keaslian dan keterpaduan dalam pengelolaan warisan budaya bawah air
DESCRIPTION
Permasalahan keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, terutama dalam kerangka teori arkeologi merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan kajian cultural resource management. Untuk itu pemahaman tentang konsep dasar arkeologi untuk menunjang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya menjadi hal yang tak terelakan lagi. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya. Pelestarian warisan budaya haruslah dilakukan dengan tetap mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat menjadi solusi bersama yang merupakan win-win solution. Termasuk mencermati dengan arif makna yang tersirat dibalik benda cagar budaya yang menyimpan ilmu pengetahuan dan teknologi nenek moyang kita, sehingga kita tidak boleh gegabah dalam melakukan pengelolaan warisan budaya, terlebih pongah dengan sedikit ilmu yang kita miliki.TRANSCRIPT
Keaslian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air(Studi Kasus Situs Arkeologi Bawah Air Moko, Bau-Bau)
Oleh. Yadi Mulyadi1
ABSTRAK
Permasalahan keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, terutama dalam kerangka teori arkeologi merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan kajian cultural resource management. Untuk itu pemahaman tentang konsep dasar arkeologi untuk menunjang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya menjadi hal yang tak terelakan lagi. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya. Pelestarian warisan budaya haruslah dilakukan dengan tetap mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat menjadi solusi bersama yang merupakan win-win solution. Termasuk mencermati dengan arif makna yang tersirat dibalik benda cagar budaya yang menyimpan ilmu pengetahuan dan teknologi nenek moyang kita, sehingga kita tidak boleh gegabah dalam melakukan pengelolaan warisan budaya, terlebih pongah dengan sedikit ilmu yang kita miliki.
Makna inilah yang secara tidak langsung menginspirasi penulis untuk membuat tulisan singkat tentang pentingnya konsep keaslian dan keterpaduan dalam konteks pelestarian warisan budaya, yang difokuskan pada warisan budaya bawah air, dengan studi kasus warisan budaya bawah air di situs gua Moko kota Baubau yang merupakan situs arkeologi bawah air berupa gua yang terendam air, dimana pada kedalaman 28 meter ditemukan tinggalan arkeologi berupa keramik kuno.
A. _______dan tidak hanya kapal karam di laut yang menjadi warisan budaya bawah air
1. Prolog
Ada satu pertanyaan yang sangat menarik berkaitan dengan pelestarian warisan
budaya yang juga merupakan sumberdaya arkeologi, yaitu “untuk apa sebuah
sumberdaya arkeologi harus dilestarikan?” Ada banyak pendapat dari para ahli
berkaitan dengan pertanyaan tersebut, salah satunya Pearson dan Sullivan (1995)
menyatakan bahwa sumberdaya arkeologi harus dilestarikan karena merupakan bukti
1 Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, sementara menempuh pendidikan S2 Arkeologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
yang menarik tentang nilai dan kreativitas dari manusia pendukungnya dan juga
merupakan bukti yang terdokumentasi tentang pemukiman suatu wilayah atau
bagaimana hubungan tempat tersebut dengan dunia luar. Lebih lanjut dia menjelaskan
bahwa sebuah sumberdaya arkeologi mempunyai sifat yang langka dan tidak dapat
diperbaharui (Pearson and Sullivan, 1995: 11 - 12).
Ph. Subroto (2003) menyatakan bahwa sebuah benda cagar budaya merupakan
salah satu aset budaya bangsa yang perlu dilindungi karena nilai–nilai penting yang
terkandung didalamnya (Subroto, 2003 : 1). Hari Untoro Drajat menyatakan bahwa
benda cagar budaya mempunyai nilai penting walaupun setiap benda tersebut
mempunyai nilai yang berbeda (Drajat, 1993: 1). Scovill dkk (1977) berpendapat bahwa
rekaman dari sebuah sumberdaya arkeolologis merupakan bahan studi untuk melihat
dan menggambarkan serta untuk menjelaskan dan untuk mengerti prilaku dan interaksi
manusia masa lampau sebagai bagian dari perubahan budaya dan sistem lingkungan
(Scovill dkk, 1977 : 45).
Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi tersebut yang
sarat dengan makna, maka tentu saja pelestarian sumberdaya arkeologi haruslah
dilakukan dengan metode dan cara kerja yang sistematis dan ilmiah serta berpegang
dengan ketat pada prinsip-prinsip yang berlaku. Tapi justru hal inilah yang luput dari
perhatian para arkeolog sekarang. Kegiatan pelestarian, termasuk pemanfaatan warisan
budaya selalu ditinjau dari sudut pandang kekinian, sudut pandang sistem budaya
sekarang dan melupakan konteks sistem arkeologi, konteks sistem budaya masa lalu.
Dalam konteks pengelolaan warisan budaya bawah air, fenomena seperti ini pun
terjadi. Perkembangan kajian arkeologi bawah air di Indonesia dipicu peristiwa The
Nanking Cargo di era -80an yang menyadarkan pemerintah akan besarnya potensi yang
terkandung dalam tinggalan arkeologi bawah air khususnya kapal karam. Dalam salah
satu tulisannya, Tanudirjo menyatakan bahwa kesadaran yang muncul pada saat itu
lebih pada kesadaran akan nilai penting benda cagar budaya bawah air dari segi nilai
jualnya (Tanudirjo, 2006).
Pendapat yang serupa diungkapkan oleh Rochmani dalam tulisannya di buletin
Cagar Budaya, bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air begitu kental,
sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun
daripada benda cagar budaya (Rochmani, 2003). Padahal jika kita merujuk pada
pemahaman yang disepakati oleh para ahli, jelas tinggalan arkeologi bawah air adalah
benda cagar budaya. Bahkan O’Keefe dan Prott (1984), seperti yang dikutip Tanudirjo
(2006) memasukan tinggalan arkeologi bawah air sebagai warisan budaya. Sedangkan
dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan
bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar
budaya, dan untuk itu maka UNESCO melarang eksploitasi komersial terhadap benda
cagar budaya bawah air (Tanudirjo, 2006).
Lebih jauh, jika kita cermati perkembangan arkeologi bawah air di Indonesia
sampai saat ini, terlihat jelas adanya dominasi kapal karam minded. Baik penelitian
maupun yang berkaitan dengan pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air selalu
difokuskan pada kapal karam yang tenggelam di laut yang ujung-ujungnya adalah nilai
ekonomis dari muatan kapal karam tersebut. Tinggalan arkeologi bawah air, yang
ditemukan di perairan nusantara cenderung dipandang sebagai harta karun, sehingga
dikatagorikan barang muatan kapal tenggelam2 yang dapat diekploitasi untuk
kepentingan ekonomi semata.
Padahal tidak dapat kita pungkiri dalam kajian keilmuan, tinggalan arkeologi
bawah air itu bukan hanya kapal karam saja tetapi semua tinggalan budaya yang
terdapat di bawah air, baik itu di sungai, sumur, danau maupun dalam sungai bawah
tanah di sebuah gua. Ketika objek kajian arkeologi bawah air berupa kapal karam, tentu saja
kita akan berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang aktifitas kemaritiman yang terjadi,
tapi ketika yang kita temukan adalah sisa reruntuhan istana atau bekas pemukiman maka yang
akan kita dapatkan mungkin saja tidak ada kaitannya dengan aktifitas maritim secara langsung.
Jadi pada hakekatnya inti dari ruang lingkup kajian arkeologi bawah air bukan hanya aktifitas
2 Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) merupakan kriteria baru yang dibuat pemerintah, sebagai bukti keengganan pemerintah untuk mengakui tinggalan arkeologi bawah air sebagai benda cagar budaya yang perlu dilestarikan. Pada awalnya BMKT dikelola oleh Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT yang ditetapkan dengan Kepres No. 43 tahun 1989 Kini dengan dikeluarkannya Kepres No. 107 tahun 2000 pengelolaan BMKT tersebut dilimpahkan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (Tanudirjo, 2006:1).
kemaritiman semata, tetapi keseluruhan aktifitas manusia yang terdepositkan dalam benda sisa
aktifitas manusia yang ‘kebetulan’ berada di bawah air. Karena keberadaanya yang tidak di
daratan, kajian arkeologi bawah air pun meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dunia
penyelaman untuk memudahkan kita dalam melaksanakan penelitian arkeologi bawah air.
Kapal karam minded ini pun terlihat jelas pada buku Pedoman Pengelolaan Peninggalan
Bawah Air yang disusun oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, dimana yang menjadi fokus
kajian adalah objek arkeologi bawah air berupa kapal karam dan objek lainnya yang berada di
dasar laut. Demikian pula panduan teknis untuk penelitian arkeologi bawah airnya, misalnya
untuk metode survey bawah air baru sebatas metode survey yang hanya dapat diterapkan di
laut saja, sedangkan metode survey bawah air untuk tinggalan lain yang terdapat di sebuah
sumur atau sungai di dalam sebuah gua tidak ada penjelasannya. Hal ini tentu saja cukup
menyulitkan saat tinggalan arkeologi bawah air yang ditemukan bukan di dasar laut.
Hal ini pula yang penulis alami saat melakukan penelitian arkeologi bawah air di situs
Moko kota Bau-Bau yang merupakan sebuah gua, dimana di dalam gua tersebut terdapat sungai
bawah tanah dan pada kedalaman vertikal 28 meter di dasar sungai tersebut terdapat tinggalan
arkeologi berupa keramik-keramik kuno. Praktis, metode survey yang ada pada buku pedoman
tersebut tidak dapat diterapkan. Pada akhirnya, pemahaman kita tentang tinggalan arkeologi
bawah air harus lebih luas, tidak hanya fokus pada kapal karam semata, dan tidak hanya di laut
saja karena fakta di lapangan jelas memperlihatkan pada kita akan keragaman bentuk tinggalan
maupun lokasi dari tinggalan arkeologi bawah air yang semuanya merupakan warisan budaya
yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kerangka pelestarian.
2. Situs Bawah Air Moko, suatu warisan budaya bawah air
Keberadaan situs bawah air Moko mulai muncul di ranah publik saat pemerintah
kota Bau-Bau melakukan penyelaman di situs Moko pada pertengahan April 2008.
Penyelaman tersebut dilakukan menindaklanjuti informasi dari penyelam Australia dan
Inggris yang secara kebetulan menemukan tumpukan keramik kuno saat mereka
menyelami sungai bawah tanah yang terdapat di gua Moko (www.baubaudive.com,
www.baubau.go.id)
Dalam penyelaman tersebut,
pemerintah kota Bau-Bau
mengangkat temuan keramik kuno
tersebut sebanyak 35 buah, dimana 6
buah diantaranya merupakan keramik
utuh sedangkan yang lainnya berupa
pecahan. Hanya saja yang
disayangkan dalam penyelaman ini
adalah tidak dilibatkannya instansi
arkeologi terkait maupun arkeolog,
sehingga mengakibatkan pengangkatan keramik kuno tersebut tidak dilakukan secara
arkeologis. Berdasarkan informasi dari penyelam yang ikut serta dalam pengangkatan
temuan keramik kuno di situs Moko, bahwa masih banyak keramik kuno di situs Moko,
sehingga tindakan pengamanan dilakukan oleh pihak pemerintah kota Bau-Bau dalam
bentuk penempatan aparat keamanan dan pemasangan garis pembatas guna
menghindari pencurian keramik kuno di situs Moko.
Ternyata tindakan pengamanan yang dilakukan tidak efektif dalam menghindari
pencurian keramik kuno di situs Moko. Hal ini terbukti saat penulis melakukan
penyelaman di situs Moko dalam rangka survey arkeologi bawah air yang dipandu oleh
Ramadhan penyelam dari Bau-Bau Dive Club yang ikut dalam penyelaman oleh
pemerintah kota Bau-Bau, penulis tidak menemukan tumpukan keramik kuno di lokasi
tersebut yang tersisa hanya tinggal 5 keping pecahan keramik, serta benda yang diduga
merupakan fragmen tengkorak dan tulang manusia serta tumpukan batuan yang tidak
beraturan. Jika data ini dikaitkan dengan informasi awal bahwa masih banyak keramik
kuno yang tersisa dari penyelaman sebelumnya, berarti telah ada tindakan pencurian
keramik kuno yang merupakan warisan budaya bawah air situs Moko.
Foto 1. Temuan Keramik Kuno Situs Moko
Hal tersebut tentu saja cukup menyulitkan kita dalam melakukan penelitian
arkeologi yang lebih mendalam, terutama dalam kajian keilmuan atau pure archaeology
karena kondisi situs yang telah “rusak”. Selain itu, kondisi situs Moko yang merupakan
situs bawah air berupa gua yang terendam air memerlukan metodologi tersendiri dan
tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam pelaksanaan penyelaman arkeologinya.
Adapun dalam kerangka cultural resource management situs Moko, tentu saja
membutuhkan model pengelolaan khusus yang berbeda dengan pengelolaan warisan
budaya bawah air selama ini. Terlepas dari tinggalan arkeologinya yang sudah tidak in
situ, tidak dapat dipungkiri keramik-keramik kuno dari situs Moko tetap merupakan
warisan budaya yang bernilai penting. Situs Moko, sebagai sebuah gua dengan sungai
bawah tanah di dalamnya tempat ditemukannya keramik kuno tentu saja berpotensi
untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan warisan budaya yang berwawasan
Foto 2. Temuan hasil survey di kedalaman 18 – 20 meter searah jarum jam; pecahan keramik, fragmen tulang, tumpukan batu dan bekas bungkus sabun cuci yang menjadi bukti ktidakinsitu-an dan pecahan keramik,
pelestarian. Lokasi situs Moko yang termasuk dalam kawasan wisata pantai Nirwana,
menjadi nilai tambah tersendiri. Selain tinggalan arkeologisnya, nilai penting lainnya
yang berkaitan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan baik biologi, geologi dan lainnya
turut menjadi nilai tambah yang jika dikemas dengan baik dapat menjadi daya tarik
tersendiri. Pemerintah kota Bau-Bau sendiri memang memiliki rencana untuk
menjadikan situs Moko sebagai objek wisata yang terintegrasi dengan pantai Nirwana.
Dalam model pengelolaan situs Moko inilah, maka keaslian dan keterpaduan
akan menjadi permasalahan tersendiri. Bagaimana konsep keaslian dan keterpaduan
diterapkan dalam pengelolaan situs Moko sebagai warisan budaya bawah air, dimana
kondisi situsnya sendiri telah mengalami kerusakan tetapi tetap memiliki potensi yang
besar untuk dikembangkan.
3. Cultural Resource Management
Scovill menyatakan bahwa secara umum sumberdaya arkeologi didominasi oleh
tinggalan yang berupa fisik ataupun reruntuhan “budaya” yang terbentang pada
landscape masyarakat masa lampau (Scovill dkk, 1977; 45). Begitupun nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sumberdaya arkeologis sangat variatif. Sebuah benda yang
sangat bernilai pada masyarakat atau tempat tertentu, bisa jadi tidak punya nilai apa-
apa pada masyarakat lain di tempat lain (Pearson & Sullivan, 1995; 127).
Seiring perkembangan jaman, keterancaman terhadap sumberdaya arkeologi
semakin besar. Beberapa tinggalan arkeologis mulai hilang atau bahkan hancur oleh
pembangunan. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah kajian baru dalam arkeologi
yakni Cultural resource Management (CRM). Jika tolak ukurnya adalah perangkat
hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya arkeologi, maka penerapan CRM
pertama kali di Swedia pada tahun 1666 kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa
(Tanudirjo, 1998; Cleere, 1990). Amerika serikat secara formal melaksanakan CRM pada
tahun 1906 dengan adanya antiquity act yang merupakan respon atas keterancaman
sumberdaya arkeologi (Schiffer & Gumerman, 1977).
Sebelum membahas tentang Cultural Resource management, maka ada
beberapa elemen yang perlu dipahami. Pertama bahwa membicarakan tentang cultural
resource akan terkait dengan natural resource. Natural resource adalah elemen dari
lingkungan alam dimana masyarakat menggunakan, memodifikasi, dikelola baik untuk
dilestarikan maupun untuk dieksploitsi. Cultural resource sendiri adalah hasil interaksi
dan atau intervensi manusia terhadap lingkungan alam (natural resouce). Term cultural
resource mencakup semua manifestasi dari manusia baik yang berupa bangunan,
landscape, artefak, literatur, seni, maupun lembaga budaya. Kedua adalah pengertian
tentang managemen kaitannya dengan arkeologi. Managemen dalam konteks ini
diartikan sebagai cara atau respon terhadap pemilihan lahan dimana yang akan
digunakan, dieksploitasi atau yang akan dikonservasi (Pearson & Sullivan, 1995).
Pendapat laian yang dikemukakan oled Daud Aris Tanudirjo (1998) yakni Cultural
Resource Mangement itu adalah bagaimana mengelola sebuah situs atau kawasan
sumberdaya arkeologi untuk mengakomodir beberapa kepentingan dalam artian bahwa
kajian Cultural Resource Management harus dilihat sebagai managemen konflik
(Tanudirjo, 1998).
Secara garis besar, cultural resource management menekankan pada lima aspek.
Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui, terbatas,
tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran bahwa tidak semua
sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah
baik karena proses alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Sekali
sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak mungkin akan dimunculkan kembali.
Begitupun dengan konteksnya, jika sebuah benda arkeologis kehilangan konteks maka
tidak dapat memberikan informasi apa-apa. Ketiga adanya berbagai kepentingan di luar
dari kepentingan arkeologi itu sendiri. Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat
luas (publik), antara lain : ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang
(Tanudirjo, 2005).
Aspek keempat yang menjadi penekanan cultural resource management adalah
pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan terhadap
sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih pada
bagaimana pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Kelima adalah
aspek hukum dan politis. Bahwa antara akademisi dan pemerintah harus ada
keterkaitan dari aspek hukum dan politis. Bagaimana pola keterkaitan tersebut,
sebagaimana yang digambarkan dalam skema berikut ini :
(Sumber: Dr. Daud A. Tanudirjo. Materi kuliah Teori Arkeologi pada program studi Arkeologi, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada).
Cultural resource management, dalam penerapannya mencakup lima langkah
utama yakni : 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya
budaya maupun kawasannya, 2) Assessment value (penilaian nilai penting) terhadap
kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan dari nilai penting,
peluang dan desakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip conservasi, 4) implementasi
dari perencanaan dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and Sullivan, 1995). Langkah
kerja dari Cultural Resource Management sebagaimana yang digambarkan dalam skema
berikut ini :
pemerintah
Akademia
Masyarakat
SDA(sifatnya
Penelitian(keilmuan)
ArkeologiTeoritik
Kepentingan
Masyarakat
ProgramMasyarakat
UUCRM
(Sumber : Pearson and Sullivan.Looking After Heritage Places : The Basics of Hertage Planning for Managers, Landowners and Administrators. Melbourne University Press. 1995).
Tujuan dari cultural resource management secara garis besar dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Menjelaskan atau menguraikan semua nilai (value) yang ada pada kawasan sumber
daya arkeologi.
Mendesain strategi perlindungan dalam jangka panjang minimal mencakup aspek
hukum, perlindungan fisik dan konservasi.
Implementasi cultural resource management dapat mencegah dan mengurangi
terjadinya kerusakan yang lebih parah, baik secara fisik maupun nilai yang dikandung
Identification of the heritage place or object
Assessment of management constrains and opportunities
Assessment of cultural significance
Design of management policy for the place, based on cultural significance and
management constraints
Design of management strategies for the heritage place, which are appropriate to and
achieve the conservation policy
Setting up a management monitoring system, which allows reassessment of any elements of the process, and consequent
revision of the plan
oleh sumberdaya arkeologi tersebut. Disamping itu, pengelolaan terhadap kawasan
sumberdaya arkeologi juga dapat mengoptimalkan peluang penanganan efek-efek
perusakan baik yang menyangkut obyek arkeologi itu sendiri maupun komponen-
komponen yang lain.
Untuk perluasan yang sesuai, presentasi nilai kawasan untuk membuka akses
masyarakat (public) untuk memaknai sumberdaya arkeologi.
Adapun penerapan cultural resource management dalam pengelolaan warisan
budaya bawah air, tetap mengacu pada konsep yang dipaparkan di atas. Adapun secara
khusus Jeremy Green memaparkan bahwa dalam pengelolaan warisan budaya bawah
air menyatakan bahwa untuk mengelola sumberdaya arkeologi bawah air ada beberapa
langkah yang harus dilakukan yaitu :
1. Identification of the issues, dalam hal ini kita harus mengidentifikasi isu-
isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggalan arkeologi bawah air,
termasuk dampak yang akan muncul saat penerapan dari CRM.
2. Identification of the resource, dalam hal ini sumberdaya budaya dari
tinggalan arkeologi bawah air, termasuk pelestarian dan pemanfaatan situsnya.
3. Identification of the interest groups, dalam hal ini identifikasi stakeholder
yang memiliki kepentingan dengan sumberdaya arkeologi bawah air baik itu
pemerintah, masyarakat, maupun arkeolog dan ilmuan (lihat Green, 2004 : 374-
375).
Kerangka konsep tersebut, selama ini baru diterapkan pada situs bawah air berupa kapal
karam, misalnya situs kapal karam Liberty di Tulamben Bali. Sebagai panduan mendasar,
konsep ini tetap bisa diterapkan di situs bawah air lainnya termasuk di situs Moko. Hal
yang menarik adalah, konsep keaslian dan keterpaduan dalam penerapan CRM di situs
Moko. Konsep keaslian dan keterpaduan yang bagaimana yang tepat untuk pengelolaan
situs Moko yang berdasarkan hasil survey telah mengalami kerusakan.
B. Keaslian yang “dipalsukan” atau kepalsuan yang “asli”
Kondisi situs Moko yang telah mengalami kerusakan berupa, hilangnya data
arkeologi sehingga situs pun kehilangan konteks menjadi permasalahan tersendiri dalam
menentukan keaslian dan keterpaduan situs Moko. Apakah keaslian dalam konteks ini
sebatas pada faktor keinsituan artefak dan situs, atau konsep keaslian dan keterpaduan
yang dimodifikasi dan diberikan pemaknaan baru yang sesuai dengan perkembangan
jaman. Apabila kajian yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dan paradigma
arkeologi, besar kemungkinan kondisi situs Moko mengakibatkan permasalahan
metodologis yang rumit karena hilangnya konteks. Seperti kita ketahui bersama kontek
dalam penelitian arkeologi sangat penting, dalam kerangka ini konteks dapat dipandang
sebagai keaslian. Ketika keasliannya terganggu maka hasil penelitian pun akan menjadi
bias bahkan bisa mengarah pada kebohongan publik. Walaupun dalam ranah arkeologi
interpretatif kesimpulan yang sifatnya psedo archaeology dianggap syah-syah saja.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya arekologi, seringkali kita
susah untuk membedakan antara arkeologi (tinggalan arkeologi) yang asli, yang dibuat
ulang dan yang fantastis. Hal tersebut bermanfaat jika bertanya pada seseorang, apakah
dia dapat mengenalinya dengan hanya melihat dari dekat. Namun, bahkan mampu
untuk mengidentifikasi satu artefak yang bukan asli (palsu), tidak berarti anda
mengetahui proses yang begitu rumit yang dengan itu menjadi nyata. Hanya melabel
sesuatu yang palsu serupa dengan satu artefak yang asli yang anda tidak ketahui
konteksnya baik dari manufaktur, penggunaan, barang buangan atau penemuan.
Kondisi seperti itulah, yang diterapkan di situs pemukiman tebing Manitou
Springs di Colorado. Situs ini merupakan objek wisata terkenal yang mencerminkan
budaya Indian Anasazi di masa lalu. Hal yang membedakan dengan situs-situs Indian
lainnya adalah, karena situs ini menampilkan kepalsuan. Manitou Springs terletak jauh
di luar lingkaran yang termasuk pemukiman Anasazi, yang terpusat di sekitar lembah
sungai San Juan di empat sudut daerah Colorado3. Pemukiman tebing itu sendiri
dibangun kira-kira ratusan tahun lalu antara 1896-1906 AD. pemukiman tebing Manitou
ini dibangun kira-kira ratusan tahun lalu antara 1896-1906 AD. Sebagian besar arkeolog
mengidentifikasikan proses pembangunan pemukiman tebing ini merupakan transisi 3 Untuk lebih jelas mengenai situs ini lihat uraian Linda Cordel dalam Fake of Anasazi in Manitou Springs
dari masa Anasazi ke orang Puebloan modern. Para tukang bangunan batu digunakan
untuk membangun pemukiman seperti aslinya. Hampir semua bagian situs dibuat dari
batuan yang diambil dari reruntuhan puing Anasazi di sebelah barat daya bagian sudut
Colorado. Sehingga batuannya boleh dikatakan otentik atau masih asli. Masih,
sebelumnya memasuki akhir abad, pemukiman tebing belum pernah ada di tebing
hantu. Sehingga hal itu mungkin tidak pernah tepat menamakan keistimewaan geografis
itu dipersamakan sebagai situs. Bukan hanya pemukiman tebing saja yang merupakan
atraksi budaya palsu di daerah ini, tetapi juga the Christmas-Theme Santa’s Workshop
yang sebagian orang dewasa yang berkunjung ke tempat ini percaya pada Santa Claus.
Pemukiman tebing Manitou memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah penelitian
profesional, presentasi akademik dan pemahaman publik tentang masa lalu saling
mempengaruhi (Lovata, 2007).
Berkaitan dengan keinginan pemerintah kota Bau-Bau untuk menjadikan situs
Moko sebagai objek wisata harus melalui perencanaan yang matang. Sebagai situs
bawah air, maka dalam rencana pengelolaannya dapat kita lakukan melalui tahapan-
tahapan sebagaimana yang diuraikan oleh Jeremy Green. Khusus untuk situs Moko,
tahapan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Identifikasi isu-isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggalan
arkeologi bawah air, termasuk dampak yang akan muncul saat penerapan
dari CRM. Dalam hal ini, isu mengenai status kepemilikan lahan perlu
diperjelas, terlebih lokasi situs Moko berada pada lahan milik pribadi,
sehingga apabila pemerintah berniat untuk mengelola situs Moko tentu saja
pemilik lahan harus mendapatkan ganti rugi yang memadai.
2. Identifikasi sumberdaya budaya dari tinggalan arkeologi bawah air, termasuk
pelestarian dan pemanfaatan situsnya. Dalam hal ini keterlibatan para ahli
sangat diperlukan untuk penentuan nilai penting yang dapat menambah daya
tarik tersendiri dari situs Moko.
3. Identifikasi stakeholder yang memiliki kepentingan dengan sumberdaya
arkeologi bawah air baik itu pemerintah, masyarakat, maupun arkeolog dan
ilmuan. Hal ini dilakukan untuk membuat bentuk pengelolaan yang sifatnya
berkelanjutan sehingga situs Moko sebagai warisan budaya bawah air tetap
dapat lestari.
Dalam rencana pengembangan model pengelolaan situs Moko, setelah melalui
tahapan-tahapan tersebut perlu disepakati model pengelolaan yang berwawasan
pelestarian. Adapun kondisi tinggalan arkeologisnya yang tersisa, tetap dapat dikelola
sebagai bagian tak terpisahkan dari situs Moko. Keramik-keramik kuno yang telah
diangkat oleh pihak pemerintah kota Bau-Bau, setelah dianalisi kandungan nilai
pentingnya dapat dijadikan benda yang bercerita tentang situs Moko dan sejarah
kerajaan Buton. Pemanfaatannya dapat saja dijadikan sebagai koleksi museum maupun
ditampilkan di situs Moko itu sendiri, apakah dikembalikan di bawah air dimana keramik
tersebut ditemukan atau dijadikan koleksi di bangunan permanen yang dibangun di
sekitar situs Moko. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan tetap memberikan
informasi yang benar mengenai status tinggalan arkeologinya.
Hal ini berkaitan kembali dengan keaslian dan keterpaduan dalam konsep
pelestarian warisan budaya. Dalam hal ini keramik-keramik kuno tentu saja tetap
merupakan artefak asli dari situs Moko, dan keaslian bentuknya tetap kita pertahankan
baik keramik yang utuh maupun yang berupa pecahan tetap dipertahankan bentuk
aslinya. Adapun apabila ada pecahan keramik yang untuk tujuan penyampain informasi
kemudian direkontruksi menjadi bentu yang utuh, tetap dapat dilakukan dengan catatan
bahwa itu adalah hasil rekonstruksi. Termasuk dalam hal ini adalah rekonstruksi setting
bentang alam situs Moko, bisa dilakukan untuk memberikan daya tarik yang fantantis
sehingga menarik wisatawan datang. Sehingga bentuk pengelolaan situs Moko
menampilkan hasil rekonstruksi sejarah masa lalu yang berpijak pada argumentasi dan
penelitian yang dilakukan secara ilmiah sehingga nilai keaslian dan keterpaduan tetap
dapat terlihat dengan jelas.
______Bacaan penunjang
Drajat, Hari Untoro dan Ismijono. 1993. Tinjauan Penanganan Situs Ratu Boko dalam Pertemuan Teknis Dalam Rangka Evaluasi Program Pemugaran Situs Ratu Boko, Yogyakarta
Drajat, Hari Untoro. Tanpa tahun. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional dan Global.
Green, Jeremy. 2004. Maritime Archaeology a Technical Handbook 2nd edition. San Diego : Elsevier Academic Press.
Lovata, Troy. 2007. In Authentic Archaeology “Public uses and abuse of the past” Left Coast Press.
Pearson, Michael and Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places : The Basic of Heritage Planning, for managers, Landowners and Administrators. Melbourne University Press. Melbourne.
Rochmani, Koos Siti. 2003. “Perlindungan Benda Cagar Budaya Bawah Air di Indonesia”. Dalam Buletin Cagar Budaya, No. 3 Januari 2003. hal 14-15
Scovill, Douglas H, Garland J. Gordon and Keith M. Anderson. 1977. “ Guidelines for the Preparation of Statements of Enviromental Impact on Archaeological Resources “ dalam Schiffer, Michael B and George J. Gumerman. 1977 (ed). Conservation Archaeology : A Guide for Cultural Resource Management Studies. Academic Press. New York.
Subroto, Ph. 2003. “Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Makalah pada Rapat Penyusunan Kebijakan pemanfaatan BCB di Cisarua, Mei 2003. Bogor.
Tanudirjo, Daud Aris. 1998. “ Cultural Resource Management sebagai Manajemen Konflik “ dalam Majalah Artefak No. 19/Februari 1998. Jogjakarta.
__________________. 2000. “Reposisi Arkeologi dalam Era Global”, dalam Buletin Cagar Budaya, No 2 Juli 2000.
_________________. 2003. “Benda Cagar Budaya, Milik Siapa ?”, dalam Kata Pengantar Buku Balung Buto: Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif Masyarakat Sangiran Karangan Bambang Sulistyanto. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
_________________. 2006. “Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bawah Air untuk Kepentingan Masyarakat”, Makalah dalam Rapat Penyusunan Silabus Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Yogyakarta, 30-31 Agustus 2006