaskan bahwa pembiayaan perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga di daerah dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi anggaran
disediakan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dalam perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga.
Dalam Pasal 38 dijelaskan bahwa pengembangan kualitas penduduk
untuk mewujudkan kondisi perbandingan yang serasi, selaras, dan seimbang
antara perkembangan kependudukan dengan lingkungan hidup dilakukan
melalui pengembangan kualitas penduduk. Pengembangan kualitas penduduk
13 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009
57
dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas,
mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang
tinggi. Pengembangan kualitas sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
peningkatan kesehatan, pendidikan, nilai agama, perekonomian dan nilai sosial
budaya.
Mengenai pembangunan keluarga yang diatur dalam Pasal 47
dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan
pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga
secara optimal. Selanjutnya dalam Pasal 48 dijabarkan kebijakan pembangunan
keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga
dilaksanakan dengan cara, diantaranya14:
1. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan,
penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan
perkembangan anak;
2. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga;
3. Peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi
keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan
dalam kehidupan keluarga;
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kebijakan
pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga dalam
peraturan gubernur no. 186 tahun 2012 dan peraturan gubernur no. 185 tahun
2017 telah sesuai dan tidak bertentangan dengan norma yang terdapat dalam
Undang-Undang. Dalam dijelaskan sebagai berikut:
1. Sebagai wujud pemenuhan hak bagi setiap penduduk DKI Jakarta yaitu
mendapatkan perlindungan untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan,
dan kesejahteraan keluarga.
14 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009
58
2. Sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakan dan program yang berkaitan dengan perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga.
3. Pembiayaan kebijakan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
4. Sebagai wujud pengembangan kualitas penduduk melalui peningkatan
kesehatan, pendidikan dan perokonomian.
5. Sebagai wujud pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan
keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan
cara peningkatan kualitas anak (BKB), kualitas remaja (BKR) dan kualitas
hidup lansia (BKL) dalam peraturan gubernur no. 186 tahun 2012 sedangkan
dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 peningkatan kualitas anak dan
kualitas remaja dengan pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi
calon pengantin.
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.
DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah
memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedua kebijakan tersebut ialah kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
2. Keterkaitan kedua peraturan dengan sasaran calon pengantin dalam masa
pra nikah, namun berbeda muatannya. Peraturan Dirjen Bimas Islam No.
DJ.II/542 Tahun 2013 menekankan pada pemberian bekal pengetahuan,
peningkatan pemahaman dan ketrampilan tentang kehidupan rumah
tangga dan keluarga sedangkan peraturan gubernur no. 185 tahun 2017
menekankan pada aspek kesehatan dari calon pengantin dan keluarganya
di masa yang akan datang.
3. Perbedaan pelaksana dari kedua peraturan tersebut, dalam Peraturan
Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 dijelaskan bahwa
penyelenggara kursus pra nikah adalah Badan Penasihatan, Pembinaan,
59
dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau lembaga/organisasi keagamaan
Islam lainnya sebagai penyelenggara kursus pra nikah yang telah
mendapat Akreditasi dari Kementerian Agama sedangkan dalam peraturan
gubernur no. 185 tahun 2017 dijelaskan bahwa pemeriksakan
kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk
baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik
pemerintah maupun swasta.
4. Persamaan dari kedua peraturan tersebut, dalam Peraturan Dirjen Bimas
Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 dijelaskan bahwa remaja usia nikah yang
telah mengikuti Kursus Pra Nikah diberikan sertifikat sebagai tanda bukti
kelulusan dikeluarkan oleh BP4 atau organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus dan menjadi syarat kelengkapan pencatatan
perkawinan dan dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 dijelaskan
bahwa Puskesmas/ Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
mengeluarkan sertifikat/surat keterangan pemeriksaan kesehatan bagi
calon pengantin untuk dibawa oleh calon pengantin dalam rangka
mendapatkan formulir N1, N2 dan N4 di UP PTSP Kelurahan.
C. Implementasi Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun
Ketahanan Keluarga
Kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun
ketahanan keluarga berupa dua peraturan gubernur yaitu Peraturan Gubenur
No. 186 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185 tahun 2017. Dalam
penulisan skripsi ini akan membahas bagaimana implementasi dari kebijakan-
kebijakan yang telah diuraikan sebelumnya.
Dalam menilai implementasi kebijakan maka digunakan teori
efektivitas hukum untuk menentukan faktor pendukung dan faktor
penghambat. Teori efektivitas hukum merupakan teori yang mengkaji,
menganalisis kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan
dan penerapan hukum. sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
60
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu15:
1. Faktor hukumnya Sendiri (undang-undang).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
disandarkan pada manusia di dalam pergaulan hidup.
Peraturan Gubernur No. 186 tahun 2012 secara efektif mulai
diberlakukan pada tanggal 9 Oktober 2012, Peraturan Gubernur Nomor 186
Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga,
menjadi kebijakan awal Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga. Dengan peraturan gubernur ini melaksanakan pembinaan ketahanan
keluarga melalui kelompok BKB, BKR, BKL untuk meningkatkan kesertaan,
pembinaan dan kemandirian ber-KB bagi pasangan usia subur anggota
kelompok kegiatan serta menetapkan prosedur pelaksanaan kegiatan
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Jika dilihat dari muatan Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 yang
menegaskan bahwa pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui
kelompok kegiatan BKB, BKR dan BKL, maka dalam hal ini Pemerintah DKI
Jakarta mempunyai perhatian yang cukup besar untuk membangun ketahanan
keluarga. Namun pada tahapan implementasinya Peraturan Gubernur No. 186
Tahun 2012 belum sepenuhnya terlaksana.
Hasil pelaksanaan pengendalian Peraturan Gubernur ini dilaporkan kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Melalui Biro Kesejahteraan Sosial
Sekretariat Daerah DKI Jakarta dijelaskan bahwa respon keberadaan Peraturan
15 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.
61
gubernur DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun 2014 telah mencapai
65,83 % namun dapat disimpulkan bahwa peraturan telah cukup diketahui oleh
pelaksana kegiatan16.
Dalam pelaksanaannya upaya pembinaan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga oleh SKPD terkait di provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan
amanah Peraturan gubernur Nomor 186 tahun 2012, meskipun masih memiliki
berbagai hambatan diantaranya masih terdapat wilayah administrasi dengan
UKPD pelaksana yang belum sepenuhnya memenuhi kriteria dasar dalam hal
pembentukan kelompok kegiatan, persyaratan kelompok, serta persyaratan
administrasi dan sarana17. Selain itu, menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah
DKI Jakarta kendala ada pada tahap sosialisasi tidak adanya alokasi dana untuk
sosialisasi maka dari itu sosialisasi langsung melalui petugas di tingkat bawah
yang berhubungan langsung di masyarakat seperti di kelurahan atau fasilitas
kesehatan. Sosialisasi tersebut berjalan secara langsung berjalan terus
menerus18.
Dalam menanggapi berbagai hambatan tersebut, diperlukan solusi-
solusi untuk mengoptimalkan peraturan ini diantaranya adalah diperlukan
penguatan supervisi oleh seluruh pihak dan sektor terkait melalui satu sistem
kerja yang konsisten. Supervisi tersistem di tingkat kota/kabupaten
administrasi dan tingkat provinsi harus dibangun guna meningkatkan upaya
monitoring dan evaluasi agar penyelenggaraan kegiatan secara kondusif dan
dapat diciptakan dan perbaikan dalam siklus manajemen dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Serta diperlukan peran masyarakat DKI Jakarta
untuk membangun ketahanan keluarga yaitu ikut berpartisipasi dalam 3B yaitu
BKB, BKR, dan BKL. Namun dikarenakan minimnya informasi dan
16 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan
Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 17 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan
Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 18 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang
Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli
2018.
62
pemahaman masih kurangnya peminat kegiatan19. Respon masyarakat juga
amat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah peraturan di tengah kesibukan kota
metropolitan seperti Jakarta.
Selanjutnya Peraturan Gubernur Nomor 185 tahun 2017 tentang
Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin secara efektif
mulai diberlakukan pada tanggal 30 November 2017, menjadi kebijakan terkini
Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Dengan
dibuatnya peraturan gubernur ini meningkatkan keterpaduan pelaksanaan
upaya kesehatan reproduksi terutama program kesehatan calon pengantin
diseluruh sektor terkait dan menetapkan prosedur pelaksanaan program
pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin dalam
Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Jika dilihat dari muatan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 yang
menegaskan bahwa setiap calon pengantin yang akan melangsungkan
perkawinan, yang pencatatannya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan
Sipil, dapat memeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan
kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah
Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, maka dalam hal ini Pemerintah
DKI Jakarta mempunyai perhatian yang cukup besar untuk membangun
ketahanan keluarga.
Hasil Evaluasi Pelaksanaan kebijakan, program dilakukan oleh Dinas
Kesehatan kepada Gubernur melalui Biro Kesos. Melalui Biro Kesos
dijelaskan bahwa untuk peraturan gubernur 185 tahun 2017 biro kesos belum
melakukan monitoring dan evaluasi20. Hal ini pengaruh dari peraturan yang baru
diundangkan pada akhir tahun 2017. Tetapi dalam wawancara dengan Dinas
Kesehatan sebagai Dinas terkait dijelaskan bahwa selama waktu 6 bulan sudah
tercatat ada sekitar 3000 pasang calon pengantin yang sudah memeriksakan
19 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan
Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 20 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan
Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018.
63
dirinya di puskesmas/FTKP dan hanya ada sekitar 1% dari jumlah calon
pengantin21.
Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 sudah dilakukan
sesuai tugas pokok Puskesmas dan Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) yang ditunjuk dalam Pelaksanaan teknis di lapangan namun
di lapangan ditemukan berbagai hambatan diantaranya sejauh ini ada beberapa
kendala dalam berjalannya peraturan ini adalah laboratorium, kalau lebih kuat
lagi agar memudahkan masyarakat. Selain itu, bagaimana ditemukan calon
penganten di usia senja, di pernikahan ke 2 ke 3 dan seterusnya yg mana bukan
lagi sebagai usia muda22. Adapula kendala pada waktu yang dimiliki calon
pengantin yang bekerja untuk izin kerja mengurus persiapan nikah yang sulit
dan sedikit. Ada sebagian terkendala sarana dan pra sarana puskesmas kecil
yang belum bisa menyediakan ruangan khusus dan tenaga medis yang
terbatas23. Selain itu, menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta
kendala ada pada tahap sosialisasi tidak adanya alokasi dana untuk sosialisasi
maka dari itu sosialisasi langsung melalui petugas-petugas di tingkat yang
berhubungan langsung di masyarakat seperti di kelurahan atau fasilitas
kesehatan. Sosialisasi tersebut berjalan secara langsung berjalan terus
menerus24.
Dalam menanggapi berbagai hambatan tersebut, diperlukan solusi-
solusi untuk mengoptimalkan peran peraturan ini diantaranya adalah dengan
memperkuat peran dan fungsi laboratorium kesehatan daerah agar melatih di
tingkat puskesmas kecamatan untuk penemuan tingkat dini talasemia serta
diperlukan pemeriksaan kejiwaan dalam pemeriksaan calon pengantin. Selain
itu juga kedepannya Dinas Kesehatan meminta dukungan dengan MUI dan
21 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta,
Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 22 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI
Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 23 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta,
Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 24 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang
Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli
2018.
64
wali gereja. Agar kursus calon pengantin masing-masing bisa berdampingan
dengan peraturan gubernur ini. Tentunya masih banyak membutuhkan
dukungan dan pembelajaran dalam peraturan gubernur ini25. Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dijelaskan
bahwa kedepannya mereka berkeinginan peraturan gubernur ini menjadi
peraturan daerah, agar tidak lagi harus memaksa masyarakat dan berbagai
pihak karena dengan bentuk perda itu berlaku umum26.
Dalam observasi yang dilakukan di 2 (dua) Puskesmas Kecamatan yaitu
Puskesmas Kecamatan Makasar dan Puskesmas Kecamatan Condet.
Ditemukan beberapa hal dalam pelaksanaan kebijakan peraturan gubernur
nomor 185 tahun 2017. Di puskesmas kecamatan Makasar pemeriksaan
dilakukan dengan pemeriksaan darah dan konseling, pemeriksaan tersebut
untuk masyarakat DKI tidak dikenakan biaya jika warga di luar DKI dikenakan
biaya 120 ribu rupiah, hasil pemeriksaan darah dapat diambil satu hari setelah
pemeriksaan dan sertifikat layak kawin. Uniknya, pemeriksaan ini diwajibkan
pula bagi warga DKI yang ingin menikah di luar wilayah DKI sebagai syarat
surat pengantar dari Kelurahan. Sedangkan di Puskesmas Kecamatan Condet
dilakukan konseling dan pemeriksaan darah bagi calon pengantin, biayanya
pun gratis bagi warga DKI dan dikenakan biaya bagi warga di luar DKI sebesar
168 ribu rupiah untuk pria dan 178 ribu rupiah untuk wanita. Uniknya, di
puskesmas Condet hasil pemeriksaan darah bisa ditunggu hingga sore hari
sehingga tidak menghabiskan waktu kembali untuk mengambil hasil dan
sertifikat layak kawin. Pemeriksaan hanya dilakukan di hari Selasa dan Kamis.
Sejauh ini pelaksanaan berjalan sesuai dengan pergub no 185 tahun 2017.
D. Analisis Terhadap Kebijakan
Definisi ketahanan keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
25 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI
Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 26 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta,
Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018.
65
Keluarga bahwa ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung
kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir dan batin. Dalam konteks terkini, ketahanan keluarga
sangatlah penting untuk terus dijaga keberlangsungannya. Sebagai lingkungan
terkecil dalam kehidupan, keluarga memiliki peran penting dalam
pembangunan keluarga yang diamanatkan oleh undang-undang.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merespon amanat undang-undang
dengan membuat beberapa kebijakan dalam membangun ketahanan keluarga
diantaranya Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur
No. 185 Tahun 2017. Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia tentunya
kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi cerminan dan acuan bagi
daerah lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang ketahanan
keluarga. Karena sampai saat penelitian ini ditulis belum ada undang-undang
maupun rancangan undang-undang tentang ketahanan keluarga.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 kebijakan
tersebut sudah sesuai dengan undang-undang sebagai landasan peraturan
tersebut. Namun dalam pengembangan kualitas penduduk yang harusnya
dilakukan melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, nilai agama,
perekonomian dan nilai sosial budaya. Sejauh ini menurut penulis, kebijakan
tersebut baru mengatur pada peningkatan kesehatan dan perekonomian dan
belum mengatur aspek lain pada pendidikan, nilai agama maupun nilai sosial
budaya.
Mengacu pada Peraturan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa konsep
ketahanan dan kesejahteraan keluarga mencakup: (1) Landasan Legalitas dan
Keutuhan Keluarga, (2) Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi, (4)
66
Ketahanan Sosial Psikologi, dan (5) Ketahanan Sosial Budaya yang kemudian
dirumuskan menjadi 24 (dua puluh empat) ciri-ciri yang merepresentasikan
tingkat ketahanan keluarga dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016.
Menurut penulis, kebijakan tersebut baru mencakup pada konsep ketahanan
fisik dan ketahanan ekonomi, sedangkan belum mencakup secara menyeluruh
tiga konsep lainnya. Artinya, masih perlu kebijakan yang lebih komprehensif
dan menyeluruh dalam mencakup semua konsep karena konsep lainnya pun
memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam tercapainya ketahanan
keluarga.
Menurut tahap implementasi Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012
dan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 dianggap sudah terlaksana
dengan baik namun diperlukan lagi perhatian dari pemerintah DKI Jakarta
maupun masyarakat. Pemerintah DKI Jakarta masih perlu memperbaiki sarana
dan pra sarana secara berkala dan terus menerus agar kendala-kendala yang
ditemui dapat terselesaikan, terlebih dalam tahap sosialisasi pemerintah DKI
Jakarta tentang penyebarluasan kebijakan tersebut yang dianggap kurang
efektif dan kurang maksimal dengan berbagai alasan.
E. Relevansi Mashlahah dengan Ketahanan Keluarga
Dalam keluarga terdapat tanggungjawab yang harus dipikul suami istri
dalam perkawinan. Suami dan istri mempunyai kewajiban menjaga keutuhan
rumah tangga dengan cara masing-masing menjalankan peran, tugas dan fungsi
ketahanan keluarga untuk mencapai kemaslahatan hidup. Fungsi agama,
pendidikan, ekonomi, sosial budaya, cinta kasih, reproduksi dan lingkungan
jika dijalankan dengan baik maka kemaslahatan akan terwujud27.
Untuk mewujudkan kemaslahatan dalam keluarga, maka setiap
individu dalam keluarga menjalankan hak dan kewajibannya maisng-masing.
27 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds.,
Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 16.
67
Jika dalam keluarga saling memelihara dan menjalankan hak dan kewajiban
masing-masing secara baik dan benar, insya Allah kemaslahatan akan tercapai.
Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dan
istri. Kewajiban suami adalah hak bagi istri, demikian juga sebaliknya. Anak-
anak harus pula mendapatkan hak-haknya secara benar, di samping
melaksanakan kewajibannya terhadap orang tua. Jika masing-maisng individu
dari anggota keluarga mengetahui tanggung jawabnya, maka merek asangat
diyakini memiliki kemampuan menangkis hal-hal yang buruk yang menimpa
mereka28.
Ketika terjadi pengingkaran terhadap hak-hak dan kewajiban masing-
maisng individu dalam keluarga maka ketahanan keluarga akan goyah. Tidak
terjalin lagi keharmonisan, ketangguhan, keuletan dalam mempertahankan
keutuhan keluarga. Dalam hukum Islam pengingkaran terhadap hak-hak dan
kewajiban berakibat pada beban dosa dan harus dipertanggungjawabkan di
akhirat kelak29.
Menurut Penulis terbentuknya kebijakan tersebut dalam pandangan
hukum Islam sebagai mashlahah. Kebijakan tersebut sebagai langkah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia sekarang dan masa depan yakni
membangun ketahanan keluarga. Sebagaimana tujuan hukum Islam: pertama,
hifdz al-din (memelihara agama), kedua, hifdz al-nafs (memelihara jiwa),
ketiga, hifdz Al-Aql (memelihara akal), keempat, hifdz al-Nasb (memelihara
keturunan) dan kelima, hifdz al-maal (memelihara harta). Kebijakan tersebut
masuk dalam kategori memelihara jiwa dengan menjaga kesehatan,
memelihara keturunan dengan melaksanakan perkawinan dan memelihara
harta dengan upaya pengembangan ekonomi keluarga.
28 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 17. 29 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 17.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang Kebijakan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga terbatas dalam bentuk peraturan gubernur, belum ada peraturan
dalam bentuk peraturan daerah. Diantaranya Peraturan Gubernur Nomor
186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan
Keluarga yang menjadi kebijakan awal dalam membangun ketahanan
keluarga dan Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang
Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin menjadi
kebijakan terkini dalam membangun ketahanan keluarga, umurnya
kurang dari satu tahun sejak diundangkan hingga penelitian ini
dilakukan.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga terhadap kebijakan
Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga dalam
Peraturan Gubernur No. 186 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185
tahun 2017 telah sesuai/tidak bertentangan dengan yang diatur dalam
Undang-Undang antara lain pertama, sebagai wujud pemenuhan hak
penduduk, kedua, sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah
daerah, ketiga, sebagai wujud pengembangan kualitas penduduk,
keempat, sebagai wujud pembangunan keluarga.
3. Implementasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga ialah sudah terlaksana cukup baik
namun belum sepenuhnya tercapai. Tercatat respon keberadaan Peraturan
Gubernur DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun 2014 telah
69
mencapai 65,83% dan Peraturan Gubernur DKI Nomor 185 tahun 2017
selama waktu 6 bulan sudah tercatat ada sekitar 3000 pasang calon
pengantin yang sudah memeriksakan dirinya di puskesmas/FTKP.
Berbagai hambatan ditemukan yang menjadi faktor-faktor penghambat
terlaksananya peraturan gubenur ini dan terus diperbaiki dikemudian
hari.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan di
atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Hendaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kedepannya dapat membuat
kebijakan dalam membangun ketahanan keluarga dalam bentuk peraturan
daerah sebagai landasan hukum yang lebih kuat daripada peraturan
gubernur sebagai peraturan teknis, agar dapat membawa perubahan yang
lebih baik dan menyeluruh bagi masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya.
2. Hendaknya setiap peraturan tentang ketahanan keluarga kedepannya
dapat melihat berbagai konsep dan berbagai aspek yang belum tercakup
dalam peraturan sebelumnya, agar peraturan bisa menyeluruh dan
mencakup kebutuhan-kebutuhan di masyarakat.
3. Kepala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Gubernur dan
Wakil Gubernur bekerjasama dengan Pimpinan DPRD Provinsi DKI
Jakarta harus lebih baik lagi dalam membuat peraturan-peraturan demi
memecahkan masalah-masalah yang riil dan kompleks di masyarakat
seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan sosial budaya.
70
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abdullah, Thahir. Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada
ketahanan pribadi. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata, 1991.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Adisasmita, Rahardjo. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2015.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds.,
Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka
Cendikiamuda, 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2017. Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka 2017. Jakarta:
BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Statistik Kesejahteraan Rakyat
Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.
Danim. Sudarwan. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: TP, 2009.
Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Ibrahim, Johnny. Teori Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing, 2006. Cet. II
Joesoef, Daoed. Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional.
Jakarta: PT. Kompas. 2014.
Juwaini, Jazuli. Otonomi Sepenuh Hati: pokok-pokok pikiran untuk perbaikan
implementasi otonomi daerah. Jakarta: Al-I’tishom, 2007.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. Pemerintah Daerah di Indonesia: Hukum
Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Panduan
Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah. Jakarta:
Kemenkumham RI, 2010.
71
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembangunan
Ketahanan Keluarga. Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, 2016.
Lubis, Amany. “Ketahanan Keluarga Dalam Legislasi Nasional dan Konvensi
Internasional” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam
Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2016. Cet. VI
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Peneletian Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004.
Mukhlas, Oyo Sunaryo. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia,
2012.
Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta:
PT. Grasindo, 2005.
Parsons, Wayne. Edward Elgar Publishing. Ltd. Penerjemah Tri Wibowo Budi
Santoso. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan.
Jakarta: Kencana, 2006.
Pramudji, S. Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Bina
Aksara. 1985.
Pranowo, Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet,
2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2015. Cet.
III
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Soemantri, HRT Sti. Otonomi Daerah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Subarsono. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sunarti, Euis, dkk. Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga. Bogor: Intitut
Pertanian Bogor, 2003.
Sutami. Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: T.P,
1978.
72
Syamsuddin, Aziz. Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
2012.
Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012.
Wijaya, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005.
Wijaya, HAW. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif. Kualitatif dan Penelitian
Gabungan Jakarta: Kencana, 2014.
2. Disertasi
Sunarti, Euis. “Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus
Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan” Disertasi S3 Institut Pertanian
Bogor, 2001.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan
kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pembangunan
Keluarga
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan
Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin
4. Internet
http://almanar.co.id/keluarga/membangun-ketahanan-keluarga.html
73
Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laman Resmi Wikipedia Indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta Visi dan
Misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Laman Resmi Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. https://jakarta.go.id/pemimpin-daerah
Wapres: Penting Ketahanan Keluarga untuk Ketahanan Bangsa. koran
kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2009/06/13/00014890/Wapres.Nilai.Pen
ting. Ketahanan.Keluarga
Menteri Yohana: Pentingnya Peningkatan Ketahanan Keluarga Menuju Keluarga
Sejahtera. koran tribunnews.com.
http://www.tribunnews.com/regional/2017/07/14/ menteri-yohana-
pentingnya-peningkatan-ketahanan-keluarga-menuju-keluarga-sejahtera
5. Wawancara dan Data
Interview Pribadi dengan Imam Heykal, SH, MH. Staff Bagian Peraturan
Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
Biro Hukum. Jakarta. 16 Juli 2018.
Interview Pribadi dengan drg. Chandrawati, MARS. Kepala Bagian Kesehatan
Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta. 23 Juli 2018.
Interview Pribadi dengan Desi Prijanthy, Apt. M.Sc. Kepala Seksi Kesehatan
Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta. 23 Juli 2018.
Interview Pribadi dengan M. Husnul Fauji, MT. Staff Bagian Pemberdayaan
Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial Jakarta. 19 Juli 2018.
Daftar Pertanyaan Wawancara
Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta
1. Mengenai topik penelitian tentang ketahanan keluarga, sejauh ini apa saja kebijakan
pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga?
2. Berkenaan dengan kedua pergub tersebut, bagaimana latar belakang yang mendasari
terbentuknya peraturan tersebut? Jika berkenan, bisakah peneliti meminta naskah
akademik keduanya?
3. Terkait pergub no. 185 tahun 2017 cenderung peraturan yang baru disahkan, lalu apakah
ada masa sosialisasi peraturan gubernur tersebut? Jika ada, berapa lama masa sosialisasi
tersebut? Bagaimana langkah sosialisasi peraturan gubernur kepada masyarakat luas?
4. Sejauh ini, peneliti baru menemukan peraturan mengenai ketahanan keluarga hanya
dalam bentuk peraturan gubernur dan belum menemukan dalam bentuk peraturan daerah
(perda). Mengapa sampai saat ini tidak ada dalam perda? Adakah rencana pemerintah
provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan perda tentang ketahanan keluarga?
5. Terkait kedua pergub tersebut, bagaimana kaitannya dengan UU No. 52 tahun 2009
tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga?
6. Menurut bapak/ibu, peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan oleh
pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga?
7. Terakhir, adakah pesan/saran dalam penelitian ini?
Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta
1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di provinsi DKI Jakarta?
2. Bagaimana peran pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga? Bagaimana pula peran masyarakat DKI Jakarta?
3. Apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga?
4. Bagaimana respon mengenai kedua pergub tersebut? Apakah sudah menjadi kebijakan
yang tepat dalam membangun ketahanan keluarga?
5. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini?
6. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi
kedua kebijakan tersebut?
7. Peraturan apa yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam
membangun ketahanan keluarga?
8. Terakhir, adakah pesan/saran terhadap penelitian ini?
Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta
1. Terkait pergub no. 185 tahun 2017, Bagaimana menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta
latar belakang terbentuknya pergub tersebut?
2. Bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan DKI Jakarta terhadap pergub tersebut?
3. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun
masih tergolong peraturan yang baru disahkan.
4. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi
terkait peraturan tersebut?
5. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang
diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga?
Bagian Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta
1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Provinsi DKI Jakarta menurut Dinas kesehatan
provinsi DKI Jakarta?
2. Adakah kebijakan Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga? Bagaimana peran Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam kebijakan tersebut?
3. Bagaimana respon masyarakat terhadap peraturan baru ini? Apakah masyarakat antusias
dalam mengikuti tahapan demi tahapan dalam peraturan ini?
4. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun
masih tergolong peraturan yang baru disahkan.
5. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi
terkait peraturan tersebut? Seperti kendala-kendala yang ada.
6. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang
diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga?
7. Lalu sejauh ini sudah bisa dipastikan di setiap puskesmas kecamatan sudah bisa
melayani?
Daftar Wawancara
Nama : Imam Heykal, SH, MH
Jabatan : Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan
Kesejahteraan Rakyat
Wawancara dilakukan di Biro Hukum lt. 9 pada 16 Juli 2018 pukul 10.40
1. Mengenai topik penelitian tentang ketahanan keluarga, sejauh ini apa saja
kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga?
Jawaban: selain 2 pergub no. 16/2012 dan 185/2017, kalau pergub itu bersifat teknis
banyak selain 2 peraturan ini dan harus dicari terkait hubungan secara spesifik. Kalau
peraturan secara umum, perda, kita masih menyusun untuk memayungi seluruh bidang
ketahanan keluarga itu belum ada, langsung ada pergub teknis. Masih mengikuti
pemerintah pusat kalau masalah ini bisa dari kementerian pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak maupun dari kementerian sosial. Masing kementerian sering
mengeluarkan peraturan Menteri, untuk melaksanakan peraturan Menteri itu di tingkat
daerah kita buat pergub.
Dari berbagai kebijakan yang ada, peneliti terfokus pada 2 peraturan gubernur yaitu
pergub no. 186 tahun 2012 tentang pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dan
pergub no. 185 tahun 2017 tentang konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon
pengantin.
2. Berkenaan dengan kedua pergub tersebut, bagaimana latar belakang yang
mendasari terbentuknya peraturan tersebut? Jika berkenan, bisakah peneliti
meminta naskah akademik keduanya?
Jawaban : baik, mulai yang pergub 186/2012 saya belum ikut menangani karena tahun
2012, sepengetahuan saya dari forum diskusi rapat, sebagai upaya pemerintah DKI
khusus untuk membuat peraturan yang mengatur pembinaan ketahanan dan
kesejahteraaan keluarga secara umum memang tidak ideal dibuat dalam pergub teknis
harusnya dalam bentuk peraturan daerah dahulu karena luas itu, nanti bagian-bagian nya
kita breakdown menjadi pergub.
Kemudian pergub 185/2017 fokusnya pada masalah konseling dan pemeriksaan
kesehatan karena sebelumnya belum ada peraturan yang mewajibkan bagi calon
pengantin. Kita untuk mengontrol memastikan pintu awal dari institusi pernikahan kita
buat peraturan ini agar sebelum mendapatkan surat pengantar dari kelurahan harus
disertai bukti sudah menjalani konseling dan pemeriksaan kesehatan di fasilitas
kesehatan milik pemprov DKI.
Kalau untuk naskah akademik itu pengantar produk hukum daerah yang sifatnya harus
memerlukan persetujuan DPRD yaitu peraturan daerah kalau peraturan gubernur itu
sudah menjadi kewenangan eksekutif daerah, dalam hal ini gubernur karena peraturan
teknis tidak membutuhkan naskah akademik dan tidak memiliki naskah akademik.
3. Terkait pergub no. 185 tahun 2017 cenderung peraturan yang baru disahkan, lalu
apakah ada masa sosialisasi peraturan gubernur tersebut? Jika ada, berapa lama
masa sosialisasi tersebut? Bagaimana langkah sosialisasi peraturan gubernur
kepada masyarakat luas?
Jawaban : jadi kita kan pakai fiksi hukum, bahwa peraturan yang sudah berlaku semua
warga siap tahu, kebetulan di DKI dari zaman gubernur sebelumnya sedang menghemat
anggaran mengenai masalah sosialisasi karena dahulu anggaran sosialisasi banyak
diselewengkan. Sosialisasi khusus kita buat cara itu tidak ada, karena kita pergub setahun
ada sekitar 300an kalau kita sosialisasikan tentu memakan biaya. Kita sosialisasikan
caranya itu dengan petugas-petugas di tingkat yang berhubungan langsung di masyarakat
seperti di kelurahan atau fasilitas kesehatan. Kita beritahu kalau mau mengurus ini, ini
ada pergubnya ini harus melakukan konseling dan pemeriksaan kesehatan. Sejauh ini
sudah berjalan belum ada keluhan dari masyarakat yang mendasar dan berdampak besar.
Sosialisasi berjalan secara langsung berjalan terus menerus.
4. Sejauh ini, peneliti baru menemukan peraturan mengenai ketahanan keluarga
hanya dalam bentuk peraturan gubernur dan belum menemukan dalam bentuk
peraturan daerah (perda). Mengapa sampai saat ini tidak ada dalam perda?
Adakah rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan perda
tentang ketahanan keluarga?
Jawaban : memang idealnya di daerah itu produk hukum yang paling ideal itu adalah
dibentuk dengan perda karena legitimasinya kuat, satu, sudah dikaji secara mendalam,
dua, dibahas Bersama dengan rakyat dalam hal ini direpresentasikan oleh DPRD, namun
ada beberapa kendala dalam beberapa urusan daerah ini adalah karena kita mengikuti
juga program-program pemerintah pusat kadang suka berubah-berubah kalau tidak diatur
dalam undnag-undang hanya di peraturan Menteri itu sering berubah-ubah entah itu
menterinya ganti atau periode kpresidenan ganti.
Kita sudah berusaha dalam 2 tahun inilah, Cuma karena loadnya banyak. Bidang
ketahanan keluarga belum menjadi prioritas pembahasan di dewan, kadang waktunya
sudah habis. Kalau beberapa kali dengan dinas, mereka mendorong kita punya desain.
Kita harus koordinasikan dengan kementerian dalam negeri, kementerian sosial dan
kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Saat ini belum tapi kita
segerakan karena pak gubernur ingin mendorong adanya program perbaikan ketahanan
keluarga.
5. Terkait kedua pergub tersebut, bagaimana kaitannya dengan UU No. 52 tahun
2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga?
Jawaban : kalau secara teknis kita kurang paham, tapi kalau secara peraturan kami
berusaha memenuhi amanat undang-undang. Kalau fungsi biro hukum disini menjaga
agar produk hukum yang diusulkan oleh perangkat daerah agar sesuai/ harmonis dengan
undang-undang.
6. Menurut bapak/ibu, peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan oleh
pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga?
Jawaban : harus ada peraturan daerah yang mengatur secara umum tapi menyeluruh
semua aspek masuk ke dalam perda. Paling ideal memang membentuk perda, jadi dari
dewan menyetujui dari pemerintah daerah mau tidak mau karena sudah amanat perda itu
harus menjalankan tidak dalam pergub 186 atau 185 dan dengan sanksi-sanksi yang lebih
tinggi yang misalnya mengancam ketahanan keluarga itu bias lebih enak dimasukkan
kedalam perda.
7. Terakhir, adakah pesan/saran dalam penelitian ini?
Jawaban : saran saya coba dilihat lagi tidak hanya di level daerah tapi dilihat peraturan
Menteri teknis terkait.
Daftar Wawancara
Nama : M. Husnul Fauji, MT
Jabatan : Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial
Wawancara dilakukan di Biro Kesos lt. 13 pada 19 Juli 2018 pukul 10.00
1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di provinsi DKI Jakarta?
Jawaban : pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui kelompok Bina Keluarga
Balita (BKB), Bina Kleuarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL). Mengingat
besarnya masalah yang disebabkan oleh perilaku beresiko akibat kesalahan sejak
penanganan tumbuh kembang balita dan remaja, maka dapat digarisbawahi bahwa
kelompok kegiatan BKB dan BKR merupakan dua hal yang memiliki urgensi tinggi.
Oleh karena itu bukan hanya dampak jangka pendek melainkan juga dampak jangka
panjang yang dapat ditimbulkan dari masalah terkait keduanya, maka upaya
penanggulangan yang tepat merupakan investasi yang besar bagi pembangunan manusia
yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan penguatan kemitraan antar seluruh sektor, baik
negeri, swasta, maupun swadaya masyarakat. Dengan kuatnya kemitraan yang dibangun,
diharapkan pembaharuan dan atau pengembangan strategis terutama dalam pelaksanaan
kelompok kegiatan BKB dan BKR dilakukan.
2. Bagaimana peran pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan
keluarga? Bagaimana pula peran masyarakat DKI Jakarta?
Jawaban : pelaksanaan upaya pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga oleh
SKPD terkait di provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan amanah Pergub Nomor 186
tahun 2012, meskipun masih terdapat wilayah administrasi dengan UKPD pelaksana
yang belum sepenuhnya memenuhi kriteria dasar dalam hal pembentukan kelompok
kegiatan, persyaratan kelompok, serta persyaratan administrasi dan sarana. Oleh karena
itu, diperlukan penguatan supervisi oleh seluruh pihak dan sektor terkait melalui satu
sistem kerja yang konsisten. Supervisi tersistem di tingkat kota/kabupaten administrasi
dan tingkat provinsi harus dibangun guna meningkatkan upaya monitoring dan evaluasi
agar penyelenggaraan kegiatan secara kondusif dan dapat diciptakan dan perbaikan
dalam siklus manajemen dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Peran masyarakat DKI Jakarta untuk membangun ketahanan keluarga yaitu ikut
berpartisipasi dalam 3B yaitu BKB, BKR, dan BKL. Namun dikarenakan minimnya
informasi dan pemahaman masih kurangnya peminat kegiataa
3. Apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun
ketahanan keluarga?
Jawaban :
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan
Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2014 Tentang Kebijakan
Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Melalui Pembinaan Keluarga Berencana
3. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 191 tahun 2015 tentang
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif
4. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling
dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin.
Dari berbagai kebijakan yang ada, peneliti terfokus pada 2 peraturan gubernur yaitu
pergub no. 186 tahun 2012 tentang pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dan
pergub no. 185 tahun 2017 tentang konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon
pengantin.
4. Bagaimana respon mengenai kedua pergub tersebut? Apakah sudah menjadi
kebijakan yang tepat dalam membangun ketahanan keluarga?
Jawaban : a. respon keberadaan Pergub DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun
2014 telah mencapai 65,83 % maka dapat disimpulkan bahwa peraturan telah cukup
diketahui oleh pelaksana kegiatan.
b. pada dasarnya kebijakan ketahanan keluarga melalui BKB, BKR, dan BKL dirasa
sangat tepat karena mencakup semua aspek yaitu:
1) Tumbuh kembang anak
2) Wawasan kependudukan dan KB
3) delapan fungsi keluarga
4) penundaan usia perkawinan
5) kesejahteraan keluarga
6) 7 aspek perkembangan balita
7) Kesehatan Reproduksi remaja
8) Olahraga
9) karang taruna
10) generasi perencanaan
11) komunikasi aktif remaja
12) penimbangan lansia
13) posyandu lansia
14) majelis taklim lansia
5. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini?
Jawaban : bias lihat hasil kegiatan, pergub nomor 186 tahun 2012 sesuai point 1, 2 dan 3
6. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana
evaluasi kedua kebijakan tersebut?
Jawaban : bisa lihat hasil kegiatan, namun untuk pergub 185 tahun 2017 biro kessos
belum melakukan monitoring dan evaluasi
7. Peraturan apa yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta
dalam membangun ketahanan keluarga?
Jawaban : kebijakan yang dibuat oleh biro kessos untuk mengakomodasi kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh Dinas terkait, oleh karena itu peraturan yang diperlukan adalah
untuk mengikat dan menjaga kegiatan tersebut agar berlangsung sesuai ketentuan serta
kebutuhan
8. Terakhir, adakah pesan/saran terhadap penelitian ini?
Jawaban : peneliti agar lebih akurat dalam mencari data yang dibutuhkan sehingga data
tersebut sebagai bahan rekomendasi ke Pemprov DKI Jakarta
Daftar Wawancara
Nama : drg. Chandrawati, MARS
Jabatan : Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat
Wawancara dilakukan di Dinas Kesehatan Jakarta lt. 7 pada 23 Juli 2018 pukul 10.00
1. Terkait pergub no. 185 tahun 2017, Bagaimana menurut Dinas Kesehatan DKI
Jakarta latar belakang terbentuknya pergub tersebut?
Jawaban : Pergub caten ini adalah salah satu bagian dari continuum of care dalam
mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs) generasi emas, mungkin saja nanti
subur yang sedang memasuki masa pra nikah. Memang harapan kami dalam bentuk
skrining awal, kemudian ada konseling, kemudian baru terakhir apabila perlu dirujuk
maka dirujuk tapi juga dalam pelayanan ini kami melihat bahwa dalam
pengembangannya bisa bermacam-macam pasti ada perbaikan-perbaikan. Pada saat
membuat peraturan tersebut kita duduk Bersama banyak pihak diluar keilmuan kami.
Perjalanan menjadi pergub hampir 2 tahun karena pengkajiannya luar biasa banyak orang
dan pihak berbeda-beda. Hingga konsep hasil dengan barcode karena hal itu hanya boleh
diketahui oleh yang bersangkutan.
2. Bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan DKI Jakarta terhadap pergub tersebut?
Jawaban: pergub ini sangat membantu, salah satunya menemukan penyakit Tuberkulosis
(TB), stunting. Kalau seandainya kita bisa menemukan penyakit menular. Sangat
bermanfaat bagi pasien. Penemuan dini sangat meningkat sejak dilakukan peraturan
gubernur ini.
3. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini?
Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan.
Jawaban : pada tahap kami melatih di tingkat puskemas kecamatan dulu walaupun di
DKI ada puskesmas kelurahan, karena ketenagaan ada di puskemas kecamatan karena
tingkat kelengkapan laboratorium ada disana kemudian tim program utama koordinator
ada di mereka. Koordinasi pertama ada di kelurahan tapi untuk pembinaan KUA ada di
kantor camat makanya posisi pemeriksaan lebih sinergi kecamatan dengan kecamatan.
Di kelurahan sebagai pihak yang memberikan info pada tahap awal mendaftar sebagai
calon pengantin bawah disarankan untuk pemeriksaan, nanti dari sana kita keluarkan
sertifikat yang berbarcode karena kita menjaga rahasia hasil pemeriksaan, kepada
pasangannya pun harus dengan izin yang bersangkutan. Dari pemeriksaan dini kita bisa
periksa rhesus, talasemia dan lain-lain penyakit genetik yang paling dasar. Namun untuk
talasemia harus dirujuk ke laboratorium kesehatan daerah agar menghindari biaya yang
tinggi di rumah sakit tersier. Saya sedang memperkuat lagi ke labkesda agar melatih di
puskesmas kecamatan untuk penemuan tingkat dini talasemia. Seluruh pemeriksaan
gratis kecuali talasemia masih dalam penghitungan karena begitu tinggi biayanya.
4. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana
evaluasi terkait peraturan tersebut?
Jawaban : sejauh ini ada beberapa kendala dalam berjalannya peraturan ini adalah
laboratorium, kalau lebih kuat lagi memudahkan masyarakat. Selain itu, bagaimana
ditemukan calon penganten diusia senja, di pernikahan ke 2 ke 3 dan seterusnya yg mana
bukan lagi sebagai usia muda.
5. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah
yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga?
Jawaban : kedepannya pimpinan meminta dukungan dengan MUI dan wali gereja. Agar
kursus caten masing-masing bisa berdampingan dengan peraturan kita. Masih banyak
membutuhkan dukungan dan pembelajaran. Juga diperlukan pemeriksaan kejiwaan
dalam pemeriksaan caten.
Hasil Wawancara
Nama : Desi Prijanthy, Apt., M.Sc
Jabatan : Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Bidang Kesejahteraan Masyarakat
Wawancara dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta lt. 7 pada 23 Juli 2018
pukul 12.00
1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Provinsi DKI Jakarta menurut Dinas
kesehatan provinsi DKI Jakarta?
Jawaban : jadi kondisi kota metropolitan itu berbeda dengan kota yang tidak
metropolitan, metropolitan ini semua ada, semua bisa dilakukan semua bisa terjadi. Kita
dari sisi kesehatan memiliki data angka kematian ibu kita tinggi, data kematian anak kita
tinggi, data kekerasan pada anak dan perempuan tinggi, angka penyakit tinggi. Ini bukan
menurun tapi setiap tahun menaik padahal jaminan kesehatan kita jauh lebih baik
daripada sebelumnya tapi sampai seberapa lama pemerintah mampu membentengi
pembiayaan kesehatan yang terus naik karena ada slogan “lebih baik mencegah daripada
mengobati”, mengobati itu selain mahal akan ada banyak yang dirugikan. Maka dari itu
kita ambil langkah preventif dan promotif.
2. Adakah kebijakan Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta dalam membangun
ketahanan keluarga? Bagaimana peran Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam
kebijakan tersebut?
Jawaban : Pergub No. 185 tahun 2017 adalah satu peraturan terbaru yang digagas Dinas
Kesehatan DKI Jakarta. Prosesnya kita mulai dari pemeriksaan kesehatan sebelum
menikah meskipun pergub ini berjalannya umurnya 3 gubernur, setahun prosesnya.
Karena waktu itu berproses ini ternyata kendalanya banyak sekali baik dari internal,
kemudian kita mulai mengundang eksternal termasuk dari kalangan agama kemudian
dari pihak SKPD lain termasuk pencatatan kependudukan, kita kaji setiap habis rapat, ini
solusinya seperti apa sih, kalau mentok kita diskusi lagi ke pimpinan ada gak jalan
tengahnya. Kita cari jalan tengah kita undang lagi mereka.
Termasuk waktu mau di tandatangani pak Anies itu dari Kepala Deputi Gubernurnya, ini
harusnya pergub bukannya perda supaya semua orang mau mengikuti ini. Kalau pergub
orang bisa gak mau. Tapi kalau mau buat perda betapa susahnya, kalau mengacu kesana
tidak selesai-selesai setelah itu kita mengacu kesana.
Sebenarnya pergub ini banyak sekali yang menentang termasuk dari kalangan agama, tak
mungkin membatalkan pernikahan seperti kanwil agama karena tugas mrk
mengawinkan. Ternyata adanya di PTSP dan kami libatkan disitu sebelum mereka
meminta surat pengantar.
Sebelum orang minta formulis N1 N2 N4 tolong suruh mereka kepuskesmas dlu untuk
memeriksa kesehatan. Banyak orang gamau, orang yang merasa ngabisin waktu aja
padahal cuma satu hari dibutuhkan untuk skrining ini mereka diberikan konseling dan
mereka diambil darah hasil pemeriksaannya hari itu atau 2-3 hari mereka sudah dapat
hasilnya, kalau mereka ternyata harus mendapat tindak lanjut. Jadi sebenernya dengan
skrining ini banyak sekali baiknya bagi kesehatan, meskipun nanti menderita penyakit
menular disampaikan tolong berobat dulu.
3. Bagaimana respon masyarakat terhadap peraturan baru ini? Apakah masyarakat
antusias dalam mengikuti tahapan demi tahapan dalam peraturan ini?
Jawaban : jadi secara garis besar ini datayang sudah masuk sudah sekitar 3000 yang
diperiksa calon pengantin, yang menolak tidak sampai 1% sangat sedikit sekali, kadang
mereka merasa mereka harus keluar dari kantor itu yg mereka jadi kendala. Kami bilang
gak harus di puskesmas, mereka boleh periksa di swasta tapi hasilnya itu disampaikan ke
puskesmas, nanti puskesmas akan mengeluarkan sertifikat, Namanya sertifikat layak
kawin, sertifikat itu yg dibawa ke PTSP
4. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini?
Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan.
Jawaban : begitu pergub ini disahkan, sebelumnya ini bukan barang baru ini pemeriksaan
kesehatan caten sudah ada sejak 2009 sudah mulai ada, cuma yang berani menggratiskan
itu cuma kita. Implementasinya kalau dlu karena gak ada peraturannya, orang gak merasa
perlu pemeriksaan kesehatan, jadi kita hanya bilang ke KUA kalau ada yang mau
menikah kami diundang ya pak, itu juga cuma vaksin kami tidak dapat tindakan, orang
yang bermasalah tidak ada penyelesaian. Tapi dengan kami melakukan skrining banyak
yang bisa kami kerjakan disitu. Baru 3 bulan kami melakukan skrining itu kami sudah
dapat data lumayan banyak, ada yang sudah tertangkap HIV, Sipilis, kemudian penyakit-
penyakit yang kami takutkan sudah mulai tertangkap. Jadi sebenarnya pergub ini
membantu sekali kami memecahkan permasalahan.
5. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana
evaluasi terkait peraturan tersebut? Seperti kendala-kendala yang ada.
Jawaban : kendalanya mulai dari waktu, mereka harus spare waktu, kantor KUA 2 hari,
periksa kesehatan 1 hari, sementara izin dari kantor susah bahkan dipotong gaji.
Makanya ini harus berupa perda, karena kewajiban baik swasta maupun negeri harus
mengijinkan untuk karyawannya yang akan menikah diberikan waktu 1-2 hari untuk
menyelesaikan urusa-urusanbegini, ada orang yang merasa gak ada gunanya saya tidak
mau diperiksa kesehatannya. Calon pengantin itu juga diperiksa kesehatan mentalnya.
Jadi bukan hanya fisik kami juga memasukkan skrining kejiwaan.
6. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah
yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga?
Jawaban : kami sangat ingin jadi perda, jadi kami tidak capek-capek memaksa orang, krn
dengan perda itu berlaku umum, sekarang semua penduduk DKI yang kami bayarin tapi
kalo perda mungkin nanti yang menikah di DKI bukan cuma orang yang mau menikah.
Sebenernya sekarang banyak yang bukan penduduk DKI
Kami pasang di billboard pokoknya segala upaya kami sosialisasikan selain kami panggil
pak lurah, PTSPnya, kami juga bikin jingle kami pasang di kantor lurah camat RS dan
billboard pemerintah kami tidak bisa masuk tv radio kami tdk punya anggaran jd hanya
yg gratis.
7. Lalu sejauh ini sudah bisa dipastikan di setiap puskesmas kecamatan sudah bisa
melayani?
Jawaban: Sudah, kami punya laporannya setiap 6 bulan, sudah dikisaran angka 3 ribu
pasang calon. Semua sudah menjalankannya ya cuma yang jadi kendala mungkin ada
puskesmas yang besar ada puskesmas yang kecil, kami waktu itu menyarankan agar
dilakukan dalam satu ruangan terpisah tidak gabung dengan pasien. Tapi ada puskesmas
yang tempatnya tidak memungkinkan jadi mereka tetap harus keliling ruang
pemeriksaan, itulah yang masyarakat keluhkan kenapa mesti kaya gitu. Masalah ruangan,
tenaga medis, dll.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak M. Husnul Fauji, MT, Biro Kesos Setda DKI Jakarta
Wawancara dengan Bapak Imam Heykal, MH, Biro Hukum Setda DKI Jakarta
Wawancara dengan Ibu drg. Chandrawati, MARS, Bidang Kesehatan Masyarakat
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
Wawancara dengan Ibu Desi Prijanthy, Apt., M.Sc, Bagian Kesehatan Keluarga
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
Contoh Sertifikat hasil dari pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi
calon pengantin